TUGAS KELOMPOK FILSAFAT HUKUM ISLAM
SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM ISLAM
OLEH
M.RAPI DEWI CAHYANTI
DOSEN PEMBIMBING : JUNAIDI, SHI., M.HUM
FAKULTAS HUKUM SEMESTER III / A
UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRITAHUN 2012
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum Islam merupakan sistem aturan atau perundangan-undangan ideal
yang mengatur hubungan antara manusia dengan Rabbnya, hubungan antara
individu, masyrakat, dan antarnegara dalam keadaan damai atau perang yang
ditetapkan berdasarkan norma-norma yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah
Rasul-Nya.
1
BAB IIPEMBAHASAN
SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM ISLAM
1. Pertumbuhan Filsafat Hukum Islam
Sumber utama hukum islam adalah al-quran dan al-sunah.terhadap segala
permasalahan yang tidak di terangkan dalam kedua sumber tersebut,kaum muslimin
di perbolehkan berijtihad dengan mempergunakan akalnya guna menemukan
ketentuan hukum.
Berijtihad dengan mempergunakan akal dalam permasalahan hukum islam,yang
pada hakikatnya merupakan pemikiran falsafi itu,di restui oleh Rasulullah.dan
Rasulullahm mengutus dan memberi izin kepada Mu’adz ibn jabal untuk berijtihad.
Izin Rasulullah kepada mu’adz untuk berijtihad tersebut merupakan awal lahirnya
filsafat hukum islam.pada masa Rasulullah segala persoalan di selesaikan dengan
wahyu.pemikiran falsafi atau ijtihad yang salah segera di betulkan dengan datangnya
wahyu. Akan tetapi ketika Rasulullah wafat dah wahyupun telah usai,maka akal
dengan pemikiran falsafinya berperan,baik dalam perkara yang ada nashnya maupun
tidak ada nashnya.1
2. Perkembangan Filsafat Hukum Islam
Kegiatan penelitian terhadap tujuan hukum (maqasbid al-syariah) telah di lakukan
oleh para ahli ushul fiqih terdahulu. Al-juwaini sebagai ushul fiqih yang pertama
yang menekankan pentingnya maqashid al-syariah dalam penetapan hukum islam.
1 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999 hal :18-19
2
Kerangka berfikir al-juwaini di kembangkan oleh muridnya, al-
Ghazali.Dalam kitabnya syifa al-ghazalil, al-Ghazali menjelaskan maksud syariat
dalam kaitanya dengan pembahasan al-munasabat al-mashlahiyyat dalam
qiyas,sementara dalam kitabnya yang lain ia membicarakannya dalam pembahasan
istihlal. Maslahat, baginya adalah memelihara maksud al-syari’,pembuat hukum.
Kemudian ia merinci maslahat itu menjadi lima,yaitu: memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta.
Ahli ushul fiqh berikutnya yang membahas secara khusus aspek utama
maqashid al-syariah, adalah Izz al-Din Ibn ‘Abb al-salam dari kalangan mazhab
syafi’i. dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, ia lebih banyak
mengelaborasi hakikat mashlahat yang di ejawantahkan dalam bentuk dar’u al-
mafasid wa jalbu al-manafi’ ( menghindari mafsadat dan menarik manfaat ).
Adapun ahli ushul fiqh yang membahas teori maqashid al-syariah secara khusus,
sistematis, dan jelas adalah al-Syuthibi, dari kalangan mazhab Maliki. Dalam
kitabnya al-muwafakat, ia menghabiskan kurang lebih sepertiga pembahasannya
dalam maslahat ini.
Ia secara tegas menyatakan bahwa tujuan Allah SWT. Mensyariatkan hukum-
Nya adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. karena itu ta’lif dalam
bidang hukum harus bermuara pada tujuan hukum tersebut.2
2 Ibid hal : 20-22
3
Masa pertumbuhan dan perkembangan berlangsung selama tiga abad lebih.
Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi pase sejarah
hukum islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman Nabi muhammad SAW, yang
berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in
serta tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H).
Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak ada lagi
ulama pendiri maazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari
(310 H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah.
