Transcript
Page 1: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT

YANG IDEAL

(Analisis Terhadap Urgensi Ketinggian Tempat Dan Penggunaan

Waktu Ihtiyat Untuk Mengatasi Urgensi Ketinggian Tempat

Dalam Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S.1)

Dalam Ilmu Syari’ah

Oleh :

YUYUN HUDHOIFAH

NIM : 0 7 2 1 1 1 0 8 3

KONSENTRASI ILMU FALAK

JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

S E M A R A N G

2011

Page 2: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

ii

Drs. Sahidin, M.Si

Jl. Merdeka Utara I/B.9

Ngaliyan Semarang

Drs. Slamet Hambali, M.Ag.

Jl. Candi Permata II / 180 Semarang

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Lamp. : 4 (empat) eks.

Hal : Naskah Skripsi

An. Sdr. Yuyun Hudhoifah

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Setelah saya mengoreksi dan mengadakan perbaikan seperlunya,

bersama ini saya kirim naskah skripsi Saudara :

Nama : Yuyun Hudhoifah

N I M : 072111083

Judul : Analisis Terhadap Urgensi Ketinggian Tempat dalam

Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat

Dengan ini saya mohon kiranya skripsi Saudara tersebut dapat segera

dimunaqasyahkan.

Demikian harap menjadi maklum.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Semarang, 10 Mei 2011

Pembimbing I

Pembimbing II

Page 3: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

iii

PENGESAHAN

Page 4: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

iv

MOTTO

t

Artinya: Maka apabila kamu Telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di

waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat

itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa’: 103)1

1 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Bandung : Jumanatul Ali Art (J-

Art), 2005, hlm. 176

Page 5: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

v

PERSEMBAHAN

Skripsi ini

Saya persembahkan untuk :

Bapak dan Ibu Tercinta

Ahmad Qamaruddin Madchan (alm) dan Siti Masri’ah

Keluarga tersayang,

Mbak Luk - Mas Ghufron, Mas Iib - Mb Khuzma , Mas Yoyok - Mbak Yani,

Mas Aank, Mbak Nunus

Keluarga Semarang,

Nyak, Mpok, Abang (we’re still together still going strong)

Mb Q3, Ayuk, Ciput

Kenyong

Keluarga Besar Darut Taqwa,

Dan dipersembahkan juga untuk,

Kaum Muslimin dimana pun berada di berbagai belahan dunia

Page 6: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

vi

DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab penulis

menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah

pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga

skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain

kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan

bahan rujukan dalam penelitian ini.

Semarang, 10 Mei 2011

Deklarator

Yuyun Hudhoifah

NIM: 072111083

Page 7: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

vii

ABSTRAK

Dari beberapa point yang mempengaruhi waktu shalat daerah satu dengan

daerah lain, yang jarang diperhatikan adalah ketinggian tempat suatu daerah.

Jadwal awal waktu shalat dalam software Athan, di dalamnya tidak menggunakan

ketinggian tempat. Sementara program Prayer Times dan Shollu memberikan

ruang untuk menginput data ketinggian tempat. Sedangkan jadwal awal waktu

shalat dalam kalender Ponpes Lirboyo, menggunakan data rata-rata ketinggian

tempat 100m dengan formulasi 0.0293 √ h. Slamet Hambali menggunakan

formulasi0° 1’.76√ h, Muhyiddin Khazin cukup dengan ketentuan posisi tinggi

matahari sebagai berikut: ho mahgrib: -1°, ho Isya’ : -18°, ho Subuh: -20° dan ho

terbit: -1°, dan Abdur Rachim menyatakan formulasi √3,2 h. Textbook on Sperical

Astronomy menggunakan rumus 0.98√h, sementara dalam buku Almanak Hisab

Rukyah Departemen Agama dan Rinto Anugraha menggunakan formulasi 1.93√h.

Dari perbedaan-perbedaan tersebut, membuat penulis tertarik untuk mengkaji

urgensi ketinggian tempat dalam waktu shalat karena shalat merupakan ibadah

wajib yang waktunya telah ditentukan sehingga tidak dapat dilakukan sembarang

waktu.. Dari beberapa perbedaan formulasi tersebut juga, penulis ingin menelusuri

formulasi dan penyajian jadwal waktu shalat yang ideal beserta toleransi waktu

seperti penggunaan waktu ihtiyat yang diberikan apakah telah dapat mengatasi

perbedaan waktu akibat pengaruh ketinggian tempat suatu wilayah.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan metode

pengumpulan datanya bersifat Library research (penelitian kepustakaan) dan

wawancara pihak terkait. Sebagai sumber data primernya yaitu seluruh data yang

diperoleh langsung dari buku-buku dan software-software karya para hali falak

dan wawancara langsung dengan ahli falak, yaitu Reza Zakariya dan Yazid

(Lirboyo), Slamet Hambali, serta Rinto Anugraha. Sedangkan data sekundernya

adalah seluruh dokumen berupa buku, tulisan, makalah-makalah yang berkaitan

dengan obyek penelitian. Data-data tersebut dinalisis dengan menggunakan

analisis kritis, dengan menggunakan metode induktif komparatif.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa ketinggian tempat dinilai sangat

urgensi dalam formulasi penentuan awal waktu shalat demi tingkat keakurasian

waktu shalat. Sedangkan formulasi waktu shalat yang paling ideal adalah

formulasi yang di dalamnya terdapat koreksi kerendahan ufuk dengan penggunaan

data ketinggian tempat dan rumus ku sebagai berikut: - (ku + ref + sd) dengan

dip/ku: 1,76 √ℎ (meter) atau 0.98√ℎ (feet). Penggunaan waktu ihtiyat untuk

mengatasi pengaruh ketinggian tempat dalam penyajian jadwal waktu shalat yang

ideal adalah cukup dengan menggunakan toleransi waktu yaitu pengambilan data

rata-rata tinggi tempat dalam suatu wilayah, penggunaan daerah yang tinggi

sebagai acuan untuk waktu yang berhubungan dengan terbenam matahari, dan

menggunakan data daerah yang rendah sebagai acuan untuk waktu yang

berhubungan dengan terbit matahari, serta penggunaan waktu ikhtiyat 2 menit

dengan pembulatan detik. Konversi tempat karena perbedaan ketinggian tempat

bisa diberlakukan secara lokal sekali di wilayah puncak bukit dengan ufuk yang

lebih rendah dari kondisi normal dengan nilai ekstrim.

Key word: waktu shalat, ketinggian tempat, kerendahan ufuk

Page 8: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

viii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberi kesempatan dan segala hal

untuk memahami sedikit ilmu-Nya agar lebih dapat mengenal-Nya. Hanya dengan

ijin dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul:

Pengaruh Ketinggian Tempat dalam Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat

dengan lancar lewat segala proses yang memberi banyak arti. Shalawat dan salam

semoga selalu tercurah kepada Nabi agung Muhammad Saw sebagai Rasul Allah

yang telah memberi penerang atas gelap dan dahaga bagi para pencari-Nya.

Demikian juga shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada keluarga Nabi,

para sahabat Nabi saw, para alim ulama’, yang warna-warni pemikiran mereka

menjadi bahan dan bekal referensi bagi para musafir ilmu.

Sehubungan dengan ini penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam tahap

pengerjaan hingga penyelesaian skripsi ini penulis tidak sendiri. Banyak pihak

yang memberi uluran tangan, pemikiran, dukungan, dan doa selama proses

kegiatan ini sehingga skripsi dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu

melalui kata pengantar ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-

dalamnya kepada:

1. Kementerian Agama Republik Indonesia khususnya Pedepontren yang telah

memberi kesempatan mendapat Beasiswa Santri berprestrasi.

Page 9: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

ix

2. DR. Imam Yahya, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo

Semarang dan Muhyiddin, M.Ag (Dekan sebelumnya).

3. Dr. H. Moh. Arja Imroni, M.Ag selaku kepala Prodi Konsentrasi Ilmu Falak,

Drs. H. Eman Sulaeman, MH (kepala Prodi sebelumnya) beserta staf-staf-nya,

Maksun, M.Ag, H. Ahmad Izzuddin, M.Ag, serta Ahmad Syifaul Anam, SHI.

MH, Bapak Suwanto, yang telah bersusah payah memberikan arahan dan

bimbingan sepenuhnya kepada penulis dan teman-teman KIF lainnya selama

belajar di Semarang.

4. Drs. Slamet Hambali, M.Si dan Drs. Sahidin, M.Si selaku pembimbing dalam

penulisan skripsi ini, yang telah mau bersabar meskipun penulis kurang

disiplin waktu, memberikan arahan, masukan, bimbingan serta memberikan

acc sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini.

5. Bapak Sabri (Undip), Bapak Reza Zakariya dan Bapak Yazid (Lirboyo) yang

telah mau memberikan arahan, bimbingan dan data falak; Bapak Rinto

Anugraha, Bapak Thomas Djamaluddin, Bapak Dr. Ing. Khafid yang mau

menjawab pertanyaan-pertanyaan penulis via email

6. Kedua orang tua penulis, ibu’ dan bapak (alm), yang telah mengajarkan arti

sebuah nafas kehidupan dan atas perjuangan serta doanya yang tiada terkira.

7. Keluarga penulis tercinta (Mbak Luk, Mas Ghufron; Mas Ib, Mb Khuzma;

Mas Yok, Mbak Yani; Mas Ank; Mb Nus) yang selalu memberi cinta kasih

dan semangat lahiriyah maupun bathiniyah. Juga Lek Mad, Lek Tun, Lek

Zayik, Om Arip, Bu Tin sekeluarga, Bulek Sum, Tsania Muna, dan unyil-

unyil.

Page 10: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

x

8. Keluarga besar Pondok Pesantren Darut Taqwa Purwodadi Grobogan yang

telah mengajarkan cara mengenal-Nya dan cara berjalan di jalan-Nya.

9. Keluarga Besar Pondok Pesantren Daarun Najaah Jerakah Tugu Semarang,

khususnya kepada KH. Sirojd Chudlori beserta keluarga selaku pengasuh yang

juga menjadi motivator dan inspirator penulis dan yang telah memberikan

ilmu-ilmunya serta atas bimbingan dan arahannya.

10. Keluarga besar Genk STAR (Kenyong (Rabiatul Aslamiyah) tukang jamu, mb

Q3(Kitri Sulastri) tukang ngibul, Yoyo’ (Ayuk Khairunnisa’)tukang senam,

Nyak (Anifatul Kiftiyah) tukang ngupil, Mpok (Arrikah Imeldawati) tukang

ngomel, bang Mannan (M. Mannan Ma’nawi) tukang tidur, bang Ari

(Mukhsin Ari Wibowo) tukang nari, mz Rifa’ (M. Rifa Jamaluddin N) tukang

dzikir, Usro’ (Sri Hidayati) tukang gazebo tapi telah mau ngalor-ngidul, muter

seser bareng, Ciput (Wahyu Fitria) tukang nangis, mb Mahyo (Mahya Laila)

tukang pusing, mb Adah (Musyayadah) tukang mringis, mz Syamsul (M.

Syamsul Ma’arif) tukang ruwet, mz Djay (Ahmad Jailani) tukang comment,

mb Faroh (Siti Mufarrohah) tukang ngaji, Hassan (Hasanuddin) tukang

nggosip, Ncep (Encep Abdul Rozak) tukang theodolit, om Faqih (Faqih

Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

siyakul (Oki Yosi) tukang ngilang, Maryani (Maryani AM) tukang dinas, teh

Entong (Eni Nuraini Maryam) tukang nyanyi, bulek Hasdul (Hasna Tuddar

Putri) tukang makan, mb Opil (Siti Muslifah) tukang nabrak, mb Ipeh

(Latifah) tukang qiro’, mbah Ansor (Ansorullah) tukang malak, pakde Tahrir

(Tahrir Fauzi) tukang foto, teh Anis (Annisa Budiwati) tukang ngguyu, mbah

Page 11: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

xi

uti (Siti Tatmainul Qulub) tukang lebai) yang telah melalui lebih dari 1000

hari bersama. Lewat mereka penulis memahami arti warna, perjuangan dan

asa, serta arti kebersamaan karna adanya perbedaan.

11. Huda cah purwodadi (angkatan 08), Yadi (angkatan 08), Inayah (angkatan 09),

Qoink (angkatan 08), Nisa’; dan semua pihak yang membantu dalam

pengumpulan dan pengolahan data yang penulis butuhkan,

12. Pondok Putri Utara (Banyu Biru), khususnya kamar “empat” Al Badriyah,

Kepompong, Aina, Kakang yang selalu ada di saat pertama membuka mata

dan menutup mata. Juga Nila, Gepeng, Lilik, bang jack sebagai teman melek.

13. Temen-temen CSS MoRA IAIN Walisongo Semarang

14. Temen-temen KKN ke-56, khususnya posko 18 Desa Bulu Kecamatan

Banyuputih Kabupaten Batang.

15. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dorongan kepada penulis

selama penulis studi di Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang.

Tidak ada yang dapat penulis berikan atas arti keberadaan mereka, kecuali

sepenggal harapan semoga pihak-pihak yang telah penulis kemukakan di atas

selalu mendapat rahmat dan anugerah dari Allah Swt.

Demikian skripsi yang penulis susun ini sekalipun masih belum sempurna

namun harapan penulis semoga akan tetap bermanfaat dan menjadi sumbangan

yang berharga bagi khazanah kajian ilmu falak.

Semarang, 10 Mei 2011

Penulis

Yuyun Hudhoifah

NIM. 072111083

Page 12: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

HALAMAN NOTA PEMBIMBING .............................................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii

HALAMAN MOTTO ..................................................................................... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... v

HALAMAN DEKLARASI ............................................................................. vi

HALAMAN ABSTRAK ................................................................................. vii

HALAMAN KATA PENGANTAR ............................................................... viii

HALAMAN DAFTAR ISI ............................................................................. xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................. 11

C. Tujuan Penelitian .................................................................. 12

D. Manfaat Penelitian ................................................................ 12

E. Telaah Pustaka ...................................................................... 13

F. Metode Penulisan ................................................................. 18

G. Sistematika Penulisan ........................................................... 20

BAB II FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT

KONVERGENSI SYAR’I DAN SAINS SERTA FAKTOR

YANG MEMPENGARUHINYA

A. Dasar Hukum Waktu Shalat .................................................. 23

1. Dalil Waktu Shalat .......................................................... 23

2. Kajian Tafsir dan Pendapat Ulama ................................. 26

Page 13: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

xiii

B. Formulasi Waktu Shalat Perspektif Syar’I dan Sains ........... 32

1. Shalat Dzuhur ................................................................. 33

2. Shalat Ashar .................................................................... 36

3. Shalat Maghrib ................................................................ 39

4. Shalat Isya’ ...................................................................... 41

5. Shalat Subuh ................................................................... 43

C. Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat ............................ 45

1. Meridian Pass .................................................................. 45

2. Sudut Waktu Matahari Awal Waktu Shalat .................... 46

3. Koreksi Waktu Daerah ................................................... 47

4. Ihtiyat ............................................................................. 48

D. Faktor yang Mempengaruhi Penentuan Awal Waktu Shalat 50

1. Faktor yang Mempengaruhi Penentuan Awal Waktu

Shalat ............................................................................... 50

2. Faktor yang Mempengaruhi Penentuan Awal Waktu

Shalat Daerah satu dengan Daerah lain........................... 51

BAB III PENGGUNAAN DATA KETINGGIAN TEMPAT DALAM

FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT

A. Ketinggian Tempat ................................................................ 55

B. Penggunaan Ketinggian Tempat dalam Formulasi Penentuan

Awal Waktu Shalat .............................................................. 59

1. Kitab Klasik .................................................................... 59

2. KH. Slamet Hambali ....................................................... 60

Page 14: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

xiv

3. Lirboyo ........................................................................... 61

4. Saaduddin Djambek ........................................................ 63

5. Muhyiddin Khazin .......................................................... 65

6. Shollu .............................................................................. 65

7. Athan ............................................................................... 66

8. Accurate Times ............................................................... 66

9. Mawaaqit ......................................................................... 67

C. Formulasi Koreksi Ketinggian Tempat dalam Kerendahan

Ufuk/Dip .............................................................................. 68

1. Dip/ ku: 1.76√ h (meter) ................................................. 69

2. Dip/ ku: 0.0293 √ h (meter) ........................................... 69

3. Dip/ku: 0,97 √h feet atau 1,757√h meter ........................ 69

4. Dip/ ku: √3,2 h ................................................................ 69

5. Dip/ku: 0,032° √ℎ ........................................................... 71

6. Dip/ ku: 1,93√ h .............................................................. 72

7. Dip/ ku: 0,98√ h .............................................................. 73

D. Data Jadwal Waktu Shalat Beberapa Formulasi Penentuan

Awal Waktu Shalat ............................................................... 75

BAB IV ANALISIS TERHADAP URGENSI KETINGGIAN TEMPAT

DALAM FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU

SHALAT

A. Analisis Urgensi Ketinggian Tempat dalam Formulasi

Penentuan Awal Waktu Shalat .............................................. 80

Page 15: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

xv

B. Analisis Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat Ideal

Terkait Formulasi Kerendahan Ufuk yang Berbeda-Beda .... 89

C. Analisis Toleransi yang Diberikan untuk Memback Up

Urgensi Ketinggian Tempat dalam Penyajian Jadwal

Waktu Shalat yang Ideal ....................................................... 97

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................... 104

B. Saran ...................................................................................... 106

C. Penutup ................................................................................. 107

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

RIWAYAT PENDIDIKAN

Page 16: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Persoalan shalat merupakan persoalan fundamental dan signifikan dalam

Islam. Dalam penetapan waktu shalat ditemukan bahwa teks-teks yang dijadikan

landasan bersifat interpretatif. Sebagai implikasinya muncul perbedaan dalam

menetapkan awal waktu shalat. Kelompok pertama berpandangan bahwa awal

waktu shalat ada tiga. Sementara itu, kelompok kedua menyebutkan bahwa awal

waktu shalat ada lima.1

Pendapat pertama banyak diterima oleh golongan Syiah. Sedangkan

mayoritas muslim di Indonesia, lebih memegangi pendapat yang kedua,

berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat sebagai berikut:

Artinya:

Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan

memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan

bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di

siang hari, supaya kamu merasa senang, (QS. Thaha: 130)2

1 Menurut Muhammad Jawad Muqniyyah, dalam kitab At-Tafsir al-Kasif, 15:74

sebagaimana yang dikutip oleh Susiknan Azhari, Awal Waktu Salat Perspektif Syar’I dan Sains,

bisa diakses di www.ilmufalak.or.id 2 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahannya, Yayasan

Penyelenggara dan Penterjemah Tafsir Al Qur‟an, Jakarta: Bulan Bintang, 1997, hlm. 492

Page 17: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

2

Artinya:

Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan

(dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan

(oleh malaikat). (QS. Al-Isra‟: 78)3

Artinya:

Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan

pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-

perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang

buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. (QS. Al Hud: 114)4

Artinya:

Maka bertasbihlah kepada Allah diwaktu kamu berada dipetang hari dan

waktu kamu berada diwaktu Subuh. Dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan

bumi dan diwaktu kamu berada pada petang hari dan diwaktu kamu berada

diwaktu Dzuhur. (QS. Ar Rum: 17-18)5

Didukung oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah r.a

3 Ibid, hlm. 436

4 Ibid, hlm. 344-345

5 Ibid, hlm. 643

Page 18: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

3

(والتزمذى والنسائ احمد رواه)

Artinya :

Dari Jabir bin Abdullah r.a berkata telah datang kepada Nabi SAW. Jibril a.s

lalu berkata kepadanya bangunlah, lalu bersembahyanglah kemudian Nabi

salat Dzuhur dikala matahari tergelincir. Kemudian ia datang lagi kepadanya

di waktu Ashar lalu berkata, bangunlah lalu sembahyanglah, kemudian Nabi

salat Ashar di kala bayang-bayang sesuatu sama dengannya. Kemudian ia

datang lagi kepadanya di waktu Maghrib lalu berkata bangunlah , kemudian

Nabi shalat Maghrib dikala matahari terbenam. Kemudian datang lagi

kepadanya di waktu Isya‟ lalu berkata : bangunlah dan salatlah kemudian

Nabi salat Isya‟ dikala mega merah telah terbenam. Kemudian ia datang lagi

kepadanya di waktu fajar lalu berkata : bangun dan salatlah, kemudian Nabi

shalat fajar di kala fajar menyingsing, atau ia berkata: di waktu fajar besinar.

Kemudian ia datang pula esok harinya pada waktu Dzuhur kemudian ia

berkata padanya bangunlah lalu shalatlah kemudian Nabi salat Dzuhur dikala

bayang-bayang suatu sama dengannya. Kemudian datang lagi kepadanya di

waktu Ashar dan ia berkata : bangunlah dan shalatlah kemudian Nabi shalat

Ashar dikala bayang-bayang matahari dua kali sesuatu itu. Kemudian ia

datang lagi kepadanya di waktu Maghrib dalam waktu yang sama, tidak

bergeser dari waktu yang sudah. Kemudian ia datang lagi di waktu Isya‟ di

kala telah lalu separo malam, atau ia berkata telah hilang sepertiga malam,

kemudian Nabi shalat Isya‟. Kemudian ia datang lagi kepadanya di kala telah

bercahaya benar dan ia berkata bangunlah lalu shalatlah, kemudian Nabi

shalat fajar, kemudian Jibril berkata saat dua waktu itu adalah waktu shalat.

(HR. Imam Ahmad, Nasai dan Thirmidzi) 7

Berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-qur‟an maupun Hadis

tersebut, ketentuan waktu-waktu shalat dapat dirincikan sebagai berikut: (1)

Dzuhur, Waktu Dzuhur dimulai sejak matahari tergelincir, yaitu sesaat setelah

matahari mencapai titik kulminasi dalam peredaran hariannya, sampai tiba waktu

6 Muhammad Bin Ali Bin Muhammad Asy-Syaukani , Nailul Authar, Beirut-Libanon :

Dal al-Kitab, jilid I,, hlm 435 7 Program Hadis Kutubus Sittah, الجامع الصحيح للتزمذي, kitab abwab as-shalat, no 001

Page 19: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

4

Ashar, (2) Ashar, waktu Ashar dimulai saat panjang bayang-bayang suatu benda

sama dengan bendanya ditambah dengan panjang bayang-bayang saat matahari

berkulminasi sampai tibanya waktu Maghrib, (3) Maghrib, waktu Maghrib

dimulai sejak matahari terbenam sampai tiba waktu Isya, (4) Isya, waktu Isya

dimulai sejak hilang mega merah sampai separuh malam (ada juga yang

menyatakan akhir salat Isya adalah terbit fajar), dan (5) Subuh, waktu Subuh

dimulai sejak terbit fajar sampai terbit matahari.

Secara syar‟i, dalam menunaikan kelima waktu shalat tersebut, kaum

muslimin terikat pada waktu-waktu yang sudah ditentukan sebagaimana Firman

Allah dalam surat An Nisa‟ (4): 103, yaitu:

t

Artinya:

Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu

berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu

telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa).

Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas

orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa‟: 103)8

Dari ayat ini, Az Zamakhsyariy berkomentar bahwa seseorang tidak boleh

mengakhirkan waktu dan mendahulukan waktu shalat seenaknya baik dalam

keadaan aman atau takut.9 Penggunaan lafaz “Kaanat” menujukkan ke-

Mudawamah-an (continuitas) suatu perkara, maksudnya ketetapan waktu shalat

8 Ibid, hlm. 176

9 Lihat Az Zamakhsyariy, Tafsir Al Khasyaf, Beirut: Daar Al Fikr, 1997, juz I, hlm. 240

Page 20: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

5

tak akan berubah sebagaimana dikatakan oleh Al Husain bin Abu Al „Izz Al

Hamadaniy.10

Dalam Tafsir Ibnu Katsir11

dijelaskan bahwa, Firman Allah Ta‟ala

“Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang ditentukan waktunya bagi

kaum mukmin” yakni difardhukan dan ditentukan waktunya seperti ibadah haji.

Maksudnya, jika waktu shalat pertama habis maka shalat yang kedua tidak lagi

sebagai waktu shalat pertama, namun ia milik waktu shalat berikutnya. Oleh

karena itu, orang yang kehabisan waktu suatu shalat, kemudian melaksanakannya

diwaktu lain, maka sesungguhnya dia telah melakukan dosa besar. Pendapat lain

mengatakan “silih berganti jika yang satu tenggelam, maka yang lain muncul”

artinya jika suatu waktu berlalu, maka muncul waktu yang lain.

Sedangkan dalam Tafsir Manaar 12

mengungkap, sesungguhnya shalat itu

telah diatur waktunya oleh Allah SWT. berarti wajib mua'kkad yang telah كتاًبا

ditetapkan waktunya dilauhil mahfudz. موقوًتا berarti sudah ditentukan batasan-

batasan waktunya.

Dari beberapa tafsiran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konsekuensi

logis dari ayat tersebut adalah shalat tidak bisa dilakukan dalam sembarang waktu,

melainkan harus mengikuti atau berdasarkan dalil-dalil baik dari Al-Qur‟an

maupun Al-Hadis.

Dari sana dipahami bahwa betapa pentingnya penentuan awal waktu

shalat. Penentuan awal waktu shalat ini dapat diperoleh dengan menggunakan cara

10

Al Husain bin Abu Al „Izz Al Hamadaniy, Al gharib fi I’rab Al Qur’ani, Qatar: Daar

Ats Tsaqafah, juz I, hlm. 788 11

Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i. Tafsir Ibnu Katsir. Gema Insani:Jakarta, jilid 3, hlm. 292. 12

Rasyid Ridha, Tafsir Manaar, Dar Al Ma‟rifah: Beirut, juz 5, hlm. 383

Page 21: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

6

melihat langsung pada tanda-tanda alam sebagaimana secara tekstual dalam hadis-

hadis Nabi, seperti menggunakan alat bantu rubu‟13

, tongkat istiwa’ atau miqyas

yang dalam astronomis lebih dikenal dengan sundial14

. Selain itu, waktu shalat

dapat diketahui melalui jadwal shalat abadi atau jadwal shalat sepanjang masa,

serta jadwal-jadwal shalat dari hasil hisab penentuan awal waktu shalat yang ada

dan berkembang dalam masyarakat sekarang ini. Hisab ini menghitung dan

memperkirakan kapan matahari akan menempati posisi-posisi seperti tersebut

dalam nash-nash waktu shalat.

13

Rubu’ berarti seperempat. Dalam istilah astronomi disebut kuadran (quadrant), yaitu

suatu alat untuk menghitung fungsi goniometris yang sangat berguna untuk memproyeksikan

peredaran benda langit pada lingkaran vertical. Lihat Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 1, 2005, hlm. 129. Rubu’ al-Mujayyab atau Kuadran sinus

merupakan alat perangkat hitung astronomis untuk memecahkan permasalahan astronomi bola.

Tokoh-tokoh yang berperan dalam pengembangan rubu’ ini adalah al-Khwarizmi (770-840) dan

Ibn-Sathir (abad 11). Rubu’ al-Mujayyab yang berkembang di Indonesia ialah rubu’ hasil

pengembangan dari rubu‟ IbnSathir. (Lihat Hendro Setyanto, Kajian Kitab-Forum Kajian Ilmu

Falak “Zenith”, Rubu’, Bandung: Pundak Scintific, 2001, hlm. 3) dalam kitab-kitab falak klasik

biasanya menggunakan metode penentuan awal waktu shalat dengan menggunakan rubu’. 14

Lihat Sundial; History, Theory, & Practice by Rene R.J.Rohr; translated by Gabriel

Godin, Toronto: University of Toronto Press, 1970. Dalam buku ini, ada beberapa istilah yang

dapat diartikan sebagai jam matahari atau sundial, yaitu hemisphere dan gnomons. Sundial (jam

matahari) adalah seperangkat alat yang digunakan sebagai petunjuk waktu semu lokal (local

apparent time) dengan memanfaatkan matahari yang menghasilkan bayang-bayang sebuah

gnomon yaitu, batang atau lempengan yang bayang-bayangnya digunakan sebagai petunjuk waktu

(gnomon merupakan salah satu bentuk dari sundial sederhana, oleh karena itu dianggap sebagai

nama lain dari sundial), chapter three, Classical Sundials, hlm. 46. Pada dasarnya, sebuah sundial

terdiri dari satu objek yang membentuk satu bayangan dari sebuah permukaan yang bergaris, yang

disebut dengan garis jam. Permukaan tersebut dinamakan table jam. (Basically, a sundial consists

of a surface on wich lines (the so-called hour-lines) have been traced; the surface is called the

table of the dial). Jika kita meruntut sejarah, menurut data literatur papyrus pada tahun 1450 SM,

sundial pernah dipakai di Mesir dalam bentuk obelisk yang saat itu digunakan untuk menentukan

waktu dan menseting kalender. Groping through history with this Ariadne’s thread, we learn from

the papyri that by about 1450 BC gnomons in the form of obelisks were used in Egypt for the

measurement of time and the setting up of calendar. Sekitar tahun 1000, bangsa Arab telah

menjadi ahli waris dari gnamon Yunani sebagaimana ilmu klasik lainnya. 15 buku mereka tentang

gnomonic ditulis dari abad 11-14. By around the year 1000, the Arabs had become the inheritors

of Greek Gnomonics, as well as of all the ather ancient sciences. Fifteen of their books on

gnomoniccs written during the period from the elevent to the fourteenth century ave survived,

Chapter one, History of The Sundial hlm. 5. Kemungkinan pada masa ni, kemudian umat Islam

memanfaatkan sundial untuk menentukan awal waktu shalat. Dalam bahasa Arab disebut juga as-

Sa’ah asy-Syamsiah atau mizwala. Lihat juga pada Susikanan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat,

hlm. 144.

