HUBUNGAN INFESTASI Pediculus capitis DENGAN KUALITAS
TIDUR PADA SANTRIWATI Madrasah Tsanawiyah ( MTS ) PONDOK
PESANTREN AL HIKMAH BANDAR LAMPUNG
( Skripsi )
Oleh
Fauziyyah Nuur Al azizah
1618011027
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
HUBUNGAN INFESTASI Pediculus capitis DENGAN KUALITAS
TIDUR PADA SANTRIWATI Madrasah Tsanawiyah ( MTS ) PONDOK
PESANTREN AL HIKMAH BANDAR LAMPUNG
( Skripsi )
Oleh
Fauziyyah Nuur Al azizah
1618011027
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA KEDOKTERAN
Pada
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
ABSTRACT
THE CORRELATION OF Pediculus capitis INFESTATION
WITH SLEEP QUALITY IN SANTRIWATI AT ISLAMIC
BOARDING SCHOOL AL HIKMAH, BANDAR LAMPUNG
By:
FAUZIYYAH NUUR AL AZIZAH
Background: The most prevalence of pediculosis cases occurs school-
age children who live in the dormitory because of the many factors
supporting infestation. As a result of untreated pediculosis infestation
can cause various effects on sufferers, including reduced sleep quality
due to itching, social stigma, shame, low self-esteem, impaired
concentration of learning at school because of itching which results in
decreased achievement and discomfort in children
Methods: The design of this study is Cross Sectional. The study
population was 193 people. The sample in this study was 62 people. The
research sample was taken using proportionate stratified random
sampling technique. The independent variable of this study was
Pediculus capitis infestation and the dependent variable was sleep
quality. The study was conducted by filling out questionnaires by
research subjects and physical examination. Data analysis using Fisher.
Results: The results of this study are as many as 11.3% who have good
sleep quality while 88.7% have poor sleep quality. In an alternative
analysis of chi square namely fisher test because more than 10% of cells
have expected less than five, regarding the relationship of infestation
Pediculus capitis with sleep quality p value = 0.082.
Conclusion: The prevalence of pediculosis in al hikmah Islamic
boarding school in Lampung is 72.6%. The results of statistical analysis
found no relationship between pediculus capitis infestation and sleep
quality (p = 0.082)
Keywords: Prevalence, Pediculus capitis, sleep quality
ABSTRAK
HUBUNGAN INFESTASI Pediculus capitis DENGAN KUALITAS
TIDUR PADA SANTRIWATI Madrasah Tsanawiyah ( MTS ) PONDOK
PESANTREN AL HIKMAH BANDAR LAMPUNG
Oleh:
FAUZIYYAH NUUR AL AZIZAH
Latar belakang: Prevalensi kasus pedikulosis paling banyak terjadi
anak usia sekolah yang tinggal di asrama karena banyaknya faktor
pendukung infestasi. Akibat dari infestasi pedikulosis yang tidak diobati
dapat menimbulkan berbagai dampak pada penderitanya, antara lain
berkurangnya kualitas tidur akibat rasa gatal, stigma sosial, rasa malu,
rendah diri, gangguan konsentrasi belajar di sekolah oleh karena rasa
gatal yang mengakibatkan prestasi menurun dan ketidaknyamanan pada
anak
Metode: Rancangan penelitian ini adalah cross sectional. Populasi
penelitian sebesar 193 orang. Sampel pada penelitian sejumlah 62 orang.
Sampel penelitian diambil menggunakan teknik proportionate stratified
random sampling.Variabel bebas penelitian ini adalah infestasi
Pediculus capitis dan variabel terikatnya adalah kualitas tidur.
Penelitian dilakukan dengan cara pengisian kuesioner oleh subjek
penelitian dan dilakukan pemeriksaan fisik. Analisis data menggunakan
uji Fisher.
Hasil: Hasil penelitian ini adalah sebanyak 11,3% yang memiliki
kualitas tidur baik sedangkan 88,7% memiliki kualitas tidur buruk..Pada
analisis alternatif dari chi square yaitu uji fisher mengenai hubungan
infestasi Pediculus capitis dengan kualitas tidur didapatkan nilai p
=0,082.
Kesimpulan: Prevalensi pedikulosis di pondok pesantren al hikmah
bandar lampung sebesar 72,6%. Hasil analisis statistik tidak didapatkan
hubungan antara infestasi Pediculus capitis dengan kualitas tidur
(p=0,082)
Kata Kunci: Prevalensi, Pediculus capitis, Kualitas tidur
RIWAYAT HIDUP
I. Data Pribadi
1. Nama : Fauziyyah Nuur Al azizah
2. Tempat, Tanggal Lahir : Kebumen, 30 Januari 1999
3. Nama Orang tua
Ayah : Rahmadi ST, MT
Ibu : Siti Malihah S.Pd
3. Agama : Islam
4. Alamat
: Jl. Prof. Dr. Ir. Sumantri Bojonegoro Rumah
Kost Putri Puspita
5. Nomor Telepon : 081260173909
II. Riwayat Pendidikan
1. Tahun 2004-2010 : SD Negeri 3 Sekayu
2. Tahun 2010-2013 : SMP Negeri 6 Unggul Sekayu
3. Tahun 2013-2016 : SMA Negeri 2 Unggul Sekayu
1. Riwayat Organisasi
Tahun 2017-2018: Anggota divisi Akademik FSI Ibnu Sina FK UNILA
Tahun 2017-2018: Anggota tetap LUNAR FK UNILA
ix
SANWACANA
Segala puji bagi Allah SWT, Rabb semesta Alam. Syukur yang tak terkira
kepada Sang Maha Cinta yang selalu mencurahkan rahmat dan hidayahNya
sehingga penelitian ini dapat saya selesaikan. Shalawat serta salam senantiasa
tersampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, sosok luar biasa karena
kebiasaannya, suri tauladan terbaik bagi umatnya.
Skripsi yang berjudul “Hubungan Infestasi Pediculus capitis Dengan Kualitas
Tidur Pada Santriwati Madrasah Tsanawiyah ( MTS ) Pondok Pesantren Al
Hikmah Bandar Lampung”, adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana kedokteran di Universitas Lampung.
Saya meyakini penelitian ini tidak akan selesai tanpa dukungan dan bantuan dari
banyak pihak. Maka dengan segenap kerendahan hati saya menyampaikan rasa
hormat dan ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua saya papa dan mama tercinta, Rahmadi ST, MT. Dan
Siti Malihah S.Pd, beserta serta adik saya Muhammad Aqbala Nur
Mustofa Manaf atas cinta, kasih sayang, dukungan, doa, semangat, kerja
keras, kesabaran, keikhlasan yang tak ada habisnya, menjadikan saya
terus menguatkan diri untuk berjuang dan merintis jalan ini menuju masa
depan.
2. Prof. Dr. Karomani, M.Si. selaku Rektor Universitas Lampung
x
3. Dr.Dyah Wulan Sumekar RW, SKM., M.Kes. Selaku dekan Fakultas
Kedokteran Univrsitas Lampung
4. dr. Hanna Mutiara M.Kes selaku pembimbing utama yang telah
meluangkan waktu berharganya untuk membimbing dan memberikan
ilmu, saran, kritik yang membangun, dukungan serta nasihat dalam
penyusunan skripsi ini
5. dr. Agustyas Tjiptaningrum, Sp.PK selaku pembimbing kedua yang telah
menerima saya dengan senang hati untuk bimbingan, meluangkan waktu
untuk memberikan dukungan, nasihat, serta saran dalam penyusunan
skripsi ini
6. Dr. dr. Jhons Fatriyadi Suwandi, M.Kes. selaku dosen pembahas dan
penguji yang telah memberikan masukan, motivasi bimbingan serta
kritik yang membangun dalam proses penyusunan skripsi ini
7. dr. Rizki Hanriko Sp. PA selaku pembimbing akademik yang telah
memberikan motivasi dan bimbingan selama menjalani pendidikan di
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
8. dr. Rizqun Nisa Afriyanti selaku dokter yang bersedia membantu dan
meluangkan waktu dalam pengambilan sampel penelitian, serta
memberikan masukan dalam penyusunan skripsi.
9. Seluruh dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung yang sudah
memberikan ilmu dan keterampilan, motivasi serta nasihat,selama
pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
10. Bapak Miswanto M.H.I selaku kepala pondok pesantren Al Hikmah yang
mengizinkan serta memberikan kesediaan waktu untuk pelaksanaan
penelitian di Pondok Pesantren Al Hikmah
xi
11. Sahabat Fillah yang setia membersamai saya, berjuang bersama di FK
Unila, Lathifah Yasmine Wulandari, Imraatul Husniah, dan Agustina
Rajendra Putri, Dian Octaviana azizah, Firinda Soniya, Nabilah Amira
Salsabila, Yunisa Arini Putri dan Irma liani
12. Partner penelitian saya Amira Zhafira yang melakukan penelitian mulai
dari awal sampai akhir dan selalu sabar dalam menghadapi kesulitan
dalam penelitian serta menjadi partner penelitian yang selalu ceria
13. Teman-teman sejawat, seperjuangan, FK Unila 2016, terima kasih telah
berkenan memerima saya, saya bangga menjadi bagian dari kalian,
semoga kita dapat menuju masa depan dengan penuh cahaya harapan
14. Seluruh responden yang telah berkenan menjadi bagian dari penelitian ini;
15. Dan kepada semua yang pernah menjadi bagian dari potongan-potongan
skenario hidup saya, yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari penulisan karya tulis ilmiah ini masih belum sempurna, baik
dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun .
Bandar Lampung, Desember 2019
Penulis,
Fauziyyah Nuur Al azizah
xii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 5
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................ 5
1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pediculosis ......................................................................................... 7
2.1.1 Definisi dan Morfologi ............................................................. 7
2.1.2 Epidemiologi ............................................................................ 9
2.1.3 Etiologi..................................................................................... 9
2.1.4 Patogenesis dan Patofisiologi .................................................... 12
2.1.5 Manifestasi Klinis ..................................................................... 14
2.1.6 Diagnosis .................................................................................. 16
2.1.7 Penatalaksanaan........................................................................ 17
2.1.8 Pencagahan ............................................................................... 21
2.2 Tidur .................................................................................................. 22
2.2.1 Definisi..................................................................................... 22
2.2.2 Manfaat .................................................................................... 22
2.2.3 Fisiologi tidur ........................................................................... 23
2.2.4 Tahapan Tidur .......................................................................... 25
2.2.5 Siklus tidur ............................................................................... 27
2.2.6 Efek fisiologi gangguan tidur .................................................... 28
2.2.7 Kualitas tidur ............................................................................ 31
2.2.8 Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tidur ....................... 33
2.3 Kerangka teori .................................................................................... 35
2.4 Kerangka konsep ................................................................................ 36
2.5 Hipotesis ............................................................................................ 36
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Desain penelitian .................................................................................. 37
3.2 Tempat dan waktu penelitian ................................................................ 37
3.2.1 Tempat penelitian ..................................................................... 37
3.2.1 Waktu penelitian ....................................................................... 37
xiii
3.3 Populasi dan sampel
3.3.1 Populasi .................................................................................... 37
3.3.2 Sampel ..................................................................................... 38
3.3.3 Besar sampel ............................................................................ 39
3.3.4 Teknik pengambilan sampel ..................................................... 41
3.4 Teknik dan alat penelitian
3.4.1 Teknik dan alat diagostik .......................................................... 41
3.4.2 Kuisioner .................................................................................. 42
3.4.3 Alat tulis ................................................................................... 42
3.5 Identifikasi Variabel Penelitian
3.5.1 Variabel Bebas ......................................................................... 42
3.5.2 Variabel terikat ......................................................................... 42
3.6 Definisi operasional .............................................................................. 43
3.7 Prosedur dan alur penelitian .................................................................. 44
3.8 Pengelolaan dan analisis data
3.8.1 Pengolahan data .......................................................................... 44
3.8.2 Analisis data ............................................................................... 45
3.9 Etika Penelitian .................................................................................... 46
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian ................................................................................ 48
4.1.1 Gambaran umum penelitian .................................................... 48
4.1.2 Analisis Univariat................................................................... 52
4.1.3 Analisis bivariat ..................................................................... 53
4.2 Pembahasan ..................................................................................... 54
4.3 Keterbatasan penelitian .................................................................... 59
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 61
5.2 Saran ................................................................................................ 61
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 63
LAMPIRAN ...................................................................................................
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Penghitungan jumlah sampel ................................................................ 41
2. Definisi operasional penelitian .............................................................. 43
3. Prevalensi Pediculosis capitis per kelas ................................................ 49
4. Hasil uji kuisioner terhadap responden.................................................. 50
5. Frekuensi hasil diagnosis santriwati yang terinfetasi Pediculus capitis .. 53
6. Frekuensi hasil tes kualitas tidur santriwati ........................................... 53
7. Tabulasi silang analisis hubungan Pediculosis capitis terhadap kualitas
tidur menggunakan analisis fisher ......................................................... 54
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1 Kutu kepala dewasa jantan. ...................................................................... 8
2. Siklus hidup Pediculus capitis ................................................................ 12
3. Telur kutu kepala .................................................................................... 16
4. Sisir kutu ................................................................................................ 17
5. Jaringan otak yang mengatur tidur dan bangun ....................................... 25
6. Perubahan fisiologi selama keadaan tidur ............................................... 27
7. Tahap-tahap siklus tidur ......................................................................... 28
8. Efek jangka panjang dan pendek gangguan tidur..................................... 29
9. Gambaran EEG tidur normal .................................................................. 32
10. Kerangka teori ....................................................................................... 35
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pedikulosis adalah infestasi kulit atau rambut kepala yang disebabkan Pediculus
sp. Prevalensi pedikulosis di seluruh dunia cukup tinggi, diperkirakan terdapat
ratusan juta orang yang terinfeksi pedikulosis setiap tahunnya. Pedikulosis
merupakan salah satu penyakit kulit kepala yang tersebar di seluruh dunia dan
menjadi endemik baik di negara maju maupun berkembang (CDC, 2017)
Centers for Disease Control and Prevention pada tahun 2017 menyatakan
bahwa infestasi Pediculus sp. tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian
terbanyak pada anak usia 3 sampai 11 tahun (CDC,2017). Pedikulosis
umumnya penyakit ini masih tertinggi ke dua setelah scabies terutama pada
anak-anak usia sekolah (Leung, 2005). Masalah infestasi pedikulosis ini terjadi
baik di negara yang sudah maju maupun di negara berkembang tetapi sering
diabaikan (Etim et al., 2012). Pedikulosis di negara-negara maju dianggap
sebagai suatu penyakit yang buruk, sedangkan di negara-negara dengan tingkat
perekonomian rendah-sedang, dapat dianggap sebagai sesuatu yang normal
(Huekelbach dan Ugbomoiko, 2011).
2
Epidemiologi kasus yang didapat penderita pedikulosis paling banyak adalah
pada anak-anak sekolah dan usia muda dengan kebersihan diri perseorangan
kurang dan anak-anak usia muda yang bertempat tinggal di asrama pondok
pesantren, sehingga penyebaran pedikulosis dapat terjadi secara cepat dan
mudah meluas (Handoko, 2015). Data yang diperoleh dari penelitian (Nutason,
2008) diperkirakan 6 juta hingga 12 juta infestasi Pediculus capitis terjadi
setiap tahun di Amerika Serikat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak
perempuan lebih sering terinfestasi pedikulosis daripada anak laki-laki, karena
kontak kepala ke kepala yang lebih sering (CDC, 2017). Prevalensi pedikulosis
di Libya 78,6%, Israel 55% (Moradi, 2009), Taiwan 40%, Malaysia 35%,
Yordania 26,6%, Thailand 23,48% (Rassami, 2012), Eropa 22% (Bartosik,
2015), India 16,59% (Rassami, 2012), Turki 13,1% (Gulgun, 2013). Prevalensi
penderita pedikulosis di Indonesia sebesar 20% pada tahun 2002-2009.
Sementara di Bandar Lampung prevalensi kejadian pedikulosis pada santri
suatu Pondok Pesantren di Teluk Betung Utara adalah sebanyak 58,6% baik
yang hanya terinfestasi pedikulosis kapitis saja atau bersama dengan penyakit
kulit lainnya (Destika, 2017).
Gejala yang timbul dari infestasi pedikulosis adalah rasa gatal yang bertambah
pada malam hari, lesi pada kulit kepala disebabkan oleh tusukan Pediculus
humanus capitis pada waktu menghisap darah dan rasa gatal timbul karena air
liur (saliva) dan di dapatkan papula merah dengan lesi yang sering ditemukan
di belakang kepala atau kuduk, dan gangguan tidur (Handoko, 2015).
3
Penularan pedikulosis dapat terjadi secara langsung melalui kontak langsung
dengan seseorang yang terinfestasi pedikulosis misalnya tidur bersama (Leung,
2005). Selain itu dapat terjadi pula penularan tidak langsung melalui perantara
penggunaan sisir, sikat, handuk secara bersamaan (Bohl, 2015)
Aktivitas Pediculus capitis meningkat di malam hari sehingga dapat
mengganggu kualitas tidur (Gratz, 1997). Masalah yang ditimbulkan akibat
aktivitas Pediculs capitis adalah gatal yang disebabkan akibat saliva dan
fesesnya. Rasa gatal ini disebabkan injeksi saliva yang mengandung enzim
hyaluronidase dan komponen lain yang terdapat dalam saliva antara lain
antitromboksan, antiserotonin, antitrombin, penghambat faktor Xa, enzim
araphyrase dan prostaglandin (Patel, 2007). Reaksi dari berbagai enzim
tersebut menyebabkan hipersensitivitas tipe cepat dan menyebabkan reaksi
gatal pada kulit kepala (Patel, 2007). Akibat dari infestasi pedikulosis yang
tidak diobati dapat menimbulkan berbagai dampak pada penderitanya selain
terganggunya kualitas tidur misalnya masalah stigma sosial, rasa malu, rendah
diri, gangguan konsentrasi belajar anak di sekolah oleh karena rasa gatal yang
mengakibatkan menurunnya prestasi anak dan ketidaknyamanan pada anak
(Etim et al., 2012 dan Fitzpatrick's, 2007).
Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur. Adapun indikator
untuk menilai kualitas tidur seseorang adalah tidur lebih banyak saat di tempat
tidur (setidaknya 85 % dari total waktu) tertidur dalam 30 menit atau kurang,
bangun tidak lebih dari sekali per malam dan bangun selama 20 menit atau
4
kurang setelah awalnya tertidur (NSF, 2019). Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas tidur adalah status kesehatan, lingkungan, stres
psikologi, penyakit kronis dan pruritus nokturna (Asmadi, 2008).
Kurang tidur dapat memiliki efek yang sangat mengganggu kualitas hidup.
Beberapa efek buruk dari kekurangan tidur adalah kantuk di siang hari yang
berlebihan, gangguan suasana perasaan, dan gangguan fungsi neurokognitif
(Dinges, 2005).Insomnia telah terbukti berdampak negatif pada produktivitas
kerja atau sekolah, meningkatkan kecelakaan dan ketidakhadiran ( Daley, 2009
).
Penilaian kualitas tidur juga dapat dilakukan secara subjektif menggunakan
kuisioner kualitas tidur yaitu Pittsburgh Sleep Quality Index ( PSQI ). Skor
yang didapatkan dari kuisioner menggambarkan kualitas tidur seseorang yang
dikategorikan dalam dua kategori yaitu kualitas tidur baik dan buruk, buruk
jika nilai PSQI>5-21,baik jika nilai PSQI≤5 (Rush, 2000).
Pondok pesantren merupakan tempat yang berpotensi untuk penularan parasit
kulit. Penelitian tentang penyakit pedikulosis di Pondok Pesantren Al Hikmah
yang berlokasi di Bandar Lampung belum pernah dilakukan. Berdasarkan
survei awal yang telah dilakukan peneliti banyak santri yang menderita
penyakit kulit, terutama kutu kepala. Hal ini dikarenakan pondok pesantren
padat huni, kebersihan diri perseorangan dan sanitasi lingkungan yang kurang
baik mendukung terjadinya infestasi Pediculus capitis ini. Berdasarkan data
5
pemeriksaan melalui program pokok puskesmas yaitu program SP2TP (Sistem
Pencatatan dan Pelaporan Tingkat Puskesmas) pada tahun 2015 yang dilakukan
oleh puskesmas kedaton terdapat 94 santriwati dari 185 santriwati yang
terinfestasi pediculus capitis di pondok pesantren al hikmah bandar lampung
dan berdasarkan hasil wawancara langsung kepada santriwati meraka banyak
mengeluh sering mengantuk pada saat belajar di kelas.
Melihat dampak negatif yang diakibatkan oleh infestasi Pediculus capitis,
dirasa perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan infestasi
Pediculus capitis terhadap kualitas tidur pada santriwati Madrasah Tsanawiyah
(MTS) pondok pesantren Al Hikmah Bandar Lampung
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan diatas maka penulis
mengangkat rumusan masalah yakni
1. Berapakah prevalensi santriwati yang terinfestasi Pediculus capitis?
2. Berapakah persentase santriwati yang terinfestasi Pediculus capitis yang
punya kualitas tidur buruk?
