TUGAS MAKALAHSISTEM DAN BEBAN PEMBUKTIAN
Disusun oleh :Cendy Adam (1006687253)Aulia Ali Reza (1006769940)
Ade Rizky Fachreza (1006769890)Michael A.P Pangaribuan (1006687865)
Nindya Chaerunisa (1006688016)Yeremia Shedeas (1006688464)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembuktian merupakan salah satu rangkaian dalam peradilan yang
memegang peranan penting. Hal ini disebabkan pada pembuktian di tentukan
bersalah atau tidaknya seseorang. Apabila bukti yang disampaikan di pengadilan
tidak mencukupi atau tidak sesuai dengan yang disyaratkan maka tersangka akan
dibebaskan. Namun apabila bukti yang disampaikan mencukupi maka tersangka
dapat dinyatakan bersalah. Karenanya proses pembuktian merupakan proses
yang penting agar jangan sampai orang yang bersalah dibebaskan karena bukti
yang tidak cukup. Atau bahkan orang yang tidak bersalah justru dinyatakan
bersalah.
Sistem pembuktian dari satu negara ke negara lainnya tentunya berbeda.
Hal tersebut biasanya disesuaikan dengan budaya atau paham yang dianut
negara tersebut. Pada umumnya sistem pembuktian di suatu negara dibedakan
berdasarkan negara yang menganut paham civil law dan negara yang menganut
common law. Selain itu juga didasarkan pada beberapa teori sistem pembuktian.
Dalam teorinya, sistem pembuktian dapat dibagi menjadi empat teori yaitu
sistem teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif, berdasarkan
keyakinan hakim saja, berdasarkan keyakinan hakim yang didukung oleh alasan
yang logis, dan berdasarkan undang-undang negatif. .1 Untuk melihat sistem
pembuktian di negara lain maka akan dilihat perbandingan dengan beberapa
negara lain yaitu negara Belanda yang menganut civil law, Australia yang
menganut common law, dan sistem pembuktian dalam hukum islam yang
berbeda dengan empat teori sistem pembuktian menurut Prof.Dr. Andi Hamzah
SH.
1 Prof. Dr. Andi Hamzah, SH, Hukum Acara Pidana Indonesia (edisi revisi), cet.1 (Jakarta: Sinar Grafika. 2001). Hal. 245.
Tidak hanya sistem pembuktian saja yang berbeda, beban pembuktian
pun berbeda-beda yang bergantung kepada sistem pembuktian tersebut. Selain
berdasarkan sistem pembuktian, beban pembuktian yang digunakan juga dapat
ditentukan dari jenis tindak pidana seperti tindak pidana korupsi di Indonesia.
Beban pembuktian dalam perspektif hukum pidana dapat dibagi menjadi tiga,
yaitu beban pembuktian umum/konvensional, beban pembuktian terbalik dan
beban pembuktian berimbang.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah teori sistem pembuktian dan beban pembuktian yang berlaku
pada umumnya?
Bagaimanakah bentuk sistem dan beban pembuktian yang digunakan di
Indonesia, Australia, dan Belanda?
Bagaimanakah bentuk sistem dan beban pembuktian menurut hukum
pidana Islam?
1.3 Tujuan Makalah
Untuk mengetahui sistem dan beban pembuktian pada umumnya
Menjelaskan sistem dan beban pembuktian yang berlaku di Indonesia,
Australia, dan Belanda
Mengetahui sistem dan beban pembuktian apa yang diterapkan dalam
hukum pidana Islam.
1.4 Metode Penulisan
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam pembuatan makalah
ini adalah metode data sekunder. Metode data sekunder adalah data yang
diperoleh secara tidak langsung dari lapangan dan suatu organisasi/perorangan
dari pihak lain. Data ini diperoleh dari media cetak maupun media
elektronik,seperti buku, catatan perkuliahan, makalah, skripsi, dan internet
1.5 Sistematika Penulisan
Bab I tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, metode
penulisan,dan sistematika penulisan.
Bab II tentang hasil dan pembahasan yang mencakup tentang penjelasan
rumusan masalah.
Bab III tentang kesimpulan.
Daftar pustaka.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sistem Pembuktian
Sistem pembuktian terdiri dari dua kata, yaitu kata “sistem” dan
“pembuktian”. Secara etimologis, kata “sistem” merupakan hasil adopsi dari kata
asing “system” (Bahasa Inggris) atau “systemata” (Bahasa Yunani) dengan arti
“suatu kesatuan yang tersusun secara terpadu antara bagian-bagian
kelengkapannya dengan memiliki tujuan secara pasti” atau “seperangkat
komponen yang bekerja sama guna mencapai suatu tujuan tertentu”.2
Mengenai arti pembuktian dalam hukum acara pidana terdapat beberapa
sarjana hukum mengemukakan definisi yang berbeda-beda. Andi Hamzah
mendefinisakan pembuktian sebagai upaya mendapatkan keterangan-
keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu
keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat
mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa.3 Lain lagi dengan M.
Yahya Harahap, S.H., dia beranggapan bahwa yang dimaksud dengan
pembuktian adalaha ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam
usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran.4
Penulis menyimpulkan arti sistem pembuktian dalam konteks hukum
acara pidana adalah suatu kesatuan yang tersusun secara terpada antara bagian-
bagian kelengkapannya untuk mencari kebenaran terhadap perbuatan pidana
yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri
terdakwa. Maksud kebenaran dalam hukum pidana berbeda dengan kebenaran
dalam konteks hukum perdata. Jika pada hukum perdata pembuktian
dimaksudkan untuk mencari kebenaran formiil maka pada hukum pidana 2 Diambil dari http://www.karyatulisilmiah.com/pengertian-sistem.html3 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia: Jakarta 1984, hal 77.4 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini: Jakarta 1993, hal 22.
kebenaran yang dicari adalah kebenaran materiil. Hukum pidana yang berpotensi
untuk “merampas” hak asasi seseorang mengharuskan ditemukannya kebenaran
tersebut.
Untuk mengetahui bagian-bagian yang menyusun sistem pembuktian
maka haruslah menganalisis hukum acara pidana. Didalam hukum acara pidana
terdapat pihak-pihak yang terlibat dalam rangka membuktikan kebenaran
terhadap perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa. Sebagai contoh kita
lihat didalam Undang-Undang No.08 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
Didalam Pasal 1 Undang-Undang No.08 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem pembuktian terdapat elemen-elemen
yang menjadi bagian dalam usaha pencarian kebenaran materiil, yaitu :
1. Penyidik
2. Penuntut Umum
3. Penasihat Hukum
4. Majelis Hakim
5. Terdakwa
6. Alat Bukti.
Elemen-elemen inilah yang menjadi bagian-bagian dalam sistem
pembuktian. Artinya elemen-elemen inilah yang membentuk suatu kesatuan
yang tersusun secara terpadu untuk mencari kebenaran terhadap perbuatan
pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada
diri terdakwa.
Sistem Pembuktian Pada Umumnya
a. Conviction-in Time
Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya
seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan”
hakim. Dalam sistem pembuktian ini hakim memiliki andil yang sangat besar,
jika hakim telah merasa yakin bahwa terdakwa benar melakukan apa yang
didakwakan kepadanya maka hakim bisa menjatuhkan pidana terhadapnya,
dan sebaliknya. Persoalan darimana hakim mendapatkan keyakinan tidak
menjadi permasalahan. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa
didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang.5
Kelemahan dari sistem pembuktian conviction-in time yaitu jika alat-alat
bukti yang diajukan di persidangan mendukung kebenaran dakwaan
terhadap terdakwa namun hakim tidak yakin akan itu semua maka tetap saja
terdakwa bisa bebas. Dan sebaliknya, jika alat-alat bukti yang dihadirkan di
persidangan tidak mendukung adanya kebenaran dakwaan terhadap
terdakwa namun hakim meyakini terdakwa benar-benar melakukan apa
yang didakwakan oleh Penuntut Umum maka pidana dapat dijatuhkan oleh
Hakim.
b. Conviction-Raisonee
Dalam sistem inipun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap memegang
peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi,
dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”.6 Memang
pada akhirnya keputusan terbukti atau tidak terbuktinya dakwaan yang
didakwakan terhadap terdakwa ditentukan oleh hakim tapi dalam
memberikan putusannya hakim dituntut untuk menguraikan alasan-alasan
apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Dan reasoning
itu harus “reasonable”, yakni berdasarkan alasan yang dapat diterima.7 Arti
diterima disini hakim dituntut untuk menguraikan alasan-alasan yang logis
dan masuk akal.
c. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif
5 Sri Ingeten Br Perangin-Angin, Peranan Dokter Dalam Pembuktian Perkara Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara: Medan, 2008, hal 28.6 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini: Jakarta 1993, hal 2567 Ibid, hal 256
Maksud dari pembuktian menurut undang-undang secara positif adalah
untuk membuktikan terdakwa bersalah atau tidak bersalah harus tunduk
terhadap undang-undang. Sistem ini sangat berbeda dengan sistem
pembuktian conviction-in time dan conviction-raisonee. Dalam sistem ini
tidak ada tempat bagi “keyakinan hakim”. Seseorang dinyatakan bersalah
jika proses pembuktian dan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan
telah menunjukkan bahwa terdakwa bersalah. Proses pembuktian serta alat
bukti yang diajukan diatur secara tegas dalam undang-undang.
d. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif
Berbeda dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif,
dalam sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif
disayaratkan adanya keyakinan hakim untuk menentukan apakah terdakwa
bersalah ataukah tidak. Dalam sistem pembuktian ini alat-alat bukti diatur
secara tegas oleh undang-undang, demikian juga dengan mekanisme
pembuktian yang ditempuh. Ketika alat-alat bukti telah mendukung
benarnya dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa maka haruslah timbul
keyakinan pada diri hakim akan kebenaran dari alat-alat bukti tersebut. Jika
alat-alat bukti telah mendukung kebenaran bahwa terdakwa bersalah
namun belum timbul keyakinan pada diri hakim maka pidana tidak dapat
dijatuhkan.