Page 22: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

7

Atas dasar kebutuhan pada masa modern ini, hisab penentuan awal waktu

shalat melangkah ke arah kemajuan dengan lahirnya software-software penentuan

waktu shalat yang memudahkan masyarakat dalam mengetahui awal dan akhir

waktu shalat. Jadwal shalat sekarang ini juga mudah didapatkan dalam kalender-

kalender yang beredar dalam masyarakat oleh perhitungan hisab para ahli falak.

Hampir di setiap kalender telah dicantumkan jadwal awal waktu shalat. Jadwal

awal waktu shalat yang ada dalam kalender-kalender tersebut dapat disesuaikan

dengan daerah masing-masing. Ada beberapa point yang menyebabkan perbedaan

awal waktu shalat antara satu daerah dengan daerah lain, yaitu antara lain:

1. Koordinat lintang tempat tersebut (Ф)15

. Daerah yang terletak di sebelah utara

garis khatulistiwa (ekuator) memiliki lintang positif, dan untuk daerah yang

terletak di sebelah selatan garis khatulistiwa memiliki lintang negatif.

2. Koordinat bujur tempat tersebut (λ)16

. Daerah yang terletak di sebelah timur

Greenwich memiliki bujur positif dan untuk daerah yang terletak di sebelah

barat Greenwich memiliki bujur negatif.

3. Zona waktu tempat tersebut (z)17

. Daerah yang terletak di sebelah timur

Greenwich memiliki z positif. Misalnya zona waktu Jakarta adalah UT +7

15

Lintang astronomi suatu tempat ialah sudut antara arah gaya berat (vertical) tempat

tersebut dengan bidang yang tegak lurus sumbu putar bumi. Baca K.J. Vilianueva, Pengantar ke

dalam Astronomi Geodesi, Bandung: Departemen Geodesi Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan

Institut Teknologi Bandung, 1978, hlm. 4. 16

Bujur astronomi suatu tempat adalah sudut antara bidang di meridian tempat dan

bidang meridian dari Greenwich. Lihat ibid, hlm. 114. Dalam buku tersebut juga disebutkan bahwa

bujur sama dengan selisih waktu local tempat bersangkutan dengan waktu Greenwich. 17

Pada dasarnya bumi dibagi dalam 24 wilayah waktu (zona waktu) yang dibatasi oleh

meridian-meridian dengan selisih bujur 15 derajat (1 jam). Dalam tiap wilayah ini berlaku satu

macam waktu wilayah dengan meridian tengahnya sebagai referensi. Wilayah 0 meridian

referensinya adalah meridian Greenwich. Ke timur dari Greenwich tiap wilayah diberi tanda +1,

+2, dst dan untuk wilayah arah barat diberi tanda -1,-2, dst. Untuk wilayah ke-12 dibagi dua oleh

“date line” dan untuk bagian barat diambil Δz = -12 sedangkan untuk bagian yang timur diambil

Page 23: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

8

(Universal Time) atau seringkali disebut GMT +7 (Greenwich Mean Solar

Time), maka z = 7. Sedangkan di sebelah barat Greenwich memiliki z negatif.

Misalnya, Los Angeles memiliki z = -8.

4. Ketinggian tempat dari permukaan laut (h)18

. Ketinggian lokasi dari

permukaan laut (h) menentukan waktu kapan terbit dan terbenamnya

matahari. Tempat yang berada tinggi di atas permukaan laut akan lebih awal

menyaksikan matahari terbit serta lebih akhir melihat matahari terbenam,

dibandingkan dengan tempat yang lebih rendah. Satuan h adalah meter atau

feet (kaki).

Dari keempat point di atas, yang jarang diperhatikan adalah ketinggian

tempat dari suatu daerah. Dari penelusuran penulis, kebanyakan jadwal waktu

shalat yang ada dalam kalender-kalender hanya memakai data rata-rata ketinggian

tempat. Bahkan tidak jarang, jadwal shalat tidak memakai data ketinggian tempat.

Begitu juga dengan software-software waktu shalat yang berkembang, banyak

yang menyisihkan data ketinggian tempat.

Jadwal awal waktu shalat yang tercantum dalam kalender keluaran Ponpes

Lirboyo, yang dipakai oleh hampir seluruh alumni tersebut, dalam hisab awal

waktu shalatnya menggunakan data ketinggian tempat 100m.19

Sedangkan jadwal

Δz = +12. Bila seseorang melewati “date line” maka ia harus menyesuaikan hari kalendernya

dengan menambah atau mengurangi dengan satuan hari (24j). selisih waktu untuk wilayah yang

berdampingan adalah satu jam. Untuk keseragaman di suatu negara maka wilayah waktu itu

disesuaikan dengan batas-batas negara. Lihat Ibid, hlm. 70-71. Untuk Indonesia sendiri dibagi

dalam 3 zona waktu, yaitu WIB, WITA, WIT. 18

h dalam astronomi digunakan sebagai simbol untuk tinggi, posisi tinggi matahari

biasaya menggunakan ho dan posisi tinggi bulan biasanya menggunakan h(. 19

Dalam penentuan awal waktu shalat, Ponpes Lirboyo menggunakan gabungan

ephimeris - kitab Tashil Auqat, dengan data ketinggian tempat yang dipakai 100m. (Hasil

wawancara dengan Bapak Yazid via telepon dan Bapak Reza melalui jaringan sosial Facebook,

mereka adalah penyusun kalender Ponpes Lirboyo yang selama ini beredar).

Page 24: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

9

awal waktu shalat dalam software Athan20

, di dalamnya tidak menggunakan data

ketinggian tempat. Sementara program Prayer Times21

dan Shollu22

memberikan

ruang untuk menginput data ketinggian tempat untuk daerah yang dicari awal

waktu shalatnya.

Selain itu, yang lebih menarik dalam hal ini adalah dari beberapa ahli falak

mempunyai formulasi penentuan awal waktu shalat yang berbeda-beda dalam

penggunaan data ketinggian tempat terkait dengan kerendahan ufuk suatu tempat,

yaitu pada waktu Maghrib, Subuh dan Isya‟.

Pada umumnya, para ahli falak maupun astronomi menggunakan rumus

ho= - (ku + ref + sd) dalam mencari tinggi matahari, dengan ketentuan sebagai

berikut:

ku (kerendahan ufuk) = 0° 1‟.76√ h (ketinggian tempat)

ref (refraksi tertinggi saat ghurub) = 0° 34‟

sd (semidiameter matahari rata-rata) = 0° 16‟

Formulasi ini digunakan oleh para ahli falak pada umumnya dalam menentukan

awal waktu shalat Maghrib, salah satunya adalah Slamet Hambali.23

Sedangkan

20

Softwere program waktu shalat dalam computer yang secara otomatis akan

membunyikan suara adzan ketika mulai waktu shalat, yaitu 5 kali dalam sehari. Dapat didownload

di http://www.islamicfinder.rg/athanContact.php 21

Bisa di download di www.rukyatulhilal.com 22

Shollu, copyrights ©2004-2008 program waktu shalat versi 3.00, oleh Ebta Setiawan.

Program ini bertujuan memberi peringatan kepada pengguna komputer bahwa waktu sholat telah

tiba atau sebentar lagi tiba. Sehingga pengguna bisa bersegera untuk mempersiapkan diri untuk

menunaikan sholat. Berbeda dengan versi 2.15 ke bawah, mulai shollu menggunakan koordinat

wilayah ( garis lintang dan garis bujur), ketinggian dan beberapa kriteria lainnya. Pengguna hanya

perlu setting sekali dan jadwal otomatis akan selalu update. Shollu dilengkapi dengan wilayah-

wilayah di Indonesia dan kota-kota besar di dunia. Untuk wilayah lainnya bisa download file

tambahan, bisa dilihat dalam help file. 23

Slamet Hambali, Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris, materi ini disampaikan dalam

pelatihan ketrampilan khusus bidang hisab-rukyah oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan

Pondok Pesantren Ditjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2007

Page 25: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

10

dalam penentuan waktu Isya‟ dan Subuh, rumus tersebut dijumlahkan dengan

masing-masing ho -17° dan ho -19°. Namun, ada beberapa ahli falak yang sedikit

berbeda. Muhyiddin Khazin, dalam buku Ilmu Falak; Teori dan Praktek24

agaknya mempunyai toleransi terhadap pengaruh ketinggian tempat dengan

menjelaskan bahwa rumus tersebut terkait kerendahan ufuk hanya dianjurkan

dalam perhitungan awal bulan. Sedangkan untuk perhitungan awal waktu shalat

sehari-hari hanya cukup dengan ketentuan sebagai berikut: ho mahgrib: -1°, ho

Isya‟ : -18°, ho Subuh: -20° dan ho terbit: -1°.

Sedangkan Uzal Syahruna seperti dalam materinya Perhitungan Awal

Waktu Shalat, dalam mencari ku lebih memilih menggunakan bentuk decimal dari

0° 1‟.76√ h, yakni ku: 0.0293 √ h. Berbeda dengan Abdur Rachim, beliau

mempunyai sedikit perbedaan ketentuan dalam mencari ku. Abdur Rachim

mempunyai rumus sendiri yaitu dalam bukunya Ilmu Falak,25

dijelaskan bahwa

ku mar‟i dapat diketahui dengan rumus √3,2 h. Pada salah satu literatur astronomi,

Textbook on Sperical Astronomy26

disebutkan bahwa dalam mencari ku

menggunakan rumus 0.98√h .

Dari beberapa perbedaan tersebut, dapat dilihat bahwa beraneka macam

respon ahli falak tehadap ketinggian tempat dalam penentuan waktu shalat. Maka

dari itu, penulis tertarik untuk mengkaji urgensi data ketinggian tempat dalam

formulasi penentuan awal waktu shalat. Sebenarnya seberapa pengaruh data

ketinggian tempat dalam formulasi penentuan awal waktu shalat. Selain itu,

24

Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak; dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana pustaka,

hlm. 56 25

Abd. Rachim, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberti, 1983, hlm. 33 26

W.M. Smart, Textbook on Sperical Astronomy, London: Cambridge University Press,

1950, hlm. 318

Page 26: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

11

penulis juga tertarik untuk mengkaji bagaimana formulasi penentuan awal waktu

shalat yang ideal untuk digunakan diantara yang dipakai oleh beberapa ahli falak

tersebut.

Dan meskipun dalam beberapa jadwal waktu shalat telah menggunakan

data ketinggian tempat, namun dalam pemetaan wilayah dalam waktu shalat juga

masih kurang memperhatikan data ketinggian tempat. Jadwal waktu shalat yang

ada hanya menghitung salah satu titik yang mewakili satu wilayah kabupaten.

Padahal, dalam satu kabupaten mempunyai dataran yang tingginya berbeda-beda.

Oleh karena itu, penulis juga tertarik untuk mengkaji bagaimana toleransi waktu

seperti penggunaan waktu ihtiyat yang diberikan oleh beberapa ahli falak tersebut

di atas, untuk mengatasi pengaruh ketinggian tempat terkait keurgensiannya

dalam penyajian jadwal waktu shalat yang ideal.

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari permasalahan yang telah dipaparkan, dan untuk membatasi

agar skripsi lebih spesifik dan tidak terlalu melebar, maka dapat dikemukakan

pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini sebagai berikut:

1. Bagaimana urgensi ketinggian tempat dalam formulasi penentuan waktu

shalat?

2. Bagaimana formulasi penentuan waktu shalat yang ideal terkait formulasi

kerendahan ufuk yang berbeda-beda?

3. Bagaimana penggunaan waktu ihtiyat untuk mengatasi pengaruh ketinggian

tempat dalam penyajian jadwal waktu shalat yang ideal?

Page 27: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

12

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak di capai dalam penulisan skripsi ini adalah

sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui urgensi ketinggian tempat dalam formulasi penentuan

awal waktu shalat, meliputi shalat apa saja yang dalam penentuan awal

waktunya dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan seberapa besar

pengaruhnya terhadap formulasi penentuan awal waktu shalat.

2. Untuk mendapatkan formulasi penentuan awal waktu shalat yang paling ideal

dan akurat yang dapat digunakan oleh masyarakat.

3. Untuk mengetahui bagaimana toleransi atas urgensi tersebut dalam formulasi

penentuan awal waktu shalat meliputi tinggi atau rendahnya suatu daerah

mana yang dijadikan markaz perhitungan awal waktu shalat yang ideal dan

bagaimana penyajian jadwal awal waktu shalat yang ideal.

D. Manfaat Penelitian

Dengan mengetahui seberapa besar urgensi data ketinggian tempat dalam

formulasi penentuan awal waktu shalat dan seberapa besar toleransi urgensi

ketinggian tempat dalam formulasi penentuan waktu shalat, maka diharapkan

dapat merumuskan formulasi penentuan awal waktu shalat yang lebih akurat dan

ideal untuk digunakan meliputi daerah mana yang dijadikan patokan perhitungan

awal waktu shalat dan batas-batas penggunaan nama daerah dalam jadwal waktu

shalat. Oleh karena itu, dapat meminimalisir kesalahan perhitungan penentuan

awal waktu shalat sehingga lebih memantapkan hati kita dalam beribadah.

Page 28: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

13

Dari sisi akademis kegunaan penelitian di samping berguna bagi

pengembangan ilmu penulis juga dapat bermanfaat bagi peneliti-peneliti yang

akan datang. Pentingnya hasil penelitian ini bagi peneliti-peneliti yang akan

datang terutama terletak pada sisi ketersediaan data awal, karakteristik termasuk

masalah-masalah yang belum mendapatkan analisis yang fokus.

E. Telaah Pustaka

Sejauh penelusuran yang penulis lakukan, belum ditemukan tulisan dan

penelitian yang secara khusus dan mendetail membahas pengaruh data ketinggian

shalat dalam formulasi penentuan awal waktu shalat dan toleransinya. Selama ini,

banyak penelitian mengenai shalat, waktu shalat, namun ditinjau dari berbagai

segi.

Penelitian-penelitian yang ada sebagian besar mengenai shalat dan

impactnya terhadap kehidupan sehari-hari. Sebagaimana skripsi yang ditulis oleh

Marfungah, Pengaruh Intensitas Shalat 5 Waktu Terhadap Motivasi Beragama

Anak di Panti Asuhan Yatim Piatu Darul Hadlonah Semarang27

dan skripsi oleh

M. Khoirul Abshor yang berjudul Pengaruh Pendidikan Shalat Pada Masa

Kanak-Kanak dalam Keluarga Terhadap Kedisiplinan Shalat Lima Waktu Siswa

Kelas VIII Di Mts Negeri Kendal28

. Kedua penelitian tersebut lebih menekankan

27

Marfungah, Pengaruh Intensitas Shalat 5 Waktu Terhadap Motivasi Beragama Anak di

Panti Asuhan Yatim Piatu Darul Hadlonah Semarang, Skripsi Fakultas Dakwah IAIN Walisongo

Semarang, 2005 28

M. Khoirul Abshor yang berjudul Pengaruh Pendidikan Shalat Pada Masa Kanak-

Kanak dalam Keluarga Terhadap Kedisiplinan Shalat Lima Waktu Siswa Kelas VIII Di Mts

Negeri Kendal, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2008

Page 29: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

14

pada aspek sosial yang ditimbulkan dari pelaksanaan shalat 5 waktu dan praktek

riil pelaksanaan shalat pada waktunya.

Sedangkan skripsi yang ditulis oleh Mukhamad Hasanudin, Studi Analisis

Pendapat Hasbi Ash Shiddiqie Tentang Bolehnya Mengerjakan Dua Shalat

Fardlu Dengan Satu Kali Tayamum29

merupakan penelitian tentang shalat namun,

diambil dari segi fiqh dan lebih menekankan pada persoalan tayamum. Hampir

serupa, penelitian Waktu Salat Wajib dalam Pandangan Syi'ah (Kajian Atas

Hadis-Hadis Tentang Waktu Salat Dalam Kitab Al-Kafi) oleh Nur „Aeni

meskipun membahas tentang waktu shalat, namun lebih menekankan pada segi

fiqhnya, yaitu membahas Hadis yang berkaitan dengan waktu shalat yang menjadi

dasar hukum kaum Syi‟ah dalam menentukan waktu shalatnya.30

Penelitian tentang waktu shalat dengan penekanan pada bidang falak

tergolong sedikit, penulis hanya menemukan beberapa saja, yaitu penelitian

Korelasi Beda Bujur dalam Penemuan Selisih Waktu Shalat Antar Daerah (Studi

Jadwal Waktu Shalat Yang Beredar Di Jawa Timur) oleh Abd. Salam yang

mengungkapkan seberapa besar akurasi penentuan waktu-waktu shalat untuk

kota-kota markaz pada jadwal waktu shalat yang beredar di Jawa Timur, serta

akurasi konversi waktu shalat dari satu kota ke kota lainnya yang ditinjau dari

beda bujurnya.31

Selain itu, penulis hanya menemukan dua karya ilmiah yang

29

Mukhamad Hasanudin, Studi Analisis Pendapat Hasbi Ash Shiddiqie Tentang Bolehnya

Mengerjakan Dua Shalat Fardlu Dengan Satu Kali Tayamum, Skripsi Fakultas Syariah IAIN

Walisongo Semarang, 2004 30

Nur „Aeni, Waktu Salat Wajib dalam Pandangan Syi'ah (Kajian Atas Hadis-Hadis

Tentang Waktu Salat Dalam Kitab Al-Kafi), Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga,

2009 31

Abd. Salam, Korelasi Beda Bujur Dalam Penemuan Selisih Waktu Shalat Antar Daerah

(Studi Jadwal Waktu Shalat Yang Beredar Di Jawa Timur), Sunan Ampel, 2005

Page 30: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

15

meneliti awal waktu shalat, yaitu skripsi Muhammad Hartaji, yang berjudul

Analisis Terhadap Perbedaan Lintang Terhadap Awal Waktu Shalat, yang hanya

menganalisa terhadap perbedaan lintang dalam waktu shalat.32

Skripsi lain ditulis

oleh Muntoha yang berjudul Analisis Terhadap Toleransi Pengaruh Perbedaan

Lintang dan Bujur dalam Kesamaan Penentuan Awal Waktu Shalat, yang

menjelaskan pengaruh lintang dan bujur tempat dalam penentuan awal waktu

shalat beserta toleransinya yang menurut skripsi ini yaitu dengan waktu ikhtiyat.33

Namun, hampir dari setiap buku falak secara umum yang ada, di dalamnya

terdapat salah satu bab yang menjelaskan penentuan waktu shalat. Begitu pula

dengan kitab-kitab klasik falak yang ada. Mesipun antara buku falak dan kitab

falak klasik mempunyai konsep yang berbeda dalam formulasi penentuan awal

waktu shalat, namun keduanya mempunyai benang merah yang sama.

Diantara buku-buku falak tersebut ada buku Ilmu Falak Praktis; Metode

Hisab-Rukyah Praktis dan Solusi Permasalahannya oleh Ahmad Izzuddin,

M.Ag34

dan Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik oleh Muhyiddin Khazin35

.

Keduanya membahas ilmu falak secara umum, mulai dari arah kiblat, penentuan

awal waktu shalat, penentuan awal bulan qamariyah, hingga gerhana matahari

maupun gerhana bulan. Ilmu Falak oleh Abdur Rachim juga menjelaskan sekilas

32

Muhammad Hartaji, yang berjudul Analisis Terhadap Perbedaan Lintang Terhadap

Awal Waktu Shalat, Semarang : FAI Unissula, 2003. 33

Muntoha, Analisis Terhadap Toleransi Pengaruh Perbedaan Lintang dan Bujur dalam

Kesamaan Penentuan Awal Waktu Shalat, Skripsi Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang,

2004 34

Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis; Metode Hisab-Rukyah Praktis dan Solusi

Permasalahannya, Semarang: Komala Grafika dengan IAIN Walisongo Semarang, 2006 35

Muhyiddin Khazin, loc. cit.

Page 31: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

16

tentang awal waktu shalat, namun pembahasan di dalamnya lebih ditekankan pada

sisi astronominya.

Selain itu, ada beberapa tulisan mengenai waktu shalat, seperti Rinto

Anugraha dalam tulisannya Waktu-Waktu Shalat, telah menjelaskan beberapa hal

terkait dengan waktu shalat lima waktu. Sedangkan tulisannya yang berjudul Cara

Menghitung Waktu Shalat, menyajikan cara perhitungan waktu shalat dengan

menggunakan sejumlah rumus matematika.36

Awal Waktu Salat Perspektif Syar’i dan Sains oleh Susiknan Azhari

memadukan dalil-dalil waktu shalat dengan penggambaran dari segi astronomi

mengenai posisi-posisi matahari dalam waktu shalat.37

Dalam karya Mukhtar Salimi, Ilmu Falak; Penentapan Awal Waktu Shalat

dan Arah Kiblat berisikan landasan syar‟i dan landasan astronomi waktu shalat,

serta praktek pembuatan jadwal waktu shalat. Sedangkan buku Pedoman

Penentuan Jadwal Waktu Shalat Sepanjang Masa yang diterbitkan oleh

Departemen Agama RI, berisikan cara menghitung awal waktu shalat dengan

dilampiri tabel-tabel jadwal awal waktu shalat sepanjang masa di beerapa wilayah

di Indonesia.38

Almanak Hisab Rukyat39

memaparkan tentang perjalanan semu matahari

yang relatif tetap maka dengan mudah memperhitungkan terbit, tergelincir dan

terbenamnya matahari, demikian pula kapan matahari itu akan membuat bayang-

36

http://www.eramuslim.com/, yang diakses pada tanggal 22 April 2010 37

http://www.ilmufalak.or.id/ yang diakses pada tanggal 22 April 2010 38

Departemen Agama RI, Pedoman Penentuan Jadwal Awal Waktu Shalat Sepanjang

Masa, Jakarta, 1994 39

Badan Hisab Rukyat Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyah, Jakarta: Proyek

Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1981

Page 32: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

17

bayang suatu benda sama panjang dengan bendanya juga dapat diperhitungkan

untuk tiap hari-hari sepanjang tahun dan tentunya orang akan mudah melakukan

shalat hanya dengan melihat jadwal atau mendengar azan berdAsharkan

perhitungan ahli hisab. Jadi jelas bahwa Almanak Hisab Rukyat ini hanya sekedar

menggambarkan perjalanan matahari yang mana perjalanan matahari tersebut

mempengaruhi masuknya awal waktu shalat.

Almanak Djamilijah40

oleh Sa‟aduddin Djambek, pada bagian kedua buku

ini memuat jadwal-jadwal lima waktu shalat dalam masa satu tahun, tetapi hanya

pada tanggal 1, 5, 9, 13, 17, 21, 25, dan 29 pada tiap-tiap masehi. Dan dalam buku

ini dilengkapi daftar koreksi, agar jadwal tersebut dapat digunakan di berbagai

daerah.

Kitab Ilmu Falak dan Hisab41

oleh KRM. Wardan, memuat teori

berdasarkan ilmu yang berhubungan dengan tata surya, dan bola langit serta

istilah-istilah lingkaran untuk menentukan posisi benda langit. Dan juga memuat

praktik hisab untuk menentukan awal waktu shalat, arah kiblat, dan penggunaan

rubu‟.

Untuk kitabnya, ada kitab Khulashotul Wafiyah oleh KH. Zubair Umar Al

Jailani, Sulamun Nayyirain, dan kitab-kitab lainnya. Thibyanul Miqat yang di

dalamnya terdapat metode penentuan awal waktu shalat dengan menggunakan

rubu‟.

Untuk mengetahui istilah-istilah yang menggunakan bahasa asing yang

terkait dengan persoalan hisab rukyah, maka penulis menelusurinya dalam Kamus

40

Sa‟aduddin Djambek, Almanak Djamilijah, Jakarta: Tintamas, 1953 41

KRM. Wardan, Kitab Ilmu Falak dan Hisab, Yogyakarta: cet I, 1957

Page 33: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

18

Ilmu Falak karya Muhyiddin Khazin42

, serta karya Susiknan Azhari yang berjudul

Ensiklipedi Hisab Rukyah43

.

Selain karya-karya tersebut, penulis juga menelaah kumpulan materi

pelatihan waktu shalat baik yang penulis ikuti sendiri maupun dari sumber-sumber

yang terkait. Dari telaah pustaka tersebut, menurut penulis belum ada tulisan yang

membahas secara spesifik tentang pengaruh data ketinggian tempat dalam

formulasi penentuan awal waktu shalat.

F. Metode Penelitian

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma

kualitatif,44

1. Sumber data

Karena penelitian ini merupakan studi analisis terhadap urgensi

ketinggian tempat yang penulis telusuri lewat pemikiran para ahli falak dan

pendapat-pendapatnya, maka data-data yang dipergunakan lebih merupakan

data pustaka. Ada dua macam data yang dipergunakan, yakni data primer dan

data sekunder.

a. Data primer yang dimaksud merupakan data yang diperoleh langsung

dari subjek penelitian. Data ini berupa dokumentasi yaitu berbentuk

42

Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005. 43

Susiknan Azhari, Ensiklipedi Hisab Rukyah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. 44 Adalah penelitian yang bersifat atau memiliki karakteristik, bahwa datanya dinyatakan

dalam keadaan sewajarnya, atau sebagaimana aslinya (natural setting), dengan tidak dirubah dalam

bentuk simbol-simbol atau bilangan. Penelitian kualitatif ini tidak bekerja menggunakan data

dalam bentuk atau diolah dengan rumusan dan tidak ditafsirkan / diinterpretasikan sesuai

ketentuan statistik/matematik. Hadawi dan Mimi Martin, Penelitian Terapan, Yogyakarta:

Gajahmada University Press, 1996, hlm. 174.

Page 34: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

19

artikel, makalah seminar, atau buku karya para ahli falak, maupun

wawancara dari beberapa ahli falak yang penulis angkat pemikirannya

mengenai pengaruh ketinggian tempat dalam formulsai penentuan awal

waktu shalat.

b. Data Sekunder adalah data yang tidak langsung diperoleh oleh peneliti

dari subjek penelitiannya atau bukan data yang datang langsung dari para

ahli falak yang diangkat pemikirannya atau data-data yang terkait dengan

penelitian ini, baik yang berbentuk artikel, makalah seminar, buku

maupun wawancara.

2. Metode pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Library Research (studi kepustakaan) yakni melakukan penelusuran

untuk memperoleh data-data yang ada relevansinya dengan

permasalahan. Seperti dokumen ataupun hasil penelitian mengenai awal

waktu shalat, yaitu buku-buku awal waktu shalat maupun buku-buku

falak secara umum, buku-buku astronomi dan juga buku-buku geodesi,

serta karya-karya tulis terkait mengenai masalah penelitian dalam bentuk

lainnya.

b. Wawancara dengan para pihak yang berkaitan atau yang menguasai

materi objek penelitian waktu shalat maupun ketinggian tempat, yaitu

dengan ahli falak, yaitu Reza Zakariya dan Yazid (Lirboyo) terkait

dengan kalender Lirboyo, Slamet Hambali terkait dengan kalender untuk

daerah Semarang, Rinto Anugraha terkait dengan formulasi kerendahan

Page 35: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

20

ufuk, Dr. Ing. Khafid terkait dengan ketinggian tempat serta beberapa

pihak yang berkaitan dengan data ketinggian tempat.

3. Metode Analisis Data

Dengan sifat penelitian deskriptif analisis kritis. Deskripsi (analisis

dokumen/analisis isi/content analisis) diperlukan untuk menjelaskan

kebenaran dan kesalahan dari suatu analisis yang dikembangkan secara

berimbang dengan melihat kelebihan dan kekurangan obyek yang diteliti.

Dalam konteks penelitian ini, penulis akan berusaha mendeskripsikan

beberapa pemikiran tokoh falak, diantaranya Slamet Hambali, Abdur Rachim,

M. Uzal Syahruna, dan Muhyiddin Khazin. Sehingga dengan menggunakan

metode induktif komparatif akan mendapatkan akurasi dalam analisisnya.

Metode induktif ini digunakan dalam rangka membuat konklusi yang dimuat

dari hal-hal yang bersifat khusus menuju pembahasan yang bersifat umum.

Metode komparatif penulis gunakan untuk mengkomparasikan

pendapat antara ahli falak satu dengan yang lain yang berhubungan dengan

skripsi ini.