3. Apakah terdapat hubungan antara infestasi Pediculus capitis dengan
kualitas tidur?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui prevalensi santriwati yang terinfestasi Pediculus capitis di
Pondok Pesantren Al Hikmah Bandar Lampung
6
2. Mengetahui persentase santriwati yang terinfestasi Pediculus capitis yang
mempunyai kualitas tidur buruk
3. Mengetahui hubungan antara infestasi Pediculus capitis dengan kualitas
tidur
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat bagi ilmu pengetahuan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi dalam
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang
parasitologi dan dapat dijadikan sumber referensi bagi penelitian
selanjutnya
1.4.2 Manfaat terapan
Mengingat dampak yang diakibatkan oleh infeksi Pediculus capitis agar
dapat memperoleh pencegahan dan penatalaksanaan lebih dini sehingga
dampak yang ditimbulkan tidak semakin besar
1.4.3 Manfaat untuk masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan
informasi bagi anak-anak pondok pesantren
1.4.4 Manfaat bagi penulis
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan peneliti
mengenai hubungan antara infestasi Pediculus capitis terhadap kualitas
tidur
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pedikulosis
2.1.1 Definisi dan Morfologi
Pedikulosis adalah penyakit kulit kepala yang diakibatkan oleh
ektoparasit obligat ( tungau/lice ). Pediculus capitis termasuk parasit
yang menghisap darah dan menghabiskan seluruh hidupnya di manusia
(Yousefi, 2012).
Pediculus humanus capitis adalah arthropoda dengan inang yang
spesifik yang panjangnya 1 sampai 3 mm dan berwarna keabu-abuan.
Memiliki bagian-bagian mulut yang sempit dan tertutup yang
tersembunyi di dalam kepala, antena pendek, dan tiga pasang kaki cakar
yang disesuaikan untuk menggenggam rambut (Ko, 2004). Kutu kepala
memiliki dua mata dan tiga pasang kaki berwarna abu-abu dan menjadi
kemerahan jika telah menghisap darah. Kutu betina memiliki ukuran
panjang 1,2 – 3,2 mm dan lebar lebih kurang 1/2 dari panjangnya. Kutu
jantan memiliki ukuran yang lebih kecil dan jumlahnya hanya sedikit
(Handoko, 2015). Kutu kepala tidak bersayap dan memiliki tiga pasang
kaki yang pada bagian ujungnya dilengkapi dengan cakar yang berguna
untuk mencengkram kulit kepala. Bentuk dan ukuran dari cakar ini
8
disesuaikan dengan susunan dan bentuk rambut. Bagian abdomen
terbagi atas beberapa segmen dan bentuknya datar pada bagian
dorsoventral (Guenther,2012).
Kutu kepala memiliki mulut yang kecil di bagian anterior yang
dilengkapi dengan pengait (hook) yang dapat melekat ke kulit kepala
selama menghisap darah. Umumnya, kutu kepala akan menghisap
darah kira-kira lima kali dalam sehari dengan waktu 35-45 menit
(Guenther,2012). Morfologi Pediculus capitis dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Kutu kepala dewasa jantan (Pediculus humanus capitis)
( menggunakan optilab dengan perbesaran mikroskop 1000x) (a)
claws, (b) Spirakel, (c): Penis
(Catala, 2005)
9
2.1.2 Epidemiologi
Pedikulosis adalah penyakit kulit kepala akibat infestasi
tungau/lice spesies Pediculus Humanus Var. Capitis.
Prevalensinya cukup tinggi di beberapa negara, baik negara maju
atau juga negara berkembang, seperti di Amerika Serikat yang
setiap tahunnya pedikulosis ini menyerang 6 hingga 12 juta orang,
juga di Turki 69,5% dan Libya 78,6%2. Di negara berkembang,
seperti Malaysia dan Thailand, prevalensi masing-masing 35% dan
23,48%3. Sedangkan di Indonesia sendiri diperkirakan 15% anak
usia belajar mengalami infestasi pedikulosis ini (Eliska, 2015).
Pedikulosis sering menyerang anak perempuan karena memiliki
rambut yang panjang dan sering memakai asesoris rambut (Moradi,
2009). Kondisi kebersihan yang tidak baik seperti jarang
membersihkan rambut juga merupakan penyebab terkena penyakit
ini. Penyakit ini menyerang semua ras dan semua tingkatan sosial,
namun status sosio-ekonomi yang rendah lebih banyak terkena
penyakit ini, cara penularannya dapat langsung melalui rambut ke
rambut atau melalui perantara seperti topi, bantal, kasur, sisir,
kerudung (Rachman, 2014).
10
2.1.3 Etiologi
Penyebab pedikulosis adalah Pediculus humanus var.capitis (kutu
kepala). Pediculus capitis merupakan ektoparasit yang hidup
dengan menghisap darah manusia.
Taksonomi Pediculus humanus capitis
- Phylum : Arthopoda
- Kelas : Insekta
- Ordo : Phthiraptera
- Sub ordo : Anoplura
- Famili : Pediculidae
- Genus : Pediculus
- Spesies : Pediculus capitis
Menurut CDC 2017 siklus hidup kutu kepala memiliki tiga tahap
yaitu telur, nimfa dan kutu dewasa. Tahap pertama yaitu telur, pada
tahap ini sulit untuk dilihat dan sulit untuk dibedakan dengan
ketombe atau tetesan hair spray rambut. Telur kutu diletakkan oleh
betina dewasa di pangkal batang rambut dekat dengan kulit kepala.
Telur berukuran 0.8mm x 0.3 mm berbentuk oval dan biasanya
kuning keputihan. Telur membutuhkan waktu 1 minggu untuk
menetas (kisaran 6-9 hari) telur yang layak biasanya berjarak 6 mm
dari kulit kepala. Telur menetas melepaskan nimfa kulit telur
kemudian menjadi kuning kusam yang lebih terlihat dan tetap
melekat pada batang rambut, nimfa terlihat seperti kutu kepala
11
dewasa tetapi seukuran kepala peniti. Nimfa matang setelah 3 kali
pengelupasan kulit dan menjadi dewasa sekitar 7 hari setalah
menetas. Tahap terakhir adalah kutu dewasa kira-kira seukuran biji
wijen, memiliki 6 kaki (masing-masing dengan cakar), dan berwarna
kecoklatan sampai putih keabu-abuan Pada orang dengan rambut
gelap, kutu dewasa akan tampak lebih gelap. Betina biasanya lebih
besar dari jantan dan dapat menyimpan hingga 8 telur per hari. Kutu
dewasa dapat hidup hingga 30 hari di atas kepala seseorang. Untuk
hidup, kutu dewasa perlu makan darah beberapa kali sehari. Tanpa
makan darah, kutu akan mati dalam 1 hingga 2 hari dari tuan rumah.
Dua puluh empat jam sesudah terjadi perkawinan kutu jantan dan
betina, kutu betina akan meletakkan telur sebanyak 7 – 10 telur (nits)
setiap hari. Lama hidup kutu kepala dapat mencapai 30 hari dan
hidup dengan menghisap darah manusia. Mereka tidak dapat hidup
tanpa darah dalam waktu 15 – 20 jam. Nimfa dan bentuk dewasa
menghisap darah dengan menginjeksikan salivanya ke kulit dimana
hal ini dapat menyebabkan gatal sehingga penderita akan menggaruk
kepala. Kutu pada umumnya menghisap darah lima kali dalam sehari
(Cabrera & Richards, 2014). Siklus hidup Pediculus capitis dapat
dilihat pada Gambar 2.
12
. Siklus hidup Pediculus humanus capitis memiliki tiga tahap : telur,
nimfa, dan kutu dewasa. (CDC,2017)
2.1.4 Patogenesis dan Patofisiologi
Kontak kepala secara langsung dengan orang yang terinfestasi kutu
kepala merupakan cara transmisi yang utama. Hal ini sering terjadi
pada anak-anak di sekolah, di rumah, atau di tempat-tempat
bermain (CDC,2010). Pedikulosis dapat juga ditransmisikan
melalui pemakaian barang-barang secara bersama, seperti pakaian,
topi, sisir rambut, handuk, tempat tidur, sprei, bantal., dan karpet
yang telah kontak dengan orang yang telah terinfestasi (Nutanson
et al.,2010). Kutu kepala tidak dapat melompat atau terbang, dan
13
hewan bukan merupakan vektor untuk transmisinya.(Roberts,
2002).
Masalah yang ditimbulkan pada manusia adalah gatal akibat saliva
dan fesesnya. Rasa gatal ini disebabkan injeksi saliva kutu ke
dalam kulit kepala dan menyebabkan reaksi alergi. Saliva
Pediculus capitis mengandung enzim hyaluronidase yaitu enzim
pendegradasi hyaluronan (HA) dan bahan-bahan
glikosaminoglikan lain dari matriks ekstraseluler, enzim ini
bekerja untuk memperluas lesi gigitan agar mempermudah kutu
untuk menghisap darah, komponen lain yang terdapat dalam saliva
parasit ini antara lain antitromboksan, antiserotonin, antitrombin,
penghambat faktor Xa, enzim aphyrase, dan prostaglandin yang
bekerja dalam menghambat vasokonstriksi pembuluh darah serta
mencegah agregasi platelet dan sebagai antikoagulan, komponen-
komponen ini mengakibatkan koagulasi darah terhambat sehingga
memudahkan Pediculus capitis menghisap darah (Patel, 2007) .
Reaksi dari berbagai enzim tersebut menyebabkan hipersensitivitas
tipe cepat dan menyebabkan reaksi gatal pada kulit kepala (Patel,
2007). Rasa gatal yang berlebihan dan berkelanjutan menyebabkan
gangguan kualitas tidur terutama aktivitas Pediculus capitis yang
meningkat di malam hari . Rasa gatal mengakibatkan gangguan
tidur (Gratz, 1997).Rasa gatal akan menyababkan orang
14
terinfestasi untuk menggaruk kepala. Kebiasaan menggaruk yang
intensif dapat menyebabkan iritasi, luka serta infeksi sekunder
(Natadisastra, 2005). Infeksi sekunder dapat dengan mudah terjadi
dengan adanya ekskoriasi. Bila telah terjadi infeksi sekunder yang
berat, rambut akan bergumpal yang disebabkan oleh banyaknya
pus dan krusta (plikapelonika) dan disertai dengan pembesaran
kelenjar getah bening regional (oksiput dan retroaurikular). Pada
keadaan tersebut, kepala akan memberikan bau yang busuk
(Handoko, 2015). Gejala lain yang dapat timbul pada kasus
pedikulosis adalah sensasi adanya sesuatu yang bergerak di kepala,
iritabilitas, dan gangguan tidur. (CDC, 2010).
