5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Jaringan Syaraf Tiruan
2.1.1. Sejarah Jaringan Syaraf Tiruan
Jaringan syaraf tiruan (JST) telah dikembangkan sejak tahun 1940. Pada
tahun 1943 McCulloch dan W.H.Pitts memperkenalkan pemodelan matematis
neuron. Tahun 1949, Hebb mencoba mengkaji proses belajar yang dilakukan oleh
neuron. Teori ini dikenal sebagai Hebbian Law. Tahun 1958, Rosenblatt
memperkenalkan konsep perseptron suatu jaringan yang terdiri dari beberapa
lapisan yang saling berhubungan melalui umpan maju (feed foward). Konsep ini
dimaksudkan untuk memberikan ilustrasi tentang dasar-dasar intelejensia secara
umum. Hasil kerja Rosenblatt yang sangat penting adalah perceptron convergence
theorem (tahun 1962) yang membuktikan bahwa bila setiap perseptron dapat
memilah-milah dua buah pola yang berbeda maka siklus pelatihannya dapat
dilakukan dalam jumlah yang terbatas. (ANN-A neural network tutorial, html doc.
2010).
Pada tahun 1960 Widrow dan Hoff menemukan ADALINE (Adaptive
Linear Neuruon). Teknik ini dapat beradaptasi dan beroperasi secara linier.
Penemuan ini telah memperlebar aplikasi jaringan syaraf tiruan tidak hanya untuk
pemilihan pola, tetapi juga untuk pengiriman sinyal khususnya dalam bidang
adaptive filtering. (ANN-A neural network tutorial, html doc. 2010).
Namun, Tahun 1969, Minsky dan Papert melontarkan suatu kritikan
tentang kelemahan perseptronnya Rosenblatt di dalam memilah-milah pola yang
tidak linier. Sejak saat itu penelitian di bidang jaringan syaraf tiruan telah
mengalami masa vakum untuk kurang lebih satu dasawarsa. Tahun 1982,
Hopfield telah memperluas aplikasi JST untuk memecahkan masalah-masalah
optimasi. Hopfield telah berhasil memperhitungkan fungsi energi ke dalam
jaringan syaraf yaitu agar jaringan memiliki kemampuan untuk mengingat atau
memperhitungkan suatu obyek dengan obyek yang pernah dikenal atau diingat
sebelumnya (associative memory). Konfigurasi jaringan yang demikian dikenal
sebagai recurrent network. Salah satu aplikasinya adalah TravellingSalesman
Problem (TSP). (Artificial Neural Networks -A neural network tutorial, 2010)
6
Pada tahun 1986 Rumelhart, Hinton dan William menciptakan suatu
algoritma belajar yang dikenal sebagai propagasi balik (backpropagation). Bila
algoritma ini diterapkan pada perseptron yang memiliki lapisan banyak (multi
layer perceptron), maka dapat dibuktikan bahwa pemilahan pola-pola yang tidak
linier dapat diselesaikan sehingga dapat mengatasi kritikan yang dilontarkan oleh
Minsky dan Papert. (ANN-A neural network tutorial, html doc. 2010).
2.1.2. Defenisi Jaringan Syaraf Tiruan
JST merupakan sistem pemroses informasi yang memiliki karakteristik
mirip dengan jaringan syaraf biologi (Siang, 2005). Menurut Sekarwati (2005),
JST merupakan sistem komputasi yang didasarkan atas pemodelan sistem syaraf
biologis (neurons) melalui pendekatan dari sifat-sifat komputasi biologis
(biological computation).
Menurut Subiyanto (2002), JST adalah membuat model sistem komputasi
yang dapat menirukan cara kerja jaringan syaraf biologi, sedangkan menurut
Siang (2005), JST dibentuk sebagai generalisasi model matematika dari jaringan
syaraf biologi dengan asumsi sebagai berikut.
a. Pemrosesan informasi terjadi pada banyak elemen sederhana (neurons).
b. Sinyal dikirimkan diantara neuron-neuron melalui penghubung
penghubung.
c. Penghubung antar neuron memiliki bobot yang akan memperkuat atau
memperlemah sinyal.
d. Untuk menentukan keluaran (output), setiap neuron menggunakan fungsi
aktivasi yang dikenakan pada penjumlahan masukan (input) yang diterima.
Besarnya keluaran (output) ini selanjutnya dibandingkan dengan suatu batas
ambang, dimana Neuron adalah unit pemroses informasi yang menjadi dasar
dalam pengoperasian jaringan syaraf tiruan (Siang 2005). Neuron terdiri dari 3
elemen pembentuk sebagai berikut.
a. Himpunan unit-unit yang dihubungkan dengan jalur koneksi.
b. Suatu unit penjumlah yang akan menjumlahkan masukan-masukan sinyal
yang sudah dikalikan dengan bobotnya.
7
c. Fungsi aktivasi yang akan menentukan apakah sinyal dari input neuron
akan diteruskan ke neuron lain ataukah tidak.
JST ditentukan oleh 3 hal sebagai berikut.
a. Pola hubungan antar neuron (disebut arsitektur jaringan ).
b. Metode untuk menentukan bobot penghubung (disebut algoritma
training/learning /pelatihan/belajar)
c. Fungsi aktivasi.
Di dalam JST, istilah simpul (node) sering digunakan untuk menggantikan
neuron, dimana setiap simpul pada jaringan menerima atau mengirim sinyal dari
atau ke simpul-simpul lainnya. Pengiriman sinyal disampaikan melalui
penghubung. Kekuatan hubungan yang terjadi antara setiap simpul yang saling
terhubung dikenal dengan nama bobot.
