www.jeratpapua.org
TOP NEWS
JALAN TERJAL MENUJU DIALOG JAKARTA - PAPUA
MENCARI HUTAN SENEGI
WAROPEN; RISET PERIJINAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN LAHAN
SUKU MOMUNA, BUTUH LEMBAGA ADAT
SAYA BERJUANG DAN MATI UNTUK MEREKA
EDISI III
EDISI III
J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I I I A P R I L 2 0 1 4 P I L I H A N R E D A K S I H A L . 2
S.MANUFANDU
Sekretaris Eksekutif
DESSY ITAAR
Manager Office
ENI RUSMAWATI
Manager Keuangan
ASMIRAH
Keuangan
WIRYA.S
Manager PSDA & EKOSOB
SABATA.RUMADAS
PSDA & EKOSOB
E. DIMARA
Manager PPM
ESRA MANDOSIR
Manager JKL
ANDRIO. NGAMEL
Unit Studio
MARKUS IMBIRI
Unit DIP
JERRY OMONA
Unit DIP
JARINGAN KERJA RAKYAT
www.jeratpapua.org Jalan Terjal Menuju
Dialog Jakarta - Papua
Mencari Hutan Senegi
Waropen : Riset Periji-
nan, Pemanfaatan Hu-
tan dan Lahan
Suku Momuna Butuh
Lembaga Adat
Yang Unik Dari Suku
Asmat
Meninjau Hak Masyara-
kat Adat
Saya Berjuang dan Mati
Untuk Mereka
Taman Nasional Wasur,
Serengeti Papua
Kuliner Waropen, : Ikan
Namu dan Udang Asar
Mengenal Tradisi Bakar
Batu di Papua
S udah sejak 2010, ide dan upaya realisasi „dialog Jakarta-Papua‟ diwacanakan. Namun, hingga kini, dialog yang dianggap sebagai jalan
terbaik mengakhiri kekerasan dan mem-bangun kepercayaan antara pemerintah pusat dan warga Papua, belum juga ter-wujud. Melihat mandegnya hal ini, sebuah buku berjudul, “Angkat Pena Demi Dialog Papua”, yang ditulis para akademisi, aktivis dan tokoh agama, menggemakan lagi tuntutan yang sama: segera lakukan dialog ! Mientje Roembiak seperti dirilis ucanews.com, salah satu penulis buku ter-sebut mengatakan, dialog adalah hal mendesak, mengingat, kekerasan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari warga Papua sejak bergabung bersama Indonesia tahun 1969. Josie Susilo Hardianto, wartawan senior Indonesia, yang beberapa tahun terakhir bekerja di Papua, menggam-barkan ironi situasi di Papua dalam buku ini. Mengutip Amandus Giay, seorang tua adat dari kampung Bo-momani di Dogiyai, Josie menulis, warga Papua mengalami kehadiran pemerintah lewat aparat keamanan, entah itu polisi atau tentara. “Mereka dengan mudah ditemui hingga di berbagai pelosok wilayah Papua, ber-seragam atau tidak. Sementara itu, dokter, perawat, guru, pejabat kecamatan hingga bupati justru lebih sulit ditemukan,” tulis Hardianto.
Laporan sejumlah lembaga HAM yang tergabung dalam Human Rights and Peace for Papua juga menunjukkan bahwa antara Ok-tober 2011 dan Maret 2013, telah terjadi peningkatan eskalasi kekerasan, dimana pelakunya yang merupakan polisi dan militer dalam banyak kasus, tidak mau bertanggung jawab. Bentuk kekerasan ini berupa pembunu-han, penyiksaan dan penangka-pan sewenang-wenang, dengan korban warga sipil, jurnalis, juga aktivis HAM. Tahun 2011, Presiden SBY pernah menyampaikan pern-
yataan untuk membangun Papua dengan hati, termasuk mengusulkan wacana komunikasi konstruktif. Faktan-ya hingga kini, Jakarta tidak pernah mengambil langkah yang jelas untuk memasuki proses dialog dan terlihat terus menaruh curiga bahwa dialog hanya akan menjadi jalan bagi pemisahan Papua dari Indonesia. Brigjen TNI Sumardi, Sekertaris Desk Papua Kementerian Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) misalnya, mengatakan, pemerintah menolak istilah dialog Jakarta-Papua. “Tidak ada istilah dialog Jakarta-Papua,” tegasnya. Meski demikian, ia menolak tuduhan bahwa Jakarta tidak bersedia menggelar dialog dengan orang Papua. Selama ini, katanya, dialog sudah berjalan. “Dialog yang dimaksud adalah dialog interaktif yang bertujuan membicarakan pembangunan Papua ke depan,” ujarnya.
Foto : www.aldp-papua.com
Foto : Istimenwa
EDISI III
J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I I I A P R I L 2 0 1 4 P I L I H A N R E D A K S I H A L . 3
JARINGAN KERJA RAKYAT JARINGAN KERJA RAKYAT
www.jeratpapua.org
P ihak Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang kini masih bergerilya di hutan tam-paknya juga masih tegas menolak dia-log ini. Lambert Pekikir, koordinator
OPM di perbatasan Papua dan Papua Nugini mengatakan, dialog hanya membuang-buang waktu. Menurut dia, dalam konsep OPM, bukan dialog yang utama, namun sebuah perundingan dengan di dalamnya hadir pemerintah Indonesia, Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta negara-negara anggota PBB. “Di sini Resolusi PBB No. 2504 yang dikeluarkan Majelis Umum PBB tang-gal 19 November 1969 harus diubah. Bahwa Pe-pera dulu tidak sah, cacat hukum, dan manipulasi sejarah, itu fakta,” ucapnya. Viktor Yeimo, pimpinan Komite Nasional Papua Barat, menegaskan dialog bukan jalan keluar menuju Papua yang adil dan sejahtera. “KNPB tetap pada prinsip referendum, bukan dialog.” Ia mengatakan, sejarah mencatat Penentuan Pendapat Rakyat di Papua tidak dilakukan sebagaimana mestinya. “Ada kesalahan, referendum menjadi jalan keluar ke mana nanti Papua, bukan dialog,” ungkapnya lagi. Pepera 1969 dilaksanakan sebagai bagian dari perjanjian New York. Pepera digelar dalam tiga tahap. Pertama dilangsungkan konsultasi dengan dewan ka-bupaten di Jayapura mengenai tata cara penyelenggaraan Pepera. Kedua, pem-ilihan Dewan Musyawarah Pepera dan ketiga, pelaksanaan Pepera dari Merauke hingga Jayapura. Hasil Pepera ketika itu menunjukkan warga Papua menghendaki bergabung dengan NKRI. Hasil Pepera kemudian dibawa ke sidang umum PBB dan disetu-jui pada tanggal 19 November 1969. Sementara itu, Cypri Jehan Paju Dale, peneliti isu-isu pembangunan, HAM dan gerakan sosial yang pada 2012 menulis buku „Paradoks Papua‟ bersama Romo John Djonga, imam aktivis Papua, mengingatkan semua pihak agar tidak terlena menanti realisasi dialog. Menurutnya, memang dialog itu penting dan perlu segera dilakukan. Namun kata dia, ada banyak sekali agenda konkret dan mendesak yang menjadi tanggung jawab bersama pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, LSM serta lembaga-lembaga agama. “Apakah (kita perlu) menunggu dulu dialog baru dapat memen-uhi hak-hak orang Papua di pedalaman, akan guru dan sekolah berkualitas, dok-ter-dokter dan rumah sakit? Apakah tunggu dulu dialog untuk bisa memberhenti-kan kebrutalan militer?” kata Cypri. Bagi alumnus Institute of Social Studies, Erasmus University, Belanda ini, hal yang urgen adalah kebijakan pembangunan yang tepat, komprehensif dan benar-benar adil bagi orang Papua. “Contohnya, guru dan sekolah-sekolah berkualitas untuk orang Papua di pedalaman. Dokter dan pelayanan kesehatan yang prima. Hentikan pembabatan hutan dan pencaplokan tanah, karena itu lumbung pangan orang Papua”. Ditempat terpisah, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia Djoko Suyanto mengatakan, dialog Papua akan melibatkan Organisasi Papua Merdeka dan mereka yang tinggal di pedalaman. Dialog untuk menyatukan pan-
