A R C H I P E L A G O
VOLUME 61 / OKTOBER 2017
HORTU
S ARC
HIP
ELAGO
VOLU
ME 61 / O
KTO
BER
2017
KOMODITAS LIPUTAN KHUSUS
Hal 76
Hal 26 Hal 66
http://www.majalahhortus.com
RENCANA LELANG GULA RAFINASI MENUAI PROTES
MISS COCOA INDONESIA 2017
HARGA RP.30.000,-LUAR JAKARTATAMBAH BIAYA KIRIM
MARCHELIA LUNGGAER
SAWIT TERKATEGORI INDUSTRI PADAT MODAL
BPDP SAWIT
Hal 46
MEMPROMOSIKAN SAWIT ‘SUSTAINABLE’
KE PERANCIS
4. Sertifikasi Usaha Bidang Pariwisata (2014)
INDUSTRIKAKAO
MASA SURAM
COVER HORTUS EDISI 61 OKT 17 CETAK Folder.indd 1 10/3/2017 11:05:55 PM
Digital Repository Universitas JemberDigital Repository Universitas Jember
3HORTUS ARCHIPELAGO - VOLUME 61 / OKTOBER 2017
DARI REDAKSI
SUHARNO
P EMBACA yang budiman, peringatan Hari Kakao Indonesia (Cocoa Day Expo) ke-6 di Kementerian Perindustrian, Jakarta,
baru-baru ini, tak semeriah dibandingkan dengan perayaan pada tahun-tahun sebelumnya. Inikah pertanda bahwa industri kakao nasional memasuki masa suram?
Masa kejayaan kakao Indonesia kini mulai pu-dar. Terlebih bila tolok ukur kejayaannya itu dilihat dari peningkatan jumlah produksi biji kakao dalam memenuhi bahan baku industri pengolahan cokelat. Produksi biji kakao domestik kini tak mampu lagi mengimbangi permintaan industri lokal kendati In-donesia tercatat sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto me-ngatakan, kapasitas terpasang seluruh pabrikan pe-ngolah kakao mencapai lebih 800.000 ton per tahun. Tapi, kapasitas terpakai industri hanya sebesar 49% dari kapasitas terpasang. Hal itu terjadi karena indus-tri kekurangan bahan baku meskipun produk kakao merupakan salah satu produk prioritas.
“Kekurangan pasokan bahan baku itu juga di-pengaruhi oleh rendahnya tingkat produktivitas la-han kakao. Produktivitas biji kakao di dalam negeri sebesar 0,3 ton—0,4 ton per hektar setiap tahun. Sementara itu, produktivitas lahan di negara-nega-ra produsen biji kakao rata-rata mencapai 1 ton per hektar setiap tahun,” katanya usai Peringatan Hari Kakao Indonesia di Plaza Kementerian Perindus-trian Jakarta, baru-baru ini.
Airlangga mengakui bahwa industri pengo-lahan kakao mempunyai peranan yang penting dalam peningkatan perekonomian negara. Sebab, pemerintah sendiri telah menetapkan Rencana In-duk Pembangunan Industri Nasional (RIPN) 2015 – 2035, dan industri kakao termasuk salah satu in-dustri prioritas yang harus dikembangkan.
Karena itulah, dia menambahkan, pihaknya akan terus mendorong hilirisasi industri berbasis agro kakao, melalui pembentukan unit-unit pe-ngolahan industri kakao yang diharapkan dapat menumbuhkan wirausaha-wirausaha baru skala kecil, dan menengah melalui bantuan mesin dan peralatan pengolahan kakao.
Biji kakao merupakan bahan baku bagi industri pengolahan kakao. Sejumlah produk turunan biji kakao antara lain cocoa cake, cocoa butter, cocoa li-quor, dan cocoa powder. Empat jenis produk terse-but merupakan bahan baku pembuat cokelat.
Pergerakan nilai ekspor produk olahan kakao rata-rata mengalami penyusutan karena kelang-kaan bahan baku. Nilai ekspor cocoa cake turun 17,3% dari senilai US$187,6 juta pada 2015, menjadi senilai US$155,2 juta pada 2016. Ekspor cocoa but-ter turun 3,9% dari senilai US$726,3 juta pada 2015, menjadi senilai US$ 697,9 juta pada 2016.