Model-model JST ditentukan oleh arsitektur jaringan serta algoritma
pelatihan. Arsitektur biasanya menjelaskan arah perjalanan sinyal atau data di
dalam jaringan, sedangkan algoritma belajar menjelaskan bagaimana bobot
koneksi harus diubah agar pasangan masukan-keluaran yang diinginkan dapat
tercapai. Perubahan harga bobot koneksi dapat dilakukan dengan berbagai cara,
tergantung pada jenis algoritma pelatihan yang digunakan. Dengan mengatur
besarnya nilai bobot ini diharapkan bahwa kinerja jaringan dalam mempelajari
berbagai macam pola yang dinyatakan oleh setiap pasangan masukan-keluaran
akan meningkat.
WR1R WR2R WR3R
Gambar 1, Sel Jaringan Syaraf Tiruan
Pada Gambar 1 diperlihatkan sebuah sel syaraf tiruan sebagai elemen
penghitung. Simpul Y menerima masukan dari neuron x1, x2 dan x3 dengan
X1
X2
X3
Y
8
bobot hubungan masing-masing adalah w1, w2 dan w3. Argumen fungsi aktivasi
adalah net (jejaring) masukan (kombinasi linear masukan dan bobotnya). Ketiga
sinyal simpul yang ada dijumlahkan net = x1w1 + x2w2 + x3w3 .
Besarnya sinyal yang diterima oleh Y mengikuti fungsi aktivasi y = f(net).
Apabila nilai fungsi aktivasi cukup kuat, maka sinyal akan diteruskan. Nilai
fungsi aktivasi (keluaran model jaringan) juga dapat dipakai sebagai dasar untuk
merubah bobot.
2.1.3. Arsitektur Jaringan
Berdasarkan arsitekturnya, model JST tergolong menjadi:
a. Jaringan Layar Tunggal (Single Layer Network)
Pada jaringan ini, sekumpulan masukan neuron dihubungkan langsung
dengan sekumpulan keluarannya. Sinyal mengalir searah dari layar
(lapisan) masukan sampai layar (lapisan) keluaran. Setiap simpul
dihubungkan dengan simpul lainnya yang berada diatasnya dan
dibawahnya, tetapi tidak dengan simpul yang berada pada lapisan yang
sama. Model yang masuk kategori ini antara lain : ADALINE, Hopfield,
Perceptron, LVQ, dan lain-lain. Pada Gambar 2 diperlihatkan arsitektur
jaringan layar tunggal dengan n buah masukan (x1, x2,..., xn) dan m buah
keluaran (y1, y2,..., ym)
WR11
WR12R WR13R
WR21 WR22 WR23 WR3n WR3n WR3n
Gambar 2, Jaringan Layar Tunggal
X1
X2
Xn Ym
Y2
Y1
9
b. Jaringan Layar Jamak (Multiple Layer Network)
Jaringan ini merupakan perluasan dari jaringan layar tunggal. Dalam
jaringan ini, selain unit masukan dan keluaran, ada unit-unit lain (sering
disebut layar tersembunyi). Dimungkinkan pula ada beberapa layar
tersembunyi. Model yang termasuk kategori ini antara lain : MADALINE,
backpropagation.
Pada Gambar 3 diperlihatkan jaringan dengan n buah unit masukan (x1,
x2,..., xn), sebuah layar tersembunyi yang terdiri dari m buah unit
(z1,z2,..., zm) dan 1 buah unit keluaran.
WR11R
WR21
WRn1R WR11 WR12 WR22R WR12 WRn2 WR1nR WR1m WR2n WRnn
Gambar 3, Jaringan Layar Jamak
c. Jaringan Recurrent
Model jaringan recurrent (recurrent network) mirip dengan jaringan layar
tunggal ataupun jamak. Hanya saja, ada simpul keluaran yanng
memberikan sinyal pada unit masukan (sering disebut feedback loop).
Dengan kata lain sinyal mengalir dua arah, yaitu maju dan mundur.
Contoh : Hopfield network, Jordan network, Elmal network.
2.1.4. Algoritma Belajar atau Pelatihan
Ide dasar JST adalah konsep belajar atau pelatihan. Jaringan-jaringan belajar
melakukan generalisasi karakteristik tingkah laku objek. Algoritma pelatihan
artinya membentuk pemetaan (fungsi) yang menggambarkan hubungan antara
X1
Y
Z1
Z2
Zm Xn
X2
10
vektor masukan dan vektor keluaran (Sekarwati 2005:4). Biasanya diberikan
contoh yang cukup penting dalam membangun pemetaan tersebut. Walaupun
untuk pasangan masukan dan keluaran yang belum pernah digambarkan
sebelumnya.
Untuk dapat menyelesaikan suatu permasalahan, jaringan syaraf tiruan
memerlukan algoritma belajar atau pelatihan yaitu bagaimana sebuah konfigurasi
jaringan dapat dilatih untuk mempelajari data historis yang ada. Dengan pelatihan
ini, pengetahuan yang terdapat pada data dapat diserap dan direpresentasikan oleh
harga-harga bobot koneksinya.
Menurut Siang (2005:30) algoritma belajar atau pelatihan digolongkan
menjadi sebagai berikut.
a. Dengan Supervisi (Supervised Training)
Dalam pelatihan dengan supervisi, terdapat sejumlah pasangan data
(masukan-target keluaran) yang dipakai untuk melatih jaringan. Pada
setiap pelatihan, suatu masukan diberikan ke jaringan. Jaringan akan
memproses dan mengeluarkan keluaran. Selisih antara keluaran jaringan
dengan target (keluaran yang diinginkan) merupakan kesalahan yang
terjadi. Jaringan akan memodifikasi bobot sesuai dengan kesalahan
tersebut. Model yang menggunakan pelatihan dengan supervisi antara lain
: Perceptron, ADALINE, MADALINE, Backpropagation, LVQ.
b. Tanpa Supervisi (Unsupervised Training)
Dalam pelatihannya, perubahan bobot jaringan dilakukan berdasarkan
parameter tertentu dan jaringan dimodifikasi menurut ukuran parameter
tersebut. Model yang menggunakan pelatihan ini adalah model jaringan
kompetitif.
