i
LAPORAN PENELITIAN UTAMA
IMPLIKASI TERBITNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 23
TAHUN 2014 TERHADAP PEMBANGUNAN KESATUAN
PENGELOLAAN HUTAN DI PROVINSI RIAU
Oleh:
1. Dr. Ir. Eno Suwarno, M.Si / NIDN: 1002086401 (Ketua)
2. Ambar Tri Ratnaningsih, S.Hut, M.Si / NIDN: 1004107701 (Anggota)
3. Enni Insusanty, S.Hut., M.Si / NIDN: 00210681001 (Anggota)
Penelitian dibiayai dana RKAT Universitas Lancang Kuning TA 2014/2015
Sesuai Surat Penugasan Penelitian Nomor: 001/Unilak-LPPM/B.07/2015
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS LANCANG KUNING PEKANBARU
JUNI 2015
Rumpun Ilmu : 193 /
MANAJEMEN HUTAN
ii
RINGKASAN
Diundangkannya Undang-Undang (UU) Nomor 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah pada tanggal 2 Oktober 2014 sebagai pengganti UU Nomor
32 tahun 2004 diyakini akan membawa implikasi bagi pelaksanaan pembangunan
KPH di daerah. Oleh karena itu informasi tentang sejauh mana terdapat perubahan
peraturan, serta informasi hasil analisis implikasi dari perubahan tersebut, sangat
diperlukan oleh pemerintah daerah guna menyediakan dasar hukum yang baru bagi
kelanjutan pembangunan KPH di daerah. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengkaji perubahan substansi antara isi Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 dengan
peraturan-peraturan sebelumnya dalam pengaturan urusan bidang kehutanan; (2) mengkaji
implikasi perubahan tersebut terhadap peraturan-peraturan tingkat di bawahnya (PP dan
Permen) yang saat ini menjadi acuan pembangunan KPH; dan (3) mengkaji implikasi
perubahan tersebut terhadap proses-proses pembangunan KPH di Provinsi Riau.
Penelitian dilaksanakan selama enam bulan (Desember 2014 - Mei 2015)
dengan lokasi penelitian di Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.
Secara garis besar kegiatan penelitian terdiri dari kegiatan (1) pengumpulan dan
analisis peraturan, dan (2) wawancara dengan sejumlah pemangku kepentingan
(Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Dinas Kehutanan Kabupaten Kampar, KPHP
Tasik Besar Serkap, KPHP Minas Tahura, dan KPHP Kampar Kiri).
Perubahan substansial dari UU No. 32/2004 kepada UU No. 23/2014, di
dalam peraturan baru, kewenangan pembentukan institusi KPHL/KPHP semuanya
menjadi kewenangan pemerintah provinsi, tidak ada lagi yang menjadi kewenangan
pemerintah kabupaten/kota, kecuali pengelolaan taman hutan raya (Tahura) yang
ada di wilayahnya. Implikasi dari perpindahan kewenangan, maka peraturan yang
menjadi dasar hukum pembentukan institusi KPHL dan KPHP yaitu PP No.
38/2007 dan Permendagri No. 61/2010 (turunan dari UU No. 32/2004) tidak bisa
diacu lagi. Selain itu perpindahan kewenangan berimplikasi kepada inisiatif dan
proses-proses pembentukan KPHL/KPHP oleh pemkab/kota mengalami stagnasi.
Berdasarkan butir-butir kesimpulan di atas maka disarankan kepada pemerintah
pusat agar segera membuat Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri
(Permen) sebagai penjabaran dari UU No. 23/2014 untuk acuan yang lebih
operasional bagi pemerintah daerah. Bagi Pemerintah Provinsi Riau dan
Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Riau, disarankan segera melakukan
koordinasi dan langkah-langkah penyiapan serah terima personil, pendanaan,
sarana-prasarana, dan dokumen (P3D).
PRAKATA
iii
Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT, Pencipta dan Pemelihara
alam semesta, atas limpahan rahmat dan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat
melakukan penelitian dan menyelesaikan laporan akhir yang berjudul “Implikasi
Terbitnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Terhadap Pembangunan
Kesatuan Pengelolaan Hutan Di Provinsi Riau”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu mulai dari awal hingga selesainya laporan akhir
ini, antara lain kepada Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Kepala Dinas
Kehutanan Kabupaten Kampar, Kepala KPHP Tasik Besar Serkap, Kepala KPHP
Minas Tahura, dan Kepala KPHP Kampar Kiri, kemudian kepada Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Lancang Kuning yang
telah membiayai penelitian ini, Dekan dan teman sejawat di Fakultas Kehutanan
Universitas Lancang Kuning dan pihak-pihak lain yang telah membantu kelancaran
penelitian ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan laporan akhir
ini, oleh karena itu saran dan kritik membangun sangat diharapkan sehingga dapat
menyempurnakan kegiatan ini di masa mendatang. Semoga hasil ini dapat
bermanfaat dan digunakan sebagaimana mestinya.
Pekanbaru, Juni 2015
Penulis
DAFTAR ISI
iv
Halaman
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ v
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ vi
BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………. 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………… 4
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ..................... 8
BAB IV. METODE PENELITIAN …………….............................. 10
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN .................………………. 12
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ......................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………. 20
LAMPIRAN ........................................................................................ 22
DAFTAR GAMBAR
v
Halaman
Gambar 1. Road map penelitian bidang tata kelola hutan 2014- 2018 3
Gambar 2. Fishbone Analisis Implikasi Diundangkannya UU Nomor
23 Tahun 2014 Terhadap Pembangunan Kesatuan
Pengelolan Hutan Di Provinsi Riau ..…………………… 11
DAFTAR LAMPIRAN
vi
Halaman
Lampiran 1. Surat penugasan (surat kontrak) pelaksanaan penelitian 23
Lampiran 2. Surat tugas ..……...................................……………… 25
Lampiran 3. Realisasi anggaran ........................................................ 26
Lampiran 4. Dokumentasi ................................................................. 28
Lampiran 5. Surat keterangan telah melaksanakan penelitian .......... 29
Lampiran 6. Berita acara dan absensi seminar hasil ......................... 30
Lampiran 7. Draft Artikel ................................................................. 32
1
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, pembangunan Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH) tengah menjadi program prioritas pemerintah. Hal ini
tergambar dari sasaran strategis yang akan dicapai dalam pelaksanaan Rencana
Stategis Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014, yang mentargetkan
ditetapkannya wilayah KPH di setiap provinsi dan terbentuknya 20% kelembagaan
KPH. Pentingnya keberadaan organisasi KPH semakin dirasakan seiring dengan
masih tingginya tingkat deforestasi dan degradasi hutan. Ditinjau dari perspektif
tata kelola, ketiadaan organisasi pengelola di tingkat tapak ditengarai sebagai salah
satu penyebab utama tidak dapat diatasinya permasalahan-permasalahan illegal
logging, perambahan hutan, konflik lahan, dan kegagalan program-program
rehabilitasi hutan. Oleh karena itu, pembangunan KPH dimaksudkan untuk
mengatasi kelemahan sistem pengurusan hutan di masa lalu ini, agar keberadaannya
di tingkat tapak dapat menjalankan keseluruhan tugas dan fungsi pengelolaan hutan.
KPH adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan
peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Banyak pihak
meyakini pembentukan KPH merupakan prasyarat terselenggaranya pengelolaan
hutan berkelanjutan (Sustainable Forest Management – SFM) dan berkeadilan.
Pemerintah mencanangkan akan membentuk KPH sekitar 600 unit di seluruh
kawasan hutan negara, dimana pembangunannya dilakukan secara bertahap mulai
tahun 2009 hingga tahun 2020. Sampai akhir tahun 2014 ditargetkan sebanyak 120
unit KPH sudah operasional (Kemenhut 2010; 2011).
