i
Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
EVALUASI KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS
JASA PERDAGANGAN CRUDE PALM OIL (CPO)
(STUDI KASUS PT. ABC)
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Administrasi
RATNA HAPSARI SIANIPAR
0806396430
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM SARJANA PARALEL ILMU ADMINISTRASI FISKAL
DEPOK
JUNI 2012
i
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
ii
Universitas Indonesia
ii Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
iii
Universitas Indonesia iii
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
iv
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan kehendak-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Kepada-Nya penulis menyerahkan segala urusan dalam penyelesaian skripsi yang
berjudul “Evaluasi Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan
Crude Palm Oil (CPO) (Studi Kasus PT ABC)” yang dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Administrasi
pada Program Studi Ilmu Administrasi Fiskal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Indonesia.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit
bagi penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono, MSc., selaku Dekan FISIP UI.
2. Dr. Roy V. Salomo, M.Soc.Sc., selaku Ketua Departemen Ilmu
Administrasi.
3. Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, MSi., selaku Ketua Program Sarjana
Reguler dan Kelas Paralel Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI.
4. Umanto S.Sos., M.Si., selaku Sekertaris Program Sarjana Reguler dan
Kelas Paralel Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI.
5. Dra. Inayati M.Si., selaku Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Fiskal.
Terima kasih atas perhatian dan nasihat yang diberikan selama
perkuliahan.
6. Rini Gufraeni S.Sos., M.Si., selaku Penasehat Akademis dari penulis.
Terima kasih atas bimbingan akademisnya selama perkuliahan.
7. Dikdik Suwardi, S.Sos, M.E, selaku Dosen Pembimbing. Terima kasih
banyak atas bimbingan, pelajaran, kesabaran dan waktu yang telah
diluangkan dari awal sampai terselesaikannya skripsi ini.
8. Seluruh Dosen Program Sarjana Reguler dan Kelas Paralel Departemen
Ilmu Administrasi, khususnya jajaran Dosen Ilmu Administrasi Fiskal.
Terima kasih atas ilmu-ilmu yang diberikan selama ini.
iv
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
v
Universitas Indonesia
9. Kedua Orang tua Penulis yang selalu mendukung tidak hanya secara
materil, tetapi juga selalu mendoakan penulis agar dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik. Tidak lupa kepada Bonardo Cahyo Hapsoro
Sianipar, adik Penulis yang tak henti-hentinya memberikan dukungan dan
semangat selama penyusunan skripsi.
10. Seluruh teman-teman angkatan 2008, khususnya kelas Paralel
Administrasi Fiskal. Terima kasih atas seluruh kenangan selama 4 tahun
bersama yang tak akan terlupakan.
11. Teman-teman terdekat penulis selama berkuliah di FISIP UI, Indri Putri,
Yosseane Widia, Nur Ilmisari, Linda Asri, Amelia Retno, Nita Prishela,
Dina Uliana, Budi Bowo dan Gallantino Farman. Terima kasih atas
semangat dan bantuannya selama perkuliahan.
12. Sahabat penulis yang selalu ada dalam suka dan duka, yaitu Rhesty Putri,
Nurul Hikmah, Sekar Ayu, Tri Novia Maulani, dan Rizky Khairunnisa.
13. Bapak Untung Sukardji, S.H, M.Sc, yang sudah mau direpotkan dengan
pertanyaan-pertanyaan penulis tentang PPN dan selalu dijawab dengan
senang hati.
14. Bapak Anang Mury Kurniawan, SST., Ak., Bapak Tunas Hariyulianto,
S.E., M.Si, Bapak Hariyanto dan Bapak Purwitohadi, terima kasih atas
masukan-masukannya dan bersedia menjadi informan penulis dalam
memahami permasalahan skripsi ini.
15. Semua pihak-pihak lain yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini
yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini terdapat banyak
kekurangan dan kesalahan dikarenakan keterbatasan yang dimiliki penulis. Oleh
karena itu, penulis menerima kritik dan saran yang dapat dijadikan perbaikan di
masa depan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu.
Jakarta, Juni 2012
Ratna Hapsari Sianipar
v
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
vi
Universitas Indonesia
vi
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
vii
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Ratna Hapsari Sianipar
Program Studi : Ilmu Administrasi Fiskal
Judul : Evaluasi Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa
Perdagangan Crude Palm Oil (CPO) (Studi Kasus PT ABC)
Skripsi ini membahas mengenai kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas
jasa perdagangan Crude Palm Oil (CPO) dengan mengambil studi kasus dari PT.
ABC. PT. XYZ merupakan salah satu perusahaan milik negara penghasil CPO,
yang dimana dalam pemasaran CPO nya PT XYZ membentuk suatu badan
pemasaran dengan sistem lelang bernama PT ABC. Transaksi Perdagangan CPO
PT XYZ untuk tujuan ekspor harus melalui broker lokal sebagai peserta lelang
CPO di PT ABC. Selain itu ada PT BBJ sebagai alternatif penjualan CPO PT
XYZ. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan
berbentuk deskriptif. Dalam teknik pengumpulan data, penulis melakukan studi
pustaka dan wawancara mendalam. Peneliti memperoleh hasil bahwa PT ABC,
broker lokal, dan PT BBJ melakukan jasa perdagangan. Dalam hal PT XYZ
mengklaim ekspor CPO yang dimana pemenang lelang adalah broker lokal
sebagai perwakilan pembeli diluar negeri, tidak dapat dikatakan sebagai ekspor
karena broker lokal membentuk BUT yang bersifat keagenan.
Kata Kunci:
Pajak Pertambahan Nilai, Jasa Perdagangan, Crude Palm Oil
vii
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
viii
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Ratna Hapsari Sianipar
Study Program : Fiscal Administration
Title : Evaluation of Value Added Tax Policy on Crude Palm Oil’s
Trade Services (Case Study of PT ABC)
This thesis discusses the policy of value added tax on services trade in Crude
Palm Oil (CPO) by taking a case study of PT. ABC. PT. XYZ is one of the state-
owned producer of CPO, which is where the marketing of its CPO PT XYZ form
a marketing agency with an auction system called PT ABC. CPO Commerce
Transactions PT XYZ for export purposes must go through local brokers as
bidders CPO on ABC. In addition there is an alternative which is PT BBJ for PT
XYZ CPO sales. The research was conducted using a qualitative approach and
descriptive form. In data collection techniques, the authors conducted a study
literature and depth interviews. Researchers obtained results that PT ABC, a local
broker, and PT BBJ to services trade. In the case of PT XYZ claims that palm oil
exports in which the winning bidder was a local broker to represent buyers in
foreign countries, can not be said to be export as a local broker that is formed
BUT agency.
Keywords :
Value Added Tax, Trade Service, Crude Palm Oil
viii
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
ix
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............... ............................................................................. i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS......... ......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN................................................ ............................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN.................. ......................................................... iv
KATA PENGANTAR ..................................................................... .................... v
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ........ ................ vii
ABSTRAK ........... ................................................................................................ viii
ABSTRACT ........................................................... .............................................. ix
DAFTAR ISI ................................................................ ........................................ .x
DAFTAR TABEL .................................................. .............................................. xii
DAFTAR GAMBAR .............................. ............................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................ ............................................ xiv
1. PENDAHULUAN .................................................... ...................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................ ..................... 1
1.2 Pokok Permasalahan.................................................. .................................. 6
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 6
1.4 Signifikansi Penelitian ................................................................................ 7
1.4.1 Signifikansi Akademis ..................................................... .................. 7
1.4.2 Signifikansi Praktis ........................................................... ................. 7
1.5 Sistematika Penulisan ............................................................. .................... . 7
2. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI ................................. 9
2.1 Tinjauan Pustaka ......................................................................................... 9
2.2 Kerangka Teori ............................................................................................ 17
2.2.1 Kebijakan Perpajakan ........................................................................ 17
2.2.2 Teori Evaluasi Kebijakan.................................................. ................. 18
2.2.3 Pajak Pertambahan Nilai .................................................................... 19
2.2.4 Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai .............................................. 20
2.2.5 Yurisdiksi Pemajakan ........................................................................ 21
2.2.6 Tempat dan Waktu Terutangnya Pajak............................................... 23
2.2.7 Konsep Jasa ........................................................................................ 26
2.2.8 Penyerahan Jasa................................................................... .............. 26
2.2.9 Pengusaha Kena Pajak.......................................................... ............. 27
2.2.10 Bentuk Usaha Tetap (BUT) ..................................................... ....... 28
2.2.11 Ekspor..................................................................................... ......... 30
2.2.12 Prinsip Kepastian dalam Pemungutan Pajak....................... ............. 31
2.3 Kerangka Pemikiran ........................................................................... ........ 34
3. METODE PENELITIAN ............................................................................. 36
3.1 Pendekatan Penelitian ............................................................... .................. 36
3.2 Jenis Penelitian ........................................................................................... 37
3.2.1 Jenis Penelitian Berdasarkan Tujuan........................ ................... ...... 37
3.2.2 Jenis Penelitian Berdasarkan Dimensi Waktu............................ ........ 37
3.2.3 Jenis Penelitian Berdasarkan Manfaat ......................... ...................... 38
ix
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
x
Universitas Indonesia
3.3 Teknik Pengumpulan Data................................................................ .......... 38
3.3.1 Studi Literatur................................. ..................................... .............. 38
3.3.2 Wawancara Mendalam................................. ............................. ........ 39
3.4 Teknik Analisis Data ................................................................... ............... 39
3.5 Narasumber .................................................................................................. 40
3.6 Proses Penelitian ................................................................... ...................... 41
3.7 Site Penelitian ............................................................................................. 42
3.8 Keterbatasan Penelitian................................. .............................. ............... 42
4. GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN CPO DAN PERLAKUAN
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS JASA
PERDAGANGAN...................................................... .................................... 43
4.1 Penjualan CPO PT XYZ melalui PT ABC ............................ ..................... 43
4.2 Penjualan CPO melalui PT BBJ.................................................. ................ 49
4.3 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah............... .......... 54
4.4 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-145/PJ./2010 tentang
Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan…………... ... 63
5. ANALISIS KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS
JASA PERDAGANGAN CRUDE PALM OIL (CPO) ................... ........... 66
5.1 Transaksi-transaksi di dalam Perdagangan CPO PT XYZ terkait
dengan Jasa Perdagangan……………………………………………… ... 66
5.1.1 Transaksi Perdagangan CPO PT XYZ oleh PT ABC…………… ..... 66
5.1.2 Transaksi Perdagangan CPO PT XYZ untuk Tujuan Ekspor oleh
Broker Lokal sebagai Peserta Lelang CPO di PT ABC…………… 75
5.1.3 Transaksi Penjualan CPO PT XYZ oleh PT BBJ............................. .. 83
5.2 Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan CPO Ditinjau
Berdasarkan Prinsip Kepastian................................................................. ... 86
5.3 Alternatif Kebijakan Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan CPO... ..... 89
6. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. .......... 91
6.1 Simpulan .............................................................................................. ....... 91
6.2 Saran ........................................................................................................... 92
DAFTAR REFERENSI ..................................................................................... 93
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
x
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
xi
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Perkembangan Produksi Produk Perkebunan Utama 2009-
2011...................................................................................... ......... 3
Tabel 1.2. Produksi CPO di Indonesia Tahun 2008-2011......................... ..... . 4
Tabel 2.1. Tabel Tinjauan Pustaka....................................................... .......... 11
Tabel 4.1. Persyaratan Peserta Tender CPO di PT BBJ .................... ............ 49
xi
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
xii
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Produk Domestik Bruto (PDB) dan Penerimaan Pajak Sektoral
Tahun 2005-2010 ........................................................................ 2
Gambar 1.2 Saluran Pemasaran CPO Indonesia menurut SKB 3 Menteri
Nomor 275/KPB/XII/78 .............................................................. 5
Gambar 2.1 Siklus Pembuatan Kebijakan menurut William Dunn.......... ...... 18
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran.............................. ...................................... 35
Gambar 4.1 Saluran Pemasaran CPO Indonesia menurut SKB 3 Menteri
Nomor 275/KPB/XII/78..................................................... ......... 43
Gambar 4.2 Persyaratan Peserta Tender CPO Lokal dan Ekspor di PT ABC 46
Gambar 5.1 Skema Transaksi PT XYZ dan PT ABC dalam Perdagangan CPO 67
Gambar 5.2 Skema Transaksi Jasa Perdagangan CPO PT XYZ melalui
PT ABC dalam SE-145/PJ/2010 ................................................. 72
Gambar 5.3 Skema Peserta Lelang CPO di PT ABC ...................................... 74
Gambar 5.4 Skema Tata Niaga ekspor CPO PT XYZ .................................... 75
Gambar 5.5 Skema Transaksi Penyerahan Jasa oleh Broker Lokal untuk
Tujuan Ekspor ............................................................................. 77
xii
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
xiii
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Pedoman Wawancara
Lampiran 2. Hasil Wawancara dengan Hariyanto
Lampiran 3. Hasil Wawancara dengan Purwitohadi
Lampiran 4. Hasil Wawancara dengan Anang Mury Kurniawan
Lampiran 5. Hasil Wawancara dengan Untung Sukardji
Lampiran 6. Hasil Wawancara dengan Tunas Hariyulianto
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Di zaman globalisasi seperti sekarang ini pembangunan ekonomi jangka
panjang tidak selalu harus diarahkan pada sektor industri, tetapi dapat juga
diarahkan pada sektor lain, seperti sektor pertanian (Pahan, 2011, 1). Mengingat
strategisnya pembangunan pertanian, maka pembangunan pertanian tidak hanya
pada upaya meningkatkan ketahanan pangan, tetapi juga mampu untuk
menggerakkan perekonomian nasional melalui kontribusinya dalam penyediaan
bahan pangan, bahan baku industri, pakan dan bio-energi, penyerap tenaga kerja,
sumber devisa negara dan sumber pendapatan masyarakat serta berperan dalam
pelestarian lingkungan melalui praktik budidaya pertanian yang ramah lingkungan
(Laporan Kinerja Kementrian Pertanian, 2011, 1).
Sektor pertanian merupakan sektor ekonomi yang tangguh dalam
menghadapi perkembangan ekonomi dunia, misalnya krisis yang dialami
Indonesia. Dalam menghadapi krisis tersebut, sektor pertanian mampu untuk
berkontribusi dalam ekonomi nasional dan daerah dengan pertumbuhan ekonomi
positif (Yasin, 2003). Sektor pertanian juga merupakan sektor non migas yang
mampu memberikan kontribusi kepada negara. Menurut Badan Pusat Statistik,
pada tahun 2011 total ekspor Indonesia yang berasal dari sektor pertanian adalah
sebesar 5.169,1 juta US $ atau menyumbang 2,54 % dari total ekspor non migas
Indonesia yang berjumlah 203.616,7 juta US $. Berdasarkan data tersebut, dapat
dikatakan bahwa sektor pertanian adalah salah satu penghasil devisa yang penting
di Indonesia.
Jika melihat dari segi kontribusi pada Produk Domestik Bruto (PDB) dan
penerimaan pajak, sektor pertanian juga memiliki peranan yang tak kalah penting.
Pada tahun 2011, Penerimaan Pajak dan PDB yang berasal dari sektor pertanian
merupakan yang terbesar kedua setelah industri pengolahan. Hal tersebut dapat
dilihat dari data dibawah ini:
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
2
Universitas Indonesia
Gambar 1.1
Produk Domestik Bruto (PDB) dan Penerimaan Pajak Sektoral Tahun
2005-2010
Sumber : Laporan Tahunan Direktorat Potensi Kepatuhan Dan Penerimaan,
Direktorat Jenderal Pajak
Sektor pertanian dalam arti luas mencakup subsektor pertanian pangan,
perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan. Subsektor perkebunan
mempunyai kedudukan yang penting di dalam pengembangan pertanian baik pada
tingkat nasional maupun regional. Hal ini dapat dilihat dari semakin luasnya lahan
perkebunan dan meningkatnya produksi rata-rata pertahun, dengan komoditas
utama kelapa sawit, kelapa, karet, kakao, tebu dan tanaman lainnya. Peluang
pengembangan tanaman perkebunan semakin memberikan harapan, hal ini
berkaitan dengan semakin kuatnya dukungan pemerintah terhadap usaha
perkebunan rakyat, tumbuhnya berbagai industri yang membutuhkan bahan baku
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
3
Universitas Indonesia
dari produk perkebunan dan semakin luasnya pangsa pasar produk perkebunan
(Ahmad,1998).
Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak kelapa sawit (CPO-Crude
Palm Oil) yang merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang
menjadi sumber penghasil devisa non-migas bagi Indonesia. Berdasarkan data
Direktorat Jenderal Perkebunan, ekspor CPO Indonesia pada tahun 2010 adalah
sebesar 9.444.170.400 kg atau sebesar US$ 7.649.965.932. Jika dibandingkan
dengan produk perkebunan utama lainnya seperti karet, kelapa, kopi, kakao, tebu,
dan teh, produksi CPO adalah yang terbesar dan selalu mengalami kenaikan tiap
tahunnya. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 1.1
Perkembangan Produksi Produk Perkebunan Utama
Tahun 2009-2011 Jumlah (ton)
Produk 2009 2010 2011
Karet 2.440.347 2.734.854 3.008.427
Minyak Kelapa Sawit /
Crude Palm Oil (CPO)
19.324.293 21.958.120 22.508.011
Kelapa 3.257.969 3.166.666 3.203.632
Kopi 682.690 686.921 748.109
Kakao 809.583 837.918 712.231
Tebu 2.517.374 2.290.116 2.228.140
Teh 156.901 156.604 140.944
Sumber : Laporan Data Statistik Perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan
Cerahnya prospek komoditi CPO dalam perdagangan minyak nabati dunia
telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal
perkebunan kelapa sawit. Saat ini, di Indonesia, perkebunan kelapa sawit dikelola
oleh tiga jenis pengusahaan, yaitu Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar
Swasta (PBS), dan Perkebunan Besar Negara (PBN). Pengelolaan perkebunan
kelapa sawit di Indonesia saat ini masih didominasi oleh pihak swasta
dikarenakan kepemilikan modal investasi yang besar sehingga mampu
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
4
Universitas Indonesia
mengembangkan potensi perkebunan kelapa sawit yang dimilikinya. Namun
secara umum, dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan produksi CPO dari masing-
masing pengusahaan. Perkembangan produksi berdasarkan areal perkebunan
dapat dilihat dari tabel berikut.
Tabel 1.2
Produksi CPO di Indonesia Tahun 2008-2011
Tahun
Produksi (ton)
Jumlah Perkebunan
Rakyat
Perkebunan
Besar Negara
Perkebunan
Besar Swasta
2008 6.923.042 1.938.134 8.678.612 17.539.788
2009 7.517.716 2.005.880 9.800.697 19.324.293
2010 8.458.709 1.890.503 11.608.907 21.958.120
2011 8.627.883 1.937.765 11.942.362 22.508.011
Sumber: Laporan Data Statistik Perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan
Produksi CPO Indonesia dihasilkan oleh Perkebunan Rakyat (PR),
Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS).
Perkebunan Besar Negara (PBN) di Indonesia tergabung dalam PT XYZ yang
memiliki status sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). PT XYZ ini terdiri
dari PT XYZ I-XIV dimana sebagian besar di antaranya mengusahakan komoditi
kelapa sawit yang nantinya diolah menjadi CPO. Dalam pemasaran produk
perkebunannya, baik pemasaran CPO lokal maupun ekspor, PT XYZ I-XIV
membentuk suatu lembaga yang dikenal dengan nama PT ABC, yang
memasarkan dengan cara auction atau lelang.
PT XYZ sebagai pengusaha perkebunan milik negara tentunya
berpengaruh penting dalam produksi CPO di Indonesia. Untuk meningkatkan
efektifitas dalam produksinya maka pemerintah sejak dahulu telah membuat
peraturan dalam tata niaga CPO, dimana syarat-syarat penyerahan CPO dari
produsen kepada industri dilaksanakan berdasarkan SK Dirjen Perdagangan
Dalam Negeri yang pada pokoknya mengatur harga dan cara penyerahan CPO
dari produsen kepada industri pengolah menurut lokasi industri masing-masing.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
5
Universitas Indonesia
CPO yang diperdagangkan berasal dari dua sumber, yaitu PT XYZ dan PT
Swasta. Sesuai dengan kesepakatan diantara PT XYZ, pemasaran CPO yang
berasal dari PT XYZ harus melalui PT ABC, baik untuk konsumen dalam negeri
maupun luar negeri (Pahan, 2011, 38). Kilas balik praktik perdagangan CPO di
Indonesia terjadi pada tahun 1991, dimana pemerintah melakukan deregulasi
dengan Pakjun 1991 (3 Juni 1991) yang menghapus berbagai SKB 3 menteri
sebelumnya. Pada intinya, sejak saat itu pemasaran CPO dari PT XYZ tetap
dilakukan secara bersama melalui PT ABC, sedangkan untuk PT Swasta
kebijakan pemasaran CPO-nya dilakukan oleh masing-masing perusahaan.
Gambar 1.2
Saluran Pemasaran CPO Indonesia menurut
SKB 3 Menteri Nomor 275/KPB/XII/78
Sumber : (Pahan, 2011, 39) (diolah peneliti)
Namun dikarenakan persaingan global komoditi CPO dianggap semakin
ketat, sehingga pada tanggal 23 Juni 2009 dibentuklah pemasaran CPO dengan
Pasar Fisik Terorganisir yang diselenggarakan oleh PT Bursa Berjangka (PT BBJ)
untuk melaksanakan lelang fisik secara elektronik atau online. Peluncuran Pasar
fisik yang juga merupakan hari pertama perdagangan fisik CPO diresmikan oleh
dua menteri yaitu Menteri Negara BUMN dan Menteri Perdagangan RI. Dengan
demikian pemasaran CPO PT XYZ tidak lagi hanya melalui PT ABC tapi juga
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
6
Universitas Indonesia
melalui PT BBJ. Penjual CPO di PT BBJ tidak hanya dari pihak PT XYZ namun
juga PT Swasta bebas menjual CPO nya di PT BBJ.
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan skema transaksi perdagangan CPO PT XYZ tersebut, maka
dapat diketahui bahwa PT XYZ tidak menjual CPO nya langsung kepada pembeli,
namun harus melalui badan pemasaran yaitu PT ABC, dan untuk tujuan ekspor
harus melalui broker lokal yang mengikuti lelang CPO di PT ABC. Penjualan
CPO PT ABC mulai tahun 2009 tidak harus melalui PT ABC lagi melainkan juga
isa melalui PT BBJ. Dari skema-skema transaksi tersebut peneliti tertarik untuk
meneliti fungsi-fungsi badan yang menjadi perantara tersebut masing-masing
menurut konsep Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan peraturan-peraturan yang
terkait. Di dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-145/PJ/2010
(yang selanjutnya disebut SE-145/PJ/2010) disebutkan bahwa jasa perdagangan
adalah jasa yang diberikan oleh orang atau badan kepada pihak lain, dengan
menghubungkan pihak lain tersebut kepada pembeli pihak lain itu, atau
menghubungkan pihak lain tersebut kepada penjual barang yang akan dibeli pihak
lain itu. Dengan demikian, jasa perdagangan dapat berupa jasa perantara,
pemasaran, dan jasa mencarikan penjual dan pembeli. Berdasarkan pengertian
tersebut, maka timbulah pertanyaan penelitian sebagaimana berikut:
1. Bagaimana transaksi-transaksi yang terjadi pada perdagangan CPO PT.
ABC terkait dengan jasa perdagangan?
2. Bagaimana kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa perdagangan CPO
ditinjau berdasarkan prinsip kepastian?
3. Bagaimana alternatif kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa
perdagangan CPO?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan penelitian
sesuai dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan peneliti, yaitu :
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
7
Universitas Indonesia
1. Menjelaskan transaksi-transaksi yang terjadi pada perdagangan CPO PT.
ABC terkait dengan jasa perdagangan
2. Menjelaskan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa perdagangan
CPO ditinjau berdasarkan prinsip kepastian
3. Menjelaskan alternatif kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa
perdagangan CPO
1.4 Signifikansi Penelitian
1. Signifikansi akademis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan memberikan
konribusi pada penelitian sebelumnya mengenai Kebijakan Pajak Pertambahan
Nilai atas Jasa Perdagangan serta dapat menjadi literatur bagi akademisi untuk
melengkapi wawasan dan pendalaman teori di bidang Pajak Pertambahan Nilai.
2. Signifikansi Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi instansi
yang bersangkutan agar melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, dan juga untuk Direktorat Jenderal Pajak, diharapkan
dapat menjadi masukan dalam penyempurnaan ketentuan mengenai Pajak
Pertambahan Nilai terkait dengan Jasa perdagangan CPO.
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
enam bab yang masing-masing terbagi menjadi beberapa sub-bab, agar dapat
mencapai suatu pembahasan atas permasalahan pokok yang lebih mendalam dan
mudah diikuti. Garis besar penulisan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
BAB 1 PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis menjabarkan latar belakang permasalahan,
pokok permasalahan, dan tujuan penulisan. Selain itu, dalam bab
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
8
Universitas Indonesia
ini juga diuraikan mengenai Signifikansi Penelitian dan
Sistematika Penulisan.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
Dalam bab ini penulis menjabarkan teori dan pemikiran dari
literatur yang berkaitan dengan masalah penelitian, dalam Tinjauan
Pustaka dan Kerangka Teori, juga Kerangka Pemikiran.
BAB 3 METODE PENELITIAN
Dalam bab ini akan dijabarkan mengenai metode penelitian yang
terdiri dari Pendekatan Penelitian, Jenis atau Tipe penelitian,
Metode dan Strategi penelitian, Narasumber/Informan, Proses
Penelitian, Metode dan Strategi penelitian, Narasumber atau
Informan, Proses penelitian, dan Keterbatasan penelitian.
BAB 4 GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN CPO DAN
PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS JASA
PERDAGANGAN
Dalam bab ini akan dibahas gambaran umum perdagangan CPO
PT ABC dan juga perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa
Perdagangan.
BAB 5 ANALISIS KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
ATAS JASA PERDAGANGAN CRUDE PALM OIL (CPO)
Dalam bab ini akan dibahas seluruh penjelasan mengenai informasi
dan data yang telah dikumpulkan dan dikaitkan dengan cara
berfikir peneliti mengenai kebijakan PPN atas jasa perdagangan
Crude Palm Oil (CPO) studi kasus pada PT ABC.
BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini dikemukakan kesimpulan yang diperoleh
berdasarkan uraian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dan
saran penulis sehubungan dengan permasalahan pokok yang ada.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
9
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
Peneliti melakukan peninjauan terhadap penelitian-penelitian sebelumnya
yang terkait dengan tema penelitian untuk dijadikan referensi. Penelitian yang
dijadikan referensi pada tinjauan pustaka ini diambil dari 3 penelitian. Tinjauan
pustaka ini digunakan untuk menjadi suatu bahan perbandingan penelitian yang
akan dilakukan.
Tinjauan kepustakaan yang pertama adalah sebuah penelitian yang
berjudul “Tinjauan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa
Perdagangan”, yang dilakukan oleh Gerry Octaviano (Ilmu Administrasi Fiskal,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008). Penelitian
yang dilakukan oleh Gerry mengangkat persoalan Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak Nomor SE-08/PJ.52/1996 mengenai jasa perdagangan yang menentukan
bahwa pengenaan PPN didasarkan kepada tempat kedudukan/domisili pihak yang
memanfaatkan jasa, namun tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 5 UU
PPN tahun 2000 dan KMK Nomor: 302/KMK.04/1989 yang mengatur bahwa
pengenaan PPN didasarkan kepada tempat dilakukannya (dikerjakannya) jasa
tersebut secara fisik. Berdasarkan analisisnya di dalam Undang-Undang PPN
tahun 2000, KMK No.302/KMK.04/1989, SE-08/PJ.52/1996, dan Surat
Penegasan Direktorat Jenderal Pajak mengenai perlakuan PPN atas penyerahan
jasa perdagangan telah menganut konsep destination principle.
Penelitian yang kedua, yaitu penelitian berjudul “Analisis Perlakuan Pajak
Pertambahan Nilai atas Transaksi Lintas Negara Terkait dengan Jasa
Perdagangan (Studi Kasus PT ABC dengan Japan Corporation)” yang dilakukan
oleh Fitria Kurniawati Susilo (Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Fitria
mengangkat persoalan adanya perbedaan penafsiran dalam memberikan perlakuan
PPN atas transaksi lintas negara terkait dengan jasa perdagangan yang dilakukan
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
10
Universitas Indonesia
PT ABC. Berdasarkan analisisnya perbedaan penafsiran tersebut dikarenakan
adanya perbedaan terminology dalam hal perlakuan PPN atas jasa perdagangan
yang dilakukan oleh PT ABC. Pengusaha Kena Pajak mengikuti terminologi
pemanfaatan JKP yakni JKP dikenakan PPN berdasarkan atas konsumsi JKP,
sedangkan aparat pajak mengikuti terminologi penyerahan, yaitu bahwa
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan jasa perdagangan di dalam
Daerah Pabean terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Penelitian yang ketiga berjudul “Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas
Ekspor Jasa Perdagangan” oleh Sari Saraswati (Ilmu Administrasi Fiskal,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012). Penelitian ini
berusaha untuk menganalisis perlakuan PPN atas jasa perdagangan dimana
penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean, namun dianggap
sebagai penyerahan jasa perdagangan yang dilakukan di dalam Daerah Pabean.
Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah apa alasan Direktur Jenderal
Pajak menetapkan ekspor jasa perdagangan sebagai penyerahan jasa perdagangan
di dalam Daerah Pabean, bagaimana kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas
ekspor jasa perdagangan ditinjau dari konsep taxable supplies, bagaimana
perlakuan ekspor jasa perdagangan ditinjau dari konsep destination principle, dan
bagaimana perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor jasa menurut
kelaziman internasional.
Perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah dalam penelitian ini
peneliti mengambil dari sebuah studi kasus PT XYZ dimana dalam mekanisme
perdagangan CPO nya ternyata tidak langsung kepada pembeli, namun harus
melalui PT ABC, lalu broker lokal sebagai pembeli di PT ABC untuk CPO tujuan
ekspor. Lalu pada 2009 tidak harus melalui PT ABC lagi untuk penjualannya
namun dapat melalui PT BBJ. Dari 3 transaksi tersebut peneliti lalu
mengkaitkannya dengan jasa perdagangan yang dimana saat ini diatur di dalam
SE-145/PJ/2010, yang kemudian peneliti tinjau berdasarkan prinsip kepastian juga
konsep PPN, dimana ada perbedaan penafsiran dalam mendefinisikan jasa
perdagangan di kalangan praktisi dan akademisi. Berikut tabel dibawah ini,
perbandingan penelitian skripsi ini dengan penelitian sebelumnya:
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
11
Universitas Indonesia
Tabel 2.1
Tabel Tinjauan Pustaka
Peneliti Pertama Peneliti Kedua Peneliti Ketiga Penelitian yang dilakukan
1. Nama Gerry Octaviano Fitria Kurniawati Sari Saraswati Ratna Hapsari Sianipar
2. Judul Tinjauan Pajak Pertambahan
Nilai atas Penyerahan Jasa
Perdagangan
Analisis Perlakuan Pajak
Pertambahan Nilai atas
Transaksi Lintas Negara
Terkait dengan Jasa
Perdagangan (Studi
Kasus PT ABC dengan
Japan Corporation)
Kebijakan Pajak
Pertambahan Nilai atas
Ekspor Jasa perdagangan
Kebijakan Pajak
Pertambahan Nilai atas
Jasa Perdagangan Crude
Palm Oil (CPO) (Studi
Kasus PT ABC)
3. Tahun
2008
2010
2012
2012
4. Tujuan 1. Menganalisis perlakuan PPN
atas jasa perdagangan di
dalam Undang-Undang PPN
tahun 2000.
