ILO Declaration Project on Police Training
Baseline Survai Pengetahuan dan Kapasitas Polri dalam Menerapkan Asas-asas
Mendasar Hak-hak untuk Bekerja
Muhammad Mustofa M. Kemal Dermawan Adrianus M. Meliala
International Labour Organization
Jakarta Office, 2003
1
Daftar Isi
Kata Pengantar 3 Rangkuman Esksekutif 4Bab I Pendahuluan
Latar Belakang Perumusan masalah Tujuan penelitian Tinjauan kepustakaan Kegiatan-kegiatan penelitian yang dilakukan Hasil penelitian yang penting Sistematika laporan
6
Bab II Pelaksanaan penelitian
Metode penelitian Pemilihan responden Pemilihan lokasi penelitian Tim peneliti Pelaksanaan penelitian Analisa data Validitas penelitian
16
Bab III Hasil penelitian
Pengetahuan dan pemahaman responden polisi terhadap asas-asas mendasar dan hak-hak untuk bekerja Pengetahuan dan pemahaman responden polisi terhadap prosedur penyelesaian perselisihan perindustrian Peraturan perundangan yang mengatur peranan Polri dalam menerapkan asas-asas mendasar dan hak untuk bekerja Struktur organisasi Polri dan kemampuannya dalam menangani perselisihan perindustrian Kurikulum pendidikan Polri
22
Bab IV Kesimpulan dan saran
Kesimpulan Saran
47
Daftar Pustaka 52 Lampiran-lampiran
2
Kata pengantar
Penelitian ini dilaksanakan dalam rangka menerapkan hasil kesepakatan antara Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia dan the International Labour Office di Jakarta untuk menyelenggarakan Proyek Pelatihan Polisi sesuai dengan Deklarasi International Labour Organization yang berkenaan dengan peran penting dari polisi dalam memelihara keamanan dan menegakkan hukum ketika terjadi perselisihan perburuhan. Untuk itu diperlukan data awal yang dapat dipergunakan untuk merancang proyek pelatihan tersebut. Oleh karena itu penelitian ini berusaha memperoleh informasi terkini terutama tentang pengetahuan dari personel polisi tentang asas-asas mendaar dan hak-hak untuk bekerja. Selain itu dalam gerak perubahan Polri, dari semula merupakan lemaga di bawah ABRI menjadi lembaga penegak hukum yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, perlu pula diidentifikasi kemampuan kelembagaan unit-unit kerja Polri yang dapat difungsikan secara profesional dalam memelihara keamanan dan menegakkan hukum ketika terjadi perselisihan perburuhan. Penelitian ini sendiri dilaksanakan oleh Tim Peneliti dari Departmen Kriminologi FISIP
Universitas Indonesia sebagai External Collaborator dari The International Labour Office
di Jakarta yang dilaksanakan mulai 21 Oktober 2003 sampai dengan 19 Desember 2003.
Muhammad Mustofa
Jakarta,
Desember 2003
3
Rangkuman esksekutif
Dengan meratifikasi Konvensi-konvensi ILO maka Pemerintah Indonesia
mempunyai kewajiban untuk melaksanakannya. Dalam hal terjadi pelanggaran hukum
dan dalam situasi adanya perselisihan perindustrian yan sering terwujud dalam bentuk
pemogokan buruh maupun penutupan perusahaan, maka adalah peranan polisi untuk
megendalikan, memelihara ketertiban dan menegakkan hukum Namun demikian
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melakukan tugasnya sudah lama diwarnai
oleh pendekatan militer karena secara kelembagaan Polri ditempatkan di bawah ruang
lingkup ABRI. Keadaan ini tidak kondusif bagi penegakan hukum dan pemeliharaan
keamanan yang sesuai dengan asas-asas hukum.
Secara kelembagaan Polri dipisahkan dari lingkungan ABRI baru terjadi ada
tahun 1977 melalui Undang-undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002.
Sementara itu di bidang perburuhan, yang dalam era orde lama menempatkan buruh
sebagai pihak yang lemah dalam hubungan perburuhan, keadaan ini baru diperbaiki
dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 yang diperbaharui dengan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang lebih responsif
terhadap kepentingan buruh.
Perubahan dalam pendekatan Polri maupun perubahan dalam peraturan
perburuhan yang sesuai dengan Konvensi-konvensi ILO memerlukan jaminan bahwa
perubahan-perubahan tersebut terwujud dalam kenyataan. Dalam kerangka itulah
dilakukan penelitian terhadap pengetahuan dan kemampuan Polri dalam memelihara
keamanan dan menegakkan hukum ketika terjadi perselisihan perburuhan.
Penelitian ini menemukan bahwa pemahaman personel polisi terhadap asas-asas
mendasar dan hak-hak untuk bekerja masih perlu ditingkatkan karena kendatipun secara
umum tampak ada wawasan yang baik, namun dalam banyak halmasih terdapat
kekeliruan pemahaman. Hal ini terkait dengan pemahaman tentang pengertian usia anak,
dan peran pemerintah dalam mengendalikan organisasi buruh atau organisasi pengusaha.
Sementara itu mengenai peranan Polri dalam memelihara keamanan dan menegakkan
hukum bila terjadi perselisihan perburuhan, berdasarkan pengalaman anggota polisi yang
pernah menangani kasus-kasus perselisihan perburuhan, pada umumnya berkonsentrasi
4
pada usaha pencegahan terjadi kejahatan sebagai eskses dari pemogokan misalnya.
Meskipun demikian terdapat pula upaya dari mereka untuk mengupayakan perdamaian.
Secara kelembagaan Polri mempunyai kapasitas untuk melaksanakan fungsi
menjaga keamanan dan menegakkan hukum bila terjadi perselisihan perburuhan. Fungsi
ini secara eksplisit maupun implisit dijamin dalam Undang-undang Ketenagakerjaan (UU
No. 13 Tahun 2003) maupun Undang-undang Tentang Kepolisian Negara. (UU No. 2
Tahun 2002). Namun peran tersebut masih perlu ditingkatkan melalui pelatihan-pelatihan
yang sesuai dengan kebutuhan tugas di lapangan. Kurikulum pendidikan Polri saat ini
kurang dapat memberikan kemampuan profesional yang diperlukan untuk melaksanakan
fungsi diinginkan dalam menangani perselisihan perburuhan. Dan hal yang
menggembirakan adalah bahwa secara inernal pihak Polri sendiri sedang berusaha
melakukan reformasi terhadap kurikulum pendidikannya.
5
BAB I
PENDAHULUAN
Penelitian yang dilaksanakan ini merupakan survai terhadap beberapa pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) dalam rangka mengukur tingkat
pengetahuan mereka tentang berbagai Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional
yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia. Oleh karena Pemerintah
Republik Indonesia telah meratifikasi berbagai Konvensi ILO, maka Pemerintah
Indonesia berkewajiban untuk melaksanakannya. Terkait dengan hal tersebut di atas
penelitian ini juga meneliti kesiapan dari Kepolisian Republik Indonesia sebagai aparat
pemelihara keamanan dan penegak hukum dalam melaksanakan fungsinya yang terkait
dengan Konvensi ILO dan peraturan perundangan nasional di bidang ketenagakerjaan
yang relevan. Realitas kapasitas POLRI yang diperoleh dalam penelitian ini akan
dipergunakan untuk merancang pelatihan bagi anggota POLRI dalam menegakkan
hukum dan ketertiban ketika terjadi perselisihan perburuhan.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap dalam masalah perselisihan
perburuhan, informasi pelengkap juga diperoleh dari sejumlah nara sumber yang
kompeten di bidang itu yang terdiri dari pejabat Kantor Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, wakil Organisasi Pengusaha, dan wakil Organisasi Buruh.
Latar belakang
Berdasarkan konsultasi antara Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI),
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, dan the International Labour
Office di Jakarta, telah dihasilkan suatu kesepakatan untuk menyelenggarakan Proyek
Pelatihan Polisi sesuai dengan Deklarasi International Labour Organization yang
berkenaan dengan peran penting dari polisi dalam memelihara keamanan dan
menegakkan hukum ketika terjadi perselisihan perburuhan. Proyek tersebut
sesungguhnya merupakan bagian dari kerjasama teknik yang lebih luas antara Pemerintah
Amerika Serikat dengan Pemerintah Republik Indonesia. Landasan dari proyek ini
dirumuskan dalam Amandemen terhadap Surat Persetujuan tentang Pengendalian dan
Penegakan Hukum Narkotika tanggal 23 Agustus 2000 antara kedua negara tersebut di
atas. Amandemen tersebut ditandatangani oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk
6
Indonesia dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia di Jakarta pada tanggal 26
Februari 2003.
1. Tujuan utama dari proyek tersebut di atas antara lain adalah membantu
peningkatan pemahaman dan kemampuan kelembagaan dari Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan prinsip-prinsip dan hak-
hak mendasar di tempat kerja sesuai dengan Konvensi ILO, serta peranan
Kepolisian Republik Indonesia dalam menangani aspek hukum dan
ketertiban ketika terjadi perselisihan perburuhan. Tujuan ini diharapkan
akan terwujud melalui pemberian pelatihan dan pengembangan kurikulum
bagi anggota polisi.
Sementara itu Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952 tentang Standar Minimum
Jaminan Sosial belum diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, sedangkan Undang-undang
ketenagakerjaan yang baru, yaitu Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 pun dalam
banyak hal sudah selaras dengan jiwa Konvensi-konvensi ILO.
Perumusan masalah.
Dengan meratifikiasi Konvensi-konvensi ILO tersebut maka Pemerintah Republik
Indonesia mempunyai kewajiban untuk melaksanakannya. Dalam hal terjadi pelanggaran
hukum dan dalam situasi adanya perselisihan perindustrian yang sering terwujud dalam
bentuk pemogokan buruh maupun penutupan perusahaan, maka adalah peranan polisi
untuk mengendalikan, memelihara ketertiban dan menegakkan hukum. Namun demikian
Kepolisian Republik Indonesia dalam melakukan kegiatannya telah cukup lama diwarnai
oleh pendekatan militer karena secara kelembagaan POLRI ditempatkan dibawah ruang
lingkup ABRI. Secara kelembagaan POLRI dipisahkan dari lingkungan ABRI baru
terjadi pada tahun 1997 melalui Undang-undang Nomor 28 tahun 1997 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diperbaharui dengan Undang-undang Nomor
2 Tahun 2002. Sementara itu dalam bidang perburuhan, yang dalam era orde baru
menempatkan buruh sebagai pihak yang lemah dalam hubungan perburuhan, keadaan ini
baru diperbaiki dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang lebih responsif terhadap kepentingan buruh.
7
Berdasarkan uraian di atas maka yang menjadi masalah adalah apakah secara
kelembagaan Kepolisian Negara Republik Indonesia sudah siap untuk melaksanakan
fungsi pemelihara keamanan dan ketertiban dan menegakkan hukum, dengan pendekatan
yang baru, khususnya dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan
perselisihan perburuhan.
Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi terkini yang terpercaya
tentang keadaan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang terkait dengan bidang
tugasnya dalam menangani masalah ketertiban dan keamanan ketika terjadi perselisihan
perburuhan. Sebagai penelitian pendahuluan, penelitian ini berusaha mengumpulkan data
dasar yang dapat dipergunakan sebagai landasan untuk melakukan penentuan
kebijaksanaan, monitoring dan evaluasi pelaksanaan Proyek Pelatihan Polisi sebagaimana
dimaksud oleh Deklarasi ILO. Secara lebih rinci penelitian ini memajukan sejumlah
pertanyaan yang meliputi:
1. Bagaimanakah organisasi POLRI memahami prinsip-prinsip dan hak-hak
mendasar di tempat kerja dalam hubungan kerja antara buruh dan majikan?
2. Bagaimanakah hukum yang berlaku di Indonesia memberikan kewenangan
kepada POLRI untuk memelihara ketertiban dan menegakkan hukum ketika
terjadi perselisihan perburuhan?
3. Bagaimanakah kemampuan kelembagaan POLRI dalam memelihara dan
menegakkan hukum ketika terjadi perselisihan perburuhan?
Secara khusus penelitian ini hanya akan membatasi pengetahuan dan pemahaman
anggota Polri terhadap Konvensi ILO Nomor 87, Nomor 98, Nomor 29, Nomor 105,
Nomor 138, Nomor 182, Nomor 100, dan Nomor 111.
Tinjauan kepustakaan
Sebagai anggota dari the International Labour Organization, Pemerintah Indonesia
telah meratifikasi sejumlah Konvensi ILO karena hal itu sesuai dengan Undang-undang
Dasar Republik Indonesia 1945 (termasuk amandemennya) dan peraturan perundangan
lainnya. Konvensi-konvensi ILO yang telah diratifikasi meliputi:
8
1. Konvensi ILO Nomor 19 Tahun 1925 tentang Perlakuan yang sama
dalam Kompensasi Kecelakaan (Diratifikasi Tanggal 12 Juni 1950)
2. Konvensi ILO Nomor 27 Tahun 1929 tentang Pemberian Tanda Berat
Barang yang diangkut oleh kapal laut (Diratifikasi Tanggal 12 Juni
1950).
