IMPLEMENTASI PASAL 138 AYAT (2) KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM ACARA PIDANA TENTANG PENGEMBALIAN BERKAS
PERKARA DARI PENUNTUT UMUM KEPADA PENYIDIK
(Studi Di Kejaksaan Negeri Nganjuk)
Penulisan Hukum
(skripsi)
Disusun dan diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Oleh
Lina Rosita
NIM: E0004202
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2008
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum ( Skripsi )
IMPLEMENTASI PASAL 138 AYAT (2) KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA TENTANG PENGEMBALIAN BERKAS
PERKARA DARI PENUNTUT UMUM KEPADA PENYIDIK ( Studi di Kejaksaan Negeri Nganjuk )
Disusun Oleh : LINA ROSITA
NIM : E.0004202
Disetujui untuk Dipertahankan Dosen Pembimbing
Edy Herdyanto, S.H., M.H.
NIP. 131 472 194
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi ) IMPLEMENTASI PASAL 138 AYAT (2) KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA TENTANG PENGEMBALIAN BERKAS
PERKARA DARI PENUNTUT UMUM KEPADA PENYIDIK ( Studi di Kejaksaan Negeri Nganjuk )
Disusun oleh :
LINA ROSITA NIM :E. 0004202
Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada: Hari : Selasa
Tanggal : 29 Januari 2008
TIM PENGUJI
1. Bambang Santoso, S.H., M.Hum.
Ketua
:
…………………………………….
2. Edy Herdyanto, S.H., M.H.
Sekretaris
:
…………………………………….
3. Kristiyadi, S.H., M.H.
Anggota
:
…………………………………….
MENGETAHUI Dekan,
Mohammad Jamin, S.H.,M.Hum NIP. 131 570 154
MOTTO DAN PERSEMBAHAN Motto : v “ Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui
( tanpa ilmu pengetahuan ). Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’ 36)
v “ Dan katakanlah, ‘kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap’.
Sungguh yang batil itu pasti lenyap.” (QS. Al-Isra’ 81)
Sepenuh cinta dalam hati,
Penulisan Hukum ini kupersembahkan krepada: · Bapak ( Alm ) dan Ibu tercinta, yang
telah mencurahkan cinta dan kasih sayangnya tanpa henti, semoga ALLah SWT memberikan balasan surga bagi kalian kelak
· Kakak-kakakku tersayang, semoga hidayah Allah membersamai langkah kita dalam mengarungi hidup.
· Keluarga Drs. Jumali yang telah membuatku tegak berdiri sampai saat ini. Semoga Allah memberikan balasan yang terbaik.
· Semua keluargaku, tiada yang lebih membahagiakan diri ini bila mampu membahagiakan kalian dunia akhirat.
KATA PENGANTAR
Segala Puji bagi Allah S.W.T penguasa seluruh alam atas seluruh nikmat
dan taufik-Nya. Shalawat atas penghulu para rosal, Muhammad SAW, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “IMPLEMENTASI PASAL
138 AYAT (2) KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
TENTANG PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA DARI PENUNTUT
UMUM KEPADA PENYIDIK”.
Penulisan hukum ini disusun dan diajukan guna melengkapi syarat-syarat
untuk memperoleh derajat sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta. Banyak permasalahan dan hambatan baik
secara langsung maupun tidak langsung yang penulis alami dalam menyusun
penulisan hukum ini, namun akhirnya dapat terselesaikan juga berkat bantuan dan
uluran dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati dan
ketulusan mendalam, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Moch. Jamin, S.H.,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Kristiyadi, S.H.,M.Hum. selaku Pembimbing Akademik Penulis
selama penulis menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta, yang selalu memotivasi Penulis untuk segera lulus.
3. Bapak Edy Herdyanto, S.H.,M.H. selaku Ketua Bagian hukum Acara
sekaligus Pembimbing Skripsi. Terimakasih atas bimbingannya selama
penulisan skripsi hingga selesai.
4. Bapak Agoes S. Prasetyo, S.H., M.H. selaku Kepala Kejaksaan Negeri
Nganjuk dan bapak Dwi Setyadi, S.H. selaku kepala Seksi Tindak Pidana
Umum yang telah memberikan ijin penulis untuk melakukan penelitian
dan mengambil data di Kejaksaan Negeri Nganjuk.
5. Bapak dan ibu dosen pengajar di FH UNS serta seluruh kaeyawan dan
karyawati di lingkungan Fakultas hukum Universitas Sebelas Maret.
6. Semua guru-guruku yang telah mengajariku berbagai macam ilmu.
7. Ayahanda Suhadi, semoga mendapatkan tempat terbaik disisi-Nya.
8. Ibunda tercinta Sri Banun, terimakasih yang tiada terhingga atas cinta dan
kasih sayang yang telah kau berikan dengan tulus, kau adalah wanita
terhebat yang pernah ada.
9. Keluarga Drs. Djumali yang telah memberikan kasih sayangnya, sehingga
membuatku berdiri tegak sampai saat ini, semoga di berikan balasan oleh-
Nya dengan balasan yang lebih baik.
10. Keluarga Dachlan, B.A. terima kasih telah menjadikan aku sebagai salah
satu dari anggota keluarga yang penuh rahmat-Nya.
11. Kakak-kakakku tersayang Johan Mustofa, S.H. dan Arif Usman, S.H serta
kakak iparku Naning, M.S.E. S.H. yang selalu membuatku ingin menjadi
orang yang lebih baik kala penulis mengingat kalian.
12. Keluarga besar H. Usman, Bu Puh, Pak Puh, Bulek serta keponakan-
keponakan yang telah memberikan semangat dan energi untuk terus
melangkah.
13. Sahabat-sahabatku Dewi, Dilla, Diana (3D) yang telah menyemangati dan
menemaniku saat suka maupun dukaku, kalian adalah terbaik.
14. Keluarga besar FOSMI yang telah memaknai dan yang telah memberikan
siraman rohani bagi penulis. Irma, Nani, Umi, Mila. Semoga semangat
kalian tak akan pernah redup.
15. Kusumawati Crew Cyla, Whike, Dhini, Vina, Anjar, Mega, Nunik, Yani,
MooT, Beta, M. Anik, WW, dan Ikedo yang jauh diujung sana. Sungguh
kebersamaan kita selama ini begitu indah.
16. Buat teman-temanku Dhaning, Anita, Fadli, Eka “twinsku”, Very, (
semoga sukses dengan MCCnya, Semangatz!!!). dan Andina Elok, Nurul,
Dian Endah, Dian Utami, Deni, Fani, Rika, Anisa, Rosana, Putri Endah,
Putri NH terimakasih atas keceriaan yang telah kau berikan selama ini.
17. Keluarga besar angkatan ’04 yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
18. Semua pihak yang turut membantu serta memperlancar penyusunan
Penulisan Hukum ini. Semoga yang telah diberikan akan mendapat pahala
yang berlipat ganda dari Allah, SWT.
Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum ini jauh dari
kesempurnaan, untuk itu Penulis mengharapkan kritik dan saran ke arah
perbaikan. Semoga Penulisan Hukum ini memberi sedikit banyak manfaat
bagi kita semua, amin.
Surakarta, Januari 2008
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN JUDUL............................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI...........................................................
iii
HALAMAN MOTTO..........................................................................................
iv
ABSTRAK.............................................................................................................
v
KATA PENGANTAR .........................................................................................
vi
DAFTAR ISI.........................................................................................................
ix
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah.............................................................................
1
B. Rumusan Masalah....................................................................................
6
C. Tujuan Penelitian........................................................................................
7
D. Manfaat Penelitian......................................................................................
8
E. Metodologi Penelitian................................................................................
9
F. Sistematika Penulisan Hukum...................................................................
15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................
17
A. Kerangka Teori..........................................................................................
17
1. Tinjauan Tentang Pasal 138 ayat (2)...................................................
17
a. Isi Pasal 138 ayat (2).....................................................................
17
b. Pengertian Prapenuntutan.............................................................
18
2. Tinjauan tentang Berkas Perkara........................................................
19
a. Pengertian berkas perkara.............................................................
19
b. Isi berkas perkara..........................................................................
20
c. Ketentuan Umum berkas perkara.................................................
21
d. Syarat kelengkapan berkas perkara...............................................
22
3. Tinjauan tentang Penyidikan...............................................................
23
a. Pengertian Penyidikan...................................................................
23
b. Pejabat Penyidik............................................................................
24
i. Penyidik Polri...........................................................................
25
ii. Penyidik PNS...........................................................................
28
c. Tugas dan wewenang pejabat Penyidik.........................................
29
i. Penyidik ..................................................................................
29
ii. Penyidik Pembantu..................................................................
30
d. Macam-macam Upaya penyidikan................................................
31
i. Pemeriksaan tersangka............................................................
31
ii Penangkapan...........................................................................
33
iii. Penahanan...............................................................................
35
iv. Penggeledahan........................................................................
40
v. Penyitaan.................................................................................
41
vi. Pemasukan rumah...................................................................
42
vii. Pemeriksaan surat...................................................................
42
viii. Pemeriksaan saksi..................................................................
42
ix. Pemeriksaan ditempat kejadian................................................
43
e. Penyerahan berkas penyidikan......................................................
43
4. Tinjauan tentang Penuntutan...............................................................
47
a. Pengertian Penuntutan...................................................................
47
b. Penuntut Umum.............................................................................
47
c. Tugas dan Wewenang Penuntut Umum.........................................
47
B. Kerangka Pemikiran...................................................................................
49
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN..............................
51
A. Implementasi Pasal 138 ayat (2) KUHAP..................................................
51
B. Kriteria pengembalian berkas perkara........................................................
55
1. Penyerahan berkas perkara tahap pertama............................................
60
2. Penyerahan berkas perkara tahap kedua...............................................
62
C. Masalah yang ada dalam Pengembalian Berkas Perkara oleh Penuntut
Umum kepada
Penyidik.......................................................................................... 67
D. BAB IV PENUTUP...................................................................................
72
1. Kesimpulan...........................................................................................
72
2. Saran.....................................................................................................
73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah Negara hukum, Demikian penegasan pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945. Dengan predikat sebagai negara yang
berdasarkan atas hukum tersebut, maka segala tindakan negara harus
didasarkan atas hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Dalam negara hukum terdapat aparat penegak hukum yang berfungsi
sebagai penegak hukum dan menciptakan keadaan yang adil dan tentram.
Aparat penegak hukum tersebut terdiri dari polisi, hakim dan jaksa. Dalam
menjalankan tugasnya mereka mempunyai peran dan tugas masing-masing
yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Ditinjau dari segi
manajemen, pelaksanaan penegakan hukum yang melibatkan beberapa
instansi organisasi dalam proses pelaksanaan sesuai dengan fungsi dan
wewenang masing-masing, jelas memerlukan “modifikasi” pola dan
“klarifikasi”. Namun dalam peningkatan modifikasi dan klarifikasi fungsi dan
wewenang, jangan sampai menimbulkan instansi sentris.
Setiap instansi aparat harus merupakan subsistem yang mendukung total
sistem proses penegakan hukum dalam suatu kesatuan menyeluruh, serta harus
dipikirkan langkah-langkah yang menuju suatu pelembagaan alat-alat
kekuasaan penegak hukum dalam suatu pola law enforcement centre, yaitu
suatu lembaga yang menghimpun mereka dalam sistem penegakan yang
terpadu dalam suatu sentra penegakan hukum. Dalam sentra tadilah
berlangsung proses penegakan hukum, mulai dari penyidikan, penuntutan, dan
peradilan. Sehingga dalam penertiban aparat, yang pertama dulu dilakukan
ialah tindakan pembentukan dan penjernihan fungsi dan wewenang diantara
sesama instansi aparat penegak hukum. Kalau ini sudah terbentuk dan
terjernihkan, baru menyusul pembagian tugas dan wewenang yang jelas dalam
lingkungan interen instansi yang bersangkutan (Yahya Harahap, 2002: 62).
Pengaturan terhadap pelaksanaan tersebut diatur dalam hukum pidana dan
hukum acara pidana. Hukum pidana adalah semua peraturan-peraturan yang
meliputi seluruh peraturan yang jika diancam dengan hukuman badan atau
denda (Moch. Faisal salam, 2001:2).
Dalam rangka memelihara dan mempertahankan tata tertib dan keamanan
negara, tidak cukup hanya diatur oleh hukum pidana saja. Karena, agar pelaku
kejahatan dapat diajukan kemuka sidang pengadilan, harus melalui prosedur
tertentu yang diatur oleh peraturan tersendiri. Ketentuan-ketentuan perundang-
undangan yang mengatur prosedur agar pelaku pelanggaran dan kejahatan
dapat dihadapkan kemuka sidang pengadilan dinamakan hukum pidana formil.
Dengan kata lain hukum pidana formil adalah kumpulan peraturan-peraturan
hukum yang memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur hal-hal sebagai
berikut:
1. Tindakan-tindakan apa yang harus diambil apabila ada dugaan, bahwa
telah terjadi suatu tindak pidana dilakukan oleh seseorang.
2. Apabila benar telah terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang, maka perlu diketahui, siapa pelakunya dan cara bagaimana
melakukan penyelidikan terhadap pelaku.
3. Apabila telah diketahui pelakunya maka penyelidik perlu menangkap,
menahan kemudian dilanjutkan dengan pemeriksan permulaan atau
dilakukan penyidikan.
4. Untuk membuktikan apakah tersangka benar-benar melakukan suatu
tindak pidana, maka perlu mengumpulkan barang-barang bukti,
menggeledah badan dan tempat-tempat serta menyita barang-barang bukti
yang diduga ada hubungannya dengan perbuatan tersebut.
5. Setelah selesai dilakukan pemeriksaan permulaan atau penyidikan oleh
polisi, maka berkas perkara diserahkan pada Kejaksaan Negeri,
selanjutnya pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap terdakwa oleh
hakim sampai dapat dijatuhkan pidana (Moch. Faisal Salam, 2001:3).
Sedangkan hukum acara pidana sebagai pelaksana hukum pidana
mengandung pengertian norma hukum berwujud wewenang yang diberikan
kepada negara untuk bertindak, apabila ada persangkaan terjadinya
pelanggaran hukum pidana. Jadi hukum acara pidana harus dapat membatasi
kekuasaan penguasa agar tidak menjadi sewenang-wenang di satu pihak dan di
lain pihak kekuasaan penguasa merupakan jaminan bagi berlakunya hukum,
sehingga hak-hak asasi manusia terjamin.
Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan
atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan
ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk
mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hukum, dan selanjutnya memeriksa pemeriksaan dan putusan dari
pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah
dilakukan dan apakah orang yang didakwa tersebut dapat dipersalahkan
(Moch. Faisal Salam, 2001:1).
Dalam hukum acara pidana ada suatu proses awal yang menyertai sebelum
acara persidangan, yaitu penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dalam hal
ini adalah wewenang Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dan penuntutan
dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Berdasarkan pasal 1 butir 2
KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981), penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Sedangkan jaksa (Jaksa Penuntut Umum) dalam melakukan penuntutan
diberikan wewenang-wewenang dan didalam materi Bab IV KUHAP
wewenang tersebut dapat diinventarisir antara lain sebagai berikut:
1. Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik telah mulai
melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindakan pidana
pasal 109 ayat (1) dan pemberitahuan baik dari penyidik maupun penyidik
PNS (Pegawai Negeri Sipil), yang dimaksud oleh pasal 6 ayat (1) huruf b
mengenai penyidikan dihentikan demi hukum.
2. Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama dan kedua
sebagaimana dimaksud oleh pasal 8 ayat (3) huruf a dan b. Dalam hal
acara pemeriksaan singkat menerima berkas perkara langsung dari
penyidik pembantu (pasal 12).
3. Mengadakan pra penuntutan (pasal 14 huruf b) dengan memperhatikan
ketentuan materi pasal 110 ayat (3), (4), dan pasal 138 ayat (1), dan (2).
