HUBUNGAN ANTARA UKURAN
PUTING SAPI PERAH PFH DENGAN
TINGKAT MASTITIS SUBKLINIS DI
BEBERAPA TINGKAT LAKTASI
SKRIPSI
Oleh:
Ryan Himawan Wibowo
NIM.135050107111002
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
HUBUNGAN ANTARA UKURAN
PUTING SAPI PERAH PFH DENGAN
TINGKAT MASTITIS SUBKLINIS DI
BEBERAPA TINGKAT LAKTASI
SKRIPSI
Oleh:
Ryan Himawan Wibowo
NIM.135050107111002
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
i
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Samarinda pada tanggal 16 Oktober
1995 sebagai putra pertama dari Bapak Eko Suko Wibowo dan
Ibu Endang Wijayanti serta memiliki seorang adik laki-laki
bernama Henry Hilmawan Wibowo. Pendidikan formal yang
ditempuh penulis adalah TK Tunas Rimba II (1999-2001), SD
Muhammadiyah 1 Samarinda (2001-2007), SMPN 1
Samarinda (2007-2010), dan SMAN 1 Samarinda (2010-
2013). Penulis diterima di Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya pada tahun 2013 melalui jalur mandiri (SPMK).
Penulis aktif mengikuti kegiatan akademik dan non
akademik yang berada di Fakultas Peternakan Brawijaya
seperti menjadi bagian dari tim asisten praktikum
Epidemiologi 2017, Homeband sebagai anggota Divisi
Management Event 2013-2014, Barisan Orang Sukses (BOS)
sebagai anggota Divisi Animal Product Club (APC) 2014-
2016, dan komunitas sosial Youth on Charity (YOC) sebagai
anggota. Pelaksanaan Praktek Kerja Lapang (PKL) dilakukan
di Koperasi Agro Niaga (KAN) Jabung, Malang selama 1
bulan dengan judul laporan “Manajemen Produksi Yoghurt di
Koperasi Agro Niaga Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang”.
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji dan syukur penulis
panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah–Nya sehingga penyusunan
skripsi yang berjudul “Hubungan antara Ukuran Puting
Sapi Perah PFH dengan Tingkat Mastitis Subklinis di
Beberapa Tingkat Laktasi” ini dapat diselesaikan dengan
baik sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Strata
satu (S-1) Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya.
Penulis menyadari bahwa penelitian dan penyusunan
skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dan mendukung dalam penyusunan skripsi
ini, terutama kepada:
1. Bapak Eko Suko Wibowo, Ibu Endang Wijayanti, Henry
Hilmawan Wibowo, dan keluarga besar atas doa dan
dukungannya baik secara moriil maupun materiil.
2. Prof. Dr. Pratiwi Trisunuwati, drh., MS. ,selaku
Pembimbing Utama dan Ir. Endang Setyowati, MS.,
selaku Pemimbing Pendamping yang telah meluangkan
waktu untuk memberikan pengarahan, koreksi, saran, serta
bimbingan, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
3. Prof. Dr. Sc. Agr. Ir. Suyadi, MS., selaku Dekan Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya.
4. Dr. Ir. Sri Minarti, MP., selaku Ketua Jurusan dan Dr. Ir.
Imam Thohari, MP., selaku Sekertaris Jurusan yang telah
membantu dalam kelancaran proses studi.
iii
5. Dr. Agus Susilo, S. Pt, MP selaku Ketua Program Studi
Peternakan yang telah banyak membina kelancaran proses
studi.
6. Dr. Ir. Tri Eko Susilorini, MP., Dr. Ir. Imam Thohari, MP.,
dan Dr. Ir. Irfan H. Djuanidi, M.Sc. selaku penguji atas
masukan dan saran selama Ujian Sarjana.
7. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada pengurus
KPSP “Setia Kawan” Nongkojajar, Bapak Jon, Bapak
Kodir, Bapak Sutrikno, serta Bella dan Bahar yang telah
menyediakan tempat tinggal, membimbing, mengarahkan,
dan mendampingi sebagai tempat bertukar pikiran selama
kegiatan penelitian yang dilakukan di Nongkojajar,
Pasuruan. Kemudian sahabat GK Family dan Kelas E
2013 yang telah berjuang bersama, memberikan semangat,
pengalaman berharga, membantu jalannya penelitian, dan
penulisan skripsi.
Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
penulis dan khususnya para pembaca.
Malang, Juli 2017
Penulis,
iv
CORRELATION BETWEEN TEAT SIZE OF FH
CROSSBRED DAIRY COWS WITH
SUBCLINICAL MASTITIS LEVEL IN SOME
LACTATION STAGE
Ryan Himawan Wibowo1), Pratiwi Trisunuwati2), Endang
Setyowati2)
1)Student of Animal Husbandry Faculty, Brawijaya University 2)Lecturer of Animal Husbandry Faculty, Brawijaya University
E-mail : [email protected])
ABSTRACT
The objective of this study was to determine the
relationship between teat measurements (teat length, diameter,
and height from the floor) with subclinical mastitis (SCM)
level using California Mastitis Test (CMT). This study used
364 teats from 91 Friesian Holstein crossbred dairy cows
(PFH) in 1st- 4th lactation from 24 local farmers in Gunung
Sari village at Nongkojajar District, Pasuruan, East Java,
Indonesia. Teat length and diameter were measured using
calliper while teat height using measuring tape. Data were
analyzed using linear regression and correlation. The result
showed that teat mastitis incident percentage in 1st- 4th
lactation are 31.52%, 30.68%, 33.70%, and 45.65%. The
relationship between front and rear teat size with subclincal
mastitis level in 1st - 4th lactation were ranged from 0.17-0.480
v
means that the correlation between teat size with subclinical
mastitis are not strong enough (r
vi
HUBUNGAN ANTARA UKURAN PUTING SAPI
PERAH PFH DENGAN TINGKAT MASTITIS
SUBKLINIS DI BEBERAPA TINGKAT LAKTASI
Ryan Himawan Wibowo1, Pratiwi Trisunuwati2, Endang
Setyowati2
1Mahasiswa Fakultas Peternakan Univeritas Brawijaya 2Dosen Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
RINGKASAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan antara ukuran puting (panjang, diameter middle
point, dan jarak dari ujung puting hingga dasar lantai kandang)
sapi perah peranakan Friesian Holstein (PFH) dengan tingkat
mastitis subklinis menggunakan California Mastitis Test
(CMT) pada beberapa tingkat laktasi. Tingkat mastitis yang
dimaksud adalah interpretasi dari skor CMT berdasarkan
metode penilaian Ruegg (2005) yaitu skor CMT negatif (-),
Trace, 1, 2, dan 3 yang diinterpretasikan menjadi tingkat
mastitis 0, 1, 2, 3, dan 4. Penelitian dilakukan di peternakan
sapi perah rakyat Desa Gunung Sari yang berada dalam
wilayah Koperasi Peternakan Sapi Perah (KPSP) Setia Kawan
Nongkojajar, Pasuruan, tepatnya di Desa Gunungsari, Jl.
Gunungsari, Kalipucang, Tutur, Pasuruan, Jawa Timur dan
berjarak ±5 km dari KPSP “Setia Kawan” yang beralamatkan
di Jalan Raya Nongkojajar No. 38, Wonosari, Tutur, Pasuruan,
vii
Jawa Timur. Pengambilan data di lapang dilakukan mulai
tanggal 16 Desember 2016 hingga 21 Januari 2017.
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi
perah PFH milik 24 peternakan rakyat kelompok "Gunung
Sari" yang terdaftar sebagai anggota KPSP "Setia Kawan"
Nongkojajar sebanyak 91 ekor (23 ekor pada laktasi 1, 3, dan
4, serta 22 ekor pada laktasi 2). Metode penelitian ini adalah
studi kasus dengan melakukan observasi dan wawancara
dengan kriteria sampel purposive sampling, yaitu sapi perah
PFH yang berada diatas bulan laktasi ke-5. Panjang dan
diameter puting diukur dengan menggunakan jangka sorong
dengan ketelitian 0,05 cm dan jarak puting dari lantai kandang
diukur dengan menggunakan meteran dengan ketelitian 0,1
cm. Data dianalisa dengan regresi dan korelasi sederhana
untuk mengetahui keeratan hubungan (Koefisien korelasi= r)
antara panjang, diameter, dan jarak puting dari lantai kandang
pada puting kuartir depan dan belakang dengan tingkat
mastitis subklinis.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tingkat kejadian
mastitis subklinis pada puting di tingkat laktasi 1, 2, 3, dan 4
adalah 31,53%, 30,68%, 33,70%, and 45,63%. Hasil analisa
data regresi linear menjelaskan bahwa koefisien korelasi (r)
antara panjang, diameter,dan jarak puting dari lantai kandang
bervariasi antara 0,017-0,480 yang tergolong tidak erat
kaitannya dengan tingkat mastitis (r
viii
DAFTAR ISI
ISI Halaman
RIWAYAT HIDUP ............................................... i
KATA PENGANTAR ........................................... ii
ABSTRACT ........................................................... iv
RINGKASAN ........................................................ vi
DAFTAR ISI .......................................................... viii
DAFTAR TABEL.................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ............................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................... xiv
DAFTAR SINGKATAN ....................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. ......................................................... Latar
Belakang .............................................. 1
1.2. ......................................................... Rumusan
Masalah ................................................ 3
1.3. ......................................................... Tujuan
Penelitian.............................................. 3
1.4. ......................................................... Manfaat
Penelitian.............................................. 3
1.5. ......................................................... Kerangka
Pikir Penelitian ..................................... 3
1.6. ......................................................... Hipotesis ......................................... 5
ix
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Friesian Holstein (FH) ....................... 6
2.1.1. Peranakan Friesian
Holstein (PFH) di Indonesia ............ 7
2.2. Ambing Sapi Perah .............................. 8
2.3. Mastitis ................................................ 10
2.3.1. Infeksi oleh Streptococcus ........ 13
2.3.2. Infeksi oleh Staphylococcus ...... 13
2.4. Faktor Penyebab Infeksi
Mastitis Subklinis ............................... 14
2.4.1. Sanitasi dan Prosedur
Pemerahan ................................ 14
2.4.2. Bahan Alas Kandang ................. 16
2.4.3. Kondisi Laktasi Sapi Perah ....... 16
2.4.3.1. Tingkat Laktasi ............ 16
2.4.3.2. Masa Kering
(Dry off Period) ........... 17
2.4.3.3. Bulan Laktasi ............... 17
2.4.4. Bentuk Ambing dan Puting ...... 18
2.5. Uji California Mastitis Test
(CMT) ................................................. 21
BAB III MATERI DAN METODE
x
PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ............ 24
3.2. Materi Penelitian .............................. 24
3.2.1. Bahan ........................................ 24
3.2.2. Alat ........................................... 24
3.3. Metode Penelitian ................................ 25
3.3.1. Prosedur Pengambilan
Sampel ..................................... 26
3.3.2. Prosedur Pegukuran Puting ...... 26
3.3.2.1. Panjang Puting ............. 26
3.3.2.2. Diameter Puting ........... 27
3.3.2.3. Jarak Puting dari
Lantai Kandang ........... 27
3.3.3. Prosedur CMT ........................... 28
3.4. Variabel yang diamati.......................... 29
3.5. Analisa Data ........................................ 29
3.6. Batasan Istilah ..................................... 29
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi
Penelitian ........................................... 31
4.2. Rata-rata Ukuran Puting
di Berbagai tingkat laktasi .................. 32
4.3. Tingkat Kejadian Mastitis
xi
Subklinis ............................................. 34
4.4. Hubungan antara Skor CMT
dengan Ukuran Puting ....................... 36
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan .......................................... 40
5.2. Saran .................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA ............................................ 41
LAMPIRAN ........................................................... 50
xii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. ............................................................................................................................. E
stimasi jumlah sel somatik/ ml
susu CMT ..................................................... 22