Berdasarkan pengalaman implementasi pembangunan KPH di lapangan,
khususnya dalam pembangunan KPH model, ditemukan sejumlah kendala. Salah
satu isu penting yang sering mencuat dalam berbagai diskusi ─forum sosialisasi,
workshop, rapat kerja, dan sebagainya─ adalah masalah peraturan perundang-
undangan. Dalam hal pembentukan organisasi KPH di daerah, peraturan yang
dijadikan rujukan adalah PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan, dan
Permendagri No. 61/2010 tentang Pedoman Organisasi KPHL dan KPHP di
2
Daerah. Sedangkan pembagian tugas urusan pemerintahan mengacu kepada PP No.
38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Terdapat fenomena umum bahwa pemerintah daerah masih kebingungan dalam
mensikapi peraturan perundang-undangan yang ada tersebut (Kartodihardjo et al.
2011). Secara umum pemerintah daerah memandang bahwa peraturan-peraturan
tersebut selain belum memenuhi harapan dalam distribusi kewenangan, juga masih
mengandung sejumlah kekurangan sebagai acuan pembentukan organisasi KPH.
Misalnya Suwarno et al. (2014) menemukan Norma Standar Prosedur dan Kriteria
(NSPK) di dalam Permendagri No. 61/2010 untuk menyusun organisasi
KPHP/KPHL belum lengkap dan aplikatif. Situasi ini mendorong sebagian besar
pemerintah daerah mengacu langsung kepada PP No.41/2007 yang tidak secara
khusus mengatur tentang pembentukan organisasi KPHL/KPHP.
Di tengah-tengah dinamika fase awal pembangunan KPH dengan segala
permasalahan yang dihadapinya, pada tanggal 2 Oktober 2014 Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) RI dan Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 23 tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini antara lain mengatur pembagian tugas
dan kewenangan bidang kehutanan antara pemerintah, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota, yang sebelumnya diatur dalam UU No. 32/2004 dan
peraturan turunannya yaitu PP No. 38/2007.
Terbitnya UU No. 23/2014 tentunya menjadi landasan baru bagi
pelaksanaan pembangunan kehutanan dan secara khusus bagi pembangun KPH di
di Provinsi Riau. Oleh karena itu terkait diterbitkannya UU ini, diperlukan suatu
kajian sejauh mana perubahan-perubahan yang terdapat dalam UU baru
dibandingkan dengan UU dan peraturan turunan yang berlaku sebelumnya.
Selanjutnya perlu dilakukan analisis bagaimana implikasinya terhadap proses-
proses pembanguan KPH di Provinsi Riau yang tengah berlangsung saat ini, serta
untuk proses pembangunan KPH tahap berikutnya.
3
1.2. Urgensi Penelitian
Kajian implikasi diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014
terhadap pembangunan KPH di Provinsi Riau memiliki tingkat urgensi yang tinggi,
mengingat keberadaan UU ini akan menjadi aturan kerja (working rules) bagi
pembangunan KPH oleh pemerintah daerah yang saat ini sedang mulai aktif
dilakukan. Menurut Ostrom (2005) aturan kerja adalah seperangkat aturan yang
dijadikan pedoman jika seseorang ditanya oleh orang lain untuk menjelaskan dan
menjustiifikasi keputusan-keputusan yang diambilnya. Dengan diundangkannya
peraturan baru yang sangat terkait, terlebih pada level Undang-Undang, diprediksi
akan sangat berimplikasi terhadap proses-proses yang sedang dan akan
dilaksanakan. Oleh karena itu informasi tentang sejauh mana terdapat perubahan
peraturan, serta informasi hasil analisis implikasi dari perubahan tersebut, sangat
diperlukan oleh pemerintah daerah guna menyediakan dasar hukum yang baru bagi
kelanjutan pembangunan KPH di Provinsi Riau.
Penelitian ini merupakan bagian dari rencana peta jalan (road map) penelitian
bidang tata kelola hutan tahun 2014-2019 yang telah disusun oleh ketua peneliti. Penelitian
ini berada pada bidang penelitian Kebijakan Pengurusan Hutan, pada ruang lingkup Kajian
Kebijakan Nasional. Lebih jelasnya seperti digambarkan pada Gambar 1.
BIDANG
PENELITIAN 2015 2016 2017 2018 2019
Kebijakan
pengurusan
hutan
Kelembagaan
pengelolaan
hutan
Good forest
governance
Pemberdayaan
masyarakat
Gambar 1. Road map penelitian bidang tata kelola hutan 2014-2019
Kajian kebijakan nasional
Organisasi dan kelembagaan KPH pada era otonomi daerah
Penilaian kinerja para pihak sektor kehutanan
Kearifan lokal dan penguatan
posisi masyarakat
Kajian kebijakan daerah
Pendampingan masyarakat
4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep KPH
Pengertian KPH sebagai suatu unit pengelolaan hutan secara formal mulai
muncul di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu
pada penjelasan pasal 17: “Yang dimaksud dengan unit pengelolaan adalah
kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang
dapat dikelola secara efisien dan lestari”. Sedangkan Castaneda (2000)
mendefinisikan KPH sebagai unit pengelolaan hutan yang arealnya telah
ditetapkan dengan batas-batas yang jelas, dimana sebagian besar arealnya ditutupi
oleh hutan, dikelola untuk jangka panjang, dan memiliki sejumlah tujuan yang jelas
yang dituangkan ke dalam rencana pengelolaan hutan. Dengan demikian maka
KPH adalah strategi manajemen hutan berupa pembagian areal lahan hutan ke
dalam unit-unit wilayah pengelolaan berdasarkan kriteria tertentu.
Luas wilayah satu unit KPH berkisar antara 5000 ha – 700.000 ha (lihat Dir
WP3H 2012). Penetapan luas wilayah KPH tersebut sangat dipengaruhi oleh luas
dan sebaran wilayah hutan yang ada pada masing-masing provinsi dan
kabupaten/kota di Indonesia. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007,
KPH meliputi KPH Konservasi (KPHK), KPH Lindung (KPHL), dan KPH
Produksi (KPHP)1. Secara konseptual, menurut Kartodihardjo dan Suwarno
(2014), proses pembangunan KPH sesungguhnya merupakan proses pergeseran
institusi (institutional change), dimana dalam proses pergeseran institusi terdapat
beberapa pokok perubahan fundamental yang menjadi filosofi dasarnya, yaitu: (a)
Perubahan nilai (value system) dan cara berpikir; (b) Perubahan batas yurisdiksi
(jurisdiction boundary); (c) Pengelolaan yang berbasis output secara nyata; dan (d)
Peningkatan transparansi dan akuntabilitas.
1 Menurut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor P.6 Tahun 2009, Kesatuan Pengelolaan Hutan
Konservasi (KPHK) adalah kesatuan pengelolaan hutan yang luas wilayahnya seluruhnya atau
didominasi oleh kawasan hutan konservasi. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) adalah
kesatuan pengelolaan hutan yang luas wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh kawasan hutan
lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) adalah kesatuan pengelolaan hutan yang
luas wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh kawasan hutan produksi.
5
Prosedur pembentukan wilayah KPH diatur dalam Peraturan Menteri
Kehutanan (Permenhut) Nomor P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Wilayah
KPH. Berdasarkan peraturan tersebut pembentukan KPH melalui empat tahap,
yaitu: tahap 1, Usulan Rancang bangun KPH oleh Dinas Kehutanan Provinsi; tahap
2, Arahan pencadangan wilayah KPH oleh Kementerian Kehutanan; tahap 3,
Usulan Penetapan KPH dari Dinas Kehutanan Provinsi; dan tahap akhir, Penetapan
wilayah KPH oleh Menteri Kehutanan.