2.1.5. Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation
Backpropagation merupakan model JST dengan layar jamak. Seperti halnya
model JST lainnya, backpropagation melatih jaringan untuk mendapatkan
keseimbangan antara kemampuan jaringan untuk mengenali pola yang digunakan
selama pelatihan serta kemampuan jaringan untuk memberikan respon yang benar
terhadap pola masukan yang serupa (tapi tidak sama) dengan pola yang dipakai
selama pelatihan.
11
a. Fungsi Aktivasi pada Backpropagation
Dalam backpropagation, fungsi aktivasi yang dipakai harus memenuhi
beberapa syarat sebagai berikut.
1. Kontinyu.
2. Terdiferensial dengan mudah.
3. Merupakan fungsi yang tidak turun.
Salah satu fungsi yang memenuhi ketiga syarat tersebut sehingga sering
dipakai adalah fungsi sigmoid biner yang memiliki range (0,1). Fungsi
sigmoid biner didefinisikan sebagai berikut.
……………...(1) ………………….(2)
Fungsi lain yang sering dipakai adalah fungsi sigmoid bipolar dengan
range (-1,1) yang didefenisikan sebagai berikut.
……………….(3)
……………….(4)
Fungsi sigmoid memiliki nilai maksimum 1. Untuk pola yang targetnya
lebih dari 1, pola masukan dan keluaran harus terlebih dahulu
ditransformasi sehingga semua polanya memiliki range yang sama seperti
fungsi sigmoid yang dipakai. Alternatif lain adalah menggunakan fungsi
aktivasi sigmoid hanya pada layar yang bukan layar keluaran. Pada layar
keluaran, fungsi aktivasi yang dipakai adalah fungsi identitas f (x) = x .
b. Pelatihan Backpropagation (JST Propagasi Balik)
Seperti halnya jaringan syaraf yang lain, pada jaringan feedfoward (umpan
maju) pelatihan dilakukan dalam rangka perhitungan bobot sehingga pada
akhir pelatihan akan diperoleh bobot-bobot yang baik. Selama proses
pelatihan, bobot-bobot diatur secara iteratif untuk meminimumkan galat
(error) yang terjadi. Galat dihitung berdasarkan rata-rata kuadrat
kesalahan (MSE). Rata-rata kuadrat galat juga dijadikan dasar perhitungan
unjuk kerja fungsi aktivasi. Sebagian besar pelatihan untuk jaringan
feedfoward (umpan maju) menggunakan gradien dari fungsi aktivasi untuk
menentukan bagaimana mengatur bobot-bobot dalam rangka
12
meminimumkan kinerja. Gradien ini ditentukan dengan menggunakan
suatu teknik yang disebut backpropagation.
Pada dasarnya, algoritma pelatihan standar backpropagation akan
menggerakkan bobot dengan arah gradien negatif. Prinsip dasar dari
algoritma backpropagation adalah memperbaiki bobot-bobot jaringan
dengan arah yang membuat fungsi aktivasi menjadi turun dengan cepat.
Pelatihan backpropagation meliputi 3 fase sebagai berikut;
1).Fase 1, yaitu propagasi maju.
Pola masukan dihitung maju mulai dari layar masukan hingga layar
keluaran menggunakan fungsi aktivasi yang ditentukan.
2).Fase 2, yaitu propagasi mundur.
Selisih antara keluaran jaringan dengan target yang diinginkan
merupakan galat yang terjadi. Galat yang terjadi itu dipropagasi
mundur. Dimulai dari garis yang berhubungan langsung dengan unit-
unit di layar keluaran.
3).Fase 3, yaitu perubahan bobot.
Modifikasi bobot untuk menurunkan galat yang terjadi.
Ketiga fase tersebut diulang-ulang terus hingga kondisi penghentian
dipenuhi.
Algoritma pelatihan untuk jaringan backpropagation dengan satu layar
tersembunyi (dengan fungsi aktivasi sigmoid biner) adalah sebagai berikut.
a) Langkah 0
Inisialisasi semua bobot dengan bilangan acak kecil.
b) Langkah 1
Jika kondisi penghentian belum dipenuhi, lakukan langkah 2-8.
c) Langkah 2
Untuk setiap pasang data pelatihan, lakukan langkah 3-8.
d) Langkah 3 (langkah 3-5 merupakan fase 1)
Tiap unit masukan menerima sinyal dan meneruskannya ke unit
tersembunyi diatasnya.
e) Langkah 4
13
Hitung semua keluaran di unit tersembunyi zRjR (j = 1, 2,..., p).
………………….(6)
f) Langkah 5
Hitung semua keluaran jaringan di unit keluaran yRkR (k = 1, 2,...,m).
…………………(7)
…………………(8)
g) Langkah 6 (langkah 6-7 merupakan fase 2)
Hitung faktor δ unit keluaran berdasarkan kesalahan di setiap unit
keluaran yRkR (k = 1, 2,..., m).
………(9)
tRkR = target keluaran
δRkR = merupakan unit kesalahan yang akan dipakai dalam perubahan
bobot layar dibawahnya.