2. ............................................................................................................................. R
ata-rata ukuran puting pada berbagai
tingkat laktasi ............................................... 33
3. ............................................................................................................................. K
oefisien korelasi (r) antara ukuran
puting dengan tingkat mastitis....................... 37
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. ................................................................... Diagram
kerangka pikir .......................................... 5
2. ............................................................................................................................ I
lustrasi sayatan melintang dan
membujur ambing sapi perah ................... 9
3. ............................................................................................................................ S
kor ambing dan puting
berdasar kekuatannya ............................... 19
4. ................................................................... Panjang
puting ....................................................... 27
xiv
5. ................................................................... Diameter
puting ....................................................... 27
6. ................................................................... Jarak
puting dari lantai kandang ........................ 28
7. ............................................................................................................................ J
arak antara kpsp “setia kawan”
dengan lokasi penelitian .......................... 32
8. ............................................................................................................................ T
ingkat mastitis pada puting
di berbagai tingkat laktasi ........................ 35
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. ................................................................... Data hasil
penelitian ................................................. 50
xv
2. ................................................................... Persentasi
kejadian mastitis subklinis ....................... 56
3. ................................................................... Data
kepemilikan ternak ................................... 59
4. ............................................................................................................................ H
ubungan panjang puting depan
dengan tingkat mastitis pada laktasi 1 ...... 60
5. ............................................................................................................................ H
ubungan panjang puting depan
dengan tingkat mastitis pada laktasi 2 ...... 63
6. ............................................................................................................................ H
ubungan panjang puting depan
dengan tingkat mastitis pada laktasi 3 ...... 66
7. ............................................................................................................................ H
ubungan panjang puting depan
dengan tingkat mastitis pada laktasi 4 ..... 69
8. ............................................................................................................................ H
ubungan panjang puting belakang
dengan tingkat mastitis pada laktasi 1 ...... 72
9. ............................................................................................................................ H
ubungan panjang puting belakang
dengan tingkat mastitis pada laktasi 2 ...... 75
10. .......................................................................................................................... H
ubungan panjang puting belakang
xvi
dengan tingkat mastitis pada laktasi 3 ...... 78
11. .......................................................................................................................... H
ubungan panjang puting belakang
dengan tingkat mastitis pada laktasi 4 ...... 81
12. .......................................................................................................................... H
ubungan diameter puting depan
dengan tingkat mastitis pada laktasi 1 ...... 84
13. .......................................................................................................................... H
ubungan diameter puting depan
dengan tingkat mastitis pada laktasi 2 ...... 87
14. .......................................................................................................................... H
ubungan diameter puting depan
dengan tingkat mastitis pada laktasi 3 ..... 90
15. .......................................................................................................................... H
ubungan diameter puting depan
dengan tingkat mastitis pada laktasi 4 ...... 93
16. .......................................................................................................................... H
ubungan diameter puting belakang
dengan tingkat mastitis pada laktasi 1 ...... 96
17. .......................................................................................................................... H
ubungan diameter puting belakang
dengan tingkat mastitis pada laktasi 2 ...... 99
xvii
18. .......................................................................................................................... H
ubungan diameter puting belakang
dengan tingkat mastitis pada laktasi 3 ...... 102
19. .......................................................................................................................... H
ubungan diameter puting belakang
dengan tingkat mastitis pada laktasi 4 ...... 105
20. .......................................................................................................................... H
ubungan jarak puting depan dengan
tingkat mastitis pada laktasi 1 .................. 108
21. .......................................................................................................................... H
ubungan jarak puting depan dengan
tingkat mastitis pada laktasi 2 .................. 111
22. .......................................................................................................................... H
ubungan jarak puting depan dengan
tingkat mastitis pada laktasi 3 .................. 114
23. .......................................................................................................................... H
ubungan jarak puting depan dengan
tingkat mastitis pada laktasi 4 .................. 117
24. .......................................................................................................................... H
ubungan jarak puting belakang
dengan tingkat mastitis pada laktasi 1 ...... 120
25. .......................................................................................................................... H
ubungan jarak puting belakang
xviii
dengan tingkat mastitis pada laktasi 2 ...... 123
26. .......................................................................................................................... H
ubungan jarak puting belakang
dengan tingkat mastitis pada laktasi 3 ...... 126
27. .......................................................................................................................... H
ubungan jarak puting belakang
dengan tingkat mastitis pada laktasi 4 ...... 129
28. ................................................................. Dokument
asi Penelitian ........................................... 132
DAFTAR SINGKATAN
xix
0C : Derajat Celcius
Cm : Centimeter
CMT : California Mastitis Test
FH : Friesian Holstein
IU : International Unit
Kg : Kilogram
Mdpl : Meter diatas Permukaan Laut
MSK : Mastitis Sub Klinis
PFH : Peranakan Friesian Holstein
SCC : Somatic Cell Count
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Mastitis merupakan penyakit radang pada kelenjar ambing
ternak betina yang disebabkan oleh serangan dari
mikroorganisme patogen (Trisunuwati, 2011). Mastitis terbagi
menjadi 2 jenis, yaitu mastitis subklinis yang tidak dapat
diamati bentuk fisiknya namun menyebabkan berkurangnya
total produksi susu dan mastitis klinis yang ditandai dengan
gejala fisik berupa ambing yang membengkak, kemerahan,
panas, dan sakit pada saat diperah. Susu yang berasal dari
ambing mastitis akan mengalami perubahan warna putih susu
menjadi kebiruan, rasa agak manis berubah menjadi agak asin,
bau susu berubah menjadi asam, konsistensi menjadi encer,
penurunan jumlah kasein, protein, dan laktosa, serta terjadi
penggumpalan bila diuji dengan alkohol berkadar 72%
(Subronto, 2003). Sutarti, Budiharta, dan Sumarto (2005)
menyatakan bahwa kurangnya kebersihan lantai kandang dan
ambing menjadi faktor utama penyebab munculnya infeksi
mastitis dari segi manajemen. Kandang yang selalu terjaga
kebersihannya dapat meminimalisir tingkat kejadian mastitis
dan meningkatkan kualitas susu yang akan diproduksi (Utami,
Radiati, dan Surjowardojo, 2014).
Utami (2014) menyatakan bahwa prevalensi mastitis
subklinis dapat mencapai 42,5% dari jumlah populasi ternak
yang ada. Hal ini diduga menjadi salah satu penyebab
rendahnya produksi susu/ ekor sapi di Indonesia. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran
mastitis adalah dengan memilih ternak yang tidak rentan
2
terhadap infeksi mastitis baik klinis maupun subklinis.
Penelitian yang dilakukan oleh Bardakcioglu, Sekkin, and
Toplu (2011) mengungkapkan bahwa beberapa pengukuran
puting diduga memiliki hubungan yang nyata dengan kejadian
mastitis. Pengukuran tersebut berupa panjang, diameter, dan
jarak ujung puting dari lantai kandang yang ditemukan
berbeda nyata dimana sapi yang terinfeksi cenderung memiliki
lebar diameter middle point yang lebih lebar dan jarak ujung
puting dari lantai kandang yang lebih rendah, sementara
panjang puting tidak berbeda nyata. Zwertvaegher, De
Vliegher, Verbist, Van Nuffel, Baert, and Van Weyenberg
(2013) menambahkan bahwa pada sapi yang lebar diameter
putingnya memiliki jumlah sel somatik pada susu yang
cenderung lebih tinggi. Puting yang pendek akan menyulitkan
proses pemerahan (Subronto, 2003). Ambing yang besar
memiliki jarak ujung puting yang lebih dekat dengan tanah
dan memiliki produksi susu yang tinggi. Hal ini dapat
menyebabkan membukanya streak canal dan lubang sphincter
yang lebih lama sehingga bakteri penyebab mastitis mudah
menyerang.
Berdasarkan uraian diatas perlu dilakukan penelitian
mengenai seberapa erat hubungan antara ukuran puting, yaitu
panjang, diameter, dan jarak puting dari lantai kandang dengan
tingkat keparahan mastitis berdasarkan uji estimasi jumlah sel
somatik menggunakan larutan CMT (California Mastitis Test).
Bila ditemukan korelasi yang erat, maka dapat digunakan
sebagai dasar dalam memilih ukuran puting yang sesuai dan
menekan kemungkinan terjadi dan menyebarnya infeksi
mastitis subklinis di dalam suatu farm.
3
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu apakah
ukuran panjang, diameter, dan jarak puting dari lantai kandang
memiliki hubungan yang erat dengan tingkat mastitis
berdasarkan CMT pada sapi perah PFH
1.3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan antara panjang, diameter, dan jarak puting dari
lantai kandang dengan tingkat mastitis berdasarkan CMT pada
sapi perah PFH.
1.4. Manfaat
Penelitian ini bermanfaat sebagai informasi dalam
mengetahui hubungan antara ukuran puting, yaitu panjang,
diameter, dan jarak puting dari lantai kandang dengan tingkat
mastitis subklinis untuk mengetahui ukuran puting yang lebih
rentan terhadap infeksi mastitis subklinis sehingga dapat
dilakukan tindakan pencegahan dan penanganan lebih dari
awal.
