HUBUNGAN ANDROPAUSE DENGAN DEPRESI PADA GURU DAN
KARYAWAN SMA NEGERI 1 SUKOHARJO
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
OLEH :
BERTY DENNY HERMAWATI
G0006057
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
SKRIPSI
PERSETUJUAN
Skripsi dengan judul : Hubungan Andropause dengan Depresi pada Guru dan
Karyawan SMA Negeri 1 Sukoharjo
Berty Denny Hermawati, G0006057, Tahun 2010
Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Skripsi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada Hari.................., Tanggal..............
Pembimbing I Pembimbing II
Dra. Endang GIE Sahir, M.Sc, A.And Dr. Nining Sri Wuryaningsih, dr., Sp. PK
NIP : 195001071979032001 NIP : 194602211976092001
Penguji I Penguji II
Dra. Fitriyah drg. Suhanantyo, M.Si. Med
NIP : 195206241980032002 NIP : 19510606198611001
Tim Skripsi
Diding Heri Prasetyo, dr., M.Si.
NIP : 196804291999031001
PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta,
Berty Denny Hermawati
NIM. G0006057
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR …………………………………………………………... vi DAFTAR ISI …………………………………………………………………….. viii DAFTAR TABEL ……………………………………………………………….. x DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………….. xi BAB 1 : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………….. 1
B. Perumusan Masalah ............................................................................. 3
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 4
D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 4
BAB II : LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ……………………………………………………
5 B. Kerangka Pemikiran …………………………………………...……
26 C. Hipotesis …………………………………………………………….
27
BAB III : METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ……………………………………………………...
28 B. Lokasi Penelitian ……………………………………………………
28 C. Subjek Penelitian ……………………………………………………
28 D. Teknik Sampling ……………………………………………………
29 E. Rancangan Penelitian ……………………………………………….
30 F. Identifikasi Variabel Penelitian ……………………………………..
31 G. Definisi Operasional Variabel ………………………………………
31 H. Intrumen Penelitian …………………………………………………
33
I. Teknik Analisis Data ………………………………………………. 34
BAB IV : HASIL PENELITIAN ………………………………………………... 36 BAB V : PEMBAHASAN ……………………………………………………… 40 BAB VI : SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………….. 46
A. Simpulan …………………………………………………………… 46 B. Saran ……………………………………………………………….. 46
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….. 47 LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Jumlah Skor dan Derajat Depresi ........................................................... 16 Tabel 2. Distribusi Umur Penderita Andropause yang Diteliti ………………….
26
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Andropause dengan Depresi pada Guru dan
Karyawan SMA Negeri 1 Sukoharjo
………………………………………………………... 27
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Kuesioner Lampiran 2. Data Primer Hasil Penelitian Lampiran 3. Hasil Analisis Data Program OpenEpi, Version 2, open source calculator—TwobyTwo Lampiran 4. Perhitungan Statistik Lampiran 5. Tabel chi square Lampiran 6. Surat ijin Penelitian dan Pengambilan Data Lampiran 7. Surat Keterangan Ethical Clearance
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul “Hubungan Andropause dengan Depresi pada Guru dan Karyawan SMA Negeri 1 Sukoharjo” yang merupakan persyaratan guna menyelesaikan program studi S1 di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Terlaksananya skripsi ini berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. A. A. Subiyanto, dr., MS. selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
2. Dra. Endang GIE Sahir, M.Sc, A.And selaku Pembimbing Utama yang telah memberikan arahan, bimbingan, serta saran hingga terselesaikannya penyusunan skripsi ini.
3. Dr. Nining Sri Wuryaningsih, dr., Sp. PK selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberikan masukan dan bimbingan demi penyempurnaan skripsi ini.
4. Dra. Fitriyah selaku Penguji Utama yang telah meluangkan waktu untuk menguji dan memberikan saran sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.
5. Drg. Suhanantyo, Msi. Med selaku Anggota Penguji yang telah memberikan masukan-masukan.
6. Sri Wahyono, dr., M.Kes. selaku Ketua Tim Skripsi. 7. Bapak, ibu, serta kakak tercinta yang tidak pernah berhenti membantu
serta mendukung penulis. 8. Darmadi Joko Sumarah yang selalu menyalakan semangat bagi penulis
serta banyak memberikan uluran tangan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
9. Keluarga besar SMA Negeri 1 Sukoharjo yang telah banyak membantu dalam proses pengambilan data.
10. Teman-teman PBL D5 : Udin, Bheta, Cyntia, Devi, Sandra, Wulan, Nurcah, Danus, Ryan, dan Reza atas persahabatan, semangat, kerjasama, keceriaan, serta kenangan yang tak terhapus waktu.
11. Teman –teman angkatan 2006, adik serta kakak tingkat penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
12. Semua pihak yang telah membantu terlaksananya penulisan skripsi ini. Semoga amal baik dari berbagai pihak tersebut mendapat balasan setimpal
dari Allah SWT.Amin. Penulis menyadari penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penulis mengharap adanya saran dan kritik yang membangun. Akhirnya penulis berharap semoga penelitian ini bermanfaat terutama dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan aplikasinya dalam masyarakat luas.
Surakarta, Penulis
ABSTRAK
Hubungan Andropause dengan Depresi Pada Guru dan Karyawan SMA Negeri 1 Sukoharjo
Berty Denny Hermawati *), Endang GIE Sahir *), Nining Sri
Wuryaningsih*), Fitriyah*), Suhanantyo*)
Dalam memasuki usia tua, pria seringkali mengalami berbagai gejala, tanda, dan keluhan mirip wanita menopause. Pada pria, sindroma ini sering disebut sebagai andropause. Akan terjadi berbagai manifestasi yang berkaitan dengan andropause ini, salah satunya adalah depresi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan andropause dengan depresi pada guru dan karyawan SMA Negeri 1 Sukoharjo Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan studi cross sectional dan subjek penelitian sejumlah 36 orang guru dan karyawan SMA Negeri 1 Sukoharjo yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dengan alat penelitian berupa kuesioner. Hasil uji statistik menggunakan chi square didapatkan X2 hitung = 6,959 sedangkan X2 tabel = 3, 841 dengan taraf signifikansi α = 0,05. Hasil analisis data menggunakan program OpenEpi Version 2 didapatkan OR = 12,7 ; P = 0,016. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara andropause dan depresi pada guru dan karyawan SMA Negeri 1 Sukoharjo.
Kata kunci : andropause - depresi *)Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
ABSTRAK
The Relation between Andropause and Depression On Teachers and Staff at SMA Negeri 1 Sukoharjo
Berty Denny Hermawati *), Endang Gie Sahir *), Nining Sri Wuryaningsih *), Fitriyah *), Suhanantyo *)
In entering old age, men often experience various symptoms, signs, and similar complaints of menopausal women. In men, the syndrome is often referred to andropause. There will be a variety of manifestations associated with andropause, one of that is depression. This study aims to determine the relationship between andropause and depression on teachers and staff at SMA Negeri 1 Sukoharjo. This research is an analytic observational study with cross sectional approach and research the subject of some 36 teachers and staff SMA Negeri 1 Sukoharjo who meet the criteria of inclusion and exclusion by means of a questionnaire study. Test results using chi-square statistics obtained X2 = 6.959, while table X2 = 3, 841 with a significance level α = 0.05. The results of data analysis using OpenEpi program Version 2 obtained OR = 12.7; P = 0.016. From this research can be concluded that there is a significant relationship between andropause and depression on teachers and staff at Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sukoharjo. Keywords:andropause-depression *) Medical Faculty of 11 th March University Surakarta.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penuaan adalah proses fisiologis yang akan dialami oleh seluruh makhluk
hidup, jika makhluk itu diberi kesempatan berumur panjang. Terjadinya berbeda
dan kecepatan usia mulai proses juga berbeda. Dalam memasuki usia tua, seorang
pria seringkali mengalami berbagai gejala, tanda, dan keluhan mirip wanita
menopause. Kumpulan gejala, tanda, dan keluhan tersebut umumnya disebut
dengan satu kata yaitu sindroma. Sindroma pada pria menua ini sering disebut
sebagai sindroma Partial Androgen Deficiency in Aging Male (PADAM) atau
andropause (Wibowo, 2003). Tapi tidak seperti menopause, dimana tanda-
tandanya dapat diamati dengan gejala khas berhentinya haid, proses andropause
pada pria usia lanjut terjadi penurunan fungsi testis secara perlahan, bertahap,
sedikit demi sedikit sehingga terjadi penurunan kadar total testosteron dan
perubahan irama sekresi sirkadian testosteron (Soewondo, 2006). Hormon yang
turun pada andropause ternyata tidak hanya testosteron saja, melainkan penurunan
multihormonal yaitu penurunan hormon dehydroepiandrosteron (DHEA),
dehydroepiandrosteron sulphate (DHEAS), melantonin, growth hormone, dan
insulin like growth factors (IGFs ) (Setiawan, 2007).
