UNIVERSITAS INDONESIA
Makalah Perkawinan Sejenis di Indonesia (Kasus Icha dan Umar)
(Tugas Mid Semester Filsafat Hukum)
Pengajar : Prof. Erman Radjaguguk, S.H., LL.M., Ph.D.
Nama : Rizky Amalia NPM : 1506697492Kelas : Hukum Ekonomi Pagi
FAKULTAS HUKUMPROGRAM MAGISTER HUKUM EKONOMI
JAKARTAOKTOBER 2015
A. Pendahuluan
Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan
di alam dan dunia berkembang baik. Perkawinan bukan saja terjadi di kalangan manusia,
tetapi juga terjadi pada tanaman, tumbuhan dan hewan. Oleh karena manusia adalah makhluk
yang berakal, maka perkawinan merupakan salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti
perkembangan budaya manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam masyarakat
sederhana budaya perkawinannya sederhana, sempit dan tertutup, dalam masyarakat yang
maju (modern) budaya perkawinannya maju, luas dan terbuka.1
Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada
suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu
berada serta pergaulan masyarakatnya. Ia dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman,
kepercayaan, dan keagamaan yang dianut masyarakat bersangkutan. Seperti halnya aturan
perkawinan bangsa Indonesia, bukan saja dipengaruhi oleh budaya masyarakat setempat,
tetapi juga dipengaruhi ajaran agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen, bahkan dipengaruhi
budaya perkawinan barat.2 Yang mana berakibat berbedanya aturan perkawinan di setiap
masyarakat.
Berdasarkan Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa: “Perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Jadi menurut UU No. 1 Tahun 1994 perkawinan itu ialah ikatan antara
seorang pria dengan seorang wanita, berarti perkawinan sama dengan perikatan.3 Maka
apabila kita kaitkan dengan Pasal 26 KUH Perdata, dikatakan ‘Undang-undang memandang
soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata’ dan dalam Pasal 81 KUH Perdata dikatakan
bahwa: “tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan, sebelum kedua pihak
membuktikan kepada pejabat agama mereka, bahwa perkawinan di hadapan pegawai
pencatatan sipil telah berlangsung”.
Selain kesimpangsiuran peraturan perkawinan yang berlaku di zaman Hindia Belanda
itu, jelas bahwa menurut perundangan yang tegas dinyatakan dalam KUH Perdata,
perkawinan itu hanya dilihat dari segi keperdataan dan mengabaikan segi keagamaan. Hal
1Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2007, hlm. 1.2Ibid.3Ahmad Kuzari, Nikah sebagai Perikatan, Jakarta: Raja Grafindo, 1995, hlm. 8.
mana jelas bertentangan dengan falsafah negara Pancasila yang menempatkan ajaran
Ketuhanan Yang Maha Esa di atas segala-galanya.4
Pertentangan pengertian perkawinan berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum
Perdata dengan falsafah pancasila jelas membuat perbedaan pengertian perkawinan menurut
KUH Perdata dan menurut UU No. 1 Tahun 1974. Perkawinan menurut KUH Perdata hanya
sebagai ‘Perikatan Perdata’ sedangkan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tidak
hanya sebagai ikatan perdata tetapi juga merupakan ‘Perikatan Keagamaan’. Hal mana dilihat
dari tujuan perkawinan dalam Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 bahwa: “Perkawinan itu
bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kalimat demikian tidak ada sama sekali dalam KUH Perdata
yang diumumkan dengan Maklumat tanggal 30 April 1847 (S. 1847-23) dan berlaku di
Indonesia sampai tahun 1974.
Pada umumnya menurut hukum agama, perkawinan adalah perbuatan yang suci, yaitu
suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan ajaran Tuhan Yang Maha
Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan
dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing.5 Perkawinan merupakan akad
(perikatan) yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-
tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang keduanya bukan muhrim.6
Menindaklanjuti larangan pernikahan sesama jenis yang biasanya juga sering disebut
homoseksual atau lesbian. Dalam pengertiannya, homoseksualitas adalah kecenderungan
untuk tertarik kepada orang lain yang berkelamin sejenis. Pengertian lain homoseksual adalah
keadaan tertarik terhadap orang dari jenis kelamin yang sama, baik itu kepada sesama laki-
laki maupun kepada sesama perempuan.7 Lawan kata homoseksual adalah heteroseksual yang
berarti keadaan tertarik pada hubungan seks dengan lawan jenis. Dalam perkembangannya,
istilah ini lebih sering digunakan untuk seks sesama pria, sedangkan untuk seks sesama
perempuan disebut lesbian.