1.5. Kerangka Pikir
Mastitis sangat sering terjadi dalam peternakan sapi perah
hingga >40% populasi sebagai akibat dari kurangnya
kebersihan kandang dan ambing (Sutarti dkk., 2005; Utami
dkk., 2014). Tingginya prevalensi mastitis di lapang
merupakan ancaman bagi para pelaku usaha peternakan sapi
perah. Adanya mastitis akan menyebabkan stress dan
4
berkurangnya jumlah produksi susu yang akan berimbas
kepada kerugian. Infeksi ini dapat diobati dengan beberapa
jenis antibiotik seperti penicillin, namun bakteri penyebab
infeksi mastitis sangat banyak jenisnya dan menghilangkan
mastitis secara keseluruhan adalah hal yang sulit. Adapun
antibiotik sendiri menghasilkan residu yang mengaruskan susu
dibuang hingga waktu tertentu. Hal ini mempertegas bahwa
mencegah lebih baik daripada mengobati dalam hal
penanganan mastitis.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam mengurangi
tingkat kejadian mastitis adalah dengan memilih ternak yang
cenderung lebih tahan terhadap mastitis. Bardakcioglu et al.,
(2011) menyatakan bahwa ukuran puting, yaitu panjang,
diameter, dan jarak ujung puting dari lantai kandang memiliki
hubungan dengan tingkat mastitis. Hasil penelitian tersebut
menjelaskan bahwa puting yang terinfeksi mastitis subklinis
cenderung menunjukkan ukuran diameter yang lebih lebar dan
jarak ujung puting yang rendah dari lantai kandang. Oleh
karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
seberapa erat hubungan panjang, diameter, dan jarak ujung
puting dari lantai kandang dengan tingkat mastitis.
Pengukuran panjang dan diameter puting sapi perah dapat
diukur dengan menggunakan jangka sorong dengan ketelitian
0,05cm dan jarak puting dari lantai kandang diukur dengan
menggunakan meteran dengan ketelitian 0,1 cm (Coban,
Sabuncuoglu, and Tuzemen, 2009). Proses pengukuran
dilakukan dengan cara manual dan langsung di lapang
sebelum proses pemerahan. Tingkat mastitis diukur dengan
menggunakan uji California Mastitis Test (CMT) berdasarkan
tingkat kekentalan (Ruegg, 2005). Hasil akhir korelasi antara
5
ukuran puting dan tingkat mastitis kemudian dihitung sehingga
dapat digunakan sebagai dasar untuk mengetahui ukuran
puting yang rentan terhadap mastitis. Diagram kerangka pikir
dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram kerangka pikir
1.6. Hipotesis
Panjang, diameter, dan jarak puting dari lantai kandang
diduga memiliki hubungan yang erat dengan tingkat mastitis
berdasarkan CMT pada sapi perah PFH di berbagai tingkat
laktasi.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Friesian Holstein (FH)
Sapi FH adalah breed sapi perah yang berasal dari Eropa
dan dikembangkan di Belanda. Sapi Fries Holland adalah
julukan nama sapi ini di Belanda. Sapi FH dikenal di dunia
sebagai ternak perah dengan produksi susu tinggi dan paling
banyak dibudidayakan pada industri peternakan sapi perah.
Ciri khas dari sapi ini adalah corak hitam dan putih. Secara
taksonomi sapi perah FH masuk kedalam kingdom Animalia,
filum Chordata, kelas Mammalian, ordo Artiodactylia, sub
ordo Ruminansia, famili Boviadae, genus Bos, dan spesies Bos
taurus. Sapi perah FH berasal dari nenek moyang sapi liar Bos
Taurus yang merupakan jenis sapi yang tidak berpunuk
(Yuliyarto dan Putra, 2014). Ukuran badan, kecepatan
pertumbuhan, dan karkasnya yang bagus membuat sapi FH
disukai dan dibudidayakan tidak hanya untuk produksi susu
saja tapi juga untuk produksi daging.
Secara garis besar karakteristik sapi FH, yaitu bercorak
hitam belang putih pada tubuhnya dengan pembatas yang
jelas, terdapat warna putih berbentuk segi tiga di dahi, kepala
panjang, sebagian kecil saja berwarna putih atau hitam
seluruhnya rambut ekor berwarna putih, dan saat dewasa bobot
badannya bisa mencapai ±700 kg. Sapi perah FH merupakan
bangsa sapi perah berbadan besar dengan produksi susu tinggi
dibandingkan bangsa sapi perah lainnya. Produksi susu sapi
perah FH di negara asalnya dapat mencapai ±6.335 liter/laktasi
sementara sapi perah di Indonesia memiliki rata-rata
kemampuan produksi hanya ±3.660 liter/laktasi dengan kadar
7
lemak 3,7%. Produksi susu sapi perah FH di Amerika Serikat
rata-rata ±7.245 kg/laktasi sedangkan produksi rata-rata di
Indonesia adalah ±10 liter/ekor/hari atau ±3.050 kg/laktasi
(Susilorini, Sawitri, dan Muharlien, 2008).
2.1.1. Peranakan Friesian Holstein (PFH) di Indonesia
Sapi perah PFH adalah sapi perah yang ada Indonesia yang
merupakan hasil keturunan dari induk sapi FH Indonesia yang
dikawinkan secara alami maupun melalui IB (Inseminasi
Buatan) dengan straw semen sapi FH murni. Adinata dan
Sumanddidan (2009) menyatakan bahwa kondisi iklim
subtropis Eropa sangat berbeda dengan iklim tropis Indonesia,
sehingga penampilan produksi sapi perah di Indonesia kurang
maksimal. Keunggulan dari sapi perah PFH dibandingkan sapi
FH murni adalah lebih tahan panas dan lebih mudah
beradaptasi pada iklim tropis dengan tidak mengurangi
produksi susunya. Sapi perah PFH merupakan sapi yang
paling cocok untuk dibudidayakan di Indonesia (Ratnawati,
Rasyid, dan Affandhy, 2008).
Sistem usaha peternakan sapi perah di Indonesia
diklasifikasikan berdasarkan skala usaha yang terdiri atas
perusahaan peternakan sapi perah dan peternakan sapi perah
rakyat. Usaha peternakan sapi perah rakyat adalah usaha
peternakan yang memiliki total sapi perah di bawah 20 ekor
dalam pemeliharaanya, sedangkan perusahaan peternakan sapi
perah adalah usaha peternakan yang memiliki lebih dari 20
ekor sapi perah dalam pemeliharaanya. Kelemahan dari sistem
usaha peternakan sapi perah rakyat adalah penerapan
manajemen pemeliharaan sapi perah yang belum sesuai dan
harus dilakukan perbaikan pada aspek teknis atau tata laksana
8
pemeliharaan, terutama pengetahuan dan pencegahan penyakit
pada aspek kesehatan hewan, serta seleksi pada aspek
pembibitan dan reproduksi. Kurangnya penerapan prosedur
pemerahan yang baik pada pra, saat, dan pasca pemerahan
menyebabkan ternak yang dibudidayakan di skala rumah
tangga umumnya memiliki jumlah produksi susu yang rendah
sehingga penampilan produksi sapi perah PFH Indonesia
tidak maksimal bila dibandingkan dengan potensinya
(Simamora, Fuah, Attabany, dan Burhanuddin, 2015).
Sapi perah PFH menunjukkan produksi terbaik pada suhu
lingkungan 18,30 C dengan kelembaban 55%. Suhu lebih dari
270 C akan menyebabkan stress sehingga sapi perah PFH akan
banyak minum dan konsumsi pakan akan berkurang sehingga
produksi susu yang dihasilkan tidak akan maksimal (Yani dan
Purwanto, 2006). Usmiati dan Abu (2009) melaporkan bahwa
usaha peternakan sapi perah PFH di Indonesia pada umumnya
dilakukan di ketinggian lebih dari 800 mdpl yang bertujuan
untuk penyesuaian lingkungan yang sesuai untuk
memaksimalkan produksi.
2.2. Ambing Sapi Perah
Ambing sapi terdiri atas 4 perempatan atau kuartir.
Nickerson and Akers (2002) menyatakan bahwa pada sapi
perah PFH, ambing dibagi menjadi 2 belahan yang nyata, yaitu
ambing kanan dan kiri yang dipisahkan oleh median
suspensory ligament yang merupakan penahan agar ambing
tetap menempel kuat pada dinding tubuh ventral. Serat dari
lateral ligament akan bersinambung dengan median
suspensory ligament , tetapi tersebar di kedua sisi ambing
sehingga terlihat menggantung dan ditahan dengan jaringan
9
ikat (connective tissue). Ilustrasi bentuk ambing melintang
dan membujur dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Ilustrasi sayatan melintang (a) dan membujur (b)
ambing sapi perah (Nickerson and Akers, 2002)
Kenaikkan kemampuan menampung cairan pada ambing
berbeda pada tiap tingkat laktasi, namun ambing paling kuat
adalah ambing pada tingkat laktasi pertama dan kedua
dikarenakan ambing masih baru berkembang pada tingkat
laktasi ini. Pada umur 6-8 tahun perkembangan ukuran ambing
akan berhenti. Soeharsono (2008) menyatakan bahwa produksi
(a)
(b)
10
susu sapi perah akan terus meningkat hingga tahap dewasa,
yaitu pada usia 6-8 tahun. Pada umur 2 tahun sapi perah baru
mencapai 70% dari total produksi susunya saat dewasa, 80%
pada umur 3 tahun, 90% pada umur 4 tahun, dan 95% pada
umur 5 tahun.
Ciri ambing yang baik, yaitu menempel rapat dengan
dinding tubuh dan tidak molor yang dibuktikan dengan
suspensory ligament yang kuat. Ciri puting yang baik, yaitu
tegak lurus dibawah masing-masing kuartir dan sejajar
simetris posisinya dari sisi samping maupun dari bawah antara
satu sama lainnya, berbentuk silindris, tidak terlalu pendek (±3
cm) dan tidak terlalu panjang (±8 cm). Menurut Holstein
Foundation (2016), panjang ukuran puting normal sapi FH
adalah 5-5,7 cm dimana puting kuartir depan lebih panjang
dibandingkan puting kuartir belakang. Puting dari kuartir
depan memilki standar panjang 6 cm sementara puting dari
kuartir belakang adalah 5 cm.
2.3. Mastitis
Mastitis merupakan penyakit radang pada kelenjar mamae
hewan betina yang disebabkan oleh mikroorganisme. Faktor
penyebab kerentanan terhadap mastitis, yaitu umur ternak,
tingkat laktasi, dan pemerahan yang tidak tuntas (Trisunuwati,
2011). Mastitis menyebabkan perubahan kualitas fisik dan
kimia susu yang dihasilkan. Perubahan fisik meliputi
perubahan warna yang biasanya putih kekuningan berubah
menjadi putih pucat agak kebiruan, rasa yang agak manis
berubah menjadi agak asin, bau khas susu berubah menjadi
agak asam, konsistensi menjadi lebih cair dibanding
sebelumya dan akan menggumpal bila diuji dengan
11
menggunakan alkohol kadar 72%. Perubahan kimiawi meliputi
penurunan jumlah kasein, protein, laktosa, dan kalori
(Subronto, 2003).