2.1.5 Manifestasi klinis
Pruritus adalah gejala utama, walaupun pasien dengan kutu dapat
asimptomatik (Mumcuoglu KY, 1991). Reaksi gigitan, eksoriasi,
impetiginisasi sekunder, pyoderma, limfadenopati servikal,
konjungtivitis, demam, dan malaise juga merupakan manifestasi
yang mungkin (Janniger CK,1993). Pyoderma dapat disertai
dengan alopecia (Janniger CK,1993). Ruam hipersensitivitas mor-
billiform dapat meniru virus exanthema. Dalam kasus yang sudah
lama, dermatitis dari severity variabel dapat dilihat, ditandai
dengan eksudasi dan pengerasan kulit, terutama di daerah oksipital.
15
Pada pasien yang sangat terinfestasi dan tidak diobati, rambut dapat
menjadi kusut dengan eksudat, predisposisi daerah infeksi jamur.
Ini menghasilkan massa berbau busuk (Guenther, 2012). Hal ini
mengakibatkan stigma sosial yang negatif misalnya anak merasa
malu karena diisolasi anak lainnya dan menyebabkan anak menjadi
frustasi dan stres (Stone, 2012). Masalah stigma sosial yang
berakibat pada frustasi dan stres dapat mengakibatkan gangguan
tidur dengan mekanisme pengaktifan HPA mempengaruhi
kardiovaskular, katekolamin, kortisol, ACTH, dan hiperaktif CRH
Sekresi kortisol yang berlebihan berdampak negatif mempengaruhi
tidur dengan mengurangi tidur gelombang lambat dan REM (Han,
2012). Infestasi kronis Pediculus capitis juga dapat menyababkan
anemia defisiensi besi yang dapat mengganggu aktifitas
dopaminergik dan mengganggu fase REM dan akhirnya
mengganggu kualitas tidur (Semiz, 2015)
16
Gambar 3. Telur kutu kepala. Sejumlah kutu kepala menempel di rambut
(Graham, Brown&Bruns,2005)
2.1.6 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan jika terdapat rasa gatal-gatal dengan
bekas garukan dan dipastikan jika ditemukan kutu dewasa atau
telurnya (Soedarto, 2011). Gold Standard diagnosis kutu kepala
dengan menemukan kutu hidup, nimfa, atau telur. Karena kutu
kepala menghindari cahaya dan berjalan cepat, inspeksi tanpa
menyisir rambut susah untuk dilakukan. Menggunakan sisir kutu
meningkatkan kemungkinan menemukan kutu hidup dan merupakan
alat skrining yang berguna. Diagnosis penyakit kutu menggunakan
sisir kutu 4 kali lebih efisien dibandingkan inspeksi langsung
(Nutanson et al., 2008).
17
Telur (nit) yang ditemukan melekat di ¼ inchi dari dasar batang
rambut, apabila tidak duitemukan adanya kutu kepala yang aktif,
dapat mengindikasikan, tetapi tidak pasti, bahwa seseorang telah
terinfestasi. Telur paling sering didapati pada rambut di belakang
telinga dan daerah dekat leher. Telur yang didapati di lebih dari ¼
inchi dari dasar batang rambut biasanya merupakan telur yang non-
viable (telah menetas atau mati). Telur terkadang sulit dibedakan
dengan ketombe, hair spray droplets, dan kotoran-kotoran lain yang
terdapat di kepala (CDC, 2010).
Gambar 4. Sisir kutu (Adam, 2011)
2.1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pedikulosis bertujuan untuk memusnahkan
kutu dan telur serta mengobati infeksi sekunder (Handoko, 2015).
Penanganan pedikulosis harus mencakup dua aspek, yaitu medikasi
dan kontrol lingkungan (Guenther, 2012). Penatalaksanaan
pedikulosis direkomendasikan pada pasien yang didiagnosa
mengalami infestasi aktif. Semua anggota keluarga dan orang-orang
18
yang memiliki potensi untuk selalu berkontak dekat dengan
penderita harus diperiksa. Beberapa ahli menyatakan harus
diberikan profilaksis pada orang-orang yang tidur bersama dengan
penderita pedikulosis (CDC, 2010).
Ada tiga pilihan pengobatan pada pedikulosis, yaitu insektisida
topikal., sisir kutu dan oral terapi (Roberts, 2002). Untuk menangani
masalah pedikulosis secara efektif dibutuhkan pemahaman dari
siklus hidup Pediculus humanus capitis (Guenther, 2012). Beberapa
sediaan pediculicides (obat yang membunuh kutu) memiliki efek
ovicidal (membunuh telur). Sediaan pediculicides yang memiliki
efek minimal atau bahkan tidak memiliki efek ovicidal harus
diberikan secara rutin. Sedangkan, sediaan yang memiliki efek
ovicidal yang kuat hanya direkomendasikan jika masih didapati kutu
yang hidup setelah beberapa hari pengobatan. Untuk pengobatan
yang lebih efektif, retreatment dapat dilakukan setelah semua telur
menetas tetapi sebelum diproduksinya telur yang baru (CDC, 2010).
Menurut CDC tahun 2010, sediaan obat-obatan yang telah diakui
oleh U.S. Food and Drug Administration (FDA) untuk menangani
kutu kepala adalah sebagai berikut:
- Benzyl alcohol lotion, 5%
Benzy alcohol lotion 5% terbukti efektif dan aman digunakan
secara teratur. Sediaan ini membunuh kutu kepala aktif tetapi
19
tidak memiliki efek ovicidal. Pemakaian berikutnya dilakukan
setelah tujuh hari setelah pemakaian pertama untuk membunuh
nimfa yang baru menetas, sebelum dihasilkan telur yang baru.
Benzyl alcohol lotion 5% ini dapat digunakan untuk pasien usia
lebih dari enam bulan, tetapi untuk pasien diatas usia enam
puluh tahun belum diketahui tingkat keamanannya. Sediaan ini
dapat mengiritasi kulit kepala.
- Ivermectin lotion 0,5 %
Ivermectin lotion 0,5 % diakui oleh FDA pada tahun 2012
untuk menangani pedikulosis pada pasien usia lebih dari enam
bulan. Sediaan ini tidak memiliki efek ovicidal., tetapi dapat
mencegah perkembangan nimfa. Sediaan ini efektif pada pasien
yang diberi dosis tunggal pada rambut yang kering. Tidak boleh
digunakan tanpa resep dokter.
- Malathion lotion 0,5 %
Malathion termasuk golongan organophospat. Malathion
memiliki efek pediculicidal dan ovicidal. Pemakaian
selanjutnya dianjurkan apabila masih didapati kutu yang hidup
setelah 7-9 hari pemakaian pertama. Sediaan ini dapat diberikan
pada pasien dengan usia lebih dari enam tahun dan dapat
mengiritasi kulit. Malathion lotion mudah terbakar, oleh sebab
itu jangan merokok atau menggunakan pemanas elektronik
seperti hair dryers atau pengeriting rambut ketika menggunakan
20
malathion lotion dan tidak boleh digunakan pada rambut yang
sedang basah.
- Spinosad 0,9 % topical suspension
Spinosad topical suspension 0,9 % diakui oleh FDA pada tahun
2011. Karena sediaan ini membunuh kutu dan telur yang belum
menetas, retreatment dan sisir kutu biasanya tidak diperlukan
lagi. Sediaan ini boleh digunakan pada pasien usia lebih dari
empat tahun. Retreatment hanya dibutuhkan apabila masih
didapati kutu yang hidup setelah tujuh hari pengobatan pertama.
- Permetrin 1%
Permetrin 1% bersifat toksis terhadap Pediculus humanus
capitis, Pthirus pubis, dan Sarcoptei scaibei. Kurang dari 2%
dari obat yang dioleskan diserap secara perkutan. Obat residual
tetap tinggal hingga 10 hari setelah pemberian. Krim bilas
permetrin 1% dianjurkan untuk digunakan tanpa diencerkan
pada area pedikulosis selama 10 menit dan kemudian dibilas
dengan air hangat
Untuk second-line treatment yang dapat diberikan hanya Lindane
shampoo 1%. Lindane merupakan organochlorida. American
Academy of Pediatric (AAP) merekomendasikan Lindane bukan
untuk terapi jangka panjang. Pengguaan berlebihan atau tertelan
sediaan ini dapat berakibat toksik ke otak dan bagian sistem saraf
21
lainnya. Oleh sebab itu, pemakain sediaan ini harus terkontrol dan
hanya digunakan apabila sediaan lain telah gagal.
Obat yang mudah didapat dan cukup efektif di Indonesia adalah
krim gama benzen heksaklorida (gameksan = gammexane) 1 %.
Cara pemakaiannya adalah setelah dioleskan, didiamkan selam dua
belas jam, kemudian dicuci dan disisir dengan serit kutu agar semua
telur dan kutu terlepas. Jika masih terdapat telur, seminggu
kemudian diulangi dengan cara yang sama. Obat lain adalah emulsi
benzil benzoat 25%, dipakai dengan cara yang sama
(Handoko,2015).
Mechanical removal dengan menggunakan sisir kutu dapat
dilakukan oleh orang tua sebagai pilihan untuk anak-anak usia
kurang dari dua tahun (Roberts, 2002). Pakaian dan seprai harus
dicuci dengan air yang sangat panas atau cuci kering, sikat dan sisir
harus dibasahi atau dilapisi dengan pediculicidal selama lima belas
menitdan seluruhnya dibersihkan dengan air mendidih (Darmstadt
dan Lane, 2000).
2.1.7 Pencegahan
Mencegah pedikulosis secara total sepertinya tidak mungkin.
Anak-anak sering kontak antara kepala dengan kepala. Ajarkan
kepada anak-anak untuk tidak meminjamkan barang mereka
22
seperti sisir, sikat, dan topi. Di dalam lingkungan dimana anak-
anak sering bersama, orang dewasa harus waspada terhadap tanda
dan gejala dari pedikulosis, dan anak-anak yang terinfeksi harus
segara diobati untuk mencegah penularan kepada orang lain
(Frankowski & Weiner, 2002).