2. Menganalisis perlakuan PPN
atas penyerahan jasa
perdagangan di dalam KMK
No.302/KMK.04/1989.
3. Menganalisis perlakuan PPN
atas penyerahan jasa
perdagangan di dalam SE-
08/PJ.52.1996.
1. Mengetahui latar
belakang perbedaan
penafsiran dalam
memberikan
perlakuan PPN atas
transaksi lintas negara
terkait dengan jasa
perdagangan yang
dilakukan oleh PT
ABC.
2. Mengetahui
perlakuan PPN atas
1. Menjelaskan kebijakan
Pajak Pertambahan
Nilai atas ekspor jasa
perdagangan ditinjau
dari konsep taxable
supplies
2. Menjelaskan
perlakuan ekspor jasa
perdagangan ditinjau
dari konsep
destination principle
3. Menjelaskan
1. Menjelaskan
transaksi-transaksi
yang terjadi pada
perdagangan CPO PT
ABC terkait dengan
jasa perdagangan
2. Menjelaskan
kebijakan Pajak
Pertambahan Nilai
atas jasa perdagangan
CPO ditinjau
berdasarkan prinsip
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
12
Universitas Indonesia
4. Menganalisis perlakuan PPN
atas jasa perdagangan di
dalam Surat Penegasan
Direktorat Jenderal Pajak.
Transaksi yang
dilakukan oleh PT
ABC terkait dengan
perbedaan penafsiran
ditinjau dari konsep
PPN
3. Mengetahui peranan
pihak penerima jasa
yang memiliki BUT
dalam Perlakuan PPN
atas transaksi lintas
negara terkait jasa
perdagangan yang
dilakukan oleh PT
ABC
perlakuan Pajak
Pertambahan Nilai
atas ekspor jasa
menurut kelaziman
internasional
kepastian
3. Menjelaskan alternatif
kebijakan Pajak
Pertambahan Nilai
atas Jasa Perdagangan
CPO
5. Pendekatan
penelitian
Kuantitatif Kualitatif Kuantitatif Kualitatif
6. Jenis
penelitian
Deskriptif
Deskriptif Deskriptif Deskriptif
7. Teknik
pengumpulan
data
Studi Pustaka dan Wawancara Studi Pustaka dan
Wawancara
Studi Literatur dan
Wawancara
Studi Literatur dan
Wawancara
8. Hasil yang
diperoleh
1. Di dalam Undang-Undang
PPN tahun 2000, perlakuan
PPN atas penyerahan jasa
perdagangan menganut
destination principle/pronsip
1. Perbedaan Penafsiran
dalam perlakuan PPN
atas transaksi lintas
negara terkait dengan
jasa perdagangan PT
1. Alasan Direktur
Jenderal Pajak
menetapkan ekspor
jasa perdagangan
sebagai penyerahan
1. Transaksi-transaksi
yang terkait dengan
jasa perdagangan
terkait dengan jasa
perdagangan CPO
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
13
Universitas Indonesia
tujuan
2. Di dalam KMK
No.302/MKM.04/1989,
perlakuan PPN atas
penyerahan jasa perdagangan
menganut destination
principle/tempat tujuan
3. Di dalam SE-08/PJ.52/1996,
perlakuan PPN atas
penyerahan jasa perdagagan
menganut destination
principle/ tempat tujuan\
4. Di dalam Surat Penegasan
Direktorat Jenderal Pajak,
perlakuan PPN atas
penyerahan jasa perdagangan
menganut destination
principle/prinsip tempat
tujuan
ABC adalah adanya
perbedaan
terminologi, dimana
PKP mengikuti
terminologi
pemanfaatan JKP
yakni JKP dikenakan
PPN berdasarkan atas
konsumsi JKP,
sedangkan aparat
pajak mengikuti
terminologi
penyerahan, yaitu
bahwa PKP yang
melakukan
penyerahan jasa
perdagangan di dalam
daerah pabean
terutang PPN.
2. Perlakuan PPN ata
stransaksi Jasa
Perdagangan PTABC
ditinjau dari konsep
PPN adalah terutang
PPN. Hal tersebut
berdasarkan pada
prinsip kewenangan
PPN dimana
jasa perdagangan di
dalam Daerah Pabean,
antara lain adalah
bahwa DJP
menganggap ekspor
JKP merupakan hal
yang baru yang diatur
dalam undang-undang
PPN No. 42 tahun
2009. DJP belum
dapat menetapkan tarif
0% untuk keseluruhan
ekspor jasa, khususnya
ekspor jasa
perdagangan karena
belum adanya sistem
pengawasan yang
memadai untuk
mengawasi transaksi
jasa , khususnya jasa
perdagangan ke luar
Daerah Pabean. Hal
itu disebabkan jasa
perdagangan yang
bersifat intangible dan
tidak melekat pada
barang. Apabila
ekspor jasa
studi kasus PT ABC
ada tiga pihak
pengusaha, yaitu
adalah yang dilakukan
oleh PT ABC, broker
lokal dan PT BBJ.
Yang pertama adalah
jasa pemasaran untuk
mencarikan pembeli
melalui sistem lelang
yang diberikan PT
ABC kepada PT XYZ.
Jasa tersebut dapat
dikatakan sebagai jasa
perdagangan dan atas
jasa tersebut PT ABC
mendapatkan fee dari
PT XYZ sebesar 0,5
persen dari harga jual.
Lalu yang kedua
adalah broker lokal
dengan pembeli di luar
negeri. Broker lokal
mendapat fee jasa
perantara sebagai
representative,
terutang PPN menurut
SE-145/PJ/2010.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
14
Universitas Indonesia
Indonesia menganut
prinsip destination
principle dengan
berdasarkan atas
tempat konsumsi
JKP. Dalam hal
penentuan tempat
konsumsi jasa atau
tempat terutangnya
PPN adalah melihat
tempat penyerahan
JKP tersebut yakni
dimana jasa tersebut
dilakukan.
3. Latar belakang
adanya BUT dalam
lingkup PPN atas jasa
perdagangan antara
lain adalah BUT
merupakan satu
entitas tersendiri
dalam ruang lingkup
PPN yaitu sebagai
subjek pajak dalam
daerah pabean yang
merepresentasikan
pihak yang berada di
luar daerah pabean.
perdagangan
dikenakan 0%, hal ini
tidak sesuai dengan
asas pemungutan
pajak asas revenue
productivity dan asas
efficiency.
2. Kegiatan jasa
perdagangan sudah
sesuai dengan konsep
taxable supplies,
karena jasa
perdagangan sudah
memenuhi syarat-
syarat suatu
penyerahan jasa yang
dikenakan PPN antara
lain transaksinya
merupakan transaksi
penyerahan jasa,
penyerahannya tidak
termasuk jenis jasa
yang tidak dikenai
PPN sebagaimana
diatur dalam pasal 4A
ayat (3) UU No. 42
tahun 2009,
penyerahan jasa
Kegiatan broker lokal
tersebut menimbulkan
BUT tipe keagenan,
sehingga transaksi
lelang tersebut
seharusnya
dikategorikan sebagai
penyerahan di dalam
negeri bukan ekspor.
Yang ketiga adalah
jasa yang diberikan PT
BBJ, yang bisa
disamakan dengan jasa
pelayanan transaksi
bursa efek. Jasa ini
juga dapat
dikategorikan sebagai
jasa perdagangan
dalam SE-
145/PJ/2010, yang
dimana fee dibayar
pemenang lelang dan
penjual atas biaya
transaksi sebesar satu
rupiah per kg, sudah
termasuk PPN.
2. Implementasi
kebijakan PPN atas
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
15
Universitas Indonesia
Kedua adalah adanya
pengadopsian dari
salah satu prinsip
dalam Pajak
Penghasilan, yaitu
prinsip force of
attraction. Dan
pendapat ketiga
adalah bahwa tidak
seharusnya ada
persyaratan BUT
dalam perlakuan PPN
atas transaksi lintas
negara jasa
perdagangan.
Pendefinisan BUT
dalam hal ini adalah
nerdasarkan tax
treaty, karena
kedudukan P3B
adalah lex specialis
terhadap UU
domestic. Peranan
BUT Japan
Corporation dalam
hal perlakuan PPN
terkait PT ABC
adalah bahwa kantor
dilakukan oleh
Pengusaha Kena Pajak
(taxable person), dan
penyerahan dilakukan
dalam rangka kegiatan
usaha atau
pekerjaannya dan
bukan bagian dari hobi
atau aktivitas non
bisnis lainnya.
3. Ekspor jasa
perdagangan yang
dianggap sebagai
penyerahan jasa
perdagangan di dalam
Daerah Pabean
sebagaimana
disebutkan dalam SE-
145/PJ/2010 butir c, d,
dan e tidak sesuai
dengan destination
principle. Hal ini
disebabkan karena
ekspor jasa
perdagangan tersebut
terutang PPN sebagai
penyerahan jasa
perdagangan di dalam
jasa perdagangan CPO
tidak memberikan
kepastian hukum
karena terjadi
multitafsir di kalangan
praktisi dan akademisi
mengenai pengertian
jasa perdagangan itu
sendiri, dimana di
dalam SE-145/PJ/2010
dijelaskan hanya jasa
untuk menghubungkan
penjual dan pembeli
yang dapat berupa jasa
perantara, pemasaran,
dan mencarikan
penjual dan pembeli,
dimana jasa perantara
dan jasa pemasaran
dalam prakteknya
bermacam-macam,
bahkan dapat melalui
mekanisme lelang.
3. Alternatif kebijakan
menurut peneliti atas
jasa perdagangan CPO
seperti kasus PT ABC
adalah bagaimana bila
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
16
Universitas Indonesia
perwakilan Japan
Corp di Indonesia dan
PT ABC selaku agen
jasa perdagangan
Japan corp bukan
BUT untuk kegiatan
sebagaimana yang
tercantum dalam
kontrak perjanjian
Daerah Pabean,
sehingga dikenakan
PPN dengan tarif 10%.
4. Sebagian besar negara
di Asia Pasifik sudah
menganut destination
principle atas ekspor
jasa yaitu ditunjukan
dengan pengenaan
PPN dengan tarif 0%
atas kegiatan ekspor
jasa. Negara-negara
tersebut antara lain
adalah Filipina,
Taiwan, Vietnam,
Australia, Malaysia,
New Zealand, dan
Thailand.
dikategorikan sebagai
penyerahan kepada
juru lelang yang ada
pada pasal 1A UU
PPN, dimana
penyerahannya
terutang PPN,
sehingga atas kegiatan
lelang yang dilakukan
oleh PT ABC lalu
broker lokal sebagai
peserta lelang itu bisa
disebut penyerahan
BKP di dalam daerah
pabean. Sebagaimana
diatur oleh Peraturan
Kementrian Keuangan
Nomor
75/PMK.03/2010,
maka dasar pengenaan
pajak nilai lain yaitu
sebesar 10 persen dari
harga lelang.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
2.2 Kerangka Teori
2.2.1. Kebijakan Perpajakan (Tax Policy)
Kebijakan pajak adalah salah satu bentuk kebijakan negara di bidang
perpajakan. Devereux, dalam bukunya yang berjudul The Economic of Tax Policy,
menyatakan hal sebagai berikut:
“Tax policy is not just about encouraging good things and discouranging
bad things. Nor is it just about rising the required revenue with the
minimum amount of distortion to economic activity, and with the minimum
cost of collection. It is also about fairness.” (Devereux, 1996, 3)
Dari pernyataan diatas secara jelas menyatakan bahwa kebijakan pajak
tidak hanya selalu mengenai peningkatan penerimaan negara dengan biaya
sekecil-kecilnya, tapi juga melihat dari sisi keadilan. Artinya kebijakan pajak
tidak dapat ditetapkan secara sembarangan, harus melihat juga bagaimana
keadaan ekonomis dan faktor-faktor penting lainnya. Kebijakan pajak akan adil
apabila kebijakan tersebut diterapkan untuk seluruh jenis pajak dan bukan hanya
kebijakan untuk salah satu jenis pajak saja.
Kebijakan pajak merupakan kebijakan fiskal dalam arti yang sempit.
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang menggunakan instrumen pemungutan
pajak dan pengeluaran belanja negara untuk mempengaruhi produksi masyarakat,
kesempatan kerja dan inflasi. Kebijakan pajak menurut Mansury adalah kebijakan
yang berhubungan dengan penentuan apa yang dijadikan tax base, siapa-siapa
yang dikenakan pajak, siapa-siapa yang dikecualikan, bagaimana menentukan
besarnya pajak yang terhutang dan bagaimana menentukan prosedur pelaksanaan
kewajiban pajak terhutang (Mansury, 1999, 1). Kebijakan perpajakan dapat
dirumuskan sebagai:
1. Suatu pilihan atau keputusan yang diambil oleh pemerintah dalam rangka
menunjang penerimaan negara dan menciptakan kondisi ekonomi yang kondusif.
2. Suatu tindakan pemerintah dalam rangka memungut pajak, guna memenuhi
kebutuhan dana untuk keperluan negara.
3. Suatu keputusan yang diambil pemerintah dalam rangka meningkatkan
penerimaan negara dari sektor pajak untuk digunakan menyelesaikan kebutuhan
dana bagi negara (Marsuni, 2006, 37).
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
18
Universitas Indonesia
2.2.2 Teori Evaluasi Kebijakan
Dunn membagi siklus pembuatan kebijakan dalam lima tahap, yaitu tahap
pertama ialah tahap penyusunan agenda, tahap kedua melalui formulasi kebijakan,
tahap ketiga berupa adopsi kebijakan, tahap keempat merupakan implementasi
kebijakan dan tahap terakhir adalah tahap penilaian atau evaluasi kebijakan
(Dunn, 1994). Kelima tahap yang menjadi urut-urutan (hierarki) kesemuanya
perlu dikelola dan dikontrol oleh pembuat yang sekaligus pelaksana kebijakan
publik.
Gambar 2.1
Siklus Pembuatan Kebijakan menurut William Dunn
Sumber : Dunn, 1994
Dunn merumuskan ada 5 tahap dalam membuat kebijakan (public policy)
yaitu, pertama penyusunan agenda kebijakan, kedua penyusunan formula
kebijakan (sanse policy), ketiga penerapan kebijakan (policy implementation).
Keempat proses evaluasi, kelima tahap penilaian atau evaluasi kebijakan.
Penyusunan Agenda
Formulasi Kebijakan
Adopsi Kebijakan
Implementasi
Kebijakan
Penilaian/Evaluasi
Kebijakan
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
19
Universitas Indonesia
2.2.3 Pajak Pertambahan Nilai
Pengertian Pajak Pertambahan Nilai dalam Bahasa Indonesia diambil dari
istilah value-added tax. Namun ternyata nama value-added tax bukanlah istilah
yang universal. Istilah tersebut bersumber dari dua bentuk istilah berbahasa
Inggris, yaitu value added tax dan value-added tax. Apabila dilihat dari sumber
istilah aslinya yang berbahasa Prancis, nama yang cocok adalah added value tax.
Adanya kesulitan untuk menerjemahkan secara harafiah, menjadikan istilah value
added tax berbeda-beda pada beberapa negara. Hal itu mempengaruhi legal
system pemungutan di negara tersebut (Thuronyi, 1996, 4-5). Di Indonesia sendiri,
Value Added Tax dikenal dengan Pajak Pertambahan Nilai.
Pengertian Value Added, menurut Alan Tait adalah sebagai berikut:
“Value Added is the value that a producer (whether a manufacturer,
distributor, advertising agent, hairdresser, farmer, race horse trainer or
circus owner) adds to his raw material or purchases (other than labor)
before selling the new or improved product or service. That is, the inputs
(the raw materials, transport, rent advertising and so on) are bought,
people are paid wages to work on these inputs and, when the final good
and service is sold, some profits is left. So value added can be looked at
from the additive side (wages plus profits) or from the subtractive side
(output minus inputs)” (Tait, 1998, h. 4).
Berdasarkan pengertian yang dipaparkan oleh Alan Tait diatas, maka value
added dapat dilihat dari dua sisi. Hal tersebut dapat dilihat dari formula di bawah
ini:
Dari pengertian di atas, maka pajak atas pertambahan nilai tersebut
dinamakan Value Added Tax.
Menurut Melville di dalam bukunya, Value Added Tax (VAT) dinyatakan
sebagai sebuah pajak tidak langsung yang dikenakan atas penyerahan atas
bermacam-macam barang dan jasa, dimana prinsip dasarnya adalah suatu pajak
yang harus dikenakan pada setiap proses produksi dan distribusi tetapi jumlah
pajak yang terutang dibebankan kepada konsumen akhir yang memakai produk
tersebut (Melville, 2001, 467).
Value Added = Wages + Profits = Output – Input
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
20
Universitas Indonesia
Smith dkk mendefinisikan Value Added Tax (VAT) sebagai berikut:
“The VAT is tax on the value added by a firm to its products in the course
of its operation. Value Added can be viewed either as the difference
between a firm’s, sales and its purchase during an accounting period
or as the sum of its wages, profits, rent, interest and other payments
not subject to the tax during that period (Rosdiana dan Tarigan, 2005,
215).”
Berdasarkan pengertian yang diutarakan oleh Smith, VAT dapat dilihat
sebagai selisih antara penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh sebuah
perusahaan dalam suatu periode akuntansi tertentu.
2.2.4 Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai
Legal character dari PPN secara umum dapat digambarkan sebagai
berikut, seperti yang dikemukakan oleh Rosdiana, Irianto, dan Putranti, yaitu:
1. General tax
PPN merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat umum (Rosdiana,
Irianto, & Putranti, 2011, 44). Pengertian secara umum ini untuk membedakan
PPN dengan pajak atas konsumsi secara khusus, yaitu cukai. PPN merupakan
pajak yang bersifat umum karena ditujukan untuk semua pengeluaran masyarakat
secara keseluruhan, tanpa membedakan pengeluaran tersebut berupa barang atau
jasa, yang terpenting pengeluaran tersebut adalah untuk konsumsi.
Dikutip oleh Rosdiana, Irianto, dan Putranti dalam buku Teori Pajak
Pertambahan Nilai, ditegaskan oleh Terra “a sales tax is a general tax on
consumption”, artinya bahwa PPN merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat
umum, yang dikenakan pada semua pengeluara privat. Sebagai konsekuensinya
maka tidak boleh ada diskriminasi. (Rosdiana, Irianto, & Putranti, 2011, 44)
2. Indirect tax
PPN merupakan salah satu pajak tidak langsung (indirect tax). Pajak tidak
langsung dapat diartikan sebagai pajak yang tidak dibebankan secara langsung
kepada satu pihak, tetapi dapat dialihkan kepada pihak lain. Peralihan pajak ini
dapat berbentuk forward shifting, yaitu peralihan pajak ke saluran distribusi,
selanjutnya sampai dengan konsumen yang menjadi sasaran akhir pajak. Peralihan
semacam inilah yang membedakan indirect tax dengan direct tax. Pajak tidak
langsung ditanggung oleh konsumen, tetapi yang memungut, menyetorkan, dan
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
21
Universitas Indonesia
melaporkan pajak yang terutang adalah Pengusaha Kena Pajak (Rosdiana dan
Tarigan, 2005, 69).
Pada pajak langsung akan berlangsung shifting backward, dimana pajak
akan ditanggung oleh produsen dan tidak akan mempengaruhi harga jual
konsumen. Tetapi pajak tidak langsung akan dilakukan shifting forward, dimana
pajak akan dialihkan pada konsumen.
3. On consumption
Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak atas konsumsi (tax on
consumption). Konsumsi yang dimaksudkan adalah pengeluaran yang dilakukan,
tanpa membedakan apakah konsumsi tersebut digunakan sekaligus maupun
digunakan secara bertahap. Dalam pengertian konsumsi, meliputi baik barang
berwujud maupun barang tidak berwujud serta jasa. Sebagai pajak atas konsumsi
maka PPN dikenakan terhadap penyerahan dalam negeri dan juga impor.
4. Non cummulative
PPN merupakan pajak yang tidak bersifat kumulatif karena dikenakan atas
nilai tambah. Hal ini menjadi kelebihan PPN dibandingkan dengan pajak
penjualan. Tidak bersifat kumulatifnya PPN dikarenakan adanya sistem
pengkreditan, sehingga pajak di mata rantai sebelumnya tidak dikalkulisasikan ke
dalam harga jual.
2.2.5 Yuridiksi Pemajakan
Dalam teori pajak atas lalu lintas barang dan jasa, terdapat dua prinsip
yang berkaitan dengan yuridiksi atau kewenangan pemungutan pajak, yaitu
prinsip asal tempat barang (origin principle) dan prinsip tujuan (destination
principle) (Rosdiana dan Tarigan, 2005, 148).
1. Prinsip asal tempat barang (origin principle)
Menurut Ben Terra, dalam prinsip asal tempat barang (origin principle),
negara yang berhak mengenakan pajak adalah negara dimana barang diproduksi
atau dimana barang tersebut berasal (Terra, 1988, 13
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
22
Universitas Indonesia
Prinsip origin principle juga dikemukakan oleh beberapa ahli perpajakan
yang lain antara lain Gillis berpendapat bahwa suatu Pajak Pertambahan Nilai
dikatakan menggunakan prinsip asal tempat barang (origin principle) bila Pajak
Pertambahan Nilai tersebut dikenakan atas seluruh barang-barang yang diproduksi
di dalam negeri, termasuk barang-barang yang selanjutnya diekspor, tetapi tidak
dikenakan atas seluruh barang-barang yang diproduksi di dalam negeri, termasuk
barang-barang yang selanjutnya diekspor, tetapi tidak dikenakan atas barang-
barang yang diproduksi di luar negeri yang diimpor dan dijual di dalam negeri.
“a VAT is said to use the origin principle when it taxes value that is added
domestically to all goods, including goods that are subsequently exported,
but does not tax value that has been added abroad and is embodied in
foods that are imported and sold domestically (Gillis, Shoup, & Sicat,
1990, 7).”
Selain itu Alan Tait menyatakan bahwa dalam prinsip asal tempat barang
(origin principle). Pajak Pertambahan Nilai dibebankan atas pertambahan nilai
(value added) yang dihasilkan dari kegiatan bisnis yang ada di dalam kewenangan
pemajakan (the taxing jurisdiction), tanpa memperhatikan dimana barang-barang
tersebut dikonsumsi. Pajak Pertambahan Nilai tidak dikenakan atas impor, tetapi
dikenakan atas ekspor.
“a VAT must include jurisdictional rules governing international
transactions. The Jurisdictional rules may be based on the origin or the
destination principle. Under the origin principle, tax is imposed on value
added from business activity within the taxing jurisdiction, regardless, of
where the goods are consumed. VAT is not imposed on imports, nor is it
rebated on exports (Tait, 1998, 223).”
2. Prinsip tujuan (destination principle)
Menurut Ben Terra, berdasarkan prinsip tujuan (destination principle),
negara yang berhak mengenakan pajak adalah negara dimana barang tersebut
dikonsumsi. Jika barang diimpor maka akan kena pajak, tetapi jika barang
diekspor maka tidak akan dikenakan pajak (Terra, 1988, 13).
Prinsip tujuan yang dikemukakan oleh Ben Terra di atas, sejalan dengan
pendapat beberapa ahli perpajakan antara lain Gillis menyatakan bahwa
berdasarkan prinsip tujuan, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan oleh negara
tempat konsumsi barang-barang.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
23
Universitas Indonesia
“It taxes all value added, at home and abroad, to all goods that as their
destination the consumers of that country (Gillis, Shoup, & Sicat, 1990,
7).”
Selain itu Alan Tait menyatakan bahwa seluruh sistem Pajak Pertambahan
Nilai saat ini didasarkan pada prinsip tujuan (destination principle), yaitu pada
garis perbatasan fiskal (fiscal frontiers) harus diyakinkan bahwa atas ekspor tidak
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai secara penuh, artinya tidak dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai dan tidak mengandung nilai Pajak Pertambahan Nilai yang
dibayar di dalam negeri, dan Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas impor.
“All present VAT Systems are based on the destination principle, where
fiscal frontiers must be maintaid to ensure that exports are fully rebated
for the VAT paid in the exporter’s domestic market and where the VAT
rates appropriate to the importer’s home market can be applied (Tait,
1998, 223).”
Selanjutnya Alan Schenk menyatakan bahwa berdasarkan prinsip tujuan,
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas barang-barang dan jasa yang dikonsumsi
di dalam Daerah Pabean (taxing jurisdiction), tanpa memperhatikan dimana
barang dan jasa tersebut dikonsumsi. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas
impor untuk konsumsi di dalam negeri dan tidak dikenakan atas ekspor untuk
dikonsumsi di negara lain.
“Under the destination principle, VAT is imposed on goods and services
consumed in the taxing jurisdiction, regardless of where they are
produces. VAT is imposed on imports for consumption in the United
States, and VAT is rebated on exports to be consumed elsewhere (Tait,
1998, 223).”
Berdasarkan prinsip ini negara yang berhak mengenakan PPN adalah
negara dimana barang dan/atau jasa tersebut dikonsumsi, termasuk atas barang
dan/atau jasa yang diproduksi di luar negeri yang diimpor dan dikonsumsi di
dalam negeri. Sebaliknya jika barang dan/atau jasa diekspor maka tidak akan
dikenai PPN. Hampir seluruh negara saat ini menggunakan destination principle
karena lebih netral untuk perdagangan internasional. Hal ini dilakukan dalam
rangka harmonisasi perpajakan demi terciptanya suatu iklim perdagangan
internasional yang fair dan netral (Rosdiana dan Tarigan, 2005, 7).
2.2.6 Tempat dan Waktu Terutangnya Pajak
Sebuah barang dianggap sebagai suatu penyerahan apabila barang tersebut
didistribusikan kepada customer, dimana barang tersebut berada di suatu lokasi
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
24
Universitas Indonesia
secara fisik (Tait, 1998, 371). Jika barang tersebut berada di luar negeri ketika
didistribusikan, maka penyerahan tersebut merupakan penyerahan di luar lingkup
PPN. Namun, apabila barang tersebut diimpor maka atas penyerahan tersebut
menjadi terhutang PPN atas impor. Apabila suatu barang dirakit, maka tempat
penyerahannya adalah tempat dimana perakitan tersebut dilakukan. Pada
dasarnya, menurut Dora Hancock, waktu terutangnya pajak atas penyerahan
barang (supply of goods) terbagi atas:
- Apabila suatu barang dipindahkan, maka terutangnya pada saat dipindahkan.
- Apabila sebuah barang tidak untuk dipindahkan, maka waktu terutangnya
adalah pada waktu barang tersebut dibuat agar tersedia untuk orang-orang,
yang nantinya barang tersebut akan diserahkan.
- Apabila suatu barang dipindahkan sebelum diketahui apakah penyerahan
akan berlangsung atau tidak, maka waktu terutangnya adalah ketika suatu
penyerahan sudah pasti berlangsung (Hancock, 1994, 296).
Menurut Alan Tait, terdapat dua pilihan dalam menentukan tempat
penyerahan jasa. Pertama adalah Negara tempat diterimanya jasa tersebut
(received) dan yang kedua adalah Negara tempat dibuatnya jasa tersebut
(performed) (Tait, 1998, 391). Berdasarkan kategori yang pertama, penyerahan
jasa yang terutang PPN hanyalah jasa yang diterima/dikonsumsi di dalam negeri.
Berdasarkan kategori yang kedua, PPN terutang di Negara tempat dibuatnya jasa
tersebut, tanpa melihat dimana jasa tersebut akan dikonsumsi.
2.2.7 Konsep Jasa
Jasa perdagangan termasuk dalam kategori produk jasa. Untuk
mempermudah membedakan produk nyata dengan jasa maka peneliti sajikan
empat karakteristik jasa:
a) Intagibility (tidak berwujud)
Jasa tidak berwujud, tidak dapat dilihat, dicicipi, dirasakan, dan didengar,
sebelum jasa tersebut dibeli.
b) Inseparability (tidak terpisahkan)
Jasa tidak dapat dilepas dari penyediaannya, baik itu orang atau mesin.
Suatu jasa tidak dapat diletakkan di rak dan dibeli oleh pembeli kapan
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
25
Universitas Indonesia
saja mereka butuh. Jasa memerlukan adanya penyedia jasa. Melakukan
pemasaran produk, membutuhkan perusahaan jasa perdagangan.
c) Variability (keragaman)
Jasa itu sangat beragam, karena tergantung pada siapa yang menyediakan
dan kapan serta dimana disediakannya.
d) Perishability (tidak dapat disimpan)
Jasa tidak dapat disimpan. Karena itu banyak dokter tetap menagih pasien
yang tidak muncul sebagaimana dijanjikan, sebab nilai jasa mudah rusak
bukanlah merupakan masalah, kalau permintaan itu bersifat teratur, karena
sangat mudah mengatur pelayanan sebelumnya. Apabila permintaan
mengalami fluktuasi, perusahaan jasa mengalami masalah yang sulit (
Kotler, 1996, 466).
Sejumlah pakar mendefinisikan jasa secara berbeda, sebagai berikut:
a) Menurut Kotler, jasa adalah setiap tindakan atau kegiatan yang dapat
ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain, pada dasarnya tidak
berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Produksi jasa
bisa berkaitan dengan produk fisik atau sebaliknya (Lupiyoadi dan
Hamdani, 2006).
b) Lovelock sebagaimana dikutip Tjiptono dan Chandra, memandang jasa
sebagai sebuah sistem. Setiap bisnis jasa dipandang sebagai sebuah sistem
yang terdiri atas dua komponen utama, sebagai berikut:
- Operasi jasa (service operation), dimana masukan (input) diproses
dan elemen-elemen produk jasa diciptakan.
- Penyampaian jasa (service delivery), dimana elemen-elemen produk
jasa tersebut dirakit, diselesaikan dan disampaikan kepada pelanggan.
Sebagian sistem ini terlihat (visible) oleh pelanggan (sering disebut
pula front office atau frontstage), sementara sebagian lainnya tidak
tampak atau bahkan tidak diketahui keberadaannya oleh pelanggan
(back office atau backstage) (Tjiptono dan Chandra, 2005).