Berdasarkan undang-undang yang berlaku di negara Indonesia perkawinan sesama
jenis tidak diperbolehkan. Mengacu pada Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang menerangkan bahwa ”perkawinan adalah sebagai ikatan lahir batin antara seorang laki-4Ibid, hlm. 7.5ibid, hlm. 10.6Mohd. Idris Ramulyono, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Dari Undang-undang No. 1 Tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1999, hlm. 1.7 Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan & Kebudayaan, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2001), hlm. 312.
laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.8 Berbeda
dengan formulasi ulama klasik mengenai terminologi nikah, dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) pernikahan justru dirumuskan dalam frame yang agak berbeda. Dalam Bab I pasal 2
dan 3 disebutkan “perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang
sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah merupakan ibadah.9
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah
wa rahmah.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara ekplisit memang tidak mengatur masalah yang
berkaitan dengan pernikahan sesama jenis. Besar kemungkinan, karena formulasi nikah versi
KHI ini sudah tidak lagi memperhatikan subjek yang melakukan akad. Artinya membangun
rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah, seperti yang tertulis dalam regulasi
tersebut, sedikitpun tidak menyiratkan adanya peluang bagi legalisasi pernikahan gay dan
lesbian. Karena dalam pasal lain disebutkan bahwa asas perkawinan adalah monogami.
Pernikahan yang di anggap wajar dalam masyarakat adalah pernikahan heteroseksual
atau nikah dengan lawan jenis. Maka tidaklah salah ketika pernikahan homoseksual atau
nikah dengan sesame jenis banyak mendapat kontroversi di masyarakat karena di anggap
aneh, menyimpang dari hukum syara’, dan yang lebih ironis lagi di bilang sakit jiwa.
Kasus perkawinan sejenis meskipun pada kenyataannya dilarang di Indonesia ternyata
tetap dilakukan secara diam-diam, yang membuat kemudian masalah ini menjadi patut
dibahas karena bagaimana cara pelaku perkawinan sejenis dapat meloloskan tindakannya.
Seperti contoh kasus Umar dan Icha. Pernikahan sesama jenis kelamin, yang sudah
berlangsung selama 6 bulan pun terungkap. Ironisnya, terungkapnya kasus ini justru karena
kecurigaan sejumlah warga yang berdomisili di sekitar rumah mempelai pria, Muhammad
Umar, di wilayah Bekasi, Jawa Barat. Oleh warga dan sang suami, Icha yang memiliki nama
asli Rahmat Sulistyo, akhirnya dipaksa menjalani pemeriksaan kelamin. Hasilnya, terungkap
identitas asli Icha, yang tidak lain adalah lelaki tulen. Atas temuan ini, Icha dilaporkan ke
Mapolsek Jatiasih, Bekasi, untuk menjalani serangkaian pemeriksaan. Icha kini ditetapkan
sebagai tersangka dan dijerat dengan pasal 266 KUHP, tentang pemalsuan identitas. Selain
memalsukan identitas, keduanya ternyata juga memalsukan surat nikah. Karena
ternyata pernikahan mereka tidak tercatat di Kantor Urusan Agama. Kepastian pemalsuan
8Khoiruddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I), (Yogyakarta: ACAdeMIA & TAZZAFA, 2004), hlm. 16.
9UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2007), hlm. 2.
surat nikah ini diungkapkan Kepala KUA Kecamatan Jatiasih, Muhammad Sumroni, yang
sempat menghindar dari kejaran wartawan, sesaat setelah mencuatnya kasus pernikahan
sejenis ini.10
Icha mengkonfrontir hubungan mereka berdua adalah hubungan yang "saling
mencintai dan menyayangi" dan menegaskan bahwa ini adalah kesalahan mereka berdua dan
mereka harus menanggung bersama. Dengan latar belakang diatas, makalah ini bertujuan
untuk membahas bagaimana ketentuan pernikahan homoseksual yang hidup di Negara kita
(Indonesia).
B. Pembahasan
Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Eksistensi
institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang
wanita.11 Oleh sebab itulah, beberapa ahli memandang dan memberikan arti yang sangat
penting terhadap institusi yang bernama perkawinan. Asser, Scholten, Pitlo, Petit, Melis, dan
Wiarda, memberikan definisi bahwa perkawinan ialah suatu persekutuan antara seorang pria
dengan seorang wanita yang diakui oleh negara untuk bersama/bersekutu yang kekal. Esensi
dari yang dikemukakan para pakar tersebut adalah bahwa perkawinan sebagai lembaga
hukum, baik karena apa yang ada di dalamnya, maupun karena apa yang terdapat di
dalamnya. 12
Sementara menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo menyatakan bahwa perkawinan
merupakan persekutuan hidup antara seorang pria dan wanita yang dikukuhkan secara formal
dengan undang-undang (yuridis) dan kebanyakan religius. Pendapat lain disampaikan Subekti
dalam bukunya Pokok-pokok Hukum Perdata yang mengatakan, bahwa perkawinan ialah
pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seoarang perempuan untuk waktu yang lama.13
Begitupun dengan Kaelany H.D. yang mengatakan bahwa perkawinan adalah akad
antara calon suami isteri untuk memenuhi hajat sejenisnya menurut yang diatur oleh syariah.