Pembaca yang budiman, mengenai ihwal ‘Masa Suram Industri Kakao’ kami kupas di Rubrik Laporan Utama HORTUS Archipelago, sementara rubrik Liputan Khusus edisi Oktober 2017 ini, kami akan mengulas Peliknya ‘Rencana Lelang Gula Ra-finasi yang Masih Menuai Protes’.
Seperti diketahui, sejak medio Maret 2017 lalu, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita telah menggulirkan beleid baru di bidang pengaturan perdagangan GKR yang diproses dari gula men-tah (raw sugar) impor melalui lelang komoditas. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.16/M-DAG/PER/3/2017 tentang Perdagangan GKR melalui Pasar Lelang Komoditas.
Sehingga perdagangan GKR nantinya hanya bisa lewat pasar lelang komoditas, yang bertujuan untuk memotong rantai distribusi GKR impor. Selain itu juga untuk menjamin pasokan dan menjaga stabilitas harga gula nasional dan menyamakan hak bagi in-dustri besar dan kecil untuk mengakses gula rafinasi.
Lelang gula rafinasi ini juga dimaksudkan un-tuk menghindari rembesan gula rafinasi ke pasar konsumsi yang diperkirakan mencapai 300.000 ton per tahun. Sebab, keunggulan sistem lelang ini adalah pendistribusiannya terlacak. Gula rafinasi yang telah dilelang akan diberikan barcode sehing-ga peredarannya dapat diketahui.
Namun, belum juga kebijakan baru tersebut diterapkan, suara-suara keberatan bermunculan di sana-sini. Salah satunya disuarakan pimpinan Komisi VI DPR-RI. DPR menilai kebijakan itu me-nyalahi aturan karena memberikan ruang kepada swasta untuk mengaturnya.
Seharusnya, penyelenggara lelang gula kristal rafinasi adalah pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Jangan sampai barang strategis seperti gula ini dikontrol oleh swasta, harusnya pemerintah yang mengendalikan
Pembaca sekalian, selain itu masih banyak sa-jian menarik yang bisa anda dapatkan pada setiap lembar majalah kesayangan ini.
Dari meja redaksi, kami ucapkan selamat me-nikmati sajian bermutu dari kami.
INDUSTRI KAKAONASIONAL
Penerbit :FP2SB
(Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan)Pemimpin Umum :
Nurwalida A. Mangga Barani, BBAPemimpin Perusahaan :Dhina Ermayani, Shut. MP
Pemimpin Redaksi :Suharno
Wakil Pemimpin Redaksi:Agus Priyanto
Dewan Pakar :Ir. Achmad Mangga Barani, MM (Ketua)
Dr. Ir. Iskandar Andi Nuhung, MSDr.Ir. Memed Gunawan, MSc
Dr. Ermanto Fahamsyah, SH, MHProf. Dr. Ir. Sudirman Yahya, MScProf. Dr. Supiandi Sapiham, MAgr
Prof. Dr. Ir. Kaman Nainggolan, MSProf. Dr. Bambang Shergi Laksmono, MA
Dr. Ir. Sudharsono Sudomo, MSDr. Ir. Nyoto Santoso, MSIr. Togar Napitupulu, PhD
Sidang Redaksi :Dr. Ir. Iskandar Andi Nuhung, MS (Ketua)
Dr. Ir. Witjaksana Darmosarkoro, MSIr. Darmansyah Basyarudin
Ir. Rismansyah Danasaputra, MMDr. Ermanto Fahamsyah, SH, MH
Suharno Tofan Mahdi
Agus PriyantoAgung SujartoHanny Bie Rizki
Neneng Maghfiro
Sekretaris Redaksi:Ida Nurbaeti
Desain/Layout:[email protected]
Manager Keuangan :Asmari
Distribusi & Sirkulasi:Rida, Ida, Mailudin
Umum : M. Apen, Mawan
Alamat Redaksi & Usaha :Graha BUN. Jln Ciputat Raya No.7 Pondok Pinang, Jakarta Selatan
Telp : (021) 75916652 - 53
www.majalahhortus.comE-mail : [email protected]
No Rekening : 121 00333 55557Bank Mandiri a/n PT Mutu Indonesia
Strategis Berkelanjutan
ISI HORTUS EDISI 61 OKT 17 CETAK Folder.indd 3 10/3/2017 10:31:12 PM
Digital Repository Universitas JemberDigital Repository Universitas Jember
54 HORTUS ARCHIPELAGO - VOLUME 61 / OKTOBER 2017
Hukum
KONSEPSI HAM & PERKEBUNAN KELAPA SAWIT INDONESIA
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), selanjutnya dise-but dengan UU HAM, menyebutkan definisi dari HAM adalah seperang-kat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wa-jib dihormati, dijunjung tinggi dan di-lindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. HAM dan kebebasan dasar manusia meliputi, Hak untuk Hidup; Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan; Hak Mengembangkan Diri; Hak Memperoleh Keadilan; Hak Atas Kebebasan Pribadi; Hak atas Rasa Aman; Hak atas Kesejahteraan; Hak Turut Serta dalam Pemerintahan;
Hak Wanita; dan Hak Anak.
