Sanksi Pelanggaran Pasal 72 :Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan seba-gaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Judul Buku :
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Penulis : Ir. Triwisaksana, M.Sc.Disain sampul : Erwin SinaeTata Letak : FaridFoto ilustrasi : Dudi, KhoirudinPenerbit : Lingkar Sejahtera Jakarta
Gedung Sarinah Lt. 11Jl. MH Thamrin, Jakarta Pusat
Tahun Terbit : Juli, 2011
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
ii
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Kata Pengantar
Bismillahirrahmanirrahim
Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara
kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan,
bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa
di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-
orang sebelum mereka berkuasa dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah
Dia ridhoi. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan)
mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman
sentosa. Mereka (tetap) menyembahKu dengan tidak
mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Tetapi
barang siapa (tetap) kafir setelah (janji) itu maka mereka
itulah orang-orang yang fasik
(QS An-Nur, 55)
Pada hakikatnya, tujuan setiap negara atau suatu
pemerintahan dimanapun dia berada dan dalam
sistem apapun yang dijalankan adalah sama.
Menciptakan keadilan dan menghasilkan kesejahteraan
bagi penduduknya. Keadilan dan kesejahteraan yang Luthfi Hasan Ishaaq, MA
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
iii
Kata Pengantar
dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat akan terwujud
dalam bentuk terpenuhinya kebutuhan hidup serta
terjaminnya rasa aman dalam kehidupan.
Secara eksplisit Allah SWT telah menjamin kedua hal
tersebut sebagaimana disampaikan dalam firman-Nya di
dalam Surat Al-Quraisy ayat ke 3-4 : “Maka hendaklah
mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah).
Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk
menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ke-
takutan.” Tinggal persoalannya adalah bagaimana pi hak-
pihak yang diberi amanah untuk mengelola suatu negeri
atau wilayah itu mampu mewujudkannya. Rasa aman dan
nyaman, suatu keadaan yang Allah janjikan sebagaimana
kutipan ayat 55 Surat An-Nur diatas, menjadi amanah
bagi orang-orang yang beriman, yang dijadikan oleh Allah
sebagai penguasa di muka bumi ini.
Nilai strategis yang dimiliki oleh Jakarta bukan hanya pada
usianya semata. Sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi
bangsa yang berpenduduk terbesar keempat di dunia,
Jakarta merupakan amanat Allah yang tidak boleh disia-
siakan. Berbagai bentuk “peradaban” (jika ingin disebut
demikian) yang telah berlangsung di Jakarta semenjak
jaman penjajahan hingga reformasi telah menghasilkan
wajah Jakarta yang beragam. Namun dari seluruh periode
tersebut, sepertinya ada satu bentuk kemiripan. Masing-
masing era seakan-akan bertekad untuk memiliki prasasti
yang menandai kemegahan sekaligus keberhasilan
pembangunan.
iv
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Kata Pengantar
Namun setiap keberhasilan selalu memiliki ongkos yang
harus dibayar. Ongkos itu bisa berupa beban sosial,
ekonomi maupun moral. Di sinilah, saya berfikir, buku ini
memiliki ‘angle’ yang menarik. Buku ini mencoba melawan
arus tema-tema keseharian publik Jakarta. Di saat
sebagian besar media dan publik sibuk berbicara tentang
kemacetan yang mengerikan dan banjir yang tak jenuh
berkunjung, Triwisaksana seakan ingin menarik perhatian
publik pada problem yang lebih humanis dan mendasar.
Kesejahteraan. Bagi Bang sani yang juga menjabat sebagai
Wakil Ketua DPRD DKI problem asasi dari Jakarta saat ini
ialah keselarasan antara pembangunan -yang diwakili
dengan kata modernitas- dan kesejahteraan.
Bang Sani mampu menguraikan pemikiran-pemikiran dan
gagasan tentang kesejahteraan secara runtut. Termasuk
di dalamnya menyampaikan gagasan-gagasan baru
dalam mewujudkan jaminan sosial bagi warga. Contoh,
ide menjadikan urusan ketenagakerjaan dan perumahan
yang selama ini menjadi domain bidang perekonomian
dan pembangunan, menjadi bagian bidang kesejahteraan
(sosial) merupakan tawaran yang berani dan bukan
‘asal beda’. Argumen yang terangkum dalam kumpulan
buah pemikiran ini menjelaskan bahwa peningkatan
kesejahteraan dapat dilakukan melalui fokus peningkatan
kesejahteraan para pekerja (upah, jaminan sosial pekerja),
pengurangan angka pengangguran dan perumahan bagi
kelompok miskin.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
v
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Kata Pengantar
Kontribusi tulisan dari Selamat Nurdin yang mem ban-
dingkan kondisi “Jiwa dan Raga” di kota-kota besar lain
di beberapa negara, serta tulusan dari Prof. Eko Prasodjo
yang mengulas tentang Reformasi Birokrasi yang menjadi
faktor penting kebijakan sosial turut memperkuat bobot
buku ini meskipun disampaikan secara ringan.
Saya yakin buku ini akan sangat memberikan manfaat ba gi
para pembacanya yang mencoba memahami pentingnya
kebijakan sosial di Jakarta. Para penikmat buku ini juga
akan memahami ragam aspek yang selama ini belum
banyak tergali dari Jakarta. Lebih khusus bagi penulisnya,
buku ini harus menjadi tonggak awal evaluasi terhadap
keterlibatannya sebagai salah satu elemen strategis
penentu kebijakan di Jakarta.
Selamat berkarya lebih jauh... Semoga cita-cita Jakarta
Sejahtera segera terwujud.
Luthfi Hasan Ishaaq, MAPresiden PKS
vi
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Pengantar Penerbit
K urang lebih empat dasawarsa yang lalu, Simon
Kuznets, mengungkapkan kerisauannya atas
temuan yang telah mengantarkannya meraih
hadiah nobel pada tahun 1971. Kuznets-lah yang pertama
kali memperkenalkan kumpulan indikator aktivitas
ekonomi yang dinamakan dengan neraca pendapatan
nasional. Salah satu indikator utama yang termasuk
di dalamnya, Pendapatan Domestik Bruto atau PDB.1
Mengapa temuan ini begitu penting? Bayangkan sejenak!
Coba posisikan diri Anda menjadi pemimpin sebuah negara
pada masa sebelum Kuznets mengumumkan temuannya.
Lalu Anda dirongrong oleh sebuah pertanyaan. Bagaimana
cara menentukan bahwa negara yang Anda pimpin
lebih makmur atau lebih kaya daripada negara lainnya?
Sebelum Kuznets memperkenalkan ide brillian-nya, nyaris
tidak ada jawaban yang seragam. Inilah lompatan besar
yang dihasilkan oleh Kuznets.
Namun, pakar ekonomi yang mengajar di Universitas
Harvard itu rupanya cukup kuatir akan warisan intelektual
yang dia miliki. Kuznetz kuatir bahwa serangkaian
indikator perekonomian yang dia formulasikan lantas
1 Lihat Buku Mengukur Kesejahteraan, Joseph E. Stiglitz, Amartya Sen and
Jean-Paul Fitousi, penerbit Margin Kiri
Rico Marbun, M.Sc
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
vii
Pengantar Penerbit
disalah-artikan sebagai formulasi kesejahteraan. Dalam
bahasa yang lebih sederhana, PDB tinggi memang berarti
semakin tinggi pula kekayaan yang dimiliki oleh sebuah
negara. Namun, sejatinya itu tak lantas berujung dengan
tingginya kesejahteraan warga.
Kegelisahan itulah yang akan kita temukan dalam buku
yang tersaji di hadapan Anda. Kumpulan ide yang dimiliki
oleh Triwisaksana, dengan detail menghadirkan potret
disharmoni pembangunan fisik dan pembangunan
manusia di dalam kota yang telah berusia 484 tahun ini.
Sebagai politisi yang pernah menjadi Ketua Partai Politik
Islam terbesar di Jakarta dan kini menjabat sebagai
Wakil Ketua DPRD, Bang Sani tentu paham benar segala
kompleksitas yang terjadi di ibukota.
Kegelisahan yang ditata dalam setiap sub-tema, sejatinya
tidak tepat bila dibaca sebagai sekadar ungkapan
ketidakpuasan, apalagi hanya kemarahan tanpa solusi.
Sebagai orang yang berkecimpung secara langsung dalam
pengelolaan Jakarta, Bang Sani seperti ingin menghentak
para pembaca untuk memalingkan perhatiannya lebih dari
sekadar himpitan hidup sehari-hari. Sebut saja masalah
kemacetan dan banjir yang tidak asing lagi bagi penduduk
Jakarta. Bukan berarti kader PKS itu tidak peduli. Namun
jika dibaca dengan cermat, pria kelahiran asli Jakarta itu
ingin menjabarkan bahwa ada satu tema yang tidak boleh
ditinggalkan dalam setiap deru roda pembangunan di
viii
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Pengantar Penerbit
Jakarta. Tema itu adalah Kesejahteraan dan Pembangunan
Manusia.
Karena narasi besar tentang humanisasi pembangunan,
maka Lingkar Sejahtera Jakarta merasa beruntung
menjadi pihak yang pertama kali menyusun, merapikan
serta menghadirkan buku ini kepada khalayak Ibukota.
Harapannya, semoga sedikit jerih payah yang tentu
belum menghadirkan kesempurnaan ini, dapat membawa
secercah kebaikan buat kita semua.
Selamat Menikmati...
Rico Marbun, M.ScDirektur Lingkar Sejahtera Jakarta
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
ix
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Segores Tintadari Penulis
Sejarah panjang Jakarta dengan pelabuhan besar
Sunda Kelapa-nya, memang sudah menarik minat
orang untuk datang sejak dahulu kala. Termasuk
di antaranya, kedatangan Portugis yang kemudian diikuti
dengan Belanda. Pihak-pihak tersebut yang pernah
menguasai Jakarta, sejak zaman Portugis hingga VOC-
Belanda, telah menjadikan Jakarta (Jayakarta) sebagai
pusat kekuasaan. Demi menopang fungsi sebagai ‘power
epicentrum’, berbagai bangunan simbol kekuasaan,
bendungan, stasiun kereta dan ruang publik dibangun.
Dan hingga kini, sisa-sisa kemegahan itu masih bisa
kita saksikan dalam jejak kota tua dan bangunan tua
peninggalan Belanda yang bertebaran di Jakarta.
Memasuki periode pasca kemerdekaan di era Bung Karno,
pembangunan simbol-simbol kemegahan Jakarta juga
terus berlanjut. Monumen Nasional, Mesjid Istiqlal, dan
Kawasan Senayan, kerap dibanggakan sebagai simbol
keberhasilan atas capaian kemerdekaan. Orde Baru juga
tidak ketinggalan. Presiden Soeharto dengan gelarnya
sebagai Bapak Pembangunan, merancang Jakarta sebagai
daerah yang sangat menarik bagi investor. Hasilnya,
pemodal asing berduyun-duyun memadati Jakarta. Dan
sempurnalah Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan
ekonomi negara, dimana 70% uang nasional beredar di
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
x
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Segores Tinta dari Penulis
Ir. Triwisaksana, M.Sc
dalamnya. Bahkan era reformasi yang sering didengungkan
sebagai antitesa Orde Baru juga tidak ingin kalah dalam
‘memegahkan’ ibukota. Supermall mewah, toko-toko
cabang dari berbagai merek terkenal dunia, gedung-
gedung pencakar langit, apartemen, superblock dan
lainnya, seakan bertumbuh bak jamur di musim hujan.
Sesungguhnya, tidak ada yang salah dengan kemegahan
Jakarta. Bukan pula hal yang tercela bila pembangunan
fisik dan infrastruktur melaju dengan pesat di ibukota.
Namun tantangan terbesar yang akan dihadapi oleh
pembuat kebijakan di Jakarta adalah bagaimana mengelola
perkembangan dan dinamika kota dengan segala beban
berat yang ditanggung, plus tuntutan warganya yang
sangat beragam. Dengan status sebagai kota berpenduduk
terbesar, kompleksitas permasalahan kota yang berusia
hampir lima abad ini, tentu membutuhkan penanganan
yang serius dan kerja yang cerdas.
Salah satu tantangan terbesar dalam mengelola Ja-
kar ta adalah bagaimana menciptakan keseimbangan
pertumbuhan kota dan pembangunan manusia di
dalamnya. Disamping tingginya pertumbuhan ekonomi
dan pesatnya pembangunan fisik, Jakarta harus memiliki
Indeks Pembangunan Manusia sebagaimana negara maju.
Bukan hal yang berlebihan jika Indeks Gini Ratio di ibukota
harus ditargetkan serendah mungkin. Sebab inilah yang
menjadi indikator bahwa pesatnya pembangunan Jakarta
dapat dinikmati oleh semua penduduk.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
xi
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Segores Tinta dari Penulis
Bagaimanakah kita bisa menilai indikator kesejahteraan
seperti indeks pembangunan manusia, indeks kualitas
kesehatan dan indeks kualitas hidup. Tentu yang dimaksud
bukanlah sekadar angka statistik semata. Secara riil,
indikator ini bisa dicermati dari capaian pemenuhan
kebutuhan dasar bagi semua penduduk. Kebutuhan dasar
seperti pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, perumahan
dan sanitasi, haruslah telah terpenuhi dengan memadai.
Buku ini mencoba merefleksikan sisi yang perlu mendapat
perhatian kita semua. Jakarta tidak hanya terbangun secara
fisik (raga), namun juga kesejahteraan semua penduduknya.
Keterlibatan saya sebagai Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta
dalam proses penyusunan kebijakan, penyerapan
aspirasi, serta pemantauan kondisi masyarakat, telah
mengantarkan saya pada perenungan panjang tentang
sisi Jakarta yang lain. Kesejahteraan penduduk adalah
tanggungjawab kita semua, terlebih bagi para perancang
kebijakan. Perjuangan menyejahterakan warga Jakarta
harus menjadi kesungguhan dengan azas kesetaraan
yang melingkari rasa kebersamaan bagi kesejahteraan
untuk semua. Harapan Saya, melalui lahirnya gagasan
dalam buku ini dibarengi dengan embrio Komunitas
Lingkar Sejahtera Jakarta, akan memantapkan langkah
segenap warga semakin giat bergegas dalam kesetaraan
dan kebersamaan cita-cita menuju kesejahteraan.
Dan tak lupa ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya
saya sampaikan kepada keluarga tercinta, istri dan anak-
xii
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
anak saya, orang tua dan mertua yang telah mendukung
penuh kerja dan pengabdian saya di DPRD DKI Jakarta,
yang bersabar atas kesibukan saya sebagai wakil rakyat
maupun kader partai. Terimakasih juga saya sampaikan
kepada seluruh rekan dan kolega yang telah bekerja sama
dan mendukung kerja saya selama ini dan tidak dapat saya
sebutkan satu per satu. Juga kepada para sesepuh, tokoh
masyarakat, pakar, LSM dan peneliti yang telah banyak
memberikan nasehat, sumbangan pemikiran, diskusi
dan masukan kepada saya dalam menjalankan amanah
sebagai wakil rakyat. Secara khusus saya mengucapkan
terimakasih kepada Sdr. Selamat Nurdin dan Prof.
Eko Prasodjo yang bersedia menyumbangkan gagasan
pemikirannya dalam bentuk tulisan untuk memperkuat
wacana dalam buku ini, Ustadz. Lutfi Hasan Ishaaq, MA
atas kesediaannya memberikan pengantar untuk buku ini
ditengah kesibukan beliau memimpin salah satu partai
terbesar di negeri ini, dan kepada Lingkar Sejahtera
Jakarta (LSJ) yang telah menghimpun pemikiran saya
dan menerbitkannya dalam bentuk buku. Terakhir, buku
ini merupakan persembahan saya untuk seluruh warga
Jakarta yang terus mendambakan kesejahteraan. Semoga
memberikan manfaat dan kesejahteraan itu dapat
terwujud dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Kebon Sirih, 22 Juni 2011.
Segores Tinta dari Penulis
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
xiii
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Daftar Isi
Kata Pengantar___iiiPengantar Penerbit___viiSegores Tinta dari Penulis___x
Jakarta 1. : Modernitas & Pembangunan Manusia___1Bangun Jiwa dan Raga Jakart2. a Bercermin kepada Negara ASEAN___22
I. Jakarta Sejahtera Berkelanjutan, Mengapa Tidak?___33Gagasan Besa1. r Kesejahteraan___34Menakar Visi Kesejahteraa2. n Kepemimpinan Jakarta___39Membangun Basis Politik3. , Menciptakan Kesejahteraan___44Mimp4. i Ibukota Sejahtera___49
II. Menuju Jaminan Sosial di Ibukota___57Paradoks Waja1. h Pembangunan Jakarta___58Jamsosda2. ala Jakarta___65
III. Sistem dan Jaminan Kesehatan bagi Warga___75Warga Miski1. n Dilarang Sakit?___76Jamkesda Baru2. untuk Jakarta Baru___82Model Pembiayaa3. n Jamkesda Baru___89
IV. Semua Berhak Dapat Pendidikan Layak___97Wajib Belajar 12 Tahun di Jakart1. a Mungkinkah?___98Pendidikan Berkualita2. s untuk Semua Penduduk___103
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
xiv
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
V. Menempatkan Ekonomi Kerakyatan di Ibukota___109Menggeliatkan UMK1. M di Jakarta___110Menyelamatka2. n Pasar Tradisional___126
VI. Transportasi publik Nyaman untuk Warga___139Transportasi Publik Handal1. sebagai Prioritas___140Perlu Terobosan Kebijaka2. n untuk Busway___151Tantanga3. n Implementasi ERP___156
VII. Birokrasi yang Bekerja dan Melayani___171Mengubah Paradigm1. a Pelayanan Birokrasi di Jakarta___172Reformasi Birokrasi menuju Profesionalitas dan Moralitas Aparatu2. r untuk Keadilan dan Kesejahteraan Masyarakat___179Menuju Birokras3. i yang Melayani___196
VIII. Bekerja untuk Ibukota___203Menanggulangi Kemiskina1. n di Ibukota___204Rumah untu2. k Warga Marjinal___214Tanggungjawab Bekerj3. a untuk Negeri___223
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
xv
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jakarta :Modernitas &Pembangunan Manusia
Memasuki usianya yang menjelang lima
abad, Jakarta berkembang semakin cantik
dan megah. Gedung pencakar langit terus
bertambah, lengkap dengan cahaya yang gemerlapan di
malam hari. Pusat-pusat perbelanjaan yang juga berfungsi
sebagai ‘meeting point’ terus bertambah, diisi oleh gerai-
gerai yang menjual produk fashion lokal hingga global.
Demikian pula dengan apartemen yang terus menjamur.
Keberadaannya kerap menarik orang untuk tinggal di
Jakarta yang menawarkan segala pesona. Melting point
juga berkembang di berbagai kawasan dalam bentuk
kafe, resto yang didukung dengan fasilitas cyber yang
memberikan akses tanpa batas.
Namun pada saat yang sama, Jakarta juga terlihat semakin
rapuh menanggung beratnya beban pembangunan.
Pesatnya pertumbuhan kota, tidak diikuti dengan daya
dukung alam dan keseimbangan ekologis. Permasalahan
sampah, eksploitasi air tanah yang berlebihan, hilangnya
ruang terbuka hijau hingga rusaknya daerah aliran sungai,
tidak kunjung terselesaikan secara tuntas. Akibatnya,
berbagai permasalahan lingkungan pun rutin mengunjungi
Jakarta. Jakarta juga menghadapi meningkatnya segregasi
fungsional antara daerah bisnis/perkantoran dan daerah
pemukiman. Akibatnya terjadi pemborosan waktu
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
1
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
dan biaya transportasi, inefisiensi lahan dan kawasan,
penurunan kualitas lingkungan terutama akibat polusi
udara yang parah, serta kebutuhan yang besar terhadap
sarana transportasi dan infrastruktur terkait lainnya.
Di sisi lain, segregasi sosial juga nampak tidak semakin
membaik. Kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan
antar kelompok pendapatan, etnis, suku dan golongan,
rawan menimbulkan konflik-konflik sosial. Hal ini semakin
diperburuk dengan semakin tergerusnya ruang-ruang
publik kota yang digantikan oleh pusat-pusat bisnis,
perbelanjaan dan perumahan mewah. Akhirnya Jakarta
seperti sumbu panas yang mudah sekali tersulut menjadi
konflik horizontal antar etnik, antar kampung maupun
antar kelompok.
Perekonomian Jakarta yang digambarkan dengan
PDRB dalam lima tahun terakhir mengalami
peningkatan yang cukup signifikan, yaitu dari Rp.
501,8 triliun pada tahun 2006 menjadi Rp. 862,02 triliun
pada tahun 2010. Dominasi sektor industri pengolahan,
sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor
keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dalam
perekonomian Jakarta belum tergoyahkan disamping
sektor bangunan dan sektor jasa-jasa. Perekonomian
Jakarta juga tumbuh pesat dengan pertumbuhan ekonomi
diatas pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam periode
2006-2008, pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai
Jakarta yang Semakin Megah
2
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
6,2%. Dengan pendapatan per kapita sebesar Rp. 73,3 juta
per tahun, Jakarta menjadi daerah dengan pertumbuhan
ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dari
pertumbuhan dan pendapatan per kapita nasional.
Pertumbuhan ekonomi Jakarta disokong oleh sektor tersier
yang menyumbang sebesar 70% terhadap total PDRB.
Sektor tersier ini terutama adalah sektor perdagangan,
hotel, dan restoran yang mempunyai kontribusi terhadap
perekonomian daerah sekitar 20 persen; sektor jasa
keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan sekitar 28
persen; dan sisanya diberikan oleh sektor pengangkutan
dan komunikasi, serta sektor jasa-jasa lainnya. Pada
tahun 2009, pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor
pengangkutan dan komunikasi yaitu sebesar 15,6 persen,
kemudian diikuti oleh sektor jasa-jasa sebesar 6,5 persen,
sektor bangunan sebesar 6,2 persen, sektor listrik, gas,
dan air bersih sebesar 4,6 persen, sektor perdagangan,
hotel, dan restoran sebesar 4 persen, sektor keuangan,
persewaan, dan jasa perusahaan dengan pertumbuhan
4 persen, sektor industri pengolahan sebesar 0,14
persen, sektor pertanian dengan pertumbuhan 0,3
persen, dan sektor pertambangan dan penggalian dengan
pertumbuhan sebesar minus 4,34 persen.
Pertumbuhan ekonomi secara sektoral memperlihatkan
sektor-sektor seperti sektor keuangan, persewaan
dan jasa perusahaan, sektor perdagangan, hotel dan
restoran, sektor industri pengolahan; sektor jasa-jasa
mengalami pertumbuhan yang relatif stabil. Sementara
Dengan pendapatan per kapita sebesar Rp. 73,3 juta per tahun, Jakarta menjadi daerah dengan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dari pertumbuhan dan pendapatan per kapita nasional.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
3
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
sektor bangunan dalam lima tahun terakhir mengalami
pertumbuhan relatif cepat dibandingkan sektor-sektor
lainnya. Menjamurnya pembangunan tower-tower
apartemen di hampir seluruh penjuru ibukota, pusat-
pusat perbelanjaan dari yang kelas menengah sampai
yang super mewah menjadi simbol pertumbuhan dari
sektor konstruksi. Belum lagi pembangunan yang berasal
dari pengeluaran sektor pemerintah seperti Banjir Kanal
Timur, jalan layang non tol dan rumah susun.
Selain konstruksi, sektor pengangkutan dan komunikasi
selama lima tahun juga mengalami pertumbuhan fe-
no menal dengan kisaran sekitar 14 persen per tahun.
Pertumbuhan ini didorong oleh perkembangan peng gunaan
teknologi informasi khususnya internet dan komunikasi
seluler. Jakarta pun memiliki peluang besar untuk menjadi
sentra industri teknologi-informasi yang sangat bertumpu
pada sumber daya manusia (SDM) unggul. Jakarta sebagai
pusat pendidikan teknologi in for masi dan telekomunikasi
di Indonesia, memiliki potensi besar menjadi pusat industri
teknologi-informasi karena memiliki infrastruktur dan SDM
terlatih yang ber limpah. Jakarta ke depan bahkan dapat
diposisikan se bagai electronic super sites yang fokus pada
riset dan pengembangan teknologi (R&D), SDM, industri IT
dan mikroelektronika.
Kemegahan Jakarta juga ditandai dengan lalulintasnya yang
semakin padat dan kemacetan yang semakin akut. Tahun
2010 jumlah kendaraan bermotor di Jakarta mencapai 6,7
Juta unit, dengan kendaraan roda dua mencapai 4,3 Juta
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
4
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
unit dan sebanyak 2,4 Juta unit kendaraan roda empat.
Setiap harinya pertumbuhannya mencapai 1.172 Unit
dengan komposisi 986 kendaraan roda dua dan 186 roda
empat. Kepadatan ini berdampak pada kondisi lalulintas
yang tidak seimbang dimana sebagian besar waktu di
jalan justru berada dalam kemacetan. Dari total waktu
perjalanan pada beberapa ruas jalan, 40% merupakan
waktu bergerak dan 60% merupakan waktu hambatan.
Kecepatan rata-rata lalu lintas adalah 20,21 km/jam.
Penanaman modal baik PMDN maupun PMA dalam
kurun waktu 2006-2009 mengalami perkembangan yang
fluktuatif. Investasi yang ditanamkan oleh pemodal asing
di DKI Jakarta mengalami kinerja yang meningkat pada
tahun 2008, namun menurun tajam pada tahun 2009.
Sementara untuk PMDN, investasi masih cenderung
mengalami peningkatan meskipun peningkatan yang
relatif rendah. Berbagai faktor memberikan pengaruh
terhadap fluktuasi investasi di Jakarta. Walau penurunan
investasi asing pada tahun 2009 diduga dipengaruhi
oleh krisis global yang berlangsung saat itu, iklim
investasi di Jakarta saat ini juga belum sepenuhnya
menunjukkan kondisi yang kondusif. Dalam survei Doing
Business 2011 yang dilakukan oleh IFC-The World Bank,
Indonesia yang direpresentasikan oleh Jakarta, masih
menempati peringkat 121 dari 180 negara dalam hal
kemudahan melakukan usaha. Peringkat ini lebih rendah
dari peringkat negara-negara tetangga seperti Malaysia,
Thailand dan Vietnam, yang menjadi kompetitor dalam
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
5
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
menarik investasi. Di Jakarta masih dibutuhkan waktu 43
hari untuk mengurus berbagai perijinan untuk investasi
dengan 9 prosedur yang harus dilalui. Bandingkan dengan
negara-negara maju yang hanya butuh 14 hari dan enam
prosedur. Bahkan dibandingkan dengan kota-kota lain,
dalam survei Sub National Doing Business 2010, Jakarta
hanya menempati peringkat ke-7 dari 14 kota dalam
kemudahan berusaha.
Ditengah kemegahan yang muncul, Jakarta
juga masih menyimpan sejumlah kondisi yang
paradoks dengan kemegahan, modernitas dan
gemerlap wajah kota. Secara ekonomi ini ditandai dengan
angka koefisien Gini yang rendah. Dalam periode tahun
2006-2010, koefisien Gini di DKI Jakarta relatif stabil pada
angka 0,36-0,38 yang menunjukkan masih cukup tingginya
kesenjangan pendapatan diantara penduduk. Penilaian
Bank Dunia menunjukkan bahwa 40% penduduk Jakarta
hanya menikmati sekitar 17% kue ekonomi kota . Secara
ekstrem, fenomena ketimpangan ini ditunjukkan dengan
gedung-gedung perkantoran, apartemen mewah dan
pusat perbelanjaan raksasa yang berdampingan dengan
pemukiman padat dan kumuh. Potret lain adalah manusia
gerobak yang berada di kolong-kolong flyover, atau
bahkan di depan gedung perkantoran. Keberadaan kafe-
kafe dan resto mewah yang hanya berjarak puluhan meter
dengan warung-warung makan kecil yang tidak higienis.
Potret Paradoks Jakarta
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
6
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menumpuknya mobil-mobil mewah di samping bus kota
non AC yang penuh sesak penumpang. Sementara, KRL
ekonomi melaju dengan atap yang dipenuhi penumpang.
Tidak berlebihan jika dikatakan Jakarta masih dipenuhi
dengan berbagai permasalahan sosial dan persoalan
kesejahteraan ditengah kemegahan yang dihadirkan.
Tuntutan sebagian masyarakat kota khususnya kaum
pekerja dan kelas menengah kota mungkin lebih banyak
pada bagaimana menghadirkan kota yang nyaman dan
modern. Hal ini pula yang menggiring visi pembangunan
kota juga diarahkan pada membangun kenyamanan
kota. Akibatnya pembangunan kota juga diarahkan
pada upaya menciptakan kenyamanan kota seperti
infrastruktur jalan (flyover, underpass, jalan layang non
tol), infrastruktur pengendali banjir seperti kanal banjir,
waduk, pompa pengendali dan sebagainya. Padahal
pembangunan infrastruktur jalan ini seperti beradu
cepat dengan pertumbuhan kendaran di Jakarta dan
sayangnya selalu kalah sehingga kemacetan semakin tidak
teratasi. Pembangunan fisik juga didukung oleh sektor
swasta yang secara agresif membangun properti seperti
gedung perkantoran, apartemen, pusat perbelanjaan,
entertainment center, berbagai bentuk melting point,
bahkan rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang megah.
Gedung pendidikan, kesenian dan kebudayaan juga
berdiri megah baik yang didirikan pemerintah maupun
swasta untuk mendukung gaya hidup kota metropolitan
internasional.
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
7
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Pertanyaan besar yang kemudian muncul adalah apakah
pembangunan infrastruktur dan fisik ini sudah seimbang
dengan pembangunan “perangkat lunak”nya untuk
menghasilkan kesejahteraan bagi semua penduduk
Jakarta? Apakah pembangunan fisik ini juga sudah
dirasakan manfaatnya oleh warga Jakarta khususnya 40%
penduduk yang masih berpendapatan rendah? Apakah
kebijakan yang diarahkan untuk kesejahteraan masyarakat
dan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk juga
berjalan sama cepat dengan pembangunan fisik? Apakah
peningkatan kualitas manusia yang ditunjukkan dengan
indeks pembangunan manusia (IPM) penduduk Jakarta
sudah sama tinggi dengan pertumbuhan ekonomi daerah?
Sementara, sebagai konsekuensi tumbuh sebagai kota
metropolitan modern, Jakarta juga dihinggapi problema
yang berasal dari modernitas. Penyalahgunaan narkotika
dan obat terlarang, kenakalan remaja dan konflik yang
terjadi di pusat-pusat hiburan dan kriminalitas yang lahir
dari kesenjangan ekonomi, bukan sesuatu yang asing di
Jakarta.
Tentu saja pertanyaan-pertanyan ini tidak bermaksud
mendikotomikan atau mempertentangkan antara
perkembangan kota modern dengan kesejahteraan
masyarakat, seolah keduanya tidak dapat berjalan
beriringan. Bukankah wacana “growth with welfare”
sudah lama didengungkan para ekonom dunia? Kita
tidak harus memilih salah satu, apakah pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan fisik atau pemenuhan
Pertanyaan besar yang kemudian muncul adalah
apakah pembangunan infrastruktur dan fisik
ini sudah seimbang dengan pembangunan “perangkat lunak”nya untuk menghasilkan kesejahteraan bagi
semua penduduk Jakarta?
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
8
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
kebutuhan dasar? Bahkan dalam konsep welfare state
yang berkembang di dunia terutama di Eropa Utara,
pertumbuhan ekonomi dan berkembangnya bisnis sektor
swasta menjadi pilar pembentuk kebijakan dan penerapan
negara kesejahteraan. Tentu saja yang ingin ditekankan
disini, adalah sejauh mana kebijakan sosial dan komitmen
pembangunan kesejahteraan rakyat sudah dijalankan
dengan baik, dan apakah anggaran sudah secara efektif
diarahkan pada upaya peningkatan kesejahteraan rakyat
untuk pemenuhan kebutuhan dasar.
Dari sudut pandang ekonomi pembangunan,
terdapat beberapa kecenderungan yang
patut diperhatikan bagi kebijakan dan
strategi pembangunan perkotaan di Jakarta. Pertama,
korelasi positif antara pembangunan ekonomi dan
tingkat urbanisasi. Tingkat urbanisasi akan semakin tinggi
karena Jakarta memiliki gemerlap dan posisi sebagai
pusat kegiatan ekonomi, bisnis dan pemerintahan.
Pendatang dari berbagai strata sosial-ekonomi dan level
Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia dan Jakarta
No Tahun Jakarta Indonesia
1 2004 76.1 71.1
2 2005 76.0 72.8
3 2006 76.1 72.6
4 2007 76.3 73.4
5 2008 77.3 71.7
6 2009 77.2 73.4
Tantangan Pembangunan Ibukota
Pertama, korelasi positif antara pembangunan ekonomi dan tingkat urbanisasi.
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
9
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
intelektualitas berduyun-duyun menuju Jakarta untuk
“bertarung” meraih kesuksesan di ibukota.
Padahal bagi Indonesia, Jakarta berperan sebagai
“engine of development” dengan peranan penting bagi
pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan Jakarta
akan secara langsung berpengaruh pada pertumbuhan
nasional. Dengan besarnya kontribusi Jakarta pada
perekonomian nasional, maka setiap gangguan pada
perekonomian Jakarta secara langsung akan berpengaruh
pada perekonomian nasional. Karena itu menjadi
penting untuk terus mempertahankan dan memastikan
pertumbuhan Jakarta yang tinggi dan lestari (sustainable)
ke depan.
Kedua, daerah-daerah metropolitan tumbuh lebih cepat
dibandingkan daerah perkotaan lainnya yang lebih kecil.
Karena memiliki ukuran lebih besar dari kota disekililingnya,
Jakarta akan terus menghadapi masalah yang semakin
meningkat intensitasnya. Masalah yang dimaksud
terutama terkait dengan penciptaan lapangan kerja,
pengentasan kemiskinan, pembangunan infrastruktur
dan penyediaan jasa publik, serta perlindungan alam dan
lingkungan hidup. Kegagalan dalam mengelola Jakarta,
akan berimplikasi pada semakin meningkatnya derajat dan
intensitas permasalahan sehingga berbagai permasalahan
tersebut akan semakin sulit dipecahkan.
Ketiga, dengan intensitas keterkaitan antara desa-kota yang
masih tinggi, Jakarta masih akan terus menjadi sasaran bagi
Kedua, daerah-daerah metropolitan tumbuh
lebih cepat dibandingkan daerah perkotaan
lainnya yang lebih kecil.
Ketiga, dengan intensitas keterkaitan antara desa-kota yang masih tinggi, Jakarta masih akan terus menjadi sasaran bagi datangnya pendatang dari desa-desa yang mulai mengalami surplus tenaga kerja di sektor pertanian.
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
10
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
intelektualitas berduyun-duyun menuju Jakarta untuk
“bertarung” meraih kesuksesan di ibukota.
Padahal bagi Indonesia, Jakarta berperan sebagai
“engine of development” dengan peranan penting bagi
pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan Jakarta
akan secara langsung berpengaruh pada pertumbuhan
nasional. Dengan besarnya kontribusi Jakarta pada
perekonomian nasional, maka setiap gangguan pada
perekonomian Jakarta secara langsung akan berpengaruh
pada perekonomian nasional. Karena itu menjadi
penting untuk terus mempertahankan dan memastikan
pertumbuhan Jakarta yang tinggi dan lestari (sustainable)
ke depan.
Kedua, daerah-daerah metropolitan tumbuh lebih cepat
dibandingkan daerah perkotaan lainnya yang lebih kecil.
Karena memiliki ukuran lebih besar dari kota disekililingnya,
Jakarta akan terus menghadapi masalah yang semakin
meningkat intensitasnya. Masalah yang dimaksud
terutama terkait dengan penciptaan lapangan kerja,
pengentasan kemiskinan, pembangunan infrastruktur
dan penyediaan jasa publik, serta perlindungan alam dan
lingkungan hidup. Kegagalan dalam mengelola Jakarta,
akan berimplikasi pada semakin meningkatnya derajat dan
intensitas permasalahan sehingga berbagai permasalahan
tersebut akan semakin sulit dipecahkan.
Ketiga, dengan intensitas keterkaitan antara desa-kota yang
masih tinggi, Jakarta masih akan terus menjadi sasaran bagi
Kedua, daerah-daerah metropolitan tumbuh
lebih cepat dibandingkan daerah perkotaan
lainnya yang lebih kecil.
Ketiga, dengan intensitas keterkaitan antara desa-kota yang masih tinggi, Jakarta masih akan terus menjadi sasaran bagi datangnya pendatang dari desa-desa yang mulai mengalami surplus tenaga kerja di sektor pertanian.
datangnya pendatang dari desa-desa yang mulai mengalami
surplus tenaga kerja di sektor pertanian. Hal ini diperparah
dengan semakin mudahnya transportasi menuju kota, dan
kesenjangan desa-kota yang semakin tinggi.
Selain itu, penting pula bagi para pengambil kebijakan
untuk mengetahui dan memahami permasalahan Jakarta
yang kompleks dan telah menahun. Pertama, semakin
meningkatnya segregasi sosial dan fungsional dari kelompok-
kelompok pendapatan. Daerah bisnis/perkantoran dan
daerah pemukiman yang semakin berjarak telah melahirkan
masyarakat Jabodetabek yang sebagiannya “penglajo” dari
pinggiran bahkan luar kota ke pusat kota dan membutuhkan
mobilitas tinggi. Jakarta juga menjadi kota unik dimana
“jumlah penduduk” pada siang hari bisa dua kali lipat
dari jumlahnya pada malam hari. Pola “penglajo” ini telah
menimbulkan masalah pemborosan dan inefisiensi yang
muncul akibat kemacetan. Segregasi ini juga melahirkan
Jakarta yang dipenuhi oleh perumahan dan apartemen
mewah yang hanya mampu diakses oleh rumah tangga
kaya. Sementara kelompok pekerja menengah-bawah yang
merupakan kelompok terbesar di Jakarta terpaksa tinggal
luar kota seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi atau
memaksakan diri hidup di lingkungan padat dan kumuh,
sebagian bahkan di kamar-kamar kontrakan atau kost
sempit dengan fasilitas seadanya.
Pada saat yang sama, Jakarta juga sayangnya belum
memiliki sistem transportasi makro yang bersifat
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
11
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
massal, murah dan cepat. Akibatnya, ketidakseimbangan
fungsional ini harus dibayar mahal oleh kota ini dalam
bentuk munculnya kawasan-kawasan kumuh, penurunan
kualitas lingkungan, rendahnya efisiensi lahan dan
kawasan, serta jauhnya penduduk dengan tempat kerja.
Variasi dari dampak yang muncul dalam mengatasi
persoalan ini oleh masyarakat adalah, dipenuhinya jalan
oleh sepeda motor sebagi pilihan sarana transportasi
yang murah dan cepat.
Sementara itu, segregasi sosial antara kelompok pendapatan
bawah dan menengah-atas di Jakarta yang terus meningkat.
Ini merupakan sumber potensial bagi konflik-konflik sosial.
Sistem kepemilikan pertanahan yang rumit dan tidak
tersedianya rumah murah yang layak, telah menciptakan
pemukiman kumuh perkotaan dan rusaknya daerah aliran
sungai. Kelompok miskin kota yang tidak memiliki tempat
tinggal, kemudian menciptakan permukiman kumuh dan
padat serta permukiman liar di bantaran sungai, bawah
jembatan, dan jalur hijau. Ditambah lagi dengan hilangnya
ruang-ruang publik kota, taman kota, ruang interaksi
masyarakat, termasuk lapangan olahraga yang digantikan
oleh berbagai pusat bisnis dan perbelanjaan telah semakin
meningkatkan kerawanan sosial.
Kedua, masih tingginya jumlah penduduk miskin,
pengangguran dan sektor informal kota. Kemiskinan
terlihat semakin akut di Jakarta dan memiliki dampak
sosial yang luas seperti kriminalitas, prostitusi, anak-anak
jalanan, daerah-daerah kumuh, dan bahkan kerusuhan.
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
12
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Sementara itu pengangguran masih terjadi dalam skala
luas akibat rendahnya investasi dan masih terbatasnya
lapangan kerja yang tersedia. Belanja pemerintah bahkan
nyaris tidak memberi kontribusi terhadap pengurangan
pengangguran. Penduduk yang sumber pendapatannya
berasal dari usaha kecil dan mikro, umumnya sulit keluar
dari tingkat pendapatan yang rendah. Mereka tumbuh
hanya menjadi usaha yang subsisten, sekedar untuk
memenuhi kebutuhan hidup dengan penyerapan tenaga
kerja yang terbatas.
Ketiga, masalah Jakarta yang semakin rawan adalah
masalah lingkungan yang semakin parah akibat
pertumbuhan populasi dan pembangunan yang tidak
berwawasan lingkungan. Masalah banjir, sampah, air
bersih, pencemaran air, udara, dan tanah, menyusutnya
daerah resapan air dan kawasan hijau, dan rusaknya
daerah aliran sungai, terlihat semakin parah. Tanpa usaha
perbaikan yang serius dan berkesinambungan, bukan
mustahil suatu saat nanti lingkungan tidak akan mampu
lagi menampung pertumbuhan kota. Hingga saat ini saja,
Jakarta sudah menjadi kota paling tercemar ke-tiga di
dunia setelah Mexico City dan Bangkok.
Jakarta memang memiliki pendapatan per kapita
yang jauh lebih tinggi daripada daerah-daerah
lain. Namun itu semua bukanlah berarti Jakarta
tidak membutuhkan kebijakan sosial dan program yang
Kerangka Dasar Menuju Pembangunan Manusia Jakarta
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
13
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
diarahkan untuk menciptakan kesejahteraan. Betul, kita
memang bisa mengatakan biarkan pasar dan sektor
swasta bekerja karena mereka relatif bisa menciptakan
efisiensi. Namun kebijakan yang secara khusus
diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan
terpenuhinya kebutuhan dasar juga menjadi kebutuhan
yang mendesak.
Memberikan perhatian pada penciptaan kesejahteraan
di ibukota memiliki banyak rasionalitas. Pertama,
kesejahteraan adalah tujuan bernegara selain keadilan.
Dalam konteks daerah, kesejahteraan adalah tujuan
utama kebijakan dan pengelolaan daerah dalam bentuk
pemenuhan kebutuhan dasar penduduk. Bahkan
indikator keberhasilan sebuah daerah atau negara
adalah kesejahteraan penduduknya dalam bentuk indeks
pembangunan manusia. Secara politik, dukungan juga akan
datang ketika sang pemimpin daerah bisa menciptakan
kesejahteraan bagi rakyatnya.
Kedua, kesejahteraan mempromosikan efisiensi
ekonomi. Kesejahteraan yang lebih tinggi memiliki
dampak eksternalitas positif baik dari sisi mikro maupun
makro ekonomi sehingga akan mendorong peningkatan
efisiensi ekonomi. Efisiensi inilah yang diharapkan akan
dapat lebih memperbaiki alokasi sumber daya anggaran
agar lebih mencapai sasaran. Sebagai kota modern,
sudah selayaknya Jakarta menempatkan efisiensi dalam
pengelolaan sumber daya anggaran dan sumber daya
ekonomi yang dimilikinya.
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
14
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Ketiga, kesejahteraan akan menurunkan kemiskinan yang
menjadi problem utama sekaligus musuh pembangunan.
Tidak ada satupun negara atau daerah yang ingin dicap
sebagai miskin atau dikatakan memiliki tingkat kemiskinan
tinggi. Keempat, kesejahteraan mendorong kesamaan
sosial dan menurunkan kesenjangan sosial. Persamaan
hak-hak ekonomi, politik, sosial-budaya hingga kesamaan
perlakuan di depan hukum dapat dipromosikan dengan
penciptaan kesejahteraan secara merata.
Kelima, kesejahteraan mempromosikan stabilitas sosial-
politik. Stabilitas yang sejati hanya akan tercapai ketika
semua warga sejahtera lahir dan batin. Stabilitas yang
bersumber dari tindakan represif-manipulatif negara,
hanya akan menciptakan stabilitas artifisial yang semu.
Keenam, kesejahteraan mendorong pemberdayaan ma-
syarakat yang dibutuhkan untuk melahirkan kemandirian.
Dengan kemandirian ini diharapkan masyarakat se ma kin
kreatif dan inovatif, serta semakin mengurangi keter-
gantungannya kepada pemerintah.
Secara historis, penciptaan kesejahteraan bagi seluruh
warga merupakan amanat perjuangan kemerdekaan. Para
pendiri negeri telah menegaskan bahwa negara-bangsa
bernama Indonesia ini dibentuk untuk mengupayakan
terciptanya kemakmuran lahir dan batin bagi segenap
penduduknya. Sejak awal merdeka, pemerintahan
Indonesia selalu mengupayakan penyelenggaraan sistem
Secara historis, penciptaan kesejahteraan bagi seluruh warga merupakan amanat perjuangan kemerdekaan.