Dengan akad itu kedua calon akan diperbolehkan bergaul sebagai suami isteri.14
10Adam Fadhlurahman, Kasus Pernikahann Sejenis Apakah Umar Hanya Korban Icha, http://www.kompasiana.com, diakses pada tanggal 11 Oktober 2015, pukul 19.21 WIB.
11Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 61.12Dikutip dalam R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga,
Surabaya: Airlangga Press University, 2008, hlm. 18.13Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2000, hlm. 23.14Kaelany H.D., Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, Bandung: Bumi Aksara, hlm. 107.
Di dalam lingkungan peradaban barat dan di dalam sebagai lingkungan peradaban
bukan barat, perkawinan adalah persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita
yang dikukuhkan secara formal dengan undang-undang, yaitu yuridis dan kebanyakan juga
religius, menurut tujuan suami isteri dan undang-undang, dan dilakukan untuk selama
hidupnya menurut pengertian lembaga perkawinan.
Dasar-dasar dari perkawinan tersebut dibentuk oleh unsur-unsur alami dari kehidupan
itu sendiri; kebutuhan dan fungsi biologis, menurunkan, kebutuhan akan kasih sayang dan
persaudaraan, memelihara anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut dan mendidik
anak-anak itu menjadi anggota-anggota masyarakat yang sempurna (volwardig). Bentuk
tertentu dari perkawinan tidak diberikan oleh alam; berbagai bentuk perkawinan itu berfungsi
sebagai lembaga (pranata).
Di samping itu, bila definisi perkawinan tersebut ditelaah, maka terdapat lima unsur
perkawinan di dalamnya yaitu: (1) ikatan lahir batin; (2) antara seorang pria dan wanita; (3)
sebagai suami isteri; (4) membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal; dan
(5) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.15
1. Tujuan Perkawinan
Sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti bahwa perkawinan: (1) berlangsung seumur
hidup; (2) cerai diperlukan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir; dan (3)
suami isteri membantu untuk mengembangkan diri.
Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila terpenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu
kebutuhan jasmaniah dan kebutuhan rohaniah. Yang termasuk kebutuhan jasmaniah, seperti
sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan yang termasuk kebutuhan
rohaniah seperti seorang anak yang berasal dari darah daging mereka sendiri.
Hukum Islam memberikan pandangan yang dalam tentang pengaruh perkawinan dan
kedudukannya dalam membentuk hidup perorangan, rumah tangga, dan umat. Oleh sebab itu,
Islam memandang bahwa perkawinan bukanlah hanya sekadar akad dan persetujuan biasa
yang cukup diselesaikan dengan ijab qabul serta saksi, sebagaimana perjanjian-perjanjian
lain. Melainkan perjanjian itu ditingkatkan menjadi mitsaq, piagam perjanjian, persetujuan
15 Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hlm. 104.
dan ikatan yang meresap ke dalam jiwa dan sanubari, pertanggungjawabannya untuk terus
memelihara dan memenuhinya, biar bagaimanapun kesukaran rintangan yang dihadapi.
Perkawinan dinyatakan oleh Allah sebagai ‘suatu ikatan yang teguh’ dan janji yang kuat,
sukar untuk membuka dan meninggalkannya.
Adapun menurut Kaelany H.D.,16 terdapat hikmah dibalik perikatan pernikahan antara
pria dan wanita antara lain: (1) hidup tenteram dan sejahtera; (2) menghindari perzinahan; (3)
memelihara keturunan; (4) memelihara wanita yang bersifat lemah; (5) menciptakan
persaudaraan baru; dan (6) berhubungan dengan kewarisan.
2. Sahnya Perkawinan
Sahnya perkawinan menurut perundangan diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974, yang menyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayannya itu”.17 Jadi perkawinan yang sah menurut
hukum perkawinan nasional adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan
hukum yang berlaku dalam agama Islam, Kristen/Katolik, Hindu/Budha. Kata ‘hukum
masing-masing agamanya’ berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing’ yaitu
hukum agama yang dianut oleh kedua mempelai atau keluarganya.18
Kembali pada perkawinan sejenis, apabila suatu perkawinan tersebut kemudian
dikembalikan pada agama, maka kita harus menelaah agama mana yang mendukung
diperbolehkannya terjadi pernikahan sesama jenis.
Berdasarkan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam, untuk melaksanakan suatu
perkawinan harus ada:
1) Calon suami;
2) Calon isteri;
3) Wali nikah;
4) Dua orang saksi dan;
5) Ijab dan Kabul.