dangan mewujudkan Papua yang adil dan sejahtera. Ia mengatakan perlu ada mekanisme untuk berdialog. Dialog tidak harus formal. “Dialog harus ada satu kesamaan pan-dangan, format dialog itu juga seperti apa, dialog itu bukan da-lam bentuk besar-besar, tapi penting ada komunikasi kon-struktif,” tukasnya. Djoko menuturkan, kerap dialog sulit diwujudkan karena be-ragamnya suku dan segmentasi di Papua. “Kalau mau mengumpulkan segmentasi masyarakat, itu juga tidak mudah, sehingga di sini perlu adanya agenda.” Direktur Eksekutif The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial) Poengky Indarti menegaskan, menjadi PR bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera memper-siapkan dialog antara Jakarta dan Papua. Win-Win Solution Dialog Jakarta Papua merupakan salah satu solusi bagi penyelesaian persoalan di Bumi Cenderawasih. “Ini merupakan win win solution, seperti dulu ketika kita menerima otonomi khu-sus, meski dalam banyak hal, otsus lebih menguntungkan Ja-karta,” kata Beatus Tambaip, pembicara dalam peluncuran bu-ku „Angkat Pena demi Dialog Papua‟ di Aula Sekolah Tinggi Fajar Timur, Abepura, tahun lalu. Baginya, Dialog Jakarta Pa-pua sebagai langkah menyampaikan aspirasi secara bermarta-bat. Anum Siregar, Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua menam-bahkan, dialog menjadi alternatif dari banyak solusi yang dita-warkan bagi Papua. “Dan semua itu sudah dikerjakan, kita tidak lihat hasilnya, dialog hadir memberi peluang untuk Papua mengemukakan keinginannya,” kata Anum. Peluncuran buku itu dihadiri puluhan aktivis dengan sejumlah penanggap dan pembicara. Buku „Angkat Pena demi Dialog Papua‟ sebelumnya diluncurkan di Jogjakarta dibuka Gubernur
Foto : Jerry Omona
EDISI III
J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I I I A P R I L 2 0 1 4 C E R I T A D A R I K A M P U N G H A L . 4 J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I I I A P R I L 2 0 1 4 C E R I T A D A R I K A M P U N G H A L . 5
DIY Sri Sultan HB X. Sultan sekaligus menjadi pembicara dalam diskusi di Ge-dung Teatrikal Dakwah, UIN Sunan Kalija-ga. Buku ini merupakan kumpulan opini tentang dialog Jakarta – Papua selama kurun tahun 2001 – 2011. Sri Sultan optimis, sekelumit permasala-han di Papua harus dilaksanakan melalui paradigma baru komunikasi dialogis. Dia-log, menurutnya bukan semata – mata NKRI, atau bahkan Papua merdeka. Melainkan, kerelaan untuk mau duduk bersama dan setara membicarakan semua permasalahan. “Komunikasi antara Papua dan Jakarta, merupakan rekomendasi yang paling mungkin untuk menyelesaikan masa-lah – masalah non fisik,” katanya ketika itu. (JERAT/dari berbagai sumber)
S ebundel berkas terlihat kusut berserak diatas meja. Lembaran-lembaran penuh coretan itu telah berusia tiga tahun. “Sebagian lainnya sudah hilang,” kata
Ernest Kaize, Kepala Kampung Senegi, Distrik Anim Ha, Merauke. Sembari mengapit rokok gulung, ia merapikan satu demi satu kertas terpisah. Surat itu menjadi bukti ketika perusahaan pertama kali menginjakkan kaki di Bumi Anim Ha. Proyek raksasa didorong hingga meludeskan tanah ulayat Kampung Senegi. Sepanjang dua tahun terakhir, Ernest orang yang paling getol menolak investasi di lahan adat Malind Anim. Kini, dengan daya tersisa, ia hanya bisa memandang bagaimana pohon di dusunnya roboh oleh mesin besar. Kampung Senegi dikuasai oleh perusahaan swasta nasional, PT Medcopapua Industri Lestari, milik Arifin Panigoro. Medco menguasai hampir sebagian Merauke dalam proyek yang disebut Merauke Integrated Food and Energy Estate. Proyek ini beroperasi di Kota Rusa di wilayah kurang lebih 1.6 juta hektar Lokasi MIFEE merupakan tempat tumbuhnya kayu alam, binatang dan sumber makanan bagi suku setempat. Kabupaten Merauke sendiri memiliki luas 4,7 juta hektar dengan 95,3 persen terdiri dari kawasan hutan. Awalnya, konsep MIFEE merupakan usaha korporasi yang juga menaungi petani lokal. Lahan satu juta hektar dimanfaatkan dalam lima kluster. Tiap kluster sekitar 200 ribu ha terdiri dari 40 subkluster. Kurang lebih 8.000 hingga 10.000 hektar lahan disiapkan untuk pertanian beras. Sementara 30.000 hektar lainnya untuk pertanian Tebu. Pengem-bangan kawasan pangan dalam skala luas ini diperkirakan menelan inves-tasi sekitar Rp 50 hingga Rp 60 triliun. “Kalau lahan ini semua dipakai, ka-
mi sudah tidak bisa mencari makan, saya tidak tahu bagaimana na-sib anak cucu saya nanti,” katanya lagi. Di Senegi, kampung kecil, empat jam jauhnya dari Kota Merauke, PT Selaras Inti Semesta, anak Medco, beroperasi. Perusahaan yang bergerak dibidang Hutan Tanaman Industri itu memulai geraknya sejak 15 Februari 2010 di lahan seluas 301.600 hektar. PT SIS akan berada di Senegi hingga 60 tahun ke depan sebagaimana diatur dalam keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.18/Menhut-II/2009. Kampung Senegi berada dalam kawasan konsensi. Sebelum me-masuki kampung tersebut, pengunjung harus melewati pos jaga milik Selaras Inti Semesta. Dua satpam berjaga berseragam biru. Dari kejauhan, mesin pemotong dan pembersih meraung-raung. Beberapa alat berat menggusur pepohonan untuk membuka jalan.
Ya Tuhan,
Pertama, ilhami Presiden SBY agar menunjuk utusan
khusus yang tepat dan amanah untuk memulai tahap
pra-dialog antara Jakarta dan Papua
Kedua, berkati para pemimpin Papua di berbagai belahan
bumi agar semakin bersatu, memilih wakilnya dengan ikhlas,
dan bersungguh-sungguh mempersiapkan dialog dengan
pemerintah pusat
Ketiga, berikan kami JDP dan semua pekerja perdamaian
Papua kekuatan agar dapat terus membangun jembatan yang
menghubungkan Jakarta dan Papua hingga terbangun
kesungguhan bagi kedua belah pihak untuk berdialog .