Setelah penetapan wilayah KPH maka harus segera diikuti dengan penetapan
organisasi yang akan mengelola KPH. Berdasarkan PP No. 6/2007 jo PP No 3/2008,
organisasi KPHK dibentuk dan ditetapkan oleh Kemenhut, sementara berdasarkan
Permendagri No. 61/2010 organisasi pengelola KPHL dan KPHP dibentuk dan
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. Pembentukan organisasi KPHL dan KPHP
yang wilayah kerjanya lintas Kabupaten/Kota dalam satu provinsi ditetapkan
dengan Peraturan Daerah Provinsi.Pembentukan organisasi KPHL dan KPHP yang
wilayah kerjanya dalam satu Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
Berdasarkan PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008 Tahun 2008, yang kemudian
dijabarkan dalam Permenhut No. P.6/ 2010 tentang Norma, Standar, Prosedur dan
Kriteria Pengelolaan Hutan pada KPHL dan KPHP, tugas pokok organisasi KPH
adalah sebagai berikut:
1. Melaksanakan penataan hutan dan tata batas di dalam wilayah KPH.
2. Menyusun rencana pengelolaan hutan di tingkat wilayah KPH, termasuk
rencana pengembangan organisasi KPH.
3. Melaksanakan pembinaan, monitoring dan evaluasi kinerja pengelolaan hutan
yang dilaksanakan oleh pemegang ijin pemanfaatan hutan dan penggunaan
kawasan hutan, termasuk dalam bidang rehabilitasi dan reklamasi hutan, serta
perlindungan hutan dan konservasi alam.
4. Melaksanakan rehabilitasi dan reklamasi hutan.
5. Melaksanakan perlindungan hutan dan konservasi alam.
6. Melaksanakan pengelolaan hutan di kawasan tertentu bagi KPH yang telah
menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU) atau
Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
6
7. Menjabarkan kebijakan kehutanan menjadi inovasi dan operasi pengelolaan
hutan.
8. Menegakkan hukum kehutanan, termasuk perlindungan dan pengamanan
kawasan.
9. Mengembangkan investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan
hutan lestari.
Pembangunan KPH di Indonesia saat ini mengacu kepada sejumlah
peraturan perundangan sebagai berikut:
1. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
2. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
3. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provisnsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
4. Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan
Kehutanan;
5. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 juncto Peraturan Pemerintah
No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan;
6. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat
Daerah;
7. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.6/Menhut-II/2009 tentang
Pembentukan Wilayah KPH;
8. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.6/Menhut-II/2010 tentang Norma,
Standar, Prosedur, dan Kriteria Pengelolaan Hutan pada KPHL dan KPHP;
9. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 61 Tahun 2010 tentang Pedoman
Organisasi dan Tata Kerja KPHL dan KPHP;
2.2. Implikasi Perubahan Peraturan
Secara hirarkis Kiser dan Ostrom (1982) membagi peraturan ke dalam tiga
tingkatan, yaitu aturan konstitusional (UUD), aturan pilihan kolektif (UU), dan
aturan operasional (PP, Permen, dst). Secara normatif, aturan yang lebih rendah
7
akan bersarang (mengacu) kepada seperangkat aturan yang lebih tinggi. Dengan
demikian maka perubahan pada satu tingkat peraturan akan sangat ditentukan oleh
batas-batas yang dimungkinkan dari lingkup peraturan di atasnya, sementara
perubahan pada peraturan yang lebih tinggi hampir selalu akan berdampak luas
kepada perubahan peraturan tingkat di bawahnya. Menurut Blomquist (2006),
komponen peraturan berperan dalam membentuk situasi aksi dengan cara
mempengaruhi insentif dan pilihan yang tersedia bagi pada aktor, kemudian aktor
yang rasional akan meresponnya dengan cara berperilaku dan mengadopsi strategi
tertentu, yang selanjutnya akan mempengaruhi hasil. Oleh karena itu menurut
Blomquist, dengan memodifikasi peraturan dapat mendororng aktor untuk
berperilaku dan mengadopsi strategi tertentu sehingga berpotensi menghasilkan
hasil yang berbeda. Menurut Ostrom (2008), modifikasi peraturan pada dasarnya
dimaksudkan untuk menemukan kombinasi yang lebih efektif dibanding kombinasi
yang lainnya.
8
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1.Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengkaji perubahan substansi antara isi Undang-Undang Nomor 23 tahun
2014 dengan peraturan-peraturan sebelumnya dalam pengaturan urusan bidang
kehutanan.
2. Mengkaji implikasi perubahan tersebut terhadap peraturan-peraturan tingkat di
bawahnya (PP dan Permen) yang saat ini menjadi acuan pembangunan KPH.
3. Mengkaji implikasi perubahan tersebut terhadap proses-proses pembangunan
KPH di Provinsi Riau.
3.2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini terutama bagi pemerintah
daerah, dimana pemerintah daerah Provinsi Riau akan memperoleh gambaran aspek
legal yang baru sebagai landasan hukum bagi keberlanjutan implementasi
pembangun KPH di Provinsi Riau.
3.3.Luaran Yang Diharapkan
Luaran yang akan dihasilkan pada penelitian ini berupa artikel ilmiah yang
ditujukan pada jurnal lokal mengenai implementasi kebijakan pembangunan KPH
di Provinsi Riau dan juga menjadi bahan ajar untuk mata kuliah Kebijakan dan
Peraturan Perundang-Undangan Kehutanan. Substansi luaran utama dari
penelitian ini berupa informasi dari hasil analisis peraturan tentang:
1. Perubahan-perubahan penting yang terkandung dalam UU 23/2014 yang akan
menjadi dasar hukum baru bagi implementasi kebijakan pembangunan KPH.
2. Gambaran implikasi perubahan tersebut terhadap peraturan-peraturan pada
tingkat di bawahnya (PP dan Permen) yang saat ini menjadi acuan untuk
pembangunan KPH.
9
3. Gambaran implikasi perubahan tersebut terhadap proses-proses pembanguan
KPH di Provinsi Riau yang saat ini tengah berlangsung, serta untuk kelanjutan
pembangunan KPH pada tahap-tahap berikutnya.
Ketiga jenis informasi tersebut sangat penting dan sangat diperlukan oleh
para pemangku kepentingan di daerah, khususnya bagi pemerintah daerah Provisi
Riau yang saat ini sedang melaksanakan pembangunan KPH.
10
BAB IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lingkup Kegiatan
Lingkup kegiatan penelitian ini akan terdiri dari dua jenis kegiatan, yaitu:
1) Kajian dokumen peraturan, dimana peraturan yang akan dikaji terdiri dari:
1. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
2. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provisnsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2007 juncto Peraturan Pemerintah
Nomor 6 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan;
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 tahun 2010 tentang
Pedoman Organisasi dan Tata Kerja KPHL dan KPHP; dan
2) Wawancara terhadap aparatur Dinas Kehutanan Provinsi Riau dan Dinas
Kehutanan Kabupaten Kampar, serta tiga KPH di Provinsi Riau yaitu
KPHP Tasik Besar Serkap, KPHP Minas Tahura, dan KPHP Kampar Kiri.
Aparatur dari Dinas Kehutanan dipilih yaitu Kepala Dinas Kehutanan.
Alasannya, mengingat pejabat tersebut sebagai key informan untuk
implementasi kebijakan pembangunan KPH di daerah tingkat provinsi dan
tingkat kabupaten. Sedangkan aparatur dari ketiga KPH dipilih Kepala
KPH masing-masing, dengan alasan yang sama bahwa mereka sebagai key
informan bagi implementasi kebijakan pembangunan KPH di KPH-nya
masing-masing.
4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan antara bulan Desember 2014 sampai dengan Mei
2015. Lokasi penelitian di Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.
4.3. Metode Pengumpulan dan Analisis Data
11
Data terkait isi peraturan yang dianalisis dikumpulkan dari internet dengan
cara mengunjungi situs-situs yang menyediakan peraturan yang dibutuhkan. Data
tentang pandangan dan tanggapan aparatur terkait dikumpulkan dengan metode
wawancara semi terstruktur. Analisis peraturan dilakukan dengan metode analisis
isi (content analysis). Substansi yang dianalisis adalah tentang pembagian
kewenangan antara pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten /
kota, dan tata hubungan antar tingkatan peraturan Analisis terhadap pandangan dan
tanggapan dari aparatur kehutanan daerah menggunakan analisis deskriptif, yang
menggambarkan aspek pemahaman dan sikap terhadap isi peraturan yang baru.