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
15
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
kesejahteraan sosial, salah satunya dicetuskan Kabinet
Hatta (1949-1950) dengan rumusan “jaminan sosial”.
Pada prinsipnya, penciptaan kesejahteraan masyarakat
membutuhkan tiga prasyarat dasar. Pertama, kehadiran
pemerintahan yang memihak rakyat banyak (pro-poor
government) dalam lingkungan politik yang stabil. Dalam
alam demokrasi saat ini, stabilitas ini hanya dapat diraih
melalui aliansi politik. Namun aliansi politik harus didasari
oleh tujuan kesejahteraan publik (welfare-driven), bukan
kepentingan pragmatis jangka pendek orang-perorang.
Kedua, kehadiran institusi yang memihak rakyat banyak
(pro-poor institutions). Penyediaan kesejahteraan
membutuhkan institusi yang responsif, kompeten dan
bersih untuk memberikan pelayanan publik secara
optimal. Disinilah reformasi birokrasi menjadi kata kunci
terpenting dalam penciptaan kesejahteraan di Jakarta.
Ketiga, kehadiran kebijakan yang memihak rakyat banyak
(pro-poor policy). Dalam dunia nyata, implementasi
idealita adalah sulit dan sering menemui resistensi dari
vested interest groups. Lebih jauh lagi, seringkali terjadi
deviasi antara rencana dan realisasi. Disinilah dibutuhkan
komitmen yang kuat dari pemerintah untuk mendahulukan
kepentingan sosial diatas kepentingan kelompok-kelompok
status quo, dalam bentuk mempromosikan kebijakan-
kebijakan pembangunan sosial yang luas. Hanya dengan
komitmen yang kuat maka kesejahteraan untuk semua
akan terwujud.
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
16
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Kerangka Dasar Pembangunan Kesejahteraan di
DKI Jakarta
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
Meskipun sebagian penduduk Jakarta su-
d ah pada tahap pemenuhan kebutuhan
ter sier dan gaya hidup, namun tetap ada
kewajiban bagi pengelola pemerintahan dan pengambil
kebijakan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Pemenuhan
kebutuhan ini adalah bagian dari tanggungjawab negara/
daerah terhadap penduduknya. Bahkan jika melihat
bahwa, masih lebih dari 300 ribu penduduk Jakarta
yang hidup dibawah garis kemiskinan dan masih cukup
banyak penduduk yang hidup dengan pendapatan kurang
dari 1 juta per bulan, maka menjadi sangat penting bagi
pemerintah untuk tetap menyediakan pelayanan publik
yang menjadi kebutuhan dasar penduduk.
Pembangunan Manusia melalui Memenuhi Kebutuhan Dasar
DKI Jakarta “Welfare City”
Aliansi Politik “welfare-driven”
Reformasi Birokrasi
dan Peran Stakeholders
Komitmen Pembangunan
Sosial
Pro-poor policyPro-poor institutionsPro-poor government
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
17
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Kebutuhan dasar penduduk pertama yang harus dipenuhi
adalah hak dasar bagi penduduk untuk memperoleh
pendidikan yang layak. Bagi Jakarta sebagai kota inter-
nasional, paling tidak setiap penduduk bisa bersekolah
sampai dengan SMU atau wajib belajar 12 tahun. Namun
dari sisi anggaran, tentu saja target ini tidak mudah untuk
dipenuhi. Partisipasi publik masih tetap diperlukan untuk
dapat terpenuhinya pemenuhan kebutuhan pendidikan 12
tahun. Setidaknya pemerintah dapat menjamin penduduk
yang masuk kategori tidak mampu untuk memenuhi
kebutuhan pendidikan dasar. Jakarta juga dapat berfokus
pada peningkatan kualitas dan sarana pendidikan dan
pemenuhan pada pendidikan khusus seperti pendidikan
kejuruan dalam rangka penyiapan sumber daya manusia
siap kerja. Apalagi umumnya pendidikan kejuruan ini lebih
diminati oleh siswa dari kelompok ekonomi menengah
ke bawah, sehingga menjadi sangat wajar jika subsidi
dialokasikan kepada pendidikan kejuruan ini untuk
pemenuhan kebutuhan pendidikan 12 tahun.
Pada urutan kedua kebutuhan dasar yang harus
dipenuhi adalah kebutuhan akan pelayanan kesehatan.
Pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan ini umumnya
diimplementasikan melalui jaminan pelayanan kesehatan
bagi masyarakat miskin. Pada beberapa daerah, cakupan
jaminan layanan kesehatan ini bahkan bisa mencakup
seluruh penduduk. Hal ini bisa direalisasikan bila jumlah
penduduk tidak banyak atau ada skema keterlibatan
partisipasi masyarakat melalui premi. Jakarta memiliki
Kebutuhan dasar penduduk pertama
yang harus dipenuhi adalah hak dasar
bagi penduduk untuk memperoleh pendidikan
yang layak.
Pada urutan kedua kebutuhan dasar
yang harus dipenuhi adalah kebutuhan akan pelayanan kesehatan.
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
18
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
APBD yang cukup besar, namun juga memiliki jumlah
penduduk yang jauh lebih besar pula dibanding kabupaten/
kota lainnya di Indonesia. Sehingga di Jakarta mungkin saja
diwujudkan jaminan pelayanan kesehatan yang mencakup
seluruh penduduk, namun dekat residual, atau hanya
diberikan bagi penduduk yang belum memiliki jaminan
kesehatan dari sumber lain (Askes, Jamsostek, ASABRI
dan asuransi swasta). Tentu saja jaminan ini memiliki
batasan pelayanan kesehatan tingkat tiga, sebagaimana
penggolongan dalam sistem kesehatan daerah. Namun
yang juga sangat penting adalah memberikan jaminan
layanan bagi ibu hamil dan balita, khususnya dalam
memperoleh jaminan pelayanan pemeriksaan dan
pemeliharaan gizi, mengingat mereka adalah kelompok
yang rentan dan memerlukan perhatian khusus.
Jaminan Sosial menjadi kebutuhan ketiga yang harus
dipenuhi setelah kebutuhan penduduk. Jaminan sosial ini
mencakup jaminan sosial diluar pendidikan dan kesehatan.
Jaminan ini riilnya berupa jaminan khusus bagi kelompok
masyarakat berkebutuhan khusus dan jaminan memperoleh
pekerjaan/kesempatan berusaha. Jaminan sosial bagi pen-
duduk berkebutuhan khusus mencakup layanan maupun
prioritas khusus dalam pelayanan publik , bahkan termasuk
potongan harga khusus untuk jasa yang disediakan oleh
pemerintah, termasuk dalam bidang pariwisata. Sehingga
penduduk berkebutuhan khusus ini mendapat pelayanan
yang juga istimewa sesuai kebutuhannya tanpa bermaksud
memandangnya sebagai kelompok yang lemah.
Jaminan Sosial menjadi kebutuhan ketiga yang harus dipenuhi setelah kebutuhan penduduk.
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
19
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jaminan penyediaan lapangan kerja dan kesempatan
berusaha adalah wujud dari pemenuhan kebutuhan
ekonomi penduduk. Hal ini dapat diwujudkan melalui
peraturan dan iklim usaha yang kondusif untuk
tumbuhnya kegiatan ekonomi dan usaha, termasuk
mendorong berkembangnya usaha-usaha baru melalui
berbagai skema kebijakan baik sisi permodalan maupun
keterampilan usaha dan kemitraan usaha. Di negara-
negara Eropa Utara, penerapan welfare state sangat
didukung oleh berkembangnya sektor swasta dan kegiatan
bisnis yang memungkinkan didapatkan penerimaan pajak
yang cukup tinggi untuk membiayai sektor-sektor dan
program jaminan sosial.
Kebutuhan dasar keempat yang harus terpenuhi untuk
pembangunan manusia di Jakarta adalah kebutuhan
perumahan dan air bersih. Pembangunan pemukiman
yang dilakukan oleh pengembang swasta dengan
mekanisme pasar tidak mampu dijangkau masyarakat
berpenghasilan rendah yang justru membutuhkan
pemukiman dan saat ini tinggal dalam pemukiman yang
tidak layak. Oleh karena itu tetap dibutuhkan keterlibatan
pemerintah dalam penyediaan pemukiman bagi kelompok
masyarakat ini yang merupakan pekerja pada berbagai
sektor ekonomi di Jakarta. Disisi lain, pembenahan dan
penataan kawasan padat penduduk juga diperlukan agar
masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut dapat lebih
baik. Apalagi kita juga harus memenuhi target pencapaian
MDGs yaitu tercapainya City Without Slums . Bagian dari
Kebutuhan dasar keempat yang harus
terpenuhi untuk pembangunan manusia
di Jakarta adalah kebutuhan perumahan
dan air bersih.
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
20
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
penataan pemukiman ini adalah pemenuhan kebutuhan
air bersih dan sanitasi yang layak bagi penduduk, termasuk
penduduk yang tinggal di kawasan padat dan kumuh.
Mewujudkan kesejahteraan untuk meningkatkan kualitas
pembangunan manusia memang harus dilakukan
secara menyeluruh dan terintegrasi. Oleh karena itu,
gagasan yang ditawarkan adalah menyatukan urusan-
urusan yang terkait dengan kesejahteraan dalam suatu
koordinasi. Penyatuan urusan kesejahteraan yang
mencakup pendidikan, kesehatan, jaminan sosial dan
layanan administrasi kependudukan, perumahan dan
ketenagakerjaan bahkan bukan hanya di tingkat eksekutif
pelaksana kebijakan, namun juga di legislatif sebagai
perumus kebijakan. Sudah selayaknya urusan-urusan yang
terkait dengan kesejahteraan penduduk ini berada dalam
satu komisi tersendiri di legislatif di DKI Jakarta sehingga
pembahasannya lebih komprehensif.
Meningkatkan kualitas pembangunan manusia memang harus dilakukan secara menyeluruh dan terintegrasi.
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
21
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Berbagai indeks dan parameter konsep
pembangunan dan kesejahteraan kini semakin
berkembang sesuai dengan tahapan kualitas
kehidupan di era modern. Jika dahulu kesejahteraan
sebuah negara dilihat hanya pertumbuhan ekonomi
kuantitatif semata (baca: raga), kini telah bergeser dengan
memasukan unsur-unsur kualitatif seperti pendidikan,
kesehatan, serta kualitas kehidupan lainnya (baca: jiwa).
Sebagaimana sya’ir lagu kebangsaan Indonesia Raya,
kita harus senantiasa ‘bangunlah jiwanya, bangunlah
badannya untuk Indonesia Raya!’. Hal pertama yang
harus menjadi prioritas hakikatnya adalah membangun
jiwa terlebih dahulu, baru kemudian membangun raga.
Puluhan tahun lalu orang lebih melihat pembangunan
sebagai pertumbuhan ekonomi dan peningkatan produk
domestik bruto (PDB) ataupun peningkatan PDB dan
pendapatan per kapita atau hanya aspek raga saja. Jika
PDB meningkat dari tahun ke tahun dan bila pendapatan
per kapita juga meningkat per tahun dalam periode
Bangun Jiwa dan Raga Jakarta
Bercermin kepada Negara ASEANSelamat Nurdin Ketua DPW PKS DKI Jakarta
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
22
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Bangun Jiwa dan Raga Jakarta Bercermin kepada Negara ASEAN
waktu tertentu, itu sudah dikatakan sebagai terjadinya
pembangunan di negara yang bersangkutan.
Perekonomian Jakarta yang digambarkan dengan PDRB
atas dasar harga berlaku dalam lima tahun terakhir
mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yaitu dari
Rp. 501,8 triliun pada tahun 2006 menjadi Rp. 862,19
triliun pada tahun 2010. Perekonomian Jakarta juga
tumbuh dengan pesat dengan pertumbuhan ekonomi
diatas pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam periode
2006-2008, pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6%
dengan tingkat inflasi di bawah 6%.
Namun kemudian, kebanyakan wilayah yang mengalami
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per
kapita tidaklah menunjukkan perbaikan dalam kehidupan
dan pembangunan manusia, karena masih melupakan
sebagian besar rakyat yang masih hidup dalam kemiskinan.
Para ahli dan banyak orang memandang pembangunan
yang terjadi hanya menciptakan ketimpangan distribusi
pendapatan. Beberapa kelompok masyarakat memang
betul mengalami perbaikan raga atau badannya, namun
secara kejiwaan mereka terancam derajatnya, aspek
‘bangunlah jiwanya’ luput diperhatikan.
Sasaran pembangunan milenium atau Milenium De-
velopment Goals telah dicanangkan oleh Badan PBB untuk
Program Pembangunan (UNDP) yang meliputi delapan
tujuan yang harus dicapai pada tahun 2015 yang meliputi
sektor pemerataan pendidikan, pengentasan kemiskinan
Peningkatan pendapatan per kapita tidaklah menunjukkan perbaikan dalam kehidupan dan pembangunan manusia, karena masih melupakan sebagian besar rakyat yang masih hidup dalam kemiskinan.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
23
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Bangun Jiwa dan Raga Jakarta Bercermin kepada Negara ASEAN
dan kelaparan, peningkatan kualitas kesehatan dan
lingkungan hidup, kesetaraan gender, serta pemberdayaan
perempuan.
Parameter yang masih belum dipenuhi itu relevan diukur
dengan data UNDP yang selalu dirilis tahunan, yakni Indeks
Pembangunan Manusia atau Human Development Index
yang kini lebih populer menjadi parameter standar kualitas
kesejahteraan sumber daya manusia di dunia. Kualitas ini
mencerminkan kemampuan SDM untuk berusaha dalam
meningkatkan kesejahteraannya sehingga dapat keluar
dari jerat kemiskinan.
Berikut ini dapat ditampilkan bagaimana besaran dan
ketimpangan IPM antara Jakarta dan beberapa provinsi
besar pilihan, yang relatif berkembang dari tahun ke tahun.
DKI Jakarta senantiasa memimpin di ranking pertama.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa IPM DKI Jakarta selalu
berada di atas rata-rata provinsi lainnya, bahkan melebihi
capaian kinerja IPM Indonesia, seperti yang disajikan data
berikut:
Peringkat Provinsi IPM 8 Provinsi Pilihan 1996 1999 2002 2004 2005 2006 2007 2008
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
DKI Jakarta Sulawesi Utara Riau Yogyakarta Kalimantan Timur Kepulauan Riau Sumatera Utara Sumatera Barat
76,1 71,8 76,6 71,8 71,4 66,570,5 69,2
72,5 67,1 67,3 68,7 67,8 67,3 66,6 65,8
75,6 71,3 69,1 70,8 69,9 67,3 68,8 67,5
76,1 73,4 73,2 72,9 72,2 70,8 71,4 70,5
76,0 74,2 73,6 73,5 72,9 72,2 72,0 71,2
76,1 74,4 73,8 73,7 73,3 72,8 72,5 71,6
76,374,974,474,173,872,972,772,1
77,375,675,174,874,575,173,372,9
Sumber: BPS, BAPPENAS dan UNDP 2007
24
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jika Jakarta ingin bercermin terkait dengan capaiannya
selama ini, selayaknya dapat dibandingkan dengan
kondisi yang terjadi di Kawasan Asia Tenggara atau negara
tetangga di ASEAN. Negara-negara ASEAN kini banyak yang
telah mampu mencapai beberapa target dalam Millenium
Development Goals (MDG) seperti menurunkan angka
kemiskinan, memberikan pendidikan dasar, menurunkan
kematian bayi, dan kesejahteraan gender di bidang
pendidikan sebagai indikator kualitatif. Namun untuk
parameter lainnya seperti meningkatkan kesehatan ibu,
memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya serta
memelihara kelestarian lingkungan hidup lainnya untuk
beberapa negara seperti Laos, Vietnam dan Indonesia
nampak masih sangat minim.
Sebagai perbandingan yang lebih fair, mengingat Jakarta
sudah harus bercermin kepada Negara di ASEAN maka
berikut ini dikemukakan tentang IPM Indonesia, bahkan
dalam hal ini Jakarta jika dibandingkan negara-negara
Asia Tenggara yang termasuk dalam Kelompok IPM
Menengah. IPM yang terdiri dari dimensi kesehatan,
akses kepada pendidikan dan batasan standar hidup
di Jakarta masih relatif tertinggal dibandingkan negara
Kinerja dan Peringkat IPM Indonesia IPM (%) Peringkat Dunia
2004 2005 200620072008
71,1 72,8 72,673,471,7
108 107 109108107Sumber: UNDP
Bangun Jiwa dan Raga Jakarta Bercermin kepada Negara ASEAN
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
25
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
tetangga, meski sudah masuk ke dalam IPM yang relatif
tinggi diantara Kelompok HDI menengah. Jika saja Jakarta
dalam hal ini mampu menembus angka psikologis IPM
80,0 maka ibukota republik ini sudah layak bersanding
dengan Kelompok IPM Tinggi di ASEAN.
Berdasarkan data-data serta penelitian ini, di ASEAN
Indonesia hanya berada di atas Vietnam dan Kamboja,
sedangkan Thailand, Singapura, Filipina dan Malaysia
posisinya selalu berada di atas Indonesia.
Sejak 2002, Singapura misalnya berada di ranking 25
(IPM 90,2), Brunei Darussalam ranking 33 (IPM 86,7),
dan Malaysia ranking 59 (IPM 79,3). Sementara Thailand
berada pada ranking 76 (IPM 76,3), dan Filipina ranking
IPM Jakarta & Indonesia di ASEAN Masih Berada pada Kelompok Menengah
Indeks Pembangunan Manusia di ASEAN
Tahun 2002 Tahun 2005Tahun 2007
*penyesuaian
Kelompok Negara IPM (%) Peringkat IPM (%) Peringkat IPM (%) Peringkat
Kelompok IPM Tinggi
(kisaran 80,0 – 100,0)
Singapura Brunei Dslm
Malaysia
90,2 86,7 79,3
25 30 63
92,2 89,4 81,1
25 33 59
94,492,082,9
233066
Kelompok IPM Menengah
(kisaran 53,0 – 79,9)
Thailand Filipina
76,3 75,3
78 90
78,1 77,1
76 83
78,375,1
86105
Jakarta 75,6 - 76,0 - 76,3 -
Indonesia Vietnam
Laos
69,2 69,1 53,4
107 105 130
72,8 77,3 60,1
111 112 135
73,472,562,9
108116133
Sumber: UNDP, www.wikipedia.org
Bangun Jiwa dan Raga Jakarta Bercermin kepada Negara ASEAN
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
26
83 (IPM 75,3). Ranking IPM Indonesia di level 111 IPM
(69,2) masih lebih baik dari Vietnam dan Laos yang berada
pada ranking 112 dan 135. Untuk Jakarta di tahun 2002
mengungguli Filipina namun di bawah Thailand dengan
IPM 75,6.
Lalu tahun 2005, Singapura tetap di ranking 25 (IPM
92,2), Brunei Darussalam naik di ranking 30 (IPM 89,4),
dan Malaysia turun di ranking 63 sementara Thailand
dan Filiphina masing-masing ranking 78 dan 90. Ranking
IPM Indonesia sempat naik ke level 107 IPM (72,8)
namun Vietnam menyalip ke ranking 105 sementara Laos
di ranking 130. Jakarta di tahun 2005 turun di bawah
Thailand dan Filipina dengan IPM 76,0 karena problem
bencana banjir, rob dan sanitasi.
Untuk kondisi 2007, Singapura sudah di level 23 (IPM 94,4),
Brunei Darussalam ranking 30 (IPM 92,0), dan Malaysia
ranking 66 (IPM 82,9). Sementara Thailand berada pada
ranking 86 (IPM 78,3), dan Filipina ranking 105 (IPM 75,1).
Ranking IPM Indonesia masih lebih baik dari Vietnam dan
Laos yang berada pada ranking 116 dan 133. Di tahun
2007, IPM Indonesia 73,4 di ranking 108 merupakan angka
indeks di bawah rata-rata untuk kawasan Asia Tenggara .
Namun untuk kawasan Asia Pasifik, pencapaian itu sudah
di atas rata-rata sebesar 68,6, sehingga IPM Indonesia
masih dikategorikan pada posisi menengah. Sementara
Jakarta di tahun 2007 kembali mengungguli Filipina meski
tetap di bawah Thailand dengan IPM 76,3.
Bangun Jiwa dan Raga Jakarta Bercermin kepada Negara ASEAN
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
27
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Bagaimana dengan pemetaan IPM 2010? Masih tingginya
angka kematian ibu menyebabkan Indonesia baik akibat
minimnya tindakan preventif ataupun karena bencana
alam, diprediksi akan memiliki IPM terendah di Asia
Tenggara. Berdasarkan hasil penelitian World Bank pada
2008, angka kematian ibu di Indonesia kembali meningkat
menjadi 420/100.000 kelahiran. Sementara pada 2007,
angka kematian mencapai 302/100.000 kelahiran.
Berdasarkan hasil survei UNDP 2010, IPM Indonesia
diindikasikan akan turun ke level 71,1 atau merosot di
ranking 111, jauh di bawah Singapura 91,6, Malaysia 80,5,
Thailand 78,4, dan Filipina 76,3. Vietnam mungkin akan
menyalip kembali Indonesia dari segi ranking IPMnya, tapi
jika IPM Jakarta yang dibandingkan tentunya masih jauh
lebih baik dari Vietnam dan Laos.
Nampaknya, upaya pencapaian sasaran pembangunan
milenium (MDGs) Indonesia umumnya dan Jakarta
khususnya masih terhambat oleh tingkat disparitas
(kesenjangan) yang tinggi. Disparitas adalah masalah
utama bagi Jakarta secara khusus dan di Indonesia secara
keseluruhan, termasuk pula negara-negara Asia Tenggara
lainnya dalam mencapai Millenium Development Goals.
Tingkat pertumbuhan ekonomi di Jakarta memang relatif
selalu berada di atas 6%, bahkan kini mendekati angka
psikologis 7%, sebuah pencapaian yang mungkin sangat
diharapkan oleh negara-negara maju, namun masih
perlu meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam
Sebuah pencapaian yang mungkin sangat
diharapkan oleh negara-negara maju,
namun masih perlu meningkatkan kapasitas
pemerintah daerah dalam hal tata kelola
pemerintahan yang baik guna mengikis
kesenjangan tersebut.
Bangun Jiwa dan Raga Jakarta Bercermin kepada Negara ASEAN
28
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
hal tata kelola pemerintahan yang baik guna mengikis
kesenjangan tersebut. Proses peningkatan kualitas
sumber daya manusia membutuhkan waktu yang panjang
sejak manusia itu dilahirkan, diisi oleh asupan gizi yang
diberikan oleh orang tua kepada anaknya, cara orang tua
mengenalkan nilai dan pilihan pendidikan bagi si anak,
serta keteladanan pemimpin menjadi faktor utama yang
menentukan kualitas anak bangsa.
Lebih jauh lagi, parameter Human Development Index
dan Gender Development Index di hampir seluruh negara
ASEAN masih menghadapi permasalahan. Permasalahan
itu terkait rendahnya partisipasi perempuan di angkatan
kerja sebagai salah satu parameter gender yang
pergunakan untuk mengukur pembangunan ekonomi
suatu negara. Unsur kesetaraan seperti akses, partisipasi
dan tingkat kapabilitas untuk perempuan masih sangat
lemah.
Kesulitan Indonesia, khususnya Jakarta untuk menaikkan
IPM-nya adalah karena faktor kesenjangan ekonomi
yang sangat dalam diantara data demografi yang padat
(densitas tinggi), sehingga nampak kesenjangan kualitas
kehidupan yang digambarkan secara kontras dengan
adanya apartemen gedung mewah dengan latar belakang
pemukiman kumuh. Di sisi lain pemerintah daerah juga
kurang berperan dalam menyediakan layanan publik
dan berbagai perangkat infrastruktur dalam mendukung
kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat. Peran
Di sisi lain pemerintah daerah juga kurang berperan dalam menyediakan layanan publik dan berbagai perangkat infrastruktur dalam mendukung kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat.
Bangun Jiwa dan Raga Jakarta Bercermin kepada Negara ASEAN
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
29
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
pemerintah daerah dalam menyediakan layanan
publik dan infrastruktur untuk membangun manusia
Indonesia masih sangat terbatas, oleh karena itu kita
memerlukan peran proaktif dari anggota masyarakat
untuk meningkatkan kualitas dan mengembangkan
kemampuan dirinya sendiri. Ini hanya dapat dilakukan jika
kita mempunyai kesadaran bahwa pembangunan manusia
merupakan tanggung jawab diri kita sendiri, tanpa
mengesampingkan peran pemerintah. Setiap anggota
masyarakat perlu melakukan evaluasi, lebih bijak dalam
gaya hidup dan pengeluaran, disiplin dalam menabung,
serta mengalokasikan tabungan untuk investasi dalam
pendidikan dan kesehatan. Masyarakat dan sektor swasta
juga perlu didorong proaktif dalam hal CSR dan kegiatan
kedermawanan untuk mengangkat derajat sosial di
lingkungannya.
Singkatnya, belajar dari negara maju maka investasi dan
orientasi jangka panjang berbagai pihak (pemerintah pusat
dan daerah, swasta, kampus dan masyarakat secara umum)
dengan fokus alokasi investasi di sektor kesehatan dan
pendidikan merupakan determinan peningkatan kualitas
sumber daya manusianya. Pemerintah Daerah Jakarta juga
harus mulai serius menggarap Sistem Jaminan Kesehatan
Daerah, juga harus mulai mencoba menerapkan pola ear-
marking atau dedikasi khusus dalam pola pendapatan
dan pengeluaran anggaran, untuk kesejahteraan rakyat
sehingga anggaran kesejahteraan dapat terdorong
lebih tepat sasaran. Hanya dengan kesadaran ini maka
Bangun Jiwa dan Raga Jakarta Bercermin kepada Negara ASEAN
30
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
setiap anak bangsa dapat mengumpulkan bekal untuk
meningkatkan kualitas dirinya, lebih mandiri dan dapat
keluar dari jerat kemiskinan.
Bangun Jiwa dan Raga Jakarta Bercermin kepada Negara ASEAN
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
31
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Sebuah periode kepemimpinan akan selalu dikenang
dalam sejarah ketika ada gagasan-gagasan besar
yang dimunculkan dan diwujudkan oleh sang
pemimpin. Sependek apapun periode kepemimpinan
tersebut, ketika mampu menghasilkan suatu ide atau
gagasan besar yang berujung pada manfaat riil, maka
sang pemimpin akan selalu dikenang dan dijadikan
teladan bagi generasi kepemimpinan berikutnya.
Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi seorang
pemimpin untuk meninggalkan jejak gagasan yang dapat
diimplementasikan sekaligus memberi maslahat. Hukum
ini berlaku tanpa kecuali.
Contohnya, terlepas dari kekurangan yang ada, keber-
hasilan Ali Sadikin dalam proyek jalan MHT-nya
menjadikannya sebagai gubernur yang paling diingat
masyarakat. Bahkan nama beliau tetap lekat di hati
mereka yang belum lahir pada masa kepemimpinannya.
Sutiyoso sedikit banyak juga dikenang dengan gagasan
Megapolitan dan busway-nya. .
Ketika seorang tokoh atau sebuah partai politik besar di
Jakarta mencita-citakan untuk memimpin Jakarta pada
periode mendatang, maka keinginan dan kesiapan tersebut
juga harus didukung oleh sebuah gagasan besar tentang
Ketika seorang tokoh atau sebuah partai
politik besar di Jakarta mencita-citakan untuk
memimpin Jakarta pada periode mendatang, maka keinginan dan
kesiapan tersebut juga harus didukung oleh
sebuah gagasan besar tentang arah atau visi
Jakarta ke depan.
Gagasan BesarKesejahteraan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
34
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Gagasan Besar Kesejahteraan
arah atau visi Jakarta ke depan. Terlebih lagi, bagi partai
dengan label kesejahteraan. Gagasan tersebut haruslah
sebuah visi yang jelas tentang ide besar pembangunan
yang menyentuh langsung kebutuhan rakyat banyak.
Sehingga gagasan tersebut juga akan sejalan dengan
visi dan idealisme partai tersebut yang mencita-citakan
keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Dalam usianya yang mendekati lima abad, Jakarta tumbuh
tanpa ciri dan tujuan yang jelas secara fisik maupun
kondisi penduduknya. Tata ruang nyaris tanpa arah. Tidak
ada ciri kota tua nan klasik dan serasi. Jakarta kini justru
memiliki wajah lingkungan yang semrawut. Sungai yang
kotor, pemukiman yang kumuh, belum lagi banjir yang
selalu menyambangi ibukota ini setiap tahunnya.
Penduduknya juga hidup dalam suasana ketimpangan
yang sangat kontras. Diantara belantara gedung bertingkat
yang modern, ratusan pemukiman kumuh dengan
penduduk yang padat dan minim sarana masih menjadi
wajah Jakarta kita. Lebih dari 90 ribu penduduk hidup
di bantaran sungai dan ratusan ribu lagi tidak memiliki
tempat tinggal tetap.
Dari sisi sosial ekonomi masyarakat, masih banyak warga
Jakarta yang hidup dalam kondisi tidak layak. Lebih dari
setengah juta penduduk menganggur dan lebih dari 1,5
juta penduduk masuk dalam kategori miskin. Banyak
penduduk sulit mendapatkan akses layanan kesehatan
secara layak, dan lebih dari lima ribu kasus gizi buruk
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
35
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jakarta Sejahtera Berkelanjutan, Mengapa Tidak?
masih terjadi setiap tahunnya. Sementara itu, penyakit
menular dan musiman seperti DBD terus mengancam
kehidupan masyarakat. Wajah pendidikan juga tak kalah
kelam. Angka putus sekolah hampir mencapai 10 ribu,
akibat biaya pendidikan yang masih tinggi dan banyaknya
pungutan tak resmi di sana sini.
Dengan kondisi Jakarta yang demikian, keinginan untuk
menjadikan Jakarta sebagai tempat untuk penduduknya
hidup sejahtera menjadi cita-cita sekaligus sebagai
gagasan besar yang harus dibawa. Menjadikan Jakarta
sebagai kota kesejahteraan yang berkelanjutan (welfare
and sustainable city) adalah sebuah gagasan besar
untuk memimpin Jakarta ke depan. Ia adalah gagasan
besar meskipun terkesan sederhana. Mengapa? Karena
kepemimpinan Jakarta saat ini masih abai terhadap
pemenuhan hak-hak penduduk dan kebutuhan dasar
masyarakat. Ia adalah cita-cita besar yang asasi. Sebab
pada hakikatnya, kesejahteraan adalah keinginan hidup
semua manusia dan cita-cita semua bangsa.
Kita tidak perlu melihat konsep welfare state yang
mendasari gagasan welfare and sustainable city sebagai
konsep yang berasal dari barat karena sesungguhnya
tidak ada definisi yang baku tentang welfare city. Jangan
pula melihat welfare city sebagai gagasan yang bercorak
sosialis dan anti liberalisme karena sesungguhnya gaga-
san-gagasan dalam welfare city justru menjembatani
kegagalan kedua pendekatan tersebut. Bahkan welfare
Kita tidak perlu melihat konsep welfare state
yang mendasari gagasan welfare and
sustainable city sebagai konsep yang berasal
dari barat karena sesungguhnya tidak
ada definisi yang baku tentang welfare city.
36
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Gagasan Besar Kesejahteraan
state sendiri bukanlah suatu konsep atau pendekatan
baku. Ia lebih dikenali dari atribut-atribut kebijakan
pelayanan dan transfer sosial yang diberikan oleh negara/
pemerintahan kepada warganya.
Welfare state sebenarnya merupakan kumpulan
kebijakan sosial untuk kesejahteraan rakyat, dengan tetap
mendorong peran masyarakat dan sektor swasta. Suatu
welfare state dicirikan dengan empat pilar utama yaitu (i)
social citizenship, (ii) full democracy, (iii) modern industrial
relation systems, dan (iv) right to education and the
expansion of modern mass education systems. Keempat
pilar ini dimungkinkan karena negara memperlakukan
kebijakan sosial sebagai penganugerahan hak-hak
sosial kepada warganya yang dijamin oleh pemerintah.
Pemenuhan hak ini juga harus diimbangi oleh dua hal yang
saling terkait . Pertumbuhan ekonomi tinggi (economic
growth) dan kesempatan kerja (full employment) . Welfare
state juga bukan suatu wujud berwajah tunggal karena
bisa muncul dalam banyak bentuk (tipe kebijakan dan
program). Luas cakupan dan ragam kebijakan kebijakan
sosial yang diterapkan bervariasi. Variasi itu ditentukan
oleh beberapa variabel seperti tingkatan peran masing-
masing pihak (keluarga, pasar, pemerintah) dan bentuk
ikatan yang dominan.
Kembali pada cita-cita memberikan kesejahteraan
kepada warga Jakarta, maka welfare and sustainable city
menjadi gagasan besar yang akan dan perlu dibawa dalam
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
37
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
memimpin Jakarta. Jakarta adalah ibukota negara yang
menjadi barometer bagi daerah lain dalam pembangunan
dan keberhasilan didalamnya akan memberikan gaung
yang luas pada skala internasional. Gagasan kesejahteraan
juga sejalan dengan cita-cita yang tercermin dalam nama
keadilan dan kesejahteraan yang didukung dengan prinsip
bersih, peduli dan profesional. Integritas (bersih) adalah
modal dasar untuk membangun birokrasi yang mengelola
pemerintahan dan anggaran secara efektif. Kepedulian
menjadi syarat dan daya dukung untuk lahirnya kebijakan
yang mensejahterakan rakyat. Profesionalisme menjadi
tuntutan untuk menjalankan keduanya yaitu birokrasi yang
melayani dan kebijakan yang memberikan kesejahteraan.
*) Dimuat di Majalah Kaderisasi (Risalah Nukbawiah) PKS DKI Jakarta, Agustus 2008
Jakarta Sejahtera Berkelanjutan, Mengapa Tidak?
38
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta
telah setengah tahun berlalu. Namun masih se-
gar dalam ingatan, bahwa kedua kandidat yang
maju dalam Pilkada tersebut mengusung visi yang sama.
Jakarta yang sejahtera. Kini gubernur baru hasil Pilkada
telah terpilih dan APBD 2008 pun telah disepakati. APBD
inilah yang menjadi salah satu cerminan komitmen
pembangunan yang pro-kesejahteraan sebagaimana yang
menjadi visi gubernur.
APBD 2008 DKI Jakarta yang telah diusulkan oleh gu-
bernur dan jajaran eksekutif dan disepakati oleh DPRD
justru memperlihatkan kurangnya komitmen Gubernur
untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Jakarta.
Bukan hanya besaran APBD yang menurun, namun APBD
2008 bahkan tidak mencerminkan sense of urgency dari
Pemprov DKI Jakarta untuk meningkatkan kesejahteraan
penduduk dan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk.
Bahkan untuk pertama kalinya sejak 1997, APBD DKI Jakarta
mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya.
Namun penurunan ini juga tidak mencerminkan upaya
efisiensi anggaran belanja daerah. Penerimaan daerah
juga masih sangat mengandalkan pajak yang justru
Menakar Visi Kesejahteran
Kepemimpinan Jakarta
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
39
diasumsikan tidak mengalami peningkatan dibanding
tahun 2007.
Disisi pengeluaran, APBD 2008 yang menurun ini juga
tidak mencerminkan visi kesejahteraan oleh sebuah
pengambil kebijakan di ibukota. Birokrasi masih menjadi
beban terbesar APBD dibandingkan dengan pengeluaran
bidang-bidang lainnya. Sekitar 27% dari total belanja
dialokasikan untuk urusan yang terkait dengan birokrasi.
Bahkan jika dilihat dari alokasi menurut SKPD, maka SKPD
yang berada di komisi A memakan anggaran paling besar.
Sementara alokasi anggaran untuk SKPD dibawah Komisi
E yang menangani masalah kesejahteraan hanya kurang
dari 25% total anggaran yang dialokasikan untuk komisi
yang menangani kesejahteraan tersebut. Jika ditelusuri
lebih jauh, minim dan menurunnya anggaran-anggaran
untuk kebutuhan dasar publik dan masyarakat miskin,
semakin menunjukkan anggaran yang tidak pro rakyat
miskin. Padahal alokasi anggaran yang lebih besar untuk
program-program kesejahteraan inilah yang menunjukkan
komitmen kesejahteraan pemimpin Jakarta.
Kepemimpinan Jakarta bukan hanya dilihat dari sudut
eksekutif sebagai pembuat dan pelaksana kebijakan di
Jakarta. Kepemimpinan Jakarta juga dapat dilihat dari
kepemimpinan politik di Jakarta dimana PKS tampil sebagai
pemenang Pemilu sekaligus pemilik kursi terbesar di
DPRD DKI Jakarta. Artinya, ketika kepemimpinan gubernur
tidak mampu mewujudkan visi kesejahteraannya secara
Jakarta Sejahtera Berkelanjutan, Mengapa Tidak?
40
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menakar Visi Kesejahteran Kepemimpinan Jakarta
efektif, selayaknya PKS Jakarta mengambil peran dalam
mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat Jakarta
sesuai dengan nama yang melekat pada PKS yaitu keadilan
dan kesejahteraan.
Salah satu konsep besar yang ingin dibawa oleh PKS DKI
Jakarta dalam menjalankan misi fraksi terbesar di Jakarta
adalah mencanangkan pembangunan Jakarta ke depan
sebagai kota kesejahteraan yang berkelanjutan (welfare
and sustainable city). Dalam konsep ini, Jakarta adalah
kota yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan dasar
bagi seluruh warganya serta kebijakan yang diarahkan
untuk kesejahteraan penduduknya secara berkelanjutan.
Seluruh penduduk mendapatkan jaminan pelayanan
kesehatan dan pendidikan dasar dan menengah secara
penuh. Kelompok miskin dan pengangguran mendapatkan
pelatihan untuk disiapkan menjadi tenaga kerja terampil
dan tunjangan kehidupan yang layak serta didorong untuk
mandiri melalui pengembangan kewirausahaan.
Pilihan menjadikan Jakarta sebagai kota kesejahteraan
bukan sekedar retorika. Ketika Negara kesejahteraan
(welfare state) tidak dapat diwujudkan di Indonesia
karena keterbatasan anggaran dan besarnya beban
pemerintah, maka mewujudkannya dalam skala yang
lebih kecil menjadi pilihan yang realistis. Jakarta memiliki
kemampuan fiskal yang jauh lebih baik dibanding daerah
lain dan rentang kendali yang relatif kecil. Artinya, Jakarta
sangat mungkin untuk mewujudkan pemerintahan yang
Salah satu konsep besar yang ingin dibawa oleh PKS DKI Jakarta dalam menjalankan misi fraksi terbesar di Jakarta adalah mencanangkan pembangunan Jakarta ke depan sebagai kota kesejahteraan yang berkelanjutan (welfare and sustainable city).
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
41
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
memberikan kesejahteraan bagi warganya. Apalagi harus
diakui kesejahteraan masyarakat di Jakarta masih jauh
dari harapan dibandingkan dengan yang seharusnya bisa
dicapai.
Setidaknya ada tiga prasyarat penting untuk mewujudkan
welfare and sustainable city yang semuanya dimiliki
PKS DKI Jakarta. Dukungan politik, keinginan melakukan
reformasi birokrasi dan komitmen social development.
Sebagai pemilik kursi terbesar di DPRD DKI Jakarta, PKS
DKI Jakarta akan menjadi lokomotif dalam mengajak
partai-partai lain yang komitmen pada kesejahteraan
masyarakat untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang
pro kesejahteraan. Momentum Pemilu 2009 juga akan
digunakan untuk meningkatkan perolehan suara untuk
mendapatkan basis dukungan politik yang lebih kuat
menuju pemilihan gubernur 2012. Pada saat itulah
kepemimpinan eksekutif yang ditargetkan dapat diraih
oleh PKS Jakarta ditambah dukungan kuat legislatif akan
semakin memperkuat upaya melahirkan kebijakan-
kebijakan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Reformasi birokrasi juga menjadi salah satu keinginan
kuat untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan dan
pengelolaan anggaran. Disadari bahwa upaya mewujudkan
kesejahteraan rakyat hanya dapat dilakukan melalui
pengelolaan anggaran yang efisien serta birokrasi yang
bersih, efektif, transparan dan melayani rakyat sepenuh
Jakarta Sejahtera Berkelanjutan, Mengapa Tidak?
42
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
hati. Oleh karena itu, langkah strategis berikutnya
yang harus dilakukan adalah memperkuat penerimaan
daerah dari sumber-sumber penerimaan potensial yang
wajar. Langkah ini perlu pula ditambah dengan usaha
mengurangi kebocoran potensi penerimaan, pengelolaan
anggaran yang transparan serta belanja anggaran yang
efisien melalui pelibatan partisipasi publik (participatory
budgetting). Dengan dukungan politik yang kuat serta
reformasi birokrasi dan anggaran yang berjalan baik, maka
upaya mewujudkan anggaran yang pro kesejahteraan
penduduk serta program-program pembangunan dengan
fokus sosial kesejahteraan akan lebih mudah terwujud.
Apalagi melalui jargon bersih, peduli dan profesional,
PKS selama ini banyak memunculkan inisiatif program-
program kepedulian sosial yang sudah banyak dirasakan
masyarakat dan diikuti partai-partai lain.
*) Dimuat di Harian Republika, 18 April 2008
Dengan dukungan politik yang kuat serta reformasi birokrasi dan anggaran yang berjalan baik, maka upaya mewujudkan anggaran yang pro kesejahteraan penduduk serta program-program pembangunan dengan fokus sosial kesejahteraan akan lebih mudah terwujud.
Menakar Visi Kesejahteran Kepemimpinan Jakarta
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
43
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Banyak orang mengatakan politik dan kekuasaan
tak ubahnya pisau bermata dua. Oleh ka re na -
nya, banyak yang kemudian menghindar dan
menjauh dari politik. Mereka yang melihat dari sisi
negatif memandang politik adalah perebutan kekuasaan.
Politik adalah sikut menyikut. Dan politik adalah korupsi
kekuasaan. Namun, sejatinya ketika kebanyakan orang
menghindar karena persepsi itu, politik justru akan
semakin didominasi oleh orang-orang yang hanya
mengambil keuntungan sesaat tanpa visi kesejahteraan.
Artinya, pembiaran hanya akan membentuk politik yang
sarat intimidasi dan korupsi kekuasaan.
Namun sesungguhnya, politik juga merupakan instrumen
dan bagian yang penting untuk menciptakan kesejahteraan.
Bahkan basis politik yang kuat menjadi salah satu pilar
penting dalam konsep negara kesejahteraan (welfare
state). Sejarah khulafaurrasyidin juga menunjukkan
bagaimana kekuasaan kekhalifahan dapat melahirkan
kesejahteraan bagi masyarakatnya. Perjalanan desen-
tralisasi di Indonesia juga menunjukkan bahwa ada
daerah yang mampu melahirkan kebijakan sosial yang
bagus dibawah kepemimpinan kepala daerah yang baru.
Membangun Basis Politik,Menciptakan Kesejahteraan
Basis politik yang kuat menjadi salah satu pilar
penting dalam konsep negara kesejahteraan
(welfare state).
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
44
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Membangun Basis Politik, Menciptakan Kesejahteraan
Namun tidak sedikit pula terjadi dominasi politik tanpa
visi kesejahteraan. Akibatnya, rakyat tidak mendapat
apapun dari desentralisasi. Gaventa (2005) menyatakan
bahwa hambatan-hambatan kekuasaan, pengucilan
sosial, kecilnya kemampuan individu dan kapasitas
organisasional kolektif menyebabkan rakyat kecil hanya
menikmati sangat sedikit manfaat desentralisasi.
Dalam konteks politik dan kekuasaan, masih jauhnya cita-
cita kesejahteraan ditengah sumber daya yang berlimpah
bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama adalah kekuasaan
yang tidak mampu dikelola dengan baik untuk menciptakan
kesejahteraan dan cenderung disalahgunakan. Laporan
World Development Report dari Bank Dunia menemukan
bahwa sebagian besar rakyat miskin di berbagai belahan
dunia memandang lembaga-lembaga pemerintahan
sangat berjarak, tidak bertanggungjawab dan korup.
Konsekuensinya, kesejahteraan bagi rakyat yang
seharusnya menjadi tanggungjawab para elit pemimpin
tidak akan terwujud.
Kemungkinan kedua adalah pemimpin atau kekuatan
politik yang baik dan memiliki good will serta kemampuan
namun tidak memiliki dukungan politik yang kuat untuk
mewujudkan kebijakan-kebijakan sosial yang pro rakyat.
Lemahnya dukungan basis politik menyebabkan inisiatif-
inisiatif yang muncul dan komitmen pro rakyat tidak
dapat diwujudkan melalui sistem politik yang ada.