2.2 Teori Beban Pembuktian
Dikaji dari perspektif ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal ada 3 (tiga)
teori tentang beban pembuktian, yaitu:
a. Beban Pembuktian pada Penuntut Umum
Penuntut umum tiada mempunyai hak tolak atas hak yang diberikan
undang-undang kepada terdakwa, namun tidak berarti penuntut umum tidak
memiliki hak untuk menilai dari sudut pandang penuntut umum dalam
requisitornya.
Konsekuensi logis teori beban pembuktian ini, bahwa Penuntut Umum
harus mempersiapkan alat-alat bukti dan barang bukti secara akurat, sebab jika
tidak demikian akan susah meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa.
Konsekuensi logis beban pembuktian ada pada Penuntut Umum ini berkorelasi
asas praduga tidak bersalah dan aktualisasi asas tidak mempersalahkan diri
sendiri. Teori beban pembuktian ini dikenal di Indonesia, bahwa ketentuan pasal
66 KUHAP dengan tegas menyebutkan bahwa, “tersangka atau terdakwa tidak
dibebani kewajiban pembuktian”. Beban pembuktian seperti ini dapat
dikategorisasikan beban pembuktian “biasa” atau “konvensional”.
b. Beban Pembuktian pada Terdakwa
Terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai
pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, terdakwalah di depan sidang pengadilan
yang akan menyiapkan segala beban pembuktian dan bila tidak dapat
membuktikan, terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Pada
asasnya teori beban pembuktian terbalik (Shifting Burden of Proof) ini
dinamakan teori ”Pembalikan Beban Pembuktian” (Omkering van het Bewijslast
atau Reversal Burden of Proof/ Onus of Proof”).
Pada hakikatnya makna dari Reversal Burden of Proof dan Shifting Burden
of Proof berbeda. Jika Shifting Burden of Proof diartikan sebagai “Pergeseran
Beban Pembuktian”8 maka Reversal Burden of Proof diartikan sebagai
“Pembalikan Beban Pembuktian”. Perbedaan dari kedua pengertian tersebut,
jika pada shifting burden of proof pada umumnya diterapkan sebagai pembalikan
beban pembuktian yang terbatas atau tidak murni, sedangkan pada reversal
burden of proof menggunakan pembalikan beban pembuktian yang murni atau
8Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Prof. Oemar Seno Adji, SH & Rekan, Jakarta,2006, hal.103
mutlak menurut istilah Indriyanto Seno Adji “Pembalikan Beban Pembuktian
yang Total atau Absolut”.9
Dikaji dari perspektif teoritis dan praktik teori beban pembuktian ini
dapat diklasifikasikan lagi menjadi pembalikan beban pembuktian yang bersifat
murni maupun bersifat terbatas (limited burden of proof). Pada hakikatnya,
pembalikan beban pembuktian tersebut merupakan suatu penyimpangan hukum
pembuktian dan juga merupakan suatu tindakan luar biasa terhadap tindak
pidana korupsi.
c. Beban Pembuktian Berimbang
Konkretisasi asas ini baik Penuntut Umum maupun terdakwa dan/ atau
Penasihat Hukumnya saling membuktikan di depan persidangan. Lazimnya
Penuntut Umum akan membuktikan kesalahan terdakwa sedangkan sebaliknya
terdakwa beserta penasehat hukum akan membuktikan sebaliknya bahwa
terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana yang didakwakan. Asas beban pembuktian ini dinamakan juga asas
pembalikan beban pembuktian “berimbang”.
Dalam Negara Indonesia, beban pembuktian yang digunakan yaitu beban
pembuktian umum atau konvensional dimana beban untuk membuktikan
terdapat pada Penuntut Umum. Hal tersebut dapat kita lihat pada Pasal 66
KUHAP yang isinya “ Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban
pembuktian”. Namun dalam tindak pidana tertentu (seperti korupsi)
menggunakan beban pembuktian terbalik terbatas seperti yang terdapat dalam
Pasal 37 ayat (1) UU No. 20 tahun 2001 yang isinya “Terdakwa mempunyai hak
untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi”. Maksud
terbatas yaitu terdakwa memiliki hak untuk membuktikan di depan pengadilan,
namun Penuntut Umum harus membuktikan kenapa mengajukan dakwaan
tersebut ke pengadilan.
9 Ibid., hal.138
Pengaturan Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Pada tahun 1971 telah dibentuk UU No. 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan kemudian pada tahun 1999
diundangkan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yang menganut sistem pembuktian terbalik terbatas yang terdapat
dalam Pasal 37 yang memungkinkan diterapkannya pembuktian terbalik yang
terbatas terhadap harta benda tertentu dan mengenai perampasan harta hasil
korupsi. UU No. 3 Tahun 1971 dan UU No. 31 Tahun 1999 pada asasnya tetap
mempergunakan teori pembuktian negative, kemudian di UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni berupa Sistem Pembalikan
Beban Pembuktian dan Berimbang. Yang mengatur pembuktian terbalik secara
lebih jelas yaitu pada Pasal 12 B, 12 C, 37, 37A, 38 A, dan 38 B.
Pada KUHP Tindak Pidana jabatan yang berkorelasi dengan perbuatan
korupsi terdapat di dalam Bab XXVIII KUHP yaitu khususnya terhadap perbuatan
penggelapan oleh pegawai negeri (Pasal 415 KUHP), membuat palsu atau
memalsukan (Pasal 416 KUHP), menerima pemberian atau janji (Pasal 418, 419,
dan 420 KUHP) serta menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum (Pasal 423, 425 dan 435 KUHP).
Pada hakikatnya, ketentuan-ketentuan Tindak Pidana Korupsi itu ternyata
kurang efektif dalam menanggulangi korupsi. Maka, dirasakan perlu adanya
peraturan yang dapat lebih memberi keleluasaan kepada penguasa untuk
bertindak terhadap pelaku-pelakunya. Asas Pembalikan Beban Pembuktian
merupakan suatu sistem pembuktian yang berada di luar kelaziman teoritis
pembuktian dalam Hukum (Acara) Pidana yang universal. Dalam Hukum Pidana
(Formal), baik sistem Eropa Kontinental maupun Anglo-Saxon, mengenal
pembuktian dengan tetap membebankan kewajibannya pada Jaksa Penuntut
Umum. Hanya saja, dalam “certain cases” (kasus-kasus tertentu) diperkenankan
penerapan dengan mekanisme yang diferensial, yaitu Sistem Pembalikan Beban
Pembuktian atau dikenal sebagai “Reversal of Burden Proof” (Omkering van
Bewijslast). Itu pun tidak dilakukan secara overall, tetapi memiliki batas-batas
yang seminimal mungkin tidak melakukan suatu destruksi terhadap perlindungan
dan penghargaan Hak Asasi Manusia, khususnya Hak Tersangka/ Terdakwa.
Penjelasan umum dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 dikatakan
pengertian “pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang”, yakni :
“terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda isterinya atau suami, anak, dan harta benda setiap
orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan
dakwaannya”. Kata-kata “bersifat terbatas” didalam memori atas pasal 37
dikatakan, bahwa apabila terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa
“terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi” hal itu tidak berarti bahwa
terdakwa tidak terbukti melakukan korupsi, sebab Penuntut Umum, masih tetap
berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Kata-kata “berimbang” dilukiskan sebagai penghasilan terdakwa ataupun
sumber penambahan harta benda terdakwa, sebagai income terdakwa dan
perolehan harta benda, sebagai output. Antara income sebagai input yang tidak
seimbang dengan output atau dengan kata lain input lebih kecil dari output.
Dengan demikian diasumsikan bahwa perolehan barang-barang sebagai output
tersebut (misalnya rumah-rumah, mobil-mobil, saham-saham, simpanan dolar
dalam rekening bank, dan lain-lainnya) adalah hasil perolehan dari tidak pidana
korupsi yang didakwakan.
Pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi tidak semata-mata
pembuktian di tangan terdakwa. Pembuktian pada tindak pidana korupsi
menganut pembalikan beban pembuktian terbatas, sehingga kewajiban
pembuktian tetap ada pada tangan penuntut umum meskipun terdakwa
memiliki hak untuk membuktikan kalau dia tidak bersalah. Sidang dengan sistem
in absencia itu berlaku untuk agenda siding yang memang tidak diperlukan
terdakwa. Hal tersebut diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999.
Martiman Prodjohamidjojo )1 menjelaskan, dalam pembuktian tindak
pidana korupsi dianut dua teori pembuktian, yakni :
1) Teori bebas, yang diturut oleh terdakwa
Teori bebas sebagaimana tercermin dan tersirat dalam penjelasan umum, serta
berwujud dalam, hal-hal sebagai tercantum dalam pasal 37 UU No. 31 Tahun
1999, sebagai berikut:
a) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi.
b) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang
menguntungkan baginya.
c) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya
dan harta benda isteri atau suami, anak dan harta benda setiap orang
atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
bersangkutan.
d) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang
tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber panambahan
kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk
memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan
tindak pidana korupsi.
e) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3)
dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan
dakwaaannya.
2) Teori negatif menurut undang-undang, yang diturut oleh penuntut umum.