Hitung perubahan bobot wRkjR dengan laju pemahaman α
K = 1, 2, …, m ; j = 0, 1, …p
h) Langkah 7
Hitung faktor δ unit tersembunyi berdasarkan kesalahan di setiap unit
tersembunyi zRjR (j = 1, 2, ..., p).
……………………(11)
Factor δ unit tersembunyi.
…………(12)
Hitung suku perubahan bobot VRji
………………………….(13) J = 1, 2, …, p; i = 1, 2, …,n
i) Langkah 8 (fase 3)
Hitung semua perubahan bobot. Perubahan bobot garis yang menuju
ke unit keluaran, yaitu:
14
(k = 1, 2,…,m; j = 0, 1,…,p)…(14)
Perubahan bobot garis yang menuju ke uit tersembunyi, yaitu:
(j = 1, 2,…,p ; i = 0, 1,…,n) ….(15)
Parameter α merupakan laju pemahaman yang menentukan kecepatan
iterasi. Nilai α terletak antara 0 dan 1 (0 ≤ α ≤ 1). Semakin besar harga α ,
semakin sedikit iterasi yang dipakai. Akan tetapi jika harga α terlalu besar,
maka akan merusak pola yang sudah benar sehingga pemahaman menjadi
lambat. Satu siklus pelatihan yang melibatkan semua pola disebut epoch.
Pemilihan bobot awal sangat mempengaruhi jaringan syaraf tiruan dalam
mencapai minimum global (atau mungkin lokal saja) terhadap nilai galat
dan cepat tidaknya proses pelatihan menuju kekonvergenan.
Apabila bobot awal terlalu besar maka masukan (input) ke setiap lapisan
tersembunyi atau lapisan keluaran (output) akan jatuh pada daerah dimana
turunan fungsi sigmoidnya akan sangat kecil. Apabila bobot awal terlalu
kecil, maka masukan ke setiap lapisan tersembunyi atau lapisan keluaran
akan sangat kecil. Hal ini akan menyebabkan proses pelatihan berjalan
sangat lambat. Biasanya bobot awal diinisialisasi secara random dengan
nilai antara -0.5 sampai 0.5 (atau -1 sampai 1 atau interval yang lainnya).
Setelah pelatihan selesai dilakukan, jaringan dapat dipakai untuk
pengenalan pola. Dalam hal ini, hanya propagasi maju (langkah 4 dan 5)
saja yang dipakai untuk menentukan keluaran jaringan.
2.1.6. Backpropagation Momentum
Pada standar backpropagation, perubahan bobot didasarkan atas gradien
yang terjadi untuk pola yang dimasukkan saat itu. Modifikasi yang dapat
dilakukan adalah melakukan perubahan bobot yang didasarkan atas arah gradien
pola terakhir dan pola sebelumnya (disebut momentum) yang dimasukkan. Jadi
tidak hanya pola masukan terakhir saja yang diperhitungkan.
Penambahan momentum dimaksudkan untuk menghindari perubahan bobot
yang mencolok akibat adanya data yang sangat berbeda dengan yang lain
(outlier). Apabila beberapa data terakhir yang diberikan ke jaringan memiliki pola
serupa (berarti arah gradien sudah benar), maka perubahan bobot dilakukan secara
15
cepat. Namun apabila data terakhir yang dimasukkan memiliki pola yang berbeda
dengan pola sebelumnya, maka perubahan bobot dilakukan secara lambat.
Dengan penambahan momentum, bobot baru pada waktu ke (t+1)
didasarkan atas bobot pada waktu t dan (t-1). Disini harus ditambahkan dua
variabel yang mencatat besarnya momentum untuk dua iterasi terakhir. Jika μ
adalah konstanta (0 ≤ μ ≤ 1) yang menyatakan parameter momentum maka bobot
baru dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut.
………..(16)
dengan,
WRkjR (t ) = bobot awal pola kedua (hasil dari itersi pola pertama)
WRkjR (t - 1) = bobot awal pada iterasi pola pertama
dan
……………..(17)
dengan
VRjiR (t ) = bobot awal pola kedua (hasil dari itersi pola pertama)
VRjiR (t - 1) = bobot awal pada iterasi pola pertama
(Siang, 2005:113)
Menurut Rich dan Knight, (2001), Perambatan Balik merupakan salah satu
model JST yang popular dan ampuh. JST ini menggunakan arsitektur yang mirip
dengan arsitektur JST Multi Layer Perceptron (yang memiliki satu atau lebih
lapisan tersembunyi diantara lapisan masukan dan lapisan keluaran). JST
perambatan balik menggunakan metode pembelajaran terawasi (supervised
training) sedangkan Kusumadewi, (2003), mengutarakan bahwa; JST perambatan
balik tidak memiliki hubungan umpan balik (feedback), artinya suatu lapisan
(layer) tidak memiliki hubungan dengan lapisan sebelumnya sehingga bersifat
umpan maju (feedforward), namun galat yang diperoleh diumpankan kembali ke
lapisan sebelumnya selama proses pelatihan, kemudian dilakukan penyesuaian
bobot. (Gambar 4)
.
16
Gambar 4, Arsitektur-JST Backpropagation menurut Kusumadewi, 2003.
2.2. Metode Sidik Jari
Pengenalan sidikjari (fingerprint recognition) merupakan teknologi yang
amat sering dan umum digunakan oleh khalayak ramai dalam identifikasi identitas
seseorang, bahkan telah menjadi teknologi yang cukup diandalkan karena
efektifitas dan penggunaannya yang mudah. Sidik jari (fingerprint) merupakan
identitas seseorang yang sangat terjamin keunikannya. Karena keunikannya itulah
sidik jari (fingerprint) dapat digunakan untuk menjadi identitas utama yang
digunakan dalam mengenali seseorang. Hal tersebut menyebabkan dibutuhkannya
suatu metode pengenal terhadap sidik jari (fingerprint) tersebut. Algoritma
pencocokan string (string matching) merupakan algoritma yang banyak
digunakan dalam pengenalan pengenalan suatu permasalahan. Algoritma ini
merupakan algoritma yang sangat mangkus dan sangkil dalam proses pengenalan.