1. MASA KEEMASAN
Periode pembinaan pengembangan dan pembukuan hukum Islam
Disamping periode Nabi Muhammad dan pada periode Khulafaur Rasyidin, maka
terdapat pula periode pembinaan, pengembangan dan pembukuan hukum Islam.
Periode ini dilakukan di masa pemerintahan Khalifah Umayyah (662-750) dan
Khalifah Abbasiyah (750-1258).
Hukum fiqh Islam sebagai salah satu aspek kebudayaan Islam mencapai
puncak perkembangannya di zaman Khalifah Abbasiyah yang memerintah selama
lebih kurang 500 tahun. Di masa ini lahir para ahli hukum Islam yang menemukan
dan merumuskan garis-garis hukum fiqh Islam serta muncul berbagai teori hukum
yang masih dianut dan dipergunakan oleh umat Islam sampai sekarang.3
Pada periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M) pemerintahan
Abbasiyah, telah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para Khalifah betul-
betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus.
Disisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga
3 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009, hal: 154
4
berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan
dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbasiyah
mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus
berkembang.4
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat yaitu dari tahun
750 M – 754 M. Karena itu, pembina sebenarnya dari daulat Abbasiyah adlah Abu
Ja’far al-Manshur (754-775 M). Dia dengan keras menghadapi lawan-lawannya dari
Bani Umayyah, Khawarij dan juga Syi’ah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan.
Untuk lebih menjaga kestabilan ibu kota negara yang baru berdiri yaitu al-
Hasyimiyah, dekat Kufah, al-Manshur memindahkan ibu kota negara ke kota yang
baru dibangunnya, Baghdad dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M.
Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah
bangsa Persia. Di ibu kota ini al-Manshur melakukan fonsolidasi dan penertiban
pemeritahannnya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di
lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi
baru dengan mengangkat wazir sebagai koordinator departemen. Dia juga
membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara dan kepolisian negara. Di
samping membenahi angkatan bersenjata. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa
Dinasti Bani Umayyah di tingkatkan peranannya dengan tambahan tugas.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah di letakkan dan dibangun
oleh Abu al-Abbas dan Abu Ja’far al-Manshur, maka puncak keemasan dinasti ini
berada pada tujuh khalifah sesudahnya yaitu:
4 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009, hal: 155
5
1. Al-Mahdi (775-785 M)
2. Al-Hadi (775-786 M)
3. Harun al-Rasyid (786-809 M)
4. Al-Ma’mun (813-833 M)
5. Al-Mu’tashim (833-842 M)
6. Al-Wasiq (842-847 M)
7. Al-Mutawakkil (8470861 M)
Pada masa khalifah-khalifah ini banyak kemajuan yang terjadi pada hukum
Islam. Diantaranya di galakkannya penerjemahan buku-buku asing. Berdirinya
sekolah dan salah satu karya terbesar yang berfungsi sebagai perguruan tinggi
dengan perpustakaan yang besar.
Bani Abbasiyah ini merupakan lanjutan dari pemerintahan Bani Umayyah.
Jika dibandingkan dengan Bani Umayyah, Bani Abbasiyah lebih maju. Dengan
berpindahnya ibu kota ke kota Baghdad, pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi jauh
dari pengaruh Arab sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat beorientasi kepada
Arab. Kemudian dalam penyelenggaraan negara, pada Bani Abbas ada jabatan wazir
yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam
pemerintahan Bani Umayyah. Demikian pula ketentaraan profesional baru terbentuk
pada masa pemerintahan Bani Abbas sebelumnya tidak ada tentara khusus yang
profesional.5
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama
melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu
5 http: www.google.co.id/Perkembangan Filsafat hukum Islam/2012
6
pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Yakni dalam bidang tafsir.
