HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN
SYAIKH MUHAMMAD RASYID RIDHA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
M. Andri Iskandar Sholeh
NIM: 1113044000009
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2018 M / 1440 H
ABSTRAK
M. Andri Iskandar Sholeh. NIM: 1113044000009. Hukum Perkawinan Beda
Agama Menurut Pandangan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha. Program Studi
Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2018 M/1440 H. xiv + 65 halaman.
Perkawinan merupakan sesuatu yang urgen dalam kehidupan manusia, terlebih
lagi dalam fenomena hidup yang semakin banyak keberagaman. Sehingga
permasalahan yang sering muncul dan menjadi problem di tengah masyarakat dalam
praktek perkawinan, seperti praktek perkawinan beda agama menjadi sesuatu yang
penting untuk dikaji dan diteliti demi mendapat suatu preskripsi hukum yang tepat dari
status hukumnya yang masih ambigu. Dalam upaya ini, maka meneliti pemikiran salah
satu tokoh yang mencurahkan pemikirannya dalam hal ini, yakni Syaikh Sayid
Muhammad Rasyid Ridha yang diharapkan mampu untuk memberikan preskripsi atas
keambiguan hukum yang ada.
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti, mengkaji, dan mendeskripsikan
pemikiran Syaikh Muhammad Rasyid Ridha terkait konsep ahl al-kitāb dan
pengaruhnya terhadap hukum perkawinan beda agama menurut pemikirannya serta
kemudian dihubungkan dengan konteks keindonesiaan untuk mengetahui relevansi
hukum perekawinan beda agama menurut pendapat Ridha dengan hukum perkawinan
yang berlaku di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif
yang termasuk dalam jenis penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan yang
bersifat deskriftif analitis. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pengumpulan
data kepustakaan (library research).
Dari penelitian ini, dapat diambil kesimpulan bahwa yang termasuk musyrikat
menurut Rasyid Ridha adalah penyembah berhala dari bangsa Arab yang tidak
memiliki kitab suci. Di sisi lain, ahl al-kitāb menurut Rasyid Ridha adalah semua
agama yang memiliki kitab suci yang dijadikan pedoman dalam kehidupannya.
Berdasarkan hal tersebut, perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim
boleh menurutnya. Jika dihubungkan dalam konteks Indonesia maka keempat agama
yang diakui di Indonesia selain Islam menurut Ridha adalah termasuk kelompok ahl
al-kitāb, maka bagi laki-laki muslim diperbolehkan untuk mengawini perempuan-
perempuan mereka. Pendapat yang Rasyid Ridha sampaikan ini jelas tidak sejalan dan
tidak relevan dengan Hukum Perkawinan yang berlaku di Indonesia yang melarang
perkawinan beda agama.
Kata Kunci : Perkawinan Beda Agama, Ahl al-Kitāb, Rasyid Ridha
Pembimbing : Afwan Faizin, MA
vi
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرمحن الرحيم
Assalāmu’alaikum Wr. Wb.
Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang telah
melimpahkan berkah, rahmat, taufik serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpahcurahkan
kepada baginda nabi Muhammad saw, juga kepada keluarga, sahabat, dan kepada
seluruh umatnya di seluruh dunia yang mudah-mudahan mendapat syafā’atnya di
akhirat nanti, terkhusus kita semua.
Penulis merasa bahwa skripsi yang berjudul “HUKUM PERKAWINAN
BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN SYAIKH MUHAMMAD RASYID
RIDHA” ini bukanlah merupakan hasil karya penulis semata, tetapi juga merupakan
hasil bimbingan, bantuan, serta kontribusi dari berbagai pihak, terkhusus kepada
Ayahanda tercinta Radim Miharja dan Ibunda tercinta Ai Rukiyah, serta adik-adik
kandung penulis (Siti Falihatul Fitria dan Mutiara Siti Nurlatifah) yang senantiasa
membantu dan mendoakan, serta memberikan masukan-masukan kepada penulis
dalam menghadapi segala kesulitan dan tantangan yang dialami. Semoga senantiasa
selalu diberikan keberkahan oleh Allah swt. Amin!
Penulis juga merasa bahwa karya skripsi ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak kekurangannya di sana-sini, terutama disebabkan karena keterbatasan
penulis sendiri sebagai manusia biasa, untuk itu kritik dan saran yang membangun
sangat penulis harapkan. Selanjutnya, tidak lupa penulis haturkan banyak terimakasih
kepada seluruh pihak atas segala bimbingan dan kontribusinya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Semoga menjadi catatan amal baik dan mendapatkan
balasan yang sebaik-baiknya dari Allah swt. Amin!
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan
terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
vii
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag, Ketua Program Studi Hukum Keluarga Fakultas
Syariah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta;
3. Indra Rahmatullah, SH.I, MA, Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
4. Afwan Faizin, MA, Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak meluangkan
waktunya untuk memberikan masukan-masukan serta motivasi kepada penulis
dari awal hingga akhir terselasaikannya skripsi ini;
5. Keluarga Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, segenap dosen, karyawan dan staff yang telah banyak
membantu dan memberi pencerahan, serta menyediakan fasilitas-fasilitas yang
memudahkan penulis menjalani studi hingga akhirnya dapat menyelesaikan
skripsi ini;
6. Kepala Perpustakaan dan para Pustakawan Perpustakaan Utama dan
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan dan menyediakan
referensi bagi penulis;
7. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan tahun
2013 yang telah menjadi teman berjuang dalam mencari ilmu;
8. Dr. H. M. Muslih Idris, Lc, MA, Ketua Yayasan Islam Sabilussalam, Prof. Dr.
Suwito, MA, Dewan Penasihat Pesantren Luhur Sabilussalam, Prof. Dr. H. D.
Hidayat, MA, Direktur Pesantren Luhur Sabilussalam, Dr. Dede Abdul Fatah,
SH.I, M.Si, Ketua Pengurus Harian Pesantren Luhur Sabilussalam;
9. Segenap Dosen Pesantren Luhur Sabilussalam, serta rekan-rekan Pengurus
Pesantren Luhur Sabilussalam yang menjadi teman sepengabdian;
10. Rekan-rekan alumni Pesantren Luhur Sabilussalam angakatan ke-20 serta
seluruh alumni dan Keluarga Mahasantri Pesantren Luhur Sabilussalam
viii
(KMPLS) yang terus menemani dan memberi motivasi kepada penulis untuk
terus berjuang menyelesaikan studi;
11. Rekan-rekan Keluarga Alumni Asshiddiqiyah (KAA) Regional Jabodetabek
dan rekan-rekan Keluarga Mahasiswa Islam Karawang (KMIK) Jakarta;
Akhirnya, penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada seluruh pihak yang
banyak memberi kontribusi dalam memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis
dalam menjalani masa studi hingga dapat menyelesaikan skripsi ini, yang tentunya
tidak dapat penulis tuliskan satu persatu. Semoga Allah swt membalas kebaikan semua.
Tangerang Selatan, Oktober 2018
Penulis,
M. Andri Iskandar Sholeh
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 7
D. Metode Penelitian .................................................................................. 8
E. Sistematika Penulisan.......................................................................... 10
BAB II PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM TEORI DAN REVIEW
KAJIAN TERDAHULU
A. Pengertian Perkawinan Beda Agama ................................................ 11
B. Faktor-faktor yang Mendorong Terjadinya Perkawinan Beda
Agama ................................................................................................... 15
C. Dasar Hukum Perkawinan Beda Agama .......................................... 16
D. Review Kajian Terdahulu .................................................................... 22
BAB III HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM
PERSPEKTIF FIKIH
A. Perempuan Muslim dengan Laki-laki Non-muslim ........................ 26
B. Laki-laki Muslim dengan Perempuan Musyrik ............................... 28
C. Laki-laki Muslim dengan Perempuan Ahl al-Kitāb ................................ 31
BAB IV RASYID RIDHA DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA
A. Riwayat Hidup Rasyid Ridha ............................................................. 39
B. Perkawinan Beda Agama Menurut Rasyid Ridha ........................... 44
C. Relevansi Perkawinan Beda Agama Menurut Rasyid Ridha dengan
Hukum Perkawinan yang Berlaku di Indonesia .............................. 51
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................... 60
B. Saran ....................................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 62
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
Penulisan transliterasi Arab-Latin yang penulis gunakan dalam penelitian ini
adalah transliterasi dari Buku Pedoman Penulisan Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2017 sebagai berikut:
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
No Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا 1
b be ب 2
t te ت 3
ts te dan es ث 4
j je ج 5
ẖ ha dengan garis bawah ح 6
kh ka dan ha خ 7
d de د 8
dz de dan zet ذ 9
r er ر 10
z zet ز 11
s es س 12
sy es dan ye ش 13
s es dengan garis bawah ص 14
d de dengan garis bawah ض 15
t te dengan garis bawah ط 16
z zet dengan garis bawah ظ 17
xi
koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع 18
gh ge dan ha غ 19
f ef ف 20
q qo ق 21
k ka ك 22
l el ل 23
m em م 24
n en ن 25
w we و 26
h ha ه 27
apostrop ` ء 28
y ya ي 29
2. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal
atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
No Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
1 a fathah
2 i kasrah
3 u dammah
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya
sebagai berikut:
No Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي 1 ai a dan i
xii
و 2 au a dan u
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
No Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ا 1 ā a dengan topi di atas
ي 2 ȋ i dengan topi di atas
و 3 ū u dengan topi di atas
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan
lam (ال), dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau
huruf qamariyyah. Misalnya:
al-ijtihād = اإلجتهاد
al-rukhsah, bukan ar-rukhsah = الرخصة
5. Tasydȋd (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydȋd dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak berlaku
jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti
oleh hurufhuruf syamsiyyah. Misalnya:
الشفعة = al-syuf‘ah, tidak ditulis asy-syuf‘ah.
6. Ta Marbūtah
Jika ta marbūtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau
diikuti oleh kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbūtah tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbūtah tersebut diikuti dengan
xiii
kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat
contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
syarȋ’ah شريعة 1
al-syarȋ’ah al-islāmiyyah الشريعة اإلسالمية 2
املذاهبمقارنة 3 muqāranat al-madzāhib
7. Huruf Kapital
Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam
transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa jika nama diri
didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf
awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Misalnya, البخاري =
alBukhāri, tidak ditulis alBukhāri Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat
diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau
cetak tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk namanama yang berasal dari
dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kata nama
tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin alRaniri, tidak ditulis Nūr
alDȋn alRānȋrȋ.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan berpedoman pada
ketentuanketentuan di atas:
No Kata Arab Alih Aksara
al-darūrah tubȋhu al-mahzūrāt الضرورة تبيح احملظورات 1
al-iqtisād al-islāmȋ اإلقتصاد اإلسالمي 2
ūsūl al-fiqh أصول الفقه 3
xiv
اإلابحةألصل يف األشياء ا 4 al-asl fȋ al-asyyā al-ibāhah
al-maslahah al-mursalah املصلحة املرسلة 5
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan banyak ragam perbedaan,
seperti etnis, suku, budaya, bahasa dan lainnya. Seiring berkembangnya zaman,
semakin berkembang pula pola hidup manusia. Perbedaan-perbedaan tersebut
tidak menjadi penghalang untuk berinteraksi satu sama lain, sebagaimana
fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial. Fenomena heterogenitas hidup
manusia ini pun menimbulkan berbagai permasalahan yang juga semakin
kompleks, begitu juga dalam hal perkawinan. Banyak terjadi praktik
perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan masyarakat, seperti
perkawinan campuran,1 perkawinan sejenis, kawin kontrak dan perkawinan
antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda.
Perkawinan beda agama adalah salah satu bentuk permasalahan yang
sering kali muncul di tengah kehidupan masyarakat. Angka-angkanya setiap
tahun meningkat tajam. Karena begitu krusialnya, pada tahun 1980-an dan
diulang pada tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memfatwakan
keharaman perkawinan beda agama. Namun, meskipun secara de jure fatwa
tersebut terus dikumandangkan dengan keras oleh lembaga tersebut, secara de
facto fenomena tersebut terus bergulir dan tidak dapat dibendung.2
Apabila dibagi, dalam doktrin Islam perkawinan beda agama terbagi
menjadi empat bentuk:
1. Perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb.
2. Perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan musyrik.
1 Menurut Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran
adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena
perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia. Jadi, perkawinan campuran bukanlah perkawinan antar agama yang
dimaksudkan disini. 2 Mohammad Monib Islah Bahrawi, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan
Nurcholish Madjid, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), h. 152
2
3. Perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki ahl al-kitāb.
4. Perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki musyrik.
Perkawinan bentuk kedua dan keempat, umumnya disepakati oleh
jumhur ulama sebagai perkawinan yang diharamkan, berdasarkan QS. al-
Baqarah (2) ayat 221:
ولمة ت حتى ي ؤمنى ر مؤمنة ول تنكحوا ٱلمشرك
تنكحوا ول أعجب تكم ولو كة مشر م ن خي ولعبد
ر مؤمن ٱلمشركني حتى ي ؤمنوا
عون إل ٱلنىار يد أولئك بكم أعج ولو مشرك م ن خي ءايتهۦ للنىاس لعلىهم ي كىرون وٱللى يدعوا إل ٱلنىة وٱلمغفرة بذنهۦ وي ب ني ت
(22122)البقرة/Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya perempuan budak
yang mukmin lebih baik dari perempuan musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan perempuan-perempuan mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran.”
Adapun perkawinan bentuk ketiga, meskipun tidak disebutkan dalam al-
Qur'an, menurut jumhur adalah juga diharamkan. Walaupun pandangan
mayoritas ulama tidak memasukkan ahl al-kitāb dalam kelompok yang dinamai
musyrik, tetapi hal ini bukan berarti ada izin untuk laki-laki ahl al-kitāb
mengawini perempuan muslim. Sementara Perkawinan dalam bentuk pertama,
sebagian ulama membolehkannya dan sebagian lain mengharamkannya. Ulama
yang membolehkan berdasarkan pada firman Allah SWT dalam QS. al-Maidah
(5) ayat 5:
ين أوتوا ٱلكتب حل م حل وطعامكم كم لى ٱلي وم أحلى لكم ٱلطىي بت وطعام ٱلى لىين و تمونى أوتوا ٱلكتب من ق ٱلمحصنت من ٱلمؤمنت وٱلمحصنت من ٱلى بلكم إذا ءات ي
ي أخدان فحني ول متىخ ر مس صنني غي ين ف قد حبط ب فر يك ومن أجورنى م ٱلو ف ٱلخرة من ٱلسرين (525)املائدة/عملهۥ و
Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Alkitab itu halal bagimu, dan
3
makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini)
perempuan yang menjaga kehormatan diantara perempuan-perempuan
yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di
antara orang-orang yang diberi Alkitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-
hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk
orang-orang merugi.”
Dari teks zahir ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah membolehkan
perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb yang
muhsanāt artinya perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya dari
perbuatan zina. Selain arti itu, ada juga yang memahami kata muhsanāt ketika
dirangkaikan dengan ūtū al-kitāb dari ayat di atas dengan arti perempuan-
perempuan yang merdeka atau perempuan-perempuan yang sudah kawin.3
Kelompok yang mengharamkan, mengatakan bahwa QS. al-Ma'idah
(5): 5 tentang pembolehan perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan ahl
al-kitāb telah dinasakh oleh QS. al-Baqarah (2): 221. Di antara yang
berpendapat demikian adalah Syi'ah Imamiyah dan Syi'ah Zaidiyah. Seorang
sahabat nabi, Ibnu 'Umar r.a, ketika ditanya tentang perkawinan antara laki-laki
muslim dengan perempuan ahl al-kitāb menjawab: Allah mengharamkan
perempuan-perempuan musyrik dikawini orang-orang Islam dan aku tidak
melihat kesyirikan yang lebih besar dari seorang perempuan yang berkata: 'Isa
adalah Tuhan, atau Tuhannya adalah seorang manusia hamba Allah.4 Dapat
disimpulkan bahwa Ibnu 'Umar tidak membedakan antara ahl al-kitāb dan
musyrik, yakni karena ahl al-kitāb berbuat syirik, ia juga masuk dalam kategori
musyrik.
Adapun golongan yang membolehkan berpendapat bahwa QS. al-
Maidah (5) ayat 5 secara jelas membolehkan perkawinan antara laki-laki
muslim dengan perempuan ahl al-kitāb dan QS. al-Maidah (5) ayat 5 tidak
3 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, Keserasian al-Qur’an, cet.
III, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 29 4 Muhammad Ali as-Sabuni, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam ash-Shabuni. Pen. Mu’ammal
Hamidy, dkk (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1985), h. 232
4
dapat dinasakh oleh QS. al-Baqarah ayat 221 karena QS. al-Maidah (5) ayat 5
turun setelah QS. al-Baqarah (2) ayat 221.5 Selain itu mereka menguatkan
pendapat mereka dengan berpendapat bahwa terdapat beberapa sahabat dan
tabi'in yang pernah melakukan perkawinan dengan perempuan ahl al-kitāb.
Dari kalangan sahabat antara lain ialah 'Usman, Talhah, Ibnu 'Abbas, Jabir bin
Huzaifah. Sedangkan dari kalangan tabi'in semisal Sa'id ibn Musayyab, Sa'id
ibn Zubair, al-Hasan, Mujahid, Tawus, Ikrimah, al-Sya'abiy dan al-Dahhak.6
Mereka tetap berpegang pada teks ayat yang membolehkan perkawinan
semacam itu, dan menyatakan bahwa walaupun akidah ketuhanan ajaran
Yahudi dan Nasrani tidak sepenuhnya sama dengan akidah Islam, tetapi al-
Qur’an tidak menamai mereka yang menganut agama Yahudi dan Nasrani
sebagai orang-orang musyrik.7
Mereka yang membolehkan juga berpegang pada kaidah Syar’iyah yang
normal, yaitu bahwa suami memiliki tanggungjawab kepemimpinan terhadap
istri, serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan terhadap keluarga dan
anak-anak. Laki-laki diperbolehkan mengawini perempuan non-muslim yang
ahl al-kitāb agar perkawinan itu membawa misi kasih sayang dan harmonisme,
sehingga terkikis dari hati istrinya rasa tidak senangnya terhadap Islam. Dan
dengan perlakuan suaminya yang baik yang berbeda agama dengannya itu sang
istri dapat lebih mengenal keindahan Islam secara amaliah praktis, sehingga dari
dampak perlakuan baik tersebut ia mendapatkan ketenangan, kebebasan
beragama, serta hak-haknya yang sempurna.8
Pada dasarnya, perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai
hukum perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb
bermula ketika mereka menyebutkan siapa saja yang termasuk ahl al-kitāb.