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
26
Universitas Indonesia
2.2.8 Penyerahan Jasa
Penyerahan Jasa sebagai Objek yang dikenakan PPN (Supply of Service)
Hukum PPN jarang memisahkan definisi mengenai penyerahan. Penyerahan
terjadi apabila ada sebuah transaksi atau kegiatan yang bersangkutan dengan
taxable person, dimana pihak tersebut menerima pembayaran atas transaksi atau
kegiatan yang dilakukan tersebut. Hal tersebut menjelaskan konsep mengenai
PPN dalam arti luas. Sedangkan dalam arti sempit, setiap penyerahan yang
membatasi pengertian dari penyerahan atau jasa akan mengeluarkan aktivitas-
aktivitas ekonomi dari ruang lingkup PPN.
Objek yang dikenakan PPN tidak hanya atas barang saja, tetapi juga
mencakup atas jasa. Karena konsep dari taxable supplies sendiri sebenarnya
adalah penyerahan barang kena pajak yang dapat berupa barang berwujud dan
barang tidak berwujud serta barang bergerak dan barang tidak bergerak, juga
termasuk didalamnya atas penyerahan jasa. Jadi, berbagai penyerahan baik BKP
maupun JKP yang dipilih untuk dijadikan taxable supplies akan terkena Pajak
Pertambahan Nilai.
Pada dasarnya pengidentifikasian jasa merupakan hal yang sulit untuk
dilakukan bila dibandingkan dengan barang. Pengidentifikasian jasa biasanya
dilakukan dengan melihat hal yang tersisa (residual), tidak dengan individual
itemization. Hal ini berarti setiap penyerahan atau aturan yang mengatakan hal
tersebut adalah bukan penyerahan atas barang, maka secara otomatis penyerahan
tersebut adalah penyerahan atan jasa.
Masih menurut Williams, yang dimaksud dengan konsumsi atas jasa:
“A supply of service is often defined as any supply within the scope of
VAT that is not a suplly of goods or a supply of land. This definition,
when read with the definition of supply of goods means that any supply
is within the scope of the charge of VAT (Thuronyi, 1996, h. 188).
Penyerahan atas jasa sering didefinisikan sebagai setiap peyerahan dalam
ruang lingkup PPN yang bukan termasuk penyerahan atas barang atau penyerahan
atas tanah (Thuronyi, 1996, 25). Adapun hal-hal yang termasuk jasa antara lain:
1. Setiap penyerahan yang dianggap bukan barang
2. Peminjaman barang
3. Penyewaan barang
4. Persetujuan untuk tidak melakukan sesuatu
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
27
Universitas Indonesia
5. Pemberian hak (Tait, 1988, 387)
2.2.9 Pengusaha Kena Pajak
PPN dikenakan atas penyerahan barang dan jasa. Penyerahan tersebut
dilakukan oleh seseorang yang biasa disebut taxable person yang harus
mendaftarkan diri untuk keperluan PPN dan bertanggung jawab kepada otoritas
yang berwenang atas pajak yang telah dikumpulkannya. (Tait, 1988, 365).
Taxable person merupakan orang yang bertanggung jawab atas PPN, yang
bertanggung jawab atas PPN adalah mereka yang melaksanakan bisnis.
Menurut Victor Thuronyi, taxable person adalah seseorang yang berada di
dalam ruang lingkup PPN (Thuronyi, 1996, 25). Hukum PPN sebaiknya
memasukkan semua legal person yang diciptakan di bawah Undang-Undang
negara, berkaitan dengan aktivitas ekonomi dan hasil sejenis lainnya, seta semua
physical person. Hal ini berarti memungkinkan semua legal dan phsical person
berpotensi untuk menjadi taxable person.
Menurut pendapat Melville, mengartikan taxable person sebagai:
Formally, VAT is chargeable when supply or services are made in the UK
by a taxable person in the course of business. For VAT purpose, the term
“person can refer to an individual , a partnership or a company as well as
to any other body which is supplying goods or services in the course of
business. (Melville, 2001, 486)
Hukum PPN juga menganggap bahwa sebuah asosiasi ataupun partnership
sebagai taxable person yang terpisah dari individu dalam asosias atau partnership.
Tujuan ini sesuai dengan pengecualian individual dari ruang lingkup pajak yang
berkaitan dengan aktivitas noncommercial.
Foreign legal person biasanya tidak disebutkan secara khusus di dalam
Undang-Undang PPN. Bagaimanapun juga, diharapkan agar semua legal person
mendaftarkan diri untuk tujuan PPN, apabila melakukan aktivitas yang disebutkan
dalam Undang-Undang di suatu negara. Menurut Thuronyi, hal ini berarti
beberapa cabang ataupun Bentuk Usaha Tetap (permanent establishment) yang
berada dalam suatu negara diwajibkan untuk mendaftarkan diri. (Thuronyi, 1996,
13).
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
28
Universitas Indonesia
2.2.10 Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Menurut William dan Patrick seperti dikutip oleh Gunadi dalam
bukunya, Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau Permanent Establishment merupakan
ambang batas (threshold) atau kriteria yang memungkinkan suatu negara sumber
untuk memajaki penghasilan dari bisnis dan profesi transnasional (lintas
perbatasan). (Gunadi, 2007, 54)
Menurut Mardiasmo, Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan bentuk usaha
yang dipergunakan oleh orang pribadi luar negeri atau badan luar negeri untuk
melakukan kegiatan atau usaha di Indonesia. BUT juga diperjelas sehingga
meliputi pula pemberian jasa dalam bentuk apapun di Indonesia oleh pegawai atau
orang lain dari Subjek Pajak Luar Negeri yang dilakukan lebih dari 60 hari dalam
jangka waktu 12 bulan. (Mardiasmo,1997,69)
Dalam perpajakan dikenal empat jenis BUT yaitu BUT tipe Aset (asset
type), BUT tipe Aktivitas (activity type), BUT tipe Keagenan (agency type), dan
BUT tipe Asuransi (insurance type).
1. BUT Tipe Aset
BUT tipe fisik atau asset ditandai dengan adanya asset atau fasilitas fisik, yang
merupakan tempat pelaksanaan bisnis. Tempat usaha tersebut dapat
kepunyaan BUT itu sendiri, disewakan BUT dari pihak lain atau dengan cara
lain yang memungkinkan pemanfaatan tempat usaha tersebut.
Beberapa fasilitas yang termasuk BUT tipe asset adalah:
a. Tempat kedudukan manajemen (a place of management)
b. Suatu cabang perusahaan (a branch)
c. Suatu kantor (an office)
d. Suatu pabrik (a workshop)
e. Suatu gudang atau tempat penyimpanan barang sebagai tempat
penyimpanan barang sebagai tempat penjualan (a warehouse or
remises used as sales outlet)
f. Suatu tambang, sumur minyak dan gas, suatu tempat penggalian atau
eksplorasi sumber daya alam, rig untuk pengeboran atau kapal yang
dipergunakan untuk eksplorasi sumber daya alam. (a mine, an oil or
gas well, a quarry or any other placeof extraction or exploration or
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
29
Universitas Indonesia
exploitation of natural resources, drilling rig or working ship used for
exploration exploitation of natural resources.) (Hutagaol, 2000, 20)
2. BUT Tipe Aktivitas
BUT jenis aktivitas ditandai dengan adanya usaha yang dilakukan oleh
Subjek Pajak suatu negara domisili di suatu negara sumber dalam jangka
waktu tertentu. Apabila kegiatan usaha di negara sumber tersebut
melampaui suatu jangka waktu tertentu (time test), maka seluruh kegiatan
usaha tersebut dinyatakan sebagai BUT, walaupun tidak ada tempat tetap
yang dipakai untuk melakukan kegiatan usaha tersebut. BUT ini dapat
berupa bentuk proyek konstruksi, proyek instalasi, dan pemberian jasa
(furnishing of services). (Zakaria, 2005, 8)
Menurut John Hutagaol, BUT Tipe aktivitas merupakan:
1. Suatu bangunan suatu konstruksi, suatu proyek instalasi atau kegiatan
pengawasan yang ada hubungannya dengan proyek tersebut, tetapi
hanya apabila bangunan proyek atau kegiatan-kegiatan tersebut
berlangsung untuk masa lebih dari ketentuan jangka panjang tertentu.
2. Pemberian jasa termasuk jasa konsultan yang dilakukan oleh suatu
perusahaan melalui karyawannya atau orang lain yang dipekerjakan
oleh orang itu untuk tujuan tersebut, tetapi hanya apabila kegiatan-
kegiatan tersebut berlangsung (untuk proyek yang sama atau ada
kaitannya) di suatu negara dalam masa atau masa-masa yang
berjumlah dari ketentuan jangka waktu tertentu (time test). (Hutagaol,
2000, 21)
3. BUT Tipe Keagenan
Dalam tipe ini, BUT Berupa orang pribadi atau badan yang bertindak
sebagai agen dari perusahaan luar negeri yang kedudukannya tidak bebas
(dependent agent) (Zakaria, 2005, 8). Dengan kata lain, apabila di negara
sumber ada subjek pajak yang bertindak atas nama suatu perusahaan dari
negara tax treaty partner dan mempunyai kewenangan untuk mengikat
perusahaan dari negara treaty partner tersebut biasanya mempergunakan
kewenangan tersebut untuk mengadakan perjanjian atas nama perusahaan
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
30
Universitas Indonesia
itu, maka perusahaan tersebut dianggap mempunyai BUT berkenaan
dengan setiap kegiatan yang dilakukan oleh Subjek Pajak tersebut.
Aktivitas keagenan dapat dijalankan oleh Orang Pribadi dan badan.
Dengan keberadaan BUT, untuk tujuan administrasi perpajakan, orang
pribadi dan badan yang menjadi agen tersebut mempunyai dua identitas
(WPDN untuk dirinya sendiri dan WPLN untuk BUT). BUT keagenan
muncul pada saat adanya relasi keagenan dan selesai pada saat putusnya
relasi keagenan yang dimaksud.
4. BUT Tipe Asuransi
Dalam tipe ini BUT dapat berupa agen atau pegawai dari perusahaan
asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di suatu
Negara yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Negara
itu. (Zakaria, 2005, 8).
Dengan kata lain bahwa penentuan perusahaan asuransi manca negara
mempunyai BUT di Indonesia tidak hanya ditentukan oleh adanya tempat
usaha atau hubungan keagenan, tetapi juga ditentukan oleh adanya
penerimaan premi asuransi atau peutupan resiko di Indonesia melalui
pegawai atau agennya. Sehingga apabila perusahaan asuransi mancanegara
menerima premi asuransi dan menutup resiko di Indonesia melalui
pegawai atau agennya maka perusahaan tersebut mempunyai BUT di
Indonesia.
2.2.11 Ekspor
Menurut Purwito, secara umum dan sains, sebagaimana halnya dengan
pengertian impor-ekspor terkait dengan hal-hal:
1. Suatu barang yang diproduksi dan secara fisik diangkut dan dijual di luar
daerah pabean;
2. Suatu jasa yang disediakan bagi orang asing baik dalam maupun luar
negeri;
3. Modal yang ditempatkan di luar daerah pabean untuk investasi portofolio
atau investasi langsung dalam bentuk asset fisik dan deposito (Purwito,
2008, h. 45-46).
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
31
Universitas Indonesia
Kegiatan ekspor dibeberapa negara mendapatkan fasilitas yang bertujuan
untuk mendapatkan devisa/memperkuat cadangan devisa atau meningkatkan daya
saing produk dalam negeri di pasar internasional (Purwito, 2008, h. 176).
Dipastikan bahwa sekarang ini kinerja ekspor Indonesia dan prospeknya ke depan
mendapat lebih banyak perhatian, baik dari masyarakat umum maupun
pemerintah, karena kegiatan ekspor ini merupakan suatu potensi yang dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, menciptakan lapangan kerja
baru, serta menambah penerimaan negara melalui sektor pajak.
2.2.12 Prinsip Kepastian dalam Pemungutan Pajak
Adam Smith melalui kaidah four maxim-nya menjelaskan asas kepastian
hukum (certainty) sebagai berikut:
“The tax which individual is bound to pay ough to be certain and not
arbitrary. The time of payment, the quantity to be paid ought all to be
clear and plain to contributor, and to every other person”. (Nurmantu,
2003, 82)
Pajak yang dibayar seseorang harus terang (certain) dan tidak mengenal
kompromi (not arbitrary). Asas kepastian antara lain mencakup kepastian
mengenai siapa-siapa yang harus dikenakan pajak, apa-apa saja yang dijadikan
sebagai objek pajak, serta besarnya jumlah pajak yang harus dibayar dan
bagaimana jumlah pajak yang terutang itu harus dibayar (Rosdiana, 2005, 134).
Soemitro menyebutkan bahwa untuk memberikan kepastian hukum maka perlu
dioerhatikan beberapa faktor antara lain (Soemitro, 1988, 7):
1. Materi Pajak
2. Subjek yang tersangkut
3. Tempat
4. Waktu
5. Pendefinisian
6. Penyempitan atau perluasan
7. Ruang lingkup
8. Penggunaan bahasa hukum
9. Penggunaan istilah yang bak
10. Syarat-syarat lain
Kepastian hukum dalam pemungutan pajak mencakup kepastian hukum
pajak material dan hukum pajak formal.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
32
Universitas Indonesia
1. Kepastian hukum pajak material adalah suatu kepastian hukum yang
meliputi kepastian subjek pajak, objek pajak, dan kepastian tarif pajak.
2. Kepastian hukum pajak formal meliputi kepastian hukum dalam hal
prosedur untuk mewujudkan hukum pajak material (Soemitro, 1988, 7)
Rochmat Soemitro, sebagaimana dikutip Rahayu, memberikan pengertian
tentang kepastian hukum bahwa ketentuan undang-undang tidak boleh
memberikan keragu-raguan. Harus dapat diterapkan secara konsekuen untuk
keadaan yang sama secara terus menerus. Undang-undang harus disusun
sedemikian rupa sehingga tidak memberikan peluang kepada siapapun untuk
memberikan interpretasi yang lain daripada yang dikehendaki oleh pembuat
undang-undang. Dimana untuk memberikan kepastian hukum perlu diperhatikan
beberapa faktor:
1. Materi, subjek, objek
Subjek, materi, dan obyek yang tersangkut diuraikan secara jelas dan tegas
dengan menyebutkan kualifikasinya, sifat, tempat, ciri-ciri, dan waktu.
Sehingga tidak menimbulkan keragu-raguan dan tidak memberikan
kesempatan kepada pihak manapun untuk memberikan interpretasi lain.
Penggunaan bahasa dan cara menguraikan mempunyai pengaruh yangs sangat
besar terhadap kejelasandan kepastian juga penggunaan istilah yang sudah
bakumempertinggikejelasan dan kepastian hukum
2. Pendefenisian
Pendefenisian sesuatu dapat dilakukan secara jelas bila didalamnya dapat
tercakup unsur-unsur dan ciri-ciri dari hal yang didefinisikan. Sistematika
pendefinisian mempunyai peranan yang sangat penting. Ada pendefinisian
secara luas dan ada pendefinisan secara sempit. Keduanya mempunyai
konsekuensi sendiri-sendiri. Pendefinisian secara sempit, lebih memperhatikan
kepastian hukum karena pendefinisian secara sempit menggunakan cara yang
limitif, hanya yang disebut saja yang termasuk dalam ruang lingkup peraturan
perundang-undangan. Yang tidak disebut secara positif, tidak tercakup dalam
undang-undang.
3. Penyempitan atau Perluasan
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
33
Universitas Indonesia
Pemyempitan dan perluasan materi yang menjadi sasaran pajak harus
dlakukan dalam undang-undangnya sendiri. Hal itu untuk kepentingan
kepastian hukum. Penyempitan atau perluasan materi sama sekali tidak
dibenarkan jika dilakukandengan peraturan yang lebih rendah dari undnag-
undang atau memori penjelasan.
4. Ruang Lingkup
Daya mengikat dari suatu ketentuan undang-undang tidak saja ditentukanoleh
materinya, tetapi juga oleh tempat dan waktu. Ruang lingkup berlakunya
undang-undang jelas dibatasi oleh obyek, subyek, dan wilayah.
5. Penggunaan Bahasa Hukum, dan Istilah yang Baku
Kepastian hukum sangat ditentukan oleh penggunaan bahasa hukum dan
penggunaan istilah yang dibakukan. Bahasa hukum adalah bahasa Indonesia.
Bahasa hukum adalah bahasa yang lazimnya digunakan oleh para ahli hukum
atau orang-orang yang mempunyai profesi di bidang hukum seperti hakim,
jaksa, pengacara.
Istilah-isitilah sebaiknya digunakan secara konsekuen dan pasti. Untuk
suatu pengertian supaya digunakan satu istilah yang sama karena penggunaan
istilah yang berlainan dan tidak konsekuen, menimbulkan ketidakpastian hukum.
(Rahayu, 2010, 68-69)
Fritz Neumark, dalam pemungutan pajak yang keempat yaitu prinsip ease
of administration and compliance prinsip kepastian hukum dalam pajak
dijelaskan, Fritz Neumark mengemukakan bahwa sistem perpajakan yang baik
haruslah mudah dalam administrasinya dan mudah pula untuk mematuhinya.
Prinsip ease of administration and compliance ini terinci dalam 4 persyaratan
yang salah satunya adalah The Requirement of Clarity yang berarti:
“Dalam sistem perpajakan, baik dalam Undang-Undang perpajakan
maupun peraturan pelaksanaannya, khususnya dalam proses pemungutan
maka ketentuan-ketentuan pajak haruslah dapat dipahami
(comprehensible), tidak boleh menimbulkan keragu-raguan atau
penafsiran yang berbeda, tetapi harus menimbulkan kejelasan (must be
unambiguous and certain) baik untuk Wajib Pajak maupun fiskus.”
(Nurmantu, 2005, 94)
Kepastian hukum banyak bergantung kepada susunan kalimat, susunan
kata, dan penggunaan istilah yang dibakukan. Untuk mencapai tujuan tersebut
penggunaaan bahasa hukum secara tepat sangat diperlukan (Soemitro, 1990, 22)
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
34
Universitas Indonesia
Dalam pemberian definisi harus dijaga supaya tidak terjadi kekosongan
atau loopholes yang masih dapat diselundupi. Harus diperhatikan juga, jangan
memberi definisi yang terlalu luas, melainkan seberapa boleh diberikan definisi
yang sempit dan tepat. Sistem memperluas dan mempersempit definisi harus
diberikan dalam undang-undang yang mudah dimengerti. Uraian yang limitatif
lebih diutamakan daripada uraian yang enunsiatif. Kata-kata seperti, antara lain,
diantaranya, bila digunakan dalam teks undang-undang akan menambah
ketidakpastian hukum. Bila mengenai sesuatu yang perlu diberikan penafsiran,
hal ini sebaiknya dilakukan secara otentik, artinya penafsiran itu dilakukan oleh
pembuat undang-undang sendiri di dalam undang-undang yang bersangkutan,
yaitu dalam pasal 1 yang memuat arti dan istilah-istilah secara umum, atau
diberikan dalam pasal-pasal khusus yang bersangkutan. Penjelasan yang diberikan
dalam memori penjelasan, tidak mengikat sebab penjelasan bukan merupakan
ketentuan undang-undang sehingga masih dapat dipersoalkan di pengadilan.
(Soemitro, 1990, 22)
2.3 Kerangka Pemikiran
Berkaitan dengan penelitian ini, penulis berusaha untuk menganalisa
kebijakan perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa perdagangan CPO pada PT
ABC, dengan diawali dari apa saja bentuk transaksi-transaksi perdagangan CPO
yang kemudian dikaitkan dengan jasa perdagangan pada SE-145/PJ/2010 dan lalu
berlanjut ke analisis terhadap undang-undang perpajakan dan juga penerapan
konsep Pajak Pertambahan Nilai untuk masing-masing transaksi. Untuk
mempermudah penjabaran atas permasalahan perlakuan Pajak Pertambahan Nilai
atas jasa perdagangan dengan memperhatikan teori-teori PPN yang dijelaskan
sebelumnya, penulis membuat bagan kerangka pemikiran, sebagai berikut:
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
35
Universitas Indonesia
Gambar 2.2
Kerangka Pemikiran
Sumber : diolah oleh peneliti
PT XYZ
Broker Lokal
(Representative)
PT BBJ PT ABC
Pembeli Luar
Negeri
Ditinjau berdasarkan
prinsip kepastian :
Termasuk jasa
perdagangan
Termasuk
penyerahan BKP
di dalam daerah
pabean (juru
Termasuk
ekspor BKP
Alternatif Kebijakan
Jasa Perdagangan
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
36
Universitas Indonesia
BAB 3
METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah penjelasan secara teknis mengenai metode-
metode yang digunakan dalam suatu penelitian (Muhadjr, 1992, 2). Dengan kata
lain, pada metode penelitian akan membahas mengenai Pendekatan Penelitian,
Jenis atau Tipe penelitian, Metode dan Strategi penelitian, Narasumber atau
Informan, Proses Penelitian, Penentuan Site Penelitian, dan Keterbatasan
Penelitian.
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan mengenai “Evaluasi Kebijakan Pajak
Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan Crude Palm Oil (CPO) (Studi Kasus
PT. ABC)” menggunakan pendekatan kualitatif. Hal ini berdasarkan pada
pengertian pendekatan kualitatif dari Creswell:
“Research that is guided by the qualitative paradigm is defined as: “an
inquiry process of understanding a social or human problem based on
building a complex, holistic picture, formed with words, reporting detailed
views of informants, and conducted in a natural setting”. (Cresswell,
1994, 2)
Arti Pendekatan Kualitatif dari pengertian tersebut adalah suatu proses
penelitian untuk memahami masalah-masalah manusia atau sosial dengan
menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks yang disajikan dengan kata-
kata, melaporkan pandangan terinci yang diperoleh dari para sumber informasi,
serta dilakukan dalam latar (setting) yang alamiah. Pada buku yang berbeda,
Creswell menambahkan bahwa penelitian kualitatif dimulai dengan asumsi,
fenomena dunia, kemungkinan penggunaan dari lensa teoritis, dan penelitian studi
masalah dari individual atau sekelompok yang berhubungan dengan masalah
sosial atau manusia (Creswell, 2007, 37).
Penelitian yang dilakukan peneliti menggunakan pendekatan kualitatif
untuk memahami fenomena mengenai transaksi-transaksi jasa perdagangan pada
perdagangan CPO yang dilakukan oleh PT. ABC. Data yang dikumpulkan
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
37
Universitas Indonesia
didapatkan dari beberapa sumber yang mendukung, penelitian dilakukan dalam
seting yang natural, dan peneliti sebagai instrumen utama dalam menganalisis
data. Sebagaimana tujuan penelitian, yakni untuk menjelaskan bagaimana
kebijakan transaksi-transaksi jasa perdagangan dalam perdagangan CPO PT. ABC
dilihat dari dasar pelaksanaannya, prosesnya serta meninjaunya dari segi Pajak
Pertambahan Nilai.
3.2 Jenis Penelitian
Jenis penelitian dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang, yakni
berdasarkan tujuan, dimensi waktu, serta manfaat. Penentuan jenis penelitian
membantu mengidentifikasi bagaimana penelitian dilakukan. Oleh karena itu,
peneliti menetukan jenis penelitian berdasarkan tujuan, dimensi waktu, dan
manfaat penelitian.
3.2.1 Jenis Penelitian Berdasarkan Tujuan
Jenis penelitan dapat diketahui dengan melihat tujuan dari penelitian tersebut.
Terdapat tiga tujuan yang paling umum dari penelitian sosial, yaitu exploration,
description, dan explanation (Babbie, 2004, 87). Dalam hal ini penulis bertujuan
untuk menggambarkan transaksi-transaksi yang terjadi dalam perdagangan CPO milik
PT XYZ terkait dengan jasa perdagangan dan meninjaunya berdasarkan prinsip
kepastian. Maka tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian deskripstif
(descriptive). Earl Babbie mengatakan bahwa dalam penelitian deskriptif:
“A major purpose of many social scientific studies is to describe situations
and events. The researcher observes and the describes what was observed
(Babbie, 2004, h. 88).”
3.2.2 Jenis Penelitian Berdasarkan Dimensi Waktu
Jenis penelitian jika dipandang dari aspek dimensi waktu, penelitian yang
dilakukan termasuk dalam kategori cross sectional studies. Cross sectional studies
merupakan penelitian yang dilakukan pada satu waktu tertentu dan hanya
mengambil satu bagian dari fenomena sosial pada satu waktu tertentu tersebut
(Creswell, 1994, 45). Penelitian ini menggunakan jenis penelitian cross sectional
studies, karena peneliti hanya meneliti transaksi-transaksi yang terkait dengan jasa
perdagangan CPO PT ABC pada tahun 2012 dan tidak akan melakukan penelitian
lain di waktu yang berbeda untuk diperbandingkan.
3.2.3 Jenis Penelitian Berdasarkan Manfaat
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
38
Universitas Indonesia
Jenis penelitian berdasarkan manfaat terbagi menjadi 2, yakni penelitian
murni dan penelitian terapan. Penelitian ini apabila dilihat berdasarkan manfaat,
termasuk dalam penelitian murni karena berorientasi pada ilmu pengetahuan dan
akademis. Penelitian hanya akan dilakukan untuk kepuasan dan tujuan akademis,
yakni sebagai salah satu syarat mencapai gelar sarjana administrasi. Selain itu,
penelitian ini tidak terikat dengan tuntutan pihak manapun sebagai pemberi
sponsor.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data bertujuan untuk mengumpulkan data atau
informasi yang dapat menjelaskan permasalahan suatu penelitian secara obyektif.
Data kualitatif terbagi menjadi tiga bentuk yaitu wawancara (Interview),
pengamatan (Observation), dan dokumen (Documents). Dalam penelitian ini,
penulis menggunakan teknik-teknik pengumpulan data sebagai berikut:
3.3.1 Studi Literatur
Dalam bukunya, Cresswell menjelaskan tentang tiga macam penggunaan
literature dalam penelitian kualitatif yaitu:
- The Literature is used to “frame” the problem in the introduction to the
study, or
- The literature is presented in separate section as a “review of the
literature”, or
- The literature is presented in the study at the end, it becomes asa a basis
for comparing and contrasting findings of the qualitative study (Creswell,
1994, 10).
Studi literatur yaitu membaca literatur-literatur yang berhubungan dengan
pokok permasalahan penelitian, diantaranya melalui buku-bukiu bacaan, Undang-
undang, koran, artikel, majalah, dan penelusuran di internet guna mendapatkan
data sekunder.
3.3.2 Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka
antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau
tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan
informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama (Bungin, 2007, 108).
Pencatatan sumber data utama melalui wawancara atau pengamatan berperan serta
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
39
Universitas Indonesia
merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar dan bertanya.
Wawancara mendalam dilakukan peneliti beberapa informan.
3.4 Teknik Analisis Data
Penganalisisan data merupakan suatu proses lanjutan dari proses
pengolahan data untuk melihat bagaimana menginterprestasikan data, kemudian
menganalisa data hasil yang sudah ada pada tahap hasil pengolahan data. Teknik
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif.
Bogdan dan Biklen, sebagaimana dikutip oleh Moleong, menyatakan bahwa
analisis data kualitatif adalah:
“upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya dalam satuan yang dapat
dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan
apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat
diceritakan kepada orang lain (Moleong, 2004, 248).”
Sesuai dengan kegiatan tersebut, maka secara garis besar analisis data
yang dilakukan dalam penelitian ini melalui tahapan sebagai berikut:
1. Tahap reduksi data, peneliti melakukan reduksi data dengan memilih
data dan info mengenai kegiatan perdagangan CPO PT ABC terkait
dengan jasa perdagangan. Data yang direduksi memberikan gambaran
hasil penelitian secara lebih lengkap, sehingga memudahkan peneliti.
2. Display data, dengan menyajikan data dalam bentuk gambar/ tabel. Hal
ini untuk memudahkan membaca data informasi yang diperoleh dari
penelitian.
3. Pengambilan keputusan dan verifikasi, langkah ini dilakukan untuk
pengambilan keputusan atas data-data penelitian yang telah direduksi
sehingga didapatkan kesimpulan yang tepat.
Dengan demikian, tidak semua temuan yang diperoleh di lapangan dan
literatur, yang secara makro berhubungan dengan tema penelitian, digambarkan
dalam hasil penelitian ini. Hanya data, gambaran, maupun analisis yang menurut
peneliti penting untuk digambarkan dalam hasil penelitian ini. Peneliti pun turut
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
40
Universitas Indonesia
mempertimbangkan mengenai kebaruan, reliability, dan ketersediaan informasi
serta ketertarikan pribadi untuk membahas lebih mendalam akan temuan yang
diperoleh.
3.5 Narasumber
Penentuan narasumber dalam penelitian kualitatif harus dilakukan secara
selektif agar mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.
Kesalahan penentuan narasumber dapat berakibat pada kesalahan dalam
menganalisis data. Oleh karena itu dalam menetukan narasumber, peneliti
menetapkan kriteria sesuai dengan kriteria informan yang disebutkan oleh
Neuman yaitu:
1. The Informan is totally familiar with the culture and is positions to witness
significant events makes a good informant, yaitu seseorang yang
mengetahui dengan baik budaya daerahnya dan menyaksikan kejadian-
kejadian di tempatnya.
2. The individual is currently involved in the field, yaitu terlibat secara
mendalam dengan kegiatan yang ada di tempat penelitian.
3. The person can spend time with the research, yaitu seseorang yang dapat
meluangkan waktu bersama peneliti.
4. Non analytical individuals makes better informan, yaitu seseorang yang
tidak analitis namun mengetahui dengan baik situasi daerahnya.
(Neuman, 2003, 394-395).
Berdasarkan hal diatas, maka wawancara dilakukan kepada pihak-pihak
yang terkait dengan permasalahan penelitian, diantaranya adalah:
1) Hariyanto, sebagai Staf Pelaksana Subdit Peraturan PPN Perdagangan,
Jasa dan Pajak Tidak Langsung Lainnya, Direktorat Peraturan Perpajakan
I, Direktorat Jenderal Pajak. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan
keterangan mengenai latar belakang diterbitkannya SE-145/PJ/2010.
2) Purwitohadi, sebagai Kepala Sub Bidang PPN dan PPnBM, Badan
Kebijakan Fiskal, Kementrian Keuangan. Hasil wawancara bertujuan
untuk mengetahui apakah diperlukan alternatif kebijakan untuk jasa
perdagangan CPO.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
41
Universitas Indonesia
3) Untung Sukardji, S.H, M.Sc sebagai ahli perpajakan dari kalangan
akademisi, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Wawancara
bertujuan untuk mendapatkan pendapat mengenai jasa perdagangan CPO
yang dilakukan oleh PT ABC jika dikaitkan dengan konsep PPN.
4) Anang Mury Kurniawan, SST., Ak., M.Si. sebagai ahli perpajakan dari
kalangan akademisi, Pusdiklat Pajak, Badan Pendidikan dan Pelatihan
Keuangan. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan keterangan
mengenai praktek jasa perdagangan di lapangan.
5) Tunas Hariyulianto, S.E., M.Si sebagai ahli perpajakan dari kalangan
akademisi, Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia. Hasil
wawancara bertujuan untuk mengetahui apakah kegiatan perdagangan
CPO PT ABC jika ditinjau dari konsep PPN dan prinsip kepastian.