Mastitis disebut juga sebagai penyakit ekonomis karena
mastitis menurunkan produksi air susu, ongkos perawatan dan
pengobatan, menambah biaya replacement stock sapi untuk
kelangsungan produksi, serta mengurangi pemasukan akibat
air susu yang harus dibuang karena tidak memenuhi
persyaratan. Infeksi mastitis terdiri atas mastitis klinis dan
mastitis subklinis. Mastitis klinis merubah komposisi dan
bentuk susu, mengurangi produksi susu, dan menunjukkan
tanda peradangan yang nyata (sakit, panas, bengkak, dan
kemerahan) yang dapat diamati dengan jelas, sedangkan
mastitis subklinis tidak dapat dilihat karena tidak
menunjukkan tanda wujud yang nyata.
Produksi susu yang meningkat berbanding lurus dengan
peningkatan tingkat kejadian mastitis subklinis. Berdasarkan
survei yang telah dilakukan, diketahui bahwa mastitis
subklinis lebih tinggi tingkat penyebarannya dibandingkan
dengan mastitis klinis di berbagai negara. Berdasarkan
berbagai studi, diketahui bahwa mastitis subklinis 15 sampai
40 kali lebih menyebar dibanding mastitis klinis dan bertahan
dalam durasi yang lama, sulit dideteksi, dan juga
mempengaruhi produksi susu secara kualitas dan kuantitas.
Ambing sapi perah yang terinfeksi mastitis subklinis ini
mengandung banyak sekali mikroorganisme patogen penyebab
mastitis subklinis yang dapat menular kepada ambing sapi
perah lain yang sehat (NAAS, 2013). Sharif, Umer, and
Muhammad (2009) menyatakan bahwa mastitis seringkali
muncul segera setelah sapi melahirkan dan aktif memproduksi
12
susu. Pemberian antibiotik pada saat periode kering dan
perlakuan dipping pasca pemerahan akan menurunkan
kemungkinan terjadinya infeksi mastitis.
Hogeveen, Pyorala, Waller, Hogan, Lam, Oliver,
Schukken, Barkema, and Hillerton (2011) menyatakan bahwa
infeksi mastitis subklinis dapat diamati dengan pemeriksaan
bakteriologi Somatic Cell Count (SCC) yang diterima sebagai
cara terbaik untuk memprediksi infeksi pada ambing sapi
semenjak tahun 1960. Sedangkan penentuan SCC di lapang
dapat dilakukan dengan menggunakan uji CMT yang
digunakan sebagai metode estimasi jumlah bakteri yang lebih
mudah, murah, dan cepat prosesnya (FAO, 2014).
Mastitis disebabkan oleh bakteri yang memasuki kelenjar
mammary melalui puting. Pencegahan mastitis dilakukan
dengan didasarkan 2 hal, yaitu meminimalkan adanya bakteri
di ujung puting dan meningkatkan ketahanan sapi terhadap
bakteri tersebut. Salah satu usaha pertama yang berhasil dalam
manajemen mastitis terdapat 5 poin, yaitu:
a. Perlakuan khusus pada sapi dalam masa kering
b. Perlakuan opimal terhadap sapi yang terinfeksi mastitis
subklinis
c. Melakukan culling pada sapi yang terinfeksi mastitis kronis
d. Mengoptimalkan pemerahan dan mesin pemerahan sampai
habis
e. Melakukan pembersihan pra-pemerahan dan desinfeksi
post-pemerahan
Hal tersebut dilakukan untuk mencegah serangan dari
bakteri patogen pada ambing yang paling sering ditemukan
saat kasus mastitis, yaitu Streptococcus agalactiae dan
Staphylococcus aureus yang menyebar dari sapi satu ke
13
lainnya melalui proses pemerahan. Sedangkan patogen pada
lingkungan yang sering ditemukan adalah Eshericia coli dan
Streptococcus uberis. Supar dan Ariyanti (2005) menyatakan
bahwa jenis bakteri yang dapat diisolasi dari sapi perah
penderita MSK adalah Streptococcus agalactia,
Staphylococcus aureus, dan Staphylococcus epidermidis yang
mendominasi (91,5%), sedangkan Streptococcus
dysagalactiae, Streptococcus uberis, Coliform dan lain-lain
bersifat minoritas (8,5%). Pengendalian MSK secara dry cow
therapy, disertai dengan manajemen pemerahan yang baik
dapat menekan kejadian MSK dan menaikkan produksi susu.
2.3.1. Infeksi oleh Streptococcus
Bakteri Streptococcus agalactiae merupakan penyebab
radang ambing yang mengakibatkan kerugian besar hingga
25% dari susu normal. Bakteri dapat diobati dengan
menggunakan penicillin 100.000 IU dan dapat dicegah dengan
selalu menerapkan sanitasi, isolasi pada sapi yang baru masuk,
dan mencegah orang asing bebas keluar masuk. Infeksi
ambing oleh Streptococcus uberis dapat berlangsung lama dan
sulit untuk disembuhkan meski radang yang ditimbulkan
bersifat ringan dan tidak menular. Streptococcus dysgalactiae
menyebabkan infkesi ringan, sementara, dan juga tidak
menulatdari sapi yang terinfeksi ke sapi lainnya (Subronto,
2003).
2.3.2. Infeksi oleh Staphylococcus
Staphylococcus aureus adalah bakteri yang paling sering
ditemukan dan mengakibatkan kerusakan yang parah bila
dibandingkan dengan Staphylococcus epidermidis yang hanya
14
menginfeksi secara ringan saja. Staphylococcus aureus adalah
bakteri yang mampu memproduksi enzim koagulase dan
toksin hemolisin alfa dan beta yang menyebabkan rusaknya
jaringan dan air susu yang lebih berat. Keberadaan
Staphylococcus aureus akan meningkat seiring dengan
bertambahnya usia sapi, hal ini diakibatkan oleh berkurangnya
fungsi streak canal dan lubang sphincter sebagai penolak
infeksi pada puting ambing sapi perah yang tua. Bagian tubuh
sasaran yang sering terinfeksi adalah kelenjar susu, terutama
bila sanitasi tidak terjaga dengan baik akan menyebabkan
menyebarnya menularnya mastitis subklinis di kuartir ambing
dan menular pada sapi perah lain. Pengobatan untuk infeksi
yang disebabkan bakteri ini sangat sulit untuk dilakukan
karena memiliki resistensi yang tinggi terhadap antibiotik.
Infeksi yang terlalu parah harus diberi perlakuan amputasi atau
dilakukan culling agar tidak menular ke sapi perah lain yang
sehat (Subronto, 2003).
2.4. Faktor Penyebab Infeksi Mastitis Subklinis
2.4.1. Sanitasi dan Prosedur Pemerahan
Sanitasi kandang adalah hal yang vital dalam manajemen
pencegahan penyakit. Lingkungan kandang yang kotor
memiliki risiko terkena mastitis 1,68 kali lebih besar
dibandingkan dengan lingkungan kandang yang bersih,
penggunaan air sungai untuk pemeliharaan ternak mempunyai
risiko 1,27 kali lebih besar dibandingkan dengan penggunaan
air ledeng, lantai kandang yang bersih mempunyai risiko 0,59
kali lebih kecil dibandingkan dengan lantai kandang yang
kotor, sapi yang ambingnya dibersihkan sebelum dilakukan
15
pemerahan memiliki risiko 0,32 kali lebih kecil jika
dibandingkan dengan sapi yang ambingnya tidak dibersihkan,
serta tubuh sapi yang bersih memiliki risiko terkena mastitis
0,18 kali lebih kecil dibandingkan dengan sapi yang kotor
(Sutarti, Budiharta, dan Sumarto, 2003).
Konsumen mengharapkan produk yang minim akan
kontaminasi dari aktivitas mikroba, perubahan fisik, dan
kimia. Prosedur pemerahan perlu diperhatikan untuk menjaga
sanitasi dan kualitas susu yang diproduksi sehingga terbebas
dan dapat dicegah dari kemungkinan infeksi mikroorganisme
patogen penyebab mastitis. Abubakar, Sunarko, Sutrasno,
Siwi, Kumalajati, Supriadi, Marsudi, dan Budiningsih (2009)
menyatakan bahwa usaha untuk melakukan pencegahan
mastitis dapat dilakukan dengan melaksanakan 3 metode
pemerahan, yaitu:
a. Fase persiapan pemerahan, yaitu pembersihan kandang,
pecucian ambing, dan puting, menenangkan sapi, persiapan
alat pemerahan oleh petugas kandang seperti milk can,
saringan, dan strip cup
b. Fase pemerahan, yaitu rangsangan pada ambing dan proses
pemerahan
c. Fase pasca pemerahan, yaitu pencucian ambing dan puting,
penanganan susu hasil produksi, pencucian alat, dan
memandikan sapi
Pengetahuan di lapang mengenai milking hygiene dalam
prosedur pemerahan sapi perah masih kurang diterapkan,
sehingga cara pemerahan yang salah sering kali ditemukan
pada petugas kandang (Simammora dkk., 2015). Kondisi
petugas saat melakukan pemerahan juga memberikan
pengaruh terhadap tingkat kejadian mastitis pada peternakan
16
sapi perah. Peternakan rakyat di Indonesia umumnya
melakukan pemerahan secara manual sebanyak 2 kali dalam
sehari. Handayani dan Purwanti (2010) menyatakan bahwa
tangan pemerah ternyata dapat berperan sebagai sumber
kontaminan dengan ditemukannya Staphylococcus aureus
rata-rata sebanyak 1,4x10 CFU/ml koliform sebanyak 3,7x104
CFU/ml di tangan pemerah meski jumlah mikroba tersebut
masih dalam ambang normal, yaitu dibawah 1x106 CFU/ml.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa mencuci tangan
dengan sabun merupakan sebuah keharusan dalam langkah
menjaga sterilitas ambing sapi perah, karena dapat menjadi
media penularan bakteri seperti Staphylococcus aureus dari
sapi yang terinfeksi ke sapi yang sehat.
2.4.2. Bahan Alas Kandang
Bahan alas kandang dapat mempengaruhi tingkat kejadian
mastitis pada sapi perah karena sapi menghabiskan waktunya
sebesar 50%-60% untuk bersandar dar tidur di lantai. Ada 3
jenis bahan alas kandang yang umum digunakan pada
peternakan sapi perah rakyat yaitu kayu, bambu, dan karet.
Aziz, Surjowardojo, dan Sarwiyono (2013) menyatakan bahwa
hubungan antara bahan lantai kandang dengan tingkat kejadian
mastitis tertinggi berada pada sapi perah yang menggunakan
lantai kandang berbahan kayu, kemudian diikuti oleh tingkat
kejadian mastitis pada bahan bambu kemudian bahan karet,
lalu bahan karet yang lebih rendah tingkat kejadian
mastitisnya karena bahan karet bersifat mudah dibersihkan,
rata, awet, kuat, dan tidak menyerap air.