4. Memberikan perpanjangan penahanan (pasal 24 ayat (2), pasal 25 dan
pasal 29), melakukan penahanan kota (pasal 22 ayat (3)), serta
mengalihkan jenis penahanan (pasal 23).
5. Atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan penangguhan
penahanan serta dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal
tersangka atau terdakwa melanggar syarat yang ditentukan (pasal 31).
6. Mengadakan penjualan lelang barang sitaan yang lekas rusak atau
membahayakan karena tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan
pengadilan terhadap perkara itu memperoleh kekuatan hukum tetap atau
mengamankannya dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya (pasal
45 ayat (1)).
7. Melarang atau mengurangi kebebasan hubungan antara Penasehat Hukum
dengan tersangka sebagai akibat disalahgunakan haknya (pasal 70 ayat (4),
mengawasi hubungan antara Penasehat Hukum dengan tersangka tanpa
mendengar isi pembicaraan (pasal 71 ayat (1)) dan dalam hal kejahatan
terhadap keamanan negara dapat mendengar isi pembicaraan tersebut
(pasal 71 ayat (2)). Pengurangan kebebasan hubungan antara Penasehat
Hukum dan tersangka tersebut dilarang apabila perkara telah dilimpahkan
oleh Penuntut Umum untuk disidangkan (pasal 74).
8. Meminta dilakukan pra peradilan kepada ketua Pengadilan Negeri untuk
menerima sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan oleh Penyidik
(pasal 81). Pasal ini dimaksudkan untuk menegakkan hukum, keadilan dan
kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal.
9. Dalam perkara koneksitas, karena perkara pidana itu harus diadili oleh
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, maka penuntut umum
menerima penyerahan perkara dari oditur militer dan selanjutnya dijadikan
dasar untuk mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan yang
berwenang (pasal 91 ayat (1)).
10. Menentukan sikap, apakah suatu berkas perkara telah memenuhi
persyaratan atau tidaknya untuk dilimpahkan ke Pengadilan (pasal 139).
11. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
selaku Penuntut Umum (pasal 14 huruf i). Yang dimaksud tindakan lain
ahli meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan tindakan lain ialah
meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan memperhatikan secara
tegas batas wewenang dan fungsi antara Penyidik, Penuntut Umum dan
pengadilan.
12. Apabila Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat
dilakukan penuntutan, maka dalam waktu secepatnya ia membuat surat
dakwaan (pasal 140 ayat (1)).
13. Membuat surat penetapan penghentian penuntutan pasal 140 ayat (2) huruf
a, dikarenakan:
a. tidak terdapat cukup bukti,
b. peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana,
c. perkara ditutup demi hukum.
Sehingga Penyidik pada finalnya menyerahakan berkas hasil penyelidikan
kepada Penuntut Umum. Itu sebabnya, seandainya Penuntut Umum
berpendapat pemeriksaan belum sempurna, dan belum dapat diajukan ke
persidangan pengadilan, berkas dikembalikan kepada Penyidik untuk
menambah dan menyempurnakan penyidikan sesuai dengan petunjuk yang
diberikan Penuntut Umum (Yahya Harahap, 1985: 357).
Oleh karena itu dapat dipahami bahwa antara Penyidik dan Penuntut
Umum serta Hakim dalam rangka melaksanakan penegakan hukum di bidang
hukum acara pidana ini dapatlah dikatakan sebagai suatu kegiatan yang satu
sama lain saling menunjang. Sehingga tak jarang dalam menjalankan tugasnya
sering terjadi beda penafsiran terhadap suatu pasal dalam ranah hukum. Dalam
sebuah majelis hakim, misalnya, kerap terjadi perbedaan pendapat antara
sesama anggota sehingga muncul dissenting yang dituangkan dalam putusan.
Begitu juga dalam konteks hubungan Penyidik dan Penuntut Umum, beda
penafsiran yang kerap terjadi diantara mereka seringkali berakibat bolak-
baliknya berkas perkara. Sehingga tidak jarang satu perkara yang dilimpahkan
penyidik ke Penuntut Umum dalam proses pra penuntutan, bisa memakan
waktu lebih dari enam (6) bulan.
Padahal Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana kita telah mengatur
secara tegas dalam pasal 138 ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Dalam hal
hasil penyidikan ternyata belum lengkap, Penuntut Umum mengembalikan
berkas perkara kepada Penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus
dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal
penerimaan berkas, Penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas
perkara itu kepada Penuntut Umum.” Oleh karena itu penulis menuangkan
tulisan dalam penulisan hukum yang berjudul yaitu:
“IMPLEMENTASI PASAL 138 AYAT (2) KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM ACARA PIDANA TENTANG PENGEMBALIAN BERKAS
PERKARA OLEH PENUNTUT UMUM KEPADA PENYIDIK (Studi di
Kejaksaan Negeri Nganjuk)”
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk
mempermudah penulis dalam membatasi masalah yang akan diteliti sehingga
tujuan dan sasaran yang akan dicapai menjadi jelas, terarah dan mendapatkan
hasil yang diharapkan.
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan diatas maka dapat
dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah implementasi pasal 138 ayat (2) Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana di Kejaksaan Negeri Nganjuk?
2. Apa kriteria pengembalian berkas perkara oleh Penuntut Umum di
Kejaksaan Negeri Nganjuk?
3. Apa masalah yang ada dalam pengembalian berkas perkara pidana oleh
Penuntut Umum kepada Penyidik?
C. Tujuan Penelitian.
Dalam suatu kegiatan penelitian tentunya harus mempunyai tujuan-tujuan
tertentu, sehingga dari penelitian yang dilakukan dapat memberikan data yang
akurat sehingga dapat memberikan manfaat dan mampu menyelesaikan
masalah. Berdasarkan landasan tersebut, maka penelitian ini mempunyai
tujuan:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui tentang pelaksanaan dari pasal 138 ayat (2) Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana di Kejaksaan Negeri Nganjuk.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi kriteria
dikembalikannya berkas perkara Penuntut Umum kepada Penyidik di
Kejaksaan Negeri Nganjuk.
c. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang dialami,
sehingga mengakibatkan suatu berkas perkara dikembalikan Penuntut
Umum kepada Penyidik.
2. Tujuan subyektif
a. Untuk menambah serta mengembangkan pengetahuan yang didapat
penulis selama di bangku kuliah.
b. Untuk memeperdalam pengetahuan penulis mengenai hukum acara
pidana, khususnya tentang pengembalian berkas berkara serta
prapenuntutan.
c. Untuk memperoleh data-data yang akan digunakan dalam penyusunan
penulisan hukum sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
kesarjanaan dalam Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret.
D. Manfaat Penelitian.
Dari penelitian yang dilakukan diharapkan dapat diambil manfaatnya,
antara lain:
1. Manfaat Teoritis
a. Dimaksudkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap ilmu
pengetahuan di bidang hukum pada umumnya, dan hukum acara
pidana pada khususnya.
b. Diharapkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat
memberikan gambaran yang nyata mengenai proses pra penuntutan
dalam hal ini mengenai proses pengembalian berkas perkara
berdasarkan pasal 138 ayat (2) KUHAP.
2. Manfaat praktis
a. Untuk mengembangkan daya pikir dan analisis yang akan membentuk
pola pikir dinamis, sekaligus untuk mencocokkan bidang keilmuan
yang selama ini diperoleh dalam teori dengan praktek.
b. Dapat memberikan data dan informasi tentang pelaksanaan
prapenuntutan dalam khususnya mengenai prosedur pengembalian
berkas perkara berdasarkan pasal 138 ayat (2) KUHAP.
c. Memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti.
E. Metodologi Penelitian.
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa,
dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten
(Soerjono Soekanto, 1986: 42). Sedangkan penelitian hukum dilakukan untuk
mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul, dengan hasil yang dicapai
adalah untuk memberikan deskripsi mengenai apa yang seyogianya ada atas
isu yang diajukan (Peter Mahmudi Marjuki, 2006:41).
Agar data dari suatu penelitian yang diperoleh dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah perlu adanya ketepatan dalam memilih
metode penelitian supaya sesuai dan mengenai pada masalah yang menjadi
obyek penelitian. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode
penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian.
Penelitian ini termasuk penelitian hukum empiris, yaitu suatu
penelitian yang berusaha mengidentifikasikan hukum yang terdapat dalam
masyarakat dengan maksud untuk mengetahui gejala-gejala lainnya
(Soerjono Soekanto, 1986: 10, 15). Dalam penelitian ini penulis akan
mendeskripsikan mengenai implementasi Pasal 138 ayat (2) KUHAP
tentang pengembalian berkas perkara oleh Penuntut Umum kepada
Penyidik di Kejaksaan Negeri Nganjuk.
2. Sifat Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini dipilih penelitian yang bersifat
deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksud untuk memberi data yang
seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya
(Soerjono Soekanto, 1986:10). Dalam penelitian ini, penulis ingin
menemukan dan memahami gejala-gejala yang diteliti dengan cara
penggambaran yang seteliti-telitinya untuk mendekati obyek penelitian
maupun permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, yaitu mengenai
implementasi Pasal 138 ayat (2) KUHAP tentang pengembalian berkas
perkara dari Penuntut Umum kepada Penyidik di Kejaksaan Negeri
Nganjuk.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian dengan judul “Implementasi Pasal 138 ayat (2) KUHAP
tentang pengembalian berkas perkara dari Penuntut Umum kepada
Penyidik (studi di Kejaksaan Negeri Nganjuk)” ini dilakukan dengan
mengambil lokasi penelitian di kantor Kejaksaan Negeri Nganjuk yang
beralamat di Jl. Dermojoyo Nomor. 24 Nganjuk. Pengambilan lokasi ini
dengan pertimbangan bahwa sumber data yang dimungkinkan dan
memungkinkan untuk dilakukan penelitian.
4. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini
bersifat kualitatif, yaitu pendekatan yang digunakan oleh peneliti dengan
mendasarkan pada data-data yang dinyatakan responden secara lisan atau
tertulis, dan juga perilakunya yang nyata, diteliti, dipelajari sebagai suatu
yang utuh. Dengan menggunakan data yang dinyatakan secara verbal dan
kualifikasinya bersifat teoritis yang diolah dan ditarik kesimpulannya
dengan metode berfikir induktif. Penyajian secara induktif adalah metode
penyajian yang mendasarkan pada hal-hal yang bersifat umum untuk
kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
5. Jenis Data
Dalam sebuah penelitian suatu data dibedakan menjadi dua yaitu: data
yang diperoleh langsung dari masyarakat dan dari bahan pustaka. Yang
pertama disebut data primer atau data dasar (primary data atau basic
data), dan data yang kedua dinamakan data sekunder (secondary data).
Data primer diperoleh dari sumber pertama, yaitu perilaku warga
masyarakat melalui penelitian. Data sekunder, antara lain mencakup
dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang
berwujud laporan, buku-buku harian, dan seterusnya. (Soerjono Soekanto,
1986: 12)
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Data Primer.
Merupakan data atau fakta-fakta yang diperoleh langsung melalui
penelitian di lapangan termasuk keterangan dari responden yang
berhubungan dengan obyek penelitian dan praktek yang dapat dilihat
serta berhubungan dengan objek penelitian. Adapun yang termasuk
dalam data primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara
terhadap Pejabat terkait yang berkaitan dengan pengimplementasian
Pasal 138 ayat 2 KUHAP tentang pengembalian berkas perkara oleh
Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Nganjuk.
b. Data Sekunder
Merupakan data yang tidak secara langsung diperoleh dari lokasi
penelitian, atau keterangan-keterangan yang secara tidak langsung
diperoleh tetapi cara diperolehnya melalui studi pustaka, buku-buku
literatur, dokumen-dokumen, peraturan perundang-undangan, dan
sumber-sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian
hukum ini.
6. Sumber Data Penelitian.
Berdasarkan jenis data, maka dapat ditentukan sumber data yang
digunakan untuk penelitian, sehingga untuk memperoleh data dan
informasi yang berkaitan dengan arah penelitian ini, sumber data yang
penulis gunakan adalah:
a. Sumber data primer.
Sumber data primer merupakan sumber data yang terkait langsung
dengan permasalahan yang diteliti. Dalam hal ini yang menjadi sumber
data primer adalah pejabat atau pegawai Kejaksaan Negeri Nganjuk.
b. Sumber data sekunder.
Sumber data sekunder merupakan sumber data yang secara tidak
langsung memberikan keterangan dan bersifat melengkapi sumber data
primer. Dalam hal ini yang menjadi sumber data sekunder adalah
buku-buku ilmiah, peraturan perundang-undangan, dokumen-
dokumen, dan sumber-sumber yang lain yang mendukung penelitian.
7. Tekhnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah tahap yang penting dalam melakukan
penelitian. Alat pengumpul data (instrument) menentukan kualitas data,
dan kualitas data menentukan kualitas penelitian. Karena itu alat
pengumpul data harus mendapat penggarapan yang cermat. Agar data
penelitian mempunyai kualitas yang cukup tinggi, alat pengumpul datanya
harus dapat mengukur secara cermat, harus dapat mengukur apa yang
dapat diukur, dan harus dapat memberikan kesesuaian hasil pada
pengulangan pengukuran. (Amiruddin. 2006: 65)
Dalam rangka mendapatkan data yang tepat, penulis menggunakan
tekhnik pengumpulan data, sebagai berikut:
a. Interview (wawancara)
Wawancara adalah situasi peran antar pribadi bertatap muka, ketika
seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan
dengan masalah yang diteliti kepada seorang responden. (Amiruddin
2006 : 82). Wawancara dilakukan dengan situasi formal maupun
informal.
Wawancara dilakukan terhadap nara sumber, yaitu pejabat atau
pegawai di Kejaksaan Negeri Nganjuk.
b. Studi Kepustakaan
yaitu cara memperoleh data dengan mempelajari data dan
menganalisa atas keseluruhan isi pustaka dengan mengkaitkan pada
permasalahan yang ada. Adapun pustaka yang menjadi acuan adalah,
buku-buku literatur, surat kabar, daftar atau tabel, kamus, peraturan
perundang-undangan, maupun dokumen-dokumen yang berhubungan
dengan permasalahan dalam penulisan hukum ini.
8. Tekhnik Analisis Data
Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode
kualitatif empirik, dimana analisis sudah dilakukan bersama dengan proses
pengumpulan data selanjutnya terus sampai dengan waktu penulisan
laporan dengan menjabarkan data-data yang diperoleh berdasarkan norma
hukum atau kaidah hukum serta doktrin hukum yang akan dikaitkan
dengan permasalahan ini.
Dan apabila dirasakan kesimpulannya kurang, maka perlu ada
verifikasi kembali untuk mengumpulkan data dari lapangan. Untuk lebih
jelasnya, maka akan penulis uraikan model analisis tersebut dalam suatu
bagan atau skema sebagai berikut. “Ketiga komponen tersebut aktifitasnya
berbentuk interaksi baik antar komponen maupun dengan proses
pengumpulan data. Dalam bentuk ini peneliti tetap bergerak di antara
ketiga komponen analisis dengan proses pengumpulan data selama
kegiatan-kegiatan pengumpulan data berlangsung.” (HB. Soetopo,
2002 : 95)
Gambar 1. Bagan Analisis Model Interaktif
Kegiatan dari komponen itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Pengumpulan data
Merupakan proses pengumpulan data yang berupa data primer
yaitu data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian
dilapangan berupa hasil wawancara, informasi, keterangan, dan sikap
atau perilaku serta segala hal yang berhubungan dengan pengembalian
berkas perkara dari Penuntut Umum kepada Penyidik. Selain itu
digunakan pula data sekunder berupa peraturan perundang-undangan,
literatur, makalah, jurnal hukum dan buletin.
b. Data Reduksi.
Merupakan proses pemilahan, pemusatan perhatian kepada
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang
muncul dari catatan tertulis dilapangan dengan menggunakan tolak
ukur perumusan masalah. Reduksi data berlangsung terus menerus
Reduksi Data
Pengumpulan data
Penyajian Data
Penarikan Kesimpulan atau Verivikasi
bahkan sebelum data benar-benar terkumpul sampai sesudah penelitian
dilapangan dan sampai laporan akhir tersusun lengkap.
c. Sajian data.