2.2 Tidur
2.2.1 Definisi Tidur
Menurut Chopra (2003), tidur merupakan dua keadaan yang
bertolak belakang dimana tubuh beristirahat secara tenang dan
aktivitas metabolisme juga menurun namun pada saat itu juga
otak sedang bekerja lebih keras selama periode bermimpi
dibandingkan dengan ketika beraktivitas di siang hari.
Tidur juga dapat di defenisikan sebagai suatu keadaan bawah
sadar dimana seseorang masih dapat dibangunkan dengan
pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya
(Guyton & Hall, 2014).
2.2.2 Manfaat Tidur
Tidur adalah suatu proses yang sangat penting bagi manusia,
karena dalam tidur terjadi proses pemulihan, proses ini bermanfaat
mengembalikan kondisi seseorang pada keadaan semula, dengan
begitu, tubuh yang tadinya mengalami kelelahan akan menjadi
segar kembali. Proses pemulihan yang terhambat dapat
menyebabkan organ tubuh tidak bisa bekerja dengan maksimal,
23
akibatnya orang yang kurang tidur akan cepat lelah dan mengalami
penurunan konsentrasi (Ulumuddin, 2011).
Saat “tidur dalam” otak memperbaiki dirinya sendiri dan
merangsang pembentukan sistem kekebalan. Kita ketahui bahwa
tidur adalah sebuah reflek yang rumit, yang mensyaratkan relaksasi
dan sejumlah kondisi lain fasilitasi unuk proses ini dikenal sebagai
tidur higinis ( hygien ) (Rafknowledge, 2004).
2.2.2 Fisiologi Tidur
Aktivasi kortikal yang diperlukan untuk menjaga terjaga didukung
oĥleh jaringan luas struktur dan jalur subkortikal. Neurokimia
utama dari "ascending arousal system" ini meliputi norepinefrin
rangsang yang timbul dari locus ceruleus (LC), serotonin dari garis
tengah raphe nu-clei, histamin dari inti tuberomam-millary,
dopamin dari materi abu-abu ventral periacqueductal, asetilkolin
dari pedunculo-pontine tegmentum, dan latero-dorsal tegmentum
dari pons dan orexin dari daerah perifornical. Inisiasi dan
pemeliharaan tidur membutuhkan penekanan aktivitas pada
ascending arousal system Ini dilakukan oleh neuron penghambat
area pre-optic ventrolateral yang tetap aktif selama tidur (Saper,
2005).
Molekul "pemicu" yang mengaktifkan VLPO dan memulai onset
tidur belum sepenuhnya diketahui, tetapi sejumlah besar bukti
24
menunjukkan adenosin ekstraseluler sebagai molekul yang
berperan. Adenosin terakumulasi di otak depan basal selama
terjaga dan berkurang dengan tidur yang berkelanjutan (Strecker,
2000). VLPO menerima modulasi sirkadian penting dari nukleus
suprachiasmatic jam sirkadian pusat (Saper, 2005). Tidur itu
sendiri bukanlah proses yang homogen. Ada dua jenis tidur yang
berbeda secara fundamental: tidur gerakan mata cepat Rapid Eye
Movement (REM), yang berhubungan dengan mimpi aktif, dan
tidur gerakan mata tidak cepat Non Rapid Eye Movement (NREM).
Pergantian antara NREM dan tidur REM tampaknya dikendalikan
oleh penghambatan timbal balik antara neuron mono-aminergik
dan subset spesifik dari neuron kolinergik dalam batang otak
(Hobson, 2007).
Neuron kolinergik "REM-on" ini menunjukkan koneksi
penghambatan timbal balik ke neuron noradren-ergic (LC) dan
neuron serotonergik (raphe). Ketika tidur REM dipicu, neuron-
neuron kolinergik REM-on menjadi aktif secara maksimal,
sementara neuron nor-adrenergik dan serotonergik menjadi
hampir diam. Pergantian antara aktivitas dan penghambatan neuron
ini menghasilkan siklus karakteristik antara NREM dan REM
selama periode tidur (Dunmyre, 2014).
25
Gambar 5. Jaringan otak yang mengatur tidur dan bangun
(David W.Carley&Sarah S. Farabi,2016)
2.2.4 Tahapan Tidur
Tidur dibagi menjadi dua fase yaitu pergerakan mata yang cepat
atau Rapid Eye Movement (REM) dan pergerakan mata yang tidak
cepat atau Non Rapid Eye Movement (NREM). Tidur diawali
dengan fase NREM yang terdiri dari empat stadium, yaitu tidur
stadium satu, tidur stadium dua, tidur stadium tiga dan tidur
stadium empat; lalu diikuti oleh fase REM (Patlak, 2005). Fase
NREM dan REM terjadi secara bergantian sekitar 4-6 siklus dalam
semalam (Potter & Perry, 2005). Tidur terdiri dari empat stadium
yaitu :
1. Tidur stadium satu
Pada tahap ini seseorang akan mengalami tidur yang dangkal dan
dapat terbangun dengan mudah oleh karena suara atau gangguan
lain. Selama tahap pertama tidur, mata akan bergerak peralahan-
lahan, dan aktivitas otot melambat (Patlak, 2005).
26
2. Tidur stadium dua
Biasanya berlangsung selama 10 hingga 25 menit. Denyut jantung
melambat dan suhu tubuh menurun (Smith, 2010). Pada tahap ini
didapatkan gerakan bola mata berhenti (Patlak, 2005).
3. Tidur stadium tiga
Tahap ini lebih dalam dari tahap sebelumnya (Ganong, 1998). Pada
tahap ini individu sulit untuk dibangunkan, dan jika terbangun,
individu tersebut tidak dapat segera menyesuaikan diri dan sering
merasa bingung selama beberapa menit (Smith, 2010).
4. Tidur stadium empat
Tahap ini merupakan tahap tidur yang paling dalam. Gelombang
otak sangat lambat. Aliran darah diarahkan jauh dari otak dan
menuju otot, untuk memulihkan energi fisik (Smith, 2010).
Tahap tiga dan empat dianggap sebagai tidur dalam atau deep
sleep, dan sangat restorative bagian dari tidur yang diperlukan
untuk merasa cukup istirahat dan energik di siang hari (Patlak,
2005). Fase tidur NREM ini biasanya berlangsung antara 70 menit
sampai 100 menit, setelah itu akan masuk ke fase REM. Pada waktu
REM jam pertama prosesnya berlangsung lebih cepat dan menjadi
lebih intens dan panjang saat menjelang pagi atau bangun (Japardi,
2002).
27
Selama tidur REM, mata bergerak cepat ke berbagai arah,
walaupun kelopak mata tetap tertutup. Pernafasan juga menjadi
lebih cepat, tidak teratur, dan dangkal. Denyut jantung dan nadi
meningkat (Patlak, 2005).
Gambar 6. Perubahan fisiologis dalam selama berbagai keadaan tidur
(Purves,2001)
2.2.5 Siklus tidur
Selama tidur malam yang berlangsung rata-rata tujuh jam, REM dan
NREM terjadi berselingan sebanyak 4-6 kali. Apabila seseorang
kurang cukup mengalami REM, maka esok harinya ia akan
menunjukkan kecenderungan untuk menjadi hiperaktif, kurang
28
dapat mengendalikan emosinya dan nafsu makan bertambah.
Sedangkan jika NREM kurang cukup, keadaan fisik menjadi kurang
gesit (Mardjono, 2008).
Siklus tidur normal dapat dilihat pada skema berikut :
Gambar 7. Tahap-tahap siklus tidur (Potter dan Perry, 2005)
2.2.6 Efek fisiologi gangguan tidur
Kurang tidur dapat memiliki efek yang sangat merusak kualitas
hidup. Beberapa efek buruk dari kekurangan tidur telah diteliti,
termasuk kantuk di siang hari yang berlebihan, gangguan mood,
dan gangguan fungsi neurokognitif ( Dinges, 2005 ). Selain itu,
insomnia telah terbukti berdampak negatif pada produktivitas kerja
atau sekolah, meningkatkan kecelakaan dan ketidakhadiran (
Daley, 2009 ).
29
Gambar 8. Efek jangka panjang dan pendek gangguan tidur (Tasali, 2008)
Studi kurang tidur dan studi insomnia telah mengidentifikasi
mekanisme utama dimana gangguan tidur diyakini mengerahkan
efek kesehatan jangka pendek dan jangka panjang yang merugikan
(Vgontzas, 2001). Selama tidur terjadi peningkatan metabolisme
dibuktikan dengan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi
karbon dioksida. Level katekolamin, norepinefrin, dan epinefrin
berhubungan dengan tidur yang terfragmentasi. Selain itu,
insomnia persisten kronis dikaitkan dengan peningkatan sekresi
hormon adrenocor-ticotropic dan kortisol, yang hadir sepanjang
siklus tidur-bangun 24 jam (Vgontzas, 2001).
Temuan ini menunjukkan bahwa aktivasi sistem saraf simpatis,
sistem simpatofaringrenal, dan poros hipotalamus-hipofisis-
30
adrenal terlibat dalam konsekuensi kesehatan dari gangguan tidur
(Tiemeier, 2002). Selain itu, penekanan Slow Wave Sleep (SWS)
dikaitkan dengan penurunan sensitivitas insulin yang tidak
menghasilkan peningkatan insulin melepaskan; Temuan ini dapat
menjelaskan peningkatan risiko diabetes mellitus tipe 2 pada
pasien dengan kualitas tidur yang buruk (Tasali E, 2008).
Perubahan metabolisme lainnya termasuk penurunan leptin dan
peningkatan ghrelin yang dapat berkontribusi pada peningkatan
nafsu makan (Meng , Zheng , 2013).
Kelainan tidur memengaruhi fungsi kekebalan pada timbal balik
dengan cara mengarah ke perubahan sitokin proinflamasi, seperti
faktor nekrosis tumor, interleukin 1 dan 6, dan protein C-reaktif.
Banyak sistem yang bereaksi terhadap kurang tidur menunjukkan
efek di luar sistem saraf pusat dan termasuk fungsi total tubuh (Van
Someren, 2015).
Dalam kurang tidur kronis, kemampuan tubuh untuk
mengkompensasi perubahan fisiologis berkurang, menyebabkan
efek akumulasi secara bertahap dan perubahan basal. Insomnia
telah terbukti meningkatkan aktivitas EEG (Elektroensefalografi),
sekresi hormon abnormal, peningkatan aktivitas metabolik, dan
peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis. sepanjang siang dan
malam. Seiring waktu, aktivitas yang meningkat dan abnormal ini,
31
yang dihasilkan dari kurangnya istirahat tubuh yang tepat, dapat
menyebabkan perkembangan penyakit dan kondisi kronis (Meng,
Zheng ,2013). Selanjutnya, kurang tidur dapat berkontribusi pada
perubahan dalam sistem respons stres neuroendokrin, yang
akhirnya mengarah pada stress gangguan terkait seperti gangguan
mood dan depresi (Meerlo, 2008)
2.2.7 Kualitas tidur
Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga
seseorang tersebut tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah
terangsang dan gelisah, lesu dan apatis, kehitaman di sekitar mata,
kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, mata perih, perhatian
terpecah-pecah, sakit kepala dan sering menguap atau mengantuk
(Hidayat, 2006).