2.4.3. Kondisi Laktasi Sapi Perah
17
2.4.3.1. Tingkat Laktasi
Tingkat laktasi adalah masa produksi susu berdasar
banyaknya jumlah kelahiran. Semakin tua umur sapi, semakin
meningkat pula tingkat kejadian mastitis subklinis. Sapi perah
yang berada dalam laktasi pertama dengan estimasi umur 2,5-3
tahun memiliki tingkat kejadian mastitis subklinis yang rendah
yang kemudian akan terus meningkat seiring bertambahnya
masa laktasi (Pisestiyani, Lelana, dan Septiani, 2016). Umur
5-8 tahun diestimasikan berada pada tingkat laktasi ke-3 dan 4
adalah umur yang rentan terhadap infeksi mastitis subklinis
dimana tingkat penyebarannya adalah 40,9% pada sapi perah
persilangan dan 54,1% tingkat penyebarannya pada sapi yang
memproduksi susu diatas 10 liter (Islam and Rahman, 2011;
Tripura, Sarker, Roy, Parvin, Rahman, and Islam, 2014).
2.4.3.2. Masa Kering (Dry off Period)
Masa ideal produksi susu sapi perah adalah 305 hari lalu
ditambahkan dengan masa kering yang berguna untuk
mengiistirahatkan sapi dan mengembalikan sel-sel yang rusak.
Masa pengeringan pada umumnya adalah 8 minggu (Collier,
Dawson, and Pezeshki 2011). Tingkat kejadian mastitis paling
besar terjadi pada saat periode kering/ masa kering. Periode
kering awal (minggu 1 atau 2) adalah waktu dengan tingkat
kejadian tertinggi dari mastitis subklinis. Beberapa faktor yang
menyebabkan kerentanan pada periode kering awal adalah:
susu tidak lagi dikelurkan secara periodik, akumulasi produksi
susu yang tidak di perah di dalam ambing, lesi dari puting,
tidak dilakukannya desinfeksi pada ujung puting (Hurley,
2010). Pantoja, Hulland, and Ruegg (2009) menyatakan
bahwa kejadian mastitis subklinis sebelum periode kering
18
dapat meningkat hingga 2,7 dan berpotensi menjadi mastitis
klinis pasca periode kering.
2.4.3.3. Bulan Laktasi
Bulan laktasi adalah masa dimana sapi perah aktif dalam
memproduksi susu segar. Menurut manajemen sapi perah yang
benar, standar lamanya sapi perah laktasi aktif memproduksi
susu adalah 305 hari (10 bulan) kemudian dilakukan masa
kering dimana sapi tidak diperah selama 60 hari (2 bulan) dan
memiliki jarak beranak (calving interval) 360-365 hari (12
bulan). Puncak produksi susu sapi perah berawal dari 30-60
hari (bulan 1-2). Meierhover, Muller, Mittman, Demba,
Entorf, Hoffman, Ammon, Rudovsky, and Brunsch (2013)
menyatakan bahwa dari beranak, sapi perah akan mencapai
puncak laktasi pada bulan ke 2-3 pasca beranak dan akan
mengalami persistensi hingga periode kering dilakukan.
Semakin banyak produksi susu, semakin lama streak canal
dan sphincter terbuka. Sehingga mikroorganisme patogen
penyebab mastitis akan lebih mudah menyerang.
2.4.4. Bentuk Ambing dan Puting
Bentuk ambing dan puting sapi perah dapat mempengaruhi
tingkat kejadian mastitis subklinis pada sapi perah.
Bertambahnya usia sapi perah dan tingginya produksi susu
dapat mengurangi kapasitas kemampuan ligamentum
suspensorium lateral sebagai pelindung dan penyangga utama
ambing, sehingga ambing menjadi pendulous (molor) seiring
lamanya waktu sapi tersebut diperah. Hal ini dapat
menyebabkan kesulitan dalam proses pemerahan dan dapat
menyebabkan luka pada puting yang meningkatkan risiko
19
infeksi mastitis. Faktor lain penyebab kerentanan terhadap
mastitis subklinis, yaitu bentuk ambing yang pendulous atau
ambing dengan lubang sphincter yang terlalu lebar (Nickerson
dan Akers, 2002).
Rasio produksi susu antara sepasang puting bagian depan
dan belakang adalah 40:60. Ambing dapat diindikasi
mengidap infeksi mastitis subklinis apabila produksi antara
kuartir depan dan belakang terdapat perbedaan lebih dari 10-
15% dari perbandingan tersebut dan waktu pemerahan antar
kuartir yang melebihi 1 menit (Nickerson dan Akers, 2002).
Bentuk dan ukuran puting serta struktur ambing pada sapi
perah tidak hanya penting untuk mengambarkan karakter
morfologi tetapi juga penting dalam menggambarkan banyak
sedikitnya produksi susu yang akan dihasilkan (Tilki, Inal,
Colak, and Garip, 2005). Sori, Zerihun, and Abdicho (2005)
menyatakan bahwa tingkat kejadian mastitis pada puting
pendulous mencapai 77,78%, sedangkan pada puting non
pendulous mencapai 50%. Puting yang lesi memungkinkan
prevalensi mastitis sebesar 84%, sedangkan pada puting
normal sebesar 47,74%. Skor ambing dan puting berdasar
bentuk dan kekuatannya dapat dilihat pada Gambar 3.
20
Gambar 3. Skor ambing dan puting berdasar kekuatannya(1)
sangat kuat, (2) kuat, (3) sedang, (4) Lemah (5)
sangat lemah (pendulous) (Rasby, 2014)
Puting tidak diselimuti oleh rambut. Umumnya puting
bagian depan lebih panjang dibanding puting bagian belakang,
namun kapasitas dari kuartir bagian belakang lebih banyak
dibanding bagian depan. Puting yang baik adalah puting yang
tepat terletak dibawah setiap kuartir ambing, tegak lurus, dan
berjarak seimbang. Bentuk puting yang tidak sehat pada sapi
perah dapat menjadi faktor predisposisi mastitis (Holstein
Foundation, 2016). Subronto (2003) menyatakan bahwa
disamping faktor-faktor mikroorganisme yang meliputi
berbagai jenis jumlah dan penyebarannya, faktor ternak dan
lingkungannya juga menentukan mudah tidaknya terjadi
radang ambing dalam suatu peternakan. Hasil penelitian
Pisestiyani (2016) menjelaskan bahwa puting yang memiliki
panjang 6,5 cm memiliki peluang yang lebih tinggi untuk
terinfeksi mastitis. Sama halnya dengan puting yang terlalu
panjang, puting yang terlalu pendek juga menjadi faktor
predisposisi mastitis, dikarenakan peternak akan mengalami
kesulitan saat pemerahan sehingga pemerahan tidak sempurna
dan dapat menyebabkan mastitis.
21
Prinsip dasar pengendalian mastitis adalah menurunkan
kemungkinan exposure puting terhadap agen patogen melalui
peningkatan daya tahan ternak terhadap kemungkinan
terjadinya infeksi. Ambing sejak awal telah dilengkapi dengan
perangkat pertahanan untuk menjaga agar air susu tetap dalam
keadaan steril dan tidak tercemar oleh bakteri patogen, yaitu
lubang sphincter yang dapat menutup rapat pasca pemerahan
dan streak canal yang didalamnya terdapat keratin dengan
sifat bacteriostatic (FAO, 2014). Bacteriostatic adalah sifat
yang dapat menekan pertumbuhan bakteri (Bernatova, Samek,
Pilat, Sery, Jezek, Jakl, Siler, Krzyzanek, Zemanek, Hola,
Dvorackova, and Ruzicka, 2013). Subronto (2003)
menyatakan bahwa tingkat pertahanan ambing mencapai titik
terendah pada saat sesudah dilakukan pemerahan, karena
spinchter puting masih terbuka sekitar 2-3 jam, sel darah putih
jumlahnya sangat minim, sementara antibodi dan enzim juga
habis ikut terperah.
2.5. Uji California Mastitis Test (CMT)
Infeksi mastitis adalah salah satu gangguan utama yang
mempengaruhi produksi susu selama masa laktasi. Metode
penentuan tingkat mastitis yang paling umum digunakan di
lapang adalah dengan reagen CMT karena mudah, murah, dan
cepat. CMT juga dikenal sebagai metode tidak langsung dalam
menentukan tingkat kejadian mastitis subklinis. Prinsip dari
CMT adalah penggunaan deterjen yang bekerja pada membran
terluar sel (membran lipoprotein) dengan membongkar DNA
yang berbentuk sepeti gel dan hasilnya adalah semakin tinggi
konsistensi larutan semakin banyak jumlah sel somatik
didalam sampel tersebut (Pradiee, 2012). Hal ini didukung
22
pula oleh pendapat Campbell and Marshall (2016), bahwa
CMT sangat sensitif terhadap sel somatik di dalam susu.
Reagen CMT (3% alkyl aryl sulfonate, yaitu deterjen anion)
dengan indikator pH (bromocresol purple, 1:10.000) melisis
dinding sel dan bereaksi dengan deoxy ribonucleic acid
(DNA) dari sel somatik yang kemudian akan terjadi reaksi
ikatan antar molekul membentuk gel.
Uji tingkat kejadian mastitis dilakukan dengan CMT yaitu
dengan mengambil susu dari hasil pemerahan setiap kuartir
sapi perah yang dilakukan pada sore hari. Pengujian
keberadaan mastitis subklinis dilakukan dengan mengambil 2
ml susu yang ditempatkan di paddle lalu direaksikan dengan
reagen CMT sebanyak 2 ml, kemudian campuran tersebut
dihomogenkan membentuk lingkaran selama 10-15 detik.
