9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Bandara dan Lingkungan
Bandara atau bandar udara merupakan sebuah fasilitas tempat pesawat
terbang dapat lepas landas dan mendarat. Bandar udara yang paling sederhana
minimal memiliki sebuah landas pacu, namun bandar udara-bandar udara besar
biasanya dilengkapi berbagai fasilitas lain, baik untuk operator layanan
penerbangan maupun bagi penggunanya (Rachman, 2007). Menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 71 Tahun 1996 tentang kebandarudaraan, yang dimaksud dengan
bandar udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan untuk mendarat dan lepas
landas pesawat udara, naik turun penumpang, dan atau bongkar muat kargo dan atau
pos, serta dilengkapi dengan fasilitas keselamatan penerbangan dan sebagai tempat
perpindahan antar moda transportasi. Definisi bandar udara menurut PT. (Persero)
Angkasa Pura adalah lapangan udara, termasuk segala bangunan dan peralatan
yang merupakan kelengkapan minimal untuk menjamin tersedianya fasilitas bagi
angkutan udara untuk masyarakat (Departemen Perhubungan, 2005)
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa bandar
udara merupakan prasarana penting dalam kegiatan transportasi udara pada setiap
negara, khususnya Indonesia yang merupakan negara kepulauan, dimana
transportasi udara sangat berperan penting bagi kelancaran aktivitas penduduknya.
Bandar udara juga berperan dalam menunjang, menggerakkan dan mendorong
pertumbuhan ekonomi daerah karena berfungsi sebagai pintu gerbang daerah.
Bandara juga merupakan suatu lingkungan tempat manusia beraktifitas, dimana
berbagai komponen lingkungan membentuk suatu sistem. Untuk itu, pembahasan
mengenai konsep bandara harus berkaitan dengan konsep lingkungan.
Raharjo (2007) menyatakan bahwa sejak didirikannya World Commission
on Environmental and Development (WCED) oleh Komisi Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB), yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland, pada tahun 1983,
dengan anggota terdiri dari berberapa negara, termasuk Indonesia (Prof. Dr. Emil
Salim), pendekatan yang dilakukan dalam melakukan pembangunan yang
berkelanjutan harus memperhatikan permasalahan lingkungan. Hasil kerja dari
WCED yang tercatat sampai saat ini dan digunakan sebagai tonggak dalam
pengelolaan lingkungan adalah Our Common Future (Hari Depan Kita Bersama).
10 WCED mendekati masalah lingkungan dan pembangunan dengan sudut pandang
sebagai berikut (Raharjo, 2007):
1. Ketergantungan (Interdependency)
Masalah polusi, penggunaan bahan kimia, kerusakan sumber plasma nutfah,
pertumbuhan kota, dan konservasi sumberdaya alam, tidak mengenal batas
negara. Mengingat permasalahan saling ketergantungan, maka pendekatan
harus dilakukan lintas sektor antar negara.
2. Berkelanjutan (sustainability)
Sumberdaya alam sebagai sumber bahan baku kegiatan industri, perdagangan,
perikanan, dan energi, harus dipertimbangkan untuk generasi yang akan
datang.
3. Pemerataan (Equity)
Desakan kemiskinan bisa mengakibatkan eksploitasi sumberdaya alam secara
berlebihan, sehingga perlu dilakukan pengaturan untuk pemerataan.
4. Sekuriti dan Resiko Lingkungan
Perlombaan senjata dan pembangunan tanpa memperhitungkan dampak
negatif kepada lingkungan turut memperbesar resiko lingkungan. Segi ini
perlu ditanggapi dalam pembangunan berwawasan lingkungan.
5. Pendidikan dan Komunikasi
Pendidikan dan komunikasi berwawasan lingkungan dibutuhkan untuk
ditingkatkan di berbagai tingkat pendidikan dan lapisan masyarakat.
6. Kerjasama Internasional
Pola kerjasama internasional dipengaruhi oleh pendekatan pengembangan
sektoral. Pertimbangan lingkungan kurang diperhitungkan.
Beberapa poin yang dikemukakan oleh WCED di atas sangat penting
untuk diperhatikan oleh berbagai pihak yang terkait dengan kebijakan
pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan tidak saja
berkonsentrasi pada isu-isu lingkungan. Lebih luas dari itu, pembangunan
berkelanjutan mencakup tiga lingkup kebijakan: pembangunan ekonomi,
pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan (selanjutnya disebut 3 Pilar
Pembangunan berkelanjutan) (Raharjo, 2007).
11
Menurut Sutrisno (2008), lingkungan adalah kombinasi dari semua kondisi
yang mempengaruhi sebuah organisme, termasuk kondisi fisik dan kimiawi
(misalnya; iklim, tanah, dan lain-lain), maupun pengaruh organisme hidup lain.
Lingkungan dapat juga didefinisikan sebagai segala sesuatu yang melingkupi
sebuah organisme, yakni kondisi-kondisi yang mempengaruhi perkembangan dan
pertumbuhannya. Lingkungan hidup mempunyai sumber daya yang terdiri atas
sumber daya manusia, sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati dan
sumber daya buatan. Sumber daya alam merupakan unsur lingkungan yang terdiri
dari unsur hayati dan non hayati, yang memiliki sumber energi untuk
terbentuknya sistem. Sumber daya ekologi berupa energi terjadi karena adanya
interaksi dan interdependensi antara makluk hidup dengan lingkungan.
Agar lingkungan dapat bermanfaat bagi makhluk hidup disekitarnya,
diperlukan pengelolaan terhadap lingkungan atau dengan kata lain diperlukan
manajemen lingkungan. Menurut Sutrisno (2008), manajemen lingkungan adalah
kegiatan komprehensif, mencakup pelaksanaan kegiatan, pengamatan untuk
mencegah pencemaran air, tanah, udara dan konservasi habitat dan
keanekaragaman hayati. Manajemen lingkungan merupakan suatu konsep
pendekatan keseimbangan dengan melakukan manajemen sumber daya alam
untuk pemenuhan kepentingan politis, sosial ekonomi sesuai dengan ketersediaan
lingkungan alami dan menitik beratkan pada nilai, distribusi, hukum alam, dan
kesimbangan antar generasi (Sutrisno, 2008).
Pengelolaan banyak diartikan sebagai upaya sadar dan terpadu untuk
mencapai suatu tujuan yang disepakati bersama. Dalam konteks lingkungan
bandara, pengelolaan lingkungan bandara dapat diartikan sebagai upaya terpadu
untuk mengembangkan strategi untuk menghadapi, menghindari dan
menyelesaikan penurunan kualitas lingkungan bandara dan untuk
mengorganisasikan program-program pelestarian lingkungan dan pembangunan
bandara yang berwawasan lingkungan.
Menurut Rachman (2007), bandar udara harus dirancang dengan baik
sehingga sesuai dengan lingkungan sekitarnya. Perencanaan bandar udara harus
dilakukan didalam konteks rencana regional yang menyeluruh. Lokasi, ukuran, dan
konfigurasi harus disesuaikan dengan pola pengembangan pemukiman yang sudah
12 ada dan yang direncanakan dengan mempertimbangkan pengaruh terhadap
lingkungan. Pengoperasian bandar udara tidak hanya difokuskan pada pergerakan
penumpang dan barang, sistem kontrol kualitas lingkungan harus diberikan prioritas
tinggi, seperti pengelolaan limbah, manajemen pengelolaan buangan dan kegiatan
yang ramah lingkungan. Dampak pembangunan bandar udara dan fasilitas umum
terhadap lingkungan hanya mendapat sedikit perhatian. Keberatan mengenai isu
lingkungan sangat jarang, dan baru pada akhir-akhir ini masyarakat mulai peduli
dampak pengoperasian bandar udara terhadap lingkungan. Barangkali ini disebabkan
oleh makin memburuknya masalah-masalah lingkungan dan peningkatan kegiatan
penerbangan (Rachman, 2007).
Rachman (2007) menyatakan bahwa perencanaan dan pengembangan
pembangunan bandar udara ke depan harus memperhatikan lingkungan (eco-
airport), sehingga bandar udara dapat berfungsi secara efektif dan efisien, tidak
hanya ditinjau dari aspek teknis saja tapi juga dari segi sosial kemasyarakatan,
ekonomi, dan lingkungan. Konsep eco-airport adalah rancangan dimana bandar
udara direncanakan, dikembangkan, dan dioperasikan dengan tujuan menciptakan
sarana dan prasarana perhubungan yang ramah lingkungan di dalam lingkungan
bandar udara sendiri dan di daerah sekelilingnya. Konsep eco-airport diterapkan
pertama kali oleh negara Jepang (Bandar Udara Narita), dimana bandar udara
telah menerapkan konsep bandar udara yang berwawasan lingkungan dan
memperkecil rasio pencemaran lingkungan sekitar bandar udara yang dapat
mempengaruhi kegiatan operasional bandar udara. Konsep baru tersebut
kemudian diikuti oleh negara–negara lain seperti Singapura (Changi Airport) dan
Malaysia (Kuala Lumpur International Airport).
Menurut Rachman (2007), konsep eco-airport bandar udara diharapkan
bisa melakukan prevention pollution mencegah terjadinya polusi. Komponen eco-
airport terdiri dari noise (kebisingan), vibration (getaran), atmosfhere (udara),
water (air), soil (tanah), waste material (sampah), energy (energi), kawasan
keselamatan operasi penerbangan, dan kesehatan masyarakat (Community
Health). Pengelolaan lingkungan hidup di bandar udara pada suatu negara akan
mengikuti aturan-aturan pengelolaan lingkungan hidup di negara bersangkutan.
Aturan-aturan tersebut mengadopsi aturan lingkungan hidup yang berlaku di
dunia. Bandar udara sebagai suatu layanan penerbangan sipil dalam pengelolaan
13 lingkungannya juga harus mengikuti standar yang berlaku di dunia. Beberapa
produk hukum yang harus dipatuhi dalam pengelolaan bandar udara adalah
aturan-aturan ICAO (International Civil Aviation Organization) dan FAA
(Federal Aviation Administration), dan aturan-aturan lain yang berlaku di dunia.
Penerapan eco-airport di bandar udara dapat dilakukan dengan perubahan
dalam pola pikir, tingkah laku, penerapan pengetahuan, dan perbaikan teknologi
dibidang penerbangan sipil dan pengelola bandar udara yang berbasis lingkungan.
Konsep atau filosofi dasar dari eco-airport adalah sebagai berikut: (1) pengoperasian
bandar udara yang mengikuti perspektif lingkungan udara secara global; (2)
mengoperasikan bandar udara yang bisa eksis secara harmonis dengan lingkungan
global; dan (3) menyelenggarakan bandar udara yang kapabel yang dalam
perkembangannya dapat menyesuaikan dengan kebutuhan yang berkelanjutan.
Lingkungan sekitar bandar udara diharapkan dapat mencegah dan mengurangi polusi
kebisingan, memanfaatkan penggunaan luas lahan di sekitar bandar udara,
mengembangkan hubungan secara regional terhadap bandar udara yang lain, dan
mengembangkan keharmonisan bandar udara terhadap wilayahnya (Rachman, 2007).
2.2. Teori Organisasi
Secara sederhana, organisasi dapat diberi pengertian sebagai suatu sistem
yang saling berpengaruh antar orang dalam kelompok yang bekerjasama dalam
mencapai tujuan bersama. Organisasi adalah struktur, dimana individu-individu
secara sistematik bekerjasama untuk suatu hal (American Heritage Dictionary of
the English Language dalam McLean, 2006). Sementara itu, McLean (2006)
mendefinisikan organisasi sebagai dua pihak atau lebih yang terlibat dalam tujuan
bersama. Dari definisi tersebut, terdapat beberapa hal yang penting dalam
organisasi, yaitu struktur, individu, dan tujuan. Lengkapnya, organisasi dapat
dinyatakan sebagai suatu kesatuan sosial dari sekelompok manusia yang saling
berinteraksi menurut pola tertentu, sehingga setiap anggotanya memiliki fungsi
dan tugas masing-masing, utamanya lagi kesatuan tersebut mampunyai batas-
batas yang jelas sehingga dapat dipisahkan secara tegas dari lingkungannya.
Organisasi sebagai suatu sistem memiliki unsur manusia yang dianggap
sebagai suatu sistem dengan beberapa perangkat sub-sistem. Ciri dari organisasi
sebagai suatu sistem secara umum adalah adanya unsur-unsur (elemen) dasar yang
14 mendukung secara garis besar yang saling terkait karena ada faktor yang saling
berhubungan, saling bergantung dari elemen-elemen tersebut dan juga saling
beradaptasi satu dengan lainnya. Sebagai unsur dari sistem sosial maka manusia
adalah unsur-unsur yang umum berlaku. Unsur tersebut saling berkaitan seperti
adanya motivasi yang berada jauh di dalam lubuk hati setiap manusia dan hanya
diketahui oleh diri sendiri sampai tindakannya mulai terbaca oleh orang lain.
Itupun hanya bisa diduga oleh sesuatu yang menjadi niatan hati (Kolasa, 1970).
Selain motivasi, sistem sosial juga memiliki nilai yang merupakan pilihan dalam
mengambil tindakan yang ingin dilakukan. Di samping motivasi ada norma
(norms) yang menjadi pilihan yang dianggap baik dan benar dan keterkaitan
antara tindakan yang dilakukan terhadap lingkungan.
Menurut Zwell (2000), cara organisasi menempatkan individu-individu
pada posisi yang tepat akan menentukan efisiensi, kualitas, dan efektifitas dari
organisasi tersebut. Selanjutnya, dikatakan bahwa bagaimana individu-individu di
dalam organisasi merupakan elemen penting untuk mengoptimalkan struktur
organisasi. Menurut Gaynor dalam Gumbira-Said et al. (2001), individu atau
sumber daya manusia merupakan kegiatan administrasi yang merupakan salah
satu bagian dari kegiatan bisnis.