Dalam metode-metode tafsir sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran
filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan
terutama dalam bidang teologi.6
Dalam periode pembinaan, pengembangan dan pembukuan ini banyak faktor
yang mendorong orang untuk menetapkan hukum dan merumuskan garis-garis
hukum yaitu:
a. Wilayah Islam sudah sangat luas, terbentang dari perbatasan India sampai
Tiongkok di Timur sampai ke Spanyol (Eropa) di sebelah Barat
b. Telah ada karya-karya tulis tentang hukum yang dapat dipergunakan sebagai
bahan landasan untuk membangun serta mengembangkan hukum fiqh Islam
c. Telah tersedia pula para ahli yang mampu berijtihad memecahkan berbagai
masalah hukum dan masyarakat
Dalam periode ini timbul para mujtahid atau Imam tersebut diatas. Dulu jumlahnya
banyak, tetapi kini yang masih mempunyai pengikut adalah 4 yakni:
1. Abu Hanifah (al-Nukman ibn Tsabit): 700-767 M
2. Malik bin Anas: 713 -795 M
3. Muhammad Idris as-Syafi’i: 767-820 M7
4. Ahmad bin Hambal (Hanbal): 781-855 M
Dan sebagaimana diketahui, sumber utama hukum Islam itu adalah al-Quran
dan as-Sunnah Nabi Muhammad. Al-Quran sudah dicatat di masa Nabi Muhammad,
di himpun dalam satu naskah di zaman khalifah Abu Bakar, dua tahun setelah Nabi
6 http: www.google.co.id/Perkembangan Filsafat hukum Islam/20127 Locit hal : 188
7
Muhammad wafat dan disalin serta dibukukan dalam satu Mushaf al-Quran standar
di zaman khalifah Usman.
Demikian atas usaha para ahli, pada pertengahan abad ke-3 H atau akhir abad
ke-9 dan permulaan abad ke-10 M tersusunlah kitab-kitab Hadist yang terkenal
dengan nama al-Kutub as-Sittah (Enam buah kitab Hadist)
Selain dari itu, perlu di catat pula bahwa pad periode ini pulalah metode-
metode tertentu pengambilan hukum dari al-Quran dan Sunnah, penetapan dan
penemuan hukum yang tidak ada ketentuannya dalam dua sumber utama hukum
Islam itu dikembangkan. Yang terpenting diantaranya adalah: ijma’, qiyas, masalih
al-mursalah, istihsan, istishab, al-‘urf.
2 . Masa kelesuan pemikiran
Sejak permulaan abad ke-4 H atau abad ke-10 – 11 M, ilmu hukum Islam
mulai berhenti berkembang. Ini terjadi di akhir penghujung pemerintahan atau dinasti
Abbasiyah. Pada masa ini para ahli hukum hanya membatasi diri mempelajari
pikiran-pikiran para ahli sebelumnya yang telah dituangkan kedalam buku berbagai
mazhab.
Yangmemnjadi ciri umum pemikiran hukum dalam periode ini adalah para ahli
hukum tidak lagi memusatkan usahanya untuk memahami prinsip-prinsip atau ayat-
ayat hukum yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad, tetapi
pikirannya ditumpukan pada pemahaman perkataan-perkataan, pikiran-pikiran
hukum para Imamnya saja. Perkembangan masyarakat yang berjalan terus dan
persoalan-persoalan hukum yang ditumbuhkannya pada masa ini tidak lagi diarahkan
dengan hukum dan dipecahkan sebaik-baiknya seperti zaman-zaman sebelumnya.
8
Dengan kata lain, masyarakat terus berkembang sedang pemikiran hukumnya
berhenti.8
Diantara faktor-faktor atau keadaan yang menyebabkan kemunduran atau
kelesuan pemikiran Islam di masa itu adalah hal-hal sebagai berikut:
1. Kesatuan wilayah Islam yang luas itu, telah retak dengan munculnya beberapa
negara baru, baik di Eropa (Spanyol), Afrika Utara, di Kawasan Timur Tengah dan
Asia.9
2. Ketidakstabilan politik yang mempengaruh kegiatan pemikiran hukum. Artinya
orang tidak bebas mengutarakan pendapatnya.
3. Pecahnya kesatuan kenegaraan atau pemerintahan itu menyebabkan merosotnya
kewibawaan pengendalian perkembangan hukum. Dan bersamaan dengan itu muncul
pula orang-orang yang sebenarnya tidak mempunyai kelayakan untuk berijtihad,
namun mengeluarkan berbagai garis hukum dalam bentuk fatwa yang
membingungkan masyarakat.
