INTERNASIONAL SEMINAR
TEMA
Rediscovering the Treasures of Malay Culture
SUB TEMA
ISLAM MEMBENTUK SENI PERTUNJUKAN
BUDAYA MELAYU NUSANTARA
PENYAJI
Mahdi Bahar
PENYELENGGARA
INSTITUT SENI INDONESIA PADANGPANJANG
diselenggarakan pada: Hari/Tanggal : Rabu & Kamis/ 28 & 29 November 2012
Tempat : Ruang Sidang Utama Gedung DPRD Kota Padangpanjang Waktu : Pukul 08.00 – 17.30 WIB
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
INSTITUT SENI INDONESIA PADANGPANJANG 25 - 29 November 2012
2
ISLAM MEMBENTUK SENI PERTUNJUKAN BUDAYA MELAYU NUSANTARA
Oleh: Mahdi Bahar
Institut Seni Indonesia Padangpanjang
Ada dua persoalan pokok pembicaraan dalam tulisan ini, yaitu Islam dan
keberadaannya membentuk kebudayaan (seni pertunjukan) Melayu Nusantara.
I. Pemikiran Dasar Tentang Islam
Islam adalah nama dari suatu “dinun”; kata Islam dan dinun merupakan kata-kata
bahasa Arab. Kata Islam mempunyai hubungan dengan kata “aslama” artinya adalah
“tunduk atau patuh”, sedangkan kata Islam berarti ialah “hal patuh atau tunduk”1. Kata
dinun dapat disetarakan dengan kata agama dalam bahasa Indonesia, maksudnya ialah
“kepercayaan kepada Tuhan (dewa, dsb.) dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-
kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu”.2 Kata Islam yang merupakan bahasa
Arab ini dipilih, digunakan, dan ditetapkan Allah untuk menamai suatu agama, yaitu agama
Islam. Meskipun agama Islam diturunkan Allah menggunakan bahasa Arab, akan tetapi
bukan berarti Islam diperuntukkan hanya pada bangsa Arab saja. Islam adalah untuk
manusia manapun di muka bumi. Bahasa Arab hanyalah sebagai media informasi di dunia,
yang dipilih Allah untuk menyampaikan ajaran-Nya kepada manusia yang mau menerima.
Ajaran berupa petunjuk atau wahyu tersebut disampaikan pertama kali melalui malaikat-
Nya bebernama Jibril. Jibril meneruskan wahyu itu kepada manusia terpilih oleh Allah
bernama Muhammad3.
Oleh karena Muhammad adalah bangsa Arab dan berkomunikasi antar sesamanya
menggunakan bahasa Arab, maka ajaran Allah yang diterima Muhammad disampaikan
kepada kaummnya menggunakan bahasa Arab, agar jelas bagi mereka.4 Dalam hal ini,
Muhammad hanyalah manusia biasa yang diperankan Allah di bumi sebagai utusan (rasul)
untuk menyampaikan ajaran-Nya, sehingga Muhammad dijadikan Allah sebagai Nabi dan
sekaligus sebagai rasul5 (pembawa pesan). Ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad itu
bernama Islam, yaitu suatu bentuk sistem kepercayaan (religion) yang telah
1Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuryah, 1989), h. 177. 2Anton M. Moeliono, Kamus BesarBahasa Indoensia, (Jakarta: Balai Pusataka, 1989), h. 9. 3Alqur’an, S. 26: 192-195. 4Alqur’an, S. 14: 4; 13: 37; 41: 44; 26: 195. 5Alqur’an, S. 49: 7.
3
disempurnakan dan diredhai Allah sebagai agama, menjelang Nabi Muhammad wafat.6
Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa Islam adalah sebuah ajaran yang sistemik dan
lengkap untuk mengatur kehidupan manusia.
II. Wahyu
Wahyu merupakan bagian sistemik dari ajaran Islam. Peranannya dapat dilihat
dalam konteks dua hakikat yang berbeda dan mendasar dalam sistem ajaran Islam, ialah
Allah sebagai zat yang “mengutus” dan Nabi Muhammad sebagai pihak yang “diutus”; atau
Allah merupakan zat “yang menjadikan” (khalik) dan Nabi Muhammad adalah “yang
dijadikan” (makhluk).7 Allah sebagai zat yang menjadikan bersifat immaterial dan berada di
luar dari yang dijadikan-Nya8, sedangkan Nabi Muhammad bersifat material merupakan
bagian dari yang dijadikan-Nya. Keterhubungan antara dua keberadaan, yaitu Allah dan
Nabi Muhammad, meniscayakan ada sesuatu yang menghubungkan. Sesuatu yang
menghubungkan itu adalah wahyu (petunjuk) yang dibawa oleh penghubung yaitu Malaikat
Jibril. Perantaraan wahyu inilah apa yang disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad
dapat diketahuinya. Selanjutnya, Nabi Muhammad menyampaikan secara langsung
pengertian (epistemology) dari apa (ontology) yang disampaikan Allah kepadanya berupa
pengetahuan itu, kepada kaumnya. Keterhubungan Allah dan Nabi Muhammad dengan
perantara wahyu yang disampaikan-Nya tersebut tergambar (al.) dalam terjemahan ayat
seperti berikut.
2. kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru; 3. dan tiadalah yang diucapkannya
itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya; 4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu
yang diwahyukan (kepadanya); 5. yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat; 6.
yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli; 7.
sedang dia berada di ufuk yang tinggi; 8. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi;
9. maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat
(lagi); 10. Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah
wahyukan; 11. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.9
Ayat-ayat di atas menjelaskan secara eksplisit bagaimana peranan wahyu dalam
kerangka sistem informasi berlangsung dalam pembentukan Islam melalui kerasulan Nabi
Muhammad. Bagian-bagian yang berperan dalam pembentukan tersebut terdiri atas zat
yang membuat wahyu, yaitu Rabb (Allah) berada di luar sistem; wahyu; pengantar wahyu;
6Alqur’an, S. 5: 3. 7Alqur’an, S. 27: 61,62. 8Alqur’an, S. 112: 4. 9Alqur’an, S. 53.
4
dan penerima wahyu. Pembuat wahyu adalah Allah, wahyu adalah ajaran Islam (Alqur’an
dan hadist); pengantar wahyu adalah Malaikat Jibril; dan penerima wahyu adalah Nabi
Muhammad. Atas dasar keempat bagian inilah lembaga kehidupan manusia bernama
Islam terwujud di permukaan bumi.
Secara akidah ia mempunyai sistem berbeda dengan sistem kepercayaan (agama)
lain manapun. Oleh karena sistem yang berbeda ini, maka tidak mungkin Islam disamakan
atau dipandang sama dengan agama lain manapun dalam kehidupan manusia. Islam
mempunyai kehidupannya tersendiri dan bergerak dalam kerangka sistemnya. Dengan
demikian, maka amat salah atau tidak tepat apa bila Islam sebagai satu kesatuan ajaran
(pedoman hidup) yang utuh, sebagaimana keutuhan sistem ajaran itu sendiri, dipenggal-
penggal dalam kehidupan manusia sesuai dengan kebutuhan atau selera manusia yang
bersangkutan. Akan lebih salah lagi jika pemenggalan dilakukan oleh manusia “beragama”
Islam. Islam haruslah dilihat dan dimaknai sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh
sebagai lembaga kehidupan tempat menyelenggarakan perjalanan hidup dengan segala
apsek kehidupan sesuai dengan kodrat dan lingkungan manusia itu sendiri, baik personal
maupun sosial. Oleh karena itu, amat relevanlah, terutama dalam konteks ilmu sosial
(social science), dijalankan apa yang disampaikan dalam ajaran Islam, yaitu masukklah
kamu hai orang-orang yang beriman ke dalam Islam secara keseluruhan (total= kaffah)10.
Allah sebagai zat yang membuat atau menciptakan wahyu menjadikan wahyu
sebagai “tali” penghubung antara apa yang dimaksud oleh Allah kepada manusia ciptaan-
Nya. Segala sesuatu yang dimaksud-Nya disampaikan dalam bentuk wahyu dan wahyu ini
diantar oleh Malaikat Jibril kepada manusia bernama Muhammad. Muhammad adalah
manusia pilihan Allah yang ditugaskan-Nya untuk menyampaikan apa yang dimaksud oleh
Allah kepada manusia yang lain, sehingga Muhammad diberi-Nya kedudukan sebagai Nabi
dan bertugas menyampaikan wahyu pada kaummnya.11 Oleh karena itu, selain
Muhammad berkedudukan sebagai Nabi, juga bertugas sebagai Rasul (penyampai pesan).
Berdasarkan fenomena ini, maka amat teranglah bahwa Pencipta tidak membuat cara-cara
berhubungan atau kontak langsung dengan ciptaan-Nya dalam bentuk komunikasi, yaitu
terlibatnya komunikan dan komunikator dalam berhubungan langung menggunakan
berbagai bentuk kemungkinan media komunikasi (mis. seni, benda-benda tertentu, dsb.),
sehingga antara dua unsur tersebut dapat melakukan kontak langsung. Dengan demikian,
maka ciptaan-Nya tidak mungkin berhubungan langsung dengan Pencipta, disebabkan
10Alqur’an, S. 2:208. 11Alqur’an, S. 14:4.
5
oleh karena Pencipta tidak membuat ketentuan yang memungkinkan manusia sebagai
makhluk ciptaan-Nya di bumi, dapat berhubungan langsung dengan-Nya. Apa bila sang
Pencipta, yaitu Allah berada pada alam metafisik, sedangkan manusia mutlak menurut
kodratanya berada pada alam fisik, dan Allah membentuk wahyu sebagai “tali” yang
menghubungkan apa yang dimaui-Nya kepada manusia melalui perantara, yaitu malaikat.
Sebaliknya ialah, manusia dapat menghubungkan dirinya dengan Allah melalui do’a.12
Berdasarkan hal seperti demikian dapat ditarik pengertian, bahwa terbentuknya
lembaga kehidupan yang bernaung dalam agama Islam, pada hakikatnya merupakan
implementasi dari wahyu. Wahyu adalah pengetahuan (nilai dan norma) yang sistemik
sebagai pedoman berperilaku, dengan struktur pokoknya yaitu: “suruh” (wajib dan sunat);
“larang” (haram dan makruh); dan mubah (tidak disuruh dan tidak dilarang). Dengan
demikian, tidak akan ada lembaga (agama) bernama Islam di bumi ini, jika tidak ada
wahyu.