Keterlibatan individu ke dalam bagian dari organisasi perlu melakukan
identifikasi dirinya terhadap organisasi, atau komitmen terhadap organisasi. Kata
komitmen memiliki arti sebagai suatu bentuk loyalitas (kesetiaan terhadap sesuatu
yang telah dijanjikan) (Manser, 1995). Robbins (2005) lebih menekankan definisi
komitmen organisasi sebagai derajat identifikasi karyawan terhadap organisasi
serta tujuan organisasi, yang kemudian mengarahkan karyawan untuk menjaga
keanggotaannya dalam organisasi.
Salah satu unsur penting di dalam organisasi adalah manajemen. Seperti
disebutkan oleh Stoner et al. (1996) manajemen adalah praktik nyata yang terus
menerus yang membentuk organisasi. Semua organisasi memiliki orang-orang
yang bertanggungjawab agar tujuan organisasi tercapai. Orang-orang itu disebut
manajer. Manajemen adalah kegiatan utama yang akan menentukan seberapa
bagus organisasi itu melayani orang-orang yang memengaruhinya (Stoner et al.,
1996).
15
Selain faktor manajemen yang berperan mengendalikan organisasi,
struktur yang dibangun oleh pihak manajemen juga ikut menentukan kinerja dari
organisasi yang bersangkutan. Struktur organisasi biasanya mencerminkan
bagaimana organisasi tersebut melakukan kegiatannya. Struktur organisasi adalah
pola formal aktivitas dan hubungan antara berbagai sub-unit organisasi. Struktur
organisasi meliputi dua aspek yaitu desain pekerjaan dan desain organisasi.
Desain pekerjaan dihubungkan pada proses di mana manajer menspesifikasikan
isi, metode dan hubungan pekerjaan untuk memenuhi kepentingan organisasi dan
individu. Sementara itu, desain organisasi berkaitan dengan struktur organisasi
secara menyeluruh (Gibson et al., 2005).
Manajemen yang terdiri dari orang-orang yang mengendalikan organisasi
terikat dengan struktur yang dibangun oleh organisasi. Namun, kedua unsur
tersebut belum cukup untuk menggerakkan organisasi dalam mencapai tujuannya,
sehingga masih diperlukan lagi banyak individu yang terlibat dalam organisasi.
Banyaknya individu yang terlibat di dalam organisasi memerlukan sistem
informasi yang dipakai sebagai acuan dalam proses komunikasi antar individu.
Menurut Gibson et al. (2005) proses komunikasi menghubungkan organisasi
dengan lingkungan, demikian juga sebagai bagiannya. Informasi mengalir ke dan
dari organisasi dan di dalam organisasi. Informasi mengintegrasikan aktivitas di
dalam organisasi. Dengan demikian, proses komunikasi yang terjadi merupakan
pengaturan informasi yang terjadi di dalam organisasi dan juga dari dalam
organisasi ke pihak di luar organisasi.
Unsur lain yang terkait dengan organisasi adalah finansial. Aspek finansial
organisasi menurut Stoner et al. (1996) adalah aspek penting yang akan
menentukan performance organisasi dan prospeknya dalam jangka panjang. Ada
tiga faktor penting dari aspek finansial organisasi yaitu likuiditas, kondisi finansial
umum dan profitabilitas. Likuiditas adalah kemampuan organisasi untuk
mengkonversi aset menjadi dalam bentuk kas untuk memenuhi kebutuhan
keuangan dan kewajiban-kewajiban organisasi dalam waktu tertentu, atau
singkatnya adalah kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka
pendeknya. Finansial umum biasanya keseimbangan antara hutang dan ekuitas
(equity), dengan kata lain kemampuan perusahaan untuk memenuhi semua
16 kewajibannya, baik kewajiban jangka pendek maupun jangka panjang.
Profitabilitas adalah kemampuan untuk mendapatkan atau memperoleh
keuntungan dalam waktu tertentu.
2.3. Konsep Motivasi sebagai Dasar Perilaku
Setiap orang pasti mempunyai hasrat untuk berbuat sesuatu yang menjadi
harapannya, karena kepentingannya maupun kebutuhannya. Hasrat tersebut
dinamakan sebagai motivasi bagi dirinya. Namun, menurut kebiasaan yang
berlaku, motivasi yang dipikirkan oleh pelaku tidak pernah diketahui oleh
siapapun kecuali yang bersangkutan. Bahkan, motivasi biasanya tersembunyi
dalam hati, sehingga orang hanya bisa menduga bagaimana sebenarnya. Walaupun
tersembunyi, motivasi juga bisa terbaca melalui tindakan yang diambil sebagai
aksi atau perilaku yang dilakukan oleh seseorang. Akan tetapi, sebagai suatu
kelompok manusia yang bekerja bersama, maka motivasi bisa diinterpretasikan
dari kebijakan yang ditetapkan menjadi perilaku yang akan dikerjakan orang
bersama-sama secara keseluruhan.
Motivasi pelaku tidak harus menyatakan niatnya secara terbuka. Motivasi
sesungguhnya hanya berada di hati yang terdalam dari setiap individu. Kendati
demikian, tidak berarti bahwa dengan tidak menyatakan niat seseorang, bahwa
orang lain tidak dapat menduga maupun membacanya, terutama bila motivasinya
sudah mengambil bentuk nilai yang mendasari perilakunya itu. Walaupun
motivasi tidak pernah diucapkan dan bersifat tersembunyi, perbuatan seseorang
menjadi indikasi melalui perilaku yang nampak dan dapat diinterpretasikan dari
perilaku yang juga merupakan cermin yang dapat terlihat lebih nyata dari
motivasinya.
Walaupun motivasi bersifat tersembunyi, sekelompok orang yang
melakukan sesuatu secara bersama-sama akan tercermin dalam perilaku
kelompok. Hal tersebut juga dapat diketahui dari kebijakan yang dikeluarkan yang
melahirkan motivasi kolektif melalui interaksi bersama dan pembicaraan dengan
orang lain. Motivasi juga dapat dirasakan dari hasil kerja secara kolektif terutama
dari keinginan mereka yang berada di luar organisasi.
Motivasi yang tinggi biasanya menjadikan seseorang berada dalam
keadaan kejiwaan yang resah. Motivasi yang tinggi juga ditandai oleh orang yang
17 memberikan pelayanan (yaitu cermin motivasi) yang prima (tinggi), karena
merasa tidak puas dengan keadaan yang dihadapinya. Keresahan yang demikian
jelas menguntungkan orang lain. Keresahan dapat hilang jika aktivitas motivasi
dapat tersalurkan melalui pemberian pelayanan yang lebih baik kepada orang lain.
Bentuk pelayanan yang dapat menciptakan kesenangan bagi para pekerja dapat
digambarkan sebagai suatu bentuk rasa kepuasan. Dengan tidak adanya keresahan
ataupun kegelisahan dalam diri seseorang pekerja maupun sekelompok pekerja -
terhadap keadaan yang ada, maka orang tersebut dapat dikatakan sebagai orang
yang mempunyai motivasi yang rendah (Viteles, 1973).
Kepemimpinan dalam situasi demikian dapat memainkan peranan penting
untuk memelihara terjaganya motivasi yang tinggi, terutama terhadap jalannya
arah organisasi dalam mencapai tujuan (pelayanan) agar dapat memenuhi
kebutuhan orang lain yang tidak puas. Kepemimpinan dapat membedakan corak
tingkah laku para pelaku antara organisasi satu dengan organisasi yang lain dan
dengan bentuk pelayanan yang diberikan.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa motivasi dapat digambarkan sebagai
suatu kebutuhan yang selalu tidak pernah terpuaskan bagi yang melayani maupun
yang dilayani. Oleh karena itu, perlu diciptakan suatu keadaan yang menghasilkan
keseimbangan antara kepuasan atau kesenangan secara silih berganti. Hal ini
dapat dilakukan dengan mengembalikan keadaan yang tidak seimbang menjadi
seimbang kembali. Para pekerja tetap diminta untuk selalu bergerak sesuai tujuan
untuk mengembalikan keadaan yang tidak senang dan tidak seimbang tersebut
agar kebutuhan masyarakat dapat dilayani sepenuhnya. Masyarakat juga harus
mendukung maksud baik dari pimpinan organisasi ini.
Oleh karena itu, jelas bahwa motivasi merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari unsur manusia dalam suatu organisasi. Dalam kegiatan organisasi
motivasi seharusnya bersifat ajeg, terutama dalam usaha-usaha yang mengarah
pada pencapaian tujuan organisasi. Adanya suatu ke-ajeg-an mencerminkan
motivasi untuk mencapai tujuan yang selalu menjadi usaha kerasnya. Keajegan
adalah cara kerja yang menjadikan kualitas dari nilai kerja itu sendiri. Ke-ajeg-an
dalam kerja menghasilkan nilai kerja yang lebih berkualitas dari suatu bentuk
18 kerja. Sementara nilai kualitas juga dapat diperoleh dari bentuk pengawasan di
dalam organisasi. Disinilah peranan kepemimpinan menjadi sangat diperlukan.
Para ahli teori perilaku biasanya meletakkan motivasi tidak hanya sebagai
awal dari perilaku, melainkan juga sebagai suatu pemikiran niat perbuatan
seseorang. Jadi, motivasi selalu mendahului nilai kerja (motivation precedes work
values) ataupun tindakan (motivation precedes action). Niat seseorang
mempunyai berbagai dasar pemikiran seperti kepentingan (interest) yang biasanya
juga bertaut dengan suatu kemauan atau kehendak yang bertingkat-tingkat dari
berbagai ragam kebutuhan (needs) yang kemudian menjelma menjadi suatu
perilaku yang nyata. Salah satu pandangan yang bertautan antara kepentingan dan
kebutuhan adalah teori yang banyak dibicarakan ilmuwan yang dikembangkan
oleh Abraham Maslow.
Maslow memulai dengan teorinya yang disederhanakan pada kebutuhan
manusia dari yang paling dasar yaitu kebutuhan fisiologis (physiological needs)
seperti kebutuhan makan dan minum dan kebutuhan seks; diikuti oleh kebutuhan
keamanan (security or safety needs); kebutuhan akan bermasyarakat dan cinta
(love and social needs); dan kebutuhan akan pengakuan (esteem needs) - sampai
pada yang terakhir adalah kebutuhan menampilkan jagad-diri manusia (self
actualization needs) (Maslow, 1970).
Abraham Maslow mengembangkan teorinya lebih jauh dalam buku yang
selanjutnya menjadi kajian klasik dalam subjek ini (Maslow, 1970). Pemikiran
Maslow tersebut mendapat banyak kritikan sehingga melahirkan pemikiran
rintisan lain terutama dalam pandangan teori konten (content theories) di mana
Maslow juga menjadi salah satu perintisnya. Disini dia mengindikasikan bahwa
pada akhirnya manusia juga membutuhkan kehidupan spiritual yaitu nilai agama
yang juga memainkan peranan sangat penting bahkan meliputi keseluruhan tangga
teori motivasi.
Masih dalam pemikiran teori motivasi, ada juga pemikiran yang dirintis
oleh McGregor (1960). Dalam bukunya yang lain, pemikiran ini dikembangkan
lebih jauh dengan membagi motivasi dalam Teori X (Theory X) dan Teori Y
(Theory Y) secara lebih luas lagi. Dalam teori X, McGregor (1960) mendasarkan
pemikirannya pada suatu anggapan bahwa orang pada dasarnya tidak suka
19 bekerja. Pemikiran dari McGregor ini menganggap bahwa dalam bekerja pada
umumnya manusia malas dan hanya ingin keamanannya terjamin. Dalam bekerja,
orang lebih suka berleha-leha dan selalu membutuhkan bimbingan serta
pengawasan dan harus diberi rasa takut agar mereka bekerja dengan baik dan
benar.
Oleh karena itu, apabila pemimpin melihat keadaan seperti yang
digambarkan di atas, maka pemimpin itu sendiri cenderung menjadi orang yang
menuntut dan memaksa dengan keras pada bawahannya untuk bekerja dengan
baik. Seringkali pemimpin menjadi otoriter dalam keadaan yang demikian. Teori
ini mencerminkan gaya dari perilaku yang dilahirkan berbeda, terutama dengan
corak kepemimpinan yang lebih egaliter yang digambarkan sebagai teori Y.
Teori Y beranggapan bahwa manusia dalam bekerja cenderung seperti
ketika istirahat atau bermain. Anggapan lainnya adalah bahwa para pekerja
mempunyai komitmen pada tujuan organisasinya, mengendalikan diri untuk
mencapai tujuan organisasi dan berharap pada pengakuan dan balasan yang baik
pula. Teori Y juga berhasrat agar orang memimpin dirinya sendiri dan orang lain,
daripada rasa aman semata. Orang diharapkan agar mempunyai semangat inovatif
dan kreatif, suatu pemikiran yang melahirkan bentuk lain dari kepemimpinan
(McGregor, 1970).
Dalam teori Y, pemimpin cenderung melahirkan pemikiran yang lebih
egaliter kepada sesama para pekerjanya. Pemimpin cenderung bekerja bersama (to
work with people) orang lain dan bukan hanya melalui (and not only through and
with other people) melainkan menguasai orang lain (over-ruling other people’s
thinking) yaitu memaksa pemikirannya pada orang lain, maka pemimpin bukan
lagi memimpin (leading) akan tetapi menjadi menguasai (ruling). Apabila
pemimpin menjadi asyik dengan posisi kekuasaannya, maka seorang cenderung
menjadi penguasa yang memimpin dan bukan pemimpin yang berkewenangan.
Pemikiran tentang motivasi mempunyai ciri adanya usaha yang dikerjakan.
