INFEKSI TETANUS DAN PENANGANANNYA
Aditya Wicaksono Putra
102011372
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510
e-mail : [email protected]
Pendahuluan
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan gangguan
neuromuskular akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot disebabkan oleh
eksotosin spesifik dari kuman anaerob Clostridium tetani. Tetanus dapat terjadi
sebagai komplikasi luka, baik luka besar maupun kecil, luka nyata maupun luka
tersembunyi. Jenis luka yang mengundang tetanus adalah luka-luka seperti Vulnus
laceratum (luka robek), Vulnus punctum (luka tusuk), combustion (luka bakar),
fraktur terbuka, otitis media, luka terkontaminasi, luka tali pusat.1 Diyakini
bahwa Penyakit tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani yaitu sejenis kuman gram
positif yang dalam keadaan biasa berada dalam bentuk spora dan dalam suasana
anaerob berubah menjadi bentuk vegetatif yang memproduksi eksotoksin antara lain
neurotoksin tetanospasmin dan tetanolysmin. Toksin inilah yang menimbulkan gejala
– gejala penyakit tetanus.
Pada skenario kasus yang dibahas, Tetanus terjadi karena adanya luka robek
(Vulnus Laceratum). Luka adalah cedera (injury) atau rudapaksa (trauma) yang
terjadi pada setiap jaringan tubuh yang berakibat terputusnya atau discontinuity
jaringan. Ada berbagai macam penyebab luka yaitu mekanik, termal, elektris, khemis,
dan biologis. Luka robek (Vulnus Laceratum) termasuk dalam macam penyebab luka
mekanik.4
Skenario
Seorang laki-laki berusia 22 tahun datang ke UGD RS dengan keluhan demam, mulut
terasa kaku, dan nyeri pada tungkai bawah sebelah kanan. Menurut keterangan pasien,
2 minggu lalu pasien mengalami kecelakaan lalu lintas, dan mengalami luka robek
pada tungkai bawah kanan dan mendapat 27 jahitan oleh seorang petugas kesehatan di
desanya. Saat dilakukan inspeksi, kulit tungkai bawah kanan didaerah luka tampak
kemerahan, teraba panas, dan bengkak, dari sela-sela luka yang dijahit keluar nanah.
Pasien juga tidak diberikan antibiotik oleh petugas kesehatan setelah menjahit
lukanya. Tekanan darah pasien 110/70 mmHg, denyut nadi 82x/menit.
Pembahasan
Bentuk spora Clostridium tetani terdapat di sekitar kita seperti pada tanah,
rumput– rumput, kayu, kotoran hewan dan manusia. Kuman ini untuk
pertumbuhannya membutuhkan suasana anaerob yang akan terjadi apabila luka
dengan banyak jaringan nekrotik di dalamnya, atau luka dengan pertumbuhan bakteri
lain terutama bakteri pembuat nanah seperti Staphyloccus aureus. Istilah “tetanus
prone wound” yaitu luka yang cenderung menyebabkan penyakit tetanus antara lain
luka dengan patah tulang terbuka, luka tembus, luka dengan berisi benda asing,
terutama pecahan kayu, luka dengan infeksi pyogenic, luka dengan kerusakan
jaringan yang luas, luka bakar luas grade II dan III, luka superfisial yang nyata
berkontaminasi dengan tanah atau pupuk kotoran binatang di mana luka itu terlambat
lebih dari 4 jam baru mendapat topical desinfektansia atau pembersihan secara bedah,
abortus dengan septis, melahirkan dengan pertolongan persalinan yang tidak adekuat,
pemotongan dan perawatan tali pusat tidak adekuat, gigitan binatang dengan banyak
jaringan nekrotik, ulserasi kulit dengan jaringan nekrotik, segala macam tipe
gangrena, operasi bedah pada saluran cema mulai dari mulut sampai anus, otitis media
puralenta.1
Masa inkubasi penyakit tetanus tidak selalu sama tapi pada umumnya 8 – 12
hari, akan tetapi dapat juga 2 hari atau beberapa minggu bahkan beberapa bulan.
Bertambah pendek masa inkubasi bertambah berat penyakit yang ditimbulkannya.
Penyakit tetanus tidak menimbulkan kekebalan pada orang yang telah diserangnya.
Angka kematian penderita tetanus sangat tinggi sekitar 50 %, angka itu akan
bertambah besar pada rumah sakit yang belum lengkap peralatan perawatan
intensifnya, mungkin lebih rendah pada rumah sakit dengan perawatan intensif yang
sudah lengkap. Oleh sebab itu pencegahan penyakit ini sangat penting dan perlu
mendapat perhatian yang utama. Usaha yang ditempuh mengatasi penyakit ini adalah
:
a. Memberikan kekebalan aktif kepada semua orang
b. Melakukan tindakan profilaksis tetanus terhadap orang yang luka secara benar dan
tepat.
c. Mengobati penderita tetanus dengan perawatan intensif secara multidisipliner.
Tetanus dapat terjadi sebagai komplikasi luka, baik luka besar maupun luka
kecil, luka nyata maupun tersembunyi. Tetanus merupakan penyakit akut yang
disebabkan oleh kuman Clostridium tetani yang menghasilkan eksotoksin bersifat
anaerob. Clostridium tetani merupakan basil gram positif, dan bersifat anaerob.
Jenis luka yang mengundang tetanus adalah luka – luka seperti vulnus
laceratum (luka robek), vulnus punctum (luka tusuk), combustio (luka bakar), fraktur
terbuka, otitis media, luka terkontaminasi, luka tali pusat. Masa inkubasi penyakit ini
adalah 1 – 54 hari, rata – rata 8 hari. Semakin lambat debrimen dan penanganan
antitoksin, semakin pendek masa inkubasinya dan semakin buruk pula
prognosisnya. Kuman masuk ke dalam luka melalui tanah, debu atau kotoran.