Meskipun semua kekuatan politik menjanjikan perbaikan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
45
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
dan harapan dalam kampanyenya, namun dalam ke-
nyata annya, tidak banyak yang memiliki kesungguhan
mewujudkan kebijakan sosial yang baik dan pro rakyat.
Makna strategis dari basis politik yang kuat dalam men-
ciptakan kesejahteraan memiliki cakupan yang luas. Pa-
ling utama tentu saja dalam memastikan dukungan
untuk kebijakan-kebijakan sosial untuk kesejahteraan
masyarakat. Sistem politik di Indonesia, termasuk di
Jakarta menunjukkan bahwa dibutuhkan dukungan politik
dan sinergi eksekutif dan legislatif untuk menjalankan
kebijakan dan program-program yang berorientasi pada
kesejahteraan rakyat. Meraih kursi atau suara terbanyak di
parlemen belumlah memadai, karena praktik di lapangan
menunjukkan bahwa penguasaan suara di bawah 30% tidak
akan mampu menjamin lahirnya kebijakan pro rakyat.
Selain itu, basis politik yang kuat dibutuhkan untuk
melahirkan pemimpin yang juga memiliki visi kesejah-
teraan. Pemimpin itulah yang secara bersama-sama me-
wujudkan kebijakan dan program yang berorientasi pada
kesejahteraan rakyat. Arti penting basis politik yang kuat
akan lebih mengemuka tatkala pemimpin yang ada tidak
memiliki visi kesejahteraan. Basis politik yang kuatlah
yang akan menjadi modal untuk mendesakkan kebijakan
dan anggaran pro rakyat.
Basis politik juga dibutuhkan untuk melakukan reformasi
birokrasi dan lembaga-lembaga pemerintahan . Basis
politik merupakan instrumen yang efektif untuk mengawasi
Jakarta Sejahtera Berkelanjutan, Mengapa Tidak?
46
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
kinerja birokrasi dan lembaga pemerintahan. Penelitian
yang dilakukan Commonwealth Foundation (1999) di lebih
dari 40 negara, sampai pada kesimpulan bahwa perhatian
harus semakin diberikan untuk meningkatkan kualitas
dan responsifitas lembaga-lembaga pemerintahan serta
reformasi birokrasi menuju good governance.
Di negara-negara yang ditandai dengan tingginya
korupsi, rendahnya kontrol anggaran publik, lemahnya
akuntabilitas dan banyaknya pelanggaran hak azasi
manusia, ternyata pembangunan ekonomi maupun
kesejahteraan sosialnya sangat rendah. Terdapat dua kata
kunci untuk memperbaikinya melalui penciptaan good
governance, yaitu legitimasi dan akuntabilitas. Legitimasi
merujuk pada kapasitas dan kompetensi lembaga
pemerintah dalam mengupayakan lingkungan politik
dan kelembagaan untuk menciptakan kesejahteraan.
Akuntabilitas berkaitan dengan kapasitas lembaga
pemerintahan dalam mengelola sumber daya serta secara
bertanggungjawab terhadap kebutuhan publik.
Sebagai salah satu unsur politik di Jakarta dengan visi
kesejahteraan, kita tentu saja menginginkan terwujudnya
arah pengelolaan Jakarta yang sejahtera berkelanjutan
melalui basis politik yang dimiliki. Namun tentu saja basis
politik tersebut perlu diperbesar dan diperkuat melalui
mekanisme yang ada (Pemilu). Kemenangan dalam
Pemilu bukan sekedar kemenangan dalam pertarungan
politik. Dalam perspektif pembangunan, kemenangan
Terdapat dua kata kunci untuk memperbaikinya melalui penciptaan good governance, yaitu legitimasi dan akuntabilitas.
Membangun Basis Politik, Menciptakan Kesejahteraan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
47
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
mutlak dalam pemilu adalah keniscayaan dalam rangka
membangun basis politik yang kuat untuk mewujudkan
cita-cita kesejahteraan. Dalam konteks ini, kita perlu
mengingat pesan Khalifah Umar kepada salah seorang
gubernurnya ”Sebaik-baiknya penguasa adalah yang
dapat memakmurkan masyarakatnya. Sebaliknya,
sejelek-jeleknya penguasa adalah yang menyengsarakan
masyarakatnya”
*) Dimuat di Majalah Kaderisasi (Risalah Nukbawiyah) PKS DKI Jakarta, Desember 2008
Jakarta Sejahtera Berkelanjutan, Mengapa Tidak?
48
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
R abu, 22 Juni 2011 nanti Jakarta genap berusia
484 tahun. Jika diukur dari periode kemerdekaan,
sudah lebih dari 60 tahun juga Jakarta menjadi
ibukota negara Indonesia. Dalam usianya yang mendekati
5 abad, Jakarta telah tumbuh demikian pesat sebagai
pusat pemerintahan, menjadi gerbang Indonesia dan
pusat kegiatan ekonomi. Pembangunan ekonomi dan
fisik menjadi ciri yang menonjol dalam perkembangan.
Secara ekonomi, Jakarta tumbuh menjadi pusat kegiatan
ekonomi. Hal ini terlihat jelas dengan tumbuhnya kawasan
bisnis dan unsur pendukungnya, seperti kawasan hiburan,
pusat perbelanjaan dan hunian berupa apartemen.
Namun laiknya pertumbuhan kota lainnya yang semakin
pesat, perkembangan Jakarta bukannya steril dari masalah.
Persoalan yang paling menonjol dari pembangunan
Jakarta adalah kemacetan yang semakin menggurita
dan banjir yang sudah menjadi agenda tahunan. Kedua
masalah yang berakar dari penerapan tata ruang yang
tidak konsisten, ini memang menjadi tema yang paling
mendapat sorotan publik. Oleh karena itu, sumber daya
termasuk anggaran juga banyak tersedot untuk mengatasi
kedua masalah tersebut.
Mimpi Ibukota Sejahtera
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
49
Meskipun fokus kebijakan mengatasi kemacetan dan
banjir ini dapat dipahami, namun Pemerintah propinsi
DKI Jakarta tidak boleh melupakan masalah besar lain
yang dihadapi Jakarta. Tingkat kesejahteraan masyarakat
di ibukota. Di tengah kemodernan yang muncul dari
pembangunan Jakarta, sejumlah masalah kesejahteraan
sosial masih dihadapi masyarakat Jakarta. Kemiskinan,
akses kesehatan, pendidikan, sanitasi dan pemukiman
menjadi masalah yang tak dapat dipungkiri urgensinya.
Angka kemiskinan yang lebih dari 300 ribu penduduk
dilengkapi oleh hampir satu juta penduduk yang berstatus
“Sadikin” atau rentan miskin. Ketika kelompok ini tertimpa
sakit dan harus mendapat perawatan di Rumah Sakit,
maka terbayang jelas kesulitan di depan mata. Potret yang
lain adalah belum seluruh penduduk mampu mengakses
pendidikan dan pelayanan kesehatan yang layak.
Untuk mewujudkan kesejahteraan bagi penduduk serta
pembangunan yang seimbang, pengambil kebijakan
di Jakarta perlu memberikan perhatian lebih pada
pembangunan kesejahteraan penduduk. Hal ini tidak
cukup hanya melalui program-program jaminan kesehatan
bagi penduduk miskin dan pendidikan gratis seperti yang
sudah dilakukan. Namun harus ada langkah riil untuk
menanggulangi penyimpangan dalam pelaksanaan
kebijakan di lapangan.
Oleh karena itu, setidaknya ada dua langkah besar
yang harus diambil untuk mewujudkan kebijakan
Jakarta Sejahtera Berkelanjutan, Mengapa Tidak?
50
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
pro kesejahteraan penduduk. Kedua langkah besar
tersebut adalah pembenahan birokrasi dan komitmen
pembangunan sosial.
Pembenahan birokrasi menjadi salah satu ele-
men penting dalam mewujudkan kebijakan pro
kesejahteraan dan pembangunan manusia.
Ada dua alasan penting mengapa reformasi birokrasi ini
menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam mewujudkan
kesejahteraan masyarakat Jakarta. Pertama, birokrasi
yang gemuk di Jakarta akibat otonomi yang berada pada
tingkat propinsi menyebabkan implementasi kebijakan
dalam bentuk program pada level bawah (kecamatan/
kelurahan) yang bersentuhan langsung dengan masyarakat
menjadi lamban. Belum lagi, birokrasi pada hampir
semua level juga belum mengalami perubahan paradigma
dari budaya minta dilayani menjadi budaya melayani.
Hambatan birokrasi dalam mendukung pelayanan dan
upaya menciptakan kesejahteraan bagi warga juga diakui
oleh mantan Gubernur Soerjadi Sudirja yang menyatakan
bahwa sebaik apapun kebijakan yang dilakukan gubernur
Jakarta, tidak akan berjalan jika sumber daya manusia
birokrasi tidak dibenahi. Kelambanan dan paradigma
dilayani menyebabkan Jakarta disandera birokrasi.
Sementara pada saat yang sama, program-program yang
bersifat pro-poor dilakukan dalam bentuk yang cenderung
seragam tanpa memperhatikan perbedaan kondisi antar
Perubahan Paradigma Birokrat
Sementara pada saat yang sama, program-program yang bersifat pro-poor dilakukan dalam bentuk yang cenderung seragam tanpa memperhatikan perbedaan kondisi antar wilayah, bentuk dan penyebab kemiskinan dan masalah kesejahteraan yang terjadi.
Mimpi Ibukota Sejahtera
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
51
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
wilayah, bentuk dan penyebab kemiskinan dan masalah
kesejahteraan yang terjadi. Padahal dengan pola demikian,
dibutuhkan birokrasi yang penuh inisiatif, kreatif, respon-
sif serta efisien dalam menjalankan program. Studi yang
dilakukan Sintawaty (2008) menunjukkan bahwa meskipun
alokasi anggaran dalam APBD DKI Jakarta sudah berusaha
berorientasi kelompok masyarakat miskin, namun akibat
program yang cenderung seragam menyebabkan program
tersebut lebih banyak tidak efektif dan salah sasaran.
Kedua, persoalan penyimpangan dan perilaku koruptif
yang masih melekat kuat. Perilaku koruptif di jajaran
birokrasi ibukota sebagaimana yang ditunjukkan dalam
survei yang dilakukan Kementerian PAN (2006) dan jejak
pendapat harian Kompas (2007), menyebabkan anggaran
untuk kesejahteraan tidak mencapai sasaran yang
diinginkan.
Bagian terpenting kedua dari upaya mewujudkan
kesejahteraan warga ibukota adalah melalui
komitmen pemerintah dalam pembangunan
kesejahteraan sosial. Setidaknya ada tiga bentuk
kebijakan untuk mewujudkan komitmen pembangunan
kesejahteraan masyarakat yaitu anggaran yang cukup
memadai dan alokasinya yang cukup besar untuk
kesejahteraan (pro poor budgeting policy), akses
penduduk terhadap kebutuhan dasar secara mudah dan
Komitmen Pembangunan Kesejahteraan
Sosial.
Jakarta Sejahtera Berkelanjutan, Mengapa Tidak?
52
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
terbuka (sosial insurance) dan mendorong kesempatan
kerja dan berusaha secara terbuka bagi penduduk.
Sudah selayaknya Jakarta dengan kemampuan anggaran
yang relatif besar dan infrastruktur yang lengkap mampu
menjamin kebutuhan dasar bagi penduduknya secara
layak, terutama akses terhadap pelayanan kesehatan,
pendidikan, sanitasi dan pemukiman. Namun pada saat
yang sama, pengambil kebijakan harus cukup kreatif dalam
mengembangkan program pemberdayaan. Ini penting
agar masyarakat dapat mandiri, sekaligus merangsang
ketertarikan stakeholder lain dalam membangun ekonomi
Jakarta.
Sehingga komitmen kesejahteraan sosial yang dimaksud,
bukan semata-mata program yang berorientasi pada
penyediaan anggaran besar. Namun harus ada upaya yang
selaras untuk mengurangi ketergantungan penduduk
terhadap bantuan pemerintah.
Hal yang harus dipahami adalah bahwa kebijakan
pembangunan kesejahteraan bukanlah bentuk dominasi
pemerintah secara penuh dalam kehidupan ekonomi
masyarakat tanpa melibatkan peran swasta dan institusi
keluarga. Kebijakan ini justru harus dilakukan juga dengan
mendorong daya saing kota melalui iklim bisnis yang
semakin kondusif dan infrastruktur yang mendukung.
Jaminan kesejahteraan sosial yang dibutuhkan mencakup
juga jaminan kesempatan kerja dan berusaha yang
dengan keduanya, penduduk dapat hidup secara layak
Hal yang harus dipahami adalah bahwa kebijakan pembangunan kesejahteraan bukanlah bentuk dominasi pemerintah secara penuh dalam kehidupan ekonomi masyarakat tanpa melibatkan peran swasta dan institusi keluarga.
Mimpi Ibukota Sejahtera
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
53
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
serta mampu membayar pajak untuk mendukung
jaminan sosial yang dibuat pemerintah . Oleh karena itu
untuk mewujudkannya , menciptakan iklim usaha yang
lebih kondusif bagi dunia bisnis dan masuknya investasi
menjadi sesuatu yang tak terelakkan.
Sudah saatnya Jakarta benar-benar menjadi kota bisnis
khususnya jasa, yang mampu bersaing setidaknya dengan
kota-kota besar di kawasan Asia melalui infrastruktur yang
efisien dan mampu melayani kegiatan bisnis dengan baik.
Jakarta tidak boleh berbangga hanya dengan menjadi
kota yang tertinggi dalam hal arus masuk investasi
asing dibanding kota lainnya. Mengapa? Karena ukuran
kompetitor Jakarta bukanlah dengan daerah-daerah
tersebut . Kompetitor Jakarta ialah kota-kota besar di
negara lain.
Jakarta Sejahtera Berkelanjutan, Mengapa Tidak?
54
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Mimpi Ibukota Sejahtera
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
55
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Hanya dalam waktu seminggu, Jakarta di-
ke jutkan oleh tiga tragedi kemiskinan yag
menimpa warganya. Tragedi pertama adalah
ditemukannya seorang remaja yang terpaksa dipasung
orangtuanya di daerah Mampang Prapatan, Jakarta Selatan
akibat ketidakmampuan untuk mengobati penyakit gang-
guan kejiwaan anaknya. Kedua adalah seorang bapak yang
bunuh diri akibat tidak mampu berobat atas penyakit TBC
yang dideritanya di daerah Cakung, Jakarta Timur. Dan
yang terakhir adalah seorang remaja yang gantung diri
karena tidak diberi uang Rp. 5000 oleh ibunya yang hanya
seorang pedagang rempeyek di Kampung Rawa, Kebun
Jeruk Jakarta Barat.
Peristiwa ini menjadi paradoks mengingat pembangunan
yang terjadi di Jakarta terus mempertontonkan modernitas
dengan lalu lalang jutaan kendaraan bermotor setiap
harinya. Belum lagi ditambah dengan mall dan pusat
perbelanjaan mewah yang bertebaran di penjuru kota.
Pemangku kebijakan juga sibuk memodernisasi kota dengan
mempersiapkan pembangunan MRT dengan bentuk kereta
bawah tanah (subway), monorail, pembangunan tol dalam
kota, jalan layang non tol, reklamasi pantai. Pada saat yang
sama juga terus memberikan ijin untuk pembangunan
Paradoks WajahPembangunanJakarta
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
58
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Paradoks Wajah Pembangunan Jakarta
gedung-gedung pencakar langit, apartemen, mal dan pusat
hiburan yang sebagiannya bahkan tidak dapat terjangkau
oleh sebagian masyarakat Jakarta.
Tiga tragedi kemiskinan yang terjadi di tengah kota yang
terus melakukan pembangunan fisik dan pendapatan
perkapita Rp. 73 juta menyadarkan kita bahwa masih
banyak persoalan kesejahteraan warga Jakarta yang
belum teratasi. Seperti daerah lain di Indonesia, meskipun
berstatus ibukota negara dan pusat kegiatan ekonomi,
Jakarta sesungguhnya menghadapi persoalan kemiskinan
dan kesejahteraan yang perlu mendapat perhatian. Tingkat
kemiskinan di Jakarta sampai Maret 2010 masih mencapai
3,48% atau masih ada lebih dari 312 ribu penduduk Jakarta
yang hidup di bawah garis kemiskinan. Inipun masih
menggunakan garis kemiskinan setara Rp. 317 ribu perkapita
per bulan. Padahal dengan pendapatan per kapita sebesar
itu, sangat sulit untuk hidup layak di Jakarta. Sehingga jika
menggunakan standar hidup yang layak, jumlah penduduk
miskin Jakarta akan lebih besar lagi. Jumlah tersebut juga
belum termasuk penduduk miskin yang tidak terdaftar
sebagai penduduk resmi namun sehari-hari tinggal di
Jakarta seperti para tunawisma, pemulung dan manusia
gerobak yang bertebaran di sudut-sudut Jakarta.
Tingkat pengangguran sampai Mei 2010 juga masih
mencapai 11,5% atau masih hampir 1 juta orang yang
menganggur di Jakarta, meskipun dengan ukuran bekerja
8 jam dalam seminggu. Jika yang digunakan adalah ukuran
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
59
Menuju Jaminan Sosial di Ibukota
bekerja pada sektor formal atau pada kegiatan usaha
yang memiliki ijin, maka tingkat pengangguran di Jakarta
lebih besar lagi. Kondisi pemukiman juga menunjukkan
wajah yang masih buram dimana masih sekitar 20%
rumah tangga yang belum memiliki fasilitas MCK yang
layak dan hampir 25% rumah tangga yang mengandalkan
sumur pompa dan sumur tak terlindung sebagai sumber
air minum akibat ketidakmampuan mengakses air bersih
yang layak. Jakarta juga masih dihiasi dengan pemukiman
sangat padat seperti di daerah Johar Baru dan Kali Adem
dimana untuk tidur sekalipun masih harus bergiliran.
Pada bidang kesehatan, kualitas kesehatan masyarakat
Jakarta juga masih tergolong buruk. Data SP2TP 2009
mencatat 5,3 juta kasus penyakit di Jakarta dengan tertinggi
adalah kasus ISPA yang mencapai lebih dari 2 juta kasus.
Bahkan untuk kasus penyakit kulit dan diare yang identik
dengan masyarakat miskin masih ditemukan lebih dari
600 ribu kasus. Pada saat yang sama juga masih banyak
ditemukan warga Jakarta kurang mampu yang tidak bisa
mendapatkan pelayanan rumah sakit karena ketiadaan
biaya atau berada dalam ambang kemiskinan ketika
harus mengeluarkan biaya untuk berobat (menjadi miskin
karena sakit dan harus membiayai pengobatannya).
Pada masa sekarang, setiap pemerintahan di tingkat
pusat maupun daerah tidak bisa memandang
sepele persoalan pemenuhan kebutuhan dasar. Hal
Tuntutan Pencapaian MDGs
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
60
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
ini karena semua pemerintahan dituntut pencapaian target
pembangunan milenium (Millenium Development Goals/
MDGs) yang ditetapkan UNDP. Indikator pencapaian MDGs
yang ditetapkan meliputi angka partisipasi murni pendidikan
SD, angka kematian bayi, kelahiran dibantu tenaga
kesehatan, kesehatan ibu, angka kemiskinan, kesetaraan
gender dan pemberdayaan perempuan, memerangi HIV/
AIDS, akses air bersih dan sanitasi, kepemilikan rumah
tinggal dan kualitas lingkungan hidup.
Target pencapaian MDGs ini mengharuskan setiap
pengambil kebijakan mengarahkan kebijakan pem bangun-
annya pada pencapaian target MDGs untuk masing-
masing daerah. Pemenuhan kebutuhan dasar penduduk
bukan lagi sekedar memenuhi tuntutan hak akses
penduduk terhadap kebutuhan dasarnya, namun menjadi
program yang dipantau tingkat kemajuan pencapaiannya.
Pencapaian target pemenuhan kebutuhan dasar ini
memiliki kedudukan yang sama penting atau bahkan lebih
penting dengan pembangunan infrastruktur perkotaan.
Fakta dan data yang menunjukkan masih banyaknya
problem kesejahteraan sosial di Jakarta menunjukkan
bahwa pencapaian target MDGs masih belum mendapat
porsi yang cukup besar. Bahkan diantara dedicated
program dalam RPJMD 2007-2012, program pemenuhan
kebutuhan dasar justru yang paling tidak terdengar
gaungnya, apalagi dibandingkan program mengatasi
kemacetan dan banjir. Padahal program ini menyangkut
hajat hidup orang banyak.
Paradoks Wajah Pembangunan Jakarta
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
61
Menuju Jaminan Sosial di Ibukota
Pemenuhan kebutuhan dasar yang mengangkut
hajat hidup penduduk setidaknya mencakup
empat pilar utama yaitu pendidikan, kesehatan,
jaminan sosial, dan kebutuhan pemukiman. Pada tingkat
nasional perhatian terhadap pelayanan dan pemenuhan
kebutuhan dasar ini bahkan telah mendapat tempat
khusus dengan adanya Undang-Undang yang secara
khusus mengatur keempat kebutuhan dasar tersebut,
termasuk pemenuhannya.
Dalam bidang pendidikan, pemenuhan kebutuhan ini
seharusnya difokuskan pada jaminan akses pendidikan
untuk pendidikan dasar dan menengah (SD-SMP-SMU)
untuk semua penduduk. Khusus untuk Jakarta, untuk
memenuhi kebutuhan pasar kerja, perlu diikuti dengan
peningkatan kualitas pendidikan menengah kejuruan.
Dalam bidang kesehatan, jaminan pemenuhan kebutuhan
dasar ini mencakup jaminan pemeliharaan kesehatan
untuk semua penduduk dengan perluasan target grup
yang dikombinasikan dengan klasifikasi pelayanan yang
dicakup dalam jaminan kesehatan masyarakat. Program
ini juga harus diikuti dengan jaminan pemeliharaan khusus
bagi ibu dan balita.
Pilar ketiga adalah pemenuhan kebutuhan dasar untuk
jaminan sosial. Belajar dari pengalaman negara lain,
jaminan ini setidaknya meliputi tunjangan khusus bagi
manula serta jaminan penyediaan lapangan kerja dan
jaminan kesempatan berusaha. Program seperti ini bahkan
Pilar Kebutuhan Dasar Penduduk
Pemenuhan kebutuhan dasar yang mengangkut
hajat hidup penduduk setidaknya mencakup
empat pilar utama yaitu pendidikan,
kesehatan, jaminan sosial, dan kebutuhan
pemukiman.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
62
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
bisa melibatkan partisipasi swasta dalam mewujudkan
programnya terutama dalam mendorong berkembangnya
kegiatan perekonomian di tingkat masyarakat. Namun
untuk mewujudkan ini diperlukan beberapa prasyarat
dasar seperti dukungan basis politik yang kuat, anggaran
yang mencukupi dan komitmen dalam membuat dan
menjalankan kebijakan sosial. Sektor swasta juga harus
didukung untuk berkembang dan menjadi elemen penting
dalam mendukung jaminan sosial ini melalui pajak yang
dibayarkan. Pilar keempat adalah pemenuhan kebutuhan
pemukiman yang layak yang meliputi akses terhadap air
bersih, sanitasi dan tempat tinggal serta lingkungan tepat
tempat tinggal untuk mendukung kualitas hidup sehat.
DKI Jakarta dengan APBD yang mencapai lebih dari
Rp. 25 triliun justru belum menunjukkan pioner dalam
memberikan kebutuhan dasar bagi penduduk. Jakarta
Paradoks Wajah Pembangunan Jakarta
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
63
Menuju Jaminan Sosial di Ibukota
tertinggal jika dibandingkan dengan daerah-daerah
lain seperti Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Musi
Banyuasin. Walaupun daerah tersebut anggarannya lebih
kecil, namun mampu memberikan pemenuhan kebutuhan
dasar berupa jaminan pendidikan dan kesehatan bagi
penduduknya. Sudah saatnya Jakarta tidak hanya bicara
MRT, monorail, reklamasi pantai dan jalan tol. Jakarta juga
harus memberikan perhatian lebih kepada pemenuhan
kebutuhan dasar warganya.
*) Dimuat di Harian Seputar Indonesia, April 2011
Jakarta juga harus memberikan
perhatian lebih kepada pemenuhan kebutuhan
dasar warganya.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
64
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Kemiskinan merupakan permasalahan sosial yang
hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat
Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat
jumlah penduduk miskin di Indonesia pada triwulan
pertama 2009 sebesar 32,53 juta orang, atau 14,15% dari
total penduduk Indonesia. Tingginya jumlah penduduk
miskin tersebut antara lain disebabkan oleh: 1) penyebaran
pembangunan yang belum merata terutama di pedesaan;
2) terbatasnya akses terhadap layanan dasar (kesehatan,
pendidikan, perumahan, permukiman, infrastruktur,
permodalan/kredit, dan informasi) dan bantuan sosial
bagi masyarakat miskin; serta 3) rendahnya kapasitas dan
produktivitas usaha serta keterbatasan akses terhadap
sumber-sumber pendanaan.
Berbagai kebijakan pemerintah untuk menurunkan angka
kemiskinan diarahkan ke dalam bentuk peningkatan
kesejahteraan penduduk miskin. Upaya untuk mencapai
sasaran tersebut diarahkan pada 4 fokus kebijakan
pembangunan untuk menanggulangi kemiskinan, yaitu:
1) perluasan akses masyarakat miskin atas pendidikan,
kesehatan dan infrastruktur dasar; 2) perlindungan sosial;
3) penanganan masalah gizi kurang dan rawan pangan;
serta 4) perluasan kesempatan berusaha.
Jamsosda ala Jakarta
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
65
Menuju Jaminan Sosial di Ibukota
Sebagai miniatur Indonesia, DKI Jakarta mengalami
masalah yang sama. Bahkan, warga Jakarta setiap harinya
harus berhadapan dengan seabreg problematika. Dengan
kondisi yang demikian, tentu saja warga jakarta sudah
tidak ingin lagi direpotkan dengan pelbagai pemenuhan
hak-hak dasar yang tersendat. Mulai dari soal pengurusan
kelengkapan dokumen kependudukan hingga ke persoalan
memastikan anak-anaknya dapat bangku di sekolah.
Karena itu, sudah sewajarnya warga Jakarta mendapatkan
pelayanan dasar dengan mudah, murah, dan dengan
sistem yang cerdas. Mudah itu penting, karena ditengah
kesibukan dan jam kerja yang padat, pengurusan yang
bertele-tele menjadi emoh untuk dilakukan. Pelayanan
dasar yang murah? Ini yang ditunggu-tunggu. Kenapa?
Karena kebutuhan dasar mestinya gratis alias ditanggung
oleh pajak yang dikumpulkan oleh warga.
Kebutuhan atas hak-hak dasar merupakan kebutuhan
yang kalau tidak ada, ia bisa menyebabkan kehidupan
seorang warga Jakarta menjadi tidak normal atau tidak
layak. Kebutuhan dasar tersebut meliputi pengakuan
negara terhadap eksistensi warga melalui kelengkapan
dokumen kewarganegaraan seperti KTP, KK, Buku Nikah,
Paspor dan lain-lain. Kebutuhan dasar yang juga tidak bisa
ditawar-tawar adalah soal kesehatan. Tidak sehat artinya
sakit. Kalau warga Jakarta sakit maka ia tidak bisa bekerja.
Dan kalau tidak kerja, maka tidak dapat uang. Kalau tidak
dapat uang, maka tidak bisa makan. Maka bayangkan
kalau seorang warga Jakarta sudah tidak bisa makan?
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
66
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Karena kesehatan warga merupakan urusan dasar, maka
pemerintah wajib memastikan warganya bisa mengakses
layanan kesehatan untuk supaya tetap sehat.
Yang tidak kalah pentingnya adalah urusan pendidikan.
Urusan yang satu ini, sangat asasi. Apa yang terjadi kalau
warga Jakarta tidak cukup memiliki pengetahuan untuk
membangun kampungnya sendiri? Pertama, sudah pasti
tidak bisa mengurus kampungnya sendiri. Kedua, pasti
kalah saing. Kalau sudah demikian maka persoalan demi
persoalan akan terus menghadang. Karena itu, pendidikan
menjadi kebutuhan warga Jakarta yang penting untuk
dijamin pemerintah. Karena penting, ia harus ada. Ia harus
prioritas! Apalagi UUD 1945 mengamanatkan begitu.
Kalau warga Jakarta sudah punya KTP, sudah sehat dan
sudah sekolah, tapi tidak kerja, maka hal itu akan tetap
menjadi masalah, yaitu munculnya pengangguran. Dalam
beberapa perspektif, pengangguran seringkali menjadi
variabel yang mendorong terjadinya kejahatan. Karena
itu, hak memperoleh pekerjaan bagi warga Jakarta
harus menjadi bagian dari kewajiban pemerintah. Hak
mendapat pekerjaan mesti ditempatkan sebagai hak
dasar warga. Dengan begitu, kehidupan warga Jakarta
bisa hidup normal.
Yang terakhir, soal hak warga Jakarta untuk memiliki
rumah. Persoalan ini agak pelik meski tetap harus
dicari jalan keluarnya. Bagi siapapun, memiliki rumah
bukan hanya soal impian tapi juga soal keharusan untuk
Hak mendapat pekerjaan mesti ditempatkan sebagai hak dasar warga.
Jamsosda ala Jakarta
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
67
Menuju Jaminan Sosial di Ibukota
mendapatkan perlindungan dari ancaman alam, seperti
dari kehujanan, keanginan atau kepanasan, bahkan untuk
menjalani masa istirahat yang penting bagi kesehatan
tubuh. Kegagalan memiliki rumah tidak hanya berakibat
pada soal terancamnya jasmani warga, tetapi juga bisa
merembet ke masalah psikis. Masalah kepemilikan rumah
hingga bagaimana bentuk dan ukurannya telah menjadi
‘alat ukur’ untuk menilai siapa dia. Ilmu sosial menyebut
orang yang tidak mempunyai rumah sebagai penyandang
tunawisma. Begitu pula, cara pandang materialisme yang
tumbuh-kembang di masyarakat telah menempatkan
masalah kepemilikan rumah dan segala bentuknya
sebagai ukuran status sosial. Fenomena sosial yang
melekat pada masalah kepemilikan rumah merupakan hal
yang tidak bisa kita rubah dari sisi pembentukan persepsi
masyarakat, tetapi harus kita tangani dari sisi penyediaan
atau akses yang mudah untuk warga Jakarta untuk
memiliki rumah. Karena itu, kepemilikan rumah menjadi
masalah mendasar yang harus dipikirkan oleh kita semua
sebagai warga Jakarta. Terlebih lagi oleh pemerintah.
Lima hak dasar sebagaimana uraian di atas merupakan
hak bagi setiap warga Jakarta. Untuk yang tidak memiliki
kemampuan menjalani kehidupan secara normal, mesti
ada hak dasar tambahan, yaitu hak asistensi sosial.
Hak ini penting bagi kelompok Warga Berkebutuhan
Khusus (WBK) seperti orang-orang yang cacat, orangtua
jompo, anak-anak jalanan, anak-anak berkebutuhan
khusus, bahkan anak-anak sekolah dari keluarga miskin.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
68
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Dalam beberapa kategori, orang-orang yang kita kenal
sebagai fakir-miskin dan kaum urban yang terbelakang,
bisa dimasukan dalam kelompok WBK ini. Kelompok
seperti ini tidak bisa ‘bertarung’ secara normal dalam
kehidupan. Mereka perlu mendapatkan asistensi sosial.
Dalam bahasa anak sekolahan, kemampuan mereka
perlu dikatrol. Di beberapa negara, bahkan negara yang
sangat liberal sekalipun, kelompok WBK ini mendapatkan
fasilitas diskon 50% untuk pelbagai layanan publik seperti
naik angkot, masuk ke tempat hiburan, ada lift khusus
yang bisa bicara, dan ada jalur-jalur khusus atau tempat-
tempat khusus yang diberikan pemerintah untuk mereka
bergaul di tempat orang-orang normal.
Warga Jakarta harus dijamin hak-hak
dasarnya. Mulai dari hak atas kelengkapan
dokumen kependudukan, akses pelayanan
kesehatan, akses pendidikan, akses perumahan hingga
ke asistensi sosial terhadap WBK. Jaminan atas hak-hak
dasar tersebut, saya sebut sebagai Jaminan Sosial Daerah
(Jamsosda) ala Jakarta.
Profil terpenting dari Jamsosda ini adalah mudah, murah
dan cerdas. Mudah diurus dan didapatkan pelayanan
jasanya. Murah karena uang yang harus dikeluarkan warga
hanya bersifat tanda retribusi, bukan bisnis. Dan cerdas
karena untuk mendapatkan semua hak dasar tersebut
cukup menunjukkan satu kartu identitas. Sebut saja nama
Jamsosda ala Jakarta
Jamsosda ala Jakarta
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
69
Menuju Jaminan Sosial di Ibukota
kartunya: Kartu Jamsosda. Jadi, kalau sebelumnya kita
pernah mendengar konsep “layanan satu atap”, sekarang
saya menawarkan “layanan satu kartu”. Dengan kartu ini,
data dan record seorang warga Jakarta akan terketahui.
Mulai dari informasi kependudukan, status pekerjaan,
status kepemilikan rumah, profil kesehatan, dan profil
pendidikannya. Bahkan sistem ini memungkinkan untuk
diketahuinya profil warga Jakarta dan kaitannya dengan
hak-hak dasar khusus seperti untuk WBK. Dengan
demikian, mengakses pelbagai pelayanan dasar cukup
menunjukan kartu tersebut.
Contoh penerapan sistem tersebut di bidang kesehatan,
dimana Jakarta mempunyai Program JPK Gakin. Kartu
Jamsosda cukup ditunjukkan kepada loket pendaftaran
rumah sakit. Dengan kartu tersebut terketahui informasi
tentang keterangan status ekonomi (seperti: mampu,
tidak mampu, miskin, dll) dari Kelurahan/Kecamatan,
Puskesmas atau dari BPS. Dengan begitu, seorang warga
yang akan mendapat subsidi/jaminan pembayaran total
atas pelayanan kesehatannya tidak perlu mengurus
SKTM, menunggu verifikasi Puskesmas, dan mendapat
persetujuan dari Suku Dinas Kesehatan. Dengan kartu ini,
warga tidak perlu khawatir dipersulit pada saat mendaftar,
tidak perlu khawatir apakah nanti bayar atau tidak. Dengan
kartu ini juga, pihak RT/RW, Kelurahan, Puskesmas, Sudin
dan DPRD DKI tidak harus repot-repot setiap kali ada warga
yang mendapatkan kesulitan mengakses JPK Gakin.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
70
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Dengan adanya layanan “Satu Kartu” untuk Jamsosda,
maka masyarakat harus aktif menginput data dan
perubahan datanya kepada pihak kelurahan. Atau, bagi
warga yang tidak memungkinkan untuk melakukan
pekerjaan input datanya sendiri, maka pihak kelurahan
wajib a’in untuk membantunya. Tentu data-data tersebut
harus diverifikasi secara berjenjang supaya ketahuan
shohih-nya. Yang penting untuk dicatat adalah sistem ini
harus ditopang dengan komputerisasi yang terintegrasi.
Maksudnya, data yang sudah shohih akan dengan
sendirinya tersebar di seluruh jaringan komputer pemberi
layanan jasa masyarakat. Ini juga berarti bahwa seluruh
unit pemerintah atau swasta yang terkait dengan layanan
masyarakat harus terkoneksi. Ini pekerjaan yang memang
tidak simple. Tapi kalau ada kemauan, insya Allah bisa.
Ada empat komponen penting yang menentukan
sukses-tidaknya Jamsosda ini. Pertama, masalah
kelembagaan. Maksudnya, apakah Perdanya ada,
atau Perdanya kapan dibuat. Tahapan ini sangat tergantung
pada Gubernur dan DPRD. Kedua, masalah keuangan. Hal
ini terkait dengan kemampuan APBD DKI menanggulangi
pembayaran sejumlah warganya untuk mendapatkan pe-
layanan atas hak-hak dasar sebagaimana dimaksud dalam
Jamsosda ala Jakarta tersebut. Ketiga, masalah aparatur
birokrasi. Apakah birokrat kita punya semangat untuk
memudahkan warganya? Apakah cara berpikirnya bisa
Mungkinkah Terlaksana?
Jamsosda ala Jakarta
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
71
Menuju Jaminan Sosial di Ibukota
diajak maju untuk memahami apa yang diinginkan warga
Jakarta? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan
menentukan nasib Jamsosda. Keempat, terkait dengan
dukungan waga Jakarta untuk berpartisipasi dalam meng-
in put data secara jujur. Yang repot sebenarnya, kalau
keinginan pingin maju tapi semuanya mau diurusan oleh
orang lain alias ga mau repot. Warga yang begini masih
mending. Yang parah, kalau sudah minta diuruskan oleh
orang lain, data yang diberikannya ga jujur, dan ngakal pula.
Sebagai Wakil Ketua DPRD, saya yakin bahwa DPRD dan
Gubernur DKI mau melaksanakan Jamsosda ini. Masalah
pembiayaan juga, insya Allah, bisa diusahakan. Apalagi
kalau didukung oleh warga Jakarta dengan membayar
pajak yang maksimal. Soal mindset aparat, mudah-
mudahan bisa memahami keinginan warga dan mau terus
belajar untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi
warganya. Dan terakhir, soal dukungan warga Jakarta,
saya yakin bahwa warga Jakarta sudah lama menghendaki
pembenahan yang sistemik terhadap pelbagai pelayanan
publik, termasuk untuk mendapatkan jaminan atas hak-
hak dasarnya.
Implementasi Jamsosda ala Jakarta sebagaimana
dipaparkan di atas, bukanlah hal yang utopis karena
peraturan perundang-undangannya sudah mendukung,
bahkan di level lokal dengan keberadaan beberapa
Perda seperti Perda Sistem Pendidikan (2006), Perda
Sistem Kesehatan (2010), dan beberapa Perda yang
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
72
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jamsosda ala Jakarta
sudah diagendakan pembahasannya. Pada prakteknya,
beberapa tawaran bidang yang dijamin dalam Jamsosda
ala Jakarta tersebut, telah diimplementasikan oleh
Pemda DKI Jakarta secara parsial meski dengan kadar
jaminan yang belum maksimal. Jamsosda ala Jakarta
mencoba mengintegrasikan parsialitas program yang
ada, meningkatkan kadar jaminan, dan mengefektifkan
peraturan perundang-undangan yang ada seperti UU
Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Kesejahteraan Sosial
dan UU lainnya. Secara substansi, Jamsosda ala Jakarta ini
memasukan dua bidang baru yang dijamin yaitu jaminan
memperoleh pekerjaan dan jaminan aksesibilitas atas
kepemilikan rumah. Selain itu, pengintegrasian jaminan
sosial tersebut dilakukan dalam satu paket layanan. Di
situlah menariknya. Wallahu ‘alam.
Jamsosda ala Jakarta mencoba mengintegrasikan parsialitas program yang ada, meningkatkan kadar jaminan, dan mengefektifkan peraturan perundang-undangan yang ada.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
73
76
Judul di atas adalah sebuah pertanyaan yang muncul
dari sebuah realita. Sebagai anggota Dewan, saya
sering menerima keluhan warga miskin bahwa untuk
berobat di Jakarta perlu dana yang tidak sedikit. Karena
itu, bagi mereka yang nggak berduit, apalagi untuk makan
saja susah, sakit menjadi suatu keadaan yang sepertinya
harus dilarang hinggap di badan mereka. Pertanyaan
di atas muncul, juga bukan karena soal biaya, karena
bagi warga Miskin di Jakarta ada jaminan kesehatan.
Masalahnya adalah bahwa ada faktor-faktor lain yang
membuat warga miskin merasa tidak nyaman kalau sudah
masuk rumah sakit.
Seperti penuturan seorang warga pada tahun 2009. Sebut
saja namanya Pak Oyong. Warga senior yang jalannya
sudah tertatih-tatih ini harus dioperasi karena mengalami
kecelakaan. Ditengah kehidupannya yang sudah senja,
ia tinggal seorang diri di rumah sepetak. Anak-anaknya
sudah berkeluarga dan isterinya sudah meninggal puluhan
tahun yang lalu. Ia juga tidak punya Kartu JPK Gakin atau
Jamkesmas. Manakala ia sakit, ia kebingungan. Ia tak tahu
darimana ia harus membayar biaya rumah sakit. Kalau
untuk mendapatkan jaminan pembayaran melalui JPK
Gakin, siapa yang akan uruskan SKTM-nya?
Warga Miskin Dilarang Sakit?
76
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
77
Warga Miskin Dilarang Sakit?
Ia dan beberapa warga Jakarta lain mengalami kesan yang
nggak enak ketika pertama kali masuk ke rumah sakit.
Pertanyaan terpenting yang mengusik mereka adalah
“siapa yang akan bayar?”. Beberapa oknum pelayanan
kadang tidak memperhatikan kondisi ‘sekarat’ dan
‘melarat’nya calon pasien yang datang. Bagi siapapun,
sakit merupakan kejadian yang tak pernah mereka
undang untuk datang. Karena itu, ketika sakit itu datang
secara tiba-tiba, ia tidak mungkin untuk ngurus dulu
Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Nah, pada saat
mereka datang tanpa SKTM, mereka harus menaruh
deposit sejumlah uang tertentu. Darimana mereka harus
menyediakan dana tersebut? Sementara, rasa sakit dan
segala akibatnya tidak mungkin menunggu waktu. Inilah
yang dikeluhkan Pak Oyong dan yang senasib dengannya.
Keadaan ditelantarkan, didiamkan, atau menerima sapaan
yang tidak ramah, menjadi perkara yang biasa diterima
oleh mereka.
Anggaplah Pak Oyong sudah melewati masa tidak me-
nyenangkan pada saat pertama kali masuk rumah sakit.
‘Masa-masa berdebar’ berikutnya adalah soal obat yang
diperlukan saat perawatan. Pak Oyong dan beberapa
warga mengeluhkan soal ketiadaan obat yang dibutuhkan
di bagian penyediaan obat atau apotek rumah sakit
tersebut. Kalau sudah begitu, mereka tidak punya pilihan
lain, kecuali harus beli di luar. Lalu darimana uang untuk
beli obatnya? Hemmmh, Pak Oyong pening kepalanya
memikirkan soal ini. Kasus soal obat juga sering terjadi
Darimana mereka harus menyediakan dana tersebut? Sementara, rasa sakit dan segala akibatnya tidak mung - kin menunggu waktu.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Sistem dan Jaminan Kesehatan bagi Warga
78
manakala dokter yang nge-check pasien datangnya sore
lalu ngasih resep yang segera dimakan obatnya. Manakala
mau ditebus, bagian pengadaan obat atau apotek rumah
sakit sudah tutup atau libur, sementara pasien tergantung
dengan obat yang harus dimakan malam itu juga, atau
di luar jam kantor seperti Sabtu dan Minggu. Pak Oyong
mengeluh, “Bang Sani, emang sakit harus libur juga
yah?”.
Persoalan lain yang dihadapi warga miskin kalau lagi sakit
adalah rasa berdebar pada saat mau keluar dari rumah
sakit. Rasa berdebar karena mereka belum tahu pasti
harus bayar berapa. Warga miskin yang hanya bermodal
SKTM memang tidak mendapat jaminan pembayaran
100 persen dari Pemda DKI. Karena itu, mereka harus
menyiapkan sejumlah uang untuk membayar sisanya.
Pertanyaan bagi Pak Oyong adalah “darimana mereka
harus bayar?”
Persoalan-persoalan tersebut menegaskan bahwa
penanganan masalah kesehatan warga miskin di Jakarta
belum tuntas. Kita belum mempunyai best practise
yang merespon persoalan tersebut. Karena itu, saya
mengusulkan program Sehat Milik Semua (SMS). Program
ini intinya menjadikan sehat sebagai hak semua warga
Jakarta, baik ia miskin maupun kaya. Apapun status
ekonomi dan jabatan setiap orang, sehat merupakan
hak semua warga. Pelanggaran atas hak tersebut adalah
pelanggaran atas Hak Asasi Manusia (HAM). Harapannya,
dengan asumsi ini, para pemberi layanan kesehatan akan
Saya mengusulkan program Sehat Milik
Semua (SMS). Program ini intinya menjadikan
sehat sebagai hak semua warga Jakarta, baik ia miskin maupun
kaya.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
79
melihat pasien bukan karena status ekonominya tapi lebih
karena penyakitnya.