Kualitas tidur seseorang dapat dianalisis melalui pemeriksaan
laboraturium yaitu EEG (Elektroensefalografi) yang merupakan
rekaman arus listrik dari otak. Perekaman listrik dari permukaan
otak atau luar kepala dapat menunjukkan adanya aktivitas listrik
yang terus menerus timbul dalam otak. Hal ini sangat dipengaruhi
oleh derajat eksitasi otak sebagai akibat dari keadaan tidur, keadaan
siaga atau karena penyakit lain yang diderita. Tipe gelombang EEG
diklasifikasikan sebagai gelombang alpha, beta, tetha dan delta
(Guyton dan Hall, 2014)
32
Gambar 9. Gambaran EEG tidur normal selama lima jam (Purves, 2001)
Penilaian kualitas tidur juga dapat dilakukan secara subjektif
menggunakan kuisioner kualitas tidur yaitu Pittsburgh Sleep
Quality Index ( PSQI ). Skor yang didapatkan dari kuisioner
menggambarkan kualitas tidur seseorang yang dikategorikan
dalam dua kategori yaitu kualitas tidur baik dan buruk, buruk jika
nilai PSQI>5-21,baik jika nilai PSQI≤5 (Rush, 2000). Sebelum
melakukan pengambilan sampel, dilakukan uji validitas dan
reabilitas terlebih dahulu terhadap kuesioner PSQI yang telah
diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Dari hasil uji validitas
didapatkan nilai koefisien Alpha Cronbach 0,753 dengan koefisien
korelasi item total (rix) antara 0,402- 0,849
33
2.2.8 Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tidur
Pemenuhan kebutuhan tidur bagi setiap orang berbeda – beda , ada
yang yang dapat terpenuhi dengan baik bahkan sebaliknya.
Seseorang bisa tidur ataupun tidak dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu diantaranya sebagai berikut, (Asmadi. 2008).
a. Status kesehatan
Seseorang yang kondisi tubuhnya sehat memungkinkan ia
dapat tidur dengan nyenyak, sedangkan untuk seseorang yang
kondisinya kurang sehat (sakit) dan rasa nyeri , makan
kebutuhan tidurnya akan tidak nyenyak (Asmadi. 2008).
b. Lingkungan
Lingkungan dapat meningkatkan atau menghalangi seseorang
untuk tidur. Pada lingkungan bersih, bersuhu dingin, suasana
yang tidak gaduh (tenang), dan penerangan yang tidak terlalu
terang akan membuat seseorang tersebut tertidur dengan
nyenyak, begitupun sebaliknya jika lingkungan kotor, bersuhu
panas, susana yang ramai dan penerangan yang sangat terang,
dapat mempengaruhi kualitas tidurnya (Asmadi. 2008).
c. Stres psikologi
Cemas dan depresi akan menyebabkan gangguan pada
frekwensi tidur. Hal ini disebabkan karena kondisi cemas akan
meningkatkan norepineprin darah melalui sistem saraf
simpatis. Zat ini akan mengurangi tahap IV NREM dan REM
(Asmadi. 2008).
34
d. Penyakit
Keadaan medis seperti gagal jantung, hemikrania
paroksisimal kronis, arthritis, fibromialgia, kejang nokturna,
refluks gastroesofageal (Kaplan dan Sadock, 2010)
e. Pruritus nokturna
Patel et al (2007). menyatakan bahwa ada gangguan dalam
ritme sirkadian prostaglandin (PG) ini pada pasien yang
menderita pruritus nokturnal. disregulasi kaskade sitokin dapat
berperan dalam pruritus nokturnal. Beberapa sitokin termasuk
IL-2, Il-8 dan IL-31 telah dikaitkan dengan induksi gatal dan
telah ditunjukkan bahwa kadar IL-2 meningkat pada malam
hari. Peningkatan sekresi IL-2 mungkin sekunder akibat
penurunan kadar kortisol nokturnal, yang bertindak sebagai
penghambat produksi IL-2 (Lissoni, P, 1998).
35
2.3 Kerangka teori
: Diteliti
: Tidak diteliti
Gambar 10. Kerangka teori
(Patel, 2007, Gratz NG, 1997, Kim, 2014, Han, 2012)
Pediculus capitis
Peningkatan aktivitas di
malam hari berupa injeksi
saliva di kulit
Reaksi hipersensitifitas
tipe 1
Reaksi gatal pada kulit
kepala berkelanjutan
pada malam hari
(pruritus nokturna )
Gangguan tidur
Kualitas tidur
Anemia
defisiensi besi
Gangguan neuromudulasi
dopaminergik
Gangguan kualitas dan
kuantitas tidur REM
Stigma sosial
Malu, rasa takut dan
frustasi
Pengaktifasi HPA
Sekresi kortisol yang
berlebihan
Mengurangi tidur
gelombang lambat dan
REM
36
2.4 Kerangka konsep
Penelitian ini memiliki dua variabel yaitu Pediculus capitis sebagai variabel
bebas ( Independen ) dan sebagai variabel terikat ( dependen ) adalah kualitas
tidur
Pediculus capitis Kualitas tidur
Variabel bebas Variabel terikat
( Variabel independen ) ( Variabel dependen )
2.5 Hipotesis
H0 : Tidak terdapat hubungan Infestasi pediculus capitis dengan kualitas
tidur pada santriwati madrasah tsanawiyah pondok pesantren al hikmah
bandar lampung.
H1: Terdapat hubungan Infestasi pediculus capitis dengan kualitas tidur
pada santriwati madrasah tsanawiyah pondok pesantren al hikmah bandar
lampung.
Pediculus capitis Kualitas tidur
37
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Desain penelitian
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat observasional analitik dengan
pendekatan cross sectional dan dilakukan pada satu waktu untuk mengetahui
hubungan infestasi Pediculus capitis dengan kualitas tidur pada Pondok
Pesantren Al Hikmah Bandar Lampung
3.2. Tempat dan waktu penelitian
3.2.1. Tempat penelitian
Tempat penelitian akan dilakukan di Pondok Pesantren Al Hikmah
Bandar Lampung
3.2.2. Waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober-November 2019
3.3. Populasi dan sampel
3.3.1. Populasi penelitian
Kriteria yang menjadi populasi di penelitian ini adalah santriwati
Madrasah Tsanawiyah ( MTS ) pesantren Al Hikmah Bandar Lampung
didapatkan data jumlah santriwati Madrasah Tsanawiyah ( MTS ) 153
santriwati gedung Arafah dan 40 santriwati gedung Asshofa dan terdiri
38
dari santriwati kelas VII A 13 santriwati, VIIB 13 santriwati, VIIC 14
santriwati,VII D 12 santriwati, VII E 17 santriwati, VIII A 17
santriwati, VIII B 18 santriwati, VIII C 13 santriwati, VIII D 13
santriwati, IX A 19 santriwati, IX B 18 santriwati, IX C 13 santriwati,
IX D 13 santriwati.
3.3.2. Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah subjek pada pesantren yang memenuhi
kriteria inklusi dan ekslusi. Dengan subjek yang menderita Pediculus
capitis dimasukkan ke dalam sampel kasus dan subjek yang tidak
menderita Pediculus capitis dimasukkan ke dalam sampel kelompok
pembanding tidak terifeksi. Adapun kriteria inklusi dan eklusi pada
penelitian ini adalah:
1. Kriteria inklusi :
- Anak yang bisa diajak berkomunikasi dengan baik
- Anak yang telah menyetujui dan menandatangani informed
consent.
2. Kriteria eksklusi :
- Anak yang menderita penyakit lainnya yang menyebabkan gatal
baik penyakit dermatologi berupa dermatitis atopik, psoriasis,
urtikaria kronik idiopatik, skabies, liken planus, liken smplek
kronis, prurigo nodularis, maupun non dermatologi yaitu anemia
defisiensi besi, sirosis hati, hepatitis, hipereosinofilia sekunder,
39
CKD, brachiodial pruritus, psikologi ( delusi, skizofrenia,
depresi, stres ), reastless legs syndrome
- Penderita Pediculus capitis yang dalam pengobatan atau lima
minggu terakhir mendapat terapi pedikulosis
3.3.3. Besar sampel
Sampel penelitian yang dipilih adalah perwakilan anggota yang
termasuk dalam populasi penelitian. Sampel tersebut dipilih
berdasarkan probability sampling dengan menggunakan proportionate
stratified random sampling. Menurut Sugiyono proportionate stratified
random sampling adalah teknik yang digunakan bila populasi
mempunyai anggota/ unsur yang berstrata secara proporsional
(Sugiono, 2010).
Untuk menentukan besarnya sampel untuk analitik komparatif ordinal-
nominal tidak berpasangan satu kali pengukuran, dapat menggunakan
rumus Slovin (Sugiyono, 2010) yaitu sebagai berikut :
Keterangan :
n: Jumlah sampel
N: Jumlah populasi
e = Persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan
pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir atau
diinginkan (10 % )
40
n = 193
1+ 193x 0,12
= 193
3,93
= 49,1 dibulatkan menjadi 50
Maka dapat ditentukan bahwa sampel minimal yang dibutuhkan adalah
49,1 dibulatkan menjadi 50 santriwati. Untuk menghindari terjadinya
kekeliruan dalam input data ditambahkan sepuluh persen dari hasil
perhitungan sampel, sehingga sampel minimal dalam penelitian ini
sebanyak 50 dibulatkan menjadi 55 santriwati
3.3.4. Teknik pengambilan sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah
proportionate stratified random sampling merupakan teknik yang
digunakan bila populasi mempunyai anggota/ unsur yang berstrata
secara proporsional (Sugiono, 2010). Untuk menentukan besarnya
sampel pada setiap kelas dilakukan dengan alokasi proporsional agar
sampel yang diambil lebih proporsional dengan cara:
41
Tabel 1. Perhitungan jumlah sampel
No Kelas Jumlah santriwati
(sampel)
1 VII A 4
2 VII B 3
3 VII C 4
4 VII D 3
5 VII E 4
6 VIII A 4
7 VIII B 6 8 VIII C 3
9 VIII D 3
10 IX A 5
11 IX B 5
12 IX C 3
13 IX D 3
Jumlah 50
3.4. Teknik dan alat penelitian
3.4.1. Teknik dan alat diagnosis
Pertama, anak tersebut menjalani skrining visual, secara sistematis
membuka rambut di tempat predileksi paling banyak yaitu: di belakang
telinga, dan leher. Area-area ini dianggap sebagai situs predileksi.