Terdapat beberapa faktor yang memperburuk prognosis seperti masa inkubasi yang
pendek, stadium penyakit yang parahm penderita yang lanjut usia, neonatus, kenaikan
suhu yang tinggi, pengobatan yang lambat, adanya komplikasi seperti status
konvulsivus, gagal jantung, fraktur vertebra, pneumonia. Ciri khas kejang pada
tetanus yaitu kejang tanpa penurunan kesadaran. Dan awitan penyakit (waktu dari
timbulnya gejala pertama sehingga terjadi kejang) adalah 24 – 72 jam.1
1. Anamnesis
Tujuan utama suatu anamnesis adalah untuk mengumpulkan semua informasi
dasar yang berkaitan dengan penyakit pasien dan adaptasi pasien terhadap
penyakitnya. Kemudian dapat dibuat penilaian keadaan pasien. Seorang pewawancara
yang berpengalaman mempertimbangkan semua aspek presentasi pasien dan
kemudian mengikuti petunjuk-petunjuk yang kelihatannya perlu mendapat perhatian
yang terbesar.
a. Menanyakan identitas pasien : nama lengkap, tempat dan tanggal lahir,
jenis kelamin, umur, suku agama, alamat lengkap, pendidikan,
pekerjaan dan status perkawinan.
b. Menanyakan keluhan utama : keluhan utama pasien datang untuk
berobat : demam, mulut terasa kaku, dan nyeri pada tungkai bawah
sebelah kanan.
c. Menanyakan riwayat penyakit sekarang : apakah panasnya naik turun
atau panasnya tidak pernah turun, sudah berapa lama demam. Apakah
sebelumnya pasien pernah terluka atau tertusuk, atau terjatuh dan ada
luka ditempat yang kotor. Keluhan-keluhan penyerta : kaku pada
mulut, teraba panas dan bengkak pada daerah yang terluka dan dari
sela-sela luka yang dijahit keluar nanah. Informasi bisa didapat dari
keluarga pasien.
d. Riwayat penyakit dahulu : apakah pernah mengalami demam
sebelumnya, mengalami kecelakaan dijalan yg kotor dan terdapat luka
yang penuh dengan debu dan kotoran, riwayat pemberian ATS (anti
tetanus toxoid), apakah pernah menderita riwayat penyakit yang lain
dan pernahkah dirawat dirumah sakit. Tanyakan adakah riwayat alergi,
riwayat penyakit jantung, ginjal, hati, DM dan penyakit infeksi lain.
Riwayat pemberian ulang vaksin DT (dipteri dan tetanus) pada saat
dewasa umur 19 tahun. Adakah riwayat penyakit keluarga seperti
epilepsi, jantung, ginjal, hepatitis, TBC, alergi.
e. Menanyakan riwayat sosial : lingkungan tempat tinggal contohnya
tinggal dekat pembuangan sampah atau didaerah yang tidak bersih.
Hygiene contohnya pasien tidak pernah bersihkan badannya, saat ada
luka pasien tidak pernah merawatnya, apakah perawatan luka
menggunakan bahan yang kurang aseptic, sosial ekonomi : bekerja
sebagai pemulung, tukang bangunan, rumah didaerah pertenakan.
2. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien ini adalah inspeksi dan palpasi.
Ketika dilakukan inspeksi terlihat kulit tungkai bawah kanan disekitar luka tampak
kemerahan dan terdapat nanah (PUS) yang keluar dari sela-sela luka yang dijahit.
Sedangkan dalam pemeriksaan fisik palpasi, pada tungkai bawah kanan teraba panas
dan terdapat benjolan atau bengkak dan terasa nyeri. Kemudian pemeriksaan fisik
seperti kesadaran, tanda-tanda vital, ekstremitas juga sangat diperlukan.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien tersebut seperti
pemeriksaan Laboratorium Bakteriologik. Hanya pada sebagian kecil penderita, pada
pemeriksaan laboratorium akan didapatkan C. tetani bentuk berspora dari sediaan
yang diambil dari luka pada pewarnaan gram atau biakan anaerob. Pada pemeriksaan
dan karakteristik pada kultur, Clostridium tetani merupakan batang positif gram yang
ramping, bergerak, bersifat anaerob obligat dan tidak berkapsul. Walaupun demikian,
bakteri ini dapat juga bersifat negatif gram pada biakan yang sangat muda atau
sangat tua. Bakteri ini dengan mudah membentuk spora di alam dan pada biakan,
dengan menghasilkan spora dengan terminal bulat yang khas sehingga memberi kesan
seperti raket tennis (drumstick).1
3. Gejala Klinis
Gejala pertama biasanya rasa sakit pada luka, diikuti trismus (kaku rahang,
sukar membuka mulut lebar – lebar karena meningkatnya tonus otot masetter). Pada
keadaan yang lebih berat terjadi opistothonus (posisi cephalic tarsal), di mana pada
saat kejang badan penderita melengkung dan bila ditelentangkan hanya kepala dan
bagian tarsa kaki saja yang menyentuh dasar tempat berbaring. Keadaan ini sangat
nyeri dan berbahaya bagi penderita yang sadar penuh; mungkin dapat terjadi apnea,
sehingga hilang kesadaran, fraktur, pelepasan tendon, dan rabdomiolosis, kekakuan
abdominal, dan ekspresi muka khas yang disebut rhisus sardonicus (wajah setan) yang
merupakan tanda lanjut dari trismus yang disertai spasme otot muka yang
menyebabkan bibir mencucu atau terbuka (Doll sign) dengan gigi dalam keadaan
menggigit. Setelah otot lain terkena, spasme yang hilang timbul dapat terjadi spasme