Data di negara barat menyebutkan bahwa sindroma andropause ini dialami
oleh sekitar 15 % pria umur 40-60 tahun, sebagian lagi telah dialami dan dimulai
pada umur sekitar 30 tahun dengan penderita kurang dari 5 %. Data di negara
Indonesia sampai saat ini belum ada, walaupun UNDIP telah melakukan
penelitian, tetapi dengan population base study saja (Wibowo, 2003). Menurut
laporan Massachussets Male Aging (1991) dan Vermeulen (1992), mulai usia 40
tahun pria akan mengalami penurunan kadar testosteron darah aktif sekitar 1,2 %
per tahun dan setelah mencapai usia 70 tahun pria akan mengalami penurunan
kadar testosteron darah aktif sebanyak 35 % dari kadar semula (Hidayati, 2006).
Cepat atau lambatnya proses andropause dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor
internal dan eksternal. Faktor internal bisa dari dalam tubuhnya sendiri atau faktor
genetik, bisa juga disertai sindroma metabolik misalnya darah tinggi, kolesterol
tinggi, obesitas, dan kencing manis. Faktor eksternal dapat berasal dari
lingkungan, polusi, kebisingan, stres, gaya hidup tidak sehat, merokok, pola tidur,
dan pola makan tidak seimbang (Isnawati, 2008).
Akan terjadi berbagai manifestasi yang lazim berkaitan dengan andropause
yaitu mudah letih, lesu, lemah, kaku pada otot, sendi dan tulang, mengalami
osteoporosis, rambut rontok, kulit kering, gairah seksual menurun, bahkan bisa
terjadi impotensi, dan masalah sirkulasi darah. Akibat manifestasi tersebut pada
seorang pria, akan timbul rasa cemas, kurang percaya diri, sulit tidur, mudah
marah, yang berlanjut dengan depresi (Zainal, 2001).
Berkaitan dengan depresi yang dapat timbul sebagai manifestasi dari
andropause, penelitian yang akhir-akhir ini dipublikasikan menyatakan bahwa
kadar testosteron yang rendah berhubungan dengan gejala depresi disertai
gangguan psikologis lainnya. Beberapa laporan menyatakan efek dari rendahnya
kadar testosteron dapat menyebabkan kehilangan kemampuan dalam
berkonsentrasi, perubahan suasana hati, emosional, mudah marah, merasa rendah
diri, merasa lemah, gangguan memori, kelelahan, berkurangnya kemampuan
intelektual, berkurangnya minat terhadap keadaan sekitar, dan hipokondriasis.
Kesemuanya merupakan gejala klinik dari depresi (Pazuchowski, 2009).
Depresi merupakan suatu kelainan jiwa yang bisa dialami siapa saja. Data
dari berbagai penelitian epidemiologi psikiatri menunjukkan sekitar 5 %
penduduk Indonesia pernah mengalami depresi pada suatu masa tertentu. Dan,
sekitar 25 % penduduk Indonesia pernah mengalami depresi semasa hidupnya
(Etty, 2001). Sedangkan untuk depresi berat yang merupakan suatu penyakit
serius, diderita 5% populasi pria pertahun, serta 17% pria selama kehidupannya.
Frekuensi depresi berat meningkat sesuai pertambahan umur dan menjadi lebih
sering setelah usia 40 tahun, sebanding dengan penurunan kadar testosteron
(Bexton, 2001).
Dari uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti apakah terdapat
hubungan antara andropause dengan depresi.
B. Perumusan Masalah
Adakah hubungan andropause dengan depresi pada guru dan karyawan
SMA Negeri 1 Sukoharjo?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Utama
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan
andropause dengan depresi pada guru dan karyawan SMA Negeri 1
Sukoharjo.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
andropause dengan depresi pada guru dan karyawan SMA Negeri 1
Sukoharjo, sehingga dapat menjadi dasar dalam pemahaman serta penanganan
andropause.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Dapat memberikan bukti-bukti empiris tentang hubungan teoritis
andropause dengan depresi, sehingga memberikan informasi bagi
pengembangan ilmu kedokteran dan kesehatan reproduksi pria.
2. Manfaat Aplikatif
Memberikan pemahaman kepada masyarakat umum, khususnya kaum pria
mengenai hubungan andropause dengan depresi, sehingga dapat menjadi
masukan dalam usaha pencegahan serta dalam menghadapi andropause untuk
mempertahankan kualitas hidup yang sehat.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Andropause
a. Definisi Andropause
Kata andropause diambil dari bahasa Yunani, yaitu andro yang berarti
pria dan pause yang artinya penghentian. Jadi, secara harfiah andropause
dapat diartikan sebagai berhentinya proses fisiologis pada pria
(Setiawati&Juwono, 2006). Akan tetapi, beberapa ahli masih memperdebatkan
digunakannya istilah andropause pada pria karena tidak ada proses fisiologik
yang terhenti. Profesor Eberhard Nieschlag, ahli fertilitas dari Universitas
Munster, Jerman, adalah salah satu pakar yang menolak penggunaan istilah
andropause untuk kaum pria. Nieschlag mengatakan, pada perempuan
menopause ditandai berhentinya produksi sel telur yang dapat dilihat dengan
gejala khas yaitu berhentinya siklus menstruasi. Sementara pada kaum pria,
sepanjang hayatnya hormon testosteron tetap diproduksi meski kadarnya
semakin menurun. Sejumlah ahli lebih sepakat untuk menggunakan istilah
Partial Androgen Deficiency in Aging Male atau PADAM. Istilah ini dirasa
lebih tepat karena menjelaskan bahwa pengurangan kadar testosteron hanya
terjadi sebagian, bukan seluruhnya. Tetapi, penurunan kadar testosteron pada
pria ini terlanjur dikenal dengan istilah andropause sehingga istilah ini tetap
diterima sebagai istilah baku.
Andropause merupakan suatu istilah yang menjelaskan gejala kompleks
pada pria menua yang mempunyai kadar testosteron rendah karena penurunan
bertahap pada sekresinya (Verma et al., 2006). Andropause ditandai sebagai
suatu sindrom dengan perubahan fisik dan intelektual yang berkaitan serta
dapat dikoreksi dengan androgen (Djuwantoro, 2006). Beberapa istilah yang
digunakan oleh berbagai literatur sebagai sinonim dari andropause yaitu
klimakterium pada pria, Androgen Deficiency in Aging Male (ADAM),
Partial Testosterone Deficiency in Aging Male (PTDAM), Partial Androgen
Deficiency in Aging Male (PADAM), adrenopause (deficiency
dehydroapiandrosteron/DHEA dan DHEA Sulphate/ DHEAS), somatopause
(deficiency growth hormon/GH dan Insulin like Growth Factor 1/IGF-1,
penopause, dan viropause (Wibowo, 2003).
Hormon yang turun pada andropause tidak hanya testosteron saja,
melainkan penurunan multihormonal yaitu penurunan hormon DHEA
(dehydroepiandrosteron), DHEAS (dehydroepiandrosteron sulphate),
melantonin, growth hormone, dan IGFs (insulin like growth factors)
(Setiawan, 2007).