Program SMS (Sehat Milik Semua) dimulai dengan
kampanye kesadaran publik untuk menyadari bahwa
setiap warga harus saling menjaga kesehatan antar
sesama dan menganggap kesehatan setiap warga adalah
hal terpenting dalam pembangunan di Jakarta. Pada
level warga, kampanye kesadaran tersebut bermaksud
menggerakkan warga untuk melakukan usaha preventif
dan partisipatif dalam program jaminan, baik atas biaya
sendiri maupun biaya pemerintah. Bagi aparatur pemberi
layanan, kampanye kesadaran ini bermaksud membangun
mindset yang meminimalisir tindakan diskriminatif dalam
hal pelayanan terhadap warga miskin atau siapapun yang
membayar biaya kesehatan dengan jaminan dari asuransi
atau dari model kapitasi pemerintah.
Poin penting dari Program SMS ini adalah memberi jalan
keluar dari masalah-masalah yang dipaparkan di atas,
masalah-masalah yang selama ini dikeluhkan oleh warga
miskin terkait implementasi pelayanan Program JPK
Gakin sebagaimana dialami Pak Oyong dan yang semasib
dengannya. Beberapa poin tersebut adalah: pertama,
adanya lembaga asistensi baik yang disiapkan puskesmas
maupun dari kelurahan untuk mengurus dokumen SKTM
bagi warga jompo atau mereka yang sudah tidak punya
sanak-saudara, sementara warga miskin tersebut sudah
terbaring di rumah sakit; kedua, adanya peningkatan
Warga Miskin Dilarang Sakit?
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Sistem dan Jaminan Kesehatan bagi Warga
80
kesadaran untuk memuliakan warga miskin pada para
petugas pelayanan JPK Gakin atau Jamkesmas. Setiap
rumah sakit yang melakukan ikatan kerjasama (IKS) dengan
Pemda DKI atau Kemenkes untuk menjamin warga miskin
DKI, akan ada kordinatoriat JPK Gakin atau Jamkesmas.
Mereka itulah garda terdepan pelayanan sekaligus
pencitraan program. Karena itu, kekeliruan mindset
dalam memandang warga miskin akan mempengaruhi
pelayanan. Inilah yang harus dirubah.
Ketiga, soal komitmen pelayanan obat bagi pasien yang
dijamin JPK Gakin/Jamkesmas, dengan memberikan
pelayanan 24 jam. Ini harus dilakukan karena sakit
tidak pernah libur. Orang sakit itu perlu pelayanan 24
jam; keempat, soal kepastian dan kemudahan dalam
mendapatkan besaran prosentase biaya yang dijamin
sehingga memungkinkan pasien atau pihak lain untuk
mengukur biaya yang kurang atau biaya yang mesti dijamin
oleh pihak lain yang berkepentingan; dan kelima, mesti
ada lembaga yang care untuk menutup biaya sisa yang
tidak bisa dijamin pemerintah. Dalam hal ini, Dinkes bisa
menggandeng Dompet Dhuafa, PKPU, Bazis dan lembaga-
lembaga lainnya. Pilihan yang bijak sebenarnya ada pada
sikap pemerintah untuk membiaya secara penuh bagi
mereka yang jelas-jelas tidak bisa membayar. Kebijakan
ini sangat mungkin dilakukan karena dalam beberapa
kasus bisa dilakukan.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
81
Akhirnya, saya berpikir bahwa semua bisa kita lakukan
secara bersama-sama saat kita memandang bahwa
Sehat Untuk Semua (SMS) adalah hak kita semua. Dan
pemerintah DKI Jakarta tentu sepakat bahwa warga miskin
adalah tanggungjawab kita semua, juga tanggungjawab
negara. Karena itu, menjamin biaya kesehatan warga
miskin tidak hanya menyelamatkan nyawanya tetapi juga
menunjukkan sikap pemuliaan pemerintah terhadap
warga miskin. Dengan demikian, aparatur pelayanan
kesehatan di tingkat teknis akan ter-drive untuk melakukan
hal yang sama. Mudah-mudahan dengan memuliakan
warga miskin, Jakarta menjadi dimuliakan di mata Yang
Maha Kuasa. Amin.
Warga Miskin Dilarang Sakit?
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
82
Pemberian jaminan kesehatan dan perluasan
akses masyarakat miskin terhadap pelayanan
kesehatan telah menjadi bagian dari strategi
nasional dalam penanggulangan kemiskinan. Karena itu,
Kementerian Kesehatan telah menetapkan kebijakan
untuk memfokuskan pada pelayanan kesehatan
masyarakat miskin. Kebijakan ini telah dimulai sejak
tahun 2005 dimana pemerintah melaksanakan kebijakan
Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
Miskin. Program ini diselenggarakan melalui penugasan
kepada PT Askes (Persero) berdasarkan SK Nomor 1241/
Menkes/SK/XI/2004. Dalam perjalanannya, program ini
terus mengalami perubahan-perubahan sampai dengan
penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas) pada tahun 2008. Adanya kewenangan
desentralitatif telah memunculkan program sejenis di
tingkat daerah yang dikenal dengan program Jaminan
Kesehatan Daerah (Jamkesda).
Pada kenyataannya, implementasi Jamkesda dalam
tujuh tahun terakhir pasca Orde Baru memperlihatkan
tiga peta. Peta pertama menunjukkan bahwa sebagian
besar daerah (kabupaten/kota) tidak melakukan atau
gagal mengimplementasikan Jamkesda. Peta kedua,
Jamkesda Baru
Untuk Jakarta Baru
82
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
83
Jamkesda Baru Untuk Jakarta Baru
menunjukkan beberapa daerah yang melakukan terobosan
melalui penerapan kebijakan publik yang bernuansa
perlindungan sosial, sehingga implementasi Jamkesda
lebih baik dari apa yang dipraktekkan di tingkat pusat.
Peta ketiga, menunjukkan daerah-daerah yang berada
di antara dua peta tersebut, atau menjalankan Jamkesda
dengan skema yang normatif (Eko 2006; Nurhadi 2009).
Bila dilihat dari pemetaan tersebut, implementasi
Jamkesda di Propinsi DKI Jakarta hingga awal tahun 2011,
berada pada posisi peta ketiga. Jamkesda dikenal dengan
nama JPK Gakin yang kepesertaannya dilakukan melalui
dua skema, yaitu pemberian Kartu JPK Gakin dimana
pesertanya berasal dari hasil survey BPS, dan melalui
“legalisasi” SKTM yang diverifikasi melalui Puskesmas
tempat tinggal pasien. Legalisasi Program JPK Gakin
awalnya relatif sama dengan apa yang terjadi di Musi
Banyuasin dimana program ini merupakan tindaklanjut
kebijakan pusat yang implementasinya didukung oleh
pengalokasian dananya di APBD, namun pada tahun 2010,
program ini “terlegalkan” dalam Perda No. 4 Tahun 2010
tentang Sistem Kesehatan. DKI Jakarta memilih untuk
berbeda dengan Kabupaten Jimbrana yang menegaskan
program jaminan kesehatan daerahnya dalam sebuah
Perda tersendiri. Beberapa pengamat masalah ini
menegaskan bahwa bentuk dasar hukum dari jamkesda
di setiap daerah biasanya memperlihatkan political will
daerah tersebut terhadap program ini.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Sistem dan Jaminan Kesehatan bagi Warga
84
Bila dibanding dua kabupaten yang disebut di atas,
implementasi Jamkesda di DKI Jakarta relatif tertinggal
jauh. Pertama, DKI Jakarta hanya memberikan jaminan
pembebasan atau subsidi biaya pelayanan kesehatan
kepada warga miskin saja, yang dilihat berdasarkan
survey BPS atau berdasarkan keterangan Lurah melalui
SKTM. Tentu ini berbeda dengan Jimbrana dan Musi
Banyuasin yang memberikan jaminan kepada seluruh
warganya. Kedua, DKI Jakarta membatasi jenis pelayanan
yang diberikan kepada peserta JPK Gakin. Salah satu yang
tidak dijamin adalah pelayanan persalinan. Sementara di
Jimbrana dan Musi Banyuasin, persalinan di-cover oleh
Jamkesda di masing-masing kabupaten tersebut. Ketiga,
meski ada persamaan antara DKI Jakarta dengan dua
kabupaten tersebut dalam hal kelas pelayanan (kelas
3 saja) yang dijamin pembiayaannya, DKI Jakarta tidak
memperkenalkan konsep “naik kelas” dimana warga
penerima JPK Gakin tidak bisa pindah ke pelayanan kelas
2 atau kelas 1 dan si pasien hanya membayar selisih biaya
yang diakibatkan perbedaan kelas pelayanan tersebut.
Pada dua kabupaten yang disebut di atas, konsep “naik
kelas” dalam pelayanan Jamkesda diperkenalkan.
Keempat, DKI Jakarta masih membatasi pihak-pihak
yang diajak kerjasama dalam memberikan pelayanan
kepada peserta Jamkesda, yaitu kepada rumah-rumah
sakit yang menandatangani ikatan kerjasama dengan
Pemda DKI Jakarta. Artinya, tidak semua rumah sakit bisa
menerima pasien warga miskin. Hal ini berbeda dengan di
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
85
Musi Banyuasin dan Jembrana dimana di dua kabupaten
tersebut, klinik-klinik kesehatan dan dokter-dokter pribadi
bisa melayani peserta Jamkesda di wilayahnya masing-
masing.
Berdasarkan beberapa kekurangan dalam pelayanan
Jamkesda di DKI Jakarta itulah, saya menawarkan sebuah
profil baru dalam Jamkesda ke depan. Dalam model Jamkes
ini, meski mungkin belum meng-cover semua warga
tetapi memungkinkan untuk meng-cover pelayanan lain
seperti persalinan bagi warga miskin, perluasan jaringan
penyedia layanan dan adanya konsep “naik kelas”. Selain
itu, pemberian subsidi yang lebih besar memungkinkan
adanya pembebasan biaya bagi pasien miskin.
Semangat untuk menyempurnakan Program Jamkesda
di DKI Jakarta semata-mata karena keyakinan bahwa
tidak ada orang yang menghendaki dirinya sakit. Karena
kesehatan merupakan hak semua warga dan investasi
bagi Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Saya memandang
bahwa akses terhadap pelayanan kesehatan merupakan
faktor penting bagi pembangunan ekonomi. Hal ini
menjelaskan, mengapa selama ini saya mendukung
alokasi anggaran kesehatan yang relatif besar dalam
APBD. Karena sakit identik dengan kemiskinan. Warga
yang tidak sehat dalam jumlah yang banyak menghambat
pembangunan ekonomi, menurunkan produktivitas,
dan memicu instabilitas dan konflik sosial. Banyak studi
menunjukkan bahwa investasi di bidang kesehatan
Jamkesda Baru Untuk Jakarta Baru
Meski mungkin belum meng-cover semua warga tetapi memungkinkan untuk meng-cover pelayanan lain seperti persalinan bagi warga miskin, perluasan jaringan penyedia layanan dan adanya konsep “naik kelas”.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Sistem dan Jaminan Kesehatan bagi Warga
86
berkaitan dengan produktivitas dan pertumbuhan
ekonomi (John, 2002; Shepherd et.al, 2004; Suharto et.al,
2006). WHO dan Bank Dunia memperkirakan bahwa 10
persen peningkatan angka harapan hidup mengarah pada
peningkatan pertumbuhan ekonomi sekitar 0,4 persen.
Sebaliknya, peningkatan per kapita sebesar 10 persen di
negara-negara berkembang dapat menurunkan angka
kematian anak sebesar 3,0 persen (Suharto, 2009; 60).
Sistem jaminan kesehatan yang baik sangat menentukan
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Wieczorek-
Zeul (2055: 2) menegaskan bahwa ”...social health
insurance systems are vital if economic growth is to actually
contribute to poverty reduction and equitable sharing out of
resources rather than aggravating disparities.” Keyakinan
tersebut juga didukung oleh Laporan United Nations
Development Programme (UNDP) tahun 2007/2008 yang
menunjukkan adanya kemajuan dalam pembangunan
manusia di Indonesia dari tahun ke tahun. Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) tahun 1975 sebesar 0,472;
tahun 1985 sebesar 0,585; tahun 1995 sebesar 0,670;
dan tahun 2005 sebesar 0, 728. Namun kenaikan tersebut
masih kalah dibandingkan dengan negara lain, setidaknya
dengan sesama negara ASEAN. Peringkat IPM Indonesia
tahun 2007 berada di urutan 107 dari 177 negara. Selain
semakin jauh tertinggal oleh Singapura (peringkat 25),
Brunei Darussalam (30), Malaysia (63), Thailand (78), dan
Philipina (90); peringkat Indonesia juga sudah terkejar
oleh Vietnam (105) yang pada tahun 2006 berada di
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
87
peringkat 109 (UNDP, 2007; Suharto, 2009). Banyak bukti
menunjukkan bahwa rendahnya IPM Indonesia memiliki
kaitan erat dengan rendahnya status kesehatan dan akses
penduduk terhadap pelayanan kesehatan.
Penyempurnaan pelayanan kesehatan bagi masyarakat
miskin di Jakarta mempunyai tiga arti penting: Pertama,
menjamin terpenuhinya keadilan sosial bagi masyarakat
miskin, sehingga pelayanan kesehatan bagi masyarakat
miskin mutlak, mengingat kematian bayi dan kematian
balita 3 kali dan 5 kali lebih tinggi dibanding pada keluarga
tidak miskin. Di sisi lain, penyelenggaraan pelayanan
kesehatan yang baik bagi masyarakat miskin, dapat
mencegah angka kematian yang tinggi; Kedua, untuk
kepentingan politis yakni menjaga kohesivitas sosial
di Jakarta dengan meningkatkan upaya pembangunan
(termasuk kesehatan) bagi warga miskin, dan untuk
memenuhi komitmen nasional untuk menurunkan
kemiskinan melalui upaya kesehatan bagi keluarga miskin;
Tiga, beberapa hasil studi menunjukkan bahwa kesehatan
penduduk yang baik, memberi akselerasi terhadap
pertumbuhan ekonomi yang semakin baik, yang dengan
demikian mampu mengatasi masalah kemiskinan dengan
lebih baik (Kemkes, 2009).
Apakah implementasi “Jamkesda Baru” di Jakarta dapat
terwujud? Menurut Eko (2006: 910) sedikitnya ada tiga
faktor kunci yang dapat menjawabnya: Pertama, komitmen
elite lokal (pemerintah, DPRD) yang kuat, reformis dan pro
Jamkesda Baru Untuk Jakarta Baru
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Sistem dan Jaminan Kesehatan bagi Warga
88
kesejahteraan. Penelitian Leisher & Nachuk menunjuk kan
bahwa kepemimpinan lokal merupakan faktor kunci bagi
reformasi pelayanan publik. Contohnya adalah kegigihan
bupati dan walikota di Solok, Tanah Datar, Musi Banyuasin,
Jembrana; Kedua, good governance. Solok dan Tanah Datar
selama periode 2000-2005 telah menciptakan birokrasi
yang lebih efisien, insentif yang lebih memadai, struktur
birokrasi yang ramping, transparansi dan akuntabilitas.
Reformasi ini berhasil memotong high cost bureaucracy
sehingga anggaran bisa direlokasi untuk keperluan yang
lebih produktif, termasuk membiayai pelayanan publik
untuk rakyat; Ketiga, partisipasi masyarakat memberi
kontribusi penting bagi upaya-upaya promosi kebijakan
kesejahteraan: desakan, keterlibatan dalam perencanaan
kebijakan, dukungan atas kebijakan, aksi-aksi sukarela
dalam implementasi di lapangan. Temuan Indonesian Rapid
Desentralization Appraisal (IRDA) The Asia Foundation
(2001-2005) memperlihatkan bahwa partisipasi komisi-
komisi ekstra negara mampu memberi desakan kepada
pemerintah untuk memperbaiki pelayanan publik.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
89
Jamkesda baru ala Jakarta berkata-kunci: pemuliaan
warga miskin dan tidak mampu dalam mengakses
jaminan kesehatan. “Pemuliaan” bermakna perluasan
covering pelayanan kesehatan, perluasan pemberi
pelayanan, dan peningkatan pelayanan yang lebih
cerdas dan profesional. Dengan demikian jamkesda baru
memerlukan dukungan model pembiayaan yang lebih
smart. Bagaimana model yang smart tersebut? Mari kita
diskusikan masalah-masalah yang mungkin mengemuka!
Permasalahan pertama adalah soal ketersediaan
anggaran. Jamkesda baru meng-cover warga miskin
dan tidak mampu melalui mekanisme Kartu JPK Gakin,
Jamkesmas dan SKTM. Dengan demikian, kita tidak dulu
akan menerapkan model universal. Kita juga tidak ingin
terjebak dalam model residual yang hanya meng-cover
warga Jakarta yang tidak memiliki jaminan kesehatan
melalui berbagai asuransi. Karena berdasarkan temuan
lapangan terdapat warga yang punya jaminan dari
asuransi tertentu memerlukan pembiayaan di awal, atau
pembiayaan sekian persen, atau pembiayaan hanya untuk
penyakit tertentu. Dengan demikian, jamkesda baru akan
mampu meng-cover permasalahan yang muncul seperti
Model PembiayaanJamkesda Baru
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
89
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Sistem dan Jaminan Kesehatan bagi Warga
90
ini. Namun demikian, jamkesda baru tidak meng-cover
semua warga. Dengan asumsi bahwa orang sakit rata-
rata 5 persen dari jumlah penduduk DKI, dan rencana
alokasi dana untuk kesehatan bisa sampai 15 persen
dari total APBD, maka ketersediaan anggaran untuk ini
adalah dimungkinkan. Pada tahun 2009, anggaran untuk
jamkesda hampir tembus pada angka 1 triliyun rupiah
dengan total APBD sekitar 20 triliyun rupiah.
Permasalahan kedua adalah soal kemana dan bagaimana
anggaran tersebut disalurkan sehingga mampu
mewujudkan jamkesda baru ala Jakarta. Dengan target
terciptanya perluasan cakupan penyakit atau pelayanan
yang diberikan kepada warga miskin, maka alokasi
anggaran harus diberikan untuk menambah jumlah dana
kapitasi dan peningkatan tarif INA-DRG. Penambahan dana
kapitasi dilakukan karena diasumsikan perlu ada dukungan
dana bagi jenis pelayanan baru yang akan diberikan seperti
pelayanan wanita hamil dan melahirkan, serta pelayanan
lainnya yang belum ditentukan sebelumnya. Peningkatan
jumlah dana kapitasi “diwajibkan” karena Perda Sistem
Kesehatan Daerah No. 4 Tahun 2010 masih menggunakan
sistem kapitasi, dimana dana dialokasikan ke Dinkes dan
para pemberi layanan mengajukan klaim ke Dinkes atas
biaya yang telah dikeluarkan untuk menangani pasien JPK
Gakin/SKTM. Semakin meluasnya jenis pelayanan maka
semakin mungkin membesarnya jumlah dana yang harus
dialokasikan untuk memback-up hal itu.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
91
Model Pembiayaan Jamkesda Baru
Alokasi anggaran jamkesda juga penting untuk diperluas
kepada para pemberi layanan jamkesda, seiring dengan
diperluasnya jaringan penyedia jasa layanan. Jamkesda
baru memungkinkan masyarakat untuk berobat di klinik
terdekat, di dokter pribadi, klinik pengobatan alternatif,
dan di seluruh jaringan rumah sakit yang ada di Jakarta.
Penolakan rumah sakit atas tarif INA-DRG dari jamkesda
akan dicarikan solusinya, karena yang terpenting semua
lembaga pemberi layanan kesehatan dilarang menolak
warga miskin. Dengan perluasan penyedia layanan
kesehatan maka mekanisme pembayaran klaim harus
lebih smart. Maksudnya, jangan terlalu panjang mata
rantainya sehingga bertele-tele, dan jangan terlambat.
Mekanisme pembayaran harus berangkat dari pandangan
bahwa pembayaran klaim merupakan modal usaha
penyedia layanan yang menopang operasi pemberian
pelayanan kesehatan. Di sini political will pencairan
APBD yang prioritas akan ditekankan. Sebuah hadits
menyebutkan bahwa bayarlah upah seseorang sebelum
keringatnya kering. Mekanisme pembayaran klaim yang
cepat ini dapat menjadi stimulan bagi para penyedia
jasa layanan kesehatan yang bermitra dengan Pemda
DKI agar lebih sigap dalam melayani warga miskin di
Jakarta. Mekanisme yang cepat ini diharapkan menjadi
salah satu solusi dari persoalan yang kerap muncul antara
rumah-rumah sakit pemberi layanan dengan Pemda DKI
selama ini. Percepatan mekanisme ini, dengan tetap
mempertimbangkan mekanisme verifikasi dokumen klaim
yang memang sudah ada prosedurnya.
Yang terpenting semua lembaga pemberi layanan kesehatan dilarang menolak warga miskin.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Sistem dan Jaminan Kesehatan bagi Warga
92
Mekanisme pembayaran pemerintah kepada para
penyedia jasa layanan kesehatan warga miskin juga
bisa menggunakan model asuransi yang dimodifikasi.
Kelebihan model asuransi adalah percepatan dan
kefokusan pelayanan pembayaran klaim, dan pengurangan
energi pemerintah dalam menangani klaim dengan
seluruh jaringan penyedia layanan kesehatan di Jakarta.
Kelebihan tersebut dengan asumsi bahwa perusahaan
asuransinya adalah pihak yang profesional dan memahami
permasalahan klaim pembayaran secara khusus. Namun
kekurangannya adalah dana pembayaran premi yang
diberikan pemerintah setiap tahun akan hilang meski
tidak semua warga yang dijamin menggunakan jaminan
tersebut. Artinya, ada kemungkinan hilangnya dana APBD
secara sia-sia. Dengan asumsi bahwa jumlah warga miskin
akan terus meningkat maka biaya premi yang harus dibayar
pun akan terus meningkat. Kelemahan lainnya adalah
tidak kompatibelnya dengan karakteristik warga miskin di
Jakarta. Warga urban seperti di Jakarta rentan jatuh miskin
sehingga ada istilah “sadikin” alias sakit sedikit menjadi
miskin. Model asuransi tidak menjamin mereka yang tidak
dibayar preminya. Oleh karena itu, pemberlakukan model
asuransi harus men-gcover masalah-masalah tersebut.
Model pembiayaan jamkesda baru juga harus mendorong
terciptanya peningkatan pelayanan yang cerdas dan
profesional. Karena itu, pengalokasian anggaran juga
harus dialokasikan untuk hal itu, dan mekanisme
pembayaran kepada penyedia layanan jasa kesehatan
Jamkesda baru juga harus mendorong
terciptanya peningkatan pelayanan yang cerdas
dan profesional.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
93
harus mendorong terjadinya peningkatan yang smart.
Pelayanan yang cerdas mengharuskan adanya sistem
implementasi jamkesda yang berbasis IT yang kuat. Itu
artinya, Dinkes dan mitra penyedia jasa layanan harus
berada dalam sistem manajemen informasi jamkesda
yang terintegrasi. Sistem ini memungkinkan para
penyedia jasa mendapatkan informasi seketika tentang
pasien yang datang, atau menginput data pasien miskin
yang baru ke dalam sistem yang bisa diakses oleh seluruh
jaringan penyedia jasa secara online. Sistem ini juga
mengharuskan terintegrasinya data para penyedia jasa
layanan kesehatan. Dengan demikian, pengalokasian
anggaran pada pos pembiayaan ini dapat mencegah
penolakan penyedia jasa layanan kesehatan di seluruh
Jakarta kepada orang miskin yang datang. Sedangkan
peningkatan pelayanan yang profesional dapat diciptakan
dengan menggunakan mekanisme reward and punishment
dalam hal pembayaran klaim atau perijinan para penyedia
jasa layanan kesehatan. Pada saat yang sama, aparatur
birokrasi yang terkait dengan implementasi program ini
harus menjadi “birokrat kelas satu”, yaitu birokrat yang
profesional, yang memahami siapa yang dilayaninya.
Apakah model pembiayaan jamkesda baru mungkin
dilaksanakan? Tentu fakta yang akan menjawabnya.
Tapi kita bisa belajar dengan dua daerah yang sukses
mengimplementasikan jamkesda secara cerdas, seperti
di Kabupaten Jembrana dan Musi Banyuasin. Dua daerah
tersebut melakukan improvisasi ketika pemerintah pusat
Model Pembiayaan Jamkesda Baru
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Sistem dan Jaminan Kesehatan bagi Warga
94
menggunakan sistem yang standar. Model pembiayaan
pusat menerapkan covering penyakit yang terbatas dengan
sistem referal, dan penyedia jasa layanan kesehatan yang
juga terbatas. Pemerintah pusat juga menerapkan standar
tarif INA-DRG yang meresahkan atau menimbulkan
penolakan sebagian mitra penyedia layanan jasa karena
dianggap terlalu murah. Dengan demikian, model pusat
ini memiliki kelemahan, yaitu warga miskin masih punya
beban, tidak leluasa, dan tidak memadai. Model ini juga
tidak menyediakan anggaran paripurna untuk warga yang
tidak punya kartu Jamkesmas, sementara penerbitan
kartu tersebut tidak setiap saat.
Atas keterbatasan model pusat tersebut, Kabupaten
Jembrana menggunakan dana APBD dengan pola kapitasi
yang membayar seluruh klaim pembayaran yang diajukan
penyedia jasa layanan yang diperluas. Jembrana juga
menggunakan standar tarif INA-DRG yang diimprovisasi.
Artinya, Pemkab Jembrana memberlakukan tarif di atas
INA-DRG. Model Jembrana memiliki kelebihan, yaitu
backuping dana dinamis karena semua warga dijamin,
klaim tarif berbasis INA-DRG yang disempurnakan
merangsang peningkatan pelayanan terhadap pengguna
jamkesda. Hal yang hampir sama dilakukan oleh
Kabupaten Musi Banyuasin, meski pemberlakuan tarif
INA-DRG tidak diimprovisasi. Namun yang menarik adalah
diberlakukannya konsep “naik kelas” yang bermaksud
bahwa setiap warga mendapat pelayanan gratis untuk
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
95
kelas tiga, dan warga dapat pindah ke pelayanan kelas dua
atau kelas tiga dengan membayar kelebihan tarifnya saja.
Konsep “naik kelas” sebagaimana diberlakukan di Musi
Banyuasin patut dipertimbangkan untuk diberlakukan
di Jakarta karena ada beberapa pasien miskin yang
penyakitnya tidak bisa dirawat di kelas tiga, seperti pasien
miskin yang harus melakukan cuci darah. Konsep “naik
kelas” juga penting karena pada faktanya banyak pasien
miskin yang harus dirawat di luar kamar perawatan karena
kamar pelayanan kelas tiga penuh. Dengan kenyataan di
dua kabupaten tersebut, bukan mustahil bahwa kita bisa
implementasikan model pembiayaan jamkesda baru ala
Jakarta. Insya Allah.
Faktanya banyak pasien miskin yang harus dirawat di luar kamar perawatan karena kamar pelayanan kelas tiga penuh.
Model Pembiayaan Jamkesda Baru
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
98
Menempuh masa belajar 12 tahun bagi warga
Jakarta, tentu saja merupakan dambaan
semua. Apalagi kalau semua biayanya
ditanggung pemerintah. Namun hingga kini, Pemprov DKI
belum secara nyata melangkah ke sana. Masalahnya adalah
klasik, yaitu soal ketersediaan dana. Kalau mendanai warga
miskin saja, APBD Jakarta masih sanggup. Namun apabila
harus membiayai semua warganya untuk menempuh
Wajib Belajar (Wajar) 12 tahun, itu bukan perkara mudah.
Namun demikian, wacana untuk menggratiskan Wajar 12
tahun, khusus untuk SMK pernah mengemuka, meskipun
belum terealisasi hingga sekarang.
Pengimplementasian Wajar 12 tahun tidak hanya me-
rupakan pelepasan beban moral sebagai ibukota negara,
tetapi juga yang terpenting adalah karena kesadaran
bahwa Jakarta menghadapi persaingan dengan kota-kota
internasional lain termasuk dalam penyiapan sumber daya
manusia unggul. Malah sebenarnya Perda No. 8 Tahun
2006 tentang Sistem Pendidikan memberikan pesan
tersirat akan keinginan tersebut meski terlihat ambigu.
Dalam Bab IV Pasal 4 misalnya, menyebutkan bahwa (1)
Setiap warga masyarakat berhak memperoleh pendidikan
Wajib Belajar 12 Tahun di Jakarta
Mungkinkah?
Pengimplementasian Wajar 12 tahun tidak
hanya merupakan pelepasan beban moral sebagai ibukota negara.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
99
Wajib Belajar 12 Tahun di Jakarta Mungkinkah?
yang bermutu; dan Pasal 5 ayat 1) Warga masyarakat
yang berusia 7 (tujuh) sampai 18 (delapan belas) tahun
wajib mengikuti pendidikan dasar dan menengah sampai
tamat. Pasal tersebut menegaskan secara kuat bahwa
pendidikan 12 tahun merupakan haknya warga Jakarta.
Hanya saja, hak tersebut masih dibatasi bagi mereka
yang tidak mampu. Pasal 16 menyebutkan bahwa
pemerintah berkewajiban: (f). menyediakan dana guna
terselenggaranya wajib belajar 12 tahun khususnya
bagi peserta didik dari keluarga tidak mampu dan anak
terlantar.
Pengaturan hak pendidikan warga untuk menempuh ma-
sa belajar 12 tahun tersebut, masih belum menda patkan
penguatan dasar hukum. Pengaturan sebagaimana
ditunjukkan oleh dua pasal tersebut masih memperlihatkan
semangat yang kontradiktif, yaitu antara mewajibkan
warganya untuk menempuh 12 tahun wajib belajar,
namun pada saat yang sama, pemerintah membatasi
kewajibannya yang hanya mem-backup dana Wajar 12
tahun bagi mereka yang tidak mampu.
Penyelenggaraan Wajar 12 tahun semestinya tidak lagi
hanya diperuntukkan bagi mereka yang tidak mampu,
melainkan juga bagi semua warga Jakarta karena pen-
didikan adalah hak bagi semua warga, dan kewajiban bagi
pemerintah, serta investasi penting bagi negara. Masalah
klasik yang berkaitan dengan pendanaan sesungguhnya
berpeluang untuk diatasi karena Perda 8/2006 juga
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Semua Berhak Dapat Pendidikan Layak
100
membuka ruang untuk itu. Misalnya, Pasal 118 ayat (1)
Pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat;
dan Pasal 119 ayat (1) Pendanaan atau pembiayaan
pe nyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan
Pemerintah Daerah bersumber dari Anggaran Pendapatan
Belanja Negara, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah,
dan Masyarakat; serta Pasal 120 ayat (1) Pemerintah
Daerah wajib menyediakan anggaran pendidikan
sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-
undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal-
pasal tersebut memungkinkan Pemprov DKI Jakarta untuk
mengambil porsi tanggungjawab yang lebih besar untuk
menopang pembiayaan Wajar 12 Tahun. Dengan pola
ini, Wajar 12 Tahun dapat terlaksana meski tidak gratis
sepenuhnya.
Bahkan kalau merujuk pada Pasal 120 ayat 1 yang
menetapkan kewajiban anggaran untuk urusan pendidikan
sebesar minimal 20 persen dari APBD, maka nominal yang
akan teralokasikan untuk pendidikan setiap tahunnya akan
terus membesar. Belum lagi kalau dana yang bersumber
dari APBN dapat membantu proyek percontohan dalam
pengimplementasian Wajar 12 Tahun di Propinsi DKI
Jakarta. Maka sebenarnya, peluang DKI Jakarta untuk
menerapkan Pendidikan Wajar 12 Tahun terbuka lebar.
Pendidikan Wajar 12 Tahun bagi warga Jakarta merupakan
suatu kebutuhan mengingat persaingan yang terjadi
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
101
juga semakin tinggi. Persaingan tersebut tidak mungkin
dimenangkan oleh warga Jakarta yang hanya lulusan SMP
atau sederajat. Bahkan pada saat ini, para lulusan sarjana
di Jakarta banyak yang menganggur karena jumlahnya
yang semakin banyak. Oleh karena itu, penyelenggaraan
Wajar 12 Tahun dapat dilihat sebagai upaya pemerintah
untuk melakukan bridging bagi warganya dalam meraih
pendidikan sarjana. Langkah bridging tersebut membantu
secara psikologis bagi warga dalam menjalani masa belajar.
Bagi mereka yang tidak mampu meneruskan ke SMA atau
sederajat karena alasan biaya, dan tidak memiliki akses
biaya untuk itu, lantas mereka bekerja, maka pada saat
mereka mau melanjutkan sekolah SMA-nya, mereka akan
mengalami hambatan psikologis sehubungan usianya
yang sudah lewat. Contohnya, seorang pekerja berusia
35 tahun akan merasa risih kalau harus belajar kembali
dengan anak-anak usia 17 tahun, meski di Program Paket C
misalnya. Berbeda ceritanya kalau ada warga Jakarta yang
sudah SMA, lalu kerja karena pemerintah membridge-
nya, dan manakala mau meneruskan sarjananya setelah
bekerja, mereka tidak akan mengalami hambatan
psikologis meski usianya sudah sangat lanjut. Di sinilah
urgensi penyelenggaraan Wajar 12 Tahun terlihat, dan
patut untuk dipertimbangkan.
Keterbatasan anggaran untuk mendanai Wajar 12 Tahun
dapat ditempuh secara bertahap, diantaranya dengan
memberi prioritas pada sekolah-sekolah tertentu, seperti
SMK dan sejenisnya yang lebih banyak dipilih penduduk
Wajib Belajar 12 Tahun di Jakarta Mungkinkah?
Keterbatasan anggaran untuk mendanai Wajar 12 Tahun dapat ditempuh secara bertahap.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Semua Berhak Dapat Pendidikan Layak
102
kelas menengah ke bawah dan juga sejalan dengan
penyiapan tenaga kerja terampil. Upaya seleksi jenis sekolah
yang gratis tersebut, dapat meminimalisir pembiayaan
yang harus dikeluarkan pemerintah DKI Jakarta. Dan
pada posisi siswanya pun dapat lebih menguntungkan
karena sekolah kejuruan tersebut memberi bekal untuk
bisa bekerja setelah lulus. Dengan demikian, tiga pihak
dapat diuntungkan sekaligus, yaitu pemerintah yang akan
berkurang bebannya dalam mengatasi pengangguran,
lulusannya yang akan memiliki daya akseptabilitas di dunia
kerja, dan dunia usaha yang mendapat tenaga kerja yang
relatif murah namun memiliki keterampilan yang cukup.
Kebijakan untuk mendanai sekolah-sekolah tertentu
dalam pengimplementasian Wajar 12 Tahun dapat
ditempatkan sebagai kebijakan transisi. Karena pada saat
yang sama, Perda yang menjadi dasar hukumnya dapat
dipersiapkan bagi menyempurnakan pelaksanaan Wajar
12 Tahun. Untuk itu, DPRD DKI telah memasukkan rencana
perubahan Perda Sistem Pendidikan pada tahun 2011 ini,
dengan harapan bahwa gagasan tentang Wajib Belajar
12 Tahun berpeluang besar untuk dapat terimplementasi
pada tahun 2012 nanti.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
103
Sudah menjadi hal yang lazim, bahwa pendidikan
merupakan pintu gerbang untuk meraih
kesejahteraan dan memperbaiki derajat hidup.
Namun persoalan utamanya adalah tidak semua
penduduk memiliki akses dan kesempatan yang sama
untuk memperoleh pendidikan. Bahkan Jakarta dengan
pendapatan per kapita penduduk Rp. 73 juta, ternyata
memiliki angka partisipasi sekolah (APS) untuk usia 16-18
tahun (SMU/SMK) yang belum mencapai 70%. Artinya
masih lebih dari 30% penduduk Jakarta usia 16-18 tahun
yang tidak melanjutkan sekolah ke SMU/SMK. Sementara
penyandang masalah kesejahteran sosial (PMKS) termasuk
diantaranya gelandangan dan tunawisma, semakin
melibatkan anak-anak, termasuk persoalan anak jalanan.
Padahal masalah pendidikan juga bukan hanya masalah
akses untuk dapat bersekolah, namun juga kesempatan
untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Kesem-
patan ini menjadi langka ketika sebagian besar kesempatan
itu diukur dengan materi (uang), termasuk di sekolah yang
dikelola oleh pemerintah (sekolah negeri) pada semua
jenjang. Sehingga upaya pemerintah untuk meningkatkan
kesempatan belajar melalui peningkatan anggaran
untuk pendidikan menghadapi rintangan ketika siswa
dari keluarga tidak mampu, tidak dapat bersekolah pada
Pendidikan Berkualitas untuk Semua Penduduk
Masalah pendidikan juga bukan hanya masalah akses untuk dapat bersekolah, namun juga kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Semua Berhak Dapat Pendidikan Layak
104
sekolah berkualitas meskipun negeri. Atau dalam situasi
yang lain, siswa tidak mampu akan dibenturkan dengan
berbagai label yang melekat seperti RSBI (Rintisan Sekolah
Berstandar Internasional), SNI dan sebagainya. Padahal
dengan bersekolah pada sekolah yang baik sebuah keluarga
membangun mimpi bahwa anaknya akan bisa meningkatkan
derajat kehidupan dan kesejahteraan keluarga.
Untuk mengukur tingkat kemajuan pem ba-
ngun an manusia yang sekaligus men cer min -
kan kesejahteraannya, UNDP telah mengem-
bangkan Human Development Index (HDI) yang mencakup
tiga komponen dasar yang secara operasional dapat meng-
hasilkan suatu ukuran untuk merefleksikan upaya pem-
bangunan manusia. Salah satu komponen tersebut ada-
lah akses terhadap pengetahuan (knowledge) yang diukur
ber dasarkan prosentase kemampuan baca tulis orang
de wasa dan tingkat partisipasi bersekolah yang diperoleh
da ri rasio gabungan pendaftaran bersekolah dari tingkat
se kolah dasar hingga sekolah lanjutan atas.
Bahkan komponen pendidikan dalam HDI ini cukup
peringkat pembangunan manusia suatu negara/wilayah.
Apabila diperhatikan dengan seksama terhadap indeks
pembangunan manusia di Indonesia tahun 2007, indeks
HDI mengalami kenaikan dari 0.729 menjadi 0.734, namun
tetap berada pada peringkat ke 111 dan berada dalam
kategori Menengah seperti tahun sebelumnya. Kenaikan
Pendidikan, Pembangunan Manusia dan
Kesejahteraan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
105
Pendidikan Berkualitas untuk Semua Penduduk
indeks tersebut disebabkan oleh kenaikan indikator PDB per
kapita (dari US$ 3,532 menjadi US$ 3,712) dan usia harapan
hidup (dari 70,1 menjadi 70,5 tahun), sedangkan tingkat
kemampuan baca-tulis orang dewasa dan rasio pendaftaran
bersekolah tetap sama (yaitu 90% dan 68,2%).
Jika kita membandingkan antara peringkat HDI dengan
indi kator pendidikan yang dicapai serta tingkat ke sejah-
teraan ekonominya, negara dengan sumber daya alam
yang tidak menonjol seperti minyak dan gas, memiliki
kecen derungan korelasi antara komponen pendidikan de-
ngan tingkat kesejahteraan yang ditunjukkan dengan pen-
dapatan per kapita. Semakin tinggi tingkat partisipasi se-
kolah dan semakin lama masa bersekolah penduduk, ma ka
pendapatan per kapita penduduk semakin tinggi dan pe-
ringkat HDI juga semakin baik. Hal ini pula yang mungkin
me latarbelakangi kenapa pendidikan menjadi indikator-
indi kator yang diletakkan diawal dalam komponen indeks
pem bangunan manusia.
HDI Rank Combined Gross Enrolment Ratio
Years of Schooling
GDP per Capita (2008 PPP US$
Indonesia 68,2 5,7 4.394Jepang 11 86,6 11,5 33.649Thailand 92 78,0 6,6 8.328Kanada 8 99,3 11,5 39.035Brazil 73 87,2 7,2 10.847Jerman 10 88,1 12,2 34.743
Betapa pentingnya pendidikan sebagai jembatan meraih
kesejahteraan, bisa tergambar dari respon yang diambil
oleh pemerintah Jepang pasca kekalahan dalam Perang
Dunia ke-2. Setelah kekalahan perang dari tentara sekutu
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Semua Berhak Dapat Pendidikan Layak
106
dengan dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan
Nagasaki, Perdana Menteri Kuniaki Koiso menanyakan
kepada para pejabatnya, berapa jumlah guru yang
masih hidup? Dan hasilnya, hanya butuh 10 tahun bagi
Jepang untuk bangkit dan menjadi negara besar ketika
pendidikan menjadi prioritas untuk dikembangkan untuk
mensejahterakan rakyatnya. Jepang juga tidak larut dalam
kehancuran dan cepat untuk bangkit ketika tiga bencana
sekaligus menghantam negeri tersebut dua bulan lalu
yaitu gempa 9 skala richter, tsunami dan radiasi nuklir
akibat meledaknya PLTN di Fukushima.
Kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal saja bagi
semua penduduk tentu tidak mencukupi tanpa adanya
upaya peningkatan kualitas pendidikan dan proses
belajar-mengajar. Tuntutan perbaikan kualitas pendidikan
ini mencakup perbaikan sarana dan prasana pendidikan,
perbaikan sistem belajar-mengajar dan kesempatan
yang sama untuk dapat bersekolah di sekolah unggulan
tanpa diskriminasi, apalagi atas dasar materi. Setiap
penduduk Jakarta seharusnya mendapat kesempatan
yang sama untuk bersekolah khususnya di sekolah negeri
berkualitas tanpa terkendala oleh ketiadaan biaya.
Program BOS dan BOP pada dasarnya adalah untuk
memberikan kesempatan yang sama kepada semua warga
untuk menikmati pendidikan, termasuk pada sekolah
berkualitas yang mendapat dana BOS dan BOP. Dana
tersebut bukan hanya untuk membangun fasilitas sekolah
untuk meningkatkan kualitas proses belajar-mengajarnya,
namun menyebabkan terjadinya barrier bagi siswa tidak
Kesempatan untuk mengikuti pendidikan
formal saja bagi semua penduduk
tentu tidak mencukupi tanpa adanya upaya peningkatan kualitas
pendidikan dan proses belajar-mengajar.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
107
mampu untuk bersekolah di sekolah tersebut.
Pendidikan berkualitas bagi semua penduduk juga
merupakan upaya untuk memutus mata rantai pendidikan
melalui pendidikan dan peningkatan kesejahteraan
penduduk. Upaya mengatasi masalah pembangunan
manusia tidak hanya persoalan bagaimana mempercepat
pengurangan jumlah penduduk miskin, melainkan
yang lebih penting adalah bagaimana meningkatkan
kesejahteraan penduduk miskin, diantaranya dengan
memberikan kesempatan pendidikan berkualitas agar
mereka dapat mengembangkan potensinya. Semua pihak
termasuk kalangan industri dan sektor swasta perlu
terlibat dalam membangun sistem dan sarana untuk
memuwujudkan pendidikan berkualitas untuk semua.
Saat ini indikator pendidikan di Jakarta juga masih belum
memuaskan. Angka partisipasi sekolah (APS) untuk usia
16-18 tahun (SMU/SMK) belum mencapai 70%. Artinya
masih lebih dari 30% penduduk Jakarta usia 16-18 tahun
yang tidak melanjutkan sekolah ke SMU/SMK. Belum
lagi persoalan yang selalu muncul seperti BOS yang tidak
tepat sasaran dan kesulitan orang tua pada setiap masa
pendaftaran siswa baru. Pendidikan bermutu untuk semua
anak usia sekolah di Jakarta adalah keinginan yang harus
menjadi kenyataan di Jakarta. Adalah kewajiban mutlak
bagi ibukota negara untuk memiliki SDM berkualitas
dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik dibanding
daerah lain.
*) Dimuat di Harian Republika, Mei 2011
Pendidikan Berkualitas untuk Semua Penduduk
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
110
Berbicara tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKM) di Jakarta sekilas nampak
bukan pada tempatnya. Betapa tidak, puluhan
bahkan ratusan perusahaan multinasional bahkan
nasional berbasis di ibukota ini dari berbagai jenis dan
bidang usaha. Dari pertanian (sawit, agroindustri) sampai
perbankan. Dari pertambangan (migas, batubara) sampai
teknologi informasi. Dari industri sampai perhotelan dan
jasa logistik. Semuanya memiliki kantor pusat di Jakarta,
dan mengendalikan bisnis mereka di seluruh penjuru
tanah air, bahkan mancanegara. Jakarta juga merupakan
tempat pergerakan harga saham perusahaan-perusahaan
go public ditentukan. Sehingga, tidak salah orang
berpendapat bahwa UMKM hanya menjadi pelengkap
saja. Dan hampir tidak dilirik dalam pengambilan kebijakan
atau membangun daya tarik investasi di Jakarta.
Benarkah demikian? Di Indonesia sendiri UMKM
merupakan entitas usaha yang jumlahnya mencapai 99%
dari total usaha yang ada dengan jumlah pada tahun 2006
mencapai 48,39 juta sebagian besarnya merupakan usaha
mikro dan kecil. Peran strategis terpenting UMKM adalah
dalam penyerapan tenaga kerja dimana lebih dari 95%
penyerapan tenaga kerja yang ada adalah oleh UMKM.
