BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
HAP (Hospital acquired pneumonia)
Hospital acquired pneumonia adalah pneumonia yang timbul dalam waktu 48 jam
setelah rawat inap dan tidak sedang dalam masa inkubasi saat pasien masuk.
VAP (ventilator associated pneumonia)
Ventilator acquired pneumonia adalah pneumonia yang timbul dalam waktu 48 – 72
jam setelah tindakan intubasi endotrakeal.
HCAP (healthcare associated pneumonia)
Healthcare associated pneumonia meliputi pasien yang dirawat, selama 2 hari atau lebih
karena infeksi dalam waktu 90 hari terakhir, tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang,
menerima terapi antibiotika intravena, kemoterapi atau perawatan luka dalam 30 hari terakhir
atau mendapatkan terapi hemodialisa.3
B. Etiologi
Patogen penyebab pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia komuniti.
Pneumonia nosokomial dapat disebabkan oleh kuman multi drug resistance (MDR) misalnya
S.pneumoniae, H.Influenzae, Methicillin Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA) dan
kuman MDR misalnya Pseudomonas aeurigunosa, Escherciia coli, Klebsiella pneumoniae.
Acinetobacter spp dan Gram positif seperti Methicillin Resistance Staphylococcus aureus
(MRSA).1
Pada pasien imunokompeten, HAP, VAP dan HCAP dapat disebabkan oleh spektrum
bakteri yang luas dan bersifat polimikrobial, namun jarang oleh virus atau jamur. Patogen
yang sering ditemukan adalah basil aerobic gram negative (contoh : P. aeruginosa, E. coli, K.
pneumonia, Acinetobacter Sp.) dan kokus gram negative seperti S.aureus. Hasil studi negara-
negara di Asia menunjukkan peningkatan insidens Acinetobacter Sp. di Malaysia, Thailand,
Pakistan dan India. P.aeruginosa merupakan penyebab utama HAP di China dan Filipina,
MRSA di Korea dan Taiwan.
8
Data ICU RS Persahabatan menunjukkan etiologi patogen yang paling sering didapatkan
dari kultur sputum adalah P.aeruginosa (23%), A.baumanii (13%), E.cloacae (13%), dan
K.pneumonia (10%). P.aeruginosa ditemukan sebesar 33% pada kultur darah.3 Bahan
pemeriksaan untuk menentukan bakteri penyebab dapat diambil dari dahak, darah, cara
invasif, misalnya bilasan bronkus, sikatan bronkus, biopsi aspirasi transtorakal dan biopsi
aspirasi transtrakea. 1
C. Insidens
Hospital acquired pneumonia biasanya disebabkan oleh bakteri dan merupakan infeksi
nosokomial kedua tersering di AS dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Insidensnya
berkisar antara 5 – 10 kasus per 1.000 pasien rawat inap dan pada pasien yang menggunakan
ventilator, meningkat antara 6 – 20 kali lipat. Angka kejadian sebenarnya dari pneumonia
nosokomial di Indonesia tidak diketahui disebabkan antara lain data nasional tidak ada dan
data yang ada hanya berasal dari beberapa rumah sakit swasta dan pemerintah serta angkanya
sangat bervariasi. Data dari RS Persahabatan dan RS Dr. Soetomo hanya menunjukkan pola
kuman yang ditemukan di ruang rawat intensif. Data ini belum dapat dikatakan sebagai
infeksi nosokomial karena waktu diagnosis dibuat tidak dilakukan foto toraks pada saat
pasien masuk ruang rawat intensif.
Berdasarkan hasil studi beberapa rumah sakit di Asia, infeksi saluran napas yang didapat
di ICU berkisar antara 9 – 23 % dari total infeksi saluran napas. 90 % muncul saat
penggunaan ventilasi mekanik.1,3
Awitan pneumonia merupakan variabel epidemiologic yang penting dalam menentukan
faktor resiko penyebab patogen spesifik dan keluaran pasien. HAP / VAP awitan dini yang
timbul dalam 4 hari pertama rawat inap kemungkinan besar disebabkan oleh bakteri sensitif
antibiotika dan prognosisnya lebih baik. HAP / VAP awitan lambat > 5 hari kemungkinan
disebabkan oleh patogen MDR (multi drug resistant) dan mordibitas dan mortalitasnya
tinggi. Angka kematian kasar (crude mortality rate) untuk HAP berkisar antara 25 – 54 %.