Berdasarkan penelitian, diketahui 15 % lelaki berusia 40-60 tahun di
negara-negara maju mengalami andropause dan kurang dari 5 % lelaki yang
mengalami sindroma ini pada umur sekitar 30 tahun. Sedangkan di Indonesia
tidak diketahui dengan pasti berapa jumlahnya (Wibowo, 2003).
b. Fisiologi Andropause
Baik testis maupun kelenjar adrenal menyekresikan beberapa hormon
pria yang disebut androgen. Testosteron, andogen yang utama, merupakan
hormon yang terbanyak dan yang paling berpengaruh. Produksi testosteron
pada pria ini dimediasi oleh aksis hipotalamus-hipofisis-gonad. Sekresi
gonadotropin releasing hormone (GnRH) berasal dari hipotalamus yang
menstimulasi kelenjar hipofisis untuk mengeluarkan luteinizing hormone
(LH), yang mengaktivasi sel-sel testikular leydig untuk memproduksi
testosteron. Jika terjadi peningkatan konsentrasi testosteron, maka mekanisme
umpan balik negatif akan menghambat sekresi dari GnRH. GnRH juga
menstimulasi pengeluaran dari follicle-stimulating hormone (FSH), yang
terikat pada sel-sel sertoli dalam tubulus seminiferus. Hormon FSH ini
meningkatkan spermatogenesis. Sekresi testosteron terjadi dalam semburan
yang pulsatil (sekitar 6 kali/hari) puncaknya pada pagi hari serta awal malam.
Dengan total sekitar 7 mg testosteron disekresikan perhari.
Gambar 1. Mekanisme Umpan Balik Testosteron (Cummings, 2001)
Faktor psikologis, sosial, musim, dan biologis mempengaruhi sekresi
dari testosteron. Kadarnya ditingkatkan pada waktu kemenangan dalam
kompetisi, ketika status sosial meningkat, selama pergerakan mata yang cepat
pada saat tidur, setelah aktifitas seksual, sesudah berolahraga, dan selama
musim gugur. Sedangkan kadar testosteron menurun pada saat kekalahan,
stres fisik dan emosi, pecandu alkohol berat, d
umumnya kadar testosteron kembali normal segera setelah stimulus
2001).
Testosteron berada dalam tiga bentuk dalam aliran darah. Hanya 2% dari
hormon ini yang berbentuk testosteron bebas. Sekitar satu setengah dari
hormon ini terikat lemah pada albumin dan sisanya terikat kuat pada
Gambar 1. Mekanisme Umpan Balik Testosteron (Cummings, 2001)
Faktor psikologis, sosial, musim, dan biologis mempengaruhi sekresi
dari testosteron. Kadarnya ditingkatkan pada waktu kemenangan dalam
ika status sosial meningkat, selama pergerakan mata yang cepat
pada saat tidur, setelah aktifitas seksual, sesudah berolahraga, dan selama
musim gugur. Sedangkan kadar testosteron menurun pada saat kekalahan,
stres fisik dan emosi, pecandu alkohol berat, dan selama musim semi. Pada
umumnya kadar testosteron kembali normal segera setelah stimulus
Testosteron berada dalam tiga bentuk dalam aliran darah. Hanya 2% dari
hormon ini yang berbentuk testosteron bebas. Sekitar satu setengah dari
n ini terikat lemah pada albumin dan sisanya terikat kuat pada
Gambar 1. Mekanisme Umpan Balik Testosteron (Cummings, 2001)
Faktor psikologis, sosial, musim, dan biologis mempengaruhi sekresi
dari testosteron. Kadarnya ditingkatkan pada waktu kemenangan dalam
ika status sosial meningkat, selama pergerakan mata yang cepat
pada saat tidur, setelah aktifitas seksual, sesudah berolahraga, dan selama
musim gugur. Sedangkan kadar testosteron menurun pada saat kekalahan,
an selama musim semi. Pada
(Bexton,
Testosteron berada dalam tiga bentuk dalam aliran darah. Hanya 2% dari
hormon ini yang berbentuk testosteron bebas. Sekitar satu setengah dari
n ini terikat lemah pada albumin dan sisanya terikat kuat pada sex
hormone-binding globulin (SHBG). Bioavailabilitas testosteron mengacu pada
bentuk ikatan non-SHBG termasuk testosteron bebas dan testosteron yang
terikat lemah pada albumin. Bioavailabilitas testosteron ini merupakan fraksi
biologis yang aktif. Antara umur 40-70 tahun, kadar testosteron bebas
menurun rata-rata 1% per tahun. Penurunan ini semakin diperjelas dengan
kenaikan konsentrasi dari SHBG kira-kira 1,2 % per tahun (Bexton, 2001).
Penelitian lainnya dengan multiple cross sectional dan longitudinal,
menunjukkan produksi testosteron mulai meningkat pesat pada saat pubertas
dan setelah umur 40 tahun terdapat penurunan yang lambat pada kadar
testosteron plasma yaitu 1-2% pertahun (Verma et al., 2006). Oleh karena
jumlah dari testosterone-binding sites pada SHBG meningkat, fraksi hormon
yang tidak terikat turun. Sebagai akibat dari penurunan fungsi sel-sel leydig,
dan sensitivitas aksis hipotalamus-hipofisis-gonad, pria yang menua
cenderung tidak dapat mengkompensasi penurunan sirkulasi dari testosteron
ini. Berdasarkan penelitian ditemukan 7% dari pria usia 40-60 tahun, 20% dari
yang berumur 60-80 tahun, dan 35% pria diatas 80 tahun memiliki konsentrasi
total testosteron di bawah nilai normal (350 mg/dL) (Bexton, 2001).
Testosteron bertanggung jawab terhadap berbagai sifat maskulinisasi
tubuh, pembentukan organ kelamin pria, penghambat pembentukan organ
kelamin wanita, serta penentu perkembangan sifat kelamin primer dan
sekunder pada pria dewasa (Guyton & Hall, 1997). Oleh sebab itu, akan
timbul gejala-gejala andropause dengan berkurangnya kadar testosteron dalam
plasma yang diakibatkan oleh adanya penurunan massa sel leydig, disfungsi
testikular (hipogonad primer), disfungsi yang mengontrol homeostasis
hipotalamus-hipofisis (hipogonad sekunder), peningkatan protein pengikat
hormon seks dan berkurangnya bioavailabilitas testosteron (Anita & Moeloek,
2002).
c. Gejala dan Tanda Andropause
Berbeda dengan menopause, andropause memiliki onset yang
tersembunyi, progresinya lambat, dan juga gambaran klinisnya tidak sejelas
menopause (Verma et al., 2006). Gejala dan tanda yang timbul pada pria
andropause bersifat kompleks, meliputi (Kiagus, 2002):
1). Aspek vasomotor
Gejolak panas, berkeringat, susah tidur (insomnia), rasa gelisah, dan takut.
2). Aspek fungsi kognitif dan suasana hati
Mudah lelah, menurunnya well-being, menurunnya motivasi,
berkurangnya ketajaman mental (intuisi), keluhan depresi, hilangnya rasa
percaya diri, dan menurunnya rasa harga diri.
3). Aspek virilitas
Menurunnya kekuatan dan berkurangnya tenaga, menurunnya kekuatan
dan massa otot, kehilangan bulu-bulu seksual tubuh, penumpukan lemak
daerah abdominal, serta osteoporosis.
4). Aspek seksual
Menurunnya minat terhadap seksual, perubahan tingkah laku dan aktivitas
seksual, kualitas orgasme menurun, berkurangnya kemampuan ereksi,
berkurangnya kemampuan ejakulasi, dan menurunya volume ejakulasi
d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Andropause
1). Faktor Internal
Pengaruh internal bisa dari dalam tubuhnya sendiri atau faktor genetik.
Terjadi karena adanya perubahan hormonal/organik. Juga bisa karena
sudah mengidap penyakit tertentu yang disebut sindroma metabolik seperti
darah tinggi, kolesterol tinggi, obesitas atau kencing manis.
2). Faktor Eksternal
Pengaruh eksternal bisa didapat dari faktor lingkungan yang tidak lagi
kondusif. Dapat bersifat fisik seperti kandungan bahan kimia bersifat
estrogenik yang sering digunakan dalam bidang pertanian, pabrik dan
rumah tangga. Juga dapat karena faktor psikis yang berperan yaitu
kebisingan dan perasaan tidak nyaman, sering terpapar sinar matahari dan
polusi yang bisa menyebabkan stres. Gaya hidup tak sehat juga ditengarai
dapat mempengaruhi gejala andropause, misalnya merokok, suka
begadang, dan pola makan yang tak seimbang (Sheilla, 2007 ; Isnawati,
2008).
e. Diagnosis andropause
1). Perubahan Hormonal, dengan pemeriksaan laboratorium mengukur
kadar testosteron serum, total testosteron, testosteron bebas, SHBG,
DHEA, DHEAs, dll.