Pembacaan hasil reaksi dilakukan sekitar 20 detik di tempat
yang terang. Reaksi ini ditandai dengan ada tidaknya
perubahan pada kekentalan susu. Hasil pengujian ditentukan
berdasarkan scoring CMT, yaitu negatif (-), trace (T), positif
1 (+), positif 2 (++) dan positif 3 (+++). Sampel yang tidak
menunjukkan terjadinya pengendapan atau terjadi tapi sangat
tipis (trace) maka sapi dinyatakan tidak mengalami mastitis
subklinis. Tabel estimasi jumlah sel/ ml Susu berdasarkan uji
CMT dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Estimasi Jumlah Sel somatik/ ml Susu CMT
Simbol Arti Reaksi Estimasi Jumlah
Sel per ml Susu
- Negatif Larutan tidak
mengental (Tidak
infeksi)
23
T Trace sedikit mengental
(kemungkinan ada
infeksi)
150.000-500.000
1 Positif
Lemah
Terdapat perbedaan
kekentalan pada
larutan (infeksi
ringan)
400.000-1.500.000
2 Positif
Nyata
Terbentuk gel cairan
kental dengan
sedikit formasi gel
800.000-5.000.000
3 Positif
Kuat
Terbentuk gel cairan
kental sangat nyata
>5.000.000
4 + Warna ungu gelap Aktivitas kelenjar
susu berkurang
5 - Warna kuning Susu bersifat asam
Sumber : Ruegg (2005)
Tingkat kekentalan ditentukan dari jumlah sel somatik
yang terkandung dalam susu. Trace menunjukkan terjadinya
sedikit endapan, positif 1 (+) endapan terlihat jelas, positif 2
(++) campuran langsung mengental dan endapan bergerak ke
tengah paddle dan positif 3 (+++) banyak terbentuk endapan
dan menyebabkan permukaan menjadi cembung (Setiawan,
Maheswari, dan Purwanto, 2013). Gambaran tingkat
kekentalan hasil uji CMT dapat dilihat pada Gambar 4 dan
Gambar 5 di Lampiran 28.
24
BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016 –
Januari 2017 di peternakan sapi perah rakyat yang berada di
desa Gunung Sari, Nongkojajar, Kecamatan tutur, Kabupaten
Pasuruan, Jawa Timur.
3.2. Materi Penelitian
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 364
puting dari 91 ekor sapi perah PFH pada tingkat laktasi 1, 2, 3,
dan 4. Pada laktasi 1, 3, dan 4 masing-masing terdapat 23 ekor
sapi perah PFH, sedangkan pada laktasi 2 terdapat 22 ekor sapi
perah PFH. Materi yang diukur adalah panjang, diameter, dan
jarak puting dari lantai kandang pada puting kuartir depan dan
belakang serta tingkat mastitis pada masing-masing kuartir.
3.2.1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1. Reagen CMT: digunakan untuk menentukan skor mastitis
melalui kekentalan susu akibat reaksi penggumpalan dari
DNA sel somatik
2. Air: digunakan untuk membilas sisa susu pada paddle dan
kotoran yang ada pada ambing dan puting
3.2.2. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1. Jangka sorong (Callipers) : digunakan untuk mengukur
panjang dan diameter puting dengan ketelitian 0,005 cm
25
2. Meteran: digunakan untuk mengukur jarak puting dari
lantai kandang dengan ketelitian 0,1 cm
3. Paddle: digunakan sebagai wadah melakukan uji CMT
dengan menggunakan sampel susu dan reagen CMT
4. Botol air minum: digunakan sebagai tempat penyimpanan
air untuk membilas sisa susu pada paddle dan kotoran yang
ada pada ambing dan puting
5. Tisu: digunakan untuk membasuh sisa air bilas yang ada
pada paddle setelah penggunaan
3.3. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
kasus yang dilakukan dengan cara observasi dan wawancara
dengan mengamati hubungan antara panjang, diameter, dan
jarak ujung puting dari lantai kandang dengan tingkat mastitis
berdasarkan CMT di berbagai tingkat laktasi. Penentuan
sampel ditentukan secara purposive sampling, yaitu
pengambilan sampel secara sengaja sesuai dengan kriteria
sampel yang telah ditentukan. Kriteria yang dimaksud adalah
sapi perah PFH dengan proses pemeliharaan secara intensif
dengan bentuk dan kemiringan lantai kandang yang relatif
sama, pemerahan secara manual, tidak diberi perlakuan teat
dipping pasca pemerahan, dan berada pada bulan laktasi >5.
Pemilihan bulan laktasi ini dikarenakan infeksi mastitis
subklinis pada bulan ini adalah perkembangan dari infeksi
mastitis subklinis sebelumnya, yaitu pada bulan laktasi awal
dan puncak laktasi serta tinggi rendahnya tingkat mastitis tidak
dipengaruhi oleh puncak laktasi.
26
3.3.1. Prosedur Pengambilan Sampel
Sampel didapatkan melalui observasi di lapang dengan
mencari sapi perah PFH dengan proses pemeliharaan secara
intensif dengan bentuk dan kemiringan lantai kandang yang
relatif sama, pemerahan secara manual, tidak dilakukan teat
dipping pasca pemerahan, dan berada pada bulan laktasi >5.
Identitas seperti tingkat laktasi dan bulan laktasi diketahui
melalui wawancara dan recording. Puting sapi perah PFH
kemudian diukur panjang, diameter, serta jarak puting dari
lantai kandang sebelum pemerahan serta diambil sampel susu
perputing sebanyak 2 ml setelah membuang 2-3 pancaran
pertama.
3.3.2. Prosedur Pengukuran Puting
3.3.2.1. Panjang Puting
Panjang puting adalah salah satu pengukuran puting yang
diperoleh dengan cara mengukur dari pangkal hingga ke ujung
puting. Panjang puting diukur dengan menggunakan jangka
sorong dengan ketelitian 0,005 cm. Pengukuran ini dilakukan
sebelum dilakukan pemerahan. Panjang puting yang diukur
dapat dilihat pada Gambar 4.
27
Gambar 4. Panjang puting
3.3.2.2. Diameter Puting
Diameter puting yang diukur adalah diameter puting bagian
tengah (middle point) yang dapat diukur dengan menggunakan
jangka sorong dengan ketelitian 0,005 cm. Pengukuran ini
dilakukan sebelum dilakukan pemerahan. Pengukuran
diameter puting dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Diameter puting
3.3.2.3. Jarak Puting dari Lantai Kandang
28
Jarak puting dari lantai kandang atau tinggi puting adalah
jarak yang dihitung dari ujung puting dari setiap puting sampai
dengan dasar lantai kandang yang dilakukan sebelum
pemerahan dan diukur dengan menggunakan meteran dengan
ketelitian 0,1 cm. Jarak puting dari lantai kandang dapat dilihat
pada Gambar 6.
Gambar 6. Jarak puting dari lantai kandang
3.3.3. Prosedur CMT
1. Ambing dan puting dibersihkan dari kotoran yang masih
menempel dengan cara dibilas menggunakan air bersih
2. Sampel susu dari setiap puting diambil sebanyak 2 ml
setelah membuang 2-3 pancaran pertama dan diletakkan di
paddle sesuai dengan kode letak puting
3. Reagen CMT ditambahkan sebanyak 2 ml (1:1) kedalam
paddle
4. Selama 10-15 detik campuran larutan tersebut
dihomogenkan dengan pola lingkaran
5. Hasil uji CMT dibaca pada detik ke-20 (Ruegg, 2005)
29
Hasi uji CMT adalah skor CMT yang terdiri atas negatif (-
), Trace, 1, 2, dan 3 yang akan diintepretasikan dalam
penelitian ini menjadi tingkat mastitis 0, 1, 2, 3, dan 4.
3.4. Variabel yang diamati
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah:
Ukuran panjang puting, diameter puting, dan jarak puting
dari lantai kandang
Tingkat mastitis berdasarkan CMT dari setiap puting sapi
perah PFH.
3.5. Analisa Data
Data dianalisa dengan analisis regresi linear dan korelasi.
Analisis regresi adalah suatu analisis untuk mengetahui
seberapa jauh hubungan antara variabel bebas (X) dan variabel
terikat (Y), adapun analisis regresi memiliki bentuk
persamaan:
Y = a + bX
Y = an + bX
Sedangkan analisis korelasi adalah suatu analisis untuk
mengetahui kuat tidaknya hubungan yang terjadi antara
variabel bebas (X) dengan variabel terikat (Y). Kuat tidaknya
hubungan tersebut diberi simbol (r). Rumusnya yaitu:
r =
(Sunyoto, 2003)
3.6. Batasan Istilah
30
Mastitis: Radang ambing pada sapi perah
Mastitis subklinis: Gejala radang ambing yang ditandai
dengan peningkatan jumlah sel somatik >200.000 sel/ml
California Mastitis Test: Metode untuk mendeteksi adanya
infeksi mastitis pada setiap puting sapi perah dengan
estimasi jumlah sel somatik berdasarkan tingkat kekentalan
Tingkat kejadian: Jumlah peneyebaran penderita (%) dalam
suatu populasi, penyebaran, dan keseriusan yang
diakibatkan
Tingkat Mastitis : Tingkat berdasarkan interpretasi CMT
(tingkat 0, 1, 2, 3, dan 4)
Skor CMT : Tingkat keparahan mastitis subklinis (Negatif
(-), Trace, 1, 2, 3)
Bulan laktasi: Bulan laktasi adalah bulan dimana sapi perah
aktif dalam memproduksi susu segar
Tingkat laktasi : Tingkat laktasi adalah masa produksi susu
berdasarkan banyaknya jumlah kelahiran (Paritas).
Masa kering: periode atau lamanya sapi berhenti diperah
hingga sapi beranak, 2 bulan sebelum kelahiran.
Kuartir ambing: 4 kelenjar susu (mammary gland).
Panjang puting : Ukuran panjang dari pangkal puting dekat
ambing hingga ke ujung puting
Diameter puting : Ukuran lebar puting bagian tengah
(middle point) dari sisi kiri ke kanan
Jarak ujung puting dari lantai kandang : Jarak ukuran yang
diukur dari ujung puting hingga lantai kandang sapi
berpijak
31
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilakukan di peternakan sapi perah
rakyat Desa Gunung Sari yang berada dalam wilayah Koperasi
Peternakan Sapi Perah (KPSP) Nongkojajar, Pasuruan. Desa
Gunungsari beralamatkan di Jl. Gunungsari, Kalipucang,
Tutur, Pasuruan, Jawa Timur dan berjarak ±5 km dari KPSP
“Setia Kawan” yang beralamatkan di Jalan Raya Nongkojajar
No. 38, Wonosari, Tutur, Pasuruan, Jawa Timur. Koperasi ini
terletak di lereng sebelah barat pegunungan Tengger pada
ketinggian tempat 400-2000 m di atas permukaan laut dengan
suhu udara berkisar 16ºC sampai 25ºC, kelembaban udara rata-
rata 80%, dan curah hujan rata-rata 3650 mm/tahun
(Anonimus, 2009). Populasi sapi perah di Nongkojajar tercatat
pada tahun 2011 adalah 17.461 ekor yang terdiri atas ±7.900
ekor induk laktasi dan sisanya adalah induk kering, pedet dan
jantan dewasa, pedet betina, dan dara bunting. Produksi susu
segar di KPSP “Setia Kawan” adalah ±82.000 liter/hari
(KPSP, 2011). Jarak antara lokasi penelitian dengan KPSP
“Setia Kawan” dapat dilihat pada Gambar 7.