Gambar 2. Fishbone Analisis Implikasi Diundangkannya UU Nomor 23 Tahun
2014 Terhadap Pembangunan Kesatuan Pengelolan Hutan Di
Provinsi Riau
Implikasi thd proses pembangunan KPH yg sdg berlangsung
Implikasi thp proses pembangunan KPH yg akan datang
Perubahan substasi peraturan dalam UU No. 23//2014
Peraturan-peraturan terdahulu
Kewenangan Tata hubungan antar peraturan
Aspek-aspek yang diatur
Tata hubungan antar peraturan
Aspek-aspek yang diatur
Kewenangan
Keberlanjutan pembangunan KPH di Riau
12
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Peraturan
Analisis peraturan dilakukan terhadap lima buah peraturan, yaitu:
(1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
(2) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
(3) Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota;
(4) Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2007 juncto Peraturan Pemerintah Nomor
6 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
serta Pemanfaatan Hutan; dan
(5) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 tahun 2010 tentang Pedoman
Organisasi dan Tata Kerja KPHL dan KPHP.
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Di dalam UU No. 32/2004 pembagian urusan pemerintahan Bidang Kehutanan tidak dirinci namun termasuk ke dalam kelompok yang akan diatur secara khusus
melalui PP (Pasal 14:3).
PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota
Di dalam PP No. 38/2007 sebagai penjabaran dari UU No. 32/2004, pada Pasal 2(4)
dinyatakan bahwa urusan kehutanan adalah urusan pemerintahan yang dibagi
bersama antar tingkatan pemerintahan (konkuren).
Urusan kehutanan termasuk ke dalam kelompok urusan pilihan (Pasal 7:4).
Pada Lampiran Bagian AA poin 8 dinyatakan bahwa: (a) wewenang Pemerintah
adalah menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan
penetapan pembentukan wilayah pengelolaan hutan (KPH), penetapan wilayah
KPH dan institusi KPH, serta arahan pencadangan; (b) wewenang Pemerintah
Daerah Provinsi adalah melaksanakan penyusunan rancang bangun, pembentukan
dan pengusulan penetapan KPHL dan KPHP serta pertimbangan teknis institusi
KPHL/KPHP; dan (c) wewenang Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota adalah
13
memberi pertimbangan penyusunan rancang bangun dan pengusulan pembentukan
KPHL dan KPHP, serta institusi KPHL/KPHP.
PP No.6/2007 Jo No. 3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan
Di dalam PP No. 6/2007 Jo PP 3/2008 Pasal 8(1) dinyatakan bahwa Menteri
menetapkan organisasi KPHK, KPHL, dan KPHP. Berdasarkan Pasal 8(2),
Penetapan Organisasi KPHL dan KPHP dilakukan berdasarkan: (a) usulan dari
pemerintah provinsi, dalam hal KPHP atau KPHL berada dalam lintas
kabupaten/kota; (b) usulan dari pemerintah kabupaten/ kota, dalam hal KPHP atau
KPHL berada dalam kabupaten/kota; (c) pertimbangan teknis dari pemerintah
provinsi.
Permendagri No.61/2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja KPHL dan
KPHP di Daerah
Di dalam Permendagri No.61/2010 Pasal 2(2) dinyatakan bahwa pembentukan
KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya lintas Kabupaten/Kota dalam satu
provinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi; bunyi ayat (3)
Pembentukan KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya dalam satu Kabupaten/Kota
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Kemudian bunyi Pasal 3(1)
KPHL dan KPHP Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah; dan
ayat (2) KPHL dan KPHP Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (3) berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota melalui
Sekretaris Daerah.
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Di dalam UU No. 23/2014 Pasal 14(1): Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
bidang kehutanan dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi; (2) Urusan
Pemerintahan yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya kabupaten/kota
menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota.
Pasal 404: serah terima personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen
(P3D) sebagai akibat pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat,
daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota yang diatur berdasarkan Undang-
14
Undang ini dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Lampiran BB Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kehutanan, dinyatakan
bahwa pengelolaan hutan oleh Pemerintah meliputi: a. Penyelenggaraan tata hutan;
b. Penyelenggaraan rencana pengelolaan hutan (di dalamnya termasuk pembentukan
wilayah KPH); c. Penyelenggaraan pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan
hutan; d. Penyelenggaraan rehabilitasi dan reklamasi hutan; e. Penyelenggaraan
perlindungan hutan; f. Penyelenggaraan pengolahan dan penatausahaan hasil hutan;
g. Penyelenggaraan pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK).
Pengelolaan hutan oleh Pemerintah Provinsi melipputi: a. Pelaksanaan tata hutan
kesatuan pengelolaan hutan kecuali pada kesatuan pengelolaan hutan konservasi
(KPHK); b. Pelaksanaan rencana pengelolaan kesatuan pengelolaan hutan kecuali
pada kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK); c. Pelaksanaan pemanfaatan
hutan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung, meliputi: (1) Pemanfaatan
kawasan hutan, (2) Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, (3) Pemungutan hasil
hutan; (4) Pemanfaatan jasa lingkungan kecuali pemanfaatan penyimpanan dan/atau
penyerapan karbon; d. Pelaksanaan rehabilitasi di luar kawasan hutan negara; e.
Pelaksanaan perlindungan hutan di hutan lindung, dan hutan produksi; f.
Pelaksanaan pengolahan hasil hutan bukan kayu; g. Pelaksanaan pengolahan hasil
hutan kayu dengan kapasitas produksi < 6000 m³/tahun; h. Pelaksanaan pengelolaan
KHDTK untuk kepentingan religi.
Keterangan: Semua rincian tugas pengelolaan hutan di atas dilaksanakan oleh
organisasi/institusi KPH (KPHL/KPHP)
Berdasarkan identifikasi terhadap isi peraturan di atas, perubahan-perubahan
mendasar dalam pembagian kewenangan urusan kehutanan (dan secara khusus terkait
pembangunan KPH) adalah sebagai berikut:
1. Di dalam peraturan lama, kewenangan membentuk institusi KPHL dan KPHP,
untuk kawasan hutan lintas kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintah
daerah provinsi; dan untuk kawasan hutan dalam satu wilayah kabupaten/kota
menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota.
2. Di dalam peraturan baru (UU No.23/2014) kewenangan membentuk institusi
KPHL dan KPHP semuanya menjadi kewenangan pemerintah provinsi; tidak ada
15
lagi yang menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota, kecuali
pengelolaan taman hutan raya (Tahura) yang ada di wilayahnya.
3. Serah terima personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen (P3D)
sebagai akibat perubahan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah
Pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dilakukan paling lama 2 (dua)
tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan, yaitu paling lambat tanggal
2 Oktober 2016.
5.1. Hasil Wawancara
Wawancara dilakukan kepada sejumlah aparatur kehutanan di tingkat provinsi
(Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Kepala KPHP Tasik Besar Serkap, dan
Kepala KPHP Minas Tahura) dan di tingkat kabupaten (Sekretaris dan tiga Kepala
Bidang di Dinas Kehutanan Kabupaten Kampar, dan Kepala KPHP Kampar Kiri).
Butir-butir hasil wawancara diangkum sebagai berikut:
Setelah terbitnya UU No. 23/2014, untuk urusan pemerintahan bidang kehutanan
belum ada pembahasan dan koordinasi antara Pemerintah Daerah Provinsi Riau
dengan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Riau.
Dalam merespon UU baru ini secara umum sikap pemerintah daerah (Provinsi
dan Kabupaten/Kota) pada dasarnya taat hukum, dan bersifat menunggu pedoman
implementasinya atau peraturan operasionalnya (PP dan Permen).
KPHP Kampar Kiri sebagai KPH yang dibentuk Pemeritah Kabupaten Kampar
untuk tahun 2015 masih tetap melanjutkan aktivitas sesuai dengan perencanaan
yang sudah dibuat (RKT dan RK-KPH). Namun untuk tahun-tahun selanjutnya
menunggu ketentuan yang akan dibuat pemerintah.