2). Perubahan Mental dan Fisik, dikonfirmasi dengan pemeriksaan fisik,
fungsi tubuh, dan pemeriksaan psikologi.
3). Perubahan Tingkah Laku, dikonfirmasi dengan alloanmnesa (Sheilla,
2007 ; Soewondo, 2006)
Untuk mempermudah penegakan diagnosa andropause, dalam penelitian
ini digunakan daftar pertanyaan mengenai gejala-gejala hipoandrogen yang
dikembangkan oleh kelompok studi St. Louis-ADAM dari Canada. ADAM test
memuat 10 pertanyaan tentang gejala andropause, ”ya/tidak’ yang dijawab
oleh subjek penelitian. Bila menjawab ”ya” untuk pertanyaan 1 dan 7 atau ada
3 jawaban ”ya” selain nomor tersebut, maka kemungkinan besar pria tersebut
mengalami andropause. Sepuluh daftar pertanyaan ADAM dari program St.
Louis ini terbukti mempunyai sensitivitas 88% dan spesifitas 60% serta akan
mengenal andropause simptomatik pada sebagian besar kasus (Djuwantoro,
2006). Selain ADAM test, terdapat pula AMS test yang dikembangkan oleh
peneliti dari Jerman. Jumlah pertanyaan 17 buah dan mencakup ranah
gangguan psikologis, somatik dan seksual (Sheilla, 2007 ; Soewondo, 2006).
2. Depresi
a. Pengertian Depresi
Depresi adalah suatu gangguan perasaan dengan ciri-ciri semangat
berkurang, rasa harga diri rendah, menyalahkan diri sendiri, gangguan tidur
dan makan. Depresi sering berakar pada rasa salah yang tak sadar ( Maramis,
2005). Sumber lain mendefinisikan depresi sebagai salah satu terganggunya
fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan sedih dan gejala
penyertanya, termasuk perubahan psikomotor, pola tidur dan nafsu makan,
konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta
gagasan bunuh diri (Kaplan & Sadock, 1995).
Depresi merupakan suatu penyakit yang berkaitan dengan fungsi otak
dan berdampak pada seluruh organ tubuh. Studi epidemiologi menemukan
sekitar 16% dari populasi pada umur sekitar 20-an pernah mengalami depresi
(Purba, 2006). Depresi ini menempati urutan kedua setelah hipertensi sebagai
kondisi kronis yang paling umum dalam praktik kedokteran. Paling sedikit 1
dari 10 pasien rawat jalan menderita depresi berat tetapi kebanyakan kasus
tidak disadari atau tidak mendapat perawatan yg adekuat sehingga dapat
menyebabkan kehilangan produktivitas, penurunan fungsional tubuh, dan
peningkatan kematian (Whooley & Simon, 2000)
b. Etiologi Depresi ( Kaplan dkk, 1997)
Faktor penyebab depresi dapat dibagi menjadi faktor biologis, faktor
genetika dan faktor psikososial. Ketiganya mungkin dapat berinteraksi antara
satu dengan yang lain, yaitu:
1). Faktor biologis
Bukti-bukti yang ada menyatakan bahwa mood kita diregulasi oleh
neurotransmiter yang mengirimkan impuls saraf dari satu neuron ke
neuron lain. Sejumlah zat kimia berfungsi sebagai neurotransmiter di
bagian sistem saraf yang berbeda, dan perilaku normal memerlukan
keseimbangan yang cermat di antaranya. Dua neurotransmiter yang
diyakini memiliki peranan penting dalam gangguan mood adalah
norepinefrin dan serotonin. Kedua neurotransmiter itu, yang masuk ke
kelas senyawa yang dinamakan amin biogenik, terletak di area otak yang
meregulasi perilaku emosional (sistem limbik dan hipotalamus). Suatu
hipotesis yang diterima secara luas adalah depresi berkaitan dengan
defisiensi salah satu atau kedua neurotransmiter itu.
2). Faktor genetika
Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu faktor penting di
dalam perkembangan gangguan mood adalah genetika. Tetapi, pola
penurunan genetika jelas melalui mekanisme yang kompleks, bukan saja
tidak mungkin untuk menyingkirkan efek psikososial, tetapi faktor
nongenetik kemungkinan memainkan peranan kausatif dalam
perkembangan gangguan mood pada sekurangnya beberapa orang.
3). Faktor psikososial
a). Peristiwa kehidupan dan stres lingkungan.
Beberapa klinisi sangat mempercayai bahwa peristiwa kehidupan
memainkan peranan primer atau utama dalam depresi. Klinisi lain
menyatakan bahwa peristiwa kehidupan hanya memiliki peranan
terbatas dalam onset dan waktu depresi. Data yang paling
mendukung menyatakan bahwa peristiwa kehidupan paling
berhubungan dengan dengan perkembangan depresi selanjutnya
adalah kehilangan orangtua sebelum usia 11 tahun. Stresor
lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu episode
depresi adalah kehilangan pasangan.
b). Faktor kepribadian pramorbid.
Tidak ada sifat atau tipe kepribadian tunggal yang secara unik
mempredisposisikan seseorang kepada depresi. Semua manusia,
apapun pola kepribadiannya dapat dan memang menjadi depresi
dalam keadaan yang tepat, tetapi tipe kepribadian tertentu seperti
obsesif kompulsif dan histerikal mungkin berada dalam resiko yang
lebih besar untuk mengalami depresi daripada tipe kepribadian
antisosial, paranoid, dan lainnya yang menggunakan proyeksi dan
mekanisme pertahanan mengeksternalisasikan lainnya.
c). Faktor psikoanalitik dan psikodinamika.
Berikut pendapat beberapa pakar mengenai faktor psikoanalitik
dan psikodinamika:
(1). Sigmund Freud
Sigmun Freud mendalilkan suatu hubungan antara kehilangan
objek dan melankolia. Ia menyatakan bahwa kekerasan yang
dilakukan pasien depresi diarahkan secara internal karena
identifikasi dengan objek yang hilang. Ia membedakan melankolia
atau depresi dari duka cita atas dasar bahwa pasien terdepresi
merasakan penurunan harga diri yang melanda dalam hubungan
dengan perasaan bersalah dan mencela diri sendiri, sedangkan orang
berkabung tidak demikian.
(2). Melanie Klein
Melanie Klein menghubungkan depresi dengan posisi depresif. Ia
mengerti siklus manik depresif sebagai pencerminan kegagalan pada
masa anak-anak untuk mendapatkan introjeksi mencintai. Di dalam
pandangannya, pasien depresi menderita akibat permasalahan bahwa
mereka mungkin memiliki objek cinta yang dihancurkan melalui
destruksivitas dan ketamakan mereka sendiri. Sebagai akibat dari
destruksi yang dikhayalkan tersebut, mereka mengalami penyiksaan
oleh objek lain yang dibenci.
(3). E. Bibring
E. Bibring memandang depresi sebagai suatu keadaan afektif
primer yang tidak dapat melakukan apa-apa terhadap agresi yang
diarahkan ke dalam. Selain itu, ia memandang depresi sebagai suatu
afek yang berasal dari ketegangan di dalam ego antara aspirasi
seseorang dan kenyataan seseorang. Jika pasien terdepresi menyadari
bahwa mereka tidak hidup sesuai idealnya, sebagai akibatnya mereka
merasa putus asa dan tidak berdaya.
(4). Heinz Kohut
Baru-baru ini, Heinz Kohut mendefinisikan kembali depresi di
dalam istilah psikologi diri. Jika objek diri yang diperlukan untuk
bercermin, kekembaran, atau idealisasi tidak datang dari orang yang
bermakna, orang yang terdepresi merasakan suatu ketidaklengkapan
dan putus asa karena tidak menerima respon yang diinginkan. Di
dalam pengertian tersebut respon tertentu di dalam lingkungan
adalah diperlukan untuk mempertahankan harga diri dan perasaan
kelengkapan.
d). Ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness).