32
Gambar 7. Jarak antara KPSP “Setia Kawan” dengan lokasi
penelitian
4.2. Rata-rata Ukuran Puting di Berbagai tingkat laktasi
Subronto (2003) menyatakan bahwa ukuran dan kapasitas
ambing berkembang pesat pada awal laktasi. Awal laktasi
pada sapi, yaitu tingkat laktasi 1 dan 2 diestimasikan terjadi
pada sapi berumur 3-4 tahun. Pada saat dewasa ambing akan
mulai berhenti berkembang. Dewasa pada sapi dikategorikan
pada umur 5-6 tahun yang diestimasikan berada pada tingkat
laktasi 3 dan 4. Produksi susu sapi perah akan mulai menurun
setelah sapi berumur 8 tahun. Guarin and Ruegg (2017)
menyatakan bahwa ukuran puting juga akan bertambah
panjang dan lebar seiring dengan pertambahan tingkat laktasi.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa panjang, diameter,
dan jarak ujung puting dari lantai kandang antara individu sapi
berbeda antara satu dengan yang lainnya. Rata-rata ukuran
panjang dan diameter puting bagian depan dan belakang pada
tingkat laktasi 1-4 menunjukkan perubahan ukuran yang tidak
33
konstan, namun cenderung menunjukkan bahwa ukuran puting
lebih panjang dan lebar di tingkat laktasi yang lebih tua
dibandingkan awal laktasi. Sedangkan jarak ujung puting dari
lantai kandang akan semakin rendah sejalan dengan semakin
bertambahya tingkat laktasi. Perubahan rata-rata ukuran puting
tidak konstan antara tingkat laktasi ini dikarenakan
pengamatan pada penelitian ini dilakukan pada sapi perah
yang berbeda sehingga perkembangan panjang puting awal
sapi perah PFH berbeda dan variatif meski berada di tingkat
laktasi yang sama,. Data hasil penelitian dapat dilihat pada
Lampiran 1. Rata-rata ukuran panjang, diameter, dan jarak
puting dari lantai kandang pada tingkat laktasi 1-4 dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata ukuran puting pada berbagai tingkat laktasi
Data pada Tabel 2 menjelaskan ukuran rata-rata dari
panjang, diameter, dan jarak ujung puting dari lantai kandang
di tingkat laktasi 1-4. Pada laktasi 1, 3, dan 4 terdiri atas
sampel ukuran dari 23 ekor sapi yang masing-masing terdiri
atas 46 puting kuartir depan dan 46 puting kuartir belakang,
sementara pada laktasi 2 terdapat 22 ekor yang terdiri atas 44
puting kuartir depan dan 44 puting kuartir belakang.
34
Ukuran panjang dan diameter puting di laktasi 4 lebih
panjang dan lebar dibandingkan laktasi 1. Hal ini dikarenakan
telah terjadi perkembangan ukuran dan kapasitas ambing pada
sapi perah PFH di berbagai tingkat laktasi. Rendahnya jarak
puting dari lantai kandang menggambarkan ambing yang
bertambah besar ukuran dan kapasitasnya seiring dengan
pertambahan tingkat laktasi (Subronto, 2003). Tilki et al.
(2005) menyatakan bahwa produksi susu akan meningkat
dengan semakin rendahnya jarak ambing dan juga puting dari
lantai kandang. Oleh karena itu, besar kecilnya ambing pada
sapi dapat menggambarkan kapasitas ambing dalam
melakukan produksi susu. Pisestiyani et al. (2016) menyatakan
bahwa pada sistem pemerahan manual dengan metode strippen
dapat menyebabkan lemahnya ligamen sehingga pangkal
puting menjadi longgar.
4.2. Tingkat Kejadian Mastitis Subklinis
Tingkat kejadian mastitis subklinis digambarkan dengan
banyaknya jumlah puting yang terinfeksi mastitis subklinis di
dalam sebuah populasi (prevalensi). Ambing dinyatakan
terinfeksi mastitis subklinis bila susu yang diproduksi
memiliki jumlah sel somatik diatas normal, yaitu 200.000
sel/ml. Tingginya jumlah sel somatik dalam susu dapat diamati
dengan menggunakan CMT yang ditunjukkan dengan
bertambahnya konsistensi campuran larutan CMT- susu.
Mastitis subklinis tidak dapat diamati secara fisik, namun
menyebabkan penurunan produksi susu. Surjowardojo dkk.
(2008) menyatakan bahwa infeksi mastitis akan menurunkan
produksi susu mulai 4,4 hingga 8,3 liter/hari/ekor. Semakin
tinggi kejadian mastitis subklinis, semakin besar kerugian
35
yang diterima oleh peternak. Mastitis subklinis yang dibiarkan
akan berkembang menjadi mastitis klinis yang dapat
mematikan fungsi puting. Adapun kenaikkan jumlah sel
somatik sampai pada skor CMT tertinggi yang diestimasikan
jumlah sel somatik >5.000.000 sel/ml akan menyebabkan
rusaknya kualitas susu secara nyata (Firmansyah, Trisnuwuti,
dan Winarso, 2012).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tingkat kejadian
mastitis subklinis meningkat seiring dengan pertambahan
tingkat laktasi yang berarti juga bertambahnya umur sapi
perah PFH (Gambar 8). Hal ini dikarenakan kemampuan
ambing dan puting untuk menahan mikroorganisme patogen
penyebab infeksi mastitis semakin berkurang seiring dengan
bertambahnya tingkat laktasi.
Gambar 8. Tingkat kejadian mastitis pada puting di beberapa
tingkat laktasi
Gambar 8 adalah gambaran seberapa tinggi persentase
kejadian mastitis subklinis di lapang pada penelitian ini.
Adapun total persentase jumlah puting yang terinfeksi mastitis
0,00%
5,00%
10,00%
15,00%
20,00%
25,00%
Laktasi
ke-1
Laktasi
ke-2
Laktasi
ke-3
Laktasi
ke-4
Tingkat mastitis 1
Tingkat mastitis 2
Tingkat mastitis 3
Tingkat mastitis 4
36
subklinis pada tingkat laktasi 1-4 berturut- turut adalah
31,53%, 30,58%, 33,70%, dan 46,63% (Lampiran 2).
Meningkatnya tingkat kejadian mastitis subklinis pada setiap
tingkat laktasi adalah akibat dari semakin melemahnya
pertahanan ambing siring dengan pertambahan tingkat laktasi..
Paulrud and Rasmussen (2004) menyatakan bahwa teat
canal adalah saluran terluar pada puting yang memiliki barisan
keratin yang berfungsi untuk memerangkap bakteri yang
masuk diantara proses pemerahan dan dapat membuka serta
menutup untuk mencegah masuknya bakteri. Asam lemak
keratin bersifat bacteriacidal dan bacteriastatic serta memiliki
protein yang mengikat dan melisis dinding sel bakteri gram
positif, namun tidak berpengaruh pada mastitis yang
disebabkan oleh lingkungan seperti Eschericia coli dan
Streptococcus uberis (Hogan, Smith, Todhunter, and
Schoenberger, 1988). Pertahanan lainnya adalah otot sphincter
yang akan membuka bila terdapat rangsangan dan akan
menutup lagi setelahnya dan gerak peristaltik halus pada teat
canal yang mendorong keluarnya bakteri. Gerak peristaltik
akan berhenti selama 2-4 jam pasca pemerahan. Hal ini
menyebabkan puting sangat rentan oleh invasi bakteri pasca
pemerahan dan sanitasi pra, saat, dan pasca pemerahan yang
kurang akan memperparah tingkat kejadian mastitis subklinis.
Kemampuan pertahanan puting ini akan semakin melemah
seiring dengan pertambahan umur ternak serta akibat
seringnya melakukan infusi intramammary seperti injeksi
antibiotik. Infusi intramammary ini dapat mengakibatikan
kerusakan susunan keratin sehingga keratin membutuhkan
waktu sekitar 2-4 minggu untuk pulih kembali.
37
4.3. Hubungan antara Tingkat Mastitis dengan Ukuran
Puting
Salah satu masalah utama pada industri sapi perah adalah
mastitis. Tilki et al. (2005) menyatakan bahwa bentuk dan
ukuran mammary berhubungan erat dengan produksi susu
yang dihasilkan, serta diduga berkaitan pula dengan tingkat
mastitis pada sapi perah. Bardakcioglu et al. (2011)
menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada
beberapa bagian pengukuran panjang, diameter, dan jarak
puting dari lantai kandang. Hasil penelitian tersebut
menyatakan bahwa ukuran diameter puting belakang dan jarak
puting dari lantai kandang lebih lebar dan rendah pada ternak
yang terinfeksi mastitis subklinis dibandingkan dengan ternak
yang sehat. Guarin, Paixio, and Ruegg (2016) menyatakan
bahwa mastitis timbul ketika bakteri berhasil melewati
pertahanan puting dan bentuk puting merupakan faktor yang
berpotensi menyebabkan infeksi. Adapun hasil analisa data
regresi dan korelasi sederhana antara ukuran puting (panjang,
diameter, dan jarak dari lantai kandang) sapi perah PFH
dengan tingkat mastitis berdasarkan CMT dapat dilihat pada
Lampiran 4 - 27 dan tabel korelasi dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Koefisien korelasi (r) antara ukuran puting dengan
tingkat mastitis
38
Hasil analisa data menggunakan regresi linear pada
Lampiran 4 – 27 dan pada Tabel 3 menjelaskan bahwa
panjang, diameter, dan jarak puting dari lantai kandang pada
puting kuartir depan dan belakang dengan tingkat mastitis di
tingkat laktasi 1, 2, 3, dan 4 memiliki keeratan hubungan yang
dinyatakan dalam tabel koefisien korelasi (r) berkisar antara
0,001-0,480 yang menjelaskan bahwa ukuran puting tidak
berhubungan erat dengan tingkat mastitis (r < 0,50). Korelasi
paling tinggi ditemukan pada panjang puting kuartir belakang
dan diameter puting kuartir depan pada laktasi 1, yaitu 0,480
dan 0,452. Breen, Green, and Bradley (2009) menyatakan
bahwa faktor yang lebih besar pengaruhnya terhadap tingkat
mastitis adalah tingkat laktasi, bulan laktasi awal, ambing
yang kotor, dan penyakit pada puting.