Imam Syafi'i misalnya, memahami istilah ahl al-kitāb sebagai orang Yahudi
dan Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain
5 Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 7 6 Muhammad Galib, Alh al-Kitab Makna dan Cakupannya, (Jakarta: Paramadina, 1998), h.
22 7 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan: 2007), h. 260 8 Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 263
5
yang menganut agama Yahudi dan Nasrani. Alasan beliau antara lain bahwa
Nabi Musa dan Isa, hanya diutus kepada mereka, orang-orang Israel, bukan
kepada bangsa-bangsa lain. Selain itu, juga karena adanya redaksi min qablikum
(sebelum kamu) pada ayat yang membolehkan perkawinan itu.9
Berbeda dengan Imam Syafi'i, Imam Abu Hanifah dan mayoritas pakar-
pakar hukum kontemporer menyatakan bahwa siapapun yang mempercayai
salah seorang nabi, atau kitab yang pernah diturunkan Allah SWT, maka ia
termasuk ahl al-kitāb. Dengan demikian, ahl al-kitāb tidak terbatas pada
kelompok penganut agama Yahudi dan Nasrani. Jika ada satu kelompok yang
hanya percaya pada Suhuf Ibrahim atau Zabur yang diberikan kepada Nabi
Dawud a.s saja, maka ia pun termasuk dalam jangkauan pengertian ahl al-kitāb.
Pendapat ketiga dianut oleh sebagian kecil ulama-ulama salaf, yang
menyatakan bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat diduga sebagai
kitab suci, maka mereka juga dicakup oleh pengertian ahl al-kitāb, seperti
halnya Majusi.10
Sementara dalam hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia, dalam
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatur
perkawinan di luar Indonesia dan perkawinan campuran dan tidak secara jelas
dan tegas mengatur bagaimana hukum perkawinan beda agama. Namun, meski
begitu, bagi umat Islam di Indonesia terkait aturan perundangan yang mengatur
tentang perkawinan beda agama lebih jelas disebutkan dalam KHI pasal 40 dan
pasal 44 sangat jelas mengaharamkan perkawinan antara seorang muslim
dengan orang non-muslim. Begitu pula MUI dalam fatwa No. 4/MUNAS
VII/MUI/8/2005 mengaharamkan praktik perkawinan beda agama anatara
seorang muslim dengan non-muslim.
Perkawinan beda agama yang akan diuraikan oleh penulis dalam
penelitian ini adalah perkawinan yang terjadi antara orang muslim yang kawin
dengan orang non-muslim. Dari berbagai segi perbedaan pendapat antara para
ulama tentang perkawinan beda agama yang ada, di sini fokus penulis ingin
9 Galib, Alh al-Kitab Makna dan Cakupannya, h. 57-58 10 Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 483-484
6
mengkaji salah satu pendapat dan pemikiran dari ulama terkenal yaitu Syaikh
Muhammad Rasyid Ridha. Penulis akan menelaah dan menganalisis ulang
mengenai pendapat serta pemikiran beliau tentang apa dan bagaimana
perkawinan beda agama tersebut. Rasyid Ridha termasuk ulama yang
membolehkan perkawinan dengan perempuan yang berlainan agama. Keunikan
pendapat Rasyid Ridha dalam menghukumi perkawinan beda agama terletak
pada pemaknaannya terhadap term ahl al-kitāb. Term ahl al-kitāb menurut
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha tidak hanya sebatas dua komunitas Yahudi
dan Nasrani sebagaimana pendapat mayoritas ulama mazhab, melainkan semua
penganut agama dan kepercayaan yang memiliki dan mempedomani salah satu
kitab suci merupakan ahl al-kitāb, seperti Majusi, Shabi’un, Hindu, Buda,
Konghucu, Sinto, dan lain-lain.11 Sehingga pembolehan perkawinan beda
agamapun menjadi semakin luas.
Berdasarkan uraian di atas mendorong penulis untuk mengangkat tema
ini dengan judul: HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT
SYAIKH MUHAMMAD RASYID RIDHA
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah.
1. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah adalah kumpulan masalah-masalah yang berkaitan
dengan tema yang dibahas. Ragam masalah yang muncul pada narasi latar
belakang diatas akan akan dipaparkan sebagai berikut:
1) Bagaimana Islam memandang perkawinan beda agama?
2) Bagaimana hukum di Indonesia memandang perkawinan beda agama?
3) Bagaimana konsep ahl al-kitāb menurut Syaikh Muhammad Rasyid
Ridha?
4) Bagaimana pandangan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha tentang hukum
perkawinan beda agama?
5) Apa yang menjadi dasar Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dalam
menentukan arah pemikirannya?
11 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsȋr al-Qur’ān al-Hakȋm Juz 6, cet II, (Dār al-Manār, 1947),
h. 193
7
6) Bagaimana metode penetapan hukum yang dilakukan oleh Syaikh
Muhammad Rasyid Ridha?
7) Bagaimana relevansi pendapat Rasyid Ridha dengan hukum perkawinan
yang berlaku di Indonesia mengenai perkawinan beds agama?
2. Batasan Masalah
Agar penulisan skripsi ini tidak meluas hingga menyebabkan pokok
permasalahan tidak terarah, maka penulis membatasi pada permasalahan utama,
yaitu:
“Pemikiran Syaikh Muhammad Rasyid Ridha tentang hukum
perkawinan beda agama (muslim dengan non-muslim) serta relevansinya
dengan hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia”
3. Perumusan Masalah
Untuk lebih memperjelas penelitian, maka perlu dirumuskan pokok
permasalahan yang akan diteliti dalam skripsi ini, yaitu:
“Bagaimana pemikiran Syaikh Muhammad Rasyid Ridha tentang
hukum perkawinan beda agama serta relevansinya dengan hukum perkawinan
yang berlaku di Indonesia?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penilitian ini adalah:
1. Untuk mengkaji, meneliti dan mendeskripsikan pemikiran pemikiran
Syaikh Muhammad rasyid Ridha hukum perkawinan beda agama.
2. Untuk mengetahui relevansi antara pemikiran Muhammad Rasyid Ridha
dengan hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia tentang perkawinan
beda agama.
Adapun manfaat yang hendak diperoleh dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Sebagai sumbangsih pemikiran kepada semua kalangan masyarakat untuk
menambah wawasan pengetahuan hukum agar ilmu tersebut tetap hidup dan
berkembang khususnya yang berkaitan dengan makna perkawinan beda
agama.
8
2. Sebagai sumbangsih pemikiran terhadap civitas akademika aga
memperkaya wawasan serta pengetahuan hukum khususnya terkait dengan
makna hukum perkawinan beda agama.
3. Dan untuk pribadi sendiri, penelitian ini merupakan suatu pengajaran
berharga dalam melakukan suatu telaah terhadap suatu pemikiran tentang
hukum perkawinan beda agama.
D. Metode Penelitian
Metode merupakan cara yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan
tertentu, misalnya untuk menguji serangkaian hipotesa dengan menggunakan
teknik tertentu. Cara utama ini dipergunakan setelah peneliti memperhitungkan
kewajaran, ditinjau dari penelitian dan situasi penelitian.12 Dan metode adalah
proses, prinsip-prinsip dan tatacara memecahkan suatu masalah, sedangkan
penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu
gejala untuk merambah pengetahuan manusia.13 Jadi metode penelitian dapat
diartikan sebagai proses, prinsip-prinsip dan tatacara untuk memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penulisan sebagai
berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam skripsi ini merupakan jenis penelitian kualitatif,
yaitu penelitian yang jenis data dan analisis data yang digunakan bersifat
naratif dalam bentuk pernyataan yang menggunakan penalaran.14 Lalu
pendekatan-pendekatan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah
pendekatan deskriptif analisis. Analisis ini akan digunakan dalam usaha
mencari dan mengumpulkan data, menyusun, menggunakan serta menafsirkan
data yang sudah ada. Untuk menguraikan secara lengkap, teratur dan teliti
terhadap suatu obyek penelitian,15 yakni dengan menekankan pada karya dan
12 Sutrisno Hadi, Metode Research, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1980), h. 63 13 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 6. 14 Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta: Buku Ajar Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Jakarta, 2010), h. 26 15 Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), h. 116
9
argumentasi Syaikh Muhammad Rasyid Ridha tentang hukum perkawinan
beda agama. Pendekatan ini dimaksudkan untuk menelaah, mengkritik, serta
diharapkan dapat memberi solusi terkait dengan perkawinan beda agama.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data
diperoleh.16 Dalam penulisan skripsi ini terbagi menjadi sumber data primer
dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah suatu objek atau
dokumen original, material mentah dari pelaku yang disebut “first hand
information”.17 Sumber data primer yang dimaksud dalam penelitian ini
tentunya adalah karya dari Syaikh Muhammad Rasyid Ridha sendiri yaitu
kitab Tafsȋr al-Manār dan ditambah dengan fatwa-fatwa beliau yang telah
dikumpulkan dalam kitab Fatāwā al-Imām Muhammad Rasyȋd Ridha.
Sedangkan sumber data sekunder merupakan data yang dikumpulkan dari
tangan kedua atau dari sumber-sumber lain yang telah tersedia sebelum
penelitian dilakukan.18 Sumber data sekunder yang diperoleh terdiri dari buku-
buku, surat kabar, kamus majalah, jurnal, artikel dan sumber lainnya yang
berkaitan dengan tema dan dapat memperjelas data primer.
3. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
dengan penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan membaca,
mempelajari serta menganalisa dengan metode dokumentasi atau studi
dokumentasi. Dokumentasi, dari asal katanya dokumen, yang artinya barang-
barang tertulis.19
4. Analisis Data
Analisis data20 yang digunakan berdasarkan pada tujuan penelitian
yang ingin dicapai, maka dimulai dengan menelaah seluruh data yang sudah
16 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Asdi
Mahasatya, 2002), h. 107 17 Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), h. 289 18 Silalahi, Metode Penelitian Sosial, h. 291 19 Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, h. 135 20 Analisis data adalah suatu proses penyederhanaan kedalam bentuk yang lebih mudah
untuk dibaca dan di interpresentasikan. Hadi, Metode Research., h. 37
10
tersedia dari berbagai sumber, yaitu pengamatan, dokumentasi dan data yang
diperoleh dari pustaka dengan mengadakan reduksi data, yaitu data-data yang
diperoleh dari kepustakaan yang dirangkum dengan memilih hal-hal yang
pokok serta disusun lebih sistematis sehingga mudah dikendalikan. Maka
dalam hal ini penulis menggunakan analisa kualitatif, dimana data analisa
dengan metode deskriptif, dengan cara mengidentifikasi menyusun dan
mengolah, menguraikan secara sistematis, kemudian dilakukan analisa dengan
menjabarkan, menginterpretasikan dengan penafsiran sistematis, sosiologis,
historis dan menyusun secara logis dan sistematis pemikiran Syaikh
Muhammad Rasyid Ridha tentang hukum perkawinan beda agama. Untuk
menarik hasil dan kesimpulan dari penelitian ini. Penulis akan menyajikan
dengan menggunakan metode deduktif.21
5. Pedoman Penulisan Data
Dalam penulisan data dalam karya skripsi ini, penulis berpedoman
pada ketentuan buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum
2017.22
E. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan ini, penulis akan menguraikan hal-hal yang
akan dibahas dari BAB I sampai BAB V, yaitu: BAB I membahas latar belakang
penelitian, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II membahas
tentang konsep perkawinan beda agama pada umummnya. Sebagai landasan
teori, pada bab dua ini sangat penting untuk mengetahui secara umum arah peta
tinjauan perkawinan beda agama, mencakup uraian tentang pengertian
perkawinan, pengertian perkawinan beda agama serta dasar hukum dan faktor-
faktor yang mendorong terjadinya perkawinan beda agama. BAB III berisi
konsep hukum perkawinan beda agama dalam fikih terutama dalam perspektif
ulama empat madzhab. BAB IV mendeskripsikan dan membahas biografi
21 Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, h. 140 22 Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum 2017, (Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM)
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017)
11
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha sekaligus menganalisis pemikirannya tentang
konsep hukum perkawinan beda agama dan relevansinya dengan hukum
perkawinan di Indonesia. Bab V penutup, berisi tentang kesimpulan dan saran.
11
BAB II
PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM TEORI DAN REVIEW KAJIAN
TERDAHULU
A. Pengertian Perkawinan Beda Agama
1. Pengertian Perkawinan
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata kawin yang menurut
bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan
kelamin atau bersetubuh. Perkawinan juga biasa disebut dengan pernikahan,
berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling
memasukkan dan digunakan pula untuk arti bersetubuh (wath`). Kata nikah sendiri
sering digunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.1
Sedangkan menurut al-Azhari akar kata nikah dalam ungakapan bahasa Arab
artinya hubungan badan, dikatakan pula bahwa berpasangan juga merupakan salah
satu makna dari kata nikah. al-Farisi mengatakan: “Jika mereka mengatakan bahwa
si fulan atau anaknya fulan menikah maka yang dimaksud adalah mengadakan
akad, namun jika dikatakan bahwa ia menikahi istrinya berarti yang dimaksud
adalah berhubungan badan”.2
Dalam literatur Islam, yang sesungguhnya semata-mata merupakan
keturunan dari istilah yang digunakan al-Qur’an dan hadis, perkawinan lazim
diistilahkan dengan sebutan al-nikāh atau al-tazwȋj. Secara literal, nikah (kawin)
artinya berkumpul atau berhimpun (al-damm wa al-jam’), di samping juga berarti
bersetubuh dan akad (al-wath` wa al-‘aqd) yang lazim diistilahkan dengan
ungkapan akad pernikahan/akad perkawinan (‘aqd al-nikāh au ‘aqd al-tazwȋj).3
1 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, cet III, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 7 2 Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, al-Jami’ Fi al-Fiqh an-Nisā (Fiqh Perempuan), cet I,
(Beirut, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), h. 375 3 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syari’ah dan Qanuniah,
(Jakarta: Lentera Hati, 2015), h. 18
12
Secara istilah (terminologi), ulama mendefinisikan perkawinan dalam
beberapa redaksi, antara lain:
Wahbah Zuhaili mendefinisikan perkawinan demgan redaksi sebagai
berikut:
حل إستمتاع المرأة و الزواج شرعا هو عقد وضعه الشارع ليفيد ملك إستمتاع الرجل بلمرأة 4.بلرجل
Artinya: “Perkawinan menurut syariat yaitu akad yang ditetapkan untuk
membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan
menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki”.
Hanafiah mendefinisikan “Perkawinan adalah akad yang memberi faidah
untuk melakukan mut’ah secara sengaja”. Artinya, kehalalan seorang laki-laki
untuk ber-istimtā’ dengan seorang perempuan selama tidak ada faktor yang
menghalangi sahnya perkawinan tersebut secara syar’ȋ.5 Menurut Hanabilah
“Perkawinan adalah akad yang menggunakan kata inkāh yang bermakna tazwȋj
dengan maksud mengambil manfaat untuk bersenang-senang”.6 Redaksi yang
berbeda dikemukakan oleh Imam Taqiyuddin dalam Kifāyat al-Akhyār, beliau
mendefinisikan “Nikah sebagai ibarat akad yang masyhur yang terdiri dari rukun
dan syarat, dan yang dimaksud dengan akad adalah al-wath’ (bersetubuh)”.7
Dari pengertian nikah dalam konteks syar’ȋ yang telah diformulasikan oleh
beberapa ulama fikih di atas jelas terdapat berbagai rumusan yang saling berbeda-
beda satu sama lainnya. Jangankan antara mazhab fikih yang berbeda aliran politik
dan mazhab teologisnya, antara mazhab fikih yang sama aliran teologis dan aliran
politiknyapun tidak jarang diwarnai berbagai perbedaan. Perhatikan misalnya
pengertian nikah yang didefinisikan oleh empat mazhab (Syafi’iyah, Malikiyah,
4 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islāmȋ Wa Adillatuhu, cet III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 29 5 Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dan Fiqih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 39 6 Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzāhib al-Arba’ah Juz 4, cet II, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiah, 2003), h. 9 7 Imam Taqiyuddin, Kifāyat al-Akhyār Fi Hāl Ghāyat al-Ikhtiyār Juz 2, (Surabaya: Darul Ihya,
t.t), h. 36
13
Hanafiah dan Hanabilah) yang aliran politiknya lazim dianggap sebagai sesama
ulama Sunni dan aliran mazhab teologisnya sama-sama berada dalam lingkungan
Ahlussunnah Waljama’ah (Asy’ariyah/Maturidhiyah) toh berlainan juga dalam
memberikan definisi perkawinan.8
Apalagi jika dikaitkan dengan para ulama fikih yang berlainan aliran politik
teologisnya semisal Syi’ah, Mu’tazilah dan lain sebagainya. Karenanya hampir
mustahil kita bisa mempertemukan berbagai definisi nikah atau perkawinan itu
dalam satu rumusan yang benar-benar representatif, apalagi lengkap, sempurna dan
memuaskan semua pihak. Namun, betapapun sulitnya kita tetap penting
mengetahui definisi nikah atau perkawinan ini sebagai landasan utama bagi
pembahasan selanjutnya. Lagi pula perbedaan yang terdapat pada masing-masing
definisi perkawinan itu pada umumnya, bahkan secara keseluruhan tidak dalam
bentuk yang konfrontatif melainkan perbedaan dalam hal-hal yang bersifat
keberagaman.9
Atas dasar ini maka berbagai perbedaan yang ada seputar masalah
perkawinan bukan suatu hal yang mustahil manakala di masa-masa mendatang
justru akan menjadi sumbangsih positif bagi masing-masing negara Islam/negara
yang mayoritas berpenduduk muslim untuk saling mengadopsi hukm perkawinan
yang lebih baik dan lebih adil. Penganutan paham secara ketat dan kaku kepada
mazhab tertentu (taklid buta) yang pernah melanda dunia Islam dalam masa yang
sangat panjang, dewasa ini mulai beralih sedikit demi sedikit menuju ke arah talfȋk
mazhab yang kooperatif. Setidaknya dalam bidang-bidang tertentu.10
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
mendefinisikan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
8 Al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzāhib al-Arba’ah Juz 4, h. 8-9 9 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Rajawali Press,
2005), h 44 10 Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam,h. 45
14
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pengertian perkawinan menurut undang-undang ini bukan hanya sekedar sebagai
suatu perbuatan hukum saja, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan
keagamaan, sehingga oleh karenanya sah atau tidaknya suatu perkawinan
digantungkan sepenuhnya pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan
yang dianut oleh rakyat Indonesia.11 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dijelaskan bahwa yang dimaksud perkawinan ialah akad yang sangat kuat
atau mȋtsāqan ghalȋzan, untuk menaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya
merupakan ibadah.