Almarhum . Dr. Muridan Satrio Widjojo M.Si
Almarhum . Dr. Muridan Satrio Widjojo M.Si
Foto : JERAT PAPUA/JO
JARINGAN KERJA RAKYAT
www.jeratpapua.org
EDISI III
J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I I I A P R I L 2 0 1 4 C E R I T A D A R I K A M P U N G H A L . 4 J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I I I A P R I L 2 0 1 4 C E R I T A D A R I K A M P U N G H A L . 5
Ernest mengatakan, warga kampung telah dibohongi. Mereka dibayar hanya dengan 300 juta, sementara perusahaan „menginvasi‟ lebih dari 300 hektar lahan. Uang yang diterima dibagi rata per keluarga 3 juta rupiah. Jumlah jiwa di Senegi sekitar 546. Jumlah Kepala Keluarga, 110. “Uang itu kami anggap sebagai ketuk pintu, bukan kontrak, tapi perusahaan menganggap itu sebagai pelunasan, kami tidak mengerti,” katanya dengan nada tinggi. Awalnya, kata dia, pemilik tanah meminta dibayar Rp 2 miliar. Namun melorot menjadi 300 juta. Saat transaksi, wakil pemerintah dan kepala distrik ikut hadir. Selain dana tersebut, pemilik tanah juga mendapat kompensasi dari kayu yang ditebang, per kubik Rp 2000. Sayang, perusahaan tak ja-rang memanipulasi harga kayu. “Kita minta 10 ribu, tapi perusahaan maunya hanya dua ribu,” kata Bonafasius, bekas Kepala Kampung. Kompensasi dibayar per tiga bulan kepada marga pemilik tanah. Tiap marga memperoleh angka berbeda, tergantung hasil atau jumlah kayu yang ditebang di dusun mereka. Bona menilai, masuknya investasi tak berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Mereka masih tetap miskin dan berharap dari hasil hutan. “Perusahaan tidak bawa keuntungan, kami tidak tahu untungnya dimana.” Sebelum PT Selaras Inti Semesta memulai proyek raksasa, dilakukan pertemuan dengan warga Senegi. Awalnya adalah sosialisasi pada tahun 2008. Selanjutnya ada lagi sejumlah pertemuan tapi kadang tid-ak menemui kata sepakat. “Dalam tiap kesempatan, perusahaan ber-janji akan membangun sarana umum, mereka juga berjanji akan me-nyekolahkan anak kami menjadi pintar, tapi itu bohong,” kata Bona. Suatu ketika, mantan Bupati Merauke, Johanes Gluba Gebze pernah mengumpulkan warga pemilik tanah di rumah adat Kampung Senegi. “Kami diajak supaya mau menerima perusahaan, dia (Gluba Gebze) katanya sebagai jaminan kita bisa hidup baik, nyatanya tidak terbukti,” kata Ernest Kaize. Linus Gebze, ketua adat Senegi menuturkan, presentase Medco di bulan April tahun 2008, tampaknya pula tak berujung baik. PT SIS memberikan segudang janji namun enggan merealisasikannya. Misal-
nya akan dibangun sekolah, pusat pelayanan kesehatan, termasuk mendirikan pabrik penyulin-gan minyak kayu putih. “Kami masih punya sedikit rawa untuk mencari ikan, masih ada beberapa dusun sagu untuk bertahan,” katanya melanjut-kan. Kampung Senegi memiliki luas 100 hektar persegi. Profesi warga rata-rata petani dan pem-buru. Bila lagi rehat, mereka berkumpul dan menghabiskan waktu dibawah pohon. Saat makan tiba, seorang dari para wanita akan me-masak dengan lauk seadanya. Di waktu tertentu, ada makan besar jika seorang pemuda pulang dengan hasil buruan berlimpah. Kehidupan warga Senegi begitu seder-hana. Para Tetua yang tidak bekerja, memanfaatkan waktu menghisap tembakau. Kampung asri penuh dengan pepohonan itu aman dan jauh dari perselisihan besar.
(Jerry Omona/Bersambung)
“” Kami diajak
supaya mau
menerima pe-
rusahaan, se-
bagai jaminan
kita bisa hidup
baik, nyatanya
tidak terbukti, “
Foto : JERAT PAPUA/JO
Foto : JERAT PAPUA/JO
Foto : JERAT PAPUA/JO
JARINGAN KERJA RAKYAT JARINGAN KERJA RAKYAT
www.jeratpapua.org EDISI III
K abupaten Waropen beribukota di Botawa. Motto Waro-pen: NDI SOWOSIO NDI KARAKO yang artinya “Bersatu untuk Maju/Lebih Baik”. Kabupaten Waropen memiliki 11 distrik (kecamatan) dan 110 kampung.
Jumlah penduduknya 24.639 jiwa. Terdiri dari 13.137 laki-laki dan 11.502 perempuan. Kabupaten ini berada di wilayah pesisir yang memiliki potensi hutan bakau, hutan primer dan potensi kelautan serta perikanan. Menurut istilahnya, Waropen berhubungan erat dengan kata Oro-pong yang mula-mula dipakai oleh Jacob Weyland (tahun 1705). Sedangkan kata Waropen menurut penduduk asli artinya orang yang berasal dari pedalaman; dari Gunung Tonater Wamusopedai.
Apabila dihubungkan dengan mite-mite yang hidup di masyarakat adat, orang Waropen adalah mereka yang bermigrasi ke pantai aki-bat adanya air ampuhan, dan selanjutnya me-nyebar ke Ambumi, Roon di Kabupaten Nabi-re, Manokwari bagian barat, Waropen Ronari bagian timur dan pesisir Waropen Kai. Dikaji dari perspektif sejarah sosial budaya, Held (tahun 1974), membagi wilayah Waro-pen atas 3 wilayah hukum adat berdasarkan perbedaan penggunaan bahasa yaitu Wilayah
Waropen Ambumi, Wilayah Waropen Kai dan Wilayah Waropen Ronari. Masyarakat Hukum Adat Waropen Ambumi terbagi lagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok yang masuk ke Wilayah Kabu-paten Nabire yang mendiami kampung-kampung Napan, Wenami, Masipawa, Makimi, Moor, Mambor dan Ambumi, serta kelompok yang masuk Wilayah Kabupaten Wondama dan mendiami kam-pung-kampung Yendeman, Syabes, War, Kayob dan Menarbu. Wilayah Adat Waropen Kai, terdiri dari masyarakat yang mendiami pesisir di wilayah Paradoi, Sanggei, Nubuai, Mambui di Distrik Urei Faisei; Kampung Koweda Distrik Masirei; dan Kampung Waren. Selanjutnya, Distrik Waropen Bawah terdiri atas, Kampung Wapo-ga Distrik Wapoga dan di wilayah pedalaman seperti Barapasi, Sosora, Sorabi, Kerema, Tamakuri, Teba, Janke dan Baitanisa, yakni penduduk yang mendiami daerah pedalaman Waropen sebe-lah Timur sampai Pegunungan Van Ress.