Bila urusan pemerintahan bidang kehutanan semuanya ditarik ke provinsi, kecuali
pengelolaan Tahuran kabupaten/kota, maka keberadaan Dinas Kehutanan
Kabupaten/Kota menjadi tidak urgen lagi. Diperkirakan tahun 2017 Dinas
Kehutanan di Kabupaten Kampar sudah tidak ada lagi.
Bagi KPHP Tasik Besar Serkap dan KPHP Minas Tahura, diterbitkannya UU No.
23/2014 tidak berpengaruh terhadap kedudukan institusi/kelembagaan yang
sudah ada, mengingat baik institusi maupun personilnya sudah di bawah
Pemdaprov Riau.
16
Bila seluruh KPH di Provinsi Riau (menurut rancang bangun KPH akan dibentuk
32 KPH) menjadi KPH Provinsi, dan semuanya menjadi SKPD, maka hal ini akan
sangat menjadi beban pemerintah daerah Provinsi Riau.
Bila masing-masing menjadi SKPD mandiri dan otonom, maka jumlah SKPD di
provinsi Riau akan menjadi sekitar 90 SKPD. Hal ini menjadi kurang rasional,
mengingat urusan pemerintahan bidang lain hanya diurus oleh 1 atau 2 SKPD,
sementara bidang kehutanan akan diurus oleh 33 SKPD. Maka yang lebih
rasional adalah adanya kesatuan KPH untuk seluruh KPH di provinsi Riau,
dimana insitusi di tingkat Provinsi dapat berupa SKPD eselon 2 yang membawahi
KPH-KPH (eselon 3) di seluruh provinsi Riau.
Merespon Surat Edaran Mendagri No. 120 /25 3 /S j t angga l 16 Januari 2015
tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Setelah Ditetapkan UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Pemkab Kampar telah melakukan rapat
pada tanggal 16 Maret 2015 yang dipimpin oleh Sekretaris Daerah.
Keputusannya antara lain segera membentuk tim inventarisasi personel,
pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen (P3D).
Hasil wawancara tersebut menunjukan bahwa respon pemerintah daerah
Kabupaten Kampar terhadap pengalihan kewenangan urusan kehutanan dari
pemkab/kota kepada pemprov yang diatur dalam UU No. 23/2014 bersikap
menerima. Hal ini sebagai konsekwensi logis dari azas taat hukum terhadap sistem
tata negara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sikap
menerima ini selain dinyatakan secara lisan, juga ditunjukkan dengan langkah-langkah
yang telah ditempuh untuk melaksanakan instruksi SE Mendagri No. 12 0 /253 /S j .
Pemda Kampar t e l ah melakukan rapat pada tanggal 16 Maret 2015 yang
dipimpin oleh Sekretaris Daerah. Keputusannya antara lain segera membentuk tim
inventarisasi personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen (P3D).
Implikasi terhadap inisiatif dan proses-proses pembangunan KPHL/KPHP
oleh pemerintah kabupaten/kota lebih bersifat tehnis saja. Tentunya tidak akan ada
inisiatif pembentukan KPHL/KPHP baru, demikian juga alokasi anggaran dan
pemenuhan SDM untuk KPHP yang sudah terbentuk. Baik pemerintah Kabupaten
Kampar maupun pemerintah Provinsi Riau sama-sama menunggu peraturan turunan
untuk menindaklanjuti ketentuan UU No. 23/2014, yaitu berupa PP dan Permen.
18
Berdasarkan hasil analisis peraturan dan wawancara terhadap aparatur
kehutanan yang relevan di pemerintah Provinsi Riau dan pemerintah Kabupaten
Kampar, kesimpulan penelitian adalah:
1. Perubahan substansi dari UU No. 32/2004 kepada UU No. 23/2014, di dalam
peraturan baru, kewenangan pembentukan institusi KPHL/KPHP semuanya
menjadi kewenangan pemerintah provinsi, tidak ada lagi yang menjadi
kewenangan pemerintah kabupaten/kota, kecuali pengelolaan taman hutan raya
(Tahura) yang ada di wilayahnya.
2. Implikasi dari perpindahan kewenangan, maka peraturan yang menjadi dasar
hukum pembentukan institusi KPHL dan KPHP yaitu PP No. 38/2007 dan
Permendagri No. 61/2010 (turunan dari UU No. 32/2004) tidak bisa diacu lagi.
Peraturan tersebut harus segera diganti dengan PP dan Permen baru yang mengacu
kepada UU No. 23/2014. Dalam masa transisi (2 tahun), apabila pemerintah
provinsi akan membentuk institusi KPHL/KPHP, dapat mengacu kepada PP No.
41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.
3. Perpindahan kewenangan berimplikasi kepada inisiatif dan proses-proses
pembentukan KPHL/KPHP oleh pemkab/kota mengalami stagnasi. Antara lain
pada KPHP Kampar Kiri (sebagai KPH Pemdakab Kampar), saat ini sedang dalam
proses penyiapan serah terima personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta
dokumen (P3D) kepada Pemprov Riau Sementara pemerintah Provinsi Riau
sendiri masih menunggu pedoman lebih lanjut untuk menindaklanjuti serah-terima
KPH tersebut.
Berdasarkan butir-butir kesimpulan di atas maka diajukan saran-saran sebagai
berikut:
1. Pemerintah Pusat agar segera membuat Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan
Menteri (Permen) sebagai penjabaran dari UU No. 23/2014 untuk acuan yang lebih
operasional bagi pemerintah daerah. Dalam hubungannya dengan pembangunan
institusi KPHL dan KPHP di daerah, hal yang paling mendasar adalah menyangkut
tata hubungan kerja antar instansi pemerintah, bentuk organisasi, dan eselonisasi di
dalam organisasi KPHL/KPHP.
19
2. Bagi pemerintah Provinsi Riau dan pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Riau,
disarankan agar segera melakukan koordinasi dan langkah-langkah penyiapan
serah terima personil, pendanaan, sarana-prasarana, dan dokumen (P3D).
20
DAFTAR PUSTAKA
Blomquist W. 2006. The Policy Process and Large-N Comparative Studies. In
Sabatier PA, editor. Theories of the Policy Process. Boulder, CO (US):
Westview Press.
Castañeda F. 2000. Why national and forest management unit level criteria and
indicator for sustainable management of the dry forest in Asia?. in: Cheng TL,
Durst PB, editors. Development of national-level criteria and indicator for
sustainable management of the dry forest in Asia: background paper. Rap
Publication, Bangkok, Thailand (TH). 1–22 June 2000.
[Dir WP3H] Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan
Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan (ID). 2012.
Data dan Informasi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Tahun 2012. Jakarta:
Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan,
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan.
Kartodihardjo H, Nugroho B, Putro HR. 2011. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan
Hutan (KPH): Konsep, Peraturan Perundangn dan Implementasi. Jakarta (ID):
Kementerian Kehutanan RI.
Kartodihardjo H, Suwarno E. 2014. Pengarusutamaan Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH) dalam Kebijakan dan Pelaksanaan Perizinan Kehutanan. Jakarta (ID):
Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan
Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2011. Peraturan Menteri
Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.49/Menhut-II/2011 tentang Rencana
Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2011 – 2030.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2010. Peraturan Menteri
Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P. 51/Menhut-II/2010 jo. P.15/Menhut-
II/2013 tentang Rencana Strategis Kementerian Kehutanan Tahun 2010 – 2014.
Kiser, Larry L., and Elinor Ostrom. 1982. The Three Worlds of Action: A
Metatheoretical Synthesis of Institutional Approaches. In Strategies of Political
Inquiry, ed. Elinor Ostrom, 179-222. Beverly Hills, California (US): Sage.
Ostrom, E. 2008. Institutions and the environment. Economic Affairs. 28(3):24–31
Ostrom E. 2005. Understanding Institutional Diversity. Princeton (US): Princenton
University Press.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan
Wilayah KPH.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan.
21
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan
Suwarno E, Kartodihardjo H, Kolopaking LM, dan Soedomo S. 2014. Penggunaan
Konsep Rules In Use Ostrom Dalam Analisis Peraturan Pembentukan Organisasi
Kesatuan Pengelolaan Hutan. Jurnal Analisis Kebijakan 11(2).