Syarat-syarat bagi kedua mempelai adalah beragama Islam; laki-laki untuk calon
suami dan perempuan untuk calon isteri, jelas orangnya, dapat memberikan persetujuan, dan
16 Kaelany H.D., Op. cit., hlm. 108.17Lili Rasjid, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Masyarakat dan Indonesia, Bandung: Alumni,
1982, hlm. 105. 18Hilman Hadikusuma, Op. cit., hlm. 25.
tidak terdapat halangan perkawinan.19 Selanjutnya syarat-syarat bagi dua orang saksi dalam
akad nikah ialah harus orang beragama Islam, sudah dewasa (baligh), berakal sehat, dapat
melihat, mendengar dan memahami tentang akad nikah dan berlaku adil. Tidak dikatakan
orang yang tidak ada hubungan darah atau saudara dari kedua mempelai. Jadi walaupun
masih saudara dari kedua mempelai dapat menjadi saksi. Namun pada kenyataannya jarang
sekali yang masih ada hubungan kekerabatan akrab dengan mempelai ditunjuk menjadi saksi
akad nikah.20
Dalam pelaksanaan akad nikah pada umumnya diikut sertakan pegawai P3N yang
sekaligus berfungsi sebagai penghulu, tetapi ini bukan merupakan keharusan, penghulu dapat
dimungkinkan pihak kerabat atau orang yang dituakan oleh kedua belah calon mempelai,
asalkan penghulu yang ditunjuk cakap di mata hukum agama dan hukum nasional.21
3. Syarat-syarat Perkawinan
Berdasarkan KUH Perdata bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan haruslah
dipenuhi syarat-syarat pokok demi sahnya suatu perkawinan antara lain: syarat materiil dan
syarat formil.
a. Syarat Materiil
Syarat Materiil disebut juga dengan syarat inti atau internal, yaitu syarat yang
menyangkut pribadi para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan dan izin-izin yang
harus diberikan oleh pihak ketiga dalam hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang. Syarat
materiil meliputi syarat materiil absolut dan syarat materiil relatif.22
Syarat materiil absolut adalah syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang akan
melangsungkan perkawinan tanpa memandang dengan siapa ia akan melangsungkan
perkawinan. Syarat-syarat ini berlaku umum, bila salah satu dari syarat tersebut tidak
dipenuhi maka perkawinan tersebut tidak dapat dilangsungkan. Dalam hal yang demikian
dapat dikatakan bahwa ada rintangan perkawinan yang mutlak.23
Syarat-syarat tersebut ada lima macam yaitu:
19Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 12. 20Hilman Hadikusuma, Op. Cit., hlm. 29. 21Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati, Hukum Perkawinan Indonesia, Palembang: PT. Rambang,
2006, hlm. 38. 22Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hlm. 110.23R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan , Op. cit., hlm. 19.
i. Kedua belah pihak masing-masing harus tidak terikat dengan suatu
perkawinan lain (Pasal 27 KUH Perdata);
ii. Kesepakatan yang bebas dari kedua belah pihak (Pasal 28 KUH Perdata);
iii. Masing-masing pihak harus mencapai umur minimum yang ditentukan
oleh undang-undang, laki-laki berumur 18 tahun, perempuan berumur 15
tahun (Pasal 29 KUH Perdata);
iv. Seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat dari 300
hari terhitung sejak bubarnya perkawinan yang terakhir (Pasal 34 KUH
Perdata);
v. Harus ada izin dari pihak ketiga.
Syarat materiil relatif adalah syarat-syarat bagi pihak yang akan dikawini. Seseorang
yang telah memenuhi syarat materiil mutlak dapat melangsungkan perkawinan, namun
kendati demikian ia tidak boleh kawin dengan sembarang orang dan ia pun harus memenuhi
syarat-syarat materiil relatif dengan pihak yang akan dikawininya. Syarat materiil ini antara
lain:
i. Tidak adanya hubungan darah (keturunan) atau hubungan keluarga sangat
dekat antar keduanya (Pasal 30 dan Pasal 31 KUH Perdata);
ii. Antara keduanya tidak pernah melakukan overspel (Pasal 32 KUH
Perdata);
iii. Tidak melakukan perkawinan terhadap orang yang sama setelah dicerai
(reparatie huwelijk) untuk yang ketiga kalinya.
b. Syarat Formil
Syarat formil adalah syarat yang berhubungan dengan tata cara atau formalitas-
formalitas yang harus dipenuhi sebelum proses perkawinan. Syarat-syarat ini hanya berlaku
bagi golongan Eropa, dan tidak berlaku bagi golongan Timur Asing Tionghoa, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 70 KUH Perdata.24
Ketentuan-ketentuan yang menyangkut persoalan tersebut, terdapat dalam Pasal 50
sampai dengan Pasal 94 KUH Perdata. Barang siapa yang berkehendak melangsungkan
perkawinan, maka wajib memberitahukan kehendaknya pada pejabat Catatan Sipil untuk
dibukukan dalam “daftar pemberitahuan kawin” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
sampai dengan Pasal 51 KUH Perdata. Berdasarkan Pasal 52 KUH Perdata, sebelum
24Ibid, hlm. 25.