Dalam hal ini, contoh yang kita ambil adalah pengenalan sidik jari (fingerprint
recognition) sebagai aplikasi algoritma pencocokan string (string matching).
(Winanti, 2007)
Sistim pengenalan pola sidik jari merupakan salah satu sistim biometrik
yang paling popular disamping tingkat akurasi yang baik juga lebih mudah
daripada sistim biometrik lainya. Meskipun demikian, pada sistim pengenalan
pola , sidikjari, Proses awal untuk mendapatkan cirri-ciri khusus tidak mudah dan
memerlukan waktu. Pada sistim tertanam (embedded system) dengan keterbatasan
X0
X2
X1
H0
H1
O1
O2
O3
Input -input
Input Layer Hidden Layer Ouput Layer
Bobot Matrik 1 Bobot Matrik 2
17
kapasitas dari elemen-elemen didalamnya, kecepatan dan kepadatan /keringkasan
algoritma ekstraksi pola sidik jari merupakan syarat utama. Deteksi titik-titik
singular (singular points), merupakan salah satu pilihan mengingat jumlah titik-
titik ini antara 2 sampai 4 untuk setiap sidik jari sehingga data tempelate yang
disimpan sangat sedikit dibandingkan jika menggunakan deteksi minutiae yang
jumlahnya antara 60 sampai 100. (Sudiro, 2004).
Dikatakan pula bahwa; salah satu metode yang dapat digunakan adalah
dengan membangun matrix berarah (direction matrix) atau penghitungan arah
citra (directional image calculation) yang dapat mendiskripsikan tekstur pola sidik
jari. Kemudian menggunakan pendekatan sederhana untuk mendeteksi keberadaan
titik-titik singular (core dan delta) yakni menggunakan bilangan bertanda pada
perubahan kurva didalam citra berarah tersebut. Metode ini mampu mengenali
keberadaan seluruh titik-titik singular pada posisi yang akurat dan cepat (0.9)
detik meski bermasalah pada area batas citra (border area).
Biometrik mencakup karakteristik fisiologis dan karakteristik perilaku.
Karakteristik fisiologis adalah cirri fisik yang relative stabil seperti sidik jari,
siluent tangan, cirri khas wajah, pola iris, atau retina mata. Karakteristik perilaku
seperti tanda tangan, pola ucapan, atau ritme mengetik, selain memiliki basis
fisiologis yang relative stabil, juga dipengaruhi kondisi psikologis yang mudah
berubah. (Hidayanto et al., 2008).
Menurut Ardisasmita, bahwa; Sidik jari memiliki suatu orientasi dan
struktur periodik berupa komposisi dari garis-garis gelap dari kulit yang naik
(ridges) dan garis-garis terang dari kulit yang turun (furrows) yang berliku-liku
membentuk suatu pola yang berbeda-beda. Walaupun garis-garis alur tangan
terbentuk berbeda-beda, tetapi sifat-sifat khusus dari sidik jari yang disebut
dengan minutiae adalah unik untuk setiap individu. Ciri-ciri ini membentuk pola
khusus yang terdiri dari terminasi atau percabangan dari alur. Untuk memeriksa
apakah dua sidik jari berasal dari jari yang sama atau bukan, para ahli mendeteksi
minutiae tersebut. Sistem Identifikasi Sidik Jari Otomatis (AFIS) akan mengambil
dan membandingkan ciri-ciri tersebut untuk menentukan suatu kecocokan.
Verifikasi sidik jari adalah proses pencocokan sidik jari. Peranan verifikasi
sidik jari ini dalam model medis adalah salah satunya mendukung proses Visum Et
18
Repertum (VER) di bidang kedokteran forensik. Verifikasi yang sudah ada
Berbasis algoritma minutiae, tetapi ditemukan permasalahan terutama pada poin
minutiae (ridge) yang belum bisa diproses secara lengkap. Kelemahan ini akan
tampak pada proses pencocokan sidik jari yang mengandung perbedaan jumlah
poin minutiae dua sidik jari yang berkorespondensi yang banyak ditemui pada
sidik jari korban dalam proses visum et repertum (VER). Pada penelitian ini akan
dihasilkan model perangkat lunak verifikasi citra sidik jari poin minutiae yang
dapat mengatasi kelemahan tersebut.( Pratama, 2008)
Aplikasi bitoteknologi dan pemuliaan tanaman telah dilakukan oleh
Bustaman et all. (2004), menginformasikan bahwa; keragaman genetik tanaman
sangat diperlukan dalam program pemuliaan. Karakterisasi plasma nutfah untuk
menyediakan data genotype atau molekuler. Sehingga informasi keragaman
genetik untuk varietas padi berdasarkan sidik jari DNA menggunakan bagian
motif urutan DNA terkonservasi dari gen resisten, dimana contoh DNA dari 28
varietas padi diamplifikasi menggunakan lima resistance gene analogue,
kemudian diseparasi dalam gel poliakrilamid 5% dengan teknik elektroforesis dan
dideteksi lewat pewarna nitrat perak. Pita DNA diskor berdasarkan ada (1) dan
tidak ada (0) pita.
Citra sidikjari diproses awal dengan transformasi wavelet sehingga
menghasilkan multiresolusi dari citra aslinya. Penggunaan transformasi wavelet
ini dimotivasi oleh adanya hasil penelitian tentang transformasi wavelet yang
mempunyai kemampuan memunculkan (feature) khusus pada citra yang diteliti.