Usaha ini tercermin dalam nilai yang melahirkan perilaku. Jadi, perilaku manusia
sangat dipengaruhi lingkungan dalam organisasi dimana dia berada. Kata
dipengaruhi menjelaskan adanya hubungan yang erat antara pribadi orang dalam
suatu sistem sosial yang organik dengan lingkungannya.
20
Pribadi seseorang bisa saja meliputi watak maupun temperamen yang
menjadi bawaan dirinya (ingrained in the self). Kedua hal tersebut terjelma dalam
nilai yang menjadi anutan kerjanya. Pribadi seseorang juga meliputi pengetahuan,
skill, sikap dan beberapa pengaruh yang didapat dari lingkungannya. McGregor
menyebutkan hal ini sebagai fungsi I. Semua yang dijelaskan sebagai fungsi I
terjelma dalam nilai yang lebih konkrit yang tidak dijelaskan oleh McGregor
sendiri. Sementara lingkungan digambarkan sebagai fungsi E. Oleh karena itu,
dirumuskanlah aksi kerja (Work Performance) dengan rumusan sebagai berikut:
P = f( I, E)
P = f {I( a,b,c,d,) …E( m,n,o,p…)}
dimana, P adalah kinerja atau perilaku, I adalah berbagai karakteristik dari para
individu dan E adalah environment atau lingkungannya yang mempengaruhi
maupun dipengaruhi oleh P maupun I. Secara singkat seluruh performance (P)
atau perilaku seseorang, baik yang didapat dari pendidikan, keahlian atau
pengalaman, sikap dan tindakan adalah cermin atau terjemahan dari nilai kerja
seseorang dari dalam organisasi dan tertuju pada lingkungan dalam dan luar
organisasi (Gregor, 1967).
Motivasi belum menjadi perilaku yang ekspresif selama manusia belum
melakukan suatu tindakan (aksi dari dirinya) dan tidak ada aksi kecuali ada nilai
yang mendasarinya. Motivasi hanya merupakan suatu suasana batin yang tidak
kita ketahui, kecuali bagi dirinya sendiri atau kelompoknya sendiri yang
menganggap bahwa ia akan berbuat seperti apa yang dituntut oleh organisasinya.
Motivasi bisa memberi warna pada tingkah laku (behaviour) sehari-hari,
sedangkan perilaku merupakan jelmaan dari nilai kerja dalam bentuk norma yang
mengatur kerjanya itu, yaitu: dari apa dan bagaimana yang harus diperbuat; serta
peran atau tugas yang diembankan pada seseorang dalam suatu struktur organisasi
yang ada. Jadi, motivasi dalam kenyataannya merupakan penjelmaan dari nilai
dasar seperti agama dan budaya yang dianutnya maupun nilai keseharian yang
didapat dari pendidikan maupun pergaulannya dan yang tertuju pada tujuan di
lingkungan dari organisasinya.
Pertama, motivasi orang yang bekerja di dalam organisasi jelas akan
dipengaruhi pula oleh lingkungan luar organisasi (external organizational
21 environment) maupun lingkungan dalam organisasi (internal organizational
environment) itu sendiri. Keduanya hal tersebut akan menjelma pada suatu bentuk
persepsi dan proyeksi dalam bentuk perilaku (behaviour) dalam melaksanakan
tujuan (objective) dari mereka yang bekerja di lingkungan dalam organisasi
(internal organizational environment). Sementara nilai kerja mendahului dan
mendasari perilaku kerja seseorang atau sekelompok orang.
Kedua, perilaku itu sendiri ada penyebabnya (caused by). Penyebabnya
biasanya dipengaruhi oleh lingkungan luar organisasi yang bisa saja melahirkan
motivasi. Perilaku juga mempunyai dampak (effect) pada lingkungan luar
organisasi (Kolasa, 1970). Penelitian ini sebenarnya merupakan kajian dari
sebagian aspek budaya kerja dari mereka yang bekerja di bandara yaitu
lingkungan dalam yang berkaitan dengan lingkungan luar organisasi. Oleh karena
itu, kurangnya mutu pelayanan dapat diartikan sebagai akibat dari kurangnya
perhatian manusia yang bekerja terhadap nilai-nilai kerjanya sendiri yang
membentuk peran dan norma organisasi serta turut mempengaruhi kinerja di
lingkungan luar organisasi. Hal ini berarti bahwa pelayanan yang baik hanya bisa
terjadi apabila nilai kerja yang dianut mempunyai pengaruh pada lingkungan
organisasi yang ada secara signifikan.
Nilai yang berpengaruh saja tidak akan cukup. Oleh karena itu, penelitian
ini juga perlu mencari nilai apa saja yang ikut mempengaruhi atau yang
sebenarnya ikut mendukung nilai utama yang berpengaruh pada lingkungan
luarnya itu. Penelitian ini memfokuskan diri pada perilaku yang merupakan faktor
yang berdampak pada organisasi secara keseluruhan. Fokusnya pada perilaku
keseluruhan karena sebagian besar kerusakan yang dihadapi masyarakat sekarang
ini berpusat pada perbuatan kolektif manusia yang secara sadar maupun tidak
sadar membantu merusak lingkungan. Sedangkan penyebabnya adalah nilai-nilai
yang terkait yang juga ikut mempengaruhi nilai utama yaitu nilai pendukung yang
menyebabkan perilaku tersebut terjadi (caused behaviour). Dengan demikian,
kerusakan harusnya dapat diperkirakan terlebih dahulu agar tidak terjadi, jika nilai
pendukung utama juga di perhitungkan sebagai nilai yang berpengaruh pada nilai
keseluruhan.
22
Dalam motivasi, lingkungan luar dapat menjadi sumber inspirasi bagi
mereka yang bekerja di lingkungan dalam organisasi di manapun mereka berada
dan tidak terkecuali di bandara itu sendiri. Padahal perilaku manusia pada
dasarnya berbeda dengan kemauan kerjanya. Ada diantara mereka yang gigih
dibanding dengan teman kerja lainnya. Mereka itulah yang lebih berhasil dalam
menjalankan tugas dibandingkan teman lainnya sesama rekan pekerja.
Adanya nilai kerja yang lebih dan yang kurang gigih adalah cerminan dari
motivasi kerja yang sesungguhnya. Akan tetapi, dalam penelitian ini tidak melihat
perilaku orang per-orang melainkan melihat perilaku secara keseluruhan dari
semua yang bekerja di lingkungan bandara. Namun, hal ini tidak berkaitan dengan
suatu diskursive yaitu suatu gagasan yang banyak bergulir tanpa suatu rencana.
Akan tetapi, hal tersebut terkait dalam suatu hubungan dari para individu dengan
apa yang sebenarnya terjalin dan yang diketahui oleh masing-masing pekerja.
Dengan demikian, arti nilai (meaning) sangat terkait dengan konteks dari para
individu yang melakukan suatu tindakan. Jadi, ekspresi yaitu membuat informasi
tersedia bagi orang lain bukanlah tindakan akhir melainkan efek sampingan dari
tugas yang mau dijalankan dengan nilai kerja yang ada (Goffman, 1980).
Motivasi dalam pandangan ini juga merupakan esensi yang terdalam dari
manusia (inner-self wishes), sedangkan nilai adalah bentuk lahiriah (expressive
wishes) dari nilai yang terdalam itu yaitu motivasi. Adapun yang dimaksud
dengan nilai yang terdalam adalah ajaran baku yang tertanam pada diri seseorang
seperti agama, budaya dan pendidikan yang juga ikut membentuk motivasi dari
mereka yang bekerja. Ajaran yang baku ini juga menjadi alat interpretasi dari diri
(the objective interpretation of and by the self) yang menerjemahkan apa yang
dipersepsikannya secara fleksibel dari luar diri.
Motivasi dapat dibentuk melalui proses persepsi dari mereka yang bekerja
yang biasanya menangkap dari lingkungan luar dirinya (outer-self inwardly)
(Burger dan Luckmann 1969). Rajin atau malas seseorang juga dibentuk oleh
keadaan yang membentuk dirinya sendiri maupun lingkungan luar organisasi yang
berpengaruh membentuk sikap tersebut. Oleh karena itu, terdapat siklus yang
saling mempengaruhi antara motivasi yang mendasari nilai kerja, walaupun bukan
23 nilai kerja yang merupakan cermin dari lingkungan dalam yang berpengaruh
kemudian menjelma dalam nilai kerja.
Persepsi merupakan daya tangkap manusia yang dipengaruhi oleh
lingkungan luar organisasi termasuk lingkungan sosial, lingkungan buatan dan
lingkungan alaminya. Dengan perkataan lain, persepsi merupakan suatu proses
daya tangkap oleh diri yang sekaligus memberi interpretasi terhadap lingkungan
luar (outer phenomena is perceived as problems by the inner-self through the
interpretation of basic or acquired values). Pengaruh nilai kerja terdapat dalam
organisasi di mana mereka yang bekerja. Sedangkan proses persepsi tidak luput
dari pengaruh nilai dasar yang dianut oleh seseorang yang secara bersamaan
dengan nilai kerja dalam memberi interpretasi dari fenomena yang diamati atau
yang ditangkap oleh diri (the self) dari lingkungan luarnya (Toch dan Smith 1968).
Hal yang ingin dicari dari penelitian ini adalah nilai kerja yang
berpengaruh secara signifikan. Jadi, pembahasan yang dilakukan dalam penelitian
ini terkait dengan nilai-nilai dasar yang dapat memelihara lingkungan atau yang
sangat berpengaruh pada lingkungan. Walaupun tidak dipungkiri bahwa ada nilai
dasar yang dipengaruhi oleh motivasi (sebagai faktor terdalam dari manusia)
maupun persepsi yang juga membantu membentuk motivasi orang untuk bekerja
dan yang kemudian melahirkan sikap (attitude) dan perilaku (behavior) dari
mereka yang bekerja di lingkungan dalam organisasi.
Motivasi menurut pandangan Katerberg dan Blau (1983) mempunyai
beberapa ciri yaitu adanya usaha (effort) yang menggambarkan usaha orang dalam
suatu kegiatan yang mencerminkan kekuatan sebagai pendorong motivasi menjadi
tingkah laku kerja (work related behaviour). Kerja keras dapat berarti motivasi
kerja tinggi, tetapi bisa juga merupakan hasil kerja sehingga kerja yang dilakukan
menjadikan motivasi tinggi. Orang yang bekerja di depan tungku api tidak bisa
kerja dengan lengah. Oleh karena itu, kerja harus selalu mempunyai motivasi yang
tinggi. Motivasi merupakan akibat dari bentuk kerjanya itu sendiri.
Motivasi diibaratkan sebagai jantungnya manajemen karyawan.
Mangkuprawira (2008) memberikan definisi motivasi sebagai dorongan yang
membuat karyawan melakukan sesuatu dengan cara dan untuk mencapai tujuan
24 tertentu. Motivasi adalah karakteristik psikologi manusia yang memberi kontribusi
pada tingkat komitmen seseorang (Stoner et al., 1996).
Menurut Mangkunegara (2000) untuk mempermudah pemahaman
motivasi kerja, maka perlu diketahui pengertian motif, motivasi dan motivasi
kerja. Motif merupakan suatu dorongan kebutuhan dalam diri pegawai yang perlu
dipenuhi agar pegawai tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya,
sedangkan motivasi adalah kondisi yang menggerakkan pegawai agar mampu
mencapai tujuan dari motifnya.
Motivasi mempersoalkan bagaimana caranya mendorong gairah kerja
bawahan, agar mau bekerja keras dengan memberikan semua kemampuan dan
keterampilannya untuk mewujudkan tujuan perusahaan. Perusahaan bukan saja
mengharapkan karyawan yang ”mampu, cakap dan terampil”, tetapi yang
terpenting mereka mau bekerja giat dan berkeinginan untuk mencapai hasil kerja
yang optimal (Hasibuan, 2003).
Motivasi kerja adalah sesuatu yang permanen dan terus-menerus dan
diusahakan secara berkelanjutan (persistence), kecuali orang sudah menjadi
lumpuh. Maka motivasi dapat pula menjadi bentuk pengobatan bagi kesembuhan
bukan untuk kerja. Disini motivasi adalah usaha yang selalu mempunyai tujuan
(goal directed) (Katerburg dan Blau 1983). Motivasi juga mengenal teori proses
(process theory). Teori kebutuhan - yang dalam hal ini masuk dalam teori konten
(content theory) – yaitu berbicara mengenai apa yang menggugah motivasi, maka
teori proses yang mengemuka adalah terjadinya proses motivasi yang
sesungguhnya.
Clayton Alerter menghaluskan sekaligus memperluas pandangan dari
Maslow. Clayton mengatakan bahwa kebutuhan itu terkait dengan kebutuhan
untuk eksis (existence needs) yang mencakup safety dan physiological dalam
pandangan Maslow. Begitu juga ada kebutuhan untuk keterkaitan (relatedness)
yang mencakup social dan self esteem needs. Sementara pandangan yang lain
adalah pertumbuhan (growth) yang mencakup self esteem itu sendiri dan self
actualization needs dalam pandangan Maslow sebagaimana dikutip oleh Alerter
(1972). Masih banyak lagi teori dari kebutuhan ini seperti yang dikembangkan
oleh McClelland, Herzberg, dan lain-lain.
25
Fredrick Herzberg melihat motivasi sebagai suatu sarana untuk membuat
para pekerja lebih senang karena diberi tanggung jawab. Dengan demikian, terjadi
adanya pengakuan terhadap orang yang bekerja. Tanggung jawab menimbulkan
rasa pencapaian akan suatu hasil dan dapat mengetahui bagaimana hasil kerja dari
seseorang. Dari segi ini Fredrick Herzberg mempunyai segi yang kurang lebih
sama dengan motivasi orang Yunani dahulu, yaitu adanya tujuan yang
menyenangkan. Dari segi kesenangan (happiness) maka motivasi yang
digambarkannya memberi gambaran yang hedonistics.