3. Konvensi ILO Nomor 29 Tahun 1930 tentang Kerja Paksa (Diratifikasi
Tanggal 12 Juni 1950).
4. Konvensi ILO Nomor 45 Tahun 1935 tentang Pekerjaan Bawah Tanah
Bagi Perempuan (Diratifikasi Tanggal 12 Juni 1950).
5. Konvensi ILO Nomor 69 Tahun 1946 tentang Sertifikasi Koki Kapal
(Diratifikasi Tanggal 30 Maret 1992).
6. Konvensi ILO Nomor 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan untuk
Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi (Diratifikasi
Tanggal 9 Juni 1998).
7. Konvensi ILO Nomor 88 Tahun 1948 tentang Pelayanan Penempatan
Tenaga Kerja (Diratifikasi Tanggal 8 Agustus 2002).
8. Konvensi ILO Nomor 98 Tahun 1949 tentang Hak untuk Berorganisasi
dan Melakukan Perundingan Secara Kolektif (Diratifikasi Tanggal 15
Juli 1957).
9. Konvensi ILO Nomor 100 Tahun 1951 tentang Pengupahan Yang
Sama Bagi Buruh Laki-laki dan Perempuan untuk pekerjaan Yang
sama Nilainya (Diratifikasi Tanggal 11 Agustus 1958).
10. Konvensi ILO Nomor 105 Tahun 1957 tentang Penghapusan Kerja
Paksa (Diratifikasi Tanggal 7 Juni 1999).
11. Konvensi ILO Nomor 106 Tahun 1957 tentang Istirahat Mingguan
untuk Perdagangan dan Kantor (Diratifikasi Tanggal 23 Agustus 1972).
12. Konvensi ILO Nomor 111 Tahun 1958 tentang Diskriminasi dalam
Pekerjaan dan Jabatan (Diratifikasi Tanggal 7 Juni 1999).
13. Konvensi ILO Nomor 120 Tahun 1964 tentang Kesehatan dalam
Perdagangan dan Kantor (Diratifikasi Tanggal 13 Juni 1969).
9
14. Konvensi ILO Nomor 138 Tahun 1973 tentang Usia Minimum Yang
Dibolehkan Untuk Bekerja (Daritifikasi Tanggal 7 Juni 1999).
15. Konvensi ILO Nomor 144 Tahun 1976 tentang Standar Perburuhan
Internasional dalam Konsultasi Tripartit (Diratifikasi Tanggal 17
Oktober 1990).
16. Konvensi ILO Nomor 182 Tahun 1999 tentang Pekerjaan Terburuk
untuk Anak (Diratifikasi Tanggal 28 Maret 2000).
Berdasarkan catatan pada CEACR (ILOLEX / Indonesia@ref, 2002) terdapat 13
gugatan masalah perburuhan yang ditujukan kepada Pemerintah Indonesia. Gugatan
terakhir tercatat dimasukkan kepada CEACR pada tanggal 25 November 2002 yang
dilengkapi dengan informasi tambahan dikirimkan tanggal 25 Januari 2003 dan 28
Februari 2003 diterima tanggal 1 April 2003 (Case No. 2236, Report No. 331
(Indonesia): Complaint against the Government of Indonesia presented by the Chemical,
Energy and Mine Worker’s Union). Gugatan tersebut menyangkut keberatan dari
Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh
Indonesia tentang skorsing terhadap 4 Pengurus Serikat Pekerja Kimia, Energi dan
Pertambangan pada Perusahaan Bridgestone Tyre Indonesia Company sebagai tindakan
anti serikat pekerja dan diskriminasi karena bertentangan Konvensi ILO Nomor 87 Tahun
1948 dan Nomor 98 Tahun 1949.
Dalam kasus tersebut Pemerintah Indonesia berpendapat perlindungan terhadap
tindakan anti serikat buruh dan diskriminasi telah diterapkan oleh Pemerintah Indonesia
sesuai dengan Pasal 28 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 yang merupakan undang-
undang baru di bidang ketenagakerjaan. Selanjutnya dinyatakan bahwa kasus skorsing
terhadap 4 Pengurus Serikat Pekerja di atas tidak sesuai dengan Pasal 28 (a) dan 42
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000. Kemudian berdasarkan penelitian oleh
Direktorat Pengawasan Norma Perburuhan Departemen Tenagakerja, kasusnya
dilaporkan ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia pada 7 September 2002
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Terhadap kasus di atas CEACR menilai bahwa skorsing yang dijatuhkan terhadap
4 pekerja tersebut tanpa upah adalah bertentangan dengan Pasal 6 (4) Keputusan Menteri
Tenaga Kerja Nomor 150 Tahun 2000. Selanjutnya CEACR merekomendasikan kepada
10
Pemerintah Indonesia antara lain agar : (i) melakukan langkah-langkah yang diperlukan
untuk menjamin bahwa prosedur yang berhubungan dengan tuduhan anti serikat buruh
dan diskriminasi yang diajukan oleh 4 pekerja di atas dijadikan preseden dalam
pemutusan hubungan kerja; dan (ii) mengusahakan cara-cara yang terbaik dalam
memberikan bantuan terhadap 4 buruh yang bersangkutan dan memastikan bahwa semua
prosedur dalam tingkat nasional dilaksanakan dalam kasus tersebut dan diselesaikan
secepat mungkin. Kasus yang menyangkut pekerja Bridgestone Tyre Indonesia di atas
menunjukkan adanya keterlibatan polisi dalam menegakkan Undang-undang
Ketenagakerjaan yang berlaku saat itu (Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000).
Terkait dengan kebebasan berserikat bagi buruh yang merupakan masalah penting
pada periode lalu, penelitian yang dilakukan oleh Patrick Quinn (2003) tentang
“Kebebasan Berserikat Dan Perundingan Bersama: Sebuah Studi tentang Pengalaman
Indonesia 1998-2003” menyimpulkan bahwa:
“iklim hubungan industrial Indonesia telah mengalami perubahan secara signifikan sejak tahun 1998, dengan didapatnya kemajuan positif dalam kaitannya dengan hak atas kebebasan berserikat dan berunding bersama. . . undang-undang tenaga kerja Indonesia sepenuhnya mengikuti ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Konvensi ILO No. 87 dan 98”. Don Sherman Grant II dan Michael Wallace (1991) dalam penelitiannya tentang
pemogokan buruh menemukan bahwa pemogokan buruh dapat berubah menjadi
kekerasan karena terkait dengan konteks sosio politik tempat pemogokan terjadi, suasana
legislatif, ketrampilan yang bervariasi dari buruh yang mogok, dan strategi perlawanan
dari pengusaha. Dalam hal ini kekerasan merupakan langkah pertahanan diri setelah
kelompok yang dituju (pengusaha) memperoleh akses ke birokrasi. Temuan Grant II dan
Wallace tersebut mengindikasikan bahwa dalam menangani perselisihan perburuhan yang
diikuti dengan pemogokan buruh, maka pihak polisi selaku aparat pengendalian sosial
formal harus dapat menempatkan diri pada posisi yang netral. Sementara itu David H.
Bayley dan James Garofalo (1989) dalam penelitian mereka tentang Manajemen
Kekerasan oleh Polisi Patroli menemukan bahwa:
“(1) kekerasan, bahkan agresi verbal, jarang dilakukan dalam pelaksanaan tugas polisi; (2) konflik pada umumnya mereda dengan kedatangan polisi, dan meninggalkan ruang yang sempit saja untuk taktik pengelabuan; dan (3) tingkah laku polisi yang dinilai oleh rekan kerjanya tampak menunjukkan ketrampilan
11
dalam mengurangi kekerasan yang diukur berdasarkan perbedaannya dari “rata-rata” tingkah laku petugas, dan dengan pertimbangan bahwa rekan kerja merupakan penilai yang baik dalam kinerja di lapangan”
Berdasarkan temuan tersebut Bayley dan Garofalo memberikan saran agar dalam
kebijakan polisi bagi kegiatan patroli rutin dalam rangka meredakan konflik,
mempertimbangkan 6 aspek:
Pertama: penerapan taktik pengelabuan yang canggih ketika kontak sudah terjadi
bukanlah kunci pengurangan kekerasan. Konflik pada umumnya berhenti begitu polisi
tiba, penyerangan terhadap polisi jarang dilakukan, dan kekerasan yang dilakukan oleh
polisi biasanya ringan. Petugas polisi perlu dilatih untuk menghindari provokasi yang
nyata, misalnya menggunakan kata-kata yang kasar atau bertindak tanpa mendengarkan.
Namun penyesuaian taktik selama menghadapi kekerasan mungkin tidak diperlukan.
Diragukan manfaat pelatihan pengelabuan yang dianggap akan mengurangi bentuk-
bentuk kekerasan ringan yang biasanya terjadi dalam tugas patroli.
Serentak dengan itu, pelatihan yang lebih luas dan elaborasi taktik mungkin
diperlukan untuk alasan lain. Pelatihan penanganan konflik dapat dilakukan melalui
permainan-peran ketika menghadapi masalah di lapangan, dan melalui “sharing”
informasi tentang pengalaman pendekatan taktik dan hasilnya yang dilakukan melalui
forum seminar dan diskusi kelompok yang dilakukan secara terjadwal daripada melalui
reaksi setelah terjadi krisis.
Kedua: antisipasi sebelum peristiwa terjadi mungkin lebih bermanfaat dalam
rangka menghindarkan penggunaan kekerasan yang tidak perlu yang dapat menimbulkan
perlukaan daripada melakukan tindakan setelah peristiwa terjadi. Dalam hal ini pelatihan
polisi harus ditekankan pada kenyataan bahwa konflik fisik jarang terjadi. Meskipun
pelatihan menekankan aspek bahaya tindakan kepolisian dan konsekuensi dari tindakan
yang lunak, para polisi akan segera memahami bahwa setiap tugas patroli bukanlah tugas
untuk peperangan dan tidak setiap perintah menuju ke tempat kejadian perkara
merupakan krisis. Memang terdapat paradoks bahwa polisi dilatih untuk “perang” tetapi
harus siap melakukan perdamaian. Tidak menyimak akan berakibat lebih serius daripada
tidak mampu menembak dengan jitu.
12
Ketiga: pelatihan penggunaan kekerasan dalam patroli harus ditekankan pada
teknik yang efektif dalam bertahan daripada melakukan pemukulan, penyerangan, atau
penembakan.
Keempat: organisasi polisi dalam mengandalkan petugas lapangan untuk
membantu memilih “role models” yang tepat untuk dipergunakan pada latihan di
lapangan bagi petugas, nara sumber dalam pelatihan kerja, dan barangkali menjadi
instruktur pada tataran akademi.
Kelima: organisasi polisi harus dapat menemukan cara untuk mendorong agar
petugas patroli yang berpengalaman tetap bekerja di bidang itu, karena ia akan dapat
menjadi panutan bagi petugas yang lebih muda.
Keenam: kebebasan memberikan pendapat di antara petugas lapangan, paling
tidak terkait dengan taktik di lapangan, menunjukkan kemanfaatan daripada merupakan
kendala dalam menegakkan norma-norma kepolisian.
Kegiatan-kegiatan penelitian yang dilakukan
Dalam melaksanakan penelitian ini agar dapat dilaksanakan sesuai dengan jangka
waktu yang ditentukan, maka kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah berdasarkan
kelompok kegiatan dalam satuan waktu mingguan yang meliputi:
No Kegiatan Waktu
1 Penyusunan rencana kerja 20 Oktober 2003 – 25 Oktober 2003
2 Penyusunan tim peneliti 20 Oktober 2003 – 25 Oktober 2003
3 Penyusunan kuesioner penelitian 20 Oktober 2003 – 25 Oktober 2003
4 Konsultasi kuesioner penelitian
dengan pihak POLRI
27 Oktober 2003 – 7 November 2003
5 Kordinasi lokasi penelitian dengan
pihak POLRI
27 Oktober 2003 – 7 November 2003
6 Pengumpulan data penelitian 10 November 2003 – 14 November 2003
7 Pengolahan data penelitian 17 November 2003 – 21 November 2003
8 Penulisan laporan 24 November 2003 – 28 November 2003
9 Penerjemahan laporan, penggandaan
laporan, penyerahan laporan
1 Desember 2003 – 5 Desember 2003
13
Hasil penelitian yang penting
Berdasarkan telaah dokumen buku-buku petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
teknis kerja Polri, khususnya “Buku Petunjuk Lapangan Manajemen Operasional
Kepolisian Tingkat Polwil/Tabes dan Polda; Tingkat Polres/Ta/Tabes; Tingkat Polsek/ta
(SK Kapolri Nomor POL: Skep / 1540 / IX / 1998, tanggal 30 September 1998; Skep /
1543 / IX / 1998, tanggal 30 September 1998; Skep / 1539 / IX / 1998, tanggal 30
September 1998 hanya secara umum membahas masalah ketenagakerjaan yang
dimasukkan dalam faktor korelatif kriminogen sosial budaya, misalnya adanya buruh
miskin dan pemutusan hubungan kerja. Sementara masalah perlindungan hak asasi
manusia kendatipun sudah menjadi menu tugas Polri tetapi belum secara khusus
mengupas masalah perlindungan hak asasi kaum buruh sebagaimana dapat dibaca pada
terbitan Badan Pembinaan Hukum Polri Agustus 2001 yang memuat Undang-undang RI
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Standar Hak Asasi
Manusia Internasional untuk Penegak Hukum.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia memberi penekanan pada fungsi pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat (Pasal 2, Pasal 13), yang dijabarkan pada Pasal 14 yang memungkinkan Polri
ikut terlibat dalam penanganan kasus perselisihan industrial, yang dalam huruf l
dirumuskan bahwa Polri bertugas : “melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan
perundangan-undangan”. Sementara itu dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan Pasal 182 memberikan kewenangan kepada pejabat Polisi
Negara Indonesia untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran pidana yang
tercantum dalam undang-undang tersebut, yang ancaman pidananya tercantum pada pasal
183 hingga pasal 189.
