REVIEW BUKU “A FIRST LOOK AT COMMUNICATION THEORY” KARANGAN EM GRIFFIN
CHAPTER 4 : INTERAKSI SIMBOLIK
Oleh George Herbert Mead
PENGANTAR
George Herbert Mead adalah seorang filsuf dari Universitas Chicago, Amerika Serikat. Beliau adalah orang pertama yang
memperkenalkan konsep Interaksi Simbolik, dimana pola pikir, konsep diri, dan komunitas sosial yang kita miliki dibentuk melalui
komunikasi. Interaksi Simbolik masuk dalam tataran Komunikasi Interpesonal. Interaksi simbolik itu sendiri memiliki makna sebagai
sebuah proses berkelanjutan baik berupa bahasa lisan dan tulisan (verbal) maupun tingkah laku (nonverbal) sebagai antisipasi dari
reaksi yang diberikan oleh orang lain, karena Mead beranggapan bahwa kegiatan yang paling manusia dan manusiawi adalah orang
dapat terlibat dalam sebuah percakapan dengan orang lain, atau yang biasa kita sebut Komunikasi dengan orang lain. Kemudian
salah seorang murid dari Mead, Herbert Blumer dari Universitas California-Brekeley menciptakan istilah “Interaksi Simbolik” yang
berhubungan dengan Pesan/Meaning, Bahasa/Language, Thought/Berpikir. Istilah yang dikemukakan oleh Blumer mengadopsi
berbagai teori yang telah dikemukakan oleh Mead.
TEORI INTERAKSI SIMBOLIK
Berikut ini paparan mengenai Interaksi Simbolik yang dikemukakan oleh Herbert Blumer yang telah mengadopsi konsep-konsep
dari Mead.
Ø Pesan: Dasar Dari Realitas Sosial (Meaning : The Construction Of Social Reality)
Toeri pertama Blumer menyatakan bahwa “individu berperilaku kepada masyarakat atau objek berdasarkan apa yang
mereka pahami secara mendasar mengenai masyarakat atau objek tersebut.” / “human act toward people or things on
the basis of the meaning they assign to those people or things”. Individu bertindak sesuai dengan apa yang dia maknai
dalam sebuah situasi yang sedang ia hadapi. Dalam kasus ini persepsi atau anggapan yang kita hasilkan mengenai
seseorang , situasi dan objek-lah yang membentuk pola perilaku kita dalam Realitas Sosial yang terjadi
Ø Bahasa: Sumber Dari Makna/Pesan (Language : The Source Of Meaning)
Teori kedua Blumer menyatakan bahwa “makna tumbuh melalui interaksi sosial antara satu sama lain atau antara
individu yang satu dengan individu yang lain” / “meaning arises out of the social interaction that people have with each
other”. Pada point ini Bahasa memiliki peran yang sangat besar dalam memaknai berbagai hal seperti orang, benda
maupun situasi. Bahasa merupakan sumber dari makna yang disampaikan oleh seseorang terhadap sesuatu hal yang
terjadi atau yang ada dihadapannya, walau Bahasa tidak sepenuhnya dapat memaknai realitas yang sebenarnya
namun setidaknya bahasa dapat menjadi wakil dari realitas itu sendiri.
Ø Berpikir: Proses Pengambilan Peran Orang Lain. (Thought : The Process Of Taking The Role Of Other)
Teori ketiga Blummer menyatakan bahwa “interpretasi individu mengenai simbol dibentuk oleh pemikirannya
sendiri”/“individual’s interpretation of symbols is modified by his or her own thought processes”. Blumer dalam teorinya
yang ketiga menggambarkan manusia sebagai individu yang memiliki kapasitas untuk “mengambil peran dari orang
lain” yang berarti proses dimana kita secara sadar menilai diri sendiri melalui pandangan orang lain. Kita
menciptakan sebuah standar yang harus dicapai oleh diri kita sendiri yaitu kesuksesan, kebahagiaan, dll. Dan dalam
tahap tertentu kita berusaha membayangkan apa yang orang lain pikirkan jika melihat diri kita, sukseskah kita
dimata mereka? Bahagiakah kita? normalkah? dsb.. Proses tersebut ikut membentuk konsep mengenai diri individu .