3.6 Proses Penelitian
Peneliti tertarik untuk meneliti mengenai “Evaluasi Kebijakan Pajak
Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan Crude Palm Oil (CPO) (Studi Kasus PT
ABC)” diawali dengan adanya keterangan dari pihak terkait bahwa perdagangan
CPO yang dilakukan PT XYZ ternyata tidak langsung kepada pembeli CPO,
melainkan harus melalui badan yang dibuat oleh PT XYZ yaitu PT ABC, dan
kemudian untuk tujuan ekspor harus melalui suatu badan lagi yang merupakan
representative konsumen luar negeri. Namun sejak 2009, CPO milik PT XYZ
tidak harus melalui PT ABC lagi, tetapi bisa juga dijual melalui PT BBJ. Dari
seluruh transaksi-transaksi perdagangan tersebut maka peneliti
menghubungkannya dengan pengertian jasa perdagangan yang selama ini hanya
ada di SE-145/PJ/2010. Penulis mengumpulkan literatur yang menjadi bahan
acuan dalam penelitian ini. Literatur tersebut antara lain, buku teks, majalah,
jurnal, dan lain-lain.
Pengumpulan data yang dilakukan pada tahap sebelumnya kemudian
dilanjutkan dengan tahap analisis oleh peneliti. Analisis tersebut dilakukan
peneliti berdasarkan interpretasi dari hasil wawancara dengan para informan dan
kemudian dirangkum secara umum dan setelah itu didapatkan suatu dasar
pemikiran, kemudian hal tersebut dianalisis.
3.7 Site Penelitian
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
42
Universitas Indonesia
Site penelitian dalam penelitian ini adalah yang orang memiliki otoritas
perpajakan yang dalam hal ini adalah Direktorat Jendral Pajak. Penelitian ini
dilakukan pada lingkungan praktisi perpajakan dan akademisi yang mengerti
dengan baik akan permasalahan mengenai perlakuan perpajakan atas jasa
perdagangan tersebut.
3.8 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam mendapatkan keterangan
langsung dari PT XYZ dan PT ABC secara langsung tentang transaksi-transaksi
yang terjadi dan perlakuan perpajakannya,. Namun peneliti berhasil mendapatkan
keterangan langsung dari pihak yang menangani perpajakan PT XYZ, sehingga
dari keterangan itu peneliti mengkaji lebih dalam dengan didukung sumber-
sumber literatur sehingga kemudian dapat dianalisis.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
43
Universitas Indonesia
BAB 4
GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN CPO DAN PERLAKUAN PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI ATAS JASA PERDAGANGAN
4.1 Penjualan CPO PT XYZ melalui PT ABC
Syarat-syarat penyerahan CPO dari produsen kepada industri dilaksanakan
berdasarkan SK Dirjen Perdagangan Dalam Negeri yang pada pokoknya mengatur
harga dan cara penyerahan CPO dari produsen kepada industri pengolah menurut
lokasi industri masing-masing. CPO yang diperdagangkan berasal dari dua
sumber, yaitu PT XYZ dan PT Swasta. Sesuai dengan kesepakatan diantara PT
XYZ, pemasaran CPO yang berasal dari PT XYZ harus melalui PT ABC, baik
untuk konsumen dalam negeri maupun luar negeri (Pahan, 2011, 38).
Gambar 4.1
Saluran Pemasaran CPO Indonesia menurut
SKB 3 Menteri Nomor 275/KPB/XII/78
Sumber : (Pahan, 2011, 39) (diolah peneliti)
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
44
Universitas Indonesia
Untuk kebutuhan dalam negeri, PT ABC bisa langsung menjual ke industri
pengolahan melalui jatah alokasi yang ditetapkan. Untuk konsumen luar negeri,
pemasarannya melalui broker lokal yang selanjutnya berhubungan dengan badan
pemasaran di luar negeri, seperti Indoham yang menangani pemasaran di
Hamburg dan New York. Pada periode selanjutnya, penjualan CPO tidak lagi
melalui Indoham, tetapi dapat langsung berhubungan dengan importir di luar
negeri. Sementara, CPO dari PT Swasta, pemasaran untuk konsumen dalam
negeri tetap harus melalui PT ABC, sedangkan untuk luar negeri dapat langsung
berhubungan dengan importir atau agen luar negeri. (Pahan, 2011, 38)
Kilas balik praktik perdagangan CPO di Indonesia terjadi pada tahun
1991, dimana pemerintah melakukan deregulasi dengan Pakjun 1991 (3 Juni
1991) yang menghapus berbagai SKB 3 menteri sebelumnya. Pada intinya, Pakjun
1991 melonggarkan semua ketentuan tataniaga yang ada untuk memacu ekspor
dan mendorong investasi minyak goreng di dalam negeri. Berdasarkan Pakjun
1991, peluang bagi pengusaha perkebunan untuk melakukan ekspor CPO semakin
terbuka. Melalui deregulasi tersebut, harga perdagangan CPO dalam negeri tidak
ditetapkan oleh Pemerintah dan perdagangan CPO PT Swasta tidak melalui
mekanisme PT ABC lagi. (Pahan, 2011, 39)
Sehingga sejak saat itu pemasaran CPO dari PT XYZ tetap dilakukan
secara bersama melalui PT ABC, sedangkan untuk PT Swasta kebijakan
pemasaran CPO-nya dilakukan oleh masing-masing perusahaan. PT ABC sebagai
anak perusahaan dari PT XYZ bertugas memasarkan CPO melalui tender,
auction, dan negosiasi dengan mengacu harga pasar yang dimonitor dari London,
Rotterdam, Kuala Lumpur, Singapura, Tokyo, New York dan lain-lain.
Berikut diuraikan hak dan kewajiban dari pelaku langsung transaksi CPO
melalui kelembagaan PT ABC yakni meliputi hak dan kewajiban PT XYZ, PT ABC
dan pembeli atau processor. Hak dan kewajiban PT XYZ meliputi hal-hal sebagai
berikut:
1. Menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit dari perkebunan yang ada
yang nantinya diolah menjadi minyak kelapa sawit.
2. Menghasilkan minyak sawit dalam bentuk CPO dan sisanya dalam bentuk Crude
Stearin, RBD Olein, Palm Kernel Oil, Palm Kernel Fatty Acid, dll.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
45
Universitas Indonesia
3. Menghasilkan CPO yang sesuai dengan kualitas yang terstandar. (Games JS,
2010, 55-56)
Sementara itu sesuai dengan pokok kebijakan dan strategi pemasaran PT
XYZ, hak dan kewajiban PT ABC sebagai organisasi pemasaran CPO produksi
OT XYZ adalah sebagai berikut:
1. Melaksanakan kebijakan pemasaran.
2. Melaksanakan tender atau memasarkan CPO produksi PT XYZ.
3. Mengelola seluruh persediaan produksi siap jual.
4. Mengumpulkan informasi, menganalisa dan melakukan pengembangan pasar.
5. Melakukan transaksi penjualan baik langsung maupun melalui kerjasama
dengan perwakilan PT ABC di luar negeri.
6. Menyelesaikan dan melaksanakan pembayaran klaim.
7. Sebagai unit market intelligence, menyampaikan informasi beserta analisa
pasar, dan melakukan riset pasar bagi PT XYZ.
8. Mengembangkan database pemasaran dan sistem jaringan komputer untuk
menyebarluaskan informasi pasar yang diperlukan PT XYZ.
9. Mengkaji dan mengevaluasi antara lain:
- Data produksi dan konsumsi komoditas perkebunan dan saingannya di dalam
maupun luar negeri.
- Informasi harga dalam dan luar negeri serta situasi perkembangan pasar.
10. Mengadakan promosi dalam bentuk pameran atau mengikuti misi dagang
didalam dan di luar negeri baik atas nama PT XYZ maupun atas permintaan
PT XYZ tertentu.
11. Sebagai unit pelayanan, melaksanakan pengapalan komoditi, pergudangan,
dan penyelesaian dokumen-dokumen yang menyangkut pengapalan,
perbankan, dan lain-lain.
12. Mengadakan pelayanan dan sarana teknis (jadwal tender, tempat pelaksanaan
tender, syarat-syarat peserta tender, dll)
13. Melakukan hal-hal dan tugas-tugas lain yang ditetapkan oleh BMD-PT XYZ
untuk menunjang aktivitas dan pengembangan pemasaran yang dilakukan oleh
PT XYZ. (Games JS, 2010, 56-57)
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
46
Universitas Indonesia
Pembeli yang terdaftar sebagai peserta tender baik perusahaan atau utusan
langsung dari perusahaan memiliki hak dan kewajiban sebagai berikut:
1. Hadir pada acara tender
2. Mengajukan harga penawaran pembelian CPO yang diminati.
3. Berhak mendapatkan CPO bagi pembeli yang mengajukan harga penawaran
tertinggi dan berada di atas “Price Idea” yang ditetapkan PT ABC. Bila ada
pembeli yang menetapkan harga penawaran tertinggi yang sama dan di atas
“Price Idea” maka CPO yang terjual dibagi antar pembeli sama rata.
4. Membayar uang pembelian CPO dengan transfer melalui bank ke rekening
yang bersangkutan setelah terjadi kesepakatan. (Games JS, 2010, 57)
Sebelum terdaftar sebagai peserta tender CPO di PT ABC setiap processor
yang ingin membeli CPO produksi PT XYZ ini harus memenuhi persyaratan
tertentu seperti yang ditampilkan dalam tabel berikut ini.
Gambar 4.2
Persyaratan Peserta Tender CPO Lokal dan Ekspor di PT ABC
Sumber: (Games JS, 2010, 58)
Pelaksanaan tender dihadiri oleh panitia tender (pihak PT ABC) yang
terdiri dari Kepala Bagian Penjualan Sawit, Kepala Bagian Analisa dan Informasi
Pasar (AIP), Kepala Urusan Penjualan Sawit, Kepala Urusan Pengapalan Sawit,
Kepala Urusan Analisa Sawit serta para peserta tender (processor).
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
47
Universitas Indonesia
Berikut akan dijelaskan tata cara atau prosedur tender CPO lokal.
1. Volume yang akan ditender disusun berdasarkan kondisi penyerahan CIF atau
FOB (FOB Pelabuhan Muat)/Franco pabrik pembeli/penjual dengan mutu
sesuai standar mutu yang berlaku serta bulan penyerahan/pengapalannya
ditetapkan di dalam formulir tender.
2. Pembeli peserta tender menyampaikan penawaran melalui fax/surat yang
dimasukkan kedalam kotak yang telah disediakan di PT ABC selambat-
lambatnya pada jam 14.00 atau 15.00 WIB (sesuai undangan) pada hari dan
tanggal tender (penawaran melalui fax ditangani oleh petugas khusus).
3. Harga penawaran diajukan dalam Rp/Kg termasuk PPN (dalam bulatan
Rupiah).
4. Pembeli peserta tender menyampaikan harga penawaran dengan jumlah per lot
sesuai yang ditawarkan dan berdasarkan kondisi penyerahan.
5. Penawaran dengan harga tertinggi yang mencapai atau melebihi price idea
dinyatakan sebagai pemenang tender.
6. Bila terdapat dua pembeli atau lebih dengan harga penawaran yang sama
untuk volume dan lot serta kondisi penyerahan yang sama, maka volume
tersebut dibagi secara proporsional.
5. Bila harga penawaran dari peserta tender tidak mencapai price idea, maka
ditawarkan kembali kepada penawar tertinggi pertama, apabila penawar
tertinggi pertama tidak bersedia atau tidak hadir, maka ditawarkan kepada
penawar tertinggi kedua. Apabila penawar tertinggi kedua juga tidak bersedia
atau tidak hadir, maka barang ditawarkan kepada peserta tender lainnya pada
saat pelaksanaan tender, dan apabila peserta tender lainnya tidak bersedia
maka barang ditarik dari tender (withdrawn). (Games JS, 2010, 70-72)
Sedangkan tata cara atau prosedur tender CPO ekspor adalah sebagai berikut.
1. Bagian Jasa Penjualan Minyak Sawit menawarkan minyak sawit kepada Calon
Pembeli.
2. Calon Pembeli menerima penawaran dan mengirimkan tawaran melalui
faksimili atau dimasukkan ke dalam kotak tertutup.
3. Panitia Tender CPO Ekspor membuka penawaran, penawaran sesuai dengan
price idea atau harga tertinggi yang terjadi.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
48
Universitas Indonesia
4. Panitia Tender CPO Ekspor melakukan counter kepada Calon Pembeli
tertinggi.
5. Calon Pembeli revisi tawaran sesuai price idea atau harga tertinggi yang
terjadi.
6. Apabila pembeli tidak bersedia maka CPO ditarik dari tender. Panitia Tender
CPO Ekspor Withdrawn. (Games JS, 2010, 72-73)
Sistem pembayaran transfer melalui bank berlangsung tergantung pada
tingkat kepercayaan dan perjanjian antara kedua belah pihak dimana pembayaran
harus lunas yang dilakukan di muka dengan transfer melalui bank (cth: Bank
Mandiri) ke rekening PT XYZ yang bersangkutan dalam jangka waktu 14 hari.
Setelah uang transfer masuk ke rekening milik PT XYZ yang bersangkutan dan
telah dipastikan lewat bank serta surat tanda bukti pembayaran melalui bank maka
CPO dapat diantar atau dijemput sesuai dengan kesepakatan pengangkutan yang
terjadi antara kedua belah pihak. (Games JS, 2010, 74-75)
Untuk pengangkutan, pihak produsen (PT XYZ) maupun pembeli dapat
bertanggungjawab dalam hal penyediaan izin, dokumen, surat-surat, kontrak, alat
angkut yang berupa truk, kereta api atau kapal pengangkut, dll. Hal ini tergantung
kontrak penjualan yang telah disepakati dan disetujui oleh kedua belah pihak.
Bentuk kontrak pengangkutannya sendiri dapat berupa FOB (Freight On Board)
atau Franco atau CIF (Cost Insurance Freight). FOB adalah transaksi
pengangkutan melalui pelabuhan dimana penjual bertanggungjawab
mengantarkan barang hingga ke pelabuhan yang telah disepakati. Sedangkan
untuk franco ada yang berupa franco gudang pembeli dan franco pabrik penjual.
Untuk franco gudang pembeli maka CPO harus diantarkan oleh penjual dalam hal
ini PT XYZ sampai ke gudang pembeli. Penjual juga bertanggungjawab atas
biaya, risiko, serta dokumen-dokumen yang diperlukan. Sementara untuk franco
pabrik penjual maka pembeli sendiri yang mengambil CPO ke pabrik atau gudang
PT XYZ. (Games JS, 2010, 63-64)
Sedangkan CIF adalah untuk aktivitas ekspor, dimana seperti FOB tetapi
biaya selama pengangkutan menjadi tanggungjawab pembeli termasuk seluruh
dokumen (izin, dll) termasuk asuransi. Namun pada saat ini CIF sudah jarang
digunakan dimana pembeli lebih memilih untuk menyiapkan kapal pengangkut
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
49
Universitas Indonesia
sendiri. Sedangkan untuk CPO lokal umumnya beban pengangkutan dibebankan
kepada pembeli dimana pembeli dapat mengambil CPOnya sendiri atau
menggunakan jasa transportasi sewaan untuk mengangkut CPO dari gudang
penyimpanan atau tangki penyimpanan milik PT XYZ (franco pabrik/gudang
penjual). (Games JS, 2010, 64).
Untuk kegiatannya memasarkan CPO, PT ABC dalam hal ini mendapat
fee kompensasi sebesar 0,5 persen dari harga jual. (Agustian dan U. Hadi, 2003,
271)
4.2 Penjualan CPO melalui PT BBJ
Persaingan global komoditi CPO dianggap semakin ketat, sehingga pada
tanggal 23 Juni 2009 dibentuklah pemasaran CPO dengan Pasar Fisik Terorganisir
yang diselenggarakan oleh PT Bursa Berjangka (PT BBJ) untuk melaksanakan
lelang fisik secara elektronik atau online. Peluncuran Pasar fisik yang juga
merupakan hari pertama perdagangan fisik CPO diresmikan oleh dua menteri
yaitu Menteri Negara BUMN dan Menteri Perdagangan RI. Dengan demikian
pemasaran CPO PT XYZ tidak lagi hanya melalui PT ABC tapi juga melalui PT
BBJ. Penjual CPO di PT BBJ tidak hanya dari pihak PT XYZ namun juga PT
Swasta bebas menjual CPO nya di PT BBJ. Berikut persyaratan menjadi peserta
untuk melakukan lelang online di PT BBJ yang diambil dari website PT BBJ:
Tabel 4. 1
Persyaratan Peserta Tender CPO di PT BBJ
No. Dokumen yang
dibutuhkan Penjual
Pembeli
(Processor)
Pembeli (Non
Processor) 1. Profil Perusahaan (company
profile), termasuk namun tidak
terbatas di dalamnya uraian
kinerja perusahaan minimal 2
(dua) tahun terakhir dan
kapasitas tangki yang dimiliki
atau yang disewa;
Ya Ya Ya (tidak
termasuk
kapasitas tangki
yang dimiliki
atau disewa)
2. Akte Pendirian Perusahaan
berikut perubahannya
dilengkapi dengan bukti
laporan atau persetujuan dari
Departemen Hukum dan
Ya Ya Ya
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
50
Universitas Indonesia
No. Dokumen yang
dibutuhkan Penjual
Pembeli
(Processor)
Pembeli (Non
Processor) HAM;
3. Surat Izin Usaha Perdagangan
(SIUP)
Ya Ya Ya
4. Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP)
Ya Ya Ya
5. Surat Referensi dari Bank Ya Ya Ya
6. Izin Usaha Industri dari Badan
Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM) / Departemen
Perindustrian
Tidak Ya Tidak
7. Surat Keputusan Menteri
Keuangan tentang penetapan
sebagai kawasan berikat dan
pemberian persetujuan kepada
pengusaha di kawasan berikat
Tidak Ya Tidak
8. Laporan Keuangan Perusahaan
yang sudah diaudit oleh
Kantor Akuntan Publik
periode 2 (dua) tahun terakhir
Ya Ya Ya
9. Bank Garansi sebesar Rp
500.000.000,- (lima ratus juta
Rupiah) atau Deposito
Berjangka 1 (satu) tahun pada
Bank yang ditunjuk oleh Bursa
dan hanya dapat dicairkan atas
perintah Bursa dengan jumlah
minimal sebesar Rp
500.000.000,- (lima ratus juta
Rupiah)
Ya Ya Ya
10. Membayar biaya kepesertaan
Rp 1.000.000 (satu juta
Rupiah) per tahun yang
dibayar di muka (setelah
dinyatakan sebagai Peserta
oleh Bursa).
Ya Ya Ya
Sumber: www.bbj-jfx.com (diolah peneliti)
1. Satuan Transaksi
a) Satuan transaksi dinyatakan dalam Lot.
b) (satu) Lot sama dengan 500 (lima ratus) ton atau sama dengan 500.000
(limaratus ribu) kilogram.
c) Penawaran beli atau penawaran jual dilakukan minimal 1 (satu) Lot atau
kelipatannya.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
51
Universitas Indonesia
2. Kuotasi Harga Pasar Lokal
a) Kuotasi harga pasar lokal dinyatakan dalam Rupiah per kilogram termasuk
Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
b) Besar kelipatan harga adalah Rp 1 (satu Rupiah) per kilogram.
3. Jenis dan Tempat Penyerahan
Jenis dan tempat penyerahan adalah Loco pabrik penjual atau Free on Board
(FOB) pelabuhan muat atau Franco pabrik Pemenang Lelang.
4. Jam Perdagangan
a) Perdagangan diselenggararakan setiap hari kerja, Senin sampai dengan
Jumat, mulai pukul 10:45 WIB (GMT + 7) sampai dengan pukul 17:00
WIB (GMT + 7) yang setiap harinya dibagi menjadi 5 (lima) sesi
perdagangan.
b) Setiap sesi perdagangan dilakukan lelang selama 45 (empat puluh lima)
menit dengan jadwal sebagai berikut:
(1) Pukul 11.00 WIB (GMT + 7) sampai dengan 11.45 WIB (GMT + 7)
(2) Pukul 13.00 WIB (GMT + 7) sampai dengan 13.45 WIB (GMT + 7)
(3) Pukul 14.00 WIB (GMT + 7) sampai dengan 14.45 WIB (GMT + 7)
(4) Pukul 15.00 WIB (GMT + 7) sampai dengan 15.45 WIB (GMT + 7)
(5) Pukul 16.00 WIB (GMT + 7) sampai dengan 16.45 WIB (GMT + 7)
Jam yang menjadi patokan adalah jam di Komputer Server yang dapat
dilihat dilayar monitor komputer Peserta.
c) Jam perdagangan tersebut di atas dapat diubah dari waktu ke waktu oleh
Bursa berdasarkan rekomendasi tertulis dari Komite.
5. Biaya Transaksi
a) Biaya transaksi ditagih secara berkala oleh Bursa kepada Peserta.
b) Biaya transaksi yang ditagih sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai
(PPN).
c) Untuk setiap transaksi yang terjadi, besarnya biaya transaksi yang harus
dibayaroleh penjual dan Pemenang Lelang masing-masing sebesar Rp 1
(satu Rupiah) per kilogram.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
52
Universitas Indonesia
6. Mekanisme Transaksi Lelang Keseluruhan (ALL or None)
a) Sebelum bertransaksi, seluruh Peserta harus memasukkan kode akun
(account ID) dan kode rahasia (password). Penyalahgunaan kode akun
menjadi tanggung jawab pemilik kode akun.
b) Peserta penjual wajib memasukkan pilihan bahwa jumlah barang yang akan
dijual dapat dibeli secara keseluruhan (all or none), lokasi barang, mutu,
jumlah, jenis dan tempat penyerahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) menit
sebelum lelang Paket yang bersangkutan dimulai.
c) Peserta penjual wajib memasukkan harga patokan jual (reverse price)
selambat-lambatnya 1 (satu) menit sebelum lelang Paket yang bersangkutan
dimulai.
d) Peserta penjual tidak dapat menjual Paket apabila harga penawaran
tertinggi
lebih rendah dari batas harga patokan jual (reverse price).
e) Peserta pembeli yang memasukkan penawaran beli, tidak akan ditampilkan
identitasnya di terminal komputer masing-masing Peserta sampai
berakhirnya
sesi perdagangan yang bersangkutan.
f) Peserta pembeli dapat memasukkan penawaran beli selama sesi
perdagangan berlangsung.
g) Penawaran beli yang sudah dimasukkan oleh Peserta pembeli ke dalam
Komputer Server tidak dapat dibatalkan.
h) Selama sesi perdagangan berlangsung, di layar komputer masing-masing
Peserta akan ditampilkan informasi mengenai harga penawaran tertinggi
dan kode akun dari Peserta pembeli yang melakukan penawaran tertinggi
tersebut, serta waktu Lelang yang tersisa pada sesi tersebut.
i) Setelah sesi perdagangan yang bersangkutan berakhir, Komputer Server
menyampaikan kepada seluruh Peserta pembeli mengenai informasi harga
penawaran tertinggi dan kode akun dari Peserta pembeli yang melakukan
penawaran tertinggi tersebut.
j) Setelah pemenang ditentukan, semua penawaran beli dengan identitas
pembelinya akan ditampilkan bagi seluruh Peserta.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
53
Universitas Indonesia
k) Peserta penjual tidak dapat mengajukan penawaran atas barangnya sendiri.
l) Setelah sesi perdagangan berakhir dan harga penawaran dari peserta
pembeli tidak mencapai harga patokan jual (reverse price), maka harga
patokan jual
m) (reverse price) tersebut akan diinformasikan kepada seluruh Peserta
sebelusesi perdagangan berikutnya dimulai.
7. Penyerahan
a) Paling lambat 14 (empat belas) hari kalender setelah pembayaran efektif
pada rekening penjual, penjual wajib menyerahkan barang kepada
Pemenang Lelang.
b) Apabila pada waktu penyerahan/pengapalan penjual tidak dapat
menyerahkan/mengapalkan barang, maka untuk setiap hari keterlambatan
penjual dikenakan denda bunga atas keterlambatan (overdue interest) yang
besarnya ditetapkan oleh Bursa.
c) Bursa menetapkan denda bunga atas keterlambatan (overdue interest)
berdasarkan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang
berlaku
pada minggu terakhir bulan sebelumnya.
d) Sebelum tanggal rencana kapal sandar/merapat ke dermaga, Pemenang
Lelang wajib memberitahukan kepada penjual nama kapal paling lambat 3
(tiga) hari kalender sebelum jadwal pengambilan oleh Pemenang Lelang.
Apabila Pemenang Lelang tidak mengambil barang dalam jangka waktu 14
(empat belas) hari kalender setelah pembayaran efektif pada rekening
penjual, maka ketersediaan barang akan dijadwal ulang sesuai dengan
kesepakatan kedua belah pihak.
e) Analisa kualitas dan kuantitas barang final dilakukan ditempat penyerahan
oleh surveyor independen yang ditunjuk oleh Bursa, dan biaya analisa
menjadi beban Pemenang Lelang.
f) Apabila terjadi kelebihan muat, penjual menerbitkan tagihan (invoice)
terpisah atas kelebihan muat tersebut, atau, apabila terjadi kekurangan
muat, atas kekurangan muat tersebut Pemenang Lelang menerbitkan
tagihan (invoice) terpisah dalam batas toleransi. Selisih kelebihan atau
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
54
Universitas Indonesia
kekurangan muat tersebut dihitung berdasarkan harga transaksi dan akan
dibayarkan atau ditagihkan kepada penjual atau Pemenang Lelang paling
lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak diterbitkannya invoice setelah
mendapat informasi dari Bursa.
4.3 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN tahun 2009) merupakan
perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. UU
PPN tahun 2009 ini yang akan lebih banyak digunakan penulis dalam skripsi ini,
karena merupakan undang-undang PPN yang masih berlaku saat ini. Berikut di
bawah ini ketentuan-ketentuan pada UU PPN tahun 2009 yang berkaitan dengan
jasa perdagangan CPO:
4.3.1 Daerah Pabean
Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa pengertian Daerah Pabean adalah
wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang
udara diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan
landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur
mengenai kepabeanan.
4.3.2 Barang
Pasal 1 angka 2 barang menyebutkan bahwa barang adalah barang
berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau
barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
4.3.3 Barang Kena Pajak
Pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa barang kena pajak adalah barang
yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
55
Universitas Indonesia
4.3.4 Penyerahan Barang Kena Pajak
Pasal 1 angka 4 menyebutkan bahwa penyerahan barang kena pajak adalah
setiap kegiatan penyerahan barang kena pajak
4.3.5 Jasa
Pasal 1 angka 5 menyebutkan bahwa pengertian jasa adalah setiap
kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang
menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai,
termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau
permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
4.3.6 Jasa Kena Pajak
Pasal 1 angka 6 menyebutkan bahwa Jasa Kena Pajak adalah jasa yang
dikenai pajak berdasarkan undang-undang ini.
4.3.7 Penyerahan Jasa Kena Pajak
Pasal 1 angka 7 menyebutkan bahwa penyerahan Jasa Kena Pajak adalah
setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
4.3.8 Perdagangan
Pasal 1 angka 12 menyebutkan bahwa perdagangan adalah kegiatan usaha
membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar-menukar barang, tanpa mengubah
bentuk dan/atau sifatnya.
4.3.9 Badan
Pasal 1 angka 13 menyebutkan bahwa badan adalah sekumpulan orang
dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun
yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik
daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana
pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
56
Universitas Indonesia
politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk
kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
4.3.10 Pengusaha
Pasal ayat 1 menyebutkan bahwa pengusaha adalah orang pribadi atau
badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya
menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha
perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean,
melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari
luar daerah pabean.
4.3.11 Pengusaha Kena Pajak
Pasal 1 angka 15 menyebutkan bahwa Pengusaha Kena Pajak adalah
pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan undang-undang ini, tidak
termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak
Pertambahan Nilai, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak.
4.3.12 Dasar Pengenaan Pajak
Pasal 1 angka 17 menyebutkan bahwa dasar pengenaan pajak adalah
jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain yang
dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
4.3.13 Penggantian
Pasal 1 angka 19 menyebutkan bahwa penggantian adalah nilai berupa
uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
pengusaha karena penyerahan jasa kena pajak, ekspor jasa kena pajak, atau ekspor
barang kena pajak tidak berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai
yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang
dicantumkan dalam faktur pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
57
Universitas Indonesia
seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan jasa kena pajak
dan/atau oleh penerima manfaat barang kena pajak tidak berwujud karena
pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam
daerah pabean.
4.3.14 Pembeli
Pasal 1 angka 21 menyebutkan pembeli adalah orang pribadi atau badan
yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan barang kena pajak dan
membayar atau seharusnya membayar harga barang kena pajak tersebut.
4.3.15 Penerima Jasa
Pasal 1 angka 22 menyebutkan bahwa Penerima jasa adalah orang pribadi
atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena
Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena
Pajak tersebut.
4.3.16 Faktur Pajak
Pasal 1 angka 23 menyebutkan bahwa faktur pajak adalah bukti pungutan
pajak yang dibuat oleh pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan barang
kena pajak atau penyerahan jasa kena pajak.
4.3.17 Pajak Masukan
Pasal 1 angka 24 menyebutkan bahwa Pajak Masukan adalah Pajak
Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak
karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean
dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor
Barang Kena Pajak.
4.3.18 Pajak Keluaran
Pasal 1 angka 25 menyebutkan bahwa Pajak Keluaran adalah Pajak
Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
58
Universitas Indonesia
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor
Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.
4.3.19 Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
Pasal 1 angka 27 menyebutkan bahwa pemungut pajak pertambahan nilai
adalah bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang
terutang oleh pengusaha kena pajak atas penyerahan barang kena pajak dan/atau
penyerahan jasa kena pajak kepada bendahara pemerintah, badan, atau instansi
pemerintah tersebut.
4.3.20 Penyerahan Barang Kena Pajak
Pasal 1A ayat (1) menyebutkan bahwa pengertian penyerahan barang kena
pajak adalah:
a. penyerahan hak atas barang kena pajak karena suatu perjanjian
b. pengalihan barang kena pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau
perjanjian sewa guna usaha (leasing)
c. penyerahan barang kena pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru
lelang
d. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas barang kena pajak
e. barang kena pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran
perusahaan
f. penyerahan barang kena pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau
penyerahan barang kena pajak antar cabang
g. penyerahan barang kena pajak secara konsinyasi, dan
h. penyerahan barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak dalam rangka
perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang
penyerahannya dianggap langsung dari pengusaha kena pajak kepada pihak yang
membutuhkan barang kena pajak.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
59
Universitas Indonesia
4.3.21 Tidak Termasuk Penyerahan Barang Kena Pajak
Pasal 1A ayat (2) menyebutkan bahwa yang tidak termasuk dalam
pengertian penyerahan barang kena pajak adalah:
a. penyerahan barang kena pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
b. penyerahan barang kena pajak untuk jaminan utang-piutang
c. penyerahan barang kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f
dalam hal pengusaha kena pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang
d. pengalihan barang kena pajak dalam rangka penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang
melakukan pemgalihan dan yang menerima pengalihan adalah pengusaha kena
pajak
e. barang kena pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang
pajak masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
4.3.22 Objek Pajak Pertambahan Nilai
Berdasarkan pasal 4 ayat (1), Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
60
Universitas Indonesia
Penentuan objek pajak dalam pasal 4 UU PPN tahun 2009 menggunakan
pendekatan positive list yang mana objek yang dapat dikenakan pajak adalah yang
disebutkan atau dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan.