Pengetahuan dan pemahaman personel polisi tentang prinsip-prinsip dan hak-hak
mendasar di tempat kerja masih belum memadai dan juga tidak didukung oleh adanya
pola pelatihan yang tepat sesuai dengan pokok masalah perselisihan perindustrian.
14
Sistematika laporan
Laporan penelitian ini terdiri dari Bagian yang terdiri dari:
I. Pendahuluan: menguraikan latar belakang penelitian, perumusan masalah,
tujuan penelitian, review kepustakaan, kegiatan penelitian, dan hasil
utama dari penelitian.
II. Pelaksanaan penelitian: menguraikan metode penelitian, susunan tim
peneliti, metode pengumpulan data, analisa data dan penilaian validitas
dan serta realibilitas penelitian.
III. Hasil penelitian:
IV. Kesimpulan dan Saran-saran:
V. Lampiran-lampiran:
15
BAB II
PELAKSANAAN PENELITIAN
Metode penelitian.
Pemilihan responden.
Penelitian ini dilaksanakan terutama dengan mempergunakan metode survai
terhadap perwira-perwira menengah Polri yang bertugas di beberapa Polres yang terpilih
secara sengaja. Para perwira menengah Polri tersebut dipilih berdasarkan fungsi
jabatannya yang dipandang relevan dengan penanganan masalah perselisihan perburuhan.
Mereka adalah Kepala Satuan Intel, Kepala Satuan Reserse, Kepala Satuan Samapta, dan
Kepala Satuan Bina Mitra. Survai dilakukan dengan cara mewawancai para perwira
menengah Polri tersebut berdasarkan kuesioner yang jawabannya disusun secara tertutup,
dengan kemungkinan adanya jawaban terbuka atau penjelasan dari jawaban tertutup yang
dinyatakan oleh responden. Bila ketika petugas pewawancara tidak dapat menemui
perwira menengah Polri yang telah dipilih sebagai responden tersebut, maka sebagai
alternatif dapat diwakili oleh wakilnya. Cara ini ditempuh dengan pertimbangan bahwa
para responden yang mewakili lembaga seperti Polri, kemungkinan besar akan
mempunyai jawaban yang seragam bila ditanya hal-hal yang berhubungan dengan fungsi
lembaga tempat mereka bekerja. Kemudian dibukanya alternatif responden kepada wakil
pejabat tersebut karena jangka waktu maupun dana penelitian ini yang terbatas yang
hanya memungkinan pewawancara berada di lokasi penelitian selama 2 hari saja.
Kemudian untuk melengkapi data yang berhubungan dengan kebijakan Polri
dalam menyikapi masalah penyelesaian perselisihan perburuhan, sejumlah 11 orang
Perwira Polri pada tingkat Mabes yang dipilih secara insidental diwawancarai untuk
aspek itu.
Pemilihan lokasi penelitian.
Penelitian terhadap insitusi seperti polisi dalam rangka mengetahui kemampuan
kelembagaan sesungguhnya dapat dilakukan terhadap unit kerja operasional polisi yang
dipertanyakan di mana saja. Sebab pola dan mekanisme kerja dari unit kerja yang sama
dari suatu institusi seperti polisi akan cenderung sama. Penelitian ini menentukan lokasi
penelitian pada unit Kepolisian Resor (Polres) dengan pertimbangan bahwa dalam
16
masalah perselisihan perburuhan yang antara lain berbentuk pemogokan buruh atau
penutupan tempat kerja oleh majikan/pengusaha, unit kerja terrendah dari Polri yang akan
bertindak adalah Polres. Kemudian dalam rangka memenuhi cakupan wilayah provinsi
sebagaimana disyaratkan dalam perjanjian pelaksanaan penelitian maka wilayah Polres
yang akan dipilih ditentukan berdasarkan kekhasan setting sosial setempat yang terkait
dengan ciri khas perindustriannya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka wilayah
yang dipilih untuk pengumpulan data berdasarkan wilayah provinsinya adalah sebagai
berikut:
a. Provinsi Sumatera Utara : Wilayah Tanjung Morawa yang akan mewakili
industri perkebunan.
b. Provinsi Banten : Kabupaten Tangerang yang merupakan sentra in-
dustri PMA (sub kontrak merk Internasional).
c. Provinsi DKI Jakarta : Kawasan Industri Pulo Gadung yang merupakan
Sentra Industri yang sudah lama dibangun.
d. Provinsi Jawa Barat : Kawasan Cigondewa (Cileunyi) yang merupakan
sentra industri garmen.
e. Provinsi Jawa Tengah : Kabupaten Kudus yang merupakan sentra industri
rokok lokal.
f. Provinsi Jawa Timur : Kabupaten Sidorejo yang merupakan sentra indus-
tri logam dan listrik.
Tim Penelitian.
Ketua tim : Prof. Dr. Muhammad Mustofa, MA
Ketua Departemen Kriminologi FISIP UI
Anggota : 1. Drs. M. Kemal Dermawan Msi,
Ketua Laboratorium Departemen Kriminologi
FISIP UI
2. Drs. Adrianus M. Meliala, Msi. MSc (Candidat
Doctor), Peneliti/Staf Pengajar Senior
Departemen Kriminologi FISIP UI
17
Pewawancara yang ditugasi untuk mengumpulkan data adalah para staf pengajar
Departemen Kriminologi FISIP UI yang mempunyai pengalaman luas dalam penelitian
yang masing-masing bertanggung jawab untuk satu lokasi penelitian. Nama-nama
pewawancara dan lokasi penelitiannya adalah sebagai berikut:
No. Nama Pewawancara Provinsi Polres 1. Drs. Thomas Sunaryo MSi Sumatera Utara Tanjung Morawa 2 Iqrak Sulhin, S.Sos. Banten Kab. Tangerang 3 Yogo Tri Hendiarto DKI Jakarta Jakarta Timur 4 Fikri Somyadewi, S.Sos. Jawa Barat Kab. Bandung 5 Dra. Mamik Sri Supadmi Jawa Tengah Kab. Kudus 6 Drs. M. Kemal Dermawan,Msi Jawa Timur Kab. Sidoarjo
Pelaksanaan penelitian.
Penelitian ini dalam pelaksanaannya dirancang untuk menjawab permasalahan
penelitian yang kemudian dijabarkan dalam pertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitian
pertama yaitu: “Bagaimanakah organisasi POLRI memahami prinsip-prinsip dan hak-hak
mendasar di tempat kerja dalam hubungan kerja antara buruh dan majikan?“ dicari
jawabannya melalui survai terhadap perwira menengah Polri dari 6 Polres yang dipilih
secara sengaja. Data atau informasi tentang pemahaman terhadap hak-hak mendasar
dalam hubungan kerja diperoleh melalui wawancara yang dilakukan oleh pewawancara
yang telah diberi bekal pemahaman pertanyaan-pertanyaan yang tertulis dalam kuesioner.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan merupakan rangkuman intisari prinsip-prinsip dan
hak-hak mendasar di tempat kerja dari buruh dalam hubungan kerja yang tertuang dalam
Konvensi-konvensi ILO, maupun pertanyaan yang berhubungan dengan peran formal
yang diberikan oleh Undang-undang Ketenagakerjaan kepada Polri dalam menangani
perselisihan perburuhan.
Pertanyaan penelitian kedua yaitu: “Bagaimanakah hukum yang berlaku di
Indonesia memberikan kewenangan kepada POLRI untuk memelihara ketertiban dan
menegakkan hukum ketika terjadi perselisihan perburuhan?” diteliti melalui metode
penafsiran gramatikal terhadap Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia dan terhadap Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, serta berbagai peraturan perundangan yang merupakan ratifikasi
Pemerintah Indonesai terhadap Konvensi-konvensi ILO.
18
Pertanyaan penelitian ketiga yaitu: “Bagaimanakah kemampuan kelembagaan
POLRI dalam memelihara dan menegakkan hukum ketika terjadi perselisihan
perburuhan?” diteliti dengan cara melakukan survai terhadap perwira menengah Polri
yang menjadi responden tentang pengalamannya menangani kasus-kasus perselisihan
industrial, meneliti buku-buku pentunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis (juklak, juknis)
kerja Polri, kurikulum pendidikan Polri dalam berbagai jenis pendidikan di lingkungan
Polri, serta telaahan terhadap penelitian-penelitian tentang peranan Polri dalam
menangani kasus-kasus perselisihan industrial.
Analisa data.
Data kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh dalam penelitian ini diolah dengan
mempergunakan Program SPSS. Data tentang kemampuan Organisasi Polisi dalam
memahami prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat kerja dalam hubungan kerja
antara buruh dan majikan dianalisa berdasarkan tingkat kesesuaian jawaban responden
Perwira Menengah Polri terhadap pertanyaan-pertanyaan yang tercantum dalam
kuesioner khususnya tentang pengetahuan terhadap Konvensi ILO. Data disajikan dalam
bentuk tabel-tabel frekuensi sesuai dengan kategori permasalahannya. Lebih lanjut data
tersebut dikonfirmasi dengan ketersediaan buku petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
teknis kerja Polri, serta kurikulum pendidikan Polri apakah terdapat kesesuaian atau tidak
dalam mendukung kemampuan kelembagaan Polri dalam menangani perselisihan
perburuhan.
Kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada Polri untuk menangani kasus-
kasus perselisihan industrial dianalisa secara gramatikal terhadap pasal-pasal yang
tertuang dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Kutipan terhadap pasal-pasal tersebut akan dikemukakan untuk
menunjukkan bagaimana hukum yang dipertanyakan dirumuskannya.
Kemampuan Polri dalam menegakkan hukum ketika terjadi perselisihan
perburuhan dianalisa berdasarkan pengalaman responden Perwira Menengah Polri dalam
menangani kasus-kasus perselisihan perburuhan, hasil penelitian yang relevan,
ketersediaan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dalam menangani perselisihan
19
perburuhan, adanya kurikulum pendidikan yang relevan yang keseluruhannya dinilai
berdasarkan keserasiannya terhadap kewenangan hukum yang diberikan kepada Polri.
Validitas penelitian
Secara eksternal validitas penelitian ini, dalam pengertian tingkat keterwakilan
populasi oleh sampel dapat dikatakan cukup memadai. Sebab meneliti suatu kemampuan
suatu organisasi seperti Polri dengan cara survai dan mempergunakan unit analisa Polres,
serta respondennya adalah pejabat, akan cenderung memperoleh jawaban yang seragam.
Namun demikian belum tentu informasi yang diperoleh dari responden benar-benar
mencerminkan kemampuan organisasi yang sesungguhnya. Jawaban seragam tadi lebih
dipengaruhi oleh tradisi komando yang menekankan keseragaman. Hal ini merupakan ciri
Polri yang sebagian terbentuk ketika masih menjadi bagian dari ABRI. Seyogyanya untuk
dapat memperoleh gambaran yang alamiah tentang kemampuan sesungguhnya dari
organisasi Polri memerlukan pendekatan lain yang lebih menjamin validitas, yakni
metode studi kasus dengan menempatkan suatu organisasi Polres sebagai contoh kajian
melalui partisipasi observasi. Namun mengingat waktu yang disediakan untuk peneliti
terbatas maka hanya metode survai saja yang dapat dilakukan.
Bagaimanapun, sebagai studi awal hasil penelitian ini akan dapat dijadikan
landasan pembuatan kebijakan pelatihan personel polisi dalam menangani kasus-kasus
perselisihan perburuhan, mengingat berbagai aspek yang diperlukan untuk perencanaan
tersebut secara komprehensif sudah tercakup melalui berbagai sumber data.
Meskipun penelitian ini dilaksanakan melalui kerjasama dengan pihak Polri dan
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang merupakan lembaga yang relevan
dengan pokok masalah penelitian ini, tidak berarti bahwa pelaksanaan pengumpulan data
menjadi lebih mudah. Kendala yang dihadapi ketika mengumpulkan data pada tingkat
Polres adalah bahwa pejabat yang dijadikan responden tidak sedang di tempat. Sementara
itu karena masalah ketenagakerjaan berdasarkan Undang-undang Pemerintah Daerah
merupakan kewenangan daerah, pihak Departemen Tenagakerja dan Transmigrasi tidak
dapat memberikan rekomendasi untuk pengumpulan data di daerah. Di daerah sendiri
tempat penelitian ini dilaksanakan struktur organisasi yang berwenang mengurus masalah
ketenagakerjaan tidak seragam, sehingga dalam urusan administrasi (yang masih melekat
20
sebagai ganti dari perijinan) untuk melakukan penelitian perlu adanya pendekatan
personal agar supaya pelaksanaan pengumpulan data sesuai dengan rencana yang telah
disusun. Masalah waktu yang disediakan untuk melakukan penelitian ini yakni 1 bulan
semenjak penandatangan kontrak kerja adalah waktu yang sangat sempit. Keadaan ini
tentunya akan mempengaruhi kualitas penelitian.