26
Lampiran 3. Realisasi Anggaran
I. Honor
No. Jabatan Waktu (jam/ minggu) Minggu Jumlah (Rp)
1 Ketua 6 24 1.000.000
2 Anggota I 4 24 500.000
3 Anggota II 4 24 500.000
Sub Total (Rp)
2.000.000
II. Peralatan Penunjang
No. Material Justfikasi
Pemakaian Kuantitas
Harga
Satuan
(RP)
Jumlah (Rp)
1 ATK Pelaksanaan
kegiatan
1 Paket
300.000
150.000
2 Fotocopy dan print Fotocopy dan print
dokumen
1 Paket
200.000
100.000
3 Pulsa internet Unduh bahan/data
dan literatur 1 Paket 200.000 150.000
Sub Total (Rp) 400.000
III. Perjalanan
No. Kegiatan Justfikasi
Pemakaian Kuantitas
Harga
Satuan
(RP)
Jumlah (Rp)
1 Wawancara responden Biaya transportasi 1 paket 1.500.000 1.200.000
Sub Total (Rp)
1.200.000
IV. Lain-lain
No. Kegiatan Justfikasi
Pemakaian Kuantitas
Harga
Satuan
(RP)
Jumlah (Rp)
1 Diskusi tim Konsumsi diskusi
tim 1 paket
200.000
200.000
2 Pembuatan proposal
Pencarian referensi,
pembuatan dan
penggandaan
1 paket
150.000
150.000
3 Pengolahan data Pengolahan data 1 paket
150.000
150.000
4 Seminar awal Seminar 1 paket
150.000
150.000
27
5
Penggandaan laporan,
banner, dan
pendukungnya
Laporan Akhir 1 paket
350.000
350.000
8 Biaya jurnal Jurnal Ilmiah 1 jurnal 400.000
400.000
Sub Total (Rp)
1.400.000
Total (Rp)
5.000.000
28
Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian
Kegiatan wawancara di KPHP Kampar Kiri
Peta wilayah KPHP Kampar Kiri
Wawancara dengan Kadishut Provinsi Riau
Wawancara dengan pejabat Dishut Kab Kampar
Wawancara dengan KKPH Tasik Besar Serkap
Wawancara dengan KKPH Minas Tahura
32
Lampiran 7
IMPLIKASI TERBITNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 23
TAHUN 2014 TERHADAP PEMBANGUNAN KESATUAN
PENGELOLAAN HUTAN DI PROVINSI RIAU
(Implications of Publication of The Act No. 23 of 2014 to The Forest Management
Unit Development In Riau Province)
Eno Suwarno1, Ambar Tri Ratnaningsih1, Enni Insusanty1
1Fakultas Kehutanan Universitas Lancang Kuning, Jln. Yos Sudarso Km.8 Rumbai, Pekanbaru, Riau,
Telp/Fax (0761) 54092
Email : [email protected], [email protected], [email protected]
ABSTRACT
The issuance of the Act No. 23 of 2014 on Regional Government in lieu of Law
No. 32 of 2004 has implications for the development of Forest Management Unit
(FMU) in the district and province level. This study aims to (1) assess changes in the
substance of Law No. 23 of 2014 with the previous regulations in forestry affairs; (2)
assess the implications of changes in the law for the below rules level; and (3) assess
the implications of these changes to the processes of the FMU development in Riau
Province. The research was conducted during the month of December 2014 - May
2015, is located in the city of Pekanbaru and the district of Kampar, Riau Province.
The research activities consist of (1) collecting and analysis of regulations, and (2)
interviews with a number of forestry officials from Riau Forestry Service, Kampar
Forestry Service, Tasik Besar Serkap FMU, Minas Tahura FMU, and Kampar Kiri
FMU.
Substantial changes in the Law No. 23/2014 is the transfer of authority to the
formation of the FMU organization, which at an earlier time there under the authority
of the district / city, forward the authority of the provincial government, except forest
park management (Tahura) in its territory. The implication then PP And Regulation
Government Regulations No. 38/2007 and Minister of Home Affairs Regulatin No.
61/2010 on which to base the legal establishment of the organization FMU in the past
can not be referenced again. Besides the transfer of authority implies initiative and
processes of formation of FMU by regency / city stagnated. It is suggested to the
central government to immediately make government regulation and the minister
regulations as a translation of Law No. 23/2014. For the Riau Provincial Government
and District / City in Riau Province, it is advisable to immediately undertake the
coordination and steps to prepare the handover of personnel, funding, infrastructure,
and documents.
Keywords: Law No. 23 of 2014, the transfer of authority, FMU development
33
ABSTRAK
Terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagai pengganti UU Nomor 32 tahun 2004 berimplikasi terhadap
pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di daerah. Penelitian ini bertujuan
untuk (1) mengkaji perubahan substansi UU Nomor 23 tahun 2014 dengan peraturan
sebelumnya dalam urusan kehutanan; (2) mengkaji implikasi perubahan UU tersebut terhadap
peraturan-peraturan tingkat di bawahnya; dan (3) mengkaji implikasi perubahan tersebut
terhadap proses-proses pembangunan KPH di Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan
selama bulan Desember 2014 - Mei 2015, berlokasi di Kota Pekanbaru dan Kabupaten
Kampar, Provinsi Riau. Kegiatan penelitian terdiri dari (1) pengumpulan dan analisis
peraturan, dan (2) wawancara dengan sejumlah aparatur kehutanan dari Dinas
Kehutanan Provinsi Riau, Dinas Kehutanan Kabupaten Kampar, KPH-Produksi Tasik
Besar Serkap, KPH-Produksi Minas Tahura, dan KPH-Produksi Kampar Kiri.
Perubahan substansi dalam UU No. 23/2014 adalah pengalihan kewenangan
pembentukan organisasi KPHL/KPHP, dimana pada waktu sebelumnya ada yang
menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota, selanjunya menjadi kewenangan
pemerintah provinsi, kecuali pengelolaan taman hutan raya (Tahura) di wilayahnya.
Implikasinya maka PP No. 38/2007 dan Permendagri No. 61/2010 yang menjadi
dasar hukum pembentukan organisasi KPH-Lindung/KPH-Produksi di masa lalu tidak
bisa diacu lagi. Selain itu perpindahan kewenangan berimplikasi kepada inisiatif dan
proses-proses pembentukan KPH oleh pemkab/kota mengalami stagnasi. Disarankan
kepada pemerintah pusat agar segera membuat Peraturan Pemerintah dan Peraturan
Menteri sebagai penjabaran dari UU No. 23/2014. Bagi Pemerintah Provinsi Riau dan
Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Riau, disarankan agar segera melakukan
koordinasi dan langkah-langkah penyiapan serah terima personil, pendanaan, sarana-
prasarana, dan dokumen (P3D).
Kata kunci: UU Nomor 23 tahun 2014, pengalihan kewenangan, pembangunan KPH
PENDAHULUAN
Pentingnya keberadaan organisasi KPH semakin dirasakan seiring dengan
masih tingginya tingkat deforestasi dan degradasi hutan. Ditinjau dari perspektif tata
kelola, ketiadaan organisasi pengelola di tingkat tapak ditengarai sebagai salah satu
penyebab utama tidak dapat diatasinya permasalahan-permasalahan illegal logging,
perambahan hutan, konflik lahan, dan kegagalan program-program rehabilitasi hutan.
Oleh karena itu, pembangunan KPH dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan sistem
pengurusan hutan di masa lalu ini, agar keberadaannya di tingkat tapak dapat
menjalankan keseluruhan tugas dan fungsi pengelolaan hutan.