Page 36: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

21

G. Sistematika Penelitian

Bab I : Pendahuluan

Bab ini meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, dan

sistematika penulisan

Bab II : Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat Konvergensi Syar’i dan

Sains serta Faktor yang Mempengaruhinya

Bab ini meliputi landasan teori yang memuat dasar hukum

waktu shalat yaitu dalil-dalil waktu shalat, penafsiran dan pendapat para

ulama‟ tentang waktu shalat serta pembacaan awal waktu shalat secara

astronomi yang kemudian dituangkan dalam formulasi rumus-rumus

waktu shalat yang selama ini dipakai dalam perhitungan awal waktu

shalat. Serta memaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan

awal waktu shalat, salah satunya ketinggian tempat.

Bab III : Penggunaan Data Ketinggian Tempat dalam Formulasi Penentuan

Awal Waktu Shalat

Bab ini meliputi sekilas tentang ketinggian tempat, pendapat

beberapa ahli falak mengenai penggunaan ketinggian tempat dalam

formulasi penentuan awal waktu shalat. Disini penulis mencoba

menelusurinya dengan melihat beberapa formulasi penentuan awal

waktu shalat yang dipakai oleh beberapa ahli falak baik yang metode

klasik maupun metode yang dipakai masyarakat sekarang ini. Pada bab

ini juga akan dipaparkan jadwal awal waktu shalat sebagai hasil

Page 37: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

22

perhitungan beberapa ahli falak berdasarkan penggunaan data

ketinggian tempat dalam formulasi penentuan awal waktu shalat

tersebut.

Bab IV : Analisis Terhadap Urgensi Ketinggian Tempat Dalam Formulasi

Penentuan Awal Waktu Shalat

Analisis urgensi ketinggian tempat dalam formulasi penentuan waktu

shalat.

Analisis formulasi penentuan awal waktu shalat yang ideal terkait

formulasi kerendahan ufuk yang berbeda-beda

Analisis penggunaan waktu ihtiyat untuk mengatasi pengaruh

ketinggian tempat dalam penyajian jadwal waktu shalat yang ideal.

Bab VI : Penutup

Bab ini berisi jawaban dan kesimpulan atas rumusan masalah, saran,

kritik dan kata penutup.

Page 38: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

23

BAB II

FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT KONVERGENSI

SYAR’I DAN SAINS SERTA FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

A. Dasar Hukum Waktu Shalat

1. Dalil Waktu Shalat

a. QS. An Nisa‟ ayat 103

Artinya:

Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di

waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian

apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu

(sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang

ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa‟:

103)37

b. QS. Thaha ayat 130

Artinya:

Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah

dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum

terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari

dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang. (QS.

Thaha: 130)38

37

Departemen Agama Republik Indonesia, loc cit, hlm. 138 38

Ibid, hlm. 492

Page 39: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

24

c. QS. Al Isra‟ ayat 78

Artinya:

Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam

dan (dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu

disaksikan (oleh malaikat). (QS. Al-Isra‟: 78)39

d. QS. Al Hud ayat 114

Artinya:

Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)

dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya

perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-

perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.

(QS. Al Hud: 114)40

e. QS. Ar Rum ayat 17-18

Artinya:

Maka bertasbihlah kepada Allah diwaktu kamu berada dipetang hari

dan waktu kamu berada diwaktu Subuh. Dan bagi-Nyalah segala puji di

langit dan bumi dan diwaktu kamu berada pada petang hari dan diwaktu

kamu berada diwaktu Dzuhur. (QS. Ar Rum: 17-18)41

39

Ibid, hlm. 436 40

Ibid, hlm. 344-345 41

Ibid, hlm. 643

Page 40: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

25

f. Didukung oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah r.a

(رواه احمد والنظائ والتزمذى)

Artinya :

Dari Jabir bin Abdullah r.a berkata telah datang kepada Nabi SAW.

Jibril a.s lalu berkata kepadanya bangunlah, lalu bersembahyanglah

kemudian Nabi shalat Dzuhur dikala matahari tergelincir. Kemudian ia

datang lagi kepadanya di waktu Ashar lalu berkata. Bangunlah lalu

sembahyanglah kemudian Nabi shalat Ashar di kala bayang-bayang

sesuatu sama dengannya. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu

Maghrib lalu berkata bangunlah , kemudian Nabi shalat Maghrib dikala

matahari terbenam. Kemudian datang lagi kepadanya di waktu Isya‟

lalu berkata : bangunlah dan shalatlah kemudian Nabi shalat Isya‟

dikala mega merah telah terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya

di waktu fajar lalu berkata : bangun dan shalatlah, kemudian Nabi shalat

fajar di kala fajar menyingsing, atau ia berkata: di waktu fajar besinar.

Kemudian ia datang pula esok harinya pada waktu Dzuhur kemudian ia

berkata padanya bangunlah lalu shalatlah kemudian Nabi shalat Dzuhur

dikala bayang-bayang suatu sama dengannya. Kemudian datang lagi

kepadanya di waktu Ashar dan ia berkata : bangunlah dan shalatlah

kemudian Nabi shalat Ashar dikala bayang-bayang matahari dua kali

Page 41: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

26

sesuatu itu. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu Maghrib

dalam waktu yang sama, tidak bergeser dari waktu yang sudah.

Kemudian ia datang lagi di waktu Isya‟ di kala telah lalu separo malam,

atau ia berkata telah hilang sepertiga malam, kemudian Nabi shalat

Isya‟. Kemudian ia datang lagi kepadanya di kala telah bercahaya benar

dan ia berkata bangunlah lalu shalatlah, kemudian Nabi shalat fajar,

kemudian Jibril berkata saat dua waktu itu adalah waktu shalat. (H.R

Imam Ahmad, Nasai dan Thirmidzi) 42

g. Hadits Nabi Yang Diriwayatkan Abdullah Bin Amar R.A

عن عبد اهللا بن عمز زضى اهللا عنه قال ان النبى صلى اهللا عليه وظلم قال وقت

الظهز اذا سالت الشمص وكان ظل كل الزجل كطوله مالم يحضز العصر ووقت

العصر مالم تصفز الشمص ووقت صالة المغزب مالم يغب الشفق ووقت صالة

العشاء الى نصف اليل االوظط ووقت صالة الصبح من طلوع الفجز مالم

(رواه مظلم)تطلعالشمص

Artinya :

Dari Abdullah bin Amar RA berkata: rsulullah bersabda: waktu Dzuhur

apabila tergelincir matahari sampai bayang-bayang seseorang sama

dengan tingginya yaitu selama belum datang waktu Ashar dan waktu

Ashar selama matahari belum menguning, dan waktu Magrib selama

syafaq belum terbenam dan waktu Isya sampai pertengahan malam dan

waktu Subuh mulai fajar menyingsiang sampai matahari belum

terbit.(HR Muslim).

2. Kajian Tafsir dan Pendapat Ulama‟

a. Surat An-Nisa‟ Ayat 103

Dalam Tafsir al Misbah,44

kitaban mauqutan dalam ( ِكَتابًا َمْوُقوتًا )

surat An Nisa 103 diartikan sebagai shalat merupakan kewajiban yang tidak

42

Program Hadis Kutubus Sittah, الجامع الصحيح للتزمذي, kitab abwab as-shalat, no 001 43

Imam Muslim, Shohih Muslim, Beirut Libanon: Dar al-Kutub Ilmiah, jilid 2, 1994, hlm.

547 44

M.Quraisy Syihab, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, vol. 2, 2005, hlm. 570

Page 42: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

27

berubah, selalu harus dilaksanakan, dan tidak pernah gugur oleh sebab

apapun. Hal ini dipertegas oleh Tafsir Manaar45

bahwa sesungguhnya shalat

itu telah diatur waktunya oleh Allah SWT. berarti wajib mua'kkad yang كتاًبا

telah ditetapkan waktunya dilauhil mahfudz. موقوًتا disini menunjukkan arti

sudah ditentukan batasan-batasan waktunya.

Dilanjutkan dengan keterangan Tafsir Ibnu Katsir,46

bahwa firman

Allah Ta‟ala “Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang

ditentukan waktunya bagi kaum mukmin” yakni difardhukan dan ditentukan

waktunya seperti ibadah haji (maksudnya, jika waktu shalat pertama habis

maka shalat yang kedua tidak lagi sebagai waktu shalat pertama, namun ia

milik waktu shalat berikutnya. Oleh karena itu, orang yang kehabisan waktu

suatu shalat, kemudian melaksanakannya diwaktu lain, maka sesungguhnya

dia telah melakukan dosa besar. Pendapat lain mengatakan “silih berganti

jika yang satu tenggelam, maka yang lain muncul” artinya jika suatu waktu

berlalu, maka muncul waktu yang lain.

Sedangkan, Az Zamakhsyariy mengatakan bahwa seseorang tidak

boleh mengakhirkan waktu dan mendahulukan waktu shalat seenaknya baik

dalam keadaan aman atau takut.47

Penggunaan lafaz “Kaanat” menujukkan

ke-Mudawamah-an (continuitas) suatu perkara, maksudnya ketetapan waktu

45

Rasyid Ridho, Tafsir Manaar, Dar Al Ma‟rifah: Beirut, hlm. 383 46

Muhammad nasib Ar-Rifa‟i, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3. Gema Insani:Jakarta, hlm.292. 47

Lihat Az Zamakhsyariy, Tafsir Al Khasyaf, Beirut: Daar Al Fikr, 1997, juz I, hlm. 240

Page 43: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

28

shalat tak akan berubah sebagaimana dikatakan oleh Al Husain bin Abu Al

„Izz Al Hamadaniy.48

Maka konsekuensi logis dari ayat ini adalah shalat tidak bisa

dilakukan dalam sembarang waktu, tetapi harus mengikuti atau berdasarkan

dalil-dalil baik dari Al-Qur‟an maupun Al-Hadis.

b. Surat Thoha Ayat 130

Quraisy Shihab dalam tafsirnya menyatakan bahwa ”Qabla Thulu‟i

asy-Syamsyi” sebelum matahari terbit mengisyaratkan shalat Subuh. ”Wa

Qabla Ghurub” dan sebelum terbenamnya adalah shalat Ashar.49

Firman

Allah ”wa min anaail al-lail” pada waktu-waktu malam menunjukkan shalat

Maghrib dan Isya‟, namun sebagian ulama‟ menfsirkannya sebagai shalat

tahajud pada saat malam.50

Sedang ”wa min athrafa an-nahar” pada

penghujung-penghujung siang adalah shalat Dzuhur.

c. Surat Al-Isra‟ Ayat 78

Dalam Tafsir Al Ahkam51

dijelaskan bahwa semua mufasir telah

sepakat bahwa ayat ini menerangkan shalat yang lima dalam menafsirkan

kata لدلوك الشمض dengan dua pendapat, yaitu:

48

Al Husain bin Abu Al „Izz Al Hamadaniy, Al gharib fi I‟rab Al Qur‟ani, Qatar: Daar

Ats Tsaqafah, juz I, hlm. 788 49

M. Quraish Shihab, op cit, vol. 8, hlm. 399-400 50

Muhammad Nasib Ar Rifa‟i, op cit, jilid 3, hlm. 1987. Surat Thaha ayat 130 ini

dilatarbelakangi ketika Nabi Saw sedang duduk-duduk bersama para sahabat, beliau mengadahkan

wajah ke langit melihat cahaya bulan, lalu berkata: ”Kalian melihat Tuhan seperti aku melihat

bulan ini, jika kalian sanggup mengerjakan shalat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam

maka lakukanlah.” Lalu beliau membaca, ”Wa sabbih bi hamdi Rabbika qabla thulu‟i asy syamsi

wa qabla ghurubiha.” Selengkapnya baca Al Wahidy, Asbabun Nuzul, Beirut: Dar Al Kutub Al

Arabiyah, tt, hlm. 221 51

Syekh H. Abdul Halim Hasan Binjai. Tafsir Al-Ahkam, Kencana: Jakarta, 2006, cet I,

hlm. 512

Page 44: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

29

1. Tergelincir atau condongnya matahari dari tengah langit. Demikian

diterangkan Umar bin Khatab dan putranya.

2. Terbenam matahari. Demikian diterangkan Ali bin Mas‟ud, Ubay bin

Ka‟ab, Abu Ubaid, dan yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.

Ini dikuatkan lagi dengan redaksi ayat di atas yang meninggalkan

perintah melaksanakan shalat sampai إلي غظق الليل yakni kegelapan malam.

Demikian tentang al-Biqa‟i ulama syiah kenamaan, Thobatha‟i berpendapat,

bahwa kalimat لدلوك الشمض إلي غظق الليل mengandung empat kewajiban

shalat, yakni ketiga yang disebut Al-Biqa‟i dan shalat isya yang ditunjuk

oleh ghasaki lail. Kata إلي غظق الليل pada mulanya berarti penuh. Malam

dinamai إلي غظق الليل karena angkasa dipenuhi oleh kegelapannya.52

Sedangkan kata وقزأن الفجز diartikan sebagai shalat Subuh.

Demikian disepakati juga oleh Auzair dan Abu Hanifah, Malik dan Syafi‟i,

Ibnu Umar, Ibnu Mas‟ud, Al Hasan, Adh Dhahak dll.

Atas dasar ini, maka saat shalat yang disebutkan dalam ayat di atas

termasuk dalam shalat lima waktu. Adapun firman Allah “ mulai tergelincir

matahari hingga gelap malam, mencakup shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib

dan isya.53

d. Surat Hud Ayat 114

Ayat ini mengajarkan dan laksanakanlah shalat dengan teratur dan

benar sesuai dengan ketentuan rukun, syarat dan sunnah. Pada kedua tepi

52

M. Quraish Shihab, op cit, vol: 7, hlm. 523 53

Muhammad Nasib Ar Rifa‟i, op cit, .hlm. 85

Page 45: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

30

siang, yakni pagi dan petang, atau Subuh, zhuhur, dan Ashar dan pada

bagian permulaan dari malam yaitu Maghrib dan Isya‟ dan juga bisa witir

atau tahajud.54

Pada siang awal dan akhirnya, serta pada beberapa jam siang yang

masuk ke dalam pembatasan waktu ini melengkapi semua waktu shalat,

yaitu:

Petang : waktu antara Dzuhur dan Maghrib, yaitu shalat Ashar,

shalat Maghrib adalah Isya‟ yang pertama, dan „atamah‟ adalah Isya‟

yang kedua yaitu ketika mega merah telah menghilang.

Yang dimaksud dengan matahari tergelincir adalah mulai

tergelincirnya matahari sampai ke permukaan malam masuk ke

dalamnya, selain Shalat dzuhur adalah shalat Ashar, Maghrib, dan

Isya‟.55

e. Surat Ar Rum ayat 17-18

Adh-Dhahak dan Said bin Jubair berkata, yang dimaksud dengan

tasbih dalam ayat ini adalah shalat 5 waktu.56

“hiina tumsuuna” berarti

waktu shalat Ashar; “hiina tushbihuun” adalah shalat Subuh; “wa „asyiyaa”

54

M. Quraish Shihab, op cit, vol. 6, hlm. 355-356. Dalam suatu riwayat dari Ibnu

Mas‟ud r.a. dikemukakan bahwa seorang laki-laki setelah mencium seorang wanita secara tidak

sah lalu datang menghadap Rasul dan menberitahukan peristiwa tersebut kapada Rasul. Maka

wahyu Allah pun turun, (Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)

dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik

itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang

yang ingat). Laki-laki itu bertanya, “Apakah perintah itu khusus untukku?“ Nabi Saw

menjawab,“Perintah itu untuk semua umatku (yang menghadapi masalah serupa)“. Lihat

selengkapnya pada Hadis riwayat Bukhari no 327, dalam Irsadul al Sara Asy Syarah Shahih Al

Bukhari, Beirut: Dar Al Fikr, tt, juz 1, hlm. 477 55

Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al Qur‟anul Majid An-Nur.

Semarang: Pustaka Rizki Putera, juz 12, 2000, hlm. 184-186 56

Muhammad nasib Ar-Rifa‟i, op cit, hlm. 759

Page 46: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

31

diartikan sebagai bahagian malam, yaitu shalat waktu Maghrib dan Isya‟;

“hiina tudzhiruun” diartikan sebagai shalat Dzuhur. 57

Dari beberapa penafsiran ayat-ayat tentang awal waktu shalat tersebut,

maka para ulama sepakat bahwa waktu shalat terdiri dari 5 waktu shalat, yaitu

Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya‟ dan Subuh. Meskipun sepakat bahwa waktu

shalat terdiri dari 5 waktu shalat, namun sistem waktu shalat Syiah agak

berbeda, yaitu Syiah dikenal dengan sistem tiga waktunya walaupun jumlah

shalat yang dikerjakan sama pada umumnya yaitu lima shalat.58

Argumentasi yang dikemukakan oleh Syiah Itsna Asyariyah berkaitan

dengan waktu-waktu tersebut adalah ayat-ayat Al-Qur‟an yang

mengemukakan tentang waktu shalat yang hanya menyebut tiga waktu. Yang

dimaksud dengan طرفي النهار atau kedua tepi siang pada ayat tersebut adalah

shalat Shubuh untuk tepi siang yang pertama. Sedangkan untuk tepi yang

kedua adalah shalat Dzuhur dan Ashar. Sedangkan yang dimaksud dengan

adalah shalat Maghrib dan Isya serta ayat-ayat lain yang dalam زلفا من الليل

penafsirannya hampir serupa, yakni penggabungan 2 shalat dalam satu waktu.

Jadi, berdasarkan penafsiran tersebut mereka memperbolehkan shalat dalam

tiga waktu.59

57

Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir Al Azhar, Singapura: Pustaka Nasional

PTE LTD, jilid 7, hlm. 5496 58

Lihat pada Muhammad Jawad Maghniyah, Fiqh al-Imam Ja‟far ash-Shadiq, Juz 1,

Qum: Muassasah Anshariyan li ath-Thiba‟ah wa an-Nasr, Cet. VII, 2007, hal. 142-145. 59

Dalam pandangan Syiah, setiap waktu shalat mempunyai dua waktu sebagaimana yang

terdapat dalam kitab-kitab rujukan mereka (Ushul al-Kafi, karya Syaikh Abu Ja'far Muhammad

bin Ya'qub al-Kulaini ar-Razi; Man La Yahduruhu al-Faqih, karya ash-Shadiq Ibnu Babawaih al-

Qummi; Al-Istibshar dan Tahdzib al-Ahkam karya Syaikh Abu Ja'far Muhammad Ibnu al-Hasan

ath-Thusy). Dua waktu bagi setiap shalat adalah sebuah sistem waktu shalat yang memberikan dua

waktu pilihan bagi setiap shalat, yaitu waktu tersendiri dan waktu bersama. Lihat pada M. Quraish

Page 47: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

32

Meskipun demikian, sebagian besar ulama dan umat muslim (di

Indonesia khususnya) lebih memilih sistem 5 waktu shalat. Dalam hal ini,

waktu-waktu shalat tersebut yang akan dijelaskan lebih rinci dalam

keterangan hadis-hadis dengan penjelasan para ulama‟ pada sub bab

selanjutnya.

B. Formulasi Waktu Shalat Perspektif Syar’i dan Sains

Pada dasarnya, banyak hadis yang memperjelas waktu shalat yang telah

disebutkan dalam Al-qur‟an, namun penulis di sini hanya memngambil dua hadis

yang menurut penulis jelas penggambarannya mengenai waktu shalat.

Sebagaimana hadis riwayat Jabir bin Abdulla r.a. telah memberi gambaran kelima

waktu shalat secara lebih jelas dengan posisi-posisi matahari yang menjadi

patokan waktu. Matahari tidak hanya berfungsi menghangatkan biosfer bumi

dengan cahayanya, namun dengan bayang-bayang benda atau tongkat istiwa

matahari dapat berperan untuk mengatur ritme kewajiban dzikir manusia kepada

Tuhannya. Dari kelima waktu shalat menggunakan matahari sebagai patokan

dalam perhitungannya. Dalam penentuan waktu shalat, posisi matahari dalam

koordinat horizon sangat diperlukan, terutama ketinggian atau jarak zenith.

Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkan?, Jakarta: Lentera Hati, 2007, hlm.

245. Jadi, setiap shalat boleh dikerjakan pada waktu tersendiri boleh juga dikerjakan pada waktu

bersama. Waktu pilihan tersebut hanya berlaku untuk empat waktu shalat saja (tidak berlaku

untuk waktu shalat Shubuh atau Fajar) yaitu Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya. Oleh karena itu,

dalam sistem waktu shalat mereka dikenal tiga waktu, yaitu waktu Dzuhrain untuk shalat Dzuhur

dan Ashar, waktu Isya‟ain untuk waktu Maghrib dan Isya‟ serta waktu fajar untuk shalat Shubuh.

Pendapat tersebut mereka nyatakan dalam sebuah khabar yang berasal dari Imam Ja‟far ash-

Shadiq. Lihat pada Abu Ja‟far Muhammad bin Hasan ath-Thusy, Al-Kutub al-Arba‟ah al-Ibtishar

(1-4), Qum: Muassasah Anshariyan li ath-Thiba‟ah wa an-Nasr, Cet. I, 2005, hal. 102.

Page 48: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

33

1. Shalat Dzuhur

.… ر حين سالت الشمضهقم فصله فصلى الظ.…

(kemudian Nabi shalat Dzuhur ketika matahari tergelincir)

.... فصلى الظهز حين صار ظل كل شئ مثله.…

(kemudian Nabi shalat Dzuhur dikala bayang-bayang suatu benda

sama dengan aslinya).

…وقت الظهز اذا سالت الشمص وكان ظل كل الزجل كطوله مالم يحضز العصر…

(waktu Dzuhur apabila tergelincir matahari sampai bayang-bayang

seseorang sama dengan tingginya yaitu selama belum datang waktu

Ashar)

Para ahli fiqh memulai dengan shalat Dzuhur, karena ia merupakan

shalat pertama yang diperintahkan (difardhukan). Kemudian setelah itu

difardhukan shalat Ashar, kemudian Maghrib, lalu Isya‟, kemudian shalat

Subuh secara tartib. Kelima shalat tersebut diwajibkannya di Makkah pada

malam isra‟ setelah 9 tahun dari di utusnya Rasulullah. Hal demikian

berdasarkan firman Allah surat Al-Isra‟ ayat 78.60

60

Muhammad Jawa Mughniyyah, Fiqih Lima Madzhab, Diterjemahkan oleh Masykur

dkk dari Al-Fiqh „ala Al-Madzahib Al-Khamsah, Jakarta : Lentera, cet VI, 2007, hlm 74. Peristiwa

isra„ mi‟raj disebutkan dalam surat Al-Isra„ ayat 1 dan terdapat penjelasan mengenai bertemunya

Rasulullah dengan Jibril dalam bentuk aslinya dan kebesaran-kebesaran Allah yang disebutkan

dalam surat An-Najm ayat 5-18. Sedangkan turunnya perintah shalat 5 waktu didapatkan dari

Hadis riwayat Bukhari yang diriwayatkan dari Anas bin Malik. Dari hadis tersebut dikabarkan

bahwa Rssul saat mi‟raj bertemu dengan dengan para nabi terdahulu dan turun perintah shalat 50

waktu dalam sehari-semalam. Dalam perjalanan kembali, Rasul bertemu dengan Nabi Musa yang

selanjutnya memberi nasehat untuk meminta keringanan atas perintah shalat yang diterima Rasul,

karena umat Rasul dinilai tidak akan sanggup mengerjakannya sebagaimana Nabi Musa

mencobakannya pada umat dari Bani Israil terdahulu. Oleh karena itu diceritakan bahwa Rasul

meminta keringanan beberapa kali kepada Allah sehingga perintah shalat menjadi 5 waktu dalam

sehari-semalam. Sebenarnya Nabi Musa masih menyarankan agar Rasul meminta keringan lagi,

namun Rasul menolak dan berkata,“Aku telah meminta terlalu banyak dari Tuhanku dan itu

membuatku malu. Tapi aku rasa sekarang aku gembira dan berserah diri kepada perintah Allah.“

Dan ketika Rasul pergi, beliau mendengar suara berkata “Aku telah memberikan perintahKu dan

telah mengurangi beban para hambaKu“. Selengkapnya lihat pada Hadis riwayat Bukhari no. 349

dalam Al Jami„ Shahih Al Bukhari, Beirut: Dar Al Fikr, tt, hlm. 382. Hadis ini dinalai shahih

dengan sanad Yahya bin Abu Bukair, Lais bin Su‟dan, Yunus, dan Muslim bin Abdullah bin

Page 49: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

34

Pada hadis pertama yang diriwayatkan oleh Jabir, disebutkan bahwa

Jibril datang menyuruh Nabi shalat dzuhur pada hari pertama setelah tergelincir

matahari, dan datang lagi diwaktu Ashar saat bayangan benda sama dengan

benda tersebut. Pada hari kedua, Jibril datang menyuruh shalat Dzuhur pada

waktu bayangan benda sama dengan benda itu sendiri, tepat pada waktu

melakukan shalat Ashar pada hari pertama.61

Sedangkan pada hadis kedua dijelaskan bahwa waktu Dzuhur ialah bila

matahari sudah tergelincir; atau oleh ulama lain diartikan condong ke Barat;

hingga bayang-bayang seseorang sama dengan tingginya atau saat bayang-

bayang suatu benda sama panjangnya dengan benda tersebut. Kata “ka-na”

diathafkan terhadap kata “za-lat”, yang maksudnya waktu Dzuhur itu tetap

berlangsung hingga terjadi bayangan orang sama dengan tinggi badannya,

selama belum masuk waktu Ashar. Inilah batasan bagi permulaan dan akhir

waktu Dzuhur.62

Dalam hal ini, para ulama‟ sependapat bahwa penentuan awal waktu

Dzuhur, adalah pada saat tergelincirnya matahari. Sementara dalam

menentukan akhir waktu Dzuhur, ada beberapa pendapat yaitu sampai panjang

bayang-bayang sebuah benda sama dengan panjang bendanya (menurut Imam

Syihab yang dianggap muttasil dan dikenal sebagai perawi-perawi yang dapat dipercaya. Lihat

pada Syekh Syihabuddin Abi al Fadhal Ahmad bin Ali bin Hajar Al Asqalani, Tahdzib al Tahdzib,

Beirut: Dar Al Kitab Al Islami, 852 H, hlm. 178-445. Dan juga lihat pada Syekh Islam Abi

Muhammad Abd Rahman bin Abi Hatim Muhammad, Al Jarah wa Ta‟dil, Beirut: Dar Al Kutub,

1373 H, hlm. 247, serta lihat pula Imam Hafiz Syamsuddin Muhammad bin Ahmad adz Dzahbi,

Mizan Al I‟tidal, Beirut: Dar Al Kutub Al Islamiyah, tt, hlm. 515. 61

Abu Bakar Muhammad, Subulus Salam, Surabaya: Al-Ikhlas, hlm. 306 62

Ibid, hlm. 305

Page 50: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

35

Malik, Syafi‟I, Abu Tsaur dan Daud). Sedangkan pendapat Imam Abu Hanifah

ketika bayang-bayang benda sama dengan dua kali bendanya.63

Secara astronomis, tergelincirnya matahari diwaktu Dzuhur dapat

dikatakan bahwa matahari sedang berkulminasi atas, yaitu ketika matahari

meninggalkan meridian. Secara ilmu pasti ialah pada saat titik pusat matahari

bergerak dari meridian, atau saat bayang-bayang benda condong ke arah Timur

dan sudut yang dihasilkan dengan garis i‟tidal (garis timur-barat) bukan lagi

90°. 64

Tinggi kulminasi matahari setiap hari berubah, karena adanya deklinasi.

Untuk mengetahui besarnya tinggi kulminasi, harus diketahui lebih dahulu zm

matahari, yaitu jarak titik pusat matahari saat kulminasi dari zenith yang dapat

diperoleh dengan rumus, 𝑧𝑚 = [𝜑 – 𝛿 ]. Dengan kata lain, jarak zenith titik

pusat matahari saat kulminasi besarnya sama dengan harga mutlak lintang

tempat dikurangi deklinasi. Oleh karena itu, dalam penentuan awal waktu

shalat, maka dapat dirumuskan bahwa jarak zenit (bu‟du as-sumti), ℎ =

90° – 𝑧𝑚.65

Atau biasanya diambil dua menit setelah tengah hari.66

Dan

beberapa hisab praktis, hanya menghitung waktu tengah antara terbit dan

tenggelam matahari. waktu pertengahan saat matahari berada di meridian

63

Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul

Mujatahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, di terjemahkan oleh Imam Ghazali dkk, dari Bidayatul

Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, Jakarta : Pustaka Amani, 2007, hlm. 66 64

Abd. Rachim, Op cit, hlm. 23 65

Ibid, hlm. 14-15 66

Moedji Raharto Tarmi, op cit, yang dikutip dari Mohammad Ilyas, A Modern Guide to

Islamic Calendar, Times & Qibla, 1984, hlm. 55

Page 51: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

36

(Meridian Pass) yang dirumuskan dengan 𝑀𝑃 = 12 – 𝑒.67

Waktu inilah yang

menjadi patokan hitungan untuk waktu-waktu shalat lainnya.