2. Perkawinan Beda Agama
Perkawinan beda agama adalah perkawinan antara dua orang, laki-laki dan
perempuan yang tunduk pada hukum yang berlainan karena beda agama.12
Perkawinan lintas agama sangat lumrah terjadi, praktik ini bahkan sudah terjadi
jauh sejak masa-masa sebelum kenabian Muhammad SAW, karena kebutuhan akan
adanya interaksi dan komunikasi antar manusia yang bahkan berbeda agama
sekalipun inilah yang memungkinkan hal itu terjadi. Dalam konteks Islam, jika
menelaah beberapa ayat al-Qur’an, maka dapatlah disimpulkan bahwa ada lima
macam perkawinan sepanjang sejarah umat manusia, yaitu:
1) Perkawinan antara laki-laki mukmin dengan perempuan kafir, di antara
contohnya ialah perkawinan Nabi Nuh dengan istrinya dan Nabi Luth
dengan istrinya. Nabi Nuh dan Nabi Luth adalah muslimin-mukminin yang
sangat taat dan saleh; sementara masing-masing istrinya, baik istri Nabi
Nuh maupun Nabi Luth, keduanya tergolong kedalam deretan orang-orang
kafir, fasik dan munafik.
11 Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia,
(Bandung: Alumni, 1978), h. 9 12 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1997), h. 55
15
2) Perkawinan antara perempuan muslimat-mukminat dengan laki-laki kafir
(non-muslim), di antara contohnya ialah kasus Siti Asiyah yang dikawini
oleh Firaun yang bukan saja kafir musyrik, melainkan juga pernah
menobatkan dirinya sebagai tuhan, bahkan klaim tuhan tertinggi.
Perkawinan Asiyah dengan Firaun ini bukanlah perkawinan yang dilakukan
atas kemauan Asiyah, melainkan atas keterpaksaan dan dipaksanya Asiyah
untuk dijadikan istri Firaun semata-mata demi menyelamatkan orangtuanya
dari siksaan Firaun sekiranya Asiyah menolak jadi istri Firaun.
3) Perkawinan antara laki-laki kafir dengan perempuan kafir seperti halnya
perkawinan antara Abu Lahab/Abu Jahal dengan istrinya (Ummu Jamil)
dan perkawinan umumnya para laki-laki kafir dengan permpuan kafir.
4) Perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan muslim, inilah
perkawinan yang paling ideal dan paling banyak terjadi di kalangan sesama
umat Islam, mulai dari kebanyakan para nabi, para wali, orang-orang yang
benar (al-siddȋqȋn) dan para pahlawan (al-syuhadā) dan orang-orang saleh.
5) Perkawinan beda agama antara laki-laki muslim dengan perempuan non-
muslim sebagaimana dilakukan oleh beberapa orang sahabat besar Nabi
Muhammad SAW, di antara contohnya Perkawinan Hudzaifah bin al-
Yaman yang menikahi perempuan Yahudiah dari suku al-Mada’in, Utsman
bin ‘Affan yang menikahi Nasraniyyah (Na’ilah binti al-Farafishah al-
Kalbiyyah) yang kemudian masuk Islam di tangan Utsman, Yasir Arafat
dengan Suha dan terutama perkawinan antara perempuan muslim dengan
laki-laki non-muslim yang perdebatan hukumnya sampai sekarang masih
tetap bergulir di tengah-tengah masyarakat.13
B. Faktor-faktor yang Mendorong Terjadinya Perkawinan Beda Agama
Melihat heterogenitas kehidupan masyarakat, tentunya tidak heran apabila
terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang berlainan agama.
13 Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syari’ah dan Qanuniah, h. 97-100
16
Semuanya tidak lepas dari beberapa faktor dan dorongan yang mempengaruhi
terjadinya perkawinan tersebut. Berikut penulis menguraikan beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya perkawinan beda agama:
1. Pergaulan hidup sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat. Kehidupan
bermasyarakat yang heterogen atau terdiri dari beraneka ragam suku, budaya
dan agama. Bergaul dan berinteraksi tanpa melihat perbedaan-perbedaan yang
ada terlebih agama antara satu dengan yang lainnya, sehingga menimbulkan
perasaan cinta yang tidak dapat dihindari.
2. Pendidikan tentang agama yang minim. Banyak orangtua yang jarang atau
bahkan tidak pernah mengajarkan anak-anaknya sedini mungkin tentang
agama. Sehingga dalam pertumbuhannya menjadi dewasa, ia tidak
mempersoalkan agama yang diyakininya termasuk dalam hal perkawinan
terkait agama yang diyakini pasangannya.
3. Latar belakang orang tua. Faktor ini juga sangat penting, karena pasangan yang
menikah beda agama tentu tidak lepas dari adanya latar belakang orangtuanya
yang juga menikah dalam keadaan agama yang berbeda. Mungkin bagi mereka
tidak jadi masalah apabila menikah dengan pasangan yang berbeda keyakinan
karena berdasarkan riwayat orang tua. Tentu jika kehidupan orangtua tersebut
berjalan harmonis maka akan menjadi contoh bagi anak-anaknya kelak dalam
perkawinan beda agama.
4. Kebebasan memilih pasangan. Tentu sekarang adalah zaman yang modern di
mana para laki-laki dan perempuan dengan bebasnya memilih pasangan sesuai
dengan keinginannya. Adanya kebebasan memilih pasangan ini, tidak bisa
dipungkiri jika ada kemungkinan banyaknya orang yang memilih pasangan
yang berbeda agama atas dasar cinta dan kasih.
5. Pola pergaulan anak-anak Indonesia dipengaruuhi pergaulan hidup orang barat
yang mengandung unsur-unsur kebebasan dari ikatan norma-norma susila dan
17
agama. Sehingga bagi anak-anak muda menikah dengan pasangan yang
berbeda agama adalah hal yang lazim dan tidaklah menjadi masalah. 14
C. Dasar Hukum Perkawinan Beda Agama
Pada dasarnya, dalam menghukumi perkawinan beda agama selalu
berpegang pada beberapa firman Allah SWT dalam al-Qur’an yang penulis kutip
di bawah ini:
1. Firman Allah dalam QS. al-Baqarah (2): 221:
ولمة ت حت ي ؤمن ر مؤمنة ول تنكحوا ٱلمشرك تنكحوا ول أعجب تكم لو و مشركة م ن خي
ولعبد ر مؤمن ٱلمشركني حت ي ؤمنوا عون إل ٱلنار يد أولئك م أعجبك ولو مشرك م ن خي
ءايتهۦ للناس لعلهم ي تذ يدعوا إل ٱلنة وٱلمغفرة بذنهۦ وي ب ني (22122)البقرة/كرون وٱللArtinya: “Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya perempuan budak yang mukmin
lebih baik dari perempuan musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan perempuan-
perempuan mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-
perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.
2. Firman Allah dalam QS. al-Mumtahanah (60): 10:
جرت ي ها ٱلذين ءامن وا إذا جاءكم ٱلمؤمنت مه ٱلل ف ي ف ن علمتموهن ٱمتحنوهن
أعلم بننهنم ٱلكفار ل هن حل إل ت رجعوهن فل مؤمنت ول ن يلو هم ول ل
وءاتوهم ما أنفقوا
لنسكوا بعصم ٱلكوافر و ول ت
تموهن أجورهن لوا ما س جناح عليكم أن تنكحوهن إذا ءات ي عليم حكيم س أنفقتم ولي نكم وٱلل كم ب ي لكم حكم ٱلل ي ذ
(11201)املمتحنة/ لوا ما أنفقوا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah
kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan
mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu
14 Jane Marlen Makalew, “Akibat Hukum dari Perkawinan Beda Agama di Indonesia”, Lex
Privatum, vol. 1, No. 2, April-Juni 2013, h. 138-139
18
dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah
kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada
dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka
maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)
dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar
yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah
mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara
kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
3. Firman Allah dalam QS. al-Maidah (5): 5:
ت وطعام ٱلذين أوتوا ٱلكتب حل م حل وطعامكم لكم ٱلي وم أحل لكم ٱلطي ب ٱلمحصنت و لتموهن أجوره من صنني ٱلمؤمنت وٱلمحصنت من ٱلذين أوتوا ٱلكتب من ق بلكم إذا ءات ي ن
فحني ول متخذي أخدان ر مس نن ف قد حبط ع ب يكفر ومن غي ٱلخرة مله وهو ٱل (525)املائدة/ من ٱلسرين
Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini)
perempuan yang menjaga kehormatan diantara perempuan-perempuan
yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di
antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan
maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum
Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-
orang merugi.”
Terdapat dua riwayat mengenai sebab turunnya ayat yang pertama.
Pertama, diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim dan al-Wahidi, dari
Muqatil berkata: “Ayat ini turun pada Ibnu Abi Martsad al-Ghanawi, ia meminta
izin kepada Rasulullah SAW untuk mengawini perempuan yang bernama Anaq,
perempuan tersebut adalah orang musyrik, cantik dan kaya. Maka turunlah QS. al-
Baqarah (2) ayat 221”. Kedua, Diriwayatkan oleh al-Wahidi dari jalur al-Suddi dari
Abu Malik, dari Ibnu Abbas berkata, “Ayat ini turun pada Abdullah bin Rawahah,
ia mempunyai budak wanita yang hitam, dan ia sedang marah kepada budaknya
tersebut dan menamparnya, karena takut dengan apa yang telah ia lakukan, maka
19
ia datang kepada Rasulullah untuk menceritakan apa yang telah ia lakukan dan
kemudian berkata, “Aku akan memerdekakannya dan mengawininya,” dan ia
benar-benar melakukannya. Beberapa orang muslim mengejeknya dengan berkata,
“Ia mengawini seorang budak,” maka Allah SWT menurunkan ayat tersebut. Dan
riwayat ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari al-Suddi dengan derajat
Munqati’.15
Pada ayat kedua, yaitu QS. al-Mumtahanah (60) ayat 10 terdapat beberapa
riwayat mengenai sebab turunnya ayat tersebut. Imam Bukhari dan Muslim
meriwayatkan dari al-Masur Marwan bin Hakam bahwa ketika Rasulullah SAW
membuat kesepakatan damai dengan orang-orang kafir Quraisy di Hudaibiyah,
datanglah beberapa wanita mukminah kepada beliau. Allah lalu menurunkan ayat
tersebut. Imam al-Thabari meriwayatkan dengan sanad yang lemah dari Abdullah
bin Abi Ahmad yang berkata, “Pada masa berlangsungnya perjanjian damai (antara
kaum muslimin dengan kaum kafir Mekah), Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi
Mu’ith melakukan hijrah ke Madinah, dua orang saudara laki-laki Ummu Kultsum,
yaitu Umarah dan Walid, lantas datang menemui Rasulullah dan meminta beliau
untuk mengembalikan Ummu Kultsum kepada mereka. Akan tetapi, Allah SWT
membatalkan perjanjian antara Rasul-Nya dengan orang-orang musyrik tersebut,
khususnya dalam masalah wanita mukminah di mana Allah SWT melarang beliau
mengembalikan mereka kepada orang-orang musyrik. Ketika itu Allah SWT
menurunkan ayat tersebut”.16
Ibnu Hatim meriwayatkan dari Yazid bin Abi Habib bahwa yang ia dengar
adalah ayat ini turun berkenaan dengan Umaimah binti Basyar, Istri Abu Hassan
al-Dahdahah. Diriwayatkan juga bahwa ada seorang wanita bernama Sa’idah yang
merupakan istri dari Shaifi bin Rahib, seorang musyrik Mekah. Wanita itu datang
15 Jalaluddin Al-Suyuthi, Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, Pen. Abdil
Hayyie, (Jakarta: Gema Insani, 2008), h. 92 16 Al-Suyuthi, Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, Pen. Abdil Hayyie, h. 567-
568
20
ke Madinah disaat berlangsungnya kesepakatan damai. Orang-orang musyrik lantas
berkata, “Kembalikan ia pada kami!” Sebagai responnya, turunlah ayat ini. Ibnu
Mani’ meriwayatkan dari al-Kalbi dari Abu Shaleh dari Ibnu Abbas yang berkata,
“Ketika Umar bin Khaththab masuk Islam, istrinya masih berada di barisan orang-
orang musyrik. Allah SWT lantas menurunkan ayat,’….Dan janganlah kamu tetap
berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir;…’”17
Secara literal dari ayat-ayat tersebut, maka perkawinan beda agama dapat
dibagi menjadi empat bentuk:
1. Perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb.
2. Perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan musyrik.
3. Perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki ahl al-kitāb.
4. Perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki musyrik.
Sebagaimana ayat-ayat yang telah dituliskan sebelumnya di atas maka dapat
diambil kesimpulan bahwa dari keempat bentuk perkawinan beda agama antara
seorang muslim dengan non-muslim hukumnya haram, kecuali perkawinan yang
dilakukan antara seorang laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim (ahl al-
kitāb). Terlepas kemudian banyak penafsiran yang berbeda dari para ulama
mengenai ayat-ayat tersebut, sehingga banyak pula perbedaan pendapat dalam
menghukumi perkawinan beda agama.
Pada dasarnya, perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai hukum
perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb bermula ketika
mereka menyebutkan siapa saja yang termasuk ahl al-kitāb. Imam Syafi'i misalnya,
memahami istilah ahl al-kitāb sebagai orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-
orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan
Nasrani. Alasan beliau antara lain bahwa Nabi Musa dan 'Isa, hanya diutus kepada
17 Al-Suyuthi, Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, Pen. Abdil Hayyie, h. 568
21
mereka, orang-orang Israel, bukan kepada bangsa-bangsa lain. Selain itu, juga
karena adanya redaksi min qablikum (sebelum kamu) pada Q.S. al-Maidah (5): 5.18
Berbeda dengan Imam Syafi'i, Imam Abu Hanifah dan mayoritas pakar-
pakar hukum menyatakan bahwa siapapun yang mempercayai salah seorang nabi,
atau kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk ahl al-kitāb. Maka,
yang tergolong ahl al-kitāb tidak terbatas pada kelompok penganut agama Yahudi
dan Nasrani. Jika ada satu kelompok yang hanya percaya pada Suhūf Ibrahim atau
Zabur yang diberikan kepada Nabi Dawud a.s saja, maka ia pun termasuk dalam
jangkauan pengertian ahl al-kitāb. Pendapat ketiga dianut oleh sebagian kecil
ulama-ulama salaf, yang menyatakan bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang
dapat diduga sebagai kitab suci, maka mereka juga dicakup oleh pengertian ahl al-
kitāb, seperti halnya Majusi.19
Sementara dalam hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia, perihal
perkawinan beda agama Undang-undang No. 1 tahun 1974 tidak secara tegas
mengaturnya.20 Aturan dalam pasal 2 ayat (1) yang berbunyi “Perkawinan adalah
sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya
itu”, menimbulkan ketidakjelasan dan ketidaktegasan mengenai hukum perkawinan
beda agama. Artinya, jika hukum agama atau kepercayaan kedua calon suami dan
istri berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan kedua hukum agama atau
kepercayaan itu harus dipenuhi semua. Meskipun pada praktiknya di Indonesia,
perkawinan tersebut dapat dilaksanakan dengan menganut salah satu hukum agama
atau kepercayaan dari calon suami atau istri.21
Selanjutnya, diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disahkan
melalui Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan
18 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan: 2007), h. 483 19 Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 483-484 20 Sirman Dahwal, Hukum Perkawinan Beda Agama dalam Teori dan Praktiknya di Indonesia,
(Bandung: CV. Mandar Maju, 2016), h. 71 21 Shoedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 95
22
pelaksanaannya diatur melalui Keputusan Menteri Agama No. 154 tahun 1991
tanggal 22 Juni 1991, yang kemudian disebarluaskan melalui surat edaran Direktur
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam No. 3649/EV/HK. 003/AZ/91 tanggal
25 Juli 1991.22 Aturan tersebut terdapat pada pasal-pasal berikut:
Pasal 4:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai
dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”.
Pasal 40:
“Dilarang melakukan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan karena keadaan tertentu, pada huruf (c); seorang perempuan yang tidak
beragama Islam”.
Pasal 44:
“Seorang perempuan Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang laki-laki yang tidak beragama Islam”.
Bunyi pasal-pasal tersebut juga sebagaimana pasal 8 UU No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan yang berbunyi:
Pasal 8:
“Perkawinan dilarang antara dua orang yang: pada huruf (f) mempunyai
hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin”.
Maka dapat diambil kesimpulan dari ketiga pasal dalam KHI di atas bahwa
perkawinan beda agama secara tegas dilarang dalam huku perkawinan yang berlaku
di Indonesia sebagaimana yang dijelasakan dalam aturan-aturan dalam UU maupun
dalam KHI.