Di dalam percobaan di mana binatang secara berulang
dipaparkan dengan kejutan listrik yang tidak dapat dihindarinya,
binatang akhirnya menyerah dan tidak melakukan usaha sama sekali
untuk menghindari kejutan selanjutnya. Mereka belajar bahwa
mereka tidak berdaya. Pada manusia yang terdepresi, kita dapat
menemukan keadaan ketidakberdayaan yang mirip. Menurut teori
ketidakberdayaan yang dipelajari, depresi dapat membaik jika klinisi
mengisi pada pasien yang terdepresi suatu rasa pengendalian dan
penguasaan lingkungan. Klinisi menggunakan teknik perilaku berupa
dorongan yang menyenangkan dan positif di dalam usaha tersebut.
e). Teori kognitif
Menurut teori kognitif, interpretasi yang keliru
(misinterpretation) kognitif yang sering adalah melibatkan distorsi
negatif pengalaman hidup, penilaian negatif, pesimisme,dan
keputusasaan. Pandangan negatif yang dipelajari tersebut selanjutnya
menyebabkan perasaan depresi.
c. Derajat Depresi (Maslim, 2001)
1). Gejala utama depresi adalah :
a). Perasaan (afek) yang depresif.
b). Hilangnya minat dan kegembiraan.
c). Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah
lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan
menurunnya aktifitas.
2). Gejala lainnya adalah :
a). Konsentrasi dan perhatian berkurang.
b). Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c). Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d). Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis.
e). Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri
f). Tidur terganggu
g). Nafsu makan berkurang
Berdasarkan gejala tersebut di atas dapat dikatagorikan derajat depresi
dengan menggunakan diagnostik sebagai berikut :
1). Depresi ringan
a). Minimal harus ada 2 atau 3 gejala utama.
b). Ditambah minimal 2 dari gejala lainnya.
c). Tidak ada gejala yang berat di antaranya.
d). Lamanya seluruh episode berlangsung minimal 2 minggu.
e). Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaaan dan kegiatan sosial
yang biasanya dilakukan.
2). Depresi sedang
a). Minimal harus ada 2 atau 3 gejala utama.
b). Ditambah minimal 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya.
c). Lamanya seluruh episode berlangsung minimal 2 minggu
d). Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan dan urusan rumah tangga
3). Depresi berat
a). Semua gejala utama depresi harus ada.
b). Ditambah minimal 4 gejala lainnya, dan beberapa di antaranya
harus berintensitas berat.
c). Bila ada gejala penting misalnya agitasi dan retardasi mental yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu
melaporkan gejalanya secara rinci.
d). Episode depresi harus berlangsung minimal 2 minggu, tetapi jika
gejalanya amat berat dan beronset sangat cepat, maka dibenarkan
untuk menegakkan diagnosa dalam kurun waktu kurang dari 2
minggu.
e). Penderita tidak mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan
atau urusan tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.
d. Gejala Depresi (Maramis, 2005)
Manusia bereaksi secara holistik, sehingga pada depresi terdapat
komponen psikologik dan komponen somatik.
Gejala-gejala psikologik yaitu : menjadi pendiam, rasa sedih, pesimistik,
putus asa, nafsu bekerja dan nafsu bergaul berkurang, tidak dapat mengambil
keputusan, lekas lupa, timbul pikiran-pikiran bunuh diri. Perlu dibedakan
antara perasaan yang kadang-kadang timbul bahwa hidup ini tidak ada
gunanya, dan pemikiran khusus tentang bunuh diri, serta rancangan bunuh diri
yang sering.
Sedangkan gejala-gejala somatik yaitu : penderita kelihatan tidak
senang, lelah, tak bersemangat atau apatis, bicara dan gerak-geriknya pelan
dan kurang hidup, terdapat anoreksia (kadang-kadang makan terlalu banyak
sebagai pelarian), insomnia (sukar untuk tertidur) dan konstipasi.
e. Epidemiologi (Kaplan dkk, 1997)
1). Jenis Kelamin
Pada pengamatan yang hampir universal, terlepas dari kultur
atau negara, terdapat prevalensi gangguan depresif berat yang dua
kali lebih besar pada wanita dibandingkan laki-laki.
2). Usia
Rata-rata onset untuk gangguan depresif berat adalah kira-
kira 40 tahun, 50 % dari semua pasien mempunyai onset antara
usia 20-50 tahun.
3). Ras
Prevalensi gangguan mood tidak berbeda dari satu ras ke ras
lain.
4). Status Perkawinan
Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering
pada orang yang tidak memiliki hubungan intrapersonal yang erat
atau bercerai atau berpisah
5). Pertimbangan Sosioekonomi dan Kultural
Gangguan depresif yang lebih tinggi dari biasanya ditemukan
pada kelompok sosioekonomi yang rendah. Depresi mungkin lebih
sering ditemukan di daerah pedesaan daripada di daerah perkotaan.
f. Diagnosa
Pada penelitian ini untuk mendiagnosis depresi dan mengukur derajat
depresi menggunakan alat ukur HRS-D (Hamilton Rating Scale for
Depression) yang telah teruji validitas dan reabilitasnya serta mempunyai
sensitifitas dan spesifitas yang cukup tinggi untuk diagnosa depresi
(Cahyasiwi, 2002). Hamilton Rating Scale for Depression ini telah digunakan
sebagai gold standard untuk penilaian dari depresi selama lebih dari 40 tahun
(Bagby et al., 2004). HRS-D terdiri atas 17 item yaitu: (1) Keadaan perasaan
depresi; (2) perasaan bersalah; (3) bunuh diri; (4) insomnia awal; (5) insomnia
tengah; (6) insomnia akhir; (7) kerja dan kegiatan-kegiatannya; (8)
kelambanan; (9) kegelisahan dan agitasi; (10) anxietas psikis; (11) anxietas
somatik; (12) gejala somatik dan gastrointestinal; (13) gejala somatik umum;
(14) gejala genital; (15) hipokondriasis; (16) kehilangan berat badan; (17)
insight.
Untuk perhitungan total dilakukan dengan menjumlah nilai yang
diperoleh dari masing-masing item sehingga hasil yang didapatkan sebagai
berikut :
Tabel 1. Jumlah Skor dan Derajat Depresi
Nilai Tingkat Depresi
0-6
7-17
18-24
lebih dari 24
Tidak ada
Ringan
Sedang
Berat
3. Hubungan Andropause dengan Depresi
Andropause merupakan suatu kondisi menurunnya kemampuan fisik,
seksual, dan psikologi yang dihubungkan dengan berkurangnya hormon
testosteron dalam plasma darah. Andropause ini dapat menimbulkan beberapa
gejala, salah satu diantaranya yaitu depresi dan nervous yang terjadi pada 70%
kasus.
Gejala-gejala andropause berhubungan dengan berkurangnya kadar
testosteron dalam plasma yang diakibatkan oleh adanya penurunan massa sel
leydig, disfungsi testikular (hipogonad primer), disfungsi yang mengontrol
homeostasis hipotalamus-hipofisis (hipogonad sekunder), peningkatan protein
pengikat hormon seks yaitu Sex Hormone Binding Globulin (SHGB), dan
berkurangnya bioavailabilitas testosteron.
Pada pria hipotestosteronemia akan terjadi tekanan jiwa yang secara
signifikan berhubungan dengan turunnya konsentrasi bioavailabilitas
testosteron pada pria usia lanjut. Beberapa studi longitudinal menunjukkan
bahwa pria hipotestosteronemia terdapat gejala-gejala depresi, mudah marah,
sedih, nervous dan fatig (Anita&Moeloek, 2002).
Sumber lain juga menyebutkan ada kaitan depresi yang merupakan salah
satu gejala dari munculnya andropause, penelitian yang akhir-akhir ini
dipublikasikan menyatakan bahwa kadar testosteron yang rendah berkaitan
dengan gejala depresi dan gangguan psikologis lainnya. Beberapa laporan
menyatakan efek dari rendahnya kadar testosteron dapat menyebabkan
kehilangan kemampuan dalam berkonsentrasi, perubahan suasana hati,
emosional, mudah marah, merasa rendah diri, merasa lemah, gangguan
memori, kelelahan, berkurangnya kemampuan intelektual, berkurangnya minat
terhadap keadaan sekitar, dan hipokondriasis. Kesemuanya merupakan gejala
klinik dari depresi (Pazuchowski, 2009).
Andropause berhubungan langsung dengan depresi, pemeran utama dalam
buruknya periode krisis tengah kehidupan (mid-life crisis period) dari kaum
adam pada jelang usia 40 atau 50 tahunan. Ada berbagai gejala dan kondisi
akibat terganggunya hormon lelaki selama masa transisi tengah kehidupan,
mulai dari segi mental yaitu lekas marah sampai ke segi fisik yaitu kehilangan
libido, kekurangan energi, dan pertambahan berat badan. Depresi bisa saja
terjadi menyertai andropause jika keadaan ini dibiarkan tanpa perawatan.