2. Shalat Ashar

…. فصلى العصز حين صار ظل كل شيئ مثله.…

(kemudian Nabi shalat Ashar ketika bayag-bayang suatu benda sama

dengan aslinya)

.… فصلى العصز حين صار ظل كل شئ مثله.…

(kemudian Nabi shalat Ashar ketika bayang-bayang suatu benda dua kali dari

aslinya)

.… ووقت العصر مالم تصفز الشمص.…

(dan waktu Ashar selama matahari belum menguning)

Meskipun secara garis besar dapat dikatakan bahwa awal waktu Ashar

adalah sejak bayangan sama dengan tinggi benda sebenarnya, tapi hal ini masih

menimbulkan beberapa penafsiran. Dalam hadis riwayat Jabir bin Abdullah r.a

Nabi Saw diajak shalat Ashar oleh malaikat Jibril ketika panjang bayangan

sama dengan tinggi benda sebenarnya dan pada keesokan harinya Nabi diajak

pada saat panjang bayangan dua kali tinggi benda sebenarnya.68

Menurut Imam Malik akhir waktu Dzuhur adalah waktu musyatarok

(waktu untuk dua shalat), Imam Syafi‟i, Abu Tsaur dan Daud berpendapat

akhir waktu Dzuhur adalah masuk waktu Ashar; yaitu ketika panjang bayang-

bayang suatu benda melebihi panjang benda sebenarnya. Sedangkan Abu

67

Muhyiddin Khazin, op cit, hlm. 88 68

Muhammad Jawa Mughniyyah, op cit, hlm. 74

Page 52: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

37

Hanifah berpendapat bahwa awal waktu Ashar ketika bayang-bayang sesuatu

sama dengan dua kali bendanya.69

Dan dalam penetapan akhir waktu shalat Ashar juga ada perbedaan

antara hadits Imamatu Jibril dengan hadits Abdillah, yaitu yang pertama dalam

hadits Imamatu Jibril sesungguhnya akhir waktu Ashar itu adalah ketika benda

itu sama dengan dua kali bayang-bayangnya (pendapat Imam Syafi‟i)70

, dalam

hadits Abdillah sebelum menguningnya matahari (pendapat Imam Ahmad bin

Hambal), dan dalam hadist Abu Hurairah akhir waktu Ashar sebelum

terbenamnya matahari kira-kira satu raka‟at (pendapat Ahli Dhahir).71

Kedua waktu masuknya waktu Ashar ini dimungkinkan karena

fenomena seperti itu tidak dapat digeneralisasi akibat bergantung pada musim

atau posisi tahunan matahari. Pada musim dingin hal itu bisa dicapai pada

waktu Dzuhur, bahkan mungkin tidak pernah terjadi karena bayangan selalu

lebih panjang dari pada tongkatnya.

Sementara pendapat yang memperhitungkan panjang bayangan pada

waktu Dzuhur atau mengambil dasar tambahannya dua kali panjang tongkat (di

beberapa negara Eropa) dianalisir sebagai solusi yang dimaksudkan untuk

69

Lihat pada Syamsudin Sarakhsi, Kitab Al-Mabsuth Juz 1-2, Beirut Libanon : Darul

Kitab Al-Ilmiyah, hlm 143. Dalam kitab ini disebutkan bahwa,

70

Menurut Imam Syafi‟i dalam kitabnya Al-Umm, waktu Ashar dalam musim panas yaitu

ketika bayangan benda sama dengan bendanya atau satu kali bayangan benda sampai ketika

habisnya waktu Dzuhur Awal waktu Ashar adalah bila bayang-bayang tongkat panjangnya sama

dengan panjang bayangan waktu tengah hari ditambah satu kali panjang tongkat sebenarnya. Lihat

pada Imam Abi Abdillah Muhammad Bin Idris Asy-Syafi‟i, Al-Umm, Beirut-Libanon : Dar Al-

Kitab, Juz I, tt, hlm 153. 71

Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, op cit, hlm.

205.

Page 53: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

38

mengatasi masalah panjang bayangan pada musim dingin.72

Untuk masyarakat

Indonesia sendiri, digunakan pendapat yang pertama, yaitu masuknya waktu

Ashar adalah saat bayang-bayang seseorang atau suatu benda sama dengan

seseorang atau benda tersebut. Secara astronomis dapat digambarkan sebagai

berikut:

AB = tongkat tegak lurus sepanjang a

Saat kulminasi, bayang-bayang ujung tongkat A jatuh pada titik C.

Bayang seluruhnya ialah B-C yang panjangnya b.

CAm menuju pada titik pusat matahari sewaktu di meridian. Jadi sudut

zAm ialah jarak dari titik zenith ke titik pusat matahari yang dinamakan zm.

Bila matahari bergerak ke Barat melewati titik kulminasi dan kedudukannya

semakin rendah, mis. di titik as, maka bayangan tongkat AB semakin panjang.

Pada awal Ashar, panjang bayangan itu adalah BCD, yaitu BC + CD. Jadi

panjang bayang-bayang AB waktu Ashar = b + a.

72

Departemen Agama RI, op cit, (Penentuan Jadwal Waktu Shalat Sepanjang Masa), hlm

29. Sedangkan Saadoe‟ddin Djambek dalam pendapatnya menyatakan bahwa di antara dua

pendapat antara Imam Hanafi dan Syafi‟i yang dijadikan landasan dalam penentuan awal waktu

salat Ashar adalah pendapat Imam Hanafi dengan alasan pendapat Imam Hanafi juga

mempertimbangkan daerah-daerah kutub, dimana matahari pada awal Dzuhur tidak begitu tinggi

kedudukannya di langit dan dalam keadaan demikian bayang-bayang memanjang lebih cepat dari

pada ketika matahari pada tengah hari berkedudukan tinggi di langit seperti di negeri kita. Jika kita

menggunakan pendapat Syafi‟i sebagai syarat masuknya awal waktu Ashar maka masuknya waktu

Asar akan lebih cepat dan akibatnya waktu Dzuhur menjadi terlalu pendek dan waktu Asar akan

terlau panjang. Selengkapnya baca Wahbah az-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, cet. II

Beirut : Dar al-Fikr, 1989, I : 509. Baca juga Hasbi ash-Shiddiqie. Pedoman Salat, cet. X , Jakarta

: Bulan Bintang, 1978, hlm. 128. Perhatikan pula Saadoe'ddin Jambek, Salat dan Puasa di daerah

Kutub, cet. I, Jakarta : Bulan Bintang, 1974, hlm 9.

Page 54: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

39

A

D C B

Gambar 1. Bayangan waktu Ashar

Sudut ABD ialah tinggi matahari pada awal waktu Ashar,

cotg Δ ADB = BD/AB

cotg Δ ADB =b + a

a=

b

a+

b

a=

b

a + 1

b

a ialah tan Δ BAC atau tg Δ zAm, jadi tan zm.

sehingga diperoleh rumus:

Cotangent tinggi Ashar sama besarnya dengan tangens jarak zenith titik

pusat matahari sewaktu berkulminasi, ditambah dengan bilangan satu. Adapun

akhir waktu Ashar adalah ketika terbenamnya matahari.73

3. Shalat Maghrib

.… فصلى المغزب حين وجبت الشمض.…

(Nabi shalat Magrib ketika matahari terbenam)

.… مثله ثم جاءه المغزب وقتا واحدا لم يشل عنه.…

(kemudian datang lagi kepada-Nya diwaktu Magrib dalam waktu yang

sama tidak bergeser dari waktu yang sudah)

73

Abdr. Rachim, op cit, hlm. 24-25

𝑐𝑜𝑡𝑔 ℎ𝑎 = 𝑡𝑎𝑛 𝑧𝑚 + 1

a

b

Z

m

a

S

Page 55: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

40

.…ووقت صالة المغزب مالم يغب الشفق.…

(dan waktu magrib selama syafaq belum terbenam)

Dari kedua hadis, ada kesepakatan bahwa awal waktu Maghrib adalah

ketika matahari terbenam. Namun, para ulama berbeda pendapat tentang akhir

waktu shalat Maghrib. Imam Hanafi, Hambali, dan Syafi‟i, berpendapat bahwa

waktu Maghrib adalah antara tenggelamnya matahari sampai tenggelamnya

mega atau sampai hilangnya cahaya merah di arah barat.74

Sedangkan Imam Maliki berpendapat, sesungguhnya waktu Maghrib

sempit, ia hanya khusus dari awal tenggelamnya matahari sampai di perkirakan

dapat melaksanakan shalat Maghrib itu, yang termasuk di dalamnya, cukup

untuk bersuci dan adzan dan tidak boleh mengakhirkanya (mengundurnya) dari

waktu ini, ini hanya pendapat Maliki saja.75

Secara astronomi, terbenamnya matahari yang menjadi tanda masuknya

awal waktu Maghrib ialah ketika seluruh piringan matahari berada di bawah

ufuk yang biasa dikatakan posisi matahari -1°. Pada saat tersebut, garis ufuk

bersingungan dengan piringan matahari bagian atas. Sedangkan besar jarak

titik pusat matahari ke ufuk ialah seperdua garis tengah matahari. Garis tengah

matahari rata-rata ialah 32‟, jadi jarak titik pusat matahari ke ufuk ialah 12 ×

74

Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, op cit,

hlm. 206 75

Muhammad Jawa Mughniyyah, op cit, hlm.75. Untuk akhir waktu Maghrib, ada

riwayat mengatakan pada hilangnya mega merah (Asy Syafaq Al Ahmar) menurut Qoul Jadid yang

sependapat dengan Abu Ishaq, Ats Tsaury, Abu Tsaur, Ashab Ar Ra‟yi dan sebagian Ashab Asy

Syafi‟i. Dan ada juga riwayat yang mengatakan bahwa waktu Maghrib hanya seukuran Wudhu,

adzan, iqamat, shalat Maghrib, dzikir dan shalat sunnah dua raka‟at. Pendapat kedua ini menurut

Qaul Qadim Imam Syafi‟i.

Page 56: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

41

32 = 16‟.76

Oleh karena itu, dalam penentuan waktu Maghrib diformulasikan

dengan menambah jarak titik pusat matahari tersebut; atau yang biasa disebut

dengan semidiameter matahari; dengan koreksi reraksi yang menggunakan data

refraksi rata-rata pada saat Maghrib senilai 0° 34‟; serta kerendahan ufuk.

Sehingga diperoleh rumus untuk mencari tinggi matahari (ho) pada saat

Maghrib adalah sebagai berikut:

ho = - (ku + ref + sd)

4. Shalat Isya‟

.… فصلى العشاء حين غاب الشفق.…

(kemudian Nabi shalat Isya‟ ketika mega merah telah terbenam)

... جاءه العشاء حين ذهب نصف الليل اوقال ثلث الليل فقال قم فصله فصلى العشاء ...

(kemudian datang lagi kepadanya di waktu Isya dikala telah lewat

separuh malam atau ia berkata telah hilang sepertiga malam, kemudian

Nabi shalat Isya‟)

.… ووقت صالة العشاء الى نصف اليل االوظط.…

(dan waktu Isya‟ sampai pertengahan malam)

Permulaan waktu Isya‟ dari keterangan hadis tersebut dapat diketahui

bahwa pada saat hilangnya mega merah dan berlangsung hingga tengah malam.

Namun, dari kedua hadis tersebut, hadis kedua menyebutkan bahwa batas

waktu Isya‟ hingga tengah malam. Sedangkan pada hadis pertama, disebutkan

bahwa Jibril baru datang ;dihari kedua; ketika telah lewat separuh malam atau

sepertiga malam, kemudian Nabi shalat Isya‟. Dari situ, ada tiga pendapat

untuk batas waktu Isya‟, yang pertama sampai sepertiga malam (menurut

76

Abd. Rachim, op cit, hlm. 26

Page 57: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

42

Syafi‟i dan Abu Hanifah), kedua sampai separoh malam (menurut Imam

Malik), dan terakhir sampai terbit fajar (menurut imam Daud).77

Di Indonesia, para ulama sepakat bahwa waktu Isya‟ ditandai dengan

mulai memudarnya mega merah (asy-Syafaq al-Ahmar) di bagian langit

sebelah barat, yaitu tanda masuknya gelap malam. Peristiwa ini dalam falak

ilmiy dikenal sebagai akhir senja astronomi (astronomical twilight).78

Secara astronomis, apabila matahari telah di bawah ufuk, cahaya yang

langsung mengenai bumi telah tidak ada, yang ada hanya cahaya yang

dipantulkan dan dibiaskan oleh partikel-partikel halus yang berada di udara

hingga mencapai mata pengamat. Kadar penyebaran cahaya oleh partikel-

partikel tersebut berbanding sebagai kebalikan pangkat empat panjang

gelombang. Gelombang yang terpendek ialah sinar biru, sedangkan yang

77

Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, op cit,

hlm. 210. Pendapat pertama bahwa akhir waktu Isya„ adalah pada pertengahan malam dilansir oleh

Ats Tsaury, Ashab ar Ra‟yi (ulama yang condong pada akal dalam proses ijtihadnya), Ibnu Al

Mubarak, Ishaq bin Rawaih dan Abu Hanifah. Sedangkan akhir waktu Isya„ ialah sepertiga malam

seperti yang dilansir oleh Umar bin Khattab, Abu Hurairah, Umar bin Abdul Aziz dan Asy Syafi‟i

(pada salah satu riwayat dari Ishaq bin Ibrahim dari Jarir dari Manshur). Untuk akhir waktu Isya„

saat terbitnya fajar sebagaimana dilansir oleh Asy Syafi‟i (pada riwayat lain), Abdullah bin Abbas,

Atha„, Thawus, Ikrimah dan Ahlu Ar Rifahiyyah. Selengkapnya lihat pada Sa‟id bin Muhammad

Ba‟asyun, Busyr Al Karim Syarh Al Muqadimah Al Hadhramiyah, Beirut: Dar Ihya Al Kutub Al

Arabiyah, tt, hlm. 56 78

There is one phenomenon that lengthens the fraction of the day given over to daylight.

Even after the sun has set, some sunlight is received by the observer, scattered and reflected by the

earth‟s asmosphere. As the sun sinks further below the horizon, the intensity of this light

diminishes. The phenomenon is called twilight and is classified as civil, nautical or astronomical

twilight. Civil twilight is said to end when the sun‟s centre is 6° below horizon, nautical twilight

ends when centre 12° below the horizon, while astronomical twilight ands when the centre of the

sun‟s is 18° below the horizon. Twilight is a nuisance, astronomically speaking, often preventing

the observation of very faint celestial objects. We shall see below that in some latitudes during part

of the year, twilight is indeed continuous throughtout the night, evening and morning twilight

merging because the sun‟s centre at all times of the night is less than 18° below the horizon. Lihat

A. E. Roy, D. Clarke, Astronomy Principles and Practise, published by Adam Hilger, Bristol:

Techno House, 1936,, hlm. 83.

Page 58: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

43

paling panjang adalah sinar merah. Sinar merah ini yang biasa disebut mega

merah.79

Waktu Isya‟ dapat diketahui pada saat peristiwa dusk astronomical

twilight, yaitu ketika langit tampak gelap karena cahaya matahari di bawah

ufuk tidak dapat lagi dibiaskan oleh atmosfer. Dalam referensi standar

astronomi, sudut altitude untuk astronomical twilight adalah 18° di bawah

ufuk, atau sama dengan -18°.80

Hal ini berarti, bayangan merah setelah terbenamnya matahari tidak

terlihat lagi jika matahari berada pada 18° di bawah ufuk (-18°), dengan jarak

pusat matahari sama dengan 108° (posisi matahari tenggelam 90° + 18°).

Ketentuan h Isya‟ -18° ini dipegang oleh Saadoeddin Djambek dan dalam

beberapa keterangan-keterangan pada berbagai kesempatan oleh Abdur

Rachim serta Husen kamluddin.81

5. Shalat Subuh

.… فصلى الفجز حين بزق الفجز الفجز او قال ططع البحز.…

(lalu Nabi shalat Fajar dikala fajar menyingsing atau ia berkata diwaktu

fajar bersinar)

.…جاءه حين اطفز جدا فقال قم فصله فصلى الفجز.…

(kemudian ia datang lagi kepada-Nya dikala telah bercahaya benar dan ia

berkata: bangunlah dan shalatlah kemudian Nabi shalat Fajar)

.… ووقت صالة الصبح من طلوع الفجز مالم تطلعالشمص.…

79

Abd Rachim, op cit, hlm. 38-39 80

Rinto Anugraha, dalam artikel yang ditulis, Cara Menghitung Waktu Shalat, yang

diakses di www.eramuslim.com pada tanggal 13 November 2010 81

Saadoe‟ddin Djambek, Pedoman Waktu Shalat Sepanjang Masa, Jakarta: Bulan

Bintang, 1394, hlm. 32

Page 59: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

44

(dan waktu Subuh mulai fajar menyingsiang sampai matahari belum

terbit)

Kedua hadis telah jelas menyebutkan bahwa waktu Subuh adalah waktu

mulai terbitnya fajar shadiq dan berlangsung hingga terbitnya matahari. Para

ahli fiqh sepakat dengan pendapat tersebut, meskipun ada beberapa ahli fiqh

Syafi‟iyah yang menyimpulkan bahwa batas akhir waktu Subuh adalah sampai

tampaknya sinar matahari.82

Fajar shadiq83

dapat dipahami sebagai dawn astronomical twilight

(fajar astronomi), yaitu ketika langit tidak lagi gelap dimana atmosfer bumi

mampu membiaskan cahaya matahari dari bawah ufuk. Cahaya ini mulai

muncul di ufuk timur menjelang terbit matahari pada saat matahari berada

sekitar 18° di bawah ufuk (atau jarak zenit matahari=108° derajat). Pendapat

lain menyatakan bahwa terbitnya fajar sidik dimulai pada saat posisi matahari

20° derajat di bawah ufuk atau jarak zenit matahari adalah 110° (90° + 20°).84

Di Indonesia pada umumnya, Subuh dimulai pada saat kedudukan

matahari 20° derajat di bawah ufuk hakiki (true horizon). Hal ini bisa dilihat

misalnya pendapat ahli falak terkemuka Indonesia, yaitu Saadoe‟ddin Djambek

disebut-sebut oleh banyak kalangan sebagai mujaddid al-hisab (pembaharu

pemikiran hisab) di Indonesia. Beliau menyatakan bahwa waktu Subuh dimulai

dengan tampaknya fajar di bawah ufuk sebelah timur dan berakhir dengan

terbitnya matahari. Menurutnya dalam ilmu falak saat tampaknya fajar

82

Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, op cit,

hlm. 213 83

Fajar shidiq disebabkan oleh hamburan cahaya matahari di atmosfer atas. Berbeda

dengan fajar kidzib (cahaya zodiak), yang disebabkan oleh hamburan cahaya matahari oleh debu-

debu antarplanet. 84

Abd Rachim, op cit, hlm.39

Page 60: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

45

didefinisikan dengan posisi matahari sebesar 20° dibawah ufuk sebelah timur.85

Sementara itu batas akhir waktu Subuh adalah waktu Syuruq (terbit), yaitu -1°.

C. Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat

Data yang diperlukan untuk menghitung awal waktu shalat, adalah sebagai

berikut :

1. Meridian Pass (MP)

Saat matahari berkulminasi dinyatakan dengan istilah Meridian Pass

(MP). Data saat kulminasi matahari dapat diperoleh dengan cara mengurangi

Waktu Hakiki (waktu matahari) dengan Perata Waktu (Equation of Time yang

disimbolkan dengan e). Dengan demikian MP dapat dirumuskan, MP =

Kulminasi – equation of time atau lebih sederhananya, MP = 12 – e.86

Waktu hakiki atau waktu matahari selalui menunjukkan pukul 12.00

pada saat matahari berkulminasi. Padahal perjalanan harian matahari itu

sebenarnya tidak benar-benar rata. Adakalanya lambat dan adakalanya cepat.

Satu putaran kadang ditempuh dalam 24 jam tepat, kadang kurang, dan kadang

lebih. Akibatnya Waktu Hakiki itu boleh jadi berselisih beberapa menit dengan

Waktu Pertengahan, atau jam arloji, yang jalannya benar-benar rata. Selisih

85

Saadoe‟ddin Djambek, op cit, hlm. 45. Untuk h matahari saat terbitnya fajar shadiq dan

fajar kidzib sendiri terdapat perbedaan dari beberapa kalangan ahli falak dan ahli astronomi. Abu

Raihan Al Biruni berpendapat h matahari untuk waktu Subuh adalah sekitar -15° hingga -18°.

Dalam Al-khulashatul Wafiyah fil falaki Jadawidil Lughritimiyah (Zubair umar al-jaelani) hlm.

176, dan Ilmu Falak (Kosmografi) (P. Sima-Mora) hlm.82 disebutkan bahwa h matahari saat

Subuh adalah -18°. Sedangkan dalam Taqribul Maqshad fil „amali bir rubu‟il Mujayyab

(Muhammad Muhtar bin Atharid al-Jawi al-Bogori) hlm. 20, ad-Durusul Falakiyah (Muhammad

Ma‟shumm bin Ali al-Maskumambangi) hlm.12, dan Ilmu Hisab dan Falak (KRT Muhammad

Wardan Diponingrat) hlm. 72, menyebutkan bahwa h matahari saat Subuh adalah -19°

sebagaimana Ibnu Yunus, Al Khalily, Ibnu Syathhir dan Ath Thusiy.. 86

Muhyiddin Khazin, Loc cit

Page 61: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

46

antara Waktu Hakiki dengan Waktu Pertengahan itu disebut Perata Waktu. Jika

perjalanan matahari itu lambat maka nilai perata waktu negatif (-), dan jika

perjalanan matahari cepat maka harga perata waktunya positif (+).

2. Sudut Waktu Matahari Awal Waktu Shalat ( t )

Dinamakan sudut waktu, karena bagi semua benda langit yang terletak

pada lingkaran waktu yang sama akan berkulminasi pada waktu yang sama

pula (atau jarak waktu yang memisahkan benda langit tersebut dari

kedudukannya sewaktu berkulminasi sama). Besarnya sudut waktu itu

menunjukkan berapakah jumlah waktu yang memisahkan benda langit tersebut

dari kedudukannya sewaktu berkulminasi. Jika benda langit sedang

berkulminasi, maka harga t-nya = 0°. Besar t diukur dengan derajat sudut dari

0° -180° dan selalu berubah ± 15°/ jam, karena gerak harian benda-benda

langit.87

Sudut waktu adalah sudut yang dibentuk oleh setiap lingkaran waktu

dengan lingkaran meridian. Sudut waktu matahari adalah jarak matahari dari

titik kulminasi diukur sepanjang lintasan harian. Sudut waktu disebut juga

Hour Angle atau dalam bahasa Arab disebut fadl al-daair. Sudut waktu ada dua

macam :

a. Sudut waktu Positif (+) yaitu sudut waktu untuk benda langit yang sudah

melewati titik kulminasinya, dari 0 sampai 180.

b. Sudut waktu Negatif (-) yaitu sudut waktu untuk benda langit yang belum

melewati titik kulminasinya, dari 0 sampai -180.

87

Abd Rachim, op cit, hlm. 7

Page 62: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

47

Rumus Sudut Waktu Matahari Awal Waktu Shalat ( t ) : 88

𝐶𝑜𝑠 𝑡 = 𝑠𝑖𝑛 ℎ ÷ 𝑐𝑜𝑠 Ф ÷ 𝑐𝑜𝑠 𝛿 − 𝑡𝑎𝑛 Ф 𝑥 𝑡𝑎𝑛 𝛿

Keterangan:

t = Sudut waktu

Ф = Lintang Tempat

δ = Deklinasi Matahari

h = Ketinggian Matahari

3. Koreksi Waktu Daerah (KWD)

Untuk memindahkan waktu istiwa‟ yang dihasilkan oleh perhitungan

awal waktu shalat yang menggunakan data-data GMT, maka harus dilakukan

koreksi untuk mengetahui waktu setempat. Rumus koreksi waktu daerah :

(dh - tp)÷15

Keterangan:

λdh: Bujur Daerah

λtp : Bujur Tempat

Sebagai upaya dalam mengatasi kesulitan karena adanya perbedaan

waktu pada setiap wilayah di dunia, maka dibentuk waktu daerah yang

disesuaikan menurut bujur daerah tersebut yang berpedoman dengan meridian

yang melintasi kira-kira pada pertengahan daerah bersangkutan. Bujur daerah

Indonesia sendiri sejak tanggal 1 Januari 1964 terbagi menjadi 3 bagian, yaitu:

a. Waktu Indonesia Barat: 105º dengan zona waktu GMT + 7j

b. Waktu Indonesia Tengah: 120º dengan zona waktu GMT + 8j

c. Waktu Indonesia Timur: 135º dengan zona waktu GMT + 9j

88

Muhyiddin Khazin, op cit, hlm. 81

Page 63: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

48

Sebagai batas diantara bujur daerah-daerah waktu tersebut diambil dari

garis bujur yang terdapat pada pertengahan meridian-merdian waktu daerah

yang berbatasan yang juga ditentukan oleh perbatasan pemerintahan dari

daerah tersebut.89

4. Ihthiyat

Ialah suatu langkah pengamanan dengan cara menambahkan atau

mengurangkan waktu agar jadwal waktu shalat tidak mendahului awal waktu

atau akhir waktu.90

Ihtiyat dari segi kegunaannya dibagi menjadi tiga, yaitu:91

a. Ihtiyat guna luasnya daerah, berarti memindahkan meridian yang kita

pedomani ke batas sebelah barat ataupun sebelah timur dari daerah hisab.

Hal ini digunakan untuk mempertimbangkan perbedaan waktu shalat

antara daerah bagian timur dan barat yang biasanya terdapat selisih dalam

berbuka puasa. Ihtiyat ini juga digunakan untuk menentukan lintang dan

bujur suatu tempat yang biasanya diukur dari suatu titik (markaz) di pusat

kota yang mewakili daerah tersebut.

b. Ihtiyat guna koreksi sesaat dalam hasil hisab, digunakan untuk mengoreksi

atas data-data yang kita ambil sebagai ketelitian.

c. Ihtiyat guna keyakinan, digunakan untuk menandai waktu imsak (puasa)

yang dimajukan beberapa menit dari awal Subuh atau juga beberapa menit

yang diundurkan dari waktu Dzuhur untuk menghilangkan keragu-raguan

atas larangan mengerjakan shalat pada saat matahari berkulminasi.

89

Abd. Rachim, op cit, hlm. 55-57 90

Depag RI, Pedoman Penentuan Jadwal Waktu Shalat Sepanjang Massa,op cit, hlm. 38 91

Abdur Rachim, op cit, hlm. 53

Page 64: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

49

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam sebagaimana

Saadoeddin Djambek, mempergunakan ihtiyat + 2 menit, yang dianggap cukup

memberikan pengaman terhadap koreksi data rata-rata dan mempunyai

jangkauan 27,5 – 55 km ke arah barat atau timur.92

Dari keterangan di atas, maka dapat diformulasikan data dan rumus yang

digunakan dalam penentuan waktu shalat adalah sebagai berikut:

1. Meridian Pass

MP = 12 – e

2. Rumus sudut waktu matahari

𝐶𝑜𝑠 𝑡 = 𝑠𝑖𝑛 ℎ ÷ 𝑐𝑜𝑠 Ф ÷ 𝑐𝑜𝑠 𝛿 − 𝑡𝑎𝑛 Ф 𝑥 𝑡𝑎𝑛 𝛿

3. Rumus tinggi matahari (ho)

- Ashar : Cotan ho = tan zm + 1 atau zm = [φ – δ]

- Maghrib : - (ku + ref + sd)

- 1º

- Isya‟ : - 17 + - (ku + ref + sd)

- 18º

- Subuh : - 19 + - (ku + ref + sd)

- 20º

- Terbit : (ku + ref + sd)

4. Rumus koreksi waktu daerah : Kwd =(dh - tp)÷15

Sehingga rumus awal waktu shalat:

1. Dzuhur = MP + Kwd + i

2. Ashar = MP + t ÷15 + Kwd + i

3. Maghrib = MP + t ÷15 + Kwd + i

4. Isya‟ = MP + t ÷15 + Kwd + i

5. Subuh = MP - t ÷15 + Kwd + i

92

Depag RI, op cit, hlm. 39

Page 65: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

50

D. Faktor yang Mempengaruhi Penentuan Awal Waktu Shalat

1. Faktor yang Mempengaruhi Penentuan Awal Waktu Shalat

a) Deklinasi /Apparent Declination

Jarak titik pusat benda langit sepanjang lingkaran deklinasi sampai

ke equator dinamakan deklinasi atau apparent declination.93

Pada kitab

falak klasik biasanya menggunakan dengn bahasa Arab ميل الشمض, untuk

deklinasi matahari, dan ميل القمز. untuk deklinasi bulan.