Selain semua aturan yang telah ditulis di atas, pelarangan tersebut juga
kemudian diperkuat oleh MUI melalui fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI)
No. 04/MUNASVII/MUI/8/2005 yang juga melarang perkawinan beda agama.
Dalam fatwa tersebut MUI memutuskan “Perkawinan beda agama adalah haram
22 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h. 26
23
dan tidak sah”.23 Sehingga fatwa tersebut juga memperkuat semua aturan yang ada
dalam UU No. 1 tahun 1974 dan KHI.
D. Review Kajian Terdahulu
Berikut beberapa karya skripsi terdahulu di Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai review bahwa penulis tidak melakukan
pagiasi:
NO. JUDUL PEMBAHASAN PERBEDAAN
1 Perkawinan
Beda Agama di
Indonesia
(Studi
Perbandingan
Pemikiran Prof.
Nurcholis
Madjid dan
Prof. Dr. Ali
Mustafa Yaqub)
Dalam skripsi ini penulis
membahas perbandingan
pemikiran Prof. Nurcholis Madjid
dan Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub
mengenai perkawinan beda agama
yang terjadi di Indonesia, serta
pandangan beliau berdua tentang
praktik yang terjadi di Indonesia.
Skripsi-skripsi
yang yang
sebelumnya
belum ada yang
secara khusus
membahas dan
menganalisis
pemikiran
seorang
Muhammad
Rasyid Ridha
tentang konsep
ahl al-kitāb dan
bagaimana
pengaruhnya
terhadap hukum
perkawinan beda
agama. Di sini
penulis akan
menganalisi dan
2 Analisis Yuridis
Perkawinan
Beda Agama di
Indonesia
Setelah
Berlakunya
Undang-undang
Administrasi
Kependudukan
Nomor 23
Pembahasan dalam skripsi ini
adalah tentang adanya celah baru
tentang pelegalan perkawinan
antar agama di Indonesia dengan
berlakunya UU Admministrasi
Kependudukan No. 23 tahun
2006.
23 Lihat: Fatwa MUI No. 04/MUNASVII/MUI/8/2005
24
Tahun 2006
karya Ainur
Rahman tahun
2014
menguraikan
pemikiran
Muhammad
Rasyid Ridha
tentang seberapa
jauh perkawinan
beda agama
diperbolehkan
dan sejauh mana
pula perkawinan
tersebut tidak
diperbolehkan.
Serta membahas
bagaimana bila
pendapat Ridha
tentang
perkawinan beda
agama tersebut
dengan konteks
Indonesia dan
bagaimana
relevansinya
dengan hukum
perkawinan yang
berlaku di
Indonesia.
3 Analisis Kritis
Terhadap
Konsep
Pemikiran
Feminis tentang
Perkawinan
Beda Agama
karya Anih
Robbani tahun
2011
Dalam skripsi ini membahas dan
lebih menekankan tentang
perubahan Kompilasi Hukum
Islam yang diusung kaum
feminisme sudah tidak relevan
dan tentang konsep perkawinan
yang digagas kaum feminisme.
4 Hak Anak
Dalam Memilih
Agama Dari
Pasangan Beda
Agama karya
Azizi tahun
2008
Bahasan yang ditulis dalam karya
skripsi ini tentang hak-hak anak
dan kebebasan seorang anak
dalam menentukan pilihannya
dari pasangan ayah dan ibu yang
berbeda agama.
5 Perkawinan
Beda Agama
dan
Pengaruhnya
Terhadap
Agama Anak
karya M. Fuad
Dalam skripsi ini penulis
mengangkat dan membahas
pandangan hukum Islam dan
hukum positif tentang perkawinan
beda agama, kemudian membahas
mengenai status anak, kedudukan
waris dan perwalian bagi anak
25
Hadziq tahun
2003
menurut hukum Islam dan hukum
positif, dan terkahir membahas
tentang orang yang menentukan
agama anak ditinjau dari hukum
Islam dan hukum positif.
6 Hukum
Perkawinan
Beda Agama
Tinjauan
Agama-agama
yang diakui di
Indonesia karya
Jamaludin
2000.
Permasalahan yang diangkat dan
dibahas dalam skripsi tentang
maksud dan bagaimana kebebasan
perkawinan beda agama di
Indonesia menurut UUP No. 1
tahun 1974, kemudian membahas
tentang hukum perkawinan beda
agama menurut agama-agama
yang diakui di Indonesia, yang
terakhir dalam skripsi ini
membahas tentang problematika
yang dihadapi dalam keluarga dan
dampak hukum pada anak
terhadap waris, nasab dan
perkawinan.
Jika melihat dari kajian-kajian terdahulu yang dipaparkan di atas baik
berupa skripsi maupun tesis, maka jelaslah bahwa penelitian yang akan diteliti dan
dikaji ini belum pernah dibahas atau diteliti sebelumnya, karena belum ada yang
secara khusus membahas hukum perkawinan beda agama menurut pemikiran
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha. Oleh karena itu, hal ini kemudian layak dan
patut untuk diteliti sebagai sumbangsih pemikiran dan karya untuk khalayak umum.
26
BAB III
HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF FIKIH
Pada dasarnya, secara umum mazhab fikih sepakat terhadap pengharaman
perkawinan yang dilakukan oleh seorang muslim dengan seorang non-muslim. Di
antara masing-masing mazhab hanya ada beberapa pengecualian dan perbedaan, hal
itu terutama akibat adanya ketentuan khusus yang terdapat dalam QS. al-Maidah
(5) ayat 5 yang menjadikan adanya keberanjakan hukum yang berbeda di antara
masing-masing madzhab, dari yang tadinya haram ada yang menjadi makruh,
mubah dan lainnya dalam kasus perkawinan beda agama yang dilakukan seorang
laki-laki muslim dengan perempuan dari kelompok ahl al-kitāb. Berikut adalah
penjelesannya secara rinci:
A. Perempuan Muslim dengan Laki-laki Non-Muslim
Sebagaimana telah diketahui sebelumnya bahwa hukum perkawinan
antara seorang perempuan muslim dengan seorang laki-laki non-muslim, baik
ahl al-kitāb ataupun musyrik tidak ada perbedaan pendapat di antara jumhur
ulama, mereka sepakat menyatakan hukum perkawinan tersebut haram secara
mutlak. Pengharaman tersebut selain didasarkan pada QS. al-Baqarah ayat 221
juga didasarkan pada QS. al-Mumtahanah ayat 10.1
Ayat tersebut, walaupun tidak menyebut ahl al-kitāb, istilah yang
digunakannya adalah “orang-orang kafir”, dan ahl al-kitāb adalah salah satu
dari kelompok orang-orang kafir. Dengan demikian, walaupun ayat ini tidak
menyebut ahl al-kitāb, ketidak-halalan tersebut tercakup dalam kata “orang-
orang kafir”.2 Ibnu Hazm bahkan menyatakan bahwa keharaman perkawinan
antara perempuan muslim dengan laki-laki adalah haram secara mutlak.3
Sayid Sābiq menyebutkan beberapa argumen tentang sebab
diharamkannya perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki non-
muslim sebagai berikut:
1 Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2006),
h. 36 2 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah,(Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1977), h. 77 3 Ibnu Hazm, al-Mahallā bi al-Asrā Jiz 9, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1988), h. 125
27
1. Orang kafir tidak boleh berkuasa di atas orang Islam berdasarkan QS. an-
Nisa (4): 141:
فرين على ٱلمؤمني للك عل ٱلله (11141)النساء/ سبيلا ولن ي “Dan Allah takkan memberi jalan orang kafir itu mengalahkan orang
mukmin.”
2. Dalam rumah tangga campuran, pasangan suami-istri tidak mungkin tinggal
dan hidup bersama, karena perbedaan yang jauh.
3. Laki-laki kafir dan ahl al-kitāb tidak akan mau mengerti agama istrinya
yang beragama Islam, malah sebaliknya mendustakan kitab dan
mengingkari ajaran nabinya. Sedangkan, apabila laki-laki muslim
melakukan perkawinan dengan perempuan ahl al-kitāb maka dia akan mau
mengerti agama, mengimani kitab, dan nabi dari istrinya yang ahl al-kitāb
sebagai bagian dari keimanannya, karena tidak akan sempurna keimanan
seseorang tanpa mengimani kitab dan nabi-nabi terdahulu.4
Ulama kalangan mazhab Maliki berpendapat bahwa perempuan muslim
tidak boleh dikawinkan dengan laki-laki ahl al-kitāb karena pada umumnya
seorang istri tidak berani menentang suaminya. Akibatnya, dia terancam pindah
agama dan tidak mustahil anak-anaknya akan mengikuti bapak mereka,
sementara dia tidak mampu mencegah mereka. Meskipun toleran terhadap hal-
hal yang memperbaharui ikatan-ikatan sosial, Islam tidak mungkin dapat
menolerir hal-hal yang mengakibatkan seorang muslim keluar dari agamanya,
atau menjadikan keturunannya memeluk agama selain Islam.5
Dalam hal ini, Quraish Shihab menyatakan bahwa larangan perkawinan
antara perempuan muslim dengan laki-laki ahl al-kitāb diisyaratkan oleh al-
Qur’an. Isyarat ini dipahami dari redaksi dalam QS. al-Maidah (5) ayat 5 yang
hanya berbicara tentang kebolehan perkawinan laki-laki muslim dengan
perempuan ahl al-kitāb, dan sedikit pun tidak menyinggung sebaliknya.6
4 Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 2, (Beirut: Dār al-Fikr al-‘Arabȋ, 1983), h. 94-95 5 Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzāhib al-Arba’ah Juz 4, cet II, (Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiah, 2003), h. 73 6 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan, 2007), h. 261
28
Sehingga seandainya perkawinan semacam itu dibolehkan, maka pasti ayat
tersebut akan menegaskannya.
Dalil lainnya yang menyatakan keharaman perkawinan antara
perempuan muslim dengan laki-laki ahl al-kitāb yaitu sabda Nabi Muhammad
SAW, hadis nabi dari Jabir ibn Abdullah bahwa nabi bersabda:
عت ابر ابن عبد لل ج أخب رن عبد الرهزهاق قال أخب رن ابن جريج عن أب الزب ي قال 4س 7اق(ونسائ نا عليهم حرام )رواه عبد الرز ي قول4 نساء أهل الكتاب لنا حل
“Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abd al-Razaq ia berkata,
telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dari Abi Jubair ia berkata:
Aku mendengar Jabir ibn Abdullah berkata perempuan ahl al-kitāb bagi
kami (laki-laki muslim) itu halal dan perempuan muslim bagi mereka
(laki-laki ahl al-kitāb) haram.” (H.R Abd al-Razaq).”
Pendapat lain yang mengharamkan perkawinan antara perempuan
muslim dengan laki-laki ahl al-kitāb, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Baihaqi berikut:
ث نا أبو العبهاس قال4 أخب رن عبد المجيد عن أب جر يج عن أخب رن أبو سعيد قال 4 حدهع جابر ابن عبدلل يسأل عن نكاح المسلم الي هوديهة ة ف قال4 النهصرانيه و أب الزب ي أنهه س
د لمسلمات ات زوهجنا هنها زمن الفتح بلكوفة مع سعد ابن أب وقاص ونن ال نكد نراا ف لمها رجعنا طلهقنا هن وقال ال يرثن مسلماا واليرث وهن ونسائ هم لنا حل ونسائ نا كثي
رام )رواه 4 البيهقي(عليهم ح “Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id, telah
mengatakan kepada kami Abu ‘Abbas, telah mengabarkan kepada kami
Abdul Majid dari Ibnu Juraij dari Ibnu Abi Jubair bahwasanya beliau
mendengar Jabir ibn Abdullah ditanya mengenai pernikahan perempuan
Yahudi dan Nasrani. Dia berkata: “Kami menikahi mereka pada saat
pembebasan negeri Irak bersama dengan Sa’ad ibn Abi Waqas dan
ketika itu hampir tidak ada perempuan muslim yang kami temukan,
maka setelah kami kembali kami talak mereka: dan dia berkata seorang
muslim tidak mewariskan dan merekapun tidak mewariskan dan
perempuan dari kalangan mereka bagi kita halal sedangakan perempuan
kita (muslim) haram bagi (laki-laki) mereka”. (H.R Baihaqi)”
B. Laki-laki Muslim dengan Perempuan Musyrik
7 Abu Bakar Abd al-Razaq ibn Hamman al-San’ani, Musannaf Abd al-Razaq, cet. II,
(Beirut: al-Maktabah al-Islam, 1976), h. 176
29
Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara laki-laki
muslim dengan wanita musyrik hukumnya adalah haram secara mutlak.
Mazhab Hambali juga berpendapat demikian, bahwa haram hukumnya
mengawini perempuan-perempuan musyrik. Masjfuk Zuhdi juga menegaskan
bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang laki-laki muslim dengan
wanita musyrik.8 Secara tegas jumhur ulama sepakat bahwa perkawinan antara
laki-laki muslim dengan perempuan musyrik adalah haram.9 Kesepakatan
jumhur ulama mengenai pengharaman perkawinan antara laki-laki muslim
dengan perempuan musyrik tersebut berdasarkan pada surat al-Baqarah(2) ayat
221.
Ayat di atas secara jelas menjelaskan tentang sebuah larangan bagi laki-
laki muslim mengawini perempuan musyrik. Larangan tersebut muncul sebab
perbedaan keyakinan antara keduanya dapat menimbulkan sulitnya
mempertemukan visi hidup antara keduanya, orang yang beriman akan
mengajak ke surga sedangkan musyrik mengajak ke neraka, orang yang
beriman percaya kepada Allah SWT, kepada para nabi, dan hari akhir,
sedangkan orang musyrik itu menyekutukan Allah SWT, mengingkari para nabi
dan mengingkari hari akhir.10 Hal ini, sebagaimana lanjutan ayat pelarangan
tersebut dikatakan, bahwa mereka (orang-orang musyrik) itu akan membawa
kamu ke neraka, sedangkan Allah SWT akan membawa kamu ke surga dan
ampunan-Nya.11
Terkait dengan istilah perempuan musyrik yang terdapat pada ayat
tersebut di atas, di kalangan ulama muncul perbedaan pendapat. Menurut Ibnu
Jarir al-Thabari, bahwa perempuan musyrik yang dimaksud adalah perempuan
musyrik dari bangsa Arab saja, sebab ketika turunnya ayat-ayat al-Qur'an,
mereka adalah penyembah berhala dalam keadaan tidak memiliki kitab suci.
Konsekuensi dari pendapat ini, maka laki-laki muslim boleh mengawini
8 Nasrul Umam Syafi’i dan Ufi Ulfiah, Ada Apa dengan Nikah Beda Agama?, (Jakarta:
Qultum Media, 2005), h. 67. 9 Ibnu Rusyd, Bidāyah al-Mujtahȋd Wa Nihāyah al-Muqtashid, (Bayt al-Afkār al-Dauliyah,
2007), h. 570 10 Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 4 11 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah, (Bandung: Angkasa, 2005), h 155-156
30
perempuan musyrik yang bukan bangsa Arab, seperti wanita musyrik China,
India, Jepang yang diduga dahulu mempunyai kitab suci atau serupa kitab
sucinya seperti pemeluk agama Budha, Hindu, Konghucu yang percaya kepada
Tuhan Yang Maha Esa, dan percaya adanya hidup setelah mati. Pendapat di
atas terbantahkan oleh pendapat jumhur ulama yang menetapkan bahwa
perempuan musyrik itu bukan hanya terbatas pada perempuaan bangsa Arab
saja, melainkan juga mencakup semua wanita musyrik di mana pun mereka
berada.12
Sayid Sabiq dalam Fikih Sunnahnya berpendapat bahwa perempuan
musyrik di sini mencakup perempuan penyembah berhala (al-watsaniyyah),
ateis (zindȋqiyyah), perempuan yang murtad, penyembah api, dan penganut
ajaran libertin (al-Ibāhah), seperti paham wujūdiyyah.13 Muhammad Ali al-
Shabuni dalam kitab Rawaȋ’ al-Bayān Tafsȋr Ayāt al-Ahkām Min al-Qur’ān
mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan musyrikāt di sini adalah
perempuan-perempuan penyembah berhala dan mereka tidak memeluk agama
samawi.14 Sementara, Wahbah Zuhailiy menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan musyrikāt di sini adalah orang yang tidak beragama dan tidak
mempunyai kitab samawi.15 Dari beberapa definisi tersebut dapat penulis ambil
kesimpulan bahwa musyrikat dalam hal ini adalah orang-orang yang bertuhan
selain Allah SWT. atau bahkan orang-yang tak bertuhan dan tidak memiliki
kitab suci (samawi).
