1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit infeksi dan kurang gizi merupakan penyebab kematian balita
di negara maju maupun di negara berkembang. Penyakit infeksi yang sering
terjadi pada balita adalah Diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA),
Infeksi telinga, Radang tenggorokan, dan Tetanus. Dari antara penyakit ini,
kasus ISPA adalah kasus yang paling tinggi. Kasus ISPA merupakan 50% dari
seluruh penyakit pada anak berusia dibawah 5 tahun, dan 30% pada anak 5-12
tahun. Kasus ISPA di negara berkembang 2-10 kali lebih banyak dari pada di
negara maju. Perbedaan ini berhubungan dengan etiologi dan faktor resiko.
Dinegara maju, ISPA di dominasi oleh virus, sedangkan dinegara berkembang
ISPA sering disebabkan oleh bakteri seperti S. Pneumonia dan H. Influenza.
Di negara berkembang, ISPA dapat menyebabkan 10%-25% kematian dan
bertanggung jawab terhadap 1/3-1/2 kematian pada balita (WHO, 2008).
Di Indonesia, ISPA sering disebut sebagai ”pembunuh utama”. Kasus
ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien kesarana
kesehatan yaitu 40%-60% dari seluruh kunjungan ke Puskesmas dan 15%-
30% dari seluruh kunjungan rawat jalan dan rawat inap Rumah Sakit.
Diperkirakan kematian akibat ISPA khususnya Pneumonia mencapai 5 kasus
diantara 1000 balita. Ini berarti ISPA mengakibatkan 150.000 balita
meninggal tiap tahunnya, atau 12.500 korban perbulan, atau 416 kasus perhari,
atau 17 anak perjam atau seorang bayi tiap 5 menit (Depkes, 2004).
Kematian pada penderita ISPA terjadi jika penyakit telah mencapai
derajat ISPA yang berat. Paling sering kematian terjadi karena infeksi telah
mencapai paru-paru. Keadaan ini disebut sebagai radang paru mendadak atau
pneumonia. Sebagian besar keadaan ini terjadi karena penyakit ringan (ISPA
ringan) yang diabaikan. Sering kali penyakit dimulai dengan batuk pilek biasa,
tetapi karena daya tahan tubuh anak lemah maka penyakit dengan cepat
menjalar ke paru-paru. Jika penyakitnya telah menjalar ke paru-paru dan anak
tidak mendapat pengobatan serta perawatan yang tepat, anak dapat meninggal.
2
Perawatan yang dimaksud adalah perawatan dalam pengaturan pola makan
balita, menciptakan lingkungan yang nyaman sehingga tidak mengganggu
kesehatan, menghindari faktor pencetus seperti asap dan debu serta menjaga
kebersihan diri balita. (Depkes, 2004).
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan Laporan Pendahuluan ini agar kita
sebagai mahasiswa keperawatan mengetahui tentang ISPA dan cara
penanganan pada klien dengan masalah system pernafasan “ISPA”.
1.3 Manfaat
Laporan Pendahuluan ini bermanfaat sebagai panduan atau pedoman
bagi mahasiswa keperawatan untuk melakukan penulisan Asuhan
Keperawatan secara baik dan benar tanpa mengalami kesulitan terutama pada
klien dengan masalah system pernafasan “ISPA”.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi Infeksi Saluran Pernafasan Akut
Menurut Depkes (2004) infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
merupakan istilah yang diadaptasi dari istilah bahasa inggris Acute
Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur penting yaitu
infeksi, saluran pernafasan, dan akut. Dengan pengertian sebagai berikut:
Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh
manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta
organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai 14 hari. Batas 14 hari
diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit
yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari
14 hari.
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran
pernapasan atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan
berbagai spektrum penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau
infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada
patogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor pejamu (Apriyaningsih,
2008).
ISPA didefinisikan sebagai penyakit saluran pernapasan akut yang
disebabkan oleh agen infeksius yang ditularkan dari manusia ke manusia.
Timbulnya gejala biasanya cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam sampai
beberapa hari. Gejalanya meliputi demam, batuk, dan sering juga nyeri
tenggorok, coryza (pilek), sesak napas, mengi, atau kesulitan bernapas (WHO,
2008).