perkawinan dilangsungkan oleh pejabat Catatan Sipil, pemberitahuan tersebut harus
diumumkan selama 10 hari bila dalam jangka waktu satu tahun terhitung sejak pengumuman
tidak dapat dilangsungkan perkawinan, maka perkawinan tidak boleh dilangsungkan sebelum
diadakan pengumuman baru. Hal ini mengingat maksud dan tujuan pengumuman perkawinan
tersebut adalah memberi kesempatan pihak ketiga agar dapat mencegah perkawinan seperti
yang ditentukan oleh Pasal 59 sampai dengan Pasal 70 KUH Perdata.25
Undang-undang secara lengkap mengatur syarat-syarat perkawinan baik yang
menyangkut orangnya, kelengkapan administrasi, prosedur pelaksanaannya dan
mekanismenya.26 Adapun syarat-syarat perkawinan menurut Pasal 6 Undang-undang Nomor
1 Tahun 1947, yaitu:27
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai;
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua;
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dimaksud
ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari
orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya;
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang
yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya;
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam
ayat 2,3, dan 4 pasal ini atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat
tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang
tersebut dapat memberi izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang
tersebut dalam ayat 2, 3, dan 4 pasal ini;
6) Ketentuan tersebut dalam ayat 1 sampai dengan ayat 5 pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.
25Ibid, hlm. 26.26Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2010, hlm. 40.27Zainuddin Ali, Op. Cit., hlm. 21.
Disamping itu undang-undang juga mengatur tentang persyaratan umur minimal bagi
calon suami dan calon isteri serta beberapa alternatif lain untuk mendapatkan jalan keluar
apabila ketentuan umur minimal tersebut belum terpenuhi,28 yang dicantumkan dalam Pasal 7
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai berikut:
1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini dapat meminta dispensasi
kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak
pria maupun pihak wanita.
3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua
tersebut dalam Pasal 6 ayat 3 dan 4 Undang-undang ini berlaku juga dalam hal
permintaan dispensasi tersebut ayat 2 pasal ini dengan tidak mengurangi yang
dimaksud dalam pasal 6 ayat 6.
Selain persyaratan tersebut, berdasarkan Pasal 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974, suatu perkawinan antara laki-laki dan perempuan dilarang apabila: (1) ada hubungan
darah dalam garis keturunan ke bawah atau ke atas; (2) ada hubungan darah dalam garis
keturunan menyamping; (3) ada hubungan darah semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu
dan ibu/bapak tiri; dan (4) mempunyai hubunganyang oleh agamnya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.29
Disebutkan juga dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa:
“Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi,
kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Deskripsi Perkawinan Sejenis
Perilaku Homoseksual adalah perilaku seksual yang ditujukan pada pasangan sejenis,
yang bila terjadi pada kaum wanita sering disebut lesbianisme. Homoseksualitas sudah sering
terjadi sepanjang sejarah umat manusia, reaksi berbagai bangsa di berbagai kurun waktu
sejarah terhadap homoseksualitas ternyata berlainan. Dalam praktik sulit membagi orang
kedalam dua kelompok: homoseksual dan heteroseksual,keduanya merupakan dua kutub
yang ekstrem. Banyak masyarakat yang memandang heteroseksualitas sebagai perilaku
seksual yang “wajar”, sedangkan homoseksualitas secara tradisional dipandang sebagai
28Sudarsono, Op.cit., hlm. 41. 29Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hlm . 112.
gangguan mental. Sisi lain yang perlu dicatat ialah bahwa homoseksualitas dapat meliputi
sejumlah hal, seperti kecenderungan, aktivitas, status, peran, atau konsep-diri, serta bahwa
seseorang tidak harus sama-sama homoseksual disegala sisi atau bidang tersebut.
Dalam masyarakat yang sudah lebih toleran teradap homoseksual, sering ditemukan
komunitas gay. Yang mana, komunitas gay adalah wilayah geografis yang terdapat subkultur
homoseksual beserta aneka pranatanya. Komunitas homoseksual, sistem nilai, teknik
komunikasi, dan pranata-pranata suportif maupun protektif, seperti tempat tinggal, toko
pakaian, toko buku, gedung bioskop, dan sebagainya yang bersifat unik dan eksklusif, khusus
untuk kaum homoseksual. Tetapi di Indonesia kita belum pernah mendengar adanya
komunitas semacam ini.30
Adapun faktor penyebab tejadinya homoseksualitas bisa bermacam-macam,seperti
karena kekurangan hormon lelaki selama masa pertumbuhan, karena mendapat pengalaman
homoseksual yang menyenangkan pada masa remaja atau sesudahnya, karena memandang
perilaku heteroseksual sebagai sesuatu yang menakutkan atau tidak menyenangkan, ataupun
karena besar ditengah keluarga dimana ibu lebih dominan daripada sang ayah atau bahkan
tidak ada.