Deklinasi matahari berubah sewaktu-waktu selama satu tahun, dan

pada tanggal-tanggal tertentu, yaitu 21 Maret – 23 September deklinasi

matahari positif karena dibagian utara. Sedangkan pada tanggal 23

September – 21 Maret deklinasi matahari berada di selatan dan disebut

negative. Pada tanggal tersebut matahari bernilai 0°. Setelah tanggal 21

Maret matahari mulai bergerak ke Utara menjauhi equator hingga tanggal

21 Juni mencapai nilai 23° 26‟ Utara atau dalam bahasa Arab disebut ميل

.ألعظم94

Setelah itu, matahari mulai berbalik arah mendekati equator hingga

tanggal 23 September. Kemudian bergerak terus ke selatan menjauhi

matahari hingga mencapai bilangan 23° 26‟ yaitu tanggal 22 Desember.

Lalu berbalik lagi ke arah utara mendekati equator hingga tanggal 21 Maret.95

93

Muhyiddin Khazin, op cit, hlm. 65 94

Dalam kitab Khulashatul Al Wafiyah disebutkan bahwa deklinasi terjauh (mailul

„adzom) khulashoh 23° 27‟, Lihat Zubair Umar Al Jailani, Khulashatul Al Wafiyah, tp, tt. hlm. 81.

Begitupun yang terdapat dalam Ephimeris deklinasi terjauh 23° 27‟, sedangkan dalam Tibyanul

Miqat 23° 52‟. Lihat juga pada Maksum bin Ali, Tibyan Al Miqat fi Ma‟rifat Al Auqat wa Al

Qiblah, Kediri: Madrasah Salafiyah Al Falaki, tt, hlm. 12 95

Abd Rachim, op cit, hlm. 8

Page 66: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

51

b) Equation of Time.

Perlu Anda ketahui bahwa lintasan bumi ketika mengelilingi

matahari berbentuk elips (agak lonjong seperti telur). Oleh karenanya jarak

bumi dan matahari tidak tetap setiap saat, kadang-kadang dekat dan

kadang-kadang jauh. Jarak terdekat bumi dengan matahari dinamakan

Perigee yang dalam bahasa Arabnya dinamakan حضيض dan jarak

terjauhnya dinamakan Apogee yang dalam bahasa Arabnya dinamakan أوج.

Dekat tidaknya bumi dengan matahari ini berdampak pada kecepatan

gerak bumi, dimana ketika jaraknya dekat dengan matahari, pergerakan

bumi pada lingkaran ekliptika berlangsung lebih cepat daripada ketika

jaraknya jauh. Akibatnya, saat kulminasi matahari setiap hari senantiasa

berubah, kadang persis jam 12:00, kadang kurang dan kadang lebih dari

jam 12:00. Selisih antara kulminasi matahari hakiki dengan waktu

kulminasi matahari rata-rata (jam 12:00) dinamakan Equation Of Time

yang dalam bahasa Indonesia dinamakan Perata Waktu, dalam bahasa

Arab mempunyai beberapa nama antara lain : تعديل الوقت, dan تعديل الشمان ,

. دقائق التفاوت

2. Faktor yang Mempengaruhi Penentuan Awal Waktu Shalat Daerah satu dengan

Daerah lain

a) Koordinat Lintang Tempat (Ф).

Lintang adalah jarak dari suatu tempat ke khatulistiwa diukur

dengan melalui meridian bumi. Dalam bahasa Arab dinamakan عزض البلد

dan biasanya ditandai dengan huruf Yunani Ф (phi, cara baca : fi). Daerah

Page 67: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

52

yang terletak di sebelah utara garis khatulistiwa (ekuator) memiliki lintang

positif, dan untuk daerah yang terletak disebelah selatan garis khatulistiwa

memiliki lintang negatif. 96

Perbedaan lintang tidak sama besar pengaruhnya terhadap waktu

shalat sepanjang tahun.97

Hal ini berkaitan dengan nilai deklinasi matahari

yang berbeda-beda dalam setiap waktu.

b) Koordinat Bujur Tempat (λ).

Bujur astronomi suatu tempat adalah sudut antara bidang di

meridian tempat dan bidang meridian dari Greenwich.98 Dalam bahasa

Arab bujur tempat itu dinamakan طول البلد yang biasanya ditandai dengan

lambang astronomi dengan huruf Yunani (cara baca : lamda).

Kesepakatan internasional menetapkan permulaan perhitungan garis

bujur bumi (bujur 0), di mulai pada garis bujur yang melintasi kota

Greenwich di Inggris. Daerah yang terletak di sebelah timur Greenwich

sampai 180 memiliki bujur positif dan untuk daerah yang terletak di

sebelah barat Greenwich sampai 180memiliki bujur negatif. Tanda nilai

bujur ini berhubungan dengan waktu, artinya untuk mendapatkan standar

waktu internasional GMT, wilayah barat (bujur barat) harus dikurangi

angka tertentu. Sebaliknya, bujur timur harus ditambah angka tertentu.

Garis bujur timur 180 dan garis bujur barat 180 bertemu dan berhimpit

96

Baca K.J. Vilianueva, op cit, hlm. 4 97

Muntoha, op cit, hlm. 52. Hal ini yang membuat beberapa ahli falak meniadakan

konversi waktu daerah untuk jadwal waktu shalat, salah satunya Tim Lajnah Falakiyah Lirboyo. 98

Lihat ibid, hlm. 114. Dalam buku tersebut juga disebutkan bahwa bujur sama dengan

selisih waktu local tempat bersangkutan dengan waktu Greenwich.

Page 68: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

53

dilautan Pasifik dan dijadikan garis batas tanggal dalam penanggalan

Masehi.

Sebagaimana yang dikutip dari skripsi Muntoha yang berjudul

Analisis Terhadap Toleransi Pengaruh Perbedaan Lintang dan Bujur

dalam Kesamaan Penentuan Awal Waktu Shalat, dijelaskan bahwa

perbedaan bujur cukup besar pengaruhnya terhadap masuknya waktu

shalat.99

Perbedaan 1o bujur berarti perbedaan 4 menit waktu, perbedaan

bujur sebesar 0,1o atau jarak tepat ke timur atau tepat ke barat sejauh 11

km berarti perbedaan waktu sebanyak 0,4 menit atau 24 detik. Jarak 27 ½

km tepat ke barat atau ke timur berarti perbedaan waktu sebanyak satu

menit.

c) Zona Waktu Tempat (z).

Pada dasarnya bumi dibagi dalam 24 wilayah waktu (zona waktu)

yang dibatasi oleh meridian-meridian dengan selisih bujur 15º (1 jam).

Dalam tiap wilayah ini berlaku satu macam waktu wilayah dengan

meridian tengahnya sebagai referensi. Wilayah 0º meridian referensinya

adalah meridian Greenwich. Daerah yang terletak di sebelah timur

Greenwich memiliki z positif, sedangkan di sebelah barat Greenwich

memiliki z negatif. Untuk wilayah ke-12 dibagi dua oleh “date line” dan

untuk bagian barat diambil Δz = -12 sedangkan untuk bagian yang timur

diambil Δz = +12. Bila seseorang melewati “date line” maka ia harus

menyesuaikan hari kalendernya dengan menambah atau mengurangi

dengan satuan hari (24j). Untuk keseragaman di suatu negara maka

99

Muntoha, op cit, hlm. 51

Page 69: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

54

wilayah waktu itu disesuaikan dengan batas-batas negara. Misalnya zona

waktu Jakarta adalah UT +7 (Universal Time) atau seringkali disebut

GMT +7 (Greenwich Mean Solar Time), maka z = 7. Misalnya, Los

Angeles memiliki z = -8.100

Untuk Indonesia sendiri dibagi dalam 3 zona waktu, yaitu Waktu

Indonesia Barat (+7), Waktu Indonesia Tengah (+8), dan Waktu Indonesia

Timur (+9). Tanda waktu dari masing-masing daerah di wilayah Indonesia

biasanya dapat dikoreksi dengan adanya tanda waktu yang dipersiapkan

oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika yang biasanya

disiarkan oleh Radio Republik Indonesia pada jam-jam tertentu.

d) Ketinggian Tempat dari Permukaan Laut (h).

Ketinggian lokasi dari permukaan laut (h) menentukan waktu kapan

terbit dan terbenamnya matahari. Tempat yang berada tinggi di atas

permukaan laut akan lebih awal menyaksikan matahari terbit serta lebih

akhir melihat matahari terbenam, dibandingkan dengan tempat yang lebih

rendah. Satuan h adalah meter atau feet (kaki).101

100

Lihat Ibid, hlm. 70-71. 101

Satu meter sama dengan 3,048 feet

Page 70: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

55

BAB III

PENGGUNAAN DATA KETINGGIAN TEMPAT DALAM FORMULASI

PENENTUAN WAKTU SHALAT

A. Ketinggian Tempat

Faktor yang mempengaruhi waktu shalat antara daerah satu dengan daerah

lainnya salah satunya ialah tinggi tempat. Tinggi secara geodetik (h) adalah jarak

titik yang bersangkutan dari ellipsoid referensi di dalam arah garis normal

terhadap ellipsoid referensi.102

Ketinggian tempat dapat diperoleh sebagai hasil

pengukuran dari ilmu ukur tanah, yaitu ilmu yang mempelajari tentang teknik-

teknik pengukuran di permukaan bumi dan bawah tanah dalam areal yang terbatas

untuk keperluan pemetaan dan lain-lain. Ketinggian tempat dalam geodesi lebih

dikenal dengan sebutan beda tinggi. Menurut ilmu ukur tanah, beda tinggi di atas

permukaan bumi dapat ditentukan dengan berbagai cara, yaitu sesuai dengan

tingkat ketelitiannya adalah sebagai berikut:103

1. Sipat datar

Sipat datar merupakan salah satu metode yang bertujuan untuk

menentukan beda tinggi antara titik-titik di atas permukaan bumi secara teliti.

Tinggi suatu objek di atas permukaan bumi ditentukan dari suatu bidang

referensi, yaitu bidang yang ketinggiannya dianggap nol yang dalam istilah

102

Eddy Prahasta, Konsep-konsep Dasar Sisitem Informasi Geografis, Bandung: Penerbit

Informatika, 2002, hlm. 140. Ellipsoid referensi ialah pendekatan model geometric bentuk bumi

yang diperlukan untuk hitungan-hitungan geodesi yang akurat dengan jangkauan yang sangat jauh.

Lihat pada hlm. 120 103

Slamet Basuki, Ilmu Ukur Tanah, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006,

hlm. 139-140

Page 71: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

56

geodesi, disebut sebagai bidang geoid. Bidang geoid merupakan bidang

equipotensial yang berimpit dengan permukaan air laut rata-rata (mean sea

level). Bidang-bidang ini selalu tegak lurus dengan arah gaya berat dimana

saja di permukaan bumi. Istilah sipat datar di sini berarti konsep penentuan

beda tinggi antara dua titik atau lebih dengan garis bidik horizontal yang

diarahkan pada rambu-rambu yang berdiri tegak atau vertikal. Alat ukurnya

disebut penyipat datar atau waterpas.104

2. Takhimetrik

Takhimetrik merupakan metode yang menggunakan data lapangan

untuk menghitung jarak mendatar dan vertikal dengan bacaan rambu ukur

yang terdapat pada alat reduksi system takhimetri. Beberapa alat reduksi

system takhimetri yang ada di Indonesia antara lain busur stadia Beaman,

reduksi takhimeter otomatis dari Hamer-Fennel, dan reduksi takhimetri “Wild

RDS”. Kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi dalam pengukuran

takhimetri ialah kesalahan alat, kesalahan pengukur, dan kesalahan yang

bersumber dari alam.105

3. Trigonometrik

Pengukuran beda tinggi dengan cara trigonometrik adalah suatu

proses penentuan beda tinggi dari titik-titik pengamatan dengan cara

mengukur sudut miring atau sudut vertikalnya dengan jarak yang diketahui,

yang dapat diukur dengan alat teodolit.106

104

Ibid 105

Ibid, hlm. 88-93 106

Ibid, hlm. 242

Page 72: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

57

4. Barometrik

Pada dasarnya, barometer ialah alat untuk mengukur variasi tekanan

udara disetiap tempat, namun karena variasi tekanan udara berkaitan dengan

tinggi tempat, maka oleh karena itu, dapat juga diukur beda tinggi. Alat

barometer sendiri disebut barometric leveling. Tekanan udara pada

permukaan air laut adalah 1 kg/cm2 dan berkurang jika ketinggiannya

bertambah. Perbedaan 1 cmm air raksa akan sebanding dengan kenaikan

tinggi 108 meter.

Altimeter adalah barometer yang dibuat khusus untuk survey atau

pengukuran beda tinggi dengan ketelitian yang lebih tinggi dibanding dengan

barometer biasa, bacaannya langsung dalam meter atau feet.

Metode sipat datar, takhimetrik, dan trigonometrik semata-mata

digunakan untuk menentukan beda tinggi antara dua buah titik atau lebih,

sedangkan metode barometrik, selain dapat menentukan beda tinggi, juga

dapat menunjukkan ketinggian titik-titik tersebut di atas bidang reverensi atau

mean sea level (permukaan air laut rata-rata).107

Untuk keperluan jaringan kontrol vertikal di Indonesia dilakukan

pengukuran sipat datar dimulai dari Pulau Jawa pada tahun 1925. Nilai tingginya

mengacu pada hasil pengamatan pasang surut di Tanjung Priok. Namun, akibat

perang dunia ke-2, banyak titik control geodesi hilang dan rusak, maka didirikan

BAKOSURTANAL (Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional) tahun

1969, yang bertugas dalam pengadaan peta rupa bumi Indonesia. Pada tahun 1980

107

Ibid, hlm. 255

Page 73: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

58

– 1987 BAKOSURTANAL mulai menyelenggarakan pengadaan jaring kontrol

vertikal di Jawa dengan membangun sipat datar orde pertama sepanjang 4657 km

dengan Titik Tinggi Geodesi yang disingkat dan dikenal dengan TTG sebanyak

1532 titik.108

Setelah pemanfaatan teknologi militer Amerika Serikat Navstar

(Navigation Satellite Time and Ranging) yang lebih dikenal dengan teknologi

Globlal Positioning System yang disingkat dengan GPS untuk keperluan sipil,

maka dalam rangka kerja sama penelitian antara BAKOSURTANAL dan National

Science Foundation America Serikat (US-NFS) dilakukanlah penelitian

geodinamika. Pemanfaatan teknologi GPS di Indonesia berlanjut dan berkembang

hingga BAKOSURTANAL membangun jaringan kontrol geodetik nasional yang

berlanjut dengan menetapkan Datum Geodetik Nasional 1995 (DGN 95).109

Saat ini dengan perkembangan teknologi yang ada, data keinggian tempat

dapat dilihat dan diperoleh selain dari BAKOSURTANAL, dapat diperoleh juga

dari GPS, atau softwere-sofwere yang ada di internet yang menyajikan data

ketinggian tempat untuk umum seperti Google Earth, Google Map, dll.

Dalam formulasi penentuan awal waktu shalat, beberapa ahli falak

menggunakan data ketinggian tempat dalam proses perhitungan waktu Maghrib,

Isya’, dan Subuh. Dan beberapa formulasi dalam penentuan waktu shalat antara

satu dengan yang lain terdapat sedikit perbedaan mengenai data ketinggian

tempat. Beberapa ahli falak menggunakan data ketinggian tempat untuk

menghitung kerendahan ufuk (ku/dip), namun ada juga ahli falak yang

108

Joinil Kahar, Geodesi: Teknik kuadrat terkecil, Bandung: Penerbit ITB, 2006, hlm. 55 109

Ibid, hlm. 87

Page 74: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

59

mengabaikan data keinggian tempat karena dianggap tidak terlalu mempengaruhi

waktu shalat.

B. Penggunaan Ketinggian Tempat dalam Formulasi Penentuan Jadwal Waktu

Shalat

1. Kitab Klasik

Kitab-kitab klasik pada umumnya dalam menguraikan formulasi

penentuan waktu shalatnya lebih panjang karena proses perhitungannya

sering kali menggunakan rumus manual sederhana tanpa penggunaan

kalkulator. Dalam formulasi penentuan waktu shalatnya beberapa kitab

terdapat konsep koreksi kerendahan ufuk yaitu saat proses perhitungan waktu

shalat Maghrib. Konsep koreksi ini biasanya disebut ikhtilaf ufuk atau dikenal

juga dengan istilah daqaiqul tamkin. Dari kitab falak klasik yang pernah

penulis baca (seperti kitab Khulashatul Al Wafiyah, Badiatul Misal, Ittifa’

Dzatil Bain, Tibyanul Miqat, Sulamunayyirain, dll.) hanya kitab Irsyadul

Murid karangan Ahmad Ghazali (Madura) yang di dalamnya terdapat koreksi

kerendahan ufuk yang telah menggunakan formulasi kerendahan ufuk dengan

istilah إلنحفاض االفق inhifadhul ufuk (dip) dengan formulasi 1.76/60 × √𝑇𝑇

(Tinggi Tempat).110

Namun, koreksi ini digunakan untuk mencari waktu

ghurub dalam perhitungan penentuan awal bulan Kamariyah, bukan pada

perhitungan penentuan waktu shalatnya.

110

Ahmad Ghazali, Irsyadul Murid, Jember: Yayasan An Nuriyah, 2005, hlm. 134

Page 75: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

60

2. KH. Slamet Hambali111

Dalam penyusunan jadwal waktu shalat, Slamet Hambali

menggunakan data ephemeris untuk mengambil data deklinasi dan equation

of time. Pengambilan data tersebut diambil data pada jam 12 WIB. Dalam

perhitungan jadwal waktu shalat dalam satu bulan, ia menggunakan satu

perhitungan untuk 5 hari. Sebab, selisih perhari dianggap sedikit sehingga

hanya mengambil beberapa tanggal saja. Dengan demikian, Slamet Hambali

hanya menghitung tanggal-tanggal sebagai berikut: 1-6-11-16-21-26.

Menurutnya, ketinggian tempat berpengaruh pada penentuan waktu shalat.

Oleh karena itu, ia menggunakan data ketinggian tempat 200 m dalam

perhitungan penentuan waktu shalatnya untuk mengcover waktu shalat

didaerah Semarang yang topografi yang sangat bervariasi, yaitu disekilingi

pegunungan ungaran dan merbabu juga daerah pantai.

Pada perhitungan kerendahan ufuk, rumus yang digunakan Slamet

Hambali adalah ku: 0º 1.76√h. Sedangkan koreksi waktu antar kota

menurutnya hanya berdasarkan bujur dan lintang saja. Sedangkan ikhtiyat

yang dipakai untuk kehati-hatian adalah 2 menit utuh dengan pembulatan

detik. Dalam menkonversi waktu, Slamet Hambali memperhitungkan antara

pantai selatan – pantai utara mana yang lebih dulu dan yang lama masuk awal

111

Slamet Hambali saat ini tercatat sebagai Wakil Ketua Lajnah Falakiyah Pengurus

Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), anggota Muker dan Raker Badan Hisab Rukyah Kementerian

Agama, sebagai anggota Badan Hisab Rukyah Indonesia Jakarta dan merupakan Wakil Ketua Tim

Hisab Rukyah Jateng. Selain itu juga menjadi dosen pengajar Ilmu Falak di IAIN Walisongo

Semarang dan UNISULA (Universitas Sultan Agung) Semarang.

Page 76: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

61

shalat. sehingga dapat digunakan untuk daerah lain yang lintangnya berbeda

namun satu jalur.112

Tabel 1. Jadwal Waktu Shalat Bulan Januari 2011113

Tgl Imsak Subuh Terbit Dhuha Dzuhur Ashar Maghrib Isya’

1 03.52 04.02 05.22 05.51 11.44 15.11 18.02 19.18

6 03.55 04.05 05.25 05.54 11.47 15.13 18.04 19.20

11 03.58 04.08 05.27 05.56 11.49 15.14 18.06 19.21

16 04.01 04.11 05.30 05.59 11.51 15.15 18.07 19.22

21 04.04 04.14 05.32 06.01 11.52 15.15 18.08 19.22

26 04.07 04.17 05.34 06.03 11.53 15.15 18.09 19.22

3. LIRBOYO114

Tiap tahunnya Pondok Pesantren Lirboyo atau yang lebih dikenal

dengan Pondok Lirboyo mengeluarkan kalender yang dilengkapi jadwal

waktu shalat. Hampir seluruh santri maupun alumni dari pondok tersebut

selama ini memakai dan menggunakan jadwal tersebut sebagai acuan dalam

waktu shalatnya. Dalam wawancara via telepon, penulis memperoleh data

bahwa dalam perhitungannya, Lirboyo menggunakan data ketinggian tempat

dalam perhitungannya, yaitu yang digunakan adalah ketinggian 100 m

sebagai tinggi rata-rata kota Kediri dengan rumus ku: 0,0293 √h.

Sedangkan koreksi antar kota yang biasanya dicantumkan dibeberapa

kalender untuk konversi waktu daaerah tidak dicantumkan dalam kalender

112

Wawancara dengan Slamet Hambali pada tanggal 11 Januari 2011 113

Jadwal ini menggunakan lokasi Semarang dengan pengambilan salah satu titik dengan

lintang -7° LS untuk batas utara dan mepertimbangkan batas selatan dengan pengambilan titik -7°

48’ LS. Sedangkan untuk garis bujurnya diambil titik 110° 24’ BT. 114

PP. Madrasah Hidayatul Mubtadi’in (MHM) Lirboyo lebih dikenal dengan PP.

Lirboyo karena berada di Lirboyo Kediri yang dibangun pada tahun 1910 oleh KH. Abdul Karim

atau sering dipanggil Kiai Manab. Lihat pada Album PP. Lirboyo 2002, hlm. 98-106. Pondok ini

merupakan salah satu pondok salaf tertua yang ada di Indonesia dan telah mencetak lebih dari

100.000 santri yang berasal dari seluruh pelosok Indonesia. Untuk th. 2006 saja, santri Lirboyo

tercatat mencapai + 9.060 yang ditampung dalam kamar sebanyak + 400 kamar.

Page 77: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

62

tersebut. Hal ini dikarenakan penambahan atau pengurangan waktu sebagai

konversi waktu dianggap tidaklah konsisten dalam setiap bulannya. Itu semua

tergantung pada lintang dan deklinasi yang ada pada saat tersebut. Konversi

waktu dapat diadakan jika lintang kedua daerah dari markas jadwal waktu

shalat sama dengan daerah yang dikonversi. Untuk menghindari kesalahan

dalam waktu beribadah, maka kebijakan Tim Lajnah Falakiyah yang

dipimpin oleh Reza Zakariya ini meniadakan konversi waktu antar kota. Hal

ini berdasarkan pengamatannya melalui beberapa jadwal waktu shalat yang

ada dan konversi waktu antar kota yang dipakai oleh beberapa ahli falak yang

di situ menunjukkan bahwa ada ketidak kontinuitasan. Oleh karena itu, dalam

penggunaan waktu shalat sebaiknya setiap daerah melakukan perhitungan

masing-masing khusus untuk daerahnya. Karena waktu shalat merupakan

waktu yang dapat dikatakan bersifat lokalitas. Artinya, satu jadwal waktu

shalat hanya dapat dipakai oleh daerah tersebut saja, sedangkan untuk daerah

lain harus menghitung dengan data daerah masing-masing. Jadwal waku

shalat yang dibuat adalah jadwal waktu shalat dengan menggunakan wilayah

markas Kediri.

Jadwal waktu shalat PP. Lirboyo dibuat oleh Tim Lajnah Falakiyah

Lirboyo sama dengan jadwal waktu shalat pada umumnya, yakni melalui

perhitungan dengan memperoleh data deklinasi dan equation of time melalui

ephimeris. Dalam perhitungannya, Lirboyo menggunakan per 3 hari untuk

satu perhitungan karena selisih per 3 hari masih dapat diatasi dengan ihtiyat

yang digunakan, yakni 1-2 menit. Untuk penyajian konversi daerah menurut

Page 78: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

63

ketinggian tempat menurut beliau tidak perlu diadakan karena selisih tidak

mencapai 2 menit, hanya ketinggian 1000 m yang menimbulkan selisih

mencapai 3 menit. Oleh karena itu, nilai ihtiyat dianggap dapat menutupi

selisih tersebut.115

Table 2. Jadwal waktu shalat Kalender Lirboyo daerah Kediri Januari 2011

Tanggal Dzuhur Ashar Maghrib Isya’ Subuh Terbit

01 – 05 11:38 15:05 17:56 19:11 03:45 05:14

06 – 10 11:40 15:06 17:58 19:13 03:48 05:16

11 – 15 11:42 15:07 18:00 19:14 03:52 05:19

16 – 20 11:44 15:08 18:01 19:15 03:55 05:21

21 – 25 11:46 15:08 18:02 19:15 03:57 05.23

26 – 31 11:47 15:08 18:02 19:15 04:00 05.24 *Jadwal waktu shalat di atas hanya berlaku di daerah Kediri yang ketinggian tempatnya

tidak melebihi 100 m dari permukaan air laut.

*karena penambahan dan pengurangan waktu shalat untuk daerah selain Kediri

disetiap bulannya berbeda, maka penambahan dan pengurangan waktu shalat

ditiadakan.

4. Saaduddin Djambek

Dalam bukunya almanak waktu shalat sepanjang massa, Saaduddin

Djambek menyajikan tabel jadwal waktu shalat abadi dalam kurun satu tahun

dengan dilengkapi data lintang yang dapat disesuaikan dan dikoreksi selisih

waktunya sesuai daerah masing-masing. Dalam jadwal tersebut Djambek

menyajikan secara utuh jadwal, sehingga user (pengguna) hanya perlu

menyesuaikan dengan selisih waktu setempat saja. Koreksi untuk masing-

masing daerah di sini disesuaikan menurut deklinasi dan lintang tempat dari

tempat yang bersangkutan.

115

Wawancara dengan Reza Zakariya, Ketua Tim Lajnah Falakiyah PP. Lirboyo Kediri

Jawa Timur via telepon pada tanggal 15 Januari 2011

Page 79: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

64

Selain koreksi tersebut, Sa’aduddin Djambek menambahkan suatu

koreksi khusus untuk ketinggian tempat. Di daerah-daerah pegunungan harus

diperhitungkan bagi waktu syuruq dan waktu Maghrib bagi ketinggian mata d

atas daerah sekeliling. Dalam almanak sepanjang masa disebutkan bahwa hal

ini disebabkan oleh karena persoalan syuruq dan ghurub dipengaruhi oleh

kedudukan ufuk mar’i (visible horizon). Oleh bentuk bumi yang bulat, ufuk

mar’i semakin rendah jika kedudukan pengamat semakin tinggi. Kerendahan

ufuk ini mengakibatkan matahari kelihatan lebih cepat terbit dan lebih lambat

tenggelam.

Table 3. Daftar Koreksi Ketinggian Pengamat Menurut Sa’aduddin Djambek

Ketinggian mata Koreksi (menit) Ketinggian Mata Koreksi (menit)

50 0,2 400 1,7

75 0,4 500 2,0

100 0,5 600 2,3

150 0,8 700 2,5

200 1,0 800 2,7

250 1,2 900 2,9

300 1,4 1000 3,1

Yang dimaksud dengan ketinggian tempat pada tabel di atas bukan

berdasakan permukaan air laut, melainkan berdasarkan ketinggian daerah

sekeliling sampai kaki langit.

Misalnya untuk kota bandung, tinggi kira-kira 700 meter di atas

permukaan air laut, tidaklah dilakukan koreksi sebanyak 2,5 menit

sebagaimana yang tercantum pada table, tetapi cukup sebanyak 0,5 menit atau

paling tinggi 1 menit. Berbeda jika kita berada pada suatu tempat yang

ketinggian dengan pandangan bebas sampai ke laut, dimana bagian barat

Page 80: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

65

pengamat dapat melihat tenggelam maupun di sebelah timur pengamat bisa

melihat pada saat matahari terbit.116

5. Muhyiddin Khazin117

Dalam bukunya, Ilmu Falak, yang digunakan sebagai salah satu

referensi bagi sebagian besar mahasiswa falak, Muhyiddin Khazin tidak

menggunakan koreksi ketinggian tempat. Dalam buku tersebut disebutkan

bahwa untuk mencari h matahari dalam perhitungan waktu shalat cukup

menggunakan data h matahari Maghrib: -1°, h Isya’: -18°, h Subuh: -20° dan

h terbit: -1°. Sedangkan koreksi tinggi tempat digunakan untuk menghitung

waktu Maghrib ketika proses perhitungan awal bulan Komariyah.

6. Shollu

Shollu merupakan program waktu shalat versi 3.08.2, oleh Ebta

Setiawan. Program ini bertujuan memberi peringatan kepada pengguna

komputer bahwa waktu sholat telah tiba atau sebentar lagi tiba. Sehingga

pengguna bisa bersegera untuk mempersiapkan diri untuk menunaikan sholat.