Perijinan Pemanfaatan Lahan dan Hutan di Kabupaten Waropen
Kabupaten Waropen memiliki potensi hutan dengan hamparan hu-tan primer, mangrove serta hutan rawa yang menjadi incaran para investor, baik dalam dan luar negeri. Dari data yang diperoleh, pada tahun 2003, jumlah luas tutupan lahan berdasarkan penafsiran citra satelit landsat di Waropen seluas 1.407.644 Ha. Pada tahun 2006, luas penutupan lahan ini
Tim Riset :
Markus Imbiri
Jhon Imbiri
Wirya Supriyadi
J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I I I A P R I L 2 0 1 4 A K T I F I T A S H A L . 6 J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I I I A P R I L 2 0 1 4 A K T I F I T A S H A L . 7
menjadi 488.708 Ha, dan berubah lagi menjadi 536.216 Ha pada 2009. Hal ini disebabkan oleh adanya pemekaran Kabu-paten Mamberamo Raya, atau terdapat 3 distrik seperti Distrik Benuki, Sawai, dan Waropen Atas yang menjadi bagian dari Kabupaten Mamberamo Raya. Artinya bahwa jumlah luasan 3 distrik tersebut berpengaruh signifikan terhadap luasan tutupan lahan di Kabupaten Waropen. Sementara Luas Kawasan Hutan dan Perairan Berdasarkan RTRW di Kabupaten Waropen, Tahun 2010 sampai 2030 yang diolah dari Dokumen Statistik Kehutanan Propinsi Pa-pua, berdasarkan fungsinya seluas 560.213 Ha, terdiri dari hutan lindung, hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, hutan produksi konversi dan Areal penggunaan lain. Selanjutnya, berdasarkan data perkembangan Izin Usaha Pemanfaaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) di Kabupaten Waropen hingga Tahun 2011, tercatat terdapat 5 perusahaan yang pernah terdata sesuai Dokumen Statistik Kehutanan Propinsi Papua, 2012 dan Dinas Kehutanan Kabupaten Waro-pen, 2010. Diantaranya PT. Wapoga Mutiara Timber Unit III (PT.WMT) yang memulai aktivitasnya sejak tahun 2008 di Kabupaten Waropen, Paniai dan Mamberamo Raya dengan luas konsesi 407.350 Ha, serta PT. WMT yang telah beroperasi sejak tahun 1997 dan stagnan pada tahun 2008. Lalu ada tiga perusahaan yang ijinnya dicabut oleh Menteri Kehutanan sejak tahun 2002, yakni PT. Persada Papua Hijau, PT. Sauri Mowari Rimba I dan PT Sauri Mowari Rimba II. Ketiga perusahaan ini beroperasi di Kabupaten Nabire dan Waropen. Sementara PT. Irmasulindo belum beroperasi wa-lau ijinnya telah terbit sejak tahun 2001 lantaran masih harus mengurus Rencana Kerja Usaha (RKU) berbasis Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB).
Laju deforestasi dan degradasi kawasan hutan, berdasarkan data Lab. GIS BPKH X Jayapura untuk Kabupaten Waropen antara tahun 2003-2006 seluas 12,12 Ha. Pada tahun 2006-2009, laju deforestasi meningkat menjadi 39.535 Ha. Naiknya angka ini berkaitan dengan pinjam pakai kawasan untuk aktivitas pem-bangunan, dan juga aktivitas penebangan hutan yang dilakukan oleh PT. WMT Unit III sebelum mengalami stagnasi pada tahun 2008. Berikutnya, berdasarkan data Bidang Program dan Perencanaan Kehutanan, 2011, ada terdapat 2 (dua) unit Kesatuan Pengel-olaan Hutan Produksi (KPHP) dengan areal kerja meliputi Kabu-paten Waropen, Paniai, Nabire dan Mamberamo Raya. Total luas wilayah kerja KPHP hingga tahun 2011 adalah 910.661 Ha, terdiri dari Hutan Lindung 306.970 Ha, Hutan Produksi 585.207 Ha dan Hutan Produksi terbatas 18.484 Ha. JERAT juga memperoleh data bahwa pinjam pakai kawasan un-tuk kepentingan pembangunan di Kabupaten Waropen pada ta-hun 2006 hingga 2011 adalah seluas 9.341,80 Ha. Pinjam pakai kawasan tersebut, diperuntukan untuk membangun infrastuktur Kabupaten Waropen, yang pada saat itu dimekarkan dari Kabu-paten Yapen, dan untuk pencanangan program transmigrasi pada
EDISI III JARINGAN KERJA RAKYAT
www.jeratpapua.org JARINGAN KERJA RAKYAT EDISI III
J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I I I A P R I L 2 0 1 4 A K T I F I T A S H A L . 7
Laju deforestasi dan degradasi kawasan hutan, berdasarkan data Lab. GIS BPKH X Jayapura untuk Kabupaten Waropen antara tahun 2003-2006 seluas 12,12 Ha. Pada tahun 2006-2009, laju deforestasi meningkat menjadi 39.535 Ha. Naiknya angka ini berkaitan dengan pinjam pakai kawasan untuk aktivitas pem-bangunan, dan juga aktivitas penebangan hutan yang dilakukan oleh PT. WMT Unit III sebelum mengalami stagnasi pada tahun 2008. Berikutnya, berdasarkan data Bidang Program dan Perencanaan Kehutanan, 2011, ada terdapat 2 (dua) unit Kesatuan Pengel-olaan Hutan Produksi (KPHP) dengan areal kerja meliputi Kabu-paten Waropen, Paniai, Nabire dan Mamberamo Raya. Total luas wilayah kerja KPHP hingga tahun 2011 adalah 910.661 Ha, terdiri dari Hutan Lindung 306.970 Ha, Hutan Produksi 585.207 Ha dan Hutan Produksi terbatas 18.484 Ha. JERAT juga memperoleh data bahwa pinjam pakai kawasan un-tuk kepentingan pembangunan di Kabupaten Waropen pada ta-hun 2006 hingga 2011 adalah seluas 9.341,80 Ha. Pinjam pakai kawasan tersebut, diperuntukan untuk membangun infrastuktur Kabupaten Waropen, yang pada saat itu dimekarkan dari Kabu-paten Yapen, dan untuk pencanangan program transmigrasi pada
tahun 1996 seluas 4.223 Ha. Kawasan transmigrasi tersebut berlo-kasi di Soimiangga sesuai dengan SK Pelepasan 291/Kpts – II/1996 tanggal 14 Juni 1996. Dimana pelepasan kawasan ini, terjadi sebelum Waropen dimekarkan menjadi wilayah administrasi pemerintahan baru. Pandangan Masyarakat Adat Terhadap Tanah dan Hutan Hutan merupakan tempat implementasi nilai-nilai adat dan sumber kehidupan masyarakat adat secara turun temurun. Praktisnya, dapat dikatakan bahwa hutan merupakan tempat memperoleh berbagai kebutuhan gizi dan nutrisi (protein hewani dan Nabati), air bersih dan sumber obat-obatan serta aksesoris kebudayaan. Sebagai implementasi nilai-nilai dan sistem adat, hutan merupa-kan manisfestasi antara manusia dengan alamnya yang lestari. Pada prakteknya, hutan dipercaya memiliki tempat-tempat sakral yang mengandung mitologi asal usul manusia. Tempat-tempat ini biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat adat sebagai areal untuk inisiasi adat, penyembuhan dan ketenangan batin.
(Tim Riset JERAT, 2013)
EDISI III JARINGAN KERJA RAKYAT
www.jeratpapua.org EDISI III
J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I I I A P R I L 2 0 1 4 A K T I F I T A S H A L . 8
M embangun kesadaran dan pengenalan akan ma-
salah yang sedang dihadapi masyarakat merupa-
kan pekerjaan yang sangat penting untuk dil-
akukan oleh lembaga-lembaga yang bekerja un-
tuk dan bersama masyarakat. Hal ini merupakan dasar utama
dalam penguatan dan pemberdayaan rakyat dalam mem-
bangun kemandirian. Hal ini dapat dijadikan modal dasar ana-
lisis dalam menyusun agenda-agenda penyelesaian masalah
yang sedang dihadapi dan dasar untuk pengambil kebijakan
dalam upaya penyusunan program yang sesuai dengan kebu-
tuhan masyarakat yang berbasis realitas kehidupan.