Menggeliatkan UMKM di Jakarta
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
111
Menggeliatkan UMKM di Jakarta
Bahkan data BPS tahun 2006 juga berbicara bahwa dari
total tenaga kerja sebesar 88,8 juta pada 2006, sekitar
80,9 juta atau 90% adalah tenaga kerja yang berasal
dari UMKM. Kontribusinya terhadap PDB juga tidak
bisa dipandang sebelah mata karena terbukti memberi
kontribusi sebesar 53% terhadap PDB pada tahun 2006.
Skala Usaha 2003 2006
UMKM 1.013 triliun 57% dari PDB 1.779 triliun 53% dari PDB
Usaha skala Besar 0,764 triliun 43% dari PDB 1.559 triliun 47% dari PDB
Sumber: Menneg Koperasi dan UMKM, BPS2003, 2006
Skala UsahaTahun
(angka tenaga kerja dalam ribuan)Pertumbuhan
2005 2006 Jumlah %
Usaha skala Mikro, Kecil 78,994 80,933 1,938 2.5
Usaha skala Menengah 4,238 4,483 244 5.8
Usaha skala Besar 3,212 3,388 176 5.5
ToTAL Tenaga Kerja 86,445 88,804 2,359 2.7
Sumber: Menneg Koperasi dan UMKM, BPS 2006
Di Jakarta, kondisi dan perkembangan UMKM me nun-
jukkan geliat yang semakin dinamis, meski data kuantitatif
menunjukkan penurunan. Data Dinas Koperasi dan UKM
menunjukkan jumlah usaha kaki lima Jakarta dari 2002
ke 2007 terus mengalami penyusutan cukup besar, yaitu
menjadi 11,225 pada tahun 2007. Ini dapat dibaca
bahwa Pemda DKI Jakarta semakin menata keberadaan
kaki lima dan mendorongnya untuk memiliki usaha yang
lebih permanen, baik di tempat lokasi usaha sementara
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menempatkan Ekonomi Kerakyatan di Ibukota
112
yang dibangun pemerintah ataupun secara mandiri mulai
mampu menjadi usaha yang memiliki tempat permanen.
Pada tahun 2007, jumlah lokasi usaha sementara untuk
usaha mikro mencapai 239 dan jumlah ini juga menurun
dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Tahun Jumlah Usaha Kaki Lima
Lokasi Sementara Usaha Mikro
Jumlah Koperasi
Omset Koperasi (Triliun Rupiah)
SHU Koperasi (Juta Rupiah)
2002 141,073 302 6,484 4.23 135.53
2006 13,358 266 6,833 5.88 192.56
2007 11,255 239 6,847 6.47 330.64
Sumber: BPS DKI Jakarta 2007
Sementara jumlah koperasi di Jakarta mencapai 6847
unit dengan omset yang dimiliki mengalami peningkatan,
setiap tahunnya dari Rp. 4,23 triliun pada 2003 menjadi
Rp. 6,47 triliun rupiah pada tahun 2007. Kinerja koperasi
yang ada di Jakarta juga menunjukkan kondisi yang
menjanjikan yang ditunjukkan dengan sisa hasil usaha
(SHU) yang meningkat dari Rp. 192,6 juta pada 2006
menjadi Rp. 330,6 juta pada tahun 2007 atau meningkat
sebesar 71,7 %.
Fakta menarik dari geliat keberadaan UMKM di ibukota
adalah bahwa dia tumbuh dalam berbagai bentuk varian
dan kondisi. Dari mulai yang berjualan di pinggir jalan secara
rutin, memanfaatkan “pasar-pasar kaget” seperti “pasar
jum’atan” di sekitar masjid-masjid besar setelah sholat
jum’at, “pasar mingguan” di beberapa kawasan tertentu
memanfaatkan warga yang berolahraga, “real street
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
113
vendor” yang berjualan di depan pasar tradisional, “pasar
kantoran” yang berjualan disekitar kawasan perkantoran,
pedagang yang memiliki kios di pasar tradisional maupun
semi modern, sampai pedagang yang dibina dalam suatu
lokasi khusus. Untuk kelompok yang terakhir ini, beberapa
perusahaan swasta maupun BUMN bahkan terlibat
khususnya untuk jenis “pasar kantoran”. Kesemua jenis
varian ini bersama-sama memutar roda ekonomi ibukota
dengan UMKM sebagai pelaku utama dengan turn over
yang cukup tinggi. Belum lagi berbagai jenis usaha rumah
tangga maupun industri mikro dan kecil yang banyak
tersebar di kawasan pemukiman maupun lokasi khusus
industri kecil seperti di Perkampungan Industri Kecil
(PIK). Bahkan saat ini ada kelompok pedagang kecil yang
menggelar pasar secara berpindah-pindah dari kampung
ke kampung dan menimbulkan geliat ekonomi baru di
kawasan pemukiman tersebut. Berkembangnya berbagai
“trade center”, “pusat grosir”, “junction” “square” juga
turut mendorong berkembangnya UMKM khususnya
sektor perdagangan. UMKM juga bisa “menyombongkan
diri” karena lokasi usahanya menggunakan nama-nama
asing tersebut, tidak kalah dengan toko-toko besar dengan
produk impor berharga mahal.
Para pelaku UMKM mungkin berpikir bahwa usaha
mereka dijalankan hanya sekedar untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarga. Namun secara tidak disadari,
geliat ini sangat penting bagi perekonomian makro
daerah, bahkan penerimaan daerah (PAD). Secara makro,
Menggeliatkan UMKM di Jakarta
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menempatkan Ekonomi Kerakyatan di Ibukota
114
geliat ini tentu saja ditunjukkan dengan perputaran
omset dan uang yang tinggi dan penyerapan tenaga kerja.
Data Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta menunjukan bahwa
keberadaan UMKM tidak hanya mempunyai peranan
penting dalam menstabilkan pertumbuhan ekonomi di
Jakarta, melainkan juga turut berperan dalam mengurangi
tingkat pengangguran. Setiap UMKM mampu menyerap 5
sampai 15 tenaga kerja. Pada sektor industri pengolahan
atau usaha boga (katering, rumah makan) bahkan bisa
menyerap sampai 50-70 tenaga kerja. Ditengah hampir
tidak ada lagi tempat bagi industri besar di Jakarta
(kecuali di kawasan industri), tingkat kesempatan kerja di
DKI pada tahun 2008 mencapai 87,83 persen, meningkat
di tahun 2009 mencapai 87,85 % dan meningkat kembali
di tahun 2010 menjadi 88,94 %. Kita semua harus selalu
optimis tahun 2011 juga akan mengalami kenaikan
bila keberadaan UMKM baru terus dilakukan melalui
pembinaan di sisi pengemasan produk, pelatihan ekspor
UMKM, serta pelatihan pemasaran beserta promosi
produk melalui teknik hubungan masyarakat.
K alau melihat fakta dan data bahwa UMKM
di Jakarta telah memberi kontribusi dalam
menggerakkan perekonomian penduduk dan
daerah serta menyerap tenaga kerja, apakah layak jika
UMKM di ibukota masih diabaikan begitu saja? Tentu
saja tidak. Pengembangan UMKM di ibukota tetap
Kebijakan untuk Pengembangan
UMKM
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
115
harus didukung dengan kebijakan yang tepat tanpa
perlu mengintervensi usaha yang dilakukan. Kita tentu
harus berterimakasih kepada pelaku UMKM yang sudah
membantu menggerakkan perekonomian ibukota
terutama di tingkat akar rumput. Jakarta memang kota
metropolitan dan kota internasional. Namun, ekonomi
kerakyatan tetap harus dikembangkan karena masih
jutaan penduduk Jakarta yang terlibat di dalamnya.
Pengembangan UMKM di Jakarta paling tidak harus
disertai strategi yang mencakup : 1) penciptaan iklim usaha
dan investasi yang kondusif, 2) peningkatan kemampuan
kewirausahaan, 3) pembiayaan perbankan dan dukungan
penjaminan kredit, 4) Peningkatan Lembaga Keuangan
Mikro dan Layanan KSP/USP Koperasi, 5) Pengembangan
Multi Finance dan Modal Ventura Daerah.
Iklim usaha yang tidak kondusif selama ini masih
menjadi kendala bagi berkembangnya UMKM. Bentuk
hambatan tersebut diantaranya adalah perijinan untuk
formalisasi usaha yang masih rumit dan berbiaya tinggi,
serta berbagai macam pungutan tidak resmi maupun
retribusi yang kadang-kadang tidak tepat penerapannya.
UMKM tetap memerlukan perijinan usaha karena
dengan formalitas usaha yang dimilikinya, peluang untuk
mengembangkan usaha sepert akses ke perbankan,
kerjasama dengan eksportir, bermitra dengan perusahaan
besar akan terbuka. Penelitian yang dilakukan CESS (2003)
menunjukkan lebih dari 50% usaha kecil yang tidak dapat
Menggeliatkan UMKM di Jakarta
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menempatkan Ekonomi Kerakyatan di Ibukota
116
“naik kelas” menjadi usaha menengah karena terbentur
masalah formalitas usaha. Survei yang dilakukan oleh IFC-
The World Bank pada tahun 2010 masih menempatkan
Jakarta diurutan ke -7 dari 14 daerah dalam kemudahan
berusaha.
Salah satu bentuk solusi untuk kendala perijinan usaha
adalah dengan mengembangkan layanan perijinan
terpadu satu pintu (PTSP) dengan prinsip pelayanan yang
mudah, cepat, transparan dan keadilan dalam pelayanan.
Sat ini PTSP telah menjadi kebijakan nasional dalam
memperbaiki iklim usaha dan investasi. Melalui PTSP,
setiap usaha termasuk UMKM akan lebih mudah dalam
memperoleh ijin usaha karena birokrasi perijinan yang
dipangkas, pelayanan yang lebih terpadu dalam satu
lokasi untuk berbagai jenis perijinan yang terkait dengan
kegiatan usaha, proses yang lebih disederhanakan dan
ada kejelasan dan kepastian dalam biaya dan waktu
penyelesaian ijin.
Sejak tahun 2007 sebenarnya Jakarta juga sesudah
mengembangkan PTSP yang dikembangkan di Badan
Penanaman Modal dan Promosi (BPMP) untuk
mempermudah dan mempercepat perizinan usaha.
Bahkan PTSP juga sudah diresmikan Gubernur pada 22
September 2010. Namun sejak awal pengembangannya,
kendala terbesar adalah mengintegrasikan perijinan
yang selama ini masih di berbagai SKPD ke PTSP dalam
pelayanannya khususnya dalam penerimaan permohonan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
117
ijin dan pemrosesan ijin. Bahkan jika mengacu pada
kondisi idealnya, penandatanganan ijin seharusnya juga
sudah dilimpahkan ke unit kerja yang mengelola PTSP.
Masih kuatnya ego sektoral dalam pengelolaan ijin terkait,
menjadi biang keladi utama berlarut-larutnya masalah ini.
Untuk itu, kehadiran payung hukum berupa peraturan
daerah diharapkan dapat memperkuat kelembagaan
dan kewenangan-kewenangan PTSP. Oleh karena itu
kami di Badan Legislasi Daerah DPRD DKI Jakarta sudah
mengagendakan agar Peraturan Daerah tentang PTSP
dapat diselesaikan pada tahun 2011 ini.
Strategi kedua dalam pengembangan UMKM di Jakarta
adalah dengan peningkatan kemampuan kewirausahaan.
Untuk dapat memperoleh pembiayaan dari lembaga
keuangan bank maupun non bank yang mendasarkan pada
kelayakan usaha, maka harus dilakukan pembenahan dan
peningkatan kemampuan di pihak UMKM. Peningkatan
kemampuan kewirausahaan, organisasi, manajemen,
keterampilan teknis usaha yang digeluti, kemampuan
inovasi, manajemen keuangan seperti perencanaan
keuangan, maupun kemampuan menyusun proposal
kelayakan usaha sangat dibutuhkan guna menjadikan
UMKM ataupun wirausaha dengan produktivitas dan daya
saing tinggi. Permasalahan yang kita hadapi saat ini adalah
kurangnya jumlah wirausahawan dengan produktivitas
dan daya saing tinggi. Upaya meningkatkan daya saing
harus dimulai dari mengembangkan kewirausahaan dari
para wirausahawan (pemilik dan pengelola unit usaha)
Oleh karena itu kami di Badan Legislasi Daerah DPRD DKI Jakarta sudah mengagendakan agar Peraturan Daerah tentang PTSP dapat diselesaikan pada tahun 2011 ini.
Menggeliatkan UMKM di Jakarta
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menempatkan Ekonomi Kerakyatan di Ibukota
118
yang telah ada serta menumbuhkan wirausaha atau
minimal unit-unit usaha baru pada sektor-sektor yang
produktif sesuai dengan potensi daerah. Pengembangan
kewirausahaan juga diharapkan akan meningkatkan
daya tahan bangsa, memperluas kesempatan kerja dan
menanggulangi masalah kemiskinan. Kemauan masyarakat
untuk menggeluti wirausaha sebagai penopang utama
kehidupannya ditentukan oleh pemahaman masyarakat
mengenai kewirausahaan, faktor sosial-ekonomi, budaya
masyarakat, dan terbukanya kesempatan usaha.
Faktor penyebab ketidakinginan masyarakat menjadi
wirausahawan adalah perasaan ketiadaan modal,
perasaan tidak berbakat, dan risiko bisnis terlalu besar.
Upaya menyadarkan masyarakat (khususnya kelompok
sasaran potensial, seperti: mahasiswa, generasi muda)
perlu terus dilakukan, terutama mengenai: (1) modal
bukan satu-satunya kunci sukses wirausaha, (2) kesuksesan
wirausaha lebih ditentukan oleh kejelian dan keuletan
wirausaha daripada bakatnya, dan (3) risiko usaha dapat
diminimalisasi dengan cara membuat perencanaan bisnis
yang baik. Kemampuan teknik dan kemampuan bisnis
yang dimiliki masyarakat akan mampu mengubah peluang
usaha menjadi usaha baru yang menguntungkan.
Faktor yang harus dimiliki untuk menjadi wirausahawan
adalah pengalaman dibidangnya, modal yang kuat dan
bakat bawaan. Pengalaman (teknik dan bisnis) merupakan
faktor utama untuk menjadi wirausaha. Penguasaan
kemampuan teknik akan mendorong wirausahawan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
119
untuk melakukan inovasi dan bekerja secara efisien.
Pemberian informasi mengenai arah perkembangan
produk, perkembangan teknologi produksi dan proses
adopsi teknologi akan membantu meningkatkan
kemampuan teknik wirausahawan Indonesia. Upaya
mengangkat, mentransformasikan dan memasyarakatkan
teknologi pedesaan secara tepat akan sangat membantu
kemampuan masyarakat pedesaan untuk berproduksi
secara efisien dengan menggunakan peralatan yang
sederhana, dan sekaligus akan merangsang daya
inovatifnya. Hambatan utama masyarakat untuk menjadi
wirausaha adalah rasa tidak memiliki modal. Pemberian
informasi dan kemudahan akses ke sumber modal dapat
menghilangkan hambatan ini.
Oleh karena itu perlu didorong upaya perbaikan melalui
pembinaan dan pelatihan terhadap pengusaha dan
tenaga kerja untuk menciptakan produk UMKM yang tidak
kalah bersaing dengan produk-produk yang dihasilkan
perusahaan besar. Direncanakan hingga akhir periode
RPJMD 2012, sekitar 5.000 UMKM akan mendapatkan
pelatihan dan dibina untuk menjadi perusahaan mandiri.
Melalui program ini, Dinas Koperasi dan UKM harus serius
menyiapkan sumber daya manusia agar UMKM mampu
menjadi perusahaan yang mandiri dan mampu bersaing
dengan perusahaan besar lainnya dengan memprioritaskan
peningkatan kemampuan manajerial dan keterampilan
SDM para pengusaha UMKM. Ada tiga keterampilan yang
harus diberikan, pelatihan pengemasan produk, pelatihan
Menggeliatkan UMKM di Jakarta
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menempatkan Ekonomi Kerakyatan di Ibukota
120
ekspor UMKM, serta pelatihan pemasaran beserta
promosi produk melalui teknik hubungan masyarakat
yang tepat dan baik. Dari sisi pendidikan formal, saya
berpendapat sudah saatnya kita di Jakarta berfokus
meningkatkan kualitas pendidikan dan sarana belajar di
sekolah kejuruan, termasuk bahkan memberikan bantuan
subsidi khusus untuk siswa di sekolah kejuruan sebagai
bagian upaya mengembangkan calon wirausahawan dan
tenaga kerja terampil. Kurikulum kewirausahaan juga
harus sudah memulai diajarkan di sekolah menengah atas
dan khususnya di sekolah kejuruan.
Strategi ketiga adalah dengan memperluas akses
ke sumber pembiayaan perbankan dan dukungan
penjaminan kredit. Problem pembiayaan
perbankan yang selama ini harus dihadapi UMKM yaitu:
1) Prosedur dan persyaratan perbankan yang terlalu rumit
sehingga pinjaman yang diperoleh tidak sesuai kebutuhan
baik dalam hal jumlah maupun waktu; 2) Kebanyakan
perbankan masih menempatkan aspek agunan material
(colateral) sebagai salah satu persyaratan dan cenderung
mengesampingkan kelayakan usaha; 3) Tingkat bunga yang
dibebankan dirasakan masih tinggi oleh pelaku UMKM;
4) Kurangnya pembinaan, khususnya dalam manajemen
keuangan, seperti perencanaan keuangan, penyusunan
proposal dan lain sebagainya, sehingga meskipun dimasa
lalu pemerintah telah memberikan berbagai skim kredit
Akses ke Sum ber
Permodalan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
121
bagi UMKM tetap saja skim-skim kredit tersebut tidak
terjangkau. Telah pulihnya sektor perbankan, penguatan
sektor keuangan khususnya perbankan dalam pemberian
pembiayaan kepada UMKM perlu ditingkatkan agar
mampu menyediakan pembiayaan kepada UMKM dengan
jumlah yang lebih besar dan jenis yang lebih banyak
dengan prosedur dan persyaratan yang lebih mudah.
UMKM dengan bimbingan pemerintah daerah harus
memanfatkan kelonggaran persyaratan kredit bagi
UMKM dari Bank sebagaimana yang ditentukan oleh
Bank Indonesia dalam hal neraca dan permasalahan
akibat bencana alam. Karena kredit perbankan UMKM
mendasarkan pada kelayakan usaha, maka UMKM harus
melakukan pembenahan dan peningkatan kemampuannya
karena hanya UMKM yang memiliki usaha layak dan
memiliki manajemen dan administrasi rapi yang akan
cepat bisa memanfaatkan kredit perbankan secara lebih
leluasa. Dukungan terjadap akses kredit ke petbankan juga
dapat dilakukan melalui penyediaan lembga penjamin
kredit daerah yang bisa dikembangkan oleh pemerintah
provinsi DKI Jakarta. Penjaminan keuangan adalah suatu
perjanjian pihak ketiga untuk menutup sebagian dari
potensi kerugian kepada pihak yang meminjamkan atas
suatu pinjaman bila pinjaman tersebut tidak bisa dibayar
penuh oleh peminjam. Beberapa daerah sudah memulai
mengembangkan lembaga penjamin kredit daerah untuk
mendukung pengembangan usaha di daerah seperti Jawa
Menggeliatkan UMKM di Jakarta
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menempatkan Ekonomi Kerakyatan di Ibukota
122
Timur dan Jawa Barat yang didukung dengan Pemerintah
Daerah.
Mengandalkan PT. ASKRINDO, yang selama ini sudah
cukup membantu perkreditan UMKM, namun karena
keterbatasan dana dan kemampuannya, layanan
perusahaan penjaminan tersebut dirasakan masih
sangat terbatas. Dengan dukungan lembaga penjamin
kredit, maka terbuka kesempatan bagi perbankan
swasta maupun nasional untuk memberikan pinjaman
bagi UMKM. Salah satu Bank Swasta Nasional misalnya,
akan meningkatkan portofolio kredit usaha kecil melalui
berbagai kerjasama dengan sejumlah pihak terkait. Salah
satu kerjasama tersebut adalah program pengembangan
UMKM melalui koperasi dengan Skim Kredit Primer
untuk Anggota (KKPA), dilakukan bekerjasama dengan
Koperasi Paguyuban Pedagang Mie & Bakso Megapolitan
Indonesia (PPMII). Realisasi kredit UMKM antara lain dari
pelaksanaan linkage program BPR untuk memudahkan
menjangkau UMKM, terutama usaha kecil di daerah
perbatasan Jakarta
Strategi keempat adalah dengan penguatan Lembaga
Keuangan Mikro dan Layanan KSP/USP Koperasi. Lembaga
Keuangan Mikro (LKM atau microfinance) keberadaannya
sangat dibutuhkan bagi masyarakat sekitarnya untuk
keperluan konsumtif maupun UMKM untuk usaha
produktif yang relatif tidak bisa menjangkau lembaga
keuangan formal. Lembaga keuangan mikro jenisnya
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
123
bermacam-macam, ditinjau dari sisi kelembagaan, tujuan
pendirian, budaya masyarakat, program pemerintah atau
sasaran lainnya. Secara umum, lembaga keuangan mikro
di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua jenis,
yaitu formal dan informal.
Namun pengembangan LKM termasuk KSP dan USP
koperasi menghadapi beberapa permasalahan, baik
permasalahan internal maupun eksternal, antara
lain seperti terbatasnya kemampuan sumberdaya
manusia, manajemen, permodalan, masih kurangnya
kepercayaan masyarakat, lemahnya jaringan dan inovasi
dibidang pemasaran, terbatasnya teknologi informasi
yang dimiliki, sistem dan prosedur operasional yang
belum mapan, serta belum optimalnya pengawasan
dan pembinaan dari otoritas yang berwenang. Oleh
karena itu program perkuatan permodalan pola dana
bergulir melalui lembaga keuangan mikro yang telah
dilaksanakan Kementerian Koperasi dan UMKM masih
harus dilanjutkan. Program ini harus diposisikan sebagai
stimulan, dengan tujuan meningkatkan lembaga keuangan
mikro, yaitu meningkatkan layanan KSP/USP koperasi,
sehingga mampu melayani kebutuhan permodalan
UMKM anggotanya secara mandiri. Disamping perkuatan
permodalan pola dana bergulir, untuk meningkatkan
usaha dan pelayanan KSP telah dilakukan kerjasama
penyaluran kredit bank umum kepada UMKM melalui
koperasi yang disebut linkage programe. Masuknya
gerakan koperasi dalam linkage programe merupakan
Menggeliatkan UMKM di Jakarta
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menempatkan Ekonomi Kerakyatan di Ibukota
124
hal yang patut dibanggakan, karena hal ini menunjukkan
meningkatnya kepercayaan pada koperasi, tentu saja
hanya koperasi yang kinerjanya baik yang terpilih dalam
program ini dan dalam pelaksanaannya koperasi harus
benar-benar menjaga amanah.
Strategi kelima adalah pengembangan pembiayaan
Multifinance dan Modal Ventura Daerah. Beberapa sistem
pembiayaan (multifinance) yang dapat dimanfaatkan
UMKM, antara lain: modal ventura, anjak piutang
(factoring), penyewaan (leasing), pegadaian, Program
PKBL BUMN maupun CSR perusahaan multinasional dan
sebagainya. Pemilihannya tergantung UMKM sendiri,
berdasarkan kesesuaian, kemampuan pemenuhan
persyaratan dan prosedur yang ditetapkan masing-masing
lembaga pembiayaan tersebut. Program PKBL BUMN dan
CSR perusahaan multinasional; selama ini telah cukup
mampu membantu pengembangan UMKM di beberapa
sektor. Dengan pengalaman dalam mengembangan usaha
induknya, BUMN dan perusahaan multinasional ini relatif
cukup mampu mengembangkan UMKM binaannya dengan
konsep UMKM binaan yang diberikan keterampilan dalam
manajemen usaha dan terutama melakukan inovasi dalam
usahanya.
Sekali lagi, meskipun Jakarta dihuni oleh puluhan bahkan
ratusan perusahaan besar nasional maupun mancanegara,
fakta menunjukkan UMKM juga tumbuh subur di
Jakarta dan layak untuk mendapat perhatian untuk
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
125
pengembangannya. UMKM tetap menjadi katup pengaman
bagi penyerapan tenaga kerja terutama di sektor informal
maupun semi formal, termasuk di ibukota. Oleh karena
itu tetap diperlukan kebijakan dan strategi yang tepat
dalam pengembangan UKM di Jakarta sebagai bagian
dari entitas ekonomi penting di Jakarta. Bahkan UMKM
yang bergerak di sektor boga (kulinari) telah menjadi
bagian tersendiri dalam pengembangan pariwisata dan
gaya hidup masyarakat dengan berkembangnya berbagai
model wisata kuliner.
Menggeliatkan UMKM di Jakarta
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
126
Pasar Tradisional merupakan infrastruktur ekonomi
daerah. Walau berperan sebagai pusat kegiatan
distribusi dan pemasaran, keberadaannya kian
menurun akibat kalah daya saing dengan perpasaran
swasta modern. Ada beberapa faktor penyebab hal
tersebut. Faktor internal antara lain adalah: buruknya
pengelolaan, tata letak dan manajemen arus kas, serta
pembiayaan yang membuat pasar tradisional kurang
mampu berkompetisi dengan perpasaran modern swasta;
buruknya infrastruktur khususnya bangunan fisik yang
tidak terawat, becek, kotor dan umumnya rusak berat;
serta buruknya proses panjang birokrasi, perizinan, pungli
serta akses kredit kepemilikan kios. Sementara faktor
eksternal diantaranya; trend perilaku konsumen yang
bergeser ke pasar modern akibat perubahan gaya hidup
ala masyarakat perkotaan; tuntutan konsumen yang lebih
memilih tingkat kepuasan, kenyamanan dan keamanan
dalam berbelanja; menjamurnya mini market modern,
retail dan convenience store sebagai pilihan tempat
belanja masyarakat dengan sistem dan teknologi modern;
melemahnya penegakan peraturan serta minimnya
keberpihakan regulator dalam mengelola dan memberi
perhatian kepada pasar tradisional.
Menyelamatkan Pasar Tradisional
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
127
Menyelamatkan Pasar Tradisional
Berbagai data yang terangkum di bawah ini
merefleksikan kondisi pasar tradisional yang kian
memprihatinkan, diantaranya survey AC Nielsen
di tahun 2004 mengenai pertumbuhan pasar modern
(termasuk hypermarket) sebesar 31,4%, sementara
pertumbuhan pasar tradisional – (minus) 8,1%. Hasil
penelitian AC Nielsen tahun berikutnya menyatakan
bahwa penjualan produk kebutuhan sehari-hari di pasar
tradisional kembali mengalami penurunan sebesar 2%,
sehingga pangsa pasarnya pada 2005 menjadi hanya 67,6%.
Survei AC Nielsen atas 51 kategori produk kebutuhan
sehari-hari (consumer goods) juga menunjukkan bahwa
pangsa pasar tradisional telah termakan oleh ritel modern
berformat minimarket.
Survei Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI)
di Jakarta menunjukkan bahwa dari 11 pasar tradisional
yang disurvei, sekitar 90% kiosnya sudah tidak beroperasi.
Pasar tersebut adalah Pasar Sinar, Pasar Kramat Jaya, Pasar
Cilincing, Pasar Muncang, dan Pasar Prumpung Tengah
di Jakarta Utara. Lalu, Pasar Blora di Jakarta Pusat, Pasar
Cipinang Besar dan Pasar Kelapa Gading di Jaktim, Pasar
Sawah Besar di Jakarta Barat, Pasar Karet Pedurenan dan
Pasar Cidodol di Jaksel.
Hal yang agak mencengangkan adalah hasil verifikasi Biro
Perekonomian Provinsi DKI Jakarta pada awal tahun 2011
yang mengindikasikan bahwa dari 112 minimarket yang
ada di Jakarta Pusat saja, terdapat 94 mini market yang
Pasar dan Pedagang Tradisional yang Makin Terpuruk
Survei Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) di Jakarta menunjukkan bahwa dari 11 pasar tradisional yang disurvei, sekitar 90% kiosnya sudah tidak beroperasi.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menempatkan Ekonomi Kerakyatan di Ibukota
128
tidak memiliki izin Sudin Koperasi alias illegal. Di Jakarta
Barat tercatat 311 unit namun hanya 124 unit yang tercatat
berizin dari Sudin. Artinya, lebih 60% minimarket di Jakarta
Barat menyalahi aturan. Belum lagi di Jakarta Utara, Timur
dan Selatan dengan cakupan wilayah paling luas serta
cenderung memiliki densitas kepadatan penduduk yang
tinggi. Hal ini menunjukan minimnya keberpihakan aparat
terhadap pasar tradisional, akibat faktor rent-seeking
dengan melakukan pembiaran atas menjamurnya pasar
modern di luar aturan yang berlaku.
Berdasarkan Data Komnas HAM per April 2010, pasar
tradisional di Indonesia saat ini mencapai 13.450 pasar.
Secara keseluruhan, terdapat 12,62 juta pedagang
pasar. Berdasarkan hasil riset pula, perkembangan pasar
tradisional telah tumbuh secara negatif sebesar 8 %.
Bahkan, ada pasar tradisional yang mengalami penurunan
omzet penjulan hingga mencapai 75 %. Sedangkan, pasar
modern tumbuh secara positif sekitar 31,4 %. Terkait
dengan issue tenaga kerja secara nasional, data terakhir
menunjukkan tenaga kerja sektor formal menurun hingga
1,4%. Sementara, sektor informal seperti wiraswasta
ataupun pedagang kaki lima (PKL) tumbuh diatas 7%.
Pengangguran di sektor formal ditampung ke sektor
informal. Padahal, sektor informal ini rentan terhadap
perlindungan sosial, bahkan kelak akan timbulkan risiko
meningkatnya kemiskinan dan kriminalitas terutama di
ibu kota. Oleh karena itu revitalisasi pasar tradisional
menjadi penting, apalagi di DKI Jakarta .
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
129
Adapun beberapa usulan konstruktif dan progresif
yang harus segera diusung oleh Pimpinan Jakarta
serta berbagai pihak dalam rangka melakukan
revitalisasi pasar tradisional. Pertama, harus ada program
terpadu untuk pengelolaan pasar yang lebih profesional
meliputi perubahan mindset dan karakter konvensional
pedagang melalui program edukasi Pemda, meliputi
ketrampilan tentang tata letak dan manajemen arus
kas, akses pembiayaan, unsur kepuasan, kenyamanan
dan keamanan berbelanja. Peningkatan kualitas service
excelence yang memberikan hasil peningkatan omzet dan
kesejahteraan pedagang serta kepuasan pembeli.
Tahap kedua, yang juga sangat urgen adalah kebijakan
pengaturan pembagian area (Zoning) antara pasar tra-
disional dan pasar modern. Contoh yang baik sebagaimana
dijelaskan dalam rilis publikasi KPPU, telah dilakukan
di Thailand yang memberlakukan undang-undang ritel
Royal Decree for Retail Act, berisi aturan zona, jam buka,
harga barang, dan jenis ritel. Thailand memberlakukan
UU ini setelah lima tahun keberlangsungan hypermarket
disana mengklaim bahwa bisnisnya berhasil memberikan
lapangan kerja bagi masyarakat setempat hingga 20.000
orang tenaga kerja. Tetapi pada periode yang sama, dari
20 pasar tradisional yang ada di Bangkok dan sekitarnya,
kini hanya tersisa dua gerai karena nasibnya sama dengan
sejumlah UKM yang tergilas oleh ritel raksasa dengan
trade-off pengangguran yang ditimbulkan mencapai
300.000 orang.
Usulan Revitalisasi Pasar Tradisional
Harus ada program terpadu untuk pengelolaan pasar yang lebih profesional meliputi perubahan mindset dan karakter konvensional pedagang.
Menyelamatkan Pasar Tradisional
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menempatkan Ekonomi Kerakyatan di Ibukota
130
Dengan adanya UU tersebut maka Bangkok membagi
zona perdagangan. Misalnya southwest zone [zona barat
daya], southeast zone [zona tenggara], northeast zone
[zona timur laut] sehingga dapat ditarik garis vertikal dan
horizontal untuk menentukan zona satu, dua, tiga, empat
dan lima. Setiap zona diperuntukkan bagi format ritel
tradisional tertentu agar tidak terjadi ketimpangan.
Salah satu isi dari UU ritel Thailand yakni penerapan
zona atau tempat usaha satu jenis ritel modern, seperti
hypermarket berada pada zona empat atau lima,
sedangkan zona satu hingga tiga hanya diperuntukkan
untuk warung tradisional dan toko ritel modern. Terdapat
pula aturan zona, juga melarang pusat perbelanjaan atau
toko berskala besar pada daerah padat arus lalu lintas guna
mengeliminasi potensi kemacetan. Model pemberdayaan
usaha kecil ritel di Thailand dilakukan antara lain dengan
mendirikan perusahaan negara non-profit Allied Retail
Trade Co.(ART Co) dengan modal kerja sekitar US$9,1
juta. Perusahaan tersebut bertugas melakukan pembelian
barang dari pabrikan dan kemudian disalurkan kepada
jaringan toko-toko kecil dan warung tradisional lainnya.
Bank di Thailand juga memberi kemudahan kredit bagi toko
tradisional yang memodernisasi tokonya. Di Perancis, juga
telah dibuat peraturan yang melarang lokasi hypermarket
di tengah kota, untuk mengatasi semakin tergusurnya
warung tradisional di negara itu karena keberadaan ritel
yang besar. Begitu pula halnya dengan Malaysia yang
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
131
telah membuat peraturan distribution fair trade guna
melindungi pasar tradisional.
Tahap ketiga sebagai aplikasi yang konkrit dari sisi
regulasi, Pemda DKI bersama-sama DPRD harus segera
merevisi Perda Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran
Swasta. Dalam Perda Nomor 2 Tahun 2002 disebutkan,
mini swalayan maksimal memiliki luas 4 ribu meter
persegi. Usaha perpasaran swasta dengan luas 100
hingga 200 meter persegi harus berjarak 500 meter
dari pasar lingkungan atau pasar tradisional. Untuk
waktu penyelenggaraan, juga dibatasi mulai pukul 9
pagi hingga 10 malam. Namun, pada kenyataannya saat
ini tumbuh ribuan minimarket di Jakarta dan beberapa
diizinkan beroperasi 24 jam. Bila dibiarkan, kondisi ini
akan mengancam pasar tradisional dan usaha warung
kecil di pemukiman. Dampak sosial akibat potensi usaha
yang hilang di sektor informal tersebut adalah munculnya
kriminalitas di lingkungan DKI Jakarta. Terdapat berbagai
model perlindungan yang umumnya dikembangkan,
misalnya dengan mengatur masalah pokok sebagaimana
disebutkan sebelumnya yakni seperti zonasi, pembatasan
luas penjualan ritel modern, penguatan jalur distribusi
yang berdampak pada harga, dan waktu buka. Hal inilah
yang harus diimplementasikan dengan sebaik-baiknya
oleh Pemerintah Daerah. Dari berbagai keluhan yang
muncul, sangat tampak justru permasalahan utama
adalah lemahnya penegakan hukum terhadap berbagai
Menyelamatkan Pasar Tradisional
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menempatkan Ekonomi Kerakyatan di Ibukota
132
peraturan yang ditujukan bagi pengaturan ritel seperti
aturan tentang zonasi (Rancangan Tata Ruang Wilayah),
waktu penyelenggaraan dan sebagainya.
Upaya progresif sudah mulai dilakukan, diantaranya terkait
respon atas maraknya minimarket yang melanggar Perda
Nomor 2 Tahun 2002 dan Instruksi Gubernur Nomor 115
tahun 2006 atas masukan dari DPRD, Pemerintah Daerah
telah melakukan penyetopan perizinan minimarket di
Wilayah Jakarta. Hal ini menunggu proses lagislasi tentang
pengaturan jarak antar minimarket dan jarak antara
minimarket dengan pasar tradisional serta pembatasan
waktu penyelenggaraan yang harus dicantumkan dalam
revisi Perda Nomor 2 Tahun 2002 tersebut. Saat ini upaya ke
arah tersebut sudah dilakukan oleh legislatif melalui Badan
Legislatif Daerah (Balegda) DPRD DKI Jakarta yang sudah
mengagendakan pembahasan revisi Perda perpasaran ini
pada tahun 2011 ini. Balegda akan memastikan bahwa
pengaturan jarak dan zonasi pasar modern ini untuk
memberikan keadilan bagi pengembangan pasar dan
pedagang tradisional.
Beberapa pasal yang akan dibahas dalam agenda revisi
Raperda Perpasaran misalnya tentang pengklasifikasian,
pembagian wilayah operasi, serta pembatasan jam operasi
yang mengakomodir kepentingan dan keberpihakan yang
memprioritaskan pasar tradisional, lalu toko swalayan dari
yang kecil, menengah, hingga besar, kemudian terakhir
adalah penataan pusat perbelanjaan dan grosir besar.
Balegda akan memastikan bahwa
pengaturan jarak dan zonasi pasar modern ini untuk
memberikan keadilan bagi pengembangan pasar dan pedagang
tradisional.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
133
Secara khusus, toko swalayan dan pusat perbelanjaan
akan dibatasi untuk tidak berada di kawasan pelayanan
lokal atau lingkungan dalam kota.
K eempat, Perlunya dilakukan monitoring terhadap
penegakan aturan, keberpihakan dan kerjasama
terintegrasi para aparat terkait dalam mengelola
pasar tradisional. Pengawasan ini dimulai dari Pemerintah
Daerah hingga Pemerintah Pusat, yang melibatkan
beberapa kementerian terkait. Bahkan instansi pemerintah
dibidang pariwisata mauoun bidang komunikasi dan
informasi perlu ikut mendukyng pengembangan pasar
tradisional ini dalam konteks menjadikannya sebagai
bagian dari pengembangan pariwisata. Selama ini, upaya
yang dilakukan berbaga komunitas di masyarakat melalui
informasi di internet maupun jejaring sosial justru lebih
menonjol dalam mempromosikan berbagai kawasan
wisata kuliner di pasar tradisional.
Kelima, adalah langkah dari sisi anggaran dengan menga-
lokasikan anggaran perbaikan infrastruktur, khususnya
bangunan fisik serta sarana prasarana pasar tradisional
yang baik meliputi lahan parkir, selasar, penerangan,
kebersihan, sirkulasi udara, toilet, dll agar tampilannya
mampu menarik dan membuat betah calon pembeli pasar
tradisional. Program ini tidak melulu harus dilakukan oleh
anggaran pemerintah sendiri melainkan dapat dibantu
Pasar Tradisional dan Promosi Pariwisata
Menyelamatkan Pasar Tradisional
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menempatkan Ekonomi Kerakyatan di Ibukota
134
oleh program inisiasi dan kerja sama dengan program
sponsorship perusahaan ritel raksasa atau multinasional,
atau melalui Corporate Social Responsibility (CSR)
perusahaan tersebut.
Keenam, Perlunya upaya untuk menciptakan dan
memberikan insentif bagi terbentuknya ’brand-image’
pasar yang khas dan spesifik agar dapat tersebar lebih
banyak lagi di lokasi-lokasi di Jakarta. Secara riil hal ini
telah ada dan eksis sejak lama dan senantiasa menarik
pembeli. Misalnya Pasar Rawa Bening Jatinegara sebagai
’Pusat Batu Aji’, Pasar Cikini Hias Rias sebagai ’Pasar
Perdagangan Emas’, Pasar Tanah Abang dan Pasar Cipulir
sebagai ’Pusat Tekstil dan Garment’, Pasar Asem Reges
sebagai ’Pusat Sparepart dan Onderdil Otomotif’, Pasar
Induk Kramat Jati sebagai ’Pusat Sayuran dan Buah-
Buahan’, Pasar Pramuka sebagai ’Pusat Alat Medis dan
Obat’, Pasar Sumenep sebagai ’Pusat Ikan Hias dan
Aquascaping’, dan Pasar Barito sebagai ’Pusat Petshop’.
Masih teramat banyak potensi pasar khas dan spesifik
yang dapat dibentuk di berbagai wilayah Jakarta dengan
kekayaan metropolitannya, misalnya; pasar kuliner dan
jajanan khas daerah, Pasar Ramadhan dan Hari Raya, pasar
kerajinan dan budaya, pasar barang bekas berkualitas,
serta pasar khas lainnya sebagaimana praktek di luar
negeri di Orchard Road Singapura, Lady’s market dekat
Nathan Road, Causeway Bay, dan Wan Chai di Hongkong
dan seterusnya.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
135
Ketujuh adalah program pendukung dengan kemudahan
akses grosir dan kredit, meliputi akses kerja sama dengan
grosir besar dalam hal pengadaan produk pada harga
yang kompetitif serta program insentif dan akses lembaga
ke uangan mikro untuk pembiayaan/kredit pedagang
pasar tradisonal. Kedelapan, adalah dukungan regional
Mega politan dengan membangun pasar induk untuk
channel distribution buffer (penyangga) perbatasan luar
Jabodetabek sebagai upaya memperlancar arus distribusi
guna menjamin ketersediaan barang dan kestabilan harga.
Kesembilan, membangun pola komunikasi dan senan-
tiasa bersinergi dengan asosiasi yang ada di pasar, se-
perti; Asparindo, Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional
Indonesia (APPTI), dll. Pemerintah Daerah harus dapat
memberdayakan berbagai asosiasi serta kumpulan pelaku
pasar tradisional dan senantiasa mengarahkan agar mampu
bersaing dengan pasar modern. Berbagai pelatihan,
tambahan permodalan, akses terhadap kredit, penguatan
dalam pasokan distribusi, bimbingan manajemen,
penataan lokasi tata letak berjualan yang menarik dan pola
pikir yang berotientasi pada kepuasan pelanggan. Selama
ini justru hal ini luput dilakukan Pemerintah, terungkap
dari data yang dikumpulkan APPSI, saat ini sekitar 75%
dari 13.650 pasar tradisional yang dihuni oleh 12 juta
pedagang kecil kondisinya dinilai sudah tidak layak untuk
berdagang. Agar pasar tradisional tidak ditinggalkan oleh
konsumen, maka pasar tradisional harus mengikuti kaidah
Menyelamatkan Pasar Tradisional
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menempatkan Ekonomi Kerakyatan di Ibukota
136
pengelolaan ritel modern
meskipun cara berdagangnya
tetap tradisional, yakni dengan
mekanisme pembentukan
harga yang kompetitif (melalui
bargain, tawar-menawar ala
tradisional) sebagai pola pasar
persaingan sempurna yang
sebenarnya.
Gagasan revitalisasi pera-
tur an perpasaran ini ha-
rus disemangati oleh prinsip keseimbangan. Dalam
menumbuhkan persaingan sehat antara kepentingan
pelaku usaha dengan kepentingan umum dengan adanya
pembinaan dan pemberdayaan usaha kecil menengah
agar memiliki daya saing yang tinggi dan dapat berusaha
secara berdampingan dengan usaha menengah besar,
serta perlu adanya upaya untuk mengefektifkan
pelaksanaan peraturan dan langkah-langkah kebijakan
yang meliputi kebijakan lokasi dan tata ruang, perijinan,
jam buka dan lingkungan sosial. Prinsip Keseimbangan
dilandasi oleh salah satu tujuan UU No 5 Tahun 1999,
yang menyatakan “mewujudkan iklim usaha yang kondusif
melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga
menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang
sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah
dan pelaku usaha kecil”. Hal ini antara lain diwujudkan
sekali lagi dalam bentuk penciptaan sejumlah entry
Perlu adanya upaya untuk mengefektifkan
pelaksanaan peraturan dan langkah-langkah
kebijakan yang meliputi kebijakan lokasi dan tata
ruang, perijinan, jam buka dan lingkungan
sosial.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
137
Menyelamatkan Pasar Tradisional
barrier bagi usaha ritel modern untuk secara fair
bersaing dengan pasar tradisional seperti aturan zonasi,
waktu buka toko, persyaratan perizinan yang dipersulit,
kewajiban melakukan kemitraan, atau pola corporate
social responsibility dan sebagainya.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
140
‘Macet’ sebenarnya hanyalah sebuah kata,
sama dengan kata-kata lainnya. Namun
‘macet’ kini bukan lagi sekedar kata yang
menggambarkan suatu kondisi insidental. Dia bahkan
sudah menjelma menjadi gambaran sehari-hari kehidupan
kota Jakarta. Dan karena terlalu sering mengalami, maka
kita akhi rnya terpaksa ‘akrab’ dengan kemacetan yang
kian hari kian tidak tertahankan. Indikator kemacetan
yang kita rasakan adalah bahwa kini waktu tempuh dari
rumah untuk menuju kantor atau pulang dari kantor
menuju ke rumah semakin bertambah lama. Kecepatan
kendara an kita dalam menyusuri jalanan Ibukota semakin
rendah, walau teknologi kendaraan semakin canggih dan
kondisi jalan yang relatif baik. Dalam situs allworldcars.
com ternyata Jakarta ditempatkan di urutan 14 sebagai
kota termacet di dunia. Dari data yang dimiliki Dinas
Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta diperoleh informasi
bahwa luas jalan di Jakarta hanya mencapai 6,4 persen
dari total luas wilayah, prosentasenya hanya separuh dari
Singapura yang luas jalannya mencapai 12 persen dari
total luas wilayah.