Depresi yang menyertai andropause dapat disebabkan oleh penurunan tingkat
testosteron sehingga rendahnya tingkat testosteron dapat menyebabkan banyak
gejala depresif (Tailor, 2008).
Depresi berat yang merupakan suatu penyakit serius, mengenai 5%
populasi pria pertahun, serta 17% pria selama kehidupannya. Frekuensi
depresi berat meningkat sesuai pertambahan umur dan menjadi lebih sering
setelah usia 40 tahun, sebanding dengan penurunan kadar testosteron (Bexton,
2001).
Hal yang menjadi pertimbangan penting untuk para psikiater yaitu
penelitian akhir-akhir ini menyatakan bahwa pria-pria yang menderita depresi
mempunyai tingkat testosteron yang lebih rendah daripada pria tanpa depresi.
Bagi beberapa pria, peningkatan level testosteron bebas dapat terbukti
menjadi terapi antidepresan yang efektif. Banyak penelitian menunjukkan
bahwa mempertahankan level testosteron bebas ke dalam keadaan ideal dapat
mengembalikan kekuatan, stamina, kognisi, fungsi jantung, seksualitas, dan
harapan pada pria menua termasuk meringankan depresi (Pazuchowski, 2009).
B. Kerangka Pemikiran
Hal yang berhubungan dan hal yang diteliti
Gejala dan keluhan andropause lain tetapi tidak diteliti
Faktor eksternal :
bahan kimia, gaya
hidup tidak sehat, dll
Faktor internal :
genetik, kelainan
testis, dll
Andropause
Penurunan kadar hormon testosteron,
DHEA/DHEAS, Melatonin, GH, IGFs
Depresi
Pria 30-60 tahun
Gejala dan keluhan andropause lain :
Berkeringat, penurunan libido,
disfungsi ereksi, fatig, penurunan
konsentrasi dan memori, dll
kadar testosteron yang rendah
berkaitan dengan gejala depresi dan
gangguan psikologis lainnya
C. Hipotesis
Terdapat hubungan andropause dengan depresi pada guru dan karyawan SMA
Negeri 1 Sukoharjo.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan
pendekatan studi cross sectional.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Sukoharjo, Kabupaten
Sukoharjo.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian diambil dari yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi sebagai berikut :
1. Kriteria Inklusi :
a. Berstatus telah menikah
b. Berusia 30-60 tahun
c. Bekerja di SMA Negeri 1 Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo
d. Bersedia menjalani penelitian dengan sukarela
2. Kriteria eksklusi
a. Menderita penyakit berat dan kronis
b. Mempunyai riwayat kelainan psikiatri yang disebabkan oleh gangguan
organik lain seperti cedera otak dan epilepsi.
D. Teknik Sampling
Data dalam penelitian ini berdasarkan fixed exposure sampling, yaitu
skema pencuplikan dimulai dengan memilih sampel berdasarkan status
paparan subjek (Murti, 2006). Jumlah sampel yang diambil adalah 40. Sampel
tersebut telah memenuhi syarat pengambilan sampel penelitian yang
berjumlah minimal 30 (Murti, 1997).
E. Rancangan Penelitian
Data pribadi
L - MMPI
Sampel
jujur Tidak jujur
Kuesioner
ADAM dan AMS
Andropause Tidak Andropause
Kuesioner
HRS-D
Kuesioner
HRS-D
Depresi :
ringan,
sedang,
berat
Tidak
Depresi
Depresi :
ringan,
sedang,
berat
Tidak
Depresi
F. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : andropause
2. Variabel tergantung : depresi
3. Variabel pengganggu :
a. Terkendali : Usia, status perkawinan
b. Tak terkendali : Faktor psikis, faktor keturunan
G. Definisi Operasional Variabel
1. Andropause
Andropause merupakan suatu kondisi yang berhubungan dengan
berkurangnya hormon testosteron (Anita & Moeloek, 2002). Hormon yang turun
pada andropause tidak hanya testosteron saja, melainkan penurunan
multihormonal yaitu penurunan hormon DHEA (dehydroepiandrosteron),
DHEAS (dehydroepiandrosteron sulphate), melantonin, growth hormone, dan
IGFs (insulin like growth factors) (Setiawan, 2007). Sehingga muncul beberapa
gejala andropause antara lain yaitu depresi dan nervous, keringat, penurunan
libido, disfungsi ereksi, fatig, penurunan konsentrasi dan memori, penurunan
potensi seks, penuaan dini, perubahan pada pertumbuhan rambut dan kualitas kulit
(Anita & Moeloek, 2002).
Andropause ditetapkan berdasarkan kuesioner baku ADAM Test berisi 10
pertanyaan ‘ya/tidak’ yang dijawab oleh subjek penelitian. Bila menjawab ”ya”
untuk pertanyaan 1 dan 7 atau ada 3 jawaban ”ya” selain nomor tersebut, maka
kemungkinan besar pria tersebut mengalami andropause. (Zitzmann, et al., 2006;
Claupauch, et al., 2008). Selain ADAM test, terdapat pula AMS test yang
dikembangkan oleh peneliti dari Jerman. Jumlah pertanyaan 17 buah dan
mencakup ranah gangguan psikologis, somatik dan seksual (Sheilla, 2007 ;
Soewondo, 2006). Koresponden digolongkan tidak mengalami andropause jika
skor kurang dari 27, sedangkan koresponden digolongkan mengalami andropause
jika skor lebih dari atau sama dengan 27. Skala data bersifat nominal.
2. Depresi
Depresi adalah suatu gangguan perasaan dengan ciri-ciri semangat
berkurang, rasa harga diri rendah, menyalahkan diri sendiri, gangguan tidur dan
makan. Depresi sering berakar pada rasa salah yang tak sadar ( Maramis, 2005).
Hamilton Rating Scale for Depression (HRS-D) adalah skala depresif
yang digunakan secara luas. Penilaian diturunkan dari suatu wawancara klinis
dengan pasien. Klinisi menilai jawaban pasien terhadap pertanyaan tentang
perasaan bersalah, bunuh diri, kebiasaan tidur, dan gejala depresi lainnya (Kaplan
dkk, 1997).
Untuk mengetahui adanya depresi, dapat dilakukan uji kuesioner tentang
gejala psikis maupun fisik yang akan diukur dalam bentuk interval dengan
parameter kuesioner HRS-D dengan skala yang digolongkan menjadi beberapa
tingkat :
Jumlah Skor dan Derajat Depresi
Nilai Tingkat Depresi
0-6
7-17
18-24
lebih dari 24
Tidak ada
Ringan
Sedang
Berat
Koresponden dinyatakan tidak mengalami depresi jika skor tingkat depresi kurang
dari 7, sedangkan koresponden dinyatakan mengalami depresi jika skor yang
diperoleh lebih dari atau sama dengan 7. Skala yang didapat adalah skala nominal.
H. Instrumen Penelitian
1. Isian data pribadi
Untuk mengetahui identitas responden
2. Kuesioner Lie Minessota Multiphasic Personality Inventory (Skala L-
MMPI)
Skala kebohongan L-MMPI dimana jika jawaban ”tidak” lebih dari
sepuluh atau sama dengan sepuluh maka dinyatakan gugur.
3. Kuesioner ADAM dan AMS
Andropause ditetapkan berdasarkan kuesioner baku ADAM Test berisi
10 pertanyaan ‘ya/tidak’ yang dijawab oleh subjek penelitian.
Sedangkan AMS test pertanyaannya berjumlah 17 buah dan mencakup
ranah gangguan psikologis, somatik dan seksual.
X2 = N (ad-bc)2
(a+b)(c+d)(a+c)(b+d)
Andropause
4. Hamilton Rating Scale for depression (HRS-D)
Untuk memperoleh variabel derajat depresi digunakan instrumen
HRS-D yang telah dibuat dalam bentuk daftar pertanyaan yang telah
dibakukan oleh laboratorium jiwa. HRS-D terdiri atas 17 item yang
diskala antara 0, 1, 2, 3, 4 kemudian nilai seluruh item dijumlahkan.
I. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini menggunakan :
1. Uji Statistik
Uji statistik chi square untuk menguji hipotesis yang telah dikemukakan di
depan yaitu untuk mengetahui hubungan 2 variabel. Taraf signifikansi yang
dipakai pada penelitian ini α = 0,05 atau dalam tabel interval kepercayaan
95%.
Tabel data yang diperoleh dinyatakan sebagai berikut :
Ya Tidak
Ya a b
Tidak c d
Dengan rumus :
Depresi
2. Ukuran Hubungan
Menggunakan Odds ratio yang disingkat dengan OR. Odds adalah istilah
bahasa Inggris yang artinya kemungkinan suatu peristiwa untuk terjadi
dibandingkan peristiwa itu untuk tidak terjadi (Murti, 2006).
OR = ad
bc
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 1 Sukoharjo pada hari Selasa 19
Januari 2010 dan hari Rabu 20 Januari 2010, setelah mendapat ijin untuk
mengadakan penelitian dari Kepala SMA Negeri 1 Sukoharjo.
Data diperoleh dengan membagikan kuesioner pada guru dan karyawan
SMA Negeri 1 Sukoharjo yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 40 orang. Dari
40 data kuesioner yang terkumpul, terdapat 3 data kuesioner yang tidak sesuai
dengan kriteria eksklusi dan terdapat 1 data kuesioner yang tidak memenuhi
kriteria tingkat kebohongan yang rendah. Sehingga subjek penelitian yang dipakai
sejumlah 36 saja. Didapatkan variabel bebas yaitu andropause dan variabel
tergantung yaitu depresi.
Dari hasil penelitian didapatkan 36 subjek penelitian yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi, 30 orang di antaranya mengalami andropause dengan
distribusi umur sebagai berikut :
Tabel 2. Distribusi Umur Penderita Andropause yang Diteliti
No. Kelompok Umur ( Tahun) Jumlah Persentase
1. 30 – 40 6 20%
2. > 40 – 60 24 80%
30 100%
Dari tabel 2 diatas dapat diketahui distribusi umur guru dan karyawan
SMA Negeri 1 Sukoharjo yang mengalami andropause. Pada kelompok umur 30
sampai 40 tahun terdapat sebanyak 6 orang (20%) yang menderita andropause.
Sedangkan pada kelompok umur lebih dari 40 tahun sampai 60 tahun terdapat
sebanyak 24 orang (80%) yang menderita andropause.
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Andropause dengan Depresi pada Guru
dan Karyawan SMA Negeri 1 Sukoharjo.
Andropaus
Ya (%)
Tidak (%)
Jumlah (%)
OR X2 P
Ya
Tidak
Jumlah
22 (61,11%)
1 (2,78%)
23 (63,89%)
8 (22,22%)
5 (13,89%)
13 (36,11%)
30 (83,33%)
6 (16,67%)
36 (100%)
12.65 6.959 0.01608
Dari tabel 3 terlihat hasil guru dan karyawan SMA Negeri 1 Sukoharjo
yang mengalami andropause sejumlah 30 orang dan yang tidak mengalami
andropause sejumlah 6 orang. Dari 30 guru dan karyawan SMA Negeri 1
Sukoharjo yang mengalami andropause, 22 orang (61,11%) mengalami depresi
dan 8 orang (22,22%) lainnya tidak mengalami depresi. Dari 6 guru dan karyawan
SMA Negeri 1 Sukoharjo yang tidak mengalami andropause, terdapat 1 orang
(2,78%) dengan depresi dan terdapat 5 orang (13, 89%) yang tidak mengalami
depresi.
Data penelitian diuji dengan rumus chi square. Berdasarkan data pada
tabel 2 diatas, diperoleh nilai X2 hitung sebesar 6,959. Dengan menetapkan taraf
signifikansi α = 0,05 dan derajat kebebasan (db) = 1, diperoleh nilai X2 tabel
sebesar 3, 841.
Sehingga diperoleh nilai X2 hitung lebih besar X2 tabel, dengan demikian
hipotesis nol (H₀) yang berbunyi “tidak terdapat hubungan andropause dengan
depresi pada guru dan karyawan SMA Negeri 1 Sukoharjo” ditolak. Dengan kata
lain terdapat hubungan andropause dengan depresi pada guru dan karyawan SMA
Negeri 1 Sukoharjo.
Dari hasil analisis data menggunakan program OpenEpi, Version 2
didapatkan OR = 12,65 ; P = 0,01608. Hal ini berarti pria dengan andropause
memiliki resiko (probabilitas kemungkinan) untuk mengalami depresi 13 kali
lebih besar daripada yang tidak andropause dan hubungan secara statistik
signifikan ( OR = 12,7 ; P = 0,016).
Depres
BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian yang dilakukan di SMA Negeri 1 Sukoharjo pada 19-20 Januari
2010 menghasilkan data yang telah disajikan dalam tabel-tabel pada bab IV.
Dari 36 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi didapatkan
hasil yaitu guru dan karyawan SMA Negeri 1 Sukoharjo yang mengalami
andropause sejumlah 30 orang, sedangkan yang tidak mengalami andropause
sejumlah 6 orang.
Gambar 1. Distribusi Frekuensi Umur Penderita Andropause
Dari 30 orang yang mengalami andropause, berdasarkan distribusi
umurnya didapatkan hasil yaitu pada kelompok umur 30 sampai 40 tahun terdapat
6 orang (20%) yang menderita andropause. Sedangkan pada kelompok umur lebih
dari 40 tahun sampai 60 tahun terdapat sebanyak 24 orang (80%) yang menderita
andropause. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa yang terdiagnosa
mengalami andropause terbanyak adalah kelompok umur lebih dari 40 tahun
sampai 60 tahun (80%). Hal ini berhubungan dengan penurunan kadar testosteron
bebas rata-rata 1% pertahun antara umur 40-70 tahun. Penurunan ini semakin
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
30-40 tahun >40-60 tahun
pers
enta
se
umur penderita andropause
Persentase
diperjelas dengan kenaikan konsentrasi dari SHBG kira-kira 1,2 % per tahun
(Bexton, 2001). Penelitian lainnya dengan multiple cross sectional dan
longitudinal, menunjukkan produksi testosteron mulai meningkat pesat pada saat
pubertas dan setelah umur 40 tahun terdapat penurunan yang lambat pada kadar
testosteron plasma yaitu 1-2% pertahun (Verma et al., 2006)
Gambar 2. Distribusi Frekuensi Andropause dengan Depresi
Dari 30 guru dan karyawan SMA Negeri 1 Sukoharjo yang mengalami
andropause, 22 orang (61,11%) mengalami depresi dan 8 orang (22,22%) lainnya
tidak mengalami depresi. Dari 6 guru dan karyawan SMA Negeri 1 Sukoharjo
yang tidak mengalami andropause, terdapat 1 orang (2,78%) dengan depresi dan
terdapat 5 orang (13, 89%) yang tidak mengalami depresi.
Berdasarkan analisa data didapat nilai X2 hitung sebesar 6,959 dengan
derajat kebebasan (db) = 1 dan taraf signifikansi α = 0,05 diperoleh nilai X2 tabel
sebesar 3,841. Sehingga diketahui bahwa X2 hitung lebih besar dari X2 tabel,
dengan demikian hipotesis nol (H₀) yang berbunyi “tidak terdapat hubungan
andropause dengan depresi pada guru dan karyawan SMA Negeri 1 Sukoharjo”
Andropause Tidak Andropause
depresi 61.11 2.78
tidak depresi 22.22 13.9
0
10
20
30
40
50
60
70
Per
sent
ase
ditolak. Dengan kata lain H1 yang berbunyi “terdapat hubungan andropause
dengan depresi pada guru dan karyawan SMA Negeri 1 Sukoharjo” diterima.
Dari hasil analisis data menggunakan program OpenEpi, Version 2
didapatkan OR = 12,65 ; P = 0,01608. Hal ini berarti pria dengan andropause
memiliki resiko (probabilitas kemungkinan) untuk mengalami depresi 13 kali
lebih besar daripada yang tidak andropause dan hubungan secara statistik
signifikan ( OR = 12,7 ; P = 0,016).