Sedangkan teori negatif menurut undang-undang tersirat dalam pasal
183 KUHAP, yaitu : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang,
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, sistem pembuktian
terbalik adalah sistem dimana beban pembuktian berada pada terdakwa dan
proses pembuktian ini hanya berlaku pada saat pemeriksaan di sidang
pengadilan dengan dimungkinkannya dilakukan pemeriksaan tambahan atau
khusus jika dalam pemeriksaan di persidangan ditemukan harta benda milik
terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi namun hal tersebut
belum didakwakan. Bahkan jika putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, tetapi diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang
diduga berasal dari tindak pidana korupsi, maka negara dapat melakukan
gugatan terhadap terpidana atau ahli warisnya. 10
2.3 Sistem Pembuktian di Indonesia
Hukum pembuktian dalam hukum acara pidana kita sejak berlakunya het
Herzeine Indonesisch Reglement (HIR) dahulu yang saat ini disebut dengan
KUHAP menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara terbatas
(negtief wettelijk bewisjstheorie).
Perbedaan antara dua kitab ini dalam hal pembuktian terletak pada
ditentukannya minimal jumlah alat bukti. Pasal 294 ayat 1 HIR merumuskan:
10 Martiman Prodjohamidjojo Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No.31, Tahun 1999), Mandar Maju, Bandung, 2001, hal.108
“Tidak seorangpun boleh dikenakan hukuman, selain jika hakim mendapat
keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang
boleh dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah yang salah tentang
perbuatan itu.”
Pasal ini kemudian disempurnakan menjadi Pasal 183 KUHAP yang
berbunyi:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yng sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.”
Rumusan pasal 183 KUHAP dinilai lebih sempurna karena menentukan
dengan jelas berapa jumlah alat bukti yang harus digunakan hakim untuk
memperoleh keyakinan dan menjatuhkan pidana. System pembuktian negative
dalam KUHAP dinilai lebih baik dan lebih menjamin kepastian hukum.
Dalam sistem pembuktian negatif yang dianut oleh Indonesia – sebagai
intinya, yang dirumuskan dalam pasal 183 KUHAP, dapat disimpulkan pokok-
pokoknya adalah:
a. Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika
memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana.
b. Syarat tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana.
Sebenarnya, pembuktian dilakukan untuk memutus perkara in casu
perkara pidana, dan bukan semata-mata menjatuhkan perkara pidana. Sebab,
untuk menjatuhkan pidana masih diperlukan lagi syarat terbuktinya kesalahan
terdakwa melakukan tindakan pidana.11
Pada dasarnya kegatan pembuktian dilakukan dalam usaha mencapai
derajat keadilan dan kepastian hukum yang setinggi-tingginya dalam putusan
11 Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit PT Alumni, Bandung, 2005, halaman 31.
hakim. Pembuktian dilakukan untuk memutus perkara terbukti atau tidak sesuai
dengan apa yang telah didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Ada dua syarat
untuk mencapai suatu hasil pembuktian agar dapat menjatuhkan pidana. Kedua
syarat ini saling berhubungan dan tidak terpisahkan.
Pertama, hakim harus menggunakan minimal dua alat bukti yang sah.
Dua alat bukti ini tidak harus berbeda jenisnya. Jadi bisa saja terdiri dari dua alat
bukti yang sama, misalnya keterangan dua orang saksi.
Kedua ialah hakim memperoleh keyakinan. Keyakinan hakim ini harus
dibentuk atas fakta-fakta yang didapat dari alat-alat bukti yang disebutkan pada
syarat pertama, yang telah ditentukan oleh KUHAP. Keyakinan hakim masuk ke
dalam ruang lingkup kegiatan pembuktian apabila kegiatan pembuktian tidak
dipandang hanya untuk membuktikan saja tetapi untuk mencapai tujuan akhir
penyelesaian perkara pidana yaitu menarik amar putusan oleh hakim.
Adami Chazawi dalam bukunya menjelaskan ada tiga keyakinan hakim
yang sifatnya mutlak, bertingkat dan tidak dapat dipisahkan:
1. Keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana sesuai dengan dakwaan
Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam praktiknya di pengadilan,
disebutkan bahwa tindak pidana yang didakwakan oleh JPU terbukti
secara sah dan meyakinkan. Yang dimaksud dengan sah adalah
memenuhi syarat menggunakan dua alat bukti atau lebih. Namun
keyakinan mengenai terbuktinya tindak pidana belum cukup untuk
menjatuhkan pidana terhadap terdakwa.
2. Keyakinan bahwa benar terdakwa yang melakukan tindak pidana.
Hakim harus memperoleh keyakinan bahwa benar terdakwalah yang
melakukan tindak pidana yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum
kepadanya. Keyakinan ini pun belum cukup untuk menjatuhkan
pidana pada terdakwa.
3. Keyakinan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa
memang dapat dipersalahkan kepadanya. Ada dua hal yang dapat
membuat seorang terdakwa tidak dipidana yaitu ada alasan
pembenar dan pemaaf pada dirinya. Jika tidak ditemukan dua alasan
ini pada diri terdakwa, hakim dapat memperoleh keyakinan bahwa
terdakwa dapat dipersalahkan atas tindakan yang dilakukannya dan
dapat dijatuhkan pidana. Apabila hakim tidak meperoleh keyakinan
pada tingkat ini, berarti hakim tidak yakin terdakwa dapat
dipersalahkan atas tindak pidana yang dilakukannya. Maka pidana
tidak akan dijatuhkan melainkan menjatuhkan pelepasan dari segala
tuntutan hukum.
Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa sistem pembuktian negatif
sebaiknya dipertahankan karena dua alasan yaitu yang pertama, memang sudah
selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat
menjatuhkan suatu hukuman pidana. Janganlah hakim terpaksa memidana orang
sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah
jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada
patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan
peradilan.12
Dalam hukum acara perdata, sistem pembuktian yang dianut adalah
positif, artinya pembuktian hanya melihat pada alat bukti saja, yakni yang telah
ditentukan dalam undang-undang. Surat gugatan dapat dikabulkan apabila
didasarkan pada alat bukti yang sah. Jadi dalam sistem pembuktian ini, keyakinan
hakim sama sekali diabaikan. Apabila suatu gugatan sudah memenuhi syarat alat
bukti yang sah sesuai dengan ketentuan undang-undang, maka gugatan harus
dikabulkan. Jadi, dalam sistem pembuktian hukum acara perdata yang dicari
adalah kebenaran formil, tidak seperti hukum acara pindana yang mencari
kebenaran materil.13
12 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Atjara Pidana di Indonesia (Jakarta: Sumur Bandung, 1967) hlm 77.13 Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 200) hlm. 25-26.
2.4 Sistem Pembuktian di Australia
Di Australia terdapat dua macam pengadilan yaitu untuk pelanggaran
yang ringan dan kejahatan yang lebih serius. Hal ini dibedakan berdasarkan sifat
pembuktiannya, untuk kejahatan yang lebih serius biasanya pembuktiannya lebih
sulit dan memakan proses yang panjang dibandingkan pada pelanggaran ringan.
2.4.1 Pengadilan Untuk Pelanggaran Ringan (Summary Offences)
Merupakan perkara yang paling umum di temui di Australia. Perkara ini di
adili dan diputus pada Magistrates Court14 yang dipimpin satu orang hakim saja.
Seseorang yang dituntut karena pelanggaran ringan disebut dengan terdakwa,
dan penuntutan dalam Magistrates Court dilakukan oleh Jaksa Polisi yang
umumnya dikenal dengan “complainant”. Sesuai dengan adversarial system,
maka pihak-pihak yang berperkara disini adalah Jaksa Polisi dan Terdakwa.
Tuntutan bisa dilakukan atas dasar keyakinan penuntut bahwa
tuntutannya akan menghasilkan putusan di pengadilan. Selain itu masyarakat
juga bisa melakukannya atas dasar masyarakat ingin sebuah perkara diselesaikan
di pengadilan, caranya adalah seseorang hanya perlu menyampaikan adanya
keluhan (complaint) kepada petugas pengadilan di Magistrates Court15. Untuk
jenis pelanggaran ini, batas untuk mengajukan tuntutan adalah dua tahun.
Kepolisian mempunyai keleluasaan untuk memutuskan apakah akan menuntut
berdasarkan complaint tersebut16.
Pada persidangan pertama di pengadilan, tuntutan terhadap terdakwa
dibacakan dengan jelas. Biasanya pada persidangan pertama ini terdakwa tidak
diijinkan untuk mengajukan pembelaan tanpa didampingi penasihat hukum. Jadi
kemungkinan yang bisa diambil oleh terdakwa adalah;
14 Sebuah pengadilan terendah dari sistem pengadilan di Australia yang memiliki yurisdiksi pidana dan perdata yang terbatas, namun dapat memiliki yurisdiksi khusus saat bertindak sebagai Pengadilan Anak.
15 Australia, Summary Procedure Act 1921, s 4916 Ibid., s 52
Meminta agar kasus tersebut ditangguhkan pada waktu yang ditentukan
sampai terdakwa bisa mendapatkan penasihat hukum
Mengaku bersalah, kemudian Hakim akan mencoba menyelesaikan perkara
dan memberi putusan hari itu juga
Memberitahukan Hakim untuk mengajukan pembelaan. Biasanya perkara
ditangguhkan ke pemeriksaan persidangan pada hari lain, jika pengadilan
tidak mempunyai waktu untuk memeriksa kasus secara lanjut atau penuntut
tidak siap mengajukan saksinya.
Dalam persidangan di Magistrates Court selanjutnya, penuntut dan
terdakwa harus berunding secara khusus satu sama lain untuk menentukan
bahwa sebuah kasus dapat diselesaikan tanpa proses Trial atau pemeriksaan
persidangan. Setelah perundingan dengan terdakwa, penuntut boleh tidak
meneruskan penuntutan ataupun merubah tuntutan agar terdakwa menerima
tuntutan dan mengaku bersalah. Jaksa sebaiknya memberitahu terdakwa dengan
jelas apa yang akan saksi katakan, jadi terdakwa dapat membayangkan apakah
dia masih akan melakukan pembelaan. Sementara itu terdakwa tidak harus
menunjukkan kepada Jaksa tentang pembelaannya atau tentang apa saja bukti-
bukti yang akan ia hadirkan di Trial. Jika perundingan ini tidak bisa
menyelesaikan sebuah kasus maka dimulai lah proses Trial.