Transportasi Publik Handal sebagai Prioritas
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
141
Transportasi Publik Handal sebagai Prioritas
Lalu-lintas di Jakarta didominasi oleh kendaraan
pribadi. Jumlah angkutan umum (bus) hanya
4%, sepeda motor 67%, dan mobil pribadi 23%
(Polda Metro Jaya, 2006). Pertumbuhan kendaraan dalam
lima tahun terakhir mencapai 9.5% per tahun (paparan
Dirjen Bina Marga ke KKPPI tanggal 18 Desember 2007).
Proporsi volume lalu-lintas pada beberapa koridor utama
adalah: sepeda motor 60%, sedan 32%. Angkutan umum
(mobil penumpang umum-MPU, bus sedang, dan bus
besar) 5% (Kedeputian V Menko Perekonomian, 2007).
Pada sisi lain, permintaan angkutan umum lebih besar dari
permintaan angkutan pribadi. Pengguna angkutan umum
sekitar 54.7%, dimana 52.7% menggunakan bus (bus besar,
bus sedang, dan mikrobus) dan 2% menggunakan kereta
api (SITRAMP, 2004). Pengguna angkutan umum sebagian
besar adalah masyarakat berpenghasilan rendah (64.5%)
dan masyarakat berpenghasilan menengah (52.8%)
(SITRAMP, 2004). Berdasarkan data Polda Metrojaya,
sampai saat ini jumlah kendaraan di Jakarta mencapai
11.362.396 unit kendaraan. Rinciannya, 8.244.346 unit
kendaraan roda dua dan 3.118.050 unit kendaraan roda
empat. Jumlah kendaraan ini setiap tahunnya meningkat
dengan pertumbuhan mencapai 15 persen per tahun,
padahal pertumbuhan ruang jalannya hanya 0,01 persen
per tahun. (Bataviase.co.id, 8 Desember 2010).
Berdasarkan data Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tercatat
70 persen dari rumah tangga setidak-tidaknya memiliki
Lalu-lintas Eksisting dan Kemacetan yang Ditimbulkan
70 persen dari rumah tangga setidak-tidaknya memiliki satu sepeda motor. Per harinya total komuter mencapai 20,7 juta.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Transportasi publik Nyaman untuk Warga
142
satu sepeda motor. Per harinya total komuter mencapai
20,7 juta. Dari total perjalanan tersebut 56,8 persennya
merupakan perjalanan menggunakan motor dan mobil
pribadi. Penambahan jumlah kendaraan di Jakarta per
harinya, 1.000 unit untuk motor dan 200 unit untuk mobil.
(Kompas, 22 Maret 2011)
Data primer lalu-lintas yang dihimpun oleh sebuah
konsultan pada Mei 2011 di jalan arteri Gatot Subroto arah
dari Semanggi ke Pancoran dengan titik penghitungan di
depan Graha BIP atau samping Gerbang Tol Semanggi 2,
menunjukkan bahwa jumlah lalu-lintas pada hari Senin
mencapai 176.304 kendaraan, dan didominasi oleh sepeda
motor 105.076 kph (59,6%) dan kendaraan roda empat
angkutan penumpang (pribadi/dinas/taxi) sebesar 66.469
kph (37,7%), dan sisanya adalah kendaraan angkutan
umum 2.497 kph (1,42%) dan kendaraan angkutan barang
sebesar 2.262 kph (1,28%). Di sini taxi tidak dimasukkan
sebagai angkutan umum karena tidak mempunyai trayek
atau rute tetap. Karena data ini dihitung di arteri samping
gerbang tol Semanggi 2, berarti angkutan umum (bus)
yang masuk ke Gerbang tol tidak terhitung. Data ini juga
tidak menghitung jumlah bus Transjakarta Koridor 9.
Seandainya bus yang masuk di Gerbang Tol Semanggi 2
dan bus Tranjakarta koridor 9 tersebut dihitung, tetap
saja proporsi angkutan umum tidak akan melonjak
drastis. Data ini semakin menegaskan bahwa memang
angkutan umum di Jakarta hanya di kisaran maksimal 2%
saja terhadap keseluruhan kendaraan bermotor. Jika arus
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
143
lalu-lintas pada jam puncak adalah 8% terhadap volume
lalu-lintas sehari, maka berarti lebar jalan yang hanya 10
meteran tersebut (3 lajur) dalam satu jam terpaksa harus
bisa dilintasi oleh 14.104 kpj atau setara dengan 7.729
smppj. Padahal kapasitas jalan tersebut tak lebih dari
5000 smppj karena satu lajur digunakan khusus busway.
Kesimpulannya adalah volume lalu-lintas jauh melebihi
kapasitas jalannya. Dan ini adalah fakta tentang kemacetan
yang ditimbulkan oleh ‘bertumpahannya’ kendaraan di
jalanan ibukota.
Pilihan yang ada adalah menambah luas jalan,
menata prasarana lalu-lintas (supply management)
dan atau mengurangi kendaraan yang melintas
dan menata sarana lalu-lintas (demand management).
Ibarat timbangan, saat ini demand jauh lebih berat dari
supply. Untuk menyeimbangkan timbangan, bisa dengan
menambah supply dan atau mengurangi demand. Untuk
kondisi Jakarta, dengan berbagai pertimbangan maka
demand management harus didahulukan sehingga
kendaraan yang melintasi jalan berkurang. Salah satu
strateginya adalah memindahkan pilihan orang dari
kendaraan pribadi (yang dari hasil survey tingkat
okupansinya hanya 1,7 orang per kendaraan) ke kendaraan
massal dan cepat yang kapasitasnya bisa mencapai
ratusan orang per kendaraan agar jumlah kendaraan yang
melintas berkurang.
Strategi dalam Mengurai Kemacetan
Transportasi Publik Handal sebagai Prioritas
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Transportasi publik Nyaman untuk Warga
144
Kita sadar bahwa pembenahan transportasi adalah tugas
seluruh anak bangsa, bukan hanya tugas pemerintah. Kita
sadar bahwa masyarakat juga harus berpartisipasi. Kalau kita
sebagai pengemudi angkot atau metromini misalnya, harus
menyadari untuk tidak berhenti sembarangan menunggu
penumpang seenaknya. Jika kita sebagai penyeberang
jalan misalnya, harus menyadari untuk tidak hilir-mudik di
jalanan sekitar mall dan menghambat arus kendaraan gara-
gara menyeberang di sembarang tempat dan justru tidak
menggunakan penyeberangan yang telah disediakan.
Dari sisi pemerintah, kita ingat terobosan yang sudah
dilakukan oleh Pemprov adalah dengan mengatur jam masuk
sekolah pada Januari 2009. Kalau mau jujur, sebenarnya bukan
anak sekolahnya yang bikin macet, tapi para pengantarnya
yang menggunakan kendaraan pribadi itulah yang bikin
macet. Apakah aturan yang pada awal implementasi cukup
memberatkan pelajar ini bermanfaat? program ini memang
efisien tapi apakah cukup efektif? Apa kabar dengan program
monorail yang sudah dimulai pembangunannya beberapa
tahun yang lalu tapi kini terbengkalai? Lalu apa kabar dengan
program ’waterway’ yang pernah diujicobakan? Apa kabar
juga dengan program ’Three in One’ yang dalam kenyataan
satu atau dua penumpangnya hanyalah joki? Sesungguhnya
banyak cara dan banyak pilihan, namun harus pintar memilih
dan memilah skala prioritas dengan melihat mana yang
efektif dan efisien dalam mengurai kemacetan. Sebenarnya
bila sarana dan fasilitas umum dipenuhi, kemacetan Jakarta
ini akan terurai. Sarana dan fasilitas umum dimaksud antara
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
145
lain trotoar yang memadai, jalur sepeda, dan angkutan
massal.
Karena kemacetan Jakarta yang kian parah dan Pemprov
DKI Jakarta belum memberi solusi yang memadai akhirnya
’memaksa’ Wakil Presiden menginstruksikan 17 langkah
komprehensif yang bersifat lintas sektoral, lintas wilayah,
dan lintas kementerian. Mulai dari langkah jangka pendek
seperti penerapan electronic road pricing (ERP), sterilisasi
jalur busway, harga gas khusus transportasi, penertiban
kendaraan yang parkir di bahu jalan dan angkutan umum
di titik tunggu penumpang, restrukturisasi angkutan
umum yang tidak efisien, sampai langkah-langkah jangka
menengah-panjang seperti pembatasan penggunaan
kendaraan bermotor, mempercepat pembangunan mass
rapid transit (MRT), mengoptimalkan KRL Jabodetabek,
proyek double track jalur kereta api ke arah Cikarang, enam
ruas jalan tol layang dalam kota, hingga revisi rencana
induk transportasi terpadu dan pembentukan otoritas
transportasi Jabodetabek (Koran Tempo, 3 September
2010).
Langkah pemerintah pusat mengambil alih masalah
kemacetan adalah hal yang positif. Namun berbagai
kesalahan dan kegagalan yang telah dilakukan pemerintah
provinsi tidak selayaknya diulang kembali. Jakarta
membutuhkan kebijakan yang integral dan menyentuh
akar permasalahan agar efektif mengurai kemacetan,
sekaligus akan menjadi benchmark bagi kota-kota besar
lain yang juga akan menghadapi ancaman yang sama
Transportasi Publik Handal sebagai Prioritas
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Transportasi publik Nyaman untuk Warga
146
dalam 5-10 tahun ke depan, seperti Bandung, Surabaya,
Medan, Makassar, dan Semarang. Kalau demikian,
pertanyaannya sekarang adalah apa yang sebaiknya harus
menjadi prioritas?
Terkait dengan Instruksi Wakil Presiden tersebut
di atas, ada masalah struktural menyangkut
kemacetan yang luput dari perhatian. Pertama
adalah segregasi fungsional antara daerah bisnis/
perkantoran dengan daerah permukiman. Kelompok
pekerja menengah-bawah yang merupakan kelompok
terbesar di Jakarta, terpaksa bertempat tinggal menyingkir
jauh di luar kota seperti Bogor, Depok, Tangerang dan
Bekasi karena tidak sanggup mengakses kebanyakan
hunian di Jakarta yang terlalu mewah dan otomatis tidak
terjangkau kantong mereka. Segregasi fungsional ini harus
dibayar mahal, diantaranya adalah jauhnya penduduk dari
tempat kerja sehingga memunculkan kebutuhan yang
sangat besar terhadap transportasi dan infrastrukturnya.
Masalah struktural berikutnya adalah kebijakan
transportasi kota yang sejak awal telah salah karena
menggantungkan diri pada transportasi berbasis jalan,
dan bukannya menjadikan angkutan massal sebagai
prioritas andalan dalam pembangunan transportasi.
Buruknya lagi adalah bahwa Jakarta tidak memiliki sistem
transportasi makro yang bersifat cepat, massal, handal
dan terjangkau. Kesan pertama dan umum yang muncul
Prioritas pada Peningkatan
Pelayanan Busway, Revitalisasi KRL
dan Pembangunan MRT
Jakarta tidak memiliki sistem transportasi makro yang bersifat
cepat, massal, handal dan terjangkau.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
147
terhadap angkutan umum di Jakarta (di luar Transjakarta)
adalah kurang aman dan kurang nyaman.
Masalah segregasi fungsional dan kesalahan dalam
kebijakan transportasi ini berakibat pada membanjirnya
kendaraan pribadi di jalan karena angkutan umum yang
ada sangat minim dari sisi kuantitas. Dampak yang pasti
dari kondisi demikian adalah timbulnya kemacetan dan
polusi serta pemborosan energi.
Meskipun menjadi yang terpanjang di dunia (172,4 km
-red), Transjakarta Busway baru bisa dibanggakan dalam
hal kuantitas. Sedangkan dalam kualitas, Transjakarta
belum dapat dibanggakan sebagai angkutan massal
cepat (mass rapid transit) berbasis bus. Kapasitas sistem
jaringan yang hanya 4.000 penumpang per jam per arah
(passenger per hour per direction/ pphpd) terlalu kecil
jika dibandingkan dengan moda sejenis di kota-kota besar
lain di dunia, apalagi dibandingkan dengan Bogota yang
menjadi induk belajarnya. Kapasitas angkut di Bogota
hingga 45.000 pphpd. (Instran, 15 Januari 2011)
Kebijakan sterilisasi dan penertiban perparkiran di bahu
jalan yang dilalui jalur busway adalah hal yang positif. Begitu
pun langkah penetapan harga gas untuk transportasi.
Langkah penting lainnya di sini adalah memperbaiki
jarak antarbus (headway) dengan penambahan armada
dan pengoperasian bus gandeng, penambahan rute
(rute tidak identik dengan koridor), memperbaiki sistem
pengumpan (feeder system) dan park & ride, perbaikan
Transportasi Publik Handal sebagai Prioritas
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Transportasi publik Nyaman untuk Warga
148
fasilitas pejalan kaki dan sepeda, perluasan dan
penyempurnaan halte, penyediaan control system & fleet
management system, passenger information system, dan
ticketing system yang saling terintegrasi. Langkah penting
lainnya adalah membangun badan pengelola Transjakarta
yang modern, transparan, berbasis pada pelayanan, dan
berkesinambungan secara finansial. BLU Transjakarta lebih
baik menjadi BUMD-PT sebagaimana hasil kajian Institute
for Transportation & Development Policy (ITDP). Pada
saatnya nanti perlu dilakukan langkah-langkah melebur
kelembagaan MRT dan Busway.
Instruksi Wapres seharusnya memberikan perhatian
penuh kepada KRL Jabodetabek atau Revitalisasi KRL,
yang selama ini terbukti efektif sebagai kereta komuter
(commuter rail) menghubungkan Jakarta dengan daerah
sub-urban sekitarnya. Dengan revitalisasi yang memadai,
kapasitas KRL Jabodetabek berpotensi ditingkatkan dari
sekitar 500 ribu penumpang per hari saat ini menjadi 2
juta penumpang per hari. Dengan demikian, arus masuk
kendaraan dari Bodetabek ke Jakarta dapat diminimalisasi
dari yang saat ini sekitar 600 ribu kendaraan per hari.
Revitalisasi KRL juga berpotensi akan menciptakan sinergi
besar dengan busway. Sistem KRL Jabodetabek saat ini
terdiri atas hampir seluruh circular route (jalur melingkar)
daerah perkotaan Jakarta (jalur timur dan barat) maupun
jalur melingkar yang menghubungkan ke daerah sub-
urban (jalur Bogor, Bekasi, Tangerang, dan Tanjung Priok).
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
149
Integrasi 15 jalur busway dan circular line rel KRL ini
akan mampu menciptakan ratusan kilometer jalur rotasi
(flow line) dan sekaligus secara efektif menciptakan jalur
penghubung dari wilayah urban dan sub-urban ke pusat
kota (Monas) dan pusat bisnis (Sudirman-Thamrin). Hal
ini secara efektif dan signifikan akan mengurai kemacetan
Jakarta, dengan biaya yang jauh lebih murah, dalam
waktu yang relatif pendek, dan dalam cara yang merata
dan berkeadilan.
Kemacetan di Jakarta ini memang sudah demikian
kompleks. Karenanya yang terpenting adalah penyadaran
dan keberpihakan seluruh pemangku kebijakan terhadap
pengembangan angkutan massal. Dan Mass Rapid Transit
(MRT) hanyalah salah satu prioritas diantara beberapa
prioritas, karena MRT saja tentu tidak akan bisa sendirian
dalam menguraikan kemacetan di Jakarta. MRT harus
menjangkau seluruh area dan selanjutnya harus dilakukan
integrasi dengan moda lainnya.
Perencanaan MRT sudah dimulai sejak 30 tahun lalu,
dalam puncak perdebatan pasca krisis moneter ketika itu,
pernah mengemuka pendapat seorang ekonom “langkahi
mayat saya dulu, baru pendanaan MRT bisa ngocor”.
Masa-masa seperti itu telah berlalu. Kita patut bersyukur,
walaupun ritme tahapan MRT sungguh lambat sekarang
persiapan tender pembangunan MRT tahap-1 segera
dimulai. (Sumber: Harun al-Rasyid Lubis, detiknews.com
28 Februari 2011)
Transportasi Publik Handal sebagai Prioritas
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Transportasi publik Nyaman untuk Warga
150
Koordinasi atau kerjasama antar Pemerintah
Pusat, Pemda DKI, dan Bodetabek, termasuk
keterlibatan korporasi (Swasta, BUMN, dan
BUMD) saat ini menjadi keharusan. Persoalannya adalah
bentuk kerjasama dan lembaga yang bagaimana yang
paling realistis dan efektif untuk kasus seperti DKI Jakarta
dan Bodetabek, inilah yang menjadi persoalan. Sebagai
langkah awal paling mungkin dimulai dari pembentukan
Badan Otorita Angkutan Umum, kemudian menjelma
dalam jangka menengah menjadi Badan Otorita
Transportasi Jabodetabek dengan Peraturan Presiden. Jadi
yang terpenting sekarang, fokus saja membangun protap
perencanaan dan pengembangan kapasitas lembaga,
sambil berusaha memecahkan masalah jangka pendek.
Saat ini mendahulukan kehadiran Otorita Angkutan Umum
Jabodetabek sangat dibutuhkan, karena perang kecil lebih
mudah dimenangkan daripada perang besar. Membentuk
dan mengefektifkan otoritas angkutan umum dahulu lebih
mudah daripada mengaktifkan BKSP (Badan Kerja Sama
Pembangunan) Jabodetabek yang sudah ada.
Persoalan Koordinasi dan
Kelembagaan
Yang terpenting sekarang, fokus
saja membangun protap perencanaan dan pengembangan kapasitas lembaga,
sambil berusaha memecahkan masalah
jangka pendek.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
151
Ketika pertama kali diluncurkan pada 15 Januari
2004, sebagai moda transportasi massal
berbentuk bus yang memiliki jalur dan tempat
pemberhentian khusus, kehadiran busway memunculkan
harapan besar. Kehadiran sarana transportasi publik
dalam bentuk bus yang nyaman, bebas macet dengan
waktu perjalanan terukur, diharapkan dapat mengurangi
kemacetan jalan-jalan utama di Jakarta yang tidak cukup
tertanggulangi dengan penerapan 3 in 1. Penyediaan
sarana transportasi publik yang nyaman dan relatif
terjangkau, diharapkan dapat ‘merayu’ pengguna
kendaran pribadi untuk beralih menggunakan sarana
transportasi publik ini.
Namun dalam perjalanannya, sejumlah persoalan mendera
operasional busway. Walau bermaksud menambah
serta memperluas jangkauan pelayanan busway,
pengembangan ini tidak diikuti dengan evaluasi atas
operasional yang berjalan maupun perencanaan untuk
peningkatan pelayanan. Sejumlah persoalan muncul mulai
dari berkurangnya kenyamanan dalam menggunakan
sarana transportasi ini, keluhan terhadap pelayanan
yang buruk sampai tudingan bahwa pembangunan jalur
busway hanya menimbulkan kemacetan baru.
Perlu Terobosan Kebijakanuntuk Busway
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Transportasi publik Nyaman untuk Warga
152
Terdapat beberapa persoalan krusial dalam pengembangan
busway meskipun ide dasar dari pengembangan moda
transportasi massal berbasis bus ini cukup baik. Mulai dari
ketersediaan bis yang jauh dari cukup untuk memenuhi
jalur-jalur yang ada, kapasitas angkut bus yang tidak dapat
mengimbangi kebutuhan, ketepatan jarak dan waktu
keberangkatan, jarak waktu kedatangan (headway) yang
sangat lama, pengadaan bahan bakar untuk mendukung
operasional, kapasitas halte yang terlalu kecil dan tidak
nyaman, perusakan halte oleh tangan-tangan jahil,
kecelakaan yang sering terjadi, sampai dengan belum
digunakannya jalur-jalur dan sarana pelengkapnya yang
sudah dibangun akibat ketidaksiapan operasional dan
sarana bus-nya.
Headway 2009-2011 (menit:detik)
KORIDORHeadway Rata-Rata Headway Terlama
2009 2009 2010 2011 2010 2011
1 2:31 2:31 1:56 8 7 14
2 3:05 3:05 2:05 10 12 25
3 9:12 9:12 7:32 13 15 13
4 9:34 9:34 9:24 13 12 14
5 7:32 7:32 8:00 24 27 12
6 6:23 6:23 5:42 23 24 15
7 9:17 9:17 8:47 20 18 20
8 13:29 13:29 12:24 42 38 20
Sumber: INSTRAN, 15 Januari 2011
Jika ditelusuri lebih jauh, terdapat tiga masalah
mendasar yang menjadi pangkal permasalahan carut-
marut busway. Pertama adalah perencanaan moda
Tiga Masalah Mendasar
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
153
dan sarana pendukung yang buruk. Perencanaan yang
buruk menyebabkan belum seimbangnya antara jumlah
armada dengan kapasitas infrastruktur yang dibuat guna
melayani kebutuhan penumpang. Akibatnya penumpang
menumpuk di halte pada jalur yang padat. Sementara jalur
lain belum dimanfaatkan dan jalur yang sudah dibangun
menjadi sumber kemacetan.
Kedua adalah penunjukkan operator swasta dalam
bentuk konsorsium yang diperparah dengan lemahnya
posisi Badan Layanan Umum (BLU) yang dibentuk
Pemprov DKI. Operator busway yang notabene adalah
pemilik trayek lama pada jalur busway menginginkan
penunjukkan langsung dalam penentuan pihak yang
menjadi operator busway. Dalam posisi yang demikian,
operator tersebut juga cenderung meminta pembayaran
yang lebih mahal per kilometer operasi bus Transjakarta
ini dibanding operator yang bukan pemilik trayek lama.
Ketiga dan yang menjadi sumber masalah utama
busway adalah manajemen yang belum profesional,
baik pada BLU maupun operator busway. Masalah
lemahnya manajemen ini bukan hanya berdampak pada
operasional yang buruk namun juga pada masalah yang
timbul dalam upaya pengembangan menuju peningkatan
kinerja dan pelayanan busway seperti penerapan
E-Ticketing dan ketepatan jarak waktu pemberangkatan
melalui penambahan armada. Manajemen yang buruk
menyebabkan audit biaya operasional belum jelas sehingga
Masalah lemahnya manajemen ini bukan hanya berdampak pada operasional yang buruk namun juga pada masalah yang timbul dalam upaya pengembangan menuju peningkatan kinerja dan pelayanan busway.
Perlu Terobosan Kebijakan untuk Busway
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Transportasi publik Nyaman untuk Warga
154
beban subsidi dari APBD masih besar dan cenderung
meningkat. Padahal perhitungan yang benar dari audit
ini sangat diperlukan untuk peningkatan operasional
terutama pengadaan armada tambahan. Manajemen
dan perencanaan yang buruk juga yang menyebabkan
mumculnya masalah dalam penyediaan bahan bakar gas
yang dilakukan melalui kontrak kerjasama.
Untuk itu, diperlukan terobosan langkah dan
kebijakan untuk memperbaiki kinerja busway
sebelum permasalahan yang ada semakin
parah sehngga semakin jauhnya pencapaian tujuan
dikembangkannya moda transportasi publik. Pertama
perlu mengkaji secara lebih optimal koridor yang ada dan
tidak menambah koridor baru. BLU busway dan Pemprov
lebih baik mengoptimalkan jalur yang ada terlebih dahulu,
dengan mempercepat penambahan armada untuk
memenuhi kebutuhan pelayanan pada koridor yang ada.
Kedua, memberikan kebebasan terhadap operator
swasta yang akan masuk sebagai operator busway dan
menghilangkan monopoli oleh konsorsium operator
pemilik trayek lama. Ini penting agar tercipta kompetisi
yang sehat dalam penetapan harga dan kualitas
pelayanan. Dalam konteks ini, operator baru nantinya
juga harus dituntut untuk memiliki standar kinerja dan
standar pelayanan yang jelas. Pergantian operator atau
penetapan operator baru ini juga dapat dimanfaatkan
Terobosan Kebijakan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
155
untuk mengganti pola pengoperasian bus dari bus tunggal
menjadi bus ganda untuk meningkatkan daya angkut
penumpang.
Ketiga, mendorong profesionalisme dalam manajemen
BLU sebagai wakil Pemprov dalam operasionalisasi
busway. BLU jangan berlaku seperti PDAM yang hanya
membuat kontrak operasional dengan para operator
dengan posisi yang lemah dan kewenangan yang terbatas.
Ke depan, BLU Transjakarta pengelola busway bahkan
perlu didorong menjadi Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD) yang menjadi operator busway dan mengelola
operasional busway dengan kewenangan yang lebih
besar dan manajemen yang profesional dan akuntabel.
Peningkatan profesionalisme manajemen ini dituangkan
dalam tranformasi dan restrukturisasi pengelolaan.
Didalamnya mencakup adanya kontrak kinerja antara
operator dengan Pemprov DKI Jakarta, retsrukturisasi
organisasi, penyempurnaan dokumen kontrol (melalui
good corporate governance/GCG, service charter dsb),
performance assessment pegawai disertai proses lay-
off plan, dan penerapan, monitoring serta evaluasi atas
standar pelayanan minimum. Salah satu pemikiran yang
perlu dipertimbangkan dalam rangka restrukturisasi
pengelolaan ini adalah korporatisasi pengelolaan busway
melalui sebuah perusahaan yang dimiliki oleh daerah
(BUMD) yang didukung oleh sumberdaya manusia
pengelola yang profesional.
*) Dimuat di Tabloid Kota Jakarta, April 2010
Salah satu pemikiran yang perlu dipertimbangkan dalam rangka restrukturisasi pengelolaan ini adalah korporatisasi pengelolaan busway melalui sebuah perusahaan yang dimiliki oleh daerah (BUMD).
Perlu Terobosan Kebijakan untuk Busway
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
156
Tuntutan untuk segera diimplementasikannya
model pengendalian kepadatan lalu-lintas
melalui penerapan penggunaan jalur jalan
berbayar (Electronic Road Pricing) di Jakarta semakin
gencar dari berbagai pihak. Bahkan Wakil Presiden yang
juga merekomendasikan untuk penerapan ERP dalam 17
rekomendasi mengatasi kemacetan Jakarta juga dituntut
untuk memberikan dukungan yang konkret terkait
implementasi ERP ini. Hal ini terjadi karena sampai saat ini
pemerintah belum mengeluarkan Peraturan Pemerintah
(PP) yang menjadi acuan penerapan ERP ini sebagai
peraturan pelaksana dari UU No. 22 Tahun 2009. Padahal
PP ini diharapkan dapat memberikan panduan yang lebih
jelas bagi daerah dalam menerapkan ERP, khususnya
terkait mekanisme penarikan pembayaran dan besaran
pungutan (congestion charging) yang dikenakan. Apalagi
dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak
dan Retribusi Daerah juga belum disebutkan secara khusus
bentuk pungutan (pajak atau retribusi) atas jalan berbayar
ini dan Peraturan Pemerintah sebagai penerapan aplikatif
dari UU No. 28 Tahun 2009 juga belum dikeluarkan.
Tantangan
Implementasi ERP
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
157
Tantangan Implementasi ERP
Kebutuhan untuk penerapan ERP dalam mengatas
kemacetan sendiri sudah sangat mendesak. Ke-
macetan di Jakarta sudah dalam taraf akut dan
menimbulkan kerugian yang sangat besar. Setidaknya
ada empat persoalan utama dalam masalah transportasi
dengan sejumlah anak permasalahan lainnya (Susantono,
2008) yaitu :
a. Sistem transportasi belum efisien sehingga
menghambat aktifitas ekonomi.
Dari total waktu perjalanan pada beberapa ruas •
jalan, 40% merupakan waktu bergerak dan 60%
merupakan waktu hambatan. Kecepatan rata-rata
lalu-lintas adalah 20.21 km/jam (Kedeputian V
Menko Perekonomian, 2007).
Studi yang dilakukan USAID memperkirakan Kerugi-•
an ekonomi akibat kemacetan yang mencapai 27,76
triliun
b. Sistem transportasi belum menjamin pemerataan
untuk seluruh anggota masyarakat
Lalu-lintas di Jakarta didominasi oleh kendaraan •
pribadi, jumlah angkutan umum (bus) hanya
4%, sepeda motor 67%, mobil pribadi 23% (Polda
Metro Jaya, 2006). Pertumbuhan kendaraan dalam
lima tahun terakhir mencapai 9.5% per tahun
(paparan Dirjen Bina Marga ke KKPPI tanggal 18
Desember 2007).
Proporsi volume lalu-lintas pada beberapa koridor •
utama adalah: sepeda motor 60%, sedan 32%.
Fakta dan Data Kemacetan di Jakarta
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Transportasi publik Nyaman untuk Warga
158
Angkutan umum (mobil penumpang umum-MPU,
bus sedang, dan bus besar) 5% (Kedeputian V Menko
Perekonomian, 2007).
Pada sisi lain, permintaan angkutan umum lebih •
besar dari permintaan angkutan pribadi. Pengguna
angkutan umum sekitar 54.7%, dimana 52.7%
menggunakan bus (bus besar, bus sedang, dan
mikrobus) dan 2% menggunakan kereta api (SITRAMP,
2004). Pengguna angkutan umum sebagian besar
adalah masyarakat berpenghasilan rendah (64.5%)
dan masyarakat berpenghasilan menengah (52.8%)
(SITRAMP, 2004)
c. Besarnya kontribusi sistem transportasi terhadap
dampak lingkungan
25 dari 33 stasiun pemantau kualitas udara •
menunjukkan kadar PM10 telah melebihi ambang
batas, bahkan terdapat sepuluh stasiun yang
menunjukkan kadar PM10 mencapai lebih dari 2
kali lipat dari ambang batas yang telah ditetapkan.
Kerugian ekonomi akibat kualitas udara yang rendah
diperkirakan mencapai 2.8 triliun pada tahun 2002
(SITRAMP, 2004).
Apabila kualitas dan kuantitas angkutan umum •
tidak diperbaiki, maka akan terjadi peningkatan
penggunaan kendaraan pribadi. Dengan kondisi ini,
diperkirakan akan terjadi peningkatan greenhouse
gases (seperti CO2) dari tahun 2002 sampai dengan
2020 sebesar 2.35 kali (SITRAMP, 2004).
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
159
d. Sistem transportasi belum memenuhi tingkat
keselamatan dan keamanan
Angka kecelakaan baik transportasi jalan maupun •
Kereta Api masih tinggi. Untuk Kereta Api, dari
tahun 2000-2002 terjadi 174 kecelakaan. Angka ini
jauh lebih tinggi dibanding negara berkembang lain
(SITRAM, 2004).
Jumlah korban kecelakaan di jalan tol dalam kota •
mengalami penurunan dari sekitar 380 pada tahun
1995 menjadi sekitar 200 pada tahun 2006. Akan
tetapi proporsi jumlah korban dengan luka berat
dan meninggal dunia relatif stabil (CMNP, http://
www.cmnp.co.id/).
Di tengah berbagai upaya dan cara yang dila-
kukan untuk mengatasi persoalan kemacetan
di Jakarta, penerapan ERP menjadi salah satu
alternatif karena dinilai sesuai dengan kondisi Jakarta. ERP
tidak membutuhkan adanya penambahan infrastruktur
khusus, lahan baru dan biaya besar. ERP sesuai dengan
kondisi Jakarta yang mengalami masalah dimana sangat
sulit meningkatkan rasio jalan terhadap jumlah kendaraan
karena keterbatasan dan mahalnya harga lahan di Jakarta.
Dengan kondisi demikian, strategi yang dapat dilakukan
adalah mengendalikan perjalanan Transport Demand
Management (TDM). TDM merupakan usaha untuk
memperkecil kebutuhan akan transportasi sehingga
Mengapa ERP menjadi Alternatif
ERP tidak membutuhkan adanya penambahan infrastruktur khusus, lahan baru dan biaya besar.
Tantangan Implementasi ERP
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Transportasi publik Nyaman untuk Warga
160
pergerakan yang ditimbulkannya masih berada dalam
syarat batas kondisi sosial, lingkungan dan operasional
Electronic Road Pricing (ERP) merupakan bagian dari TDM
yang berupa usaha pembatasan kendaraan pada waktu
dan lokasi tertentu dengan memperhitungkan kondisi
lalu-lintas, ketersediaan angkutan umum dan kualitas
lingkungan sehingga diharapkan terjadi keseimbangan
antara demand (lalu-lintas) dengan supply (ruang jalan)”.
Beberapa kebijakan umum yang dapat dilakukan untuk
mengatasi persoalan kemacetan lalu-lintas melalui
pendekatan TDM adalah seperti tabel dibawah ini
KEBIJAKAN STRATEGI TEKNIS
Pergeseran Waktu
Strategi jam masuk/keluar kantor/sekolah
Mengarahkan agar kegiatan yang terjadi tidak bersamaan waktunya
Batasan waktu pergerakan angkutan barang
Kendaraan berat pengangkut barang dapat bergerak pada waktu-waktu tertentu.
Pergeseran Rute atau Lokasi
Road Pricing Electronic Road Pricing
Area Licensing System
Jalan Khusus Angkutan Umum
Busway
Truck only Lane
Bicycle Lane
Pergeseran Moda
Pembatasan Jumlah Keterisian kendaraan pribadi
“3 in 1”
Car Pooling
Peningkatan pelayanan Angkutan umum
MRT (Subway)
Monorail
Congestion pricing (pungutan biaya kemacetan)
merupakan salah satu economic instruments yang
bertujuan untuk mengurangi penggunaan kendaraan
pribadi. Electronic Road Pricing (ERP) merupakan salah
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
161
satu sebutan untuk Congestion Pricing. Dengan congestion
pricing, pengguna kendaraan pribadi akan dikenakan
biaya jika mereka melewati satu area atau koridor yang
macet pada periode waktu tertentu. Pengguna kendaraan
pribadi, akhirnya, harus menentukan apakah akan
meneruskan perjalanannya melalui area atau koridor
tersebut dengan membayar sejumlah uang, mencari rute
lain, mencari tujuan perjalanan lain, merubah waktu
dalam melakukan perjalanan, tidak jadi melakukan
perjalanan, atau berpindah menggunakan moda lain
yang diijinkan untuk melewati area atau koridor tersebut.
Terdapat beberapa tujuan utama dari road pricing, yaitu
mengurangi kemacetan, menjadi sumber pendapatan
daerah, mengurangi dampak lingkungan, mendorong
penggunaan angkutan umum masal. Ada beberapa
pengelompokan road pricing berdasarkan tujuan.
Sebagai salah satu alternatif mengatasi persoalan
kemacetan dengan pendekatan TDM, salah satu
keunggulan dari ERP adalah didapatnya penerimaan dari
pungutan jalan berbayar ini bagi kas daerah. Dengan
dukungan kebijakan untuk penerapan earmarking
dari penerimaan ini, maka dapat ditetapkan bahwa
penerimaan dari pungutan jalan berbayar ini harus
digunakan untuk perbaikan sistem transportasi kota, salah
satunya dengan pengembangan transportasi massal yang
baik dan ramah publik dan lingkungan. Untuk mendukung
itu, maka penerimaan dari pungutan jalan berbayar ini
(dengan mempertimbangkan biaya investasi yang sudah
Tantangan Implementasi ERP
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Transportasi publik Nyaman untuk Warga
162
dikeluarkan), maka penerimaan ini harus dibukukan
dalam suatu rekening khusus dalam penerimaan daerah
untuk pengontrolannya.
Meskipun dinilai memiliki beberapa keung-
gulan sebagai alternatif mengatasi persoalan
kemacetan dengan pendekatan Transport
Demand Management, namun implementasi ERP ha-
rus melihat beberapa tantangan yang akan dihadapi.
Pertama, apakah memang ERP merupakan alternatif yang
paling baik dari strategi TDM lainnya? Amerika Serikat
menerapkan beberapa alternatif penerapan Congestion
Charging untuk pengendalian kemacetan dengan strategi
TDM yaitu (i) pembedaan pajak kendaraan (differential
fuel taxation), (ii) pajak karyawan (employee tax), (iii) pajak
parkir (parking tax), (iv) tiket harian (daily licences), dan (v)
pembiayaan langsung (direct pricing). ERP sendiri sebagai
TDM memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan ERP
adalah mendorong pengurangan penggunaan kendaraan
pribadi pa da jalur utama dan jam sibuk dan ada/didapatinya
pene rimaan yang bisa digunakan untuk pembangunan
trans portasi publik. Kekurangan ERP adalah ada biaya
yang ha rus dibayar publik pengguna jalan yang menjadi
jalur ERP dan potensial terjadinya penumpukan lalu-lintas
pa da jalur non ERP. Sisi positif lanjutannya adalah, dana
yang dikumpulkan dari publik dapat dikelola secara ear-
mark ing policy dengan mengalokasikannya secara khusus
Tantangan Impelementasi
ERP.
Kelebihan ERP adalah mendorong
pengurangan penggunaan
kendaraan pribadi pada jalur utama dan
jam sibuk.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
163
bagi pemeliharaan dan penambahan sarana transportasi
massal.
Kedua, Bagaimana tingkat keberhasilan dalam me ngen-
dalikan lalu-lintas? Pengalaman penerapan ERP di Kota
London, Inggris menunjukkan ERP berhasil menurunkan
volume lalu-lintas kendaraan pada jalur utama yang
diterapkan ERP sampai 15 %. ERP juga berhasil me-
nurunkan kemacetan di jalan sampai 30%.Dari sisi dam-
paknya terhadp kualitas udara, penetapan ERP yang
mengurangi volume lalu-lintas juga berdampak pada
penurunan polusi sampai 12% (NOx, PM10). Penerapan
ERP di Stockholm, Swedia menunjukkan menurunnya
prosentase lalu-lintas ke/dari pusat kota dari 20-25%
menjadi 10-15% sejak diberlakukannya ERP pada ruas
jalan utama. Sementara pengalaman penerapan ERP di
Singapura sejak 1989 menunjukkan volume lalu-lintas
yang masuk ke kawasan pembatasan turun sampai 20-24%
dari 271.000 menjadi 206.000 per hari. Tingkat kecepatan
kendaraan juga meningkat dari 30- 35 km/jam menjadi
40-45 km/jam. Terjadi peningkatan kecepatan kendaraan
rata-rata sebesar 22%.
Tantangan ketiga, bagaimana penentuan koridor yang akan
dijadikan jalur penerapan ERP? Hak ini terkait dengan juga
dengan pertanyaan bagaimana “relasinya” dengan koridor
busway yang sudah ada? Bagaimana kaitannya dengan
manajemen dan pengaturan perparkiran khususnya
masih banyaknya parkir on street di ruas jalan di Jakarta?
Tantangan Implementasi ERP
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Transportasi publik Nyaman untuk Warga
164
Dari berbagai strategi Congestion Charging. asumsi dasar
yang dijadikan sebagai acuan adalah Aksesibilitas dan
mobilitas pusat kota harus tetap dipertahankan untuk
menjaga pertumbuhan perekonomian. Dari sisi kebijakan
pengaturannya kebijakan yang akan diterapkan mudah
untuk dilaksanakan dan diawasi.
Keempat, Apakah ERP perlu didukung sistem lain untuk
mengurangi dampaknya? Salah satu bentuk kombinasi
pengaturan ERP adalah dengan dikombinasi dengan
pengaturan nomor kendaraan (ganjil/genap) pada
koridor lain. Apakah kombinasi seperti ini akan atau bisa
diterapkan? Pengalaman London : sistem pembiayaan
berbasiskan wilayah (di pusat kota London), waktu (jam-
jam kerja) dan penggunaan izin tambahan (supplementary
licences). Di Singapura ERP dilakukan dengan sistem
“entry licensing” atau “point based charge”. Aplikasi ERP
juga didukung dengan kebijakan VQS (Vehicle Quota
System) yang mengatur pertumbuhan jumlah kendaraan
secara nasional sesuai kapasitas jaringan jalan melalui
aturan fiskal dan izin pembelian kendaraan baru dilakukan
dengan mekanisme tender.
Kelima, Bagaimana kesiapan transportasi publik untuk
mengantisipasi pengalihan moda? Hal ini terkait dengan
kemungkinan alih penggunaan moda transportasi jika
diberlakukan ERP pada ruas jalan utama. Pengalaman
respon penerapan ERP di negara lain menunjukkan
terjadinya beberapa alternatif pola perubahan perilaku
penggunaan moda dengan diberlakukannya ERP yaitu
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
165
(i) melalui jalur ERP dan membayar ERP, (ii) merubah
waktu perjalanan, (iii) merubah rute perjalanan, (iv)
menggunakan moda lain, (v) menggunakan fasilitas
park-and-ride, (vi) meningkatkan keterisian penumpang
didalam kendaraan atau (vii) membatalkan perjalanannya.
Hasil Studi terhadap rencana penerapan pengendalian
lalu-lintas berbayar (Nanang dan Ofyar) : 45% memilih
menggunakan kendaraan umum dan 37,5% tetap bertahan
menggunakan kendaraan pribadi.
Keenam, tantangan menyangkut berapa besaran tarif
ERP yang tepat untuk diberlakukan? Studi Nanang dan
Ofyar (2005): lebih dari 70% responden menerimanya jika
besaran charging berada pada level Rp. 3.000 ke bawah.
Perlu dikaji juga perbandingannya dengan tarif parkir di
jalan. Dalam implementasinya, penerapan Congestion
Charging di berbagai kota di dunia ternyata tetap
memerlukan adanya penegakan hukum untuk memonitor
dan mengendalikan sistem pembayaran (charging)
(London, 1995). Ketujuh, tantangan yang terkait dengan
kesiapan penggunaan teknologinya. Teknologi diperlukan
untuk mengintegrasikan sistem pengumpulan biaya (fee-
collection system) dengan penegakan hukum. Teknologinya
harus menjamin diperoleh ketelitian dan keandalan yang
tinggi (accuracy and reliability) dan menjaga kerahasiaan
transaksi masing-masing pengendara, dan keamanan
terhadap pencolengan (vandalisme). Singapura
menggunakan transponder dengan sistem electronic cash
dengan smart card.
Tantangan Implementasi ERP
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Transportasi publik Nyaman untuk Warga
166
Tantangan kedelapan, bagaimana perbandingan antara
cost dengan revenue yang akan didapat? Hal ini mengingat
infrastruktur ERP tergolong cukup mahal. Infrastruktur ERP
terdiri dari (i) Cash Card, yaitu peralatan yang terdapat di
dalam kendaraan atau IU (in-vehicle unit) yang dilengkapi
dengan smart card, (ii) Gerbang ERP, yaitu berupa control
point yang berlokasi pada wilayah koridor dan ruas jalan
sebagai pintu-pintu masuk ke wilayah pembatasan lalu-
lintas, (iii) pusat pengendalian, merupakan alat pengendali
yang sekaligus memantau setiap penjuru wilayah
pembatasan lalu- lintas, (iv) Sistem Data Base, yang
merupakan pendukung pengendalian data kendaraan
sekaligus mendukung deteksi pada gerbang ERP.
Kesembilan, bagaimana mengantisipasi kemacetan pada
daerah diluar area ERP? Pengalaman di London, tidak
terjadi dampak lalu-lintas yang besar di daerah diluar area
congestion charging. Pengalaman Stockholm (Swedia):
meningkatnya aksesibilitas yang ditandai dengan
penurunan antrian di pusat kota dan daerah-daerah dekat
pusat kota sebesar 30-50%.
Kesepuluh, terkait dengan timeframe untuk
implementasinya, apakah bisa diterapkan Januari 2012
mengingat kemacetan semakin akut? Terobosan payung
hukum yang dapat dilakukan untuk mengatasi belum
terbitnya PP? Bisakah dengan Pergub yang bersifat
sementara? Bagaimana pengelolaan pungutannya dalam
mekanisme keuangan daerah? Hal-hal ini harus dijawab
Bagaimana mengantisipasi
kemacetan pada daerah diluar area
ERP? Pengalaman di London, tidak terjadi
dampak lalu-lintas yang besar di daerah
diluar area congestion charging.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
167
oleh Pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam penerapan
ERP di Jakarta. Dari sisi persiapan teknis, time frame ini
menyangkut bagaimana hasil Studi Detail Engineering
Design (DED) yang dilakukan? Bagai Studi Master Plan-
nya? Kapan rencana akan dilakukan ujicoba untuk
penerapan? Bagaimana mengantisipasi PP Operasional
(turunan UU 22/2009) dan PP pungutan biaya (turunan
UU 28/2009) yang belum keluar? Hal-hal tersebut juga
harus terjawab dan harus jelas terlebih dahulu bagi publik
sebelum melakukan implementasi ERP.