4.3.23 Barang yang Tidak Dikenakan PPN
Pasal 4A ayat (2) menyebutkan bahwa jenis barang yang tidak dikenakan
PPN adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:
a. barang hasil pertabangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya.
b. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak
c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung,
dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat
maupun tidak , termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oelh usaha jasa
boga atau catering, dan
d. uang, emas batangan, dan surat berharga.
4.3.24 Jenis Jasa yang Tidak Dikenakan PPN
Berdasarkan Pasal 4A ayat (3), jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
a. jasa pelayanan kesehatan medis;
b. jasa pelayanan sosial;
c. jasa pengiriman surat dengan perangko;
d. jasa keuangan;
e. jasa asuransi;
f. jasa keagamaan;
g. jasa pendidikan;
h. jasa kesenian dan hiburan;
i. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
61
Universitas Indonesia
j. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri
yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jas angkutan udara luar negeri;
k. jasa tenaga kerja;
l. jasa perhotelan;
m. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan
secara umum;
n. jasa penyediaan tempat parkir;
o. jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
p. jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
q. jasa boga atau katering.
Penentuan jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dalam
pasal 4A ayat (3) UU PPN tahun 2009 menggunakan pendekatan negative list
yang mana jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah yang
disebutkan atau dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan, selain yang
disebutkan di undang-undang berarti merupakan jasa yang dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai. Dalam Pasal 4A ayat (3) tidak terdapat jasa perdagangan,
sehingga jasa perdagangan merupakan jenis jasa yang dikenakan PPN.
4.3.25 Tarif PPN dan Cara Menghitung PPN
Tarif PPN sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) adalah
sebagai berikut:
1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen)
2) Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
a. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
c. ekspor Jasa Kena Pajak.
Cara menghitung PPN terutang diatur dalam Pasal 8A ayat (1) yaitu PPN
yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak yang meliputi harga jual,
penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
62
Universitas Indonesia
4.3.26 Saat Terutang PPN
Berdasarkan Pasal 11 ayat (1), terutangnya pajak terjadi pada saat:
a. penyerahan Barang Kena Pajak;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau
h. ekspor Jasa Kena Pajak.
Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan dalam hal pembayaran diterima
sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena
Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran. Direktur Jenderal
Pajak dapat menetapkan saat lain sebagai saat terutangnya pajak dalam hal saat
terutangnya pajak sukar ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan yang dapat
menimbulkan ketidakadilan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 Pasal 13 ayat
(4), terutangnya Pajak atas penyerahan Jasa Kena Pajak, terjadi pada saat mulai
tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian
atau seluruhnya.
4.3.27 Tempat Terutang PPN
Tempat terutang PPN sesuai dengan Pasal 12 ayat (1) adalah di tempat
tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan atau
tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan
usaha dilakukan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Berdasarkan ayat (2) atas pemberitahuan secara tertulis dari Pengusaha Kena
Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan 1 (satu) tempat atau lebih
sebagai tempat pajak terutang.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
63
Universitas Indonesia
Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat Barang Kena Pajak
dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Orang
pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan huruf e terutang pajak
di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha.
4.4 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-145/PJ./2010 tentang
Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan
Pada 22 Desember 2010, Direktur Jenderal Pajak mencabut SE-
08/PJ.52/1996 melalui SE-145/PJ/2010. Secara umum, tidak banyak perubahan
yang dilakukan Dirjen Pajak dalam SE-145/PJ/2010. Perubahan yang diatur oleh
SE ini terkait dengan perlakuan PPN untuk penyerahan jasa perdagangan ke luar
Daerah Pabean (ekspor JKP).
Pengertian jasa perdagangan dalam SE-145/PJ/2010 adalah jasa yang
diberikan oleh orang atau badan kepada pihak lain, dengan menghubungkan pihak
lain tersebut kepada pembeli barang pihak lain itu, atau menghubungkan pihak
lain tersebut kepada penjual barang yang akan dibeli pihak lain itu. Dengan
demikian, jasa perdagangan dapat berupa jasa perantara, jasa pemasaran, dan jasa
mencarikan penjual atau pembeli. Dalam butir 3, Direktur Jenderal Pajak kembali
memberikan penegasan bahwa penyerahan jasa perdagangan yang dikenakan
Pajak Pertambahan Nilai dalam hal penyerahan jasa perdagangan dilakukan di
dalam Daerah Pabean, ditentukan dengan kondisi-kondisi sebagai berikut :
a. pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang selaku penerima jasa
perdagangan berada di dalam Daerah Pabean, sedangkan pembeli dapat berada di
dalam atau di luar Daerah Pabean;
b. pengusaha jasa perdagangan dan pembeli barang selaku penerima jasa
perdagangan berada di dalam Daerah Pabean, sedangkan penjual dapat berada di
dalam atau di luar Daerah Pabean;
c. pengusaha jasa perdagangan dan pembeli barang berada di dalam Daerah
Pabean, sedangkan penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada di
luar Daerah Pabean;
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
64
Universitas Indonesia
d. pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang berada di dalam Daerah
Pabean, sedangkan pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan berada di
luar Daerah Pabean; atau
e. pengusaha jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean, sedangkan
penjual barang dan pembeli barang yang salah satunya adalah penerima jasa
perdagangan berada di luar Daerah Pabean.
Sedangkan pemanfaatan jasa perdagangan dari luar Daerah Pabean yang
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai disebutkan dalam angka 4 yaitu dalam hal
kegiatan pemanfaatan jasa perdagangan tersebut dilakukan di dalam Daerah
Pabean, dengan kondisi-kondisi sebagai berikut:
a. pengusaha jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean, sedangkan penjual
barang selaku penerima jasa perdagangan dan pembeli barang berada di dalam
Daerah Pabean;
b. pengusaha jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean, sedangkan pembeli
barang selaku penerima jasa perdagangan dan penjual barang berada di dalam
Daerah Pabean;
c. pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang berada di luar Daerah Pabean,
sedangkan pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam
Daerah Pabean; atau
d. pengusaha jasa perdagangan dan pembeli barang berada di luar Daerah Pabean,
sedangkan penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam
Daerah Pabean.
Jasa perdagangan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai disebutkan
dalam angka 5 yaitu dalam hal penyerahan jasa perdagangan dilakukan di luar
Daerah Pabean, ditetapkan dengan kondisi-kondisi sebagai berikut :
a. pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang selaku penerima jasa
perdagangan berada di luar Daerah Pabean, sedangkan pembeli barang berada di
dalam Daerah Pabean; atau
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
65
Universitas Indonesia
b. pengusaha jasa perdagangan dan pembeli barang selaku penerima jasa
perdagangan berada di luar Daerah Pabean, sedangkan penjual barang berada di
dalam Daerah Pabean.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
66
Universitas Indonesia
BAB 5
ANALISIS KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS JASA
PERDAGANGAN CRUDE PALM OIL (CPO)
Pada bab ini peneliti akan mengemukakan hasil temuan di lapangan
mengenai perdagangan CPO yang dilakukan PT XYZ yang dalam mekanisme
transaksi penjualannya ternyata tidak langsung kepada pembeli, melainkan
melalui PT ABC, yang didalam skema transaksi lelangnya terdapat broker lokal
sebagai perantara untuk tujuan ekspor, serta PT BBJ sebagai alternatif penjualan
CPO dalam negeri. Dari masing-masing skema transaksi tersebut peneliti akan
menghubungkannya dengan pengertian jasa perdagangan di dalam SE-
145/PJ/2010, UU PPN No. 42 Tahun 2009, peraturan dan teori yang terkait, dan
juga prinsip kepastian.
5.1 Transaksi-transaksi di dalam Perdagangan CPO PT XYZ terkait dengan
Jasa Perdagangan
Untuk membahas transaksi-transaksi yang terjadi dalam perdagangan CPO
PT XYZ terkait dengan jasa perdagangan, peneliti membagi menjadi beberapa
sub-bab sebagai berikut:
5.1.1 Transaksi Perdagangan CPO PT XYZ oleh PT ABC
Di dalam penelitian yang telah dilakukan, peneliti telah mengkaji dan
mempelajari lebih lanjut bagaimana sebenarnya mekanisme perdagangan CPO PT
XYZ dalam prakteknya di lapangan. Melalui data-data dan sumber yang didapat,
ternyata penjualan CPO dari PT XYZ tidak langsung kepada pembeli, namun PT
XYZ membentuk PT ABC sebagai anak perusahaan yang dibentuk berdasarkan
persetujuan para dewan direksi PT XYZ, sebagai badan yang memasarkan CPO
milik PT XYZ melalui lelang/tender. Untuk lebih jelas melihat transaksi tersebut
peneliti membuat skema sebagai berikut:
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
67
Universitas Indonesia
Gambar 5.1
Skema Transaksi PT XYZ dan PT ABC dalam
Perdagangan CPO
Sumber : diolah peneliti
M. Loyns, sebagaimana dikutip oleh Rosdiana, Irianto, dan Putranti,
mendefinisikan bahwa anak perusahaan atau subsidiary company adalah
“company effectively controlled by another company (i.e the parent
company), or any company is an unbroken chain of companies beginning
with the parent company, if each of the companies (other than the last one
controls one other company in the chain). A subsidiary may be domestic
or foreign, depending where it is located. A subsidiary, unlike a branch, is
a separate legal entity from its parent company.” (Rosdiana, Irianto, dan
Putranti, 2011, 206)
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa PT ABC sebagai
anak perusahaan milik PT XYZ merupakan sebuah entitas hukum yang terpisah
dari PT XYZ. Di dalam UU PPN dijelaskan konsep taxable person atas cabang
yang memungkinkan apakah cabang-cabang akan berdiri sendiri atau didaftarkan
menjadi satu taxable person, yang konsekuensinya penyerahan antar cabang
menjadi bukan penyerahan kena pajak. Namun, tidak mengatur terhadap
subsidiaries diperlakukan hal yang sama dengan cabang dalam hal didaftarkan
menjadi satu taxable person. Sehingga penyerahan dari parent company kepada
subsidiaries tetap terutang PPN. Hal ini dikemukakan pula oleh Anang Mury
Kurniawan sebagai akademisi perpajakan di Pusdiklat Pajak yang mengatakan
bahwa:
PT XYZ
PT ABC
Memanfaatkan
jasa PT ABC
untuk penjualan domestik
dan ekspor
Melakukan
lelang
CPO PT
XYZ
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
68
Universitas Indonesia
“Secara concept group, barang itu memang milik perusahaan, tapi kalau
kita lihat dari sisi pemajakan kan, melihatnya dari entitas” (Wawancara
dengan Anang Mury Kurniawan, 5 Juni 2012)
Berdasarkan sejarah pembentukannya sejak tahun 1990, PT ABC belum
merupakan badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas (PT), namun hanya
berbentuk kantor pemasaran yang pada akhirnya pada tahun 2009 baru diresmikan
sebagai badan hukum yang sah. Namun di dalam pasal 1 angka 13 UU PPN tahun
2009 disebutkan bahwa perkumpulan atau lembaga juga termasuk di dalam
pengertian badan. Anang Mury Kurniawan pun juga berpendapat sebagai berikut:
“Kalau di Undang-Undang Pajak, subjek pajak itu tidak hanya dilihat
dari bentuk formal. Bahwa substansi juga sangat berpengaruh. Jadi di
dalam Undang-Undang Pajak kan yang namanya badan tidak mesti
harus berbentuk hukum. Kumpulan orang itu bisa dijadikan definisi
badan. Saya kembali ke tadi, ketika dia belum menjadi PT. Kalau dia
sudah melakukan aktivitas seperti itu secara subtantif, ada kriteria
kumpulan orang, kumpulan modal, dan terima fee dan sebagainya, ya
itu sudah masuk di dalam definisi badan. Walaupun secara formal belum
berbentuk badan hukum” (Wawancara dengan Anang Mury Kurniawan, 5
Juni 2012)
Jika dilihat dari entitasnya, PT XYZ merupakan BUMN yang melakukan
kegiatan usaha di bidang perkebunan. PT ABC sebagai badan pemasaran miliknya
juga merupakan BUMN. Jika dikaji lebih lanjut dari konsep taxable person, badan
pemerintah baik pada tingkat pusat maupun daerah harus dikategorikan sebagai
taxable person jika melakukan kegiatan ekonomi. Sebagai contoh di Indonesia,
seperti Badan Usaha Milik Negara dan/atau Daerah (BUMN/D) yang melakukan
kegiatan usaha (business activities) dan melakukan penyerahan kena pajak
(taxable supply), maka termasuk dalam pengertian taxable person. Namun
demikian, instansi pemerintah yang semata-mata melakukan kegiatan umum
(public sector) dan tidak melakukan kegiatan komersial/ekonomi (not-commercial
activities), maka tidak dikategorikan sebagai taxable person. (Rosdiana, Irianto,
dan Putranti, 2011, 207). PT XYZ sebagai entitas hukum yang berbentuk
Perseroan Terbatas (PT) tujuannya adalah mendapatkan laba yang sebesar-
besarnya dari penjualan CPO miliknya. Sehingga tidak dapat dikategorikan PT
XYZ tidak melakukan kegiatan yang tidak komersial/ekonomi karena tujuannya
semata-mata bukan hanya pelayanan kepada publik, namun juga profit-oriented.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
69
Universitas Indonesia
Menurut William, sebagaimana dikutip Thuronyi, syarat-syarat suatu
penyerahan dianggap terutang PPN lebih cenderung bersifat kumulatif (bukan
alternatif), dimana suatu penyerahan dianggap terutang PPN apabila:
a) transaksinya merupakan transaksi penyerahan barang dan jasa
b) penyerahan tersebut tidak termasuk yang dikecualikan dari pengenaan PPN
c) penyerahan terutang tersebut dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak menurut
ketentuan PPN
d) penyerahan tersebut dilakukan dalam ruang lingkup bisnis (dalam rangka
kegiatan usaha atau pekerjaannya) dan bukan bagian dari hobi atau aktivitas
non bisnis lainnya. ( Thuronyi, 1996, h.184)
Peneliti melihat bahwa syarat-syarat yang diungkapkan oleh Thuronyi
tersebut terpenuhi secara kumulatif oleh PT ABC. Di dalam lingkup penyerahan
jasa yang dilakukan oleh PT ABC kepada PT XYZ, jasa pemasaran untuk
mencarikan pembeli ataupun jasa perantara tidak termasuk dalam kategori jasa
yang tidak dikenakan PPN atau negative list Jasa Kena Pajak sebagaimana diatur
di dalam pasal 4A ayat 3 UU PPN Tahun 2009, sehingga jasa tersebut termasuk
Jasa Kena Pajak. Untuk lebih jelasnya, penulis sajikan jasa-jasa yang tidak
dikenakan PPN di dalam Pasal 4A ayat 3 UU PPN tentang jenis barang dan jasa
yang tidak dikenakan PPN, sebagai berikut:
a. jasa pelayanan kesehatan medis;
b. jasa pelayanan sosial;
c. jasa pengiriman surat dengan perangko;
d. jasa keuangan;
e. jasa asuransi;
f. jasa keagamaan;
g. jasa pendidikan;
h. jasa kesenian dan hiburan;
i. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
j. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri
yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jas angkutan udara luar negeri;
k. jasa tenaga kerja;
l. jasa perhotelan;
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
70
Universitas Indonesia
m. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan
secara umum;
n. jasa penyediaan tempat parkir;
o. jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
p. jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
q. jasa boga atau katering.
Berkaitan dengan jasa yang dilakukan PT ABC kepada PT XYZ, peneliti
mengkategorikan bahwa jasa tersebut dapat termasuk dalam jasa perdagangan
dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE 145/PJ/2010. Hal ini didukung pula
oleh Hariyanto sebagai Pelaksana Seksi Peraturan Pajak Pertambahan Nilai atas
Jasa di Direktorat Jenderal Pajak, yang mengatakan bahwa:
“Dilihat dulu kontraknya dengan PT XYZ dia kan menjualkan lelang. Ini
ada penyerahan barangnya kemana. Kan kalau disini PT ABC cuma jasa
perdagangannya kan, dia gak ada sama sekali membeli dari PT XYZ
itu berarti jasa perdagangan” (Wawancara dengan Hariyanto, 7 Juni
2012)
Pengertian perdagangan dan jasa perdagangan berbeda di dalam
prakteknya. Di dalam UU PPN Tahun 2009 pengertian perdagangan diatur dalam
pasal 1 angka 12, menjelaskan bahwa “perdagangan adalah kegiatan usaha
membeli dan menjual. termasuk kegiatan tukar menukar barang, tanpa mengubah
bentuk dan sifatnya” Adanya kegiatan jual dan beli di dalam aktivitas jasa
perdagangan yang dilakukan oleh pengusaha, tidak dapat dikategorikan sebagai
jasa perdagangan menurut SE-145/PJ/2010. Purwitohadi sebagai Kepala bidang
sub PPN dan PPnBM di Badan kebijakan Fiskal setuju akan hal itu:
“Kalau pemberi jasa perdagangan sampai membeli barang itu, berarti itu
bukan perantara ya, memang dia dagang. Bukan jasa. Kita harus lihat
skemanya seperti apa, apakah ke makelar apakah murni jasa
perdagangan” (Wawancara dengan Purwitohadi, 8 Juni 2012)
Ketentuan apakah pengusaha jasa perdagangan me-manage inventory jika
dihubungkan ke dalam jasa perdagangan terdapat beberapa pendapat, seperti
Anang Mury Kurniawan yang mengatakan bahwa:
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
71
Universitas Indonesia
“Kalau jasa perdagangan definisi yang baku di SE 145 itu, dia
mempertemukan penjual dan pembeli. Jadi dia tidak me-manage
inventory. Tapi dalam praktek definisi perdagangan bisa me-manage
inventory dalam arti seperti ini, saya membeli kemudian menjual. Itu
lazim digunakan salah satunya untuk skema transfer pricing untuk
misalnya mengelabui harga real transaksi sebenarnya. Itu termasuk
jasa perdagangan secara prinsip, karena tidak ada inventory yang dia
manage cuma dokumentasi seakan-akan ada pembelian ” (Wawancara
dengan Anang Mury Kurniawan, 5 Juni 2012)
Lain halnya dengan Anang Mury Kurniawan, Untung Sukardji sebagai
akademisi perpajakan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) yang
memaparkan bahwa dalam jasa perdagangan apakah pengusaha mengatur barang
atau tidak itu bukanlah faktor yang relevan:
“Kalau komisioner itu di kitab Undang-Undang Hukum Dagang, itu udah
diatur. Bahwa komisioner itu dapat membentuk perjanjian atas nama
dirinya sendiri, untuk kepentingan pemilik barang. Beda dengan makelar,
kalau makelar itu gak pegang barang, tapi komisioner pegang. Jadi gak
selalu jasa perantara itu tidak pegang barang. Kalau makelar hanya
menawarkan, yang dia bawa hanya barang contoh. Kalau komisioner
enggak, barang diserahkan kepada komisioner, kemudian komisioner
menentukan harga boleh berbeda dengan harga yang diminta oleh pemilik
barang. Itu termasuk jasa perdagangan juga. Jadi jasa perdagangan itu
hanya bergerak sebagai perantara. Jadi ketentuan dia pegang barang
atau tidak itu bukan faktor yang relevan” (Wawancara dengan Untung
Sukardji, 5 Juni 2012)
Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan SE-145/PJ/2010 pada tanggal 2
Desember 2010 yang mengatur tentang PPN atas Jasa Perdagangan, dimana
pengertian jasa perdagangan di dalam SE tersebut berbunyi:
“jasa perdagangan adalah jasa yang diberikan oleh orang atau badan
kepada pihak lain, dengan menghubungkan pihak lain tersebut kepada
pembeli pihak lain itu, atau menghubungkan pihak lain tersebut kepada
penjual barang yang akan dibeli pihak lain itu. Dengan demikian, jasa
perdagangan dapat berupa jasa perantara, jasa pemasaran, dan jasa
mencarikan penjual dan pembeli”
Inti dari SE 145/PJ/2010 adalah menegaskan tentang terutang atau
tidaknya PPN atas pemberian atau pemanfaatan jasa perdagangan dikaitkan
dengan pihak yang terlibat, apakah di dalam (non cross border) atau di luar
daerah pabean (cross border). Di dalam mekanisme penyerahan jasa oleh PT
ABC kepada PT XYZ serta pembeli CPO, semua pihak berada di dalam daerah
pabean, sehingga dikategorikan sebagai penyerahan non cross border. Sesuai
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
72
Universitas Indonesia
pada angka 3 huruf a dimana jasa perdagangan yang dilakukan di dalam daerah
pabean dapat dikenai PPN apabila terdapat fakta sebagai berikut:
a. pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang selaku penerima jasa
perdagangan berada di dalam daerah pabean, sedangkan pembeli dapat
berada di dalam atau di luar Daerah Pabean
Gambar 5.2
Skema Transaksi Jasa Perdagangan CPO PT XYZ melalui
PT ABC dalam SE-145/PJ/2010
Luar daerah pabean
Dalam daerah pabean
Sumber : diolah peneliti
PT ABC dalam skema ini bertindak sebagai PT Jasa Perdagangan yang
menyerahkan jasa pemasaran atau dalam hal ini PT ABC dapat juga menyerahkan
jasa perantara yang menghubungkan PT Penjual yaitu PT XYZ dengan PT
Pembeli yaitu peserta lelang CPO. PT X dalam hal ini mendapatkan fee
kompensasi 0,5 persen dari harga jual (Agustian dan U. Hadi, 2003, h.271). Harga
jual di dalam pasal 1 angka 18 UU PPN mengandung arti:
“nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh pengusaha karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-
Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak”
Dari rumusan ini dapat dipahami bahwa apabila dalam harga penyerahan
sudah termasuk PPN, maka harga jual dihitung dengan cara mengeluarkan lebih
dahulu unsur PPN yang dimaksud. Dengan kata lain, dalam harga jual tidak
pernah termasuk PPN. PT ABC mendapatkan fee sebesar 0,5 persen dari harga
jual. Fee yang didapatkan oleh PT ABC atas kegiatannya ini termasuk di dalam
pengertian nilai penggantian di dalam pasal 1 angka 19 UU PPN, yang
memaparkan bahwa nilai penggantian adalah
Penjual
(PT XYZ)
PT Jasa
Perdagangan
(PT ABC)
Pembeli
(Pemenang
Lelang)
JKP
BKP
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
73
Universitas Indonesia
“nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh pengusaha karena penyerahan jasa kena pajak, ekspor jasa
kena pajak, atau ekspor barang kena pajak tidak berwujud, tetapi tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-
Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak
atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh
penerima jasa karena pemanfaatan jasa kena pajak dan/atau oleh penerima
manfaat barang kena pajak tidak berwujud karena pemanfaatan barang
kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean”
Di dalam mekanisme pemungutan yang ada di Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003 yang diterbitkan tanggal 24 Desember 2003
hanya menunjuk Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas
Negara sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, sehingga BUMN yang
dahulunya Pemungut PPN, tidak lagi menjadi pemungut PPN yang kemudian
mekanisme pemungutan PPN nya disamakan seperti badan lain.
Peserta lelang CPO di PT ABC ada dua macam, yang pertama yaitu
industri pengolahan yang bertindak sebagai processor CPO yang nantinya akan
langsung mengolah CPO tersebut menjadi barang turunannya, misalkan minyak
goreng Lalu yang kedua adalah broker lokal yang bertindak bukan sebagai
processor CPO, namun nantinya akan memasarkan CPO tersebut ke luar negeri
atau untuk tujuan ekspor. Berikut adalah skema peserta lelang CPO di PT ABC:
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
74
Universitas Indonesia
Gambar 5.3
Skema Peserta lelang CPO di PT ABC
Peserta Lelang
Sumber : diolah peneliti
Untuk pengangkutan CPO kepada pemenang lelang, pihak PT XYZ
maupun pembeli dapat bertanggungjawab dalam hal penyediaan izin, dokumen,
surat-surat, kontrak, alat angkut yang berupa truk, kereta api atau kapal
pengangkut. Hal ini tergantung kontrak penjualan yang telah disepakati dan
disetujui oleh kedua belah pihak. Bentuk kontrak pengangkutannya sendiri dapat
berupa FOB (Freight On Board) atau Franco atau CIF (Cost Insurance Freight).
FOB adalah transaksi pengangkutan melalui pelabuhan dimana penjual
bertanggung jawab mengantarkan barang hingga ke pelabuhan yang telah
disepakati. Sedangkan untuk franco ada yang berupa franco gudang pembeli dan
franco pabrik penjual. Untuk franco gudang pembeli maka CPO harus diantarkan
oleh penjual dalam hal ini PT XYZ sampai ke gudang pembeli. Penjual juga
bertanggungjawab atas biaya, risiko, serta dokumen-dokumen yang diperlukan.
Industri
Pengolahan
(Processor)
Broker Lokal
(Non Processor)
Lelang oleh PT
ABC
CPO PT XYZ
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
75
Universitas Indonesia
Sementara untuk franco pabrik penjual maka pembeli sendiri yang mengambil
CPO ke pabrik atau gudang PT. XYZ (Games JS, 2010, h. 63).
Berdasarkan penjelasan diatas diketahui bahwa tidak ada arus penyerahan
BKP berupa CPO dari PT XYZ kepada PT ABC sebagai badan pemasaran,
sehingga pemenang lelang di PT X berhubungan langsung kepada PT XYZ dan
CPO dikirim langsung kepada pemenang lelang yaitu industri pengolahan
(processor) atau broker lokal (non processor).
5.1.2 Transaksi Perdagangan CPO PT XYZ untuk Tujuan Ekspor oleh
Broker Lokal sebagai Peserta Lelang CPO di PT ABC
Telah dikemukakan oleh peneliti bahwa pembeli CPO atau peserta lelang
di PT ABC adalah industri pengolahan (processor) dan broker lokal (non
processor). Peneliti dalam hal ini menelusuri lebih lanjut siapakah sebenarnya
broker lokal ini apakah dia hanya sebatas broker biasa (trader) atau broker
perwakilan dari konsumen luar negeri (representative/buying agent).
Gambar 5.4
Skema Tata Niaga Ekspor CPO PT XYZ
Sumber : diolah oleh peneliti
Broker Lokal (Non Processor)
PT ABC
PT XYZ
Badan Pemasaran Luar Negeri / Importir
Luar Negeri (Non Processor)
Industri Pengolahan Luar
Negeri
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
76
Universitas Indonesia
Di dalam tata niaga ekspor CPO milik PT XYZ, broker lokal penting
fungsinya dalam tujuan ekspor CPO, karena tanpa broker lokal maka ekspor CPO
tidak dapat terwujud. Peneliti mengkaji lebih dalam fungsi broker lokal ini,
dimana dalam website milik PT ABC terdapat syarat-syarat pembeli ekspor,
dimana tertulis hal berikut:
Pembeli Ekspor / Peserta Tender diwajibkan melampirkan dokumen-
dokumen sbb:
1. Company Profile Perusahaan Luar Negeri
2. Referensi Bank Luar Negeri
3. Rekomendasi dari Kedutaan Besar RI di Luar Negeri yang menyatakan
bahwa perusahaan principal Luar Negeri adalah benar-benar Perusahaan
yang bonafide dan melaksanakan Perdagangan CPO dipasar Internasional.
4. Menyerahkan Bank Garansi Sebesar US$.100.000,- (Seratus Ribu US.
Dollar)
Di dalam butir ketiga terdapat kalimat “rekomendasi dari Kedutaan Besar
RI di Luar Negeri yang menyatakan bahwa perusahaan principal Luar Negeri
adalah benar-benar Perusahaan yang bonafide dan melaksanakan Perdagangan
CPO dipasar Internasional”. Hal ini menurut peneliti mengindikasikan bahwa
dalam tujuan ekspor, CPO milik PT XYZ harus melalui broker lokal sebagai
representative yang merupakan perwakilan pembeli di luar negeri, bukan hanya
broker biasa yang berfungsi sebagai trader.
Pembeli di luar negeri dalam hal ini bisa berupa badan pemasaran luar
negeri ataupun importir luar negeri, yang peneliti misalkan sebagai Co. Ltd.
Berikut adalah skema atas transaksi tersebut:
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
77
Universitas Indonesia
Gambar 5.5
Skema Transaksi Penyerahan Jasa oleh Broker Lokal
untuk Tujuan Ekspor
Luar Daerah
Pabean
Dalam Daerah
Pabean
Sumber : diolah oleh peneliti
Fungsi broker lokal sebagai representative disini menjadi peserta lelang
atas nama CO.Ltd yang nantinya atas jasanya tersebut mendapatkan fee dari
CO.Ltd yang ada diluar negeri atas jasa perantara yang diserahkannya kepada
CO.Ltd. Bila merujuk pada SE-145/PJ/2010 tentang jasa perdagangan, kedudukan
broker lokal, PT XYZ, dan CO.Ltd dijelaskan didalam angka 3 huruf b yang mana
atas penyerahan jasa perdagangan dalam hal:
b. pengusaha jasa perdagangan dan pembeli barang selaku penerima jasa
perdagangan berada di dalam daerah pabean sedangkan penjual dapat berada di
dalam atau diluar daerah pabean
Pengusaha jasa perdagangan dalam hal ini adalah broker lokal berada di
dalam negeri, lalu yang memanfaatkan jasa perantara oleh broker lokal tersebut
adalah CO.Ltd, dan penjual CPOnya berada di dalam daerah pabean yaitu adalah
PT XYZ. Transaksi ini termasuk dalam lingkup cross border karena ada pihak
Broker lokal
sebagai
PT ABC
PT XYZ
CO.Ltd
Menyerahkan
jasa Ke
CO.ltd
Penyerahan
CPO
langsung
dari PT
XYZ ke CO
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
78
Universitas Indonesia
yang berada di luar daerah pabean yaitu CO.Ltd sebagai penerima jasa. Hal ini
didukung dengan terbitnya peraturan pelaksanaan UU PPN tahun 2009 yaitu
Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 2012 yang pada pasal 6 dijelaskan bahwa :
“Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di
dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha yang dimanfaatkan
di dalam atau di luar Daerah Pabean.”
Sehingga atas penyerahan jasa yang dilakukan oleh broker lokal sebagai
pengusaha kena pajak, yang dilakukan di dalam daerah Pabean yang kemudian
dimanfaatkan oleh CO.Ltd yang berada di luar daerah pabean terutang PPN dan
broker lokal wajib memungut PPN atas fee yang didapat dari CO.Ltd,
menerbitkan faktur pajak, dan menyetorkannya ke kas negara.