Berbeda dengan versi 2.15 ke bawah, Shollu versi ini menggunakan koordinat

wilayah (garis lintang dan garis bujur), ketinggian dan beberapa kriteria

lainnya. Pengguna hanya perlu setting sekali dan jadwal otomatis akan selalu

update. Shollu dilengkapi dengan wilayah-wilayah di Indonesia dan kota-kota

besar di dunia. Untuk wilayah lainnya bisa download file tambahan, bisa

116

Saadoeddin Djambek, op cit, hlm. 21 117

Muhyiddin Khazin pernah menjabat sebagai tenaga pengajar Ilmu Falak di UIN

(Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kepala Sub Direktorat Pembinaan Syariah

dan Hisab Rukyat pada Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Ditjen Bimas

Islam Kementerian Agama, Ketua Lajnah Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, anggota

Muker dan Raker Badan Hisab Rukyah Kementerian Agama, dll.

Page 81: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

66

dilihat dalam help file. Di samping itu, Shollu memberikan pilihan dalam

setting untuk waktu shalat Ashar, yaitu menggunakan konsep mahdzab

Syafi’i atau menggunakan konsep mahdzab Hanafi. Di dalamnya juga

disediakan kolom penambahan ihtiyat sesuai yang diinginkan user.

Sedangkan untuk waktu Subuh dan Isya’, disediakan beberapa pilihan konsep

penggunaan nilai h matahari. Pengguna juga dapat menginput sendiri nilai h

matahari yang diinginkan. Selain itu, pengguna juga dapat menambah pesan

pengingat sesuai yang diinginkan.

7. Athan

Sebagaimana Shollu, Athan merupakan program waktu shalat yang

digunakan dalam computer sebagai peringatan telah masuk waktu shalat.

Program Athan hanya menyajikan data-data negara saja, sedangkan kita harus

menginput nama kota beserta data lintang, bujur dan penambahan waktu

GMT secara manual. Untuk data ketingian tempat tidak disediakan. Namun,

untuk data h matahari dalam waktu Subuh dan Isya’ diberikan kolom untuk

menginput data berapa nilai h yang ingin digunakan. Selain itu Athan juga

memberikan pilihan untuk menggunakan konsep waktu shalat standar

(mahdzab Syafi’i, Maliki dan Hambali) atau konsep waktu shalat mahdzab

Hanafi. Juga disediakan kolom ihtiyat untuk penambahan waktu shalat

Dzuhur dan Maghrib.

8. Accurate Times

Accurate Times adalah program waktu shalat yang diadopsi oleh

pemerintah Jordania yang ditulis oleh Muhammad Odeh yang merupakan

Page 82: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

67

salah satu anggota Jordanian Astronomical Society (JAS) dan sebagai Wakil

Presiden dari Pengamat Observatorium and Mawaqeet Committee, dari

lembaga Arab Union for Astronomy and Space Sciences (AUASS). Program

Accurate Times tidak hanya menghitung waktu-waktu shalat, namun juga

menyajikan waktu-waktu astronomi, seperti waktu matahari; waktu bulan;

tahap fase bulan; dan juga menghitung arah kiblat dan lain sebagainya.

Accurate Times dapat dikatakan sebagai program waktu shalat yang

paling teliti, karena telah memperhitungkan beberapa koreksi. Untuk h

matahari waktu Subuh dan Isya’ pada umumnya menggunakan 18° di bawah

ufuk. Namun, beberapa negara dapat mengadopsi nilai h matahari yang

diingini seperti -16°, -19° atau -20°. Dalam Accurate Times terdapat kolom

pada location untuk menginput data ketinggian waktu shalat yang diberi

nama elevation dengan satuan meter untuk koreksi tinggi pengamat. Bahkan

didalamnya juga disediakan kolom untuk menginput data suhu tempat yang

berpengaruh pada refraksi. Selain itu, juga terdapat kolom untuk menginput

ihiyat yang akan digunakan oleh user dan dapat memilih menggunakan

konsep standar pada umumnya atau menggunakan konsep waktu shalat

mahdzab Hanafi.

9. Mawaaqit

Software Mawaaqit 2001.06 yang ditulis dalam bahasa program

PASCAL dalam DOS oleh Dr. Ing. Khafid. Program ini ditulis dalam empat

pilihan bahasa, yaitu Inggris, Belanda, Jerman dan Indonesia. Dalam program

ini terdapat beberapa menu utama, yaitu program Al-qur’an, Al-hadis, waktu

Page 83: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

68

shalat dan arah kiblat, kalender, gerhana serta grafik. Pada masing-masing

menu utama terdapat beberapa menu lagi yang berkaitan dengan menu utama

tersebut. Dalam menu waktu shalat dan arah kiblat, salah satunya disajikan

pilihan jadwal waktu shalat untuk satu hari, satu bulan, dan satu tahun.

Meskipun dibuat oleh Dr. Ing. Khafid yang notabenenya seorang ahli geodesi,

namun dalam penentuan lokasi perhitungan tidak memperhitungkan data

ketinggian tempat. Dalam Mawaaqit hanya disediakan nama lokasi yang telah

tersave beserta data lintang, bujur dan zona waktunya. Sedangkan untuk

koreksi tinggi tempat dan pengamat tidak diperhitungkan.

Meskipun demikian, Mawaaqit memberikan pilihan untuk menginput

h matahari yang akan digunakan dalam perhitungan shalat Subuh dan Isya’.

Sedangkan untuk shalat Ashar user dapat memilih 3 opsi, yaitu konsep waktu

Ashar mahdzab Syafi’i, konsep waktu Ashar mahdzab Hanafi, atau konsep

pengambilan nilai tengah antara Dzuhur dan Maghrib.

C. Formulasi Koreksi Ketinggian Tempat dalam Kerendahan Ufuk/Dip

Selain perbedaan penggunaan data ketinggian tempat, dari beberapa

literatur penulis juga menemukan perbedaan penggunaan formulasi untuk koreksi

pengaruh ketinggian tempat itu sendiri. Mereka yang tidak menggunakan koreksi

ketingggian tempat, menggunakan tinggi matahari untuk waktu Maghrib -1°,

waktu Isya’ -18°, dan untuk waktu Subuh -20°. Sedangkan literatur lain

Page 84: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

69

memperhitungkan ketinggian tempat dengan menggunakan beberapa formulasi,

yaitu118

:

1. Dip/ ku: 1.76√ h (meter)

Formulasi ini yang digunakan oleh sebagian besar ahli falak yang

menggunakan koreksi ketinggian tempat, salah satuya ialah Slamet Hambali yang

mengambil formulasi rumus ini dari Almanak Nautika. 119

2. Dip/ ku: 0.0293 √ h (meter)

Formulasi ini merupakan bentuk decimal dari 1.76√ h, yakni ku:

0.0293 √ h. Uzal Syahruna seperti dalam materinya Perhitungan Awal Waktu

Shalat120

, dalam mencari ku lebih memilih menggunakan rumus ini.

3. Dip/ku: 0,97 √h feet atau 1,757√h meter

Dalam buku Ilmu Falak; Penetapan Awal Waktu Shalat dan Kiblat

oleh Muchtar Salimi dijelaskan bahwa Dip dapat dihitung dengan rumus Dip

= 0,97 √h feet atau 1,757√h meter.121

4. Dip/ ku: √3,2 h

Abdur Rachim dalam bukunya Ilmu Falak122:menetapkan rumus

kerendahan ufuk ini berdasarkan turunan rumus yang bermula dari rumus

pitagoras, yaitu:

118

Masing-masing formulasi menghasilkan nilai dip/ku yang bersatuan menit derajat 119

Almanak Nautika, Jakarta: TNI-AL Dinas Hidro Oseanografi, 1995, hlm. 259 120

Materi Perhitungan Waktu Shalat, yang disampaikan oleh Uzal Syahruna 121

Muchtar Salimi, Ilmu Falak; Peenetapan Awal Waktu,Shalat dan Arah Kiblat,

Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1997, hlm. 41 122

Abdur Rachim, op cit, hlm.33

Page 85: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

70

h d

Gambar 2. Sudut dari dip/kerendahan ufuk

Bumi dengan ketinggian tempat ditulis dengan R + h. Garis pusat

bumi yang ditarik lurus hingga ellipsoid (R), dengan garis siku horizontal dari

garis perpanjangan dari garis pusat bumi (R + h), serta garis kerendahan ufuk

(d) membentuk segitiga siku-siku dengan garis (R + h) sebagai garis miring.

Maka dari itu, untuk mencari d :

d = √(R + h)2 − R

2

= √ R2 + 2Rh + h

2 − R

2

= √ 2Rh + h2

Karena panjang R dikira-kirakan sekitar 6.000 km, dan h biasanya

hanya berjumlah beberapa meter saja, maka dalam bentuk √ 2Rh + h2, jumlah

h2

dapat diabaikan, sehingga:

d = √ 2Rh

2R merupakan bilangan tetap yang bernilai kira-kira 12.000 km. Jika bilangan

h yang dinyatakan dengan meter kita pindahkan menjadi bilangan km juga,

maka kita memperoleh:

d = √12h

Z

R

O

R

D

N

Page 86: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

71

a h

A

a

Ho a

B

Artinya, d adalah besar jarak dari mata kita hingga ke kaki langit atau

ufuk dalam satuan kilometer. Sedangkan untuk mengetahui jumlah

kerendahan ufuk, kita dapat memasukkan angka keliling bumi, yaitu sekitar

1,85 km, maka:

√12h/1,85 = √12h/3,42 = √3,5h

Angka √3,5h ialah angka kerendahan ufuk yang juga refraksi. Maka

untuk mendapatkan angka kerendahan ufuk saja angka tersebut dikurangi

pengaruh refraksi. Oleh karena itu, rumus yang lebih mendekati ialah:123

d = √3,2 h

5. Dip/ku: 0,032° √ℎ

Dalam buku Perbaiki Waktu Shalat dan Arah Kiblatmu!

menggunakan formulasi 0,032° √ℎ untuk mencari nilai kerendahan ufuk.

Berikut ini turunan rumusnya:

Gambar 3. Sudut dari dip/kerendahan ufuk

Cos α = R

R+h atau 1 – 2 sin

2 α

2 =

R

R+h

sin2 α

2 =

h

2(R+h) atau sin

α

2 = √

h2(R+h)

123

Ibid, hlm. 34

H

Page 87: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

72

karena α dan α/2 adalah sudut yang kecil, maka sin α/2 = α/2 rad. Dan

karena h << R, maka R + h ≈ R, sehingga:

α

2 = √

h2R

atau α = √2hR

Jari-jari bumi R = 6,4 x 106 m, dan bila h dinyatakan dalam meter,

maka:124

α = 0,032° √ℎ

Tabel 4. Perubahan arah bidang horizon oleh ketinggian tempat.

h (m) α (°) h (m) α (°) h (m) α (°)

50 0,227 400 0,643 750 0,881

100 0,322 450 0,682 800 0,909

150 0,394 500 0,719 850 0,938

200 0,455 550 0,754 900 0,965

250 0,508 600 0,788 950 0,991

300 0,577 650 0,820 100 1,047

350 0,602 700 0,851

6. Dip/ ku: 1,93√ h

Formula ini disebutkan dalam buku Almanak Hisab Rukyah oleh

Departemen Agama untuk mencari kerendahann ufuk.125

Namun, turunan

rumus ini penulis dapat dari Rinto Anugraha126 dengan penjelasan sebagai

berikut:

Kalau ada ketinggian h, maka jaraknya ke pusat bumi adalah R + h.

R = jari-jari bumi.

Jika sudut kerendahan ufuk sama dengan x, maka ada persamaan

124

Dimsiki Hadi, Perbaiki Waktu Shalat dan Arah Kiblatmu!, Yogyakarta: Madania,

2010, hlm. 100 125

Badan Hisab Rukyat Departemen Agama, op cit, hlm. 118 126

Hasil wawancara via email dengan Dr. Eng. Rinto Anugraha, salah satu pemerhati

ilmu falak, yang juga dosen Fisika UGM, yang aktif menulis di www.eramuslim.org

Page 88: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

73

cos x = R/(R + h) = 1 - h/(R + h).

R + h bisa didekati dengan R, sehingga cosx = 1 - h/R.

Karena x kecil, maka cos x bisa didekati menggunakan deret McLaurin

menjadi

cos x = 1 - 0.5x2 = 1 - h/R

sehingga

x = (2h/R)0.5

Dimasukkan R = 6378000 meter, nanti hasilnya x bersatuan radian. Supaya

bersatuan derajat, dikalikan 180/pi. Jika bersatuan menit busur, dikalikan 60.

Maka hasilnya,

x = 1,93 kali h0.5

atau dip/ku = 1,93√ h

7. Dip/ ku: 0,98√ h

Diambil dari buku Textbook on Sperical Astronomy.127

Buku ini

merupakan buku referensi astronomi yang berisi tentang sesuatu yang

berhubungan dengan fenomena astronomi seperti spherical trigonometry

(mengenai triginometri yang digunakan dalam menghitung tata koordinat),

the celestial sphere (memuat ketinggian benda langit, azimuth, sudut waktu,

dll), refraction (mengenai refraksi), planetry motions (mengenai pergerakan

plenet), time (memuat waktu rata-rata, ephimeris dan universal time,),

planetary phenomena and holiographic co-ordinates (memuat pergerakan

planet dari system geosentri dan heliosentri, inklinasi, posisi sudut matahari),

127

W.M. Smart, op cit, hlm. 318W

Page 89: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

74

O P

C

a

S

h T

φ

T

A

φ

dll. Dalam buku ini dip/ku dijelaskan pada bab Determination of Position at

Sea.

Gambar 4. Sudut dari dip/kerendahan ufuk

OAT = β φ

Kita tahu OAC = 90° − β φ ; AOC = 90° − (θ + β φ); maka:

90° − β φ + 90° − (θ + β φ) + φ = 180°

Dari φ (1 − 2β) = θ

sin (90° − β φ)

𝑎+ℎ =

sin (90° − θ−β φ)

𝑎

Atau 2 sin

θ

2 sin

1

2 (θ+2β φ)

cos (θ+β φ) =

h

𝑎

Karena θ dan φ ialah sudut yang kecil, maka kita dapat menulisnya sebagai

berikut:

θ (θ + 2β φ) = h/𝑎

atau θ2

= 2 (1 − 2β) h/𝑎

masukkan nilai β dan θ dalam bentuk nilai sudut, maka kita mendapat:

θ = √22h13𝑎

cosec 1’

Z T star

H

V

Page 90: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

75

θ = 0,98 (ℎ)1/2 atau θ = 0,98 √ℎ

sekarang 𝑎 = 3960 x 5280 kaki dan cosec 1’ = 3438. Maka kita mendapat

nilai:

D. Data Jadwal Waktu Shalat Beberapa Formulasi Penentuan Awal Waktu

Shalat

Tabel 5. Jadwal Waktu Shalat untuk Semarang Januari 2011

oleh Slamet Hambali untuk kebutuhan Jadwal Imsakiyah Kementerian Agama

Semarang (Lintang: 7o LS, Bujur: 110

o 24' BT, h: 200m dengan

mempertimbangkan batas selatan berupa daerah Jogja yaitu 7°48’ LS )

TGL IMSAK SHUBH TERBT DHUHA DHHUR ASHAR MGHRB ISYAK

1 03.52 04.02 05.22 05.51 11.44 15.11 18.02 19.18

6 03.55 04.05 05.25 05.54 11.47 15.13 18.04 19.20

11 03.58 04.08 05.27 05.56 11.49 15.14 18.06 19.21

16 04.01 04.11 05.30 05.59 11.51 15.15 18.07 19.22

21 04.04 04.14 05.32 06.01 11.52 15.15 18.08 19.22

26 04.07 04.17 05.34 06.03 11.53 15.15 18.09 19.22

Page 91: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

76

1. Posisi Matahari128

ho: -1

Tabel 6. Jadwal Waktu Shalat Markaz Semarang Januari 2011

(Lintang: 7o LS, Bujur: 110

o 24' BT, h: -1)

Tgl Deklinasi Equation

of time

Shubuh

h: -20

Terbit

h: -1

Dzuhur Ashar Maghrib

h: -1

Isya’

h: -18

1. -23o 01' 45" -0

o 3' 18" 4:00:31 5:25:11 11:41:32 15:08:37 17:57:53 19:13:28

2. -22o 56' 45" -0

o 3' 46" 4:01:16 5:25:52 11:42:10 15:08:59 17:58:28 19:14:00

3. -22o 51' 16" -0

o 4' 14" 4:01:51 5:26:23 11:42:38 15:09:21 17:58:53 19:14:21

4. -22o 45' 21" -0

o 4' 41" 4:02:26 5:26:54 11:43:05 15:09:42 17:59:16 19:14:41

5. -22o 38' 59" -0

o 5' 08" 4:03:01 5:27:25 11:43:32 15:10:02 17:59:39 19:15:00

6. -22o 32' 09" -0

o 5' 35" 4:03:38 5:27:56 11:43:59 15:10:21 18:00:02 19:15:19

7. -22o 24' 53" -0

o 6' 01" 4:04:13 5:28:26 11:44:25 15:10:39 18:00:24 19:15:26

8. -22o 17' 10" -0

o 6' 27" 4:04:49 5:28:55 11:44:51 15:10:57 18:00:45 19:15:52

9. -22o 09' 01" -0

o 6' 52" 4:05:25 5:29:27 11:45:16 15:11:12 18:01:05 19:16:07

10. -22o 00' 27" -0

o 7' 17" 4:06:01 5:29:57 11:45:41 15:11:28 18:01:25 19:16:22

11. -21o 51' 26" -0

o 7' 42" 4:06:38 5:30:27 11:46:06 15:11:42 18:01:45 19:16:39

12. -21o 41' 60" -0

o 8' 05" 4:07:13 5:30:56 11:46:29 15:11:55 18:02:02 19:16:47

13. -21o 32' 09" -0

o 8' 28" 4:07:48 5:31:25 11:46:52 15:12:08 18:02:19 19:16:59

14. -21o 21' 52" -0

o 8' 51" 4:08:24 5:31:54 11:47:15 15:12:17 18:02:36 19:17:10

15. -21o 11' 12" -0

o 9' 13" 4:08:59 5:32:23 11:47:37 15:12:27 18:02:51 19:17:19

16. -21o 00' 06" -0

o 9' 34" 4:09:35 5:32:50 11:47:58 15:12:35 18:03:06 19:17:27

17. -20o 48' 37" -0

o 9' 54" 4:10:09 5:33:17 11:48:18 15:12:41 18:03:19 19:17:34

18. -20o 36' 44" -0

o 10' 14" 4:10:43 5:33:44 11:48:38 15:12:47 18:03:32 19:17:40

19. -20o 24' 28" -0

o 10' 33" 4:11:18 5:34:11 11:48:58 15:12:52 18:03:45 19:17:46

20. -20 o 11'49" -0

o 10' 51" 4:11:51 5:34:36 11:49:15 15:12:53 18:03:54 19:17:49

21. -19O 58'47" -0

o 11' 09" 4:12:24 5:35:01 11:49:33 15:12:55 18:04:05 19:17:52

22. -19o 45'22" -0

o 11' 26" 4:12:57 5:35:26 11:49:50 15:12:55 18:04:14 19:17:54

23. -19o 31' 36" -0

o 11'42" 4:13:29 5:35:50 11:50:06 15:12:54 18:04:22 19:17:55

24. -19o 17' 27" -0

o 11' 57" 4:14:01 5:36:13 11:50:21 15:12:51 18:04:29 19:17:55

25. -19o 02' 58" -0

o 12' 12" 4:14:32 5:36:37 11:50:36 15:12:46 18:04:35 19:17:54

26. -18o 48' 07" -0

o 12' 26" 4:15:04 5:37:08 11:50:50 15:12:41 18:04:41 19:17:52

27. -18o 32' 55" -0

o 12' 39" 4:15:34 5:37:21 11:51:03 15:12:34 18:04:45 19:17:49

28. -18o 17' 23" -0

o 12' 51" 4:16:03 5:37:42 11:51:15 15:12:26 18:04:48 19:17:44

29. -18o 01' 32" -0

o 13' 02" 4:16:31 5:38:01 11:51:25 15:12:14 18:04:49 19:17:38

30. -17o 45' 20" -0

o 13' 13" 4:17:01 5:38:22 11:51:37 15:12:04 18:04:52 19:17:33

31. -17o 28' 50" -0

o 13' 22" 4:17:28 5:38:40 11:51:46 15:11:50 18:04:52 19:17:25

128

Jadwal waktu shalat yang tidak menggunakan koreksi ketinggian tempat, tapi

menggunakan posisi matahari rata-rata terbenam

Page 92: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

77

2. Komparasi Waktu Maghrib Wilayah Semarang

Tabel 7. Komparasi Jadwal Waktu Shalat Maghrib Markaz Semarang Januari

2011 untuk Berberapa Ketinggian Tempat (Lintang: 7o LS, Bujur: 110

o 24' BT)

Tgl Maghrib

h: -1

Maghrib

h: 100m

Maghrib

h: 200m

Maghrib

h: 300m

Maghrib

h: 400m

Maghrib

h: 500m

Maghrib

h: 600m

Maghrib

h: 700m

1. 17:57:53 17:58:34 17:58:59 17:59:23 17:59:43 18:00:02 18:00:19 18:00:34

2. 17:58:28 17:59:09 17:59:34 17:59:58 18:00:19 18:00:37 18:00:53 18:01:09

3. 17:58:53 17:59:34 17:59:58 18:00:23 18:00:43 18:01:02 18:01:18 18:01:33

4. 17:59:16 17:59:57 18:00:21 18:00:46 18:01:07 18:01:25 18:01:41 18:01:56

5. 17:59:39 18:00:20 18:00:45 18:01:09 18:01:30 18:01:48 18:02:04 18:02:19

6. 18:00:02 18:00:43 18:01:07 18:01:32 18:01:52 18:02:11 18:02:27 18:02:42

7. 18:00:24 18:01:09 18:01:29 18:01:53 18:02:14 18:02:32 18:02:48 18:03:04

8. 18:00:45 18:01:26 18:01:50 18:02:14 18:02:35 18:02:53 18:03:10 18:03:25

9. 18:01:05 18:01:46 18:02:10 18:02:34 18:02:55 18:03:13 18:03:30 18:03:45

10. 18:01:25 18:02:06 18:02:30 18:02:54 18:03:15 18:03:32 18:03:49 18:04:04

11. 18:01:45 18:02:25 18:02:49 18:03:16 18:03:34 18:03:52 18:04:09 18:04:23

12. 18:02:02 18:02:42 18:03:07 18:03:33 18:03:51 18:04:09 18:04:26 18:04:41

13. 18:02:19 18:02:59 18:03:24 18:03:50 18:04:08 18:04:26 18:04:43 18:04:57

14. 18:02:36 18:03:16 18:03:40 18:04:07 18:04:25 18:04:43 18:04:59 18:05:14

15. 18:02:51 18:03:32 18:03:56 18:04:20 18:04:40 18:04:59 18:05:15 18:05:30

16. 18:03:06 18:03:46 18:04:10 18:04:34 18:04:55 18:05:13 18:05:29 18:05:44

17. 18:03:19 18:03:59 18:04:23 18:04:48 18:05:08 18:05:26 18:05:42 18:05:57

18. 18:03:32 18:04:12 18:04:26 18:05:00 18:05:21 18:05:39 18:05:55 18:06:10

19. 18:03:45 18:04:25 18:04:49 18:05:14 18:05:33 18:05:51 18:06:07 18:06:22

20. 18:03:54 18:04:34 18:04:58 18:05:22 18:05:43 18:06:01 18:06:17 18:06:31

21. 18:04:05 18:05:02 18:05:09 18:05:33 18:05:53 18:06:11 18:06:27 18:06:42

22. 18:04:14 18:04:54 18:05:17 18:05:42 18:06:02 18:06:20 18:06:36 18:06:51

23. 18:04:22 18:05:10 18:05:26 18:05:50 18:06:10 18:06:28 18:06:44 18:06:59

24. 18:04:29 18:05:08 18:05:32 18:05:56 18:06:16 18:06:34 18:06:50 18:07:05

25. 18:04:35 18:05:15 18:05:39 18:06:03 18:06:23 18:06:41 18:06:57 18:07:12

26. 18:04:41 18:05:20 18:05:44 18:06:08 18:06:28 18:06:46 18:07:02 18:07:17

27. 18:04:45 18:05:25 18:05:48 18:06:12 18:06:32 18:06:50 18:07:06 18:07:21

28. 18:04:48 18:05:28 18:05:51 18:06:15 18:06:35 18:06:53 18:07:09 18:07:24

29. 18:04:49 18:05:29 18:05:52 18:06:16 18:06:36 18:06:54 18:07:10 18:07:24

30. 18:04:52 18:06:06 18:05:55 18:06:18 18:06:39 18:06:56 18:07:12 18:07:26

31. 18:04:52 18:06:05 18:05:54 18:06:18 18:06:38 18:06:56 18:07:12 18:07:26

Page 93: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

78

3. Komparasi Waktu Isya’ Wilayah Semarang

Tabel 8. Komparasi Jadwal Waktu Shalat Isya’ Markaz Semarang Januari 2011

Untuk Beberapa Ketinggian Tempat (Lintang: 7o LS, Bujur: 110

o 24' BT)

Tgl

Isya’

h: -1

Isya’

h: 100m

Isya’

h: 200m

Isya’

h: 300m

Isya’

h: 400m

Isya’

h: 500m

1. 19:13:28 19:14:02 19:14:36 19:15:01 19:15:22 19:15:41

6. 19:15:19 19:15:53 19:16:26 19:16:51 19:17:12 19:17:31

11. 19:16:39 19:17:10 19:17:43 19:18:08 19:18:28 19:18:48

16. 19:17:27 19:18:01 19:18:34 19:18:58 19:19:19 19:19:38

21. 19:17:52 19:18:26 19:18:58 19:19:23 19:19:43 19:20:02

26. 19:17:52 19:18:25 19:18:57 19:19:21 19:19:42 19:20:00

31. 19:17:25 19:18:58 19:18:29 19:18:53 19:19:14 19:19:32

Tgl

Isya’

h: -1

Isya’

h: 600m

Isya’

h: 700m

Isya’

h: 800m

Isya’

h: 900m

Isya’

h: 1000m

1. 19:13:28 19:15:58 19:16:14 19:16:29 19:16:42 19:16:55

6. 19:15:19 19:17:47 19:18:03 19:18:18 19:18:31 19:18:44

11. 19:16:39 19:19:04 19:19:20 19:19:34 19:19:48 19:20:01

16. 19:17:27 19:19:55 19:20:10 19:20:24 19:20:37 19:20:50

21. 19:17:52 19:20:18 19:20:33 19:20:48 19:21:01 19:21:14

26. 19:17:52 19:20:16 19:20:31 19:20:46 19:20:58 19:21:11

31. 19:17:25 19:19:48 19:20:03 19:20:16 19:20:30 19:20:42

Page 94: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

79

4. Komparasi Waktu Subuh Wilayah Semarang

Tabel 9. Komparasi Jadwal Waktu Shalat Subuh Markaz Semarang Januari 2011

Untuk Beberapa Ketinggian Tempat (Lintang: 7o LS, Bujur: 110

o 24' BT)

Tgl Subuh

h: -1

Subuh

h: 100m

Subuh

h: 200m

Subuh

h: 300m

Subuh

h: 400m

Subuh

h: 500m

1. 4:00:31 3:59:57 3:59:23 3:58:58 3:58:36 3:58:18

6. 4:03:38 4:03:03 4:02:30 4:02:05 4:01:43 4:01:25

11. 4:06:38 4:06:03 4:05:31 4:05:06 4:04:44 4:04:26

16. 4:09:35 4:09:01 4:08:28 4:08:03 4:07:42 4:07:23

21. 4:12:24 4:11:51 4:11:18 4:10:54 4:10:33 4:10:14

26. 4:15:04 4:14:31 4:13:59 4:13:34 4:13:13 4:12:55

31. 4:17:28 4:16:55 4:16:24 4:15:59 4:15:39 4:15:21

Tgl

Subuh

h: -1

Subuh

h: 600m

Subuh

h: 700m

Subuh

h: 800m

Subuh

h: 900m

Subuh

h: 1000m

1. 4:00:31 3:58:00 3:57:45 3:57:30 3:57:16 3:57:03

6. 4:03:38 4:01:08 4:00:52 4:00:37 4:00:24 4:00:11

11. 4:06:38 4:04:09 4:03:53 4:03:39 4:02:47 4:03:12

16. 4:09:35 4:07:07 4:06:51 4:06:37 4:05:46 4:06:11

21. 4:12:24 4:09:58 4:09:43 4:09:28 4:09:15 4:09:02

26. 4:15:04 4:12:39 4:12:24 4:12:10 4:11:56 4:11:44

31. 4:17:28 4:15:05 4:14:50 4:14:36 4:14:22 4:14:10

Page 95: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

80

BAB IV

ANALISIS TERHADAP URGENSI KETINGGIAN TEMPAT DALAM

FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT

A. Analisis Urgensi Ketinggian Tempat dalam Formulasi Penentuan Awal

Waktu Shalat

Dari beberapa data pada Bab III menunjukkan beraneka macam

penggunaan data ketinggian tempat oleh para ahli falak. Perbedaan respon dan

penggunaan data ketinggian tempat tersebut dikarenakan ada pendapat yang

menganggap ketinggian tempat tidak berpengaruh pada waktu shalat, sehingga

ketinggian tempat dianggap menjadi tidak urgensi dalam formulasi penentuan

awal waktu shalat. Oleh karena itu, untuk mengetahui urgensi tidaknya ketinggian

tempat dalam formulasi penentuan awal waktu shalat, penulis mencoba

menelusurinya dari pengaruh ketinggian tempat dalam waktu shalat.