Selama pemeriksaan, anak duduk di atas meja di ruangan dengan
cahaya yang baik. Jika telur / kutu atau kutu terdeteksi, mereka
diperiksa dengan kaca pembesar
Setelah skrining visual selesai, memeriksa kembali setiap anak dengan
sisir serit kutu. Rambut disikat atau disisir dengan sisir biasa untuk
mengurai gumpalan dan simpul. Untuk sisir diagnostik digunakan sisir
serit berupa sisir logam dengan gigi panjang.
Menyisir dilakukan secara sistematis mulai dari satu sisi kepala dan
mengitarinya ke sisi lain. Setiap bagian rambut disisir setidaknya 3
42
hingga 4 kali sebelum pindah ke bagian yang berdekatan. Menyisir
dilanjutkan sampai seluruh kulit kepala disisir atau sampai 1 kutu
ditemukan. Teknik menyisir melibatkan memasukkan sisir ke rambut
basah sampai ujung gigi bersentuhan dengan kulit dan kemudian
menarik sisir dengan halus melalui rambut ke ujung rambut. Setelah
setiap kali sisir ditarik melalui rambut, lalu diseka pada kertas putih
dan setiap benda yang terperangkap diselidiki dengan kaca pembesar
(Claudia Jahnke,2009)
3.4.2. Kuesioner
Kuesioner adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data
penelitian. Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner PSQI
(Pittsburgh Sleep Quality Index).
3.4.3. Alat tulis
Alat tulis yang digunakan adalah pulpen, kertas, pensil dan
komputer.
3.5. Identifikasi Variabel Penelitian
3.5.1. Variabel Bebas
Variabel bebas (independen) dalam penelitian ini adalah infeksi
Pediculus capitis.
3.5.2. Variabel terikat
Variabel terikat ( dependen ) dalan penelitian ini adalah kualitas tidur
43
3.6. Definisi operasional
Tabel 2. Definisi operasional penelitian
N
o
Variabel Definisi Cara ukur Alat ukur Kriteria
Objektif
Skala
1 Infestasi
Pediculu
s capitis
adalah penyakit
kulit kepala yang
diakibatkan oleh
ektoparasit obligat
( tungau/ lice ) ( Yousefi, 2012 )
Menemu
kan kutu
hidup,
nimfa,
atau telur
- Sisir kutu
- Kaca
pembesar
- Mikroskop
- Preparat sampel
Ditemukan
adanya
telur,
nimfa atau
kutu dewasa
0 : Negatif
1 : Positif
Nominal
2 Kualitas
tidur
Kepuasan
seseorang terhadap
tidur,sehingga
seseorang tersebut
tidak
memperlihatkan
perasaan lelah,
mudah terangsang
dan gelisah, lesu dan apatis,
kehitaman di
sekitar mata,
kelopak mata
bengkak,
konjungtiva
merah, mata perih,
perhatian terpecah-
pecah, sakit kepala
dan sering
menguap atau mengantuk
(Hidayat, 2006).
Kuisioner Mengisi
kuisioner
dan
analisis
0 : Buruk
(nilai
PSQI>5-
21)
1 : Baik
(nilai
PSQI≤5)
Ordinal
44
3.7 Prosedur dan alur penelitian
3.8 Pengelolaan dan analisis data
3.8.1 Pengolahan data
Data yang telah diperoleh akan diolah dengan menggunakan program
pengolahan data statistik pada komputer. Proses pengolahan data tersebut
terdiri dari berbagai langkah berikut.
Tahap persiapan Pembuatan proposal dan
perizinan
Tahap
pelaksanaan Melakukan informed
consent
Pemeriksaan santriwati
yang menderita Pediculus
capitis dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan lab
Pengisian kuisioner PSQI
Tahap pengolaan
data Pencatatan dan pengolahan
data
Analisis data dengan
menggunakan statistik
45
1. Editting
Untuk meneliti kembali formulir data dan untuk memeriksa kembali data
yang terkumpul apakah sudah lengkap, terbaca dengan jelas, tidak
meragukan,terdapat kesalahan atau tidak dan lainnya.
2. Coding
Menerjemahkan data yang dikumpulkan
3. Data entry
Memasukkan data ke dalam komputer
4. Verifikasi
Melakukan pemeriksaan secara visual terhadap data yang telah
dimasukkan ke komputer
5. Output
Merupakan hasil analisis yang telah dilakukan dan kemudian dicetak
3.8.2 Analisis data
Analisis data dalam penelitian dilakukan dengan menggunakan program
komputer. Analisis data yang dilakukan adalah analisis univariat dan
bivariat.
1. Analisis univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan dan
mendeskripsikan masing-masing variabel yang diteliti baik itu
variabel independen atau dependen. Keseluruhan data yang ada
dalam instrumen tes akan diolah dan disajiakan dalam bentuk tabel
distribusi frekuensi
46
2. Analisis bivariat
Analisis bivariat merupakan analisis yang digunakan untuk
mengetahui hubungan antar variabel bebas dan variabel terikat
(Sianturi, 2014). Analisa bivariat adalah analisa yang bertujuan
untuk menjelaskan hubungan terhadap dua variabel yang dianggap
mempunyai satu korelasi (Notoadmodjo, 2014). Analisis yang
digunakan pada penelitian ini adalah analisa bivariat dengan uji
chi-square. Jika uji Chi Square 2x2 tidak terpenuhi maka dipakai
uji alternatifnya yaitu fisher. Uji signifikansi antara data yang
diobservasi dengan data yang diharapkan dilakukan dengan batas
kemaknaan (α=0,05) yang artinya apabila diperoleh p<α, berarti
ada hubungan yang signifikan antara variabel bebas dan variabel
terikat dan bila p>α, berarti tidak ada hubungan yang signifikan
antara variabel bebas dan variabel terikat.
3.9 Etika Penelitian
Kegiatan penelitian yang dilakukan harus melalui uji kelulusan etik. Peneliti
melakukan pengajuan pengkajian etik terkait penelitian ini kepada Komite Etik
Penelitian dan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung,
kemudian peneliti mendapatkan persetujuan etik dengan nomor
3701/UN26.18/PP.05.02.00/2019
Sebelum dilakukan pengumpulan data terebih dahulu dilakukan informed
consent terhadap para responden. Hal ini bertujuan untuk menginformasikan
47
kepada responden bahwa data yang diperoleh oleh peneliti hanya akan
digunakan untuk kepentingan penelitian.
48
DAFTAR PUSTAKA
Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC
Adam S. 2011. New Study Guidelines Dermatology. Acta Derm Venereol.
135(5):1355-65
Alfiyah,F. Sri, Kurniawan Yudianto. 2018. Adolescent Moslem Students Sleep
Hygiene Behaviour Description At Pondok Pesantren. Faculty of Nursing, Universitas Padjadjaran. DOI: 10.24198/jnc.v1i1.15760
Bartosik K, Buczek A, Kulisz J, Zając Z. 2015. Head pediculosis in school children
in the eastern region of the European Union. AAEM. 22(4):599–603.
Bohl B. 2015. Clinical Practice Update: Pediculosis Capitis. Pediatric Nursing,
41(5):227–34
Buysse DJ, Reynolds CF, Monk TH, Berman SR, dan Kupfer DJ (1989). The
Pittsburgh Sleep Quality Index: a new instrument for psychiatric practice and
research. Psychiatry research, 28(2), pp: 193-213.
Cabrera G, Richards S.,Pravikoff D.2014. Pediculosis (Lice Infestation).
Cinahi. California : Glendale.
Catala S, Junco L. 2005. Pediculus capitis Infestation according sex and social
factor in sabang. Rev saude publica. 39(2): 438-443
CDC. 2010. Laboratory Identification of Paracitic Diseases of Public Health
Concern. Tersedia di: www.cdc.gov/dpdx/pediculosis/index.htpl
diakses pada 14 Agustus 2019
CDC. 2017. Pediculus capitis Geographic Distribution. Tersedia di:
https://www.cdc.gov/dpdx/pediculosis/index.html diakses pada 15 September
2019
Chopra D. 2003. Tidur Nyenyak, Mengapa Tidak? Ucapkan Selamat Tinggal Pada
Insomnia.Yogyakarta: Ikon Telaritera
Chien CW, Bagraith KS, Khan A, Deen M, Syu JJ, Strong J. 2017. Establishment
of Cutpoints to Categorize the Severity of Chronic Pain Using Composite
Ratings with Rasch Analysis. Eur J Pain. 21(1): 82–91
49
Darmstadt L, Al Lane. 2002. Pengobatan Pediculosis capitis dalam Nelson Text
Book of Pediatrics edisi 15. EGC: Jakarta
Daley M, Morin C.M, LeBlan M., Gregoire J.P, Savard J., Baillargeon L.
2009. Insomnia and its relationship to health-care utilization, work
absenteeism, productivity and accidents. Sleep Med. 10(4): 427-238
David W Carley dan Sarah S Farabi. 2016. Phisiology of Sleep. Diabets Spectr.
29(1): 5-9
Depkes RI. 2010. Prevalensi pediculosis capitis di Surabaya. Jakarta
Destika. 2017. Hubungan Infestasi Pediculus capitis Dengan Prestasi Belajar Pada
Santri Pondok Pesantren X Teluk Betung Utara, Bandar Lampung. [ Skripsi ].
Fakultas Kedokteran Unila Bandar Lampung.
Dhand A, Aminoff MJ. 2014. The neurology of itch. Brain.;137(2):313-322.
Dorland N. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC..
Durmer JS dan Dinges DF. 2005. Neurocognitive Consequences of Sleep
Deprivation. Semin Neurol. 25(1): 117-129.
Dunmyre JR, Mashour GA, Booth V. 2014. Coupled flip-flop model for REM
sleep regulation. PloS ONE 9(4): 24-28.
Eliska N. 2015. Pedikulosis Kapitis. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Rumah Sakit Dr.
Mohammad Hoesin Palembang [Naskah Publikasi]. Palembang: Universitas
Sriwijaya
Elsya VP. 2018. Hubungan Antara Faktor Internal dan Faktor Eksternal Pekerja
dengam Kualitas Tidur Pekerja Shift di PT X Sidoarjo [ Skripsi ]. Surabaya:
Universitas Airlangga
Etim SE, Ohioma ME, Okon OE, Akpan PA. 2012. Pediculosis among
Primary School Children in Calabar, Nigeria and Implication for control”.