Transformasi wavelet di sini digunakan selain sebagai metode ekstraksi ciri juga
sekaligus mereduksi dimensi citra masukan. Citra tereduksi selanjutnya diproses
untuk klasifikasinya. Pengenalan dan klasifikasi dengan menerapkan JST
mengelompokkan sidikjari ke salah satu pola utama sidikjari (whorl, left loop,
right loop, arch, dan tented arch). Sebagai basis masukan jaringan syaraf,
digunakan citra ukuran 16x16, yang kemudian dianalisis juga pengaruh besarnya
dimensi vektor masukan terhadap unjuk kerja pengenalan. (Minarni, 2004).
Menurut Kanata (2008); Alihragam gelombang-singkat yang digunakan
Wavelet Daubechies yang merupakan wavelet terbaik untuk pencarian citra.
Alihragam wavelet berfungsi untuk mengekstrak citra sidikjari menjadi ciri-ciri
19
citra dengan cara memilih sejumlah kecil koefisien hasil alihragam yang memiliki
magnitude terbesar (Koefisien Aproksimasi). Ruang warna yang digunakan YIQ
yang merupakan ruang warna yang baik untuk pencarian citra dan hanya diambil
luminansnya (Y) yang merupakan skala keabuan. Hasil eksraksi citra sidik jari
asli digunakan untuk dilatihkan pada jaringan syaraf tiruan backpropagation,
sedangkan pengujian berupa citra sidik jari asli dan sidikjari terdistorsi.
2.3. Optik Bawah Air
Penggambaran yang berhubungan dengan kemampuan melihat di bawah air
dibatasi oleh volume cahaya yang menyebar secara umum di kolom air yang
dilintasi sebagai area sapuan oleh kamera dan sumber cahaya. Dalam masalah ini,
sistim penggambaran adalah berlawanan-terbatas. Pada situasi yang lain,
perbedaan gambar mungkin akan sangat besar berbeda, bagaimanapun banyaknya
daya yang turun dan diterima sensor mungkin terlalu kecil untuk dideteksi; kasus
ini terjadi untuk penggambaran dengan daya terbatas.(Jaffe, 1998).
Kemungkinan melakukan pembuatan gambar bawah air untuk jarak yang
jauh sungguh terbatas. Melalui perjalanan pergi pulang, intensitas beam cahaya
mengalami atenuasi secara exponensial, eP
-2crP, dimana total koefisien atenuasi dan
r adalah jarak dari sumber ke obyek. Dengan asumsi bahwa satu kilowatt dari
satuan energy dalam cahaya dengan panjang gelombang 488 nanometer, nilai dari
atenuasi (karena panjang jarak) dapat dihasilkan dalam penerimaan tunggal adalah
diperkirakan sebesar 50. (Jaffe, 1998).
Dasar yang disepakati pada disain penggambaran (image) bawah air adalah
pemisahan antara kamera dan cahaya. Kekontrasan dan daya/power secara
keseluruhan bergantung pada situasi yang alamiah. Suatu pengukuran yang tepat
yang dihasilkan dari suatu sistim penggambaran bawah air dalam jarak total
panjang atenuasi sebagaimana sistim yang dibuat mampu menerima gambar.
Sistem konvensional menggunakan penentuan posisi bersamaan dari kamera dan
cahaya dapat menghasilkan gambar yang baik 1 atenuasi panjang. tapi akan
sebaliknya akan sangat terbatas pada jarak lebih besar. System pemisahan antara
kamera dan cahaya dapat menghasilkan gambar pada jarak hingga 2 – 3 panjang
atenuasi. Tapi jarak yang sangat besar akan sangat berharap pada hamburan balik.
20
Pemisahan jarak pengoperasian adalah 3-5 meter. (Harris and Ballard, 1986 dalam
Jaffe, 1998). Untuk jarak yang besar melebihi 3 atenuasi panjang dibutuhkan
sistem yang lebih rumit; sebagai contoh; laser range-gatet system dan scanning
light beam. (Jaffe, 1998).
Sudah pasti bahwa fisika dasar perambatan dari pada cahaya di dalam laut
dipengaruhi oleh keseluruhan tampilan sistem penggambaran secara optikal di
bawah air, seperti transparansi dari medium intergalaksi yang memberi peluang
untuk para astronom melihat jarak obyek-obyek. Di lautan, sifat optis yang tidak
dapat dipisahkan atau Inherent Optics Properties (IOPs) adalah parameter-
parameter yang menyebabkan perambatan dari cahaya. Jadi, serapan dan
hamburan haruslah diperhitungkan dalam memperkirakan bentuk tampilan dari
sistim penggambaran bawah air dalam situasi yang bervariasi. Untuk penggunaan
dari sistim simulasi dan permodelan, akurasi data diperlukan untuk atenuasi
sebagai bagian dalam menduga jarak penggambaran, permukaan yang
menghamburkan, yang mengakibatkan gambar menjadi kabur dan latarbelakang
hamburan balik cahaya, yang mana batasan secara umum perbedaan dari gambar
bawah air yang terbentuk oleh kilauan cahaya. Untung kemajuan saat ini
instrumentasi optik untuk pengukuran parameter saat ini menjanjikan peningkatan
pengetahuan kita tentang hal ini. (Jaffe, et al, 2001).