Pada proses Trial, Jaksa harus membuktikan bahwa terdakwa melakukan
pelanggaran dan juga terdakawa mengerti apa yang ia lakukan, pembuktian ini
harus dilakukan dengan tanpa ragu (beyond reasonable doubt). Untuk memulai
pemeriksaan, terdakwa ditanyakan bagaimana responnya terhadap tuntutan,
jika masih membela dan menganggap tidak bersalah, Jaksa selanjutnya harus
mengajukan lagi argumennya. Jaksa akan memberikan ringkasan singkat dari
tuntutannya dan memberi tahu berapa banyak saksi yang akan dihadirkan.
Selanjutnya petugas kepolisian dan saksi-saksi dipanggil satu persatu
untuk memberikan keterangan mereka yang terlebih dahulu disumpah. Lalu
Jaksa bertanya seluruh hal yang perlu diketahui di dalam persidangan dan
setelah selesai terdakwa dapat melakukan pemeriksaan kembali terhadap saksi.
Untuk memutuskan apakah terdakwa bersalah atau tidak, Hakim hanya dapat
mempertimbangkan kembali bukti-bukti yang dihadirkan dalam persidangan
termasuk keterangan yang diberikan oleh saksi dibawah sumpah. Jika Jaksa atau
terdakwa keberatan dengan informasi tertentu yang diberikan, Hakim harus
memutuskan apakah informasi tersebut memenuhi Rules of Evidence (suatu
aturan mengenai bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan). Apabila
memenuhi, maka informasi tersebut termasuk ke dalam bukti dan Hakim dapat
mempertimbangkannya dalam mengambil keputusan. Sebaliknya bila tidak
memenuhi maka informasi tersebut tidak termasuk ke dalam bukti yang sah.
Ketika semua saksi yang dihadirkan Jaksa telah memberikan keterangan
dan argument-argumennya telah ditutup, terdakwa dapat meminta hakim untuk
menolak tuntutan Jaksa dengan alasan Jaksa tidak dapat memberikan bukti yang
kuat. Jika Hakim setuju maka tuntutan digugurkan dan kasus selesai. Sementara
jika tidak setuju, terdakwa harus memberikan argumennya.
Lain halnya dengan Jaksa, terdakwa tidak harus membuktikan bahwa dia
tidak bersalah dan tidak wajib untuk menghadirkan bukti apapun. Terdakwa
dimungkinkan untuk menunjukkan inkonsistensi dan kelemahan tuntutan Jaksa
dan menganggap tuntutan tersebut tidak dapat membuktikan bahwa ia
bersalah. Terdakwa dapat juga bersaksi dibawah sumpah dan memanggil saksi-
saksi lainnya untuk kepentigan pembelaannya. Dalam teorinya, beban
pembuktian pada pengadilan di Australia adalah beban pembuktian biasa,
namun sebenarnya terdakwa pun diberikan hak untuk membuktikan bahwa
dirinya tidak bersalah atas tuduhan. Setelah semua bukti atau keterangan
diperdengarkan, Jaksa dan terdakwa mempunyai hak untuk berbicara kepada
hakim mengenai mengapa terdakwa harus atau tidak harus dinyatakan bersalah
atas tuduhan. Jaksa selalu didahulukan dalam hal ini.
Setelah semuanya selesai, Hakim berkewajiban untuk memutuskan
apakah terdakwa bersalah atau tidak. Tetapi Hakim berhak untuk menundanya
untuk mempertimbangkan kesalahan yang dituduhkan terhadap terdakwa. Jika
ada keraguan bahwa terdakwa bersalah, maka tuduhan akan dibatalkan. Namun
jika terbukti terdakwa bersalah menurut pengamatan hakim, maka aka nada
hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa.
2.4.2 Pengadilan Untuk Kejahatan Serius
Ada dua kategori untuk perkara ini yaitu Major Indictable Offences dan
Minor Indictable Offences.
Major Indictable Offences harus disidangkan di District Court atau
Supreme Court. Persidangan ini dilakukan dihadapan Hakim dan Juri, kecuali
terdakwa memilih untuk menjalani sidang hanya dengan Hakim saja. Kasus yang
dapat ditangani dalam pengadilan ini misalnya, pembunuhan, perampokan, dan
pemerkosaan atau yang dendanya melebihi $30000. Sementara itu Minor
Indictable Offences disidangkan di Magistrates Court dimana tidak terdapat juri,
kecuali terdakwa mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi (District
Court atau Supreme Court).
Awalnya hakim akan mengadakan pemeriksaan pendahuluan untuk
mengetahui apa tuntutan jaksa. Jika terdakwa langsung mengakui kesalahan
yang dituduhkan maka hakim akan melimpahkan kasus tersebut ke Distrcit Court
atau Supreme Court untuk dilakukan penghukuman. Jika atas tuduhan tersebut
terdakwa tidak mengaku bersalah, maka pre-trial conference akan dilakukan.
Dalam kondisi ini terdakwa atau penasihat hukumnya wajib untuk hadir. Hakim
akan mengadakan sidang lagi untuk mempertimbangkan apakah kasus tersebut
dapat diselesaikan tanpa proses Trial. Hasil persidangan tersebut mungkin dapat
berupa;
Director of Public Prosecutions (DPP) setuju untuk menarik beberapa
tuntutan karena terdakwa mungkin akan mengaku bersalah
DPP mungkin akan setuju untuk mengubah tuntutan menjadi lebih sedikit
lebih ringan agar terdakwa mengaku bersalah
DPP dapat dibujuk untuk mempertimbangkan kembali bukti dan memeriksa
kembali saksi-saksi, dan selanjutnya memutuskan untuk tidak melanjutkan
kembali penuntutannya
Terdakwa dapat mempertahankan pernyataan tidak bersalah atas seluruh
tuntutan.
Proses Pre-trial ini pun dapat diundur jika hakim merasa bahwa negosiasi
dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut atau hakim merasa
bahwa DPP harus melengkapi materi dalam tuntutannya.
Pada proses Trial, penuntut dan terdakwa diharapkan sudah
mempersiapkan dengan matang seluruh bukti yang dimiliki, termasuk saksi yang
akan dihadirkan dalam persidangan.
Jaksa awalnya membuat pernyataan terbuka kepada juri dan kemudian
memanggil para saksi satu persatu. Sebelumnya para saksi harus disumpah agar
mengatakan yang sejujurnya. Kemudian jaksa bertanya kepada saksi yang
mungkin nantinya akan ditanya/diperiksa kembali oleh penasihat hukum
terdakwa. Jika jaksa atau terdakwa keberatan dengan informasi tertentu yang
diberikan kepada juri, hakim harus memutuskan apakah hal tersebut sesuai
dengan aturan. Kalau sesuai maka informasi tersebut termasuk dalam bukti yang
sah dan juri dapat mendengar dan bertindak atas dasar bukti tersebut.
Sebaliknya, jika tidak sesuai maka hal tersebut tidak termasuk dalam bukti yang
sah.
Sama seperti dalam persidangan pelanggaran ringan, no case to answer
dapat terjadi. Yaitu ketika pengajuan oleh salah satu pihak bahwa pihak lain
telah gagal membangun sebuah kasus untuk menuntut (kasus prima facie). Pada
kondisi ini juri dipersilahkan keluar ruang sidang dahulu. Bedanya dalam perkara
ini, terdakwa meminta kepada hakim untuk memberitahu juri bahwa penuntutan
yang dilakukan tidak memiliki bukti-bukti yang kuat. Bila hakim setuju, juri akan
dipanggil kembali ke ruang sidang dan hakim mengharuskan juri untuk
memutuskan terdakwa tidak bersalah. Maka kasus tersebut selesai dengan
putusan bahwa terdakwa tidak bersalah. Sementara itu jika hakim tidak setuju,
sama seperti pada pelanggaran, terdakwa wajib memberikan argument-
argumennya kepada juri.
Beban pembuktian pada perkara kejahatan ini sama seperti perkara
pelanggaran. Jaksa harus membuktikan tanpa ragu bahwa terdakwa bersalah,
sebaliknya terdakwa tidak harus menghadirkan fakta-fakta. Terdakwa dapat
membantah bahwa bukti-bukti dari jaksa tidak membuktikan bahwa ia bersalah
atau tidak memenuhi beyond reasonable doubt. Terdakwa dapat pula
membantah dengan menerangkan alibinya. Setelah semua fakta telah diberikan,
maka hakim menyimpulkan kasus kepada juri, menjelaskan hukum yang berlaku
terhadap kasus tersebut, dan kemudian juri melakukan perundingan secara
khusus di ruang juri untuk memberikan putusan. Putusan yang diambil adalah
putusan bersama atau minimal sepuluh keputusan yang sama diantara para juri,
dan kemudian keputusan tersebut diterima setelah empat jam, kecuali terdakwa
sedang diadili dalam kasus pembunuhan atau pengkhianatan.17
Juri dalam trial mendengarkan fakta, bukti, dan petunjuk, dan
memutuskan siapa yang harus dipercayai. Mereka adalah satu-satunya pihak
yang dapat menentukan apakah terdakwa bersalah atau tidak. Setelah juri
mencapai sebuah keputusan, maka sejak saat itu peran juri sudah selesai. Jika
juri menyatakan terdakwa bersalah, maka selanjutnya hakim akan mengambil
alih untuk menghukum terdakwa.