Melihat hasil pengujian statistik dengan chi square serta hasil pengukuran
hubungan dengan odds ratio, berarti pada penelitian ini terdapat hubungan yang
signifikan antara andropause dan depresi. Hal ini sesuai dengan teori sebelumnya
yang menyebutkan bahwa andropause merupakan gejala kompleks pada pria
menua yang mempunyai kadar testosteron rendah karena penurunan bertahap pada
sekresinya (Verma et al., 2006). Kadar testosteron yang rendah berkaitan dengan
gejala depresi dan gangguan psikologis lainnya. Beberapa laporan menyatakan
efek dari rendahnya kadar testosteron dapat menyebabkan kehilangan kemampuan
dalam berkonsentrasi, perubahan suasana hati, emosional, mudah marah, merasa
rendah diri, merasa lemah, gangguan memori, kelelahan, berkurangnya
kemampuan intelektual, berkurangnya minat terhadap keadaan sekitar, dan
hipokondriasis. Kesemuanya merupakan gejala klinik dari depresi (Pazuchowski,
2009).
Hasil penelitian tersebut sesuai pula dengan pendapat Anita dan Moeloek
(2002) yang menyatakan bahwa pada pria hipotestosteronemia akan terjadi
tekanan jiwa yang secara signifikan berhubungan dengan turunnya konsentrasi
bioavailabilitas testosteron pada pria usia lanjut. Beberapa studi longitudinal
menunjukkan bahwa pria hipotestosteronemia terdapat gejala-gejala depresi,
mudah marah, sedih, nervous dan fatig. Serta sesuai dengan pendapat Taylor
(2008) yang menyatakan depresi yang menyertai andropause dapat disebabkan
oleh penurunan tingkat testosteron sehingga rendahnya tingkat testosteron dapat
menyebabkan banyak gejala depresif.
Selain itu, hasil penelitian ini bersesuaian juga dengan pendapat Bexton
(2001) dalam jurnalnya yang menyebutkan frekuensi depresi berat meningkat
sesuai pertambahan umur dan menjadi lebih sering setelah usia 40 tahun,
sebanding dengan penurunan kadar testosteron.
Penanganan andropause bertujuan untuk memulihkan parameter metabolik
ke dalam kondisi normal, meningkatkan massa, kekuatan, fungsi neuropsikologis
serta meningkatkan kualitas hidup.
Pemberian testosteron pada pria andropause secara teratur di atas usia 40
tahun dapat meningkatkan kualitas hidup pada masa lansia. Saat ini telah tersedia
long acting testosterone undecanoate Nebido, yaitu suatu terapi injeksi testosteron
yang aman, efektif, dan nyaman yang biasanya diberikan 4 kali dalam setahun.
Terapi ini memberikan harapan baru bagi pria karena menyediakan dosis
testosteron yang stabil dan konstan bagi tubuh dalam durasi yang panjang.
Beberapa penelitian bahwa terapi ini dapat mempertahankan tingkat testosteron
dalam darah pada tingkat yang normal selama kurang lebih 3 bulan (Hidayati,
2006).
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Dari penelitian tentang hubungan andropause dengan depresi pada
guru dan karyawan SMA Negeri 1 Sukoharjo, dapat ditarik simpulan sabagai
berikut :
Terdapat hubungan yang signifikan antara andropause dan depresi
pada guru dan karyawan SMA Negeri 1 Sukoharjo.
B. Saran
1. Perlu diadakan komunikasi, informasi, serta edukasi terhadap masyarakat
khususnya kaum pria mengenai andropause dan depresi agar masyarakat dapat
memahami, mencegah, serta menangani dengan tepat keadaan tersebut,
sehingga meningkatkan kualitas hidup.
2. Perlu diadakan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih banyak
dan teknik yang lebih baik serta mempertimbangkan variabel lain yang
berpengaruh dalam penelitian ini untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat.
3. Perlu diadakan penelitian lanjutan mengenai faktor-faktor lain yang dapat
menjadi efek dari andropause.
DAFTAR PUSTAKA
Andropause : New Developments in diagnosis and Treatment of age-related hypogonadism. ICA News. No.5, June 15-19, 2001
Anita N., dan Moeloek N. 2002. Aspek Hormon Testosteron pada Pria Usia
Lanjut (Andropause). Majalah Andrologi Indonesia. 3: 81-87. Arsyad, K.M. 2002. Problema Pria Lansia dari Aspek Andrologi. Majalah
Andrologi Indonesia.1: 6. Bartnof. 2009. Andropause, Testosteron, & Male Menopause.
http://www.sfgate.com/cgi-bin/article.cgi?f=/c/a/2009/02/13/DDM015S8GH.DTL&hw=Bartnof&sn=001&sc=1000 . (3 Juli 2009).
Bexton, B. 2001. Andropause and Depression : A Perspective for The Clinician. J
Sex Repro Med. 1: 100 Budiarto, E. 2003. Metodologi Penelitian Kedokteran. Jakarta : EGC, hal : 230. Cahyasiwi, T. I. 2002. Hubungan antara Kebisingan dengan Depresi pada
Karyawan Perusahaaan Penggilingan Padi P.T. Badri Sepat Masaran-Sragen. karya tulis, Surakarta, Fakultas Kedokteran UNS.
Djuwantoro, D. 2006. Andropause : Dilemma Klinis dan Terapi. Majalah Medika.
32: 750. Etty, M. 2001. Ketika Jiwa Penat. http://www.geocities.com/sukmaweb/skm
art/pshyco/ketika_jiwa_penat.doc.(24 Juli 2009). Gould DC, Rechar Petty. 2000. The Male Menopause- Doses It Exist. BMJ. 320:
858-861. Hidayati. 2006. Sindrom Defisiensi Testosteron pada Pria. Majalah Medika. 32:
774-775. Isnawati, A. 2008. Bugar dan Perkasa di Usia Senja. http://artikel-kesehatan-
online.blogspot.com/2008/06/bugar-dan-perkasa-di-usia-senja.html - 176k –. (21 juli 2009).
Kaplan, H. I., dan Sadock, B. J. 1995. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Jakarta:
Widya Medika.
Kaplan, H. I. dan Sadock, B.J. dan Grebb, J.A. 1997. Sinopsis Psikiatri Jilid Satu Edisi Ketujuh Terjemahan. Jakarta: Binarupa Aksara, hal: 779 -789.
Maramis,W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Cetakan kesembilan.
Surabaya: Airlangga University Press, hal: 270 – 273. Maslim, R. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III.
Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, hal: 64 – 65. Murti, B. 1997. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta, Gadjahmada
University Press, hal : 82 -132.
Murti, B. 2006. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogyakarta, Gadjahmada University Press,hal : 68 - 136.
Pazuchowski, E. 2009. Andropause: Male Menopause.
www.drpaz.com/files/Download/ANDROPAUSE.pdf. (21 Juli 2009). Purba, J.S. 2006. Peran Neuroendokrin pada Depresi. Dexa Media. 3: 123. Setiawan, N. 2007. Pria dan Andropause. http://www.mail-
archive.com/[email protected]/msg13632.html. (5 Juli 2009). Setiawati, I. dan Juwono. 2006. Prevalensi Andropause pada Pria Usia Lebih dari
30 Tahun di Kabupaten Bantul Propinsi D.I. Yogyakarta Tahun 2005. Media Medika Muda MFDU. 3:
Sheilla. 2009. Pria dan andropause. http://migas-indonesia.net (21 Juli 2009). Soewondo, P. 2006. Menopause, Andropause,dan Somatopause Perubahan
Hormonal pada Proses Menua. In : Sudoyo (ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI, hal: 1989-1992.
Taylor, C. 2008. Depression & Andropause - Find Out How to Help Yourself.
http://ezinearticles.com. (12 Agustus 2009). Verma P., Mahajan K.K., Mittal S. 2006. Andropause - A Debatable
Physiological Process. JK SCIENCE. 2: 68. Whooley M.A., Simon G.E. 2000. Managing Depression in Medical Outpatients.
The New Journal of Medicine. 343: 1942. Wibowo, S. 2003. Andropause : Keluhan, Diagnosis, dan Penanganannya. Buku
Kumpulan Makalah The Concepts of Anti Aging, 11-12 Oktober 2003, hal: 11-35.
Zainal. 2001. Andropause Turunkan Keperkasaan Pria.
http://pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=875&tbl=cakrawala. (21 juli 2009).
Zitzmann M., Faber S., Nieschlag E. 2006. Association of specific symptoms and metabolic risks with serum testosterone in older men. J Clin Endocrinol Metab. 91:4335-4343.