2.2 Etiologi Infeksi Saluran Pernafasan Akut
Depkes (2004) menyatakan penyakit ISPA dapat disebabkan oleh
berbagai penyebab seperti bakteri, virus, mycoplasma, jamur dan lain-lainnya.
ISPA bagian atas umumya disebabkan oleh virus, sedangkan ISPA bagian
4
bawah dapat disebabkan oleh bakteri umumnya mempunyai manifestasi klinis
yang berat sehingga menimbulkan beberapa masalah dalam penanganannya.
Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah genus Streptococcus,
Stapilococcus, Pneumococcus, Haemophyllus, Bordetella dan
corynobacterium. Virus penyebab ISPA antara lain golongan Paramykovirus
(termasuk di dalamnya virus Influenza, virus Parainfluenza dan virus
campak), Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Herpesvirus dan lain-lain.
Di negara-negara berkembang umunya kuman penyebab ISPA adalah
Streptocococcus pneumonia dan Haemopylus influenza.
2.3 Klasifikasi Infeksi Saluran Pernafasan Akut
2.3.1 Berdasarkan lokasi anatomik
Penyakit ISPA dapat dibagi dua berdasarkan lokasi anatominya,
yaitu: ISPA atas (ISPaA) dan ISPA bawah (ISPbA). Contoh ISPA atas
adalah batuk pilek (Common cold), Pharingitis, Otitis, Flusalesma,
Sinusitis, dan lain-lain. ISPA bawah diantaranya Bronchiolitis dan
Pneumonia yang sangat berbahaya karena dapat mengakibatkan
kematian (WHO, 2008).
2.3.2 Berdasarkan golongan Umur
Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA
sebagai berikut:
1. Pneumonia berat: ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding
dada kedalam (chest indrawing).
2. Pneumonia: ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat.
3. Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa
disertai demam, tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas
cepat. Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis tergolong bukan
pneumonia (Depkes, 2004).
berdasarkan golongan umur, ISPA dapat diklasifikasikan atas 2
bagian, yaitu sebagai berikut:
1. Kelompok umur kurang dari 2 bulan, dibagi atas: Pneumonia berat
dan bukan Pneumonia. Pneumonia berat ditandai dengan adanya
nafas cepat, yaitu pernafasan sebanyak 60 kali permenit atau lebih,
5
atau adanya tarikan dinding dada yang kuat pada dinding dada
bagian bawah ke dalam ( severe chest indrawing), sedangkan bukan
pneumonia bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah
dan tidak ada nafas cepat (WHO,2008).
2. Kelompok umur 2 bulan sampai kurang 5 tahun dibagi atas:
pneumonia berat, pneumonia dan bukan pneumonia. Pneumonia
berat, bila disertai nafas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas. Pneumonia
didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernafas disertai
adanya nafas cepat sesuai umur, yaitu 40 kali permenit atau lebih.
Bukan pneumonia, bila tidak ditemukan terikan dinding dada bagian
bawah dan tidak ada nafas cepat (WHO, 2008).
2.4 Patofisiologi ISPA
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus
dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan
menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke
atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu tangkapan refleks
spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan
epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan.
Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk
kering. Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan
kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran
nafas, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi noramal.
Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk.
Sehingga pada tahap awal gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk.
Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi
sekunder bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme
mukosiliaris yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran
pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri
patogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas seperti streptococcus
pneumonia, haemophylus influenza dan staphylococcus menyerang mukosa
yang rusak tersebut. Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus
6
bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul sesak
nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini
dipermudah dengan adanya fakor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi.
Suatu laporan penelitian menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan
infeksi virus pada saluran nafas dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada
bayi dan anak.
Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat-
tempat yang lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam,
dan juga bisa menyebar ke saluran nafas bawah. Dampak infeksi sekunder
bakteripun bisa menyerang saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang
biasanya hanya ditemukan dalam saluran pernafasan atas, sesudah terjadinya
infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia
bakteri.