III. Nusantara Sebagai Nama
Nusantara sebagai nama tidak asing kedengaran terutama bagi masyarakat dan
warga yang mendiami rangkaian pulau-pulau di antara dua benua Asia dan Australia.
Rangkaian pulau itu meliputi pulau besar dan kecil dari barat ke timur diantaranya adalah
Sabang, Sumatera, Jawa, Madura, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Lombok, Sumba, Flores,
Seram, Halmahera, Waigeo, Salawati, dan Papua; paling utara adalah di sekitar kepulauan
Talaud dan kepulauan Natuna; dan sebelah timur di sekitar gugusan pulau Roti. Bahkan,
nama Nusantara tidak asing bagi penduduk semenanjung Malaysia, sementara daratan ini
merupakan bagian dari benua Asia. Di Malaysia (Malaka) misalnya, nama Nusantara
digunakan paling tidak satu dekade terakhir ini antara lain untuk penamaan forum seni,
yaitu Pesta Gendang Nusantara. Forum seni itu diselenggarakan sekali setahun, dan pada
bulan April 2008 adalah yang ke XI.13 Sementara itu, nama Nusantara yang berkaitan
dengan forum seni di Indonesia antara lain adalah Festival Seni “Pelangi Nusantara”, dsb.
Kata Nusantara ternyata banyak digunakan untuk menamai sesuatu sebagaimana
pengguna perlukan.
Lebih jauh tentang kata atau nama Nusantara dalam kaitannya dengan nama
Indonesia patut dilihat apa yang disampaikan Bernard H.Vlekke seperti demikian.
12Alqur’an, S. 2: 186. 13unilily.wordpress.com; 12-01-09.
6
Nama ‘Indonesia’, yang berarti ‘Pulau India’, diberikan oleh seorang ahli bangsa Jerman dan
telah dipakai sejak tahun 1884. Mula-mula nama ini adalah sebuah nama kajian ilmu alam
yang menunjukkan semua pulau di antara Australia dan Asia, termasuk Filipina. Pergerakan
kebangsaan Indonesia telah memakai nama itu dan menjadikannya sebagai nama bagi
republik mereka pada tahun 1945 dan 1949. Mereka lebih menyukai nama itu daripada nama
‘Nusantara’ yang kurang terkenal dan dipilih untuk judul buku ini, sementara nama Nusantara
lebih digunakan pada zaman yang silam.14
Apa yang disampaikan Vlekke lebih memberi kejelasan kata Nusantara sebagai
sebuah nama kawasan yang sesungguhnya lebih luas daripada wilayah Indonesia
sekarang. Apabila kita tempatkan nama Indonesia seperti yang dimaksud ahli
berkebangsaan Jerman seperti dimaksud Vlekke, berarti pengertian nama Indonesia
(=Pulau India atau Hindia Timur) berpadanan dengan pengertian nama Nusantara, yaitu
suatu wilayah terdiri atas rangkaian pulau yang terdapat di antara dua benua Asia dan
Australia, termasuk semenanjung Malaysia.
Sebagai suatu kawasan yang dipengaruhi oleh budaya India (Buddha atau Hindu)
dan atas itu pula bangsa Eropa mengkategorikan sebagai wilayah India bagian timur,
menjadi suatu pandangan yang beralasan disebabkan kawasan ini memang bercorak
India. Corak utamanya ialah bentuk pemerintahan dibangun berdasarkan struktur kerajaan
yang didasarkan pada sistem ajaran dan nilai Buddha atau Hindu. Kerajaan dibangun atas
prinsip kepercayaan tentang kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos.
Berdasarkan itu, kerajaan dan jagat raya harus diselaraskan dengan cara menyusun
kerajaan sebagai gambaran dari jagat raya dalam bentuk kecil.15
Sementara itu, sistem kekuasaan atau ‘pemerintahan’ sebelum kedatangan
pengaruh India ke kawasan ini adalah berbentuk pimpinan suku dan dilandasi oleh sistem
“animisme” bersifat lokal. Contoh-contoh masyarakat yang seperti itu masih dapat kita lihat
sampai sekarang antara lain seperti misalnya sebagian masyarakat pedalaman Talang
Mamak di Riau; Suku Anak Dalam di Jambi dan Palembang16; Suku Dayak di
14Vlekke, Bernard H.M., Nusantara: Sejarah Indonesia, terj. Dewan Bahasa dan Pustaka dari
“Nusantara A History of Indonesia” (Kuala Lumpur: Tien Wah Press (M) Sdn. BHD, 1967), h.6.(disesuaikan ke
dalam Bahasa Indonesia oleh penulis) 15Robert Heine-Geldern, Konsepsi Tentang Negara & Kedudukan Raja di Asia Tenggara, terj. Deliar
Noer, (Jakarta: CV. Rajawali, 1982), h. 2. 16Lih. Oyvind Sandbukt. “Kubu Conceptions of Reality”, dalam Asian Folklore Studies, vol. 43.
(Nagoya: Anthropological Institute Nanzan University, 1984) passim; dan “Resource Constraints and Relations
of Appropriation Among Tropical Forest Foragers: The Case of The Sumatran Kubu”, dalam Research in
Economic Anthropology, volume 10, (Greenwich-Connecticut, JAI Press Inc., 1988), p. 121.
7
Kalimantan17; Suku Mentawai di Sumatara Barat18; Suku-suku pedalaman di Papua, dsb.
Kedatangan pengaruh India ke tengah kehidupan mereka yang animisme mengubah
bentuk kehidupannya, sehingga terjadi perubahan mendasar dalam berbagai aspek
meliputi kepercayaan, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan aspek kehidupan lain baik
secara kualitatif maupun kuantitatif.
Pengaruh India itu tidak hanya menjangkau wilayah rangkaian pulau antara dua
benua Asia dan Australia saja, akan tetapi menjangkau juga kawasan Asia Tenggara
sekarang.19 Paling tidak sejak Abad II M20 pengaruh India telah memasuki kawasan
rangkaian pulau antara dua benua ini dan berakhir secara keagamaan sejak kerajaan-
kerajaan berangsur menerima Islam. Seperti dikatakan H.J. De Graaf dan TH. G. Pigeaud,
bahwa agama Islam tersebar di Asia Tenggara dan di Kepulauan Indonesia sejak abad ke-
12 atau ke-13.21 Ciri utama yang menandai pengaruh itu ialah beralih sebutan sang Raja
menjadi Sulthan sebagai penguasa tertinggi kerajaan. Namun, ada beberapa kerajaan
bersifat Hindu di Kepulauan Indonesia yang tidak dipengaruhi oleh Islam terutama adalah
kerajaan-kerajaan di Bali dan beberapa kerajaan lainnya seperti di Batak, Toraja, dsb.
Kesatuan corak budaya kawasan Asia Tenggara bersifat Hindu ini niscaya turut pula
dipengaruhi dan dibentuk oleh geografi serta topografinya.
Oleh karena itu, masyarakat di kawasan Asia Tenggara mempunyai ciri kehidupan
yang sama. Fenomena ini dapat dilihat misalnya dari kesamaan unsur bahan makanan
yang didominasi oleh beras dan ikan; sangat sedikit mereka yang memakan daging hewan
ternak dan susu. Sementara itu, kebiasaan makan atau mengunyah sirih terlihat agak
umum.22 Kesamaan pola hidup yang seperti demikian menjadikan masyarakat-masyarakat
17M.C. Schadee, Kepercayaan Suku Dayak di Tanah Landak dan Tayan. Terj. Redaksi Yayasan
Idayu, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1979), passim. 18Reimar Schefold, Mainan Bagi Roh Kebudayaan Mentawai. Terj. Mien Joebhaar, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1991), passim. 19D.G.E. Hall, Sejarah Asia Tengara. Terj. I.P. Soewarsha, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988),
passim. 20Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, jilid II,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h. 8. 21H.J. De Graaf dan TH. G. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke
Mataram, terj. Pustaka Utama Grafiti dan KITLV, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1989), h. 18. “Suatu
kenyataan yang sudah pasti ialah, bahwa di Sumatera Utara - di Aceh yang sekarang ini – para penguasa di
beberapa kota pelabuhan penting sejak paruh kedua abad ke-13 sudah menganut Islam. Pada saat ini
hegemoni politik di Jawa Timur masih di tangan raja-raja beragama Syiwa dan Budha di Kediri dan Singasari.” 22Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, jilid I, (Jakarta: Yayasan Obor
Indoensia, 1992), h. xvi.
8
di kawasan Asia Tenggara benar-benar mempunyai corak tersendiri di antara bangsa-
bangsa di dunia. Bahkan, kebiasaan tersebut ada yang mentradisi sampai sekarang dalam
kehidupan mereka, antara lain misalnya ialah tradisi berkaitan dengan sirih-pinang,
eksistensi alat musik perunggu, dan kerbau sebagai hewan bernilai adat. Fakta budaya ini
semakin memperjelas rangkaian pulau antara dua benua Asia dan Austarlia tidak hanya
menjadi kesatuan rangkaian kepulauan saja, akan tetapi lebih dari itu ia merupakan
kesatuan wilayah ‘budaya’23 yang terbentuk sejak masa silam sebelum kedatangan
pengaruh India.
Gambar 1. Wilayah Hindia Timur – Nusantara (sumber peta: Microsoft Encarta Premium 2006)
Kesatuan kawasan budaya yang terbentuk oleh sejarah masa lalu dan pengaruh
ekosistem yang sama berupa daerah bergunung dan perbukitan; lembah dan hamparan;
sungai-sungai dan rawa, serta pantai yang banyak menjadikan wilayah ini sebagai
kawasan tersendiri di antara kawasan lain di dunia. Kawasan tersebut tidak punya padang
pasir dan padang rumput yang luas, sehingga tidak ada tradisi pengembara dan
pegembala di daerah ini sebagaimana misalnya penduduk masa lalau Jazirah Arabia yang
tak pernah menetap. Perpindahan dari tanah pertanian ke padang rumput dan dari padang
rumput ke tanah pertanian, terus terjadi, dan menjadi ciri setiap fase sejarah Jazirah.24
Lain halnya penduduk di kawasan Nusantara, bahkan mereka berasal dari leluhur
yang sama yaitu bangsa Austronesia kecuali orang Papua.25 Pada masa Kerajaan
23 Budaya (culture) atau kebudayaan adalah sistem pengetahuan (norma dan nilai). 24Isma’il R.Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, (Bandung: Mizan, 2003), h. 48. 25Lebih jauh lih. Reid, op. cit., h. 5-12.