Ø The Self: Bayangan Di Cermin (The-Self : Reflection In A Looking Glass)
Kembali kepada konsep Mead, dimenyatakan bahwa “kita melukis potret diri kita dengan sapuan kuas yang datang
dari mengambil peran orang lain, membayangkan bagaimana kita melihat orang lain” / “we paint our self-portrait with
brush strokes that come from taking the role of the other-imagining how we look to another person.” Dalam pernyataan di
atas tegaskan bahwa konsep diri tidak semata-mata ada begitu saja atau bawaan lahir melainkan sebuah konsep yang
dihasilkan oleh masyarakat sosial sebagai hasil dari interaksinya terhadap lingkungan.
Ø Komunitas: Mensosialisasikan Efek Dari Harapan Orang Lain (Community: The Socializing Effect of Others Expectations)
Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita tidak hanya terhubung dengan keluarga kita sendiri atau orang-orang
dekat kita saja. Namun, kehidupan kita mencakup dunia yang lebih luas seperti dunia akademik, professional, dll,
dimana kita diharuskan untuk bisa berinteraksi dengan semua orang yang ada.
Semua hal tersebut merupakan Generalized Other. Generalized Other sendiri memiliki pengertian sebagai “pandangan kedua yang
mempengaruhi bagaimana kita melihat diri sendiri”. Generalized other dapat berupa sekelompok aturan, peran-peran sosial,
perilaku yang “ditekankan” oleh kelompok masyarakat, serta komunitas sosial dimana kita berada. Naming/Penamaan. Stick and
stones can break bones, but names can actually hurt me” merupakan pepatah yang tepat menggambarkan efek dari penamaan itu
sendiri memberikan penamaan seperti “betty la fea/betty jelek, nancy bodoh, dll merupakan salah satu hal yang dapat
berpengaruh besar terhadap konsep diri.
Self-fulfilling prophecy adalah ekspektasi/ harapan, serta penilaian orang lain terhadap diri kita yang berusaha kitawujudkan dalam
perilaku/tindakan.seperti seorang anak yang diberikan semangat oleh para gurunya bahwa ia memiliki kemampuan untuk
memenangkan olimpiade, anak tersebut pasti akan merasakan tekanan lebih pada dirinya untuk menang dan belajar keras.
Manipulasi Simbol. Makna sebuah symbol juga dapat dibentuk melalui proses manipulasi, dimana makna sebuah symbol tidak lagi
berdasarkan makna dasar yang dimiliki symbol tersebut, melainkan apa yang dapat diwakili oleh symbol tersebut. sebagai contoh
adalah bagaimana symbol “tikus” digabarkan sebagai sebuah gerakan sederhana di amreika untuk menggambrakan aktifitas
pembangunan rumah/”sarang” untuk para masyarakat miskin didaerah tersebut.
CRITICISM/CATATAN KRITIS
Apa yang telah dikemukakan oleh Mead mengenai konsep Interaksi Simbolik memang merupakan sumbangsih yang sangat besar
bagi perkembangan dunia Komunikasi. Namun dalam paparan mengenai Interaksi Simbolik tersebut Mead melupakan satu hal
yang sangat penting yang nyata keberadaanya dalam realitas sosial, yaitu keterbatasan individu dalam menerima simbol dengan
baik karena kecacatan pada organ tubuh atau genetik, seperti kebutaan, tuna rungu, bisu dsb. Dalam berbagai point yang telah
disampaikan di atas, ada satu point yang sangat terpengaruhi apabila kecacatan itu dialami seseorang yaitu pada Bahasa: Sumber
Dari Makna/Pesan (Language : The Source Of Meaning). Seseorang dengan keterbatasan dalam berbicara akan sangat sulit dalam
memaknai hal lewat bahasa, namun hal ini terlewat oleh Mead dan Blumer.
PENERAPAN
Menurut pemahaman saya, teori ketiga yang dikemukakan Blumer yaitu Berpikir: Proses Pengambilan Peran Orang Lain. (Thought :
The Process Of Taking The Role Of Other), adalah salah satu point yang sangat penting dan sangat dianjurkan untuk diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari. Apabila kita secara sadar menilai standar diri sendiri melalui pandangan orang lain maka kita juga
akan dapat mencapai sebuah kesuksesan dan kebahagian di realitas sosial.