Teori motivasi Frederick Herzberg dikembangkan oleh Herzberg pada
tahun 1959. Teori ini menyatakan bahwa motivasi kerja ditentukan oleh dua
faktor. Pertama, adalah faktor yang membuat karyawan merasa puas bekerja
(satisfiers), yaitu faktor-faktor yang membuat karyawan merasa senang atau puas
dan mendorong motivasi kerja (Motivation Factors). Faktor ini bersifat intrinsik
yang artinya bersumber dari dalam diri seseorang dan selalu dihubungkan dengan
isi pekerjaan seperti, pencapaian tujuan, prestasi (achievement), berhubungan
dengan keberhasilan melakukan pekerjaan, memecahkan masalah,
mempertahankan pendapat dan merasakan/melihat hasil pekerjaan, pengakuan
(recognition) mendapat perhatian dari orang/pihak lain (teman, atasan, perusahaan
atau organisasi), pekerjaan itu sendiri (work it self) cara-cara melaksanakan
pekerjaan sehari-hari atau tugas yang harus dilaksanakan untuk menyelesaikan
pekerjaan, tanggung jawab (responsibility) wewenang dan tanggung jawab
pekerjaan, status (advancement), perubahan status dari posisi seseorang di dalam
organisasi, peningkatan dan pengembangan.
Kedua, yaitu hygiene factor adalah faktor yang dapat menimbulkan rasa
tidak puas kepada pegawai (de-motivasi) atau faktor yang menghambat motivasi
kerja. Faktor-faktor ini bersifat ekstrinsik yaitu berada di luar diri dan selalu
dihubungkan dengan pekerjaan, seperti kebijakan perusahaan dan administrasi
(company policy and administration) meliputi kebijakan organisasi, jalur
komunikasi di organisasi dan pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan,
supervisi (supervisor) pengawasan yang diterima seseorang dalam menjalankan
tugasnya, termasuk kemampuan atasan dalam menjalankan tugasnya, termasuk
kemampuan atasan dalam melaksanakan pengawasan; teknis (technical),
26 hubungan antar pribadi (interpersonal supervisor), kondisi kerja (working
condition) meliputi kondisi fisik tempat bekerja, jumlah pekerjaan, atau fasilitas
yang tersedia untuk melaksanakan pekerjaan; upah (wage) semua imbalan
material yang diterima seseorang di dalam melaksanakan pekerjaannya, teknis,
dan rasa aman.
Selanjutnya, apabila faktor-faktor hygiene ini diperbaiki, maka tidak ada
pengaruhnya terhadap sikap kerja yang positif. Sebaliknya jika dibiarkan tidak
sehat, maka pegawai hanya akan merasa kecewa atau tidak puas. Faktor hygiene
menggambarkan hubungan kerja dengan konteks atau lingkungan ditempat
pegawai melaksanakan pekerjaannya (job contex).
Antara teori Maslow, Herzberg dan McClelland hakikatnya adalah sama.
Sebab faktor motivator dari Herzberg sama dengan kebutuhan harga diri dan
aktualisasi diri dari Maslow, serta kebutuhan berprestasi dan kebutuhan kekuasaan
dari McClelland. Begitu pula faktor hygiene dari Herzberg, pada dasarnya adalah
sama dengan kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan dan kebutuhan sosial dari
Maslow, serta kebutuhan afiliasi dari McClelland (Gibson et al., 2005).
Maslow Herzberg McClelland
Gambar 2. Jenis Kebutuhan Menurut Maslow, Herzberg, dan McClelland
Dari ketiga teori mengenai motivasi tersebut, model Herzberg merupakan
suatu model yang lebih relevan dibandingkan dua teori lainya. Teori Maslow,
mempunyai kelemahan, yaitu karena adanya tingkatan kebutuhan dari individu
sehingga dapat diartikan bahwa individu akan lebih berusaha untuk memenuhi
kebutuhan yang paling tinggi terlebih dahulu, baru kemudian memenuhi
kebutuhan yang kurang penting selanjutnya. Padahal setiap individu selalu
5. Aktualisasi diri 4. Penghargaan
3. Rasa sosial 2. Keselamatan dan
keamanan 1. Fisiologis
Motivator’s: 1.Prestasi 2.Pekerjaan sendiri 3.Pengakuan 4.Tanggung jawab 5.Status Hygiene’s: 1.kebijakan dan adm 2.Supervisi teknis 3.Upah 4.Hub. interpersonal 5.Kondisi kerja
1. Kebutuhan akan prestasi
2. Kebutuhan akan
kekuasaan
3. Kebutuhan akan affiliasi
27 berusaha memenuhi semua kebutuhanya secara sekaligus. Sebagai contoh
individu tidak harus makan dahulu sebelum melakukan interaksi dengan individu
lainnya.
Menurut Mangkuprawira dan Vitayala (2007), teori Maslow memiliki
kelemahan. Maslow dalam teori piramida motivasinya menempatkan aspek
aktualisasi diri sebagai kebutuhan tertinggi. Padahal, masih ada kebutuhan yang
levelnya lebih tinggi lagi yaitu self transcendence, yaitu hidup itu mempunyai
suatu tujuan yang lebih tinggi dari dirinya.
Teori McClelland membagi motivasi berdasarkan tiga bagian, yaitu
kebutuhan akan prestasi, kebutuhan akan kekuasaan, dan kebutuhan akan afiliasi.
Dalam lingkungan kerja, motivasi seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh ketiga
faktor tersebut saja, tetapi banyak faktor lain yang mempengaruhi motivasi
individu, seperti dalam aspek rohani dan kenyaman kerja. Selain itu motivasi tidak
hanya dipengaruhi oleh satu faktor saja seperti keinginan untuk berprestasi saja,
atau lebih didominasi oleh keinginan akan kekuasaan saja, tetapi banyak faktor
lain yang lebih luas dan saling mendukung atau jika disimpulkan teori ini
menyebutkan bahwa motivasi seseorang didominasi oleh satu kepentingan
tertentu yang dianggap paling penting, padahal motivasi seseorang untuk
melakukan sesuatu sangat beragam dan komplek, atau dengan kata lain teori ini
tidak berbeda jauh dengan teori Maslow. Sementara, teori dua faktor Herzberg
menjelaskan bahwa motivasi yang dapat mempengaruhi karyawan dapat berasal
dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal). Teori Herzberg ini mencakup
segala hal yang mempengaruhi motivasi individu, karena mencakup sisi internal
dan eksternal tersebut, sehingga tidak hanya ditinjau dari hanya satu sisi saja.
Berdasarkan beberapa definisi mengenai motivasi diatas, maka motivasi
dapat disimpulkan sebagai sebuah dorongan dan gairah kerja agar karyawan mau
bekerja keras dan memberikan semua kemampuan dan keterampilannya untuk
mewujudkan tujuan bersama yaitu tujuan karyawan dan organisasi. Sedangkan
karyawan yang tidak memiliki motivasi dicirikan antara lain sering stres, sakit
fisik, malas bekerja, kualitas kerja rendah, komunikasi personal yang kurang, dan
masa bodoh dengan tugas pekerjaannya.
28
Motivasi adalah kerja yang mempunai arah dan tujuan (goal direction),
yaitu apa yang dibuat sebagai arahan dari organisasi yang menjadi tempat
pijakannya. Bentuk motivasi ini ada misalnya dalam organisasi olah raga dalam
organisasi di PT. Angkasa Pura I. Begitu juga arahan pada kegiatan budaya dan
sosial di organisasi manapun. Motivasi adalah cermin dari niatan dalam hati dan
sesuatu yang ingin dicapai oleh orang. Segala usaha dikerahkan untuk mencapai
apa yang menjadi angan-angannya. Keteguhan dalam mengambil tindakan dari
seseorang menjadi gambaran dari motivasinya secara nyata. Namun, segala
bentuk motivasi itu hanya bergerak sejauh hati dan pikiran yang dihayati orang
sejak awalnya. Jadi ada unsur tersembunyi pada diri orang, walaupun sudah ada
arahan dari organisasi dimana tempat bekerja.
Gambar 3. Motivasi Kolektif dalam Organisasi
Bahkan apabila tindakan sudah dilakukan, motivasi bisa saja tidak
terungkap. Namun, nilai kerjalah yang mengkaitkan dengan perilaku maupun
tujuan yang ingin dicapainya. Tidak semua teori motivasi ini akan dibicarakan
disini karena segala teori mengenai motivasi ini akhirnya hanya akan menjelma
dalam nilai-nilai kerja yang aktual. Berbagai teori tersebut hanya akan
memberikan anggapan dasar yang hendak dijabarkan dalam penelitian dengan
nilai yang akan disusun dalam bentuk pertanyaan. Gambaran ringkas secara garis
Pengaruh Lingkungan Luar
Lingkungan Dalam
Persepsi Motivasi Diri (self)
Proyeksi
Nilai Kerja
Norma
Peran
P o e r r g i a l n a i k s u a s i
L i n g k u n g a n
S B A
Teknologi
Proses
Struktur
29 besar dari sistem motivasi manusia yang bergerak dalam organisasi disajikan pada
Gambar 3.
2.4. Konsep Nilai Kerja
Sebelum membahas mengenai definisi dan konsep nilai kerja, penting
untuk dibahas terlebih dahulu konsep kinerja. Mangkuprawira dan Hubeis (2007)
menyatakan bahwa kinerja merupakan hasil dari proses pekerjaan tertentu secara
terencana pada waktu dan tempat dari karyawan, serta organisasi bersangkutan.
Ukuran kinerja dapat dilihat dari sisi jumlah dari sisi jumlah dan mutu tertentu,
sesuai standar organisasi atau perusahaan. Hal itu sangat terkait dengan dengan
fungsi organisasi dan atau pelakunya. Mangkuprawira dan Hubeis menambahkan
bahwa agar diperoleh hasil sesuai standar perusahaan dan industri, maka kinerja
perlu dikelola. Untuk itu, perusahaan perlu mengelola faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja karyawan.
Robbins (2006) mendefinisikan kinerja sebagai fungsi dari interaksi antara
kemampuan, motivasi, dan kesempatan. Kesempatan kerja itu sendiri merupakan
tingkat kinerja yang tinggi yang merupakan sebagian fungsi dari ada tidaknya
rintangan-rintangan pengendali perilaku pegawai tersebut. Hubungan ketiga faktor
tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.
Sumber : Robbins (2006)
Gambar 4. Hubungan Kemampuan, Motivasi, dan Kesempatan
Pernyataan Robbins (2006) hampir sama dengan pernyataan Hersey dan
Blanchard (1994) yang menyatakan bahwa kinerja merupakan fungsi dari
motivasi dan kemampuan, dimana penilaian kinerja yang baik didasarkan pada
derajat kesediaan dan kemampuan tertentu yang mendukung individu tersebut
melaksanakan pekerjaan yang dihadapinya. Namun, kondisi tersebut tidak
langsung memberikan dampak peningkatan kinerja tanpa didukung oleh
Kemampuan
Motivasi Kesempatan
30 pengarahan dari atasan, pemahaman terhadap pekerjaan, dan lingkungan tempat
bekerja.
Mathis dan Jackson (2002) mengatakan bahwa kinerja dapat diartikan
sebagai sesuatu hal baik yang dilakukan maupun yang tidak dilakukan. Mathis
dan Jackson menambahkan bahwa kinerja karyawan sangat berpengaruh terhadap
produktivitas perusahaan. Pengaruh ini dapat dilihat dari seberapa banyak
kontribusi yang mereka berikan kepada organisasi, yang meliputi: kuantitas
output, kualitas output, dan jangka waktu penyelesaian pekerjaan, sikap
kooperatif, dan kehadiran di tempat kerja.
Pimpinan suatu organisasi sangat menyadari adanya perbedaan kinerja
antara satu pegawai dengan pegawai lainnya yang berada di bawah
pengawasannya, walaupun pegawai-pegawai bekerja bekerja pada tempat yang
sama. Secara garis besar, perbedaan kinerja ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu
faktor individu dan situasi kerja (As’ad, 2000). Gibson et al., (2005) menyatakan
bahwa terdapat tiga perangkat variabel yang mempengaruhi perilaku dan prestasi
kerja atau kinerja, yaitu:
1. variabel individual; terdiri dari kemampuan dan keterampilan (mental dan
fisik), latar belakang (keluarga, tingkat sosial, penggajian), dan demografis
(umur, asal-usul, jenis kelamin).
2. variabel organisasional; terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, imbalan,
struktur, dan desain pekerjaan.
3. variabel psikologis, terdiri dari persepsi, sikap, kepribadian, belajar, motivasi,
dan kepuasan.
Timple dalam Mangkunegara (2005) menyatakan bahwa pencapaian
kinerja dipengaruhi oleh faktor internal (disposisional), yaitu dihubungkan dengan
sifat-sifat seseorang, dan faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari
lingkungannya, seperti perilaku, sikap, dan tindakan dari rekan-rekan kerja,
bawahan, atau pimpinannya, fasilitas kerja, dan iklim organisasi. Pernyataan
Timple berbeda dengan pernyataan Simamora dalam Mangkunegara (2005),
dimana Simamora berpendapat bahwa kinerja dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu
faktor individual, faktor psikologis, dan faktor organisasi. Faktor individual
meliputi kemampuan dan keahlian, latar belakang, dan demografi. Faktor
31 psikologis meliputi persepsi, attitude, personality, pembelajaran, dan motivasi.
Sementara itu, faktor organisasi meliputi sumber daya, kepemimpinan,
penghargaan, struktur, dan job design.