2.5 Sistem Pembuktian di Belanda
Belanda memiliki 2300 hakim, baik di pengadilan tingkat pertama
maupun banding. Untuk penyelenggaraan peradilan terdapat 5000 staf dan yang
mengatur sarana prasarana sekitar 1500 staf. Perkara yang masuk ke pengadilan
sekitar 2 juta meliputi semua jenis perkara(tidak termasuk perkara lalu lintas), 66
% gugatan di kantongerechten, 14% perdata, 10 % di sektor pidana, hukum
17 Australia, Juries Act 1927, s 57
administrasi 6%. Dibandingkan Negara lain di Eropa, di Belanda rata-rata
masyarakat bisa menerima putusan pengadilan tingkat pertama. Terdapat 19
pengadilan tingkat pertama, 5 pengadilan banding. Di setiap pengadilan banding
terdapat 250-300 karyawan dan 60-70 hakim. Untuk pengadilan administrasi
tingkat banding ada 2 pengadilan, yaitu yang mengurus urusan jaminan sosial,
satu lagi mengurus masalah-masalah komersial. Puncak tertingginya adalah Hoge
Raad. Sedangkan puncak tertinggi pengadilan administrasi adalah Raad van
State.
Pengadilan tingkat pertama membawahi 4 sektor:
1. Sektor gugatan kecil (small claim) yang diperiksa oleh hakim tunggal;
2. Sektor pedata/hukum keluarga yang pada masa lalu semuanya ditangani
3 hakim tapi sekarang ditangani cukup dengan hakim tunggal;
3. Sektor pidana untuk perkara sederhana yang diperiksa oleh hakim
tunggal, yaitu untuk perkara dengan ancaman hukuman di bawah 1
tahun, sedangkan perkara yang lebih kompleks ditangani oleh 3 hakim.
4. Sektor hukum administrasi negara, di tingkat pertama diperiksa oleh
hakim tunggal.
Pada tahun 2002 berdiri sebuah organisasi yaitu RvR. Peran RvR adalah
menjembatani parlemen (politik) dan menjamin kemandirian peradilan. RvR
bertanggung jawab pada masalah personil, keuangan dan organisasi pengadilan
juga mengawasi kualitas putusan yang sebenarnya tetap di bawah tanggung
jawab masinng-masing hakim. RvR juga menjamin fasilitas persidangan misalnya
tempat sidang dan gedung. Dengan demikian Mahkamah Agung (Hoge Raad) di
Negara Belanda hanya berwenang melaksanakan fungsi yuridis sedangkan Raad
vor de Rechtspraak berfungsi melaksanakan tugas-tugas administrasi dan
organisatoris. Angggota Komisi terdiri dari Hakim dan non Hakim. Komisi
Peradilan (Raad voor de rechtspraak) adalah bagian dari sistem peradilan, tetapi
tidak melakukan tugas-tugas peradilan itu sendiri. Komisi ini mengambil alih
tanggung jawab atas sejumlah tugas dari Menteri Kehakiman, yaitu tugas-tugas
organisatorial dan administrasi pengadilan, termasuk alokasi anggaran,
pengawasan manajemen keuangan, kebijakan personalia, teknologi komunikasi
dan fasilitas perumahan. Komisi ini mendukung pengadilan dalam melaksanakan
tugas mereka di wilayah operasional pengadilan. Selain itu, Komisi bertugas
untuk meningkatkan kualitas sistem peradilan dan memberikan saran terhadap
suatu undang-undang baru yang memiliki implikasi kepada pelaksanaan fungsi
pengadilan. Komisi juga bertindak sebagai juru bicara pengadilan pada tingkat
nasional dan internasional. Komisi memiliki peran penting dalam hal
mempersiapkan, melaksanakan dan mengelola anggaran pengadilan. Komisi
mengelola anggaran dengan berdasarkan pada sistem pengukuran beban kerja.
Ruang lingkup tugas Komisi secara khusus meliputi kebijakan personal, fasilitas
perumahan, teknologi informasi dan urusan eksternal pengadilan. Budget
pengadilan menjadi bagian dari budget Menteri Kehakiman tetapi menjadi
lampiran tersendiri. Budget ditentukan berdasarkan perhitungan biaya per
perkara yang telah ditangani (performance based). Berbeda dengan MA yang
menyusun anggaran berdasarkan biaya perkara yang akan ditangani. Kemudian
ditentukan berapa yang kira-kira akan dapat diselesaikan oleh semua pengadilan.
Kemudian RvR mengatur pendistribusian budget ke seluruh pengadilan. Khusus
untuk anggaran Hooge Raad dan Raad van State tidak diajukan oleh RvR
melainkan langsung diajukan sendiri oleh MA dan RvS ke Menkeh.
Komisi memiliki beragam kewenangan yang diatur oleh peraturan
perundangan. Sebagai contoh, Komisi diberdayakan untuk mengeluarkan
instruksi yang mengikat pengadilan tentang kebijakan di bidang adminsitrasi dan
organisatoris pengadilan. Meski demikian Komisi berupaya untuk tidak terlalu
sering melakukan kewenangan di bidang ini. Komisi juga bertugas untuk
mendukung kegiatan seleksi, rekrutmen dan pelatihan aparat peradilan. Hal ini
tentu dilakukan agar adanya pihak yang netral agar kualitas peradilan serta
aparaturnya terjaga. Ini menyebabkan Komisi perlu berkonsultasi erat dengan
pimpinan pengadilan, selain itu, Komisi memiliki peran yang signifikan dalam
pengambilan keputusan untuk pemilihan pimpinan pengadilan. Tugas Komisi
karena berkaitan dengan mendorong peningkatan kualitas dari sistem peradilan
juga termasuk di dalamnya adalah untuk mendorong penerapan kesatuan
hukum dan meningkatkan kualitas peradilan. Namun demikian, mengingat
kewenangan ini tumpang tindih dengan substansi/isi putusan pengadilan, maka
Komisi tidak memiliki kekuatan memaksa di wilayah kewenangan ini. Komisi juga
memiliki tugas memberikan pertimbangan. Dalam tugas ini Komisi dapat
memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah tentang undang-
undang baru yang memiliki implikasi untuk sistem peradilan. Proses ini
berlangsung melalui konsultasi yang intensif dan berkelanjutan dengan para
pimpinan pengadilan. Komisi juga bertindak sebagai juru bicara untuk organisasi
Peradilan baik di tingkat nasional dan internasional dan memenuhi tugas-tugas di
bidang kerjasama internasional. Komisi Kehakiman terdiri dari empat anggota,
dua di antaranya berasal dari peradilan dan dua di antaranya yang sebelumnya
memegang posisi senior di sebuah lembaga pemerintahan. Komisi memiliki Biro
untuk membantu dalam kegiatan dan untuk melaksanakan berbagai tugas yang
mungkin diperlukan.
Untuk menjadi anggota RvR maka proses yang dilalui adalah sebagai
berikut:
RvR mengajukan nominasi dengan tim Seleksi berasal dari peradilan
ke Menkeh
Menkeh menyampaikan nominasi tersebut kepada Ratu
Anggota RvR diangkat oleh Ratu
Anggota Komisi diangkat oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang
didasarkan pada rekomendasi nominasi dari Menteri Kehakiman.
Daftar nominasi ini dibuat oleh Menteri Kehakiman dengan
berkonsultasi lebih dahulu dengan dengan Komisi dan pimpinan
peradilan. Anggota Komisi bertugas selama enam tahun dan dapat
diperpanjang selama tiga tahun. Bagi anggota yang berasal dari
pengadilan akan kembali ke pengadilan. Komisioner RvR bekerja
secara full time dan didukung oleh hampir 150 staf.
Prosedur pembuktian pada Hukum Acara Belanda berlangsung dari
prinsip bahwa ‘siapa pun menegaskan fakta harus membuktikan itu’. Dengan
kata lain, setiap pihak yang bersengketa akan diminta untuk memberikan bukti
fakta untuk menegaskan fakta yang diungkapkannya. Tapi pada beberapa
kesempatan beban pembuktian mungkin terletak berbeda di bawah aturan
hukum tertentu yang berlaku atau berdasarkan prinsip kewajaran dan keadilan.
Fakta yang dituduhkan oleh salah satu pihak dan tidak dibantah oleh pihak lawan
dianggap oleh pengadilan sebagai terbukti. Tapi ada pengecualian, yaitu situasi di
mana menerima ini akan memerlukan konsekuensi hukum yang tidak bebas
tersedia untuk para pihak. Dalam hal bahwa pengadilan dapat menuntut bukti.
Bukti tidak diperlukan untuk fakta atau keadaan yang dianggap universal
dikenal atau aturan pengetahuan umum.'Fakta atau keadaan yang dianggap
universal dikenal' berarti fakta atau keadaan yang orang pada umumnya sudah
tahu atau bisa tahu. 'Aturan pengalaman umum' berarti hubungan kausal bahwa
semua orang mengetahui hal tersebut. Dan tidak perlu pula membuktikan fakta-
fakta yang didapat pengadilan selama proses persidangan. Pengadilan dapat
dengan bebas memeriksa bukti-bukti yang diajukan, namun harus tetap
berpegang pada undang-undang yang berlaku.
Belanda menganut system pembuktian Negatif Wettelijk. Pada system
tersebut hakim hanya boleh menjatuhkan pidana bila terdapat paling tidak dua
alat bukti yang telah tercantum dalam undang-undang ditambah keyakinan
hakim yang diperoleh dari adanya alat-alat bukti tersebut18. Belanda juga
menganut Non-adversarial system. Pada system ini, hakim bersifat aktif dalam
mencari kebenaran. Hakim dapat mengajukan pertanyaan kepada terdakwa
ataupun saksi, dan keyakinan hakim dianggap sebagai alat bukti sah, namun
18 Darwan Prints, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002) hlm.7.
tetap dibatasi oleh undang-undang yang berlaku. Pada system Belanda, Jaksa
Penuntut Umum berada langsung dibawah pengawasan Menteri Kehakiman.