9
Majapahit di zaman Hayam Wuruk, sebagian besar kawasan ini berada di bawah
kekuasaan Majapahit dan keseluruhan wilayah tersebut disebut dengan Nusantara.26
Lebih tegas lagi, kata Nusantara dikumandangkan Gajah Mada dalam persumpahannya di
hadapan raja dan para pembesar Majapahit, bahwa ia tidak akan amukti palapa sebelum ia
dapat menaklukkan Nusantara.27 Negara-negara taklukkan (tributaries) Majapahit yang
dijelaskan Prapanca dalam Nāgara-Kĕrtagama, Bab-3, pupuh 13-14, seperti dialih-
bahasakan oleh Pigeaud, adalah negara-negara yang termasuk pada negara Malayu
(Sumatera); Tañjung-Nagara, Tañjung-Puri (Borneo); Pahang (Malaya); dan Wilayah Timur
Jawa28, seperti demikian.
Canto 13, stanza 1.:
1. The aspect of the islands of all sorts: the principal ones are all those that belong to the country of Malayu:
2. namely Jāmbi and Palembang, Karitang, Tĕba, on the other hand Dhārmashraya along with them,
3. Kandis, Kahwas, Manangkabwa, Syiak, Rĕkān, Kāmpar and Panė,
4. Kāmpė, Haru, and Maṇḍahiling too, Tumihang, Parlāk and Barat.
Canto 13, stanza 2.:
1. Lwas with Samudra and Lamuri, Batan, Lampung and Barus,
2. These are the most important ones of those belonging to the country of Malayu, one country, equally
executing (orders), following (commands).
3. Otherwise then: the island of Tañjung-Nagara: Kapuhas with Katingan,
4. Sampit and Kuṭa-Lingga and Kuṭa-Waringin, Sambas and Lawai.
Canto 14, stanza 1.:
1. Kaḍangḍangan, Lanḍa, on the other hand Samĕḍang, Tirĕm unseperated,
2. Sėḍu, Burunėng, Kalka, Saluḍung, Solot, Pasir,
3. Baritu, Sawaku, also Tabalung, Tañjung-Kute,
4. with Malano, having for principal town then: Tañjung-Purī.
Canto 14, stanza 2,:
1. Those that belong to Pahang, the principal, to be sure, is Hujung-Medinī.
2. Lĕngkasuka, on the other hand Saimwang, Kalantĕn, Tringgano,
3. Nashor, Pakamuwar, Ḍungun, Tumasik, SangHyang Hujung,
4. Kĕlang, Kĕḍa, Jĕrė, Kañjap, Niran, one island, altogether.
Canto 14, stanza 3.:
26Slamet Mulyono, Menudju Puntjak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Madjapahit, (Djakarta: Balai
Pustaka, 1965), h. 48. 27Poesponegoro-II, op. cit., h. 434. 28Lih. Theodore G. Th. Pigeaud, Java in The 14th Century, The Nagara-Kĕrtagama by Rakawi
Prapanca of Majapahit, 1365 A.D., 4 jilid, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1960).
10
1. All those east from the Javanese country there also are to be described:
2. Bali, having for principal places, to be sure: Baḍahulu and Lwā-Gajah,
3. Gurun, having for principal places,: Sukun , Taliwang, Sapi,
4. SangHyang Api, Bhīma, Sėram, Hutan Kaḍali altogether.
Canto 14, stanza 4:
1. Also to be sure: Gurun, one island with the name Lombok-Mirah,
2. with the Saksak (country); the first of those that are called the principalities, all of them,
3. also the countries of Bantayan, the principal is Bantayan, on the other hand Luwuk,
4. then the (countries) of Uḍa, making a trio; these are the most important of those that are one island,
altogether.
Canto 14, stanza 5:.
1. Those that are (enumerated) island by island (are): Makasar, Butun, Banggawi,
2. Kunir, Galiyao and Salaya, Sūmba, Solot, Muar,
3. and the Waṇḍan (country), Ambwan and Maloko too, Wwanin,
4. Séran, Timūr. These make the first of numerous islands that are mindful.
Negeri-negeri tersebut adalah negeri atau negara yang dilindungi (protected) oleh
Pangeran (Majapahit) Yang Masyhur seperti dijelaskan berikut. Canto 15, stanza 1.
1. Such is the aspect of the other countries, protected by the Illustrious Prince;
2. verily, to be sure:...... .
Selain dari itu, negara-negara yang berdekatan atau berbatasan dengan
Nusantara, disebut sebagai negara sahabat (friendship) dan bukan negara taklukkan yang
dilindungi (protection); negara tersebut adalah sebagai berikut. Canto 15, stanza 1.
2. verily, to be sure: Syangkāyodhyapura, together with Dharmanagarī,
3. Marutma and Rājapura, and Singhanagarī too,
4. Campā, Kamboja. Different is Yawana, that is a friend, regular.
Negara-negara sahabat (friend) yang dimaksud ialah: Syangka (Siam);
Ayodhyapura (Ayuthia); Dharmanagarī (Dharmarajanagara: Ligor, Lakhon); Martuma
(Martaban atau Mergui); Rājapura (Rajpuri di selatan Siam); Singhanagarī (Singhapurī
berada pada cabang sungai Menam atau Chao Phraya); Campā (Campa); Kamboja
(Kambojā); dan Yawana (Annam). Mulyono juga menjelaskan, bahwa negara-negara
11
sepanjang tepi pantai tersebut adalah negara sahabat dan bukan negara taklukkan atau
jajahan.29
Berdasarkan sumber Nāgara-Kĕrtagama dan sumber lain seperti dijelaskan di
muka tampaklah bahwa kata Nusantara merupakan kata yang dikenal paling tidak sejak
masa Majapahit dan digunakan dalam konteks politik kerajaan. Secara politis, kawasan
Nusantara yang terdiri atas gugus atau rangkaian pulau yang terdapat di antara dua benua
Asia dan Australia, dan bahkan termasuk Semenanjung Malaya, dikategorikan oleh
Kerajaan Majapahit sebagai Nusantara. Adapun kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa sendiri
tidak disebutkan lagi oleh Majapahit sebagai Nusantara disebabkan wilayah Pulau Jawa
pada dasarnya adalah daerah yang langsung berada di bawah pemerintahan Majapahit.
Keadaan ini tergambar dari ada tujuh kerajaan di Pulau Jawa yang memberlakukan
perundang-undangan Majapahit, yaitu Singasari, Daha, Kahuripan, Lasem, Matahun,
Wengker, dan Pajang.30 Oleh karena itu, besar kemungkinan untuk menyebut wilayah di
luar Pulau Jawa oleh Majapahit adalah Nusantara (nusa= pulau), yakni pulau-pulau di luar
pulau Jawa.
Namun, dalam perjalanan sejarah kehidupan masyarakat-masyarakat di kawasan
ini terjadi perubahan nama. Terutama perubahan untuk menghadapi dan pemberian nama
sebagian besar wilayah Nusantara menjadi suatu bentuk negara modern, sehingga pada
akhirnya nama Indonesia menggeser nama Nusantara. Secara politis, nama itu bergeser
sejak kemerdekaan dan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1945,
meskipun sesungguhnya nama Indonesia telah lahir pada tahun 1928 sebagai pernyataan
politik di bawah gerakan Boedi Utomo dan terkenal dengan Sumpah Pemuda. Isi
pernyataan politik itu memuat tiga sendi persatuan Indonesia, yaitu: satu tanah air,
Indonesia; satu bangsa, Indonesia; dan satu bahasa, Indonesia.31
IV. Konotasi Budaya dan Historis
Kelahiran dan diterimanya nama Indonesia sebagai penamaan suatu negara
(country) menggantikan nama Nusantara sebagai nama suatu wilayah politik kekuasaan
Majapahit di masa lampau menempatkan kata Nusantara saat ini lebih berkonotasi budaya
dan historis. Suatu kenyataan ialah penggunaan kata Nusantara untuk menamai suatu
forum seni di Malaka sebagaimana telah disinggung di muka. Warga dan masyarakat
29Mulyono, loc. cit. 30Slamet Mulyono, Perundang-undangan Madjapahit, (Djakarta: Bhratara, 1967), h. 19. 31Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, jilid V,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h. 193.
12
Malaka serta Malaysia pada umumnya terlihat tidak merasa ada ‘gangguan’ menggunakan
kata Nusantara. Kata Nusantara mereka gunakan untuk menamai suatu forum seni
tahunan dengan nama Pesta Gendang Nusantara, walaupun kegiatannya melibatkan
peserta dari Indonesia. Sebaliknya, di Indonesia banyak pula kata Nusantara digunakan
untuk menamai sesuatu berembel Nusantara. Kata Nusantara dipakai dalam banyak
keperluan untuk menamai sesuatu, apakah forum, mata kuliah, perusahaan, judul buku,
produk industri, toko, alat transportasi, dsb. Dalam hal ini, orang-orang Indonesia tidak
merasa ada gangguan dalam menggunakan kata Nusantara untuk menamai sesuatu yang
mereka inginkan, demikian pula sebaliknya. Menariknya ialah, dua pengguna kata
Nusantara sekarang adalah dua bangsa (nation) dengan negara masing-masing, yaitu
Malaysia dan Indonesia. Orang Indonesia tidak merasa dirugikan atas penggunaan kata
Nusantara oleh warga atau masyarakat-masyarakat Malaysia, sebaliknya warga atau
masyarakat-masyarakat Malaysia tidak merasa dirugikan pula oleh warga atau
masyarakat-masyarakat Indonesia menggunakan kata Nusantara.32 Kenyataan ini
menunjukkan bahwa kata Nusantara tidak lagi sekarang berarti nama wilayah politik, akan
tetapi lebih berkonotasi wilayah budaya di samping bermakna historis.
Berdasarkan pada kenyataan tersebut dapat diajukan pertanyaan, kenapa mereka
di Malaka menggunakan kata Nusantara untuk menamai forum seni, yaitu Pesta Gendang
Nusantara ?; dan kenapa tidak mengembeli dengan Malaysia saja atau embel-embel lain
yang relevan ? Apakah misalnya kata Nusantara mempunyai arti yang sama dengan kata
Asia-Tenggara, antarbangsa (international), atau Malaysia dsb. ?, jawabnya tentu tidak.