CONTOH KASUS
Konsep The Self: Bayangan Di Cermin (The-Self : Reflection In A Looking Glass) menjelaskan bahwa konsep diri itu bukan bawaan
lahir atau tidak datang begitu saja melainkan hasil interaksi sosial dengan masyarakat. Contoh kasus nyata dalam kehidupan,
apabila seorang anak yang dibesarkan secara positif oleh orang tuanya, selalu beri kata-kata positif bahwa dia disayangi, dicintai,
dll akan tumbuh menjadi individu positif yang memiliki konsep diri yang baik pula.
TEORI INTERAKSI SIMBOLIK DAN SIMBOLIK ORGANISASI
Sejarah dan Tokoh
Sejarah Teori Interaksionisme Simbolik tidak bisa dilepaskan dari pemikiran George Harbert Mead (1863-1931). Dalam terminologi
yang dipikirkan Mead, setiap isyarat non verbal (seperti body language, gerak fisik, baju, status, dll) dan pesan verbal (seperti kata-
kata, suara, dll) yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu interaksi merupakan
satu bentuk simbol yang mempunyai arti yang sangat penting (a significant symbol).
Menurut Fitraza (2008), Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, dimana dua atau lebih individu berpotensi mengeluarkan simbol
yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang diberikan oleh orang lain, demikian pula perilaku orang tersebut.
Melalui pemberian isyarat berupa simbol, maka kita dapat mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara
membaca simbol yang ditampilkan oleh orang lain.
Banyak ilmuwan yang menggunakan pendekatan teori interaksi simbolik dimana teori ini memberikan pendekatan yang relatif
khusus pada ilmu dari kehidupan kelompok manusia dan tingkah laku manusia, dan banyak memberikan kontribusi intelektual,
diantaranya John Dewey, Robert E. Park, William James, Charles Horton Cooley, Ernest Burgess, James Mark Baldwin (Rogers. 1994:
168).
Generasi setelah Mead merupakan awal perkembangan interaksi simbolik, dimana pada saat itu dasar pemikiran Mead terpecah
menjadi dua Mahzab (School), dimana kedua mahzab tersebut berbeda dalam hal metodologi, yaitu (1) Mahzab Chicago (Chicago
School) yang dipelopori oleh Herbert Blumer, dan (2) Mahzab Iowa (Iowa School) yang dipelopori oleh Manfred Kuhn dan Kimball
Young (Rogers. 1994: 171).
Penjelasan Teori Interaksi Simbolik
Teori Interaksi Simbolik yang masih merupakan pendatang baru dalam studi ilmu komunikasi, yaitu sekitar awal abad ke-19 yang
lalu. Sampai akhirnya teori interaksi simbolik terus berkembang sampai saat ini, dimana secara tidak langsung SI merupakan
cabang sosiologi dari perspektif interaksional (Ardianto. 2007: 40).
Teori interaksi simbolik adalah hubungan antara simbol dan interaksi. Menurut Mead, orang bertindak berdasarkan makna simbolik
yang muncul dalam sebuah situasi tertentu.
Sedangkan simbol adalah representasi dari sebuah fenomena, dimana simbol sebelumnya sudah disepakati bersama dalam
sebuah kelompok dan digunakan untuk mencapai sebuah kesamaan makna bersama.
Simbol dibedakan menjadi dua, yakni:
· Simbol verbal (penggunaan kata-kata atau bahasa, contohnya kata ‘motor’ itu merepresentasikan tentang sebuah kendaraan
beroda 2).
· Simbol nonverbal (lebih menekankan pada bahasa tubuh atau bahasa isyarat) contoh: lambaian tangan, anggukan kepala,
gelengan kepala. Semua itu tadi mempunyai makna sendiri-sendiri yang dapat dipahami oleh individu-individu.