Kegiatan Pelatihan Pengorganisasian Masyarakat Adat di ber-
tempat Gereja GIDI Anugerah, pada tanggal 26-29 Maret 2014
di Dekai, Kabupaten Yahukimo. Dimana peserta dari 10 kam-
pung yang diundang 40 orang tetapi berkembang menjadi 150
orang, baik laki-laki, perempuan bahkan anak-anak. Dengan
antusias mengikuti kegiatan pelatihan umum yang berlangsung
selama 4 hari yang difasilitasi oleh Septer Manufandu dan asis-
ten fasilitator Wirya Supriyadi serta Esra Mandosir. Kegiatan
yang dilaksanakan selain memberikan informasi juga terdapat
proses diskusi dan pemutaran film serta kunjungan lapangan
ke Kampung Sokamu dan Kokamu.
Dalam kegiatan pelatihan ini terungkap bahwa masyarakat
adat Suku Moumuna selama ini tidak mendapatkan pendamp-
ingan dan pemberdayaan yang memadai serta tidak mempu-
nyai lembaga adat yang representative mewakili komunitas
adat mereka. “Kami baru mendapatkan pelatihan dan penge-
tahuan seperti ini, karena belum ada lembaga yang membuat
pelatihan untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan
kita” ucap Berthol Kubu salah peserta pelatihan dan juga tokoh
pemuda suku moumuna. Bagi dirinya hal ini merupakan se-
buah langkah yang baik, karena saat ini kondisi Suku Moumuna pada persim-
pangan jalan untuk kedepannya. Dengan adanya pelatihan ini menambah infor-
masi bagi masyarakat Moumuna. Karena harus diakui bahwa Suku Moumuna
membutuhkan banyak informasi dan pemberdayaan dalam upaya peningkatan
pengetahuan dan keterampilan untuk kehidupan mereka dan menjaga kelestari-
an lingkungan hidup.Hal senada disampaikan oleh Gembala Gereja Anugerah
Ayub Keikye bahwa mereka sangat terbantu dengan adanya pelatihan ataupun
sosialisasi mengenai hak-hak masyarakat adat. “Kami lihat bahwa kegiatan pa-
da hari ini sangat membantu masyarakat. Apalagi saat ini kami tidak punya lem-
baga adat” ujar Ayub Keikye. Sehingga kedepannya JERAT Papua dapat mem-
fasilitasi pendirian lembaga adat. Ditengarai karena tidaknya lembaga adat yang
mempersatukan masyarakat adat, sehingga proses pembangunan yang diduga
tidak melibatkan masyarakat Suku Moumuna seperti proses pelepasan hak
ulayat tanah seluas 7×8 Km, tidak adanya promosi kesehatan lingkungan, pent-
ingnya pendidikan dan pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat Moumuna.
Sementara Sekretaris Eksekutif JERAT mengatakan bahwa JERAT Papua siap
membantu dan memfasilitatsi proses pembentukan lembaga adat suku Mou-
muna. Harus diingat adalah Lembaga Adat sebagai payung untuk menyuarakan
aspirasi Masyarakat Adat. “Menjadi corong komunikasi masyarakat adat Mou-
muna” ujar Septer Manufandu dihadapan ratusan orang Suku Moumuna. Dit-
ambahkannya kalau mau dibentuk itu jauh lebih baik karena dirinya bersama
teman-teman bisa membantu memfasilitasinya. Lembaga adat inilah yang akan
selalu berdiri didepan atas nama masyarakat adat, berbicara untuk masalah-
masalah yang dihadapi oleh masyarakat adat Moumuna seperti Hak atas
kesehatan, pendidikan, perumahan, dan hak atas tanah dan sumber daya alam
serta aspirasi lainnya.
(JERAT- Wirya)
“Kami lihat bahwa
kegiatan pada hari ini
sangat membantu
masyarakat. Apalagi
saat ini kami tidak pu-
nya lembaga adat”
ujar Ayub Keikye
Foto : JERAT PAPUA
JARINGAN KERJA RAKYAT
www.jeratpapua.org JARINGAN KERJA RAKYAT EDISI III
J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I I I A P R I L 2 0 1 4 A K T I F I T A S H A L . 8 J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I I I A P R I L 2 0 1 4 P O J O K I N F O R M A S I H A L . 9
S imbolisasi perempuan dengan flora dan fauna, menunjukkan bagaimana sesungguhnya masyarakat Asmat menempatkan per-empuan begitu sangat berharga. Hal ini tersirat juga dalam berbagai seni ukiran dan pahatan mereka.
Dalam hal kepercayaan, orang Asmat yakin bahwa mereka adalah ke-turunan dewa yang turun dari dunia gaib yang berada di seberang laut di belakang ufuk, tempat matahari terbenam tiap hari. Menurut keyakinan orang Asmat, dewa nenek-moyang itu dulu mendarat di bumi di suatu tem-pat yang jauh di pegunungan. Dalam perjalanannya, turun ke hilir sampai ia tiba di tempat yang kini didiami oleh orang Asmat hilir. Dalam mitologi orang Asmat yang berdiam di Teluk Flaminggo misalnya, dewa itu namanya Fumeripitsy. Ketika ia berjalan dari hulu sungai ke arah laut, ia diserang oleh seekor buaya raksasa. Perahu lesung yang di-tumpanginya tenggelam. Dalam perkelahian sengit yang terjadi, ia dapat membunuh si buaya, tetapi ia sendiri luka parah. Ia terbawa arus yang mendamparkannya di tepi sungai Asewetsy, desa Syuru sekarang. Untung ada seekor burung Flamingo yang merawatnya sampai ia sembuh kembali; kemudian ia membangun rumah Yew dan mengukir dua patung yang sangat indah serta membuat sebuah genderang Em, yang sangat kuat bunyinya. Setelah ia selesai, ia mulai menari terus-menerus tanpa henti, dan kekuatan sakti yang keluar dari gerakannya itu memberi hidup pada kedua patung yang diukirnya. Tak lama kemudian mulailah patung-patung itu bergerak dan menari, dan mereka kemudian menjadi pasangan manusia yang pertama, yaitu nenek-moyang orang Asmat. Upacara Adat Orang Asmat tidak mengenal mengubur mayat orang yang telah mening-gal. Bagi mereka, kematian bukan hal yang alamiah. Bila seseorang tidak mati dibunuh, maka mereka percaya bahwa orang tersebut mati karena suatu sihir hitam yang kena padanya. Bayi yang baru lahir yang kemudian mati pun dianggap hal yang biasa dan mereka tidak terlalu sedih karena mereka percaya bahwa roh bayi itu ingin segera ke alam roh-roh. Se-baliknya kematian orang dewasa mendatangkan duka cita yang amat men-dalam bagi masyarakat Asmat. Suku Asmat percaya bahwa kematian yang datang kecuali pada usia yang terlalu tua atau terlalu muda, adalah disebabkan oleh tindakan jahat, baik dari kekuatan magis atau tindakan kekerasan. Kepercayaan mereka mengharuskan pembalasan dendam untuk korban yang sudah meninggal. Roh leluhur, kepada siapa mereka membaktikan diri, direpresentasikan dalam ukiran kayu spektakuler di kano, tameng atau tiang kayu yang berukir figur manusia. Sampai pada akhir abad 20an, para pemuda Asmat memenuhi kewajiban dan pengabdian mereka terhadap sesama anggota, kepada leluhur dan sekaligus membuktikan kejantanan dengan membawa kepala musuh mereka, sementara bagian badannya di tawarkan untuk dimakan anggota keluarga yang lain di desa tersebut. Apabila ada orang tua yang sakit, maka keluarga terdekat berkumpul men-dekati si sakit sambil menangis, sebab mereka percaya ajal akan men-jemputnya. Tidak ada usaha-usaha untuk mengobati atau memberi makan kepada si sakit. Keluarga terdekat si sakit tidak berani mendekatinya kare-
na mereka percaya si sakit akan ´membawa´ salah seorang dari yang dicintainya untuk menemani. Mayat orang yang telah meninggal biasa diletakkan di atas para (anyaman bambu), yang telah disediakan di luar kampung dan dibiarkan sampai busuk. Kelak, tulang belulangnya dikumpulkan dan disipan di atas pokok-pokok kayu. Tengkorak kepala diambil dan dipergunakan sebagai bantal petanda cinta kasih pada yang mening-gal. Orang Asmat percaya bahwa roh-roh orang yang telah mening-gal tersebut (bi) masih tetap berada di dalam kampung, terutama kalau orang itu diwujudkan dalam bentuk patung Mbis, yaitu patung kayu yang tingginya 5-8 meter. Cara lain yaitu dengan meletakkan jenazah di perahu lesung panjang dengan perbekalan seperti sagu dan ulat sagu untuk kemudian dilepas di sungai dan seterusnya terbawa arus ke laut menuju peristirahatan terakhir roh-roh. Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat telah mengubur jenazah dan beberapa barang milik pribadi yang mening-gal. Umumnya, jenazah laki-laki dikubur tanpa menggunakan paka-ian, sedangkan jenazah wanita dikubur dengan menggunakan paka-ian. Orang Asmat juga tidak memiliki pemakaman umum, maka je-nazah biasanya dikubur di hutan, di pinggir sungai atau semak-semak tanpa nisan. Dimana pun jenazah itu dikubur, keluarga tetap dapat menemukan kuburannya. Ukiran Asmat Asmat selalu diindentikan dengan patung ukiran atau pahatan tradi-sional. Hal ini disebabkan karena pahatan atau ukiran tradisional telah diekspose keluar oleh berbagai kalangan, baik pemerintah maupun swasta di Indonesia dalam bentuk festival budaya baik di Agast maupun di Jayapura, Bali, Jogja dan Jakarta ataupun di luar negeri, seperti di KBRI Denhag Belanda pada tanggal 28 Agustus – 5 September 2008 dalam rangka mengundang dunia, mempromosi-kan Trade, Tourism and Investment (TTI) serta mendukung pem-bangunan Kawasan Timur Indonesia (Laporan Radio Heelvezen, Belanda, Jam 18.30 WIB, 6 September 2008). Terlebih lagi Asmat telah ditetapkan sebagai situs warisan budaya dunia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan Februari 2004 (Kompas, Februari 2004). Lanjutan, Halaman 11 ASMAT …..