Alasan lain yang memperkuat keharaman mengawini perempuan yang
tidak beriman terutama penyembah berhala dan kaum ateis seperti tersebut di
atas menurut al-Maududi sebagaimana dikutip oleh Abdul Mutaal karena kedua
macam kelompok tersebut teramat jauh jurang pemisahnya dari agama Islam,
baik dilihat dari aspek peradaban dan kepercayaannya, maka haram juga
mengawini perempuan dari salah satu kelompok tersebut.16
12 Shidiq, Fikih Kontemporer, h. 4 13 Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 2, h. 89 14 Muhammad Ali Al-Shabuni, Rawaȋ’ al-Bayān Tafsȋr Ayāt al-Ahkām Min al-Qur’ān Juz
1, (Damaskus: Maktabah Al-Ghazali,tt), h. 282 15 Wahbah Zuhailiy, Tafsȋr al-Wasȋth, (Beirut: Dār al-Fikr al-Ma’ashȋr, tt), h. 118 16 Shidiq, Fikih Kontemporer, h. 5
31
C. Laki-laki Muslim dengan Perempuan Ahl al-Kitāb
Secara umum, perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan
ahl al-kitāb yang masih berpegang kepada kitab selain al-Qur’an hukumnya
boleh berdasarkan QS. al-Maidah (5) ayat 5. Menurut Yusuf Qardhawi,
pembolehan tersebut berdasarkan dalil al-Qur’an yang menyatakan bahwa ahl
al-kitāb diistimewakan dalam hal muamalah dan ahl al-kitāb termasuk
serumpun dengan Islam, yaitu sama-sama agama samawi meskipun secara
kenyataan bahwa ahl al-kitāb pada zaman Nabi Muhammad SAW sudah dalam
keadaan musyrik. Namun al-Qur’an tetap membolehkan laki-laki muslim
mengawini perempuan ahl al-kitāb. Jika dikorelasikan dengan QS. al-Baqarah
(2) ayat 221 sebagaimana telah dituliskan di atas maka kebolehan mengawini
perempuan ahl al-kitāb dapat dikatakan sebagai sebuah pengecualian terhadap
keumuman ayat tersebut. Dilihat dari turunnya, bahwa QS. al-Maidah (5) ayat
5 yang mengisyaratkan bolehnya laki-laki muslim mengawini perempuan ahl
al-kitāb turun lebih akhir dibandingkan dengan QS. al-Baqarah (2) ayat 221
sehingga hukum kebolehannya tetap berlaku.17
Namun berkenaan dengan perkawinan beda agama antara laki-laki
muslim dengan perempuan ahl al-kitāb ini ulama berbeda pendapat sebagai
berikut:
1. Mazhab Hanafi
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawninan beda agama antara
laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb hukumnya boleh sebagaimana
ayat tersebut di atas.18 Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa ahl al-kitāb di
sini adalah siapa pun yang mempercayai salah seorang nabi atau salah satu kitab
yang pernah diturunkan Allah SWT, maka ia termasuk ahl al-kitāb, tidak hanya
terbatas pada kelompok agama Yahudi dan Nasrani. Dengan demikian, bila ada
suatu kelompok yang hanya percaya kepada kitab Zabur (kitab suci yang
17 Shidiq, Fikih Kontemporer, h. 6 18 Huzaimah, Masail Fiqhiyah, h. 156
32
diturunkan kepada nabi Daud) atau Suhūf Nabi Ibrahim dan Syits saja, maka ia
pun termasuk dalam jangkauan pengertian ahl al-kitāb.19
Ulama mazhab Hanafi berpendapat, bahwasanya perkawinan antara
seorang laki-laki muslim dengan seorang perempuan ahl al-kitāb tidak
diperbolehkan jika perempuan ahl al-kitāb tersebut tinggal di negeri perang
(dār al-harb) yang tidak tunduk kepada hukum-hukum Islam, karena itu berarti
membuka pintu bagi timbulnya fitnah. Sebab, perempuan ahl al-kitāb tersebut
dikhawatirkan dapat mempengaruhi suaminya yang muslim hingga berperilaku
sebagaimana perilakunya yang bertentangan dengan hukum-hukum Islam dan
dapat membuat anaknya berpaling memeluk agama selain Islam, serta membuat
dirinya tertekan hingga berakibat pada prahara yang tiada taranya, yaitu
kehilangan pengaruhnya untuk menjaga kehormatan istrinya dan kerusakan
kerusakan lainnya. Maka meskipun akadnya dinyatakan sah, hanya saja
perkawinan seorang laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb macam
ini merupakan tindakan yang makrūh tahrȋm (harus dihindari) karena berakibat
pada berbagai kerusakan di kemudian hari. Adapun perkawinan seorang laki-
laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb yang tinggal di negeri Islam
(dzimmiyyah) dan tunduk terhadap perundang-undangan Islam diperbolehkan.
Namun, perkawinan tersebut sebaiknya dihindari (makrūh tanzȋh).20
2. Mazhab Maliki
Di antara para ulama mazhab Maliki mencuat dua pendapat dalam hal
perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb. Pendapat
pertama menyatakan bahwa megawini perempuan ahl al-kitāb hukumnya
makruh secara mutlak, baik perempuan tersebut berada di negeri Islam
(dzimmiyah) maupun berada di negeri perang (dār al-harb). Hanya saja
kemakruhan perempuan ahl al-kitāb yang berada di negeri perang (dār al-
harb). Pendapat kedua menyatakan bahwa hukumnya tidak makruh secara
mutlak sebab zahir QS. al-Maidah (5) ayat 5 memperkenankan perempuan ahl
al-kitāb untuk dikawini secara mutlak. Tetapi tetap saja makruh karena
19 Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 483-484 20 Al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzāhib al-Arba’ah Juz 4, cet II, h. 73
33
digantungkan kemakruhannya terkait dengan dār al-islām (pemerintahan
Islam), sebab perempuan ahl al-kitāb tetap saja boleh minum khamr, memakan
babi dan pergi ke gereja. Padahal suaminya tidak melakukan itu semua.21
Barangkali ada yang mengatakan bahwa larangan-larangan yang
dikemukakan ini adalah berarti diharamkan. Bagi mazhab Maliki mendasarkan
hal itu pada alasan syad al-dzarȋ’ah (langkah preventif untuk menutup pintu
bahaya yang lebih besar). Jika perkawinan antara laki-laki muslim dengan
perempuan ahl al-kitāb ini menimbulkan kerusakan atau dikhawatirkan akan
menimbulkan kerusakan-kerusakan, maka melaksanakan perkawinan tersebut
haram hukumnya.22
Pendapat tersebut dapat dibantah, bahwa hal tersebut dapat dibenarkan
jika tidak ada ketentuan berdasarkan teks syariat (yang membolehkan). Adapun
jika nyatanya Allah SWT memperkenankan perkawinan antara laki-laki muslim
dengan perempuan ahl al-kitāb, maka tentunya di balik semua itu ada maslahat
terkait pembolehan tersebut. Sebab bisa saja lantaran adanya perkawinan
tersebut membawa kemaslahatan bagi agama dan memuliakannya, atau
menghindarkan berbagai permasalahan serta menghilangkan berbagai
kebencian dan kedengkian. Lebih-lebih perkawinan itu dapat memberikan
kesan positif tentang toleransi dalam Islam dan kelonggarannya terhadap orang-
orang yang berbeda keyakinan dari kalangan ahl al-kitāb, karena agama
membolehkan laki-laki hidup berdampingan dengan perempuan ahl al-kitāb
yang tetap memeluk agamanya tanpa menyimpan permusuhan terhadap orang-
orang yang berbeda agama tersebut, tidak pula menyembunyikan kedengkian
terhadap mereka.23
Kemudian, menurut mereka yang membolehkan tidak ada keharusan
bagi perempuan ahl al-kitāb yang melakukan perkawinan dengan laki-laki
muslim agar kedua orangtuanya harus dari golongan ahl al-kitāb juga.
21 Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam, h. 41 22 Al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzāhib al-Arba’ah Juz 4, cet II, h. 73 23 Al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzāhib al-Arba’ah Juz 4, cet II, h. 73
34
Perkawinan itu akan tetap sah sekalipun ayahnya seorang ahl al-kitāb
sementara ibunya adalah seorang penyembah berhala.24
3. Mazhab Syafi’i
Kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa perkawinan antara laki-laki
muslim dengan perempuan merdeka dari ahl al-kitāb adalah halal.
Sebagaimana yang ia tuliskan dalam karya besarnya kitab al-Umm “dihalalkan
menikahi perempuan merdeka dari ahl al-kitāb bagi setiap laki-laki muslim
tanpa kecuali karena Allah SWT telah menghalalkannya, dan saya lebih
menyukai apabila laki-laki muslim tidak menikahinya”.25
Selanjutnya Imam Syafi’i mengatakan bahwa ahl al-kitāb yang
dihalalkan adalah pemeluk Yahudi dan Nasrani, tidak termasuk Majusi, juga
tidak termasuk orang-orang Arab yang masuk ke dalam Yahudi dan Nasrani
karena asal agama mereka sesat dengan menyembah berhala kemudian mereka
pindah kepada agama ahl al-kitāb bukan karena mereka beriman dengan Taurat
dan Injil dan sembelihan mereka juga tidak halal. Demikian juga tidak termasuk
ahl al-kitāb orang-orang ‘azam yaitu yang bukan orang-orang Arab yang masuk
ke dalam agama ahl al-kitāb karena asal agama nenek moyangnya adalah
penyembah berhala.26
Para ulama fuqaha dari kalangan mazhab Syafi’i memandang makruh
hukum perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb
yang berada di negeri Islam, dan hukum makruh ini semakin ditekankan jika
perempuan ahl al-kitāb tersebut berada di negeri perang (dār al-harb),
sebagaimana pendapat dari sebagian ulama fuqaha kalangan mazhab Maliki.
Akan tetapi ulama fuqaha Syafi’iyah memandang kemakruhan tersebut apabila
terjadi dalam beberapa keadaan berikut:
1) Tidak terbesit oleh calon mempelai laki-laki yang muslim untuk
mengajak perempuan ahl al-kitāb calon istrinya tersebut untuk masuk
Islam.
24 Sudarto, Masail Fiqhiyah Al-haditsah, (Yogyakarta: CV. Budi Utama, 2018), h. 32 25 Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm Juz 6, (Dār al-Wafā’, 2001), h. 16 26 Al-Syafi’i, al-Umm Juz 6, h. 17
35
2) Tidak ada perempuan Muslimah Sālihah yang dapat ia kawini
3) Apabila tidak mengawini perempuan ahl al-kitāb tersebut ia bisa
terperosok ke dalam perbuatan zina.27
Jadi, jika laki-laki tersebut mengharapkan keislaman perempuan ahl al-
kitāb yang ia kawini, dan ia tidak mendapatkan perempuan muslim yang baik
baginya, maka hukum baginya adalah sunah (dianjurkan) untuk mengawininya.
Demikian pula disunahkan (dianjurkan) kepadanya untuk mengawini
perempuan ahl al-kitāb yang baik baginya sebagai pendamping hidupnya dalam
rumah tangga yang diridhai, jika dia tidak mengawini perempuan ahl al-kitāb
tersebut dikhawatirkan dia akan melakukan perbuatan zina, sebagai antisipasi
dari terjadinya perbuatan terlarang. Dari ulasan ini jelaslah bahwa masalahnya
berkisar di balik maslahat dan mafsadat (kerusakan). Jika perkawinan dengan
perempuan ahl al-kitāb tersebut mendatangkan maslahat, maka perkawinannya
merupakan perkawinan yang terpuji. Dan jika menimbulkan mafsadat maka
perkawinannya makruh.28
Yahudi dan Nasrani yang termasuk dalam kelompok ahl al-kitāb
menurut kalangan ulama Syafi’iyah hanyalah Yahudi dan Nasrani dari etnis
Israil. Etnis Israil adalah keturunan Yakub as. Sedang bangsa-bangsa lain yang
menganut agama Yahudi dan Nasrani tidak termasuk di dalamnya. Agaknya
Imam Syafi’i tidak memahami ahl al-kitāb sebagai komunitas penganut agama
yang dibawa Nabi Musa dan Nabi Isa, tetapi mereka memahaminya sebagai
komunitas etnis yaitu Bani Israil. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa Nabi
Musa dan Nabi Isa hanya diutus kepada Bani Israil dan bukan kepada bangsa-
bangsa lain. Dengan demikian, mereka yang menganut agama Yahudi dan
Nasrani selain dari keturunan Bani Israil tidak dapat dikategorikan sebagai ahl
al-kitāb. Etnis di luar Israil ini terbagi menjadi tiga golongan, yaitu:29
1) Golongan yang masuk agama Yahudi atau Nasrani sebelum agama
tersebut mengalami perubahan, seperti orang-orang Romawi.
27 Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam, h. 41-42 28 Al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzāhib al-Arba’ah Juz 4, cet II, h. 74 29 Muhammad Galib, Alh al-Kitab Makna dan Cakupannya, (Jakarta: Paramadina, 1998),
h. 57-59
36
2) Golongan yang masuk agama Yahudi dan Nasrani setelah agama
tersebut mengalami perubahan.
3) Golongan yang tidak diketahui kapan mereka masuk agama Yahudi atau
Nasrani, apakah sebelum atau sesudah agama tersebut mengalami
perubahan.
Mazhab Syafi’i juga memberikan syarat terkait diperkenankannya
perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb. Yaitu,
kedua orangtua perempuan ahl al-kitāb tersebut juga harus ahl al-kitāb.
Seandainya bapaknya ahl al-kitāb sementara ibunya penyembah berhala, maka
dia tidak boleh dikawini walaupun dia sudah baligh dan memiliki agama
bapaknya dan dia sendiri merupakan seorang ahl al-kitāb.30
4. Mazhab Hambali
Para ulama mazhab Hambali berpendapat bahwa laki-laki muslim
diperbolehkan mengawini perempuan ahl al-kitāb berdasarkan keumuman QS.
al-Maidah (5) ayat 5 yang telah dituturkan di atas. Disyaratkan bagi perempuan
ahl al-kitāb tersebut adalah perempuan merdeka (bukan budak), karena al-
muhshanāt yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah perempuan merdeka.31
Mayoritas ulama Hanabilah berpendapat sama dengan ulama
Syafi’iyah, mereka menyatakan bahwa ahl al-kitāb khusus menunjuk kepada
komunitas Yahudi dan Nasrani. Sementara sebagian lain ulama Hanabilah
berpendapat sama seperti mazhab Hanafiyah, bahwa siapa pun yang
mempercayai salah seorang nabi atau kitab yang pernah pernah diturunkan
Allah SWT, maka ia termasuk ahl al-kitāb, tidak hanya sebatas penganut agama
Yahudi dan Nasrani. Dengan demikian, apabila ada seseorang yang hanya
mengimani kitab Zabur atau Suhūf Ibrahim dan Syits saja, maka ia pun
termasuk dalam kelompok ahl al-kitāb.32
Seperti halnya ulama Syafi’iyah, ulama Hanabilah pun dalam
pembolehan perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-
30 Al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzāhib al-Arba’ah Juz 4, cet II, h. 74 31 Al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzāhib al-Arba’ah Juz 4, cet II, h. 74 32 Galib, Alh al-Kitab Makna dan Cakupannya, h. 57-58
37
kitāb memberikan syarat untuk kedua orangtua perempuan ahl al-kitāb tersebut
harus seorang ahl al-kitāb juga. Ulama Hanabilah tidak membolehkan jika
salah satu atau keduanya bukan seorang ahl al-kitāb.33
5. Mazhab Ja’fari
Terdapat beberapa perbedaan pendapat dikalangan ulama mazhab
Ja’fari mengenai hukum perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan
ahl al-kitāb. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa perkawinan macam
tersebut tidak baik dalam bentuk kawin dāim ataupun kawin sementara
(mut’ah). Mereka mendasarkan pendapatnya pada QS. al-Mumtahanah (60)
ayat 10, QS al-Baqarah ayat 221. Di sini mereka menafsirkan syirk dengan
kufur dan non-Islam. Ahl al-kitāb menurut yang diberikan al-Qur’an bukanlah
orang-orang musyrik.34 al-Qur’an mengatakan:
(1:41ينة/... )البل يكن ٱلهذين كفروا من أهل ٱلكتب وٱلمشركي منفك ي
“Orang-orang kafir yakni ahl al-kitāb dan orang-orang musyrik
(mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya)…”
Sementara sebagian lainnya berpendapat bahwa perkawinan antara laki-
laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb hukumnya boleh, baik dalam
bentuk kawin dāim atau kawin sementara (mut’ah). Mereka mendasarkan
pendapatnya pada QS. al-Maidah (5) ayat 5 yang secara zahir membolehkan
mengawini perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya di antara
perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan ahl al-kitāb.
Sedangkan sebagian kelompok lainnya lagi berpendapat bahwa
mengawini perempuan ahl al-kitāb diperbolehkan jika dalam bentuk kawin
sementara (mut’ah), akan tetapi tidak diperbolehkan dalam bentuk kawin dāim.
Mereka yang berpendapat demikian mengombinasikan antara dalil yang
melarang dan membolehkan. Dalil yang menunjukkan larangan menurut
33 Al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzāhib al-Arba’ah Juz 4, cet II, h. 74 34 Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Madzhab, Pen. Masykur AB dkk, Cet. 27,
(Jakarta: Lentera, 2011), h. 269
38
mereka adalah larangan untuk kawin dāim, sedangkan dalil yang membolehkan
untuk pembolehan kawin sementara.35
35 Jawad Mughniyah, Fikih Lima Madzhab, h. 269-270
39
BAB IV
RASYID RIDHA DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA
A. Riwayat Hidup Rasyid Ridha
Sebelum penulis mengemukakan konsep hukum perkawinan beda agama
menurut Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, ada baiknya jika dikemukakan terlebih
dahulu riwayat hidup tokoh tersebut secara singkat. Dari riwayat hidupnya tersebut
akan dapat kita ketahui latar belakang pemikirannya, terutama yang berkaitan
dengan perkawinan beda agama. Riwayat hidupnya yang akan coba penulis
kemukakan di sini meliputi beberapa hal, diantaranya keadaan umat Islam pada
masa Rasyid Ridha, kelahiran, pendidikan, karya dan wafatnya beliau.