Ralph Larossa dan Donald C.Reitzes mengatakan bahwa interaksi simbolik adalah sebuah kerangka referensi untuk memahami
bagaimana manusia bersama dengan orang lainnya menciptakan dunia simbolik dan bagaimana dunia ini, sebaliknya membentuk
perilaku manusia.
Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik antara lain:
1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia,
Makna yang kita berikan pada simbol merupakan produk dari hasil interaksi sosial dan menggambarkan kesepakatan untuk
menerapkan makna tertentu pada simbol tertertu. Makna dapat ada hanya ketika orang-orang memiliki interpretasi yang sama
mengenai simbol-simbol yang mereka pertukarkan.
Contoh: Kursi → adalah tempat untuk di duduki
Printer → alat untuk mencetak tulisan didalam kertas
2. Pentingnya konsep mengenai diri,
Melalui interaksi dengan orang lain individu-individu akan mengembangkan konsep dirinya sendiri. konsep diri ini akan
membentuk perilaku individu.
Contoh: keyakinan dan pandangan positif orang lain terhadap pribadi kita akan membentuk perilaku kita seperti menjadi sosok
yang penuh semangat dan penuh percaya diri.
3. Hubungan antara individu dengan masyarakat.
Manusia adalah mahkluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri, manusia senantiasa akan selalu menjalin hubungan interaksi
dengan masyarakat. Disini ada ketergantungan antara individu dengan masyarakat. interaksi sosial yang terjadi dengan
masyarakat dan lingkungannya menghasilkan aturan-aturan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Contoh: aturan harus menghormati orang yang lebih tua menghasilkan tata karma kehidupan.
Barbara Ballis Ball menyimpulkannya sebagai berikut:
1) Orang membuat keputusan dan bertindak dlm persetujuan dgn “pemahaman subyektif” mereka atas situasi yg mereka
alami/temukan’.
2) Kehidupan sosial terbentuk dari proses interaksi dalam struktur dan proses tersebut senantiasa mengalami perubahan.
3) Orang memahami pengalaman mereka melalui makna yg mereka temukan dlm simbol-simbol group utama mereka dan bahasa
merupakan unsur yang esensial dalam kehidupan.
4) Dunia menciptakan obyek-obyek sosial yang diberi nama dan secara sosial menentukan makna.
5) Tindakan-tindakan orang didasarkan atas interpretasi mereka atas obyek yang relevan dan tindakan dalam situasi itu dipahami
dan didefinisikan.
6) Seseorang (self) adalah obyek yang significant dan sebagaimana semua abyek sosial, maka didifiniskan melalui interaksi sosial
dengan pihak lain.
Implikasi Dalam Ilmu/Teori Dan Metodologi
Implikasi dari teori interaksi simbolik dapat dijelaskan dari beberapa teori atau ilmu dan metodologi berikut ini, antara lain: Teori
sosiologikal modern (Modern Sociological Theory) menurut Francis Abraham (1982) dalam Soeprapto (2007), dimana teori ini
menjabarkan interaksi simbolik sebagai perspektif yang bersifat sosial-psikologis.
Beberapa implikasi dari Interaksi Simbolik diantaranya :
a) Perspektif Interaksional (Interactionist perspective), mempelajari interaksi sosial yang ada perlu digunakan pendekatan
tertentu, mempelajari lebih jauh dari interaksi sosial masyarakat, dan mengacu dari penggunaan simbol-simbol yang
pada akhirnya akan dimaknai secara kesepakan bersama oleh masyarakat dalam interaksi sosial mereka.
b) Konsep definisi situasi (the definition of the situation) merupakan implikasi dari konsep interaksi simbolik mengenai
interaksi sosial yang dikemukakan oleh William Isac Thomas (1968) dalam Hendariningrum (2009).
c) Konstruksi sosial (Social construction) merupakan implikasi berikutnya dari interaksi simbolik yang merupakan buah karya
Alfred Schutz, Peter Berger, dan Thomas Luckmann, dimana konstruksi sosial melihat individu yang melakukan proses
komunikasi untuk menafsirkan peristiwa dan membagi penafsiran-penafsiran tersebut dengan orang lain, dan realitas
dibangun secara sosial melalui komunikasi (LittleJohn. 2005: 308).