Lalu apakah perilaku Homoseksual atau Lesbian itu sebuah penyakit ataukah suatu
perilaku yang tidak sesuai di dalam masyarakat? Bisa dikatakan bahwa Homoseksual atau
Lesbian itu adalah sebuah penyakit dimana mereka melampiaskan kebutuhan seksualnya
tetapi tidak pada hal yang sewajarnya, mereka melakukanya tidak pada lawan jenis tetapi
sesama jenis. Biasanya perilaku itu muncul karena lingkunganya lah yang sudah membentuk
main sheet/pikiran mereka untuk melakukan tindakan penyimpangan itu,mungkin pada suatu
daerah hal itu dianggap biasa saja tetapi pada masyarakat umumnya hal itu adalah suatu yang
tabu untuk dilakukan, apalagi menurut agama perbuatan itu sangat dilarang dan melanggar
ajaran-ajaran agama.
1. Pandangan pernikahan sejenis atau homoseksual dalam Islam
Dalam Islam, homoseksual disebut liwath atau “amal qaumi luthin”. Istilah tersebut
timbul karena perbuatan seperti itu pertama kali dilakukan oleh umat Nabi Luth yang hidup
sezaman dengan Nabi Luth.31
30Ann Landers. Problema dan Romantika Remaja (Terjemahan). Bina Pustaka: Jakarta. Hal. 5-6.
31Yatimin, Etika Seksual dan Penyimpangannya dalam Islam, (Penerbit Amzah, 2003) hlm. 33.
Allah SWT menceritakan masalah homoseksual dalam Al Qur’an, sebagaimana yang
terdapat pada sebagian Surah di atas, masih banyak surah yang membahas masalah
homoseksual yakni: Al A‟raaf (7): 80-84, Al Hijr (15): 59-77, Al Anbiyaa‟ (21): 74-75, Asy
Syu‟araa‟ (26): 160-175, An Naml (27): 54-58, Al Ankabuut (29): 28-35, Ash Shaaffaat
(37): 133-138, dan Al Qamar (54): 33-40.32
Hukum Islam juga menentang adanya perkawinan sesama jenis (laki-laki dengan laki-
laki/ perempuan dengan perempuan) yang didasarkan pada kaidah- kaidah agama Islam yang
bersumber pada al-Qur’an dan Hadis Nabi. Terdapat berbagai ayat dalam al-Qur’an:33
Al-Qur’an melarang segala hubungan seks selain hubungan seks di dalam ikatan
perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita. Sebagian besar penikmat
homoseksualitas mengklaim bahwa mereka terlahir dengan kecenderungan seks sesama jenis
itu. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai pilihan, “sudah dari sananya”.
Meskipun asumsi ini masih bisadiperdebatkan di dunia medis, bahkan kalaupun asumsi ini
memang benar, al- Qur’an dengan tegas menolak menjadikannya sebagai pembenaran bagi
pecinta sesama jenis.34
Dari arti surah di atas dapat penulis tarik bahwasanya dari sisi agama Islam,
perkawinan antara sesama jenis secara tegas dilarang. Hal ini dapat dilihat dalam Surah Al-
A’raaf (7): 80-84, jadi perkawinan sejenis adalah haram hukumnya. Di samping itu
Perkawinan sesama jenis di Indonesia, dari kacamatra agama dan adat, belum mendapat
perespektif layak untuk dilakukan, bahkan dapat disebut dari kacamata agama sebagai suatu
perbuatan dosa dan dari kacmata adat merupakan perbuatan dosa dan aib. Diluar Indonesia,
di negara-negara yang telah lama menjungjung tinggi HAM, persamaan jender, ada yang
sudah berani mengakui perkawinan sesama jenis.
Sedangkan dalam Islam sendiri tujuan dari pernikahan salah satunya adalah
mendapatkan Rumah tangga yang ideal, menurut ajaran Islam rumah tangga yang ideal
meliputi Sakinah (ketentraman jiwa), Mawaddah (rasa cinta) dan Rahmah (kasih sayang),
Allah berfirman: “Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram
bersamanya. Dan Dia (juga) telah menjadikan diantaramu (suami, istri) rasa cinta dan kasih
32Muhammad bin Ibrahim Az-Zulfi, Homoseks, (Bandung:Hikma, 2005), hlm. 11.
33Lihat Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1975), hlm. 165.
34Abu Ameenah Bilal Philips, Islam dan Homoseksual, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), hlm. 44
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir”.
Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami dan istri harus saling memahami
kekurangan dan kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan kewajibannya serta memahami
tugas dan fungsinya masing-masing yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Sehingga upaya untuk mewujudkan perkawinan dan rumah tangga yang mendapat keridla’an
Allah dapat terealisir, akan tetapi mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari
kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan
manusia, maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup tenang, tentram dan bahagia
mendadak dilanda “kemelut” perselisihan dan percekcokan. Selain hal tersebut, Islam sendiri
menganjurkan pernikahan dikarenakan untuk bisa meneruskan garis keturunan atau bahkan
berlomba-lomba memperbanyak umat dibanding umat-umat lain.
2. Peraturan pemerintah di Indonesia terhadap kaum homoseksual
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU
Perkawinan”), perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri.
Mengenai perkawinan yang diakui oleh negara hanyalah perkawinan antara pria dan
wanita juga dapat kita lihat dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”) beserta penjelasannya dan Pasal 45
ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 2 Tahun 2011 tentang Pendaftaran
Penduduk dan Pencatatan Sipil (“Perda DKI Jakarta No. 2/2011”) beserta penjelasannya:
Pasal 34 ayat (1) UU Adminduk:
Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib
dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan
paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.
Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU Adminduk:
Yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Selain itu, Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) juga secara tidak langsung hanya
mengakui perkawinan antara pria dan wanita, yang dapat kita lihat dari beberapa pasal-
pasalnya di bawah ini:35
Pasal 1 huruf a KHI:
Peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara
seorang pria dengan seorang wanita.
Pasal 1 huruf d KHI:
Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita,
baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Selain itu, mengenai perkawinan sejenis ini, beberapa tokoh juga memberikan
pendapatnya. Di dalam artikel hukumonline yang berjudul Menilik Kontroversi Perkawinan
Sejenis, sebagaimana kami sarikan, Ketua Komisi Fatwa MUI KH Ma'ruf Amin dengan tegas
menyatakan bahwa pernikahan sejenis adalah haram. Lebih lanjut Ma'ruf Amin mengatakan,
“Masak laki-laki sama laki-laki atau perempuan sama perempuan. Itu kan kaumnya Nabi
Luth. Perbuatan ini jelas lebih buruk daripada zina.” Penolakan serupa juga dikatakan oleh
pengajar hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Farida Prihatini. Dia
mengatakan bahwa perkawinan sejenis itu tidak boleh karena dalam Al Quran jelas
perkawinan itu antara laki-laki dan perempuan.36
Jadi, dapat kiranya disimpulkan bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan di
Indonesia perkawinan sesama jenis tidak dapat dilakukan karena menurut hukum,
perkawinan adalah antara seorang pria dan seorang wanita. Pada sisi lain, hukum agama
Islam secara tegas melarang perkawinan sesama jenis.
Ditinjau Dari Hak Asasi Manusia
1. Dalam Instrumen Hukum Internasional
Dasar pemikiran filsafat John Locke terkait di kemudian hari dijadikan sebagai
landasan bagi pengakuan hak-hak asasi manusia. Lock berpendapat bahwa terkait dengan
kehidupan bernegara yang merupakan hasil dari teori perjanjian masyarakat, ada dua instansi
35M. Hasan Ali. Masail Fiqhiyah al- haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam.( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada), hlm. l45.
36Masjfuk Zuhdi. Masail Fiqhiyah, Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: CV. Haji Masagung) Hlm. 78.
yang mempengaruhinya, yaitu pactum unionis yang merupakan anggapan bahwa manusia
semuanya terlahir merdeka dan sama serta pactum subjectionis yang menunjukkan adanya
hak-hak yang tidak tertanggalkan pada setiap individu, termasuk hak untuk hidup dan hak
kebebasan.37
Mengenai perkawinan disinggung dalam Pasal 16 DUHAM. Menurut Pasal ini, pria
dan wanita yang sudah dewasa, tanpa dibatasi oleh kebangsaan, kewarganegaraan atau
agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Keduanya mempunyai hak
yang sama atas perkawinan, selama masa perkawinan dan pada saat perceraian. Syarat
perkawinan hanya dilihat dari faktor persetujuan saja. Perkawinan hanya dapat dilakukan bila
keduanya setuju tanpa syarat.
Menurut DUHAM, keluarga merupakan sebuah kesatuan alamiah dan fundamental
dari masyarakat. Oleh sebab itu, hak ini harus mendapat perlindungan dari masyarakat dan
negara. DUHAM menegaskan bahwa pelaksanaan hak tersebut harus dilakukan tanpa
pengecualian apapun, termasuk berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, politik atau pendapat yang berlainan, kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik,
kelahiran ataupun kedudukan lain. Demikian juga, pembedaan tidak boleh didasarkan atas
dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari
mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah
perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.