Merupakan sekumpulan informasi yang memberi kemungkinan
adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
d. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi.
Apabila semua data telah dianggap lengkap dan telah terkumpul,
maka dilakukan penarikan kesimpulan dari apa yang telah diketahui di
awal.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Penulisan hukum ini terbagi dalam empat bab, juga termasuk daftar
pustaka. Masing-masing bab terbagi lagi dalam sub-sub bab. Sistematika
penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :
BAB I: PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan metode penelitian.
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
Dalam Bab II tentang Tinjauan Pustaka ini akan dijelaskan mengenai
Tinjauan Umum tentang Pasal 138 ayat (2), Tinjauan Umum tentang
berkas perkara, Tinjauan Umum tentang Penyidikan, dan Tinjauan
Umum tentang Penuntutan
BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai hasil penelitian dan data dari
lapangan dan kajian pustaka yang diperoleh peneliti. Selain itu, akan
diuraikan pembahasan mengenai implementasi Pasal 138 ayat (2)
KUHAP di Kejaksaan negeri Nganjuk, kriteria-kriteria pengembalian
Berkas Perkara oleh Penuntut Umum kepada Penyidik, dan masalah-
masalah Berkas Perkara dikembalikan oleh Penuntut Umum kepada
Penyidik.
BAB IV: PENUTUP
Dalam bab ini akan dikemukakan tentang kesimpulan dari hasil
penelitian dan saran yang relevan dari peneliti.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Pasal 138 ayat (2) KUHAP
a. Isi Pasal 138 ayat (2) KUHAP
Pasal 138 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
memuat isi yang berbunyi: “ Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum
lengkap, Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik
disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan
dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, Penyidik
harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada Penuntut
Umum.”
Pada lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor:
M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tanggal 4 Februari 1982 Bidang Penyidikan
Bab III, memuat antara lain sebagai berikut:
Kemungkinan selalu terbuka timbulnya permasalahan yang sebenarnya
tidak perlu terjadi yaitu antara lain, sebagai berikut:
1. Dengan tidak ditentukan batas berapa kali penyerahan atau
penyampaian kembali berkas perkara secara timbal balik dari Penyidik
kepada Penuntut Umum atau sebaliknya, maka kemungkinan selalu
bisa terjadi, bahwa atas dasar pendapat Penuntut Umum hasil
penyidikan tambahan dinyatakan belum lengkap, mondar-mandir dari
Penyidik kepada Penuntut Umum atau sebaliknya.
Keadaan demikian jelas tidak menguntungkan tersangka.
Demi kepastian hukum bagi pencari keadilan, maka pengembalian
hasil penyidikan atau hasil penyelidikan tambahan oleh Penuntut
Umum kepada Penyidik, hendaklah ada suatu kriteria pembatasannya,
17
misalnya apabila petunjuk-petunjuk umum yang wajib dilengkapi dan
menyangkut persyaratan unsur pembuktian, baik secara hukum
maupun atas dasar perlindungan dan jaminan hukum terhadap hak
asasi manusia, tindakan pengembalian itu dapat dipertanggungjawabkan.
2. Dalam waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas Penyidik harus
sudah melengkapi hasil penyidikannya sesuai dengan petunjuk
Penuntut Umum, bagaimana bila dalam 14 hari Penyidik belum
berhasil melengkapi hasil penyidikan (Leden Marpaung,1992: 136-
137).
b. Pengertian Prapenuntutan.
Dalam doktrin belum diperoleh kesepakatan tentang pengertian
prapenuntutan. KUHAPpun tidak memberikan batasan pengertian
prapenuntutan. Di dalam Pasal 1 yang berisi definisi-definisi istilah yang
dipakai oleh KUHAP tidak memuat definisi prapenuntutan.
Harjono Tjitrosubomo, advokat senior Indonesia berpendapat:
Polisi menyerahkan berkas yang tidak lengkap atau kurang. Jika
tidak lengkap dikembalikan kepada polisi dengan petunjuk-petunjuk apa
yang kurang dan polisi melengkapi lagi, hal ini merupakan ketentuan-
ketentuan prosedur antara wewenang polisi dan jaksa (Andi Hamzah,
2002:153-154).
Pendapat lain tentang pengertian prapenuntutan adalah
mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik karena ternyata belum
lengkap disertai petunjuk-petunjuk yang akan dilakukan Penyidik. Hal ini
oleh Pasal 14 KUHAP disebut “Prapenuntutan” (Leden Marpaung:1992).
Dalam Pasal 14 butir (b) KUHAP disebutkan bahwa untuk
mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan
dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan
memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari
Penyidik.
Dalam ketentuan yang terdapat dalam pasal 110 KUHAP:
Ayat (3) adalah: dalam hal Penuntut Umum mengembalikan hasil
penyidikan untuk dilengkapi, Penyidik wajib segera melakukan
penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari Penuntut Umum.
Ayat (4) adalah: penyidikan dianggap telah sesuai apabila dalam
waktu empat belas hari Penuntut Umum tidak mengembalikan hasil
penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada
pemberitahuan tentang hal itu dari Penuntut Umum kepada Penyidik.
Sedangkan dalam pasal 138 ayat (2) KUHAP disebutkan dalam
hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, Penuntut Umum
mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik disertai petunjuk tentang
hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas
hari sejak tanggal penerimaan berkas, Penyidik harus sudah
menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada Penuntut Umum.
2. Tinjauan Umum Tentang Berkas Perkara.
a. Pengertian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikeluarkan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tercantum arti berkas sebagai
berikut:
a) Kumpulan
b) Ikatan
c) Bendel (surat-surat) (Balai Pustaka, 1989)
Dalam bahasa Inggris disebut “sheaf”, “bundle” yang diterjemahkan
juga dengan “bungkusan”. Pemberkasan dimaksudkan dikumpulkan atau
diikat dalam satu kesatuan yang menyangkut semua yang berkenaan
dengan perkara tersebut (Leden Marpaung, 1992: 130).
Sedangkan menurut Yahya Harahap yang dimaksud berkas perkara
adalah jilidan berkas acara penyidikan dan lampiran-lampiran yang
bersangkutan.
Pada umumnya urutan-urutan yang terdapat dalam berkas perkara
adalah sebagai berikut:
1. Daftar isi
2. Maksud perkara
3. Resume
4. Laporan/ laporan penyelidikan
5. Surat Perintah Penyelidikan
6. Berita Acara Pemeriksaan di tempat Kejadian Perkara
7. Berita acara Pemeriksaan:
a. saksi
b. ahli
c. tersangka
8. Lampiran-lampiran
9. Daftar barang bukti.
b. Isi dari Berkas Perkara.
Sesuai dengan isi Pasal 75 ayat (1) KUHAP meliputi berita-berita
acara dari serangkaian tindakan-tindakan yang diperlukan selama proses
penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik, sesuai dengan isi pasal 75 ayat
(1) KUHAP, yaitu:
1. Pemeriksaan tersangka
2. Penangkapan
3. Penahanan
4. Penggeledahan
5. Pemasukan Rumah
6. Penyitaan benda
7. Pemeriksaan surat
8. Pemeriksaan Saksi
9. Pemeriksaan ditempat kejadian, dan serangkaian tindakan-tindakan
lain yang sesuai dengan undang-undang ini.
c. Ketentuan Umum tentang Berkas Perkara.
Dalam hal ini Penyidik diharuskan menyesuaikan pemeriksaan
perkara dengan ketentuan pasal undang-undang yang menggariskan
pembuatan berita acara pemeriksaan penyidikan seperti yang ditentukan
dalam pasal 121 KUHAP, yaitu:
“Penyidik atas kekuatan sumpah jabatan segera membuat berita acara
yang diberi tanggal dan memuat tindak pidana yang bersangkutan, dengan
menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan,
nama dan tempat tinggal tersangka dan atau saksi, keterangan mereka,
catatan mengenai akta dan atau benda serta segala sesuatu yang dianggap
perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara.”
Sehingga setelah Penyidik berpendapat segala sesuatu pemeriksaan
yang dianggap cukup, Penyidik “atas kekuatan jabatan” segera membuat
berita acara dengan persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam pasal
121 KUHAP:
1. Memberi tanggal pada berita acara
2. Memuat tindak pidana yang disangkakan dengan menyebut waktu,
tempat, dan keadan sewaktu tindak pidana dilakukan
3. Nama dan tempat tinggal tersangka dan saksi-saksi
4. Keterangan mengenai tersangka dan saksi (umur, agama, dan lain-lain)
5. Catatan segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan
penyelesaian perkara.
d. Syarat Kelengkapan Berkas Perkara
Untuk kelengkapan berita acara harus dihubungkan dengan
ketentuan pasal 75 KUHAP. Hal ini berarti setiap pemeriksaan yang berita
acaranya telah dibuat tersendiri dalam pemeriksaan penyidikan,
dilampirkan dalam pemriksaan penyidikan, dilampirkan dalam berita acara
penyidikan.
Pasal 75 ayat (2)
“Berita acara dibuat oleh pejabat yang bersangkutan dalam melakukan
tindakan tersebut pada ayat (1) dan dibuat atas kekuatan sumpah jabatan.”
Pasal 75 ayat (3)
Berita acara tersebut selain ditandatangani oleh pejabat tersebut pada ayat
(2) ditandatangani pula oleh pejabat tersebut pada ayat (1).
Menurut pasal 75 ayat (2) dan (3) ada ketentuan bahwa berita acara
harus dibuat atas kekuatan sumpah jabatan dan harus ditandatangani oleh
pejabat tersebut dan pihak-pihak yang bersangkutan dengan tindakan yang
terebut dalam ayat (1) pada pasal ini.
Setelah semua berkas perkara dianggap lengkap, biasanya dilakukan
penggandaan sebagian ada yang melaksanakan, sebagian ada yang
menjilid.
Belum ada keseragaman maupun ketentuannya. Biasanya “penyidik”
mengirimkan kepada “penuntut umum” dalam rangkap dua yang
maksudnya 1 (satu) untuk Pengadilan Negeri (Hakim) dan yang satu lagi
diperuntukkan Penuntut Umum. Jika hal tersebut terjadi, sebaiknya
digandakan lagi 1 (satu) eksemplar yang dijadikan berkas yang
manfaatnya untuk pengendalian atas Penuntut Umum yang berfungsi
sebagai “arsip”. Hal yang sama yakni Penyidik wajib menyimpan 1 (satu)
eksemplar berkas perkara sebagai “arsip”.
3. Tinjauan Umum tentang Penyidikan.
a. Pengertian Penyidikan.
Pada Pasal 1 butir 2 KUHAP tercantum:
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.
Tahap penyidikan ini dilakukan setelah selesai dilakukan
penyelidikan dan hasil penyelidikan itu telah pula dilaporkan dan
diuraikan secara rinci, maka dari hasil penyelidikan itu dianggap cukup
bukti-bukti permulaan untuk dilakukan penyidikan, maka tahap
penanganan selanjutnya adalah melakukan penindakan yaitu
dilaksanakannya penyidikan. Dalam hal ini tindakan penyelidikan
penekanannya diletakkan pada tingkatan “mencari dan menemukan
sesuatu peristiwa”.
Tahap ini dilaksanakan setelah yakin bahwa telah terjadi suatu tindak
pidana dan untuk memperjelas segala sesuatu tentang tindak pidana
tersebut diperlukan tindakan-tindakan tertentu yang berupa pembatasan
dan “pelanggaran” hak-hak asasi seseorang yang bertanggung jawab
terhadap terjadinya tindak pidana.
Keyakinan tersebut di atas diperoleh dari hasil penyelidikan
sebelumnya. Menurut istilah hukumnya dari hasil penyelidikan yang telah
dilakukan terdapat bukti permulaan yang cukup kuat bahwa tindak pidana
telah terjadi dan bahwa seseorang dapat dipersalahkan sebagai pelaku
(Moch. Faisal Salam: 49).
Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan
pasti dan jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak-
hak asasi manusia. Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut
penyidikan adalah sebagai berikut:
1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik.
2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik
3. Pemeriksaan di tempat kejadian
4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa
5. Penahanan Sementara
6. Penggeledahan
7. Pemeriksaan atau interogasi
8. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan tempat)
9. Penyitaan
10. Penyampingan perkara
11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya
kepada Penyidik untuk disempurnakan (Andi Hamzah, 2002:118-119).
b. Pejabat Penyidik
Orang yang melakukan penyidikan yang terdiri dari pejabat seperti
yang tercantum dalam Pasal 1 butir 1 KUHAP, Penyidik adalah Pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk
melakukan penyidikan. Kemudian dipertegas dan diperinci lagi dalam
pasal 6 KUHAP yang disebut:
1) Penyidik adalah:
a. pejabat Polisi Negara republik Indonesia,
b. pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus
oleh undang-undang.
2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Selain diatur dalam Pasal 1 butir 1 dan Pasal 6, terdapat lagi Pasal 10 yang
mengatur tentang:
1) Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat (2) pasal ini.
2) Syarat kepangkatan sebagaimana tersebut pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Untuk mengetahui siapa yang dimaksud dengan orang yang berhak
sebagai Penyidik ditinjau dari segi instansi maupun kepangkatan,
ditegaskan dalam Pasal 6 KUHAP. Dalam Pasal tersebut ditentukan
instansi dan kepangktan seorang Pejabat Penyidik. Bertitik tolak dari
ketentuan Pasal 6 dimaksud, yang berhak diangkat sebagai Pejabat
Penyidik:
1. Pejabat Penyidik Polri.
Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, salah satu instansi
yang diberi kewenangan melakukan penyidikan ialah “pejabat Polisi
Negara”. Memang dari segi difrensiasi fungsional, KUHAP telah
meletakkan tanggung jawab fungsi penyidikan kepada instansi
kepolisian. Seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai
Penyidik, harus memenuhi “syarat kepangkatan” sebagaimana hal itu
ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2). Syarat kepangkatan yang diatur
dalam pasal 6 lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah untuk itu,
penjelasan Pasal 6 telah memberi petunjuk supaya dalam menetapkan
kepangkatan Pejabat Penyidik, disesuaikan dengan kepangkatan
Penuntut Umum dan Hakim Pengadilan Negeri.
Peraturan Pemerintah yang mengatur masalah kepangkatan
Pejabat Penyidik sebagaimana yang dikehendaki ketentuan Pasal 6
sudah ada, dan telah ditetapkan pada tanggal 1 Agustus 1983, berupa
PP No. 27 Tahun 1983. Syarat kepangkatan Pejabat Penyidik diatur
dalam bab II. Memperhatikan ketentuan kepangkatan yang diatur
dalam Bab II PP dimaksud, syarat kepangkatan dan pengangkatan
Pejabat Penyidik kepolisian dapat dilihat dalam uraian berikut:
a. Pejabat Penyidik
Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat “penyidik”
harus memenuhi syarat kepangkatan dan pengangkatan:
1. Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi,
2. Berpangkat bintara dibawah Pembantu Letnan Dua apabila
dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat Penyidik yang
berpangkat Pembantu Letnan Dua,
3. Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian RI.
Dari bunyi ketentuan Pasal 2 ayat (2) PP No. 27 Tahun 1983,
sekalipun pada prinsipnya syarat kepangkatan pejabat Penyidik
sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua, namun
mengingat kurangnya tenaga personel yang belum memadai
terutama di daerah-daerah atau kantor sektor kepolisian, Peraturan
Pemerintah memperkenankan jabatan Penyidik dipangku oleh
seorang anggota kepolisian yang “berpangkat bintara”.
Kepangkatan yang serupa ini memang tidak serasi jika ditinjau dari
sudut keseimbangan kepangkatan Penuntut Umum maupun Hakim
yang bertugas di Pengadilan Negeri. Apalagi dari segi kemampuan
pengetahuan hukum seorang bintara kurang dapat
dipertanggungjawabkan segi kemampuan dan pengalaman. Itu
sebabnya sering dijumpai penyidikan yang tidak memadai dan
tidak terarah (Yahya Harahap, 2002: 111).
b. Pejabat Penyidik Pembantu.
Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai “penyidik
pembantu” diatur dalam Pasal 3 PP No. 27 Tahun 1983. menurut
ketentuan ini, syarat kepangkatan untuk dapat diangkat sebagai
pejabat penyidik pembantu:
1. Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi
2. Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara
dengan syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda
(golongan II/a)
3. Diangkat oleh Kepala Kepolisian RI atas usul komandan atau
pimpinan kesatuan masing-masing.
Penyidik pembantu tidak harus terdiri dari anggota polri,
tetapi bisa diangkat dari kalangan Pegawai Negeri Sipil Polri,
sesuai keahlian khusus dalam bidang tertentu yang harus dimiliki.
Berdasarkan logika, dengan adanya pejabat Penyidik, tidak perlu dibentuk
suatu eselon yang bernama penyidik pembantu, sebab secara rasio, dengan
adanya jabatan penyidik berdasarkan syarat kepangkatan tertentu, semua
anggota polri yang berada di bawah jajaran pejabat Penyidik adalah pembantu
bagi pejabat penyidik. Apalagi jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 11
KUHAP yaitu penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut
dalam pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan
dengan pelimpahan wewenang dari Penyidik. Pengklasifikasian antara
Penyidik dengan penyidik pembantu semakin mengherankan. Sebab
berdasarkan ketentuan Pasal 11, penyidik pembantu mempunyai wewenang
yang sama dengan pejabat penyidik, kecuali sepanjang penahanan, wajib
diberikan dengan pelimpahan wewenangnya sebagaimana yang diperinci pada
pasal 7 ayat (1).
Untuk mendapat penjelasan atas klasifikasi Penyidik, mungkin dapat
diterima alasan yang dikemukakan pada buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP,
yang menjelaskan latar belakang urgensi pengangkatan pejabat penyidik
pembantu, yang dapat disimpulkan:
a. Disebabkan terbatasnya tenaga polri yang berpangkat tertentu sebagai
pejabat Penyidik. Terutama daerah-daerah sektor kepolisian di daerah
terpencil, masih banyak yang dipangku pejabat kepolisian yang berpangkat
bintara,
b. Oleh karena itu, syarat kepangkatan Pejabat Penyidik sekurang-kurangnya
berpangkat Pembantu Letnan Dua Polri, sedangkan yang berpangkat
demikian belum mencukupi kebutuhan yang diperlukan sesuai dengan
banyaknya jumlah sektor Kepolisian, hal seperti ini akan menimbulkan
hambatan bagi pelaksanaan fungsi penyidikan di daerah-daerah, sehingga
besar kemungkinan, pelaksanaan fungsi penyidikan tidak berjalan di
daerah-daerah (Yahya Harahap, 2002:112).
2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam pasal 6 ayat (1)
huruf b, yaitu Pegawai Negeri Sipil yang mempunyai fungsi dan
wewenang sebagai Penyidik, pada dasarnya wewenang yang mereka
miliki bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khusus, yang
telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah
satu pasal. Disamping pejabat Penyidik Polri, undang-undang pidana
khusus tersebut memberi wewenang kepada Pejabat Pegawai Negeri
Sipil yang bersangkutan untuk dilakukan penyidikan. Misalnya,
Undang-undang Merek No. 19 Tahun 1992 (diubah menjadi undang-
undang No. 14 tahun 1997). Pasal 80 undang-undang ini menegaskan:
kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana merek yang disebut
dalam pasal 81, 82, dan 83 dilimpahkan kepada PPNS. Demikian juga
yang kita jumpai pada ketentuan Pasal 17 Undang-undanng darurat
No. 7 Tahun 1955, antara lain menunjuk pegawai negeri sipil sebagai
penyidik dalam peristiwa tindak pidana ekonomi. Penyidik pegawai
negeri sipil dalam tindak pidana ekonomi, pelimpahannya diberikan
kepada pejabat duane. Akan tetapi harus diingat, wewenang
penyidikan yang dimiliki oleh pejabat penyidik pegawai negeri sipil
hanya terbatas sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang
diatur dalam Undang-undang tindak pidana khusus itu.
c. Tugas dan Wewenang Pejabat Penyidik.
1. Penyidik
Berdasarkan pasal 1 butir (2) KUHAP tugas pokok dari penyidik adalah:
a. Mencari dan mengumpulakan bukti yang dengan bukti-bukti tersebut
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi.
b. Menemukan tersangka.
Pada Pasal 7 KUHAP, diberikan kewenangan-kewenangan melaksanakan
kewajibannya sebagai berikut:
1). Penyidik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Karena kewajibannya mempunyai wewenang:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana.
b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian,
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal dari tersangka
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan,
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat,
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang,
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara,
i. Mengadakan penghentian penyidikan,
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggungjawab.
2). Melakukan koordinasi dan pengawasan baik Penyidik pejabat
kepolisian maupun Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
(Pasal 107 ayat 2 KUHAP)
3). Wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku (Pasal 7)
4). Membuat berita acara setiap pemeriksaan tindakan:
a. Berita Acara Pemeriksaan Tersangka
b. Berita Acara Penangkapan
c. Berita Acara Penahanan
d. Berita Acara Penggeledahan
e. Berita Acara Pemasukan Rumah
f. Berita Acara Penyitaan Benda
g. Berita Acara Pemeriksaan Surat
h. Berita Acara Pemeriksaan Saksi
i. Berita Acara Pemeriksaan ditempat kejadian
j. Berita Acara Pelaksanaan Penetapan
k. Berita Acara Pelaksanaan tindakan lainnya (Pasal 8 ayat 1, jo. Pasal
75)
5). Penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum.
2. Penyidik Pembantu
Wewenang dan kewajiban Penyidik Pembantu diatur dalam Pasal 11
dan 12 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut:
Penyidik Pembantu mempunyai wewenang seperti diatur dalam Pasal
11 KUHAP, yaitu: Penyidik Pembantu mempunyai wewenang seperti
tersebut dalam pasal 7 ayat (1) mengenai penahanan yang wajib diberikan
dengan pelimpahan wewenang dari Penyidik. Sedangkan berdasarkan
Pasal 12 KUHAP tugas Penyidik Pembantu adalah membuat berita acara
dan penyerahan berkas perkara kepada Penyidik, kecuali dalam acara
pemeriksaan singkat yang dapat langsung diserahkan kepada Penuntut
Umum.
d. Macam-macam Upaya Penyidikan.
1. Pemeriksaan Tersangka.
Dalam proses penyidikan keterangan tersangka menjadi sangat
penting, karena dengan keterangan tersangkalah akan diketahui peristiwa
tindak pidana yng sesungguhnya yang sedang diperiksa. Namun
demikian perlakuan terhadap seorang tersangka juga harus diperhatikan.
Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki
harkat martabat, yaitu sebagai subyek pemeriksaan bukan selaku objek
pemeriksaan. Selain itu tersangka, harus dianggap tidak bersalah, sesuai
dengan prinsip hukum “praduga tidak bersalah” atau persumtion of
innoccent sampai putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap. Berdasarkan asas ini maka KUHAP pada Bab 6 yaitu pasal
50 s/d pasal 68 memuat hak-hak tersangka/terdakwa, antara lain:
a. Berhak segera diproses perkaranya yakni tingkat penyidikan, tingkat
penuntutan maupun tingkat persidangan (pasal 50 KUHAP).
b. Berhak mengetahui dengan jelas yang disangkakan/didakwakan
padanya (pasal 51 KUHAP)
c. Berhak mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan
(pasal 54 KUHAP).
d. Berhak memberi keterangan secara bebas (pasal 52 KUHAP).
e. Tersangka/terdakwa yang ditahan berhak:
1) meneriman kunjungan dokter
2) menerima kunjungan rohaniawan
3) menerima kunjungna sanak keluarga
f. Berhak mengajukan saksi-saksi yang menguntungkan dirinya
g. Berhak ganti rugi dan rehabilitasi jika ternyata tidak bersalah.
Pasal 1 butir 14 dinyatakan: “Tersangka adalah seorang yang karena
perbuatannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku
tindak pidana”. Rumusan diatas pada rumusan resmi tertulis “cukup
jelas” dari segi ilmu hukum pidana, rumusan tersebut tidak tepat, karena
bukan “pelaku tindak pidana” saja yang dapat jadi tersangka. Oleh
kartena itu Prof. Pompe menyatakan bahwa yang harus dipandang
sebagai pelaku itu adalah semua orang yang disebut dalam pasal 55
KUHP yaitu:
1). Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
a. mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan, dan yang turut
serta melakukan perbuatan,
b. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan,
ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan,
sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya
melakukan perbuatan.
2). Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan
sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Cara pemeriksaan terhadap tersangka dilakukan dari segi yuridis, yaitu:
a. Jawaban atau keterangan yang diberikan tersangka kepada Penyidik,
diberikan tanpa tekanan dari siapapun juga dan dalam bentuk apapun.
Sesuai Pasal 117 ayat (1) KUHAP.
b. Penyidik mencatat sedetil-detilnya keterangan tersangka.
(1) Sesuai dengan rangkaian kata-kata yang dipergunakan tersangka
(Pasal 117 ayat (2))
(2) Dicatat dalam berita acara pemeriksaan tersangka oleh Penyidik,
dan Penyidik menanyakan atau meminta persetujuan tersangka
tentang isi berita acara pemeriksaan tersangka tersebut
(3) Apabila tersangka telah menyetujuinya tersangka dan Penyidik
membubuhkan tanda tangan pada berita acara tersebut
(4) Apabila tersangka tidak mau menandatangani dalam berita acara
pemeriksaan, Penyidik dapat membuat catatan yang menjelaskan
kenapa tersangka tidak mau menandatangani berita acara tersebut
(5) Jika tersangka hendak diperiksa bertempat tinggal diluar daerah
hukum Penyidik, Penyidik dapat membebankan pemeriksaan
kepada Penyidik yang berwenang di daerah tempat tinggal
tersangka atau “pendelegasian penyidikan” (Pasal 113 KUHAP)
(6) Pemeriksaan tersangka ditempat tinggal tersangka dilakukan
dengan cara, yaitu Penyidik datang sendiri ke tempat tinggal
tersangka dengan alasan yang patut dan wajar, tidak dapat datang
ke tempat pemeriksan yang ditentukan Penyidik.
Tentang hak tersangka memberi keterangan dengan bebas oleh para
pakar sependapat bahwa tersangka tidak mau/diam/tidak mau bicara
mencakup pengertian ini hanya menurut doktrin, tersangka/terdakwa yang
tidak mau menjawab pertanyaan akan diambil kesimpulan yang merugikan
tersangka/terdakwa (Leden Marpaung, 1992: 45)
2. Penangkapan.
Pasal 1 butir 20 KUHAP menerangkan bahwa, “Penangkapan adalah
suatu tindakan Penyidik berupa pengekangan sementara waktu
kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan atau peradilan dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Cara-cara penangkapan diatur dalam:
Pasal 16 ayat (2) KUHAP
Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik dan Penyidik Pembantu
berwenang melakukan penangkapan.
Pasal 17 KUHAP
Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan.
Pasal 18 KUHAP
1. Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian
Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta
memberikan kepada tersangka Surat Perintah Penangkapan yang
mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan
penangkapan dan uraian singkat perkara kejahatan yang
dipersangkakan serta tempat tersangka diperiksa.
2. Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dilakukan tanpa surat
perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera
menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada
Penyidik atau Penyidik Pembantu terdekat.
3. Tembusan Surat Perintah Penangkapan sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat (1) harus segera diberikan kepada keluarganya segera
setelah dilakukan penangkapan.
Pasal 19 KUHAP
1. Penangkapan sebagaimana dimaksud pasal 17, dapat dilakukan
untuk paling lama satu hari.
2. Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan
kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut
tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah
Ketentuan dalam pasal 19 ayat (1) KUHAP menyebutkan batas
waktu lamanya penangkapan tidak boleh lebih dari “satu hari”. Lewat
dari satu hari berarti telah terjadi pelanggaran hukum, dan dengan
sendirinya penangkapan dianggap “tidak sah”, konsekuensinya,
tersangka harus dibebaskan demi hukum. Atau jika batas waktu itu
dilanggar, tersangka, penasehat hukumnya, atau keluarga dapat meminta
pemeriksan kepada praperadilan tentang sah tidaknya penangkapan dan
sekaligus dapat menuntut ganti rugi.
3. Penahanan
Pasal 1 butir 21 KUHAP menyatakan, Penahanan adalah penempatan
tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh Penyidik atau Penuntut
Umum atau Hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini.
Pengaturan penahanan yang dilakukan oleh Penyidik dan Penuntut
Umum, maupun hakim dalam KUHAP, adalah:
Pasal 20
2. untuk kepentingan penyidikan, Penyidik atau Penyidik Pembantu atas
perintah Penyidik, sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 berwenang
melakukan penahanan.
3. untuk kepentingan penuntutan, Penuntut Umum berwenang melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan.
4. untuk kepentingan pemeriksaan Hakim disidang pengadilan dengan
penetapannya berwenang melakukan penahanan.
Pasal 21
1. Perintah penahanan atau penahanan lanjutan terhadap seorang terangka
atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana keadaan
yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan
melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau
mengulangi tindak pidana.
2. Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh Penyidik atau
Penuntut Umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan
Surat Perintah Penahanan atau penetapan Hakim yang mencantumkan
identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan
serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau
didakwakan serta tempat ia ditahan.
3. Tembusan Surat Perintah Penahanan atau penahanan lanjutan atau
penetapan Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus
diberikan kepada keluarganya.
4. Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau
terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun
pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut, dalam hal:
a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun lebih.
b. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat (3),
pasal 296, pasal 225 ayat (1), pasal 351 ayat (1), pasal 353 ayat (1),
pasal 371, pasal 378, pasal 379, pasal 453, pasal 454, pasal 455,
pasal 459, pasal 480, dan pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, pasal 25 dan pasal 26 rechtordonantie (pelanggaran
ordonansi Bea dan Cukai, yang diubah dengan Staatblad tahun
1931 nomor 471), pasal 1, pasal 2, dan pasal 4 Undang-undang
Tindak Pidana Imigrasi (undang-undang No. 8 Drt. Tahun 1955,
Lembaran Negara tahun 1955 No. 8), pasal 30 ayat (7), pasal 41,
pasal 42, pasal 43, pasal 47, pasal 48 UU No. 9 Tahun 1976
tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 No. 37,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).
Pasal 22
1. Jenis penahana dapat berupa:
a. Penahanan Rumah Tahanan Negara
b. Penahanan rumah
c. Penahanan kota.
2. Penahanan rumah dilaksanakan dirumah tempat tinggal atau rumah
kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan
terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat
menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan, atau
pemeriksaan di sidang pengadilan.
3. Penahanan kota dilakukan dikota tempat tinggal atau kediaman
tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau
terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan.
4. Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari
pidana yang dijatuhkan.
5. Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima dari jumlah
lamanya waktu penahanan rumah sepertiga dari jumlah lamanya waktu
penahanan.
Pasal 23.
1. Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim berwenang untuk
mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang
lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 22.
2. Pengalihan jenis penahanan dinyatakan secara tersendiri dengan surat
perintah dari Penyidik atau Penuntut Umum atau penetapan Hakim
yang tembusannya diberikan kepada tersangka atau terdakwa serta
keluarga dan kepada instansi yang berkepentingan.
Pasal 24
1. Perintah penahanan yang diberikan kepada Penyidik sebagaimana
dimaksud dalam pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari.
2. Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan
guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang
oleh Penuntut Umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh
hari.
3. Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2), tidak
menutup kemungkinan tersangka ditahan sebelum berakhir waktu
penahanan, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
4. Setelah waktu lima puluh hari tersebut, Penyidik harus sudah
mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.
