Transcript
Page 1: Ideologi dalam pariwara televisi

TEORI KEBUDAYAAN

TUGAS LAPORAN BACAAN

Dosen: Prof. Dr. Okke K.S. Zaimar

Ideologi Dalam Pariwara Televisi

Okke Kusuma Sumantri-Zaimar

OKTARI ANELIYA

1206335685

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

PROGRAM MAGISTER

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

UNIVERSITAS INDONESIA

2013

Page 2: Ideologi dalam pariwara televisi

Ideologi Dalam Pariwara Televisi

Okke Kusuma Sumantri-Zaimar

Berbicara mengenai ideologi berarti berbicara mengenai suatu ide, norma,

kepercayaan, dan keyakinan yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang (KBBI).

Ideologi ini menjadi dasar dalam menentukan sikap terhadap suatu permasalahan.

Van Zoest mengatakan ideologi merupakan bagian dari kebudayaan karena setiap

ideologi terikat pada suatu budaya. Jika mempelajari suatu budaya, maka harus

mengetahui atau mempelajari juga ideologi yang mempengaruhi budaya tersebut

karena ideologi lah yang mengarahkan budaya.

Karena ideologi bersifat abstrak yang berarti berbentuk gagasan di dalam

fikiran, maka apabila seseorang atau suatu kelompok ingin menanamkan atau

menyebarkan suatu ideologi ia akan menampilkan ideologi tersebut dalam bentuk

ungkapan budaya yang dapat berupa bahasa verbal maupun dalam cara komunikasi

lain (lukisan, iklan, komik, film, dan lain-lain). Hal tersebut berarti ia akan

menciptakan mitos. Mitos merupakan suatu jenis tuturan dalam sistem komunikasi

yang berisi pesan. Para pembuat mitos biasanya sekaligus menanamkan ideologi

terlebih jika hal tersebut disampaikan secara berulang-ulang. Mitos dapat berbentuk

verbal dan nonverbal. Misalnya dalam bentuk film, lukisan, fotografi, iklan, dan

komik.

Roland Barthes mengemukakan teori signifikasi untuk memahami mitos.

Teori dikotomisnya mengenai tanda yakni (1) penanda dan (2) petanda merupakan

dasar bagi pemaknaan suatu tanda.

Denotasi

(makna primer )

konotasi

(makna sekunder)

1. Penanda 2. Petanda

3. Tanda

I. PENANDA II. PETANDA

III. TANDA

Page 3: Ideologi dalam pariwara televisi

Penanda merupakan citra akustik suatu tanda yang memiliki konsep (penanda) dari

petanda. Konsep pertama dari suatu penanda ini disebut sebagai denotasi contohnya

penanda /volvo/ mempunyai konsep ’merek mobil’. Namun penanda tersebut dapat

juga memiliki makna lain yang berarti ’kemewahan’. Hal tersebut merupakan konsep

kedua atau perluasan makna yang disebut dengan konotasi. Konotasi dipengaruhi

juga dengan keinginan, latar belakang pengetahuan, dan konvensi baru dalam

masyarakat si pemberi konotasi 2011 (Hoed, dalam bukunya Semiotik dan

Dinamika Sosial Budaya). Lalu bagaimana hubungannya dengan mitos dan ideologi

yang berusaha dihadirkan dalam pariwara?

Mitos memiliki keterkaitan dengan cara kerja teori signifikasi yang

dikemukakan oleh Barthes. Ia menjelaskan bahwa mitos hadir sebagai makna

petanda baru yang bersumber pada petanda pada tahap pertama. Mitos tidak

memerlukan kebenaran karena tidak ada yang tetap dalam konsep mitos dan konsep

tersebut tidak statis (dapat berubah). Hal tersebut dapat saya simpulkan dengan

mengacu pada konsep konotasi yang maknanya dipengaruhi oleh keinginan dan latar

belakang pengetahuan si pembuat mitos sehingga belum pasti kebenarannya. Barthes

mengemukakan tiga cara dalam membaca mitos yaitu (1) pembaca membiasakan diri

dengan penanda yang kosong, makna pertama yang tidak mengandung makna

konotasi (2) pembaca sudah mulai melakukan deformasi atau pembelokan makna (3)

pembaca sudah menyesuaikan diri dengan makna baru tersebut. Namun yang perlu

diingat, mitos tidak menyembunyikan makna dan juga tidak menonjolkan makna

melainkan suatu pembelokan makna. Dengan sistem semiologis pemaknaan dua

makna ini (1 dan 2), mitos akan mengubah pengalaman menjadi sesuatu yang

alamiah. Oleh karena itu para konsumen mitos dapat memahami maksud konsep

tanpa tampak maksud konsep tersebut memiliki maksud tertentu. Namun seperti

yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa sang pembuat mitos adalah orang yang

ingin menyebarkan ideologi.