Fenomena kemacetan Jakarta mudah dituding
penyebabnya, yakni kendaraan pribadi. Berdasar
hasil survey, okupansi mobil adalah 1,7 penumpang
per kendaraan, okupasi sepeda motor saya perkirakan
hanya 1,2 penumpang per kendaraan. Sedangkan
okupasi angkutan umum tentu jauh lebih besar, bahkan
fenomenanya adalah penumpang yang penuh berjubel
hingga berdiri di dekat pintu bis.
Retribusi kemacetan (Congestion Charging = CC) di te-
rapkan terhadap para pengguna jalan untuk me ngen-
dalikan permintaan perjalanan (demand) pada saat
terjadinya kemacetan pada jaringan jalan perkotaan.
Dengan penerapan beban biaya melalui ERP ini
diharapkan pengguna kendaraan pribadi lebih bijak
dalam menggunakan kendaraannya sehingga tidak
banyak memenuhi jalan-jalan ibukota. Dengan demikian,
ERP sebagai Instrumen Keadilan Transportasi
Tantangan Implementasi ERP
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Transportasi publik Nyaman untuk Warga
168
kendaraan umum yang banyak digunakan oleh penduduk
berpendapatan rendah dapat menikmati ruas jalan dengan
lebih nyaman dan lebih cepat tanpa perlu ikut terjebak
kemacetan yang disebabkan oleh penggunaan kendaraan
pribadi yang tidak terkendali. Kalaupun masih tetap ingin
menggunakan kendaraan pribadinya pada jalan-jalan
utama yang ditetapkan ERP, maka harus ada kompensasi
biaya yang ditanggung oleh pengguna kendaraan pribadi.
Pendapatan dari pengenaan biaya Congestion Charging
ini juga menjadi instrumen lain untuk mengalihkan
manfaat transportasi dari pengguna kendaraan pribadi
ke kendaraan umum. Penerimaan dari ERP selain untuk
membiayai operasional, harus dialokasikan secara khusus
untuk perbaikan dan pengembangan sarana transportasi
publik. Untuk itu perlu ada kebijakan dan mekanisme
khusus (earmarking) dalam alokasi penerimaan dari
ERP ini dalam rangka penyediaan transportasi publik
yang nyaman bagi masyarakat kebanyakan terutama
yang berpendapatan rendah. Kemacetan terjadi karena
penerapan pembiayaan yang kurang tepat (imperfect
pricing), sehingga dengan penerapan CC diharapkan
terjadi keseimbangan antara demand dengan supply.
CC juga dilakukan untuk mengurangi intensitas dampak
negatif perjalanan kendaraan bermotor yang akan
menimbulkan kerusakan lingkungan yang lebih parah.
Adalah memenuhi asas keadilan jika kontributor terbesar
kemacetan diminta berkontribusi lebih besar juga atas
kemacetan yang ditimbulkan. Dan retribusi yang diambil
Adalah memenuhi asas keadilan jika kontributor
terbesar kemacetan diminta berkontribusi lebih besar juga atas
kemacetan yang ditimbulkan.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
169
lewat mekanisme ERP tersebut harus digunakan untuk
peningkatan pelayanan angkutan umum, sebagaimana
disebutkan pada UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu-
lintas dan Angkutan Jalan yang tertuang dalam pasal 133
ayat 3.
*) Disampaikan dalam Seminar Implementasi ERP di Jakarta Media Center, 30
Maret 2011
Tantangan Implementasi ERP
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
172
Layanan KTP keliling yang dilakukan diluar hari kerja
oleh Pemda DKI Jakarta baru-baru ini merupakan
terobosan pelayanan kepada masyarakat yang
patut diapresiasi meskipun masih terbatas untuk
perpanjangan KTP. Dengan layanan ini, masyarakat yang
kesulitan mengurus KTP karena kesibukan kerja atau lokasi
kelurahan yang jauh dari tempat tinggal dapat terlayani
dengan baik dan cepat. Namun , Pemda DKI Jakarta tidak
boleh cukup berbangga dan puas sampai disini. Karena
terobosan ini relatif sedikit dibanding banyak langkah
perbaikan yang seharusnya telah dilakukan oleh Pemda
DKI Jakarta. Masih banyak problem pelayanan publik
yang harus dihadapi dan diterima masyarakat Jakarta
yang menyebabkan kegiatan warga terhambat dan tidak
memperoleh manfaat yang maksimal.
Sudah umum diketahui bahwa pelayanan publik di Jakarta
pada hampir semua sektor khususnya layanan administrasi
masih jauh dari memuaskan. Pelayanan yang lambat,
tidak pasti, adanya biaya tidak resmi menjadi wajah dari
pelayanan publik oleh birokrasi di Jakarta. Survei yang
dilakukan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara
Pelayanan yang lambat, tidak pasti, adanya biaya
tidak resmi menjadi wajah dari pelayanan
publik oleh birokrasi di Jakarta.
Mengubah Paradigma Pelayanan Birokrasi di Jakarta
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
173
Mengubah Paradigma Pelayanan Birokrasi di Jakarta
Tahun 2006 terhadap 10 kota menunjukkan Jakarta
sebagai kota peringkat kedua terburuk dalam kepuasan
masyarakat atas pelayanan publik. Sementara survei
Kompas pada 2007 menggambarkan bahwa birokrasi
Jakarta gagal dalam menjalankan fungsi pelayanan
umum. Sosiolog dari UI, Prof. Tamrin Amal Tamagola
juga menyatakan bahwa ada lima penyakit birokrasi
ibukota yaitu Incoherence, Inward looking, Inconsistence,
Incompetenc dan, Impotence yang menyebabkannya tidak
dapat melayani masyarakat dengan baik.
Survei terbaru (2010) yang dilakukan IFC-World Bank
tentang kemudahan berbisnis di dunia, menempatkan
Indonesia yang diwakili Jakarta di peringkat ke 122,
tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Thailand,
Malaysia dan terutama Singapura. Bahkan di dalam negeri,
survei Sub National Doing Business yang dilakukan tahun
2009 juga menempatkan Jakarta diperingkat 7 diantara
14 kota lain dalam hal kemudahan memulai bisnis. Salah
satu sumber penyebab peringkat yang buruk ini adalah
birokrasi perijinan investasi yang masih sulit. Belum lagi
dengan pelayanan publik lain yang banyak dikeluhkan
masyarakat. Pelayanan oleh aparatur birokrasi masih
identik dengan pelayanan yang kompleks, berbelit-belit
dan menghambat akses warga untuk mendapat layanan
publik yang diperlukannya secara wajar. Padahal pelayanan
publik bukan hanya menjadi hak masyarakat namun juga
menjadi pintu untuk masuknya investasi untuk kemajuan
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Birokrasi yang Bekerja dan Melayani
174
Perilaku buruk dari birokrasi pemerintah terutama dalam
pelayanan publik seringkali karena adanya paradigma
(mindset) yang salah dalam menjalankan fungsinya sebagai
aparatur pemerintahan. Birokrasi pada hampir semua level
juga belum mengalami perubahan paradigma dari budaya
minta dilayani menjadi budaya melayani. Penyelenggaraan
pelayanan publik terlalu berorientasi kepada kegiatan
dan pertanggungjawaban formal dan kurang berorientasi
pada hasil berupa pelayanan yang prima kepada warga
masyarakat. Birokrasi terjebak pada pola akivitas yang
directly unproductive activities (Bhagwati, 1982). Gaya
manajemen yang terlalu berorientasi kepada tugas (task
oriented) juga menyebabkan aparatur kurang termotivasi
untuk lebih kreatif dalam menjalankan tugasnya dan
menghasilkan kualitas pelayanan publik yang prima.
Kelambananan dan paradigma minta dilayani menyebab-
kan Jakarta disandera birokrasi. Infrastruktur yang
lengkap dalam mendukung kegiatan bisnis dan aktivitas
masyarakat serta daya dukung sektor swasta dalam
kegiatan ekonomi yang baik di Jakarta menjadi tidak
ter optimalkan dalam mendukung kemajuan dan
kesejahteraan masyarakat akibat hambatan pelayanan
birokrasi. Bahkan pengembangan SDM berkualitas dapat
mengalami hambatan akibat pelayanan publik di bidang
pendidikan dan kesehatan juga masih buruk.
Gaya manajemen yang terlalu berorientasi kepada tugas (task
oriented) juga menyebabkan aparatur
kurang termotivasi untuk lebih kreatif dalam
menjalankan tugasnya.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
175
Perubahan mindset merupakan sebuah ke-
harusan jika ingin mewujudkan perilaku baru
da lam birokrasi publik. Perubahan prosedur
pelayanan dari pelayanan yang cenderung kompleks
dan menghambat menjadi pelayanan yang cepat, pasti
transparan dan responsif, hanya akan berhasil jika diikuti
dengan perubahan misi dan budaya birokrasi. Selama misi
utama birokrasi masih pada upaya untuk mengendalikan
perilaku, maka akan sulit untuk mengembangkan praktik
pelayanan publik yang baik. Kesulitan ini terjadi karena
prosedur pelayanan birokrasi tidak dirancang untuk
mempermudah warga dalam menggunakan pelayanan
publik, namun lebih untuk mengontrol perilaku warga
agar tidak menyalahgunakan pelayanan publik.
Beberapa strategi pokok yang perlu dilakukan untuk
mengubah paradigma pelayan yang dapat dilakukan
dalam rangka pembenahan pelayanan publik di Jakarta
adalah:
Pertama, mengubah budaya paternalistik dalam pe-
layanan menjadi budaya egaliter. Ini penting agar posisi
antara pejabat, pegawai pemerintahan dan pengguna
jasa layanan publik adalah sama. Masyarakat sebagai
pengguna jasa layanan publik bukanlah pihak yang
meminta-minta pelayanan secara cuma-cuma, karena
pada dasarnya mereka sudah membayar pelayanan itu
melalui pajak dan retribusi yang dibayarkan. Sehingga
sudah selayaknya mendapat pelayanan yang terbaik.
Strategi Reformasi Pelayanan Publik
Mengubah Paradigma Pelayanan Birokrasi di Jakarta
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Birokrasi yang Bekerja dan Melayani
176
Kedua, menegakkan kriteria efektifitas dan efisiensi dalam
pelayanan. Tidak semata-mata bahwa pelayanan kepada
publik sudah dilakukan. Namun jugaharus memperhatikan
apakah pelayanan tersebut sudah cukup cepat, mudah
dan jelas bagi masyarakat, tidak menghabiskan banyak
biaya terutama biaya yang tidak perlu (tidak resmi).
Ketiga, mengembangkan renumerasi berdasarkan kinerja
(merit system), sehingga mendorong aparatur lebih kreatif
dan inovatif dalam memberikan pelayanan yang terbaik
bagi warga masyarakat.
Keempat, mau dan terbuka menerima kritik yang
disampaikan publik (media, LSM dan masyarakat) dalam
rangka memperbaiki kinerja dan pelayanan. Birokrasi
selayaknya tidak alergi terhadap kritik yang konstruktif
dan justru menjadikan pihak yang memberikan kritik
sebagai mitra dalam memperbaiki pelayanan. Pada saat
yang sama, dikembangkan juga mekanisme evaluasi
secara berkala atas pelayanan yang sudah dilakukan yang
melibatkan pihak eksternal.
Kelima, membudayakan delegasi kewenangan dan diskresi
yang bertanggungjawab. Tidak boleh lagi ada pelayanan
kepada masyarakat yang terhambat karena tidak adanya
pimpinan dari instansi yang memberikan pelayanan
karena tidak adanya delegasi kewenangan.
Keenam, orientasi kepada pelayanan pengguna jasa. Tidak
seperti pelayanan yang dikembangkan sektor swasta,
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
177
pelayanan yang dikembangkan oleh birokrasi selama ini
cenderung kurang berorientasi kepada pengguna jasa.
Padahal dalam sistem yang demokratis, masyarakat
pengguna jasa justru yang memiliki kedaulatan.
Reformasi birokrasi pelayanan publik hanya akan dapat
berhasil jika diiringi dengan re-orientasi menyeluruh
terhadap pola berpikir pegawai pemerintah agar lebih
responsif terhadap keinginan dan kebutuhan masyarakat
sebagai pengguna jasa. Untuk menjalankan perubahan
paradigma dalam pelayanan publik ini, dukungan penuh
bukan hanya diperlukan dari pucuk pimpinan, melainkan
juga dari seluruh lini dan strata organisasi pemerintahan.
Saat ini pemerintah sudah mengeluarkan Undang-Undang
No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Undang-
Undang ini memberi mandat kepada semua pihak
khususnya aparatur birokrasi yang menyelenggarakan
pelayanan publik untuk memberikan pelayanan prima dan
menetapkan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi
oleh penyelenggara pelayanan publik serta hak dan
kewajiban masyarakat. Undang-Undang juga menetapkan
keharusan adanya standar pelayanan minimum untuk
penyelenggaraan pelayanan publik, bahkan sanksi
terhadap pelanggaran ketentuan penyelenggaraan
pelayanan publik.
Dari momentum ini, sudah saatnya Jakarta melakukan
pembenahan menyeluruh terhadap penyelenggaraan
pelayanan publik yang dilakukan khususnya oleh aparatur
Mengubah Paradigma Pelayanan Birokrasi di Jakarta
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Birokrasi yang Bekerja dan Melayani
178
Pemda DKI Jakarta. Bahkan sudah saatnya pula Jakarta
memiliki Peraturan Daerah tentang pelayanan publik serta
standar pelayanan minimum untuk penyelenggaraan
pelayanan publik di Jakarta. Agar warga masyarakat Jakarta
memperoleh haknya untuk mendapatkan pelayanan
publik yang baik.
*) Dimuat di Harian Republika, 8 April 2010
Bahkan sudah saatnya pula Jakarta memiliki
Peraturan Daerah tentang pelayanan
publik serta standar pelayanan minimum
untuk penyelenggaraan pelayanan publik di
Jakarta.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
179
Reformasi Birokrasi menuju Profesionalitas dan Moralitas Aparatur
untuk Keadilan dan Kesejahteraan MasyarakatOleh: Prof. Dr. Eko Prasojo1
1 Guru Besar dan Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI
Pelayanan publik dan penyelenggaraan peme-
rintahan merupakan fungsi dari berbagai faktor.
Diantara faktor-faktor yang mempengaruhi pela-
yanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan tersebut
adalah kelembagaan, kepegawaian, proses, pengawasan
dan akuntabilitas. Diantara faktor-faktor tersebut, maka
faktor penting yang dapat menjadi pengungkit (leverage)
dalam perbaikan pelayanan publik adalah persoalan
reformasi kepegawaian negara.
Dapat dikatakan bahwa baik buruknya suatu birokrasi
negara sangat dipengaruhi oleh kualitas kepegawaian
negaranya. Di Indonesia sektor kepegawaian negara, yang
merupakan sub sistem dari birokrasi secara keseluruhan,
belum dijadikan sebagai fokus dari reformasi birokrasi.
Pentingnya memberikan perhatian pada reformasi
kepegawaian negara ini paling tidak didasarkan pada
fakta: (1) keberhasilan pembangunan beberapa negara,
Pendahuluan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Birokrasi yang Bekerja dan Melayani
180
seperti Korea dan China terletak pada usaha sistematis
dan sungguh-sungguh untuk memperbaiki sistem
kepegawaian negara, (2) kepegawaian negara merupakan
faktor dinamis birokrasi yang memegang peranan penting
dalam semua aspek pelayanan publik dan penyelenggaraan
pemerintahan.
Akar permasalahan buruknya kepegawaian nega-
ra di Indonesia pada prinsipnya terdiri dari
dua hal penting: (1) persoalan internal sistem
kepegawaian negara itu sendiri, (2) persoalan eksternal
yang mempengaruhi fungsi dan profesiolisme kepegawaian
negara. Dan situasi problematis terkait dengan persoalan
internal sistem kepegawaian dapat dianalisis dengan
memperhatikan subsistem yang membentuk kepegawaian
negara. Subsistem kepegawaian negara terdiri dari: (1)
rekrutmen, (2) penggajian dan reward, (3) pengukuran
kinerja, (4) promosi jabatan, (5) pengawasan. Kegagalan
pemerintah untuk melakukan reformasi terkait dengan
subsistem-subsistem tersebut telah melahirkan birokrat-
birokrat yang dicirikan oleh kerusakan moral (moral hazard)
dan juga kesenjangan kemampuan untuk melakukan
tugas dan tanggungjawabnya (lack of competencies) (lihat
prasojo, 2006).
Terkait dengan persoalan rekruitmen dapat disebutkan
beberapa situasi problematis yang dihadapi oleh birokrasi
di Indonesia. Proses rekruitmen masih belum dilakukan
Situasi Problematik
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
181
Reformasi Birokrasi
secara profesional dan masih terkait dengan hubungan-
hubungan kolusi, korupsi dan nepotisme. Rekruitmen
pegawai masih dipandang seakan-akan menjadi
kebutuhan proyek tahunan dan bukan sebagai kebutuhan
akan peningkatan kualitas pelayanan publik dan
penyelenggaraan pemerintahan. Indikasi ini sangat nyata
apabila dilihat bahwa job analisis sebagai persyaratan
untuk menentukan job requirement masih belum dimiliki
oleh pemerintah. Ketiadaan persyaratan jabatan telah
menyebabkan rekruitmen dilakukan secara serampangan,
dan tidak memperhatikan kualifikasi yang dibutuhkan. Itu
sebabnya, meskipun dirasakan PNS di Indonesia tidak
tahu apa yang dikerjakan, tetapi rekrutmen PNS tetap
terus dilakukan. Untuk dapat melakukan dengan baik
proses perekrutan, maka spesifikasi tugas dan jabatan
harus diketahui secara baik. Ironisnya, banyak sekali
PNS yang tidak mengetahui tugasnya, bahkan nama
jabatannya. Jika perekrutan dilakukan tanpa mengetahui
kebutuhan analisis jabatannya, SDM aparatur pada satuan
organisasi menjadi berlebihan dan tidak sesuai dengan
beban kerja yang ada. Rekrutmen yang demikian akan
semakin memperbanyak pengangguran tidak kentara PNS
(disguised unemployment). (lihat, Mujiyono, 2006).
Selama lima tahun terakhir (2004-2009), kebijakan
pengangkatan pegawai honorer juga telah menyebabkan
proses rekrutmen lebih didasarkan pada prinsip
popularitas dari pada meritokrasi. Di sejumlah daerah,
praktek pengangkatan pegawai honorer ini diwarnai
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Birokrasi yang Bekerja dan Melayani
182
dengan hubungan afiliasi dan persaudaraan, dimana
para pegawai honorer berasal dari kalangan keluarga
dan kerabat. Hal ini menyebabkan kualitas sumber daya
aparatur negara yang tidak kompeten dan dipenuhi
dengan unsur nepotisme.
Pada sisi lainnya, kepastian tentang jumlah PNS yang
dibutuhkan terhadap jumlah penduduk (rasio beban
kerja) masih belum dapat dihitung secara baik untuk
menentukan jumlah pegawai yang harus direkruit setiap
tahunnya. Dari sisi penyelenggaraannya, rekruitmen
pegawai masih dilakukan dengan cara-cara yang tidak
menjamin kesempatan dan terjaringnya calon-calon yang
potensial. Hal ini disebabkan karena rekrutmen masih
dilakukan pemerintah, dan bukan oleh sebuah lembaga
yang independen (seperti civil service commision). Dengan
situasi birokrasi yang syarat dengan KKN, maka proses
rekruitmen yang demikian tidak dapat menghasilkan
calon-calon yang terbaik. Sudah menjadi rahasia umum
bahwa proses rekruitmen di Indonesia dilakukan dengan
cara-cara penyuapan, pertemanan dan afiliasi. Budaya
perekruten yang demikian hanya akan menghasilkan
birokrat yang moralnya tidak terjaga dan kompetensinya
yang tidak memadai.
Problem perekrutan yang dilakukan oleh pemerintah
daerah juga tidak bebas dari masalah. Kuatnya egoisme
daerah dan masih menonjolnya hubungan-hubungan
persaudaraan dan afiliasi, juga telah menyebabkan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
183
proses rekrutmen tidak menghasilkan PNS-PNS yang
memenuhi syarat kualifikasi dan akhlak yang baik.
Bahkan kecenderungan untuk mengutamakan putra
daerah dalam perekrutan PNS saat ini semakin menonjol
dengan dilakukannya perekrutan oleh PNS. Itu sebabnya
beberapa waktu lalu proses perekrutan PNS di beberapa
daerah telah menimbulkan demonstrasi dan situasi chaos
(Layanan Publik, 2006)
Situasi problematis lainnya dalam perekrutan PNS adalah
kekuatan eksternal yang mendorong terjadinya intervensi
politik dalam proses rekrutmen. Hal ini disebabkan karena
birokrasi di Indonesia masih belum terpisah secara total
dengan politik. Keinginan pihak-pihak tertentu –misalnya
partai politik- untuk menjadikan birokrasi sebagai mesin
politik, juga ikut mempengaruhi sukarnya melakukan
reformasi rekrutmen PNS (lihat, Sunantara, 2006).
Paling tidak, komitmen partai politik untuk mendorong
terjadinya perubahan proses dan substansi rekrutmen
akan membantu percepaten perbaikan rekrutmen PNS.
Besarnya intervensi politik dalam birokrasi Indonesia saat
ini juga ditandai oleh proses pengisian jabatan-jabatan
dalam birokrasi yang dipenuhi dengan hubungan afiliasi.
Persoalan kedua yang harus menjadi acuan dalam reformasi
kepegawaian adalah sistem penggajian PNS. Tingkat
kesejahteraan PNS yang rendah sangat mempengaruhi
kinerja dan perilaku PNS. Persoalannya terletak pada tidak
seimbangnya antara kebutuhan yang harus dikeluarkan
Situasi problematis lainnya dalam perekrutan PNS adalah kekuatan eksternal yang mendorong terjadinya intervensi politik dalam proses rekrutmen.
Reformasi Birokrasi
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Birokrasi yang Bekerja dan Melayani
184
oleh seorang PNS, dengan gaji yang diterima. Jika mengikuti
logika kehidupan eksisten minimum, maka gaji seorang
PNS hanya dapat hidup setengah bulan saja. Kenaikan
gaji yang dilakukan secara bertahap dengan persentase
10-15% tidak merupakan solusi bagi kecukupan PNS untuk
memenuhi kebutuhannya selama sebulan. Besaran gaji
yang tidak kompetitif dibandingkan dengan sektor swasta
telah menyebabkan berbagai komplikasi masalah moral
dan integritas sumber daya aparatur negara di Indonesia.
Seringkali dikenal dalam kehidupan sehari-hari ungkapan
yang mencerminkan ketidakjelasan besaran gaji yang
diterima PNS Indonesia, misalnya “Gaji boleh kecil, tetapi
take home pay tidak terbatas” atau “PNS tidak hidup dari
gaji, melainkan dari penerimaan lain-lain”.
Meskipun UU 43 tahun 1999 tentang Kepegawaian Negara
pada prinsipnya menganut sistem merit, tetapi dalam
pengaturan dan praktek penggajian PNS di Indonesia masih
belum mencerminkan hal tersebut. Hal ini dapat dilihat
antara lain dari berbagai persoalan yang menyangkut
sistem penggajian di Indonesia. Gaji pokok masih tidak
didasarkan standar kompetensi. Hal ini disebabkan bahwa
klasifikasi jabatan masih belum didasarkan pada standar
kompetensi seseorang. Disisi lainnya, jenis tunjangan
sangat banyak, tetapi belum memperhatikan tugas,
wewenang dan tanggungjawab serta prinsip-prinsip
keadilan. Bahkan, total tunjangan yang diberikan lebih
besar dari gaji yang diterima PNS. Banyaknya tunjangan
dan jenis-jenis tunjangan yang beragam ini pada akhirnya
Seringkali dikenal dalam kehidupan
sehari-hari ungkapan yang mencerminkan
ketidakjelasan besaran gaji yang diterima PNS
Indonesia, misalnya “Gaji boleh kecil, tetapi
take home pay tidak terbatas”.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
185
menyulitkan pengukuran berapa besarnya take home
pay seorang PNS. Jika ditambahkan dengan persoalan
“pekerjaan proyek”, maka besarnya tunjangan yang
diterima PNS semakin sulit diukur dan semakin tidak
transparan. Sumber-sumber pembiayaan gaji pun sangat
beragam, sehingga membuat income seseorang dalam
jabatan negara tidak transparan. Bahkan, besarnya gaji
yang diterima oleh PNS hanya berkisar 20-30% dari take
home pay yang diterima oleh seorang PNS. Ini pula yang
menyebabkan pemberian suap dan gratifikasi dalam
pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan.
Hal lain yang turut mewarnai carut-marutnya sistem peng-
gajian PNS di Indonesia adalah koneksi sistem penggajian
dengan sistem penilaian kinerja. Sudah menjadi rahasia
umum, bahwa gaji PNS di Indonesia dibayarkan secara
sama tanpa memperhatikan kinerja yang dilakukan.
Dengan bahasa lugas, seringkali disebut “pinter goblok,
penghasilan sama (PGPS)”. Tidak berlebihan untuk
mengatakan hal tersebut. Bahkan seorang PNS yang tidak
memiliki tugas pasti, juga mendapatkan gaji, seperti halnya
PNS yang melaksanakan tugasnya dengan baik. Akhirnya,
seringkali gaji yang diterima PNS tidak memberikan
insentif bagi pelaksanaan kinerja yang semakin baik.
Dalam pengertian lain, sistem penggajian PNS belum
berdasar pengukuran kinerja. Hal ini pula yang mematikan
kreativitas dan inovasi PNS dalam bekerja. Ketiaadaan
analisis jabatan dan klasifikasi jabatan menyebabkan
penggajian masih belum berbasis pada bobot pekerjaan.
Reformasi Birokrasi
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Birokrasi yang Bekerja dan Melayani
186
Selanjutnya, terkait erat dengan persoalan kepegawaian
negara adalah sistem penilaian kinerja. Sangat sulit
mencari ukuran untuk mengatakan bahwa PNS di
Indonesia memiliki karakter profesionalisme dalam
kinerja. Karena profesionalisme dalam kinerja memiliki
ukuran-ukuran yang bisa secara kuantitatif terukur dan
dapat diperbandingkan. Selama ukuran yang dijadikan
sebagai indikator kinerja seorang PNS adalah Daftar
Penilaian Prestasi Pegawai (DP3), maka sulit rasanya
mengukur kinerja PNS. Hal ini karena ukuran-ukuran
kinerja dalam DP3 sangat bersifat umum dan sangat
memungkinkan memasukkan unsur-unsur like and dislike
pimpinan kepada bawahan. Ketidakjelasan pengukuran
kinerja mempunyai dampak berupa ketidakjelasan standar
promosi jabatan. Seseorang dipromosikan dalam jabatan
tidak berdasarkan kinerjanya, tetapi lebih berdasarkan
kesetiaannya dan kedekatannya dengan seorang atasan.
Bahkan sampai saat ini kita tidak memiliki stok nama
pejabat dan pegawai dengan kompetensi dan kinerja yang
menjadi dasar promosi jabatan.
Persoalan internal lainnya dalam sistem kepegawaian
adalah lemahnya pengawasan terhadap perilaku dan
disiplin pegawai. Sebagai suatu sistem, maka sub sistem
kepegawaian saling terkait. Artinya ketidakjelasan sistem
rekrutmen, penggajian, pengukuran kinerja dan promosi
juga berdampak pada pengawasan terhadap perilaku
dan disiplin pegawai. Keterkaitan ini ibarat lingkaran
setan yang sulit ditentukan ujung pangkalnya. Lemahnya
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
187
penegakkan pengawasan disebabkan oleh ketiadaan
standar kinerja, rendahnya gaji, dan promosi yang kental
dengan afiliasi. Dalam prakteknya yang terjadi adalah
sulitnya mengawasi membengkaknya kekayaan dan harta
pegawai, penerimaan hadiah dan gratifikasi menjadi
hal yang lumrah, dan kehadiran pegawai menjadi tidak
penting lagi.
Secara eksternal, carut marutnya sistem kepegawaian
di Indonesia juga diwarnai oleh kooptasi partai poli-
tik terhadap PNS. Ketidaknetralan PNS seringkali
menyebabkan penyalahgunaan kewenangan oleh Pejabat
dan PNS. Sulitnya membedakan antara tugas sebagai PNS
dan keberpihakannya pada partai politik, menyebabkan
sistem kepegawaian tidak lagi berdasarkan kepada sistem
merit, tetapi kepada spoil system. Anggaran negara tidak
digunakan semestinya, melainkan atas kepentingan-
kepentingan afiliasi politik. Promosi jabatan juga dilakukan
atas dasar kedekatan hubungan dengan kolega dan
pertemanan politik.
Baik problem internal sistem kepegawaian, maupun
problem kooptasi politik terhadap birokrasi akan
mempengaruhi kinerja birokrasi secara keseluruhan.
Karena beberapa reformasi kepegawaian harus diarahkan
untuk memujudkan PNS yang profesional, independen
dan berbudaya melayani masyarakatnya.
Reformasi Birokrasi
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Birokrasi yang Bekerja dan Melayani
188
Untuk mengatasi berbagai persoalan di atas, perlu
dilakukan berbagai perubahan sistem untuk
menuju arah perubahan yang dikehendaki. Un-
tuk menghasilkan calon-calon PNS yang baik, maka proses
rekrutmen merupakan pengungkit utama. Karena itu ada
beberapa rekomendasi arah perubahan sistem perekrutan.
Dalam hal perekrutan, harus dilakukan terlebih dahulu job
analisis setiap jabatan dan pekerjaan di semua sektor dan
semua level pemerintahan. Hal ini untuk mengetahui job
requirement yang dibutuhkan dan harus dipenuhi oleh
calon-calon PNS. Persyaratan jabatan dan pekerjaan ini
diturunkan dalam materi eksaminasi yang mencerminkan
kompetensi yang dimiliki oleh pelamar.
Arah perubahan lainnya adalah perlunya dilakukan
penghitungan secara pasti existing condition PNS yang ada
pada saat ini. Existing condition ini mencerminkan tidak
saja jumlah pegawai terhadap penduduk (rasio beban
kerja), tetapi juga kualifikasi yang dimiliki oleh pegawai.
Kebutuhan pemetaan ini memiliki relevansi terhadap
jumlah dan kompetensi calon-calon PNS yang akan
direkrut. Sehingga perekrutan PNS bukan hanya sekadar
proyek tahunan karena adanya anggaran dan formasi bagi
PNS di setiap sektor dan level pemerintahan. Perekrutan
harus berdasarkan kepada needs assessment yang telah
dilakukan secara cermat.
Dalam hal pelaksanaannya, proses perekrutan harus
dilakukan oleh lembaga profesional yang independen
bukan oleh pemerintah (baik pusat maupun daerah).
Arah Pertumbuhan dan Perubahan Sistem Kepegawaian yang
Profesional
Untuk menghasilkan calon-calon PNS yang
baik, maka proses rekrutmen merupakan
pengungkit utama.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
189
Pemerintah hanya menjadi regulator dan pengawasan,
sedangkan pelaksanaan rekrutmen dilakukan oleh sebuah
komisi kepegawaian negara yang anggotanya terdiri dari
para profesional, seperti kalangan perguruan tinggi dan
profesional swasta lainnya. Komisi Kepegawaian Negara
menyiapkan desain materi eksaminasi, pelaksanaan
perekrutan, sampai kepada penetapan calon PNS yang
terpilih. Untuk menjaga independensi Komisi Kepegawaian
Negara, para anggota direkrut secara profesional melalui
fit and proper test seperti halnya komisi-komisi lain yang
ada pada saat ini.
Model-model substansi dan materi eksaminasi dapat
dilaksanakan dengan metode patok banding yang
digunakan oleh pihak swasta. Dalam hal ini termasuk
penggunaan teknologi informasi dan komunikasi baik
dalam pendaftaran sampai proses pengumuman.
Proses rekrutmen yang transparan dan terbuka tidaklah
menjamin calon-calon PNS yang memiliki kompetensi
dan moral yang baik, karena proses rekrutmen hanyalah
satu dari subsistem dalam birokrasi. Karena itu, perbaikan
perekrutan PNS harus diikuti dengan perbaikan subsistem-
subsistem lainnya.
Arah pertumbuhan dan perubahan sistem selanjutnya
terkait dengan sistem penggajian. Dalam hal ini beberapa
catatan yang dibuat oleh Bekke dkk. Reformasi penggajian
menurut Bekke harus berdasarkan “individual worker
based, training, competency, experience, productivity, or
Proses rekrutmen yang transparan dan terbuka tidaklah menjamin calon-calon PNS yang memiliki kompetensi dan moral yang baik, karena proses rekrutmen hanyalah satu dari subsistem dalam birokrasi.
Reformasi Birokrasi
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Birokrasi yang Bekerja dan Melayani
190
some other attribute” (Bekke, Perry dan Toonen, 1996).
Jenjang penggajian bagi PNS dengan demikian harus
berdasarkan pada kinerja pekerjaan seseorang, training
yang sudah diikuti, kompetensi yang dimiliki, pengalaman,
produktivitas, dan beberapa atribut penting. Menaikkan
gaji tanpa memperhatikan faktor-faktor tersebut tidak
akan berdampak secara efektif bagi peningkatan kinerja
birokrasi secara keseluruhan. Bahkan sebaliknya, gaji yang
dinaikkan hanya akan menyebabkan inefisiensi.
Pada sisi lainnya, Bekke dkk juga mengingatkan agar
paritas antara gaji swasta dan negeri untuk beban
kerja yang kurang lebih sama tidak boleh terlalu tinggi.
Karena hal ini akan menyebabkan interaksi ekonomi
politik antara pegawai yang bekerja di sektor publik
dengan pegawai di sektor private. Demikian juga, harus
dimungkinkan perbedaan besarnya gaji antara individu
dan kelompok-kelompo kerja di dalam satu instansi.
Untuk mengefektifkan gaji yang diterima dengan kinerja
yang diperoleh, maka perlu diatur secara rinci pengaruh
reward terhadap kinerja. Dalam pengertian ini, harus
dimungkinkannya disinsentif bagi penurunan kinerja.
Terkait dengan jumlah besaran gaji yang harus dinaikkan,
penulis berpandangan bahwa upaya yang dilakukan
selama ini dengan cicilan kenaikan sebesar 10%-15%,
tidak memiliki dampak yang besar bagi peningkatan
kinerja. Hal ini karena, kenaikan dengan cicilan tersebut
serta merta diikuti dengan kenaikan inflasi, disamping
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
191
juga tidak memenuhi unsur kecukupan dan kebutuhan
minimal. Dengan memperhatikan kondisi sosial dan
ekonomi tersebut, maka penulis berpandangan agar
kenaikan gaji PNS dilakukan dengan menghitung jumlah
besaran eksisten minimum kehidupan layak seorang PNS
dengan memperhatikan jabatan, kompetensi, kinerja,
jumlah keluarga tingkat kemahalan dan faktor-faktor
lain. Sejauh ini persoalan menaikkan gaji sesuai dengan
kebutuhan minimum sangat terganjal oleh komitmen
pemerintah untuk menyediakan dana yang dibutuhkan.
Arah pertumbuhan dan perubahan sistem lainnya yang
harus dilakukan adalah pengukuran kinerja. Instrumen
penting dalam hal ini adalah adanya kesepakatan kinerja
antara seorang PNS dengan unitnya, dan antara satu unit
dengan instansinya. Hal ini sejatinya sudah diwacanakan
dengan konsep kontrak kinerja. Hanya saja implementasi
kontrak kinerja ini belum optimal, disebabkan oleh konsep
dan political will pemerintah yang masih rendah. Melihat
apa yang dilakukan di beberapa negara, kontrak kinerja
ini dilakukan dalam bentuk tim melalui apa yang disebut
sebagai kontrak menajemen. Setiap tim (unit) membuat
indikator-indikator kinerja yang akan dicapai dalam
kurun waktu tertentu (satu bulan, tiga bulan, enam bulan
dan satu tahun). Dan setiap individu dalam tim, harus
melaksanakan sejumlah indikator yang telah ditetapkan.
Indikator-indikator yang telah disusun dievaluasi
oleh kepala unit dan seterusnya oleh kepala instansi
pemerintah. Tercapainya indikator akan menentukan
Setiap tim (unit) membuat indikator-indikator kinerja yang akan dicapai dalam kurun waktu tertentu.
Reformasi Birokrasi
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Birokrasi yang Bekerja dan Melayani
192
juga reward dan punishment yang akan diberikan. Hal ini
juga sekaligus menjadi catatan penting dalam kinerja dan
promosi seseorang.
Arah pertumbuhan lain yang dikehendaki untuk melakukan
reformasi kepegawaian adalah penguatan pengawasan
kode etik dan perilaku terhadap PNS. Dalam konteks ini ada
dimensi yang harus diperhatikan. Pertama, terkait dengan
lembaga yang akan melakukan pengawasan, kedua terkait
dengan substansi pengawasan. Berkaca dari praktek di
beberapa negara, pengawasan terhadap PNS dilakukan
oleh lembaga-lembaga independen yang profesional
(seperti civil service gift commission, civil service property
commission). Sedangkan menyangkut dimensi substansi
dapat meliputi pengawasan terhadap harta dan kekayaan
PNS, pengawasan terhadap kode etik, pengawasan
penerimaan hadiah, dan pengawasan terhadap PNS yang
sudah pensiun. Pengungkit penting untuk mencegah
terjadinya kasus Gayus adalah pembuktian terbalik atas
kekayaan PNS. Setiap PNS harus dapat membuktikan
sumber dari kekayaan yang dimilikinya.
Sedangkan menyangkut kooptasi politik terhadap
birokrasi, perlu kiranya dilakukan reformasi hubungan
antara pejabat politik dan pejabat karir. Pemisahan antara
pemilihan pejabat politik dan pejabat karir dalam suatu
jabatan dimaksudkan untuk menjamin agar birokrasi tidak
diisi oleh pejabat-pejabat politik, tetapi oleh pejabat-
pejabat karir yang telah meniti karir melalui jenjang karir
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
193
dan merit yang jelas. Perlu kiranya memikirkan pemisahan
antara kementrian (yang dipimpin oleh seorang menteri)
dan birokrasi (dengan istilah baru penulis “Departemen”)
yang dipimpin oleh seorang pejabat karir. Sedangkan
untuk mengakomodasi kepentingan politik menteri, perlu
ditunjuk pejabat politik sebagai staf khusus menteri.
Pengungkit lainnya dalam menciptakan aparatur negara
yang profesional dan bermoral baik adalah pengisian
jabatan-jabatan birokrasi yang dilakukan secara terbuka
baik antar sektor maupun antar pusat dan daerah. Hal
ini akan mengurangi kooptasi politik terhadap birokrasi,
sekaligus menciptakan kompetisi internal dalam birokrasi.
Setiap pejabat yang memenuhi syarat jabatan dan
kompetensi dapat mengajukan diri secara terbuka untuk
menduduki jabatan-jabatan dalam birokrasi. Jika tidak
semua jabatan, maka bisa diatur secara bertahap proses
pengisian yang dilakukan secara terbuka. Disamping itu,
untuk memperkuat dan menjadikan PNS sebagai perekat
NKRI, perlu pula dipikirkan rotasi PNS antar daerah dan
antara pusat dan daerah. Rotasi PNS disamping akan
menjadi perekat NKRI juga akan mengurangi kooptasi
politisi atas birokrat dalam pengisian jabatan.
Reformasi kepegawaian merupakan salah satu
sub sistem reformasi birokrasi. Keberhasilan
reformasi birokrasi akan sangat ditentukan oleh
keberhasilan reformasi kepegawaian. Dalam reformasi
Pengungkit lainnya dalam menciptakan aparatur negara yang profesional dan bermoral baik adalah pengisian jabatan-jabatan birokrasi yang dilakukan secara terbuka baik antar sektor maupun antar pusat dan daerah.
Penutup
Reformasi Birokrasi
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Birokrasi yang Bekerja dan Melayani
194
kepegawaian maka subsistem yang harus direformasi
adalah sistem perekrutan, penggajian, pengukuran kinerja,
promosi dan pengawasan terhadap etik dan perilaku PNS.
Upaya yang tidak sistematis dan komprehensif, hanya
akan menimbulkan persoalan baru dalam birokrasi di
Indonesia.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
195
Prasojo, Eko, “Reformasi Birokrasi di Indonesia: Beberapa
Catatan Kritis”, dalam: Jurnal Bisnis dan Birokrasi,
Vol. XIV/1/Januari 2006.
Sunantara, I Gede Arya, “Rekiblatisasi Peran Strategis
Korpri: Sebagai Garda Depan Birokrasi Indonesia”,
dalam: Jurnal Bisnis dan Birokrasi, Vol. XIV/1/
Januari 2006.
Layanan Publik, “Menpan Penuhi Janji”, Tahun II, Edisi XI,
2006.
Mujiyono, “CPNS dan Pemberdayaan Aparatur”, dalam:
Jurnal Layanan Publik, Tahun II, Edisi XI, 2006
Bekke, Hans; Perry James; Toonen,Theo, Civil Servive
System in Comparative Perspective, Indiana
University, 1996.
Daftar Kepustakaan
Reformasi Birokrasi
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
196
Setelah memenangkan Pemilu Legislatif pada Pemilu
2004 di Jakarta, dalam Musyawarah Wilayah,
DPW PKS DKI Jakarta mencanangkan tagline
“Saatnya Memimpin dan Melayani Ibukota”. Terdapat
dua kata kunci disini yaitu kepemimpinan dan pelayanan.
Memimpin artinya PKS DKI Jakarta ingin melanjutkan
kemenangan Pemilu 2004 dalam Pilkada 2007. Dan
pelayanan menunjukkan komitmen bahwa jika Allah
SWT menghendaki kepmimpinan ibukota kepada PKS,
maka pelayanan kepada publik harus menjadi orientasi
dari amanah kepemimpinan tersebut. Dalam konteks ini,
maka pemimpin tersebut harus mampu membawa atau
jika perlu melakukan reformasi terhadap birokrasi untuk
menjadikan birokrasi yang mampu melayani rakyatnya.
Reformasi birokrasi tidak dapat dipisahkan dari usaha
mencapai kesejahteraan masyarakat, karena birokrasi
adalah alat untuk menyampaikan (delivery) kebijakan-
kebijakan dan program yang dibuat bagi masyarakat.
Bahkan reformasi birokrasi menjadi salah satu dari
tiga pilar dan prasyarat untuk mewujudkan negara
kesejahteraan (welfare state). Disadari bahwa upaya
mewujudkan kesejahteraan rakyat hanya dapat dilakukan
melalui pengelolaan anggaran yang efisien serta birokrasi
Birokrasi adalah alat untuk menyampaikan
(delivery) kebijakan-kebijakan dan program
yang dibuat bagi masyarakat.
Menuju Birokrasi yang Melayani
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
197
Menuju Birokrasi yang Melayani
yang bersih, efektif, transparan dan melayani rakyat
sepenuh hati.
Birokrasi di Jakarta sendiri saat ini menunjukkan wajah
yang buram dan sangat sulit diharapkan. Iklim usaha yang
tidak kondusif ditunjukkan dengan peringkat Indonesia
(diwakili oleh Jakarta) yang masih diatas 100 diantara
negara-negara lain dalam survey cost of doing business
Bank Dunia. Hal ini tentu menjadi indikator buruknya
pelayanan birokrasi dalam bidang ekonomi.
Survei yang dilakukan Kementerian Pendayaguaan Aparatur
Negara Tahun 2006 terhadap 10 kota menunjukkan Jakarta
sebagai kota peringkat kedua terburuk dalam kepuasan
masyarakat atas pelayanan publik. Sementara survei
Kompas pada 2007 menggambarkan bahwa birokrasi
Jakarta gagal dalam menjalankan fungsi pelayanan
umum. Sosiolog dari UI, Prof. Tamrin Amal Tamagola
juga menyatakan bahwa ada lima penyakit birokrasi
ibukota yaitu Incoherence, Inward looking, Inconsistence,
Incompetence, Impotence yang menyebabkannya tidak
dapat melayani masyarakat dengan baik.