Pasal 25
1. Perintah penahanan yang diberikan oleh Penuntut Umum sebagaimana
dimaksud dalam pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari.
2. Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan
guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang
oleh Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang untuk paling lama tiga
puluh hari.
3. Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum
berakhir waktu penahanan, jika kepentingan pemeriksaan sudah
terpenuhi.
4. Setelah waktu lima puluh hari tersebut, Penyidik harus sudah
mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.
Pasal 26
1. Hakim Pengadilan Negeri yang mengadili perkara sebagaimana
dimaksud dalam pasal 84, guna kepentingan pemeriksaan berwenang
mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh
hari.
2. Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan
guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang
oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk paling lama
enam puluh hari.
3. Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (10) dan (2) tidak menutup
kemungkinana dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir
waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah
terpenuhi.
4. Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum
diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Pasal 27
1. Hakum Pengadilan Tinggi yang mengadili perkara sebagaimana
dimaksud dalam pasal 87, guna kepentingan pemeriksaan banding
berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama
tigapuluh hari
2. Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan
guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang
oleh Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan paling lama enam
puluh hari.
3. Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum
berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan
sudah terpenuhi.
4. Setelah waktu sembilan puluh hari walaupunn perkara tersebut belum
diputus, terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Pasal 28
Perintah dan perpanjangan penahanan oleh MA pada perkara yang
dimintakan kasasi.
Pasal 29
Perpanjangan penahanan seperti yang dimaksud dalm pasal 24, 25, 26, 27,
dan 28 beserta alasan yang dimungkinkan menurut undang-undang ini.
Tenggang waktu penahanan adalah sebagai berikut:
1. Penyidikan:
a. 20 hari
b. Diperpanjang Penuntut Umum: 40 hari
c. Diperpanjang Ketua Pengadilan Negeri 2 kali, masing-masing: 30
hari
2. Penututan:
a. 20 hari
b. Diperpanjang Ketua Pengadilan negeri: 30 hari
c. Diperpanjang Ketua Pengadilan Negeri: 2 kali, masing-masing: 30
hari.
3. Pemeriksaan di Pengadilan Negeri:
a. 30 hari
b. Diperpanjang Ketua Pengadilan Negeri: 60 hari
c. Diperpanjang Ketua Pengadilan Tinggi 2 kali, masing- masing: 30
hari.
4. Pemeriksaan Banding.
a. 30 hari
b. Diperpanjang Ketua Pengadilan Tinggi: 60 hari
c. Diperpanjang Mahkamah agung 2 kali, masing-masing: 30 hari.
5. Pemeriksaan Kasasi
a. 50 hari
b. Diperpanjang Ketua Mahkamah Agung: 60 hari
c. Diperpanjang Mahkamah agung 2 kali, masing-masing: 30 hari
6. Pemeriksaan penyidikan tindak pidana Subversi
- Jaksa Agung: 1 tahun
Pasal 30
Ganti kerugian apabila ada kesalahan penahanan.
Pasal 31 tentang penangguhan penahanan.
4. Penggeledahan.
Penggeledahan rumah berdasarkan Pasal 1 butir 17 KUHAP adalah
tindakan Penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat
tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau
penangkapan dalam hal dan menurut acara yang diatur dalam undang-
undang ini.
Penggeledahan badan berdasarkan Pasal 1 butir 8 KUHAP adalah
tindakan Penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian
tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau
dibawanya serta untuk disita.
Dalam keadaan mendesak, ketika Penyidik harus bertindak dan tidak
mungkin untuk mendapatkan surat ijin terlebih dahulu, dapat melakukann
penggeledahan:
a. Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada
dan yang ada di atasnya.
b. Pada setiap lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada.
c. Di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya.
d. Di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.
5. Penyitaan.
Penyitaan berdasarkan Pasal 1 butir 16 KUHAP adalah serangkaian
tindakan Penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah
penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam suatu penyidikan. Dalam
melakukan penyitaan harus mendapatkan ijin dari Ketua Pengadilan
Negeri setempat, namun apabila tertangkap tangan, Penyidik dapat
menyita benda dan alat yang ternyata atau patut diduga telah dipergunakan
untuk melakukan tindakan pidana atau benda lain sebagai barang bukti
tanpa perlu surat ijin dari Ketua Pengadilan setempat, tetapi langsung
membuat berita acara yang ditandatangani oleh tersangka.
Barang-barang yang dapat disita atau yang dapat dikenakan
penyitaan adalah:
a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau
sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil suatu
tindak kejahatan.
b. Benda yang telah digunakan secara langsung untuk melakukan tindak
pidana atau untuk mempersiapkannya
c. Benda yang digunkan untuk menghalangi suatu penyidikan tindak
pidana.
d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan suatu tindak
pidana.
e. Benda lain yang berhubungan langsung dengan tindak pidana yang
dilakukan.
6. Pemasukan Rumah.
Pemasukan rumah dapat dikatakan merupakan bagian dari
penggeledahan rumah, yaitu pemasukan rumah dimaksudkan untuk
memasuki rumah tersangka atau tempat kediaman, atau tempat keberadaan
tersangka.
7. Pemeriksaan Surat.
Dalam Pasal 47 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa: Penyidik
berhak membuka, memeriksa dan menyita surat lain yang dikirim melalui
kantor pos dan telekomunikasi atau pengangkutan. Sedangkan “surat lain”
yang dimaksud dalam Pasal tersebut adalah surat yng secara tidak
langsung mempunyai hubungan dengan tindak pidana yang diperiksa akan
tetapi dicurigai dengan alasan yang kuat.
Tata cara pemeriksaan surat harus memenuhi ketentuan dalam pasal 47,
48, 49, 131 dan 132 KUHAP.
Pasal 47 mengenai hak Penyidik untuk membuka, memeriksa dan menyita
surat, beserta tata cara pemeriksaannya.
Pasal 48 mengenai isi surat yang dibuka dan diperiksa apabila ada
hubungan dengan tindak pidana yang diperiksa maka, harus dilampirkan
dalam berita acara pemeriksaan, dan bila tidak ada hubungannya maka
harus dikembalikan, dan Penyidik harus merahasiakan isi surat tersebut.
8. Pemeriksaan Saksi.
Dalam melakukan pemeriksaan terhadap saksi harus memperhatikan
tentang keselamatan saksi serta harus mendapatkan perlindungan dari
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Keterangan saksi ada dua macam, yaitu:
a. Keterangan saksi yang mendengar dan atau melihat dan atau
mengalami sendiri peristiwa tindak pidana yang diperiksa.
b. Keterangan saksi ahli, keterangan yang diperoleh dari seorang saksi
karena pengetahuan dan kemampuannya dalam hal yang berhubungan
dengan kasus yang sedang diperiksa.
9. Pemeriksaan di Tempat Kejadian.
Merupakan pemeriksaan awal setelah Penyidik menerima laporan
atau mengetahui terjadinya tindak pidana pada suatu tempat. Kemudian
Penyidik melakukan tindakan pengamanan pada tempat kejadian dan
berusaha mencari bukti-bukti atau keterangan-keterangan yang
memperjelas tindak pidana yang telah terjadi.
Yang dapat dilakukan Penyidik di tempat kejadian perkara, antara lain:
a. memotret tempat kejadian
b. memeriksa sidik jari
c. menanyai saksi di sekitar tempat kejadian, dll.
10. Tindakan-tindakan lain yang dimungkinkan demi tercapainya tujuan
hukum acara pidana, yaitu untuk mencari dan menemukan kebenaran yang
sebenar-benarnya, sesuai dengan tindak pidana yang diperiksa.
e. Penyerahan Berkas Penyidikan
Dalam melaksanakan mekanisme penyerahan berkas perkara
penyidikan, dilakukan dengan dua cara:
1. Penyerahan Tahap Pertama.
Dalam penyerahan tahap pertama Penyidik secara fisik dan nyata
menyampaikan berkas perkara kepada Penuntut Umum, dan Penuntut
Umum menerima dari tangan Penyidik. Namun demikian, penyerahan
berkas perkara secara nyata dan fisik, belum merupakan kepastian
penyelesaian pemeriksaan penyidikan, sebab ada kemungkinan besar
hasil penyidikan yang diserahkan, dikembalikan oleh Penuntut Umum
kepada Penyidik, dengan petunjuk agar Penyidik melakukan
pemeriksaan tambahan penyidikan.
Proses pengembalian berkas perkara penyidikan tahap pertama
yang belum lengkap dari Penuntut Umum ini dapat dikatakan sebagai
“prapenuntutan”.
Dalam melakukan pemeriksaan penyidikan terdapat ketentuan-
ketentuan pelaksanaannya, seperti yang tercantum pasal 110 dan 138
KUHAP, yaitu:
a) Apabila penyidik telah selesai melakukan penyidikan, “wajib”
segera menyerahkan berkas perkara kepada Penuntut Umum.
Penyerahan berkas perkara ini, belum menghilangkan
kemungkinan berkas perkara dikembalikan lagi oleh Penuntut
Umum untuk melakukan tambahan pemeriksaan penyelidikan.
Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 110 ayat (2) KUHAP:
Apabila Penuntut Umum berpendapat bahwa hasil penyidikan
tersebut ternyata masih kurang lengkap, Penuntut Umum segera
mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik disertai petunjuk
untuk dilengkapi.
b) Apabila Penuntut Umum mengembalikan hasil penyidikan berkas
perkara untuk dilengkapi:
Penyidik “wajib” segera melakukan Penyidikan tambahan.
Dalam tempo 14 hari sesudah penerimaan pengembalian dari
Penuntut Umum, Penyidik harus menyelesaikan pemeriksaan
penyidikan tambahan dan mengembalikan berkas kepada Penuntut
Umum. Apabila batas waktu tersebut dilampaui oleh Penyidik,
tidak terdapat sanksi yang tegas, hanya Penuntut Umum menegur
dan mengingatkan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 138 ayat
(2) KUHAP.
c) Penyidikan tambahan harus dilakukan Penyidik “sesuai” dengan
petunjuk Penuntut Umum.
Apabila Penuntut Umum berpendapat terdapat
kekuranglengkapan pada berkas perkara, Penuntut Umum berhak
mengembalikan kepada Penyidik untuk dilakukan “penyidikan
tambahan” dengan petunjuk yang ditentukan Penuntut Umum. Jika
pengembalian berkas perkara dilakukan oleh Penuntut Umum
tanpa diberikan petunjuk yang jelas sebagaimana ketentuan dalam
Pasal 110 ayat (3) dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP, maka
pengembalian berkas perkara tersebut dianggap tidak sah karena
bertentangan dengan undang-undang, dan dengan sendirinya
penyidikan telah dianggap selesai.
d) Apabila dalam waktu tujuh hari setelah penerimaan berkas perkara.
Penuntut Umum telah menyampaikan pemberitahuan kepada
Penyidik, bahwa hasil penyidikan yang terdapat dalam berkas
perkara sudah lengkap (Pasal 138 ayat (1)).
Sebaliknya, dalam tempo 7 hari setelah penerimaan berkas,
Penuntut Umum menyampaikan pemberitahuan kepada Penyidik
bahwa hasil penyidikan belum lengkap, berarti penyidikan belum
selesai, dan harus dilakukan penyelidikan tambahan sesuai dengan
petunjuk yang diberikan oleh Penuntut Umum, dan dalam tempo
14 hari terhitung sejak penerimaan pengembalian berkas dari
Penuntut Umum, Penyidik harus mengirim kembali berkas perkara
beserta hasil penyidikan tambahan kepada Penuntut Umum.
e) Penyidikan telah dianggap selesai, apabila dalam jangka waktu 14
hari, dengan pemberitahuan dari Penuntut Umum. Sebaliknya,
apabila sebelum jangka waktu 14 hari dari tanggal penerimaan
berkas prerkara, Penuntut Umum masih berhak mengembalikan
berkas perkara kepada Penyidik. Sebagaimana bunyi pasal 110 ayat
(4), yaitu apabila sebelum batas waktu 14 hari tersebut berakhir,
telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari Penuntut Umum
kepada Penyidik.
f) Menurut hukum penyidikan dianggap lengkap dan selesai apabila
tenggang waktu 14 hari dari tanggal penerimaan berkas perkara
Penuntut Umum:
(1) tidak ada pemberitahuan kekuranglengkapan hasil penyidikan,
(2) selama jangka waktu 14 hari tersebut Penuntut Umum tidak
mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik.
Dalam jangka waktu 14 hari, ternyata tidak ada
pemberitahuan kekuranglengkapan atau tidak ada pengembalian
berkas perkara oleh Penuntut Umum, berarti berkas perkara
tersebut dapat dikatakan sah, lengkap, serta selesailah fungsi
penyidikan, maka berakhirlah tanggung jawab Penyidik atas
kelanjutan penyelesaian berkas perkara kepada instansi Penuntut
Umum. Dari sini tenggang waktu “prapenuntutan” berakhir
menjadi tahap “penuntutan.”
2. Penyerahan Tahap Kedua.
Setelah penyerahan berkas perkara tahap pertama dianggap
selesai, sah dan lengkap, yang artinya dalam tempo 14 hari tidak ada
pemberitahuan kekuranglengkapan atau tidak ada pengembalian berkas
perkara oleh Penuntut Umum. Maka telah terjadi perpindahan
tanggung jawab yuridis atas berkas perkara dari tangan Penyidik
kepada Penuntut Umum, yang meliputi: berkas perkaranya sendiri,
tanggung jawab hukum atas tersangaka, dan tanggung jawab hukum
atas segala barang bukti atau benda sitaan. Penyerahan dan peralihan
disini dititik beratkan pada penyerahan dan tanggung jawab yuridis,
sekalipun hal ini tidak mengurangi arti penyerahan dan peralihan
tanggung jawab secara fisik terhadap tersangka dan barang bukti.
4. Tinjauan Umum Penuntutan
a. Pengertian Penuntutan
Berdasarkan Pasal 1 butir 7 KUHAP, yang dimaksud penuntutan
adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan
diputus oleh hakim di sidang Pengadilan.
Dalam pasal 137 KUHAP menyatakan bahwa Penuntut Umum
berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa
melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan
melimpahkan perkara ke Pengadilan yang berwenang mengadili.
b. Penuntut Umum.
Yang berwenang bertindak sebagai Penuntut Umum adalah
sebagaimana yang telah disebutkan dalam Pasal 1 butir 6 huruf b KUHAP,
yaitu penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-
undang ini untuk melakukan dan melaksanakan penetapan Hakim. Yang
dipertegas kembali dalam pasal 13 KUHAP dengan bunyi yang sama. Dari
sini diketahui bahwa yng bertindak sebagai Penuntut Umum adalah Jaksa,
berdasarkan Pasal 1 butir 6 huruf a, “Jaksa adalah pejabat yang diberi
wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai Penuntut
Umum serta melaksanakan putusan Pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap
c. Tugas dan Wewenang Penuntut Umum
Berdasarkan Pasal 14 KUHAP, wewenang seorang Jaksa sebagai
Penuntut Umum adalah:
2. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari Penyidik
atau Penyidik Pembantu,
3. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan
dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (2) dan ayat (4),
dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan
dari Penyidik,
4. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah
perkaranya dilimpahkan oleh Penyidik,
5. Membuat surat dakwaan,
6. Melimpahkan perkara ke Pengadilan,
7. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari
dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik
kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang
telah ditentukan,
8. Melakukan penuntutan,
9. Menutup perkara demi kepentingan hukum,
10. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
sebagai Penuntut Umum menurut ketentuan undang-undang ini,
11. Melaksanakan penetapan Hakim
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
Dari skema diatas dapat dijelaskan sebagai berikut:
Dalam proses penanganan terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang harus dilakukan dengan cermat dan hati-hati. Terhadap suatu tindak
pidana yang telah dilakukan seseorang, dan diterima oleh polisi, maka tindak
pidana tersebuut berikutnya akan ditangani oleh Penyidik guna mendapatkan
penyidikan selanjutnya untuk memperoleh keterangan lebih lanjut. Setelah
dilakukan penyidikan dan dianggap bahwa terhadap hasil penyidikan tersebut
dianggap telah lengkap, maka dibuatlah berkas perkara terhadap hasil penyidikan
yang dilakukan oleh Penyidik, apabila terhadap berkas perkara tersebut dianggap
telah lengkap dan sempurna oleh Penyidik dilakukan penyerahan secara fisik dan
nyata kepada Penuntut Umum. Apabila dalam hal ini Penuntut Umum
Tindak Pidana
Penyidikan
Kriteria pengembalian
Berkas Perkara
Penyerahan
Berkas Perkara
Didasarkan ketentuan pasal
138 ayat (2) bila terdapat
Masalah-masalah
Penuntutan
berpendapat terdapat masalah-masalah terhadap berkas perkara tersebut, dalam
hal ketidaklengkapan berkas perkara tersebut berdasarkan ketentuan dan tata cara
pengembalian berkas perkara yang terdapat dalam Pasal 138 ayat (2), maka
Penuntut Umum berhak mengembalikan berkas perkara tersebut kepada Penyidik
untuk dilakukan pemeriksaan tambahan guna melengkapi berkas perkara yang
dinyatakan kurang lengkap. Dan terhadap berkas perkara yang ditangani oleh
Penyidik dan dilakukan kelengkapan berkas perkara tersebut dalam waktu 14 hari.