Peneliti dalam penelitian ini mengkaji lebih dalam lagi kegiatan ekspor
CPO yang terjadi antara PT XYZ dengan CO.Ltd di luar negeri, karena
sebenarnya dari transaksi-transaksi yang telah telah uraikan sebelumnya,
penjualan CPO tujuan ekspor ternyata tidak langsung dari PT XYZ ke CO.Ltd,
namun harus melalui PT ABC dan broker lokal terlebih dahulu. Sehingga peneliti
menelusuri apakah transaksi ekspor tersebut benar-benar dapat dikatakan ekspor
karena banyak badan-badan yang menjadi perantara di dalam transaksi ekspor
tersebut. Pertama peneliti melihat dari fungsi broker lokal sendiri yang menjadi
representative atau perwakilan CO.Ltd untuk melakukan lelang CPO, fungsi yang
pertama yaitu broker lokal yang memang telah melakukan kegiatan di dalam
negeri dan kemudian ditunjuk oleh CO.Ltd untuk menjadi representative dalam
melaksanakan lelang. Lalu fungsi yang kedua yaitu broker lokal hanya sebagai
trader. Namun keduanya menurut UU PPN Pasal 1 angka 13 merupakan badan,
sehingga apabila melakukan penyerahan kena pajak, kecuali pengusaha kecil yang
batasannya ditetapkan oleh Menteri keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai PKP. Thuronyi menyebutkan bahwa Foreign legal person
biasanya tidak disebutkan secara khusus di dalam Undang-Undang PPN.
Bagaimanapun juga, diharapkan agar semua legal person mendaftarkan diri untuk
tujuan PPN, apabila melakukan aktivitas yang disebutkan dalam Undang-Undang
di suatu negara. Menurut Thuronyi, hal ini berarti beberapa cabang ataupun
Bentuk Usaha Tetap (permanent establishment) yang berada dalam suatu negara
diwajibkan untuk mendaftarkan diri. (Thuronyi, 1996, h.13).
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
79
Universitas Indonesia
Namun apabila BUT tersebut tidak menyebabkan BUT fisik dalam
kegiatannya di dalam daerah pabean, maka tidak dapat disebut sebagai Wajib
Pajak Dalam Negeri (WPDN), contohnya seperti yang disebutkan oleh Anang
Mury Kurniawan berikut ini:
“Kalau pegawai kemudian melakukan aktivitas lelang, itu tidak dianggap
BUT sepanjang pegawai ini keberadaannya di Indonesia tidak
menimbulkan BUT fisik. Kalau misalnya dia menyewa tempat untuk
kegiatannya ini, itu menimbulkan BUT fisik” (Wawancara dengan Anang
Mury Kurniawan, 5 Juni 2012)
Peneliti melihat bahwa kegiatan yang dilakukan broker lokal lebih pas
dikategorikan sebagai BUT keagenan. BUT keagenan menurut Zakharia adalah:
“Dalam tipe ini, BUT Berupa orang pribadi atau badan yang bertindak
sebagai agen dari perusahaan luar negeri yang kedudukannya tidak bebas
(dependent agent) (Zakaria, 2005, 8).”
Dengan kata lain, apabila di negara sumber ada subjek pajak yang
bertindak atas nama suatu perusahaan dari negara tax treaty partner dan
mempunyai kewenangan untuk mengikat perusahaan dari negara treaty partner
tersebut biasanya mempergunakan kewenangan tersebut untuk mengadakan
perjanjian atas nama perusahaan itu, maka perusahaan tersebut dianggap
mempunyai BUT berkenaan dengan setiap kegiatan yang dilakukan oleh Subjek
Pajak tersebut. Aktivitas keagenan dapat dijalankan oleh Orang Pribadi dan
badan. Dengan keberadaan BUT, untuk tujuan administrasi perpajakan, orang
pribadi dan badan yang menjadi agen tersebut mempunyai dua identitas (WPDN
untuk dirinya sendiri dan WPLN untuk BUT). BUT keagenan muncul pada saat
adanya relasi keagenan dan selesai pada saat putusnya relasi keagenan yang
dimaksud.
Untuk tujuan ekspor, dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB)
sebagai dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak
sangatlah penting. Eksportir, dalam hal ini adalah PT XYZ, wajib membuat PEB
disertai dokumen pelengkap pabean seperti yang diatur dalam Peraturan Direktur
Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-41/BC/2008. Untung Sukardji sebagai
berpendapat sebagai berikut:
“Ekspor dan impor itu sangat formal, jadi yang menentukan itu dokumen,
atas nama siapa.”(Wawancara dengan Untung Sukardji, 5 Juni 2012)
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
80
Universitas Indonesia
Faktur Pajak adalah bukti pemungutan pajak. Agar Faktur Pajak dapat
berfungsi sebagai bagian dari mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan
Pajak Keluaran, Faktur Pajak harus memenuhi dua persyaratan yaitu persyaratan
formal dan persyaratan material sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (9) UU
PPN yang berbunyi: ”Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan
material”. Berdasarkan penjelasan Pasal 13 ayat (9), Faktur Pajak dikatakan telah
memenuhi persyaratan formal apabila diisi lengkap, jelas, dan benar sesuai
dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat Pasal 13 ayat (5).
Anang Mury Kurniawan dalam pendapatnya berikut membenarkan bahwa
syarat formal harus terpenuhi dalam pembuatan PEB:
“Kalau dalam UU PPN prinsipnya faktur pajak harus memiliki
persyaratan formil dan materiil, disini PEB sebagai faktur pajak.
Formilnya yang pertama yang harus kita lihat adalah dokumen PEBnya.
Di PEBnya itu PT XYZ ini yang menerbitkan atau tidak. Kalau PT XYZ
yang menerbitkan, ini OK memenuhi syarat formil. Nama penjualnya PT
XYZ, pembeli adalah X ltd. Ini secara formil memenuhi” (Wawancara
dengan Anang Mury Kurniawan, 5 Juni 2012)
Selain persyaratan formal, persyaratan material dari Faktur Pajak adalah
telah terpenuhi apabila keterangan yang tercantum dalam faktur pajak jelas dan
sesuai dengan kejadian transaksi yang sebenarnya dari BKP atau JKP yang
diperjualbelikan. Berikut sebagian bunyi penjelasan Pasal 13 ayat (9) UU PPN :
“Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan
Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang
sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud, Ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak,
atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.” Hal ini seperti yang
dikemukakan oleh Anang Mury Kurniawan:
“Yang kedua secara materiil substansi transaksinya. Ketika membuat
perjanjian, PT XYZ ini membuat perjanjian dengan X Ltd atau dengan
broker lokal ini. Kalau perjanjiannya dengan broker lokal, berarti
perjanjiannya ya dengan broker lokal walaupun ini behalf X ltd. Jadi
prinsipnya dia melakukan transaksi dengan BUT X ltd. KPP mungkin
tidak melihat broker lokal ini memang mendapatkan fee karena melakukan
jasa kepada X Ltd, namun KPP mungkin melihatnya broker ini sebagai
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
81
Universitas Indonesia
BUT X Ltd., sehingga dilihat PT XYZ melakukan transaksi dengan pihak
di dalam daerah pabean. Jadi materiilnya disini” (Wawancara dengan
Anang Mury Kurniawan, 5 Juni 2012)
Di dalam modul tentang Hukum Benda yang diterbitkan oleh Diklat
Teknis Susbtantif Spesialisasi Pejabat Lelang, disebutkan bahwa:
“Pengertian bezit yang dengan iktikad baik adalah penguasaan karena
penguasaan atas benda tersebut terjadi tanpa diketahui cacat cela dalam
benda tersebut (Ps.531 BWI). Contohnya, seseorang yang menerima
warisan dianggap sebagai pemilik barang tersebut, demikian pula
seseorang yang menang pada suatu lelang barang. Jadi terdapat alas hak
yang sah”
Dari keterangan tersebut terdapat kata-kata “seseorang yang menerima
warisan dianggap sebagai pemilik barang tersebut, demikian pula seseorang yang
menang pada suatu lelang barang”. Hak kepemilikan ini menjadi sangat penting
dalam penentuan objek PPN. Dalam pasal 1 huruf a UU PPN beserta
penjelasannya, menetapkan bahwa penyerahan BKP adalah penyerahan hak atas
barang kena pajak karena suatu perjanjian yang diikuti dengan perpindahan hak.
Dalam kasus broker lokal ini maka seharusnya terjadi hak kepemilikan oleh
broker lokal atas CPO yang dia lelang.
Berita acara lelang dan dokumen kontrak penjualan dapat juga dilihat
sebagai bukti dokumen pelengkap pabean apakah terpenuhi syarat materiil.
Karena apabila berita acara lelang atas nama broker lokal, sehingga kontrak
penjualan dibuat atas nama broker lokal sebagai pemenang lelang, maka PEB
dianggap tidak terpenuhi syarat materiilnya. Hal ini juga diungkapkan oleh
Purwitohadi:
“Jadi kalau misalnya yang jadi peserta lelang bukan badan usaha yang
ada di dalam negeri, itu beda ceritanya. Mungkin orang sana datang
langsung kesini ditugaskan untuk jadi peserta lelang. Tapi kalau
kemudian yang deal adalah WP dalam negeri, berarti harusnya jadi hak si
broker ini karena CPO menjadi milik dia. Jadi begini, CPO dilelang yang
menang si broker, lalu terserah dia nantinya mau diekspor apa tidak. Ini
kan CPOnya milik dia. Mau diekspor silahkan, mau dijual lokal lagi
silahkan. Seharusnya dari PT XYZ ke broker buka faktur. Setelah itu
broker lah yang harus ekspor. Secara arus uang atau dokumen, harusnya
PT XYZ tidak ekspor. Yang urusan ekspor adalah broker dan konsumen
luar negeri.”(Wawancara dengan Purwitohadi, 8 Juni 2012)
Didalam bunyi penjelasan Pasal 13 ayat (9) UU PPN selanjutnya: “Dengan
demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
82
Universitas Indonesia
dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal dan sudah
dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum dalam
Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan
Faktur Pajak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor
Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor
Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean, Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya
dipersamakan dengan Faktur Pajak tersebut tidak memenuhi syarat material”
Selain itu Tunas Hariyulianto memiliki pendapat sendiri mengenai
representative CO.Ltd ini yang menurutnya tetap dapat dianggap sebagai ekspor:
“Broker lokal itu kan hanya sebagai perantara. Jadi ada buyer diluar
membutuhkan CPO, kemudian CPO nya ada di Indonesia. Yang kemudian
penjualan CPO ini harus melalui lelang, kalau lelang berarti kan harus
ada yang hadir di lelang itu. Kemudian si buyer ini juga harus
mengetahui kualitas secara pasti CPO nya. Apakah CPO ini sesuai
atau tidak. Sehingga dia menyuruh pegawainya langsung atau dia
meminta bantuan perusahaan dalam negeri untuk memberikan jasa
untuk menghadiri lelang. Jadi bisa dibilang broker ini hanya jasa
untuk menghadiri lelang” (Wawancara dengan Tunas Hariyulianto, 11
Juni 2011)
Seperti diketahui bahwa atas ekspor barang kena pajak dikenakan PPN
dengan tarif 0%. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa jumlah Pajak
Keluaran selalu lebih kecil daripada jumlah pajak masukan sehubungan dengan
perolehan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berhubungan langsung
dengan kegiatan ekspor tersebut. Sehingga PT XYZ dapat mengklaim terus
restitusi atas CPO yang diekspornya kalau memang diakui sebagai ekspor.
5.1.3 Transaksi Penjualan CPO PT XYZ oleh PT BBJ
Persaingan global komoditi CPO yang dianggap semakin ketat
menyebabkan pemerintah pada tanggal 23 Juni 2009 membentuk pemasaran CPO
dengan Pasar Fisik Terorganisir yang diselenggarakan oleh PT Bursa Berjangka
(PT BBJ) untuk melaksanakan lelang fisik secara elektronik atau on-line.
Peluncuran Pasar fisik yang juga merupakan hari pertama perdagangan fisik CPO
diresmikan oleh dua menteri yaitu Menteri Negara BUMN dan Menteri
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
83
Universitas Indonesia
Perdagangan RI. Dengan demikian pemasaran CPO PT XYZ tidak lagi hanya
melalui PT ABC tapi juga melalui PT BBJ. Jika dilihat dari fungsinya, PT BBJ
juga dapat dikategorikan memberikan jasa perantara seperti yang dilakukan oleh
PT ABC. Pengertian jasa perantara menurut website bea cukai adalah sebagai
berikut:
“Jasa Perantara adalah imbalan financial yang diberikan kepada suatu
pihak yang berfungsi sebagai perantara (intermediary) yang bertugas
mempertemukan penjual dan pembeli dalam transaksi. Untuk menentukan apakah
suatu pihak bertindak sebagai wakil penjual (selling agent), wakil pembeli
(buying agent) atau perantara (intermediary) harus dilihat fungsi pihak tersebut
dalam transaksi perdagangan mewakili kepentingan siapa.” (www.beacukai.go.id)
Berdasarkan pengertian tersebut, PT BBJ bertindak sebagai perantara
(intermediary) pihak penjual dan pembeli yang ada di bursa. Jasa perantara
termasuk dalam pengertian jasa perdagangan yang ada di SE-145/PJ/2010, dimana
menyebutkan bahwa jasa perdagangan dapat berupa jasa perantara, jasa
pemasaran, dan jasa mencarikan penjual dan pembeli. Untung Sukardji setuju
apabila jasa PT BBJ dikategorikan jasa perdagangan :
“Iya bisa termasuk jasa perdagangan dan feenya kena PPN 10 persen”
(Wawancara dengan Untung Sukardji, 5 Juni 2012)
Namun Hariyanto berpendapat lain mengenai jasa yang dilakukan PT BBJ:
“Bukan jasa perdagangan karena dia fungsi pasar, jadi gak bisa
disamakan dengan jasa perdagangan di SE 145. Karena yang membayar
biayanya siapa, penjual dan pembeli kan yang memanfaatkan fasilitas
pasar itu, untuk pengadaan infrastrukturnya untuk jual dan belinya. Sama
seperti kita kalau jualan bursa kan, bursa kan ada penjual dan pembeli,
saya mau tawarkan harga sekian. Kalau ada yang klop ya udah terjual.
Ini kan ada administrasinya kan tiap kali dia selesai, itu harus kena biaya
dan kena PPN. Kalau jasa perdagangan di SE 145, dia berhubungan
dengan satu orang saja. Kalau disini kan, misal saya sebagai PT BBJ,
cuma memberikan fasilitas jual beli CPO ini, tau tau udah datang penjual
dan pembeli. Jadi saya cuma sebagai sarana nya saja.” (Wawancara
dengan Hariyanto, 7 Juni 2012)
Hariyanto menuturkan bahwa PT BBJ tidak bisa dikategorikan
memberikan jasa perdagangan karena PT BBJ menyelenggarakan pasar dengan
cara lelang. Peneliti melihat lebih lanjut bahwa sebenarnya PT ABC juga
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
84
Universitas Indonesia
melakukan lelang, seharusnya diperlakukan sama dengan PT BBJ. Hal ini juga
dipaparkan oleh Purwitohadi:
“Untuk PT BBJ sebenarnya perannya sama ya kalau tidak ada ketentuan
lain untuk bursa berjangka untuk mendorong kemajuannya. Kalau tidak
ada, ini kan sama sebenarnya mau lewat internet ataupun dia langsung
jual di kebunnya. Jadi supaya setara, PT XYZ dan PT BBJ seharusnya
sama yaitu jasa perdagangan” (Wawancara dengan Purwitohadi, 8 Juni
2012)
Tunas Hariyulianto pun sependapat bahwa PT BBJ termasuk jasa
perdagangan yang ada di SE-145, karena dia beranggapan bahwa lelang hanya
cara menjual:
“Artinya yang saya tangkap disini PT BBJ itu menyerahkan jasa
perdagangan, cara menjualnya menggunakan mekanisme pasar. Si
penjual kan menawarkan CPO. Jadi PT BBJ ini menghubungkan penjual
yang banyak dengan pembeli yang banyak. Justru dia menyediakan
media untuk saling berhubungan antara penjual dan pembeli. Dengan
cara apa menghubungkannya ya terserah. Karena di SE 145 tidak
didefinisikan lebih lanjut dengan cara apa. ”(Wawancara dengan
Tunas Hariyulianto, 11 Juni 2012)
PT BBJ dalam kegiatannya memberikan jasa akan menagih biaya transaksi
(termasuk PPN) secara berkala oleh bursa kepada peserta. Untuk setiap transaksi
yang terjadi, besarnya biaya transaksi yang harus dibayar oleh penjual dan
pemenang lelang, masingmasing sebesar Rp 1 (satu rupiah) per kilogram. Jasa
perdagangan selama ini dikaitkan atas pemberian fee yang dilakukan oleh
penerima jasa kepada pemberi jasa perdagangan. Di dalam transaksi penjualan
CPO yang terjadi di PT BBJ, adanya biaya transaksi yang dibayar oleh penjual
dan pemenang lelang dapat dikategorikan sebagai fee, dan juga ada biaya
membership sebesar satu juta rupiah pertahunnya belum termasuk PPN. Hal ini
seperti disampaikan oleh Purwitohadi:
“ Kita melihatnya bahwa yang dia lakukan adalah menghubungkan antara
penjual dan pembeli. Atau disitu dia men-charge dalam jumlah tertentu.
Dan dia sudah mengenakan PPN. Entiti yang memberikan jasa ini kan
mungkin punya aturan sendiri-sendiri ya. Mungkin tadi PT ABC tidak
punya membership fee, tapi di bursa dia punya aturan untuk membership
ya sah-sah aja. Artinya dia memberikan jasa, tapi dia split. Ada jasa yang
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
85
Universitas Indonesia
dia charge tiap tahun, ada juga yang dia charge tergantung dari volume
perdagangannya. Ya sah-sah saja. Karena itu tidak dikecualikan dari JKP
kan. Jadi terutang PPN” (Wawancara dengan Purwitohadi , 5 Juni 2012)
Anang Mury Kurniawan juga berpendapat kalau PT BBJ tidak dapat
dikategorikan sebagai jasa perdagangan karena lebih cocok dikategorikan sebagai
jasa bursa:
“ Bukan jasa perdagangan kalau bagi saya itu. Karena fungsinya secara
substantive itu ikatannya keterlibatan tanggung jawab dari pihak
penyelenggara tadi tidak sebesar pengusaha jasa perdagangan. Kalau
jasa perdagangan itu kan benar-benar mempertemukan. Itu kan cuma
kalo misalnya anda transaksi di bursa efek kemudian ada bursa efek
Jakarta. Apakah bursa efek Jakarta itu melakukan jasa perdagangan. Ya
jasa bursa. Jasa penyelenggaraan bursa efek. Bukan jasa
perdagangan. Kalau bagi saya, PT Bursa Berjangka ini bukan
melakukan jasa perdagangan,tapi menyelenggarakan jasa bursa
berjangka. Fungsinya disitu. Ya memang disitu, dia mengelola suatu
pasar ya, sehingga dapat ketemu penjual dan pembeli. Tapi bukan
direct gitu ya, ini dengan ini. Penyelenggara bursa efek menyediakan
sarana fasilitas. Kemudian mereka minta fee atas penyelenggaraan
bursa tadi. Saya melihatnya bukan jasa perdagangan, karena dia sangat
terbuka siapapun boleh.” (Wawancara dengan Anang Mury
Kurniawan, 5 Juni 2012)
Jasa bursa efek sendiri merupakan jasa kena pajak berdasarkan Surat
Direktur Jenderal Pajak Nomor S-387/PJ.321/1992 dimana dijelaskan pengenaan
PPN atas penyerahan jasa-jasa dalam kegiatan bursa efek, salah satunya jasa yang
diserahkan oleh bursa efek kepada Anggota bursa antara lain berupa jasa
pelayanan transaksi yaitu jasa yang memungkinkan transaksi jual beli efek dapat
berlangsung. Namun peneliti melihat bahwa ada kesamaan antara PT ABC dan PT
BBJ yang melakukan sistem lelang dalam melakukan penjualan CPO, namun
bedanya dengan PT BBJ dengan menggunakan sistem on-line. Hariyanto
memiliki pendapat seperti ini:
“PT ABC ada kontrak bahwa dia hanya menjualkan CPO nya PT XYZ,
sedangkan PT BBJ kan tidak ada kontrak hanya menjualkan CPO nya PT
XYZ kan, karena member penjualnya banyak. Bebas dia, siapa aja yang
jual dan yang beli. Sebenernya kalau saya lihat, kalau si PT ABC juga
melakukan lelang atas CPO nya PT XYZ ini, berarti dapat dibilang kalau
PT ABC ini sarana pasar juga. Karena pembelinya harus member, kalau
diliat dari SE 145. Dilihat dulu pembelinya ini ngasih fee juga ga ke PT
ABC. Kalau di bursa kan ada biaya transaksi. Biasanya ya kalau lelang,
ada biaya transaksi juga tuh atas jasa-jasa yang dilakukan PT ABC. Tapi
kalau dari kasus PT X, karena dia udah terikat kontrak dengan PT Negara
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
86
Universitas Indonesia
untuk memasarkan CPO nya, dengan cara apapun penjualannya apakah
itu melalui lelang pun, kalau dia dapat fee dari PT Negara ini maka dia
termasuk jasa perdagangan. Kalau bursa itu jangan dianggap sebagai
sebuah PT, tapi dia itu pasar. Pembeli dan penjual itu boleh siapapun
masuk. Disitu ada mekanismepasar. Yang bertransaksi mereka sendiri, PT
BBJ hanya menyediakan tempatnya yaitu bursa. Jadi pokonya jasa
perdagangan itu, dia ada kontrak dia dengan satu orang penjual dan
pembeli, nanti dia yang melaksanakan tugas kedua orang tersebut.
(Wawancara dengan Hariyanto, 7 Juni 2012)
Menurut Prof. Adriani, sebagaimana dikutip Sukardji, pajak dibedakan
antara pajak subjektif dan pajak objektif. PPN adalah pajak objektif, dimana
timbulnya kewajiban pajak sangat ditentukan pertama-tama oleh objek pajak,
Keadaan subjektif wajib pajak tidak relevan, walaupun dalam kasus-kasus tertentu
ikut dipertimbangkan. (Sukardji, 2009). Dalam hal PT BBJ tidak ada kontrak
hanya menjualkan CPO nya PT XYZ saja, karena member penjualnya banyak,
Purwitohadi memberikan komentar sebagai berikut:
“Artinya kita gak bisa melihat subjek-subjeknya ya, karena PPN kan pajak
objektif jadi agak kurang relevan kalau kita melihat berapa subjeknya.
Yang kita lihat kan objeknya yaitu jasa. Kalau yang PT ABC penjualnya
cuma PT XYZ, sedangkan PT BBJ penjualnya ada banyak. Substansi yang
diberikan itu apa, objeknya yang dilihat kalau PPN itu.” (Wawancara
dengan Purwitohadi, 5 Juni 2012)
5.2 Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan CPO Ditinjau
Berdasarkan Prinsip Kepastian
Fritz Neumark, seperti dikutip Nurmantu, mengatakan bahwa dalam
prinsip pemungutan pajak yang keempat yaitu prinsip ease of administration and
compliance, sistem perpajakan yang baik haruslah mudah dalam administrasinya
dan mudah pula untuk mematuhinya. Prinsip ease of administration and
compliance ini terinci dalam 4 persyaratan yaitu salah satunya adalah:
The Requirement of Clarity : Dalam sistem perpajakan, baik dalam Undang-
Undang perpajakan maupun peraturan pelaksanaannya, khususnya dalam proses
pemungutan maka ketentuan-ketentuan pajak haruslah dapat dipahami
(comprehensible), tidak boleh menimbulkan keragu-raguan atau penafsiran yang
berbeda, tetapi harus menimbulkan kejelasan (must be unambiguous and certain)
baik untuk Wajib Pajak maupun fiskus. (Safri Nurmantu, 2005)
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
87
Universitas Indonesia
Hal ini juga ditegaskan oleh Rochmat Soemitro yang memberikan
pengertian tentang kepastian hukum bahwa ketentuan undang-undang tidak boleh
memberikan keragu-raguan. Harus dapat diterapkan secara konsekuen untuk
keadaan yang sama secara terus menerus. Undang-undang harus disusun
sedemikian rupa sehingga tidak memberikan peluang kepada siapapun untuk
memberikan interpretasi yang lain daripada yang dikehendaki oleh pembuat
Undang-Undang (Rahayu, 2010)
Berdasarkan pengertian tersebut, kebijakan PPN atas jasa perdagangan
CPO menurut peneliti tidak sesuai dengan prinsip kepastian hukum menurut
pengertian dari Soemitro, karena masih menimbulkan multitafsir di kalangan
akademisi dan praktisi. Hal ini dapat terlihat dalam kalimat “tidak memberikan
peluang kepada siapapun untuk memberikan interpretasi yang lain daripada yang
dikehendaki oleh pembuat Undang-Undang” yang dalam prakteknya di lapangan
memang terjadi demikian. Menurut peneliti, pembuat Undang-Undang dalam
membuat SE-145/PJ/2010, lebih kepada konteks apabila transaksi terjadi dalam
lingkup cross border, dan juga terjadi apabila ada 3 pihak tersebut, namun tidak
memperhatikan bahwa SE tersebut juga dapat diterapkan pada non cross border
atau di dalam daerah pabean pada butir 2 huruf a
a. pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang selaku penerima jasa
perdagangan berada di dalam daerah pabean, sedangkan pembeli dapat
berada di dalam atau di luar Daerah Pabean
Karena sebagai satu-satunya peraturan yang mengatur mengenai jasa
perdagangan, mau tidak mau akademisi, praktisi, WP, fiskus akan mengacu pada
SE ini. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Tunas Hariyulianto yang mengatakan
bahwa :
“Tapi kan yang jadi masalah, SE 145 ini kan udah menentukan definisi
jasa perdagangan itu apa. Jadi kalau disini sudah ditentukan mau gak
mau ini jadi acuan dalam menerapkan ketentuan. Artinya misalnya ada
suatu transaksi penyerahan jasa, kita mau bertanya ini jasa
perdagangan apa bukan. Acuannya kemana, ya kesini. Kalau masuk
dalam definisi ini berarti jasa perdagangan. Kalau masuk jasa
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
88
Universitas Indonesia
perdagangan berarti berlaku ketentuan SE 145. ”(Wawancara dengan
Tunas Hariyulianto, 11 Juni 2012)
Lebih lanjut Racmat Soemitro juga memberikan pengertian bahwa dimana
untuk memberikan kepastian hukum perlu diperhatikan beberapa faktor yang
dalam butir ke dua disebutkan pengdefenisian:
2.) Pendefenisian sesuatu dapat dilakukan secara jelas bila didalamnya dapat
tercakup unsur-unsur dan ciri-ciri dari hal yang didefinisikan. Sistematika
pendefinisian mempunyai peranan yang sangat penting.Ada pendefinisian secara
luas dan ada pendefinisan secara sempit. Keduanya mempunyai konsekuensi
sendiri-sendiri. Pendefinisian secara sempit, lebih memperhatikan kepastian
hukum karena pendefinisian secara sempit menggunakan cara yang limitif, hanya
yang disebut saja yang termasuk dalam ruang lingkup peraturan perundang-
undangan. Yang tidak disebut secara positif, tidak tercakup dalam undang-
undang. (Rahayu, 2010)
Dalam pengertian diatas, menyebutkan bahwa “Pendefinisian secara
sempit, lebih memperhatikan kepastian hukum karena pendefinisian secara sempit
menggunakan cara yang limitif. Pengertian jasa perdagangan di dalam SE-
145/PJ/2010 berbunyi berikut: “jasa perdagangan adalah jasa yang diberikan oleh
orang atau badan kepada pihak lain, dengan menghubungkan pihak lain tersebut
kepada pembeli pihak lain itu, atau menghubungkan pihak lain tersebut kepada
penjual barang yang akan dibeli pihak lain itu. Dengan demikian, jasa
perdagangan dapat berupa jasa perantara, jasa pemasaran, dan jasa mencarikan
penjual dan pembeli”
Kata-kata “menghubungkan pihak lain tersebut kepada pembeli pihak lain
itu atau sebaliknya” sangatlah luas. Tidak ada disebutkan lebih lanjut cara
menghubungkannya bagaimana dan dengan cara apa membuat setiap orang dapat
memiliki pendapat masing-masing, sehingga jika dilihat jasa PT BBJ pun dapat
masuk ke dalam pengertian ini.
Hal ini sesuai dengan Roechmat Soemitro juga menjelaskan bahwa dalam
pemberian definisi harus dijaga supaya tidak terjadi kekosongan atau loopholes
yang masih dapat diselundupi. Harus diperhatikan juga, jangan memberi definisi
yang terlalu luas, melainkan seberapa boleh diberikan definisi yang sempit dan
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
89
Universitas Indonesia
tepat. Sistem memperluas dan mempersempit definisi harus diberikan dalam
undang-undang yang mudah dimengerti. Uraian yang limitatif lebih diutamakan
daripada uraian yang enunsiatif. Kata-kata “seperti”, “antara lain”, “diantaranya”,
bila digunakan dalam teks undang-undang akan menambah ketidakpastian hukum.
(Soemitro,1990). Pengertian jasa perantara dan jasa pemasaran, jasa mencarikan
penjual dan pembeli sangatlah luas jika dipraktekkan di lapangan, dimana tidak
seperti dalam SE-145 yang tidak dapat mengatur persediaan barang karena hanya
murni jasa, namun jasa perantara seperti broker, makelar, agen, komisioner dalam
prakteknya dapat mengatur persediaan barang.
5.3 Alternatif Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan
CPO
Berdasarkan uraian peneliti mengenai broker lokal yang menjadi
perwakilan dari pembeli luar negeri, bahwa mekanisme pembelian pun juga
berpengaruh didalam pengenaan PPN. Hal ini dapat terlihat dari kegiatan broker
lokal yang fungsinya tidak hanya menghubungkan penjual, yaitu PT XYZ dengan
Pembeli CPO di luar negeri, namun juga broker lokal mengikuti proses lelang
yang ada di PT ABC. Lelang dalam prakteknya memang tidak hanya sembarang
lelang karena sangat terstruktur dan resmi, dilihat bahwa peserta lelang di PT
ABC harus menjadi peserta dengan syarat-syarat yang ditentukan. Kegiatan lelang
yang dilakukan broker lokal untuk pembeli luar negeri menimbulkan kewajiban
pajak baru bagi broker lokal, selain dengan PPN atas fee yang harus dia pungut
dari pembeli luar negeri atas jasa yang diberikannya.