Foto : Istimewa
JARINGAN KERJA RAKYAT
www.jeratpapua.org EDISI III
J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I I I A P R I L 2 0 1 4 T R E N D A N A L I S I S H A L . 1 0
M asyarakat adat merupakan istilah umum yang dipakai di Indo-nesia, untuk paling tidak merujuk kepada empat jenis masyara-kat asli. Dalam ilmu hukum, secara formal dikenal sebagai Masyarakat Hukum Adat. Tetapi dalam perkembangan tera-
khir, masyarakat asli Indonesia menolak dikelompokkan sedemikian meng-ingat perihal adat tidak hanya menyangkut hukum, tetapi mencakup segala aspek dan tingkatan kehidupan. Menurut AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) pada Kongres I tahun 1999 dan masih dipakai sampai saat ini, masyarakat adat adalah Komuni-tas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh Hukum adat dan Lembaga adat yang mengelolah keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. Pada tingkat internasional, ada sejumlah hak yang diberikan kepada masyarakat adat dalam beberapa dokumen internasional. Pada 2007, Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP). Adopsi ini menjadi titik puncak dari pembahasan dan negosiasi selama bertahun-tahun antara para pemerintah dan masyarakat adat. Deklarasi ini berisi kerangka yang sama bagi masyarakat internasional untuk memenuhi hak-hak masyarakat adat (ILO). UNDRIP merupakan penegasan hak-hak kolektif masyarakat adat, termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri, persetujuan bebas tanpa paksaan, didahulukan dan diinformasikan atau FPIC, hukum adat, hak atas tanah dan sumber daya alam, hak-hak budaya, dan hak-hak yang lainnya. Indonesia pada tahun yang sama menandatangani Deklarasi ter-sebut. Sementara itu, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) juga menggagas Konvensi ILO 169 tentang Masyarakat Adat (Konvensi ILO 169). Sejak itu, Konvensi ini telah diratifikasi oleh 20 negara. Di 20 negara itu, badan-badan pengawas ILO telah memantau dan membina proses pelaksanaan melalui pemeriksaan teratur atas berbagai laporan dan dokumen kepada
pemerintah yang berkepentingan (ILO). Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah meminta Indonesia meratifikasi Konvensi ILO 169 tetapi belum diratifikasi (DtE). Selain dokumen-dokumen penting di atas, CEDAW atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan ada-lah dokumen yang penting bagi kaum perempuan. Dokumen ini di-adopsi pada tahun 1979 oleh PBB. CEDAW menetapkan prinsip-prinsip persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan sipil. Walaupun dokumen ini tidak ber-bicara tentang hak perempuan adat pada khususnya, dengan merati-fikasinya pada tahun 1984, Indonesia mengakui adanya diskriminasi terhadap perempuan, termasuk perempuan adat. Kehadiran masyarakat adat merupakan suatu kenyataan sejarah yang tidak dapat dihindari atau bahkan di sangkal oleh Pemerintah (Noer Fauzi, 2000). Masyarakat adat merupakan segmen riil di dalam masyarakat Indonesia. Secara formal pengakuan atau penerimaan atau pembenaran adanya masyarakat adat di dalam struktur ketata-negaraan baru diatur dalam pasal 18 UUD 1945. Masyarakat Adat di Papua Masyarakat adat di Papua adalah masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya. Hak-hak masyarakat adat tersebut meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan. Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wila-yah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan untuk keperluan apapun, dilakukan me-lalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang
Foto : Istimewa
JARINGAN KERJA RAKYAT
www.jeratpapua.org JARINGAN KERJA RAKYAT EDISI III
Foto : Jerry Omona J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I I I A P R I L 2 0 1 4 T R E N D A N A L I S I S H A L . 1 0 J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I I I A P R I L 2 0 1 4 T R E N D A N A L I S I S H A L . 1 1
pemerintah yang berkepentingan (ILO). Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah meminta Indonesia meratifikasi Konvensi ILO 169 tetapi belum diratifikasi (DtE). Selain dokumen-dokumen penting di atas, CEDAW atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan ada-lah dokumen yang penting bagi kaum perempuan. Dokumen ini di-adopsi pada tahun 1979 oleh PBB. CEDAW menetapkan prinsip-prinsip persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan sipil. Walaupun dokumen ini tidak ber-bicara tentang hak perempuan adat pada khususnya, dengan merati-fikasinya pada tahun 1984, Indonesia mengakui adanya diskriminasi terhadap perempuan, termasuk perempuan adat. Kehadiran masyarakat adat merupakan suatu kenyataan sejarah yang tidak dapat dihindari atau bahkan di sangkal oleh Pemerintah (Noer Fauzi, 2000). Masyarakat adat merupakan segmen riil di dalam masyarakat Indonesia. Secara formal pengakuan atau penerimaan atau pembenaran adanya masyarakat adat di dalam struktur ketata-negaraan baru diatur dalam pasal 18 UUD 1945. Masyarakat Adat di Papua Masyarakat adat di Papua adalah masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya. Hak-hak masyarakat adat tersebut meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan. Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wila-yah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan untuk keperluan apapun, dilakukan me-lalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang
bersangkutan untuk memperoleh kesepaka-tan mengenai penyerahan tanah yang di-perlukan maupun imbalannya. Dekasius Sulle, dari Badan Pertanahan Manokwari mengatakan, berdasarkan UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (pasal 43, ayat 1 dan 2), Pemerintah wajib mengakui, menghormati, melindungi, mem-berdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan hukum yang berlaku. Meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan warga hukum adat. Penyelesaian hak ulayat masyarakat hukum adat kata dia, diatur pemerintah melalui Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 tahun 1999, tentang pedoman penyelesaian masalah hak ulayat. Pera-turan ini menjelaskan, pemerintah mengakui adanya hak ulayat sepanjang kenyataannya masih ada. Namun dibalik itu, Sulle mengakui jika selama ini implementasi aturan mengenai pengakuan hak adat tern-yata belum nampak dalam kinerja pemerintah daerah, apalagi jika dikaitkan dengan masalah investasi. Sulle berpendapat, Papua belum mempunyai Peraturan Daerah tentang perlindungan hak-hak masyarakat adat. “Itulah sebabnya masyarakat tidak boleh menjual tanah sendiri-sendiri. Diharapkan pemerintah dan investor dapat memperhatikan hak-hak masyarakat ini”. “Harus ada MoU (perjanjian) antara masyarakat dan investor, yang mana mulai dari anak kecil hingga orang dewasa dapat men-golah hasil kekayaan alamnya dan mempunyai hak disitu,” tam-bahnya. Meskipun Indonesia belum meratifikasi konvensi-konvensi ILO yang berkaitan dengan masyarakat adat dan pribumi, namun substansi yang ada dalam UU No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi provinsi Papua membuka peluang besar orang asli Papua dan Masyarakat Adat untuk terlibat secara aktif dalam proses-proses pembangunan di Tanah Papua.