Oleh: Dr. Ermanto Fahamsyah, S.H., M.H.
B ERBICARA usaha perkebunan kelapa sawit Indonesia tentu tidak bisa terlepas dari ber-bagai isu, salah satunya adalah isu HAM. HAM dalam konteks kegiatan perkebunan di Indo-nesia, termasuk kelapa sawit, sebenarnya telah
mendapatkan pengakuan dan/atau perlindungan hukum. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya pengaturan dalam ber bagai peraturan perundang-undangan, ter-masuk dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945), yang secara khusus mengatur ten-tang HAM pada Bab XA, Pasal 28A-28I dan UU HAM itu sendiri.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perke-bunan) juga telah mengatur tentang pengakuan dan/atau perlindungan HAM dalam usaha perkebunan, baik secara ter-sirat maupun tersurat. Antara lain, bagian menimbang huruf b telah menyebutkan bahwa “perkebunan berperan penting dan memiliki po-tensi besar dalam pembangunan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan”. Pasal 2 juga mengatur bahwa perkebunan diselenggarakan berdasarkan asas kedaulatan; kemandirian; kebermanfaatan; keberlanjutan; keterpaduan; kebersamaan; keterbukaan; efisiensi-berkeadilan; kearifan
lokal; dan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Materi muatan lainnya dalam UU Perkebunan juga telah
mengatur pengakuan dan perlindungan hak asasi dari para pihak yang terlibat dalam kegiatan perkebunan di Indone-sia, antara lain, hak asasi dari para pelaku usaha, masyarakat sekitar perkebunan, masyarakat hukum adat, dan lainnya.
Hak asasi yang dijamin meliputi hak terkait ekonomi, lingkungan hidup dan sosial-budaya, misal-
nya, dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 18 yang mengatur tentang penggunaan lahan;
Pasal 11, Pasal 12 dan 17 yang mengatur tentang Perlindungan terhadap Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat; Pasal 39 dan Pasal 40 yang mengatur tentang pelaku usaha yang dapat beru-saha pada perkebunan; Pasal 51 ten-
tang pemberdayaan usaha perkebunan; Pasal 55 tentang larangan-larangan per-
buatan tertentu; Pasal 56 tentang larangan membuka dan/atau mengolah lahan dengan
cara membakar; Pasal 57 sampai dengan Pasal 60 tentang kemitraan usaha perkebunan; Pasal 62 tentang
pembangunan perkebunan berkelanjutan yang menentukan bahwa Pengembangan Perkebunan diselenggarakan secara berkelanjutan dengan memperhatikan aspek ekonomi; sosial budaya; dan ekologi. Pengembangan perkebunan berkelan-jutan sebagaimana dimaksud harus memenuhi prinsip dan
ISI HORTUS EDISI 61 OKT 17 CETAK Folder.indd 54 10/3/2017 10:32:56 PM
Digital Repository Universitas JemberDigital Repository Universitas Jember
55HORTUS ARCHIPELAGO - VOLUME 61 / OKTOBER 2017
kriteria pembangunan perkebu-nan berkelanjutan; Pasal 67 sampai dengan Pasal 70 tentang pelestar-ian fungsi lingkungan hidup; Pasal 86 dan Pasal 87 tentang sistem data dan informasi; Pasal 88 sampai dengan Pasal 92 tentang pengem-bangan sumber manusia dalam perkebunan; Pasal 100 tentang pe-ran serta masyarakat; dan lainnya.