d) Teori peran (Role Theory) merupakan implikasi selanjutnya dari interaksi simbolik menurut pandangan Mead (West-
Turner 2008: 105). dimana, salah satu aktivitas paling penting yang dilakukan manusia setelah proses pemikiran
(thought) adalah pengambilan peran (role taking). Teori peran menekankan pada kemampuan individu secara simbolik
e) Teori diri (Self theory) dalam sudut pandang konsep diri, merupakan bentuk kepedulian dari Ron Harrě, dimana diri
dikonstruksikan oleh sebuah teori pribadi (diri). Artinya, individu dalam belajar untuk memahami diri dengan
menggunakan sebuah teori yang mendefinisikannya, sehingga pemikiran seseorang tentang diri sebagai person
merupakan sebuah konsep yang diturunkan dari gagasan-gagasan tentang personhood yang diungkapkan melalui proses
komunikasi (LittleJohn. 2005: 311).
f) Teori dramatisme (Dramatism theory) merupakan implikasi yang terakhir yang akan dipaparkan oleh penulis, dimana teori
dramatisme ini merupakan teori komunikasi yang dipengaruhi oleh interaksi simbolik, dan tokoh yang menggemukakan
teori ini adalah Kenneth Burke (1968).
Kritik Terhadap Teori Interaksi Simbolik
Kritik terhadap teori interaksi simbolik ada beberapa hal, diantaranya :
a) Interaksi simbolik memiliki banyak implikasi-implikasi, sehingga teori ini paling sulit untuk disimpulkan.
b) Interaksi simbolik tidak dianggap cukup heuristik (pemaparan melalui proses pertanyaan-pertanyaan dalam menyelesaikan
suatu permasalahan secara sistematis), sehingga memunculkan sedikit hipotesis yang bisa diuji dan pemahaman yang minim.
c) Para peneliti interaksi simbolik dianggap kurang terlibat dalam suatu proses penelitian, sehingga dalam menjelaskan konsep-
konsep kunci dari observasi, dimana pada akhirnya akan menyulitkan si-peneliti dalam melakukan revisi dan elaborasi.
d) Interaksi simbolik dalam proses penelitian dianggap meremehkan ataupun mengabaikan variabel-variabel penjelas yang
sebenarnya cukup penting, seperti emosi individu yang diteliti. Intraksi simbolik berhubungan dengan organisasi sosial
kemasyarakatan, dimana organisasi sosial atau struktur menghilangkan prerogatif individu.
e) Interaksi simbolik bukanlah suatu teori yang utuh karena memiliki banyak versi, dimana konsep-konsep yang ada, tidak
digunakan secara konsisten. Dan pada akhirnya berdampak pada konsep-konsep seperti I, Me, Self, Role, dan lain sebagainya
menjadi bias dan kabur (tidak jelas).
Kesimpulan
Ciri khas dari teori interaksi simbolik terletak pada penekanan manusia dalam proses saling menterjemahkan, dan saling
mendefinisikan tindakannya, tidak dibuat secara langsung antara stimulus-response, tetapi didasari pada pemahaman makna yang
diberikan terhadap tindakan orang lain melalui penggunaan simbol-simbol, interpretasi, dan pada akhirnya tiap individu tersebut
akan berusaha saling memahami maksud dan tindakan masing-masing, untuk mencapai kesepakatan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
LittleJohn, Stephen W. 2005. Theories of Human Communication – Fifth Edition. Terjemahan edisi Indonesia 1 (Chapter 1-9), dan edisi Indonesia 2 (Chapter 10-16).
Mulyana, Deddy. 2008. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study: ABiographical Approach. New York:The Free Press.
West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Pengantar teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Buku 1 edisi ke-3. Terjemahan. Maria Natalia Damayanti Maer. Jakarta: Salemba Humanika.
--
Herbert Blumer dan George Herbert Mead adalah yang pertama-tama mendefinisikan teori symbolic interactionism.
Blumer mengutarakan tentang tiga prinsip utama interaksionisme simbolik, yaitu tentang pemaknaan (meaning), bahasa (language),
dan pikiran (thought). Premis ini nantinya mengantarkan kepada konsep ‘diri’ seseorang dan sosialisasinya kepada ‘komunitas’
yang lebih besar, masyarakat.