21
BAB III
HASIL PENELITIAN
1. Pengetahuan dan pemahaman responden personel polisi terhadap asas-asas mendasar dan hak-hak untuk bekerja.
a. Pengetahuan dan pemahaman personel polisi terhadap Konvensi ILO
No. 87 mengenai kebebasan untuk berserikat dan perlindungan terhadap hak untuk berorganisasi.
Pada umumnya para responden mengetahui bahwa baik pihak buruh maupun
majikan mempunyai hak untuk berserikat (87% dan 82.6% membenarkan), meskipun
berhubungan dengan anggota polisi dan TNI untuk membentuk serikat pekerja sendiri
tidak dilihat sebagai hak mereka (91.3% tidak membenarkan). Hal ini akan lebih terlihat
pada Tabel 1 di bawah ini yang dihasilkan berdasarkan pertanyaan apakah pekerja dan
majikan mempunyai hak untuk mendirikan organisasi di kalangan mereka sendiri:
Tabel 1
Pengetahuan tentang hak untuk berserikat (n = 23)
PENGETAHUAN JENIS HAK Boleh Tak Boleh Tdk Tahu
JUML
Hak buruh untuk berseri-kat sendiri
20 (87%) 2 (8.7%) 1 (4.3%) 23 (100%)
Hak pengusaha untuk berorganisasi
19 (82.6%) 4 (17.4%) - 23 (100%)
Hak anggota polisi dan TNI untuk berserikat
2 (8.7%) 21 (91.3%) - 23 (100%)
Mengenai perlindungan terhadap hak untuk berorganisasi yang dihasilkan
berdasarkan pertanyaan boleh tidaknya pemerintah campur tangan dalam merumuskan
AD/ART dinyatakan tidak boleh oleh 69.6% responden; boleh tidaknya pemerintah
membubarkan organisasi buruh atau pengusaha dinyatakan boleh oleh 78.3% responden;
dan tindakan yang dilarang dilakukan oleh pengusaha terhadap organisasi buruh maupun
terhadap pengurus serikat buruh, dinyatakan tidak boleh oleh 78.3 % responden untuk
masalah perusahaan melarang pembentukan serikat buruh; 69.6% untuk pemutusan
hubungan kerja oleh perusahaan terhadap aktivis serikat pekerja dalam jam kerja; dan
78.3% untuk pemutusan hubungan kerja terhadap aktivis serikat pekerja di luar jam kerja.
Lebih nyata hal itu dapat disimak dalam Tabel 2 di bawah ini:
22
Tabel 2
Pengetahuan Perlindungan Terhadap Hak untuk Berorganisasi (n=23) PENGETAHUAN JENIS HAK
Boleh Tak Boleh Tdk Tahu JUML
Campur tangan pemerintah dalam merumuskan AD / ART serikat buruh dan organisasi majikan
6 (26.1%) 16 (69.6%) 1 (4.3%) 23 (100%)
Hak pemerintah membubarkan serikat buruh / organisasi majikan
18 (78.3%) 5 (21.7%) - 23 (100%)
Larangan oleh pengusaha terhadap buruh untuk membentuk serikat buruh
4 (17.4%) 18 (78.3%) 1 (4.3%) 23 (100%)
PHK oleh pengusaha terhadap anggota serikat buruh yang membela anggota berhadapan dengan majikan dalam jam kerja
7 (30.4%) 16 (69.6%) - 23 (100%)
PHK oleh pengusaha terhadap anggota serikat buruh yang membela anggota berhadapan dengan majikan di luar jam kerja
4 (17.4%) 18 (78.3%) 1 (4.3%) 23 (100%)
Data tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan responden tidak sepenuhnya
sesuai dengan Konvensi ILO maupun Undang-undang Ketenagakerjaan, sebab terkait
dengan pembubaran serikat buruh maupun organisasi pengusaha oleh pemerintah,
responden cenderung berpendapat boleh.
b. Pengetahuan dan pemahaman responden personel polisi terhadap Konvensi ILO No. 98 tentang Hak untuk Berorganisasi dan Melakukan Perundingan Kolektif
Isu mengenai hak buruh untuk berorganisasi sudah tercakup pada Tabel 1, yang
pada umumnya personel polisi mengetahui adanya hak tersebut. Sedangkan hak buruh
untuk melakukan perundingan kolektif responden cenderung mengetahuinya (78.3%)
sebagaimana terlihat pada Tabel 3 di bawah ini:
Tabel 3
Pengetahuan tentang adanya Hak untuk melakukan Perundingan Kolektif (n=23) PENGETAHUAN JENIS HAK
Ada Tidak Ada Tdk Tahu JUML
Adanya Hak buruh untuk melakukan perundingan kolektif
18 (78.3%) 5 (21.7%) - 23 (100%)
23
c. Pengetahuan dan pemahaman personel polisi terhadap Konvensi ILO No. 29 tentang Kerja Paksa.
Pengetahuan responden personel polisi tentang Kerja Paksa (wajib kerja)
berdasarkan Konvensi ILO 29 cenderung tidak tepat karena pendapat responden
cenderung membenarkan adanya kerja paksa (60.9%). Hal tersebut selaras dengan
pengetahuan mereka terhadap ketentuan wajib militer yang memang dibolehkan (56%).
Secara visual hal tersebut tampak pada Tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4
Pengetahuan responden tentang wajib kerja (n=23)
PENGETAHUAN JENIS LARANGAN / KEWENANGAN Boleh Tak Boleh Tdk Tahu
JUML
Wewenang negara mem-buat peraturan wajib kerja
14 (60.9%) 9 (39.1%) - 23 (100%)
Wewenang negara mem- buat peraturan wajib militer
13 (56.%) 10 (43.5%) - 23 (100%)
d. Pengetahuan dan pemahaman responden personel polisi terhadap Konvensi ILO No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa
Tabel 5
Pengetahuan responden terhadap larangan kerja paksa (n=23) PENGETAHUAN JENIS LARANGAN
Boleh Tak Boleh Tdk Tahu JUML
Wewenang perseorangan atau badan hukum mempe-kerjakan seseorang secara paksa
- 23 (100%) - 23 (100%)
Wewenang negara mene-rapkan kerja paksa sebagai hukuman bagi yang menentang ideologi politik dan ekonomi negara
- 22 (95.7%) 1 (4.3%) 23 (100%)
Wewenang negara menge-rahkan tenaga warga negara secara paksa untuk pemba-ngunan ekonomi
3 (13%) 20 (87%) - 23 (100%)
Wewenang atasan menerap-kan kerja paksa kepada pegawai yang tidak disiplin
3 (13%) 20 (87%) - 23 (100%)
Wewenang majikan mene-rapkan hukuman kerja paksa bagi buruh yg terlibat pemogokan
- 23 (100%) - 23 (100%)
24
Tabel 5 di atas menunjukkan bagaimana pengetahuan responden personel polisi
tentang larangan terhadap kerja paksa, dalam bentuk larangan bagi birokrasi maupun
pengusaha untuk menjadikan kerja paksa sebagai tindakan disiplin terhadap pegawai
maupun lain-lain larangan. Resonden cenderung mempunyai pengetahuan yang benar,
yang dinyatakan oleh lebih dari 87% hingga 100% responden.
e. Pengetahuan dan pemahaman responden personel polisi terhadap Konvensi ILO Nomor 138 tentang usia minimum untuk bekerja.
Sebagaimana terlihat pada Tabel 6 di bawah ini, pengetahuan responden
mengenai usia minimum untuk dibolehkan bekerja berbeda dari ketentuan konvensi yaitu
justru cenderung ke arah usia yang lebih tinggi dari 15 tahun. Kecenderungan jawaban
responden ada pada usia 18 tahun (30.4%), 17 tahun (26.1%), dan 21 tahun (17.4%) .
Tabel 6
Pendapat responden tentang usia minimum untuk bekerja (n=23) USIA MINIMUM FREKUENSI PROSENTASE
15 TAHUN 1 4.3 16 TAHUN 2 8.7 17 TAHUN 6 26.1 18 TAHUN 7 30.4 19 TAHUN 2 8.7 20 TAHUN 1 4.3 21 TAHUN 4 17.4
TOTAL 23 100
Tabel 7
Pendapat responden tentang usia minimum dalam lingkungan yang membahayakan (n=23)
USIA MINIMUM FREKUENSI PROSENTASE
17 TAHUN 5 21.7 18 TAHUN 8 34.8 19 TAHUN 1 4.3 20 TAHUN 3 13.0 21 TAHUN 6 26.1
TOTAL 23 100
Sementara itu pada Tabel 7 pendapat responden tentang batas usia minum anak
untuk bekerja dalam lingkungan yang membayakan cenderung sesusai dengan batas
25
minimum ILO yaitu 18 tahun (34.8%) atau bahkan menyebut usia yang lebih tinggi
(43.5%). Yang menyebut usia lebih rendah sebanyak 21.7 %,.
Selanjutnya pengetahuan responden tentang usia minimun anak untuk pekerjaan
ringan dengan persetujuan pemerintah, pengusaha, dan serikat buruh juga cenderung
menyebut usia yang lebih tinggi dari usia yang dibolehkan oleh Konvensi ILO yaitu 13
tahun sampai dengan 15 tahun, sebagaimana terlihat pada Tabel 8 di bawah ini.
Tabel 8
Pendapat responden tentang usia minimum anak boleh bekerja ringan (n=23) USIA MINIMUM FREKUENSI PROSENTASE
16 TAHUN 2 8.7 17 TAHUN 7 30.4 18 TAHUN 9 39.1 19 TAHUN 3 13.0 21 TAHUN 2 8.7
TOTAL 23 100
Mengenai pekerjaan anak usia 13 tahun sampai dengan 15 tahun dalam rangka
mengembangkan bakat dan minat serta tidak mengganggu kesehatan dan pendidikan
anak, sebagian besar responden (69.6 %) menolak dengan alasan apapun, sedangkan
sisanya membolehkan secara paruh waktu sebagaimana terlihat pada Tabel 9 di bawah
ini.
Tabel 9
Pendapat responden tentang pekerjaan untuk anak usia 13-15 tahun (n=23) PENDAPAT RESPONDEN FREKUENSI PERSENTASE
Boleh secara paruh waktu 7 30.4
Tidak boleh dg alasan apapun 16 69.6
TOTAL 23 100
Sementara itu pendapat responden tentang mempekerjakan anak usia minimum 14
tahun dalam rangka praktik kerja yang merupakan bagian kurikulum pendidikan atau
pelatihan yang disetujui pejabat berwenang, responden lebih cenderung menyetujuinya
daripada tidak menyetujuinya. Hal itu ditunjukkan oleh 52.2 % yang menyatakan ya, dan
selebihnya (47.8 %) tidak menyetujuinya yang merupakan perbedaan pendapat yang tipis
sebagaimana terlihat pada Tabel 10 di bawah ini.
26
Tabel 10
Pendapat responden mempekerjakan anak usia minimum 14 tahun dalam rangka praktik kerja sesuai kurikulum (n=23)
PENDAPAT RESPONDEN FREKUENSI PERSENTASE
Boleh 12 52.2 Tidak boleh 11 47.8
TOTAL 23 100
Pendapat responden tentang usia minimum anak dipekerjakan pada kapal
transportasi atau kapal nelayan cenderung lebih tinggi dari persyaratan ILO yaitu 15
tahun, sebagaimana terlihat pada Tabel 11 di bawah ini.
Tabel 11
Pendapat responden tentang usia minimum anak dipekerjakan pada kapal tranportasi atau kapal nelayan (n=23)
USIA MINIMUM FREKUENSI PROSENTASE
17 TAHUN 4 17.4 18 TAHUN 7 30.4 19 TAHUN 1 4.3 20 TAHUN 5 21.7 21 TAHUN 5 21.7 24 TAHUN 1 4.3
TOTAL 23 100
Pendapat responden tentang usia minimum anak untuk dipekerjakan pada
pertambangan bawah tanah cenderung belum sesuai dengan persyaratan ILO yaitu 18
tahun, sebagaimana terlihat pada Tabel 12.
Tabel 12
Pendapat responden tentang usia minimum anak bekerja di pertambangan bawah tanah (n=23)
USIA MINIMUM FREKUENSI PROSENTASE
17 TAHUN 3 13.0 18 TAHUN 6 26.1 20 TAHUN 6 26.1 21 TAHUN 8 34.8
TOTAL 23 100
Data pada Tabel 12 tersebut menunjukkan bahwa terdapat 13 % persen responden
yang menyebut usia 17 tahun, 26.1 % menyebut usia 18 tahun, 26.1 % menyebut usia 20
tahun, dan bahkan 34.8 % menyebut usia 21 tahun.