Berdasarkan kerangka teori tentang kinerja yang dikemukakan oleh para
pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja karyawan mencakup aspek
tangible dan intangible, sehingga dalam penilaian output dari kinerja harus
memperhatikan kedua aspek tersebut. Dalam berbagai kajian penelitian sumber
daya manusia, kinerja seringkali dijadikan tolak ukur atau indikator akhir
penelitian. Hal ini dikarenakan kinerja merupakan suatu tolak ukur keberhasilan
pelaksanaan suatu organisasi.
Ukuran dari kinerja dapat ditinjau dari berbagai aspek, seperti aspek
pemasaran, operasional, keuangan, dan sumber daya manusia, dengan berbagai
macam alat ukur yang berbeda-beda. Dalam sisi sumber daya manusia, kinerja
dipengaruhi oleh berbagai faktor pendukung lainnya, seperti kenyamanan kerja,
motivasi, kompensasi, budaya, nilai kerja, dan sebagainya.
Suatu nilai kerja diperoleh dari kaitan atau hubungan antara persyaratan,
seperti kebutuhan sosial (social needs) dengan kepuasan lingkungan
(environmental satisfaction) yang mempengaruhinya. Demikian pula lingkungan
sangat dipengaruhi oleh hasil dari nilai kerja yang ada.
Nilai kerja adalah suatu kesadaran dari setiap pencapaian organisasi
terhadap kepuasan yang akan terjadi di lingkungan luar organisasi. Hal ini hanya
terjadi apabila terjadi sebagai kepuasan yang dirasakan di lingkungan luar
organisasi dan yang menimbulkan pula kesadaran dengan menjadikan kepuasan
pada nilai kerja yang terpilih secara berarti (significant) di lingkungan dalam
organisasi yang ada. Oleh karena itu refleksi dari motivasi nilai kerja yang begitu
banyak di lingkungan dalam organisasi terasa kemudian di lingkungan luarnya,
begitu pula sebaliknya.
Teori nilai kerja adalah refleksi dari hubungan antara motivasi (motivation)
dan pelayanan yang ada (services). Ia juga merupakan kaitan antara (performance)
di dalam organisasi dan harapan orang lain (expectations of others) di luar
lingkungan organisasi. Teori nilai merupakan rasa kesungguhan (seriousness) dan
32 harapan dari orang lain (the importance of hope of others). Suatu perbedaan antara
seleksi nilai (value selections) dan kepuasan nilai (value satisfactions).
Kepuasan tersebut dapat dibuat sebagai suatu peringkat dari yang paling
menentukan dan yang kurang menentukan, bahkan tidak menentukan. Oleh karena
itu, perlu ada penilaian kepuasan orang di lingkungan organisasi yang ada. Begitu
juga kepuasan yang terjalin antara lingkungan dalam dan lingkungan luar
organisasi.
Dengan demikian nilai kerja adalah sesuatu yang relatif mempunyai arti
kualitas terhadap suatu objek. Kualitas yang ada dalam wujud yang baik maupun
yang buruk bergantung pula pada dampak yang akan terjadi sebagai akibatnya.
Jadi nilai adalah sesuatu yang tidak harus selalu terkait dengan lingkungannya,
bukan juga sesuatu yang menjadi bagian dari lingkungan luar yang ada. Namun,
bukan juga sesuatu yang bebas dari kaitannya dengan lingkungan luar organisasi
itu sendiri. Sekali nilai bergerak maka akan terasa di lingkungan luarnya. Dengan
perkataan lain, nilai yang dirasakan bergantung dari bagaimana totalitas perilaku
yang ada dari berbagai nilai yang dilaksanakan.
Menurut Schwartz dan Bilsky (1987), nilai kerja mencerminkan adanya
keterkaitan ciri-ciri antara berbagai definisi mengenai nilai ini, antara lain adalah
mempunyai aspek: (1) konsep (concepts) dan kepercayaan (beliefs); (2) suatu
keadaan akhir yang diinginkan (desirable end states) atau perilaku yang
melampaui situasi yang spesifik; (3) penuntun seleksi dan evaluasi (guides for
selections and evaluation) dari perilaku dan kejadian atau tindakan; (4) tersusun
atas dasar kedudukan kepentingan yang relatif. Dalam penelitian ini, nilai
digambarkan sebagai kualitas yang ditunjukkan oleh orang yang melakukannya
dan yang berdampak pada lingkungannya.
Pemikiran mengenai nilai kerja yang terkait dengan organisasi banyak
sekali. Suatu teori nilai kerja harus bergerak lebih jauh dari sekedar ciri-ciri nilai
yaitu hubungan antara kepuasan atau kebutuhan dan lingkungan yang ada. Nilai
kerja baru mempunyai arti yang penting apabila nilai tersebut mempunyai
maknanya masing-masing terhadap perubahan yang terjadi dalam waktu yang
berjalan (Schwartz dan Bilsky, 1987).
33
Ada anggapan bahwa para individu mempengaruhi lingkungan dengan
cara yang sesuai dengan tindakan atau perilakunya (Goffman, 1980). Tindakan
dan perilaku adalah refleksi dari nilai yang diketahui dalam berorganisasi. Dalam
hal ini, nilai dapat pula digambarkan sebagai adanya nilai yang relatif tinggi
(higher order of values) dan nilai yang relatif rendah (lower order of values). Nilai
yang mempunyai makna yang tinggi adalah nilai yang lebih luas dan yang bersifat
stabil serta melingkupi keseluruhan organisasi. Contoh dari nilai yang tinggi
adalah sikap respect bagi para pegawai yang bekerja pada mereka yang dilayani.
Sementara yang mempunyai arti yang lebih rendah adalah nilai yang merupakan
strategi dari manajemen yang sekarang sedang memimpin dan yang cukup adaptif
terhadap perubahan di dalam lingkungan. Dalam penelitian ini lebih banyak
perhatian yang tertuju pada nilai yang relatif lebih rendah yang mempengaruhi
pada lingkungannya. Kenyataan yang ada di dalam suatu lingkungan adalah
refleksi dari perilaku yang menghasilkan simbol dan tanda-tanda.
Nilai terkait dalam suatu hubungan dari para individu dengan apa yang
sebenarnya terjalin dan yang diketahui serta direncanakan - walaupun tersembunyi
- sebagai suatu tindakan. Dengan demikian, perilaku yang mempunyai arti
(meaning) sangat terkait dengan konteks dari para individu yang melakukan suatu
tindakan (behaviour). Sedangkan arti (meaning) ini juga merupakan refleksi dari
nilai kerja yang sedang dijalankannya dalam berorganisasi. Jadi, ekspresi perilaku
(behavioural expression) yaitu membuat informasi tersedia bagi orang lain bukan
sebagai tindakan akhir (end result), melainkan merupakan efek samping (side
effect) dari perilakunya (Goffman, 1980).
Interaksi nilai kerja adalah nilai-nilai yang dianut oleh para pimpinan, staf
dan karyawan secara keseluruhan dalam kerjanya, yaitu dari mereka yang berada
di lingkungan dalam organisasi yang melayani lingkungan luarnya. Sedangkan
pada lingkungan luar yaitu manusia yang bukan karyawan, tetapi terkait dengan
bandara yang berada di lingkungan luar bandara karena keperluan atau
kebutuhannya. Lingkungan luar juga meliputi lingkungan sosial yaitu mereka
yang dilayani, tetapi tidak bekerja di organisasi.
Adanya keterkaitan antara kedua hal tersebut karena adanya kebutuhan
untuk melayani organisasi dengan sebaik-baiknya yang terkait dengan mereka
34 yang membutuhkan pelayanan yang baik. Begitu juga lingkungan buatan
(fisiknya) seperti gedung-gedung, landasan pesawat terbang dan lingkungan alami
yaitu di mana bandara itu berada dengan segala sentuhan tangan manusia yang
membuat lapangan terbang itu bisa turun dan naik dengan aman dan lingkungan
terasa menarik.
Ketiga aspek lingkungan ini merupakan lingkaran yang saling bersentuhan
dan bertemu di titik tengah lingkaran. Keterkaitan ini juga dimungkinkan oleh
karena adanya unsur lain yang bergerak sekaligus, yaitu unsur manusia dalam
proses sistem sosial dan proses sistem organisasi. Keduanya bergerak sebagai
suatu sistem yang terpadu dan terkait antara berbagai elemen organisasi. Dalam
proses kedua unsure tersebut, manusia menjadi unsur sentral dalam menggerakkan
seluruh kegiatan organisasi dalam kesatuan gerak dan keseluruhan struktur
organisasinya dalam suatu tindakan yang padu.
Budaya menunjukkan bahwa pilihan nilai oleh manusia untuk berbuat
sesuai dengan nilai yang dianutnya dan diterjemahkannya dalam bentuk tindakan
keseharian yaitu suatu ritual yang menciptakan menciptakan iklim (climate).
Memilih nilai (values) adalah bentuk perilaku yang terikat dalam suatu koherensi
secara menyeluruh (coherent whole) dari sistem sosial maupun organisasi sebagai
suatu sistem yang terbuka. Pembentukan pola (pemolaan) dan integrasi (karena
berlaku sama bagi setiap orang) ini adalah esensi dari budaya (pattern of culture)
(Schein, 1997).
Sumber: Stinchcombe (1968)
Gambar 5. Pengaruh Nilai Kerja terhadap Lingkungan
Motivasi Nilai Kerja
Norma
Peran
Perilaku
Organisasi
Tujuan
Organisasi
Melayani di Lingkungan
Sosial, Lingkungan buatan, dan Lingkungan
alami
35
Dikatakan sebagai budaya korporat karena adanya kesamaan pandang
(philosophy) dalam melaksanakan kerjanya sehari-hari. Begitu pula adanya simbol
yang sama yaitu pimpinannya yang dibanggakan oleh para anak-buahnya karena
kesuksesannya atas prestasi yang dicapainya dalam membawa kemajuan bagi
setiap kegiatan pelayanan yang dilakukannya itu. Selain itu ada pula doktrin
pelayanan yang sama dalam menjalankan organisasinya. Pengaruh nilai kerja
terhadap lingkungan disajikan pada Gambar 5.
Pengaruh kegiatan para karyawan, staf dan pimpinan pada lingkungan
dilakukan secara proporsional terhadap waktu yang diberikan sebagai bentuk
perhatian pada kegiatan masing-masing. Oleh karena itu aspek waktu yang perlu
diperhatikan adalah berapa banyak waktu yang diberikan untuk kegiatan yang
dapat mempengaruhi lingkungan. Hal ini tergantung pula dari waktu yang
diberikan kepada kelompok kerja. Kehadiran saja di dalam suatu lingkungan
hanya menghasilkan simbol dan tanda-tanda. Singkatnya para individu yang
bekerja akan memancarkan berbagai ekspresi yang ada dan berapa banyak jumlah
mereka yang terlibat dalam kegiatan tersebut (Stinchcombe, 1968).
Gambar 6. Sistem sosial dan Lingkungan
Faktor yang mendorong dan menggerakkan ketiga hal ini adalah motivasi
yang merupakan bagian terdalam dan tersembunyi. Hal ini mampu mendorong
Sistem Sosial
Motivasi kerja
Melahirkan Nilai kerja: Karyawan yang berinteraksi dan bersinergi dengan managerial skills di lingkungan dalam
organisasi
Norma
Role (peran)
Pelayanan Sosial
Perilaku sosial
Keberlanjutan Lingkungan S,B,A
Peningkatan Kualitas Pelayanan
Pelayanan Adaptif pada Lingkungan
36 manusia sebagai sistem sosial untuk menggerakkan organisasi seperti sosial,
ekonomi, budaya dan lainnya. Sub-unsur nilai dan norma melekatkan manusia
dalam berbuat menurut pikiran sehat yang melembaga. Menurut Buckley (1967):
A social system is characterized by an institutionalized value system. The social
system’s first functional imperative is to maintain the integrity of that value
system and its institutionalization. Sistem sosial dan lingkungan disajikan pada
Gambar 6.
Tidak ada sistem sosial maupun organisasi yang dapat memenuhi
kebutuhan energi sendiri atau bertahan sendiri. Faktor manusia adalah elemen
paling penting yang selalu dapat memperbaharui energinya, baik yang didapat dari
lingkungan dalam organisasi maupun dari lembaga lain atau dari luar. Oleh karena
itu, agar suatu organisasi dapat hidup terus (survive) maka harus selalu ada
pembaharuan dan penyegaran yang di dalam bahasa ilmu perilaku disebut sebagai
energi yang diperbaharui (renewable energy), bagi mereka yang berada di dalam
organisasi agar selalu terjadi keseimbangan (equilibrium). Sementara lingkungan
luar juga memberi masukan (input) bagi lingkungan dalam organisasi melalui
sesuatu yang disebut sebagai masukan kembali (feedback loop). Masukan tersebut
bisa saja datang dari luar organisasi di luar lingkungan seperti lingkungan usaha,
lingkungan budaya, lingkungan kesejahteraan dalam bentuk data dan informasi
lainnya. Semua ini untuk mereka yang berada di dalam organisasi agar dapat
memperbaiki energi yang hilang dan berjalan kembali sesuai dengan misi yang
diemban.
N or m a dan Peran
Sistem Orga nisasi
Nilai
M aintana nce S truc ture
Pe nga wasan, Stea dy S ta te dan Ke se im ba nga n
Nega tive Entropy
Sta bilitas dan F leksibilita s
Adapta bilitas dan Pr ediktabilita s
Kebe rla njuta n Lingkungan ter pelih ara
Sistem Sosia l
Gambar 7. Gerak Sistem Sosial dan Sistem Organisasi
37
Jadi, lingkungan disini tidak terlepas dari lingkungan sosial yang ada di
luar organisasi, yaitu mereka yang dilayani oleh segala perangkat yang ada di PT.