umum sehingga mengenai juga otot menelan, diafragma dan otot–otot pernapasan
lainnya. Pada saat kejang penderita tetap dalam keadaan sadar. Suhu tubuh normal
hingga subfebris. Sekujur tubuh berkeringat.7
Dalam waktu 3 hari sampai 4 minggu setelah kuman masuk melalui luka,
racun Clostridium tetani akan merusak sistem saraf dan segera memunculkan gejal
serta tanda-tanda tetanus, misalnya kejang dan kekakuan otot rahang (lockjaw), postur
badan kaku dan tidak dapat ditekuk karena kekakuan otot leher dan punggung
(opistotonus), dinding perut mengeras seperti papan, gangguan menelan, dan muka
seperti menyeringai/tertawa (risus sardonicus). Pasien tetanus mudah sekali
mengalami kejang, terutama apa apabila mendapatkan rangsangan seperti suara
berisik, terkejut, sinar, dan sebagainya. Sehingga perlu diisolasi dalam ruang
tersendiri. Tetanus pada bayi baru lahir disebut tetanus neonatorum lebih mudah
terjadi bila bayi tidak mendapat imunisasi pasif atau bila pada saat ibunya hamil tidak
pernah mendapat imunisasi.7
Komplikasi dari tetanus antara lain, Hipoksia yang diebabkan oleh gangguan
pernapasan, pnemonia sebagai akibat atelektasis, aspirasi dan/atau ventilasi mekanik,
trombosis vena dan emboli paru, aritmia jantung, hipertensi dan hipotensi yang
disebabkan oleh ketidakstabilan autonom, miokarditis, dan/atau kekurangan volume
intravaskular, fraktur tulang punggung atau tulang panjang, infeksi yang berkaitan
dengan luka awal, ulkus dekubitalis, dan berbagai kateter yang dipasang menetap
yaitu intravaskular dan pada kandung kemih, ulkus peprikum akut.6
4. Working Diagnosis
Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis. Tetanus tidaklah mungkin
apabila terdapat riwayat serial vaskinasi yang telah diberikan secara lengkap dan
vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan. Secret luka hendaknya dikultur pada
kasus yang dicurigai tetanus. Namun demikian, C. tetani dapat diisolasi dari luka
pasien tanpa tetanus sering tidak dapat ditemukan dari luka pasien tetanus, kultur
yang positif bukan merupakan bukti bahwa organisme tersebut menghasilkan toksin
dan menyebabkan tetanus.1
Lekosit mungkin meningkat. Pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan hasil
yang normal. Elektromyogram mungkin menunjukkan impuls unit-unit motorik dan
pemendekan atau tidak adayna interval tenang yang secar normal dijumpai setelah
potensial aksi. Perubahan non spesifik dapat dijumpai pada elektrokardiogram. Enzim
otot mungkin meningkat. Kadar antitoksi serum ≥ 0,15 U/ml dianggap protektif dan
pada kadar ini tetanus tidak mungkin terjadi, walaupun ada beberapa kasus yang
terjadi pada kadadar antitoksin yang protektif.1
Diagnosis diferensialnya mencakup kondisi lokal yang dapat menyebabbkan
trismus, miseperti abses alveolar, keracunan striknin, reaksi obat distonik (misalnya
terhadap fenotiasin dan metoklorpramid) tetanus hipokalsemik, dan perubahan-
perubahan metabolic dan neurologis pada neonatal. Kondisi-kondisi lain ydikacaukan
dengan tetanus lemiputi meningitis/ensefalitis, rabies dan proses intraabdominal akut
(karena kekakuan abdomen). Meningkatnya tonus pada otot sentral (wajah, leher,
dada, dpunggung, dan perut) yang tumpang tindih dengan spasme generalisata dan
tida terlibatnya tangna dan kaki secara kuat menyokong diagnose tetanus.1
Diagnosis Pembanding
Adapun beberapa penyakit yang gejala-gejalanya mirip dengan tetanus dan
Vulnus laceratum ( luka robek ), seperti :4,5
- Rabies
Rabies adalah penyakit infeksi akut susunan saraf pusat pada manusia dan
mamalia yang berakibat fatal. Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies yang
termasuk genus Lyssa-virus, family rhabdoviridae dan menginfeksi manusia
melalui sekret yang terinfeksi pada gigitan binatang. Nama lain ialah
hydrophodia, ia rage (perancis), ia rabbia (italia), ia rabia (spanyol), die
tollwut (jerman) atau di Indonesia dikenal sebagai penyakit anjing gila. Agen
penyebab penyakit ini memiliki daya tarik kuat untuk menginfeksi jaringan
saraf yang menyebabkan terjadinya peradangan pada otak atau ensefalitis,
sehingga berakibat fatal bagi hewan ataupun manusia yang tertular. Pada
fase prodromal, gejala yang muncul umumnya bersifat ringan dan tidak
spesifik. Gejala ini meliputi kelemahan umum, kedinginan, demam, dan
kelelahan. Terkadang, ditemukan pula gejala nyeri tenggorokan, batuk,
dyspnoea; gangguan system pencernaan (anoreksia, disfagia, nausea,
muntah, nyeri lambung, diare) atau gangguan system saraf pusat (nyeri
kepala, vertigo, kekhawatiran, aprehensif, nervous). Pada tahap ini, dapat
ditemukan rasa nyeri sekali, gatal atau rasa terbakar pada daerah gigitan.
Periode neurologik akut dimulai dengan tidak berfungsinya system saraf.
Bila yang menonjol hipereksitasi, kasus tersebut disebut furious rabies.