27
f. Pengetahuan dan pemahaman responden tentang Konvensi ILO Nomor 182 tentang Pekerjaan Terburuk untuk anak.
Tentang larangan mempekerjakan anak pada pekerjaan yang terburuk seluruh
responden menyatakan tidak boleh dan hal itu sesuai dengan ketentuan Konvensi ILO
Nomor 182, sebagaimana terlihat pada Tabel 13 di bawah ini.
Tabel 13
Pendapat responden tentang pekerjaan yang terburuk bagi anak PENDAPAT RESPONDEN
JENIS PEKERJAAN TERBURUK BAGI ANAK BOLEH (%) TDK BOLEH
(%)
Segala bentuk perbudakan - 23 (100%)
Diperdagangkan - 23 (100%)
Kerja ijon - 23 (100%)
Dijadikan hamba sahaya - 23 (100%)
Direkrut untuk kerja paksa - 23 (100%)
Direkrut untuk wajib kerja - 23 (100%)
Dilibatkan dalam konflik bersenjata - 23 (100%
Dijadikan pelacur - 23 (100%)
Dijadikan obyek produksi pornografi - 23 (100%)
Dijadikan tontonan pornografi - 23 (100%)
Dilibatkan dalam produksi dan peredaran narkotika - 23 (100%)
Dipekerjakan yang dpt mempengaruhi kesehatan, keselamatan atau moral - 23 (100%)
g. Pengetahuan dan pemahaman responden terhadap Konvensi ILO Nomor
100 tentang persamaan upah.
Pengetahuan responden tentang persamaan upah untuk pekerjaan dan tanggung
jawab yang sama antara laki-laki perempuan tidak menunjukkan konsistensi. Dengan
tanpa menyebut jabatan dengan resiko tinggi responden menyebut tidak boleh ada
diskriminasi, sedangkan jabatan dengan resiko tinggi terdapat responden yang menyetujui
diskriminasi.
Sementara itu diskriminasi upah berdasarkan perbedaan agama, ras, kelas sosial
dan keyakinan politik secara tegas ditolak oleh responden. Data tersebut dapat dilihat
pada Tabel 14 di bawah ini.
28
Tabel 14
Pendapat responden tentang persamaan upah (n=23) JENIS DISKRIMINASI PENGUPAHAN BOLEH TIDAK
Diskriminasi upah untuk jabatan dan tg jawab sama berdasar gender - 23 (100%) Diskriminasi upah utk jabatan resiko tinggi berdasarkan gender 4 (17.4%) 19 (82.6%)
h. Pengetahuan dan pemahaman responden personel polisi terhadap Konvensi ILO NO. 111 tentang Diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan.
Mengenai larangan diskriminasi dalam pemberian pekerjaan dan jabatan
didasarkan adanya perbedaan agama, ras, kelas sosial, dan keyakiman politik, secara total
(100%) responden menyatakan tidak boleh.
2. Pengetahuan dan pemahaman responden personel polisi terhadap prosedur penyelesaian perselisihan perindustrian.
Pengetahuan responden tentang mekanisme perselisihan perburuhan tidak secara
khusus ditanyakan, karena ketentuan tentang hal itu sebagaimana dimaksud oleh Undang-
undang Nomor 13 Tahun 2003 pasal 136 ayat 2 yang akan berbentuk undang-undang
masih dalam proses penyusunannya. Namun demikian masalah ini dapat diidentifikasi
melalui sejumlah pertanyaan yang secara tidak langsung berhubungan dengan hal itu,
khususnya berdasarkan pengalaman responden menangani masalah perselisihan
perburuhan. Tabel 15 menunjukkan jenis perselisihan perburuhan yang pernah ditangani
yang diakui oleh 73.9% responden.
Tabel 15
Jenis perselisihan perburuhan yang pernah ditangani responden (n=23) PENGALAMAN RESPONDEN
JENIS PERSELISIHAN PERBURUHAN PERNAH TAK PERNAH Pemutusan hubungan kerja 11 (47.8%) 12 (52.2%) Pemogokan buruh 12 (52.2%) 11 (47.8%) Tuntutan kenaikan upah buruh 9 (39.1%) 14 (60.9%) Penutupan perusahaan 7 (30.4%) 16 (69.6%)
Sementara itu data yang diperoleh dari pihak pengusaha secara berturut-turut dari
yang paling sering disebut menunjukkan bahwa perselisihan perburuhan berhubungan
dengan masalah: (1) tuntutan kenaikan upah, (2) pemutusan hubungan kerja, (3)
29
pesangon, dan (4) jaminan sosial. Pihak buruh secara berturut turut menyebut masalah:
(1) pemutusan hubungan kerja, (2) pesangon, (3) jaminan sosial, (4) kenaikan upah, (5)
peningkatan kesejahteraan. Sedangkan dari pihak Kantor Departemen Tenaga Kerja
menyebutkan pokok masalahnya secara berturut-turut meliputi: (1) pemutusan hubungan
kerja dan penutupan tempat kerja, (2) masalah upah minimum dan pemogokan buruh, (3)
masalah jaminan sosial, dan (4) masalah pendirian serikat buruh.
Dalam menangani perselisihan perburuhan tersebut di atas tindakan yang diambil
oleh mereka yang pernah mengalaminya dapat dikategorikan dalam tiga bentuk tindakan,
yaitu :
(1) Berusaha untuk menjadi penengah secara musyawarah, baik dilakukan
sendiri maupun melibatkan pihak buruh, majikan, maupun Kantor Depnaker.
(2) Menekankan aspek keamanan dan pencegahan kejahatan.
(3) Mempersiapkan aspek keamanan bila musyawarah gagal.
Kecenderungan penyelesaian perselisihan perburuhan yang dilakukan oleh
pengusaha adalah pada perundingan bipartit dengan pihak Serikat Pekerja yang
bersangkutan. Pernyataan ini juga diperkuat oleh data yang diperoleh dari pihak Serikat
Pekerja maupun dari Kantor-kantor Departemen Tenaga Kerja setempat.
Sementara itu dari pengalaman responden dalam menangani masalah perselisihan
perburuhan, sumber informasi tentang adanya masalah tersebut dapat berasal dari bebagai
sumber yaitu pihak buruh, pihak majikan, hasil pengembangan informasi intelijen, dan
dari pihak lain. Namun sebagian besar berasal dari hasil pengembangan informasi
intelijen, sebagaimana dapat disimak pada Tabel 16 di bawah ini.
Tabel 16
Sumber informasi adanya perselisihan perindustrian (n=23) SUMBER INFORMASI ADANYA PERSELISIHAN YA TIDAK
Laporan dari pihak buruh 10 (43.5%) 13 (56.5%) Laporan dari pihak majikan 6 (26.1%) 17 (73.9%) Hasil pengembangan informasi intelijen 12 (52.2%) 11 (47.8%) Laporan pihak lain 5 (21.7%) 18 (78.3%)
Dalam menangani perselisihan perburuhan menurut pengakuan responden tentang
pihak yang harus dilindungi kepentingannya jawabannya cenderung kepada kedua belah
pihak, sebagaimana terlihat pada Tabel 17 di bawah ini.
30
Tabel 17
Pihak yang menurut responden harus dilindungi kepentingannya dalam perselisihan perindustrian (n=23)
PIHAK YANG HARUS DILINDUNGI
KEPENTINGANNYA YA TIDAK
Pihak buruh 1 (4.3%) 22 (95.7%) Pihak majikan 1 (4.3%) 22 (95.7%) Kedua belah pihak 15 (65.2%) 8 (34.8%)
Mengenai tindakan polisi yang harus dilakukan bila menghadapi masalah
perselisihan perburuhan, responden merasa bahwa polisi tidak boleh membiarkan
masalah tersebut dengan beberapa bentuk tindakan yang secara rinci dapat dilihat pada
Tabel 18 di bawah ini.
Tabel 18 Tindakan yang harus dilakukan polisi dalam menangani perselisihan perburuhan
(n=23)
TINDAKAN YANG HARUS DILAKUKAN POLISI YA TIDAK Membiarkan karena bukan kewenangan polisi - 23 (100%) Menyerahkan ke pihak Departemen Tenaga kerja 6 (26.1%) 17 (73.9%) Melakukan penyidikan dan penyelidikan 8 (34.8%) 15 (65.2%) Mengupayakan perdamaian pihak-pihak yang berselisih 9 (39.1%) 14 (60.9%)
Selanjutnya tidak semua responden berpendapat bahwa polisi mempunyai
kewenangan menangani kasus-kasus yang berhubungan dengan masalah ketenagakerjaan.
Data menunjukkan sebanyak 18 (78.3%) responden yang membenarkan, dan sisanya
sebanyak 5 (21.7%) tidak membenarkannya. Yang dijadikan alasan mengapa polisi
mempunyai kewenangan dalam menangani masalah ketenagakerjaan alasan yang
menonjol adalah mengaitkannya dengan masalah pelanggaran pidana, khususnya yang
dilakukan oleh pihak buruh, dan hanya sedikit saja yang merujuk bahwa terdapat
ketentuan dalam undang-undang ketenagakerjaan yang memberikan kewenangan kepada
polisi.
Mengenai kewenangan polisi, baik pihak pengusaha maupun serikat pekerja
cenderung berpendapat bahwa keterlibatan polisi hanya diperlukan apabila timbul tindak
pidana seperti perusakan atau tindakan anarki saja dan berkonsentrasi dalam penjagaan
kemananan. Sedangkan dari pihak Kantor-kantor Departemen Tenaga Kerja
31
menyebutkan kewenangan polisi tersebut diperlukan tetapi terbatas, yang pada dasarnya
serupa dengan pandangan pihak pengusaha maupun buruh.
Dalam menangani masalah perselisihan industrial teridentifikasi sejumlah kendala
yang dihadapi oleh personel polisi yang dapat dikelompokkan dalam 4 kategori yaitu:
(1) Kendala dalam menghadapi massa pekerja yang dapat emosional dan anarki.
(2) Kendala yang berhubungan dengan kemampuan personel maupun daya
jangkau Polri.
(3) Kendala yang berhubungan dengan proses hukum yang tidak lancar.
(4) Kendala yang berhubungan dengan proses mediasi antara pengusaha dengan
buruh.
Mengenai pandangan anggota polisi tentang kasus-kasus pemogokan buruh dan
penutupan perusahaan, berdasarkan survai kecil yang dilakukan terhadap 11 orang
perwira menengah polisi yang bertugas di Markas Besar Polri yang dipilih secara
aksidental diperoleh data bahwa: pada umumnya perwira yang diwawancarai (72.7%)
berpendapat pemogokan yang sah sebagaimana dinyatakan oleh aparat yang berwenang
adalah merupakan hak buruh dan bukan tindakan kekerasan. Secara rinci data tersebut
dapat dilihat pada Tabel 19. Sementara itu bila pertanyaan tersebut ditujukan tentang
penutupan perusahaan yang dinyatakan sah oleh aparat yang berwenang, jawaban
responden gambarannya masih serupa yakni sebagian besar (63.6%) menyatakan sebagai
hak pengusaha sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 19
Pendapat responden perwira Mabes Polri terhadap pemogokan yang sah (n=11) KATEGORI JAWABAN ATAS PEMOGOKAN YANG
SAH YA TIDAK
Merupakan hak buruh 8 (72.7%) - Merupakan tindakan kekerasan 2 (18.2%) - Tidak menjawab 1 (9.1%) -
Tabel 20
Pendapat responden perwira Mabes Polri terhadap penutupan perusahaan (n=11) KATEGORI JAWABAN ATAS PENUTUPAN
PERUSAHAAN YANG SAH Frekuensi Prosentase
Merupakan hak perusahaan 7 (63.6%) Merupakan tindakan kekerasan 2 (18.2%) Tidak menjawab 2 (18.2%)
32
Selanjutnya responden perwira Mabes Polri ini menyatakan bahwa dalam hal
penyebarluasan informasi oleh Polri tentang peraturan perundangan yang terbaru yang
berhubungan dengan prosedur penanganan masalah perselisihan perindustrian oleh polisi,
sebagian besar (72.7%) menyatakan tidak pernah, yang rinciannya dapat dilihat pada
Tabel 21.
Bila pertanyaan terkait dengan pernah tidaknya responden tersebut memperoleh
informasi tentang tata cara menangani perselisihan perburuhan secara tepat hanya diakui
oleh 54.5% saja, sebagaimana terlihat pada Tabel 22.
Tabel 21
Pendapat responden perwira Mabes Polri tentang penyebarluasan informasi peraturan perundangan baru dan prosedur penanganan perselisihan perburuhan
oleh Polri (n=11)
PENYEBARAN INFORMASI TERBARU OLEH POLRI Frekuensi Prosentase Tidak pernah 8 72.7% Ya, kadang-kadang 3 27.3%
Tabel 22
Pernah tidaknya responden menerima informasi penanganan perselisihan perburuhan yang tepat (n=11)
PERNAH TIDAKNYA MEMPEROLEH INFORMASI Frekuensi Prosentase
Tidak pernah 5 45.5% Ya pernah 6 54.5%
Kemudian berhubungan dengan ada tidaknya buku petunjuk pelaksanaan atau
petunjuk teknis penanganan perselisihan perburuhan, sebagian besar responden (81.8%)
menjawab ada (tanpa menyebut judul buku petunjuk tersebut) yang secara rinci dapat
disimak pada Tabel 23.