Angkasa Pura I yaitu di lingkungan sosial di dalam organisasi sebagai misi
organisasi. Gambar gabungan antara sistem sosial dan organisasi sebagai suatu
sistem dapat pula disederhanakan dalam bentuk seperti yang disajikan pada
Gambar 7.
Berdasarkan uraian mengenai konsep nilai kerja, maka pada penelitian ini,
indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur nilai kerja dirumuskan dari
berbagai teori nilai kerja dan hasil wawancara pra penelitian dengan pihak
manajemen PT Angkasa Pura I dan pihak pengelola bandara, dimana diperoleh 16
indikator nilai kerja (kepedulian lingkungan di luar perusahaan, ksatria/sportif,
kepedulian terhadap adat istiadat setempat, kebersihan, solidaritas/rasa persatuan,
penilaian diri secara teliti, keikhlasan, rajin, loyalitas/kesetiaan, kekuasaan,
keakraban, puas bekerja, berorientasi pelayanan, mengambil risiko, ketekunan,
dan kebersahajaan) yang diduga berpengaruh terhadap lingkungan di dalam
perusahaan dan 21 indikator nilai kerja (kepedulian lingkungan di dalam
perusahaan, bekerja dengan kepemimpinan, kerapihan, mencapai visi perusahaan,
rasa kebersamaan, sanksi/hukuman, kebersihan, menghasilkan laba, kepedulian
terhadap adat istiadat setempat, kerja keras, mempergunakan MS Access,
menyediakan keperluan orang lain, bekerja dengan mutu kerja yang tinggi, jiwa
dagang, kepuasan terhadap gaji, keberanian membela kebenaran, berorientasi
pelayanan, kenyamanan, kebersahajaan, inisiatif/manfaatkan kesempatan, dan
penyesuaian diri) yang diduga berpengaruh terhadap lingkungan di luar
perusahaan.
2.5 Teori Kepedulian Lingkungan
Menurut Riwayadi dan Anisyah dalam Siregar (2010) kepedulian adalah
keadaan perasaan, pikiran, dan tindakan yang menghiraukan sekitarnya,
sedangkan masyarakat adalah sejumlah orang dalam kelompok tertentu yang
membentuk peri kehidupan berbudaya. Kepedulian masyarakat dapat diartikan
sebagai sikap dan tindakan sekelompok orang yang berbudaya yang saling
menghiraukan atau mengindahkan sekitarnya.
38
Kepedulian merujuk kepada sikap dan perilaku menempatkan diri sendiri
dalam konteks kepentingan yang lebih luas, berusaha untuk memperhatikan
kepentingan pihak lain berdasarkan rasa memiliki dan tanggung jawab (Wirutomo
dalam Siregar, 2010). Kepedulian masyarakat bersifat sistemik, artinya secara
sadar paham bahwa tindakan seseorang/suatu kelompok akan berdampak negatif
pada kelompok lain, kesadaran tersebut mampu menimbulkan rasa senasib
sepenanggungan dan saling kerjasama. Dengan kata lain, kepedulian masyarakat
adalah suatu proses psikologis sekelompok orang berupa sikap dan perilaku yang
bertanggungjawab.
Kata kunci kepedulian terletak pada kata sikap dan perilaku di mana antara
sikap dan perilaku saling berhubungan satu sama lain. Definisi sikap cukup
beragam ditafsirkan oleh para ahli psikologi, salah satunya Azwar (2005)
berpendapat bahwa sikap sebagai kombinasi reaksi afektif, perilaku, dan kognitif
terhadap suatu objek. Ketiga komponen ini secara bersama mengorganisasikan
sikap individu. Pendapat lainnya mengatakan sikap menentukan keajegan dan
kekhasan perilaku seseorang dalam hubungannya dengan stimulus manusia atau
kejadian-kejadian tetentu. Sikap merupakan suatu keadaan yang memungkinkan
timbulnya suatu perbuatan atau tingkah laku (Sherif dan Sherif, 1956 dalam
Azwar, 2005).
Kepedulian seseorang terhadap lingkungannya tercermin dari perilakunya
yang dapat diamati sehari-hari. Perilaku ramah lingkungan dapat dibentuk sesuai
dengan yang diharapkan. Di mana cara pembentukan perilaku sesuai dengan yang
diharapkan ditentukan oleh tiga hal, yaitu (Walgito dalam Siregar, 2010):
• Pembentukan perilaku dengan kebiasaan (conditioning)
Dengan cara membiasakan diri, sehingga perilaku berwawasan lingkungan
yang dilakukan sehari-hari dan menjadi kebiasaan di dalam masyarakat
tersebut, seperti membuang sampah pada tempatnya, memelihara tanaman, dan
lain - lain.
• Pembentukan perilaku dengan pengertian (insight)
Dengan cara berlajar dari pengetahuan tentang berwawasan lingkungan,
sehingga dapat dipahami dan bagaimana seharusnya memperlakukan
39
lingkungan tersebut, seperti membaca dan mempelajari tentang dampak global
warming.
• Pembentukan perilaku dengan menggunakan model atau contoh (voluntary)
Dengan cara menirukan atau mencontoh perilaku pelopor atau tokoh
berwawasan lingkungan. Pembentukan perilaku dengan cara ini dianggap lebih
efektif saat ini karena masyarakat suka meniru apa yang kerjakan orang yang
dianggapnya menjadi panutan.
Kepedulian terhadap lingkungan bandara tidak mungkin bisa dilakukan
oleh orang lain, kecuali oleh mereka yang berada di lingkungan dalam dari
bandara itu sendiri dengan didukung oleh mereka yang berada di lingkungan luar
bandara (supportive motivation). Sebagaimana diketahui kepedulian yang
dilakukan melalui kebersihan, keindahan, kenyamanan, dan lainnya juga
mempunyai nilai penentu. Artinya, apabila kebersihan juga menjadi nilai yang
dependen, seperti juga lingkungan luarnya, maka seharusnya nilai dependen ini
juga mempunyai nilai penentunya yang independen, pula yang dalam hal ini
disebut juga sebagai nilai sub-penentunya. Nilai sub-penentu inilah yang
seringkali luput jadi perhatian dari para ilmuwan sosial terhadap lingkungannya.
Kepedulian masyarakat terhadap lingkungan sebagai suatu perwujudan
dari pembangunan yang berkelanjutan tercermin melalui praktek perilaku yang
ramah lingkungan. Perilaku ini tidak serta-merta datangnya tetapi dipengaruhi
oleh berbagai faktor yang salah satunya adalah faktor nilai kerja. Kemampuan
masyarakat ini di mulai dari pengetahuan tentang manfaat, isu lingkungan, serta
pendekatan penyelesaian masalah lingkungan menjadi dasar pembentukan
motivasi seseorang. Keikutsertaan seseorang dalam kepedulian lingkungan akan
terlihat dari peran dan aktivitasnya sehari-hari dalam pengelolaan lingkungan itu
sendiri dan pada akhirnya menumbuhkan partisipasi untuk mengendalikan
kebijakan dan aturan yang diberlakukan dalam mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan. Seberapa besar kepedulian seseorang itu dapat diklasifikasikan
dalam beberapa tingkatan berdasarkan sejauh mana fungsi perannya terlibat dalam
aktivitas pengelolaan lingkungan hidup serta asal motivasinya dari mana dan
faktor yang mempengaruhinya.
40
Dari uraian di atas, dapat disintesakan bahwa perilaku manusia yang
dipengaruhi oleh faktor internal (seperti : tingkat pendidikan, mata pencaharian,
jenis kelamin, usia, dan lain-lain) dan faktor eksternal (seperti : lingkungan,
ekonomi) akan memotivasi manusia untuk berinteraksi dengan lingkungan
sosialnya. Melalui tiga cara pembentukan perilaku yaitu; melalui kebiasaan
(conditioning), melalui pengertian (insight), dan melalui pencontohan (voluntary).
Perilaku yang terbentuk menjadi lebih berwawasan lingkungan akan
mencerminkan kepedulian masyarakat tersebut.
Oleh karena itu, maka setiap pembahasan mengenai lingkungan ada
keterkaitan antara lingkungan fisik yaitu bandara (built environment), lingkungan
alami yaitu tanah, air dan udara disekitar dimana bandara itu berdiri (natural
environment), dan lingkungan sosial atau lingkungan manusia di bandara sendiri
(social and human environment). Lingkungan sosial mencakup bagian yang
berada di dalam organisasi yang meliputi suasana atau keadaan dari mereka yang
bekerja di dalam organisasi bandara (internal climate of organizational
environment). Umumnya mereka memberi pelayanan pada mereka yang
mengunjungi bandara untuk berbagai ragam tujuannya. Lingkungan sosial
(manusia) bisa juga meliputi lingkungan dari mereka yang berada di bandara akan
tetapi tidak bekerja di dalam bandara, yakni orang-orang yang memakai fasilitas
bandara dan terutama mereka yang dilayani pekerja di dalam bandara. Reaksi dari
mereka yang berada di lingkungan luar organisasi - yaitu lingkungan sosial dan
lingkungan buatan serta lingkungan alaminya - memberikan gambaran yang nyata
sebagai hasil kerja dari mereka yang berada di lingkungan dalam organisasi.
Lingkaran luar mencerminkan harapan dari mereka yang dilayani terhadap
mereka yang melayaninya. Hal ini merupakan konsep ideal, sementara dalam
realita bisa saja berbeda, bergantung pada kesadaran dan kemampuan manusia
untuk melihat lingkungan itu sendiri serta pembagian kekuasaan administrasi
antara lingkungan dalam dan buatan dan lingkungan alaminya yang bisa saja
berbeda tanggung jawabnya masing-masing.
Lingkaran dalam adalah lingkungan di dalam perusahaan yaitu para
pimpinan, staf dan karyawannya lingkungan dalam sosialnya (internal social
environment). Lingkaran ini adalah lingkungan manusia yang hidup dan bekerja
41 di PT Angkasa Pura I dan yang bekerja di lingkungan buatan (built environment –
nya) yaitu pada bangunan yang ada di bandara yang terletak di lingkungan
alaminya (natural environment).
Kepedulian terhadap lingkungan tidak mungkin bisa dilakukan oleh orang
lain, kecuali oleh mereka yang berada di lingkungan dalam dari bandara itu
sendiri dengan didukung oleh mereka yang berada di lingkungan luar bandara
(supportive motivation). Sebagaimana diketahui kepedulian yang dilakukan
melalui kebersihan, keindahan kenyamanan dan lainnya juga mempunyai nilai
penentu. Artinya, apabila kebersihan juga menjadi nilai yang dependen, seperti
juga lingkungan luarnya, maka seharusnya nilai dependen ini juga mempunyai
nilai penentunya yang independen, pula yang dalam hal ini disebut juga sebagai
nilai sub-penentunya. Nilai sub-penentu inilah yang seringkali luput jadi perhatian
dari para ilmuwan sosial terhadap lingkungannya. Berdasarkan uraian di atas,
maka pada penelitian ini, kepedulian lingkungan yang diukur adalah kepedulian
terhadap lingkungan luar dan lingkungan dalam bandara. Begitu pula dengan
hubungannya dengan nilai kerja, dimana dilihat pengaruh nilai kerja terhadap
lingkungan luar dan lingkungan dalam bandara.
2.6 Kajian Penelitian Terdahulu
Berbagai penelitian terdahulu yang terkait atau memiliki relevansi dengan
penelitian ini telah banyak dilakukan oleh para ahli dan peneliti di berbagai
belahan dunia. Berdasarkan kajian terhadap literatur dan penelitian terdahulu
dapat dilihat bahwa penelitian tentang nilai kerja dan kepedulian lingkungan telah
banyak dilakukan oleh para peneliti dengan mengambil sampel penelitian, baik
dari satu negara maupun dari beberapa negara. Variabel-variabel penelitian yang
digunakan untuk menjelaskan nilai kerja dan kepedulian lingkungan juga sangat
variatif. Studi-studi yang dilakukan oleh berbagai peneliti terdahulu juga
memisahkan nilai kerja dengan kepedulian lingkungan dan hal tersebut
merupakan hal yang sangat berbeda dengan penelitian ini, dimana dalam
penelitian ini, diuji pengaruh nilai kerja terhadap kepedulian lingkungan. Untuk
lebih jelasnya, peneliti telah merangkum berbagai hasil penelitian terdahulu dalam
Tabel 1.
42 Tabel 1. Ringkasan Penelitian Terdahulu tentang Nilai Kerja dan Kepedulian
Lingkungan No. Penulis dan Judul
Penelitian Metode yang Digunakan
Hasil Penelitian
1 Johansson dan Winroth (2010): Introducing environmental concern in manufacturing strategies: Implications for the decision criteria
Studi literatur Kepedulian terhadap isu lingkungan dapat menyebabkan sejumlah implikasi potensial bagi kriteria keputusan.
2 Swarr (2007) : The Effect of Environmental Concern, Risk Perception, and Self- Regulatory Focus on Product Design Choices
Analisis deskriptif, korelasi, regresi, dan AHP
Responden tidak secara emosional berkomitmen pada status quo dan tidak menghadapi hambatan nyata untuk bertindak. Pembenaran sering didasarkan pada pertimbangan tanggung jawab dan etika.
3 Brehm et al. (2006) : Community Attachments as Predictors of Local Environmental Concern
Analisis faktor dan multivariat
Dua dimensi keterikatan berbeda dan berhubungan secara berbeda terhadap kepedulian lingkungan. Dalam kasus, dimana dimensi keterikatan sosial adalah prediktor yang secara statistik signifikan dari sikap terhadap isu lingkungan lokal, isu-isu tersebut mewakili budaya masyarakat dan identitas atau kesehatan.