Didalam pasal 1A UU PPN dijelaskan bahwa penyerahan barang kena
pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang terutang PPN. Yang
dimaksud dengan “juru lelang” adalah juru lelang pemerintah atau yang ditunjuk
oleh pemerintah. Rosdiana, Irianto, dan Putranti menjelaskan juru lelang sebagai
berikut:
“Penyerahan barang kena pajak sebagai objek lelang oleh pemilik kepada
pemenang lelang (pembeli) melalui juru lelang terutang PPN. Kegiatan
lelang yang dilakukan perusahaan lelang untuk kepentingan pemilik harta
yang dilelang, termasuk sebagai kegiatan jasa perantara. Berdasarkan
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
90
Universitas Indonesia
Pasal 5 PP No. 144 Tahun 2000, bahwa jasa lelang tidak termasuk jenis
jasa yang tidak dikenakan PPN sehingga atas penyerahan jasa lelang oelh
pengusaha lelang kepada pihak ketiga, pemilik objek lelang terutang PPN”
(Rosdiana, Irianto, dan Putranti, 2011, 143)
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka peneliti memiliki inisiatif
kebijakan bahwa perdagangan CPO yang melalui kegiatan lelang dalam
penjualannya seperti yang dilakukan PT XYZ melalui PT ABC, maka bagaimana
bila dikategorikan sebagai penyerahan kepada juru lelang yang ada pada pasal 1A
UU PPN tersebut, dimana penyerahannya terutang PPN, sehingga atas kegiatan
lelang yang dilakukan oleh PT ABC sebagai “juru lelang”, lalu broker lokal
sebagai peserta lelang itu bisa disebut penyerahan BKP di dalam daerah pabean.
Sebagaimana diatur oleh Peraturan Kementrian Keuangan Nomor
75/PMK.03/2010, maka dasar pengenaan pajak nilai lain yaitu sebesar 10 persen
dari harga lelang. Dimana nanti penyerahan dari PT XYZ harus menerbitkan
faktur pajak kepada broker lokal, sebagai bukti bahwa penyerahan ada di dalam
negeri walaupun nanti tujuannya ekspor untuk ke pembeli di luar negeri.
Diharapkan dengan hal ini PT XYZ tidak dapat mengklaim ekspor lagi karena
faktur dan dokumen atas nama broker lokal sehingga tidak bisa melakukan
restitusi yang akan berdampak kepada penerimaan negara.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
91
Universitas Indonesia
BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan tentang “Evaluasi Kebijakan
Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan Crude Palm Oil (CPO) (Studi
Kasus PT. ABC)”, maka kesimpulan yang dapat diambil untuk dapat menjawab
pertanyaan penelitian, diantaranya:
4. Transaksi-transaksi yang terkait dengan jasa perdagangan terkait dengan jasa
perdagangan CPO studi kasus PT ABC ada tiga pihak pengusaha, yaitu adalah
yang dilakukan oleh PT ABC, broker lokal dan PT BBJ.
- Yang pertama adalah jasa pemasaran untuk mencarikan pembeli melalui
sistem lelang yang diberikan PT ABC kepada PT XYZ. Jasa tersebut dapat
dikatakan sebagai jasa perdagangan dan atas jasa tersebut PT ABC
mendapatkan fee dari PT XYZ sebesar 0,5 persen dari harga jual.
- Lalu yang kedua adalah broker lokal dengan pembeli di luar negeri.
Broker lokal mendapat fee jasa perantara sebagai representative, terutang
PPN menurut SE-145/PJ/2010. Kegiatan broker lokal tersebut
menimbulkan BUT tipe keagenan, sehingga transaksi lelang tersebut
seharusnya dikategorikan sebagai penyerahan di dalam negeri bukan
ekspor.
- Yang ketiga adalah jasa yang diberikan PT BBJ, yang bisa disamakan
dengan jasa pelayanan transaksi bursa efek. Jasa ini juga dapat
dikategorikan sebagai jasa perdagangan dalam SE-145/PJ/2010, yang
dimana fee dibayar pemenang lelang dan penjual atas biaya transaksi
sebesar satu rupiah per kg, sudah termasuk PPN.
5. Implementasi kebijakan PPN atas jasa perdagangan CPO tidak memberikan
kepastian hukum karena terjadi multitafsir di kalangan praktisi dan akademisi
mengenai pengertian jasa perdagangan itu sendiri, dimana di dalam SE-
145/PJ/2010 dijelaskan hanya jasa untuk menghubungkan penjual dan pembeli
yang dapat berupa jasa perantara, pemasaran, dan mencarikan penjual dan
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
92
Universitas Indonesia
pembeli, dimana jasa perantara dan jasa pemasaran dalam prakteknya
bermacam-macam, bahkan dapat melalui mekanisme lelang.
6. Alternatif kebijakan menurut peneliti atas jasa perdagangan CPO seperti kasus
PT ABC adalah bagaimana bila dikategorikan sebagai penyerahan kepada juru
lelang yang ada pada pasal 1A UU PPN, dimana penyerahannya terutang
PPN, sehingga atas kegiatan lelang yang dilakukan oleh PT ABC lalu broker
lokal sebagai peserta lelang itu bisa disebut penyerahan BKP di dalam daerah
pabean. Sebagaimana diatur oleh Peraturan Kementrian Keuangan Nomor
75/PMK.03/2010, maka dasar pengenaan pajak nilai lain yaitu sebesar 10
persen dari harga lelang.
6.2 Saran
Setelah penelitian dilakukan, berikut beberapa saran yang dibuat oleh
peneliti :
1. Untuk mencapai kepastian hukum dan tidak menjadi multitafsir, maka
seharusnya aparat pajak mengkaji kembali pengertian jasa perdagangan,
mana-mana saja yang dapat termasuk dalam pengertian jasa perdagangan
menurut SE-145/PJ/2010 dan mana yang tidak karena pengertiannya yang
sangat luas.
2. Disarankan agar aparat pajak meninjau kembali transaksi-transaksi ekspor
yang tidak langsung kepada pembeli yang ada diluar negeri, dengan
mempelajari kontrak kerja dan keberadaan badan-badan perantaranya yang
ada di dalam negeri, sebagai contoh kasus PT XYZ, PT ABC, dan broker
lokal. Hal ini dilakukan agar dapat mengurangi kemungkinan praktek
penghindaran pajak dan juga ketidaktahuan Wajib Pajak.
3. Disarankan kepada pemerintah untuk memperbesar transaksi penjualan
CPO PT XYZ melalui PT BBJ, karena diharapkan dengan dibentuknya
pasar fisik ini, harga CPO di BBJ akan menjadi acuan harga dunia dan
nasional. Karena selama ini, pasar CPO dunia masih mengacu pada pasar
fisik Rotterdam, sedangkan basis penetapan harga dunia juga masih
berpedoman pada pasar berjangka di Kuala Lumpur, padahal Indonesia
adalah salah satu pengekspor CPO terbesar di dunia.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
93
Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI
Buku
Ahmad, R. (1998). Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Utara. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama
Babbie, Earl. (2004). The Practice of Social Research (10th ed.). USA: Thomson
Learning.
Bungin, M. Burhan. (2007). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Creswell, John W. (1994). Research Design: Qualitative and Quantitative
Approaches. California: SAGE Publication, Inc.
Creswell, J.W. (2007). Qualitative inquiry and research design: Choosing among
five approaches (2nd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage.
Darussalam, Danny Septriadi. (2006). Membatasi Kekuasaan Untuk Mengenakan
Pajak. Jakarta: Grasindo.
Devereux, Michael P. (1996). The Economics of Tax Policy. New York: Oxford
University Press.
Dunn, William. (1994). Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Drs, Somodra
Wibawa, M.A, dkk, Penterjemah). Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Gillis, Malcolm, Carl S. Shoup, & Gerardo P. Sicat. (1990). VAT in Developing
Countries. Washington, DC: The World Bank.
Gunadi. (2007). Pajak Internasional Edisi Revisi. Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Hancock, Dora. (1994). An Introduction to Taxation. Great Britain: Hartnolls Ltd
Hutagaol, John. (2000). Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Indonesia
dengan Negara-Negara di Kawasan Asia Pasifik, Amerika, dan Afrika
Pemahaman Praktis. Jakarta: Salemba Empat.
Kotler, Philip. (1996). Marketing Management (8th ed.). New Jersey: Prentice-
Hall.
Lupiyoadi, R., & A Hamdani. (2006). Manajemen Pemasaran Jasa. Jakarta:
Salemba Empat.
Mansury, R. (1994). Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia Jilid
I. Jakarta: Bina Rena Pariwara.
Marsuni, Lauddin. (2006). Hukum dan Kebijakan Perpajakan di Indonesia.
Yogyakarta: UII Press.
Mardiasmo. (2007). Perpajakan. Yogyakarta : ANDI. 1997
Melville, Alan. (2001). Taxation: Finance Act 2000. London: Pearson Education
Limited.
Moleong, Lexy J. (2004). Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Muhadjr, N. (1992). Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Neuman, W. Laurence. (2003). Social Research Methods: Qualitative and
Quantitative Approaches (5th ed.). Boston: Allyn and Bacon.
Nurmantu, Safri. (2005). Pengantar Perpajakan (3rd ed.). Jakarta: Granit.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
94
Universitas Indonesia
Pahan, Iyung. (2011). Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis
dari hulu hingga hilir Cetakan XI. Jakarta: Penebar Swadaya
Purwito, M.Ali. (2008). Kepabeanan dan Cukai (Pajak Lalu Lintas Barang):
Teori dan Aplikasi Edisi Revisi. Jakarta: Kajian Hukum Fiskal
(FHUI).
Rahayu, Siti Kurnia. (2010). Perpajakan Indonesia, Konsep dan Aspek Formal.
Yogyakarta: Graha Ilmu
Rosdiana, Haula, & Rasin Tarigan. (2005). Perpajakan Teori dan Aplikasi.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Rosdiana, Haula, Edi Slamet Irianto, & Titi Muswati Putranti. (2011). Teori Pajak
Pertambahan Nilai. Bogor: Ghalia Indonesia.
Soemitro, Rochmat. (1988). Pajak Ditinjau Dari Segi Hukum. Bandung: PT
Eresco.
Soemitro, Rochmat. (1990). Asas dan Dasar Perpajakan Edisi Revisi, Cetakan
Keempat. Bandung: PT. Eresco
Tait, Alan A. (1998). Value Added Tax: International Practice and Problems.
Washington, DC: International Monetary Fund.
Terra, Ben. (1988). Sales Taxation: The Case of Value Added Tax in the
European Community. Deventer-Boston: Kluwer Law and Taxation
Publishers.
Tjiptono, F., & Chandra, Gregorius. (2005). Service, Quality, & Satisfaction.
Yogyakarta: Andi.
Thuronyi, Victor. (Ed.). (1996). Tax Law and Drafting Volume 1. Washington,
DC: Internasional Monetary Fund.
Yasin, M. (2003). Pertanian sebagai Sektor Penting di Perkembangan Ekonomi
dunia.Yogyakarta; Penerbit UGM-Press
Zakaria, Jaja. (2005). Perlakuan Perpajakan Terhadap Bentuk Usaha Tetap
(BUT). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Jurnal
Agustian, Adang & Prajogo U. Hadi. (2003). Analisis dinamika ekspor dan
keunggulan komparatif minyak kelapa sawit (CPO) di Indonesia. Bogor:
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Karya Ilmiah
Octaviano, Gerry. (2008). Tinjauan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan
Jasa Perdagangan. Depok: Program Sarjana Reguler Universitas
Indonesia.
Kurniawati, Fitria. (2010). Analisis Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas
Transaksi Lintas Negara terkait dengan Jasa Perdagangan (studi kasus
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
95
Universitas Indonesia
PT ABC dan Japan Corporation). Depok: Program Sarjana Reguler
Universitas Indonesia.
Saraswati, Sari. (2012). Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas Ekspor Jasa
Perdagangan. Depok: Program Sarjana Reguler Universitas Indonesia.
Games JS, Hengky. (2010). Analisis Ekonomi Kelembagaan Pemasaran CPO
Produksi P.T. Perkebunan Nusantara (PTPN) (Kasus Kantor Pemasaran
Bersama (KPB) PTPN Jakarta). Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Peraturan
____________, Surat Edaran Dirjen Pajak SE-145/PJ/2010 mengenai Pajak
Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan
____________, Undang-undang No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Merah
____________, Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2012 mengenai pelaksanaan
UU PPN No. 42 Tahun 2009
Media Elektronik
PT. Bursa Berjangka Jakarta, Jakarta Future Exchange. (n.d.). Pasar Fisik Minyak
Sawit Mentah (CPO) Terorganisir. May 25, 2012. http://www.bbj-jfx.com
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
96
Universitas Indonesia
PEDOMAN WAWANCARA
1. Jasa perdagangan dalam prakteknya di lapangan
2. Bentuk kontrak dan komisi jasa perdagangan
3. Fungsi PT ABC jika dikaitkan dengan jasa perdagangan
4. Fungsi PT BBJ jika dikaitkan dengan jasa perdagangan
5. Fungsi broker lokal sebagai perwakilan pembeli di luar negeri untuk tujuan
ekspor jika dikaitkan dengan jasa perdagangan, Bentuk Usaha Tetap (BUT),
dan konsep PPN
6. PT XYZ mengklaim ekspor CPO atas kegiatan lelang yang dilakukan oleh
broker lokal yang merupakan perwakilan pembeli luar negeri jika dikaitkan
dengan konsep PPN
Lampiran 1
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
97
Universitas Indonesia
HASIL WAWANCARA
Waktu : Pukul 11.00 WIB – 12.00 WIB
Hari/Tanggal : Kamis, 7 Juni 2012
Tempat : Direktorat Peraturan Perpajakan I
Gedung Utama Lantai 6, Kantor Pusat Direktorat
Jenderal Pajak
Jl. Gatot Subroto, Jakarta Selatan
Interviewer : Ratna Hapsari Sianipar (0806396430)
Interviewee : Hariyanto
Posisi Interviewee : Staf Pelaksana Subdit Peraturan PPN Perdagangan, Jasa
dan Pajak Tidak Langsung Lainnya, Dirjen Pajak
Menurut Bapak pengertian jasa perdagangan itu sendiri apa, dan apakah broker itu
termasuk jasa perdagangan?
Dilihat dari SE 145 jasa perdagangan adalah jasa yang diberikan oleh orang atau
badan yang dihubungkan pihak lain kepada pembeli atau penghubung yaitu
berupa jasa perantara, atau mencarikan penjual dan pembeli. Kalau saya melihat
broker itu ada beda lagi, karena dalam Undang-Undang kita broker itu perusahaan
bisa dimiripkan dengan makelar. Kalau buat lebih jelasnya saya sarankan ke
Kemendag, karena aturannya sudah disana kalau perdagangan. Kalau di kita,
kitapun ngambilnya dari kemendag, kalau kemendag mengatur seperti ini. Ya
berarti tinggal kita bagaimana PPN nya yang harus kita kenakan.
Latar belakang diterbitkannya SE 145 dulu itu apa kenapa pak?
Karena ada banyak pertanyaan terkait dengan transaksi ini misalnya, ada
penyerahan barang atau tidak. Kalau makelar itu ada penyerahan barang dulu, jadi
ke makelar dulu baru makelar nyari pembeli baru dapat komisi. Kalau contoh
barang ke makelar,di dalam pasal 1A Undang-Undang kita dari awal sudah
menyatakan bahwa itu bukan termasuk bukan penyerahan BKP jadi tidak terutang
PPN. Yang kena PPN bagaimana komisinya nantinya. Kalau kita ibaratkan, jasa
Lampiran 2
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
98
Universitas Indonesia
makelar itu jasa perdagangan, kalau di kita. Misalnya saya jual barang ke orang
lain melalui makelar, jadi ini belum ada transaksi saya dengan makelar.
Transaksinya apa, kalau makelar sudah selesai, kemudian dia memberikan
harganya misal saya pengen jual 100 nih, oke makelar jual 100 kan. Habis jual
100 itu saya kasih fee ke dia. Nah fee inilah yang disebut jasanya yang terutang
PPN.
Kalau agen dan broker itu bagaimana pak? Misalnya BKP ada di dia bagaimana?
Tergantung agennya seperti agen apa disini. Dilihat dulu pekerjaannya seperti apa.
Misal penjual memberikan BKPnya ke agen baru dijual. Dilihat itu termasuk apa
berarti, ada penyerahan gak. Yang pasti di dalam Undang-Undang PPN itu kalau
ada penyerahan berarti ada arus barang. Kalau sudah ada arus barang, arus
uangnya ada atau tidak. Dan dia tidak memperoleh penghasilan dari jasa dia
menjualkan, itu berarti agen disini adalah dia berdiri sendiri atau trading. Kalau
misalnya BKP ada di dia dan dia juga mendapatkan fee, dilihat dulu ada spare
margin tidak dari dia, misal dari penjual harga 100 kemudian dia jual ke orang
lain 110. Kalau misalnya demikian, berarti dia sebagai trader dong. Tidak bisa
kita ibaratkan sebagai jasa perdagangan atau sebagai makelar tadi. Bedanya disitu
aja, jadi jasa perdagangan kita anggap kalau di kita bahwa dalam bentuk dia hanya
mencarikan, misal eh kamu aku mau beli ini, cariin. Ok. Dia gak jual kan. Hanya
menghubungkan aja.
Syarat terjadinya jasa perdagangan?
Kalau di kita gak mengatur ada kontrak ataupun apa. Kalau dia menyerahkan
sebuah jasa di ikatan kontraknya kemudian dia melakukan penyerahan jasa itu,
yaudah terutang PPN.
Dalam prakteknya, perdagangan CPO PT XYZ tidak langsung kepada konsumen
namun melalui PT ABC, menurut bapak PT ABC ini melakukan jasa
perdagangan?
Dilihat dulu kontraknya dengan PT XYZ dia kan menjualkan lelang. Ini ada
penyerahan barangnya kemana. Kan kalau disini dia cuma jasa perdagangannya
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
99
Universitas Indonesia
kan, dia gak ada sama sekali membeli dari PT XYZ, itu berarti jasa perdagangan.
Jadi 0,5 persen itu adalah fee atas jasanya. Komisi lah dianggap sebagai itu.
Tentang PT ABC ini anak perusahaan PT XYZ, kita balik lagi ke accounting. Di
accounting induk sama anak perusahaan itu sebuah entitas sendiri kan, masing-
masing. Kalau ada penyerahan berarti dianggap penyerahan kepada pihak lain.
Apapun bentuknya dia walaupun dia kantor atau perkumpulan, dalam undang
undang PPN dia termasuk badan juga kan.
Kalau fee di jasa perdagangan ini kan berarti didapat dari siapa yang
memanfaatkan jasa ya pak, tapi kalo fee di PT ABC ini terbentuk dari 0,5 persen
dari harga jual itu gimana pak?
Ini saya buatkan matrix nya SE 145. Ini masalah luar daerah pabean dan dalam
daerah pabean. Tapi kalau di dalam daerah sendiri gak ada masalah. Kalau saya
gambarkan ini ada PT XYZ dan PT ABC. Yang memanfaatkan jasa siapa apakah
penjual yaitu PT XYZ disini memanfaatkan PT ABC. Pembeli ini ada kontrak gak
dengan PT ABC, misal hey aku cariin penjual. Enggak kan. Karena penjual sudah
pasti PT XYZ. Berarti disini yang memanfaatkan berarti PT XYZ yang
memberikan kontrak dengan PT ABC. Kalau mau dilihat dari penyerahannya
maka disini penyerahannya adalah PT ABC kepada PT XYZ. Ini penyerahan jasa
perdagangannya. Jangan dilihat PT ABC dan pembeli kan ada jual beli, iya ada
jual beli. Cuma apa, dia melalui PT ABC ini yang mencarikan pembelinya siapa.
Dari harga CPO misal 100, maka tadi ada fee 0,5 persen dari harga jual. Maka PT
ABC setelah menerima uang 100 dia pasti bayar ke PT XYZ. Dan sebesar 0,5 dari
PT XYZ ke PT ABC. Maka PT ABC harus mungut PPN atas 0,5 itu dan
mengeluarkan faktur pajak.
PT XYZ tidak harus melalui PT ABC namun melalui PT Bursa Berjangka (PT
BBJ) melalui lelang internet), apakah itu termasuk jasa perdagangan? Dan apakah
biaya transaksi yang kena 10 persen itu adalah fee yang dimaksud untuk jasa
perdagangan?
Bukan jasa perdagangan karena dia fungsi pasar, jadi gak bisa disamakan dengan
jasa perdagangan di SE 145. Karena yang membayar biayanya siapa, penjual dan
pembeli kan yang memanfaatkan fasilitas pasar itu, untuk pengadaan
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
100
Universitas Indonesia
infrastrukturnya untuk jual dan belinya. Sama seperti kita kalau jualan bursa kan,
bursa kan ada penjual dan pembeli, saya mau tawarkan harga sekian. Kalau ada
yang klop ya udah terjual. Ini kan ada administrasinya kan tiap kali dia selesai, itu
harus kena biaya dan kena PPN. Kalau jasa perdagangan di SE 145, dia
berhubungan dengan satu orang saja. Kalau disini kan, misal saya sebagai PT
BBJ, cuma memberikan fasilitas jual beli CPO ini, tau tau udah datang penjual
dan pembeli. Jadi saya cuma sebagai sarana nya saja. Kalau kita ibaratkan lah
misal PD Pasar Jaya, ada pembeli datang dengan member dan ada penjual mengisi
lapak. Sama-sama bayar iuran kan tiap bulan, karena sama-sama butuh. Nah
mekanisme yang terjadi di bursa itu apa, mekanisme pasar kan. PT BBJ misal
berkata, eh kamu A harus jual dengan B. Enggak kan. PT BBJ bukan ada kontrak
dengan A dulu bahwa harus menjualkan CPOnya kemudian PT BBJ nyari si B.
Enggak kan. Siapapun yang masuk silahkan, siapapun yang mau beli silahkan.
Tinggal milih mana yang sesuai harganya.
Jadi saya melihatnya begini pak, apa bedanya dengan PT ABC tadi yang
menjualnya dengan cara lelang juga kan, tapi di PT BBJ ini juga lelang namun
menggunakan internet?
Perbedaannya begini, tadi PT ABC ada kontrak bahwa dia hanya menjualkan
CPO nya PT XYZ, sedangkan PT BBJ kan tidak ada kontrak hanya menjualkan
CPO nya PT XYZ kan, karena member penjualnya banyak. Bebas dia, siapa aja
yang jual dan yang beli. Sebenernya kalau saya lihat, kalau si PT ABC juga
melakukan lelang atas CPO nya PT XYZ ini, berarti dapat dibilang kalau PT ABC
ini sarana pasar juga. Karena pembelinya harus member, kalau diliat dari SE 145.
Dilihat dulu pembelinya ini ngasih fee juga ga ke PT ABC. Kalau di bursa kan ada
biaya transaksi. Biasanya ya kalau lelang, ada biaya tr ansaksi juga tuh atas jasa-
jasa yang dilakukan PT ABC. Tapi kalau dari kassus PT ABC, karena dia udah
terikat kontrak dengan PT XYZ untuk memasarkan CPO nya, dengan cara apapun
penjualannya apakah itu melalui lelang pun, kalau dia dapat fee dari PT ABC ini
maka dia termasuk jasa perdagangan. Kalau bursa itu jangan dianggap sebagai
sebuah PT, tapi dia itu pasar. Pembeli dan penjual itu boleh siapapun masuk.
Disitu ada mekanisme pasar. Yang bertransaksi mereka sendiri, PT BBJ hanya
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
101
Universitas Indonesia
menyediakan tempatnya yaitu bursa. Jadi pokonya jasa perdagangan itu, dia ada
kontrak dia dengan satu orang penjual dan pembeli, nanti dia yang melaksanakan
tugas kedua orang tersebut.
Bagaimana mekanisme pengenaan PPN di bursa?
Kalau kita melihat prinsip pemungutan dari objek PPN di UU PPN Indonesia
adalah negative list. Ada gak disitu jasa bursa masuk ke dalam pasal 4, kan tidak
ada. Maka yang tidak ada dalam list itu terkena PPN. Kalau iuran anggota, dalam
UU PPN iuran itu biaya kan. Bagi dia biaya ini untuk apa, ya untuk mengelola
pasar ini. Contohnya di supermarket, barang yang ada disana kan milik pemasok.
Nah pemasok itu nyewa rak kan di supermarket itu. Sewa slot sebagai disitu. Bagi
supermarket dia harus memungut PPN atas sewa rak tersebut. Dan dia termasuk
jasa keuangan, kalau termasuk jasa keuangan itulah yang disebut biaya.
Atas PT XYZ yang mengklaim ekspor CPO dimana yang melakukan lelang
adalah representative yang ditunjuk dari luar negeri, apakah bisa dibenarkan
demikian?
Disini terlihat bahwa arus barang dan arus uangnya tidak sama. Ini bisa dianggap
ekspor jika PT XYZ langsung ke Co.ltd jadi PMnya dapat dikreditkan. Bagi
broker disini dia tidak boleh ada PEB, karena yang mengekspor PT XYZ. Lalu
atas pembayaran CPO nya dia ada perwakilan dari Co.ltd, jadi tidak perlu ada
PPN. Akan tetapi pada saat dia mendapat fee dari Co.ltd ini adalah jasa
perdagangan kena 10 %.
Maksudnya arus barang dan arus uang yang berbeda itu bagaimana pak?
Di PER 10 dijelaskan kalau PEB itu sebagai pengganti faktur pajak. Disini
melakukan ekspor sepanjang penyerahan ini si broker adalah perwakilan bukan
pembeli sebenarnya. Kalau dia berfungsi sebagai trading biasa bukan
ekspor.Namun kalau membawa nama CO.ltd berarti dia ekspor. Sepanjang
dokumennya atas nama broker, maka PT XYZ gak boleh ekspor tapi harus
menyerahkan dulu ke broker.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
102
Universitas Indonesia
HASIL WAWANCARA
Waktu : Pukul 09.00 WIB – 09.15 WIB
Hari/Tanggal : Jumat, 8 Juni 2012
Tempat : Badan Kebijakan Fiskal
Kompleks Kementrian Keuangan
Gedung R.M. Notohamiprodjo
Jl. Dr. Wahidin Raya No. 1
Interviewer : Ratna Hapsari Sianipar (0806396430)
Interviewee : Purwitohadi
Posisi Interviewee : Kepala Sub Bidang PPN dan PPnBM, Badan Kebijakan
Fiskal
Menurut Bapak pengertian jasa perdagangan itu sendiri apa, dan apakah broker,
agen, makelar itu termasuk jasa perdagangan?
Kalau murni jasa perdagangan harusnya dia tidak sampai meng-keep barangnya,
kalau kita lihat dari SE 145 nya kan, mencarikan penjual dan mencarikan pembeli.
SE 145 itu sepertinya kok termasuk mengatur yang cross border ya. Kalau
pemberi jasa perdagangan sampai membeli barang itu, berarti itu bukan perantara
ya, memang dia dagang. Bukan jasa. Kita harus lihat skemanya seperti apa,
apakah ke makelar apakah murni jasa perdagangan. Jadi intinya kalau ada
pemanfaatan jasa perdagangan di dalam daerah pabean terutang PPN.
Dalam prakteknya, perdagangan CPO dari PT XYZ tidak langsung kepada
konsumen namun melalui PT ABC, dan juga contoh yang ke dua yaitu sekarang
PT XYZ tidak harus melalui PT ABC namun melalui PT BBJ melalui lelang
internet menurut bapak apakah keduanya melakukan penyerahan jasa
perdagangan?
Iya PT ABC melakukan jasa perdagangan. Untuk PT BBJ sebenarnya perannya
sama ya kalau tidak ada ketentuan lain untuk bursa berjangka untuk mendorong
Lampiran 3
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
103
Universitas Indonesia
kemajuannya. Kalau tidak ada, ini kan sama sebenarnya mau lewat internet
ataupun dia langsung jual di kebunnya. Jadi supaya setara, PT ABC dan PT BBJ
seharusnya sama. Sebenernya memang luas ya, di SE 145 itu tidak memberikan
batasan-batasan khusus maksudnya ya jika masuk ke dalam kriteria disitu. Jadi
luas sekali. Perannya sama dengan PT ABC tadi. Yang membuat penjual dan
pembeli ketemu. Kecuali ada ketentuan yang mengatur bahwa transaksi di BBJ itu
diperlakukan lain. Sepanjang itu gak ada, itu masih ter-cover di SE 145.Artinya
kita gak bisa melihat subjek-subjeknya ya, karena PPN kan pajak objektif jadi
agak kurang relevan kalau kita melihat berapa subjeknya. Yang kita lihat kan
objeknya yaitu jasa. Kalau yang PT ABC penjualnya cuma PT XYZ, sedangkan
PT BBJ penjualnya ada banyak. Substansi yang dberikan itu apa, objeknya yang
dilihat kalau PPN itu.
Di PT BBJ ada biaya transaksi ini pak, juga bisa disebut fee atas jasa
perdagangannya ?
Kita melihatnya bahwa yang dia lakukan adalah menghubungkan antara penjual
dan pembeli. Atau disitu dia men-charge dalam jumlah tertentu. Dan dia sudah
mengenakan PPN. Entiti yang memberikan jasa ini kan mungkin punya aturan
sendiri-sendiri ya. Mungkin tadi PT ABC tidak punya membership fee, tapi di
bursa dia punya aturan untuk membership ya sah-sah aja. Artinya dia memberikan
jasa, tapi dia split. Ada jasa yang dia charge tiap tahun, ada juga yang dia charge
tergantung dari volume perdagangannya. Ya sah-sah saja. Karena itu tidak
dikecualikan dari JKP kan. Jadi terutang PPN.
Bagaimana pendapat bapak tentang PT XYZ yang mengklaim ekspor atas CPO
dimana lelang dilakukan oleh broker lokal sebagai perwakilan konsumen luar
negeri?
Misalnya begini, misalkan yang terlibat itu hanya PT XYZ, PT ABC dan
konsumen luar negeri, itu silahkan di klaim kalau itu ekspor. Tapi kalau sudah ada
pihak seperti broker lokal ini, itu artinya yang memenangkan lelang kan si broker
lokal ini. Sebenernya CPO nya dianggap sudah berpindah dari tangan dari PT
XYZ ke broker lokal, meskipun CPOnya nanti prosedurnya langsung dikirimkan
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
104
Universitas Indonesia
ke konsumen luar negeri, namun CPO nya itu sudah miliknya si broker ini karena
dia pemenang lelangnya. Perkara nanti broker lokal ini bilang “ tolong dong PT
XYZ CPOnya langsung kirimkan ke konsumen luar negeri gak usah kirimkan ke
saya” itu sudah tidak soal ya. Artinya kalau ini sudah ada lelang dan ada
pemenangnya, dilihat pemenangnya siapa. Karena begitu dia menang lelang, si PT
XYZ harus menyerahkan CPOnya ke broker lokal. Perkara CPOnya mau diekspor
mau diolah lagi, itu urusannya beda lagi. Harusnya memang PT XYZ transaksi
dengan si broker lokal ini, perkara nanti kemudian si PT XYZ diminta mengirim
langsung kesana, silahkan. Tapi dokumen kepabeanannya harusnya atas nama
broker lokal. PEB nya harusnya identitasnya si broker, karena barang sudah
miliknya dia kan.