Ambing memiliki sistem pertahanan alami untuk menahan
mikroorganisme patogen penyebab mastitis, yaitu otot
sphincter dan keratin pada streak canal yang akan semakin
melemah seiring dengan bertambahnya tingkat laktasi
(Subronto, 2003). Breen et al. (2009) menyatakan bahwa awal
bulan laktasi berhubungan dengan tingkat kejadian mastitis
dimana susu yang mengandung >199.000 sel somatik/ml dan
kadar protein
39
terhadap mikroorganisme patogen penyebab mastitis. Saputra
(2017) dan Mitev, Gergovska, and Miteva (2012) menyatakan
bahwa adanya hiperkeratosis yang umumnya mulai muncul
pada laktasi 3 dan lesi akan menjadi media tempat
menumpuknya mikroorganisme patogen penyebab mastitis
yang dibuktikan dengan bertambahnya jumlah sel somatik
seiring dengan keparahannya. Faktor-faktor ini akan menjadi
faktor pendukung yang menyebabkan semakin parahnya
tingkat kejadian mastitis subklinis yang akan ditemukan
seiring dengan pertambahan tingkat laktasi.
Hasil analisa data menjelaskan bahwa panjang puting
depan dan belakang laktasi 1 memiliki korelasi yang negatif
dengan tingkat mastitis dimana semakin pendek ukuran puting
akan semakin tinggi tingkat mastitis (Lampiran 4 dan 8).
Subronto (2003) dan Hussain, khan, Javed, and Rizvi (2012)
menyatakan bahwa puting yang pendek akan menyulitkan
proses pemerahan sehingga memungkinkan adanya susu yang
tersisa (residual milk) didalam ambing yang dapat
menyebabkan mastitis subklinis sehingga puting yang pendek
dapat mejadi faktor yang berhubungan dengan tingkat mastitis.
Hasil analisa data berikutnya menjelaskan bahwa diameter
puting laktasi 1 memiliki korelasi yang positif dengan tingkat
mastitis dimana semakin lebar diameter puting akan semakin
tinggi tingkat mastitis (Lampiran 12 dan 16). Guarin and
Ruegg (2016) dan Bharti, Bhakat, Pankaj, Bhat, Prakash, Thul,
and Japheth (2015) menyatakan bahwa diameter puting yang
lebar berhubungan dengan banyaknya jumlah sel somatik yang
ditemukan pada susu yang diproduksi. Hal ini dikarenakan
pada puting yang lebar dan pendek diduga memilik teat canal
yang lebih pendek dan lebih lebar, puting jenis ini memiliki
40
produksi yang lebih dengan milking speed yang baik namun
lebih rentan terhadap infeksi mastitis subklinis karena
membutuhkan waktu lama agar pertahanan puting kembali
menutup sempurna.
40
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
1.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini, yaitu ukuran panjang,
diameter, dan jarak puting dari lantai kandang tidak
berhubungan erat dengan tingkat mastitis subklinis dan belum
dapat dijadikan untuk mengetahui tingkat kerentanan terhadap
mastitis subklinis.
1.2 Saran
Dari hasil penelitian ini disarankan untuk lebih
memperhatikan manajemen pemeliharaan, terutama sanitasi
dan higienitas pada pra, saat, dan pasca pemerahan serta
mengidentifikasi faktor-faktor lain yang memiliki hubungan
lebih erat dengan tingkat mastitis subklinis.
41
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, C., B. Sunarko, Sutrasno, S. Siwi, A. Kumalajati,
H. Supriadi, A. Marsudi, dan Budiningsih. 2009. Petunjuk
Pemeliharaan Bibit Sapi Perah. Departemen Pertanian.
Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah,
Baturraden.
Adinata, Y. dan Sumadidan. 2009. Sebaran Populasi Sapi
Friesian Holstein di Beberapa Kabupaten Provinsi Jawa
Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Buletin
Peternakan. 33(3):129-142.
Anonimus. 2009. Koperasi Peternakan Sapi Perah Setia
Kawan Nongkojajar. Pasuruan.
Aziz, A. S., P. Surjowardojo, dan Sarwiyono. 2013. Hubungan
Bahan dan Tingkat Kebersihan Lantai Kandang Terhadap
Kejadian Mastitis Melalui Uji California Mastitis Test
(CMT) di Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan. Jurnal
Ternak Tropika. 14 (2): 72-81.
Bardakcioglu, H. E., S. Sekkin, and H. D. O. Toplu. 2011.
Relationship Between Some Teat and Body Measurement
of Holstein Cown and Sub-clinical Mastitis and Milk
Yield. Journal of Animal and Veterinary Advances. 10
(13): 1735-1737.
42
Bernatova, S., O. Samek, Z. Pilat, M. Sery, J. Jezek, P. Jakl,
M. Siler, V. Krzyzanek, P. Zemanek, V. Hola, M.
Dvorackova, and F. Ruzicka. 2013. Following the
Mechanisms of Bacteriostatic Versus Bactericidal Action
Using Raman Spectroscopy. Molecules. 18: 13188-13199.
Bharti, P., C. Bhakat, P. K. Pankaj, S. A. Bhat, M. A. Prakash,
M. R. Thul, and K. P. Japheth. 2015. Relationship of Udder
and Teat Conformation with Intra-Mammary Infection in
Crossbreed Cows Under Hot-Humid Climate.
www.veterinaryworld.org/Vol.8/July-2015/14.pdf :898-901.
Diakses pada tanggal 3 maret 2017.
Breen, J. E., M. J. Green, and A. J. Bradley. 2009. Quarter and
Cow Risk Factor with the Occurence of Clinical Mastitis in
Dairy Cows in the United Kingdom. Journal of the
American Dairy Science Association. 92 (6): 2551-2561.
Campbell, J. R. and R. T. Marshall. 2016. Dairy Production
and Processing: The Science of Milk and Milk Products.
Waveland Press, Inc. Long Grove, Illinois.
Coban, O., N. Sabuncuoglu, and N. Tuzemen. 2009. A Study
on Relationships Between Somatic Cell Count (SCC) and
Some Udder Traits in Dairy Cows. Journal of Animal and
Veterinary Advances. 8 (1): 134-138.
Collier, R. J., E. L. A. Dawson, and A. Pezeshki. 2011. Effect
of Contionous Lactation and Short Dry Periods on
Mammary Function and Animal Health. Animal. 6 (3):
403-414.
http://www.veterinaryworld.org/Vol.8/July-2015/14.pdf
43
FAO. 2014. Impact of Mastitis in Small Scale Dairy
Production System. Animal Production and Health
Working Paper. No. 13. Rome.
Firmansyah, D., P. Trisunuwati, dan D. Winarso. 2012.
Pengaruh Tingkat Mastitis Subklinis Terhadap Kualitas
Susu Sapi Perah PFH pada Berbagai Bulan Laktasi.
fkh.ub.ac.id/wp-content/uploads/2012/10/0811310015-
Diki-Firmansyah.pdf . Diakses pada Tanggal 21 Januari
2017.
Guarin, J. F. and P. L. Ruegg. 2016. Short Communication:
Pre-and Post Milking Anatomical Characteristic of Teats
and Their Associations with Risk of Clinical Mastitis in
Dairy Cows. Journal of Dairy Science. 99 (10): 8323-8329.
Guarin, J. F., M. G. Paixio, and P. L. Ruegg. 2016.
Association of Anatomical Characteristics of Teats with
Quarter-Level Somatic Cell Count. Journal of Dairy
Science. 100: 643-652.
Handayani, K. S. dan M. Purwanti. 2010. Kesehatan Ambing
dan Higienen Pemerahan di Peternakan Sapi Perah Desa
Pasir Buncir Kecamatan Caringin. Jurnal Penyuluhan
Pertanian. 5 (1): 47-54.
Hogan, J. S., K. L. Smith, D. A. Todhunter, and P. S.
Schoenberger. 1988. Growth Response of Enviromental
Mastitis Pathogens to Long-Chain Fatty Acid. Journal of
Dairy Scinece. 71 (1): 245-249.
44
Hogeveen, H., S. Pyorala, K. P. Waller, J. S. Hogan, T. J. G.
M. Lam, S. P. Oliver, Y. H. Schukken, H. W. Barkema,
dan J. E. Hillerton. 2011. Current Status and Future
Challenges in Mastitis Research. NMC Annual Meeting
Proceedings.
Holstein Foundation. 2016. Dairy Judging: Volume 3.
Holstein Foundation Inc. Brattleboro, Vermont.
Hussain, R., A. Khan, M. T. Javed, and F. Rizvi. 2012.
Possible Risk Factors Associated with Mastitis in
Indigenous Cattle in Punjab, Pakistan. Pakistan Veterinary
Jurnal. 30 (10): 1-5.
Islam, M. A., M. Z. Islam, M. A. Islam, M. S. Rahman, M. T.
Islam. 2011. Prevalence of Subclinical Mastitis in Dairy
Cows in Selected Areas of Bangladesh. Journal Veterinary
Medicine. 9:73-78.
KPSP Setia Kawan. 2011. Profil Peternakan Sapi Perah
Koperasi Peternakan Sapi Perah Setia Kawan.
http://www.kpsp-setiakawan.com/. Diakses pada tanggal 2
Maret 2017.
Manzi, M. P., D. B. Nobrega, P. Y. Faccioli, M. P. Troncarelli,
B. D. Menozzi, dan H. Langoni. 2012. Relationship
Between Teat End Condition, Udder Cleanliness, and
Bovine Subclinical Mastitis. Research in Veterinary
Science. 93 (1): 430-434.
http://www.kpsp-setiakawan.com/
45
Meierhover, S. R., A. B. Muller, L. Mittman, S. Demba, A.
Entorf, G. Hoffmann, C. Ammon, H. J. Rudovsky, and R.
Brunsch. Effects of Quarter Individual and Conventional
Milking Systems on Teat Condition. Preventive Veterinary
Medicine. 113: 556–564.
Mitev, J. E., Zh. I. Gergovska, and M. Miteva. 2012. Effect of
Teat End Hyperkeratosis on Milk Somatic Cell Counts in
Bulgarian Black and White Dairy Cattle. Bulgarian Journal
of Agricultural Science. 18 (3): 451-454.
NAAS. 2013. Mastitis Management in Dairy Animals. Policy
Paper No. 61, National Academy of Agricultural Sciences,
New Delhi:12 p.
Nickerson, S. C. and R. M. Akers. 2002. Anatomy of
Mammary Gland. Elsevier Science. 1680-1688.
Pantoja, J. C. F., C. Hulland, and P. L. Ruegg. 2009.
Dynamics of Somatic Cell Count and Intramammary
Infections Across the Dry Period. Preventive Veterinary
Medicine. 90 (2): 43-54.
Paulrud, C. O. and M. D. Rasmussen. 2004. How Teat Canal
Keratin Depends on the Length and Diameter of the Teat
Canal in Dairy Cows. Journal of Dairy Research. Vol 71
(2): 253-255.
Pisestiyani, H., R. P. A. Lelana, Y. N. Septiani. 2016. Teat
Length and Lactation Period as a Predisposition Factor of
46
Subclinical Mastitis in Dairy Cattle in Bandung, Indonesia.