Secara astronomi, ketinggian tempat mempengaruhi atmospheric

extinction, yaitu pengurangan kecerahan suatu benda langit sebagai foton benda

langit tersebut untuk menembus atmosfer kita. Efek dari atmospheric extinction

ini tergantung pada transparasi, ketinggian pengamat, dan sudut puncak (sudut

dari puncak untuk satu baris dari penglihatan). Ketika sudut puncak meningkat,

cahaya dari objek bintang harus melalui suasana yang lebih, sehingga mengurangi

Page 96: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

81

kecerahan. Oleh karena itu, bintang dekat zenit terlihat lebih terang daripada saat

mendekati horizon.129

Ada tiga faktor yang dapat dipertimbangkan untuk menilai secara

kuantitatif dampak atmospheric extinction. Salah satunya adalah penyerapan

Molekuler, terutama disebabkan ozon atmosfer dan air, yaitu sekitar 0,02 besarnya

per massa udara.130

Pengukuran menunjukkan bahwa konsentrasi ozon meningkat

dengan ketinggian dan mencapai maksimum di sekitar ketinggian 25 km,

kemudian turun dengan jumlah yang kecil pada ketinggian 50 km. Sedangkan

konsentrasi uap air berkurang (turun) terhadap ketinggian.131

Sebagai sinar perjalanan cahaya dari lapisan ke lapisan, cahaya tersebut

bergerak dengan udara pada ketinggian yang berbeda bergerak dalam arah yang

berbeda pada berbagai kecepatan. Sinar yang melewati lapisan dibiaskan dengan

jumlah yang terus berubah. Pada rentang waktu puluhan milidetik, posisi bintang

akan berubah oleh pecahan detik derajat.132

Sehingga, pada saat mencapai tanah,

sinar mungkin telah bergeser ke posisi yang sedikit berbeda dan kecerahannya pun

berkurang. Oleh karena itu, observatorium gunung mempunyai atmospheric

extinction yang lebih kecil. Begitu pula atmospheric extinction di musim dingin

lebih kecil daripada di musim panas karena atmosfer sedikit air.

129

http://www.asterism.org/tutorials/tut28-1.htm yang diakases pada tanggal 16 Maret

2011, situs ini disarankan oleh Hendro Setyanto dari hasil wawancara penulis via facebook pada

tanggal 1 Maret 2011 130

Ibid 131

Bayong Tjasyono, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Catatan Kuliah; GM-322

Meteorologi Fisis, Bandung: Penerbit ITB, 2001, hlm 1.3 132

http://spiff.rit.edu/classes/phys559/lectures/atmos/atmos.html yang diakses pada

tanggal 26 Maret 2011

Page 97: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

82

Extinction ini menjadi signifikan ketika ketinggian suatu benda langit,

(dalam hal ini yang dimaksud adalah matahari) lebih rendah dari sekitar 45o.

Apabila posisi tersebut diamati di permukaan laut, kepunahan puncaknya sekitar

0,28 magnitudo. Sedangkan jika suatu benda langit pada ketinggian 12,5o,

kepunahan adalah 1,28 magnitudo, meningkat sebesar 1,00 magnitudo lebih besar

dari puncak pada saat 45o. Efeknya menjadi jauh lebih dramatis di ketinggian

rendah bahkan di cakrawala, efek besarnya adalah 11,2 magnitudo.133

Di samping itu, ketinggian suatu tempat juga ada kaitannya dengan

refraksi. Bila sinar cahaya lewat dari ruang hampa angkasa antar bintang ke dalam

atmosfer, maka kecepatannya berkurang. Perbandingan kecepatan sinar dalam

ruang hampa dengan kecepatan sinar dalam ruang medium disebut indeks refraksi

(indeks bias). Indeks refraksi atmosfer dapat dihitung berdasarkan ketinggian,

karena tekanan barometric dan tekanan parsial uap air lebih cepat dibandingkan

dengan temperatur udara. Penurunan indeks refraksi menyebabkan kenaikan

kecepatan penjalaran gelombang dengan ketinggian, sehingga sinar dibelokkan ke

bawah.134

Namun, dari kedua point tersebut; atmospheric extinction dan refraksi;

menurut penulis ketinggian tempat besar pengaruhnya pada kerendahan ufuk

133

Op cit, http://www.asterism.org/tutorials/tut28-1.htm. Selain mengurangi kecerahan,

atmospheric extinction juga menyebabkan memerahnya suatu bintang. Fenomena ini terkait

dengan extinction (kepunahan) antar bintang di mana spektrum radiasi elektromagnetik dari

sumber radiasi mengubah karakteristik dari objek yang awalnya dipancarkan. Matahari biasanya

menjadi redup pada panjang gelombang pendek dengan terangnya tersebar di langit latar depan,

dan cahaya ditransmisikan sehingga yang tersisa dan tampak adalah cahaya merah. Memerah ini

terjadi karena hamburan Rayleigh mempengaruhi cahaya biru sehingga sudut zenith meningkatkan

ada kemerahan yang sesuai dari objek bintang. Inilah yang menjadikan matahari ataupun bulan

tampak merah ketika senja dan pagi hari. Lihat pada http://mintaka.sdsu.edu/GF/

explain/extinction/extintro.html yang diakses pada tanggal 27 Maret 2011 134

Bayong Tjasyono, op cit, hlm. V.8 – V.11

Page 98: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

83

pengamat. Kerendahan ufuk atau ikhtilaful ufuq ialah perbedaan kedudukan antara

ufuk hakiki (ufuk yang sebenarnya) dengan ufuk mar’i (ufuk yang terlihat) oleh

seorang pengamat.

Dalam suatu pengamatan, kedudukan atau arah bidang horizon bagi

pengamat di muka laut berbeda dengan kedudukan atau arah horizon bagi

pengamat di tempat yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan bumi dianggap

berbentuk bulat.135

Bila tinggi suatu benda langit diamati pada ketinggian tertentu

di atas permukaan air laut, maka tinggi benda langit yang terlihat tersebut adalah

tinggi dari horizon pengamat (ufuk mar’i), bukan horizon hakiki. Horizon hakiki

adalah suatu bidang yang melalui titik pusat bumi dan tegak lurus pada garis

vertikal.136

Saat kita berdiri di atas bumi, maka letak mata kita tidak pernah tepat pada

permukaan bumi, akan tetapi senantiasa pada jarak tertentu di atasnya. Oleh

karena itu, setiap pengamat yang mengamati benda-benda langit termasuk

matahari dan bulan, matanya tidak akan tepat di permukaan bumi maupun di

permukaan laut, melainkan pada ketinggian tertentu di atas benda langit tersebut.

Jika dari pengamat ditarik garis lurus sejajar dengan bidang horizon, maka

garis atau bidang ini yang disebut dengan ufuk hakiki yang berjarak 90° dari

zenith. Sedangkan ufuk yang terlihat dan tampak di lapangan merupakan batas

persinggungan antara pandangan mata dengan permukaan bumi atau permukaan

laut. Garis lurus yang ditarik dari batas persinggungan ini yang disebut dengan

ufuk mar’i. Maka dari itu, ufuk mar’i lebih rendah daripada ufuk hakiki. Perbedaan

135

Dimsiki Hadi, op cit, hlm. 99 136

Abdr Rachim, Op cit, hlm. 29

Page 99: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

84

ini lah yang dinamakan kerendahan ufuk, atau dalam istilah astronomi dikenal

dengan dip.

Dip atau kerendahan ufuk ini sangat dipengaruhi oleh ketinggian tempat.

Semakin tinggi kedudukan mata kita, semakin besar nilai kerendahan ufuk.

Sehingga, tempat yang berada lebih tinggi akan menyaksikan benda langit terbit

lebih awal serta melihat benda langit terbenam lebih akhir, dibandingkan dengan

tempat yang lebih rendah. Koreksi kerendahan ufuk yang dipengaruhi oleh

ketinggian tempat adalah untuk koreksi jika tinggi matahari kurang dari 10°, lebih

dari nilai tersebut, koreksi dapat diabaikan saja, sebagaimana dalam Almanak

Nautika:137

An additional correction, given on page A4, is required for the change in

the refraction, due to variations of pressure and temperature from the

adopted standar conditions; it may generally be ignore for altitudes greater

than 10°.

Dari beberapa keterangan tersebut, maka menurut penulis ketinggian

tempat berpengaruh pada kerendahan ufuk yang teramati, selanjutnya berdampak

pada posisi matahari yang teramati kemudian juga mempengaruhi sudut waktu

matahari. Sebagai konsekuensinya, maka ketinggian tempat dikatakan

mempengaruhi jadwal waktu shalat, yaitu waktu-waktu yang berhubungan dengan

kerendahan ufuk dengan ketinggian matahari kurang dari 10° yakni waktu

Maghrib, waktu Isya’ dan waktu Subuh serta waktu terbit sebagai akhir waktu

Subuh.

Dari beberapa perhitungan penulis menunjukkan bahwa pengaruh

ketinggian tempat dalam waktu shalat tidak linear. Sehingga pengaruh tersebut

137

Almanak Nautika, op cit, hlm. 259

Page 100: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

85

tidak dapat digeneralisir dan dianggap sama besar dengan ketinggian tertentu,

melainkan masing-masing ketinggian tempat mempunyai pengaruh selisih waktu

yang berbeda antar ketinggian. Berdasarkan data perhitungan penentuan waktu

shalat dengan ketinggian tempat, maka penulis menyimpulkan bahwa pengaruh

ketinggian tempat terhadap waktu shalat (dalam suatu wilayah yang sama nilai

lintang dan bujurnya) adalah sebagai berikut:

1. Waktu Maghrib

Waktu Maghrib adalah waktu dimana matahari tenggelam. Dalam

astronomi waktu ini posisi tinggi matahari (ho) diperkirakan sekitar -1° dari

horizon. Ini adalah waktu shalat dimana posisi matahari paling dekat dengan

horizon, sehingga menurut penulis, waktu Maghrib merupakan waktu shalat

yang paling dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Dari hasil perhitungan

penulis, selisih waktu shalat yang menggunakan ho -1° dan waktu shalat yang

menggunakan data ketinggian tempat dengan formulasi 1.76√ℎ adalah

sebagai berikut:138

Tabel 10. Selisih jadwal waktu shalat Maghrib ho: -1°

dengan ho: -( ku + ref + sd)

Ketinggian

pengamat (meter)

Selisih (menit)

50 0,18

75 0,38

100 0,68

150 0,85

200 1,08

138 Serupa dengan tabel Daftar Koreksi Pengamat menurut Sa’aduddin Djambek, tabel

tersebut juga berdasarkan ketinggian daerah sekeliling hingga kaki langit atau ufuk. Namun jika

dibandingkan dengan tabel yang disajikan oleh Sa’aduddin Djambek, tabel selisih waktu untuk

koreksi ketinggian tempat ini agak berbeda. Sedikit perbedaan ini dikarenakan pembulatan dua

angka di belakang koma. Selain pembulatan koma, tabel daftar koreksi oleh Djambek hanya untuk

waktu syuruq dan ghurub saja.

Page 101: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

86

250 1,3

300 1,5

400 1,85

500 2,15

600 2,42

700 2,67

800 2,92

900 3,13

1000 3,35

2. Waktu Isya’

Waktu Isya’ diperkirakan waktu dimana posisi ho matahari: -18°

dibawah ufuk. Meskipun telah berada dibawah horizon 18°, menurut penulis

pada posisi ini ketinggian tempat cukup mempengaruhi pengamatan

kerendahan ufuk matahari sehingga mempengaruhi keberadaan sisa-sisa

cahaya yang ada di langit. Dari hasil perhitungan yang membandingkan

waktu shalat yang hanya menggunakan ho -18° dan waktu shalat yang

menggunakan formulasi kerendahan ufuk 1.76√ℎ dengan melibatkan data

ketinggian tempat adalah sebagai berikut:

Tabel 11. Selisih jadwal waktu shalat Isya’ ho: -18°

dengan ho: -( ku + ref + sd) + -17°

Ketinggian

pengamat(meter)

Selisih (menit)

50 0,18

75 0,4

100 0,58

150 0,87

200 1,12

250 1,35

300 1,55

400 1,9

500 2,22

600 2,5

700 2,75

Page 102: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

87

800 3

900 3,23

1000 3,45

3. Waktu Subuh

Waktu Subuh untuk Indonesia sekarang ini masih terdapat perbedaan

dari kalangan ahli falak mengenai ho matahari. Ada yang menyebutkan ho

matahari: -18°, -19°, dan -20°.

Tabel 12. Selisih jadwal waktu shalat Subuh’ ho: -20°

dengan ho: -( ku + ref + sd)+ -20°

Ketinggian

pengamat(meter)

Selisih (menit)

50 - 0,18

75 - 0,4

100 - 0,58

150 - 0,86

200 - 1,12

250 - 1,35

300 - 1,55

400 - 1,9

500 - 2,22

600 - 2,5

700 - 2,76

800 - 3

900 - 3,23

1000 - 3,45

4. Terbit

Sebagaimana waktu Maghrib, waktu terbit matahari juga kurang lebih

berada pada posisi ho: -1° di bawah ufuk. Oleh karena itu, terbit sebagai tanda

berakhirnya waktu Subuh juga terpengaruh dengan ketinggian tempat.

Berkebalikan dengan Maghrib, untuk waktu terbit untuk daerah tinggi akan

menyaksikan terbit lebih dahulu daripada daerah yang lebih rendah. Oleh

karena itu, tempat yang lebih tinggi akan menyaksikan matahari lebih dahulu

terbit dibandingkan dengan tempat yang lebih rendah.

Page 103: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

88

Tabel 13. Selisih jadwal waktu shalat Terbit ho: -1

dengan ho: -( ku + ref + sd)

Ketinggian

pengamat(meter)

Selisih (menit)

50 - 0,18

75 - 0,38

100 - 0,68

150 - 0,85

200 - 1,08

250 - 1,3

300 - 1,5

400 - 1,85

500 - 2,15

600 - 2,42

700 - 2,67

800 - 2,92

900 - 3,13

1000 - 3,35

5. Waktu Dzuhur

Waktu Dzuhur tidak terpengaruh oleh data ketinggian tempat karena

waktu Dzuhur tidak berhubungan dengan ufuk. Waktu Dzuhur adalah waktu

dimana kedudukan matahari sesaat setelah berkulminasi. Waktu ini posisi

matahari hampir 90° dari ufuk. Oleh karena itu waktu Dzuhur tidak

terpengaruh dengan data ketinggian tempat.

6. Waktu Ashar

Waktu Ashar adalah waktu dimana panjang bayang-bayang suatu

benda lebih panjang dari benda yang sebenarnya. Pada saat itu diperkirakan

posisi matahari 45° dari ufuk. Karena posisi tersebut dianggap masih

tergolong tinggi dari ufuk maka pengaruh kerendahan ufuk terlalu kecil atau

dianggap tidak ada. Oleh karena itu, waktu Ashar tidak terpengaruh oleh data

ketinggian tempat.

Page 104: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

89

Dari data tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa ketinggian tempat

berpengaruh pada waktu shalat, yaitu waktu shalat Maghrib, Isya’ dan Subuh.

Karena jelas berpengaruh dalam waktu shalat maka untuk keakurasian waktu

shalat agar seseorang tidak menunaikan shalat sebelum waktunya atau berbuka

puasa sebelum waktunya (terkait waktu Maghrib) maka ketinggian tempat suatu

daerah dinilai sangat urgensi dalam formulasi penentuan awal waktu shalat.

Sebab, sebagaimana dalam surat An Nisa 104, bahwa shalat merupakan ibadah

yang telah ditentukan waktunya sehingga tidak dapat dilakukan sembarang waktu.

B. Analisis Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat yang Ideal Terkait

Formulasi Kerendahan Ufuk Yang Berbeda-Beda

Dari beberapa pendapat ahli falak tentang formulasi waktu shalat dengan

data ketinggian tempat, yaitu dip (0 1.76’ √h) + ref + sd, dip (0,0293 √h) + ref +

sd, dan dip (0,98 √h) + ref + sd ataupun (√3,2 h) + ref + sd, menurut penulis,

semua rumusan tersebut merupakan pendekatan dalam menentukan dip karena

bentuk permukaan bumi yang tidak rata.

Bumi ini sebenarnya bukan berbentuk bulat rapi, melainkan berbentuk

tidak rata. Hal ini dikarenakan pada bentuk permukaan bumi yang berupa dataran

rendah, dataran tinggi, pegunungan, sungai, laut, dan sebagainya. Bentuk bumi

yang tidak rata ini dalam geodesi digambarkan dengan geoid. Geoid adalah

bidang ekipotensial gaya berat buni yang berimpit dengan permukaan laut ideal.

Geoid ini dianggap bentuk yang paling mendekati mean sea level (permukaan laut

rata-rata). Sedangkan rumus-rumus yang ada merupakan rumus dibuat

Page 105: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

90

berdasarkan bentuk ellipsoid bumi, yaitu bentuk pendekatan untuk geoid yang

mana bentuk bumi digambarkan bulat agar memudahkan dalam perumusan suatu

formulasi perhitungan-perhitungan bumi.139

Gambar 5. bumi – geoid – ellipsoid

Gambar 6. garis pendekatan antara topografi bumi, ellipsoid, dan geoid.

Oleh karena itu, menurut penulis, banyaknya formulasi rumus ialah untuk

mendapatkan nilai yang paling mendekati kebenaran mengenai kerendahan ufuk.

Karena pusat dari bumi sendiri yang digunakan untuk pengukuran tinggi tempat

masih berupa pendekatan, belum mencapai nilai mutlak. Dari turunan-turunan

139

Eddy Prahasta, op cit, hlm. 121, juga ada dalam materi power pint Sistem Koordinat

yang disampaikan oleh Arief Laila Nugraha dalam perkuliahan Astronomi Bola di kelas

Konsentrasi Ilmu Falak semester 3.

Page 106: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

91

tersebut dapat kita lihat, bahwa masing-masing formulasi mempunyai pendekatan

yang berbeda-beda.

Dalam buku Ilmu Falak; Teori dan Praktik karya Muhyiddin Khazin ho

Maghrib: -1°, ho Isya’ : -18°, ho Subuh: -20° dan ho Terbit: -1°. ho yang digunakan

oleh Muhyiddin Khazin ini merupakan ho rata-rata matahari yang belum

dicalculation oleh beberapa koreksi, termasuk koreksi tinggi tempat. Slamet

Hambali dan beberapa ahli falak sebagaimana mengutip dari Almanak Nautika,

menggunakan 0° 1’.76√h untuk mencari koreksi ku. Sedangkan Uzal Syahruna

seperti dalam materinya Perhitungan Awal Waktu Shalat, dalam mencari ku lebih

memilih menggunakan bentuk decimal dari 0° 1’.76√h, yakni ku: 0.0293√h.

Sedangkan dalam buku Ilmu Falak; Penetapan Awal Waktu Shalat dan Kiblat

oleh Muchtar Salimi dijelaskan bahwa dip dapat dihitung dengan rumus dip 0,97

√h feet atau 1,757√h meter.

Dari penelusuran penulis, antara formulasi satu dengan yang lain ada

beberapa kemiripan, bahkan menurut penulis satu kesatuan. Sebagaimana formula

yang disuguhkan oleh Textbook on Sperical Astronomy, Rinto Anugroho dan

Astronomy Principles and Practise menurut penulis adalah sama dan satu

kesatuan. Berikut turunan rumus ku yang penulis peroleh dari buku Astronomy

Principles and Practise140

:

140

A.E. Roy, D. Clarke, op cit, hlm. 93-95

Page 107: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

92

D

T’

O

h θ'

T

a’

H H’

Gambar 7. Sudut Dip/kerendahan ufuk

a = a’ – θ

Jari-jari bumi adalah R, maka

CT = CA = R

dan

CO = R + h

Segitiga OTC sama dengan T; ∠HOC = 90°, ∠ TOC = 90° - θ.

Maka,

Sin TOC = cos θ = R

R+h

Tapi θ adalah sudut kecil, maka kita dapat menulis

Cos θ = 1 - 𝜃2

2

R

R+h = 1 -

𝜃2

2

1 - 𝜃2

2 =

R

R+h

C

Ro

Ro

A

a

θ

Z X

Page 108: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

93

𝜃2

2 =

R+h

R+h -

R

R+h =

h

R+h ′

θ = √2h

R+h

karena h sanagat kecil dibanding R, maka kita dapat menulis:

θ =√2hR

radian

untuk mengganti satuan radian menjadi derajat, maka untuk 1 radian: 3438,

yaitu 57.32 x 60, menjadi:

θ = 3438 √2hR

kemudian dimasukkan nilai R: 6372 x 106 menjadi:

θ = 1,93’ √ℎ

itu jika h berupa meter, sedangkan jika h berupa satuan feet (kaki), maka:

θ = 1,06’ √ℎ

apabila dimasukkan nilai refraksi maka nilainya berkurang menjadi:

θ = 1,78’ √ℎ menit

untuk h berupa meter, sedangkan h berupa feet, maka:

θ = 0,98’ √ℎ menit

Sebagaimana yang penulis kutip dari buku Astronomy Principles and

Practise, yaitu:141

When refraction is taken into account, the path of ray from the horizon at

T’ is cured as shown and therefore appears to come from a direction OD,

so that the distance to the horizon is greater and the angel of dip is less.

141

Ibid

Page 109: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

94

Dari turunan tersebut dapat dilihat bahwa hampir keseluruhan formulasi

ada persamaan dengan beberapa rumus di atas. Dip/ku yang digunakan Rinto

Anugraha, yaitu 1,93√ℎ adalah dip/ku yang belum menggunakan koreksi refraksi

di dalamnya, dan h dalam formulasi ini bersatuan meter. Untuk formulasi dip/ku

yang telah menggunakan refraksi seperti Textbook on Sperical Astronomy 0.98√ℎ

adalah h bersatuan feet. Sedangkan formulasi yang digunakan Slamet Hambali,

1,76√ℎ merupakan bentuk formulasi yang telah memakai koreksi refraksi di

dalamnya dan h bersatuan meter. Perbedaan dua angka di belakang koma dari

yang digunakan dan ini hampir sama dengan yang digunakan oleh Muchtar

Salimi, yaitu 0,97√ℎ feet dan 1,767√ℎ meter menurut penulis karena pembulatan.

Berbeda-bedanya formulasi dip/ku tersebut selain karena penggunaan

refraksi, juga dipengaruhi oleh penggunaan data R. Formulasi yang memakai

tinggi tempat berupa feet sebagaimana dalam buku Textbook on Sperical

Astronomy menggunakan R: 3960 x 5280 feet, sedangkan Rinto Anugraha

menggunakan R: 6378000 meter dan buku Astronomy Principles and Practise

menggunakan R: 6.372 x 106. Meskipun Rinto Anugraha dan Astronomy

Principles and Practise berbeda mengunakan R, tapi formulasinya sama karena

pembulatan di belakang koma.

Sementara itu, Damsiki Hadi yang merupakan mantan Ketua Jurusan

FMIPA Fisika UGM Yogyakarta, dalam bukunya Perbaiki Waktu Shalat dan

Arah Kiblatmu! menggunakan formulasi 0,032° √ℎ. Formulasi tersebut ia juga

menggunakan rumus trigonometri dengan penggunaan data R = 6,4 x 106 m.

Page 110: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

95

Berbeda dengan Abdur Rachim, ia mempunyai sedikit perbedaan

ketentuan dalam mencari dip/ku. Abdur Rachim mempunyai rumus sendiri yaitu

dalam bukunya Ilmu Falak, dijelaskan bahwa ku mar’i dapat diketahui dengan

rumus √3,2 h. Abdur Rachim mendapatkan nilai tersebut menggunakan

pendekatan rumus pitagoras dari segitiga siku-siku untuk menggambarkan titik-

titik antara pusat bumi, tinggi tempat dan ufuk. Sedangkan Rinto Anugraha, buku

Textbook on Sperical Astronomy, dan Astronomy Principles and Practise

ketiganya menggunakan pendekatan rumus trigonometri. Dalam penggunaan data

R Abdr Rachim juga berbeda, yaitu dengan R: 6000 km.

Dari penulusuran penulis tersebut, penulis beranggapan bahwa rumus yang

digunakan oleh Abdr Rachim merupakan rumus paling sederhana karena masih

menggunakan rumus bidang segitiga siku-siku dan memakai data R: 6000 km.

Sedangkan ketiga formulasi (Rinto Anugraha, buku Textbook on Sperical

Astronomy, dan Astronomy Principles and Practise) telah menggunakan

pendekatan deret Mc.Laurin; yaitu deret yang biasa digunakan untuk

memperhitungkan garis lengkung dengan perhitungan dari beberapa perpotongan

garis; yang digunakan untuk menghitung garis lengkung antara pengamat dengan

ufuk.

Dari turunan tersebut, maka penulis menarik kesimpulan bahwa pada

dasarnya formulasi mencari dip/ku yang digunakan Textbook on Sperical

Astronomy, Muchtar Salimi, Slamet Hambali, Uzal Syahruna, Rinto Anugroho

dan Astronomy Principles and Practise adalah sama, hanya berbeda penggunaan

dan pembulatan saja.

Page 111: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

96

Dalam hal ini menurut penulis tidak ada larangan untuk memilih salah satu

formulasi dalam perhitungan penentuan waktu shalat. Sebab, selisih waktu shalat

yang dihasilkan dari beberapa formulasi tersebut tidak banyak, hanya sekian detik

saja. Hal ini dapat dipahami dari tabel berikut ini:

Tabel 14. Komparasi Formulasi ku142

Waktu Shalat Asal ho 1.76 √𝒉

(m)

1.93√𝒉

(m)

0.98 √𝒉

(ft) √𝟑.𝟐𝒉

(m)

0.032√𝒉

(m)

1.67 √𝒉

(ft)

Maghrib 17:58:03 17:58:41 17:58:48 17:57:47 17:58:42 17:58:48 17:58:48

Isya 19:13:38 19:14:17 19:14:25 19:13:22 19:14:18 19:14:24 19:14:24

Subuh 04:00:41 04:00:02 03:59:54 04:00:58 04:00:01 03:59:55 03:59:55

Dhuhur 11:41:42 11:41:42 11:41:42 11:41:42 11:41:42 11:41:42 11:41:42

Ashar 15:12:50 15:12:50 15:12:50 15:12:50 15:12:50 15:12:50 15:12:50

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa selisih antara formulasi jika

dibandingkan dengan tinggi matahari yang tidak menggunakan koreksi ketinggian

tempat (Maghrib ho-1, Isya’ ho-18, Subuh ho-20) hanya sekian detik, yaitu:

Tabel 15. Daftar Selisih Antar Formulasi – Tinggi Matahari Tanpa Koreksi

Waktu Shalat 1.76 √𝒉 (m) Asal ho 1.93√𝒉 (m) √𝟑.𝟐𝒉 (m) 0.032√𝒉 (m)

Maghrib 17:58:41 -38 d 7

d 1

d 7

d

Isya 19:14:17 -39 d 8

d 1

d 7

d

Subuh 04:00:02 39 d -8

d -1

d -7

d

Waktu Shalat 0.98 √𝒉 (ft) Asal ho 1.67 √𝒉 (ft)

Maghrib 17:57:47 16 d 1

m 1

d

Isya 19:13:22 16 d 1

m 2

d

Subuh 04:00:58 -17 d

-1m 3

d

Meskipun tidak ada larangan dalam penggunaan formulasi, namun

menurut penulis formulasi waktu shalat yang paling ideal adalah formulasi yang

142

Data ini menggunakan h 100 meter (30,48 feet), dan menggunakan data ephemeris

pada tanggal 1 Januari 2011

Page 112: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

97

di dalamnya terdapat koreksi kerendahan ufuk dengan penggunaan data

ketinggian tempat dan rumus ku sebagai berikut: - (ku + ref + sd) dengan dip/ku:

1,76 √ℎ (meter) atau 0.98√ℎ. Karena pada formulasi tersebut telah ada koreksi

refraksi, maka ku disini menggunakan ku yang di dalamnya belum ada koreksi

refraksinya. Jika kita menggunakan ku: 1,93√ℎ (meter) atau dip/ku: 1,06√ℎ (feet)

maka kita tidak perlu menambah data refraksi di dalamnya.