Kalau PEB dari PT XYZ atas nama konsumen luar negeri?
Jadi kalau misalnya yang jadi peserta lelang bukan badan usaha yang ada di dalam
negeri, itu beda ceritanya. Mungkin orang sana datang langsung kesini ditugaskan
untuk jadi peserta lelang. Tapi kalau kemudian yang deal adalah WP dalam
negeri, berarti harusnya jadi hak si broker ini karena CPO menjadi milik dia. Jadi
begini, CPO dilelang yang menang si broker, lalu terserah dia nantinya mau
diekspor apa tidak. Ini kan CPOnya milik dia. Mau diekspor silahkan, mau dijual
lokal lagi silahkan. Seharusnya dari PT XYZ ke broker buka faktur. Setelah itu
broker lah yang harus ekspor. Secara arus uang atau dokumen, harusnya PT XYZ
tidak ekspor. Yang urusan ekspor adalah broker dan konsumen luar negeri.
Kalau dihubungkan dengan syarat formal dan material faktur pajak dalam hal ini
PEB bagaimana pak?
Artinya yang melakukan ekspor harusnya broker, yang dilaporkan oleh PT XYZ
adalah penjualan dia ke broker. Sebenernya CPO kan sudah jadi miliknya broker,
tapi masih di gudang PT XYZ. Nah kalo nanti PT XYZ disuruh broker langsung
kirim ke luar ya boleh aja. Sehingga tidak bisa dikategorikan ekspor. Karena
transaksi lelang tadi sudah putus, broker yang memenangkan. Kecuali begini ya,
broker ini tidak melalui proses lelang, justru broker ini yang mencarikan CPO.
Jadi ada orang luar minta broker mencari CPO jadi murni mencarikan CPO saja.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
105
Universitas Indonesia
Tidak ada lelang di PT ABC. Jadi dia sekedar mempertemukan antara PT XYZ
dengan orang luar, jadi jasa perantara itu.
Menurut bapak apakah perlu ada kebijakan atas jasa perdagangan CPO?
Kalau menurut saya belum dulu karena jasa perdagangan ini adalah jasa kena
pajak, Kita tidak perlu membatasi jasa perdagangan seperti apa yang kena PPN,
mau itu lelang atau mekanisme lain sepanjang itu substansinya adalah bagaimana
supaya bisa penjual dan pembeli ini ketemu. Ya itu termasuk jasa perdagangan
gitu. Jadi kita tidak perlu mengatur lain lagi karena kalau kita membatas-batasi
nanti ada yang harusnya masuk jadi gak masuk, kalau substansi sama. Kalau kita
memberlakukan lain untuk CPO, nanti jadinya diskriminatif terhadap produk
perkebunan yang lain.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
106
Universitas Indonesia
HASIL WAWANCARA
Waktu : Pukul 12.30 WIB – 13.30 WIB
Hari/Tanggal : Selasa, 5 Juni 2012
Tempat : Pusdiklat Pajak
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan
Ruang Widyaiswara Lantai 1
Jalan Sakti Raya, Kemanggisan, Jakarta Barat
Interviewer : Ratna Hapsari Sianipar (0806396430)
Interviewee : Anang Mury Kurniawan, SST., Ak., M.Si.
Posisi Interviewee : Akademisi Perpajakan, Pusdiklat Pajak
Menurut Bapak pengertian jasa perdagangan itu sendiri apa?
Kalau jasa perdagangan definisi yang baku di SE 145 itu, dia mempertemukan
penjual dan pembeli. Jadi dia tidak me-manage inventory. Tapi dalam praktek
definisi perdagangan bisa me-manage inventory dalam arti seperti ini, saya
membeli kemudian menjual. Itu lazim digunakan salah satunya untuk skema
transfer pricing untuk misalnya mengelabui harga real transaksi sebenarnya. Itu
termasuk jasa perdagangan secara prinsip, karena tidak ada inventory yang dia
manage cuma dokumentasi seakan-akan ada pembelian.
Apakah broker atau agen juga bisa disebut jasa perdagangan?
Iya bisa. Kalau broker atau agen itu fungsinya mempertemukan penjual atau
pembeli. Tapi kalau dia membeli dan me-manage inventory sehingga
menanggung resiko tidak bisa dikatakan jasa perdagangan. Contohnya, dealer
mobil, anda setuju gak itu jasa perdagangan, atau agen LPJ itu jasa perdagangan.
Enggak kan. Makanya dilihat dulu fungsinya seperti apa.
Bedanya jasa perdagangan dengan trading?
Industri ini dikategorikan secara umum ada tiga kategori. Manufaktur, distribusi,
dan jasa. Dalam prakteknya, variasi yang muncul ini kadang bergeser-geser.
Distribusi pun dalam skema tertentu ini bisa masuk dalam kategori jasa. Misalnya
Lampiran 5
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
107
Universitas Indonesia
tadi distribusi dalam bentuk commission agent. Misal saya menjual barang
mendistribusikan tapi nanti dapat komisi, tapi saya tidak me-manage inventory
secara penuh. Bahkan industri manufaktur juga demikian, dalam tahap tertentu
walaupun dia melakukan pabrikasi dan penghasilan produk tapi sebenarnya
substansinya jasa misalnya maklon. Jasa perdagangan distribusi itu seperti itu
dalam kasus tertentu dia bisa me-manage inventory menanggung resiko penuh,
misal saya membeli barang suatu saat ada pembeli saya jual. Ada resiko barang
tidak laku dan sebagainya, saya menanggung resiko penuh. Tapi ada juga
distributor yang tanpa menanggung resiko, contohnya commission agent. Saya
menjual barang punya orang lain nanti saya dapat komisi, barang sebenarnya
punya orang lain.
Kalau si commission agent ini barangnya milik induk perusahaannya bagaimana
pak?
Secara concept group memang barang itu milik perusahaan, tapi kalau kita lihat
dari sisi pemajakan kan, melihatnya dari entitas.
Syarat terjadinya jasa perdagangan yang di SE 145 menurut bapak bagaimana?
Saya setuju dengan di SE 145, yang saya lihat di SE 145 sepertinya murni jasa
kan. Tidak seperti yang skema trading yang saya ceritakan tadi. Tapi dalam
praktek, kenyataannya kan tidak cuma jasa saja, kalau dilihat di laporan keuangan
yang skema distribusi tadi dia seakan-akan beli, di laporan keuangan juga ada
pembelian. Kemudian ada penjualan ada cost of good solds kalau dari analisis
laporan keuangan. Tapi kalau di jasa perdagangan SE 145 tidak mungkin muncul
itu. Karena semuanya fee, komisi. Sehingga pantas disebut agen, mempertemukan
penjual dan pembeli, perantara.
Bentuk pembayaran atas jasa perdagangan ?
Kalau secara substantif kalo saya lihat malah trend-nya itu berasal dari
keuntungannya malah dari margin yang transfer pricing tadi. Selisih penjualan
dan pembelian. Dalam definisi yang umum ya bukan di SE 145.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
108
Universitas Indonesia
Dalam prakteknya, perdagangan CPO dari PT XYZ tidak langsung kepada
konsumen namun melalui PT ABC. Apakah menurut bapak PT ABC ini
melakukan jasa perdagangan?
Kalau dilihat dari SE 145 bisa juga, tapi definisi SE 145 ini kan bukannya
melibatkan pihak yang di luar negeri ya? Tapi ada juga 3 pihak yang didalam
negeri ya. Kalau begitu menurut saya bisa dimasukkan ke jasa perdagangan.
Kalau dari terminologi jasa perdagangan dari pemahaman saya itu
mempertemukan penjual dan pembeli. Kalau dalam kasus ini, fungsi dari PT ABC
tadi, saya kira bukan untuk mempertemukan penjual dan pembeli. Tapi lebih
kepada fungsi untuk pemasaran. Dari sudut pandang itu, bisa dilihat mungkin
orang punya pendapat ini bukan jasa perdagangan. Karena sebenarnya pihak si
penjual sudah tau juga pembelinya. Cuma untuk mekanisme fungsi dari PT ABC
ini fungsi untuk mengontrol mengendalikan supaya harga ini dapat dikoordinir.
Saya yakin itu fungsinya seperti itu supaya harganya jangan sampai ini jual tinggi
ini jual rendah sehingga merusak harga. Maka dikoordinir oleh si PT ABC ini.
Kalau fungsi seperti itu mungkin lebih cocok didefinisikan sebagai pengusaha
yang bergerak di bidang pemasaran tadi.
Tapi bukannya jasa pemasaran kan termasuk SE 145 pak?
Saya gak setuju kalau semua jasa pemasaran kemudian didefinisikan sebagai jasa
perdagangan. Jadi jasa pemasaran yang punya karakteristik jasa perdagangan itu
fungsinya tadi mempertemukan penjual dan pembeli. Tidak semua jasa pemasaran
dikategorikan sebagai jasa perdagangan. Saya berikan contoh seperti ini, saya
punya perusahaan yang bergerak di dalam bidang periklanan. Ada perusahaan
datang ke saya, bagaimana saya bisa menjualkan barang secara efektif di negara
kamu, misalnya. Kemudian saya bilang oh kamu harus melakukan ini, ini, ini.
Saya memberikan advice terkait dengan itu dan kemudian dapat fee. Kalau begitu
ya jasa pemasaran bukan jasa perdagangan. Saya sama sekali tidak melakukan
tanggung jawab dengan mempertemukan si penjual dan pembeli. Pekerjaaan saya
murni terkait dengan kepentingan pemasaran. Jadi ada beberapa jasa pemasaran
yang mungkin masuk ke dalam definisi jasa perdagangan dan ada yang tidak.
Kalau saya posisinya seperti itu saya tidak setuju kalau kemudian jasa pemasaran
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
109
Universitas Indonesia
ini jasa perdagangan. Kalau tadi misalnya fungsi dari PT ABC tidak sampai
mempertemukan penjual dan pembeli, saya setuju PT ABC bukan melakukan jasa
perdagangan. Tapi jika dilihat dari konteks PT ABC juga mengurusi dokumen-
dokumen sampai dengan CPO nya sampai ke konsumen, maka saya setuju kalau
PT ABC ini melakukan jasa perdagangan.
Kalau fee di jasa perdagangan ini kan berarti didapat dari siapa yang
memanfaatkan jasa ya pak, tapi kalo fee di PT ABC ini terbentuk dari 0,5 persen
dari harga jual ?
Tapi fee nya tetap dari PT XYZ kan, cuma skema pembayaran fee nya dibuat
dengan level indikator harga penjualan. Kalau menurut saya itu pemberi fee nya
itu ya penerima manfaat jasa perdagangan yaitu PT XYZ. Kalau fee saya kira dari
bisnis normal, skemanya bisa bervariasi. Bisa dari success fee sepeti itu, kalau
menjualnya tinggi dapat fee lebih banyak, kalau jual sedikit ya fee nya sedikit.
Orang dalam konteks seperti ini mungkin lebih prefer yang seperti ini.
Apakah ada perbedaan dalam perlakuan perpajakannya pak yang tadinya PT ABC
belum menjadi PT dan sudah menjadi PT?
Kalau di Undang-Undang Pajak, subjek pajak itu tidak hanya dilihat dari bentuk
formal. Bahwa substansi juga sangat berpengaruh. Jadi di dalam Undang-Undang
Pajak kan yang namanya badan tidak mesti harus berbentuk hukum. Kumpulan
orang itu bisa dijadikan definisi badan. Saya kembali ke tadi, ketika dia belum
menjadi PT. Kalau dia sudah melakukan aktivitas seperti itu secara subtantif, ada
kriteria kumpulan orang, kumpulan modal, dan terima fee dan sebagainya, ya itu
sudah masuk di dalam definisi badan. Walaupun secara formal belum berbentuk
badan hukum.
PT XYZ tidak harus melalui PT ABC namun melalui PT Bursa Berjangka melalui
lelang online, apakah itu termasuk jasa perdagangan? Dan apakah biaya transaksi
yang kena 10 persen itu adalah fee yang dimaksud untuk jasa perdagangan?
Biaya transaksi itu adalah jasa atas penyelenggaraan transaksi itu. Tapi itu bukan
jasa perdagangan kalau bagi saya itu. Karena fungsinya secara substantif itu
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
110
Universitas Indonesia
ikatannya keterlibatan tanggung jawab dari pihak penyelenggara tadi tidak sebesar
pengusaha jasa perdagangan. Kalau jasa perdagangan itu kan benar-benar
mempertemukan. Itu kan cuma kalo misalnya anda transaksi di bursa efek
kemudian ada bursa efek Jakarta. Apakah bursa efek Jakarta itu melakukan jasa
perdagangan. Ya jasa bursa. Jasa penyelenggaraan bursa efek. Bukan jasa
perdagangan. Kalau bagi saya, PT Bursa Berjangka ini bukan melakukan jasa
perdagangan, tapi menyelenggarakan jasa bursa berjangka. Fungsinya disitu. Ya
memang disitu, dia mengelola suatu pasar ya, sehingga dapat ketemu penjual dan
pembeli. Tapi bukan direct gitu ya, ini dengan ini. Penyelenggara bursa efek
menyediakan sarana fasilitas. Kemudian mereka minta fee atas penyelenggaraan
bursa tadi. Saya melihatnya bukan jasa perdagangan, karena dia sangat terbuka
siapapun boleh. Dan ini bisa ditransaksikan berulang-ulang. Jadi saya yang beli
pertama, kemudian dijual lagi. Sampai kepada settlement date kepada siapa
barang ini harus dikirim. Bagi saya harus konkret siapa penjual siapa pembeli
siapa pengusaha jasa. Dan selalu di SE 145 itu selalu ada tiga pihak itu. Si PT BBJ
ini tidak hanya menghubungkan, namun juga memfasilitasi dengan membuat
bursa ini.
Jadi sebenernya kepastian hukum untuk jasa perdagangan ini di lapangan menurut
bapak bagaimana?
Kalau kepastian jasa perdagangan ya sekarang memang banyak timbul perbedaan
persepsi antara wajib pajak dan otoritas pajak. Salah satunya adalah melihat
substansi apakah itu jasa perdagangan atau tidak. Apa dia itu melaksanakan jasa
perdagangan atau dia melaksanakan fungsi trading tadi. Karena mekanisme PPN
nya sangat jauh berbeda kan. Kalau trading 10 persen dari harga jual, PM dapat
dikreditkan. Kalau jasa perdagangan dia cuma akan kena PPN dari fee nya saja.
Di dalam kasus-kasus yang saya ketahui di pemeriksaan adalah suka timbul
dispute antara pemeriksa dan wajib pajak antara interpretasi ini. Apakah ini
dikenain PPN dari harga jual ataukah dikenain PPN atas fee nya. Contoh di
lapangan seperti ini. PT A pengusaha di Indonesia, ada juga X Ltd dan Y Ltd. Ada
3 pihak ya. PT A ini menyelenggarakan fungsi tadi, mempertemukan penjual dan
pembeli tadi. Tapi PT A ini seakan-akan membeli barang X Ltd, sehingga secara
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
111
Universitas Indonesia
kontrak ini dibeli dan barang langsung diserahkan ke Y Ltd. Tapi wajib pajak
menganggap PT A ini melakukan jasa perdagangan. Atau sebaliknya pemeriksa
menganggap ini jasa perdagangan tapi wajib pajak menganggap ini trading. Kalau
trading yang terjadi, karena ini dijual diluar daerah pabean dan dibeli diluar
daerah pabean maka tidak terutang PPN. Tapi pemeriksa menggangap ini fungsi
jasa perdagangan. Kalau jasa perdagangan terutang baik dimanfaatkan di dalam
daerah pabean maupun diluar daerah pabean. Atas marginnya dikenai PPN.
PT ABC dalam prakteknya mengklaim ekspor, yang dimana disini ada pihak
broker lokal sebagai representative untuk melakukan lelang di
Indonesia,bagaimana menurut bapak?
Kalau dalam UU PPN prinsipnya faktur pajak harus memiliki persyaratan formil
dan materiil, disini PEB sebagai faktur pajak. Formilnya yang pertama yang harus
kita lihat adalah doukmen PEBnya. Di PEBnya itu PT XYZ ini yang menerbitkan
atau tidak. Kalau PT XYZ yang menerbitkan, ini OK memenuhi syarat formil.
Nama penjualnya PT XYZ, pembeli adalah X ltd. Ini secara formil memenuhi.
Yang kedua secara materiil substansi transaksinya. Ketika membuat perjanjian,
PT XYZ ini membuat perjanjian dengan X Ltd atau dengan broker lokal ini.
Kalau perjanjiannya dengan broker lokal, berarti perjanjiannya ya dengan broker
lokal walaupun ini behalf X ltd. Jadi prinsipnya dia melakukan transaksi dengan
BUT X ltd. KPP mungkin tidak melihat broker lokal ini memang mendapatkan
fee karena melakukan jasa kepada X Ltd, namun KPP mungkin melihatnya broker
ini sebagai BUT X ltd., sehingga dilihat PT XYZ melakukan transaksi dengan
pihak di dalam daerah pabean. Jadi materiilnya disini.
Kalau pegawainya yang dikirim langsung bagaimana pak?
Kalau pegawai kemudian melakukan aktivitas lelang, itu tidak dianggap BUT
sepanjang pegawai ini keberadaannya di Indonesia tidak menimbulkan BUT fisik.
Kalau misalnya dia menyewa tempat untuk kegiatannya ini, itu menimbulkan
BUT fisik.
Broker lokal memberikan jasa perdagangan ke luar negeri terutang PPN, itu
menurut bapak bagaimana jika ditinjau dari konsep PPN?
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
112
Universitas Indonesia
Karena BUT subjek pajak dalam negeri, maka terutang PPN BUT nya atas nama
konsumen luar negeri. Kalau jasa tidak menganut destination principle murni tapi
tempat penyerahannya, bukan pemanfaatannya. Jasa lalu lintasnya tidak seperti
barang yang bisa dilihat. Kalau orang memahami PPN atas pajak konsumsi,
sangat sulit menggunakan pendekatan jasa itu konsumsinya dimana.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
113
Universitas Indonesia
HASIL WAWANCARA
Waktu : Pukul 12.00 WIB – 12.40 WIB
Hari/Tanggal : Selasa, 5 Juni 2012
Tempat : Pusdiklat Pajak
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan
Ruang Widyaiswara Lantai 1
Jalan Sakti Raya, Kemanggisan, Jakarta Barat
Interviewer : Ratna Hapsari Sianipar (0806396430)
Interviewee : Untung Sukardji, S.H, M.Sc
Posisi Interviewee : Akademisi Perpajakan, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
(STAN)
Menurut Bapak pengertian jasa perdagangan itu sendiri apa?
Ya seperti jasa pemasaran, perantara, keagenan, ataubroker
Bedanya dengan trading apa pak?
Perdagangannya yang langsung, trading kan kegiatan bisnisnya, jual belinya itu
namanya trading.
Syarat terjadinya jasa perdagangan?
Harus membuat kontrak dengan broker atau dengan agen nanti dia akan
memberikan fee berapa
Perdagangan CPO PT XYZ tidak langsung kepada konsumen namun melalui PT
ABC, menurut bapak PT ABC ini melakukan jasa perdagangan?
Iya,.. jasa dibidang marketing lah itu. Ya gak ada masalah, dia hanya memasarkan
jasa, jadi ga ada penyerahan barang, karena barang diambil langsung dari PT
XYZ. Sama dengan makelar dia. Kalau makelar itu ya, PT XYZ akan
memberikan contoh, misalkan beberapa dirigen CPO. Barang contoh tersebut
tidak terutang PPN menurut pasal 1A ayat 2 UU PPN, penyerahan barang kena
pajak kepada makelar tidak terutang PPN, karena hanya contoh saja.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
114
Universitas Indonesia
Kalau fee di jasa perdagangan ini kan berarti didapat dari siapa yang
memanfaatkan jasa ya pak, tapi kalo fee di PT X ini terbentuk dari 0,5 persen dari
harga jual itu gimana pak?
Ya tidak apa-apa tergantung perjanjiannya
PT XYZ tidak harus melalui PT ABC namun melalui PT Bursa Berjangka melalui
lelang internet, apakah itu termasuk jasa perdagangan? Dan apakah biaya
transaksi yang kena 10 persen itu adalah fee yang dimaksud untuk jasa
perdagangan?
Iya termasuk jasa perdagangan dan feenya kena PPN 10 persen
Ada yang bilang bahwa agen atau broker itu bukan jasa perdagangan pak itu
bagaimana?
Jasa itu, dia hanya menerima fee, dia tidak menerima barang kena pajak. Broker
tuh termasuk pedagang besar dia. Tapi kalau jasa komisioner, itu jasa juga, dan
dia megang barang. Salah satu jasa perantara itu jasa komisioner. Kalo komisioner
itu di kitab Undang-Undang Hukum Dagang, itu udah diatur. Bahwa komisioner
itu dapat membentuk perjanjian atas nama dirinya sendiri, untuk kepentingan
pemilik barang. Beda dengan makelar, kalau makelar itu gak pegang barang, tapi
komisioner pegang. Jadi gak selalu jasa perantara itu tidak pegang barang. Kalau
makelar hanya menawarkan, yang dia bawa hanya barang contoh. Kalau
komisioner enggak, barang diserahkan kepada komisioner, kemudian komisioner
menentukan harga boleh berbeda dengan harga yang diminta oleh pemilik barang.
Itu termasuk jasa perdagangan juga. Jadi jasa perdagangan itu hanya bergerak
sebagai perantara. Jadi ketentuan dia pegang barang atau tidak itu bukan faktor
yang relevan.
Bagaimana dengan PT XYZ yang mengklaim ekspor atas CPO dimana yang ikut
lelang adalah perwakilannya di dalam negeri?
Kalau ekspor itu dokumennya tidak atas nama yang bersangkutan, berarti ada
penyerahan di dalam daerah pabean. Ada pihak ke tiga. Si broker lokal disini
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
115
Universitas Indonesia
fungsinya sebagai jasa perantara. Ekspor dan impor itu sangat formal, jadi yang
menentukan itu dokumen, atas nama siapa.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
116
Universitas Indonesia
HASIL WAWANCARA
Waktu : Pukul 15.00 WIB – 16.30 WIB
Hari/Tanggal : Senin, 11 Juni 2012
Tempat : Direktorat Potensi Kepatuhan dan Penerimaan
Gedung Utama Lantai 8, Kantor Pusat Direktorat
Jenderal Pajak
Jl. Gatot Subroto, Jakarta Selatan
Interviewer : Ratna Hapsari Sianipar (0806396430)
Interviewee : Tunas Hariyulianto, S.E, M.Si
Posisi Interviewee : Akademisi Perpajakan, Universitas Indonesia
Latar belakang diterbitkannya SE 145 itu kenapa pak?
Ya mungkin awalnya dulu memang banyak pertanyaan tentang jasa perdagangan
kemudian dikasih penegasan, karena penegasan di SE 08 ini kalau boleh dibilang
keliru lah, karena keluar dari konsep PPN. Konsep PPN itu kan bukan subjective
tax, tapi objective tax.
Menurut Bapak pengertian jasa perdagangan itu sendiri apa, dan apakah broker,
agen, makelar itu termasuk jasa perdagangan?
Kalau dilihat dari definisinya kan udah jelas, dengan demikian jasa perdagangan
adalah jasa perantara. Perantara disini kan ada makelar. Atau jasa pemasaran, atau
jasa mencarikan penjual dan pembeli. Ini kan sudah meliputi semua, kira-kira
yang belum masuk yang mana. Makelar masuk jasa perantara, agen itu jasa
pemasaran, broker itu kan sama dengan perantara. Kalau yang dimaksud disini
kan gak ada inventory. Jasa perdagangan beda dengan perdagangan. Kalau
makelar ngasih sample barang ke pembeli yang mau lihat mana contoh barangnya,
inventory nya kan tetap bukan punya dia. Kalau misalnya menyerahkan semua
barang kepada pedagang perantara itu kena PPN. Kalau di UU PPN makelar itu
bukan sembarang makelar karena ditunjuk presiden. Itu baru gak terutang PPN.
Kan kalo di masyarakat kita kan sering denger makelar, nah itu bukan makelar ini
maksudnya. Ini khususlah, dalam kasus kenegaraan. Mungkin contohnya seperti
Lampiran 6
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
117
Universitas Indonesia
Badan Penyehatan Perbankan Nasional. BPPN disini sebagai pedagang perantara,
kan dia menerima aset-aset bank kemudian dijual. Posisinya dia seperti makelar,
karena diangkat oleh presiden.
Dalam prakteknya, perdagangan CPO tidak langsung kepada konsumen namun
melalui PT ABC, menurut bapak PT ABC ini melakukan jasa perdagangan?
Ya jasa perdagangan. Gak masalah melalui lelang apa tidak. Lelang itu kan cara
menjual. CPO nya bisa dijual secara langsung atau lelang, tapi PT ABC ini kan
menjalankan fungsinya sebagai perusahaan jasa perantara. Jadi kembalikan ke SE
145 definisinya kan jasa perdagangan adalah jasa yang diberikan oleh orang atau
badan kepada pihak lain dengan menghubungkan yang satu kepada pembeli
barang. Kan PT ABC ini sama aja menghubungkan, dari PT XYZ kepada pembeli
kan. Cuma karena pembelinya banyak dan barangnya terbatas, cara
menentukannya yang enak kan pakai lelang siapa yang harganya paling tinggi.
Jadi kan dia fungsinya perantara menghubungkan PT XYZ dengan banyak
konsumen. Cuma konsumen mana yang dipilih adalah yang berani dengan harga
tinggi. Itu kan cara menjual aja, fungsi dia tetap sebagai perantara. Berarti PT
ABC ini harus menerbitkan faktur pajak atas jasa yang diberikan PT XYZ.
PT XYZ tidak harus melalui PT ABC namun melalui PT Bursa Berjangka (PT
BBJ) melalui lelang internet, apakah itu juga termasuk jasa perdagangan?
Kalau menurut saya di SE 145 ini kan jelas disebutkan kalau jasa perdagangan
adalah jasa yang menghubungkan penjual dengan pembeli. Disini tidak
disebutkan cara penjualannya dengan cara apa. Sepanjang dia menghubungkan
penjual dan pembeli itu adalah jasa perantara. Jasa perantara itu masuk ke dalam
jasa perdagangan.
Tapi kalau penjelasan dari orang di PP 1 pak kalau sebenarnya jasa perdagangan
di SE 145 itu karena banyaknya pertanyaan tentang cross border itu gimana pak?
Tapi kan yang jadi masalah, SE 145 ini kan udah menentukan definisi jasa
perdagangan itu apa. Jadi kalau disini sudah ditentukan mau gak mau ini jadi
acuan dalam menerapkan ketentuan. Artinya misalnya ada suatu transaksi
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
118
Universitas Indonesia
penyerahan jasa, kita mau bertanya ini jasa perdagangan apa bukan. Acuannya
kemana, ya kesini. Kalau masuk dalam definisi ini berarti jasa perdagangan.
Kalau masuk jasa perdagangan berarti berlaku ketentuan SE 145.
Kalau fee di jasa perdagangan ini kan berarti didapat dari siapa yang
memanfaatkan jasa ya pak, tapi kalau ketentuan di PT BBJ ini bagaimana pak?
Ya gak masalah itu kan caranya. Artinya yang saya tangkap disini PT BBJ itu
menyerahkan jasa perdagangan, cara menjualnya menggunakan mekanisme pasar.
Si penjual kan menawarkan CPO. Jadi PT BBJ ini menghubungkan penjual yang
banyak dengan pembeli yang banyak. Justru dia menyediakan media untuk saling
berhubungan antara penjual dan pembeli. Dengan cara apa menghubungkannya ya
terserah. Karena di SE 145 tidak didefinisikan lebih lanjut dengan cara apa.
Jadi biaya transaksi ini juga bisa disebut fee atas jasa perdagangannya pak?
Iya sama saja. Jasa itu wujudnya dalam bentuk biaya. Biayanya itu dalam bentuk
fee.
Kalau kontrak dan tiga pihak yang harus ada di SE 145 menurut pihak PP 1
bagaimana pak?
Gak mutlak. tetap aja. Coba bandingkan dengan bursa efek. Saham itu kan bukan
barang kena pajak tapi ya. Pasti kan si efek ini melakukan jasa perantara. Efek ini
kan melakukan perantara ya, antara pemilik saham dengan para pembeli
Menurut bapak jadi SE 145 ini seharusnya bagaimana?
Sudah bagus terutang PPN atas jasa perdagangan di SE 145 yang sudah resmi
dikeluarkan oleh kantor pusat. Namun seharusnya kantor pusat menjelaskan
sesuatu yang resmi juga, karena di SE 145 ini penjelasannya hanya
menghubungkan, tidak melihat caranya bagaimana.
Bagaimana menurut bapak tentang kasus PT XYZ mengklaim atas ekspor dimana
yang melakukan lelang adalah broker lokal sebagai perwakilan??
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
119
Universitas Indonesia
Broker lokal itu kan hanya sebagai perantara. Jadi ada buyer diluar membutuhkan
CPO, kemudian CPO nya ada di Indonesia. Yang kemudian penjualan CPO ini
harus melalui lelang, kalau lelang berarti kan harus ada yang hadir di lelang itu.
Kemudian si buyer ini juga harus mengetahui kualitas secara pasti CPO nya.
Apakah CPO ini sesuai atau tidak. Sehingga dia menyuruh pegawainya langsung
atau dia meminta bantuan perusahaan dalam negeri untuk memberikan jasa untuk
menghadiri lelang. Jadi bisa dibilang broker ini hanya jasa untuk menghadiri
lelang.
Kalau semua semua dokumen dan pembayaran diurusi oleh broker?
Itu juga jasa jadi dia melakukan jasa pengurusan dokumen. Jadi jelas pas lelang
dia atas nama X. Ltd. Jadi ada QQ nya. QQ itu on behalf atau atas nama siapa.
Atau mungkin ada 2 mekanisme, yang pertama atas nama dia saja, yang kedua
atas nama X.Ltd. Namanya broker, broker itu tidak membeli barang. Jasanya
broker itu juga disamping jual beli, pembayaran juga bisa melalui dia. Broker
lokal itu atas nama saja.
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012
120
Universitas Indonesia
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Ratna Hapsari Sianipar
Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 25 Juli 1990
Alamat : Perumahan Mutiara Japos blok B2 no. 1
Paninggilan – Ciledug, Tangerang 15153
Nomor HP : 081298553208/021-94654758
Email : [email protected]
Nama Orang Tua: Ayah : F. Soeyoto Sianipar
Ibu : J. Hosianna Sitorus
Riwayat Pendidikan Formal:
Tahun 1995-1996 : TK Wijaya Kusuma Tangerang
Tahun 1996-2002 : SD Wijaya Kusuma Tangerang
Tahun 2002-2005 : SMP Negeri 19 Jakarta Selatan
Tahun 2005-2008 : SMA Negeri 82 Jakarta Selatan
Tahun 2008-2012 : S1 Paralel Program Studi Administrasi Fiskal
FISIP Universitas Indonesia
Evaluasi kebijakan..., Sianipar, Ratna Hapsari, FISIP UI, 2012