Apabila paralisis yang dominan, maka disebut paralitic rabies atau dumb
rabies. Demam, paraestesia, kekakuan otot, konvulsi yang bersifat local atau
umum dan hiperalivasi dapat ditemukan pada kedua bentuk. Pada masa
transisi dari fase neurologic akut ke fase koma ditemukan periode apneustik
ditandai dengan pernafasan cepat, tidak teratur dan gemetaran, diikuti
dengan paralisa umum dan koma. Terjadi pernafasan yang tertahan selama
beberapa jam atau hari. Sepanjang publikasi ilmiah yang ada, hanya 3 kasus
rabies yang selamat setelah muncul gejala klinik.
- Keracunan Striknin
Keracunan striknin dapat menyerupai tetanus dengan peningkatan eksibilitas
neuron akibat gangguan pada inhibisi postsinaps, pengobatan yang sedang
berkembang bagi kedua keadaan adalah serupa, dan pemeriksaan biokimia
untuk striknin dapat menegakkan diagnosis. Striknin merupakan racun yang
sangat efektif. Dosis kecil dari striknin dapat menyebabkan kematian. 10 –
20 menit setelah terpapar striknin, korban akan merasakan kegelisahan dan
merasakan kekejangan yang keras, atau rasa sakit di otot dan kekakuan.
Spasme otot biasanya dimulai dari kepala dan leher. Keracunan stiknin juga
dapat menghasilkan Risus sardonicus seperti pada kasus tetanus. Keracunan
striknin dapat dibedakan dengan tetanus dari lamanya serta permulaan dari
simptomnya. Pada pasien tetanus, gejala akan ada selama beberapa hari,
sedangkan pada keracunan striknin, hanya akan ada pada beberapa jam saja
- Meningoencephalitis
Pada meningoencephalitis dapat ditemukan dysphagia dan kaku pada leher.
Juga ditemukan demam dan cairan cerebrospinal yang tidak normal,
ditambah dengan tidak adanya trismus merupakan perbedaannya dengan
tetanus.
Working Diagnosis : Dari ciri-ciri yang dapat dilihat pada pasien, seperti kakunya
daerah mulut, demam, dan juga nyeri. Dapat disimpulkan bahwa diagnosis kerja kali
ini adalah tetanus
Diffential Diagnosis : Pada kasus ini, telah ditentukan beberapa penyakit untuk
dijadikan diagnosis pembanding, …..
Diagnostik klinis
Diagnosis tetanus terutama berdasarkan riwayat dan presentasi klinik. Hanya
pada sebagian kecil penderita, pada pemeriksaan laboratorium ditemukan Clostridium
tetani bentuk berspora dari sediaan yang diambil dari luka pada pewarnaan Gram
atau biakan anaerob. Di samping itu isolasi organisme tidak membuktikan diagnosis
tetanus karena bakteri ini mungkin bagian dari flora normal. Riwayat pasti riwayat
imunisasi dan/atau kadar antitoksin serum yang sebesar 0,01 unit/ml atau lebih tinggi
membuat diagnosis tersebut sangat tidak mungkin. Diagnosis banding tetanus
meliputi sejumlah keadaan medis yang dapat menstimulasi salah satu / lebih
gambaran klinik. Yang termasuk di sini adalah meningitis (kaku kuduk), abses gigi
(trismus), peritonitis (kekakuan abdomen), rabies (disfagia), tetani hipokalsemik,
epilepsi, dan narcotic withdrawal. Riwayat distonik terhadap obat anti epilepsy dapat
dibedakan dengan riwayat adanya minum obat dan berkurangnya gejala pada
pemberian benztropin atau difenhidramin. Keracunan strignin dapat menyerupai
tetanus dengan peningkatan eksitabilitas neuron akibat gangguan pada inhibisi post-
sinaps; pengobatan yang sedang berkembang bagi keadaan berdua adalah serupa, dan
pemeriksaan biokimia untuk striknin dapat menegakkan diagnosis.2
Diagnosis lanjut pada kasus lanjut tetanus jelas mudah ditegakkan, tetapi
keberhasilan pengobatan tergantung pada diagnosis dini sebelum terjadi pengikatan
sejumlah toksin yang mematikan jaringan saraf. Pasien harus diobati berdasarkan
gejala klinis tanpa menunggu data laboratorium. Clostridium tetani hanya dapat
diisolasi dari luka pada sebagian kasus, dan pada 10-20% kasus tidak jelas ada luka.
Galur yang mengeluarkan toksin (toksigenik) dapat tumbuh aktif pada luka orang
yang telah diimunisasi, tetapi keberadaan antitoksin sebagai antibodi mencegah
terjadinya tetanus. Juga karena bakteri tetanus biasa dijumpai di tanah, keberadaan
Clostridium tetani pada luka tidak selalu berarti bahwa organisme tersebut secara aktif
bereplikasi dan mengeluarkan toksin.
Kejang – kejang bertambah beram selama tiga hari pertama, menetap selama 5
– 7 hari. Setelah 10 hari, frekuensi kejang mulai berkurang, setelah 2 minggu kejang
menghilang. Dan kaku otot hilang paling cepat mulai minggu ke-4. Berdasarkan
gejala klinisnya maka stadium klinis tetanus dibagi menjadi stadium klinis pada anak
dan stadium klinis pada orang dewasa.
-Stadium klinis pada anak. Terdiri dari :
Stadium 1, dengan gejala klinis berupa trisnus (3 cm) belum ada kejang rangsang,
dan belum ada kejang spontan.
Stadium 2, dengan gejala klinis berupa trismus (3 cm), kejang rangsang, dan belum
ada kejang spontan.
Stadium 3, dengan gejala klinis berupa trismus (1 cm), kejang rangsang, dan
kejang spontan.