Penanganan penyakit saluran pernafasan pada anak harus diperhatikan
aspek imunologis saluran nafas terutama dalam hal bahwa sistem imun di
saluran nafas yang sebagian besar terdiri dari mukosa, tidak sama dengan
sistem imun sistemik pada umumnya. Sistem imun saluran nafas yang terdiri
dari folikel dan jaringan limfoid yang tersebar, merupakan ciri khas system
imun mukosa. Ciri khas berikutnya adalah bahwa IgA memegang peranan
pada saluran nafas atas sedangkan IgG pada saluran nafas bawah. Diketahui
pula bahwa sekretori IgA (sIgA) sangat berperan dalam mempertahankan
integritas mukosa saluran nafas.
7
2.5 Pathway ISPA atas (ISPaA)
Menempel pada
Hidung; Sinus Faring Laring Rinitis;
sinusitis Faringitis Laringitis
Menginvasi sel Sel korban mengirimkan sinyal
* aktivasi sistem imun
Melepaskan mediator inflamasi
Mengeluarkan IL-1, IL-6
Respon pertahanan sel
hipotalamus ↑ set point
demam
Vasodilatasi area yang terinfeksi
Rubor, kalor
↑ produksi mukus
Kongesti hidung
Kesulitan saat bernapas
MK: Ketidakefektifan bersihan jalan napas
Edema mukosaBlokade
ostium sinus
Retensi mukus
Rasa penuh dan kongesti
Nyeri
malaise
anoreksia
MK: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
↓ intake nutrisiNyeri saat
menelan (disfagia)
* aktivasi sistem imun
Obstruksi yang parah
Edema plika vokalis
Suara serak
Penyempitan jalan napas
Pengeluaran CO2
tak adekuat
Asidosis respiratori
Berusaha keras menarik udara
Stridor saat inspirasi
Retraksi suprasternal
Virus Bakteri jamur
terhirup
MK: Ketidakefektifan pola nafas
8
2.6 Tanda dan Gejala klinis ISPA
ISPA adalah penyakit infeksi yang menyerang salah satu bagian dan
atau lebih saluran nafas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli
(saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga
tengah dan pleura. Secara umum gejala dan tanda-tanda ISPA adalah terjadi
demam, batuk, pilek dan disertai nafas cepat ataupun tarikan dinding dada ke
bagian bawah dalam. penyakit paru atau saluran nafas dengan gejala umum
maupun gejala pernafasan antara lain batuk, sputum berlebihan, hemoptisis,
dispnea dan dada nyeri.
Pertama, batuk merupakan gejala paling umum akibat penyakit
pernafasan. Rangsangan yang biasanya menimbulkan batuk adalah rangsangan
mekanik dan kimia. Inhalasi debu, asap dan benda-benda asing berukuran
kecil merupakan penyebab batuk yang paling sering.
Kedua sputum, orang dewasa normal membentuk sputum sekitar 100
ml per hari dalam saluran pernafasan, sedangkan dalam keadaan gangguan
saluran pernafasan sputum dihasilkan melebihi 100 ml per hari.
Ketiga, Hemoptisis, yaitu istilah yang digunakan untuk menyatakan
batuk darah atau sputum berdarah.
Keempat, dispnea atau sesak nafas yaitu perasaan sulit bernafas dan
nyeri dada.
2.7 Faktor Resiko ISPA
Menurut Depkes (2004) faktor resiko terjadinya ISPA terbagi atas dua
kelompok yaitu:
1. Faktor internal merupakan suatu keadaan didalam diri penderita (balita)
yang memudahkan untuk terpapar dengan bibit penyakit (agent) ISPA
yang meliputi jenis kelamin, berat badan lahir, status ASI, dan status
imunisasi.
2. Faktor eksternal merupakan suatu keadaan yang berada diluar diri
penderita (balita) berupa lingkungan fisik, biologis, sosial dan ekonomi
yang memudahkan penderita untuk terpapar bibit penyakit (agent)
meliputi: polusi asap rokok, polusi asap dapur, kepadatan tempat tinggal,
keadaan geografis, ventilasi dan pencahayaan.