Dan kemudian dikembalikan lagi kepada Penuntut Umum setelah dirasakan
kelengkapannya dan Penuntut Umum telah merasa kelengkapan berkas perkara
tersebut lengkap, sah, dan selesai dengan tidak adanya pemberitahuan dan
pengembalian berkas perkara tersebut kapada Penyidik oleh Penuntut Umum,
berarti telah terjadi perpindahan tanggung jawab penuh secara yuridis dari
Penyidik ke Penuntut Umum. Dari sinilah telah berakhir tenggang waktu
“prapenuntutan”, dan beralih ke tahap “penuntutan”.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Implementasi Pasal 138 ayat (2) KUHAP di Kejaksaan Negeri Nganjuk.
Terhadap Pasal 138 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yang berbunyi “Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum
lengkap, Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik
disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan
dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal penerimaan berkas, Penyidik
harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada Penuntut
Umum”. Di Kejaksaan Negeri Nganjuk berjalan dengan lancar sebagai mana
disebutkan dalam peraturan yang ada.
Di Kejaksaan Negeri Nganjuk, terhadap pembuatan berkas perkara yang
dimulai dari proses penyidikan sampai dengan pembuatan berkas perkara oleh
Penyidik dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Sehingga batasan waktu
yang disampaikan oleh Pasal 138 ayat (2) KUHAP “...dalam waktu 14 (empat
belas) hari...” dapat dicapai oleh Penyidik. Bahkan pada umumnya dalam
waktu tujuh hari atau kurang dari 14 (empat belas) hari Penyidik sudah dapat
menyelesaikan berkas perkara yang dimaksud.
Sedangkan terhadap adanya berkas perkara yang dinyatakan kurang
lengkap, untuk dilengkapi kembali oleh Penyidik juga tidak sampai memakan
waktu 14 (empat belas) hari. Karena terhadap permasalahan tersebut
diselesaikan dengan koordinasi langsung antara Penuntut Umum dengan
Penyidik untuk langsung diselesaikan bersama, sehingga tidak ada
pengendapan berkas berkara.
Salah satu kasus kekurang lengkapan berkas yang pernah ada di
Kejaksaan Negeri Nganjuk dan di kembalikan Penuntut Umum kepada
Penyidik adalah kasus dengan Nomor Register Perkara No. PDM-237/ Ep.1/
2007 tanggal 25 Juli 2007 dengan terdakwa:
51
Nama : JUMADI bin PANIMAN
Umur : 46 tahun
Tempat tanggal lahir : Nganjuk 31 Desember 1961
Alamat : Desa Mlandangan, Kec. Pace, Kab. Nganjuk
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan terakhir : -
Perkara yang telah dilakukan adalah bahwa terdakwa JUMADI bin
PANIMAN pada hari jumat 13 Juli 2007 sekitar pukul 06.00 WIB atau
setidak-tidaknya pada suatu waktu yang masih termasuk dalam bulan Juli
2007 bertempat di Desa Mlandangan Kecamatan Pace Kabupaten Nganjuk
atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah
wilayah hukum Pengadilan negeri Nganjuk, telah mengangkut, menguasai
atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan Surat
Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). Perbuatan tersebut dilakukan oleh
terdakwa dengan cara, pada awalnya terdakwa JUMADI bin PANIMAN
memesan kayu pinus pada SUKIMAN (DPO) yang kemudian pada hari Jumat
tanggal 13 Juli 2007 pukul 13.00 WIB, terdakwa mengambil kayu pesanan
tersebut yang berupa 24 (dua puluh empat) batang kayu pinus dengan panjang
200 cm seharga Rp. 285.000,- (dua ratus delapan puluh lima ribu rupiah).
Kemudian terdakwa mengangkut kayu pinus tersebut dengan menggunakan
truk dan terdakwa memberikan imbalan sebesar Rp. 75.000,- (tujuh puluh lima
ribu rupiah) yang kemudian menurunkannya di pekarangan milik saksi Dasa
Meichran yang berjarak 50 meter dari rumah terdakwa JUMADI bin
PANIMAN. Kemudian pada pukul 07.00 WIB, petugas kepolisian Pace
datang dan setelah diperiksa, 24 (dua puluh empat) batang kayu pinus dengan
panjang 200 cm tidak dilengkapi dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil
Hutan (SKSHH) dari pihak yang berwenang sehingga dilakukan penangkapan
terhadap terdakwa dan penyitaan terhadap barang bukti.
Perbuatan terdakwa tersebut menurut hukum melanggar Pasal 50 ayat (3)
huruf h Jo Pasal 78 ayat (7) UU RI No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan
diancam dengan pidana.
Dari hasil penyidikan yang telah dilakukan Penyidik Polri Wilayah Kediri
Resor Nganjuk Polsek Pace tersebut diatas dan telah dirasa memenuhi
kelengkapan yang telah dibutuhkan dalam berkas perkara. Dilimpahkan oleh
Penyidik kepada Penuntut Umum pada tanggal 7 Agustus 2007.
Dari hasil pelimpahan berkas perkara oleh Penyidik kepada Penuntut
Umum, dan Penuntut Umum telah melakukan pemeriksaan terhadap
kelengkapan berkas perkara yang bersangkutan. Maka berdasarkan Pasal 110
dan 138 (1) KUHAP, ternyata hasil penyidikannya belum lengkap dan
dilimpahkan kembali oleh Penuntut Umum kepada Penyidik untuk dilengkapi
atas kekurang lengkapan berkas perkara tersebut pada tanggal 9 Agustus 2007
dengan dikeluarkannya P-18 oleh Kejaksaan Negeri Nganjuk.
Untuk selanjutnya Kejaksaan Negeri Nganjuk mengeluarkan P-19 kepada
Penyidik tertanggal 15 Agustus 2007. Sehubungan dengan surat Nomor: B-
1021/0.5.29/ Ep.1/ 8/ 2007 tanggal 9 Agustus 2007, sesuai dengan Pasal 110
(2), (3) dan 138 (2) KUHAP, Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara
pidana atas tersangka JUMADI BIN PANIMAN Nomor BP/ 15/ VII/ 2007
Polsek tanggal 25 Juli 2007 yang telah diterima Penuntut Umum tanggal 7
Agustus 2007 untuk dilengkapi Penyidik dalam waktu 14 (empat belas hari)
seterimanya berkas perkara ini dengan petunjuk-petunjuk.
Petunjuk-petunjuk yang di berikan Penuntut Umum terhadap
kekuranglengkapan berkas perkara berupa kelengkapan formil dan materiil,
yaitu:
FORMIIL:
1. Agar melengkapi berkas perkara a.n. JUMADI BIN PANIMAN yang
disangka melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf f dan h UU. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan dengan surat keterangan dari instansi yang berwenang
untuk mengetahui jenis kayu dan ukuran kayu yang dijadikan barang bukti
pada perkara ini yaitu berupa 24 (duapuluh empat) batang kayu pinus dan
dibuatkan berita acaranya.
2. Agar dimintakan keterangan saksi ahli dari Dinas Kehutanan berkaitan
dengan barang bukti pada perkara ini untuk mengetahui apakah jenis kayu
tersebut perlu dilengkapi dengan SKSHH dan jumlah kerugian negara
akibat perbuatan tersangka.
3. Agar berkas perkara a.n. JUMADI BIN PANIMAN yang tersangka
melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf f dan h UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan mencantumkan Pasal ancaman pidananya yaitu pasal 78 ayat
(5) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
MATERIIL:
1. Agar ditanyakan kepada saksi WIYONO dan SUPARDJO kapan, dimana
dan apa yang dilakukan tersangka pada saat penangkapan.
2. Agar ditanyakan kepada saksi DASA PUTRA MEICHRAN:
a. Jenis, warna dan No. Polisi truk yang mengangkut kayu di pekarangan
saksi.
b. Saksi melihat tersangka ikut menurunkan kayu tersebut.
c. Pernah menanyakan kepada tersangka bahwa kayu tersebut adalah
milik tersangka JUMADI BIN PANIMAN.
3. Agar dicarikan saksi yang mengetahui bahwa kayu tersebut benar-benar
milik tersangka.
Setelah dilengkapi sesuai dengan petunjuk, agar segera disampaikan
kepada Penuntut Umum untuk penyelesaian selanjutnya. Sebelum batas waktu
14 (empat belas hari) sebagaiman disebutkan dalam pasal 138 ayat (2)
KUHAP. Yaitu diserahkan kembali kepada Penuntut Umum oleh Penyidik
setelah dilengkapi lagi pada tanggal 29 Agustus 2007, yang berarti terhitung
14 (empat belas) hari sejak tanggal 15 Agustus dikeluarkannya P-19 untuk
melengkapi berkas perkara lagi. Jadi tidak sampai melebihi batas waktu 14
(empat belas hari ). Dan untuk berikutnya siap untuk diajukan P21 atas
kelengkapan berkas perkara yang telah diteliti kembali.
Dari hasil penelitian tersebut, terdapat pengembalian berkas perkara oleh
Penuntut Umum kepada Penyidik setelah diadakan pemeriksaan oleh Penuntut
Umum terhadap hasil pelimpahan berkas perkara hasil penyidikan oleh
Penyidik dikarenakan berkas dianggap tidak lengkap. Pengembalian berkas
perkara oleh Penuntut Umum tersebut juga disertai petunjuk-petunjuk yang
harus dilengkapi oleh Penyidik terhadap berkas yang belum lengkap berupa
kelengkapan formiil maupun kelengkapan materiil dengan jelas sehingga
dapat dimengerti oleh Penyidik dengan jelas.
Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui mengenai pelaksanaan
pasal 138 ayat (2) telah berjalan dengan baik sesuai prosedur yang benar,
sehingga dengan prosedur dan penerapan aturan yang benar, hal-hal yang
tidak diinginkan seperti bolak-baliknya berkas perkara karena tidak lengkapi
dapan dihindari, karena ada aturan dan jangka waktu pengembalian berkas
perkara tersebut selama 14 (empat belas hari), sehingga dapat memaksimalkan
kinerja dan waktu yang ada dengan lebih baik.
B. Kriteria-kriteria pengembalian Berkas Perkara oleh Penuntut Umum
kepada Penyidik.
Sebelum berkas perkara dilimpahkan atau diserahkan kepada Penuntut
Umum, pembuatan berkas perkara tersebut harus memenuhi ketentuan-
ketentuan kelengkapan berkas perkara yang dilakukan oleh Penyidik untuk
mencegah terjadi bolak-baliknya berkas perkara dari Penuntut Umum kepada
Penyidik. Oleh karena itu Penyidik harus bekerja ekstra keras untuk
memenuhi kelengkapan berkas perkara.
Kelengkapan berkas perkara harus diketahui dan dikuasai oleh Penyidik
dan Penuntut Umum peneliti diwilayah hukum Pengadilan Negeri Nganjuk,
dalam hal ini tidak terdapat permasalahan. Baik Penyidik maupun Penuntut
Umum peneliti dalam menentukan kelengkapan berkas perkara selalu
berdasarkan Pasal 75 KUHAP (kelengkapan formil) serta beberapa petunjuk
pelaksanaan yang berwenang maupun yang diterbitkan oleh instansi masing-
masing. Disamping itu untuk memperoleh kelengkapan berkas perkara juga
ditentukan oleh kemampuan dan keterampilan dari masing-masing petugas.
Adapun berkas perkara yang dapat dinyatakan lengkap antara lain harus
memenuhi syarat-syarat antara lain yaitu :
a. Syarat-syarat Formal;
b. Syarat-syarat Materiil.
Dimana syarat- syarat tersebut mencakup adanya:
Ad. a. Syarat Formal
1. Sampul berkas perkara
- Nama Tersangka
- Tempat lahir
- Umur / Tanggal lahir
- Jenis kelamin
- Kebangsaan
- Tempat tinggal
- Agama
- Pekerjaan
- Identitas lain kalau ada
1. Pendidikan
2. Nomor KTP
3. Nomor SIM
4. Nomor Passport
5. Lain-lain
2. Daftar Isi Berkas Perkara
3. Resume ( Pasal 121 KUHAP)
4. Surat Pengaduan
5. Laporan Polisi (Pasal 5 (1) jo Pasal 130 KUHAP)
6. Surat Perintah Penyidikan
7. Berita Acara Pemeriksaan TKP (Pasal 75 ayat (1) huruf 1 KUHAP)
8. Surat Pemberitahuan Dimulainya DIK (Pasal 109 ayat (1) KUHAP)
9. Surat Panggilan Tersangka / Saksi
10. Surat Perintah Membawa Tersangka / Saksi
11. Berita Acara Pemeriksaan Saksi / Ahli (Pasal 76 jo Pasal 120 jo Pasal
160 KUHAP)
12. Berita Acara Penyumpahan Saksi / Ahli ( Pasal 76 jo Pasal 120 jo Pasal
160 KUHAP)
13. Berita Acara Pemeriksaan Tersangka
14. Surat Kuasa Tersangka kepada Penasihat Hukum
15. Berita Acara Konfrontasi (Pasal 75 ayat (1) huruf k KUHAP)
16. Berita Acara Rekontruksi (Pasal 75 ayat (1) huruf k KUHAP)
17. Surat Permintaan Visum Et Repertum
18. Surat Keterangan Dokter / VER
19. Berita Acara Pemeriksaan oleh Ahli (pemeriksaan forensic /
laboratorium ). (Pasal 120 jo Pasal 187 huruf b KUHAP)
20. Surat Perintah Penangkapan (Pasal 18 KUHAP)
21. Berita Acara Penangkapan (Pasal 75 ayat (1) huruf b KUHAP)
22. Surat Perintah Penahanan (Pasal 21 KUHAP)
23. Berita Acara Penahanan (Pasal 75 ayat (1) huruf c KUHAP)
24. Surat Perintah Penangguhan Penahanan (Pasal 31 KUHAP)
25. Berita Acara Penangguhan Penahanan (siapa, apa dan berapa
jaminannya dicatat dalam keterangan). (Pasal 75 ayat (1) KUHAP)
26. SP. Pencabutan Penangguhan Penahanan
27. BA. Pencabutan Penangguhan Penahanan
28. SP. Pengalihan Jenis Penahanan
29. BA. Pencabutan Penangguhan Penahanan
30. Surat Permintaan Perpanjangan Penahanan kepada Kepala Kejaksaan
Negeri
31. Surat Ketetapan Perpanjangan Penahanan dari Kepala Kejaksaan
Negeri
32. Surat Penolakan Permintaan Perpanjangan Penahanan dari Kepala
Kejaksaan Negeri (Pasal 24 ayat (2) KUHAP)
33. Surat Permintaan Perpanjangan Penahanan ke Ketua Pengadilan Negeri
(Pasal 29 KUHAP)