-Stadium klinis pada orang dewasa. Terdiri dari :
Stadium 1 : trisnus
Stadium 2 : opisthotonus
Stadium 3 : kejang rangsang
Stadium 4 : kejang spontan
5. Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif, yaitu Clostridium tetani. Bakteri
ini terdapat di berbagai tempat, dan banyak terdapat di alam. Selain itu, bakteri ini
juga diisolasi oleh kotoran binatang peliharaan dan manusia. Clostridium tetani
merupakan bakteri yang berbentuk batang yang selalu bergerak serta merupakan
bakteri anaerob obligat yang menghasilkan spora. Spora yang dihasilkan Clostridium
tetani tidak berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenes atau paha ayam.3 Spora
ini dapat bertahan lama pada lingkungan tertentu, mampu bertahan terhadap sinar
matahari dan bersifat resisten terhadap berbagai desinfektan dan pendidihan selama
20 menit.2,3
Setiap sel yang terinfeksi oleh bakteri ini, dapat dengan mudah diinaktivasi dan
bersifat sensitif terhadap beberapa antibiotic (metronidazol, penisilin, dan lainnya).
Bakteri ini dapat dikultur, namun hal tersebut jarang dilakukan, sebab efek yang
ditimbulkan dari infeksi bakteri ini dapat dilihat secara klinis. Clostridium tetani
menghasilkan efek-efek klinis melalui eksotoksin yang kuat.2,3
Spora yang dihasilkan oleh Clostridium tetani dapat hidup bertahun-tahun, dan
jika spora tersebut menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda daging
atau bakteri lain masuk ke tubuh penderita, maka spora itu akan mengeluarkan toksin
yang bernama tetanospasmin. Tetanospasmin dihasilkan dalam sel-sel yang terinfeksi
di bawah kendali plasmin. Tetanospasmin ini merupakan rantai polipeptida tunggal.
Peranan toksin tetanus dalam tubuh organisme belum diketahui. DNA toksin ini
terkandung dalam plasmid. Adanya bakteri belum tentu mengindikasikan infeksi,
karena tidak semua strain mempunyai plasmid. Belum banyak penelitian tentang
sensitifitas antimicrobial bakteri ini.2-4
Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus, bakteri
masuk melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik (kurang steril), tetanus
ini dikenal dengan nama tetanus neonatorum.2
6. Patofisiologi
Seperti pada semua infeksi luka yang disebabkan oleh Clostridium, kejadian
awal pada tetanus adalah kejadian trauma pada jaringan hospes, yang diikuti dengan
kontaminasi luka oleh Clostridium tetani. Kerusakan jaringan menyebabkan
menurunnya potensial oksidasi-reduksi sehingga menyediakan lingkungan yang
cocok untuk pertumbuhan Clostridium tetani. Setelah pertumbuhan awal, bakteri ini
tidak invasif dan tetap terbatas berada di jaringan nekrotik, yaitu tempat Clostridium
tetani menghasilkan toksin mematikan. Dan pertumbuhan tetanus biasanya
disebabkan oleh masuknya spora bersama benda asing dan/atau bakteri lain ke dalam
jaringan yang rusak atau mati sehingga tersedia keadaan anaerob yang
menguntungkan bagi pertumbuhannya. Kadang-kadang, spora bakteri yang masuk
pada cedera terdahulu dapat bertahan di dalam jaringan selama berbulan-bulan atau
bertahun-tahun, dan dapat diaktifkan untuk menjalani pertumbuhan vegetatif ketika
terjadi trauma kecil yang mengubah keadan setempat. Penyakit tetanus disebabkan
oleh neurotoksin yang kuat, yaitu tetanospasmin, yang dihasilkan sebagai protein
protoplasmik oleh bentuk vegetatif C. tetani pada tempat infeksi yang terlokalisasi
dan dilepaskan terutama ketika terjadi lisis bakteri tersebut.6
Pembetukan toksin ini tampaknya dikendalikan oleh plasmid. Tetanospasmin
dapat terikat secara kuat pada gangliosida neural, dan tempat masuknya yang
terpenting ke dalam susunan saraf aadalah myoneural junction pada neuron motorik
alfa. Setelah toksin menjalar ke dalam neuron, toksin tersebut tidak lagi dapat
dinetralkan. Tetanospasmin dibawa melalui transpor aksonal retrograd ke neutoaksis,
dan di situ toksin tersebut bermigrasi secara transinaprik ke neuron linnya. Hal yang
terpenting di antara neuron ini adalah sel penghambat presinaptik. Toksin akan terikat
pada sinaps penghambat presinaptik pada neuroaksis dan mencegah pelepasan
transmiter. Karena tidak ada hambatan tersebut, neuron motorik yang lebih bawah
akan meningkatkan tonus otot sehingga timbul kekakuan otot. Hal ini memungkinkan
timbul spasme otot agonis ataupun otot antagonis secara stimultan, yang merupakan
ciri khas tetanus. Tetanospasmin dapat pula memudahkan kontraksi otot spontan pada
tetanus yang berat tanpa potensial aksi pada saraf eferen.6
Salah satu di antara faktor yang menetukan perjalanan klinis tetanus pada
orang yang tidak diimunisasi ialah jumlah toksin yang dihasilkan dan panjang jalur
saraf yang harus dilalui oleh toksin untuk mencapai neuroaksis. Bila jumlah
tetanospasmin cukup besar untuk menyebar melalui pembulu limfe dan aliran darah
ke myoneural junction di seluruh tubuh, yang akan terkena terlebih dahulu adalah
otot dengan jalur saraf terpendek. Dengan demikian, waktu transpor ke neuroaksis
adalah yang terpendek. Pada tetanus generalisata yang terkena pertama-tama adalah