Mortalitas VAP menurut data di Singapura sampai 73%. Kematian sering disebabkan oleh
bakteremia (terutama Pseudomonas Aeruginosa), penyakit yang mendasari serta terapi
antibiotika yang tidak adekuat.1,3
9
D. Faktor Predisposisi atau Faktor Risiko Pneumonia Nosokomial
Faktor risiko pada pneumonia sangat banyak dibagi menjadi 2 bagian:
1. Faktor yang berhubungan dengan daya tahan tubuh
Penyakit kronik (misalnya penyakit jantung, PPOK, diabetes, alkoholisme,
azotemia), perawatan di rumah sakit yang lama, koma, pemakaian obat tidur, perokok,
intubasi endotrakeal, malnutrisi, umur lanjut, pengobatan steroid, pengobatan
antibiotik, waktu operasi yang lama, sepsis, syok hemoragik, infeksi berat di luar paru
dan cidera paru akut (acute lung injury) serta bronkiektasis.
2. Faktor eksogen
a. Pembedahan :
Besar risiko kejadian pneumonia nosokomial tergantung pada jenis
pembedahan, yaitu torakotomi (40%), operasi abdomen atas (17%) dan operasi
abdomen bawah (5%).
b. Penggunaan antibiotik :
Antibiotik dapat memfasilitasi kejadian kolonisasi, terutama antibiotik yang
aktif terhadap Streptococcus di orofaring dan bakteri anaerob di saluran pencernaan.
Sebagai contoh, pemberian antibiotik golongan penisilin mempengaruhi flora normal
di orofaring dan saluran pencernaan. Sebagaimana diketahui Streptococcus
merupakan flora normal di orofaring melepaskan bacterocins yang menghambat
pertumbuhan bakteri gram negatif. Pemberian penisilin dosis tinggi akan menurunkan
sejumlah bakteri gram positif dan meningkatkan kolonisasi bakteri gram negatif di
orofaring.
c. Peralatan terapi pernapasan
Kontaminasi pada peralatan ini, terutama oleh bakteri Pseudomonas
aeruginosa dan bakteri gram negatif lainnya sering terjadi.
d. Pemasangan pipa/selang nasogastrik, pemberian antasid dan alimentasi enteral
Pada individu sehat, jarang dijumpai bakteri gram negatif di lambung karena
asam lambung dengan pH < 3 mampu dengan cepat membunuh bakteri yang tertelan.
Pemberian antasid / penyekat H2 yang mempertahankan pH > 4 menyebabkan
peningkatan kolonisasi bakteri gram negatif aerobik di lambung, sedangkan larutan
enteral mempunyai pH netral 6,4 - 7,0.
e. Lingkungan rumah sakit
10
Faktor resiko kejadian yang disebabkan patogen-patogen bakteri MDR1,3
Terapi antimikroba dalam waktu 90 hari sebelumnya
Perawatan RS ≥ 5 hari
Prevalensi kuman MDR di unit RS spesifik yang tinggi
Faktor resiko HCAP :
- Perawatan 2 hari atau lebih dalam 90 hari terakhir
- Tinggal di fasilitas perawatan jangka lama
- Terapi intravena di rumah
- Dialysis dalam 30 hari terakhir
- Anggota keluarga dengan infeksi bakteri MDR
Penyakit dan atau terapi immunosupresif
E. Patogenesis
Patogenesis pneumonia nosokomial pada prinsipnya sama dengan pneumonia komuniti.
Pneumonia terjadi apabila mikroba masuk ke saluran napas bagian bawah. Ada empat rute
masuknya mikroba tersebut ke dalam saluran napas bagian bawah yaitu : 1
1. Aspirasi, merupakan rute terbanyak pada kasus-kasus tertentu seperti kasus neurologis
dan usia lanjut
2. Inhalasi, misalnya kontaminasi pada alat-alat bantu napas yang digunakan pasien
3. Hematogenik
4. Penyebaran langsung
Prinsip utama patogenesis3
1. Sumber patogen untuk HAP adalah alat-alat perawatan kesehatan, lingkungan (udara,
air) dan transfer patogen antara pasien dan staf medis atau antar pasien. (level II).