Selanjutnya, Peraturan Men-teri Pertanian No. 11/Permentan/OT.140.3/2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Permen-tan ISPO), juga telah memberikan pengakuan dan/atau per-lindungan hukum terhadap HAM bagi para pihak yang ter-libat dalam kegiatan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Pernyataan tersebut dibuktikan dengan adanya pengaturan yang menyebutkan bahwa “Pembangunan Perkebunan kelapa sawit berkelanjutan atau Sustainable Palm Oil merupakan kewajiban yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia dalam upaya memelihara lingkungan, meningkatkan kegiatan eko-nomi, sosial dan penegakan peraturan perundangan Indone-sia di bidang perkelapa-sawitan”.
Berikutnya, dasar pertimbangan Permentan ISPO dianta-ranya, pembangunan perkebunan diselenggarakan berdasarkan asas kedaulatan, kemandirian, kebermanfaatan, keberlanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, efisiensi berkeadilan, kearifan lokal, dan kelestarian fungsi lingkungan. Dasar pertim-bangan ini secara eksplisit merujuk pada asas penyelenggaraan perkebunan dalam Pasal 2 Undang-Undang Perkebunan.
Permentan ISPO mempunyai dasar mengingat sebanyak 39 peraturan hukum, mulai dari tingkat undang-undang sam-pai dengan keputusan menteri yang terkait dengan sistem sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia. Permentan ISPO juga mengatur tentang prinsip dan kriteria ISPO yang harus dijalankan oleh perusahaan perkebunan dan ke depan-
nya juga oleh pekebun. Memperhatikan prinsip dan kriteria ISPO tersebut menunjukkan bahwa seluruh penyelengaraan perkebunan kelapa sawit Indonesia harus memperhatikan as-pek legalitas, ekonomi, sosial budaya dan lingkungan hidup. Dimana kesemuanya aspek tersebut tentu terkait dengan hak asasi manusia para pihak terkait, baik hak terkait ekonomi, lingkungan hidup dan sosial-budaya.
Dengan demikian, HAM dalam konteks kegiatan perkebu-nan kelapa sawit di Indonesia sebenarnya telah mendapatkan pengakuan dan/atau perlindungan hukum, utamanya dalam bentuk preventif. Hal tersebut dibuktikan dengan materi muatan dari beberapa peraturan perundang-undangan terkait perkebunan kelapa sawit, mulai dari setingkat UUDNRI 1945 sampai dengan Peraturan Menteri Pertanian yang di dalamnya telah mengakomodasikan konsepsi tentang pengakuan dan/atau perlindungan dengan HAM. Misalnya, UU Perkebunan dan Permentan ISPO. Yang masih menjadi pekerjaan rumah kita bersama adalah bagaimana melaksanakan semua pe-ngaturan tersebut dalam penyelenggaraan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Dosen Tetap Fakultas Hukum-Universitas JemberSekretaris Jenderal Forum Pengembangan Perkebunan Strategis
Berkelanjutan (FP2SB)
DENGAN DEMIKIAN, HAM DALAM KONTEKS KEGIATAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA SEBENARNYA TELAH MENDAPATKAN PENGAKUAN DAN/ATAU PERLINDUNGAN HUKUM, UTAMANYA DALAM BENTUK PREVENTIF. HAL TERSEBUT DIBUKTIKAN DENGAN MATERI MUATAN DARI BEBERAPA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PERKEBUNAN KELAPA SAWIT.
ISI HORTUS EDISI 61 OKT 17 CETAK Folder.indd 55 10/3/2017 10:32:57 PM
Digital Repository Universitas JemberDigital Repository Universitas Jember