otot pengunyah, otot muka, dan otot leher, kemudian secara desendens diserang pula
otot distal. Pada jenis tetanus generalisata ini, yaitu bentuk penyakit yang paling
sering, pelepasan jumlah toksin yang lebih besar dari luka ke dalam aliran darah,
cenderung menimbulkan permulaan penyakit serta perkembangan gejala yang lebih
cepat ataupun penyakit yang lebih berat. Bila jumlah tetanospasmin sedikit dan
dibawa ke neuroaksis hanya melalui jalur saraf regional, permulaan kekakuan otot
akan tertunda sebanding dengan panjang jalur saraf. Keterlibatan otot mungkin tetap
terbatas pada daerah sekitar luka atau mungkin terjadi tetanus ascendens bila terdapat
toksin yang cukup banyak sehingga dapat menyebar ke arah kranial di dalam medula
spinalis.6
Meskipun neuro spinal penghambat paling sensitif terhadap kerja tetanospasmin,
toksin tersebut dapat pula menghambat pelepasan asetilkolin pada neuromuscular
junction. Hal ini dapat menerangkan paralisis fasialis yang dapat terjadi pada tetanus
sefalik. Pada tetanus generalisata, kadar dan ekspresi katekolamin plasma dapat
sangat tinggi, yang mungkin disebabkan oleh kehilangan inhibisi kolom sel
intermediolateral medula spinalis. Fungsi susunan saraf autonom lainnya dapat pula
dipengaruhi oleh tetanospasmin. Suntikan tetanospasmin secara langsung ke dalam
otak dapat menimbulkan kejang, tetapi makna temuan ini untuk penyakit pada
manusia masih belum jelas. Spasme otot tetanus ditimbulkan pada tingkat spinal
susunan saraf pusat, bukan tingkat supraspinal, dan penderita dapat tetap sadar penuh
tanpa ada gangguan fungsi akibat hipoksia. Kerusakan yang disebabkan tetanospamin
adalah pada neuromuscular junction, dan agaknya juga pada sinaps lainnya.
Tampaknya kerusakan ini bersifat permanen, untuk penyembuhannya dibutuhkan
pertumbuhan sinaps baru.
Perjalanan penyakit
Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-
rata 7-10 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama
dengan spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset yang lebih
pendek berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih berat. Minggu
pertama ditandai dengan rigiditas dan spasme otot yang semakin parah. Gangguan
otonomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2
minggu. Spasme berkurang setelah 2-3 minggu tetapi kekakuan tetap bertahan lebih
lama. Pemulihan terjadi karena timbulnya lagi akson terminal dan karena
penghancuran toksin. Pemulihan bisa memerlukan waktu sampai 4 minggu. 2
7. Epidemiologi
Tetanus terjadi di seluruh dunia dan endemik pada 90 negara yang sedang
berkembang, tetapi insidennya sangat bervariasi. Bentuk paling sering, tetanus
neonatorum (umbilicus), membunuh sekurang-kurangnya 500.000 bayi setiap tahun
karena ibu tidak terimunisasi, lebih dari 70% kematian ini terjadi pada sekitar 10
negara asia dan Afrika tropis. Lagipula, diperkirakan 15.000-30.000 wanita yang tidak
terimunisasi di seluruh dunia meninggal setaip tahun karena tetanus ibu yang
merupakan akibat dari infeksi dengan C. tetani luka pascapartus.5
Kebanyakan kasus tetanus non-neonatorum dihubungkan dengan jejas
traumatis, sering luka tembus yang diakibatkan oleh benda kotor, seperti paku,
serpihan, fragmen gelas, atau infeksi tidak steril, tetapi suatu kasus yang jarang
mungkin tanpa riwayat trauma. Tetanus pascainjeksi obat terlarang menjadi lebih
sering, sementara keadaan yang tidak lazim adalah gigitan binatang, abses (termasuk
abses gigi), pelubangan cuping telinga, ulkus kulit kronis, luka bakar, fraktur
komplikata, radang dingin (frostbite), gangrene, pembedahan usus, goresan-goresan
upacara, dan sirkumsisi wanita. Penyakit ini juga terjadi sesudah penggunaan benang
jahit yang terkontaminasi atausesudah injeksi intramuskuler obat-obatan, paling
menonjol kinin untuk malaria falsiparum resisten-kloroquin.5
WHO menetapkan target mengeradikasi tetanus pada tahun 1995, tetanus tetap
bersifat endemik pada negara-negara sedang berkembang dan WHO memperkirakan
kurang lebih 1.000.000 kematian akibat tetanus di seluruh dunia pada tahun 1992,
termasuk di dalamnya 580.000 kematian akibat tetanus neonatorum, 210.000 di Asia
Tenggara, dan 152.000 di Afrika. Penyakit ini jarang di jumpai di negara-negara
maju. Di Afrika Selatan, kira-kira terdapat 300 kasus per tahun, kira-kira 12-15 kasus
dilaporkan terjadi tiap tahun di Inggris. Di Amerika Serikat sebagian besar kasus
tetanus terjadi akibat trauma akut, seperti luka tusuk, laserasi atau abrasi.5
8. Tatalaksana
Terapi Non Medika Mentosa
Nanah (pus) merupakan salah satu tanda adanya infeksi bakteri kulit. Luka
dapat bernanah jika perawatan atau pengobatan lukanya tidak baik/kotor. Mula-mula,
tutup luka dengan pembalut steril. Jangan menaruh antiseptik, salep, obat tepung, dan
sebagainya pada luka karena akan memperbesar kemungkinan kontaminasi dan
kerusakan jaringan oleh bahan kimia. Perdarahan diatasi dengan pembalut tekan. Bila
luka terdapat pada ekstremitas, maka ekstremitas yang terluka harus ditinggikan.