Blumer mengajukan premis pertama, bahwa human act toward people or things on the basis of the meanings they assign to those
people or things. Maksudnya, manusia bertindak atau bersikap terhadap manusia yang lainnya pada dasarnya dilandasi atas
pemaknaan yang mereka kenakan kepada pihak lain tersebut.
Sebagai contoh, dalam film Kabayan, tokoh Kabayan sebenarnya akan memiliki makna yang berbeda-beda berpulang kepada siapa
atau bagaimana memandang tokoh tersebut. Ketika Kabayan pergi ke kota besar, maka masyakat kota besar tersebut mungkin akan
memaknai Kabayan sebagai orang kampung, yang kesannya adalah norak, kampungan. Nah, interaksi antara orang kota dengan
Kabayan dilandasi pikiran seperti ini. Padahal jika di desa tempat dia tinggal, masyakarat di sana memperlakukan Kabayan dengan
cara yang berbeda, dengan perlakuan lebih yang ramah. Interaksi ini dilandasi pemikiran bahwa Kabayan bukanlah sosok orang
kampung yang norak.
Once people define a situation as real, its very real in its consequences. Pemaknaan tentang apa yang nyata bagi kita pada hakikatnya
berasal dari apa yang kita yakini sebagai kenyataan itu sendiri. Karena kita yakin bahwa hal tersebut nyata, maka kita
mempercayainya sebagai kenyataan.
Dalam contoh yang sama, ketika kita memaknai Kabayan sebagai orang yang kampungan, maka kita menganggap pada
kenyataannya Kabayan memang adalah orang yang kampungan. Begitu pula sebaliknya.
Premis kedua Blumer adalah meaning arises out of the social interaction that people have with each other. Pemaknaan muncul dari
interaksi sosial yang dipertukarkan di antara mereka. Makna bukan muncul atau melekat pada sesuatu atau suatu objek secara
alamiah. Makna tidak bisa muncul ‘dari sananya’. Makna berasal dari hasil proses negosiasi melalui penggunaan bahasa
(language)—dalam perspektif interaksionisme simbolik.
Di sini, Blumer menegaskan tentang pentingnya penamaan dalam proses pemaknaan. Sementara itu Mead juga meyakini bahwa
penamaan simbolik ini adalah dasar bagi masyarakat manusiawi (human society).
Ketika kita menyebut Kabayan tadi dengan bahasa kampungan, konsekuensinya adalah kita menarik pemaknaan dari penggunaan
bahasa ‘kampungan’ tadi. Kita memperoleh pemaknaan dari proses negosiasi bahasa tentang kata ‘kampungan’. Makna dari kata
‘kampungan’ tidaklah memiliki arti sebelum dia mengalami negosiasi di dalam masyarakat sosial di mana simbolisasi bahasa
tersebut hidup. Makna kata kampungan tidak muncul secara sendiri, tidak muncul secara alamiah. Pemaknaan dari suatu bahasa
pada hakikatnya terkonstruksi secara sosial.
Premis ketiga Blumer adalah an individual’s interpretation of symbols is modified by his or her own thought process. Interaksionisme
simbolik menggambarkan proses berpikir sebagai perbincangan dengan diri sendiri. Proses berpikir ini sendiri bersifat refleksif.
Nah, masalahnya menurut Mead adalah sebelum manusia bisa berpikir, kita butuh bahasa. Kita perlu untuk dapat berkomunikasi
secara simbolik. Bahasa pada dasarnya ibarat software yang dapat menggerakkan pikiran kita.
Cara bagaimana manusia berpikir banyak ditentukan oleh praktek bahasa. Bahasa sebenarnya bukan sekedar dilihat sebagai ‘alat
pertukaran pesan’ semata, tapi interaksionisme simbolik melihat posisi bahasa lebih sebagai seperangkat ide yang dipertukarkan
kepada pihak lain secara simbolik. Komunikasi secara simbolik.