9
2.8 Penatalaksanaan
Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA akan memberikan petunjuk
standar pengobatan penyakit ISPA yang akan berdampak mengurangi
penggunaan antibiotik untuk kasus-kasus batuk pilek biasa, serta mengurangi
penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat. Strategi penatalaksanaan
kasus mencakup pula petunjuk tentang pemberian makanan dan minuman
sebagai bagian dari tindakan penunjang yang penting bagi pederita ISPA.
Penatalaksanaan ISPA meliputi langkah atau tindakan sebagai berikut :
1. Upaya pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan :
a. Menjaga keadaan gizi agar tetap baik.
b. Immunisasi.
c. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan.
d. Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA.
2. Perawatan
Prinsip perawatan ISPA antara lain :
a. Menigkatkan istirahat minimal 8 jam perhari
b. Meningkatkan makanan bergizi
c. Bila demam beri kompres dan banyak minum
d. Bila hidung tersumbat karena pilek bersihkan lubang hidung dengan
sapu tangan yang bersih
e. Bila badan seseorang demam gunakan pakaian yang cukup tipis tidak
terlalu ketat.
f. Bila terserang pada anak tetap berikan makanan dan ASI bila anak
tersebut masih menetek
10
BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN SISTEM
PERNAFASAN PADA KASUS ISPA
3.1 Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan
suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber
data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien
(Nursalam, 2001)
1. Data subyektif
Data yang didapatkan dari klien sebagai suatu pendapat terhadap suatu
situasi dan kejadian (Nursalam, 2001)
2. Data objektif
Data yang dapat diobservasi dan diukur (Nursalam, 2001)
3.1.1 Pengumpulan data
Merupakan upaya untuk mendapatkan data sebagai informasi
tentatang pasien. Data yang dibutuhkan tersebut mencakup data tentang
biopsikososial dan spiritual atau data yang berhubungan dengan
masalah pasien serta data tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
masalah pasien (Hidayat, A.A, 2006)
1. Identitas pasien meliputi nama pasien, tempat dan tanggal lahir,
suku/bangsa, status perkawinan, agama, pendidikan, tanggal dan
waktu datang ke Rumah sakit (Hidayat, A.A, 2006)
2. Identitas penanggung jawab: nama, umur jenis kelamin, alamat,
pekerjaan, hubungan dengan klien.
11
3.1.2 Riwayat keperawatan
1. Riwayat keperawatan sekarang
Riwayat keperawatan sekarang adalah faktor-faktor yang
melatarbelakangi atau hal-hal mempengaruhi atau mendahului
keluhan.
2. Keluhan utama
Keluhan utama, apa yang menyebabkan pasien berobat.
3. Lama keluhan
Lama keluhan, seberapa lama pasien merasakan keluhan.
4. Riwayat penyakit saat ini
Riwayat penyakit saat ini, merupakan penyakit yang
dirasakan pasien pada saat dikaji (Hidayat, A.A, 2006).
5. Riwayat keperawatan sebelumnya
Riwayat keperawatan sebelumnya adalah riwayat atau
pengalaman masa lalu tentang kesehatan atau penyakit yang
pernah di alami (Hidayat, A.A, 2006).
6. Riwayat keperawatan keluarga
Riwayat keperawatan keluarga adalah riwayat kesehatan
atau keperawatan yang dimiliki oleh salah satu anggota
keluarga, apakah ada yang menderita penyakit yang seperti
dialami pasien (Hidayat, A.A, 2006).
7. Riwayat lingkungan
Apakah keadaan lingkungan keluarga / klien sudah
memenuhi syarat kesehatan.
3.1.3 Pola-pola fungsi kesehatan (Doegoes, 2000)
1. Aktivitas /Istirahat
2. Integritas Ego
3. Makanan/Cairan
12
4. Nyaman/nyeri
5. Pernapasan
6. Kemanan/Keselamatan
7. Interaksi Sosial
3.2 Diagnosa yang mungkin muncul (Nanda, 2012)
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan
respons manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu
atau kelompok dimana perawat secara akontabilitas dapat mengidentifikasi
dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan
menurunkan, membatasi, mencegah, dan merubah (Nursalam, 2001).