Asia Tenggara dapat diartikan dalam konteks suatu “forum”, yaitu nama suatu organisasi-
politis kenegaraan bersifat regional. Negara peserta terdiri atas beberapa negara dan
secara geografis berada pada umumnya di kawasan Asia Tenggara. Begitu pula kata
antar-bangsa yang berarti meliputi bangsa-bangsa di dunia, sedangkan kata Malaysia
berarti hanya suatu negara, yaitu Malaysia. Apabila misalnya forum seni dinamai Pesta
Gendang Malaysia, bisa saja terkandung arti bahwa peserta atau seni yang akan
difestivalkan adalah seni-seni ‘berasal” atau terdapat hanya di Malaysia. Oleh karenanya,
dapat dilihat bahwa penggunaan kata Nusantara tidak berdampak, baik politik atau
ekonomi maupun merugikan pihak mana saja. Oleh karena itu, berarti pengguna kata
Nusantara merasa aman menggunakan kata ini meskipun sekarang mereka adalah
bangsa yang berbeda yaitu Malaysia dan Indonesia, dsb. Dalam konteks tersebut,
pemilihan dan pemilahan sampai pada ketetapan memakai kata Nusantara nisacaya
32Sampai saat ini tidak ada ‘konflik’ atau gangguan antar-kedua negara disebabkan karena pemakaian
kata nusantara oleh kedua bangsa.
13
terkandung suatu maksud. Adapun maksud itu patut diduga ialah berkenaan dengan suatu
kawasan kehidupan manusia yang terbentuk sejak masa lampau oleh perjalanan sejarah
dan budaya, sehingga eksistensinya masih dirasakan sampai sekarang meskipun secara
geopolitik penduduknya terpisah ke dalam beberapa negara.
Pemakaian kata Nusantara dalam berbagai keperluan di Indonesia, pada dasarnya
dilatarbelakangi pula oleh kondisi psikologis seperti yang dijelaskan di atas, sehingga
menempatkan kata Nusantara tidak asing di kalangan bangsa ini walau pun adakalanya
penggunaan kata itu mengandung arti yang samar. Kenyataan ini dapat dilihat misalnya
penggunaan dan pemaknaan kata Nusantara dalam istilah ‘etnomusikologi Nusantara’
yang sekaligus sebagai judul buku, yaitu Etnomusikologi Nusantara. Kata-kata Nusantara
digunakan selanjutnya antara lain dalam konteks pernyataan tertentu misalnya ialah,
“Nusantara menyerupai oasis yang menawarkan keserbaragaman budaya dan tradisi”;
“Masyarakat Nusantara memiliki... “; “pada seribu tahun pertama sebelum masehi
Nusantara termasuk kawasan budaya yang besar”; “pengaruh budaya-budaya besar inilah
yang semakin membuat kebudayaan Nusantara kompleks”.33
Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa kata Nusantara banyak digunakan
dalam berbagai konteks dengan keperluan atau maksud yang dapat dimaknai yaitu suatu
kawasan tertentu, meskipun ada kata Indonesia yang berarti, pada satu sisi adalah
kawasan pula. Dalam hal ini dapat dipastikan, bahwa arti atau maksud dari penggunaan
kata Nusantara tidak sama dengan arti atau maksud yang terkandung dalam penggunaan
kata Indonesia meskipun pada kata Indonesia terkandung pula suatu pengertian wilayah
atau kawasan tertentu.
Dari beberapa kutipan dan penjelasan di atas dapat diambil pemahaman bahwa
kata Nusantara mempunyai arti, yaitu suatu kawasan bukan fisik atau administratif
melainkan adalah suatu kawasan atau wilayah kehidupan manusia yang terbentuk dalam
rupa masyarakat-masyarakat dengan latar belakang kesamaan sejarah. Oleh karena
bentuk masyarakat tidak saja hanya dipengaruhi oleh latar belakang sejarah dengan
segala aspek kehidupannya, tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan di tempat mana
mereka melangsungkan hidup, maka lingkungan tersebut turut mempengaruhi
pembentukan masyarakat yang bersangkutan. Berdasarkan sifat kehidupan manusia yang
seperti demikian, maka lahir keragaman budaya sebagaimana keragaman bentuk
masyarakat itu sendiri. Sekarang, masyarakat-masyarakat tersebut menghuni suatu
33Santosa, dkk., Etnomusikologi Nusantara: Perspektif dan Masa Depannya, (Surakarta: ISI Surakarta
Press, 2007). op. cit., h. 1-9.
14
kawasan rangkaian pulau-pulau yang terdapat di antara dua benua Asia dan Australia,
termasuk semenanjung Malaya. Sementara itu, secara humanistik masih saja tampak saat
ini kesamaan budaya antarmereka, meskipun pada sisi lain terjadi perkembangan atau
perubahan dan bahkan ada yang terpisah secara geopolitik. Persamaan itu dapat dilihat
antara lain dari akar keturunan bangsa Austronesia yang tergambar dari ras, ciri-ciri fisik,
dan bahasa; begitu pula unsur Hindu, Islam, dan tradisi agraris yang mewarnai bentuk
kehidupan mereka sampai saat ini.
V. Masyarakat-masyarakat Nusantara
Wujud suatu masyarakat sesungguhnya merupakan manifestasi dari bentuk budaya
mereka yang padanya melekat prinsip-prinsip organik yang dibangun oleh struktur, fungsi,
sistem yang menggerakkan dan membentuk kesatuan bentuk. Bentuk suatu masyarakat
adalah penjelmaan dari sesuatu yang bersifat organik tersebut.34 Berdasarkan prinsip
atau cara pandang begini dapat dilihat fenomena humanistik35 manusia yang hidup di bumi
Nusantara, yaitu mereka hidup dan terbentuk ke dalam sejumlah kelompok masyarakat-
masyarakat yang dapat disebut sebagai masyarakat-masyarakat Nusantara.
Eksistensi atau terbentuknya manusia ke dalam kelompok-kelompok yang seperti
demikian diakui dan menjadi ketetapan dalam ajaran Alqur’ani, sebagaimana makna
terkandung dalam ayat seperti demikian, “[Kami...], menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal...”.36 Dalam hal ini, Islam secara
tegas mengakui akan senantiasa ada kelompok-kelompok humanistik yang terkategori ke
dalam bentuk masyarakat atau syu’uba di muka bumi. Sementara itu, secara biologis,
Islam menjelaskan kehadiran masyarakat bermula dari dijadikan-Nya manusia laki-laki dan
perempuan; “Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan”.37
Kehadiran manusia tidak hanya berhenti dalam bentuk makhluk biologis saja, akan tetapi
berlanjut pada dibentuk-Nya kehidupan berdimensi sosial atau ‘hubungan manusia dengan
manusia’. Oleh karenanya, terbentuklah lembaga kehidupan manusia yang disebut dengan
masyarakat atau syu’ub, dengan kemungkinan sub-bagiannya. Berdasarkan konsep Islam
yang begini maka lembaga ‘kemanusiaan’ yang disebut dengan masyarakat atau syu’uba
34Lih. A.R. Radcliffe-Brown, Structure and Function in Primitive Society, (New York: The Free Press,
1952), p. 178. 35“Premis dasar humanisme ialah, bahwa manusia merupakan makhluk rasional yang memiliki
kapasitas kebenaran dan kebaikan; lih. Microsoft Encarta Premium 2006; Humanism. 36Alqur’an, S. 49: 13. 37Ibid.
15
merupakan bagian dari bentuk kehidupan manusia yang bersifat alamiah dan itu
merupakan perwujudan dari ‘kehendak’ Ilahiah. Entitasnya merupakan inisiatif Ilahiah
dalam alam yang tak lain berupa hukum-hukum yang tak berubah yang dianugerahkan-
Nya kepada alam.38 Sebaliknya, tidak akan pernah ada satu masyarakat di dunia,
walaupun terjadi intensitas informasi dan komunikasi yang begitu tinggi dan kuat
antarsesama manusia berbeda budaya tersebut.
Aneka ‘warna’ masyarakat telah menghuni atau mendiami kawasan Nusantara.
Mereka hidup berdampingan dan berinteraksi dalam berbagai bentuk atau aspek
kehidupan, baik interkasi dalam kerangka hidup sebagai manusia yang saling
membutuhkan maupun hidup dalam kerangka kesatuan bernegara atau pun antarnegara.
Interkasi dapat terjalin dan terbentuk melalui berbagai sisi kehidupan misalnya bidang
ekonomi, pendidikan, seni, agama, keamanan, dsb. Namun, masing-masing masyarakat
tetap eksis dalam corak dirinya sendiri. Bahkan ada terjadi berbagai upaya atau tindakan
untuk mengeksplisitkan corak warna masyarakatnya melalui pencarian simbol yang
merujuk pada makna atau arti identitas masyarakat pemilik budaya yang bersangkutan.
Aneka warna masyarakat ini menghuni pulau Sumatera, Semenanjung Malaya, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, Papua, Mindanao, dan sejumlah pulau-pulau lain di Nusantara.
Secara biologis masyarakat yang terbentuk oleh ‘kesatuan’ manusia tersebut
sesungguhnya merupakan kelanjutan saja dari manusia yang telah hidup pada masa
lampau terutama di bumi Nusantara. Tidak ada perbedaan struktur biologi mereka dengan
struktur biologi manusia yang hidup saat ini, kecuali berbeda jenis kelamin antara laki-laki
dan perempuan. Apakah mereka berkulit kecokelatan, sawo matang, atau kekuning-
kuningan, rambut lurus atau ikal dsb. Namun demikian, sesungguhnya semua aspek ini
bersifat fisik atau material dan tidak berhubungan dengan kebudayaan atau ‘kehidupan’.
Berdasarkan temuan alat-alat obsidian di Gua Ulu Tiangko (Jambi) oleh A. Tobler dan
Zwierzycki, bahwa manusia pendukung peralatan ini telah hidup sekitar 10.000.- SM.39
Berdasarkan temuan tersebut, paling tidak telah diketahui, bahwa keturunan manusia di
Nusantara telah ada sejak 10.000.- SM. Manusia yang hidup jauh pada masa lampau itu
berketurunan dan berkembang sampai saat ini, sehingga keturunannya membentuk
masyarakat-masyarakat yang kita sebut masyarakat-masyarakat Nusantara. Sebagai
38Al-Faruqi, op. cit., h. 116. 39Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, jilid I,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h. 182.