2.4. Citra dan Warna
Secara harafiah, citra (image) adalah gambar pada bidang dwiwarna (dua
dimensi). Jika ditinjau dari sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi
penerus (continu) dari intensitas cahaya pada bidang dwimatra. Sumber cahaya
menerangi obyek, obyek memantulkan kembali sebagian dari berkas cahaya
tersebut. Pantulan cahaya ini ditangkap oleh alat-alat optik, misalnya mata pada
manusia, kamera, pemindai (scanner), dan sebagainya, sehingga bayangan obyek
yang disebut citra tersebut direkam (Munir, 2004)
Penangkapan (capture) warna pada suatu citra meliputi penangkapan tiga
citra secara simultan. Dengan sistim RGB (Red Green Blue), sebagai suatu
standarisasi industry, intensitas masing-masing warna baik red, green, ataupun
blue harus diukur pada masing-masing spot. Dengan kamera yang beroperasi
21
secara linear yang menjelajahi keseluruhan visible spectrum, kumpulan-kumpulan
warna yang sederhana dapat digunakan untuk mengambil tiga citra, yang masing-
masing, satu untuk spektra red, green, dan blue. (Fadlisyah, 2007)
Beberapa perangkat keras standard, untuk menghasilkan warna, memiliki
model-model tertentu yang berbeda satu sama lain dalam penyimpanan warna.
Pada umumnya sebuah pixel warna ditampilkan sebagai suatu titik pada ruang tiga
dimensi. Ruang tersebut memiliki suatu sumbu yang diberi label sebagai warna
independen (red, green dan blue), atau juga memiliki suatu indicator independen
seperti hue, luminosity (lightness), dan saturation. (Fadlisyah, 2007)
Commission International de l’Eclairage (CIE) atau International Lighting
Committee adalah lembaga yang membakukan warna pada tahun 1931. CIE mula-
mula menstandarkan panjang gelombang warna-warna pokok sebagai berikut; R :
700 nm, G : 546.1 nm, 435.8 nm, dimana warna-warna lain dapat dihasilkan
dengan mengkombinasikan ketiga warna pokok tersebut. Namun RGB bukan
satu-satunya warna pokok yang dapat digunakan untuk menghasilkan kombinasi
warna. Warna lain dapat juga digunakan sebagai warna pokok misalnya C = Cyan,
M = Magenta, dan Y = Yellow). Ketiga warna CMY ini merupakan warna
komplementer dari RGB. Dua buah warna disebut komplementer jika dicampur
dengan perbandingan yang tepat menghasilkan warna putih. Misalnya, magenta
jika dicampur dengan perbandingan yang tepat dengan green menghasilkan putih,
karena itu magenta adalah komplemen dari green. Model CMY dapat diperoleh
dari model RGB dengan perhitungan bahwa; C = 1-R, M = 1-G, Y = 1-B. (Munir,
2004)
2.5. Peramalan (Interpolasi dan Exkstrapolasi)
2.5.1. Pengertian Peramalan
Peramalan adalah suatu kegiatan atau usaha untuk mengetahui peristiwa-
peristiwa yang akan terjadi pada waktu yang akan datang mengenai obyek tertentu
dengan menggunakan pertimbangan, pengalaman-pengalaman ataupun data
historis. Dari definisi diatas terdapat beberapa istilah yang perlu dijelaskan
pengertiannya, antara lain:
22
1. Peristiwa; adalah suatu kejadian tentang suatu obyek yang merupakan
hasil suatu proses atau kegiatan; misalnya baik/buruk, turun/naik, atau
mendatar dan lain sebagainya.
2. Waktu yang akan datang; Maksudnya peristiwa yang ingin diramal itu
adalah kejadian masa datang.
3. Pertimbangan, intuisi, pengalaman, ataupun data historis. Adalah
merupakan variable-variabel yang digunakan untuk melakukan peramalan.
Dengan memperhatikan uraian diatas, maka peramalan merupakan proses
atau metode dalam meramal suatu peristiwa yang akan terjadi pada masa yang
akan datang dengan berdasarkan pada variable-variabel tertentu.
2.5.2. Metode-metode Peramalan
Peramalan dapat dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Melakukan
peramalan secara kuantitatif, artinya menggunakan data angka, sebab variabel
yang diramal itu hanya terbatas pada variabelvariabel yang dapat di ukur secara
kuantitatif. Jelas bahwa variabel-variabel yang digunakan untuk melakukan
peramalan itu adalah benar-benar secara teoritis. Pada umumnya, peramalan
kuantitatif dapat dikelompokkan dalam 2 model, yaitu:
i. Model deret berkala (time-series)
ii. Model regresi (kausal)
Kedua model tersebut hanya dapat diterapkan apabila terpenuhi beberapa
kondisi, antara lain:
a. Tersedianya informasi tentang masa lalu.
b. Informasi tersebut bersifat kuantitatif atau dikuantitatifkan menjadi data
angka.
c. Diasumsikan bahwa pola masa lalu akan berkelanjutan pada pola masa
datang.
Dengan model deret berkala kita berusaha menduga nilai suatu variabel
untuk masa datang dengan menggunakan nilai-nilai variabel tersebut pada masa
lalu. Artinya dengan menganalisis pola data masa lalu secara deret berkala untuk
melakukan ekstrapolasi bagi nilai masa datang. Ini tentu saja kita berasumsi
23
bahwa adanya kesinambungan kondisi antar masa lalu dan masa
datang.(Satyawan, 2008)
2.6. Wahana Bawah Air
Wahana bawah air dalam bidang observasi bawah air kini telah berkembang
pesat untuk kepentingan eksplorasi sumberdaya laut. Wahana-wahana ini dapat
berupa robot-robot ataupun mini kapal selam yang dilengkapi peralatan akustik,
navigasi dan kamera serta tangan-tangan untuk pengambilan sampel. Wahana-
wahana ini kita kenal dengan Remotely Operated Vehicles (ROV) dan
Autonomous Underwater Vehicles (AUV), yang dapat dioperasikan tanpa kabel,
ada juga dengan sistem kabel, serta yang menggunakan awak ataupun tanpa awak.