4. Timbullah gejala kelesuan berpikir di mana-mana karena kelesuan berpikir itu,
para ahli tidak mampu lagi menghadapi perkembangan keadaan dengan
mempergunakan akal pikiran yang merdeka dan bertanggung jawab. 10
3. Pada Masa Taqlid
Periode taqlid ini adalah periode dimana semangat ijtihad mutlak para ulama
sudah pudar dan berhenti. Semangat kembali kepada sumber-sumber pokok tasyri’,
8 http: www.google.co.id/Perkembangan Filsafat hukum Islam/2012
9 http: www.google.co.id/Perkembangan Filsafat hukum Islam/201210 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009, hal : 194
9
dalam rangka menggali hukum-hukum dari teks al-Quran dan Sunnah dan semangat
mengistimbatkan hukum-hukum terhadap suatu masalah yang belum ada ketetapan
hukumnya dari nash dengan menggunakan dalil-dalil syara’, sudah pudar dan
berhenti. Mereka hanya mengikuti hukum-hukum yang telah dihasilkan oleh imam-
imam mujtahid terdahulu.
Periode taqlid ini mulai sekitar pertengahan abad IV H/X M. Pada masa ini
pula terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kebangkitan umat Islam dan
menghalangi aktivitas mereka dalam pembentukan hukum atau perundang-undangan
hingga terjadinya kemandekan. Semangat kebebasan dan kemerdekaan berpikir para
ulama sudah mati. Mereka tidak lagi menjadikan al-Quran dan Sunnah sebagai
sumber utama, akan tetapi justru mereka sudah merasa puas dengan berpegang
kepada fiqh imam-imam mujtahid terdahulu, yakni Abu Hanifah, Malik, Syafi’i,
Ahmad bin Hanbal dan rekan-rekannya. Mereka mencurahkan segenap kemampuan
mereka untuk memahami kata-kata dan ungkapan-unkapan para imam mujtahid
mereka. Dan mereka tidak berusaha mencurahkan segenap kemampuannya untuk
memahami nash-nash syariat dan prinsip-prinsipnya yang umum.
1. Sebab-sebab terhentinya gerakan ijtihad
Ada 4 faktor penting yang menyebabkan terhentinya gerakan ijtihad dan
suburnya kebiasaan bertaqlid kepada para imam terdahulu, yaitu:
a. Terpecah-pecahnya Daulah Islamiyah ke dalam beberapa kerajaan yang antara satu
dengan yang lainnya saling bermusuhan, saling memfitnah, memasang berbagai
perangkap, tipu daya dan pemaksaan dalam rangka meraih kemenangan dan
kekuasaan.11
11 http: www.google.co.id/Perkembangan Filsafat hukum Islam/2012
10
b. Pada pariode ketiga para imam Mujtahid terpolarisasi dalam beberapa golongan.
Masing-masing golongan membentuk menjadi aliran hukum tersendiri dan
mempunyai khittah tersendiri pula. Misalnya ada kalanya dalam rangka membela dan
memperkuat mazhabnya masing-masing dengan cara mengemukakan argumentasi
yang melegitimasi kebenaran mazhabnya masing-masing mengedepankan kekeliruan
mazhab lain yang dinilai bertentangan dengan mazhabnya.
c. Umat Islam mengabaikan sistem kekuasaan perundang-undangan, sementara di
sisi lain mereka juga tidak mampu merumuskan peraturan yang bisa menjamin agar
seseorang tidak ikut berijtihad kecuali yang memang ahli dibidangnya.
d. Para ulama dilanda krisis moral yang menghambat mereka sehingga tidak bisa
sampai pada level orang-orang yang melakukan ijtihad. Di kalangan mereka terjadi
saling menghasut dan egois mementingkan diri sendiri.12
12 http: www.google.co.id/Perkembangan Filsafat hukum Islam/2012
11
DAFTAR PUSTAKA
Fathurrahman Djamil MA, Filasafat Hukum Islam, Jakarta : Logos Waca Ilmu, 1999
Mohammad Daud Ali, SH, Hukum Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009
http: www.google.co.id/Perkembangan Filsafat hukum Islam/2012
12