Tabel 23
Pendapat responden tentang ada tidaknya petunjuk pelaksanaan penanganan perselisihan perindustrian (n=11)
ADA TIDAKNYA PETUNJUK PELAKSANAAN Frekuensi Prosentase
Ya ada 9 81.8% Tidak ada 2 18.2%
33
Meskipun terdapat informasi tentang penanganan perselisihan perburuhan
maupun terdapat petunjuk pelaksanaan tentang hal itu namun sebagian besar responden
(81.8%) berpendapat perlu adanya pendidikan khusus dalam menangani perselisihan
perburuhan yang baik. Dan tentang bentuk pelatihan khusus yang diharapkan meliputi:
(1) Penanganan kasus perselisihan perburuhan.
(2) Peningkatan pengetahuan psikologi massa dan taktik penanganan
huru-hara.
(3) Teknik negosiasi.
(4) Penguasaan materi hukum perburuhan.
3. Peraturan perundangan yang mengatur peranan Polri dalam menerapkan prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat kerja.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 sebagai pengganti Undang-undang
Nomor 28 Tahun 2000, pada dasarnya merupakan penegasan-penegasan dari Konvensi-
konvensi ILO yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Meskipun demikian,
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tersebut berdasarkan
pasal 136 (2) masih menyisakan persoalan dalam perselisihan perburuhan, yakni prosedur
penyelesaian perselisihan perburuhan bila tidak terjadi permufakatan antara buruh dengan
pengusaha akan diatur oleh undang-undang yang masih akan dibuat. Namun demikian,
berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut bila terjadi pelanggaran terhadap
ketentuan yang tercantum dalam Konvensi ILO dan yang secara yuridis diadopsi dalam
hukum positif Indonesia, maka polisi mempunyai kewenangan untuk melakukan
penegakan hukum. Hal tersebut diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yang dalam Pasal 182 memberikan kewenangan kepada
pejabat Polisi Negara Indonesia untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran
pidana yang tercantum dalam undang-undang tersebut. Ancaman pidana terhadap
pelanggaran Undang-undang Ketenagakerjaan tersebut, yang memungkinkan polisi untuk
bertindak tercantum pada pasal 183 hingga pasal 189. Sebaliknya bila menyangkut hak
buruh untuk mogok, pasal 143 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 secara tegas
menyatakan bahwa:
34
(1) “Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat
pekerja/serikat buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara
sah, tertib, dan damai.”
(2) “Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap
pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok
kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku”.
Namun demikian hak mogok tersebut harus dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku yaitu berdasarkan pasal 137 Undang-undang 13/2003 harus dilakukan
secara sah, tertib, dan damai; menurut pasal 138 (1) dilakukan dengan tidak melanggar
hukum; dan menurut pasal 139 dilakukan dengan tidak mengganggu kepentingan umum
dan/atau membahayakan keselamatan orang lain. Yang masih menjadi ganjalan dalam
pelaksanaan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah bahwa dalam hal prosedur
penyelesian perselisihan perburuhan menurut pasal 136 diatur berdasarkan undang-
undang tersendiri yang sampai dengan saat ini masih dalam proses. Oleh karena itu dalam
hal penyelesaian perselisihan perburuhan masih harus mempergunakan ketentuan yang
tercantum pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang terlalu memberi peran
kepada pemerintah. Dan prosedur inipun menurut Quinn ditentang baik oleh kalangan
pengusaha dan buruh (Lihat Quinn, 2003: 32-36).
Bila dikaitkan dengan peran polisi dalam memelihara keamanan dan ketertiban
serta menegakkan hukum, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam Pasal 2 menegaskan bahwa “Fungsi kepolisian adalah
salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat”. Oleh karena Konvensi-konvensi ILO pada dasarnya merupakan bentuk
jaminan hak-hak asasi manusia yang berhubungan dengan pekerjaan, maka pasal 4
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 juga kondusif bagi penerapan Konvensi-konvensi
ILO tersebut. Pasal 4 tersebut merumuskan bahwa: “Kepolisian Negara Republik
Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi
terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum,
35
terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya
ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”.
Dalam rangka memberikan pedoman kepada aparat pelaksana kepolisian di
daerah mulai dari tingkat Kepolisian Daerah (POLDA), Kepolisian Resor (POLRES), dan
Kepolisian Sektor (POLSEK) pada tanggl 30 September 1998 dikeluarkan 3 Buku
Petunjuk Lapangan Manajemen Operasional Kepolisian yaitu:
(1) Buku Petunjuk Lapangan Manajemen Operasional Kepolisian Tingkat
POLWIL/TABES dan POLDA.
(2) Buku Petunjuk Lapangan Manajemen Operasional Kepolisian Tingkat
POLRES/TABES.
(3) Buku Petunjuk Lapangan Manajemen Operasional Kepolisian Tingkat
POLSEK/TA.
Pada dasarnya sistematika dan isi ketiga buku tersebut adalah sama yang dalam
aspek hubungan industrial menempatkan masalah perburuhan yaitu adanya buruh miskin
dan masalah pemutusan hubungan kerja sebagai salah satu bentuk “faktor korelatif
kriminogen” yang diartikan sebagai “suatu kondisi dan situasi yang ditinjau dari aspek
Astagatra (Geografi, Demografi, Sumberdaya Alam, Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial
budaya dan Hankam) berpengaruh terhadap timbulnya gangguan Kamtibmas khususnya
kriminalitas” . Dengan demikian dalam buku petunjuk tersebut masalah perselisihan
perindustrian masih ditempatkan dalam dimensi gangguan keamanan dan ketertiban
masyarakat semata dan bukan masalah yang terkait dengan prinsip-prinsip dan hak-hak
mendasar di tempat kerja.
Pada tahun 2001 Badan Pembinaan Hukum Polri menerbitkan Standar Hak Asasi
Manusia Internasional untuk Penegak Hukum, yang merupakan pelengkap dari
penerbitan tentang Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
dan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang
pada dasarnya disusun berdasarkan “A compilation of International Instruments, Jilid 1 (2
bagian) dari “Universal Instruments” terbitan PBB Nomor E.94.XIV.1. Kompilasi dari
bahan ini apabila disebarluaskan kepada para anggota polisi dan dapat dicerna dengan
baik oleh segenap anggota akan merupakan modal yang baik dalam menangani
perselisihan industrial secara baik pula.
36
4. Struktur organisasi Polri dan kemampuannya dalam menangani perselisihan perindustrian.
Karena organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan organisasi
polisi nasional, maka struktur organisasi polisi berawal dari tingkat pusat yag disebut
sebagai Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Kemudian pada setiap provinsi
dibentuk Kepolisian Daerah (POLDA). Namun ada kalanya pada sebuah provinsi tidak
dibentuk organisasi tingkat POLDA tetapi dibentuk organisasi Kepolisian Wilayah
(POLWIL) yang merupakan jajaran di bawah POLDA yang bertanggung jawab untuk
mengkordinasi beberapa jajaran organisasi di bawahnya yang dibentuk pada setiap
Kabupaten atau Kota yaitu Kepolisian Resor (POLRES).
Jajaran Kepolisian Wilayah ini tidak selalu ada dalam struktur organisasi POLDA,
misalnya POLDA Metropolitan Jakarta Raya tidak memiliki jajaran organisasi POLWIL.
Di bawah jajaran POLRES terdapat organisasi terkecil dalam jajaran komando POLRI
yaitu Kepolisian Sektor (POLSEK) yang bertanggung jawab atas suatu wilayah yang
setara dengan kecamatan. Secara visual diagram organisasi Kepolisian Republik
Indonesia berdasarkan wilayah yurisdiksinya adalah sebagaimana terlihat pada halaman
berikut ini.
37
POLDA POLDA POLDA POLDA
POLWI L
POLWI L
POLWI L
POLRES
POLRES
POLSEK
POLSEK
POLSEK
POLRES
POLSEK
POLSEK
POLSEK
POLRES
POLRES
POLRES
MABES POLRI
Diagram Struktur Organisasi POLRI berdasarkan yurisdiksi wilayah tersebut
menunjukkan bahwa organisasi terbawah dalam organisasi adalah Kepolisian Sektor
(POLSEK) yang berada di bawah kendali Kepolisian Resor (POLRES). Secara
operasional POLSEK merupakan Unit Pelaksana Utama dari POLRES yang
membawahinya. Untuk memahami hal itu perlu dipaparkan Struktur Organisasi tingkat
38
POLRES yang merupakan unsur operasional kepolisian terdepan dalam jajaran organisasi
kewilayahan POLRI sebagaimana terlihat di bawah ini.
Bagan Struktur Organisasi POLRES
Unsur Pimpinan
Unsur Pembantu Pimpinan/Pelaksana
Unsur Pelaksana Staf Khusus dan Pelayanan
Unsur Pelaksana Utama
Kabag Binamitra Kabag Operasional Kabag Administrasi
Kepala Unit P3DKaur Telematika Ur Dokkes Kepala TAUD
KA SPK
KASAT INTEL PAM
KASAT Satuan RESKRIM
KASAT Satuan SAMAPTA
KASAT LANTAS
KASAT NARKOBA
POLSEK POLSEK POLSEK POLSEK
WAKIL KEPALA KEPOLISIAN RESOR
KEPALA KEPOLISIAN RESOR
Dari struktur organisasi POLRES tersebut Unsur Pelaksana Utama yang dipimpin
oleh Kepala Satuan melaksanakan tugas dibantu oleh POLSEK-POLSEK yang
39
membawahi wilayah tempat kejadian perkara. Adapun fungsi dari beberapa satuan
tersebut adalah sebagai berikut:
Satuan Intelijen dan Pengamanan mempunyai fungsi intelijen dan pengamanan.
Satuan intelijen bertugas melakukan kegiatan intelijen antara lain meliputi “early
warning” serta mengidentifikasi sumber ancaman dan gangguan keamanan dan
ketertiban, khususnya kriminalitas. Satuan pengamanan kepolisian bertugas
menyelenggarakan pengaman ke dalam tubuh Polri, baik pengamanan personel, materiil,
informasi, maupun terhadap ancaman dari dalam dan luar Polri, serta pengamanan
terhdap sandi Polri. Di samping itu satuan pengamanan juga melakukan pengamanan
terhadap hasil-hasil pembangunan ekonomi nasional, pengamanan masyarakat secara
menyeluruh (www.polri.go.id/aboutus/intel.php).
Satuan reserse kriminal mempunyai tugas pokok mencari dan menemukan pelaku
pelanggaran hukum maupun kejahatan untuk diproses sesuai dengan hukum yang
berlaku. Dengan demikian satuan ini lebih menekankan pada fungsi represif dalam
penegakan hukum. Satuan ini mempunyai wewenang penyelidikan, pemanggilan orang,
penangkapan orang, pemeriksaan, penggeledahan, penyitaan sampai penahanan
(www.polri.go.id/aboutus/serse.php).
Satuan samapta bhayangkara atau Shabara mempuyai tugas utama pencegahan
kejahatan. Kegiatan yang dilakukan meliputi patroli, pengaturan, penjagaan, pengawalan
yang sasaran utamanya adalah menghilangkan atau mengurangi kemungkinan terjadainya
pelanggaran hukum atau kejahatan. Satuan ini bekerja selama 24 jam sehari (www.polri.
go.id/aboutus/sabhara.php).
Binamitra dalam struktur organisasi POLRES merupakan unsur pembantu
pimpinan/pelaksana. Bagian ini dahulu dikenal sebagai bagian Bimbingan Masyarakat.
Bagian ini bertugas untuk membina keamanan dan ketertiban masyarakat, pengayom,
pembina, pelayan dan pembimbing masyarakat. Kegiatan yang pembinaan yang
dilakukan meliputi pembinaan keamanan ketertiban swakarsa (siskamling) baik pada
tingkat permukiman, perdagangan maupun industri (www.polri.go.id/aboutus/
sabhara.php).
Di luar struktur organisasi kewilayahan tersebut di atas terdapat suatu unit
fungsional Polri yang dikenal sebagai Brigade Mobil yang bertugas membantu
40
melaksanakan fungsi kesamptaan dan pembinaan masyarakat (patroli dan pencegahan
kejahatan) maupun dalam fungsi penindakan. Brimob akan dihadirkan di tempat kejadian
perkara bila terjadi konflik dengan intensitas tinggi, dalam keributan massa, kecelakaan
massal yang membutuhkan pertolongan darurat di tempat yang sulit dijangkau
(www.polri.go.id/aboutus/brmobggn.php).
Melihat pada struktur operaional organisasi Polri tersebut di atas maka dalam
rangka melaksanakan fungsi dalam menjamin prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di
tempat kerja maka fungsi-fungsi operasional utama yang dapat berperan meliputi fungsi
“Satuan Samapta Bhayangkara” (Sabhara) yang tugas pokoknya adalah melakukan
pencegahan kejahatan melalui kegiatan patroli, penjagaan, dan pengawalan yang bekerja
selama 24 jam sehari. Namun dalam keadaan terjadi huru-hara, maka fungsi Sabhara ini
akan didukung oleh kekuatan Brigade Mobil yang mempunyai kemampuan khusus dalam
pengendalian huru-hara.