4 Schneider (2010): The Environmental Concern of Youth At A Ymca Youth Adventure Camp.
Analisis varians (ANOVA) dan a paired t-test
Base camp / rock pendakian dan surfing tampaknya mendorong perubahan besar dalam kepedulian lingkungan dibandingkan dengan kegiatan yang lain. Skor pre test Base camp adalah yang terendah dari semua kegiatan dan posttest mereka tertinggi dari semua kegiatan. Jika mereka baru saja mulai mempertanyakan ide-ide mereka dan nilai-nilai lingkungan, pengalaman baru dengan Adventure Camp remaja dapat menjelaskan perubahan drastis dalam sikap.
43 Lanjutan Tabel 1. Ringkasan Penelitian Terdahulu tentang Nilai Kerja dan
Kepedulian Lingkungan No. Penulis dan Judul
Penelitian Metode yang Digunakan
Hasil Penelitian
5 Alibeli dan White (2011): The Structure of Environmental Concern
Analisis CFA dan SEM
Kepedulian lingkungan terdiri dari tiga orientasi nilai yang berkorelasi, termasuk (1) nilai sosial-altruistik, (2) nilai biospheric, dan (3) egoisme atau self-interest orientation.
6 Hendrawan dan Samsul (2007): Kepedulian Perusahaan terhadap Lingkungan
Studi Literatur Kepedulian perusahaan terhadap lingkungan terutama terhadap masyarakatnya biasanya diungkapkan dengan berbagai kegiatan bakti sosial, peran serta perusahaan pada perayaan hari-hari besar, pembuatan fasilitas umum seperti MCK, mushola/ mesjid dimasyarakat sekitar lingkungan perusahaan hingga penanaman pohon dalam rangka reboisasi, mendukung berbagai kampanye pengelolaan lingkungan.
7 Dewi (2009): Studi kasus: Pengetahuan, dan Kepedulian terhadap Lingkungan Hidup
Analisis multivariate Anova dan komparasi multiple dengan metode Scheffe
Prestasi belajar siswa memberi kontribusi terhadap pengetahuan lingkungan hidup. Faktor kepramukaan dan prestasi belajar memberi pengaruh yang signifikan pada kepedulian terhadap lingkungan hidup.
8. Kumurur (2008): Pengetahuan, Sikap dan Kepedulian Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Lingkungan Terhadap Lingkungan Hidup Kota Jakarta
Analisis Chi Square
Kepedulian terhadap lingkungan hidup masih rendah. Umur dan pengetahuan mahasiswa berhubungan dengan kepedulian terhadap kualitas lingkungan hidup di Jakarta.
9 Suparka (1998): Dunia Usaha, industri, dan peningkatan kepedulian lingkungan
Studi literatur Tingkat kepedulian masyarakat terhadap lingkungan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, kondisi dan tingkat ekonomi, sosial, serta budaya masyarakat di suatu wilayah.
44 Lanjutan Tabel 1. Ringkasan Penelitian Terdahulu tentang Nilai Kerja dan
Kepedulian Lingkungan No. Penulis dan Judul
Penelitian Metode yang Digunakan
Hasil Penelitian
10 Pherigo (1997): Gender, an Ethic of Care and Environmental Concern
Analisis deskriptif dan multivariate
Terdapat hubungan signifikan antara gender, an ethic of care dan kepedulian lingkungan. Ideologi politik, harapan terhadap karir, dan ras merupakan faktor penentu kepedulian lingkungan.
11 Ross (1992): Work Attitudes and Management Values: The Hospitality Industry
Analisis statistika deskriptif dan Kruskal Wallis.
Manajemen memerlukan beberapa faktor seperti prestasi, otonomi, afiliasi, dan dominasi sebagaimana dianggap penting oleh banyak siswa.
12 Dose (1997): Work values: An integrative framework and illustrative application to organizational socialization
Studi literatur Sekali pemimpin telah menentukan nilai yang akan dicari oleh anggotanya, klasifikasi nilai-nilai tersebut yang sesuai dengan kerangka nilai kerja akan membantu mereka menetapkan kebijakan yang tepat untuk memastikan bahwa pendatang baru, pada kenyataannya, memegang nilai-nilai penting.
13 Cheung dan Scherling (1999) : Job satisfaction, work values, and sex differences in Taiwan’s organizations
Analisis regresi dalam dua langkah.
Perbedaan jenis kelamin bukanlah penyebab perbedaan dalam nilai kerja. Menempatkan nilai tinggi pada dimensi tugas dan tim dan nilai yang lebih rendah pada dimensi reward tampaknya menyebabkan kepuasan kerja yang lebih besar.
14 Alas dan Wei (2007) : Institutional impact on work – related values in Chinese Organization.
Penelitian empiris dengan Uji t
Terdapat perbedaan pada nilai yang berhubungan dengan pekerjaan di kelompok usia yang berbeda. Perbedaan terbesar antara kelompok usia terdapat pada peringkat Leadership Ideological Values, Ethical Values, Specialty-Related Values, Social Values And Cultural Values.
45 Lanjutan Tabel 1. Ringkasan Penelitian Terdahulu tentang Nilai Kerja dan
Kepedulian Lingkungan No. Penulis dan Judul
Penelitian Metode yang Digunakan
Hasil Penelitian
15 Pan et al. (2010): A cross-cultural investigation of work values among young executives in China and the USA
Uji t dan analisis konten.
Responden Cina memiliki skor signifikan lebih tinggi pada dimensi hirarkis-vertikal dibandingkan responden Amerika, meskipun kedua kelompok tidak berbeda secara signifikan pada dimensi kolektivisme-individualisme. Dalam studi yang melibatkan penggunaan penyelesaian dilema etika, subyek Amerika menerapkan egalitarianisme sebagai nilai yang paling sering mereka nyatakan, mencerminkan perspektif horisontal mereka. Subyek Cina, sebaliknya, sangat bergantung pada sistem nilai vertikal tradisional untuk menyelesaikan dilema etika.
16 Selmer dan Littrell (2010): Business managers’ work value changes through down economies.
Analisis Manova dan Anova
Terdapat perubahan yang signifikan secara statistik pada perbedaan penting bagi individu-individu dari nilai kerja tertentu selama kondisi kemerosotan ekonomi eksternal. Teori-teori hirarki kebutuhan memberikan sebuah kerangka kerja yang sesuai bagi pentingnya pergeseran nilai kerja akibat kondisi ekonomi lokal.
17 McGuiness (2009): Obstacle and opportunities: organizational culture and environmental practices of the Vancouver Airport Authority
Analisis regresi berganda
Meskipun usia dan konektivitas secara alami adalah prediktor yang paling signifikan dari nilai-nilai lingkungan umum dan perilaku, perilaku yang terkait dengan pekerjaan diprediksi paling baik oleh faktor sumber daya manusia seperti dukungan manajemen puncak, pelatihan, pemberdayaan, kerja tim, dan program hadiah.
46
Penelitian ini secara khusus memfokuskan perhatian pada pengaruh nilai
kerja terhadap kepedulian lingkungan di bandara. Berdasarkan penelusuran
pustaka, penelitian yang mengkaitkan nilai kerja dan kepedulian lingkungan di
bandara belum pernah dilakukan di Indonesia seperti yang dilakukan dalam studi
ini. Kumurur (2008) melakukan penelitian di Indonesia untuk melihat pengaruh
pengetahuan dan sikap terhadap tingkat kepedulian mahasiswa terhadap
lingkungan hidup di kota Jakarta, tetapi tidak memasukkan nilai kerja sebagai
variabel independen seperti yang dilakukan dalam penelitian ini.
Penelitian lainnya yang terkait dengan nilai kerja diantaranya dilakukan
oleh Cheung dan Scherling (1999) tentang nilai kerja di Taiwan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perbedaan jenis kelamin bukanlah penyebab perbedaan
dalam nilai kerja. Selain itu, hasil penelitian tersebut juga menyatakan bahwa
menempatkan nilai tinggi pada dimensi tugas dan tim, serta nilai yang lebih
rendah pada dimensi reward menyebabkan kepuasan kerja yang lebih besar pada
diri karyawan.
Dose (1997) juga melakukan penelitian tentang nilai kerja sebagai sebuah
kerangka kerja yang integratif terhadap sosialisasi organisasi. Hasil penelitiannya
menemukan bahwa pemimpin berperan dalam menentukan nilai yang akan dicari
oleh anggotanya. Klasifikasi nilai-nilai tersebut yang sesuai dengan kerangka nilai
kerja akan membantu pemimpin menetapkan kebijakan yang tepat untuk
memastikan bahwa pendatang baru, pada kenyataannya, memegang nilai-nilai
penting. Selanjutnya Pan et al. (2010) melakukan penelitian tentang investigasi
lintas kultural terhadap nilai kerja para eksekutif muda di China dan Amerika
Serikat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa para eksekutif muda Cina
memiliki skor signifikan yang lebih tinggi pada dimensi hirarkis-vertikal
dibandingkan responden Amerika, meskipun kedua kelompok tidak berbeda
secara signifikan pada dimensi kolektivisme-individualisme. Dalam studi yang
melibatkan penggunaan penyelesaian dilema etika, subyek Amerika menerapkan
egalitarianisme sebagai nilai yang paling sering mereka nyatakan, mencerminkan
perspektif horisontal mereka. Subyek Cina, sebaliknya, sangat bergantung pada
sistem nilai vertikal tradisional untuk menyelesaikan dilema etika. Meskipun
47 negosiator Amerika dan Cina menunjukkan kolektivis sebaik seperti orientasi
individualis, fokus mereka pada dasarnya berbeda.
Beberapa peneliti mengkaitkan kepedulian lingkungan dan variabel-
variabel demografi responden di berbagai sektor di luar bandara seperti Johansson
dan Winroth (2010), Swarr (2007), Schneider (2010), Alibeli dan White (2011),
Dewi (2009), Kumurur (2008), dan Pherigo (1997), tetapi tidak menguji
hubungannya dengan nilai kerja sebagaimana yang dilakukan dalam penelitian ini.
Sementara McGuiness (2009) meneliti mengenai budaya perusahaan dan praktek
lingkungan di bandara Vancouver, Kanada, akan tetapi tidak memasukkan variabel
nilai kerja ke dalam model penelitiannya sebagaimana dilakukan dalam penelitian
ini. Suatu perbedaan penting lainnya dari penelitian ini dibandingkan dengan
penelitian sebelumnya adalah bahwa penelitian ini menilai pengaruh nilai kerja
terhadap kepedulian lingkungan di lima bandara di Indonesia dan hal ini belum
pernah dilakukan oleh para peneliti lainnya di Indonesia.
2.7 Kerangka Konseptual Penelitian
Lingkungan merupakan suatu kombinasi dari berbagai elemen dimana
terdapat jalinan hubungan yang sangat kompleks (complex interrelationships)
yang membentuk suatu keadaan atau situasi (settings) dari sekitarnya
(surroundings) dan kondisi kehidupan dari individu maupun masyarakatnya
(society) sebagaimana apa adanya atau sebagaimana apa yang dirasakan olehnya.
Lingkungan juga mencakup lingkungan yang dibangun (built environment),
lingkungan alam (natural environment) dan segala sumberdaya alam (natural
resources) termasuk udara, tanah dan air. Dalam hal ini termasuk juga tempat
manusia bekerja (workplace).
Setiap pembahasan mengenai lingkungan ada keterkaitan antara
lingkungan fisik yaitu bandara (built environment), lingkungan alami yaitu tanah,
air dan udara disekitar dimana bandara itu berdiri (natural environment), dan
lingkungan sosial atau lingkungan manusia di bandara sendiri (social and human
environment). Lingkungan sosial mencakup bagian yang berada di dalam
organisasi yang meliputi suasana atau keadaan dari mereka yang bekerja di dalam
organisasi bandara (internal climate of organizational environment). Umumnya
mereka memberi pelayanan pada mereka yang mengunjungi bandara untuk
48 berbagai ragam tujuannya. Lingkungan sosial (manusia) bisa juga meliputi
lingkungan dari mereka yang berada di bandara akan tetapi tidak bekerja di dalam
bandara, yakni orang-orang yang memakai fasilitas bandara dan terutama mereka
yang dilayani pekerja di dalam bandara. Reaksi dari mereka yang berada di
lingkungan luar organisasi - yaitu lingkungan sosial dan lingkungan buatan serta
lingkungan alaminya - memberikan gambaran yang nyata sebagai hasil kerja dari
mereka yang berada di lingkungan dalam organisasi.
Lingkungan luar mencerminkan harapan dari mereka yang dilayani
terhadap mereka yang melayaninya. Hal ini merupakan konsep ideal, sementara
dalam realita bisa saja berbeda, bergantung pada kesadaran dan kemampuan
manusia untuk melihat lingkungan itu sendiri serta pembagian kekuasaan
administrasi antara lingkungan dalam dan buatan dan lingkungan alaminya yang
bisa saja berbeda tanggung jawabnya masing-masing.
Lingkungan dalam adalah lingkungan di dalam perusahaan yaitu para
pimpinan, staf dan karyawannya lingkungan dalam sosialnya (internal social
environment). Lingkaran ini adalah lingkungan manusia yang hidup dan bekerja
di PT Angkasa Pura I dan yang bekerja di lingkungan buatan (built environment –
nya) yaitu pada bangunan yang ada di bandara yang terletak di lingkungan
alaminya (natural environment).
Dalam berbagai kenyataan lain yang dimaksud dengan lingkungan
meliputi bukan saja unsur manusia dan berbagai aspek fisik maupun sosialnya.
Lingkungan bandara mencakup pula berbagai organisasi dan sub-organiasi
maupun extra-organisasi yaitu berbagai organisasi yang lain selain organisasi
perusahaan PT Angkasa Pura I yang berada di dalam bandara. Dalam hal ini
karena banyaknya organisasi penerbangan, restoran, toko-toko juga di dalamnya
terdapat lingkungan sosial yaitu lingkungan manusia yang bekerja di sekitar
daerah bandara akan tetapi tidak termasuk mereka yang bekerja di dalam bandara
itu sendiri seperti kendaraan roda empat dengan pengemudinya, dan sebagainya.