16
makhluk biologis, tidak satupun yang berubah pada diri manusia masa lampau jika di
bandingkan dengan manusia sekarang.
Perubahan dalam pengertian ini ialah perubahan antara manusia sebagai benda,
adalah perubahan tubuh dan bersifat fisik, dan manusia sebagai kehidupan (common
sense) digerakkan terutama oleh pikiran (akal). Manusia dalam artian tubuh yang dibentuk
oleh organ-organ tubuh manusia akan senantiasa berlanjut selama manusia ada dan tidak
akan berubah dari sedia kala.40 Namun demikian, yang senantiasa ‘berubah’ (dinamis)
adalah pemikiran yang dilahirkan oleh manusia dengan segala produknya sesuai dengan
kemampuan dan pengalaman manusia bersangkutan. Pemikiran manusia ini menciptakan
kebudayaan sehingga terbentuk masyarakat sesuai dengan pengalaman dan ekosistem
setempat.
Salah satu aspek yang paling menentukan wujud atau pola perilaku manusia
adalah religi yang mereka anut sebagaimana terdaftar dalam kepala mereka berupa
pengetahuan. Sementara itu, bentuk dan eksistensi religi sebagai sebuah sistem
kepercayaan cenderung menetap. Bahkan, bagi orang-orang muslimin dipercayai, bahwa
agama Islam sebagai suatu sistem religi yang tertuang dalam Alqur’an dan sebagian
dijelaskan melalui sunah Rasullulah Muhammad, tidak akan berubah dan tidak bisa
diubah.41 Mereka meyakini secara mutlak, bahwa agama Islam telah sempurna diciptakan
oleh Yang Maha Pencipta yaitu Allah, dan Allah menjamin keabadiannya. Dalam konteks
ini, Allah berfirman bahwa Islam sebagai agama (addin) telah sempurna dan nikmat-Nya
untuk manusia telah dicukupkan-Nya.42
VI. Masyarakat Melayu Nusantara
Perjalanan sejarah yang panjang telah membentuk beragam masyarakat di
Nusantara di antaranya adalah masyarakat-masyarakat Melayu. Mulai tanggal 17 Agustus
1945, sebahagian besar mereka terbingkai ke dalam suatu negara, yaitu Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Meskipun mereka masuk ke dalam suatu bingkai itu, namun
secara kultural masing-masingnya masih saja tetap memperlihatkan diri sebagai satu-
40Penulis tidak sependapat dengan Teori Evolusi Modern Charles Darwin (1809-1882); lih. Microsoft
Encarta Premium 2006; Charles Darwin; his concept of the development of all forms of life through the slow-
working process of natural selection.
41Alqur’an, 29: 49. 42Alqur’an, 5: 3.
Banjarmasin
17
kesatuan kelompok. Salah satu dari kelompok itu adalah kelompok masyarakat-
masyarakat “Melayu”.
Masyarakat ini dibentuk oleh kesamaan latar belakang sejarah (kerajaan-kerajaan)
masa lampau yang panjang dan berada dalam suatu wilayah, terutama wilayah Nusantara.
Pada masa lampau wilayah ini merupakan wilayah interaktif mereka dan bahkan bahasa
Melayu dijadikan sebagai bahasa resmi dalam dunia perdagangan antar-negara. Demikian
pula bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa tulis oleh kerajaan-kerajaan. Selama
kurang lebih empat ratus tahun, surat yang ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf
Jawi (Minang= Arab-Melayu) menjadi sarana kominukasi antara raja-raja di Nusantara ini,
dan bahkan dengan raja-raja di Eropa.43 Oleh karenanya, tidak mustahillah mereka
mempunyai nilai-nilai dasar (utama) kebudayaan yang sama pula.
Secara kronologis, sejarah panjang dan latar belakang budaya yang membentuk
masyarakat Melayu yang dimaksud, dapat dilihat sebagaimana pada diagram berikut.
Pra-India India Cina Arab Eropa ‘Amerika, dll.’
10.000., S.M 2- M. 6-M. 12-M 16-M 20-M
A
N
I
M
I
S
M
B
U
D
H
A
R
A
J
A
/
D
E
H
I
N
D
U
T
A
U
H
I
D
I
S
L
A
M
K
R
I
S
T
E
N
B
E
R
M
A
C
A E W
M A
-
dst.
KEBEBUDAYAAN
MELAYU
Aceh Minangkabau Brunai, dst.
Proses pembentukan kebudayaan Melayu
43Annabel Teh Gallop dan Bernard Arps, Golden Letters, Writing Traditions of Indonesia (London: The
British Library, 1991), 33.
18
Apabila misalnya kehidupan budaya orang yang mendiami pulau Sumatera telah
ada semenjak 10.000 th. SM., yaitu penghuni Gua Tiangko Panjang di Jambi44, maka
semenjak itu pula nenek moyang orang Melayu (Sumatera) berkebudayaan, dengan latar
belakangnya terutama sistem nilai dan norma animisme. Setelah menempuh perjalanan
panjang selama kurang lebih 10.000. th., baru kira-kira awal – kedua Masehi nenek
moyang itu bersentuhan dengan kebudayaan India, yang dilatarbelakangi oleh sistem nilai
dan norma agama (religi) Hindu dan Budha. Sistem nilai ini, dan tentu saja ada campurnya
dengan nilai-nilai animisme, berlangsung paling tidak selama 1.000. th., dan selanjutnya
(abad ke-9 M.) nenek moyang itu berkenalan pula dengan agama Islam.45 Bahkan,
sebagaimana diberitakan Tomé Pires, agama ini baru masuk ke istana kerajaan
Minangkabau sekitar tahun 1500.46
Kehadiran agama Islam di tengah kehidupan mereka, pada akhirnya merasuk
dengan begitu dalam, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, sehingga norma dan nilai
Islam mereka jadikan sebagai landasan ideal kebudayaan mereka. Sebagaimana di
Minangkabau misalnya, secara struktural Mesjid merupakan bagian dari sistem lembaga
kenegarian. Sistem pengetahuan mereka yang berlandaskan pada norma dan nilai Islam,
pada akhirnya mampu melenyapkan sistem nilai yang berbasiskan pada agama atau
kepercayaan yang mereka anut sebelumnya, baik Budha-Hindu maupun animisme (kecuali
penduduk di padalaman/hutan). Secara kultural, tidak ada orang Melayu sekarang yang
masih beragama Budha atau Hindu, meskipun artefak-artefak suci agama tersebut masih
terpelihara. Seperti misalnya di Sumatera, ada candi di Padang Lawas -Sumatera Utara;
candi di Muara Takus - Riau; dan candi di Muara Jambi - Propinsi Jambi. Perjalanan
budaya orang-orang Melayu yang berbasiskan pada nilai-nilai Islam itu, baru bersentuhan
pula dengan agama Kristen pada abad ke-16; ini ditandai dengan masuknya Portugis di
Melaka pada paroh perempat pertama abad ke-16.47
44Periksa, Marwati Djoned Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto., ed., loc. cit. 45Periksa, A. Hasymy, ed., Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Alma’arif, 1989),
52. 46Tomé Pires, The Suma Oriental of Tomé Pires. Trans. Armando Cortesão (London: Hakluyt Society,
1944), 164. 47Ibid., xi-xii.
19
Berdasarkan pada kenyataan saat ini tampak, bahwa agama Islam diserap oleh
sebahagian besar masyarakat-masyarakat di negeri ini, sehingga mereka secara kultural
menjadikan norma dan nilai-nilai Islam sebagai landasan ideal kebudayaan mereka.
Secara ideal, pada dasarnya sistem pengetahuan mereka, dibingkai dan dituntun oleh
ajaran agama ini. Hampir dalam segala aspek kehidupan masyarakat itu, secara ideal
disesuaikannya dengan norma dan nilai-nilai Islam. Meskipun masih ada tindakan-tindakan
mereka yang secara kasat mata tidak menunjukkan ke-Islaman, namun hal itu lebih
memungkinkan dilihat sebagai suatu tradisi saja, yang tidak mempunyai hakikat
keagamaan (religi); kalau pun ada, besar kemungkinan hanya berada pada taraf
keyakinan.48
Apalagi diketahui, bahwa dalam ajaran Islam tidak ada konsep inkulturasi, yaitu
agama sering menjadikan bentuk budaya untuk keperluan agama.49 Seperti diketahui,
dalam Islam ‘tugas’ seorang muslim dalam penyebaran agamanya hanya sampai pada
batasan, yaitu berdak’wah (menyampaikan). Namun demikian, dalam konteks local
genius50, kemungkinan yang terjadi hanyalah, yaitu masyarakat setempatlah yang
mengekspresikan budayanya dalam konteks menjalankan syariat Islam.51 Dengan
demikian jelaslah, bahwa norma dan nilai-nilai Islam, secara ideal telah dijadikan oleh
masyarakat-masyarakat Melayu yang sub-kulturnya meliputi masyarakat Aceh, masyarakat
Melayu di Sumatera Utara, Minangkabau, Palembang, Jambi, Riau, Malaysia, Banjar,
Brunai Darussalam, Bugis, Betawi, dsb., sebagai inti kebudayaan mereka. Fenomena
begini menyerupai bagaimana ajaran Kristus (selama abad pertengahan – ± 1000 th.)
membentuk kebudayaan bangsa-bangsa Eropa, dengan sub-kulturnya seperti yang
dimaksud Magnis-Suseno, yaitu: kebudayaan khas orang Italia, Spanyol, Jerman, Belanda,
Perancis, atau orang Finlandia, dalam bingkai kebudayaan Eropa.
Apa yang merupakan kebudayaan masyarakat-masyarakat Melayu sebagaimana
telah dibicarakan di muka, sesungguhnya merupakan sebuah produk. Terbentuknya
produk tersebut tidak terlepas dari persentuhan atau kontak antara budaya yang satu
dengan budaya lainnya, sehingga melahirkan atau membentuk suatu kebudayaan yang
48Periksa arti religi dan keyakinan dalam Noerid Haloei Radam, Religi Orang Bukit. (Yogyakarta:
Yayasan Semesta, 2001) 41-42. 49Berbeda dengan, Y. Sumandiyo Hadi, Seni dalam Ritual Agama (Yogyakarta: Yayasan Untuk
Indonesia, 2000), lih. 144. 50Soerjanto Poespowardojo, “Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi”, dalam
Ayatrohaedi, Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius) (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), 28-44. 51Mahdi Bahar, “Perkembangan Budaya Musik Perunggu Minangkabau” (Disertasi untuk meraih gelar
Doktor dalam Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2003), 326.