Perdarahan pada arteri coba diatasi dengan melakukan kompresi dengan jari. Bila
perdarahan tidak berhenti, tekan arteri bagian proksimal dengan jari. Setelah itu
kompres bagian proksimal arteri yang terluka tersebut dengan knevel verband.
Dengan cara ini, luka harus sering-sering dibuka, sekitar setiap 5-15 menit. Bila lebih
dari dua jam, dapat terjadi nekrosis atau iskemia kontraktur.1
Bila terdapat luka yang kotor dan terlihat jelas bahwa lukanya terkontaminasi,
maka dapat diindikasikan balutan yang mengandung antiseptik. Povidone iodine dan
klorheksidin mempunyai aktivitas dengan spectrum yang luas. Penggunaan povidone
iodine sangat berguna untuk pengobatan luka – luka yang terinfeksi.1
Untuk luka yang memerlukan tindakan pembedahan, maka harus dilakukan
beberapa hal, antara lain persiapan luka, anestesi lokal, pembersihan luka dan
sekitarnya, kemudian penutupan luka.Yang dilakukan dalam persiapan luka antara
lain mencuci luka dengan larutan fisiologis atau dengan akuades. Jangan
menggunakan bahan yang merangsang seperti alkohol, karena akan merangsang rasa
nyeri pada pasien. Pembersihan dilakukan seperlunya saja. Selanjutnya suntikkan zat
anestesi lokal di sekitar luka. Penyuntikan dilakukan pada kulit di luar atau sekitar
luka pada luka kotor, atau di dalam luka pada luka bersih. Setelah dianestesi, maka
penderita tidak akan merasa kesakitan sewaktu dimanipulasi.1
Terapi Medika Mentosa
Terdiri atas :
1. Pemberian antitoksin tetanus
2. Penatalaksanaan luka
3. Pemberian antibiotika
4. Penanggulangan kejang
5. Perawatan penunjang
6. Pencegahan komplikasi
Pemberian antitoksin tetanus. Pemberian serum dalam dosis terapetik untuk ATS
bagi orang dewasa adalah sebesar 10.000 – 20.000 IU IM dan untuk anak – anak
sebesar 10.000 IU IM, untuk hypertet bagi orang dewasa adalah sebesar 300 IU –
6000 IU IM dan bagi anak – anak sebesar 3000 IU IM. Pemberian antitoksin dosis
terapetik selama 2 – 5 hari berturut – turut.3
Penatalaksanaan luka. Eksisi dan debridemen luka yang dicurigai harus segera
dikerjakan 1 jam setelah terapi sera (pemberian antitoksin tetanus). Jika
memungkinkan dicuci dengan perhydrol. Luka dibiarkan terbuka untuk mencegah
keadaan anaerob. Bila perlu di sekitar luka dapat disuntikan ATS.
Pemberian antibiotika. Obat pilihannya adalah Penisilin, dosis yang diberikan untuk
orang dewasa adalah sebesar 1,2 juta IU/8 jam IM, selama 5 hari, sedang untuk anak –
anak adalah sebesar 50.000 IU/kg BB/hari, dilanjutkan hingga 3 hari bebas panas.
Bila penderita alergi terhadap penisilin, dapat diberikan tetrasiklin. Dosis pemberian
tetrasiklin pada orang dewasa adalah 4 x 500 mg/hari, dibagi dalam 4 dosis.
Pengobatan dengan antibiotika ditujukan untuk bentuk vegetatif clostridium tetani,
jadi sebagai pengobatan radikal, yaitu untuk membunuh kuman tetanus yang masih
ada dalam tubuh, sehingga tidak ada lagi sumber eksotoksin.3
ATS atau HTIG ditujukan untuk mencegah eksotoksin berikatan dengan susunan saraf
pusat (eksotoksin yang berikatan dengan susunan saraf pusat akan menyebabkan
kejang, dan sekali melekat maka ATS / HTIG tak dapat menetralkannya. Untuk
mencegah terbentuknya eksotoksin baru maka sumbernya yaitu kuman clostridium
tetani harus dilumpuhkan, dengan antibiotik.
Penaggulangan Kejang. Dahulu dilakukan isolasi karena suara dan cahaya dapat
menimbulkan serangan kejang. Saat ini prinsip isolasi sudah ditinggalkan, karena
dengan pemberian anti kejang yang memadai maka kejang dapat dicegah. Bila kejang
belum juga teratasi, dapat digunakan pelemas otot (muscle relaxant) ditambah alat
bantu pernapasan (ventilator). Cara ini hanya dilakukan di ruang perawatan khusus
(ICU = Intesive Care Unit) dan di bawah pengawasan seorang ahli anestesi.
Perawatan penunjang. Yaitu dengan tirah baring, diet per sonde, dengan asupan
sebesar 200 kalori / hari untuk orang dewasa, dan sebesar 100 kalori/kg BB/hari untuk
anak – anak, bersihkan jalan nafas secara teratur, berikan cairan infus dan oksigen,
awasi dengan seksama tanda – tanda vital (seperti kesadaran, keadaan umum, tekanan
darah, denyut nadi, kecepatan pernapasan), trisnus (diukur dengan cm setiap hari),
asupan / keluaran (pemasukan dan pengeluaran cairan), temperatur, elektrolit (bila
fasilitas pemeriksaan memungkinkan), konsultasikan ke bagian lain bila perlu.3
Pencegahan komplikasi. Mencegah anoksia otak dengan (1) pemberian antikejang,
sekaligus mencegah laringospasme, (2) jalan napas yang memadai, bila perlu lakukan
intubasi (pemasangan tuba endotrakheal) atau lakukan trakheotomi berencana, (3)
pemberian oksigen.
Mencegah pneumonia dengan membersihkan jalan napas yang teratur, pengaturan
posisi penderita berbaring, pemberian antibiotika. Mencegah fraktur vertebra dengan
pemberian antikejang yang memadai.