34. Surat Penetapan Perpanjangan Penahanan dari Ketua Pengadilan Negeri
35. Surat Penolakan Permintaan Perpanjangan Penahanan dari Ketua
Pengadilan Negeri
36. Surat Perintah Membawa Tahanan
37. BA. Pelaksanaan Membawa Tahanan
38. Surat Perintah Pengeluaran Tahanan
39. BA. Pengeluaran Tahanan
40. Laporan/Surat Permintaan Ijin Pengeledahan kepada Ketua Pengadilan
Negeri
41. Surat Persetujuan / Ijin Pengeledahan dari Ketua Pengadilan Negeri
42. Surat Perintah Pengeledahan Rumah, Badan / Pakaian dll.
43. Berita Acara Penggeledahan Rumah, Badan / Pakaian dll.
44. Laporan/Surat Permintaan Ijin Penyitaan kepada Ketua Pengadilan
Negeri
45. Surat Persetujuan / Ijin Penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri
46. Surat Perintah Penyitaan Barang Bukti
47. Berita Acara Penyitaan Barang Bukti (Pasal 75 jo Pasal 45 KUHAP)
48. Surat Perintah Penyisihaan Barang Bukti
49. Berita Acara Penyisihaan Barang Bukti
50. Berita Acara Pembungkusan dan atau Penyegelan Barang Bukti (Pasal
75 jo 130 KUHAP)
51. Surat Perintah Pelelangan Barang Bukti
52. B.A. Penerimaan Hasil Pelelangan Barang Bukti
53. Surat Perintah Pengembalian Barang Bukti
54. Berita Acara Pengembalian Barang Bukti (Pasal 75 jo Pasal 46
KUHAP)
55. Surat Perintah Pemeriksaan Surat
56. Berita Acara Pemeriksaan Surat
57. Surat Perintah Penyitaan Surat
58. Berita Acara Penyitaan Surat (Pasal 75 jo Pasal 45 KUHAP)
59. Surat Tanda Terima Surat / Barang Bukti
60. Daftar Perincian Barang Bukti berupa Dokumen atau uang
61. Petikan Putusan Pemidanaan terdahulu
62. Daftar Saksi
63. Daftar Tersangka
64. Daftar Barang Bukti
65. Berita Acara Tindakan Hukum lain (Pasal 75 ayat (1) huruf k KUHAP)
Ad.b Persyaratan Materiil
1. Tindak Pidana yang disangkakan
2. Unsur Delik apakah sudah diuraikan secara
a. Cermat
b. Jelas
c. Lengkap
3. Tempus delictie
4. Locus delictie
5. Peran kedudukan masing-masing tersangka terhadap tindak pidana yang
disangkakan
6. Alat Bukti
a. Keterangan Saksi
b. Surat
c. Keterangan Ahli
d. Petunjuk
e. Keterangan Tersangka
7. Pertanggung-jawaban pidana dari Tersangka
8. Berkaitan dengan kekayaan negara
9. Lain-lain
a. Kopentensi Absolut
b. Kopentensi Relatif
A. Penyerahan berkas perkara tahap pertama
Pada penyerahan tahap pertama, Penyidik secara nyata dan fisik
menyampaikan berkas perkara kepada Penuntut Umum, dan Penuntut Umum
secara nyata dan fisik menerima dari tangan Penyidik. Namun demikian,
sekalipun telah terjadi penyerahan secara nyata dan fisik kepada Penuntut
Umum, belum merupakan kepastian penyelesaian pemeriksaan penyidikan,
sebab kemungkinan besar hasil penyidikan yang diserahklan, dikembalikan
oleh Penuntut Umum kepada Penyidik, dengan petunjuk agar Penyidik
melakukan tambahan pemeriksaan penyidikan.
Apabila berkas perkara tersebut telah dilengkapi dengan persyaratan formil
dan materiil diatas. Proses berikutnya Penyidik menyerahkan berkas perkara
tersebut kepada Penuntut Umum. Pada tahap ini Penuntut Umum mempelajari
dan melakukan penelitian secara seksama terhadap kelengkapan berkas
perkara.
Penerimaan berkas perkara tersebut dicatat dalam register penerimaan
Berkas Perkara tahap Pertama (RP-10) dan pelaporannya menggunakan LP-6.
penelitian berkas perkara tahap pertama difokuskan kepada:
1. Kelengkapan formal, yakni meliputi segala sesuatu yang berhubungan
dengan formallitas/ persyaratan, tata cara penyidikan yang harus
dilengkapi dengan Surat Perintah, Berita Acara, Izin/ Persetujuan Ketua
Pengadilan. Disamping penelitian kuantitas kelengkapan syarat formal,
perlu diteliti pula segi kualitas kelengkapan tersebut, yakni keabsahannya
sesuai ketentuan Undang-Undang.
2. Kelengkapan materiil, yakni kelengkapan informasi, data, fakta dan alat
bukti yang diperlukan bagi kepentingan pembuktian. Kriteria yang dapat
digunakan sebagai tolak ukur kelengkapan materiil antara lain:
a. Apa yang terjadi (tindak pidana beserta kwalifikasi dan pasal yang
dilanggar)
b. Siapa pelaku, siapa-siapa yang melihat, mendengar, mengalami
peristiw itu (tersangka, saksi-saksi/ahli)
c. Bagaimana perbuatan itu dilakukan (modus operandi)
d. Dimana perbuatan dilakukan (locus delicti)
e. Bilamana perbuatan dilakukan (tempus delicti)
f. Akibat apa yang ditimbulkan (ditinjau secara victimologis)
g. Apa yang hendak dicapai dengan perbuatan itu (motivasi yang
mendorong pelaku).
Kelengkapan materiil terpenuhi bila segala sesuatu yang diperlukan bagi
kepentingan pembuktian telah tersedia sebagai hasil penyidikan.
Pelaksanaan penelitian tersebut dilakukan oleh Jaksa Peneliti yang
tercantum dalam P-16 dan hasil penelitiannya dituangkan dalam bentuk check
list. Proses penelitian dan pemberitahuan lengkap atau tidaknya berkas perkara
di Kejaksan Negeri Nganjuk membutuhkan waktu tujuh hari. Bahkan jika
terdapat kekurangan, dilakukan pengembalian berkas perkara dengan Surat
Pemberitahuan Hasil Penyidikan belum Lengkap (P-18) beserta
pemberitahuan petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan (P-19) yang
dilakukan bersamaan dengan pemberitahuan itu. Dengan demikian
pengembalian berkas perkara beserta pemberian petunjuk dilakukan juga
selama tujuh hari dan tidak sampai menghabiskan waktu empat belas hari.
Apabila menurut hasil penelitian ternyata hasil penyidikan telah lengkap,
maka dikeluarkan Surat Pembeitahuan Hasil Penyidikan Sudah Lengkap (P-
21). Pengembalian berkas perkara kepada Penyidik dilakukan lewat kurir, atau
dalam hal terlaksana pertemuan dimaksud, berkas perkara dapat diserahkan
langsung kepada Penyidik. Kedua bentuk penyerahan kembali berkas perkara
tersebut dilengkapi dengan P-21 dan Tanda Terima Pengembalian berkas
Perkara.
Dalam P-19 diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap tentang hal apa
yang harus dilengkapi oleh Penyidik sesuai ketentuan pasal 138 ayat (2) jo
pasal 110 ayat (2) dan (3) KUHAP. Petunjuk disusun dalam bahasa sederhana
dengan menggunakan kalimat-kalimat efektif. Untuk akuratnya aplikasi
petunjuk tersebut oleh Penyidik, sebaiknya Penyidik diundang untuk bertemu
dengan Jaksa Peneliti guna membahas petunjuk-petunjuk dimaksud.
Apabila Penyidik masih mengalami kesulitan untuk memenuhi petunjuk
yang diberikan oleh Penuntut Umum dalam tenggang waktu empat belas hari,
maka Penyidik segera memberitahukan kesulitann yang dihadapi Penyidik
kepada Penuntut Umum dan penyelesaiannya diserahkan pada forum Penyidik
dan Penuntut Umum.
Hasil penyidikan tambahan dan berkas perkara yang diserahkan oleh
Penyidik, dipelajari lagi oleh Penuntut Umum peneliti apakah petunjuk-
petunjuk yang disampaikan telah terpenuhi. Apabila petunjuk tersebut belum
terpenuhi, maka Penuntut Umum melaporkannya kepada Kepala Kejaksaan
Negeri atau pejabat yang dikuasakan untuk itu, jalan apa yang akan ditempuh
untuk terhadap berkas perkara tersebut. Pelaksanaan pekerjaan ini harus sudah
selesai dalam satu hari. Untuk mencegah berkas perkara bolak-balik lebih dari
dua kalil antara Penyidik dan Penuntut Umum. Maka menurut tambahan
pedoman Pelaksanaan KUHAP butir 5 harus mengintensifkan koordinasi antar
penegak hukum di daerah.
B. Penyerahan berkas perkara tahap kedua
Sesuai ketentuan Pasal (3) huruf a jo pasal 110 (2) dan (3), pasal 138 (2)
dan Pasal 139 KUHAP, apabila menurut hasil penelitian atas berkas perkara
yang diserahkan pada tahap pertama ternyata hasil penyidikan belum lengkap,
maka Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik
disertai petunjuk untuk dilengkapi dalam batas waktu 14 (empat belas) hari
setelah penerimaan atas pengembalian berkas perkara. Dalam rangka
mengembalikan berkas perkara dimaksud, diterbitkan pemberitahuan bahwa
hasil penyidikan belum lengkap (P-18) dan pengembalian berkas perkara
dengan petunjuk dilaksanakan dengan menerbitkan P-19.
Setelah berkas perkara tersebut diterima kembali oleh Jaksa Penuntut
Umum, dilakukan penelitian ulang atas hasil penyidikan tambahan. Dalam hal
hasil penyidikan telah lengkap diterbitkan P-21 (surat Pemberitahuan Hasil
Penyidikan Sudah Lengkap). Sebaliknya apabila ternyata hasil penyidikan
masih belum lengkap, Jaksa Penuntut Umum melaporkan hal itu kepada
Kepala Kejaksaan Negeri disertai usul untuk melengkapi berkas perkara
dengan melakukan Pemeriksaan Tambahan. Hasil penelitian ulang tersebut
dituangkan dalam bentuk Berita Acara Pendapat hasil Penelitian Berkas
Perkara (P-24).
Sebelum dikeluarkan surat Perintah Melengkapi Berkas Perkara Dengan
Melakukan Pemeriksaan Tambahan (P-25), dilakukan konsultasi berjenjang
antara Jaksa Penuntut Umum Kasi PIDUM (Pidana Umum) dan Kepala
Kejaksaan Negeri.
Dalam hal batas waktu penyidikan tambahan hampir berakhir. Jaksa
Penuntut Umum mengingatkan Penyidik dengan menerbitkan P-20. setelah
berakhirnya batas waktu penyidikan tambahan dan tidak ada jaminan bahwa
hasil penyidikan sesuai dengan harapan, diterbitkan P-22 guna meminta
penyerahan berkas perkara, tersangka dan barang bukti untuk pelaksanaan
Pemeriksaan Tambahan.
Setelah berkas perkara, tersangka dan barang bukti berada ditangan Jaksa
Penuntut Umum, Kepala Kejaksaaan Negeri menerbitkan Surat Perintah
melengkapi berkas perkara (P-25).
Penyerahan berkas perkara tahap kedua ini dilakukan oleh Penyidik
kepada Jaksa Penuntut Umum peneliti terhadap tersangka dan barang bukti
apabila dalam hasil Penyidikan telah dianggap selesai dan lengkap oleh
Penyidik. Penyerahan tersangka dan barang bukti ini berarti telah terjadi
perpindahan tanggung jawab dari Penyidik beralih ke Penuntut Umum. Berkas
perkara yang diserahkan sebanyak dua buah berkas perkara dalam keadaan
sudah dibendel. Berkas perkara tersebut, satu untuk Penuntut Umum dan yang
satu lagi diserahkan kepada Hakim.
Penerimaan tanggung jawab atas tersangka dilkukan per-Berita Acara
Penerimaan dan penelitian Tersangka (BA-15) oleh Penyidik kepada kepala
Kejaksaan Negeri Nganjuk. Penelitian tersangka tersebut dimaksudkan untuk
mengetahui sejauh mana kebenaran tentang:
1. Keterangan-keterangan tersangka dalam BAP
2. Identitas tersangka guna mencegah terjadinya error in persona
3. Status tersangka (ditahan/tidak)
4. Apakah tersangka pernah dihukum/tidak (residive/bukan)
5. Apakah ada keterangan yang perlu ditambahkan.
BA-15 berfungsi sebagai:
1. Bahan pertimbangan penahanan
2. Bila terdakwa mangkir dipersidangan sedang pada tahap penyidikan dan
prapenuntutan ia mengakui terus terang perbuatannya, BAP tersangka dan
BA-15 dapat difungsikan sebagai alat bukti surat (sesuai ketentuan pasal
187 KUHAP), atau setidak-tidaknya sebagai petunjuk kesalahan terdakwa
(sesuai ketentuan pasal 188 KUHAP dan yurisprudensi tetap), atau sebagai
keterangan yang diberikan diluar sidang sesuai ketentuan pasal 189 (2)
KUHAP
3. Bila diperlukan penahanan, digunakan dokumen-dokumen penahanan.
Berita acara ini digunakan untuk mempertimbangkan apakah tersangka
dapat dilakukan penahanan berdasarkan Pasal 21 KUHAP, dan kemudian
menetapkan tersangka untuk ditahan atau tidak, atau mengalihkan jenis
penahanan atau penangguhan penahanannya. Bila tersangka akan dilakukan
penahanan lanjutan agar dibuatkan surat perintah penahanan/penahanan
lanjutan dengan menggunakan formulir model T-2 dengan tembusan
disampaikan kepada keluarga tersangka, Penyidik, rutan dan dilampirkan
dalam berkas perkara. Kemudian oleh Sub Seksi Penuntutan dicatat dalam
register yang keluarganya tidak ada di Indonesia. Tembusan dimaksud
disampaikan kepada perwakilan Negaranya sebagai pengganti keluarganya.
Praktek yang telah terjadi selama ini sisa penahanan Penyidik oleh Penuntut
Umum tidak diperhitungkan, tetapi penahanan lanjutan diterbitkan. Dan
pelaksanaan penahanan/penahanan lanjutan dibuatkan berita acara dengan
menggunakan formulir model BA-10, kemudian dicatat dalam register
model RT-2.
Tersangka yang ditahan, untuk menyampaikan tembusan surat perintah
penahanan kepada keluarganya yang tidak diketahui kejelasan alamatnya,
dibuatkan berita acara tentang ketiadaan alamat keluarganya tersebut dan
dilampirkan dalam berkas perkara. Kemudian kepada penyidik yang
berkepentingan dibuatkan tanda terima dengan menggunakan T-2. bila
dilakukan pengalihan jenis penahanan dengan model T-2 dengan tembusan
kepada keluarga tersangka, Penyidik dan rutan. Kemudian dibuatkan berita
acara pelaksanaan pengalihan jenis penahanan dengan menggunakan formulir
model BA-11 dan dicatat dalam register RT-5.
Dalam penangguhan penahanan, segera dilakukan pembuatan surat
perintah dengan menggunakan formulir model T-8 dengan tembusan kepada
keluarga, Penyidik dan rutan serta dicatat dalam register RT-4. sebagai
pelaksanaannya dibuatkan berita acara dengan menggunakan formulir BA-12.
Peneriman tanggung jawab atas barang bukti juga dilakukan per-Berita
Acara Penerimaan dan penelitian Barang Bukti (BA-18), hal ini dilakukan
setelah kegiatan yang berkaitan dengan tersangka selesai. Hal-hal yang perlu
diteliti meliputi:
1. kuantitas (jumlah, ukuran, takaran/timbangan atau satuan lainnya)
2. kualitas (harga/nilai, mutu, kadar dan lain-lain)
3. kondisi (baik, rusak, lengkap/tidak)
4. identitas/spesifikasi lainnya.