Dalam artikel ini, dijelaskan bagaimana ideologi yang berasal dari mitos

tersebut dapat ditanamkan melalui pariwara televisi. Dalam contohnya, yaitu

pariwara televisi sabun cuci surf, si pembuat iklan berusaha menanamkan

ideologinya yaitu Surf adalah sabun murah namun berkualitas tinggi dengan

Page 4: Ideologi dalam pariwara televisi

berbagai strategi. Dalam pembuatan pariwara tersebut, ideologi tersebut tidak

ditampilkan secara eksplisit kepada para konsumen melainkan dengan menggunakan

gambaran-gambaran yang menunjukkan bahwa yang sederhana atau yang murah

tidak berarti berkualitas rendah namun dapat berkualitas tinggi seperti sabun cuci

Surf. Dalam strategi tersebut, si pembuat iklan juga menampilkan suatu kebudayaan

yang memang sudah diterima oleh masyarakat agar pesan atau ideologi dari produk

tersebut lebih dekat dengan kehidupan konsumen.

Lalu bagaimana dengan pariwara rokok yang sama sekali tidak boleh

memaparkan suatu pesan atau ideologinya secara gamblang? Dalam artikel ini

dicontohkan bagaimana rokok Sampoerna dikemas dalam bentuk pariwara yang

tidak menonjolkan suatu kelebihan atau keistimewaan dari produk tersebut secara

eksplisit. Berbeda dengan jenis produk pariwara lain yang biasa menampilkan bentuk

visual dari produknya, produk rokok ditampilkan dengan sangat tersamar. Dalam

pariwara rokok ini, pembuat iklan sangat membelokkan makna yang ingin

disampaikan tentang produk tersebut melalui tanda-tanda visual maupun verbal yang

dianggap dapat merepresentasikan pesan tersebut. Namun juga seringkali para

penonton tidak memahami maksud dari tanda-tanda visual tersebut oleh sebab itu

pesan dari produk tersebut biasanya diikuti oleh tanda-tanda verbal atau slogan yang

juga secara samar dapat merepresentasikan pesan produk tersebut.

Page 5: Ideologi dalam pariwara televisi

Pendapat pribadi

Artikel ini sangat cerdas dalam menjelaskan bagaimana pariwara televisi

merupakan salah satu media yang cukup efektif dalam mensosialisasikan dan

menanamkan ideologi. Dalam suatu pariwara, pesan ideologi tersebut dikemas secara

apik dan menarik guna menarik para konsumen. Penampilan suatu pesan dalam

pariwara televisi pun tidak lepas dari unsur-unsur masyarkat dan kebudayaannya

yang dalam hal ini sebagai target. Kebudayaan dalam suatu penampilan pariwara

televisi membuat para target lebih dekat dan lebih merasa terlibat dalam tampilan

pariwara tersebut sehingga menjadi familiar dan sesuai bagi dirinya.

Jika suatu konotasi menjadi mantap makan hal tersebut akan menjadi mitos

dan jika mitos menjadi mantap maka akan menjadi ideologi. Hal tersebut digunakan

dalam pembuatan pariwara yang memberikan konotasi pada produk tertentu

kemudian makna tersebut menjadi mitos dan kemudian dimantapkan dengan cara

menampilkan mitos tersebut berulang-ulang maka akan menjadi ideologi kepada para

penonton ataupun pendengar oleh sebab itu suatu produk yang sosialisasinya melalui

pariwara televisi ditampilkan berulang-ulang Maka tidaklah heran jika seringkali

kita secara tidak sadar atau langsung mengasosiasikan suatu konsep dengan suatu

produk tertentu bahkan jika pembuat iklan itu berhasil menyampaikan pesannya

maka konsumen akan segera memilih produk tersebut.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya dalam artikel ini, bahwa masyarakat

memahami suatu makna tidak lagi dirasakan bahwa hal tersebut sebagai hasil

konotasi dan seringkali realitas dibentuk oleh wacana yang dalam hal ini dibuat oleh

para pembuat iklan dan industri produk yang memiliki kuasa untuk dapat mengubah

perspektif masyarakat. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pariwara televisi

yang memasarkan produknya, para konsumen harus pandai dalam menyaring suatu

pesan dan memilih produk yang memang sesuai dengan kebutuhan. Karena seperti

yang telah dijelaskan, makna yang disampaikan oleh pembuat produk tidak lagi

dirasakan sebagai suatu konotasi yang memang sengaja diciptakan dengan maksud

tertentu.