1. Kondisi Umat Islam pada Masa Rasyid Ridha
Syaikh Sayyid Muhammad Rasyid Ridha hidup pada kurun waktu antara
sepertiga akhir abad ke-19 dan sepertiga awal abad ke-20. Kurun waktu tersebut
merupakan kurun waktu kelabu dalam sejarah Arab modern jika dibandingkan
dengan kurun-kurun waktu sebelumnya. Sebab, saat itu kaum imperialis Barat telah
bersekutu dengan kaum zionis internasional untuk memecah-belah umat Islam,
membagi-bagi negeri-negeri mereka dan merampas harta kekayaan mereka. Pada
kurun tersebut kerajaan Turki Usmani yang pernah menjadi kerajaan adikuasa telah
pula mengalami kemunduran yang drastis. Sejak abad ke-18 Turki Usmani selalu
kalah dalam peperangannya dengan Eropa. Turki Usmani tidak mampu lagi
menghentikan gerak maju negara-negara Eropa ke dunia Islam dan tidak dapat lagi
mempertahankan integritas kedaulatannya. Akhirnya, pada tanggal 3 Maret 1924
Kerajaan Turki Usmani sendiri telah diubah menjadi Negara Republik Turki yang
beraliran sekuler.1
1 A. Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar, (Jakarta,
Erlangga, 2006), h. 21-23
40
Sejak kehancuran Kerajaan Turki Usmani tersebut, keadaan umat Islam
dunia, kecuali di Turki sendiri, Iran, Arab Saudi dan Afganistan sudah menjadi
umat yang dijajah oleh bangsa-bangsa Eropa. Di samping pemerintahan-
pemerintahan mereka sudah runtuh dan bangsa-bangsa mereka sudah hancur
keadaan umat Islam semakin menyedihkan ketika mereka sendiri selaku umat
Islam tidak dapat mengetahui hakikat-hakikat ajaran-ajaran agama mereka dan
tidak pula mampu mengetahi ajaran-ajaran agama Islam yang dapat membawa
mereka kepada kemajuan dan kehidupan yang baik di dunia, tarekat-tarekat sufi
yang menyesatkan berkembang pesat dan bersamaan dengan itu pula budaya barat
telah masuk ke negeri-negeri Islam dengan membawa paham-pahamnya, seperti
nasionalisme, sekularisme, sosialisme, kapitalisme dan komunisme yang sudah
merasuki pemikiran umat Islam. Selain itu umat Islam juga jauh tertinggal dari
umat Kristen dalam bidang ilmu pengetahuan.2
Menurut Rasyid Ridha, umat Islam pada masanya dapat dibagi menjadi tiga
golongan. Pertama, golongan yang berpikiran jumud. Mereka beranggapan bahwa
ilmu agama adalah ilmu yang terdapat di dalam kitab-kitab yang telah disusun oleh
para pemuka madzhab-madzhab dan aliran-aliran, seperti Ahlussunnah, Syi’ah
Zaidiyah dan Syi’ah Itsna Asy’ariyah. Kedua, golongan yang berkilat pada
kebudayaan modern. Mereka beranggapan bahwa syariat Islam tidak relevan lagi
untuk diterapkan di masa kini. Ketiga, golongan yang menginginkan pembaruan
Islam. Mereka ini yang menyerukan agara umat Islam kembali kepada al-Qur’an
dan al-Sunnah, namun dengan penafsiran yang sesuai dengan kemajuan zaman,
karena tidak ada pertentangan antara Islam dan kebudayaan modern. Rasyid Ridha
sendiri adalah salah seorang tokoh ulama, penulis dan pemikir dari golongan ketiga
yang terdorong untuk mengubah dan memperbaiki kondisi umat Islam menjadi
2 Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 23-25
41
umat yang mampu melepaskan diri dari cengkeraman kaum imperialis dan menjadi
umat yang mampu bersaing dengan umat-umat lain. 3
2. Kelahiran Rasyid Ridha
Rasyid Ridha atau lengkapnya Sayyid Muhammad Rasyid Ridha ibn ‘Ali
Ridha ibn Muhammad Syamsuddin ibn Manla4 dilahirkan pada hari Rabu, tanggal
27 Jumādȋ al-Ȗlā 1282 H atau 18 Oktober 1865 M di Qalamun, sebuah desa yang
terletak di pantai Laut Tengah, sekitar tiga mil jauhnya di sebelah selatan kota
Tripoli, Libanon. Saat itu Libanon merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Turki
Usmani.5 Ayahnya adalah seorang pengikut tarekat Syadziliyah, seorang
bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina
Husain, putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri dari Rasulullah Muhammad
saw.6
Gelar “Sayyid” yang disematkan pada permulaan namanya adalah gelar
yang biasa disematkan kepada semua yang mempunyai garis keturunan tersebut.
Keluarga Rasyid Ridha dikenal oleh lingkungan sekitarnya sebagai keluarga yang
sangat taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga selain disebut
sebagai “Sayyid” mereka juga dikenal dengan sebutan “Syaikh”. 7
Salah seorang kakek Rasyid Ridha yang bernama Sayyid Syaikh Ahmad
adalah orang yang wara’ dimana seluruh waktunya hanya ia gunakan untuk
membaca dan beribadah, serta tidak menerima tamu kecuali sahabat-sahabat
terdekat dan ulama, itu pun hanya pada waktu-waktu tertentu, yaitu antara Ashar
dan Maghrib. Ketika Rasyid Ridha beranjak remaja, sang ayah pun telah mewarisi
kedudukan, wibawa serta ilmu sang nenek, sehingga Rasyid Ridha banyak
3 Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 25-26 4 A. Hasan Asy’ari Ulama’i, Membedah Kitab Tafsir-Hadis Dari Imam Ibn Jarir al-Thabari
hingga Imam al-Nawawi al-Dimasyqi, (Semarang: Walisongo Press, 2008), h. 61 5 Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 26 6 Ma’shum Nur Alim, Hermeneutika Penafsiran Ayat-ayat Kalam dalam Tafsir al-Manar,
(Tangerang Selatan, YPM Press, tt), h. 54 7 M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar, (Jakarta,
Lentera Hati, 2006), h. 71
42
terpengaruh dan belajar dari ayahnya sendiri.8 Hal tersebut sebagaimana Rasyid
Ridha tulis dalam buku hariannya sendiri yang dikutip oleh Ibrahim Ahmad Al-
Adawi:
“Ketika aku mencapai umur remaja, aku melihat di rumah kami pemuka-
pemuka agama Kristen dari Tripoli dan Lebanon, bahkan aku lihat pula
pendeta-pendeta, khususnya pada hari-hari raya, aku melihat ayahku
raẖȋmahullāh berbasa-basi dengan mereka sebagaimana beliau berbasa-
basi dengan penguasa dan pemuka-pemuka masyarakat Islam. Ayahku
menyebut apa yang beliau ketahui tentang kebaikan-kebaikan mereka
secara objektif, tetapi tidak di hadapan mereka. Ini adalah salah satu sebab
mengapa aku menganjurkan untuk bertoleransi serta mencari titik temu dan
kerja sama antara semua penduduk negeri atas dasar keadilan dan kebijakan
yang dibenarkan oleh agama, demi kemajuan Negara”9
3. Pendidikan Rasyid Ridha
Selain belajar dari orang tuanya, Rasyid Ridha belajar juga kepada sekian
banyak guru. Di masa kecil dia belajar di taman-taman pendidikan di kampungnya
yang ketika itu dinamai al-kuttāb, di sana diajarkan membaca al-Qur’an, menulis
dan matematika dasar.10
Setelah menyelesaikan pendidikannya di al-kuttāb, Rasyid Ridha tidak
langsung melanjutkan pelajarannya ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi, tetapi
Rasyid Ridha hanya melanjutkannya dengan belajar pada orangtuanya dan para
ulama setempat. Baru beberapa tahun kemudian, Rasyid Ridha meneruskan
pendidikannya di Madrasah Ibtidāiyyah al-Rusydiyyah di Tripoli (Lebanon) yang
mengajarkan nahwu, sharaf, akidah, fikih, berhitung dan ilmu bumi dengan bahasa
pengantar bahasa Turki mengingat Lebanon ketika itu berada di bawah kekuasaan
kerajaan Turki Usmani. Madrasah tersebut bertujuan untuk mempersiapkan sumber
daya manusia yang akan menjadi pegawai-pegawai pemerintah.11
8 Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar, h. 71-72 9 Ibrahim Ahmad al-Adawi, Rasyid Ridha al-Imām al-Mujāhid, (Kairo, Mathba’ah Mishr,
1964), h. 21 10 Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar, h. 72 11 Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 27
43
Oleh karena enggan menjadi pegawai pemerintah, setahun kemudian, yaitu
pada tahun 1299 H/1822, Rasyid Ridha keluar dari Madrasah al-Rusydiyyah dan
melanjutkan pendidikannya di Madrasah Watāniyyah Islāmiyyah yang didirikan
dan dipimpin oleh Syaikh Husayn al-Jisr (w. 1327 H/1909 M), seorang ulama besar
Lebanon yang telah dipengaruhi oleh ide-ide pembaruan yang digulirkan oleh al-
Sayyid Jamāl al-Dȋn al-Afghānȋ dan Syaikh Muẖammad ‘Abduh.12 Syaikh inilah
yang kelak mempunyai andil sangat besar terhadap perkembangan pikiran Rasyid
Ridha, karena hubungan antara keduanya tidak terhenti walaupun kemudian
sekolah itu ditutup oleh pemerintah Turki. Syaikh Husayn al-Jisr juga yang
memberi kesempatan kepada Rasyid Ridha untuk menulis di beberapa surat kabar
Tripoli. Kesempatan itu kelak mengantarnya memimpin majalah al-Manār.13
Selain belajar pada Syaikh al-Jisr, Rasyid Ridha juga pernah belajar pada
ulama-ulama besar yang lain, seperti Syaikh ‘Abdulghanȋ al-Rāfi’ȋ, Syaikh
Muẖammad al-Qawāqijȋ, dan Syaikh Maẖmūd Nasyābah. Pada Syaikh
‘Abdulghanȋ al-Rāfi’ȋ dan Syaikh Muẖammad al-Qawāqijȋ, Rasyid Ridha belajar
ilmu-ilmu bahasa Arab beserta sastranya dan tasawuf, sedangkan pada Syaikh
Maẖmūd Nasyābah, ia belajar fikih Imam Syafi’i dan hadis. Berkat didikan dari
Syaikh Maẖmūd Nasyābah itulah pula, Ridha kelak menjadi seorang pakar fikih
dan pakar hadis.14
4. Wafatnya Rasyid Ridha
Dalam perjalanan pulang dari kota Suez di Mesir, setelah mengantar
Pangeran Sa’ud al-Faisal (yang kemudian menjadi raja Saudi Arabia), mobil yang
dikendarai Ridha mengalami kecelakaan dan dia mengalami gegar otak. Selama
dalam perjalanan, Rasyid Ridha hanya membaca al-Qur’an, meski ia telah sekian
kali muntah. Setelah memperbaiki posisinya, tanpa disadari oleh orang-orang yang
12 Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 27 13 Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar, h. 73 14 Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 28
44
menyertainya, beliau wafat dengan wajah yang sangat cerah disertai senyuman
pada tanggal 23 Jumadil Awal 1354 H, bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M.15
B. Perkawinan Beda Agama Menurut Rasyid Ridha
1. Perkawinan Laki-laki Muslim dengan Perempuan Musyrik
Dalam hal perkawinan beda agama antara laki-laki Muslim dengan
perempuan musyrik Rasyid Ridha berpendapat bahwa hukumnya haram secara
mutlak sebagaimana teks zahir QS. al-Baqarah ayat 221 yang secara jelas
mengharamkannya.16 Terkait makna musyrik dalam ayat tersebut, Rasyid Ridha
menyatakan bahwa perempuan musyrik yang haram untuk dikawini dalam ayat
tersebut adalah perempuan-perempuan dari bangsa Arab yang tidak memiliki kitab
suci sebagai pedoman hidupnya.17 Penafsiran Rasyid Ridha tersebut adalah
pendapat yang telah disepakati dan didukung oleh Ibnu Jārir al-Thabarȋ
sebagaimana ia tuangkan dalam kitab tafsirnya.18
Terkait makna dan cakupan term musyrȋk di sini al-Thabari kitab Jamȋ al-
Bayān fi Ta’wȋl al-Qur’an mengungkapkan beberapa pendapat para ulama
mengenai hal tersebut. Menurutnya, ada tiga pendapat yang terlihat berbeda di
antara para ulama, antara lain adalah:
1) QS. al-Baqarah (2) ayat 221 merupakan dalil pengharaman kepada setiap
Muslim untuk menikahi wanita musyrik secara general, baik penyembah
berhala, Yahudi, Nasrani, maupun Majusi, terkecuali ahl al-kitāb. Hal itu
disebabkan adanya ayat yang menasakh keharaman menikahi wanita
musyrik.
2) Terminologi musyrik dalam ayat tersebut dikhususkan bagi wanita musyrik
Arab, meskipun secara zahir nas terlihat mencakup seluruh wanita musyrik.
15 Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar, h. 80-81 16 Sholāhuddȋn al-Munjad, Fatāwā al-Imām Muhammad Rasyȋd Ridhā, (T.tp, T.t) h. 749 17 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 2, cet II, (Dār al-Manār, 1947), h.
348-349 18 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 6, cet II, h. 193
45
3) Ayat tersebut mencakup seluruh wanita musyrik tanpa terkecuali, baik
penyembah berhala, Majusi, maupun ahl al-kitāb, tanpa ada ayat yang
menaskhnya.19
Menurut Ridha, dari semua pendapat yang dikemukakan, al-Thabari
memposisikan diri berada dan sejalan dengan pendapat Qatadah, yaitu pada
kelompok kedua yang menyatakan terminologi musyrik dalam ayat tersebut secara
khusus hanya menunjuk kepada musyrikāt Arab. Ridha juga mengaskan bahwa QS.
al-Baqarah ayat 221 tidak pernah menasakh (menganulir) ayat manapun, seperti
QS. al-Maidah ayat 5 yang membolehkan perkawinan laki-laki Muslim dengan
perempuan ahl al-kitāb karena menurutnya sangat tidak logis jika ayat yang datang lebih
dulu menganulir ayat yang datangnya belakangan.20 Selain itu, menurutnya dari teks
ayat tersebut secara zahir bersifat umum. Akan tetapi, secara aplikatif ayat tersebut
bersifat khusus, ayat tersebut juga tidak pernah dinasakh (dianulir) oleh ayat
manapun.21
Pernyataan dari Rasyid Ridha yang telah dituliskan di atas sangat jelas
sekali bahwa Rasyid Ridha mengharamkan perkawinan antara laki-laki Muslim
dengan perempuan musyrik (bangsa Arab). Alasan dari pengharaman perkawinan
tersebut menurut Rasyid Ridha adalah karena orang musyrik merupakan salah satu
faktor yang dapat menjerumuskan atau mengajak seorang Muslim ke dalam api
neraka, baik dengan perkataan atau perbuatan mereka. Maka, menjalin sebuah
ikatan kasih dengan mereka dalam bentuk perkawinan merupakan faktor terbesar
yang bisa mewujudkan kehinaan seorang Muslim, yaitu masuk neraka.22
Rasyid Ridha kembali menegaskan mengenai pendapatnya tentang
pengharaman tersebut dengan bersumpah bahwa mengawini perempuan hamba
sahaya yang beriman kepada Allah swt dan Nabi Muhammad SAW jauh lebih baik
19 Ibn Jarȋr al-Thabārȋ, Jamȋ al-Bayān fi Ta’wȋl al-Qur’an Juz 1, (Beirut: Muassasah Al-
Risālah, tt), h. 594-595 20 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 2, cet II, h. 349 21 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 6, cet II, h. 191 22 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 2, cet II, h. 353
46
dibandingkan dengan mengawini perempuan musyrik yang cantik.23 Karena,
perempuan musyrik dikawini tersebut tidak memiliki pedoman yang bisa dijadikan
olehnya sebagai prinsip dalam kehidupan agar ia terbiasa dengan kebaikan dan
menjauhi kemungkaran dan juga ketika melakukan pengkhiantan kepada suaminya
perempuan musyrik tidak akan merasa bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan
yang berdosa.24
2. Perkawinan Laki-laki Muslim dengan Perempuan Ahl al-Kitāb
Menurut Rasyid Ridha dengan berpegang pada QS. al-Maidah (5) ayat 5
mereka perempuan-perempuan ahl al-kitāb halal secara mutlak hukumnya bagi
laki-laki muslim untuk dikawini.25 Berbeda dengan mayoritas ulama fikih yang
menafsirkan ahl al-kitāb hanya pemeluk Yahudi dan Nasrani, dalam penafsirannya
terhadap makna ahl al-kitāb pada ayat tersebut Rasyid Ridha berpendapat bahwa
ahl al-kitāb tidak hanya sebatas dua kelompok agama Yahudi dan Nasrani
sebagaimana pendapat sebagian besar ulama fuqahā. Menurut Rasyid Ridha ahl al-
kitāb adalah semua penganut agama dan kepercayaan yang memiliki dan
berpedoman kepada suatu kitab yang dianggap sebagai kitab suci, seperti Majusi,
Shabi’un, Hindu, Budha, Konghucu, Sinto dan lain-lain.26
Hal tersebut di atas menurut Ridha juga berdasarkan pada fakta sejarah yang
ada serta penjelasan dan pernyataan dari al-Qur’an sendiri, bahwa pada setiap
masing-masing umat telah diutus oleh Allah swt kepada mereka seorang rasul.
Mereka juga memiliki kitab suci sebagai pedoman hidup mereka yang dibawa oleh
nabi yang diutus kepada mereka, hanya saja terjadi penyelewengan (taẖrȋf)
terhadap kitab suci tersebut sebagaimana terjadi pada kitab suci Yahudi dan
Nasrani. Apalagi menurut Rasyid Ridha hukum asal dari perkawinan itu adalah
23 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 2, cet II, h. 350 24 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 2, cet II, h. 352 25 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 6, cet II, h. 180 26 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 6, cet II, h. 193
47
boleh. Oleh sebab itulah nas untuk mengatur dan menjelaskan mengenai hal-hal
dan perkara apa saja perkawinan tersebut dilarang atau diharamkan.27
Pendapat senada mengenai cakupan makna ahl al-kitāb dikemukan oleh
beberapa ulama kontemporer, diantaranya, Maulana Muhammad Ali yang
menyatakan bahwa kaum Kristen, Yahudi, Majusi, Budhis dan Hindu (termasuk
Shikh), semuaya tergolong ahl al-kitāb. Walaupun menurut ajaran Kristen, Yesus
Kristus disebut sebagai Allah atau anak Allah sehingga dapat disebut sebagai syirik,
tetapi kaum Kristen diperlakukan sebagai ahl al-kitāb, bukan sebagai musyrik.
Karena itu, semua bangsa yang memeluk agama yang pernah diturunkan Allah swt
harus diperlakukan sebagai ahl al-kitāb, walaupun agama mereka sekarang berbau
syirik karena kesalahan mereka. Kemudian, Maulana Muhammad Ali justru
mengkritik para fuqahā dengan mengatakan bahwa sungguh aneh kaum Majusi
tidak diakui sebagai kaum ahl al-kitāb. Padahal dalam kitab Hidāyah (al-Qur’an)
dikatakan secara terang-terangan bahwa kaum Shabi’un diakui sebagai ahl al-kitāb.