Sebagian observasi laut dalam menggunakan jaringan kabel. Jaringan ini
memungkinkan sampling data dari Samudra dengan temporal tinggi dan resolusi
vertikal. Melalui kabel ke darat. Jaringan ini memonitor dan menunjukkan secara
real time. Satu komponen dari observasi ini adalah penggunaan bentuk plat form
ROVs. ROVs dapat digunakan untuk pemantauan bawah air dan melakukan
sedikit pemeliharaan pada bagian struktur navigasi. ROVs adalah satu klas dari
Maneuverable Underwater Robotic Vehicles dengan ditambatkan melalui sebuah
kawat ke stasiun operator dipermukaan. Kekuatan membawa pusat dan signal
operasi ke ROV dan pengembalian gambar, still images, status pembawa dan data
sensor ke stasiun operator (Kidby 2006). Teknologi ROV dibutuhkan pada
perminyakan lepas pantai, hidroelektronik dan kekuatan industri nuklir, dan
berbagai kepentingan militer (angkatan laut).
ROV Ventana adalah sebuah wahana bawah air yang mampu melayang –
layang dapat menyelam sampai kedalaman 1500 m dan membawa seperangkat
instrument, camera, sebuah defenisi kamera yang tinggi ,manipulator untuk
pekerjaaan dan signal kembali dari instrumen dan alat untuk sampling dasar lautan
dan hewan – hewan di tengah kolom air. Pada ROV Model Pegasus, Insite
Pasifik. Inc, diguanakan camera warna dengan auto focus. Model ini mempunyai
bagian horizontal dengan sudut pandang 48 P
0P dan vertikal dengan sudut pandang
37P
0P didalam air. Model ini dilengkapi dengan Octans Gyrocompass Attitude and
24
Heading Reference System (AHRS). Komponen perangkat lunak memiliki
kemampuan visual traking yang tingggi.
2.7. Terumbu Karang
Terumbu karang (coral reefs) merupakan ekosistem laut tropis yang terdapat
di perairan dangkal yang jernih, hangat (lebih dari 22P
oPC), memiliki kadar CaCO3
(Kalsium Karbonat) tinggi, dan komunitasnya didominasi berbagai jenis hewan
karang keras. Kalsium Karbonat ini berupa endapan masif yang dihasilkan oleh
organisme karang (filum Scnedaria, klas Anthozoa, ordo Madreporaria
Scleractinia), alga berkapur, dan organisme lain yang mengeluarkan CaCO3
(Guilcher, 1988).
Beberapa genera hermatypic corals penting yang ada di Indo-Pacific tidak
ditemukan didaerah Atlantik (Vaughan, 1919). Genera terebut meliputi
Pocillopora, Hydnophora, Leptoria, Pavona dan Goniopora. Demikian pula
beberapa jenis karang yang ada di Atlantik tidak dijumpai di Indo-Pacifik.
Mengenai jumlah jenis, tidak hanya jumlah genera yang lebih sedikit di daerah
Atlantik, akan tetapi jumlah spesies per genus, dibandingkan dengan ada di daerah
Indo-Pacifik. Sebagai contoh, Genus Acropora, didaerah Indo-Pacific tercatat
sekitar 150 species, akan tetapi hanya ada tiga di Atlantik. Demikian juga genus
Porites, masing-masing tercatat ada 30 species di Indo-Pacific dan 3 species di
daerah Atlantik. Menurut Wells (1964) keanekaragaman yang terbesar berada di
wilayah Indo-Pacific, tercatat di daerah Melanesia, Asia Tenggara, dan yang
paling tinggi tercatat di Indonesia (Rosen, 1971), yaitu dengan lebih dari 50
genera dan 700 species, sedangkan diperairan terumbu karang di kawasan Indo-
Pacific lainya hanya mempunyai keanekaragaman sekitar 20-40 genera (Stoddart,
1969). Menurut perkiraan, terumbu karang yang ada di Indonesia menempati area
seluas 7.500 kmP
2P dari luas perairan Indonesia (Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup, 1992). Berdasarkan hasil penelitian jenis-jenis karang yang
mendominasi di perairan tersebut adalah dari genera Acropora, Montipora dan
Porites, dan mempunyai jumlah species yang cukup banyak. Sebagai contoh
genus Acropora, di Sumatera Barat tercatat ada 49 species, Laut Jawa ada 63
species, Sulawesi Selatan ada 75 species, Flores dan Sumbawa ada 65 species
25
(Moosa et al, 1996). Jumlah total scleractinian corals yang ditemukan di perairan
Indonesia pada mulanya dilaporkan ada sekitar 362 species, yang berasal dari 76
genera. Namun hasil Expedisi Snellius II tahun 1984, jumlah genera scleractinian
corals ditemukan hanya 75 genera, yang terdiri dari 350 species (Borel-Best et
al,1989).
Dalam pengukuran kelimpahan dan keanekaragaman karang, peneliti
mengalami keraguan tentang jenis karang yang diamati atau diteliti. Berkaitan
dengan ini perlu dilakukan pengambilan sampel karang tersebut. Sampel karang
yang diambil dianjurkan tidak terlampau besar, karena bisa merusak ekosistim
terumbu karang, namun juga tidak terlampau kecil, karena sulit diidentifikasi.
(Supriharyono, 2007). Dikatakan pula bahwa untuk identifikasi karang digunakan
kunci identifikasi karang, yang sesuai dengan daerah atau lokasi pengambilannya.
Indo-Pacific atau Caribbean karang.