2. Kolonisasi berkaitan dengan keadaan hospes dan pengobatan (level II).
3. Aspirasi patogen orofaring atau tumpahnya secret yang mengandung bakteri di sekitar
cuff pipa endotrakeal merupakan rute utama masuknya bakteri (level II).
4. Inhalasi atau inokulasi, penyebaran hematogen melalui kateter intravena dan
translokasi kuman traktus gastrointestinal merupakan mekanisme patogenesis yang
jarang terjadi (level II).
5. Lambung dan sinus paranasal dapat menjadi reservoir potensial dan berkontribusi
terhadap kolonisasi bakteri orofaring. (level II).
11
F. Strategi dan pendekatan diagnostik3
Dugaan HAP, VAP atau HCAP
Ambil kultur dan pemeriksaan mikroskopik
Sekret saluran napas bawah
Kecuali bila secara klinis tidak curiga pneumonia dan hasil
Mikroskopi sekret negatif, terapi empirik seperti gambar 2
Hari ke 2 dan 3 : cek hasil kultur dan keadaan klinis
(suhu, leukosit, rontgent dada, oksigenasi, sputum, fungsi organ)
Perbaikan klinis dalam 48 – 72 jam
Tidak Ya
12
Tidak :
Kultur (-) : cari infeksi dan faktor penyulit di tempat lain
Kultur (+) : sesuaikan jenis antibiotika, cari kuman lain dan komplikasinya
Ya :
Kultur (-) : pertimbangan penghentian antibiotika
Kultur (+) : de-eskalasi antibiotika, obati pasien selama 7 – 8 hari dan evaluasi
G. Rekomendasi Diagnosis3
1. Anamnesa dan pemeriksaan fisik menyeluruh untuk menentukan derajat HAP,
menyingkirkan kemungkinan sumber lain infeksi potensial dan kondisi spesifik (level
II)
2. Pemeriksaan foto rontgent dada secara postero-anterior dan lateral (level II)
3. Pada pasien yang diintubasi, bila tidak ditemukan tanda klinis infeksi, tidak perlu
diterapi atau pemeriksaan diagnostik lanjut (level II)
4. Pemantauan saturasi oksigen, AGD untuk menentukan asidosis metabolik /
respiratorik bersama pemeriksaan lainnya (darah lengkap, elektrolit, fungsi hati dan
ginjal) untuk mengetahui adanya multiple organ dysfunction (level II)
5. Semua pasien yang dicurigai VAP harus dilakukan kultur darah (level II)
6. Sampel sekret saluran napas bawah harus diperiksa sebelum penggantian antibiotika
H. Diagnosis1,2
Menurut kriteria dari The Centers for Disease Control (CDC-Atlanta), diagnosis
pneumonia nosokomial adalah sebagai berikut :
1) Onset pneumonia yang terjadi 48 jam setelah dirawat di rumah sakit dan
menyingkirkan semua infeksi yang inkubasinya terjadi pada waktu masuk rumah sakit
2) Diagnosis pneumonia nosokomial ditegakkan atas dasar :
• Foto toraks : terdapat infiltrat baru atau progresif
• Ditambah 2 diantara kriteria berikut:
- suhu tubuh > 38oC
- sekret purulen
- leukositosis
13
3) Kriteria pneumonia nosokomial berat menurut ATS
1. Dirawat di ruang rawat intensif
2. Gagal napas yang memerlukan alat bantu napas atau membutuhkan O2 > 35 %
untuk mempertahankan saturasi O2 > 90 %
3. Perubahan radiologik secara progresif berupa pneumonia multilobar atau kaviti dari
infiltrat paru
4. Terdapat bukti-bukti ada sepsis berat yang ditandai dengan hipotensi dan atau
disfungsi organ yaitu :
• Syok (tekanan sistolik < 90 mmHg atau diastolik < 60 mmHg)
• Memerlukan vasopresor > 4 jam
• Jumlah urin < 20 ml/jam atau total jumlah urin 80 ml/4 jam
• Gagal ginjal akut yang membutuhkan dialisis
Identifikasi penyebab mikrobiologi:
a. Pewarnaan Gram sputum
b. Kultur sputum
c. Kultur darah
d. Pemeriksaan serologis, pemeriksaan antigen, pemeriksaan polymerase chaim
reaction (PCR), dan tes invasive (torakosentesis, aspirasi transtrakheal,
bronkoskopi, aspirasi jarum transtorakal, biopsy jarum terbuka dan torakoskopi
(bila diperlukan).