Jenis Obat Dosis Anak – anak Dosis Orang Dewasa
Fenobarbital
(Luminal)
Mula–mula 60–100 mg IM, kemudian 6 x 30 mg
per oral. Maksimum 200 mg/hari 3 x 100 mg IM
Klorpromazin
(Largactil)
4–6 mg/kg BB/hari, mula – mula IM, kemudian
per oral 3 x 25 mg IM
Diazepam
(Valium)
Mula–mula 0,5 – 1 mg/kg BB IM, kemudian per
oral 1,5 – 4 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 6 dosis 3 x 10 mg IM
Klorhidrat - 3 x 500 – 100 mg per rectal
9. Pencegahan
Vaksinasi
Vaksinasi tetanus bertujuan untuk mencegah kerusakan saraf. Vaksin tetanus
diberikan pada (1) bayi dan anak usia kurang dari 10 tahun, (2) ibu hamil, (3) semua
orang dewasa. Vaksin tetanus memiliki berbagai kemasan seperti preparat tunggal
(TT), kombinasi dengan toksoid difteri dan atau perusis (dT, DT, DTwp,Dtap) dan
kombinasi dengan komponen lain seperi Hib dan hepatitis B.7
Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari DPT (difteri,
pertusis, tetanus). DPT diberikan satu seri yang terdiri atas 5 suntikan pada usia 2
bulan, 4 bulan, 6 bulan, 15-18 bulan, dan terakhir saat masuk sekolah (4-6 tahun).
Bagi orang dewasa, sebaiknya menerima booster dalam bentuk TT (tetanus toksoid)
setiap 10 tahun. 7
Untuk mencegah tetanus neonatorum, wanita hamil dengan persalinan
berisiko tinggi paling tidak mendapatkan 2 kali dosis vaksin TT. Dosis TT kedua
sebaiknya diberikan paling tidak mendapatkan 2 kali dosis vaksin TT. Dosis TT
kedua sebaiknya dberikan paling tidak 4 minggu setelah pemberian dosis pertama,
dan dosis kedua sebaiknya diberikan paling tidak 2 minggu sebelum persalinan.
Untuk ibu hamil yang sebelumnya pernah menerima TT 2x pada waktu calon
pengantin pada kehamilan sebelumnya, maka diberikan booster TT 1 kali saja. 7
Vaksin tetanus tidak boleh diberikan pada orang dengan riwayat reaksi alergi
berat (anafilaksis) pad pemberian sebelumnya, pada orang yang alergi terhadap
komponen vaksin, dan wanita hamil. Pemberian vaksin DPT pada anak-anak harus
ditunda jika anak mengalami demam tinggi, memiliki kelainan saraf, atau mengalami
gangguan pertumbuhan. 7
Imunisasi Aktif dan Imunisasi Pasif
Imunisasi aktif didapat dengan menyuntikan toksoid tetanus dengan tujuan
merangsang tubuh membentuk antibodi. Manfaat imunisasi aktif ini sudah banyak
dibuktikan. Imunisasi pasif diperoleh dengan memberikan serum yang sudah
mengandung antitoksin heterolog (ATS) atau antitoksin homolog (imunoglobulin
antitetanus). Berdasarkan riwaya imunitas dan jenis luka, baru ditentukan pemberiaan
antitetanus serum atau toksoid.8
Ada keraguan untuk memberikan serum antitetanus bersamaan dengan toksoid
karena ditakutkan terjadinya netralisasi toksoid oleh ATS. Ini dapat dicegah dengan
memberikannya secara terpisah pada tempat penyuntikn yang berjauhan, misalnya
lengan kanan dan paha kiri. 8
Kesimpulan
Tetanus adalah penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri Clostridium tetani.
Penyakit ini ditandai oleh spasme otot yang tidak terkendali akibat kerja neurotoksin
kuat, yaitu tetanospasmin, yang dihasilkan bakteri ini.. Pencegahan seperti vaksinasi
dan imunisasi dapat dilakukan untuk mengatasi tetanus.
Salah satu penyebab terjadinya tetanus adalah adanya luka robek ( Vulnus
laceratum ) atau trauma jaringan yang kemudian akan terkontaminasi oleh bakteri
Clostridium tetani tersebut. Kerusakan jaringan ini dapat menyediakan lingkungan
yang cocok bagi pertumbuhan bakteri ini dan pengeluaran toksinnya.
Daftar Pustaka
1. Ismanoe G. Ilmu penyakit dalam. Tetanus. Jilid ke 3. Edisi ke 5. Jakarta : Interna
Publishing, 2009.
2. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak. Edisi ke 15. Volume ke 2.
Jakarta : EGC, 2000.
3. Cahyono JBSB, Lusi RA, Verawati, Sitorus R, Utami RCB, Dameria K. Vaksinasi,
cara ampuh cegah penyakit infeksi. Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2010.
4. Surasmi A, Handayani S, Kusuma HN. Perawatan bayi resiko tinggi. Jakarta :
EGC, 2003.
5. Pearce EC. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta : EGC, 2009.
6. Davey P. At a Glance medicine. Cetakan 8. Jakarta : Penerbit Erlangga, 2011.
7. Akoso BT. Rabies. Yogyakarta : Kanisius, 2fru007.
8. Batticaca FB. Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem persarafan.
Jakarta : Penerbit Salemba Medika, 2008.
9. Soeharsono. Zoonosis: penyakit menular dari hewan ke manusia. Yogyakarta:
Kanisius, 2006.h.118-9.
10.Wahab AS, penyunting. Ilmu kesehatan anak. Edisi ke-15. Jakarta: EGC,
2000.h.1004-145.
11.Muttaqin A. Buku ajar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem
persarafan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika, 2008.