Sedangkan Kepolisian berada langsung dibawah pengawasan Jaksa Penuntut
Umum.
2.6 Sistem Pembuktian Dalam Hukum Islam
Hukum Islam merupakan salah satu bentuk sistem hukum yang mulai
berkembang sejak kelahiran agama islam pada abad ke 6 Masehi. Hukum islam
merupakan bagian dari ajaran agama islam. Hal ini dikarenakan agama islam
dalam ajarannya melingkupi pengaturan mengenai hubungan antara manusia
dengan tuhannya dan hubungan antara manusia dengan sesama makhluk tuhan.
Aturan tersebut yang nantinya akan menjadi hukum dalam islam yang memiliki
sumber utama yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Hukum islam itu sendiri dapat
dikategorisasikan kedalam beberapa cabang hukum seperti hukum tata negara,
hukum perdata, hukum internasional, dan hukum pidana, yang nantinya akan
dibahas lebih lanjut terkait sistem pembuktian dalam hukum pidana islam.
Sebelum membahas tentang sistem pembuktian dalam hukum islam,
maka terlebih dahulu akan dibahas mengenai bentuk-bentuk tindak pidana
dalam hukum islam karena hal tersebut berkaitan dengan sistem pembuktian
dalam hukum islam. Didalam hukum islam tindak pidana atau dikenal dengan
istilah jarimah dibagi menjadi tiga bentuk yaitu:
a) Jarimah Hudud
b) Jarimah Qisas Diyat
c) Jarimah Ta’zir
Pembagian Jarimah diatas didasarkan dari segi hukumannya yang diterima.
a) Jarimah Hudud
Merupakan jarimah yang hukumannya sudah ditentukan oleh Allah SWT terkait
bentuk dan banyaknya dan merupakan hak Allah SWT yang artinya hukuman
tersebut tidak dapat dihapus oleh siapapun.19 Menurut Abdul Qader Oudah
hukuman hudud ini dilakukan tanpa adanya pertimbangan dari keluarga atau
kelompok korban dan berdasarkan kepribadian pelaku. Selain itu hakim juga
tidak berhak memaafkan atau mengurangi hukuman hudud ini. Bentuk jarimah
yang masuk kedalam jarimah hudud ini antara lain berzina, menuduh berzina,
mencuri, merampok, memberontak, murtad, minum minuman keras / khamr,
melakukan kerusakan di muka bumi. Alasan mengapa hukuman jarimah
merupakan hukuman yang harus dilaksanakan karena hal-hal yang dikategorikan
kedalam jarimah hudud merupakan hal-hal yang mengganggu lima tujuan dari
agama islam (al-maqasid al-khamsah). Isi dari al-maqasid al-khamsah ini antara
lain agama, keturunan, akal, jiwa, dan harta.20
b) Jarimah Qisas Diyat
Merupakan jarimah yang pelakunya karena perbuatannya diancam hukuman
qisas atau diyat yang mana telah ditentukan batasnya.21 Diyat biasanya berupa
denda atau sejumlah barang atau uang yang harus dibayarkan oleh pelaku
kepada keluarga korban atas apa yang sudah dilakukannya. Yang termasuk
jarimah qisas diyat antara lain adalah pembunuhan sengaja, pembunuhan
menyerupai sengaja, pembunuhan karena sengaja, penganiayaan sengaja, dan
penganiayaan tidak sengaja.22
c) Jarimah Ta’zir
Jarimah ta'zir merupakan bentuk hukuman dalam islam yang berasal dari
pemikiran akal yang berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah karena tidak diatur
secara langsung atau belum diatur oleh kedua sumber tersebut. Karenanya Ta'zir
merupakan bentuk hukuman islam yang dapat dikembangkan disesuaikan
19 Topo Santoso SH. MH, Wismar ‘Ain Marzuki SH. MH, Neng Djubaedah SH. MH, Sulaikin Lubis SH. MH, Aspek Pidana Dalam Hukum Islam, Cet.1 (Jakarta: Cintya Press. 2005). Hal. 320 Prof. H. Mohammad Daud Ali S.H, Hukum Islam, Cet.6(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2006). Hal. 61.21 Topo Santoso SH. MH, Wismar ‘Ain Marzuki SH. MH, Neng Djubaedah SH. MH, Sulaikin Lubis SH. MH, Aspek Pidana Dalam Hukum Islam, Cet.1 (Jakarta: Cintya Press. 2005). Hal. 322Ibid. Hal. 153
dengan kondisi dan keadaan. Menurut Al-Mawardi definisi dari ta’zir adalah
hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang ditentukan hukumannya
oleh syara’”.23 Sebagaimana artinya yaitu memberi pengajaran, maka prinsip
dasar dari jarimah ta'zir adalah restoratif dan pembinaan, rehabilitasi.24
Hukuman ta’zir ini ditentukan oleh penguasa setempat yang berwenang dan
tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat dan syariah.
Dalam Hukum Pidana Islam sistem pembuktian yang digunakan tidak
menganut mutlak empat teori sistem pembuktian pada umunya yaitu sistem
teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif, berdasarkan
keyakinan hakim saja, berdasarkan keyakinan hakim yang didukung oleh alasan
yang logis, dan berdasarkan undang-undang negatif.25 Hal ini disebabkan untuk
tiap kasus sistem pembuktiannya berbeda didasarkan pada bentuk tindak
pidananya. Contohnya adalah dalam pembuktian kasus zina yang pembuktiannya
dapat menggunakan persaksian, pengakuan, dan qarinah. Sedangkan untuk
kasus pembunuhan selain ketiga alat bukti dapat pula digunakan sumpah
(qasamah). Berdasarkan contoh tersebut maka dapat dilihat bahwa terdapat
perbedaan cara pembuktian. Pada umumnya pada kasus-kasus tindak pidana
atau jarimah hudud digunakan alat bukti pengakuan, persaksian, dan qarinah
(alat bukti). Karenanya dalam pembuktian hukum pidana islam lebih ditekankan
pada alat bukti yang digunakan untuk membuktikan tindak pidana tersebut.
Berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah, dan Ijtihad beberapa ulama dan fuqaha maka
terdapat beberapa jenis alat bukti yang dapat digunakan dalam pembuktian
hukum islam antara lain adalah pengakuan, persaksian, sumpah (al-qasamah),
dan petunjuk (qarinah).26 Terkait alat bukti ini juga terdapat perbedaan pendapat
terkait jenis-jenis alat bukti yang dapat digunakan untuk tindak pidana atas jiwa
(pembunuhan), bukan jiwa (pelukaan), dan atas janin atau yang termasuk
23 Abu Al-Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Khamsah As-Sulthaniyah, Cet.3 (Beirut: Mushthafa Al-Baby. Tanpa tahun). Hal.23624 Ibid. Hal. 425 Prof. Dr. Andi Hamzah, SH, Hukum Acara Pidana Indonesia (edisi revisi), cet.1 (Jakarta: Sinar Grafika. 2001). Hal. 245.26 Abd Al-Qadir Audah, at-tasyri al-jinaiy al-islamiy, juz II, (Dar al-kitab al-a’rabi, beirut, tanpa tahun).Hal. 303
kedalam jarimah qisas diyat. Pandangan pertama, menurut para jumhur ulama,
untuk pembuktian qisas dan diyat dapat digunakan 3 cara alat pembuktian yaitu
pengakuan, persaksian, dan al-qasamah. Sedangkan pendapat kedua, menurut
sebagian fuqaha seperti ibnu al-qayyim dari mahzab hanbali, untuk pembuktian
jarimah qisas dan diyat digunakan empat alat pembuktian yaitu pengakuan,
persaksian, al-qasamah (sumpah), dan qarinah (petunjuk).27
Berikut adalah pembahasan terkait jenis-jenis alat bukti yang biasa
digunakan dalam hukum pidana islam:
1) Pengakuan (Iqrar):
Definisi dari pengakuan menurut arti bahasa adalah penetapan.
Sedangkan berdasarkan definisi dari syara’ “pengakuan atau iqrar adalah suatu
pernyataan yang menceritakan tentang suatu kebenaran atau mengakui
kebenaran tersebut”.28 Dasar hukum dari pengakuan ini disebutkan dalam
beberapa ayat Al-Quran dan Hadist. Ayat Al-Quran yang menyebutkan hal
tersebut antara lain:
Q.S. An-Nissa ayat 153
"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah SWT biarpun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu…"
Q.S. Ali-Imran ayat 81
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para Nabi: “Sungguh,
apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah,…”. Allah
berfirman: “apakah kamu mengakui dan menerima perjanjianKu terhadap yang
demikian itu?” mereka menjawab: “Kami mengakui.” Allah berfirman: “Kalau
begitu saksikanlah (hai para Nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu.”
Sedangkan hadist yang menjadi dasarnya adalah:
27 Ibid.28 Ibid.
Hadist Al-Asif
“…Dan pergilah kamu hai Unais untuk memeriksa istrinya laki-laki ini, apabila ia
mengaku (berzina) maka rajamlah dia.” (Muttafaq alaih)
HR. Ahmad dan Abu Dawud
“Dari Sahl ibn Sa’ad bahwa seseorang laki-laki telah datang kepada Nabi SAW,
kemudian ia mengatakan bahwa ia telah berzina dengan seseorang perempuan
yang ia sebutkan namanya. Nabi SAW kemudian mengutus seorang sahabat
untuk mengambil perempuan tersebut, Nabi kemudian bertanya kepada
perempuan tersebut mengenai apa yang dikatakan oleh laki-laki tadi, tetapi
perempuan tersebut mengingkarinya. Akhirnya, nabi menghukum laki-laki
tersebut dan membebaskan perempuan yang tidak mengaku.” (HR Ahmad dan
Abu Dawud).