Undang-undang ini memberikan dasar hukum yang kuat bukan saja agar memprioritaskan orang asli Papua sebagai subjek sekaligus objek pem-bangunan, tapi juga pemerintah daerah agar secara aktif mendorong keterli-batan masyarakat adat dalam proses-proses pembangunan. Hanya saja, luas dan jenis hak-hak masyarakat asli yang lebih terperinci tampaknya ha-rus dipersiapkan dan dituangkan dalam peraturan-peraturan yang melengkapi. Apa dan siapa orang asli Papua serta Masyarakat Adat Papua harus diperjelas dalam sebuah peraturan daerah khusus sehingga subjek dan objek peraturan-peraturan daerah berikutnya menjadi jelas. Untuk kepentingan itu, ada baiknya jika uraian tentang apa dan siapa orang asli (pribumi) Papua dan hak-hak masyarakat adat seperti yang tercantum dalam instrument internasional ini bisa menjadi acuan substantif. Dengan begitu, perlindungan hak-hak masyarakat asli tidak sekadar menjadi nilai dasar yang mati, melainkan benar-benar akan menjadi jaminan normatif bagi perlindungan masyarakat adat dan hak-hak mereka.
(JERAT/dari berbagai sumber)
Patung pahatan atau ukiran yang diikutkan dalam festival ini selalui dijual dengan cara dilelang. Nilai masing-masing pahatan biasanya
mencapai Rp. 40 Juta perbuah dan paling rendah Rp. 1 juta. Suku Asmat adalah salah satu suku dari 315 suku asli/pribumi Tanah Papua yang hidup di dua wilayah, yakni wilayah pesisir Pantai Selatan Papua atau di tepi sungai, dan di wilayah pedalaman yaitu masyarakat Asmat yang hidup di daerah rawa-rawa dan sungai serta danau. Terlepas dari dua perbedaan di atas, suku Asmat sendiri sebenarnya terdiri dari dua belas sub suku, yakni: Joirat, Emari Ducur, Bismam, Becembub, Simai, Kenekap, Unir Siran, Unir Epmak, Safan, Armatak, Brasm dan Yupmakcain. Pembagian sub suku ini ter-jadi dalam lingkungan masyarakat Asmat akibat tempat tinggal, kiat menyikapi lingkungan serta persebaran masing-masing kelompok masyarakat dalam suku Asmat. Sedangkan kata Asmat sendiri bermakna manusia kayu atau pohon. Masyarakat Asmat meyakini bahwa yang pertama kali muncul di permukaan bumi adalah pohon-pohonan. Pohon-pohon itu adalah Ucu (beringin) dan Pas (kayu besi), yang diyakini sebagai perwujudan dua mama tua yaitu Ucukamaraot (roh beringin) dan Paskomaraot (roh kayu besi). Barang kali keyakinan mistis inilah yang memberikan kesan bahwa ukiran atau pahatan kayu yang dibuat orang Asmat itu sangat „berjiwa‟. (JERAT/dari berbagai sumber)
ASMAT . . .
Foto : Istimewa
JARINGAN KERJA RAKYAT
www.jeratpapua.org EDISI III
J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I I I A P R I L 2 0 1 4 P R O F I L H A L . 1 2
S ore itu seperti biasa Pastor Yohanes Jonga membersihkan rak buku. Sejumlah laporan penting, termasuk arsip perjal-anannya ke wilayah pedalaman Papua, diatur rapi. Tan-gannya cekatan memilah buku yang akan disimpan dan
yang akan dibaca. Beberapa menit berlalu. Diraihnya telepon genggam, menjawab panggilan. Penelepon di seberang, Andreas Harsono, periset Human Rights Wacth menanyakan kabar. “Saya masih melakukan pendamp-ingan korban HAM,” kata Pastor Jhon. Pria kelahiran Nunur, Flores, Nusa Tenggara Timur, 4 November 1958, ini dikenal sebagai pencinta rakyat kecil. Pastor Jhon adalah anak keempat dari delapan bersaudara. Kedua orang tuanya, Ar-noldus Lete dan Yuliana Malon, sudah tiada. Jhon kecil menyelesaikan sekolah dasar di Waekekik, Manggarai Timur, tahun 1975. Di tahun yang sama, Jhon masuk SMPK Rosami-stika Waerana. Antara tahun 1979 hingga 1981 dia melanjutkan sekolah menengah atas di Ende, Nusa Tenggara Timur. Dia kemudian melanjutkan sekolah ke Seminari Menengah St Dominggo Hokeng, Flores Timur, dari 1981 sampai 1982. Pertenga-han 1982 dia mendaftar di Seminari Tinggi St Petrus Ritapiret, Maumere, namun tak lama kemudian dikeluarkan karena sering sakit. Jhon lalu melanjutkan sekolah gereja di Akademi Pendidikan Kate-ketik St Paulus, Ruteng, Manggarai, tahun 1983 hingga lulus tahun 1986. Sejarah hidupnya dimulai 1 Juli 1986 ketika ditugaskan di Paroki St Stefanus Kimbim, Lembah Baliem, Wamena. “Saya tertarik bidang HAM mulai dari Wamena. Waktu itu saat gejolak, banyak orang dibunuh dan dibuang,” tuturnya. John menemukan demikian banyak tindakan kekerasan oleh TNI dan polisi di daerah tersebut. “Ini sangat berpengaruh, sehingga saya sangat reaktif,” ujarnya. Sekembali dari Wamena tahun 1990, Jhon melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Teologia (STFT), Fajar Timur Abepura. Di tahun yang sama, menjadi relawan lembaga bantuan bukum untuk kasus bisnis militer di wilayah Arso dan melayani umat di Koya. “Saya melihat tentara begitu banyak terlibat dalam bisnis.” Menurut dia, personel militer di wilayah ini memiliki karakter keras. Mereka mudah mengintimidasi warga dan tidak segan menganiaya. Bahkan militer secara sewenang-wenang merampas landasan pe-sawat terbang milik gereja untuk dijadikan pos penjagaan. “Warga Waris sampai saat ini, jika militer minta tanah, mereka akan berikan,” ujar Pastor Jhon. “Militer jadi pemicu konflik masalah tanah.” Setelah tamat sekolah teologi, Jhon ditugaskan di Kokonau (kini Keuskupan Timika). Di sana dia bertemu Mama Yosepha dan Tom Beanal, yang sedang berjuang menentang kegiatan pertambangan PT Freeport Indonesia. Tiga serangkai ini kemudian membentuk Yayasan Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan (Yahamak). Yahamak mulanya berbentuk kelompok Ibu Peduli HAM. Mereka