Jika mereka diakui sebagai ahl al-kitāb karena mereka menganut agama Shabi’un
dan mempunyai kitab suci, maka tidak ada alasan untuk tidak mengakui kaum
Majusi, kaum Hindu dan penganut agama lain yang sama-sama mempunyai kitab
suci, sebagai kaum ahl al-kitāb. 28
Ada pula pendapat dari Muhammad Arkoun, Arkoun menyebut ahl al-kitāb
dengan istilah masyarakat kitab. Penafsirannya mengenai makna dan cakupan
istilah ini sangat luas, yaitu seluruh komunitas masyarakat yang memiliki kitab,
terlepas bagaimana kemudian kitab suci mereka dipahami sebagai sesuatu yang
sudah menyimpang. Konsep ini dirujuk Arkoun berdasarkan kajiannya terhadap
ilmu-ilmu sosial kontemporer di Barat.29
27 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 6, cet II, h. 193 28 Maulana Muhammad Ali, Islamologi, (Jakarta, Ikhtiyar Baru, 1977), h. 412 29 Andi Eka Putra, “Konsep Ahlul al-Kitab dalam Al-Qur’an Menurut Penafsiran Muhammad
Arkoun dan Nurcholish Madjid (Sebuah Telaah Perbandingan)”, Al-Dzikra, vol. X, No. 1, Januari-Juni
2016, h. 61
48
Di Indonesia sendiri ada Nurcholish Madjid yang kurang lebih berpendapat
sama dengan Ridha dan tokoh-tokoh pembaharu Islam lainnya. Menurut Cak Nur
(panggilan Nurcholish Madjid), ahl al-kitāb yang mendapat sapaan positif dan
simpatik dalam al-Qur’an tidak harus dipahami secara sempit. Ia tidak hanya
mencakup mereka yang telah menerima seruan nabi Muhammad ketika turunnya
al-Qur’an, tetapi juga menurut Cak Nur, mencakup semua ahl al-kitāb yang
memiliki sikap dan perilaku sebagimana disebutkan dalam al-Qur’an. Memang,
sebagaimana dikatakan Cak Nur, sebagian ayat al-Qur’an yang bernada positif dan
simpatik kepada ahl al-kitāb menunjuk kepada mereka yang beriman dan
berpegang teguh kepada ajaran kitab suci mereka sebelum datangnya al-Qur’an.
Akan tetapi ayat-ayat al-Qur’an juga memberitahukan bahwa telah terjadi
perubahan besar-besaran terhadap ajaran agama ahl al-kitāb. Meski demikian,
alQur’an tidak menyatakan bahwa para ahl al-kitāb itu sesat. Al-Qur’an tetap
mengakui bahwa di antara mereka ada kelompok yang tetap berpegang teguh pada
ajaran agamanya, walaupun kelompok minoritas.30
Menurut al-Maududi, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab, berawal
dari pendapat sebagian kecil ulama-ulama salaf yang menyatakan bahwa setiap
umat yang memiliki kitab yang dapat diduga sebagai kitab suci (samawi), maka
mereka juga termasuk kelompok ahl al-kitāb, seperti halnya orang-orang Majusi.
Pendapat inilah yang menurut al-Maududi melatarbelakangi pendapat para
mujtahid (pakar-pakar hukum) kontemporer yang memperluas cakupan dari ahl al-
kitāb menjadi lebih luas, sehingga mencakup pula penganut agama Budha dan
Hindu, dan dengan demikian perempuan-perempuan mereka pun boleh dikawini
oleh laki-laki muslim, karena mereka juga telah diberikan kitab suci (samawi).31
30 Andi, “Konsep Ahlul al-Kitab dalam Al-Qur’an Menurut Penafsiran Muhammad Arkoun
dan Nurcholish Madjid (Sebuah Telaah Perbandingan)”, Al-Dzikra, h. 52 31 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan, 2007), h. 484
49
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menginformasikan bahwa Abu Tsaur
Ibrahim ibn Khalid al-Kalbi (w. 860 M) yang merupakan salah seorang pengikut
Imam Syafi’i, demikian juga Ahmad ibn Hanbal, berpendapat bahwa kaum muslim
dapat menikmati makanan sembelihan orang-orang Majusi, dan dapat pula
mengawini perempuan-perempuan mereka.32
Antara perempuan muslim dengan perempuan ahl al-kitāb tidaklah jauh
berbeda. Karena, menurut Ridha perempuan ahl al-kitāb juga beriman kepada
Allah swt dan menyembah-Nya, beriman kepada para nabi dan hari akhir serta
meyakini adanya pembalasan atas setiap perbuatan, meyakini kewajiban untuk
selalu berperilaku baik dan pelarangan berbuat perbuatan buruk dan mungkar.
Perbedaan antara perempuan muslim dengan perempuan ahl al-kitāb hanya terletak
pada keengganan mereka (perempuan ahl al-kitāb) untuk beriman kepada Nabi
Muhammad SAW dan karakteristik tauhid serta ibadah yang dibawa olehnya.
Maka, orang yang beriman terhadap kenabian secara umum mestinya mereka mau
beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Faktor yang menyebabkan mereka
terhalang untuk beriman kepada Nabi Muhammad SAW adalah ketidaktahuan
mereka dengan hakikat risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad, atau
penentangan dan pengingkaran mereka terhadap kerasulan Muhammad hanya
secara zahir, padahal dalam hati mereka meyakini kebenarannya.33
Perempuan ahl al-kitāb yang dikawini oleh seorang laki-laki muslim, maka
dia akan hidup di bawah naungan suaminya yang merupakan seorang muslim dan
dia pun akan tunduk terhadap aturan perundang-undangan Islam. Sehingga lambat
laun perempuan tersebut akan terpengaruh dengan ajaran-ajaran agama Islam. Dan
sangat diharapkan agar perempuan tersebut dapat terbawa oleh suaminya menjadi
seorang muslim setelah sekian lama hidup bersama dalam lingkungan masyarakat
muslim. Oleh sebab itu, menurut Ridha, perempuan ahl al-kitāb yang
32 Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 484 33 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 2, cet II, h. 352
50
diperbolehkan untuk dikawini adalah perempuan ahl al-kitāb yang baik (muẖsanāt)
sebagaimana yang disebutkan dalam ayat tersebut. Menurutnya, kata muẖsanāt
dalam ayat tersebut maksudnya adalah perempuan-perempuan terhormat (menjaga
dirinya dari perbuatan zina) juga bukan seorang budak.34
Laki-laki muslim yang boleh melakukan perkawinan dengan perempuan ahl
al-kitāb menurut Rasyid Ridha hanyalah laki-laki muslim yang kuat imannya dan
teguh keyakinannya. Dia memperingatkan bagi laki-laki yang tidak mantap
keimanannya tidak boleh untuk melakukan perkawinan dengan perempuan ahl al-
kitāb. Karena, bisa jadi bukan dia yang membawa istrinya yang ahl al-kitāb menuju
kebenaran ajaran Islam malah dia sendiri yang terjerumus dan terpengaruh oleh
istrinya yang ahl al-kitāb sehingga pada akhirnya dia pindah keyakinan dengan
masuk agama istrinya. Jadi, di sini Rasyid Ridha sangat menekanakan tindakan
preventif agar hal tersebut tidak terjadi.35
Adapun dihalalkannya mengawini perempuan ahl al-kitāb ini menurut
Rasyid Ridha memiliki tujuan untuk memperlihatkan sifat kasih sayang kepada
mereka, supaya mereka bisa melihat indahnya kegiatan muamalah umat Islam dan
kemudahan syariat-Nya. Hal tersebut bisa terwujud dengan melakukan perkawinan
dengan mereka (perempuan ahl al-kitāb). Karena, laki-laki adalah pemimpin dan
pemegang otoritas dan kekuasaan terhadap perempuan dalam kehidupan berumah
tangga. Jika muamalah sang suami (laki-laki muslim) bagus terhadap sang istri
(perempuan ahl al-kitāb), maka hal tersebut adalah pertanda bahwa agama yang
dianut sang suami adalah agama yang penuh kasih sayang, mengajarkan dan
mengajak kepada kebaikan dan ke jalan yang lurus, agama yang mengajarkan para
pemluknya untuk bersikap adil kepada sesama muslim dan non-muslim, agama
yang mengajarkan lapang dada dalam bermuamalah dengan orang-orang yang
berbeda.36
34 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 6, cet II, h. 180 35 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 6, cet II, h. 193 36 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 2, cet II, h. 351
51
3. Perkawinan Perempuan Muslim dengan Laki-laki Non-Muslim
Dalam hal perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki non-
muslim menurut Rasyid Ridha hukum perkawinan antara perempuan muslim
dengan laki-laki musyrik hukumnya haram37, seperti hukum perkawinan antara
laki-laki muslim dengan perempuan musyrik sebagaimana penggalan ayat
berikutnya dalam ayat yang sama, yaitu QS. al-Baqarah (2) ayat 221. Sementara
dalam perkawinan beda agama antara perempuan muslim dengan laki-laki ahl al-
kitāb berbeda dengan perkawinan laki-laki ahl al-kitāb yang diperbolehkan, Rasyid
Ridha berpaling dari pembolehan tersebut. Menurutnya, perkawinan antara
perempuan muslim dengan laki-laki ahl al-kitāb haram karena tidak ada penjelasan
(maskūt ánhu).38 Dengan demikian, berarti ayat yang membolehkan perkawinan
antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb tidak berlaku mafhūm
mukhalafah-nya Adapun alasan yang dijadikan larangan adalah bukan karena
hukum asalnya memang dilarang atau isyarat ayat al-Qur’an. Karena hukum asal
dalam bidang muamalah, termasuk perkawinan adalah mubāh (boleh) selama tidak
ada nas yang melarangnya.39
C. Relevansi Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut Rasyid Ridha dengan
Hukum Perkawinan yang Berlaku di Indonesia
Kemudian pada bagian ini penulis akan menguraikan bagaimana analisis
penulis terhadap pendapat-pendapat Rasyid Ridha mengenai hukum perkawinan
beda agama sebagaimana telah diuraikan di atas, serta mengaitkan pendapat-
pendapatnya tersebut dengan hukum perkawinan beda agama yang berlaku di
Indonesia. Bagaimanakah relevansinya dengan hukum perkawinan di Indonesia
berdasarkan pendapat Rasyid Ridha yang telah dipaparkan di atas.
Menurut analisis penulis, dari uraian yang telah dipaparkan dalam subbab
sebelumnya di atas maka secara jelas sebenarnya Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
37 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 2, cet II, h. 350 38 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 2, cet II, h. 351 39 Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakȋm Juz 6, cet II, h. 193
52
mengharamkan perkawinan beda agama antara seorang muslim dengan seorang
musyrik baik laki-lakinya yang muslim atau perempuannya dan menghalalkan
perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb. Namun, dalam
penafsirannya terhadap makna dari term musyrik yang sempit dan menafsirkan
makna ahl al-kitāb dengan begitu luas sehingga pengharaman perkawinan seorang
muslim dengan seorang musyrik sangat terbatas sedangkan pembolehan
perkawinan dengan perempuan ahl al-kitāb menjadi sangat luas.
Dari penafsiran Rasyid Ridha mengenai makna musyrik yang hanya
terbatas pada mereka-mereka dari bangsa Arab yang tidak memiliki kitab atau
semacam kitab yang mereka anggap sebagai kitab suci yang mereka pedomani
maka timbul pertanyaan, apakah musyrik Arab itu masih ada hingga kini? Jika
memang masih ada maka hukum tersebut masih tetap berlaku, namun jika tidak ada
maka tidak lagi berlaku. Maka dapat dipahami jika musyrik Arab tersbut sudah
tidak ada maka siapapun dapat melakuakan perkawinan tanpa ada satu agama dan
kepercayaan manapun yang dapat menghalangi terjadinya hubungan perkawinan
tersebut.
Sementara dari penafsiran Ridha terhadap makna ahl al-kitāb yang
menganggap bahwa ahl al-kitāb di sini tidak hanya terbatas pada kelompok Yahudi
dan Nasrani saja, semua penganut agama dan kepercayaan yang memiliki dan
berpedoman kepada suatu kitab yang dianggap sebagai kitab suci, seperti Majusi,
Shabi’un, Hindu, Budha, Konghucu, Sinto dan lainnya juga termasuk dalam
kelompok ahl al-kitāb menurut Ridha. Sehingga dapat dipahami bahwa tidak ada
lagi perbedaan antara agama samawi dan agama ardhi40.
Dari penafsiran Ridha mengenai makna dan cakupan ahl al-kitāb di atas,
maka dapat penulis pahami bahwa pembolehan mengawini perempuan ahl al-kitāb
40 Agama Samawi adalah agama yang diturunkan oleh Tuhan melalui wahyunya, seperti
Yahudi, Nasrani dan Islam. Sedangkan agama ardhi adalah agama yang didasarkan hasil renungan
mendalam dari tokoh yang membawanya sebagaimana terdokumentasikan dalam kitab suci yang
disusunnya, seperti Hindu, Budha, Konghucu dan lainnya. Lihat: Abudi Nata, Metodologi Studi Islam,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), h. 119-120
53
menurut Ridha pun tidak hanya terbatas boleh mengawini pemeluk Yahudi dan
Nasrani saja, tetapi juga dapat dipahami bahwa mengawini perempuan dari agama
dan kepercayaan manapun yang mereka memiliki kitab atau semacam kitab yang
mereka anggap sebagai kitab suci yang mereka pedomani karena menurut Ridha
berdasarkan fakta sejarah yang ada serta penjelasan dan pernyataan dari al-Qur’an
sendiri, bahwa pada setiap masing-masing umat telah diutus oleh Allah swt kepada
mereka seorang rasul. Mereka juga memiliki kitab suci sebagai pedoman hidup
mereka yang dibawa oleh nabi yang diutus kepada mereka, hanya saja terjadi
penyelewengan (taẖrȋf) terhadap kitab suci tersebut. Namun, berbeda halnya
dengan sebaliknya, yaitu perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki
ahl al-kitāb Ridha sendiri berpaling dari perkawinan antara laki-laki muslim
dengan perempuan ahl al-kitāb yang menurutnya boleh.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dipahami secara umum Rasyid Ridha
berpendapat bahwa perkawinan yang dilakukan seorang muslim dengan pasangan
yang berlainan agama adalah boleh, kecuali perkawinan yang dilakukan dengan
musyrik dari bangsa Arab. Tidak ada satupun agama dan kepercayaan yang
menghalangi seorang laki-laki muslim untuk melakukan hubungan perkawinan
dengan perempuan dari pemeluk agama manpun, begitu juga sebaliknya.
Jika dalam konteks Indonesia, maka keempat agama lain yang diakui di
Indonesia, yaitu agama Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu, menurut persfektif
Rasyid Ridha juga termasuk dalam kelompok ahl al-kitāb, karena keempat agama
ini memiliki kitab yang dapat dianggap sebagai kitab suci yang dibawa oleh
seorang nabi dan dijadikan pedoman oleh mereka. Nabi di sini diartikan sebagai
pembawa pesan moral. Hal tersebut sebagaimana pendapat Rasyid Ridha yang
berpendapat bahwa itu dikaitkan dengan ajaran al-Qur’an bahwa “Allah mengutus
seorang rasul kepada setiap umat”, jadi setiap umat memiliki nabi yang
mengajarkan kebenaran dan pesan moral kepada mereka, seperti dalam agama
Budha ada Sidharta Gautama dengan kitab Tripitaka yang menjadi kitab suci agama
Budha.
54
Atas dasar tersebut, tidak ada larangan mengawini perempuan-perempuan
pemeluk agama lain, dalam konteks Indonesia agama Kristen, Hindu, Budha dan
Konghucu dengan alasan karena mereka juga memiliki kitab suci yang menjadi
pedoman hidup mereka. Adapun tentang penyimpangan yang mereka lakukan
terhadap kitab-kitab tersebut kemudian tidak menghapus status mereka sebagai
seorang ahl al-kitāb.
Sementara, di Indonesia terkait hukum perkawinan beda agama terdapat
kesulitan tersendiri dalam merumuskan secara pasti peraturan mengenai hukum
perkawinan beda agama di Indonesia. Namun dalam perjalanannya para ahli hukum
di Indonesia sering berpegang pada aturan yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1) UU
No. 1 tahun 1974 yang berbunyi “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Dari peraturan tersebut dapat dipahami bahwa perkawinan akan sah apabila
akad perkawinan dilakukan dengan berdasarkan pada satu hukum agama dari
masing-masing mempelai. Maka akad yang diakukan pun hanya sekali saja
menurut agama yang dianut oleh kedua calon mempelai41. Aturan tersebut
menimbulkan ketidakjelasan dan ketidaktegasan mengenai hukum perkawinan
beda agama. Artinya, jika hukum agama atau kepercayaan kedua calon suami dan
istri berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan kedua hukum agama atau
kepercayaan itu harus dipenuhi semua. Meskipun pada praktiknya di Indonesia,
perkawinan tersebut dapat dilaksanakan dengan menganut salah satu hukum agama
atau kepercayaan dari calon suami atau istri.42
Untuk umat Islam di Indonesia sendiri aturan dalam Pasal 2 ayat (1) UU
No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut diperjelas kembali dalam Kompilasi
Hukum Islam yang disahkan melalui Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tanggal
10 Juni 1991 dan pelaksanaannya diatur melalui Keputusan Menteri Agama No.
41 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syariah dan Qanuniah,
(Tangerang Selatan, Lentera Hati, 2005), h. 140 42 Shoedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 95
55
154 tahun 1991 tanggal 22 Juni 1991, yang kemudian disebarluaskan melalui surat
edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam No. 3649/EV/HK.