Perbedaan penggunaan bahasa pada akhirnya juga menentukan perbedaan cara berpikir manusia tersebut. Contoh sederhana
adalah cara pikir orang yang berbahasa indonesia tentunya berbeda dengan cara pikir orang yang berbahasa jawa. Begitu pula
orang yang berbahasa sunda akan berbeda cara berpikirnya dengan orang yang berbahasa inggris, jerman, atau arab.
Akan tetapi walaupun pemaknaan suatu bahasa banyak ditentukan oleh konteks atau konstruksi sosial, seringkali interpretasi
individu sangat berperan di dalam modifikasi simbol yang kita tangkap dalam proses berpikir. Simbolisasi dalam proses interaksi
tersebut tidak secara mentah-mentah kita terima dari dunia sosial, karena kita pada dasarnya mencernanya kembali dalam proses
berpikir sesuai dengan preferensi diri kita masing-masing.
Walaupun secara sosial kita berbagi simbol dan bahasa yang sama dalam kontek Kabayan dan kata kampungan tadi, belum tentu
dalam proses berpikir kita sama-sama menafsirkan kata Kabayan dan kampungan dengan cara atau maksud yang sama dengan
orang yang lainnya. Semuanya sedikit banyak dipengaruhi oleh interpretasi individu dalam penafsiran simbolisasi itu sendiri.
Pemaknaan merujuk kepada bahasa. Proses berpikir merujuk kepada bahasa. Bahasa menentukan bagaimana proses pemaknaan
dan proses berpikir. Jadi, ketiganya saling terkait secara erat. Interaksi ketiganya adalah yang menjadi kajian utama dalam
perspektif interaksionisme simbolik.
Dalam tataran konsep komunikasi, maka secara sederhana dapat dilihat bahwa komunikasi hakikatnya adalah suatu proses
interaksi simbolik antara pelaku komunikasi. Terjadi pertukaran pesan (yang pada dasarnya terdiri dari simbolisasi-simbolisasi
tertentu) kepada pihak lain yang diajak berkomunikasi tersebut. Pertukaran pesan ini tidak hanya dilihat dalam rangka transmisi
pesan, tapi juga dilihat pertukaran cara pikir, dan lebih dari itu demi tercapainya suatu proses pemaknaan.
Komunikasi adalah proses interaksi simbolik dalam bahasa tertentu dengan cara berpikir tertentu untuk pencapaian pemaknaan
tertentu pula, di mana kesemuanya terkonstruksikan secara sosial.
Mungkin kontribusi terbesar Mead terhadap bagaimana kita memahami cara kita berpikir adalah konsepsi Mead tentang ‘seni
berperan’ (take the role of the other).
Setelah kita paham tentang konsep meaning, language, dan thought saling terkait, maka kita dapat memahami konsep Mead
tentang ‘diri’ (self). Konsep diri menurut Mead sebenarnya kita melihat diri kita lebih kepada bagaimana orang lain melihat diri kita
(imagining how we look to another person). Kaum interaksionisme simbolik melihat gambaran mental ini sebagai the looking-glass
self dan bahwa hal tersebut dikonstruksikan secara sosial.
Dalam konsepsi interaksionisme simbolik dikatakan bahwa kita cenderung menafsirkan diri kita lebih kepada bagaimana orang-
orang melihat atau menafsirkan diri kita. Kita cenderung untuk menunggu, untuk melihat bagaimana orang lain akan memaknai diri
kita, bagaimana ekspektasi orang terhadap diri kita. Oleh karenanya konsep diri kita terutama kita bentuk sebagai upaya
pemenuhan terhadap harapan atau tafsiran orang lain tersebut kepada diri kita.
Kita acap kali mencoba memposisikan diri ke dalam orang lain, dan mencoba melihat bagaimanakah perspektif orang tersebut
ketika memandang diri kita. Kita semacam meminjam kaca mata orang lain tersebut untuk dan dalam melihat diri kita.
Konsep diri adalah fungsi secara bahasa. Tanpa pembicaraan maka tidak akan ada konsep diri. Nah, konsep diri ini sendiri pada
nantinya terbentuk atau dikonstruksikan melalui konsep pembicaraan itu sendiri, melalui bahasa (language).