20
sekarang disebut dengan kebudayaan Melayu. Dengan perkataan lain dapat dikemukakan,
bahwa kebudayaan Melayu sekarang merupakan sebuah format kebudayaan yang
terbangun oleh adanya kontak budaya berbeda antara yang satu dengan lainnya pada
masa lampau, dan dibentuk oleh proses perjalanan sejarah yang panjang.
Kenyataan yang seperti itu niscaya merupakan dampak dari fenomena “global”
pada masa lampau. Hanya saja proses kelangsungan kontak antar-budaya pada masa itu
berjalan lambat, sebagaimana tingkat kecepatan mobilitas saat itu.52 Namun demikian,
sekarang proses kontak (pengenalan) itu dapat berlangsung dengan begitu cepat dan
bahkan hampir tidak mengenal waktu, yaitu interval selama peristiwa berlangsung. Dengan
demikian tampaklah, bahwa fenomena globalisasi yang berimplikasi pada terjadinya kontak
budaya yang satu dengan lainnya, pada masa sekarang berlangsung dengan amat cepat,
sedangkan pada masa lampau (sebelum ditemukannya alat tulis dan mesin) berjalan
lambat sebagaimana kecepatan alami. Dalam kerangka negara kesatauan Republik
Indonesia, kebudayaan Melayu itu merupakan kekayaan budaya bangsa negeri ini di
samping eksistensi kebudayaan masyarakat yang lain.
Masyarakat Melayu yang kebudayaan mereka secara ideal dibentuk oleh ajaran
Islam tersebut merupakan mayoritas penduduk wilayah Nusantara. Mereka bermukim
sebagai kelompok-kelompok mayoritas yang mencakup sepanjang Pulau Sumatera,
kecuali Dataran Tinggi Toba dan Pulau Nias. Demikian pula mayoritas masyarakat yang
bermukim di wilayah Semenanjung Malaysia, mereka adalah penganut agama Islam yang
taat, meskipun di wilayah ini hidup berbagai kelompok masyarakat non-muslim, yaitu
masyarakat China dengan mayoritas beragama Buddha dan masyarakat India beragama
Hindu. Begitu pula di ujung Semenanjung Malaysia, yaitu Pulau Singapura merupakan
sebuah Negara Pulau, hidup orang-orang “Melayu” sebagai penduduk terbesar kedua
(2005) sesudah masyarakat Cina beragama Buddha. Mayoritas masyarakat Melayu di sini
beragama Islam.
Di sebelah timur Semenanjung Malaysia adalah Pulau Kalimantan, yaitu suatu
pulau dikuasai oleh tiga negara, Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Masyarakat
yang bermukim di pulau ini adalah masyarakat dengan mayoritas beragama Islam, di
samping ada penganut agama lain atau kepercayaan tertentu, seperti misalnya
masyarakat Dayak di bagian pedalaman atau orang Bukit di pedalaman Kalimantan
Selatan.53 Demikian pula di sebelah timur Kalimantan ada pulau Sulawesi. Mayoritas
52Lihat, Alvin Toffler, Kejutan Masa Depan, terj. Sri Koesdiyatinah (Jakarta: Pantja Simpati, 1992) 31-
33. 53Lih. M.C. Schadee, Kepercayaan Suku Dayak Di Tanah Landak Dan Tayan, (Jakarta: Yayasan
Idayu, 1979), passim; dan M. Noerid Haloei Radam, loc. cit., passim
21
masyarakat di pulau ini beragama Islam di samping ada di beberapa daerah tertentu
mayoritas masyarakatnya non-muslim, seperti misalnya masyarakat Tanah Toraja. Lebih
ke utara lagi dari Pulau Kalimantan dan Sulawesi adalah kepulauan Republik Filipina
berpenduduk 87.857.473 jiwa pada tahun 2005. Mayoritas penduduk negara ini beragama
Kristen, sehingga Filipina merupakan negara berpenduduk Kristiani terbesar di Asia.
Khusus di daerah bagian selatan kepulauan Filipina, yaitu di wilayah Mindanao dan
Palawan, hidup masyarakat-masyarakat muslim suku Moro. Mayoritas mereka adalah
beragama Islam. Jumlah penduduk suku Moro muslim dengan penduduk muslim lainnya di
kepulauan Filipina, diperkirakan sekitar 3 juta jiwa (2005).54
Kesatuan masyarakat-masyarakat beragama Islam yang mendiami pulau-pulau
tersebut adalah penduduk setempat, yang telah bermukim atau merupakan penduduk ‘asli’
bangsa Asia Tenggara sebagai ‘kesatuan manusia’ seperti yang dimaksud Anthony Reid55.
Pada awalnya moyang mereka adalah penganut kepercayaan animisme. Namun
kemudian, sebagian besar dari mereka berlanjut menjadi penganut ajaran Hindu atau
Buddha, yaitu ajaran yang datang dari India. Diketahui bahwa hubungan Indonesia dengan
India relatif telah intensif sekitar abad ke-2 M.56 Setelah Islam memasuki wilayah
Nusantara, maka sebagian besar dari mereka beralih menjadi penganut agama Islam yang
taat.
Di Pulau Jawa dan Madura, masyarakat Islam juga merupakan masyarakat
mayoritas, di samping ada masyarakat-masyarakat non-muslim. Pembentukan mereka
dapat dilihat paling tidak sejak hadirnya dominasi dan kejayaan kerajaan Islam pertama di
Jawa, yaitu kerajaan Demak pada dasawarsa terakhir abad ke-15 dan paruh pertama abad
ke-16 seperti dijelaskan Graaf dan Pigeaud. Bahkan, Graaf dan Pigeaud menjelaskan
bahwa raja-raja Demak adalah sebagai pelindung agama Islam di Jawa Tengah. Dalam
kaitan ini pula dikatakan, masjid Demak yang mereka bangun merupakan permulaan
pengislaman Pulau Jawa.57 Sejak kurun waktu ini pula agama Islam niscaya membentuk
masyarakat di Pulau Jawa dan Madura yang sebelumnya mayoritas beragama Hindu atau
Buddha menjadi masyarakat yang secara ideal dibentuk oleh nilai dan norma (ajaran)
Islam. Secara makroskopik dapat dipahami apa yang dikemukakan Mark R Woodward,
bahwa “Islam merasuk begitu cepat dan mendalam ke dalam struktur kebudayaan Jawa
sebab ia dipeluk oleh keraton sebagai basis untuk negara teokratik, .... agama dan
54 “Microsoft Encarta Premium 2006”, (Moro people)
55Antony Reid, op. cit., pp.5-12. 56Lih. Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto-II, loc. cit. 57H.J. De Graaf dan Th. G. Pigeaud, op. cit., 37-82.
22
masyarakat Jawa adalah Islam sebab aspek-aspek doktrin Islam telah menggantikan
Hinduisme dan Budhisme sebagai aksioma kebudayaan Jawa”.58
Secara institusional pun tampak, bahwa sejak kurang lebih empat dekade terakhir
ini perkembangan Islam di Jawa lebih menunjukkan kemajuan apabila di bandingkan
dengan di Pulau Sumatera, seperti misalnya khusus di Minangkabau yang pada awal-awal
kemerdekaan merupakan pusat perkembangan dan melahirkan tokoh Islam berpengaruh
di Nusantara, sebut saja misalnya H. Agus Salim, Hamka, Syeh Sulaiman Arrasuli, dsb.
Namun, kenyataannya sekarang di Pulau Jawa banyak tubuh dan berkembang sejumlah
lembaga pendidikan Islam yang populer disebut ‘pondok pesantren’. Bahkan, lembaga-
lembaga ini sudah banyak menghasilkan tokoh-tokoh Islam, baik sebagai pakar Islam
maupun berkiprah di panggung politik. Dua orgsanisasi besar ‘Islami’ yaitu Muhammadiyah
dan Nahdatul Ulama, merupakan bukti yang secara defacto memperlihatkan peran dan
pengaruh, serta eksistensi mayoritas masyarakat Islam di Pulau Jawa dalam kehidupan
masyarakat-masyarakat Islam di Nusantara.
Terbentuknya masyarakat-masyarakat Islam di lima wilayah yaitu Sumatera,
Semenanjung Malaysia, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan sekitarnya yang seperti
demikian, adalah ‘buah’ yang secara evolutif dibentuk melalui peran yang dimainkan oleh
pusat-pusat kekuasaan, terutama berupa kerajaan-kerajaan Islam terkemuka di Nusantara
yang berlangsung dan berproses dalam rentang waktu selama kurang lebih tujuh ratus
tahun (abad ke-12 - ke-19). Fenomena ini dapat dilihat seperti misalnya pada kebesaran
kerajaan Islam berikut, yaitu Kerajaan Aceh pada zaman Sultan Iskandar Muda (1607-
1636);59 Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa pada abad ke-16 – 17, antara lain Kerajaan
Mataram Islam di bawah Sultan Agung (1613-1645);60 Kerajaan Gowa di bawah Sultan
Said (1639 – 1653) dan beberapa kerajaan Islam di wilayah lain Nusantara;61 Demikian
pula kerajaan di Malaka dan kerajaan-kerajaan di sekitarnya (semenanjung Malaysia)
seperti diberitakan Pires pada abad ke-16 dengan rajanya beragama Islam.62 Berdasarkan
itu tampak bahwa kerajaan-kerajaan yang semula berwarna Hindu atau Budha berubah
jadi kerajaan berwarna Islam. Kerajan-kerajaan Islam di bawah otoritas raja bergelar
58Mark R Woodward, Islam Jawa, terj. Hirus Salim (Yogyakarta: LkiS, 1999), h. 4 -5. 59Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (Jakarta: Balai Pustaka, 1991),
passim. 60H.J. De Graaf dan TH. G. TH. Pigeaud, loc. cit., passim. 61Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III (Jakarta:
Balai Pustaka, 1993), 1-26. 62Lihat, Pires, ibid., 229-288.
23
Sulthan tersebut telah memainkan peran sebagai pusat kekuatan politik dan agama,
sehingga membentuk masyarakat di lingkungan kekuasaannya menjadi masyarakat
“Islami”.