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas
2. Ketidakefektifan pola nafas
3. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan
3.3 Intervensi (Nic Noc, 2006)
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas
a. Tujuan
Jalan nafas efektif, ditandai dengan
b. Kriteria Hasil
1) Stutus jalan napas baik ditandai dengan hasil GDA ( - ).
2) Ventilasi adekuat.
3) Klien tampak rileks.
4) CRT ≤ 2 detik.
5) Tidak ada sianosis.
6) Klien bernapas dengan rileks (tidak ada dispnea).
7) Temuan sinar-x dada pada rentang yang diharapkan.
8) Klien mengeluarkan sekresi secara efektif.
9) Klien mampu mendeskripsikan rencana untuk perawatan di
Rumah.
13
c. Rencana Keperawatan
1) Kaji kondisi umum klien.
R/ untuk mengetahui efek penyakit terhadap bodi sistem.
2) Kaji fungsi pernapasan, bunyi napas, kecepatan, irama dan kedalaman
dan penggunaan otot aksesori.
R/ Penurunan bunyi napas dapat menunjukkan atelektasis.
3) Ajarkan klien tehnik napas dalam dan batuk efektif.
R/ Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan
gerakan ke dalam jalan napas besar untuk dikeluarkan.
4) Ajarkan kepada klien dan keluarga tentang pentingnya perubahan pada
sputum, seperti warna, karakter, jumlah dan bau.
R/ Sangat penting untuk memantau prognosis penyakit klien, sehingga
informasi dari klien dapat mempercepat pemberi asuhan keperawatan
untuk bertindak.
5) Pantau kemampuan untuk mengeluarkan dahak atau batuk efektif dan
catat karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis.
R/ Pengeluaran sulit bila sekret kental, sputum berdarah kental atau
cerah diakibatkan kerusakan (kavitasi) atau lukaan bronchial.
6) Atur posisi semi fowler dan anjurkan klien untuk menggunakan posisi
semi fowler jika merasa tidak nyaman.
R/ Memaksimalkan ekspansi paru.
7) Kolaborasi pemberian suction (oral, dan atau trakeal).
R/ Mencegah obstruksi atau aspirasi, pengisapan dapat diperlukan
apabila pasien tidak mampu mengeluarkan sekret.
8) Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali kontra
indikasi.
R/ Pengeluaran dahak, batuk dan ketidak adekuatan asupan cairan
akan beresioko pada dehidrasi.
9) Kolaborasi dengan ahli lab. Untuk pemantauan GDA.
R/ Untuk mengetahui efek terapi dan keadekuatan pemenuhan gas.
14
2. Ketidakefektifan pola nafas
a. Tujuan
Pasien mampu mempertahankan fungsi paru secara normal
b. Kriteria hasil
Irama, frekuensi dan kedalaman pernafasan dalam batas normal, pada
pemeriksaan sinar X dada tidak ditemukan adanya akumulasi cairan,
bunyi nafas terdengar jelas.
c. Rencana tindakan
1) Identifikasi faktor penyebab.
R/ Dengan mengidentifikasikan penyebab, kita dapat menentukan
jenis effusi pleura sehingga dapat mengambil tindakan yang tepat.
2) Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, laporkan
setiap perubahan yang terjadi.
R/ Dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan kedalaman
pernafasan, kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi
pasien.
3) Baringkan pasien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk,
dengan kepala tempat tidur ditinggikan 60 – 90 derajat.
R/ Penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga
ekspansi paru bisa maksimal.
4) Observasi tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah, RR dan
respon pasien).
R/ Peningkatan RR dan tachcardi merupakan indikasi adanya
penurunan fungsi paru.
5) Lakukan auskultasi suara nafas tiap 2-4 jam.
R/ Auskultasi dapat menentukan kelainan suara nafas pada bagian
paru-paru.
6) Bantu dan ajarkan pasien untuk batuk dan nafas dalam yang
efektif.
R/ Menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau nafas dalam.
Penekanan otot-otot dada serta abdomen membuat batuk lebih
efektif.
15
7) Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O2 dan obat-
obatan serta foto thorax.