Scientific Rearcher and Essay. 7(47): 4071-5.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 2007. 7th edition. McGraw Hill,
New.York.
Frankowski BL, Weiner, Leonard B. 2002. Head Lice. Pediatrics Vol 110 No 3.
Furue M, Ebata T, Ikoma A, Takeuchi S, Kataoka Y, Takamori K, et all. 2013.
Verbalizing Extremes of the Visual Analogue Scale for Pruritus: A Consensus
Statement. Acta Dermato Venereologica, 93(2): 214–215.
50
Gratz NG. 1997. Human Lice Their Prevalence, Control and Resistance to
Insecticides A Review, Geneva Switzerland: World Health Organization,
Division of Control of Tropical Diseases
Graham, Brown RG, Bruns T. 2005. Lecture Notes Dermatologi. Jakarta: Penerbit
erlangga.
Guenther L, Maguiness S, Austin TW. 2012 .Pediculosis. Tersedia di: eMedicine
online document diakses pada 15 September 2019
Guyton AC and Hall JE. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Penerjemah: Irawati, Ramadani D, Indriyani F. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Gulgun M, Balci E, Karaoğlu A, Babacan O, Turker T. 2013. Pediculosis capitis:
Prevalence and its associated factors in primary school children living in rural
and urban areas in Kayseri, Turkey. CEJPH. 21(2):104–08.
Handoko RP dan Boediarja SA. 2015. Pediculus capitis. Dalam: Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
Han, K. S., Kim, L., & Shim, I. (2012). Stress and Sleep Disorder. Experimental
Neurobiology, 21(4), 141. doi:10.5607/en.2012.21.4.141
Heukelbach J. 2006. Scabies. PMID. 36(7):1767–74.
Huekelbach, Jorg, Ugbomoiko, Uade S. 2011. Knowledge, Attitude and Practices
Regarding Head Lice Infestation In Rural Nigeria Brazil: Federal University of
of Ceará, Fortaleza, Brazil.
Hidayat AA, 2006. Pediculus humanus capitis: an update. Acta Dermatoven APA
Vol 17, No 4.
Hobson J, McCarley R, Wyzinski P. 2007. Sleep cycle oscillation: reciprocal
discharge by two brainstem neuronal groups. hlm.189(4196): 55–58.
Japardi, I. 2002. Gangguan Tidur. Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas
Sumatra Utara.USU Digital Library.
Jaka S, Darwin K, Ari PD. 2015. Hubungan antara Kualitas Tidur dan Kuantitas
Tidur dengan Prestasi Belajar Mahasiswa Ilmu Keperawatan Riau. JOM Vol (2) No
(2).
Janniger CK, Kuflik AS. Pediculosis capitis. Cutis. 1993 Jun;51(6):407–8.
Kaplan HI, Saddock BJ & Grabb JA. 2010. Kaplan-Saddock Sinopsis Psikiatri
51
Ilmu Pengetahuan Prilaku Psikiatri Klinis. Tangerang: Bina Rupa Aksara
Ko CJ, Elston DM. Pediculosis. J Am Acad Dermatol. 2004 Jan;50(1):1–12; quiz
3–4.
Kim J, Wessling-Resnick M. 2014. Iron and mechanism of sleep behaviour. J Nutr
Biochem 25(1): 1101-7
Leung A.K, Fong J.H, Pinto-Rojas A. 2005. Pediculosis capitis. J Pediatr Health
Care 19(6):369-373
Lissoni P, Rovelli F, Brivio F, Brivio O, Fumagalli L. 1998. Circadian secretions
of IL-2, IL-12, IL-6 and IL-10 in relation to the light dark rhythm of the pineal
hormone melatonin in healthy humans. Nat. Immun. 1998(16): 1–5.
Lyon. W. F. “Human Lice’’. 2000. Publication No. HYG2094, Ohio State
University Extension Service.
Mardjono, M. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.
Meerlo P, Sgoifo A, Suchecki D. 2008. Restricted and disrupted sleep: effects on
autonomic function, neuroendocrine stress systems and stress responsivity.
Sleep Med Rev.12(3):197–210.
Meng L, Zheng Y, Hui R. 2013. The relationship of sleep duration and insomnia
to risk of hypertension incidence: a meta-analysis of prospective cohort studies.
Hypertens Res.36(11):985–995.
Moradi AR, Zahirnia, Alipour, Eskandari Z. 2009. The Prevalence of Pediculosis
capitis in Primary School Students in Bahar, Hamadan Province, Iran. JRESei
9(1):45–9
Mumcuoglu KY, Klaus S, Kafka D, Teiler M, Miller J.1991. Clinical observations
related to head lice infestation. J Am Acad Dermatol. 25(2):248–51.
Natadisastra, D. & Ridad, A. 2005. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari Organ
Tubuh yang Diserang. Jakarta: EGC.
National Sleep Foundation. 2019.What Is Good Quality Sleep?. Tersedia di:
https://www.sleepfoundation.org/press-release/what-good-quality-sleep
diakses pada 16 September 2019
Nindia Y. 2016. Prevalensi Infestasi Kutu Kepala ( Pediculus capitis ) dan Faktor
Resiko Penularannya Pada Anak Sekolah Dasar di Kota Sabang Provinsi Aceh
[ Thesis ]. Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Pertanian Bogor.
Nutason I, Steen CJ, Schwartz RA, Janniger CK. 2008. Pediculus humanus capitis:
52
an update. Acta Dermatoven APA. 17(4): 147-53
Pray WS. 2008. Head Lice Perfectly Adapted Human Predator. American J Pharma
Edu 63(2) : 204-209
Patel TS, Freedman BI, Yosipovitch G. 2007. An update on pruritus associated
with CKD. Am J Kidney Dis. 2007. 50(1):11-20.
Patlak, M. 2005. Your Guide to Healhty Sleep. US. Departement of Health and
Human. Tersedia di:
http://www.nhlbi.nih.gov/health/public/sleep/healthy_sleep.pdf diakses pada
16 September 2019
Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses &
Praktek. Edisi 4. Vol 1. Jakarta: EGC
Purves D, Augustine GJ, Fitzpatrick D, et al. 2001. editors. Neuroscience. 2nd
edition. Sunderland (MA): Sinauer Associates
Rachman Z. 2014. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pediculosis
Capitis Pada Santri Pesantren Rhodlotul Quran Semarang. [skripsi]. Semarang.
Fakultas kedokteran Dipenogoro
Rassami W, Soonwera M. 2012. Epidemiology of Pediculosis Capitis Among
Schoolchildren in the Eastern Area of Bangkok, Thailand. Tersedia di
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23569868 diakses pada 16 September 2019
Rafknowledge. 2004. Insomnia dan Gangguan Tidur Lainnya. Jakarta: Elex Media
Komputindo
Roberts RJ. 2002. Clinical practice. Head lice. N Engl J Med.346(21):1645-50
Rush AJ. 2000. Handbook of Psychiatric Measures. Washington, DC: APA.
Saper CB, Cano G, Scammell TE. 2005. Homeostatic, circadian, and emotional
regulation of sleep. J Comp Neurol.493 (1) 92–98.
Sari AW. 2011. Hubungan Antara Insomnia Dengan Prestasi Belajar Pada Santri
Madrasah Aliyah Tahfidzul Qur’an Isy-Karimah Karang Anyar. [ Naskah
Publikasi ]. Universitas Muhammadiah Surakarta. Surakarta.
Semiz M., Uslu A., Korkmaz S., Demir S., Parlak I., Sencan M.,Uncu T.
2015. Assessment of subjective sleep quality in iron deficiency anaemia.
African Health Sciences, 15(2), 621
Smith, M. 2010. How Much Sleep Do You Need? Sleepp Cycles & Stages, Lack of
Sleep, and Getting The Hours You Need.
53
Tersedia di : https://www.helpguide.org/articles/sleep/sleep-needs-get-the-
sleep-you-need.htm?pdf=13843 diakses pada 24 agustus 2019
Soedarto. 2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. CV Sagung Seto. Jakarta
Ständer S, Raap U, Weisshaar E, Schmelz M, Mettang T, Handwerker H, et al.
2011. Pathogenesis of pruritus. JDDG. 9 (6):456-63.
Stone SP, Goldfarb JN, and Bacelieri RE. 2012. Scabies, Other Mites, and
Pediculosis. Dalam: Wolff K., Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, and Leffell DJ. Ed. 2.
Sulistio A, laily I. 2004. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika.
Tasali E, Leproult R, Ehrmann DA, Van CE. 2008. Slow-wave sleep and the risk
of type 2 diabetes in humans. Proc Natl Acad Sci U S A. 105(3):1044–49.
Tiemeier H, Pelzer E, Jonck L, Moller HJ, Rao ML. 2002. Plasma catechol-amines
and selective slow wave sleep deprivation.Neuropsychobiology. 45(2):81–86.
Ulumuddin B.A. 2011. Hubungan Tingkat Stress Dengan Kejadian Insomnia Pada
Mahasiswa Program Studi Ilmu Keerawatan Universitas Diponegoro. [skripsi].
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Diponegoro. Semarang
Van Someren EJ, Cirelli C, Dijk DJ, Van CE, Schwartz S, Chee MW. 2015.
Disrupted sleep: from molecules to cognition. J Neurosci. 35(41):13889–95
Vgontzas AN, Bixler EO, Lin HM. 2001. Chronic insomnia is associated with
nyctohemeral activation of the hypothalamic-pituitary-adrenal axis: clinical
implications. J Clin Endocrinol Metab. 86(8):3787–94.
Weir E. 2001. School’s back, and so is the lowly louse. CMAJ.;165(6):814
Wicaksono DW. 2012. Analisis Faktor Domain yang Berhubungan Dengan
Kualitas Tidur Pada Mahasiswa Keperawatan Fakultas Keperawatan
Universitas Airlangga.
Yousefi S, Shamsipoor F, Salim Abadi Y. 2012. Epidemiological Study of Head
Louse (Pediculus humanus capitis) Infestation Among Pri-mary School
Students in Rural Areas of Sirjan County, South of Iran. Thrita J Med Sci. 1(2):
53-56.
Yingklang, M., Sengthong, C., Haonon, O., Dangtakot, R., Pinlaor, P., Sota, C. et
all. 2018. Effect of a health education program on reduction of pediculosis in
school girls at Amphoe Muang, Khon Kaen Province, Thailand. PLOS ONE.
13(6): 1-15.