I. Diagnosis Banding
1. Tuberculosis paru
2. Jamur
J. Pemeriksaan Penunjang1,2,3
1. Foto thoraks
2. Pulse oxymetri
3. Laboratorium rutin: DPL, hitung jenis, LED, glukosa darah, ureum, kreatinin, SGOT,
SGPT
4. Analisa gas darah, elektrolit
5. Pewarnaan Gram sputum
14
6. Kultur sputum
7. Kultur darah
8. Pemeriksaan serologis
9. Pemeriksaan antigen
10. Pemeriksaan polymerase chain reaction
11. Tes invasive (torakosentesis, aspirasi transtrakeal, bronkoskopi, aspirasi jarum
transtorakal, biopsy paru terbuka dan thorakoskopi)
K. Tata Laksana
Rekomendasi strategi klinis3
1. Pemeriksaan gram sekret trakeal dapat digunakan sebagai petunjuk untuk
memulai terapi empiris dan meningkatkan nilai diagnostic CPIS (Clinical
pulmonary infection syndrome) (level II).
2. Hasil negatif dari sekret trakea pada pasien yang dalam 72 jam tidak mengalami
perubahan antibiotika memiliki nilai prediktif negatif kuat (94%) dan perlunya
mencari sumber infeksi lain (level II).
3. Gambaran infiltrat baru atau perkembangan gambaran infiltrat progresif pada
rontgent paru, ditambah 2 dari 3 tanda klinis (demam > 38o C, leukositosis atau
leukopenia, dan sekret purulen) merupakan kriteria klinis paling akurat untuk
memulai terapi empiris (level II).
4. Evaluasi ulang penggunaan antibiotika berdasarkan hasil kultur sekret secara
semikuantitatif harus dilakukan mulai hari ke ≤ 3 (level II).
5. Skor CPIS ≤ 6 selama tiga hari merupakan kriteria objektif untuk menghentikan
pengobatan empirik awal pada HAP (level II).
Tata Laksana Umum2
a. Rawat Jalan
Dianjurkan untuk tidak merokok, beristirahat, dan minum banyak cairan
Nyeri pleuritik / demam diredakan dengan paracetamol
Ekspektoran / mukolitik
Nutrisi tambahan pada penyakit yang berkepanjangan
Control setelah 48 jam atau lebih awal bila diperlukan
Bila tidak membaik dalam 48 jam: dipertimbangkan untuk dirawat di rumah
sakit, atau dilakukan foto thoraks
15
b. Keputusan Merawat Pasien di RS ditentukan oleh:
Derajat berat CAP
Penyakit terkait
Faktor prognostic lain
Kondisi dan dukungan orang di rumah
Kepatuhan, keinginan pasien
Oksigen, bila perlu dengan pemantauan saturasi oksigen dan konsentrasi
oksigen inspirasi. Tujuannya: mempertahankan PaO2 ≥8 kPa dan SaO2 ≥92%
Tatalaksana oksigen pada pasien dengan penyakit dasar PPOK dengan
komplikasi gagal nafas dituntun dengan pengukuran analisa gas darah berkala
Cairan: bila perlu dengan cairan intravena
Nutrisi
Nyeri pleuritik / demam diredakan dengan paracetamol
Ekspektotan / mukolitik
Foto toraks diulang pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan yang
memuaskan
Tata Laksana Antibiotik1
1. Semua terapi awal antibiotik adalah empirik dengan pilihan antibiotik yang
harus mampu mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen yang mungkin
sebagai penyebab, perhitungkan pola resistensi setempat
2. Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan dosis
dan cara pemberian yang adekuat untuk menjamin efektiviti yang maksimal.
Pemberian terapi emperis harus intravena dengan sulih terapi pada pasien yang
terseleksi, dengan respons klinis dan fungsi saluran cerna yang baik.
3. Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan setelah ada hasil
kultur yang berasal dari saluran napas bawah dan ada perbaikan respons klinis.
4. Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan terinfeksi
kuman MDR
5. Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis
memburuk
6. Data mikroba dan sensitiviti dapat digunakan untuk mengubah pilihan empirik
apabila respons klinis awal tidak memuaskan. Modifikasi pemberian antibiotik
16
berdasarkan data mikrobial dan uji kepekaan tidak akan mengubah mortaliti apabila
terapi empirik telah memberikan hasil yang memuaskan.
17
18
LAMA TERAPI
Pasien yang mendapat antibiotik empirik yang tepat, optimal dan adekuat,
penyebabnya bukan P.aeruginosa dan respons klinis pasien baik serta terjadi resolusi
gambaran klinis dari infeksinya maka lama pengobatan adalah 7 hari atau 3 hari bebas
panas. Bila penyebabnya adalah P.aeruginosa dan Enterobacteriaceae maka lama terapi
14 – 21 hari.
RESPONS TERAPI
Respons terhadap terapi dapat didefinisikan secara klinis maupun mikrobiologi.
Respons klinis terlihat setelah 48 – 72 jam pertama pengobatan sehingga dianjurkan tidak
merubah jenis antibiotik dalam kurun waktu tersebut kecuali terjadi perburukan yang
nyata. Bila hasil pengobatan tidak memuaskan maka modifikasi mutlak diperlukan sesuai
hasil kultur dan kepekaan kuman. Respons klinis berhubungan dengan faktor pasien
(seperti usia dan komorbid), faktor kuman (seperti pola resisten, virulensi dan keadaan
lain).
Hasil kultur kuantitatif yang didapat dari bahan saluran napas bawah sebelum dan
sesudah terapi dapat dipakai untuk menilai resolusi secara mikrobiologis. Hasil
mikrobiologis dapat berupa: eradikasi bakterial, superinfeksi, infeksi berulang atau
infeksi persisten.
Parameter klinis adalah jumlah leukosit, oksigenasi dan suhu tubuh. Perbaikan
klinis yang diukur dengan parameter ini biasanya terlihat dalam 1 minggu pengobatan
antibiotik. Pada pasien yang memberikan perbaikan klinis, foto toraks tidak selalu
menunjukkan perbaikan, akan tetapi apabila foto toraks memburuk maka kondisi klinis
pasien perlu diwaspadai.
L. Penyebab Perburukan
Diantaranya kasus-kasus yang diobati bukan pneumonia, atau tidak
memperhitungkan faktor tertentu pejamu, bakteri atau antibiotik, Beberapa penyakit
noninfeksi seperti gagal jantung, emboli paru dengan infark, kontusio paru , pneumonia
aspirasi akibat bahan kimia diterapi sebagai HAP.
Faktor pejamu yang menghambat perbaikan klinis adalah pemakaian alat bantu
mekanis yang lama, gagal napas, keadaan gawat, usia di atas 60 tahun, infiltrat paru
bilateral, pemakaian antibiotik sebelumnya dan pneumonia sebelumnya. Faktor bakteri
yang mempengaruhi hasil terapi adalah jenis bakteri, resistensi kuman sebelum dan
19
selama terapi terutama P.aeruginosa yang diobati dengan antibiotik tunggal. Hasil buruk
dihubungkan biasanya dengan basil gram negatif, flora polimikroba atau bakteri yang
telah resisten dengan antibiotik. Pneumonia dapat juga disebabkan oleh patogen lain
seperti M.tuberculosis, jamur dan virus atau patogen yang sangat jarang sehingga tidak
diperhitungkan pada pemberian antibiotik.
Penyebab lain kegagalan terapi adalah komplikasi pneumonia seperti abses paru
dan empiema. Pada beberapa pasien HAP mungkin terdapat sumber infeksi lain yang
bersamaan seperti sinusitis, infeksi karena kateter pembuluh darah, enterokolitis dan
infeksi saluran kemih. Demam dan infiltrat dapat menetap karena berbagai hal seperti
demam akibat obat, sepsis dengan gagal organ multipel.
M. Evaluasi Kasus Tidak Respons
Pada kasus-kasus yang cepat terjadi perburukan atau tidak respons terapi awal perlu
dilakukan evaluasi yang agresif mulai dengan mencari diagnosis banding dan melakukan
pengulangan pemeriksaan kultur dari bahan saluran napas dengan aspirasi endotatrakeal atau
dengan tindakan bronkoskopi.