Di antara bentuk peranan itu tampak misalnya dalam kehidupan masyarakat-
masyarakat “Alam Melayu” adanya pandangan hidup dan prinsip berbasiskan Islam yang
terungkap, yaitu “Tak Melayu kalau Tak Islam”; “Adat Bersendi Syara’, Syara’ Bersendi
Kitabullah”; “Syara’ Berkata, Adat Memakai”, dsb. Berdasarkan pandangan itu, maka
kejayaan Islam sebagai kekuatan politik yang menerapkan God’s law is supreme di
kerajaan-kerajaan Nusantara dapat dilihat antara lain melalui manuskrip-manuskrip berupa
surat resmi yang dikeluarkan oleh para Sulthan dengan menggunakan aksara dan tatahan
estetika Arab-Persia, serta menempatkan (hukum) Allah di atas segala-galanya. Dalam
konteks ini dapat dipahami amatan Annabel Teh Gallop sebagai kurator koleksi manuskrip
surat-surat resmi dan naskah (Melayu) raja-raja Nusantara yang tampak dalam penjelasan
berikut.
“Kepala surat dalam bahasa Arab (Huwa Allah taala), suatu unsur yang penting dalam surat
resmi Melayu,... Pada kitab undang-undang Melayu, hukum Islam bercampur dengan
hukum adat dalam berbagai tingkatan. Hal yang tidak biasa dalam kitab undang-undang
pidana, teks ini lebih berdasarkan kepada sumber-sumber Arab, dan memuat daftar
hukuman bagi berbagai jenis kejahatan, di antaranya pembunuhan, perzinaan, fitnah dan
perampokan di jalan raya”.63
Ada suatu hal yang perlu dicermati dari amatan Gallop di atas, yaitu pernyataan
yang menjelaskan bahwa ‘hukum Islam bercampur dengan hukum adat’. Bagi kaum
muslimin disuruh (‘amara) menempatkan hukum Islam, yang sumbernya adalah Alqur’an
dan Hadist, sebagai pedoman tertinggi untuk menjalankan kehidupan.64 Ternyata, ‘pada
umumnya’ istana-istana kerajaan di Nusantara, telah menempatkan hukum Allah itu
sebagai pedoman hukum untuk mengatur tata-kehidupan masyarakat. Fenomena ini, juga
dilihat Graaf dan Pigeaud, bahwa “Kerajaan-kerajaan itu [di Nusantara] hampir semuanya
masuk ke dalam kekuasaan Islam”.65 Para Sulthan telah menempatkan God’s law is
supreme sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan negara kerajaan. Sementara,
hukum adat yang digunakan dapat dilihat sebagai kelengkapan hukum atau aturan yang
dibolehkan dalam Islam sepanjang tidak bertentangan dengan Alqur’an dan hadis, serta
hendaklah bermanfaat untuk kebaikan bersama. Kekuatan normatif yang berazaskan pada
63Annabel Teh Gallop dan Bernard Arps, op. cit., h. 34, 65. 64Alqur’an, S, 2: 2; 11:17; S, 45:20; S,2:185; S, 17:9. 65Graaf dan Pigeaud, op. cit., h. 2
24
religi Islam yang seperti demikian, secara evolutif akan membentuk tatanan kehidupan
manusia yang disebut masyarakat. Dalam hal pembentukan itu, niscaya akan terjadi
perubahan-perubahan substansial dari bentuk masyarakat sebelum ke bentuk ‘baru’
sesudahnya. Mayoritas bentuk-bentuk masyarakat beragama Hindu atau Buddha, atau
berkepercayaan animisme pada masa sebelum Islam memasuki Nusantara, berpindah dan
menjadi kaum muslimin. Sampai sekarang, masyarakat-masyarakat yang berlatar belakang
Islam tersebut secara turun-temurun menempati hampir seluruh kawasan Nusantara, baik
di kawasan pantai maupun di kawasan pedalaman. Mereka pada umumnya adalah
masyarakat agraris atau nelayan.
VII. Islam Membentuk Seni Pertunjukan Budaya Melayu
Pada masa gemilang dan berjaya nilai dan norma Islam memasuki wilayah politik,
sistem kepercayaan, sistem sosial, ataupun estetika melalui institusi-institusi kerajaan di
Nusantara dengan kemampuan lokal geniusnya, secara langsung ataupun tidak langsung,
telah menolak secara maksimal hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai dan norma Islam.
Oleh karena itu, seni pertunjukan yang bertahan dalam kehidupan budaya mereka adalah
seni pertunjukan yang secara ideal telah dibentuk atas kesesuaian atau tidak bertentangan
dengan ajaran Islam. Pembentukan itu bisa saja meliputi aspek tekstual (estetika) atau pun
kontekstual.
Kenyataan yang demikian dapat dilihat sebagaimana misalnya kasus musik
perunggu talempong pacik (Minangkabau) yang bersaudara kandung dengan musik
gamelan baleganjur di Bali. Pada masa Hindu di Minangkabau diyakini, bahwa musik
tersebut digunakan antara lain untuk musik prosesi mengiringi jenazah ke pandam
(perkuburan) sebagaimana di Bali gamelan baleganjur digunakan untuk mengantarkan
jenazah ke tempat penguburan atau ngaben (kremasi). Namun di Minangkabau, tidak lagi
sekarang musik talempong pacik digunakan secara kontekstual untuk prosesi mengiringi
jenazah ke perkuburan. Akan tetapi sebaliknya, digunakan antara lain untuk mengiringi
prosesi orang-orang yang akan menunaikan ibadah haji ke Makkah, prosesi khatam Al-
Qur’an, prosesi mengiringi datuak yang akan dinobatkan dsb.66 Sementara itu, sisi tekstual
atau estetikanya tidak menjadi permasalahan dalam pandangan ajaran Islam, sehingga
aspek musikal musik ini berlanjut sebagaimana adanya. Berdasarkan hal tersebut, maka
dalam pembentukan yang begini gejala yang muncul ialah, secara tekstual pada prinsipnya
tidak ada perubahan (continue), sedangkan secara kontekstual terjadi perubahan (chages).
Oleh karena itu, maka terjadi suatu perubahan berupa pembentukan atau memberi bentuk
66Bahar, ibid., 338.
25
kembali (restructure) dari sesuatu yang bersifat bertentangan dengan ajaran Islam menjadi
sesuatu yang dibolehkan (mubah) dalam ajaran Islam, sehingga entitas musik talempong
dapat hidup sebagai bagian dari kebudayaan orang Melayu Minangkabau secara utuh.
Demikian pula orang-orang Melayu pada masa kebudayaannya berlandaskan pada
sistem kepercayaan animisme, mereka menggunakan gong antara lain untuk memanggil
roh; sekarang gong tidak lagi digunakan untuk memanggil roh, akan tetapi digunakan (al.)
untuk alat legitimasi elit tradisional. Demikian pula gong dengan perangkatnya digunakan
sebagai ansambel musik dalam masyarakat Gayo – Aceh, digunakan (al.) untuk musik
arak-arakan. Selain dari itu, ada genre musik Melayu Minangkabau yang teks nyanyiannya
tidak lagi berisikan kata-kata ratapan sebagai ekspresi kedukaan menghadapi jenazah,
sebagaimana tradisi di masa lalu berupa meratapi mayat. Akan tetapi, bentuk melodi dan
nama lagu itu masih berlanjut atau hidup sampai saat ini, sebagaimana misalnya salah
satu bentuk lagu musik saluang darek, yaitu lagu (ratok=ratap)“Suayan Maik Katurun”
(Suayan Mayat akan Turun).
Beberapa contoh genre seni pertunjukan yang dibicarakan di atas, yaitu musik
talempong, gong, ataupun nyanyian, sesungguhnya adalah jenis-jenis seni pertunjukan
dan peralatan musik yang sudah ada jauh sebelum Islam menjadi agama masyarakat-
masyarakat Melayu pada umumnya. Oleh karena itu, pada hakikatnya musik-musik
tersebut adalah musik Islami orang Melayu Minangkabau disebabkan karena ia tidak lagi
bertentangan dengan ajaran Islam. Hal serupa juga akan terjadi atau ditemui dalam
kehidupan budaya masyarakat-masyarakat Melayu pada umumnya, yaitu seni pertunjukan
yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka, adalah seni pertunjukan yang secara ideal
tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini sejalan dengan kebudayaan mereka yang
secara ideal dibangun berdasarkan sistem nilai dan norma Islam.
Demikian pula misalnya zapin sebagai entitas yang dihadirkan oleh pendukungnya
sebagai manifestasi estetis untuk berbagai kemungkinan fungsi, sehingga ia bertahan
(exist) sampai saat ini. Kemapanannya telah berproses sejak dari masa lalu sampai ia
mengkristal dalam suatu bentuk yang menempati suatu kategori (genre) seni di antara
kategori seni yang ada, yaitu zapin sebagai suatu entitas seni dengan ciri dan kriteria
tertentu dalam perspektif epistemologinya. Sampai sekarang zapin diakui oleh para
pendukungnya sebagai sesuatu yang tradisional.67
67Lih. Edward Shils, Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1983), p. 13, “When we
speak of tradition, we speak of that which has exemplars or custodians. … that which has been and is being
handed down or trasmitted. It is something which was created, was performed or believed in the past, …”.
26
Meskipun pada mulanya “embrio” zapin hidup di kalangan orang-orang Persia
(Arab) sebagai minoritas (pedagang/perantau) di Nusantara, namun dalam pembentukan
proses kemapanannya, ia telah memasuki wilayah peradaban bercirikan kehidupan kota-
kota kerajaan di Nusantara, terutama di bawah patronase kerajaan-kerajaan Islam pantai.68
Oleh karenanya, kemapanan dan sosialisasi zapin ke tengah masyarakat pendukung, telah
melalui proses assembling normatif kehidupan kerajaan Islami Nusantara. Sebagaimana
hal yang sama juga dialami dalam kehidupan seni-seni istana Karajaan (Hindu) Jawa,
antara lain seni wayang yang semula adalah seni (ritual animisme) keagamaan rakyat
(“little tradition”), ditransformasi (assembling) menjadi seni kerajaan (“great tradition”).69
Selanjutnya, seni-seni tersebut berkembang lagi menjadi seni yang hidup di tengah-tengah
masyarakat luar istana atau keraton.