R/ Pemberian oksigen dapat menurunkan beban pernafasan dan
mencegah terjadinya sianosis akibat hipoxia. Dengan foto thorax
dapat dimonitor kemajuan dari berkurangnya cairan dan
kembalinya daya kembang paru.
3. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan
a. Tujuan
Kebutuhan nutrisi terpenuhi, ditandai dengan
b. Kriteria hasil
1) Berat badan klien bertahan/bertambah dari keadaan sebelumya
2) Klien menyatakan keinginan mengikuti diet.
3) Klien menunjukkan toleransi terhadap diet yang dinajurkan
4) Nilai laboratoorium (misalnya: transferin, albumin, dan elektrolit)
dalam rentang normal.
5) Klien tampak segar dan tidak lemas.
c. Rencana keperawatan
1) Kaji status nutrisi
R/ Mengetahui kondisi pasti status nutrisi
2) Kaji/catat pola dan pemasukan diet
R/ Kebiasaan makan klien sangat perlu untuk diketahui dalam
rangka penyesuaian dalam pemberian diet.
3) Motivasi klien untuk mengubah kebiasaan makan
R/ Dengan motivasi, diharapkan klien terpacu untuk
meningkatkan asupan makannya.
4) Berikan makanan sedikit tapi sering
R/ Sebagai antisipasi mual muntah yang dialami klien.
5) Berikan makanan dalam kondisi hangat
R/ Makanan yang hangat meningkatkan nadsu makan melalui
rangsangan indra penciuman dan pengecapan.
16
6) Berikan makanan sesuai kesukaan, kecuali jika kontra indikasi.
R/ Membantu meningkatkan asupan makanan.
7) Lakukan perawatan mulut, berikan penyegar mulut.
R/ Kebersihan mulut akan meningkatkan kenyamanan dan
mengguggah naffsu makan.
8) Timbang berat berat badan klien setiap hari.
R/ Sebagai monitor perkembangan status nutrisi dan efek terapi
yang telah diberikan.
9) Kolaborasi pemberian jenis diet dengan team gizi
R/ Masing-masing kondisi penyakit mempunnyai jenis
kebutuhan akan nutrisi yang berbeda-beda.
10) Kolaborasi pemberian terapi tambahan nutrici dan cairan
R/ Meningkatkan asupan kebutuhan cairan.
11) Kolaborasi pemantauan hasil biokimia status gizi dengan team
laboratorium
R/ Mengetahui perkembangan kebutuha gizi dari segi biokimia.
12) Kolaborasi pemberikan obat sesuai indikasi : sediaan besi;
Kalsium; Vitamin D dan B kompleks; Antiemetik
R/ Penanganan penyebab gangguan nutrisi bermanfaat untuk
mengatasi/membatasi masalah yang muncul akibat kekurangan
asupan nutrisi.
3.4 Implementasi
Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai
tujuan yang spesifik (Nursalam, 2001).
3.5 Evaluasi
Hal hal yang perlu dievaluasi dalam pemberian asuhan keperawatan
berfokus pada criteria hasil dari tiap-tiap masalah keperawatan dengan
pedoman pembuatan SOAP, atau SOAPIE pada masalah yang tidak
terselesaikan atau teratasi sebagian.
17
DAFTAR PUSTAKA
Apriyaningsih. (2008). Indicator perbaikan kesehatan lingkungan anak. EGC: Jakarta.
Depkes RI. (2004). Etiologi ISPA dan Pneumonia. Direktorat bina kesehatan anak kemenkes RI : Jakarta
Doenges, Marilyn E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. EGC : Jakarta.
Herdman, TH. (2012). NANDA International Diagnosa Keperawatan. EGC : Jakarta.
Hidayat, A.A. (2006). Kebutuhan dasar manusia 1. salemba medika: Jakarta
Nursalam. (2001). Proses & dokumentasi keperawatan. salemba medika: Jakarta
Santosa, Budi. (2005). Panduan Dignosa Keperawatan Nanda 2005-2006. Prima Medika : Jakarta.
WHO (2008). Pencegahan dan pengendalian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang cenderung menjadi epidemi dan pandemi di fasilitas pelayanan kesehatan. WHO : Jenewa
Wilkinson, judith M. (2006). Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. EGC : Jakarta