Berdasarkan pengalaman implementasi pembangunan KPH di lapangan,
khususnya dalam pembangunan KPH model, ditemukan sejumlah kendala. Salah satu
isu penting yang sering mencuat dalam berbagai diskusi adalah masalah peraturan
perundang-undangan. Terbitnya UU No. 23/2014 tentunya menjadi landasan baru bagi
pelaksanaan pembangunan kehutanan dan secara khusus bagi pembangun KPH di di
Provinsi Riau. Oleh karena itu terkait diterbitkannya UU ini, diperlukan suatu kajian
sejauh mana perubahan-perubahan yang terdapat dalam UU baru dibandingkan
dengan UU dan peraturan turunan yang berlaku sebelumnya. Selanjutnya perlu
34
dilakukan analisis bagaimana implikasinya terhadap proses-proses pembanguan KPH
di Provinsi Riau yang tengah berlangsung saat ini, serta untuk proses pembangunan
KPH tahap berikutnya.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengkaji perubahan substansi antara isi
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 dengan peraturan-peraturan sebelumnya
dalam urusan bidang kehutanan; (2) Mengkaji implikasi perubahan tersebut terhadap
peraturan-peraturan di tingkat di bawahnya (PP dan Permen) yang saat ini menjadi
acuan pembangunan KPH; dan (3) Mengkaji implikasi perubahan tersebut terhadap
proses-proses pembangunan KPH di Provinsi Riau.
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep KPH
Pengertian KPH sebagai suatu unit pengelolaan hutan secara formal mulai
muncul di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu
pada penjelasan pasal 17: “Yang dimaksud dengan unit pengelolaan adalah kesatuan
pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat
dikelola secara efisien dan lestari”. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2007, KPH meliputi KPH Konservasi (KPHK), KPH Lindung (KPHL), dan KPH
Produksi (KPHP)2.
Prosedur pembentukan wilayah KPH diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan
(Permenhut) Nomor P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Wilayah KPH.
Berdasarkan peraturan tersebut pembentukan KPH melalui empat tahap, yaitu: tahap
1, Usulan Rancang bangun KPH oleh Dinas Kehutanan Provinsi; tahap 2, Arahan
pencadangan wilayah KPH oleh Kementerian Kehutanan; tahap 3, Usulan Penetapan
KPH dari Dinas Kehutanan Provinsi; dan tahap akhir, Penetapan wilayah KPH oleh
Kemenhut.
Setelah penetapan wilayah KPH maka harus segera diikuti dengan penetapan
organisasi yang akan mengelola KPH. KPH dikelola oleh sebuah organisasi
pemerintah yang menyelenggarakan fungsi pengelolaan hutan di tingkat tapak (site
level). Berdasarkan PP No. 6/2007 jo PP No 3/2008, organisasi KPHK dibentuk dan
ditetapkan oleh Kemenhut, sementara berdasarkan Permendagri No. 61/2010
organisasi pengelola KPHL dan KPHP dibentuk dan ditetapkan oleh Pemerintah
Daerah. Pembentukan organisasi KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya lintas
Kabupaten/Kota dalam satu provinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Provinsi.Pembentukan organisasi KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya dalam satu
Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
2 Menurut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor P.6 Tahun 2009, Kesatuan Pengelolaan Hutan
Konservasi (KPHK) adalah kesatuan pengelolaan hutan yang luas wilayahnya seluruhnya atau
didominasi oleh kawasan hutan konservasi. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) adalah
kesatuan pengelolaan hutan yang luas wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh kawasan hutan
lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) adalah kesatuan pengelolaan hutan yang
luas wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh kawasan hutan produksi.
35
Implikasi Perubahan Peraturan
Secara hirarkis Kiser dan Ostrom (1982) membagi peraturan ke dalam tiga
tingkatan, yaitu aturan konstitusional (UUD), aturan pilihan kolektif (UU), dan aturan
operasional (PP, Permen, dst). Secara normatif, aturan yang lebih rendah akan
mengacu kepada seperangkat aturan yang lebih tinggi. Dengan demikian maka
perubahan pada satu tingkat peraturan akan sangat ditentukan oleh batas-batas yang
dimungkinkan dari lingkup peraturan di atasnya, sementara perubahan pada peraturan
yang lebih tinggi hampir selalu akan berdampak luas kepada perubahan peraturan
tingkat di bawahnya.
METODE PENELITIAN
Lingkup Kegiatan
Lingkup kegiatan penelitian ini akan terdiri dari dua jenis kegiatan, yaitu: (1)
kajian dokumen peraturan, dimana peraturan yang akan dikaji terdiri dari 5 (lima)
peraturan, dan (2) wawancara terhadap aparatur Dinas Kehutanan Provinsi Riau dan
Dinas Kehutanan Kabupaten Kampar, serta tiga KPH di Provinsi Riau yaitu KPHP
Tasik Besar Serkap, KPHP Minas Tahura, dan KPHP Kampar Kiri.
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan antara bulan Desember 2014 sampai dengan Mei
2015. Lokasi penelitian di Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.
Metode Pengumpulan dan Analisis Data
Data terkait isi peraturan yang dianalisis dikumpulkan dari internet dengan
cara mengunjungi situs-situs yang menyediakan peraturan yang dibutuhkan. Data
tentang pandangan dan tanggapan aparatur terkait dikumpulkan dengan metode
wawancara semi terstruktur. Analisis peraturan dilakukan dengan metode analisis isi
(content analysis). Substansi yang dianalisis adalah tentang pembagian kewenangan
antara pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten / kota, dan tata
hubungan antar tingkatan peraturan Analisis terhadap pandangan dan tanggapan dari
aparatur kehutanan daerah menggunakan analisis deskriptif, yang menggambarkan
aspek pemahaman dan sikap terhadap isi peraturan yang baru.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Peraturan
Analisis peraturan dilakukan terhadap lima buah peraturan, yaitu (1) Undang-
Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; (2) Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; (3) Peraturan Pemerintah Nomor
38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provisnsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; (4) Peraturan
36
Pemerintah Nomor 3 tahun 2007 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2008
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan
Hutan; dan (5) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 tahun 2010 tentang
Pedoman Organisasi dan Tata Kerja KPHL dan KPHP.
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Di dalam UU No. 32/2004 pembagian urusan pemerintahan Bidang Kehutanan tidak dirinci namun termasuk ke dalam kelompok yang akan diatur secara khusus
melalui PP (Pasal 14:3).
PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota
Pada Lampiran Bagian AA poin 8 dinyatakan bahwa: (a) wewenang Pemerintah
adalah menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan
penetapan pembentukan wilayah pengelolaan hutan (KPH), penetapan wilayah
KPH dan organisasi KPH, serta arahan pencadangan; (b) wewenang Pemerintah
Daerah Provinsi adalah melaksanakan penyusunan rancang bangun, pembentukan
dan pengusulan penetapan KPHL dan KPHP serta pertimbangan teknis organisasi
KPHL/KPHP; dan (c) wewenang Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota adalah
memberi pertimbangan penyusunan rancang bangun dan pengusulan pembentukan
KPHL dan KPHP, serta organisasi KPHL/KPHP.
PP No.6/2007 Jo No. 3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan
Di dalam PP No. 6/2007 Jo PP 3/2008 Pasal 8(1) dinyatakan bahwa Menteri
menetapkan organisasi KPHK, KPHL, dan KPHP. Berdasarkan Pasal 8(2),
Penetapan Organisasi KPHL dan KPHP dilakukan berdasarkan: (a) usulan dari
pemerintah provinsi, dalam hal KPHP atau KPHL berada dalam lintas
kabupaten/kota; (b) usulan dari pemerintah kabupaten/ kota, dalam hal KPHP atau
KPHL berada dalam kabupaten/kota; (c) pertimbangan teknis dari pemerintah
provinsi.
Permendagri No.61/2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja KPHL dan
KPHP di Daerah
Di dalam Permendagri No.61/2010 Pasal 2(2) dinyatakan bahwa pembentukan
KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya lintas Kabupaten/Kota dalam satu
37
provinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi; bunyi ayat (3)
Pembentukan KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya dalam satu Kabupaten/Kota
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Kemudian bunyi Pasal 3(1)
KPHL dan KPHP Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah; dan
ayat (2) KPHL dan KPHP Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (3) berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota melalui
Sekretaris Daerah.