Namun demikian tindakan pencegahan kejahatan yang dilakukan oleh Satuan
Sabhara akan lebih efektif bila didukung oleh informasi intelijen tentang kemungkinan
terjadinya huru-hara yang mungkin saja terjadi ketika terjadi peristiwa pegomokan buruh.
Informasi yang diperoleh dari satuan intelijen ini amat berguna agar supaya Satuan
Sabhara dapat melakukan tindakan-tindakan pencegahan secara pro aktif tidak semata-
mata menunggu bergerak bila terjadi suatu peristiwa. Lebih jauh untuk melakukan
langkah-langkah pencegahan secara dini yakni menghasilkan situasi kondusif agar supaya
pihak-pihak yang potensial berkonflik, yaitu buruh dan majikan, maka peran dari
Binamitra menjadi tidak kalah pentingnya. Namun demikian peran dari Binamitra ini
dalam penanganan masalah perselisihan perindustrian harus merupakan fungsi sosialisasi
terhadap peraturan perundangan perburuhan secara netral dengan tanpa diwarnai oleh
kepentingan untuk melindungi salah satu pihak saja misalnya pihak majikan yang
terkesan terjadi pada masa lalu.
Bila terjadi masalah pelanggaran hukum pidana sebagai akibat dari suatu
perselisihan perburuhan, maka tidak bisa tidak maka satuan reserse harus melakukan
fungsinya untuk mengumpulkan alat bukti dan membawa perkara ke proses hukum lebih
lanjut.
41
5. Kurikulum pendidikan Polri.
Pada bagian ini akan dilakukan analisa terhadap kurikulum pendidikan Polri yang
ada sekarang ini untuk melihat apakah kurikulum tadi sudah memuat hal-hal yang
diperlukan oleh anggota polisi dalam melaksanakan fungsinya mewujudkan prinsip-
prinsip dan hak-hak mendasar di tempat kerja bila terjadi perselisihan perburuhan.
Sebagai tolok ukur kurikulum dan isi kurikulum seperti apa yang diperlukan oleh anggota
Polri dalam menangani perselisihan perburuhan, maka berdasarkan analisa data
sebelumnya dapat dirumuskan perlunya sejumlah materi yang meliputi:
(1) Peraturan perundangan perburuhan, yang meliputi Undang-undang
Ketenagakerjaan dan Undang-undang Prosedur Penyelesaian
Perselisihan Perindustrian.
(2) Resolusi konflik.
(3) Teknik negosiasi.
(4) Pengendalian huru-hara.
Analisa terhadap kurikulum pendidikan Polri hanya dilakukan terhadap daftar
mata kuliah yang diajarkan pada Sespim, PTIK, Akpol, PPSS, Selapa, dan Secapa sebab
tim peneliti tidak dapat memperoleh data yang lengkap yang meliputi silabi mata kuliah
dan metode pengajaran. Namun demikian analisa ini didukung oleh analisa internal yang
dilakukan oleh Polri sendiri dalam bentuk makalah dalam seminar evaluasi kurikulum
pendidikan Polri maupun hasil tim kerja evaluasi pendidikan perwira Polri.
Analisa yang dilakukan terhadap daftar mata kuliah pada Sekolah Pimpinan Polri
(SESPIM) dari 77 mata kuliah yang diajarkan hanya terdapat 2 mata kuliah yang dapat
dikaitkan dengan landasan profesional penyelesian perselisihan perburuhan. Sementara
itu dari daftar mata kuliah yang diajarkan pada Perguruan Tinggi Kepolisian, dari 43
mata kuliah yang diajarkan terdapat 10 mata kuliah yang dapat dikembangkan untuk
memberikan landasan profesional penyelesaian perselisihan perburuhan. Dari daftar 46
mata kuliah pada Sekolah Lanjutan Perwira Polri yang diajarkan terdapat 8 mata kuliah
yang dapat dikembangkan. Selanjutnya dari daftar 46 mata kuliah yang diajarakan pada
Akademi Kepolisian terdapat 4 mata kuliah yang dapat dikembangkan. Dan dari 60 mata
kuliah yang diajarkan pada PPSS (Penerimaan Perwira Sumber Sarjana) terdapat 4 mata
kuliah yang dapat dikembangkan. Sedangkan dari 36 mata kuliah yang diajarkan pada
42
Sekolah Calon Perwira (SECAPA) terdapat 5 mata kuliah yang dapat dikembangkan.
Secara lebih rinci berbagai mata kuliah dalam berbagai lembaga pendidikan perwira Polri
di atas yang mempunyai potensi untuk dikembangkan dan kekurangan pada daftar mata
kuliah pada lembaga pendidikan yang bersangkutan dapat dilihat pada matrik di bawah
ini.
Nama mata kuliah yang dapat dan yang diperlukan dikembangkan menurut
Lembaga Pendidikan Polri
NO LEMBAGA
PENDIDIKAN
MATA KULIAH YANG DAPAT
DIKEMBANGKAN
MATA KULIAH YANG
MASIH DIPERLUKAN 1 SEKOLAH PIMPINAN 1. Metode Prediksi dan Antisi
pasi. 2. Ketenagakerjaan di Indonesia.
1. Hak Asasi Manusia 2. Teknik negosiasi. 3. Resolusi konflik. 4. Pengendalian huru hara 5. Prosedur Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
2 P T I K 1. Hak Asasi Manusia. 2. Komunikasi Sosial. 3. Psikologi Sosial. 4. Sosiologi Hukum 5. Sosiologi. 6. Manajemen Reserse. 7. Kriminologi. 8. Manajemen Kamtibmas 9. Manajemen Intel. 10. Manajemen Sabhara
1. Undang-undang perburuhan 2. Prosedur Penyelesianan. Perselisihan Perburuhan. 3. Resolusi Konflik. 4. Teknik Negosiasi.
3 SELAPA 1. Hak Asasi Manusia. 2. Metode Prediksi dan Antisipasi. 3. Manajemen IPP. 4. Manajeman Sabhara. 5. Sosiologi. 6. Manajemen Reserse. 7. Manajemen Bimmas. 8. Kriminologi
1. Undang-undang perburuhan 2. Prosedur Penyelesaian Perselisihan Perburuhan 3. Resolusi Konflik. 4. Teknik negosiasi.
4 AKADEMI KEPOLISIAN
1. Fungsi Teknis Operasional (Res, Intel,Sabh,Bimas,Lant) 2. Kriminologi. 3. Sosiologi. 4. Hukum Perburuhan
1. Hak Asasi Manusia 2. Prosedur Penyelesaian Perselisihan Perburuhan 3. Resolusi Konflik. 4. Negosiasi.
5 PENERIMAAN PERWIRA SUMBER SARJANA
1. Negosiasi 2. Pelatihan HAM 3. Kriminologi. 4. Komunikasi Sosial
1. Undang-undang perburuhan 2. Prosedur Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. 3. Resolusi Konflik.
6 SECAPA 1. Hak Asasi Manusia. 2. Psikologi Sosial. 3. Komunikasi Sosial. 4. Sosiologi Hukum. 5. Pengendalian Massa.
1. Undang-undang Perburuhan 2. Prosedur Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. 3. Resolusi Konflik. 4. Teknik Negosiasi.
43
Sesungguhnya pihak Polri sendiri sedang melakukan evaluasi kurikulum
pendidikan Polri baik untuk tingkat Perwira maupun bintara. Hal itu ditunjukkan antara
lain lain dengan diselenggarakannya Seminar dan Lokakarya Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Polri tanggal 23 – 24 Oktober 2001 yang merupakan kerjasama antara
Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian dengan Partnership for Government Reform in
Indonesia. Dalam makalah yang disampaikan oleh Deputi Kapolri Bidang Pendidikan dan
Latihan (Komjen Pol. Drs. Noegroho Djajoesman, antara lain dikemukakan bahwa
kurikulum pendidikan Polri untuk semua jenis terdapat lebih dari 150 jenis kurikulum
yang diopersionalkan setiap tahun. Kemudian kurikulum tersebut lebih merupakan
transformasi kultur pendidikan ABRI ke pendidikan Polri. Melihat realitas itu maka
dalam rangka pengembangan kurikulum pendidikan Polri ke depan, pedoman dalam
penyusunan kurikulum yang diusulkan meliputi:
(1) Implementasi kurikulum dan / atau formulasi kurikulum sepadat mungkin
didekatkan pada “alam nyata”.
(2) Materi pelajaran yang berkenaan dengan pekerjaan Kepolisian terutama yang
terkait dengan pengembangan ketrampilan dan kemampuan dipandang lebih tepat
diajarkan di lapangan dari pada di lembaga pendidikan.
(3) Mengintrodusir beberapa kemampuan sebagaimana diproyeksikan kepada
tantangan tugas Polisi di massa datang (HAM, Manajemen, Komunikasi, Muatan
Lokal dan sebagainya).
(4) Mengidentifikasi dan memilih / menentukan mata kuliah / mata pelajaran secara
efektif untuk menghindari ketumpangtindihan materi tiap-tiap jenis pendidikan.
(5) Proses pembelajaran berorientasi kepada pendekatan “problem solving” dan
“actual case study”.
(6) Program-program pendidikan, pendidikan kejuruan perwira akan ditinjau kembali,
kecuali fungsi investigasi yang memang sudah “mendunia” dan untuk program
pendidikan yang sifatnya pengembangan ketrampilan cukup dilaksanakan dalam
bentuk pelatihan lapangan pada masing-masing satuan.
(7) Formulasi kurikulum berorientasi pada kebutuhan lapangan, peningkatan daya
pikir Polri profesional dengan gerak yang tinggi (mobilitas dan ketrampilan).
44
(8) Menyusun suatu kerangka kurikulum yang serasi dengan kebutuhan tugas, selaras
dengan perkembangan jaman dan tingkat kemampuan input, berkait antara satu
dengan pendidikan Perwira lainnya serta berlanjut bagi yang diperuntukkan
melanjutkan yang lebih tinggi.
(9) Sebagai perwujudan pendidikan profesi kedinasan, maka proyeksi kurikulum
dibagi dalam bobot teori minimal 30 % / maksimal 40 % dan praktek 70 % / 60 %
(Lihat, Dediklat Kapolri, 2001: 9-13).
Sementara itu Tim Kerja Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Jakarta (2001) dalam
Evaluasi Kurikulum Pendidikan Perwira Polri menyimpulkan bahwa kemampuan lulusan
Lembaga Pendidikan Polri bervariasi yaitu:
(1) Lulusan Secapa memiliki kemampuan dasar kepolisian yang baik namun kurang
keberanian bertindak, khususnya terhadap bintara seangkatan.
(2) Lulusan Akpol kurang siap menghadapi masalah di lapangan dan ragu bertindak.
Selain itu mereka juga ragu bertanya kepada senior.
(3) Lulusan PPSS memiliki sikap ragu-ragu untuk bertindak dan kurang mampu
memimpin bawahan.
(4) Lulusan Selapa umumnya memiliki kemampuan untuk memimpin dan
mengambil keputusan.
(5) Lulusan PTIK memiliki kemampuan untuk memimpin dan menangani masalah di
lapangan.
(6) Lulusan semua Lemdik Pa Polri kurang menguasai unsur-unsur tindak pidana,
mereka hanya menguasai secara teoritik sehingga diperlukan metode
pembelajaran yang dapat membangkitkan kreativitas dan ketrampilan untuk
mendukung tugas lapangan (Lihat Tim Kerja PTIK 2001: hal 8).
Sementara itu berdasarkan hasil Focus Group Discussion oleh Tim Kerja dengan
pengguna lulusan pada tingkat POLDA (Kapolda, Para Kadit, Kapolwil, dan Kapolres)
antara lain disimpulkan bahwa :
“Kurikulum perlu memuat muatan-muatan yang relevan dengan pelaksanaan tugas Polri di masyarakat seperti HAM, Sosial Budaya, Antropologi, Hukum, Psikologi Massa, Ekonomi, Negosiasi, dan Teknologi Informasi . . . “ (Tim Kerja PTIK, 2001: 7).
45
Analisa kurikulum ini menunjukkan bahwa pihak Polri sendiri sudah siap untuk
melakukan perbaikan mendasar dalam pendidikan Perwira Polri agar sesuai dengan
tuntutan pekerjaan di lapangan. Oleh karena itu terkait dengan peran Polri dalam
memastikan prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat kerja maka komponen
kurikulum yang berhubungan dengan undang-undang perburuhan dan prosedur
penyelesian perselisihan perburuhan juga akan diperlukan.
46
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pengetahuan personel polisi terhadap asas-asas mendasar dan hak untuk bekerja
Pada umumnya responden perwira polisi yang diwawancarai mempunyai
pengetahuan yang cukup memadai terhadap prinsip-prinsip hak-hak mendasar di tempat
kerja kecuali untuk beberapa isu. Responden mengetahui bahwa adalah merupakan hak
bagi serikat buruh untuk berserikat dan demikian pula adalah merupakan hak bagi
pengusaha untuk mengorganisasikan diri (Tabel 1). Selaras dengan itu responden
mengetahui bahwa buruh mempunyai hak untuk berunding secara kolektif (Tabel 3).