Tolak ukur penelitian tersebut menggunakan:
1. daftar adanya barang bukti yang terlampir dalam berkas perkara
2. dokumen-dokumen penyitaan (SP, BA izin/ persetujuan penyitaan).
Setelah penelitian dibuat Label Barang Bukti (B-11), pencatatan dalam
Register Barang Bukti (RB-12). Bila dalam penelitian tersebut diperlukan
bantuan instansi lain, bantuan tersebut dimintakan dengan menggunakan B-12.
dan apabila diperlukan penitipan barang bukti, pelaksanaannya dilengkapi
dengan Surat Perintah Penitipan Barang Bukti (B-5) dan Berita Acara
Penitipan Barang Bukti (B-17). Setelah tuntas proses penerimaan tanggung
jawab atas tersangka dan barang bukti, berkas perkara dicatat dalam register
Perkara Tahap Penuntutan (RP-12).
Selanjutnya setelah penelitian terhadap penerimaan dan penelitian
terhadap berkas perkara, tersangka dan barang bukti tersebut diatas. Penuntut
Umum membuat Berita Acara penelitian tersangka dengan menggunakan
formulir model BA-15.
Apabila terjadi suatu barang bukti atau benda sitaan dipinjamkan kepada
orang lain, maka apabila terjadi sesuatu perbedaan pendapat dalam hal
peminjamannya antara Penyidik dan Penuntut Umum mengenai benda sitaan
pada saat perkara tersebut dilimpahkan dari Penyidik kepada Penuntut Umum,
maka putusan akhir ada pada instansi yang bertanggungjawab secara yuridis,
sesuai dengan tahap penyelesaian perkara, dalam hal ini adalah Kejaksaan
Negeri Nganjuk.
Dalam hal ini pelimpahan berkas perkara tahap kedua serta tugas Penuntut
Umum dalam melakukan tugas pra penuntutan telah usai. Dan tugas
selanjutnya adalah melakukan kegiatan penuntutan pada sidang pengadilan
yakni membuat surat pelimpahan ke pengadilan dan membuat surat dakwaan.
Dalam hal kriteria kelengkapan berkas perkara yang dilakukan oleh
Penyidik dan Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Nganjuk, berjalan dengan
lancar. Penyelesaian kelengkapan berkas perkara yang dilakukan oleh
Penyidik POLRI tidak pernah melebihi empat belas hari dalam
penyelesaiannya. Selain itu koordinasi antara Penyidik dan penuntut Umum di
Kejaksaan Negeri Nganjuk berjalan dengan baik dan lancar. Apabila terjadi
kekuranglengkapan terhadap berkas perkara, Penuntut Umum segera
memanggil Penyidik yang bersangkutan ke Kejaksaan Negeri Nnganjuk untuk
diberikan petunjuk dan pengarahan-penngarahan terkait hal tersebut sehingga
segera dapat segera diperbaiki bersama untuk keefektifan dan efisiensi waktu.
Sehingga berkas perkara tidak terlalu lama bolak balik antara Penyidik dan
Penuntut Umum.
C. Masalah yang ada dalam pengembalian berkas perkara pidana oleh
Penuntut Umum kepada Penyidik.
Dalam pengembalian berkas perkara yang telah dilakukan, koordinasi
antara Penyidik dan Penuntut Umum yang baik sangat diperlukan terhadap
kelancaran pengembalian berkas perkara. Karena berhasil atau tidaknya
penuntutan bukan saja dipengaruhi oleh pandai atau trampilnya Penuntut
Umum menyusun Surat Dokumen atau Surat Tuntutan, tetapi yang lebih
penting adalah sempurna atau tidaknya penyidikan yang dilakukan oleh
Penyidik (Polisi). Bahkan penyidikan perkara yang baik dapat berperan dalam
pencegahan kejahatan yang terjadi.
Berkaitan dengan hal tersebut maka tugas prapenuntutan akan berhasil jika
aparat Penyidik mampu melakukan penyidikan dengan baik. Dengan demikian
akan dihasilkan Berita Acara Penyidikan yang baik dan sempurna.
Selain itu antara Penyidik dengan Penuntut Umum, dalam menjalankan
tugasnya juga saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Jika
koordinasi dan kerjasama antara keduanya berjalan dengan baik. Proses
perkara yang ditangani akan segera berakhir, tidak hanya mengendap dalam
salah satu instansi saja. Sehingga koordinasi yang baik dapat menciptakan
efisiensi dan efektifitas pengembalian berkas perkara.
Kendala-kendala yang ada dalam proses pembuatan berkas perkara sampai
pada akhirnya pengembalian berkas perkara tak dipungkiri masih tetap ada,
akan tetapi tidak sampai menjadi masalah yang serius dalam pengembalian
berkas perkara yang ada. Hanya sebatas kesalahan teknis bukan menyangkut
kesalahan prosedural. Kendala tersebut antara lain menyangkut:
A. Aparat Penyidik mempunyai masalah:
1) Perubahan sistem penyidikan berdasarkan KUHAP belum diimbangi
dengan peningkatan kemampuan teknis yaitu profesional dan yuridis
yang memadai.
2) Sering tidak dipahaminya petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Jaksa
Penuntut Umum, karena kebanyakan aparat penegak hukum mempunyai
latar belakang pendidikan formal di bidang hukum
3) Kurangnya kuantitas aparat penyidik dan kecilnya anggaran serta
terbatasnya sarana penyidikan yang tersedia
4) Belum terpenuhinya penyesuaian administratif penyidikan yang mantap
selaras dengan mekanisme pelaksanaan penyidikan berdasarkan
KUHAP.
5) Dalam hal Penghentian Penyidikan, penyidik segera menerbitkan Surat
ketetapan Penghentian Penyidikan (SKPP/ Formulir model SERSE
A.3.02) berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 109 ayat (2)
KUHAP, yaitu penghentian penyidikan karena tidak cukup bukti atau
peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau
penyidikan dihentikan demi hukum.
6) Penyidik memberitahukan secara tertulis kepada Penuntut Umum bahwa
penyidikan tambahan yang dilakukkan sudah optimal/maksimal dan oleh
karena itu menyerahkan tindakan hukum lebih lanjut kepada Penuntut
Umum.
Berkaitan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Penyidik
sebagai Prosedur pada huruf a, apabila dianggap perlu Penuntut umum
dapat memanfaatkan haknya yang diatur dalam Pasal 80 KUHAP yaitu
meminta kepada Hakim Praperadilan untuk memeriksa tentang sah atau
tidaknya tindakan penghentian penyidikan yang dilakukan oleh
Penyidik.
B. Aparat Penuntut Umum mempunyai masalah antara lain:
1. Keterangan-keterangan serta petunjuk-petunjuk yang diberikan
terhadap Penyidik kurang jelas sehingga sulit dimengerti oleh
Penyidik (POLISI), sehingga mengakibatkan sering terjadinya bolak-
baliknya berkas perkara dari Penyidik ke Penuntut Umum atau
sebaliknya.
2. Berkaitan dengan tindakan hukum Penyidik seperti tersebut pada huruf
6 diatas, maka Penuntut Umum melakukan sendiri pemeriksaan
tambahan berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 Pasal 27
ayat (1) huruf d dan tata caranya sesuai dengan Surat Edaran Jaksa
Agung (SEJA) No: SE-003/JA/12/1991 (tanggal 14 Desember 1991).
Apabila dari hasil pemeriksaan tambahan oleh Penuntut Umum berkas
perkara tersebut dinilai telah memenuhi persyaratan untuk dilakukan
penuntutan, maka Penuntut Umum secepatnya melimpahkan berkas
perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri (PN).
Akan tetapi apabila dari hasil pemeriksaan tambahan tersebut
ternyata berkas perkara tersebut masih dinilai belum lengkap maka
Penuntut Umum segera menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan (SKPP/Formulir model P-26) berdasarkan pasal 140 ayat
(2) huruf a KUHAP. SK Penghentian Penyidikan maupun SK
Penghentian Penyidikan tersebut dikemudian hari masih dapat dicabut
kembali berdasarkan alasan/fakta pembuktian baru (novum) atau
berdasar Putusan Hakim Praperadilan (Pasal 80 jo 82 ayat (3)
KUHAP). Dalam keadaan demikian maka tindakan penyidikan atau
penuntutan wajib dilakukan kembali sebagaimana mestinya.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Kejaksaan Negeri
Nganjuk, terhadap masalah-masalah tentang pembuatan berkas perkara
sampai dengan dikembalikannya berkas perkara karena dinyatakan kurang
lengkap oleh Penuntut Umum kepada Penyidik ataupun sebaliknya hanya
sebatas permasalahan tekhnis sehingga tidak begitu serius karena tidak
menyangkut aturan dasar atau ketentuan dasar pengembalian berkas
perkara. Sehingga terhadap kendala serta permasalahan tersebut masih bisa
diatasi dengan baik, seperti kekurangjelasan petunjuk yang diberikan oleh
Jaksa Penuntut Umum terhadap berkas perkara yang dikembalikan kepada
Penyidik. Dan dapat segera diselesaikan dengan koordinasi dan kerjasama
yang erat antara Penyidik dan Penuntut Umum.
Sebagaimana dari hasil wawancara yang telah dilakukan antara
penulis dengan Jaksa Penuntut Umum Naning Marini SE, S.H. selama
melakukan penelitian baik secara formal maupun informal terhadap kasus
yang berkas perkaranya dinyatakan belum lengkap setelah dilakukan
pemeriksaan atas pelimpahan oleh Penyidik kepada Penuntut Umum.
Berkas perkara tersebut dikembalikan lagi kepada Penyidik untuk
dilengkapi lagi berdasarkan ketentuan Pasal 110 dan Pasal 138 ayat (2)
KUHAP. Dikejaksaan Negeri Nganjuk terhadap kekuranglengkapan
berkas perkara dilakukan prosedur dengan memberikan surat P-18 dan P-
19, dan dengan prosedur tersebut biasanya sudah memenuhi agar berkas
perkara tersebut lengkap sehingga bisa langsung di P-21. jadi tidak sampai
ada berkas berkara bolak-balik beberapa kali karena ada koordinasi antara
Penuntut Umum dan Penyidik, apalagi ada Mahkejapol, jadi bisa dibuat
dasar antara instansi Kehakiman, Kerjaksaan dan Kepolisian diharapkan
ada kerjasama yang baik.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Simpulan yang dapat ditarik dari uraian hasil penelitian adalah:
1. Implementasi terhadap Pasal 138 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana di Kejaksaan Negeri Nganjuk, terhadap hasil pelimpahan
berkas perkara oleh Penyidik kepada Penuntut Umum dan telah dilakukan
Pemeriksaan oleh Penuntut Umum dan dinyatakan bahwa berkas perkara
tersebut dianggap belum lengkap maka sesuai ketentuan Pasal 110 dan
Pasal 138 ayat (2) KUHAP, maka Penuntut Umum mengembalikan lagi
berkas perkara tersebut kepada Penyidik untuk melengkapi berkas perkara
yang bersangkutan. Dalam pengembalian berkas perkara tersebut Penuntut
Umum juga diwajibkan memberikan petunjuk-petunjuk tentang
kekuranglengkapan berkas perkara tersebut baik mengenai kelengkapan
formil maupun kelengkapan materiil dengan jelas sehingga dapat dipahami
oleh Penyidik.
2. Kriteria-kriteria pengembalian berkas perkara oleh Penuntut Umum
kepada Penyidik yang dikarenakan berkas perkara dinyatakan belum
lengkap setelah dilakukan pemeriksaan oleh Penuntut Umum.
Dikarenakan karena berkas perkara tersebut tidak memenuhi kelengkapan
formil dan kelengkapan materiil. Kelengkapan formil adalah kelengkapan
mengenai hukum acara pidan abersifat nyata atau konkret seperti identitas
terdakwa, tanggal dan tanda tangan oleh JPU. Sedangkan kelengkapan
materiil adalah yang bersifat isi atau substansi hukumnya. Tanpa adanya
kelengkapan berkas perkara secara formil dan kelengkapan materiil maka
berkas perkara tersebut tidak sah.
3. Kendala-kendala atau masalah dalam pembuatan berkas perkara sampai
dengan pengembalian berkas perkara oleh Penuntut Umum kepada
Penyidik dikarenakan kekuranglengkapan berkas perkara tidak mengalami
masalah yang serius, hanya menyangkut kendala tekhnis aparatnya karena
71
tidak menyangkut aturan pokok pengembalian berkas perkara, sehingga
dapat diselesaikan dengan koordinasi yang baik antara Penyidik dan
Penuntut Umum.
B. Saran
1. Dalam hal terdapat pengembalian berkas perkara dikarenakan berkas
perkara tersebut dianggap belum lengkap. Penuntut Umum dan Penyidik
harus melakukan kerjasama dan koordinasi dengan baik, sehingga dalam
melaksanakan tugas masing-masing dapat berjalan dengan lancar. Selain
itu untuk efektifitas dan efisiensi dalam mencegah bolak-baliknya berkas
perkara dari Penuntut Umum kepada Penyidik dilakukan koordinasi
langsung antara Penuntut Umum dengan Penyidik. Koordinasi antara
Jaksa Penuntut Umum dilakukan setelah dikeluarkannya P-16, Jaksa
Penuntut Umum yang bersangkutan secara aktif membina koordinasi dan
kerjasama positif dengan penyidik melalui Forum Konsultasi Penyidik
Penuntut Umum. Forum tersebut digunakan secara optimal untuk
memberikan bimbingan/arahan kepada Penyidik, dengan maksud agar
kegiatan penyidikan mampu menyajikan segala data dan fakta yang
diperlukan bagi kepentingan penuntutan dan bolak-baliknya berkas
perkara dapat dihindari. Namun demikian selain koordinasi dan kerjasama
secra fungsional tersebut, dibina pula koordinasi dan kerjasama positif
secara instansional melalui Forum Rapat Koordinasi Antar Penegak
Hukum (RAKORGAKKUM/DILJAPOL) di tingkat daerah.
2. Penuntut Umum dalam memberikan petunjuk tentang permasalahan dalam
kekuranglengkapan berkas perkara untuk dilengkapi, diberikan petunjuk
dengan jelas agar Penyidik dapat mengerti tentang apa yang kurang dalam
berkas perkara yang di kembalikan. Sehingga dapat meminimalisir bolak-
baliknya berkas perkara.
3. Dalam melaksanakan tuganya Penyidik dan Penuntut Umum harus
melakukan konsultasi secara rutin atas kasus yang ditangani, sehingga
dapat mencegah dan menutup kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan
yang ada terhadap pengembalian berkas perkara.
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Andi Hamzah. Edisi revisi 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Djoko Prakoso, dkk.1987. Mengenai Lembaga Kejaksaan di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
Hamrat Hamit, dkk. 1997. Pembahasan Permasalahan KUHAPdengan Penyidikan. Jakarta: Sinar Grafika.
HB. Sutopo. 1990. Metodologi penelitian Hukum Bagian II. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Kitab Himpunan Tata Naskah dan Petunjuk Teknis Penyelesaian Perkara Pidana Umum Kejaksaan Agung Republik indonesia. Jakarta. 2005.
Kitab MAHKEJAPOL I,II dan CIBOGO I,II,III Mahkamah Agung R.I. Jakarta. 1997.
Leden Marpaung. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Moch. Faisal Salam. 2001. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Mandar Maju.
Nico Ngani, dkk.1984. Mengenai Hukum Acara Pidana Bagian Umum dan Penyidikan. Yogyakarta: Liberti.
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Tim PPH. 2007. Buku Pedoman Penulisan Hukum Mahasiswa Fakulatas Hukum. Surakarta:UNS Press
Yahya Harahap. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor. 8 Tahun tentang Hukum Acara Indonesia.
Undang-Undang Nomor. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 2004 tentang Kepolisian