20
N. Pencegahan Pneumonia Nosokomial
1. Pencegahan pada orofaring dan koloni di lambung
• Hindari pemakaian antibiotik yang tidak tepat, hal ini akan memudahkan terjadi
multi drug resistant (MDR)
• Pemilihan dekontaminan saluran cerna secara selektif termasuk antibiotik parenteral
dan topikal menurut beberapa penelitian sangat efektif untuk menurunkan infeksi
pneumonia nosokomial.
• Pemakaian sukralfat disamping penyekat H2 direkomendasikan karena sangat
melindungi tukak lambung tanpa mengganggu pH. Penyekat H2 dapat meningkatkan
risiko pneumonia nosokomial tetapi hal ini masih merupakan perdebatan.
• Penggunaan obat-obatan untuk meningkatkan gerakan duodenum misalnya
metoklopramid dan sisaprid, dapat pula menurunkan bilirubin dan kolonisasi bakteri
di lambung.
• Anjuran untuk berhenti merokok
• Meningkatkan program vaksinasi S.pneumoniae dan influenza
2. Pencegahan aspirasi saluran napas bawah
• Letakkan pasien pada posisi kepala lebih ( 30-45 O ) tinggi untuk mencegah aspirasi
isi lambung
• Gunakan selang saluran napas yang ada suction subglotis
• Gunakan selang lambung yang kecil untuk menurunkan kejadian refluks gastro
esofagal
• Hindari intubasi ulang untuk mencegah peningkatan bakteri yang masuk ke dalam
saluran napas bawah
• Pertimbangkan pemberian makanan secara kontinyu dengan jumlah sedikit melalui
selang makanan ke usus halus
3. Pencegahan inokulasi eksogen
• Prosedur pencucian tangan harus dijalankan sesuai prosedur yang benar, untuk
menghindari infeksi silang
• Penatalaksanaan yang baik dalam pemakaian alat-alat yang digunakan pasien
misalnya alat-alat bantu napas, pipa makanan dll
• Disinfeksi adekuat pada waktu pencucian bronkoskop serat lentur
• Pasien dengan bakteri MDR harus diisolasi
21
• Alat-alat yang digunakan untuk pasien harus diganti secara berkala misalnya selang
makanan , jarum infus dll
4. Mengoptimalkan pertahanan tubuh pasien
• Drainase sekret saluran napas dengan cara fisioterapi
• Penggunaan tempat tidur yang dapat diubah-ubah posisinya
• Mobilisasi sedini mungkin
O. PROGNOSIS
Prognosis akan lebih buruk jika dijumpai salah satu dari kriteria di bawah ini, yaitu
1. Umur > 60 tahun
2. Koma waktu masuk
3. Perawatan di IPI
4. Syok
5. Pemakaian alat bantu napas yang lama
6. Pada foto toraks terlihat gambaran abnormal bilateral
7. Kreatinin serum > 1,5 mg/dl
8. Penyakit yang mendasarinya berat
9. Pengobatan awal yang tidak tepat
10.Infeksi yang disebabkan bakteri yang resisten (P.aeruginosa, S.malthophilia,
Acinetobacter spp. atau MRSA)
11.Infeksi onset lanjut dengan risiko kuman yang sangat virulen
12.Gagal multiorgan
13.Penggunaan obat penyekat H2 yang dapat meningkatkan pH pada pencegahan
perdarahan usus
22
23
N. Komplikasi2
- CAP Berat
Bila memenuhi satu criteria mayor (dari 2 kriteria modifikasi) atau dua criteria
minor (dari 3 kriteria minor modifikasi)
Criteria minor yang dikaji saat masuk RS:
- Gagal nafas berat (PaO2 / FIO2 <250)
- Foto toraks: pneumonia mutlilobaris
- TD sistolik ≤ 90 mmHg
Criteria mayor yang dikaji saat masuk RS atau dalam perjalanan penyakit:
- Perlunya ventilator mekanis
- Syok sepsis
- Gagal nafas
- Sepsis
- Gagal ginjal akut
- Efusi parapneumonik
- Bronkiektasis
24
Tabel skoring CPIS3
Suhu (oC) ≥ 36.5 dan ≤ 38.4
≥ 38.5 dan ≤ 38.9
≥ 39.0 dan ≤ 36.0
0
1
2
Leukosit (mm3) ≥ 4000 dan ≤ 11.000
≤ 4000 dan ≥ 11.000
0
1
Sekresi trakeal Tidak ada
Sekresi non purulen
Sekresi purulen
0
1
2
PaO2 / FiO2 mmHg >240 atau ARDS (PaO2 ≤ 200)
≤ 240 dan tanpa ARDS
0
2
Foto Thoraks Tanpa infiltrat
Infiltrat difus atau bercak
Infiltrat lokal
0
1
2
Progresivitas infiltrate
pulmonar
Tanpa progresivitas radiologi
Progresivitas radiologik
0
2
Kultur aspirat trakeal Hasil jarang, sedikit, tanpa pertumbuhan
Kultur bakteri pathogen hasil menengah
Bakteri pathogen yang sama juga dijumpai pada
pewarnaan gram
0
1
1
Hasil skoring > 6 sugestif pneumonia
25
BAB III. PEMBAHASAN
1. Diagnosis CDC
- Pasien dengan keluhan sesak
- Pada foto thorax ditemukan adanya infiltrat, kesan bronkopneumonia. Tidak
ditemukan kelainan radiologi pada jantung
- Suhu pasien 38.6 derajat Celcius (>38 derajat Celcius)
- Pasien sulit mengeluarkan dahak. Dahak yang keluar kental, warna putih bening,
darah tidak ada.
- Leukositosis (21.900)
- Pemeriksaan Sputum BTA
Tanggal 23 Januari 2014 : Negatif
Tanggal 27 januari 2014 : Negatif
- Skoring CPIS : 7 (sugestif Pneumonia)
- Onset pneumonia timbul setelah pasien mendapat perawatan di Rumah Sakit
selama 35 hari (15 Desember 2013 – 20 Januari 2014)
Kriteria Pneumonia Nosokomial Berat
- Pasien tidak dirawat di ICU
- Tidak ditemukan tanda gagal napas (Saturasi 97.4%)
- Pada pemeriksaan radiologi tidak ditemukan kavitas ataupun kesan multilobar
- Tanda sepsis (syok, retensi urin) tidak ada
Kesimpulan :
Pasien memenuhi kriteria diagnosis HCAP dimana tidak ditemukan tanda
Pneumonia Berat.
2. Faktor Resiko Endogen
- Pasien pria berusia 74 tahun (lebih dari 60 tahun)
- Penyakit yang mendasari HCAP tidak ada
- Penyakit kronik tidak ada
- Kebiasaan merokok, negatif
26
3. Faktor Resiko Eksogen
- Tindakan invasif tidak ada (tindakan endoskopi dibatalkan karena pasien
mengalami stroke)
- Pemasangan selang nasogastrik, ada
- Kontaminasi dari lingkungan Rumah Sakit dan peralatan (?)
4. Faktor Resiko patogen MDR
- Terapi anti-mikroba 90 hari sebelum infeksi, tidak ada
- Perawatan Rumah Sakit >5 hari, ada
- Prevalensi kuman MDR di Rumah Sakit, belum diketahui
- Anggota keluarga dengan infeksi bakteri MDR, negatif
- Perawatan jangka lama, dirawat selama sebulan karena stroke
- Penyakit atau terapi imunosupresif, tidak ada
5. Terapi
- Oksigenasi nasal kanul 3 liter per menit
- Terapi antibotik empiris untuk CHAP late onset atau dengan resiko MDR
Sefalosporin antipseudomonal
Contoh : sefepim inj 3 x 1 gr IV
27
Daftar Pustaka
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia. Jakarta : PDPI
2. Sastroasmoro, Sudigdo. Dkk. 2007. Panduan Pelayanan Medis Departemen Penyakit
Dalam RSCM. Jakarta
3. PERDICI. 2009. Panduan Tata Kelola Hospital Aquired Pneumonia, Ventilator associated
Pneumonia dan HealthCare associated Pneumonia Pasien Dewasa. Jakarta : Centra
Communications
28