003/AZ/91 tanggal 25 Juli 1991.43 Aturan tersebut terdapat dalam Pasal 4 KHI
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam”, pasal 40 huruf
(c) “Dilarang melakukan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
karena keadaan tertentu, huruf (c); seorang wanita yang tidak beragama Islam dan
kemudian dalam pasal 44 “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. Sebagaimana pasal
8 huruf (f) UU No. 1 tahun 1974 “Perkawinan dilarang antara dua orang yang
mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku
dilarang kawin, maka dapat diambil kesimpulan dari ketiga aturan tersebut diatas
bahwa perkawinan beda agama secara tegas dilarang di Indonesia.
Semua aturan mengenai perkawinan beda agama tersebut di atas kemudian
diperkuat lagi melalui fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) No.
04/MUNASVII/MUI/8/2005 yang juga melarang perkawinan beda agama. Dalam
fatwa tersebut MUI memutuskan “Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak
sah”.44 Sehingga terlihat UU No. 1 tahun 1974, KHI, dan fatwa dari MUI saling
mendukung dan saling memperkuat satu sama lainnya.
Dari semua uraian aturan tentang perkawinan beda agama dalam konteks
keindonesiaan di atas, maka sudah sangat jelas bahwa di Indonesia perkawinan
beda agama, baik antara seorang laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim
atau sebaliknya secara teori dilarang di Indonesia. Meskipun pada praktiknya dalam
beberapa kasus terjadi perkawinan beda agama di Indonesia yang disetujui dan
disahkan oleh Pengadilan Agama.
Meskipun pada dasarnya dalam beberapa hal aturan-aturan yang mengatur
perkawinan berpegang pada empat madzhab fikih ternama, namun dalam perihal
43 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h. 26 44 Lihat: Fatwa MUI No. 04/MUNASVII/MUI/8/2005
56
perkawinan beda agama ini agak sedikit berbeda dengan mayoritas madzhab yang
masih membolehkan satu praktik perkawinan beda agama, yaitu perkawinan beda
agama antara laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb meskipun dengan
beberapa kriteria tertentu yang telah diatur oleh pendapat masing-masing madzhab.
Dalam konteks keindonesiaan secara jelas melarang seluruh praktik perkawinan
beda agama tanpa terkecuali.
Jika kita lihat relevansi antara pendapat Rasyid Ridha tentang perkawinan
beda agama dengan hukum perkawinan beda agama dalam hukum perkawinan
yang berlaku di Indonesia, penulis berpendapat bahwa antara keduanya jelas tidak
sejalan dan tidak relevan satu sama lainnya. Namun meskipun pendapat Rasyid
Ridha tersebut tidak relevan dengan hukum perkawinan beda agama dalam konteks
keindonesiaan mungkin kedepannya seiring berjalannya waktu dan semakin
heterogennya masyarakat di Indonesia pendapat Rasyid Ridha dapat dijadikan
pegangan untuk membangun konsep hukum baru mengenai hukum perkawinan
beda agama dan juga bisa menjadi sebagian acuan untuk memutuskan suatu
masalah hukum dalam perkawinan agama sebagaimana dalam beberapa kasus telah
terjadi praktik perkawinan beda agama yang telah disahkan oleh Pengadilan Agama
di Indonesia. Karena pada dasarnya teks zahir QS. al-Maidah 5: (5) membolehkan
perkawinan beda agama, meskipun terbatas pada perkawinan laki-laki muslim
dengan perempuan ahl al-kitāb. Terlepas banyaknya perbedaan pendapat mengenai
makna dan cakupan ahl al-kitāb di kalangan para ulama.
Selain itu, persoalan perkawinan beda agama juga merupakan wilayah
ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, maka amat dimungkinkan bila
dicetuskan pendapat baru mengenai hukum perkawinan beda agama dengan
beberapa alasan diantaranya:45
45 Nurcholish Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis,
(Jakarta, Paramadina, 2004), h. 164
57
1. Pluralitas agama merupakan sunnatullāh yang tidak bisa dihindarkan. Karena
perkawinan dapat dijadikan salah satu ruang berkenalan lebih dekat antar umat
yang berlainan agama.
2. Tujuan dari diberlangsungkannya perkawinan adalah tali kasih (al-mawaddah)
dan tali sayang (al-raẖmah). Perkawinan beda agama dapat dijadikan toleransi
dan kesepahaman antar pemeluk agama yang berlainan dengan ikatan tali kasih
dan sayang yang dirajut dalam kerukunan dan kedamaian.
3. Semangat yang dibawa Islam adalah pembebasan, bukan belenggu. Dari
pengharaman perkawinan dengan orang musyrik yang kemudian turun ayat
yang membolehkan perkawinan dengan seorang ahl al-kitāb merupakan sebuah
tahapan pembebasan secara evolutif.
Sementara itu penulis sendiri berpendapat lebih condong kepada hukum
perkawinan beda agama dalam konteks keindonesiaan yang mengharamkan praktik
perkawinan beda agama. Pengharaman tersebut bukan berarti hukum perkawinan
di Indonesia menentang hukum al-Qur’an yang memang secara zahir membolehkan
praktik perkawinan beda agama (laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb).
Namun, pendapat penulis ini didasarkan pada beberapa hal berikut:
1. Pada zaman ini sangat sulit dan bahkan tidak mungkin menemukan ahl al-kitāb
yang masih berpegang pada ajaran asli kitab suci yang diturunkan oleh Allah.
Dalam hal ini, penulis sependapat dengan Yusuf Qardhawi yang memandang
pembolehan mengawini perempuan ahl al-kitāb hanya jika perempuan ahl al-
kitāb tersebut benar-benar berpegang pada ajaran agama samawi, tidak ateis,
tidak murtad dan tidak beragama yang bukan agama samawi46.
2. Ahl al-kitāb yang dimaksud dalam ayat yang membolehkan perkawinan beda
agama (laki-laki muslim dengan perempuan ahl al-kitāb) hanya menunjuk
kepada kaum Yahudi dan Nasrani dari Bani Israil sebelum datangnya Islam,
maka selain itu bukan termasuk ahl al-kitāb yang boleh untuk dikawini. Dalam
46 M. Yusuf al-Qardhawi, Fatāwā Mu’āshirah, (Kairo: Dār Afāq, 1978), h. 407
58
hal ini penulis mengacu pada pendapat ulama-ulama madzhab Syafi’i yang
memandang ahl al-kitāb hanyalah Yahudi dan Nasrani dari Bani Israil, terlebih
adanya redaksi min qablikum (sebelum kamu) pada ayat yang membolehkan
perkawinan itu47.
3. Pengharaman dalam perkawinan beda agama ini menurut penulis sebagai
langkah preventif untuk mengindari berbagai macam kemafsadatan dan
kemadharatan yang akan terjadi di kemudian hari jika perkawinan beda agama
tersebut tetap dilaksanakan, seperti kemungkinan kurang harmonisnya rumah
tangga pasangan yang melakukan perkawinan, kemungkinan terjerumusnya
seorang Muslim yang melakukan perkawinan dengan non-muslim ke agama si
istri atau suami yang bukan seorang muslim, atau anaknya yang terbawa dan
memeluk agama yang dibawa oleh si istri atau suami yang berlainan agama.
Dalam kenyataannya, lebih banyak pasangan suami istri yang melakukan
perkawinan beda agama ini berantakan dan bercerai-berai, meskipun semula
pasangan suami istri tersebut terlihat harmonis dan bahagia. Dalam konteks
Indonesia, seperti perkawinan beda agama antara Ira Wibowo (muslim) dengan
Katon Bagaskara (non- muslim) dengan usia perkawinan yang sudah berlangsung
hampir 17 (tujuh belas) tahun lamanya, pasangan suami istri beda agama antara
Lydia Kandau (non-muslim) dengan Jamal Mirdad (muslim) yang usia
perkawinannya sudah mencapai selama 27 (dua puluh tujuh) tahun dan sudah
dikaruniai empat orang anak dimana dua orang mengikuti agama sang ayah dan
dua lagi mengikuti agama sang ibu, pasangan suami istri beda agama antara Yuni
Shara dengan Henry Siahaan dan masih banyak lainnya. Meskipun tidak sedikit
juga pasangan perkawinan beda agama yang rumah tangganya masih tetap
berlangsung rukun dan harmonis, seperti perkawinan antara Ahmad Nurcholis
dengan Ang Mei Yong (seorang perempuan Konghucu).
47 Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 483
59
Ada pula dalam beberapa kasus yang karena perkawinan beda agama
seseorang yang beragama muslim akhirnya tergoda dan terbawa ke agama
pasangannya yang non-muslim. Dalam konteks Indonesia, seperti terjadi pada
Lukman Sardi (Islam) yang mengawini Pricillia Lunggono (Kristen), ia akhirnya
memutuskan untuk berpindah keyakinan ke agama sang istri, Pricillia Lunggono.
Kemudian, Asmirandah yang seorang muslim yang dikawini oleh Jonas Rivanno
seorang Kristen, ia pun akhirnya pindah ke agama sang suami, Jonas Rivanno.
Demi menghindari berbagai kemafsadatan yang akan muncul tersebutlah
maka sebaiknya perkawinan beda agama ini dihindari sebagaimana kaidah yang
sering kita dengar dalam usūl al-fiqh, yaitu:
درأ املفاسد مقدم على جلب املصاحل“Menghindari kemafsadatan lebih diutamakan daripada mendekatkan pada
kebaikan”.
Maka dari itu, sebaiknya bagi seorang muslim sebaiknya berikhtiyar lebih
keras lagi dalam upaya mencari pendamping hidup yang sama agama dan
kepercayaannya demi menghindari kemafsadatan yang mungkin dapat terjadi di
kemudian.
60
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagaimana uraian yang telah ditulis oleh penulis pada setiap bab, maka dapat
penulis ambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Perkawinan beda agama menurut Syaikh Muhammad Rasyid Ridha
diperbolehkan bagi laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim yang
termasuk kategori ahl al-kitāb sebagaimana di atas, namun haram bagi
sebaliknya, jika perempuan muslim dikawini oleh laki-laki ahl al-kitāb. Bentuk
perkawinan beda agama lainnya yang diharamkan oleh Ridha adalah
perkawinan dengan non-muslim bangsa Arab yang tidak memiliki kitab suci
sebagai pedoman hidup.
2. Apabila pendapat Rasyid Ridha dihubungkan dengan konteks keindonesiaan,
maka keempat agama selain Islam yang diakui di Indonesia adalah termasuk
kelompok ahl al-kitāb. Dengan begitu jika berpegang pada pendapat Ridha
maka laki-laki muslim di Indonesia dapat mengawini perempuan-perempuan
pemeluk Kristen, Hindu, Budha dan Konghuchu. Maka jelas pendapat Rasyid
Ridha tidaklah relevan dengan hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia
yang penulis ketahui selalu menggaungkan pengharaman perkawinan beda
agama, baik melaui UU No. tahun 1974, KHI dan melalui Fatwa MUI.
B. Saran
Saran-saran yang dapat penulis sampaikan dari apa yang sudah penulis uraikan
pada setiap bab di atas untuk perkembangan ilmu pengetahuan umumnya dan peneliti
khususnya adalah:
1. Untuk para pemeluk agama Islam disarankan untuk berikhtiyar terlebih dahulu
dalam upaya mencari pendamping hidup yang memiliki agama dan
61
kepercayaan yang sama (sesama muslim), hal ini sebagai langkah preventif
untuk menghindari kemafsadatan yang mungkin dapat terjadi setelah
perkawinan.
2. Untuk para peneliti dan akademisi agar mengkaji lebih dalam lagi terkait
hukum perkawinan beda agama dalam baik terhadap pemikiran-pemikiran
ulama pembaharu dalam Islam seperti Rasyid Ridha maupun pemikiran-
pemikiran ulama salaf.
3. Himbauan kepada Pemerintah dan Badan Legislatif yang membuat regulasi dan
peraturan perundangan agar membuat regulasi atau undang-undang yang tegas
tentang ketentuan perkawinan beda agama, dengan mempertimbangkan kondisi
sosio-kultural Indonesia yang plural serta religius, sehingga tidak ada lagi
ketidakpastian hukum dalam hal perkawinan beda agama karena tidak adanya
aturan yang benar-benar mengatur perkawinan beda agama, karena hanya
undang-undang sebagai norma pembenar yang dapat memberikan titik temu
dan menjadi pegangan khalayak umum.
62
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, dan Riduan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di
Indonesia, Bandung: Alumni, 1978
Ali, Maulana Muhammad, Islamologi, Jakarta, Ikhtiyar Baru, 1977
Alim, Ma’shum Nur, Hermeneutika Penafsiran Ayat-ayat Kalam dalam Tafsir al-Manar,
Tangerang Selatan, YPM Press, tt
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Asdi
Mahasatya, 2002
Al-Munjad, Sholāhuddȋn, Fatāwā al-Imām Muhammad Rasyȋd Ridhā, (T.tp, T.t
Al-Adawi, Ibrahim Ahmad, Rasyid Ridha al-Imām al-Mujāhid, (Kairo, Mathba’ah
Mishr, 1964
Al-Jaziri, Abdurrahman, al-Fiqh ‘Ala Madzāhib al-Arba’ah Juz 4, cet II, Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2003
Al-Sabuni, Muhammad Ali, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam ash-Shabuni. Penerjemah
Mu’ammal Hamidy dkk, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1985
Al-Shabuni, Muhammad Ali, Rawaȋ’ al-Bayān Tafsȋr Ayāt al-Ahkām Min al-
Qur’ān Juz 1, Damaskus: Maktabah Al-Ghazali, tt
Al-Suyuthi, Jalaluddin, Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, Pen.
Abdil Hayyie, Jakarta: Gema Insani, 2008
Al-Thabārȋ, Ibn Jarȋr, Jamȋ al-Bayān fi Ta’wȋl al-Qur’an, Beirut: Muassasah Al-
Risālah, tt
Athaillah, A, Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar,
Jakarta, Erlangga, 2006
Bahrawi, Mohammad Monib Islah, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam
Pandangan Nurcholish Madjid, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011
Djaja, Tamar, Tuntutan Perkawinan dan Rumah Tangga Islam 2, Bandung: al-
Ma’arif, 1982
Dahwal, Sirman, Hukum Perkawinan Beda Agama dalam Teori dan Praktiknya di
Indonesia, Bandung: CV. Mandar Maju, 2016
63
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum 2017, Jakarta: Pusat
Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017
Fatwa MUI No. 04/MUNASVII/MUI/8/2005
Galib, Muhammad, Alh al-Kitab Makna dan Cakupannya, Jakarta: Paramadina,
1998
Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, cet III, Jakarta: Kencana, 2008
Hadi, Sutrisno, Metode Research, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1980
Hazm, Ibnu, al-Mahallā bi al-Asrā Jiz 9, Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1988
Kompilasi Hukum Islam
Madjid, Nurcholis dkk, Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-
Pluralis, Jakarta, Paramadina, 2004
Makalew, Jane Marlen, “Akibat Hukum dari Perkawinan Beda Agama di
Indonesia”, Lex Privatum, vol. 1, No. 2, April-Juni 2013, h. 131-144
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fikih Lima Madzhab, Pen. Masykur AB dkk, Cet.
27, Jakarta: Lentera, 2011
Mukhtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, cet III, Jakarta:
Bulan Bintang, 1993
Munjad, Sholahuddin, Fatāwā al-Imām Muhammad Rasyȋd Ridhā, T.tp, T.t
Nata, Abudi, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016
Nuruddin, Amir dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia:
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fiqih, UU No. 1/1974 sampai
KHI, Jakarta: Kencana, 2006
Putra, Andi Eka “Konsep Ahlul al-Kitab dalam Al-Qur’an Menurut Penafsiran
Muhammad Arkoun dan Nurcholish Madjid (Sebuah Telaah
Perbandingan)”, Al-Dzikra, vol. X, No. 1, Januari-Juni 2016
Qardhawi, Yusuf, Fatāwā Mu’āshirah, Kairo: Dār Afāq, 1978
Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsȋr al-Qur’ān al-H akȋm Juz 6, cet II, Dār al-Manār,
1947
64
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1998
Rusyd, Ibnu, Bidāyah al-Mujtahȋd Wa Nihāyah al-Muqtashid, Bayt al-Afkār al-
Dauliyah, 2007
Sabiq, Sayid, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dār al-Fikr al-‘Arabȋ, 1983
Shidiq, Sapiudin, Fikih Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2017
Shihab, Muhammad Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, Keserasian al-
Qur’an, cet. III, Jakarta: Lentera Hati, 2001
Shihab, Muhammad Quraish, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir al-
Manar, Jakarta, Lentera Hati, 2006
Shihab, Muhammad Quraish, Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik atas Pelbagai
Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2007
Silalahi, Ulber, Metode Penelitian Sosial, Bandung: PT. Refika Aditama, 2009
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986
Soimin, Soedharyo, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Sopyan, Yayan, Pengantar Metode Penelitian, Jakarta: Buku Ajar Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta, 2010
Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, Jakarta: Rajawali Press, 1996
Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam, Yogyakarta: LKiS,
2006
Suma, Muhammad Amin, Kawin Beda Agama di Indonesia Telaah Syari’ah dan
Qanuniah, Jakarta: Lentera Hati, 2015
Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: Rajawali
Press, 2005
Syafi’i, Nasrul Umam dan Ufi Ulfiah, Ada Apa dengan Nikah Beda Agama?,
Jakarta: Qultum Media, 2005
Taqiyuddin, Imam, Kifāyat al-Akhyār Fi H āl Ghāyat al-Ikhtiyār Juz 2, Surabaya:
Darul Ihya, t.t
Ulama’i, A. Hasan Asy’ari, Membedah Kitab Tafsir-Hadis Dari Imam Ibn Jarir al-
Thabari hingga Imam al-Nawawi al-Dimasyqi, Semarang: Walisongo
Press, 2008
65
Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad, al-Jami’ Fi al-Fiqh an-Nisā (Fiqh
Perempuan), cet I, Beirut, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Yanggo, Huzaimah Tahido, Masail Fiqhiyah, Bandung: Angkasa, 2005
Zuhailiy, Wahbah, al-Fiqh al-Islāmȋ Wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1989
Zuhailiy, Wahbah, Tafsȋr al-Wasȋth, Beirut: Dār al-Fikr al-Ma’ashȋr, tt
Zuhdi, Masjfuk Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1977