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Di dalam UU No. 23/2014 Pasal 14(1): Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
bidang kehutanan dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi; (2) Urusan
Pemerintahan yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya kabupaten/kota
menjadi kewenangan Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 404: serah terima personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen
(P3D) sebagai akibat pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat,
daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota yang diatur berdasarkan Undang-
Undang ini dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Berdasarkan identifikasi terhadap isi peraturan yang dikaji, perubahan
mendasar dalam pembagian kewenangan urusan kehutanan (dan secara khusus terkait
pembangunan KPH) adalah sebagai berikut:
4. Di dalam peraturan lama, kewenangan membentuk organisasi KPHL dan KPHP,
untuk kawasan hutan lintas kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintah
daerah provinsi; dan untuk kawasan hutan dalam satu wilayah kabupaten/kota
menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota.
5. Di dalam peraturan baru (UU No.23/2014) kewenangan membentuk organisasi
KPHL dan KPHP semuanya menjadi kewenangan pemerintah provinsi; tidak ada
lagi yang menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota, kecuali
pengelolaan taman hutan raya (Tahura) yang ada di wilayahnya.
6. Serah terima personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen (P3D)
sebagai akibat perubahan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah
Pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dilakukan paling lama 2 (dua)
38
tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan, yaitu paling lambat tanggal
2 Oktober 2016.
Hasil Wawancara
Wawancara dilakukan kepada sejumlah aparatur kehutanan di tingkat provinsi
(Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Kepala KPHP Tasik Besar Serkap, dan
Kepala KPHP Minas Tahura) dan di tingkat kabupaten (Sekretaris dan tiga Kepala
Bidang di Dinas Kehutanan Kabupaten Kampar, dan Kepala KPHP Kampar Kiri).
Butir-butir hasil wawancara diangkum sebagai berikut:
Setelah terbitnya UU No. 23/2014, untuk urusan pemerintahan bidang kehutanan
belum ada pembahasan dan koordinasi antara Pemerintah Daerah Provinsi Riau
dengan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Dalam merespon UU baru ini secara umum sikap pemerintah daerah (Provinsi
dan Kabupaten/Kota) pada dasarnya taat hukum, dan bersifat menunggu pedoman
implementasinya atau peraturan operasionalnya (PP dan Permen).
KPHP Kampar Kiri sebagai KPH yang dibentuk Pemeritah Kabupaten Kampar
untuk tahun 2015 masih tetap melanjutkan aktivitas sesuai dengan perencanaan
yang sudah dibuat (RKT dan RK-KPH). Namun untuk tahun-tahun selanjutnya
menunggu ketentuan yang akan dibuat pemerintah.
Bagi KPHP Tasik Besar Serkap dan KPHP Minas Tahura, diterbitkannya UU No.
23/2014 tidak berpengaruh terhadap kedudukan organisasi/kelembagaan yang
sudah ada, mengingat baik organisasi maupun personilnya sudah di bawah
Pemdaprov Riau.
Bila seluruh KPH di Provinsi Riau (menurut rancang bangun KPH akan dibentuk
32 KPH) menjadi KPH Provinsi, dan semuanya menjadi SKPD, maka hal ini akan
sangat menjadi beban pemerintah daerah Provinsi Riau.
Bila masing-masing menjadi SKPD mandiri dan otonom, maka jumlah SKPD di
provinsi Riau akan menjadi sekitar 90 SKPD. Hal ini menjadi kurang rasional,
mengingat urusan pemerintahan bidang lain hanya diurus oleh 1 atau 2 SKPD,
sementara bidang kehutanan akan diurus oleh 33 SKPD. Maka yang lebih
rasional adalah adanya kesatuan KPH untuk seluruh KPH di provinsi Riau,
dimana insitusi di tingkat Provinsi dapat berupa SKPD eselon 2 yang membawahi
KPH-KPH (eselon 3) di seluruh provinsi Riau.
39
Merespon Surat Edaran (SE) Mendagri No. 120 /253 /S j t angga l 16 Januari
2015 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Setelah Ditetapkan UU No.
23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Pemkab Kampar telah melakukan
rapat pada tanggal 16 Maret 2015 yang dipimpin oleh Sekretaris Daerah.
Keputusannya antara lain segera membentuk tim inventarisasi personel,
pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen (P3D).
Hasil wawancara tersebut menunjukan bahwa respon pemerintah daerah
Kabupaten Kampar terhadap pengalihan kewenangan urusan kehutanan yang diatur
dalam UU No. 23/2014 bersikap menerima. Hal ini sebagai konsekwensi logis dari
azas taat hukum dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sikap
menerima ini selain dinyatakan secara lisan, juga ditunjukkan dengan langkah-langkah
yang telah ditempuh untuk melaksanakan instruksi SE Mendagri No. 12 0 /253 /S j .
Pemda Kamp ar t e l ah melakukan rapat tanggal 16 Maret 2015 dengan
keputusannya antara lain segera membentuk tim inventarisasi personel, pendanaan,
sarana dan prasarana, serta dokumen (P3D).
Implikasi terhadap inisiatif dan proses-proses pembangunan KPHL/KPHP
oleh pemerintah kabupaten/kota lebih bersifat tehnis. Mengingat telah ada pengalihan
kewenangan, maka tidak ada inisiatif pembentukan KPHL/KPHP baru, demikian juga
alokasi anggaran dan pemenuhan SDM untuk KPHP yang sudah terbentuk. Baik
pemerintah Kabupaten Kampar maupun Provinsi Riau sama-sama menunggu
peraturan turunan untuk menindaklanjuti ketentuan UU No. 23/2014.
KESIMPULAN DAN SARAN
Perubahan substansial dari UU No. 32/2004 kepada UU No. 23/2014, di dalam
peraturan baru kewenangan pembentukan organisasi KPHL/KPHP semuanya menjadi
kewenangan pemerintah provinsi, tidak ada lagi yang menjadi kewenangan
pemerintah kabupaten/kota, kecuali pengelolaan taman hutan raya (Tahura) di
wilayahnya. Implikasi dari pengalihan kewenangan ini, maka PP No. 38/2007 dan
Permendagri No. 61/2010 sebagai turunan dari UU No. 32/2004, tidak bisa diacu lagi.
Apabila dalam masa transisi pemerintah provinsi akan membentuk organisasi
KPHL/KPHP, dapat mengacu kepada PP No. 41/2007 tentang Organisasi Perangkat
Daerah. Perpindahan kewenangan juga berimplikasi kepada stagnannya inisiatif dan
40
proses-proses pembentukan KPHL/KPHP oleh pemkab/kota. Pemerintah Kabupaten
Kampar saat ini sedang dalam proses penyiapan serah terima personel, pendanaan,
sarana dan prasarana, serta dokumen (P3D) kepada Pemprov Riau Sementara
pemerintah Provinsi Riau sendiri masih menunggu pedoman lebih lanjut untuk
menindaklanjuti serah-terima KPH tersebut.
Berdasarkan butir-butir kesimpulan di atas disarankan kepada pemerintah
pusat agar segera membuat PP dan Permen penjabaran dari UU No. 23/2014 untuk
acuan operasional bagi pemerintah daerah. Dalam hubungannya dengan
pembangunan organisasi KPHL dan KPHP di daerah, hal yang paling mendasar adalah
menyangkut tata hubungan kerja antar instansi pemerintah, bentuk organisasi, dan
eselonisasi struktur organisasi KPHL/KPHP. Adapun saran bagi Pemerintah Provinsi
Riau dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Riau, agar segera melakukan
koordinasi dan langkah-langkah penyiapan serah terima personil, pendanaan, sarana-
prasarana, dan dokumen (P3D).
DAFTAR PUSTAKA
Kiser, Larry L., and Elinor Ostrom. 1982. The Three Worlds of Action: A Metatheoretical
Synthesis of Institutional Approaches. In Strategies of Political Inquiry, ed. Elinor
Ostrom, 179-222. Beverly Hills, California (US): Sage.
Ostrom E. 2005. Understanding Institutional Diversity. Princeton (US): Princenton
University Press.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan
Wilayah KPH.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan.
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.