Namun ketika hal itu dikaitkan dengan hak anggota Polisi dan tentara, responden tidak
mengakuinya sebagai hak (Tabel 1). Hal ini dapat dipahami karena memang dalam
doktrin pendidikan mereka anggota polisi lebih ditekankan sebagai pengabdi masyarakat
dan tidak mengutamakan kepentingan sendiri. Apalagi dalam tradisi komando
kemiliteran yang mendominasi budaya polisi begitu lama, maka alternatif organisasi di
luar komando dipandang sebagai tidak lajim.
Terkait dengan perlindungan hak untuk berorganisasi, terdapat satu aspek yang
masih mendominasi pikiran responden yakni bahwa pemerintah mempunyai hak untuk
membubarkan organisasi serikat pekerja maupun organisasi pengusaha (Tabel 2).
Pendekatan sekuriti dalam menjaga ketertiban masyarakat yang menempatkan suatu
organisasi dapat menjadi ancaman gangguan keamanan ketertiban mewarnai sikap itu.
Isu lain yang belum serasi dengan jiwa prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di
tempat kerja adalah tentang batasan usia minimum anak untuk bekerja dalam keadaan
normal atau dalam sistuasi khusus. Responden cenderung menyebut usia di atas dari yang
diakui dalam Konvensi ILO yaitu 15 tahun (Tabel 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12). Barangkali hal
ini dipengaruhi oleh konsentrasi polisi dalam hal usia mengacu kepada ketentuan pidana
yakni berdasarkan Undang-undang Pengadilan Anak, kategori anak adalah mereka yang
berusia antara 8 tahun hingga 18 tahun.
Mengenai larangan kerja paksa dalam berbagai bentuk, responden secara mutlak
mengetahui hal itu (Tabel 5). Namun ketika isunya mengenai wajib kerja yang dilakukan
47
oleh pemerintah, responden cenderung membolehkannya karena hal itu mungkin
dianggap sama dengan wajib militer (Tabel 4).
Mengenai pekerjaan terburuk untuk anak seluruh responden mempunyai
pengetahuan yang tepat bahwa hal itu tidak boleh terjadi karena rumusan tersebut sangat
dekat dengan rumusan tindak pidana (Tabel 13).
Perlakuan yang berbeda dalam memberikan upah dan jabatan berdasarkan jenis
kelamin atau berdasarkan perbedaan ras, kelas sosial, agama, dan keyakinan politik dapat
dipahami oleh responden sebagai tidak boleh dilakukan. Namun ketika hal itu
berhubungan dengan pekerjaan yang mempunyai resiko tinggi, maka responden
cenderung membenarkan bila terjadi diskriminasi berdasarkan jenis kelamin (Tabel 14).
Secara keseluruhan pengetahuan responden tentang prinsip-prinsip dan hak-hak
mendasar di tempat kerja sudah cukup memadai, hanya saja masih perlu diperbaiki,
khususnya yang terkait dengan peran pemerintah dan pendekatan sekuriti dalam
menegakkan ketertiban sosial.
Pengetahuan responden tentang prosedur penyelesaian perselisihan perindustrian
Pemahaman responden terhadap prosedur penyelesaian perselisihan perburuhan
sendiri tidak dapat diidentifikasi meskipun responden Perwira Mabes Polri menyatakan
bahwa dalam organisasi Polri terdapat petunjuk pelaksanaan dalam penanganan
perselisihan perburuhan (Tabel 23). Hal ini tidak konsisten dengan pengakuan bahwa
pihak Polri kurang memberikan informasi terbaru yang berhubungan dengan masalah
perburuhan (Tabel 21). Meskipun demikian bila diidentifikasi berdasarkan pengalaman
menangani perselisihan perburuhan, pada umumnya penanganan diarahkan untuk
negosiasi atau mendamaikan pihak-pihak yang berkonflik, selain menekankan peran
menjaga keamanan dan ketertiban, diikuti dengan peran penyelidikan dan penyidikan
tndak pidana bila terjadi ekses ketika terjadi perselisihan perburuhan.
Peraturan perundangan dan petunjuk pelaksanaan dalam mewujudkan prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat kerja
Sesungguhnya dilihat dari peraturan perundangan yang mendasar, yakni Undang-
undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, maupun Undang-undang tentang
48
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 sudah secara cukup menjadi
landasan bagi Polri untuk mewujudkan prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat
kerja. Meskipun demikian agar dalam melaksanakan tugas pihak Polri lebih dapat
melakukan fungsinya sesuai dengan peran yang diberikan oleh undang-undang, masih
perlu menunggu terbitnya Undang-undang tentang Prosedur Penyelesian Perselisihan
Perburuhan. Karena polisi lajim bekerja dengan hanya mengacu pada ketentuan pidana
yang umum (KUHP dan KUHAP) maka dalam hal pelaksanaan fungsi menjaga
ketertiban dan keamanan ketika terjadi perselisihan perburuhan masih diperlukan
petunjuk lapangan yang rinci dan aplikatif bagi petugas di tingkat depan yang langsung
menangani peristiwa. Memang terdapat buku petunjuk lapangan yang ditujukan kepada
organisasi polisi kewilayahan mulai dari Polda sampai dengan Polsek, namun tidak
secara khusus memberi perhatian pada prosedur penyelesaian perselisihan perburuhan
dan bahkan masih menempatkan pemogokan buruh sebagai bagian dari gangguan
keamanan dan ketertiban.
Kemampuan organisasi polisi dalam menangani perselisihan perburuhan
Berdasarkan telaah struktur organisasi Polri tampak bahwa secara organisasional
Polri mempunyai kemampuan untuk menegakkan keamanan dan ketertiban ketika terjadi
perselisihan perburuhan. Kemampuan tersebut secara organisasional terletak dari peran
organisasi tingkat POLRES yang mempunyai unit pelaksana utama pada tingkat
POLSEK. Selanjutnya unit-unit kerja operasional yang mempunyai peran besar dalam
menjaga keamanan dan ketertiban ketika terjadi perselisihan perburuhan adalah Satuan
Samapta Bhayangkara (SABHARA) yang dalam keadaan mendesak dapat dibantu oleh
satuan Brimob. Namun demikian unit operasional ini yang meskipun bekerja selama 24
jam sehari dan secara langsung berhubungan dengan masyarakat, dalam lingkungan Polri
tidak dianggap sebagai unit kerja yang bergengsi bila dibandingkan dengan unit reserse
yang akan dapat mempengaruhi etos kerja.
Kemampuan organisasi Polri dikhawatirkan akan dapat dipengaruhi oleh tingkat
mobilitas personel dalam arti mutasi dari satu daerah ke daerah lain. Pada tingkat perwira
hasil pendidikan AKPOL atau PPSS barangkali dapat terjadi hal tersebut, namun
penempatan tugas seorang perwira di suatu tempat paling tidak akan berlangsung selama
49
3 tahun. Pada tataran bintara, mutasi ke daerah lain akan membutuhkan waktu yang lebih
lama, dan ini kondisi yang kondusif bagi unsur pelaksana utama untuk pengenalan medan
para anggotanya.
Kurikulum pendidikan Polri
Kurikulum pendidikan Polri yang ada selama ini yang masih dipengaruhi oleh
pendekatan militeristik dirasakan sebagai kendala dalam menghasilkan perwira Polri
yang handal dengan pendekatan “civilian” yang selaras dengan kebutuhan masyarakat.
Meskipun demikian secara internal sudah disadari bahwa perlu dilakukan perubahan
mendasar dalam kurikulum maupun pola pendidikan Polri yang sesuai dengan kebutuhan
kerja yang nyata.
Saran Dalam rangka meningkatkan pemahaman dan kemampuan anggota Polri serta
meningkatkan kemampuan kelembagaan Polri dalam menegakkan keamanan dan
ketertiban dalam perselisihan industrial, maka berdasarkan hasil-hasil penelitian ini dapat
disarankan sejumlah langkah yang perlu ditempuh oleh Polri.
(1) Mengingat bahwa pemahaman anggota Polri tentang prinsip-prinsip dan hak-hak
mendasar di tempat kerja masih perlu ditingkatkan, maka penataran terhadap
anggota Polri baik melalui pendidikan kedinasan maupun sesi khusus di tingkat
organisasi operasional kewilayahan (POLRES) perlu dilakukan sebagai kegiatan
rutin.
(2) Kurikulum pendidikan Polri dalam pendidikan kedinasan yang berhubungan
dengan penanganan perselisihan perburuhan harus diberikan dengan pendekatan
aplikatif berdasarkan studi kasus dan simulasi dalam bentuk berbagai materi
perkuliahan, misalnya negosiasi, pengendalian masa, resolusi konflik.
(3) Perlu memberikan prioritas utama kepada fungsi Sabhara yang akan merupakan
unit operasional terdepan dalam menangani perselisihan perburuhan. Oleh karena
itu prosedur kerja dan pembinaan profesi unit operasional ini harus dievaluasi
untuk dirumuskan ulang peran konkritnya agar supaya sesuai dengan kebutuhan
kerja.
50
(4) Fungsi-fungsi operasional yang lain, seperti Binamitra, Intelijen, dan Reserse,
harus ditingkatkan fungsi koordinasinya dalam rangka mendukung pelaksanaan
fungsi Sabhara.
(5) Bantuan tenaga Brigade Mobil yang berada di luar struktur operasional Polres
perlu dievaluasi apakah secara koordinatif akan mampu membantu tugas Polres
secara cepat bila diperlukan.
(6) Dalam program pelatihan yang bersifat baru akan diperlukan latihan untuk
pelatih. Dalam kaitan ini sebaiknya calon pelatih tersebut diseleksi di antara para
perwira pertama dan atau perwira menengah yang bertugas di Lemdiklat yang
masih baru (tahun pertama) dalam penempatannya, untuk mengantisipasi bahwa
perwira tersebut masih cukup lama berada di Lemdiklat sehingga akan berfungsi
sebagai pelatih dalam waktu yang relatif lama pula.
51
DAFTAR PUSTAKA
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia,
Buku Petunjuk Lapangan Manajemen Operasional Kepolisian Tingkat Polwil/Tabes dan Polda, Surat Keputusan Kapolri No. Pol. Skep/1540/IX/1998, Tanggal 30 September 1998.
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia,
Buku Petunjuk Lapangan Manajemen Operasional Kepolisian Tingkat Polres/Ta/Tabes, Surat Keputusan Kapolri No. Pol. Skep/1543/IX/1998, Tanggal 30 September 1998.
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia,
Buku Petunjuk Lapangan Manajemen Operasional Kepolisian Tingkat Polsek/Ta, Surat Keputusan Kapolri No. Pol. Skep/1539/IX/1998, Tanggal 30 September 1998.
CEACR, (Indonesia@ref) List of Indonesian Labour Cases CEACR, Cases (s) No(s). 2236, Report No. 331 (Indonesia): Complaint against the
Government of Indonesia presented by the Chemical, Energy and Mine Workers’ Union (Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia – DPP SP Kep SPSI).
Bayley, David H., and James Garofalo, “The Management of Violence By Police Patrol
Officers”, Criminology, Vol. 27, Number 1, 1989. Djajoesman, Noegroho, Komjen. Pol. (Deputi Kapolri Bidang Pendidikan dan Latihan),
“Pembinaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan Latihan Polri untuk Mencapai Perwira Polri Profesional (Dalam Konteks Pendekatan 10 Komponen Dik)”, makalah disampaikan pada Seminar & Lokakarya tentang Pengembangan Kurikulum Pendidikan Perwira Polri, diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian bekerjasama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia, Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, 23 s/d 24 Oktober 2001.
Grant II, Don Sherman, and Michael Wallace, “Why Do Strikes Turn Violent?”,
American Journal of Sociology, Vol. 96, No. 5, March 1991. http://www.polri.go.id/aboutus/brmobggn.php http://www.polri.go.id/aboutus/bimas.php http://www.polri.go.id/aboutus/intel.pdp http://www.polri.go.id/aboutus/sabhara.php
52
http://www.polri.go.id/aboutus/serse.php Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; Standar Hak Asasi Manusia Internasional Untuk Penegak Hukum, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Polri, Agustus 2001.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengesahan ILO
Convention No. 105 Concerning The Abolition of Forced Labour (Konvensi ILO Mengenai Penghapusan Kerja Paksa).
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1999 Tentang Pengesahan ILO
Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja).
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1999 Tentang Pengesahan ILO
Convention No. 111 Concerning Discrimination in Respect of Employment and Occupation (Konvensi ILO Mengenai Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan).
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Konvensi ILO No.
182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
Undang-undang Repubik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Quinn, Patrick, Kebebasan Berserikat dan Perundingan Bersama: Sebuah Studi tentang
Pengalaman Indonesia 1998-2003, International Labour Organization, Jakarta Office, Mei 2003.
Tim Kerja Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Ringkasan Eksekutif Evaluasi Kurikulum
Lembaga Pendidikan Perwira Polri, Jakarta 2001.
53