Demikian juga dengan ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik) dan ICECSR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya). Dalam Pasal 23 ICCPR, disebutkan bahwa keluarga merupakan kesatuan
masyarakat yang alamiah serta mendasar dan berhak mendapat perlindungan dari masyarakat
dan negara. Setiap laki-laki dan wanita yang sudah dalam usia perkawinan berhak untuk
melakukan perkawinan dan hak untuk membentuk keluarga harus diakui. Syarat mendasar
bagi perkawinan adalah adanya persetujuan yang bebas dari para pihak yang menikah (jo.
Pasal 10 ICESCR).
2. Dalam Hukum Instrumen hukum Nasional
37 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988), hlm. 309.
Salah satu hal yang sangat penting dicatat adalah adanya kesadaran bahwa selama
lebih 50 tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan atau
pengakuan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan (Penjelasan Umum UU HAM).
Dalam Pasal 1 angka 1 UU HAM, disebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan yang
Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia. Walaupun disebutkan bahwa pengaturan HAM dalam UU HAM
berpedoman pada Deklarasi HAM PBB, namun materinya disesuaikan dengan kebutuhan
hukum masyarakat dan pembangunan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945.
Terkait dengan perkawinan, Pasal 28B UUD 1945 Amandemen (Perubahan kedua
tahun 2000) menyatakan dengan tegas bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Jaminan atas hak ini sebelumnya telah
dipertegas oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya, yaitu Pasal 10 ayat (1) UU
HAM. Sementara, ayat (2) dari pasal ini mengatur tentang syarat sahnya suatu perkawinan,
yaitu kehendak bebas calon suami atau istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.38
C. Penutup
Islam meyakini bahwa segala perintah dan larangan Allah SWT baik berupa larangan
atau perintah tak lain bertujuan untuk menciptalan kemaslahatan hidup manusia di dunia dan
akhirat, termasuk tujuan pelarangan praktik homoseksual dan lesbian yang dimaksudkan
untuk memanusiakan manusia dan menghormati hak-hak mereka. Untuk hukumnya
sendiripun sudah jelas bahwasanya haram untuk dilakukan dan tidak patut untuk dilakukan
karena hal ini adalah perbuatan yang keji.
Di Indonesia, berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (“UU Perkawinan”), perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri.
Selain itu, di dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dikatakan juga bahwa
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
38 Bhakti, bh4kti.multiply.com, Journal Item 18, diunduh pada tanggal 11 Oktober 2015, pukul 19.15 WIB.
kepercayaannya. Ini berarti selain negara hanya mengenal perkawinan antara wanita dan pria,
negara juga mengembalikan lagi hal tersebut kepada agama masing-masing.
Mengenai perkawinan yang diakui oleh negara hanyalah perkawinan antara pria dan
wanita juga dapat kita lihat dalam Pasal 34 ayat (1).
Perlunya penjelasan yang lebih jelas dan tegas mengenai pemberian sanksi bagi
pelaku homoseksual di dalam hukum pidana. Perlunya tindakan nyata upaya aparat penegak
hukum dalam menanggulangi kasus homoseksual dalam masyarakat. Perlu pula dibentuk
suatu lembaga untuk menampung para homoseksual yang terjaring razia agar mereka bisa
kembali menjadi jati diri yang sebenarnya.
Daftar Referensi
A. Buku
Abu Ameenah Bilal Philips, Islam dan Homoseksual, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003).
Ahmad Kuzari, Nikah sebagai Perikatan, Jakarta: Raja Grafindo, 1995.
Ann Landers. Problema dan Romantika Remaja (Terjemahan). Bina Pustaka: Jakarta.
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1975).
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2007.
Kaelany H.D., Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, Bandung: Bumi Aksara.
Khoiruddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I),
(Yogyakarta: ACAdeMIA & TAZZAFA, 2004).
Lili Rasjid, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Masyarakat dan Indonesia, Bandung:
Alumni, 1982.
M. Hasan Ali. Masail Fiqhiyah al- haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum
Islam. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada).
Masjfuk Zuhdi. Masail Fiqhiyah, Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: CV. Haji
Masagung).
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988).
Mohd. Idris Ramulyono, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Dari Undang-undang No.
1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1999.
Muhammad bin Ibrahim Az-Zulfi, Homoseks, (Bandung:Hikma, 2005).
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, Surabaya:
Airlangga Press University, 2008.
Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2000.
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati, Hukum Perkawinan Indonesia, Palembang: PT.
Rambang, 2006.
Yatimin, Etika Seksual dan Penyimpangannya dalam Islam, (Penerbit Amzah, 2003).
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
B. Media Internet
Adam Fadhlurahman, Kasus Pernikahann Sejenis Apakah Umar Hanya Korban Icha,
http://www.kompasiana.com.
Bhakti, Journal Item 18, bh4kti.multiply.com,
C. Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Penduduk.
Kompilasi Hukum Islam.