Pada zapin, tindakan anssembling pembentukannya, dilatarbelakangi secara ideal
oleh norma dan nilai Islam sebagaimana Islam menjadi landasan normatif kehidupan
istana di bawah otoritas penguasa bergelar “Sulthan”.70 Norma-norma dan nilai Islam
dijadikan sebagai landasan “tata-negara kerajaan” dan budaya masyarakat pada
umumnya.71 Di antara implikasinya ialah menempatkan zapin sebagai manifestasi estetis
yang tumbuh dan hidup menjadi bagian dari budaya istana Melayu, serta masyarakat
Melayu pendukung pada umumnya. Oleh karena itu, “zapin” dapat diposisikan sekarang
sebagai salah satu bentuk “puncak peradaban seni Islam Nusantara” yang berstruktur
sendiri72, sehingga ia dapat digolongkan pada suatu genre seni tertentu, di antara genre
seni yang ada.
68Lih. juga Mohd Anis Md Nor, Folk Dance of The Malay World, (Singapore: Oxford University Press,
1993), pp. 20-22. 69James R. Brandon, Theatre in Southeast Asia, (Massachusetts: Harvard University Press, 1967), p.
84. 70Lih. bagaimana Islam berkembang jadi agama kerajaan di sekitar wilayah selat Malaka dan
menyebar ke beberapa kerajaan lain di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa; dalam D.G.E Hall, Sejarah Asia
Tenggara, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), h.187-196; lih. juga berita tentang Malaka oleh Tome Pires, op.
cit., pp. 229-259 71Mahdi Bahar, Islam Landasan Ideal Budaya Melayu, Pemikiran Phenomenology, (Malang: Malak,
2009) , passim. 72Mohd Anis Md Nor., op. cit., pp. 63-70: fenomena yang menetap pada zapin tergambar pada struktur
dasar bentuk komposisi pertunjukannya terdiri atas bagian, yaitu salam pembukaan - taksim (salutation),
bagian utama (main dance segment), dan penutup - wainab (final section). Tiga bagian ini sejalan dengan
bagian musik pengiring menggunakan alat musik marwas, gambus, dan nyanyian.
27
Berdasarkan pandangan di atas dapat dijelaskan, bahwa fenomena yang sama
akan terjadi pada genre seni pertunjukan yang lain, yaitu ajaran Islam yang dijadikan
landasan ideal kebudayaan masyarakat-masyarakat Melayu, akan membentuk suatu
tatanan “baru” kehidupan seni pertunjukan mereka, dari yang ada sebelumnya menuju ke
bentuk yang tidak berlawanan dengan ajaran Islam, baik tekstual maupun kontekstual.
Perubahan atau diterimanya genre seni pertunjukan itu, baik berasal dari seni pertunjukan
yang ada sebelum Islam menjadi agama mereka maupun seni pertunjukan berasal dari
kebudayaan Arab atau kebudayaan lain, adakalanya menjadi atau bertahan sebagai
bagian dari kebudayaan mereka atau bertahan disebabkan oleh karena kekuatan estetika
yang dimilki oleh genre seni pertunjukan yang besangkutan. Pada hakikatnya seni
pertunjukan yang tidak berlawanan dengan ajaran Islam itu adalah seni pertunjukan Islam
dalam kehidupan mereka, meskipun akar seni pertunjukan tersebut tidak berasal dari
kebudayaan Arab. Sebaliknya, tidak semua seni pertunjukan Arab adalah Islami.
VIII. Penutup
Diterimanya Islam sebagai suatu agama oleh masyarakat-masyarakat Melayu di
Nusantara yang secara kenegaraan sekarang berada dalam lingkungan wilayah Asia
Tenggara telah mengubah bentuk kebudayaan mereka dari yang sebelumnya mayoritas
berbasiskan pada ajaran Hindu atau Budha, termasuk ajaran-ajaran atau kepercayaan
sebelum itu, menjadi suatu bentuk kebudayaan yang secara ideal (nilai dan norma) tidak
berlawanan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, eksistensi ajaran Islam dalam kehidupan
mereka bukanlah mempengaruhi, akan tetapi adalah membentuk, yaitu mengubah struktur
dari yang sebelum ke struktur yang “baru”.
Salah satu aspek dari kebudayaan mereka itu adalah terbentuk atau tumbuh
bentuk-bentuk genre seni pertunjukan yang secara tekstual ataupun kontekstual tidak
berlawanan atau bertentangan dengan ajaran Islam. Ini mereka lakukan dengan cara
mengubah atau menyesuaikan, dan bahkan membuat sesuatu yang belum pernah ada
sebelumnya atau menerima sesuatu yang baru, sehingga menjadi bagian dari tradisi atau
kebudayaan mereka.
Dalam pengubahan atau penyesuaian, atau membuat dan bahkan menerima
sesuatu yang “baru” itu, lingkungan setempat turut memberi pengaruh, sehingga tumbuh
berbagai corak genre seni pertunjukan masyarakat-masyarakat Melayu di Nusantara
sesuai dengan lingkungannya, yang “dibangun” baik langsung atau pun tidak langsung
atas ajaran Islam.
28
Entitas seni pertunjukan dengan segala keragamannya yang tidak berlawanan atau
bertentangan dengan ajaran Islam yang telah menjadi bagian dari kebudayaan atau tradisi
mereka itu, pada hakikatnya merupakan bentuk-bentuk seni pertunjukan Islam Nusantara.
Secara tekstual atau pun kontekstual kelangsungan hidupnya telah “mengabadikan” nilai-
nilai luhur kepribadian nan elok masyarakat-masyarakat Melayu pada umumnya, dan
khususnya masyarakat-masyarakat Melayu di Indonesia sebagai bagian dari kepribadian
bangsa Indonesia.
Kampung Jambak, November 2012
Makalah disampaikan:
Pada Seminar Internasional “Festival Seni
Melayu Asia Tenggara” di Institut Seni Indonesia
Padangpanjang, tgl 27 November 2012
KEPUSTAKAAN
Alqur’an dan Terjemahannya “Mujamma’al Malik Fahd Li Thiba’at Al Mushaf-haf Asy-syarif
Madinah Al Munawwarah Po Box 6262 Kerajaan Arab Saudi”
A. Hasymy, ed. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Alma’arif, 1989.
Al-Faruqi, Isma’il R. dan Lois Lamya Al-Faruqi. Atlas Budaya Islam. Bandung: Mizan, 2003.
Anis Md Nor, Mohd. Folk Dance of The Malay World. Singapore: Oxford University Press,
1993.
Ayatrohaedi. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya, 1986.
Bahar, Mahdi. “Perkembangan Budaya Musik Perunggu Minangkabau”. Disertasi untuk
meraih gelar Doktor dalam Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
2003.
-----------. Islam Landasan Ideal Budaya Melayu, Pemikiran Phenomenology. Malang:
Malak, 2009.
Bernard H.M, Vlekke,. Nusantara: Sejarah Indonesia, terj. Dewan Bahasa dan Pustaka dari
“Nusantara A History of Indonesia”. Kuala Lumpur: Tien Wah Press (M) Sdn. BHD,
1967.
Brandon, James R. Theatre in Southeast Asia, (Massachusetts: Harvard University Press,
1967.
29
Djoened, Marwati dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai
Pusataka, 1993.
Gallop, Annabel Teh dan Bernard Arps. Golden Letters, Writing Traditions of Indonesia.
London: The British Library, 1991.
Graaf H.J. De dan Th. G. Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: PT. Pustaka
Utama Grafiti, 1989.
Hadi Y, Sumandiyo. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia,
2000.
Hall, D.G.E. Sejarah Asia Tengara. Terj. I.P. Soewarsha. Surabaya: Usaha Nasional, 1988.
Heine-Geldern, Robert. Konsepsi Tentang Negara & Kedudukan Raja di Asia Tenggara,
terj. Deliar Noer. Jakarta: CV. Rajawali, 1982.
Yunus, Mahmud. Kamus Bahasa Arab. Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuryah, 1989.
--------------. “Resource Constraints and Relations of Appropriation Among Tropical Forest
Foragers: The Case of The Sumatran Kubu”, dalam Research in Economic
Anthropology, volume 10. Greenwich-Connecticut, JAI Press Inc., 1988.
Lombard, Denys. Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda. Jakarta: Balai Pustaka,
1991.
Microsoft Encarta Premium 2006.
Moeliono, Anton M. Kamus BesarBahasa Indoensia. Jakarta: Balai Pusataka, 1989.
Mulyono, Slamet. Menudju Puntjak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Madjapahit. Djakarta:
Balai Pustaka, 1965.
--------------. Perundang-undangan Madjapahit. Djakarta: Bhratara, 1967.
Noerid Haloei Radam. Religi Orang Bukit. Yogyakarta: Yayasan Semesta, 2001.
Pires, Tomé. The Suma Oriental of Tomé Pires. Trans. Armando Cortesão. London:
Hakluyt Society, 1944.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia,
jilid I. Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
--------------. Sejarah Nasional Indonesia, jilid II. Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
--------------. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
--------------. Sejarah Nasional Indonesia, jilid V. Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
Radam M, Noerid Haloei. Religi Orang Bukit. Yogyakarta: Yayasan Semesta, 2001.
Radcliffe-Brown, A.R. Structure and Function in Primitive Society. New York: The Free
Press, 1952.
Reid, Anthony. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, jilid I. Jakarta: Yayasan
Obor Indoensia, 1992.
30
Sandbukt, Oyvind. “Kubu Conceptions of Reality”, dalam Asian Folklore Studies, vol. 43.
Nagoya: Anthropological Institute Nanzan University, 1984.
Santosa, dkk. Etnomusikologi Nusantara: Perspektif dan Masa Depannya. Surakarta: ISI
Surakarta Press, 2007.
Schadee, M.C. Kepercayaan Suku Dayak Di Tanah Landak Dan Tayan. Jakarta: Yayasan
Idayu, 1979.
Schefold, Reimar. Mainan Bagi Roh Kebudayaan Mentawai. Terj. Mien Joebhaar. Jakarta:
Balai Pustaka, 1991.
Shils, Edward. Tradition. Chicago: The University of Chicago Press, 1983.
Toffler, Alvin. Kejutan Masa Depan, terj. Sri Koesdiyatinah. Jakarta: Pantja Simpati, 1992.
unilily.wordpress.com; 12-01-09.
Woodward, Mark R. Islam Jawa, terj. Hirus Salim. Yogyakarta: LkiS, 1999.