C. Analisis Penggunaan Waktu Ihtiyat untuk Mengatasi Pengaruh Ketinggian

Tempat dalam Penyajian Jadwal Waktu Shalat yang Ideal.

Pengaruh ketinggian tempat dalam waktu shalat membuat jadwal waktu

shalat antara daerah satu dengan daerah lainnya berbeda-beda. Namun, menurut

penulis, dalam penentuan jadwal waktu shalat tidak perlu menghitung satu-persatu

waktu shalat untuk masing-masing daerah. Menurut penulis, penggunaan ihtiyat

yang digunakan para ahli falak telah dapat mengatasi perbedaan waktu akibat

perbedaan tinggi tempat. Toleransi di sini berarti toleransi waktu yang diberikan

sebagai jalan tengah waktu shalat suatu wilayah yang mempunyai toporafi tinggi

tempat yang berbeda-beda. Ihtiyat yang diberikan oleh para ahli falak, biasanya

dengan diambilnya rata-rata tinggi tempat dalam suatu wilayah, penggunaan

daerah yang tinggi atau rendah sebagai acuan, dan penggunaan penambahan

waktu ihtiyat.

Penggunaan data ketinggian tempat rata-rata yang dipakai beberapa ahli

falak menurut penulis telah dapat memback up pengaruh ketinggian tempat

original, meskipun yang digunakan ialah data rata-rata ketinggian tempat 100-200

Page 113: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

98

meter di atas permukaan air laut. Selama ini, ketinggian tempat yang ada biasanya

berupa ketinggian tempat berdasarkan permukaan air laut rata-rata. Karena

parameter ketinggian tempat yang dianggap standar adalah ketinggian tempat

yang diukur dari permukaan air laut. Hal ini didasarkan permukaan air laut

sebagai patokan karena diasumsikan bahwa permukaan air laut di semua tempat

adalah sama. Berbeda jika ketinggian tempat diukur dari ufuk. Karena setiap ufuk

dari masing-masing ketinggian suatu tempat atau wilayah berbeda-beda, sebab

dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar, yaitu pohon, bukit, bahkan gedung

bertingkat.

Meskipun demikian, ketinggian tempat dapat diukur berdasarkan daerah

lain yang menjadi ufuk. Beda tinggi ini dapat diukur dari Titik Tinggi Geodesi

(TTG) yang ada. Dalam suatu wilayah ada beberapa TTG yang dapat menjadi

acuan tinggi tempat dengan tanda patok sebagai pegukur untuk daerah lainnya.

Pengukuran beda tinggi antara TTG yang terdekat dengan daerah yang dihitung

tinggi tempatnya dengan menggunakan waterpas.

Selain itu, beda tinggi antar daerah juga dapat diperoleh dengan

menghitung selisih tinggi tempat kedua daerah tersebut. Misalnya untuk mencari

ketinggian antara daerah Ngaliyan dengan Tugu, dapat diperoleh dengan

menghitung selisih tinggi tempat keduanya.. Dengan demikian, dapat diketahui

tinggi tempat berdasarkan daerah lain yang menjadi ufuk karena daerah Tugu

merupakan daerah yang menjadi ufuk yang teramati dari Ngaliyan. Hal tersebut

menunjukkan bahwa ketinggian tempat dapat diukur dari ufuk yang berupa daerah

lain yang teramati.

Page 114: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

99

Oleh karena itu, pengunaan data ketinggian rata-rata 100-200 meter dinilai

cukup sebagai pengcoveran berbedanya tinggi tempat, karena rata-rata ketinggian

tempat sebagian besar wilayah jika dihitung dari garis ufuk tidak melebihi 200 m.

Sedangkan koreksi waktu terhadap ketinggian tempat suatu daerah hanya

diperlukan untuk daerah-daerah tertentu yang mempunyai ketinggian tempat yang

ekstrim terhadap ufuk. Sebagaimana pendapat Thomas Djamaluddin bahwa143

koreksi dip yang dipengaruhi ketinggian tempat ini bisa diberlakukan secara lokal

sekali di wilayah puncak bukit yang langsung berhadapan dengan ufuk yang lebih

rendah dari kondisi normal.

Sebagaimana yang telah penulis paparkan tentang ihtiyat pada Bab II poin

C.4, bahwa ihtiyat berdasarkan kegunaannya ada tiga, yaitu ihtiyat guna luasnya

daerah, ihtiyat guna koreksi sesaat dalam hasil hisab, dan ihtiyat guna keyakinan.

Pada pengaruh ketinggian tempat dalam waktu shalat ini, ihtiyat pertama, yaitu

ihtiyat guna luas daerah, menurut penulis telah digunakan oleh para ahli falak

dalam menentukan jadwal waktu shalat suatu daerah.

Sebagai ihtiyat guna luas daerah, sependapat dengan Slamet Hambali,

sebagai toleransi, untuk waktu yang berhubungan dengan terbenamnya matahari,

sebaiknya menggunakan perhitungan dari dataran yang lebih tinggi sebagai acuan

dan patokan guna menanggulangi agar dataran tinggi tersebut tidak mengalami

masuk waktu padahal belum masuk waktu yang semestinya.

Sebagaimana waktu Maghrib dan Isya’ (berhubungan dengan terbenamnya

matahari) digunakan perhitungan dengan ketinggian tempat paling tinggi, karena

143

Hasil wawancara dengan Thomas Djamaluddin via jejaring sosial facebook pada

tanggal 3 Desember 2010

Page 115: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

100

daerah yang lebih tinggi akan melihat matahari terbenam lebih akhir daripada

yang lebih rendah. Untuk itu, agar daerah yang labih tinggi tidak masuk awal

waktu shalat sebelum semestinya, maka pada saat waktu Maghrib dan Isya’

menggunakan data perhitungan dengan ketinggian tempat paling tinggi.

Sedangkan untuk waktu Subuh sebaliknya. Daerah yang lebih tinggi akan

menyaksikan fajar atau terbit matahari lebih cepat daripada yang lebih rendah.

Sedangkan daerah yang lebih rendah akan menyaksikan fajar dan terbit matahari

lebih akhir. Oleh karena itu, yang dijadikan patokan dalam hal ini adalah daerah

yang lebih rendah. Sebab ini untuk menanggulangi agar daerah yang lebih rendah

tidak masuk awal waktu shalat sebelum waktu yang semestinya.

Dalam penentuan jadwal waktu shalat suatu daerah, biasanya para ahli

falak telah memperhitungkan lintang antara pantai selatan dan utara, mana yang

lebih dahulu masuk pada waktunya. Seperti untuk daerah Semarang, diharapkan

memperhitungkan lintang paling utara; yaitu sekitar daerah pantai Semarang; dan

lintang paling selatan; yaitu daerah sekitar Mijen. Dari titik paling utara dan

selatan tersebut dapat digunakan sebagai patokan dengan memperhatikan nilai

deklinasi matahari pada waktu tertentu. Seperti pada bulan Januari dengan

deklinasi matahari berada pada sekitar -23° 01’ 45” s/d -17° 28’ 50” di sebelah

selatan, maka yang harus menjadi acuan adalah daerah paling selatan, karena

daerah paling selatan lebih akhir masuk waktu shalatnya. Sehingga dimungkinkan

agar waktu daerah selatan tidak masuk waktu shalat sebelum waktu yang

semestinya. Begitu juga sebaliknya, jika deklinasi matahari berada di sebelah

Page 116: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

101

utara, maka yang dijadikan acuan adalah daerah utara, juga karena daerah utara

lebih akhirr masuk waktu shalatnya.

Dari data perhitungan penentuan jadwal waktu shalat untuk wilayah

Semarang yang dilakukan penulis dengan pengambilan data yang dari beberapa

titik dari Google Earth menunjukkan bahwa untuk wilayah Semarang sendiri

mempunyai topografi yang sangat beragam. Daerah yang paling utara adalah

sepanjang pantai di Semarang, yang penulis ambil titik tempat PRPP Jateng Fair

dengan lintang -6° 57’ 04.74”. Sedangkan daerah paling selatan yang penulis

ambil titiknya adalah daerah Ungaran dengan lintang -7° 07’39.19”. Selisih waktu

shalat diantara kedua titik tersebut tidak begitu signifikan, hanya beberapa detik

saja.

Untuk perbedaan bujurnya, dalam satu wilayah markas yang digunakan

perhitungan penentuan waktu shalat biasanya hanya terdapat perbedaan selisih

yang terbesar mencapai 0,1° bujur saja. Sebagaimana dalam skripsi Muntoha

tentang Analisis Terhadap Toleransi Pengaruh Perbedaan Lintang dan Bujur

dalam Kesamaan Penentuan Awal Waktu Shalat, bahwa dalam perbedaan bujur

sebesar 0,1o atau jarak tepat ke timur atau tepat ke barat sejauh 11 km berarti

perbedaan waktu sebanyak 0,4 menit atau 24 detik. Sehingga menurut penulis,

perbedaan bujur dalam satu wilayah dapat ditolerir dengan waktu ihtiyat yang

digunakan para ahli falak. Oleh karena itu, ihtiyat luas daerah yang dipakai para

ahli falak, menurut penulis telah cukup memback up perbedaan waktu antar

daerah dalam satu wilayah.

Page 117: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

102

Dari data perhitungan masing-masing tempat tersebut menunjukkan bahwa

perbedaan waktu antar tempat tersebut tidak mencapai 3 menit. Sedangkan dari

keterangan Bab III point D menunjukkan bahwa untuk suatu wilayah dengan nilai

lintang dan bujur yang sama, pengaruh ketinggian tempat mencapai selisih 1

menit untuk perbedaan ketinggian sekitar 200 meter dan mencapai selisih 3 menit

untuk ketinggian 1000 meter. Sedangkan ikhtiyat yang dipakai rata-rata ahli falak

adalah 2 menit. Oleh karena itu, menurut penulis, ikhtiyat 2 menit ini telah

mampu memback up selisih waktu antar daerah akibat pengaruh ketinggian

tempat.

Dari beberapa keterangan tersebut, maka menurut penulis tidak perlu

pengadaan konversi tempat berdasarkan ketinggin tempat. Konversi tempat

berdasarkan pembagian wilayah kota yang terdapat pada jadwal waktu shalat pada

umumnya dapat dipergunakan jika bujur kedua tempat antara tempat markas

perhitungan dan tempat yang akan disesuaikan mempunyai lintang yang sama.

Jika mempunyai lintang yang berbeda dapat dikonversi asalkan perhitungan

jadwal waktu shalat memperhitungkan batas wilayah jadwal yang paling dulu dan

paling lambat masuk waktu shalat. Sehingga tidak menjadikan suatu daerah yang

seharusnya belum masuk waktu shalat, tetapi dianggap telah masuk waktunya.

Melihat topografi wilayah yang ada di Indonesia sangat beraneka macam,

maka untuk mempermudah penentuan awal waktu shalat salah satunya dengan

pengambilan satu titik ketinggian tempat rata-rata suatu wilayah sebagai

pengganti konversi daerah untuk ketinggian tempat. Oleh karena itu, penulis

membuat tabel berdasarkan ketinggian tempat sebagai berikut:

Page 118: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

103

Tabel 16. Daftar Ketinggian Tempat Rata-rata untuk Suatu Wilayah Berdasarkan

Berbagai Ketinggian Tempat

Ketinggian

pengamat(meter)

Ketinggian

rata-rata yang

digunakan

(meter)

Ihtiyat (menit)

0 - 50 25 2 menit pembulatan detik

0 - 75 35 2 menit pembulatan detik

0 - 100 50 2 menit pembulatan detik

0 - 150 75 2 menit pembulatan detik

0 - 200 100 2 menit pembulatan detik

0 - 250 125 2 menit pembulatan detik

0 - 300 150 2 menit pembulatan detik

0 - 400 200 2 menit pembulatan detik

0 - 500 250 2 menit pembulatan detik

0 - 600 300 2 menit pembulatan detik

0 - 700 350 2 menit pembulatan detik

0 - 800 400 2 menit pembulatan detik

0 - 900 450 2 menit pembulatan detik

0 - 1000 500 2 menit pembulatan detik

Page 119: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

104

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Ketinggian tempat suatu daerah sangat urgensi dalam formulasi penentuan

awal waktu shalat karena terkait dengan tingkat keakurasian waktu shalat

agar seseorang tidak menunaikan shalat sebelum waktunya.

2. Formulasi waktu shalat yang paling ideal adalah formulasi yang di dalamnya

terdapat koreksi kerendahan ufuk dengan penggunaan data ketinggian tempat

dan rumus ku sebagai berikut: - (ku + ref + sd) dengan dip/ku: 1,76 √ℎ

(meter) atau 0.98√ℎ (feet).

3. Penggunaan waktu ihtiyat untuk mengatasi pengaruh ketinggian tempat

dalam penyajian jadwal waktu shalat yang ideal terkait urgensinya ketinggian

tempat adalah tidak perlu pengadaan konversi tempat berdasarkan ketinggian

tempat, tetapi cukup dengan menggunakan waktu ihtiyat sebagaimana yang

diberikan oleh para ahli falak. Ihtiyat tersebut yaitu pengambilan data rata-

rata tinggi tempat dalam suatu wilayah, penggunaan daerah yang tinggi

sebagai acuan untuk waktu yang berhubungan dengan terbenam matahari,

dan menggunakan data daerah yang rendah sebagai acuan untuk waktu yang

berhubungan dengan terbit matahari, serta penggunaan waktu ihtiyat 2 menit

dengan pembulatan detik. Konversi tempat karena perbedaan ketinggian

tempat bisa diberlakukan secara lokal sekali di wilayah puncak bukit yang

Page 120: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

105

langsung berhadapan dengan ufuk yang lebih rendah dari kondisi normal

dengan nilai ekstrim. Berikut tabel untuk pengambilan satu titik rata-rata

ketinggian tempat yang digunakan dalam formulasi penentuan awal waktu

shalat:

Tabel 16. Daftar Ketinggian Tempat Rata-rata untuk Suatu Wilayah

Berdasarkan Berbagai Ketinggian Tempat

Ketinggian

pengamat(meter)

Ketinggian

rata-rata yang

digunakan

(meter)

Ihtiyat (menit)

0 - 50 25 2 menit pembulatan detik

0 - 75 35 2 menit pembulatan detik

0 - 100 50 2 menit pembulatan detik

0 - 150 75 2 menit pembulatan detik

0 - 200 100 2 menit pembulatan detik

0 - 250 125 2 menit pembulatan detik

0 - 300 150 2 menit pembulatan detik

0 - 400 200 2 menit pembulatan detik

0 - 500 250 2 menit pembulatan detik

0 - 600 300 2 menit pembulatan detik

0 - 700 350 2 menit pembulatan detik

0 - 800 400 2 menit pembulatan detik

0 - 900 450 2 menit pembulatan detik

0 - 1000 500 2 menit pembulatan detik

Page 121: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

106

B. Saran

1. Pembuatan jadwal waktu shalat diharapkan memperhitungkan data

ketinggian tempat dan tempat-tempat yang menjadi acauan perhitungan

dalam suatu wilayah.

2. Pemerintah melalui BAKOSURTANAL (Badan Koordinasi Survey dan

Pemetaan Nasional) diharapkan menetapkan ketinggian tempat wilayah-

wilayah di Indonesia secara teliti, baik diukur dari permukaan air laut rata-

rata maupun diukur dari daerah lain yang menjadi ufuk. Serta membuat daftar

ketinggian tersebut agar mudah diakses oleh umum sehingga dapat

dipergunakan untuk kepentingan luas.

3. Skripsi ini masih sangat sederhana dan banyak kekurangan sehingga masih

membutuhkan saran dan kritik yang konstruktif sehingga skripsi ini akan

lebih sempurna, yang menjadikannya karya ilmiah yang bisa bermanfaat bagi

masyarakat dan penulis umumnya.

4. Mempelajari ilmu falak adalah fardhu kifayah. Hendaknya ilmu ini tetap

dijaga eksistensinya oleh setiap komponen dan lapisan, dengan melakukan

pengembangan dan pembelajaran sejalan dengan perkembangan Iptek (ilmu

pengetahuan dan teknologi).

Page 122: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

107

C. Penutup

Syukur Alhamdulillah atas pemberian kenikmatan serta karunia yang tidak

terhingga kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Meskipun

dalam pengerjaannya penulis telah berupaya dengan optimal, ada kiranya

terdapat banyak kesalahan dalam penulisan dan pemaknaan, penulis harapkan

adanya kritik, saran konstruktif untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi

ini dapat bermanfaat serta dapat meningkatkan wawasan dan ranah keilmuan

kita, khususnya di bidang ilmu falak. Amin. Wallahu a’lam bish shawab.

Page 123: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

DAFTAR PUSTAKA

Abi al Fadhal Ahmad bin Ali bin Hajar Al Asqalani, Syekh Syihabuddin, Tahdzib al

Tahdzib, Beirut: Dar Al Kitab Al Islami, 852 H

Abi Muhammad Abd Rahman bin Abi Hatim Muhammad, Syekh Islam, Al Jarah wa

Ta’dil, Beirut: Dar Al Kutub, 1373 H

A. E. Roy, D. Clarke, Astronomy: Principles and Practice, Bristol: Techno House,

1978

Al Husain bin Abu Al „Izz Al Hamadaniy, Al gharib fi I’rab Al Qur’ani, Qatar: Daar

Ats Tsaqafah, juz I, tt

Album PP. Lirboyo 2002

Almanak Nautika, Jakarta: TNI-AL Dinas Hidro Oseanografi, 1995

Al Wahidy, Asbabun Nuzul, Beirut: Dar Al Kutub Al Arabiyah, tt

Anugraha Rinto, Cara Menghitung Waktu Shalat, artikel ini dapat diakses di

www.eramuslim.com

Asy-Syaukani, Muhammad Bin Ali Bin Muhammad, Nailul Authar, Beirut-Libanon :

Dal al-Kitab, jilid I, tt

Az Zamakhsyariy, Tafsir Al Khasyaf, Beirut: Daar Al Fikr, juz I, 1997

Azhari, Susiknan, Awal Waktu Salat Perspektif Syar’I dan Sains, bisa diakses di

www.ilmufalak.or.id

Azhari, Susiknan, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 1,

2005

Badan Hisab Rukyat Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyah, Jakarta: Proyek

Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1981

Basuki, Slamet, Ilmu Ukur Tanah, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006

Bukhari, Irsadul al Sara Asy Syarah Shahih Al Bukhari, Beirut: Dar Al Fikr, tt, juz 1

Page 124: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahannya, Yayasan

Penyelenggara dan Penterjemah Tafsir Al Qur‟an, Jakarta: Bulan Bintang,

1997

__________________, Pedoman Penentuan Jadwal Awal Waktu Shalat Sepanjang

Masa, Jakarta, 1994

Djambek, Sa‟aduddin, Almanak Djamilijah, Jakarta: Tintamas, 1953

__________________, Pedoman Waktu Shalat Sepanjang Masa, Jakarta: Bulan

Bintang, 1394

__________________, Salat dan Puasa di daerah Kutub, cet. I, Jakarta : Bulan

Bintang, 1974

Ghazali, Ahmad, Irsyadul Murid, Jember: Yayasan An Nuriyah, 2005

Hadawi dan Mimi Martin, Penelitian Terapan, Yogyakarta: Gajahmada University

Press, 1996

Hadi, Dimsiki, Perbaiki Waktu Shalat dan Arah Kiblatmu!, Yogyakarta: Madania,

2010

Hambali, Slamet, Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris, materi ini disampaikan dalam

pelatihan ketrampilan khusus bidang hisab-rukyah oleh Direktorat

Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ditjen Pendidikan Islam

Departemen Agama RI, 2007

Hartaji, Muhammad, Analisis Terhadap Perbedaan Lintang Terhadap Awal Waktu

Shalat, Semarang : FAI Unissula, 2003

Hasanudin, Mukhamad, Studi Analisis Pendapat Hasbi Ash Shiddiqie Tentang

Bolehnya Mengerjakan Dua Shalat Fardlu Dengan Satu Kali Tayamum,

Skripsi Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, 2004

Hasbi ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad, Tafsir al Qur’anul Majid An-Nur.

Semarang: Pustaka Rizki Putera, juz 12, 2000

_________________, Pedoman Salat, cet. X , Jakarta : Bulan Bintang, 1978

Ibnu Rusyd, Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad,

Bidayatul Mujatahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, di terjemahkan oleh

Page 125: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

Imam Ghazali dkk, dari Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid,

Jakarta : Pustaka Amani, 2007

Imam Muslim, Shohih Muslim, Beirut Libanon: Dar al-Kutub Ilmiah, jilid 2, 1994

Imam Abi Abdillah Muhammad Bin Idris Asy-Syafi‟i, Al-Umm, Beirut-Libanon : Dar

Al-Kitab, Juz I, tt

Izzuddin, Ahmad, Ilmu Falak Praktis; Metode Hisab-Rukyah Praktis dan Solusi

Permasalahannya, Semarang: Komala Grafika dengan IAIN Walisongo

Semarang, 2006

Jawa Mughniyyah, Muhammad, Fiqih Lima Madzhab, Diterjemahkan oleh Masykur

dkk dari Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Khamsah, Jakarta : Lentera, cet VI,

2007

Jawad Muqniyyah, Muhammad, At-Tafsir al-Kasif, 15:74,

Joinil Kahar, Geodesi: Teknik kuadrat terkecil, Bandung: Penerbit ITB, 2006

K.J. Vilianueva, Pengantar ke dalam Astronomi Geodesi, Bandung: Departemen

Geodesi Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Bandung,

1978

Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak; dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana

Pustaka, tt

________________, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005.

KRM. Wardan, Kitab Ilmu Falak dan Hisab, Yogyakarta: cet I, 1957

M. Khoirul Abshor, Pengaruh Pendidikan Shalat Pada Masa Kanak-Kanak dalam

Keluarga Terhadap Kedisiplinan Shalat Lima Waktu Siswa Kelas VIII Di

Mts Negeri Kendal, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang,

2008

Maksum bin Ali, Muhammad, Badiah al-Misal fi Hisab al-Sinin wa al-Hilal,

Surabaya: Maktabah Sa‟ad bin Nashir Nabhan, tt

___________________, Tibyan Al Miqat fi Ma’rifat Al Auqat wa Al Qiblah, Kediri:

Madrasah Salafiyah Al Falaki, tt

Page 126: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

Malik Abdul Karim Amrullah, Abdul, Tafsir Al Azhar, Singapura: Pustaka Nasional

PTE LTD, jilid 7, tt

Marfungah, Pengaruh Intensitas Shalat 5 Waktu Terhadap Motivasi Beragama Anak

di Panti Asuhan Yatim Piatu Darul Hadlonah Semarang, Skripsi Fakultas

Dakwah IAIN Walisongo Semarang, 2005

Materi Perhitungan Waktu Shalat, yang disampaikan oleh Uzal Syahruna yang dapat

diakses dalam www.ilmmufalak.or.id

Muhammad, Abu Bakar, Subulus Salam, Surabaya: Al-Ikhlas, tt

Muhammad bin Ahmad adz Dzahbi, Imam Hafiz Syamsuddin, Mizan Al I’tidal,

Beirut: Dar Al Kutub Al Islamiyah, tt

Muhammad bin Hasan ath-Thusy, Abu Ja‟far, Al-Kutub al-Arba’ah al-Ibtishar (1-4),

Qum: Muassasah Anshariyan li ath-Thiba‟ah wa an-Nasr, Cet. I, 2005

Muntoha, Analisis Terhadap Toleransi Pengaruh Perbedaan Lintang dan Bujur

dalam Kesamaan Penentuan Awal Waktu Shalat, Skripsi Fakultas Syariah

IAIN Walisongo Semarang, 2004

Nasib Ar-Rifa‟i, Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir, Gema Insani:Jakarta, jilid 3, tt

Nur „Aeni, Waktu Salat Wajib dalam Pandangan Syi'ah (Kajian Atas Hadis-Hadis

Tentang Waktu Salat Dalam Kitab Al-Kafi), Skripsi Fakultas Ushuluddin,

UIN Sunan Kalijaga, 2009

Prahasta, Eddy, Konsep-konsep Dasar Sisitem Informasi Geografis, Bandung:

Penerbit Informatika, 2002

Program Hadis Kutubus Sittah, الجامع الصحيح للترمذي, kitab abwab as-shalat, no 001

Rachim, Abd, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberti, 1983

Rene R.J.Rohr; translated by Gabriel Godin, Sundial; History, Theory, & Practice,

Toronto: University of Toronto Press, 1970

Ridha, Rasyid, Tafsir Manaar, Dar Al Ma‟rifah: Beirut, juz 5, tt

Salam, Abd, Korelasi Beda Bujur Dalam Penemuan Selisih Waktu Shalat Antar

Daerah (Studi Jadwal Waktu Shalat Yang Beredar Di Jawa Timur), Sunan

Ampel, 2005

Page 127: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

Sa‟id bin Muhammad Ba‟asyun, Busyr Al Karim Syarh Al Muqadimah Al

Hadhramiyah, Beirut: Dar Ihya Al Kutub Al Arabiyah, tt

Salimi, Muchtar, Ilmu Falak; Peenetapan Awal Waktu,Shalat dan Arah Kiblat,

Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1997

Setyanto, Hendro, Kajian Kitab-Forum Kajian Ilmu Falak “Zenith”, Rubu’, Bandung:

Pundak Scintific, 2001

Syekh H. Abdul Halim Hasan Binjai. Tafsir Al-Ahkam, Kencana: Jakarta, cet I, 2006

Syihab, M.Quraisy, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, vol. 2, 2005

_______________, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkan?, Jakarta:

Lentera Hati, 2007

Tarmi, Moedji Raharto, op cit, yang dikutip dari Mohammad Ilyas, A Modern Guide

to Islamic Calendar, Times & Qibla, 1984

Tjasyono, Bayong, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Catatan Kuliah; GM-322

Meteorologi Fisis, Bandung: Penerbit ITB, 2001

Umar Al Jailani, Zubair, Khulashatul Al Wafiyah, tp, tt.

Wahbah az-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, cet. II Beirut : Dar al-Fikr,

1989

W.M. Smart, Textbook on Sperical Astronomy, London: Cambridge University Press,

1950

http://mintaka.sdsu.edu/GF/ explain/extinction/extintro.html yang diakses pada

tanggal 27 Maret 2011

http://spiff.rit.edu/classes/phys559/lectures/atmos/atmos.html yang diakses pada

tanggal 26 Maret 2011

http://www.asterism.org/tutorials/tut28-1.htm yang diakases pada tanggal 16 Maret

2011

http://www.asterism.org/tutorials/tut28-1.htm.

http://www.eramuslim.com/, yang diakses pada tanggal 22 April 2010

Page 128: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

http://www.ilmufalak.or.id/ yang diakses pada tanggal 22 April 2010

http://www.islamicfinder.rg/athanContact.php

www.rukyatulhilal.com

Wawancara via telepon dengan Bapak Yazid (salah satu penyusun kalender Ponpes

Lirboyo yang selama ini beredar) pada tanggal 9 Maret 2010

Wawancara dengan Slamet Hambali pada tanggal 11 Januari 2011

Wawancara via telepon dengan Reza Zakariya, Ketua Tim Lajnah Falakiyah PP.

Lirboyo Kediri Jawa Timur pada tanggal 15 Januari 2011

Wawancara via jejaring sosial facebook dengan Dr. Eng. Rinto Anugraha, salah satu

pemerhati ilmu falak, yang juga dosen Fisika UGM, yang aktif menulis di

www.eramuslim.org pada tanggal 14 – 27 Desember 2010

Wawancara via email dengan Thomas Djamaluddin pada tanggal 15 – 16 Desember

2010

Wawancara via jejaring sosial facebook dengan Hendro Setyanto pada tanggal 22

Februari 2011

Wawancara via email dengan Dr. Ing, Khafid pada tanggal 23 Februari 2011

Page 129: FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN

N a m a : Yuyun Hudzaifah

Tempat Tanggal Lahir : Grobogan, 3 Januari 1989

Alamat Asal : Jl. Kol. Sugiono III/6 Purwodadi-Grobogan 58111

Alamat Sekarang : Ponpes Daarun Najaah Jl. Stasiun No 275 Jrakah

Tugu Semarang 50151

Jenjang Pendidikan :

a. Pendidikan formal

1. TK Masithoh, Purwodadi Grobogan lulus 1995

2. Sekolah Dasar Negeri 04 Purwodadi Grobogan lulus tahun 2001

3. MTs. Darut Taqwa Purwodadi Grobogan lulus tahun 2004

4. MA. Darut Taqwa Purwodadi Grobogan lulus tahun 2007

b. Pendidikan Informal

1. Pondok Pesantren Darut Taqwa Purwodadi Grobogan 2002-2007

2. Pondok Pesantren ”Daarun Najaah” Jerakah Tugu Semarang 2007-

sekarang

Semarang, 6 Mei 2011

Yuyun Hudzaifah

NIM. 072111083