Sebagai contoh adalah bagaimana proses komunikasi dan permainan bahasa yang terjadi dalam hubungan antara dua orang,
terutama pria dengan wanita. Ketika mereka berkomunikasi dengan menggunakan simbolisasi bahasa SAYA dan ANDA, maka
konsep diri yang terbentuk adalah “dia ingin diri saya dalam status yang formal”. Atu misalkan simbolisasi bahasa yang dipakai
adalah ELO dan GUE maka konsep diri yang terbentuk adalah “dia ingin menganggap saya sebagai teman atau kawan semata”. Dan
tentunya akan sangat berbeda jika simbolisasi yang digunakan adalah kata AKU dan KAMU, maka konsep diri yang lebih mungkin
adalah “dia ingin saya dalam status yang lebih personal, yang lebih akrab” atau lebih merujuk kepada konsep diri bahwa “kita
sudah jadian atau pacaran”. Misalkan. Jadi, dalam suatu proses komunikasi, simbolisasi bahasa yang digunakan akan sangat
berpengaruh kepada bagaimana konsepdiri yang nantinya akan terbentuk.
Lebih luas lagi pada dasarnya pola komunikasi ataupun pola interaksi manusia memang bersifat demikian. Artinya, lebih kepada
proses negosiasi dan transaksional baik itu antar dua individu yang terlibat dalam proses komunikasi maupun lebih luas lagi
bagaimana konstruksi sosial mempengaruhi proses komunikasi itu sendiri. Teori interaksionisme simbolik mendeskripsikan hal ini
secara gamblang.
Pikiran (Mind)
Kemampuan untuk menggunakan simbol-simbol yang signifikan untuk merespon apa yang kita lihat kemudian untuk difikirkan
dalam benak kita. Dengan menggunakan bahasa dan berinteraksi dengan orang lain, kita akan mengembangkan apa yang kita
pikirkan dan menghasilkan makna. Salah satu aktivitas penting yang diselesaikan orang melalui pemikiran adalah pengambilan
peran, atau kemampuan secara simbolik menempatkan diri seseorang di posisi orang lain.
Contoh: Seorang mahasiswa harus peka terhadap gejala-gejala sosial dan menganalisis tentang gejala sosial. Rina adalah
mahasiswa baru di kampusnya, secara otomatis Rina akan melakukan pengambilan peran disini dengan peka dan menganalisis
gejala sosial karena Rina adalah seorang mahasiswa.
Diri (self )
Kemampuan untuk memahami diri sendiri dari perspektif orang lain. Melalui pandangan orang lain terhadap kita, kita akan
mengetahui lebih jauh tentang pribadi kita sendiri dan membayangkan bagaimana kita dilihat orang lain. Melalui diri, seseorang
dapat menjadi orang yang telah mencerminkan mereka dalam banyak interaksi yang telah dilakukan dengan orang lain.
Diri terbagi menjadi dua segi :
a) I adalah bagian dari diri anda yang menurutkan pada kata hati, tidak teratur, tidak terarah, dan tidak dapat ditebak. Contoh:
Andi adalah seorang remaja yang sanantiasa selalu merubah gaya rambutnya, hal ini disebabkan karena Andi adalah anak
yang mudah bosan. Perubahan yang dilakukan andi disini berdasarkan kehendaknya sendiri.
b) Me adalah refleksi umum orang lain yang terbentuk dari pola-pola yang teratur dan tetap yang dibagi dengan orang lain. Me
disini berperan sebagai objek dan lebih memberi petunjuk dan bersikap hati-hati. Contoh: menghadapi pergaulan bebas di
masyarakat maka perlu adanya kontrol diri dan selektif dalam memilih teman.
Masyarakat
Sarana hubungan sosial yang diciptakan oleh manusia. Masyarakat terdiri atas sebuah jaringan interaksi sosial dimana anggota-
anggotanya menempatkan makna bagi tindakan mereka dan tindakan orang lain dengan menggunakan simbol-simbol. Kita tidak
dapat berkomunikasi tanpa berbagi makna dari simbol-simbol yang kita gunakan. Melalui jaringan sosial yang di ciptakan individu
ini menciptakan sebuah pertukaran simbol-simbol dan menghasilkan pemaknaan.