Hadist mengenai Ma’iz (Hadist Riwayat Bukhari)
“Barangkali engkau hanya menciumnya, atau meremas-remasnya, atau
memandangnya? Ma’iz menjawab: tidak, ya Rasulullah.” (HR Bukhari)
Alat bukti pengakuan dalam hal pembuktian hanya berlaku bagi orang yang
menyatakan pengakuan itu. Apabila dalam pengakuannya disebutkan nama
orang lain yang juga melakukan tindak pidana maka hal tersebut tidak termasuk
kedalam pengakuan, melainkan persaksian.29 Walaupun demikian, pengakuan
sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama dan fuqaha, merupakan alat
bukti yang memiliki kekuatan yang paling kuat dibandingkan alat bukti yang
lainnya. Hal ini didasarkan pada prinsip dasar bahwa manusia tidak akan
melakukan kebohongan yang akan merugikan dirinya terkait pengakuan ini.
Penggunaan pengakuan sebagai alat bukti memiliki syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh pengakuan tersebut. Syarat-syarat tersebut antara lain adalah
berupa pengakuan yang jelas, terperinci, pasti, serta tidak dapat menimbulkan
29 Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,cet.1 (Jakarta: Sinar Grafika. 2005). Hal.229.
tafsiran lain terkait tindak pidana yang dilakukannya. Selain itu juga dalam
pengakuan tersebut perlu disebutkan hal-hal yang berkaitan seperti waktu,
tempat, cara melakukannya, dan lain sebagainya sehingga pengakuan tersebut
memiliki suatu kejelasan dan kepastian tanpa adanya dugaan atau tafsiran tindak
pidana di luar yang dilakukan olehnya. Dasar hukum dari syarat tersebut adalah
hadist mengenai kisah Ma’iz yang isinya adalah:
“Barangkali engkau hanya menciumnya, atau meremas-remasnya, atau
memandangnya? Ma’iz menjawab: tidak, ya Rasulullah.” (HR Bukhari)
Pengakuan juga harus disampaikan tanpa adanya paksaan dan disampaikan oleh
orang yang memiliki akal yang sehat.30
2) Persaksian (syahadat):
Menurut Wahbah Zuhaili definisi dari persaksian adalah:
“persaksian adalah suatu pemberitahuan (pernyataan) yang benar untuk
membuktikan suatu kebenaran dengan lafazd syahadat di depan pengadilan”.31
Persaksian merupakan salah satu alat bukti yang penting dalam pembuktian
hukum pidana islam. Hal ini dikarenakan persaksian dapat menjadikan
pembuktian lebih objektif karena adanya saksi yang menguatkan. Saksi juga
menjadi kunci dalam pembuktian dalam suatu tindak pidana apabila pelaku tidak
mengaku. Selain itu apabila salah satu saksi memberikan keterangan yang
berbeda dengan keterangan pelaku maka hal tersebut dapat dijadikan bahan
pertimbangan terkait pembuktian kasus tersebut oleh hakim. Tanpa adanya saksi
ini pada umumnya akan sulit dibuktikan bahwa seseorang telah melakukan suatu
jarimah. Contohnya dalam kasus jarimah zina sebagaimana yang telah disepakati
oleh para ulama berdasarkan ayat Quran yang mengharuskan adanya empat
orang saksi yang melihat langsung kejadian untuk membuktikan suatu jarimah
30Ibid. hal. 230.31 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqih Al-Islami wa Adillatuhu, juz VI (Damaskus: Dar Al-Fik. 1989). Hal. 388
zina. Apabila empat orang saksi ini tidak bisa dihadirkan maka gugurlah tuduhan
zina terhadap tersangka.
Yang menjadi dasar hukum alat bukti persaksian ini antara lain:
Q.S. Al-Baqarah ayat 282:
“..Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di
antaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki maka (boleh) seseorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seseorang lupa,
yang seseorang lagi mengingatkannya”.
Q.S. Ath-Thalaaq ayat 2:
“..Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah..”.
Hadist Riwayat Nasa’i:
Dari ‘Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa anaknya Muhaishah
yang paling kecil diketemukan terbunuh di pintu Khaibar maka Rasulullah SAW
bersabda: “ajukanlah dua orang saksi atas orang yang membunuhnya, nanti
saya akan berikan kepadamu tambang untuk mengqisaskannya..”
Agar persaksian tersebut dapat diterima maka terdapat beberapa syarat-
syarat yang bersifat umum yang harus dipenuhi oleh saksi antara lain adalah
dewasa, berakal, kuat ingatannya, dapat berbicara, dapat melihat, adil, dan
islam. Pembuktian melalui persaksian ini, berdasarkan tindak pidana
pembunuhan dan pelukaan, dapat dibedakan menjadi persaksian untuk tindak
pidana yang hukumannya badaniah dan persaksian untuk tindak pidana yang
hukumannya maliah.32
Jarimah yang hukumannya badaniah:
32 Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,cet.1 (Jakarta: Sinar Grafika. 2005). Hal.232
Jarimah yang hukumannya badaniah bisa berupa qisas atau ta’zir. Terdapat
beberapa perbedaan pendapat terkait persaksian jarimah yang hukumannya
badaniah. Namun pada umumnya para ulama dan fuqaha sepakat bahwa
pembuktiannya harus dengan dua orang saksi laki-laki, dan tidak boleh dengan
seorang laki-laki dan dua orang perempuan, atau seorang saksi Laki-laki
ditambah sumpahnya korban.33
Jarimah yang hukumannya maliah:
Pada umumnya dalam hal persaksian terhadap jarimah yang hukumannya
maliah, seperti diyat atau denda ganti rugi, para ulama dan fuqaha sepakat
bahwa pembuktian dapat dilakukan oleh dua orang saksi laki-laki, atau satu
orang saksi laki-laki dan dua orang saksi perempuan. Pendapat lain menyatakan
bahwa dapat juga pembuktian dilakukan melalui seorang saksi laki-laki dan
sumpah penuntut atau keengganan bersumpahnya terdakwa, atau dua orang
saksi perempuan ditambah sumpah penuntut.
a. Sumpah (Qasamah)
Berdasarkan arti bahasa qasamah adalah sumpah. Sedangkan menurut
Hanafiyah mendefinisikan qasamah “Dalam istilah syara’, qasamah digunakan
untuk arti sumpah dengan nama Allah SWT karena adanya sebab tertentu,
dengan bilangan tertentu, untuk orang tertentu yaitu si terdakwa dan menurut
cara tertentu”.34 Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
qasamah adalah sumpah yang dilakukan berulang-ulang yang dilakukan oleh
keluarga korban untuk membuktikan pembunuhan terhadap keluarganya yang
dilakukan oleh tersangka, atau dilakukan oleh tersangka untuk membuktikan
bahwa ia bukan pelaku pembunuhan.35 Para ulama sepakat bahwa penggunaan
qasamah ini hanya untuk tindak pidana pembunuhan saja. Dasar hukum dari
sumpah ini adalah hadist Nabi Muhammad SAW yaitu:33 Ibid.34 ‘Ala Ad-Din Al-Kasani, Kitab Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartib Asy-Syarai’, (Beirut: Dar Al-Fikr. 1996). Hal. 422.35 Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,cet.1 (Jakarta: Sinar Grafika. 2005). Hal.235
Hadist Riwayat Ahmad, Muslim, Nasa’i:
“Dari Abi Salamah ibn Abd Ar-Rahman dan Sulaiman ibn Yasar dari seorang laki-
laki sahabat Nabi SAW sekelompok kaum Anshar, bahwa sesungguhnya Nabi
SAW menetapkan qasamah (sebagai alat bukti) sebagaimana yang berlaku di
zaman jahiliyah”.
Penggunaan qasamah seperti yang telah disebutkan diatas bahwa para ulama
telah sepakat hanya untuk kasus pembunuhan saja. Namun yang menjadi
perdebatan adalah kapan saat digunakannya qasamah ini. Pendapat pertama
mengatakan bahwa qasamah dilakukan ketika pelaku pembunuhan tidak
diketahui. Sedangkan pendapat kedua adalah ketika pelaku pembunuhan
diketahui karena adanya petunjuk yang mengarah kepadanya.
3) Petunjuk (Qarinah):
Qarinah atau petunjuk menurut definisi dari Wahbah Zuhaili adalah:
“Qarinah adalah setiap tanda (petunjuk) yang jelas yang menyertai sesuatu yang
samar, sehingga tanda tersebut menunjukkan kepadanya”36
Contoh salah satu bentuk dari qarinah adalah hamilnya seorang
perempuan yang belum menikah dalam tindak pidana zina, bau alkohol pada
mulut seseorang dalam jarimah meminum minuman keras. Terwujudnya qarinah
ini harus memenuhi beberapa hal yaitu terdapat suatu keadaan yang jelas dan
diketahui layak untuk dijadikan dasar dan pegangan. Selanjutnya adalah terdapat
hubungan yang menunjukkan adanya keterkaitan antara keadaan yang jelas dan
yang samar.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pembuktian dalam
hukum pidana islam tidak sama antara satu tindak pidana dengan tindak pidana
yang lainnya. Hal ini disebabkan untuk tiap kasus sistem pembuktiannya berbeda
36 Ibid. hal.244
didasarkan pada bentuk tindak pidananya. Yang menjadi kesamaan antara satu
tindak pidana dengan tindak pidana yang lainnya dalam pembuktian adalah jenis
alat bukti yang digunakannya. Selain itu perbedaan dalam pembuktian pidana
islam juga dibedakan berdasarkan jenis tindak pidananya yaitu jarimah hudud,
jarimah qisas diyat, dan jarimah ta’zir. Khususnya jarimah hudud terdapat
perbedaan dalam syarat dan ketentuan alat bukti yang digunakan seperti
pembuktian jarimah zina. Dalam jarimah zina saksi yang harus dimunculkan
minimal empat orang laki-laki, berbeda dengan syarat minimal saksi pada
jarimah lainnya yang hanya mensyaratkan minimal dua orang laki-laki. Berikut
adalah contoh pembuktian dalam beberapa jenis tindak pidana dalam islam:
A. Tindak pidana pencurian:
Dalam tindak pidana pencurian pembuktiannya dapat dilakukan melalui tiga alat
bukti yaitu persaksian, pengakuan, dan sumpah.