Secara ekologis, lingkungan sosial tidak bisa dipisahkan dari lingkungan
buatan dan lingkungan alaminya. Dalam penelitian ini, lebih ditekankan pada
aspek nilai kerja yang berpengaruh pada lingkungan sosial terkait dengan
lingkungan fisiknya maupun lingkungan alaminya, langsung maupun tidak
49 langsung. Ketiga aspek lingkungan, yaitu lingkungan dalam (sosial maupun
buatan) dan lingkungan luarnya (termasuk lingkungan sosial, lingkungan buatan
maupun lingkungan alaminya) menjadi satu kesatuan dalam suatu sistem nilai
kerja yang membentuk ketiga unsur lingkungan itu.
Penelitian lingkungan saat ini umumnya terpusat pada berbagai kerusakan
yang terjadi dan bagaimana kerusakan diperbaiki, sedangkan perhatian terhadap
manusia baik sebagai subjek maupun objek untuk mencegah terjadinya kerusakan
pada lingkungan masih kurang memadai, bahkan dalam skala yang paling kecil
pun, misalnya dalam rakyat kecil seperti memelihara ikan, seringkali sulit untuk
mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. Selain hal tersebut, “local wisdom”
pun ada indikasi sudah mulai memudar. Dalam penelitian ini yang menjadi objek
adalah nilai kerja dan pengaruhnya terhadap lingkungan bandara.
Kualitas pelayanan akan mempengaruhi dan sekaligus mencerminkan
kepedulian terhadap lingkungan di luar bandara dibawah PT Angkasa Pura I atau
dimanapun yang membutuhkan pelayanan. Oleh karena itu, perlu untuk mencari
nilai kerja apa saja yang mempengaruhi unsur pemeliharaan serta perbaikan
lingkungan. Nilai apa yang sebaiknya ditumbuhkan di dalam perusahaan agar ada,
dan diimplementasikan di lingkungan dan dapat diterima baik pula oleh yang
berada di lingkungan maupun di luar dari perusahaan tersebut.
Dengan demikian, kepedulian adalah hasil dari suatu sistem nilai kerja
yang berwujud pada perilaku. Sebagai suatu kepedulian, nilai kerja yang nanti
didapat tidak mungkin berdiri sendiri. Nilai kerja tersebut seharusnya terkait
dengan kumpulan nilai-nilai lainnya (clusters of other values) yang merupakan
nilai yang membentuk perilaku yang sebenarnya, sehingga perlu mendapat
perhatian dari setiap orang yang bekerja atau yang berada di sekitar kantor PT
Angkasa Pura I.
Lingkungan dalam tulisan ini merupakan sumber lahirnya pemikiran awal,
sebagaimana juga tujuan akhir dari proses organisasi di bandara dalam lingkup
PT. Angkasa Pura I. Pemikiran awal juga bermula dari pertanyaan bagaimana
pelayanan yang diterima oleh mereka yang berada di lingkungan luar organisasi.
Tujuan akhir kajian lingkungan disini adalah pelaksanaan pelayanan yang
diberikan dari organisasi kepada pemakai jasa bandara atau dengan kata lain yang
50 berada di lingkungan luar bandara dan sebaliknya pelayanan dari staf maupun
pekerja tersebut sebagai darma bakti untuk memenuhi kepuasan pada pengguna
bandara.
Adapun yang dimaksud dengan kepedulian terhadap lingkungan adalah
agar pengguna bandara terpenuhi kepuasannya dan alam sekitar menjadi
terpelihara (semakin asri) karena adanya kepedulian dari anggota organisasi. Nilai
kerja berada dalam seluruh alur struktur berfikir ini. Kerangka konseptual
penelitian ini disajikan dalam pada Gambar 8.
Gambar 8. Kerangka Konseptual Penelitian
2.8 Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan pernyataan dugaan tentang hubungan antara dua
variabel atau lebih dan dikemukakan dalam kalimat pernyataan. Berdasarkan latar
belakang, permasalahan, tujuan penelitian, kerangka teoritis, dan kajian penelitian
terdahulu, serta kerangka pemikiran konseptual yang telah dirumuskan
51 sebelumnya, maka dapat disusun hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini,
yaitu:
H01 : Faktor-faktor nilai kerja tidak memiliki pengaruh yang signifikan dan
positif dengan kepedulian lingkungan dalam bandara.
HA1 : Faktor-faktor nilai kerja memiliki pengaruh yang signifikan dan positif
dengan kepedulian lingkungan dalam bandara.
H02 : Faktor-faktor nilai kerja tidak memiliki pengaruh yang signifikan dan
positif dengan kepedulian lingkungan luar bandara.
HA2 : Faktor-faktor nilai kerja tidak memiliki pengaruh yang signifikan dan
positif dengan kepedulian lingkungan luar bandara.
2.9 Definisi Konseptual Penelitian
Definisi operasional penelitian adalah aspek penelitian yang memberikan
informasi tentang cara mengukur suatu variabel. Definisi operasional ialah suatu
definisi yang didasarkan pada karakteristik yang dapat diobservasi dari apa yang
sedang didefinisikan. Dengan kata lain, konsep-konsep yang berupa konstruk
diubah dengan kata-kata yang menggambarkan perilaku atau gejala yang dapat
diamati dan yang dapat diuji serta ditentukan kebenarannya oleh orang lain.
Dalam penelitian ini, definisi operasional dari setiap variabel yang diukur
diuraikan satu persatu, sehingga hal ini akan membantu memperjelas aspek-aspek
yang diukur dan membantu dalam penyusunan kuesioner penelitian.
Variabel pertama yang diukur adalah nilai kerja. Nilai kerja dalam
penelitian ini merupakan nilai yang memiliki pengaruh yang kuat pada perilaku
kerja yang sebaiknya ditumbuhkan, diimplementasikan, dan dapat diterima baik
oleh orang-orang yang berada di lingkungan dalam dan luar bandara. Pengukuran
nilai kerja dalam penelitian ini menggunakan indikator-indikator yang berasal dari
berbagai teori nilai kerja dan hasil wawancara pra penelitian dengan pihak
manajemen PT Angkasa Pura I dan pihak pengelola bandara, dimana diperoleh 16
indikator nilai kerja yang diduga berpengaruh terhadap lingkungan di dalam
perusahaan dan 21 indikator nilai kerja yang diduga berpengaruh terhadap
lingkungan di luar perusahaan. Definisi dari indikator-indikator nilai kerja
tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.
52 Tabel 2. Indikator Nilai Kerja dan Definisinya No. Indikator Nilai Kerja Definisi 1 Kepedulian lingkungan
di luar perusahaan Sikap mengindahkan untuk memelihara keadaan di lingkungan luar bandara.
2 Ksatria/Sportif Sifat pemberani dan jujur dalam pekerjaan. 3 Kepedulian adat istiadat
setempat Sikap mengindahkan terhadap kebiasaan tata krama tradisional setempat.
4 Kebersihan Suatu keadaan dimana segala sesuatu dapat dikatakan bersih dari segala kotoran dan sampah.
5 Solidaritas Sifat satu rasa atau senasib yang dirasakan dalam bekerja di perusahaan.
6 Penilaian diri secara teliti Kemampuan mengetahui kekuatan dan keterbatasan yang dimiliki dalam melaksanakan pekerjaan di perusahaan.
7 Keikhlasan Ketulusan hati dalam melaksanakan pekerjaan. 8 Rajin Suka, getol, sungguh-sungguh, dan berusaha
giat dalam bekerja di perusahaan. 9 Loyalitas Kesetiaan atau keteguhan hati, ketaatan, dan
kepatuhan terhadap perusahaan. 10 Kekuasaan Kemampuan mengurus, memerintah, menguasai
orang atau golongan berdasarkan kewibawaan, wewenang, kharisma, atau kekuatan fisik di perusahaan.
11 Keakraban Keadaan atau hal yang menggambarkan kedekatan dalam bekerja di perusahaan.
12 Puas Bekerja Keadaan emosional yang menyenangkan dari para karyawan dalam memandang pekerjaan mereka.
13 Berorientasi pelayanan Mempunyai pandangan yang mendasari pikiran, perhatian dalam usaha membantu, menyiapkan, meladeni, mengurus secara langsung atau tidak langsung kebutuhan semua pihak yang terkait dengan kegiatan perusahaan serta memikirkan cara melayani kebutuhan semua pihak yang terkait tersebut agar dapat terpenuhi demi perkembangan perusahaan.
14 Mengambil resiko Keberanian untuk mengambil tindakan dalam bekerja dengan konsekuensi resiko yang diterima apabila tindakan tersebut tidak menguntungkan dirinya dan perusahaan.
15 Ketekunan Kesungguhan dalam bekerja di perusahaan. 16 Kebersahajaan Sikap sederhana, sewajarnya, tidak berlebih-
lebihan bersikap dan berperilaku dalam bekerja di perusahaan.
17 Kepedulian lingkungan di dalam perusahaan
Sikap mengindahkan untuk memelihara keadaan di lingkungan dalam bandara.
53 Lanjutan Tabel 2. Indikator Nilai Kerja dan Definisinya No. Indikator Nilai Kerja Definisi 18 Bekerja dengan
kepemimpinan Melakukan sesuatu pekerjaan dengan sikap kepemimpinan.
19 Kerapihan Keapikan, kebersihan, keberesan, dan ketertiban bekerja di lingkungan bandara.
20 Mencapai visi perusahaan
Memiliki pandangan, wawasan ke depan untuk mengembangkan perusahaan agar mencapai harapan yang diinginkan perusahaan.
21 Rasa kebersamaan Tanggapan hati untuk bersatu melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan perusahaan.
22 Sanksi/Hukuman Tanggungan untuk memaksakan orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan dalam perusahaan.
23 Kebersihan Suatu keadaan dimana segala sesuatu dapat dikatakan bersih dari segala kotoran dan sampah.
24 Menghasilkan laba Mendatangkan keuntungan, nilai tambah secara langsung atau tidak langsung dari penjualan produk atau kegiatan usaha bagi perusahaan.
25 Kepedulian adat istiadat setempat
Sikap mengindahkan terhadap kebiasaan tata krama tradisional setempat.
26 Kerja keras Kegiatan dalam bekerja yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk perusahaan.
27 Mempergunakan MS Access
Memakai, menggunakan piranti lunak untuk menyimpan, mengolah, mengkaji data atau informasi dalam pekerjaan di perusahaan.
28 Menyediakan keperluan orang lain
Menyiapkan atau mempersiapkan hal-hal yang diperlukan dalam melaksanakan pekerjaan di perusahaan.
29 Bekerja dengan mutu kerja yang tinggi
Melakukan seuatu pekerjaan dengan kualitas yang baik, sesuai dengan standar perusahaan.
30 Jiwa dagang Sumber tenaga dan semangat untuk melakukan pekerjaan secara langsung atau tidak langsung yang berhubungan dengan menjual atau membeli barang untuk memperoleh keuntungan bagi perusahaan.
31 Kepuasan terhadap gaji Perasaan senang, lega, dan gembira karena sudah terpenuhi hasrat hatinya dalam menuntaskan segala pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya dengan menerima imbalan uang yang diterima secara teratur.
32 Keberanian membela kebenaran
Kemantapan hati untuk melindungi dan mempertahankan sesuatu di dalam pekerjaan perusahaan sebagaimana seharusnya.
54 Lanjutan Tabel 2. Indikator Nilai Kerja dan Definisinya No. Indikator Nilai Kerja Definisi 33 Berorientasi pelayanan Mempunyai pandangan yang mendasari pikiran,
perhatian dalam usaha membantu, menyiapkan, meladeni, mengurus secara langsung atau tidak langsung kebutuhan semua pihak yang terkait dengan kegiatan perusahaan serta memikirkan cara melayani kebutuhan semua pihak yang terkait tersebut agar dapat terpenuhi demi perkembangan perusahaan.
34 Kenyamanan Keadaan segar, sejuk, dan mengenakkan di lingkungan kerja perusahaan.
35 Kebersahajaan Sikap sederhana, sewajarnya, tidak berlebih-lebihan bersikap dan berperilaku dalam bekerja di perusahaan.
36 Inisiatif/Memanfaatkan kesempatan
Upaya, ikhtiar, prakarsa, atau tindakan mula-mula yang dimunculkan oleh seseorang terhadap pekerjaan untuk kepentingan perusahaan.
37 Penyesuaian diri Keluwesan atau kemampuan membawakan diri dalam menghadapi perubahan di lingkungan pekerjaan.
Variabel kedua yang diukur adalah kepedulian lingkungan. Kepedulian
lingkungan dalam penelitian ini adalah sikap dan tindakan sekelompok orang
yang berbudaya yang saling menghiraukan atau mengindahkan lingkungan sekitar
bandara, baik lingkungan dalam maupun luar bandara. Lingkungan dalam bandara
adalah lingkungan di dalam perusahaan, yaitu para pimpinan, staf dan
karyawannya, dan lingkungan dalam sosialnya (internal social environment).
Dengan kalimat lain, lingkungan dalam bandara adalah lingkungan manusia yang
hidup dan bekerja di PT Angkasa Pura I dan yang bekerja di lingkungan buatan
(built environment) yaitu pada bangunan yang ada di bandara yang terletak di
lingkungan alami (natural environment). Sementara lingkungan luar bandara
adalah lingkungan manusia yang bukan karyawan, tetapi terkait dengan bandara,
dimana mereka berada di lingkungan luar bandara karena keperluan atau
kebutuhannya. Lingkungan luar juga meliputi lingkungan sosial yaitu mereka
yang dilayani, tetapi tidak bekerja di organisasi.