Ada dua alasan penting mengapa reformasi biro-
krasi menjadi bagian yang tak terpisahkan da-
lam mewujudkan kesejahteraan masyarakat
Jakarta. Pertama, birokrasi yang gemuk di Jakarta akibat
otonomi yang berada pada tingkat propinsi menyebabkan
Tuntutan Reformasi Birokrasi
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Birokrasi yang Bekerja dan Melayani
198
implementasi kebijakan dalam bentuk program pada level
bawah (kecamatan/kelurahan) yang bersentuhan langsung
dengan masyarakat menjadi lamban. Belum lagi, birokrasi
pada hampir semua level juga masih belum mengalami
perubahan paradigma dari budaya minta dilayani menjadi
budaya melayani. Hambatan birokrasi dalam mendukung
pelayanan dan upaya menciptakan kesejahteraan bagi
warga juga diakui oleh seorang mantan gubernur yang
menyatakan bahwa sebaik apapun kebijakan yang diambil
gubernur Jakarta, tidak akan berjalan jika sumberdaya
manusia birokrasi tidak dibenahi. Kelambananan dan
paradigma dilayani menyebabkan Jakarta disandera
birokrasi.
Sementara pada saat yang sama, program-program yang
bersifat pro-poor dilakukan dalam bentuk yang cenderung
seragam tanpa memperhatikan perbedaan kondisi antar
wilayah, bentuk dan penyebab kemiskinan serta masalah
kesejahteraan yang terjadi. Padahal dengan pola demikian,
dibutuhkan birokrasi yang penuh inisiatif, kreatif dalam
program dan efisien dalam menjalankan program.
Kedua, persoalan penyimpangan dan perilaku koruptif yang
masih melekat kuat. Perilaku koruptif di jajaran birokrasi
ibukota sebagaimana yang ditunjukkan dalam survei yang
dilakukan Kementerian PAN (2006) dan jejak pendapat
harian Kompas (2007), menyebabkan anggaran untuk
kesejahteraan tidak mencapai sasaran yang diinginkan.
Hal ini terjadi diantaranya karena kecenderungan
pejabat birokrasi untuk berusaha memperluas misi agar
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
199
kekuasaan dan akses mereka terhadap anggaran menjadi
semakin besar. Karena itu tidak mengherankan kalau
banyak birokrasi pemerintah banyak melakukan kegiatan
diluar misi utamanya sebagai pelayan publik. Apalagi
ketika alokasi anggaran tidak didasarkan atas kinerja dan
penilaiannya tidak didasarkan atas output dan capaian
hasil, tapi lebih didasarkan atas volume kegiatan.
Upaya mewujudkan kesejahteraan yang dirasakan
seluruh warga Jakarta khususnya kelompok miskin,
dibutuhkan peran pelayanan birokrasi untuk mendukung
pelaksanaan program-program yang dilakukan. Program
dan alokasi anggaran untuk kelompok miskin dan marjinal
sudah seharusnya dirasakan manfaatnya oleh kelompok
tersebut. Dari hal yang mendasar tersebut, secara
bertahap, program-program yang menuju pemenuhan
kebutuhan dasar dan jaminan sosial bagi seluruh warga
Jakarta secara layak dapat terpenuhi.
Langkah strategis berikutnya yang dilakukan adalah
memperkuat penerimaan daerah dari sumber-sumber
penerimaan potensial yang wajar, termasuk dengan
mengurangi kebocoran potensi penerimaan, pengelolaan
anggaran yang transparan serta belanja anggaran yang
efisien melalui pelibatan partisipasi publik (participatory
budgetting).
Jakarta membutuhkan strategi khusus dan komprehensif
dalam melakukan reformasi birokrasi mengiongat
besarnya volume anggaran yang dikelola, posisi Jakarta
Jakarta membutuhkan strategi khusus dan komprehensif dalam melakukan reformasi birokrasi mengingat besarnya volume anggaran yang dikelola, posisi Jakarta sebagai ibukota negara dan etalase Indonesia di mata dunia.
Menuju Birokrasi yang Melayani
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Birokrasi yang Bekerja dan Melayani
200
sebagai ibukota negara dan etalase Indonesia di mata
dunia serta kebutuhan untuk kesejahteraan warganya.
PKS Jakarta dengan jargon Bersih, Peduli dan Profesional
memiliki konsep yang jelas tentang arah reformasi birokrasi
yang akan dilakukan, namun terlalu panjang untuk
dijelaskan pada kesempatan ini. PKS Jakarta menyadari
bahwa cita-cita mewujudkan welfare and sustainable
city membutuhkan birokrasi yang komit pada pelayanan
public dan kemampuan men-delivery program-progran
yang pro publik. Bersih dan professional adalah cerminan
intergitas dan kapabilitas (profesionalisme) yang menjadi
modal dasar sekaligus tuntutan dalam membangun
birokrasi yang melayani.
*) Dimuat di Tabloid Partai Keadilan Sejahtera DKI Jakarta, Agustus 2008
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
201
Menuju Birokrasi yang Melayani
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Potret kemiskinan di DKI Jakarta semakin buram.
Terlepas dari berbagai program pengentasan
kemiskinan, angka kemiskinan di DKI Jakarta
terus memperlihatkan trend meningkat dalam tahun-
tahun terakhir (lihat tabel 1). Berdasarkan data BPS DKI
Jakarta pada tahun 2005, penduduk miskin di DKI Jakarta
berjumlah 633.212 jiwa dengan 150.492 rumah tangga.
Ini berarti ada kenaikan angka kemiskinan sebesar 70%
dibandingkan dengan kondisi tahun 2004. Kenaikan ini
“jauh lebih buruk” bila dibandingkan dengan kenaikan
angka kemiskinan tahun-tahun sebelumnya yang “hanya”
sebesar 17% dan 8%, di tahun 2004 dan 2003. Di tahun
2006 dan 2007, angka kemiskinan di Jakarta diperkirakan
masih akan meningkat mengingat buruknya kondisi
makroekonomi nasional akibat kenaikan harga BBM hingga
dua kali yaitu pada bulan Maret dan Oktober 2005.
Secara umum, dalam lima tahun terakhir (2000-2005),
penduduk miskin Jakarta rata-rata meningkat 20,53% per
tahun. Angka kemiskinan-pun memburuk dari 4,06% pada
2000 menjadi 7% pada 2005, meningkat hampir dua kali
lipat. Dengan penduduk Jakarta yang pada 2005 mencapai
9 juta jiwa, angka kemiskinan ini mungkin terlihat tidak
terlalu besar, terlebih bila dibandingkan dengan angka
kemiskinan nasional yang pada 2005 mencapai 15,97%.
Potret dan Peta Kemiskinan di DKI
Jakarta
Menanggulangi Kemiskinan di Ibukota
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
204
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menanggulangi Kemiskinan di Ibukota
Namun untuk sebuah kota metropolitan sebesar dan
semakmur Jakarta, angka dan trend kemiskinan sebesar
ini menjadi sangat memprihatinkan.
Dilihat dari peta kemiskinan (poverty map), persebaran
kemiskinan di Jakarta terjadi secara tidak merata. Kasus
kemiskinan di Jakarta terlihat terkonsentrasi di Jakarta
Utara (lihat tabel 2). Dari tahun ke tahun, Jakarta Utara
secara konsisten menempati kasus tertinggi dalam
kemis kinan. Urutan kedua ditempati oleh Jakarta timur.
Kombinasi kedua wilayah ini secara agregat mendominasi
sekitar 60% kasus kemiskinan di Jakarta. Sedangkan kasus
kemiskinan terendah ditempati Kepulauan Seribu dan
Jakarta Selatan.
Diakui atau tidak, Jakarta ternyata tidak memiliki
strategi penanggulangan kemiskinan secara
khusus dan komprehensif. Dalam dokumen
pem bangunan daerah terakhir yaitu Rencana Strategis
Daerah (Renstrada) 2002-2007, tidak terdapat program-
program pengentasan kemiskinan yang spesifik dan ter-
arah. Dengan demikian, pengentasan kemiskinan lebih
banyak didasarkan pada strategi makro yang berbasis
pada pertumbuhan.
Strategi pengentasan kemiskinan konvensional umumnya
berbasis pada strategi pertumbuhan ekonomi. Hal ini
merupakan implikasi dari pendefinisian kemiskinan hanya
Pertumbuhan dengan Ketimpangan Sosial
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
205
Bekerja untuk Ibukota
sebagai masalah ekonomi belaka, yaitu ketidakmampuan
memenuhi kebutuhan dasar. Namun strategi berbasis
pertumbuhan ekonomi kini semakin tidak efektif untuk
mengentaskan kemiskinan. Kemiskinan tetap persisten
walau berada di tengah tingkat pertumbuhan yang
meyakinkan1. Pertumbuhan ekonomi semakin dirasakan
tidak mencukupi untuk mengentaskan kemiskinan2.
Di Jakarta, pertumbuhan ekonomi juga terlihat semakin
tidak efektif dalam mengentaskan kemiskinan. Setelah
mengalami pertumbuhan ekonomi negatif pada 1998 dan
1999 masing-masing sebesar -17,6% dan -1,3% akibat
krisis ekonomi, perekonomian DKI Jakarta mulai pulih
pada tahun 2000, dan terus menguat pada tahun-tahun
berikutnya. Namun, herannya, di saat pertumbuhan
ekonomi terus menguat, angka kemiskinan justru semakin
meningkat secara signifikan.
Strategi pengentasan kemiskinan kota dapat di-
la kukan dalam lima kerangka kebijakan yang
memihak orang miskin (pro-poor), kita sebut saja
ia dengan strategi 5-PRO (lihat tabel 6).
Pro yang pertama, mendorong pertumbuhan ekonomi
1 Joseph E. Stiglitz. Globalization and Its Discontents. New York: W.W. Norton
& Company, Inc., 2002, hal. 5.
2 Gerald M. Meier. “The Old Generation of Development Economists and the
New”, in Gerald M. Meier and Joseph E. Stiglitz. eds., Frontiers of Develop-
ment Economics: The Future in Perspective. Washington, D.C.: Oxford Uni-
versity Press, Inc., 2001, hal. 24..
Strategi Lima Pro
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
206
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
yang berbasis pada masyarakat secara luas (pro-poor
growth). Pembangunan ekonomi harus berorientasi pada
sektor riil. Fokus pembangunan pada sektor riil bertujuan
un tuk menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya de-
ngan tujuan akhir penurunan kemiskinan. Kebijakan disini
dapat berfokus pada: (i) dukungan kebijakan dan institusi
untuk sektor-sektor yang banyak menyerap tenaga kerja;
(ii) revitalisasi program PPMK untuk pemberdayaan UKM
dan ekonomi rakyat melalui penciptaan pasar kredit mikro
yang fleksibel, membangun kemitraan, membuka jaringan
pemasaran dan asistensi dalam manajemen dan teknologi
produksi; (iii) revitalisasi Balai Latihan Kerja sebagai wadah
pencetak tenaga trampil dan wirausahawan baru.
Pro-poor growth juga dapat diraih melalui usaha pengem-
bangan ekonomi kerakyatan, sektor informal dan UKM.
Pembangunan sektor informal dan UKM akan memiliki
dam pak yang besar pada pengentasan kemiskinan dan
penurunan kesenjangan pendapatan. Kebijakan ter kait
disini antara lain: (i) Menghentikan penggusuran dan
penghilangan hak berusaha secara paksa serta meng-
hormati hak-hak ekonomi rakyat miskin; (ii) mengatur
dan menegakkan regulasi atas pasar dan ritel modern,
ter masuk ketentuan jarak dengan pasar tradisional dan
pe nyediaan lahan untuk UKM; (iii) meningkatkan daya
saing pasar tradisional, termasuk revitalisasi manajemen
pengelola pasar; (iv) pembinaan terhadap pedagang kaki
lima (PKL), termasuk pengembangan PKL potensial di
lokasi yang kondusif.
Menanggulangi Kemiskinan di Ibukota
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
207
Bekerja untuk Ibukota
Selain itu pemerintah juga harus mendorong pembangunan
daerah kumuh kota. Penduduk miskin banyak terkonsentrasi
di daerah kumuh. Maka pengembangan ekonomi daerah
kumuh akan memiliki banyak dampak pada pengentasan
kemiskinan. Kebijakan yang dapat didorong disini antara
lain: (i) mendukung secara aktif program pembangunan
rusun; (ii) pembangunan infrastruktur di daerah kumuh,
dan perbaikan dan rehabilitasi daerah tempat tinggal
orang miskin.
Pro yang kedua adalah mendorong penciptaan anggaran
daerah yang memihak kepada kepentingan rakyat
miskin (pro-poor budgeting). Langkah terpenting disini
adalah penghapusan pemborosan dan korupsi di APBD.
Penghematan dan penghapusan korupsi dalam anggaran
negara, akan memberi sumber dana yang signifikan
bagi pembiayaan program pengentasan kemiskinan.
Kebijakan penghematan APBD antara lain dengan
penciptaan mekanisme anggaran yang dapat menjamin
bahwa pengeluaran-pengeluaran pemerintah berada
pada tingkat yang wajar, menghapus kegiatan-kegiatan
pejabat publik yang tidak bermanfaat bagi rakyat miskin,
serta menghapus duplikasi kegiatan yang dilakukan oleh
berbagai instansi. Pada saat yang sama, pola belanja
publik juga harus diperbaiki agar semakin berpihak pada
kepentingan rakyat banyak. Termasuk diantaranya ialah
alokasi dana untuk pelayanan publik dasar (kesehatan
dan pendidikan), pemberdayaan ekonomi rakyat,
serta pembiayaan UKM dan sektor informal. Kapasitas
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
208
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
fiskal pemerintah kota juga dapat ditingkatkan melalui
upaya-upaya yang serius untuk menyelamatkan dan
menjaga aset-aset daerah serta pengelolaan BUMD yang
profesional.
Pro yang ketiga adalah mendorong pembangunan
infrastruktur yang berpihak pada kepentingan orang miskin
(Pro-poor infrastructure). Pengalaman di banyak negara-
negara, dan juga dari pengalaman Indonesia sendiri,
menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur adalah
salah satu cara yang paling efektif untuk menurunkan
kemiskinan. Untuk kasus DKI Jakarta, infrastruktur
yang penting dan sangat mendesak pengadaannya
Menanggulangi Kemiskinan di Ibukota
Strategi Penanggulangan Kemiskinan Kota di DKI Jakarta
Strategi Kebijakan
1. Pertumbuhan ekonomi yang berbasis luas (pro-poor growth)
Pembangunan ekonomi yang berorientasi pada: (i) penciptaan lapangan kerja, (ii) mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat, (iii) serta pembangunan daerah kumuh.
2. Penciptaan anggaran negara yang memihak rakyat miskin (pro-poor budgeting)
(i) Penghapusan pemborosan dan korupsi anggaran; (ii) memperbaiki pola alokasi pengeluaran pemerintah; dan (iii) meningkatkan kapasitas fiskal pemerintah kota.
3. Pembangunan infrastruktur yang memihak orang miskin (pro-poor infrastructure).
(i) Investasi pada infrastruktur transportasi massal; (ii) infrastruktur pengendali banjir; dan (iii) investasi pada infrastruktur pengolahan sampah dan limbah
4. Pelayanan publik dasar yang memihak masyarakat luas (pro-poor services)
(i) melakukan reformasi birokrasi; (ii) mewujudkan layanan administrasi publik yang mudah, cepat dan pasti; (iii) memperbaiki pendidikan; dan (iv) memperbaiki kesehatan
5. Kebijakan pemerataan dan distribusi pendapatan yang memihak rakyat miskin (pro-poor income distribution)
(i) Memperbaiki pentargetan dari program perlindungan sosial, (ii) memperbaiki akses pemilikan tanah dan perlindungan lingkungan hidup, dan (iii) membangun institusi keuangan mikro yang fleksibel
Sumber: analisis penulis
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
209
Bekerja untuk Ibukota
adalah infrastruktur transportasi dan pengendali banjir.
Infrastruktur transportasi kota perlu diperbaiki dan
ditingkatkan dengan caramembangun sistem transportasi
massal kota yang murah, cepat dan nyaman (mass rapid
transportation), yaitu dengan melanjutkan pembangunan
busway dengan memperbaiki manajemen teknis dan
operasional-nya, merevitalisasi dan meningkatkan cakupan
angkutan kereta api, serta merintis pembangunan subway
dan angkutan air kota; dan mengendalikan pertumbuhan
kendaraan bermotor pribadi dan infrastruktur pendukung-
nya, termasuk jalan tol dalam kota.
Investasi infrastruktur kota yang penting juga adalah inves-
tasi pada infrastruktur pengolahan sampah dan limbah.
Pengolahan sampah dan limbah di DKI Jakarta adalah buruk
yang memberi dampak buruk pada tingkat kesehatan orang
miskin. Pemerintah kota harus aktif dalam mendorong
pembiayaan pembangunan sistem pengelolaan sampah
dan limbah secara terpadu, menghasilkan nilai tambah
ekonomi, dan ramah lingkungan.
Pro yang keempat adalah mendorong penyediaan
pelayanan publik dasar yang berpihak pada kepentingan
masyarakat secara luas (Pro-poor public services).
Hal terpenting dilakukan disini adalah memperbaiki
administrasi publik melalui Birokrasi yang bersih, efisien,
dan murah, adalah bentuk keberpihakan yang paling
nyata bagi rakyat miskin. Reformasi dilakukan dengan:
(i) Merintis “Citizen Charter” untuk komitmen standar
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
210
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
pelayanan minimum untuk pelayanan publik dan (ii)
Menjadikan pelayanan publik sebagai wilayah bebas
korupsi (“Pakta Integritas”. )
Selain itu memperbaiki pendidikan adalah penting bagi
peng entas an kemiskinan. Perbaikan dalam pendidikan
se mestinya berfokus pada usaha mewujudkan jamin-
an pendidikan 12 tahun bagi seluruh masyarakat, me-
ningkatkan mutu pelayanan pendidikan termasuk dengan
standarisasi penyelenggaraan pendidikan, peningkatan
kesejahteraan guru dan meningkatkan kuantitas dan
kualitas fasilitas pendidikan.
Memperbaiki kesehatan juga krusial dalam pengentasan
kemiskinan. Perbaikan tingkat kesehatan akan menurunkan
jumlah penderita sakit dan menaikkan produktivitas
orang miskin. Pembangunan sektor kesehatan semestinya
difokuskan pada upaya mendorong usaha-usaha preventif
daripada kuratif, mewujudkan jaminan kesehatan secara
menyeluruh bagi masyarakat, serta meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan baik dalam aspek infrastruktur dan
fasilitas kesehatan.
Pro yang kelima adalah mendorong kebijakan pemerataan
dan distribusi pendapatan yang memihak rakyat miskin
(Pro-poor income distribution). Program terpenting di sini
adalah memperbaiki pentargetan dari program perlin-
dungan sosial seperti program gakin dan raskin. Program
perlindungan sosial yang ada, seringkali gagal mencapai
orang miskin. Dibutuhkan sistem identifikasi orang
Menanggulangi Kemiskinan di Ibukota
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
211
Bekerja untuk Ibukota
miskin yang murah dan akurat. Selain itu perlu dilakukan
pengembangan program perlindungan sosial yang bersifat
community-based targeting dan self-targeting.
Distribusi pendapatan dapat dilakukan dalam derajat
yang lebih tinggi melalui perbaikan akses pada pemilikan
lahan oleh orang miskin. Aset terpenting bagi penduduk
miskin adalah tanah. Kepastian dalam kepemilikan tanah
akan mendorong pengelolaan dan produktivitas dari
tanah. Maka pemerintah kota harus memfasilitasi proses
sertifikasi tanah yang murah dan mudah, menghentikan
penggusuran-penggusuran yang tidak manusiawi dan tidak
memberikan alternatif solusi, menyelesaikan sengketa
tanah terutama antara rakyat dan perusahaan besar
secara adil, dan bahkan mendorong BUMD menghibahkan
tanah tidur mereka kepada rakyat miskin.
Selain itu, penting pula bagi pemerintah kota untuk
membangun jasa keuangan mikro yang mudah dan
fleksibel. Kesulitan yang sering mengemuka dari rakyat
miskin bukanlah masalah cost of fund yang mahal,
melainkan akses ke pembiayaan yang mudah dan fleksibel.
Rakyat miskin umumnya lebih memilih pembiayaan
dengan prosedur peminjaman yang sederhana walaupun
harus membayar mahal. Hal ini merupakan cermin nyata
bagaimana ketersediaan pasar kredit yang fleksibel
sangat mendesak. Karena itu, implementasi kebijakan
ini secara efektif terlihat menjadi lebih penting daripada
kebijakannya itu sendiri. Revitalisasi program PPMK
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
212
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
sebagai program pembiayaan mikro yang mudah dan
fleksibel namun tetap profesional, nampak menjadi
pilihan yang menjanjikan.
*) Disampaikan dalam diskusi bulanan The Jakarta Institute, Februari 2008
Menanggulangi Kemiskinan di Ibukota
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
213
Pembangunan perumahan untuk rakyat miskin
kota yang layak, sehat dan nyaman, adalah salah
satu cerita kelabu pembangunan di DKI Jakarta.
Data menunjukkan bahwa selama 15 tahun terakhir (1990-
2005), hanya 21.878 unit rusun yang mampu dibangun di
Jakarta. Bandingkan dengan pembangunan apartemen
dan real estate, yang berturut-turut mencapai 26.205 dan
104.304 unit pada rentang waktu yang sama. Sementara
saat ini dibutuhkan sedikitnya 125.000 unit rusun untuk
rumah tangga miskin di DKI Jakarta, yang pada 2005
berjumlah sebesar 150.492 rumah tangga. Rakyat
miskin kota yang tidak memiliki tempat tinggal inilah
yang menciptakan permukiman kumuh dan padat serta
permukiman liar di bantaran sungai, bawah jembatan,
dan jalur hijau.
Selain rendahnya pasokan rumah murah, faktor lain
penyebab permukiman liar dan kumuh, adalah tata ruang
perkotaan yang tidak jelas dan nilai tanah yang tinggi.
Sistem atas hak tanah yang kompleks, dimana terdapat
tujuh macam hak atas tanah mulai dari hak milik sampai
hak guna sementara, dan biaya sertifikasi tanah yang
mahal, semakin menyulitkan warga miskin. Akibatnya
mereka terpaksa tinggal di kawasan padat dan tanah-tanah
ilegal. Hal ini diperburuk dengan lemahnya manajemen
Rumah Untuk Warga Marjinal
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
214
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Rumah Untuk Warga Marjinal
perumahan. Akibatnya, permukiman kota tumbuh secara
tidak terencana dan tingkat efisiensi kawasan menjadi
sangat rendah.
Secara nasional, komitmen pembangunan rumah
bagi rakyat miskin masih relatif rendah. Pada
periode sebelum krisis (1993-1998), pembangunan
rumah sederhana sehat (RSH) per tahun rata-rata 136.000
unit. Namun pada periode 2000-2004, pembangunan
RSH anjlok menjadi hanya sekitar rata-rata 40.000 unit
per tahun. Padahal, pertumbuhan kebutuhan rumah
mencapai 800 ribu unit per tahun, dengan defisit pasokan
perumahan (backlog) mencapai 5,93 juta unit. Pada era
SBY-JK, perkembangan-nya juga tidak menggembirakan.
Di tahun 2004, pembangunan RSH tercatat hanya 50.150
unit. Sedangkan di tahun 2005, hanya mencapai 78.287
unit, jauh dari target Kementrian Perumahan Rakyat yang
mematok target 225.000 unit RSH.
Program pembangunan RSH selama ini gagal mencapai
target setidaknya karena 8 alasan utama: (i) terbatasnya
ketersediaan dan tingginya harga lahan terutama di
daerah perkotaan; (ii) lambatnya proses sertifikasi tanah,
izin lokasi, dan izin mendirikan bangunan; (iii) terbatasnya
penyediaan kredit oleh perbankan serta lambatnya
sosialisasi tentang mekanisme dan prosedur penyaluran
subsidi KPR RSH oleh cabang-cabang perbankan di
daerah; (iv) lambatnya proses pengalihan hak atas tanah
Komitmen Pembangunan Rumah Rakyat
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
215
Bekerja untuk Ibukota
pemerintah daerah untuk kolateral kredit konstruksi
pembangunan perumahan PNS; (v) terbatasnya kapasitas
peminjaman masyarakat untuk mendapatkan KPR RSH;
(vi) bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB)
yang memberatkan konsumen; (vii) terbatasnya dukungan
penyediaan listrik kapasitas 450-900 watt dari Perusahaan
Listrik Negara (PLN) dan air minum dari Perusahaan Daerah
Air Minum (PDAM); dan (viii) meningkatnya harga bahan-
bahan bangunan sehingga harga per unit RSH menjadi
tidak terjangkau masyarakat berpenghasilan rendah.
Pada pertengahan Agustus 2006, pemerintah
mencanangkan program pembangunan 1.000
menara rumah susun (rusun) untuk rakyat miskin
selama tiga tahun ke depan. Rencananya program tersebut
akan dilaksakanan di seluruh kota di Indonesia yang
berpenduduk diatas dua juta orang. Pasca banjir besar
Februari 2007 di Jakarta, rencana ini semakin menguat
dengan fokus utama diarahkan pada pembangunan rusun
di DKI Jakarta, khususnya bagi warga miskin yang tinggal
di bantaran sungai.
Program pembangunan rusun ini menjawab tuntutan
akan besarnya permintaan rumah, khususnya untuk
kalangan bawah-menengah perkotaan. Selain itu,
langlah ini juga akan membawa berbagai hasil positif.
Termasuk di antaranya menghilangkan kawasan kumuh,
menjaga lingkungan, meningkatkan efisiensi lahan dan
Rusun dan Perumahan
Rakyat Miskin Kota
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
216
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
kawasan, mendekatkan penduduk dengan tempat kerja
, mengurangi arus transportasi, kemacetan dan polusi,
serta BBM. Dampak ekonomi dari program ini juga amat
berarti di tengah kelesuan ekonomi. Sektor perumahan
memiliki multiplier effect yang besar melalui dampaknya
ke penyerapan tenaga kerja dan produksi industri-
industri pendukung yang tersebar luas mulai dari industri
kecil seperti pasir dan batu bata hingga industri besar
seperti semen, keramik, besi-baja, listrik, dan air bersih.
Dalam konteks politik luar negeri, program ini juga akan
memberi citra positif bagi DKI Jakarta khususnya dan
Indonesia umumnya di mata dunia internasional terkait
dengan usaha pemenuhan agenda global seperti agenda-
21/Habitat, cities without slums (CWS) initiatives, dan
millenium development goals (MDGs).
Untuk DKI Jakarta, pembangunan rusun ini akan menjadi
titik balik dalam pembangunan perumahan kota, yang
selama ini didominasi rumah horizontal (landed house).
Hunian horizontal kota yang berorientasi komersial
selama ini dibiarkan berkembang dan bahkan difasilitasi
pemerintah. Sedangkan hunian vertikal (rusun) tidak
diberi kesempatan untuk berkembang. Dominasi pola
hunian horizontal di Jakarta telah menyebabkan segregasi
sosial dan fungsional beserta segenap implikasi yang
ditimbulkannya. Akibatnya, perumahan kota hanya
mampu diakses kelompok kaya, sedangkan kelompok
menengah tergeser ke pinggiran kota mencari rumah
dengan harga yang lebih terjangkau. Sementara itu,
Rumah Untuk Warga Marjinal
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
217
Bekerja untuk Ibukota
kelompok miskin akan terkonsentrasi di pemukiman
kumuh dan pemukiman liar, seperti di bantaran sungai
dan bawah jembatan.
Keberhasilan dari rencana pembangunan rusun ini mem-
butuhkan banyak prasyarat penting. Pertama, komitmen
Pemprov DKI Jakarta. Komitmen pemprov harus terwujud
dalam bentuk dukungan nyata seperti penyediaan tanah,
sertifikasi tanah dan perizinan yang mudah dan murah,
serta menghapus high-cost economy. Pembebasan
lahan selama ini sering menjadi kendala utama dalam
pembangunan infrastruktur di Jakarta, termasuk rusun.
Kedua, dukungan dari pemerintah pusat dan DPR. Ren-
dahnya daya beli masyarakat dan tingginya harga rumah
di satu sisi, harus diimbangi dengan komitmen politik
untuk mendorong kesejahteraan rakyat miskin melalui
kebijakan subsidi, pembebasan pajak dan ketersediaan
kredit untuk pengembang rusun.
Ketiga, revitalisasi BUMN, khususnya Perumnas, PLN,
dan PDAM. Perumnas kini tidak lagi berkontribusi da-
lam pembangunan RSH karena dituntut menghasilkan
keuntungan, padahal mereka memiliki banyak cadangan
tanah yang belum digunakan. Sedangkan dukungan PLN
dan PDAM mutlak dibutuhkan untuk pasokan listrik 450-
900 watt dan air bersih.
Komitmen pemerintah pusat dan DPR untuk pembangunan
rusun nampak sudah cukup optimal. Pembebasan PPN,
Keberhasilan dari rencana pembangunan rusun ini membutuhkan
banyak prasyarat penting.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
218
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
subsidi selisih bunga, dan anggaran pembangunan rusun,
sudah disiapkan pemerintah pusat dan DPR. Departemen
PU dan Kementrian Perumahan Rakyat bahkan sudah
siap untuk segera membangun 19 twin blok rusun untuk
70.000 keluarga di sepanjang bantaran sungai Ciliwung.
Sayangnya, komitmen BUMN strategis belum terlihat.
Pemprov DKI Jakarta juga belum melangkah jauh, seperti
penyediaan lahan.
Langkah penting lain yang juga perlu dilakukan Pemprov
adalah mendapatkan komitmen pengembang besar
sekaligus penegakan hukum untuk merealisasikan
kewajiban pembangunan rusun murah. Konsep
pembangunan perumahan 1-3-6 bisa dipertimbangkan
untuk dihidupkan kembali dengan sejumlah catatan
seperti pengawasan dan penegakan hukum, insentif dan
penghargaan untuk pengembang yang patuh, dll.
Evaluasi terhadap pembangunan rusun di DKI Ja-
karta, memperlihatkan beberapa hal yang perlu
diperhatikan oleh para pengambil kebijakan. Per-
tama, masalah sosial-budaya. Memindahkan warga miskin
dari pemukiman kumuh dan bantaran sungai ke ru sun
adalah tidak mudah. Rusun sudah ada di Jakarta se jak
puluhan tahun yang lalu. Namun persepsi warga mis-
kin terhadap rusun cenderung tidak berubah positif. Hal
ini terjadi karena berpindah dari landed house ke ru sun
membutuhkan berbagai pengorbanan yang tidak kecil.
Menuju Kebijakan Perumahan bagi si Lemah
Rumah Untuk Warga Marjinal
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
219
Bekerja untuk Ibukota
Akan ada perubahan gaya hidup, hilangnya kohesi dan
modal sosial, bahkan hingga hilangnya mata pencaharian.
Beberapa rusun mencoba membuat latihan ketrampilan
dan menyediakan lantai dasar sebagai tempat usaha,
namun tidak berhasil. Wacana membangun rusun di dekat
lokasi asal warga juga tidak mudah dilakukan mengingat
keterbatasan lahan. Rusun yang ideal membutuhkan lahan
yang cukup luas untuk sarana dan prasana penunjang
seperti taman, sekolah, balai kesehatan, serta arena
bermain dan olahraga. Lokasi yang cocok untuk rusun
ideal seperti ini seperti di Berland dan Manggarai, sangat
terbatas di Jakarta.
Kedua, masalah rendahnya daya beli. Rusun yang telah
dibangun untuk warga miskin kini kebanyakan telah
beralih kepemilikan ke kelompok menengah. Karena hal
ini kemudian pemerintah mengubah pola pembangunan
rusun dari rusun hak milik (rusunami) menjadi rusun sewa
(rusunawa). Namun hal ini juga belum mengubah situasi.
Bagi warga miskin, biaya sewa Rp 100.000,- per bulan tetap
dirasakan masih tinggi. Belum terhitung biaya listrik, air
bersih, dan kebutuhan hidup lainnya. Namun pola subsidi
untuk penghuni miskin rusunawa –seperti yang dilakukan
Yayasan Tzu Chi di Cengkareng- jelas pilihan yang mahal
dan sulit dipertahankan dalam jangka panjang. Rusunawa
nampak lebih tepat untuk kelompok bawah yang memiliki
penghasilan tetap seperti buruh, sehingga tetap ada cost
recovery.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
220
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Sedangkan untuk penataan permukiman kumuh,
dibutuhkan langkah-langkah yang lebih kompleks. Proyek
penataan pemukiman kumuh di Jakarta yang paling
ambisius adalah KIP (kampung improvement program)
yang dilakukan pada 1969-1999 dengan bantuan dana
Bank Dunia. Proyek ini berhasil meningkatkan kualitas
perumahan dan infrastruktur warga miskin. Namun
KIP belum mampu menjawab secara tuntas masalah
permukiman kumuh di Jakarta untuk beberapa alasan.
Pertama, infrastruktur yang dibangun KIP tidak terintegrasi
dengan infrastruktur utama kota dan lemahnya perhatian
terhadap pengoperasian dan perawatan (O&M). Kedua,
manfaat KIP pada warga miskin kurang terlihat dalam
jangka panjang. Kampung KIP yang telah berubah
menjadi lebih baik dan nilainya meningkat, umumnya
berpindah kepemilikan dan tergeser oleh pembangunan-
pembangunan baru seperti real-estate.
Ke depan, Jakarta membutuhkan perubahan paradigma
yang mendadsar dalam pengelolaan kota. Jakarta
tidak lagi memutuhkan sekedar paradigma “integrated
infrastructure”, namun sudah harus melangkah ke
paradigma “sustainable urban development”. Peningkatan
kualitas permukiman kumuh dalam jangka pendek, harus
terintegrasi dengan pembangunan jaringan infrastruktur
kota. Dalam jangka panjang, penghapusan permukiman
kumuh dicapai dengan mendorong kemitraan, partisipasi
masyarakat dan mencapai pembangunan berkelanjutan.
Dalam konteks ini, program penghapusan kawasan kumuh
Rumah Untuk Warga Marjinal
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
221
Bekerja untuk Ibukota
tidak hanya berpusat pada pembangunan infrastruktur
seperti sanitasi, pengolahan sampah, listrik dan air bersih,
namun juga mencakup pembangunan sosial, ekonomi,
lingkungan dan pemerintahan seperti sertifikasi tanah,
mitigasi bencana, relokasi ke pemukiman yang lebih
baik dengan insentif dan asistensi, membangun keahlian
komunitas dan dukungan kredit mikro, serta membangun
ruang-ruang publik seperti taman, perpustakaan dan
ruang bermain.
*) Disampaikan dalam Diskusi bulanan The Jakarta Institute, November 2007
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
222
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling
bermanfaat bagi orang lain”, begitu bunyi salah
satu hadist atau ucapan dari Nabi Muhammad
SAW. Secara substantif, seruan ini memiliki dimensi sosial
yang sangat luas dan tidak mengenal batasan agama.
Artinya, seruan ini sangat relevan untuk semua agama
dan semua kelompok jika ingin membentuk lingkungan
yang lebih baik. Ketika semua kekuatan yang ada pada
suatu lingkungan/wilayah bersinergi yang didasarkan atas
seruan ini, maka dapat dibayangkan output yang dihasilkan
untuk kebaikan lingkungan tersebut dan orang-orang yang
berada didalamnya. Demikian pula jika dimensinya kita
buat dalam wilayah yang lebih luas yaitu sebuah negeri.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, kemanfaatan bagi orang
lain diwujudkan dalam tradisi gotong royong yang ada
di masyarakat kita yang sayangnya kini semakin ditinggal
seiring dengan berkembangnya masyarakat yang semakin
individualis
Ini pula yang sesungguhnya ingin dihadirkan oleh Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) dari eksistensi dan aktivitasnya
di bumi Indonesia, yaitu memberi manfaat bagi seluruh
penduduk negeri ini. Manfaat yang tidak mengenal
Tanggungjawab Bekerja untuk Negeri
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
223
Bekerja untuk Ibukota
batasan wilayah kepulauan, administratif, etnik maupun
agama,yaitu menjadikan Indonesia yang adil, sejahtera
dan bermartabat. Manfaat ini hanya bisa terwujud jika ada
kerja-kerja yang nyata dari sebuah institusi partai beserta
kader-kadernya. Kerja-kerja nyata dan memberikan
manfaat bagi bangsa menjadi semakin dibutuhkan jika
dikaitkan dengan kondisi bangsa saat ini yang carut marut
dan menghadapi berbagai persoalan.
Negeri ita kita saat ini menghadapi persoalan dan tantangan
yang semakin berat dan kompleks. Kesejahteraan
penduduk masih rendah yang ditunjukkan oleh berbagai
indikator kesejahteraan maupun ketimpangan antar
wilayah dan antar kelompok masyarakat yang terlihat
jelas secara kasat mata. Meskipun pendapatan per kapita
sudah menunjukkan Indonesia masih kelompok negara
menengah, namun produk dometik bruto (PDB) yang
mencapai lebih dari Rp. 6400 triliun, sekitar 70%-nya
hanya dinikmati oleh 20% penduduk. Indikator berupa
Income Gini coefficient yang mencapai 0,37 , menunjukkan
adanya realitas ketimpangan pendapatan di negeri ini.
Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (IPM) pada
tahun 2010-pun masih berada pada urutan ke 108 dari 169
negara. Tingkat kemiskinan masih tinggi ,dan ada sekitar
30 juta penduduk yang hidup dengan pendapatan kurang
dari 1,25 dollar per hari. Angka tingkat partisipasi sekolah
baru mencapai 68,2%, dengan rata-rata bersekolah baru
5,7 tahun walaupun kita memiiliki program wajib belajar
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
224
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Tanggungjawab Bekerja untuk Negeri
9 tahun. Pada sektor kesehatan, kondisinya juga masih
memprihatinkan. Angka kematian balita masih mencapai
41 per 1000 kelahiran ,dan pengeluaran penduduk untuk
kesehatan baru mencapai 1,2% dari PDB.
Negeri yang gemah ripah loh jinawi ini tiba-tiba menjadi
sangat panik dengan kenaikan harga minyak bumi karena
kita sudah menjadi negara pengimpor minyak. Repotnya
lagi, BBM ini juga sangat dibutuhkan untuk pembangkit
listrik yang sudah ada. karena minimnya pengembangan
sumber energi alternatif dan terbarukan. Padahal listrik
juga sangat dibutuhkan oleh industri, dunia bisnis dan
rumah tangga . Artinya untuk setiap kenaikan harga
minyak bumi, akan ada dampak berantai yang dahsyat
terhadap perekonomian . Gas bumi yang menjadi alternatif
andalan, justru dikelola dengan kebijakan yang tidak
tepat. Sehingga, industri yang membutuhkan gas justru
kolaps. Ini terjadi akibat gas bumi lebih banyak diekspor
dengan nilai yang rendah karena tuntutan kontrak yang
terlanjur disepakati.
Demikian pula kita sebagai negara agraris menjadi sangat
resah dengan kenaikan harga pangan dunia . Sumberdaya
alam yang berlimpah tidak menjadikan Indonesia menjadi
negara produsen dan pengeskpor komoditas yang unggul.
Bahkan untuk bersaing secara ekonomi, Indonesia juga
masih tertatih-tatih untuk bersaing dengan negara
tetangga. Data World Competitiveness Index tahun
2009 ,menempatkan Indonesia masih pada peringkat ke
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
225
Bekerja untuk Ibukota
48, tertinggal dari negara sekitarnya. Sementara dalam
bidang pertahanan, kita seakan tidak berdaya dengan
pelanggaran batas wilayah yang dilakukan oleh negara
lain ataupun menghadapi perompak dari negara Afrika
yang menyandera kapal Indonesia.
Bekerja bagi negeri adalah sebagai wujud rasa
syukur atas nikmat kemerdekaan dan kita
dapat berdemokrasi dengan damai. Ketika
banyak negara yang gagal melakukan transisi demokrasi
dengan mulus tanpa menimbulkan konflik horizontal
yang berkepanjangan, perang sipil dan memakan
banyak korban, kita dapat menjalaninya dengan relatif
mulus. Bekerja untuk negeri juga merupakan wujud
tanggungjawab sebagai salah satu komponen bangsa
untuk ikut memajukan negeri ini, menjadikannya bangsa
yang besar, terhormat dan disegani oleh bangsa lain. Bukan
sebaliknya, menjadi bangsa yang kerap direndahkan dan
dilecehkan oleh bangsa lain yang lebih kecil dari kita.
Terminologi bekerja dalam konteks ini adalah kerja
yang bukan hanya melakukan sesuatu, tetapi kerja yang
terstruktur dan terukur. Hasil kerja tersebut harus dapat
dinilai hasilnya dalam bentuk manfaat yang diterima
masyarakat. Sehingga kerja yang dilakukan bukan hanya
dilihat dari sisi kuantitas yang dikerjakan, tetapi juga
dilihat dari aspek kualitas kerja.
Bekerja adalah Tanggungjawab
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
226
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
PKS memandang bahwa semua aktivitas kepartaian yang
dilakukan harus memberikan hasil yang nyata sepanjang
waktu. Ini berarti, kerja-kerja yang dilakukan harus hadir
setiap saat, bukan hanya menjelang pesta demokrasi.
Secara sederhana , ukurannya adalah apakah aktivitas,
kerja bahkan ucapan para kader, anggota legislatif dan
pejabat publik dari PKS memberikan kontribusi bagi
perbaikan negeri ini walau sekecil apapun.
Bekerja untuk negeri tidak harus dilakukan setelah
memegang tampuk posisi tertentu. Bekerja sebagai
tanggungjawab harus dilakukan, dengan atau tanpa
jabatan yang diemban. Bekerja untuk negeri harus
dilakukan dimanapun posisi PKS dalam pemerintahan. Di
dalam barisan koalisi ataupun diluar koalisi. Tidak boleh
ada yang menghambat atau menghalangi keinginan PKS
untuk bekerja bagi negeri. Karena sekali lagi, bagi PKS,
bekerja untuk negeri adalah perwujudan rasa syukur
atas negeri yang indah ini, serta bentuk tanggungjawab
untuk menegakkan kebesaran Indonesia di mata dunia.
Bekal label sebagai partai da’wah dan partai Islam,
tidak lantas mempersempit ruanglingkup kinerja. PKS
tidak hanya berda’wah dan bekerja untuk ummat Islam,
sembari menomorduakan bekerja untuk negeri. Bagi PKS,
tanggungjawab membangun negeri adalah bagian yang
tidak terpisahkan dengan tanggungjawab da’wah dan
membangun ummat. Sebagaimana yang sudah dilakukan
melalui peran PKS dalam berbagai aksi kemanusiaan
dalam penanggulangan bencana di bumi Indonesia.
Tanggungjawab Bekerja untuk Negeri
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
227
Bekerja untuk Ibukota
K ini terbukti, banyak pihak yang gagal
membuktikkan ucapan dan janji mereka saat
mencapai posisi serta jabatan yang diidam-
idamkan. Tidak ada manfaat jabatan dan otoritas yang
dimilikinya. Seperti sebuah buku yang memiliki judul yang
dahsyat, namun tidak ada isi dari buku terebut yang layak
menjadi pelajaran. Sebaliknya bagi PKS, jika diperlukan,
menjadi sebuah buku tanpa judul, namun berisi ilmu dan
pengetahuan akan jauh lebih terhormat .
Semangat bekerja untuk negeri adalah keinginan untuk
memiliki semangat seperti para pejuang negeri ini
dalam meraih kemerdekaan. Tidak ada satupun pejuang
kemerdekaan yang merasa bahwa segala jerih payah dan
pengorbanan mereka haruslah tercatat secara formal. Ini
berarti, semangat untuk berperan dan menebar manfaat
, haruslah atas dasar kecintaan pada Indonesia. Semangat
berperan bukanlah semangat untuk mengejar, jabatan,
posisi, akses dan sebagainya. Inilah mengapa, ketika
gonjang-ganjing koalisi dihembuskan, PKS tetap tenang
dan tidak terpengaruh. Karena, bagi PKS, bekerja untuk
Indonesia harus dilakukan didalam atau diluar koalisi..
Melalui Milad ke-13 ini, PKS ingin menegaskan komitmen
untuk bekerja untuk negeri. Komitmen ini digerakkan
pada seluruh daerah dan level struktur partai di seluruh
Indonesia. Reformasi yang sudah hampir 13 tahun
belum memberikan perubahan berarti dan harus
dikembalikan pada rel perbaikan melalui kerja dan
Buku Tanpa Judul
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
228
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
kontribusi yang nyata. Berbagai ujian dam terpaan dari
berbagai sumber yang saat ini dihadapi oleh PKS justru
menjadikan seluruh kader dan struktur semakin solid.
Seperti pohon yang semakin besar, semakin besar pola
terpaan angin yang menghantam, namun semakin kuat
pula akarnya menghujam. Momentum inilah yang ingin
dipakai oleh PKS untuk menggerakan struktur dan kader
dalam mewujudkan komitmen bekerja untuk Indonesia.
*) Dimuat di Harian Republika 16 April 2011, untuk Milad PKS ke 13 di Jakarta
Tanggungjawab Bekerja untuk Negeri
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
229