Dengan Persaksian
Pada umumnya syarat untuk persaksian dalam pembuktian tindak pidana
pencurian tidak jauh berbeda dengan syarat persaksian pada umumnya. Saksi
yang diperlukan untuk membuktikan tindak pidana pencurian minimal dua
orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Apabila syarat
tersebut tidak tidak terpenuhi maka pencuri tidak dapat dikenai hukuman.
Dengan Pengakuan
Pengakuan dalam tindak pidana pencurian cukup dinyatakan satu kali dan tidak
perlu diulang-ulang.
Dengan sumpah
Sumpah dapat dilakukan oleh sang tersangka bahwa ia melakukan pencurian.
Namun apabila sang tersangka enggan bersumpah maka sumpah tersebut
dapat dikembalikan kepada orang yang kehilangan barang (penuntut).
B. Tindak Pidana Zina
Pembuktian untuk tindak pidana perzinahan dilakukan dengan tiga jenis alat
bukti yaitu pengakuan, persaksian, dan petunjuk.
Dengan Persaksian
Pada prinsipnya alat bukti saksi dalam pembuktian tindak pidana perzinahan
memiliki syarat yang sama dengan alat bukti saksi pada umumnya. Namun ada
beberapa perbedaan seperti jumlah saksi yang harus dihadirkan. Dalam tindak
pidana zina jumlah saksi minimal adalah empat orang. Empat orang saksi ini
harus melihat langsung kejadian. Mereka harus melihat kejadian dengan mata
kepala mereka sendiri. Tidak bisa hanya mendengar kejadian tersebut dari
orang lain, karena nantinya akan menimbulkan keraguan (syubhat) yang dapat
menyebabkan hukuman hudud gugur. Dasar hukum dari syarat saksi ini adalah
surat An-Nisa ayat 15 yang isinya adalah “dan (terhadap) para wanita yang
mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu
(yang menyaksikannya)…”
Dengan pengakuan
Alat bukti memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi , antara lain adalah
pengakuan harus dinyatakan empat kali dan terperinci sehingga menghilangkan
syubhat (keragu-raguan). Namun pada prinsipnya sama dengan alat bukti
pengakuan pada umumnya.
Dengan Qarinah (petunjuk)
Pembuktian menggunakan petunjuk dalam tindak pidana zina dapat berupa
hamilnya seorang wanita yang tidak bersuami.
Demikian pembuktian dalam hukum pidana islam. Dalam hukum pidana islam
sistem pembuktiannya memang berbeda dengan hukum pidana di Indonesia.
Dalam hukum pidana islam setiap tindak pidana bisa jadi memiliki syarat yang
berbeda terkait alat bukti yang digunakan dalam pembuktiannya.
BAB III
KESIMPULAN
Pembuktian merupakan salah satu rangkaian dari proses peradilan yang memiliki peran yang paling penting dalam mentukan bersalah tidaknya seseorang. Cara penentuan tersebut ada bermacam-macam. Ada yang didasarkan pada teori sistem pembuktian pada umumnya yaitu sistem teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif, berdasarkan keyakinan hakim saja, berdasarkan keyakinan hakim yang didukung oleh alasan yang logis, dan berdasarkan undang-undang negatif. Di Indonesia sistem pembuktian yang
digunakan adalah sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif. Sistem pembuktian secara negatif berarti dalam proses pembuktian keputusan bersalah atau tidaknya seseorang didasarkan pada keyakinan hakim yang didukung oleh undang-undang. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam pasal 183 KUHAP yang isinya adalah “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk membuktikan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dibutuhkan minimal dua alat bukti yang sah yang dengan alat bukti tersebut hakim mendapat keyakinannya akan bersalahnya tersangka.
Beban pembuktian di Indonesia menganut beban pembuktian umum / konvensional. Beban pembuktian umum / konvensional merupakan beban pembuktian yang memberikan kewajiban untuk membuktikan suatu tindak pidana kepada penuntut umum karena didasarkan pada asas presumption of innocence. Hal ini diatur didalam pasal 66 KUHAP. Namun untuk tindak pidana tertentu seperti korupsi terdapat penyimpangan berupa berlakunya beban pembuktian yang lain yaitu beban pembuktian terbalik terbatas. Hal ini diatur didalam pasal 37 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Bentuk sistem pembuktian selain yang dianut oleh Indonesia dapat dilihat dari sistem pembuktian di Negara lain seperti Belanda yang menganut Civil Law dan Australia yang menganut Common Law. Di Australia, untuk perkara ringan dan lebih berat dibedakan sistem pengadilan, namun keduanya tetap diusahakan agar perkara dapat diselesaikan tanpa proses persidangan. Jika pada akhirnya akan diproses melalui sidang, maka kedua belah pihak, penuntut dan terdakwa, hadir dalam persidangan dan saling melemparkan bukti dan argumennya masing-masing. Penuntut memberikan bukti dan argumen dengan tanpa ragu yang menjelaskan bahwa terdakwa bersalah. Sementara terdakwa dapat melakukan pembelaan disertai bukti-bukti dan argumen yang mendukung pula. Dalam perkara berat biasanya juri diperlukan untuk memperoleh suatu putusan pengadilan, dan kemudian hakim yang menyimpulkan putusan dan memberi hukuman sesuai dengan aturan yang berlaku. Di Belanda, sistem pembuktiannya menganut sistem pembuktian negatif ( keyakinan hakim namun dibatasi oleh undang-undang). Sifatnya non-adversarial, berarti hakim bersifat aktif dalam mencari kebenaran selama persidangan. Beban pembuktian berada pada pihak yang mendalilkan fakta. Di peradilan Belanda, penuntut umum berada di bawah
pengawasan Menteri Kehakiman, dan Kepolisian berada di bawah pengawasan penuntut umum.
Selain itu ada juga bentuk sistem pembuktian yang tidak termasuk kedalam empat teori sistem pembuktian yang ada yaitu sistem pembuktian dalam hukum pidana islam. Dalam hukum pidana islam sistem pembuktian antara satu jenis tindak pidana dengan tindak pidana yang lainnya berbeda. Yang menjadi persamaan hanyalah jenis alat bukti yang digunakan yaitu persaksian, pengakuan, petunjuk, dan sumpah. Pada umumnya untuk tindak pidana hudud dapat menggunakan alat bukti petunjuk, persaksian,dan pengakuan. Sedangkan untuk sumpah hanya digunakan untuk tindak pidana tertentu seperti pembunuhan dan pencurian. Contohnya dalam kasus tindak pidana zina dengan tindak pidana pencurian. Dalam tindak pidana zina alat bukti yang dapat digunakan adalah pengakuan, persaksian, dan petunjuk. Sedangkan untuk tindak pidana pencurian alat bukti yang dapat digunakan adalah pengakuan, persaksian,dan sumpah. Beban pembuktian dalam hukum pidana islam merupakan hak yang dimiliki oleh kedua belah pihak yaitu penuntut dan pihak yang dituntut.
Dari pembahasan diatas dapat dilihat perbedaan masing-masing dari Sistem dan beban pembuktian dari beberapa negara dan hukum pidana islam. Perbedaan tersebut pada dasarnya dipengaruhi oleh ajaran, budaya dan kondisi dari masing-masing negara dan tempat yang menganutnya. Namun pada prinsipnya keseluruhan sistem pembuktian tersebut memiliki kesamaan tujuan yaitu mencari kebenaran yang sebenar-benarnya sehingga keadilan dapat ditegakkan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Hamzah, Andi, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia: Jakarta 1984.
Harahap, Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Pustaka
Kartini: Jakarta. 1993.
Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam,cet.1. Sinar Grafika: Jakarta. 2005
Santoso, Topo, dkk. Aspek Pidana Dalam Hukum Islam, Cet.1. Cintya Press: Jakarta. 2005.
Prodjohamidjojo, Martiman. Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No.31, Tahun 1999). Mandar Maju: Bandung. 2001
Ingeten, Sri. Peranan Dokter Dalam Pembuktian Perkara Pidana. Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara: Medan. 2008.
Adji, Indriyanto Seno. Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktia. Prof. Oemar Seno Adji, SH & Rekan: Jakarta. 2006
Chazawi, Adami. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Penerbit PT Alumni: Bandung. 2005.
Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Atjara Pidana di Indonesia. Sumur Bandung:
Jakarta 1967.
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam, Cet.6. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
2006.
Prints, Darwan. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Citra Aditya Bakti:
Jakarta. 2002.
Sasangka, Hari. Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata. Penerbit Mandar
Maju: Bandung. 2000.
‘Ala Ad-Din Al-Kasani, Kitab Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartib Asy-Syarai’, (Beirut: Dar
Al-Fikr. 1996
Abu Al-Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Khamsah As-Sulthaniyah, Cet.3 (Beirut:
Mushthafa Al-Baby. Tanpa tahun).
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqih Al-Islami wa Adillatuhu, juz VI (Damaskus: Dar Al-Fik.
1989)
Undang-undang
Australia, Summary Procedure Act 1921.
Australia, Juries Act 1927.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Website
http://www.karyatulisilmiah.com/pengertian-sistem.html