mengemban misi memberikan informasi hak asasi manusia kepada mitra jaringan. Kini Yahamak bergerak di bidang pendampingan untuk berbagai suku di Timika. “Di Timika tingkat konflik sangat tinggi,” kata Pastor Jhon. Di wilayah kekuasaan PT Freeport ini Pastor Jhon pernah ditangkap polisi karena membawa baju bergambar lambang Partai Demokrasi Indonesia. Dia menjalani diinterogasi panjang dan akhirnya dibebaskan. Dalam perjuangannya, Pastor Jhon sempat dicap sebagai “Pastor OPM”. Pastor Jhon dinilai mendukung perjuangan Organisasi Papua Merdeka karena peduli terhadap perjuangan orang tertindas. Pada tahun 2007 Pastor Jhon melaporkan praktik kekerasan dan intimidasi militer terhadap warga di Papua kepada Gubernur Barnabas Suebu. Aduannya ini mengusik militer dan dia diancam dikubur hidup-hidup. Namun Pastor Jhon tidak gentar. Dia percaya Tuhan menyertai setiap langkahnya. “Tiap orang pasti mati. Hanya waktu dan caranya yang ber-beda. Jangan pernah takut terhadap militer,” ujarnya. Pastor Jhon memandang masalah di Papua muncul karena ketidakadilan. Konflik ini dapat reda jika terjadi dialog antara warga Papua dan pemerintah pusat di Jakarta. Dialog penting untuk menjawab kebuntuan selama ini. Dalam dialog, masalah pelanggaran HAM di Papua harus dibic-arakan. Pelaksanaannya harus murni dan tidak dicemari kepentingan poli-tik. “Dialog memungkinkan orang Papua puas dan tidak lagi menentang.” Ketika mengetahui akan mendapat penghargaan Yap Thiam Hien Award 2009, Pastor Johanes Jonga justru khawatir. Dia khawatir penghargaan ini mencemari ketulusan perjuangannya. “Penghargaan ini bukan untuk saya, tapi untuk semua korban pelanggaran HAM. Saya hanya berjuang dan akan mati untuk mereka,” kata Pastor Jhon. “Saya tetap masih takut. Saya takut pekerjaan saya sia-sia.”
(JERAT/Jerry Omona/VHR)
Mengabdi tidak hanya untuk Tuhan, Dia yakin gereja bukan hanya batu dan kayu.
EDISI III JARINGAN KERJA RAKYAT
www.jeratpapua.org JARINGAN KERJA RAKYAT EDISI III
J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I I I A P R I L 2 0 1 4 P R O F I L H A L . 1 2 J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I I M A R E T 2 0 1 4 P R O F I L H A L . 1 3
T aman Nasional Wasur di Merauke merupakan bagian dari lahan basah terbesar di Papua dan masih alami. Biodiversitasnya membuat taman nasional ini dijuluki sebagai "Serengeti Papua"
Merauke merupakan destinasi yang cukup spesial bagi pelancong. Bukan karena destinasi lain di Indonesia tidak spesial, tetapi Merauke merupakan tujuan impian orang dari Sabang sampai Jayapura. Banyak danau kecil di TN Wasur. Sekitar 70 persen dari luas kawasan taman nasional berupa vegetasi savana, sedang lainnya berupa vegetasi hutan rawa, hutan musim, hutan pantai, hutan bambu, padang rumput dan hutan rawa sagu yang cukup luas. Jenis tumbuhan yang mendominasi hutan di kawasan TN ini antara lain api-api (Avicennia sp.), tancang (Bruguiera sp.), ketapang (Terminalia sp.), dan kayu putih (Melaleuca sp.). Jenis satwa yang umum dijumpai antara lain kanguru pohon (Dendrolagus spadix), kesturi raja (Psittrichus fulgidus), kasuari gelambir (Casuarius cas-uarius sclateri), dara mahkota/mambruk (Goura cristata), cendrawasih kuning besar (Paradisea apoda novaeguineae), cendrawasih raja (Cicinnurus regius rex), cendrawasih merah (Paradisea rubra), buaya air tawar (Crocodylus novaeguineae), dan buaya air asin (C. porosus). Lahan basah di taman nasional ini merupakan ekosistem yang paling produktif dalam menyediakan bahan pakan dan perlindungan bagi ke-hidupan berbagai jenis ikan, udang dan kepiting yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Berbagai jenis satwa seperti burung migran, walabi dan kasuari sering datang dan menghuni Danau Rawa Biru. Oleh karena itu, Danau Rawa Biru disebut “Tanah Air” karena ramainya berbagai kehidupan satwa. Lo-
kasi ini sangat cocok untuk mengamati atraksi satwa yang menarik dan menakjubkan. Beberapa bagian wilayah TN masuk dalam Distrik Sota Merauke. Meski kondisinya masih sederhana, distrik ini mem-iliki makna tersendiri karena menjadi daratan terakhir Indonesia di bagian timur, yang berbatasan langsung dengan Papua New Guinea. Suasana di kawasan perbatasan ini cukup nyaman. Selain tugu per-batasan, di area ini juga terdapat taman yang dilengkapi dengan beberapa pondok bergaya Honai (rumah adat Papua yang berbentuk kubah dan beratap jerami). Di salah satu sudut taman, pengunjung juga bisa menemukan sebuah bangunan unik, yakni Musamus. Lay-aknya sebuah tugu. Bangunan setinggi sekitar dua meter dan berwarna cokelat ini adalah sarang semut. Selain di area perbatasan tersebut, Musamus juga banyak dijumpai di beberapa spot di Taman Nasional Wasur dengan ukuran yang beragam, dari mulai beberapa centimeter hingga 3 meter. Untuk menuju ke Perbatasan Sota, pelancong harus melewati Ta-man Nasional Wasur, selama 1,5 jam perjalanan dari Kota Merauke. Wisatawan dapat melihat di kanan kiri, danau kecil yang ditumbuhi Teratai dan padang rumput savana yang menghampar luas. Bagi Travelers yang berasal dari Ibukota dan ingin mengexplore Me-rauke, perjalanan dapat dilakukan menggunakan layanan pen-erbangan komersil, yang melayani penerbangan ke Merauke setiap hari. Lama perjalanan 8 jam dan biasanya transit terlebih dahulu di Makasar. Untuk transportasi darat, bisa menyewa mobil di bandara dengan rate Rp 600.000 hingga Rp700.000. di Kota Merauke, juga banyak hotel dan homestay yang terjangkau dan bersih.
(JERAT/dari berbagai sumber)
Foto : Istimewa
EDISI III JARINGAN KERJA RAKYAT
www.jeratpapua.org EDISI III
J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I I I A P R I L 2 0 1 4 H A L . 1 4
W aropen, - Sinar ma-
tahari cerah , saat
menyusuri Pasar
Distrik Urei Faisei
akan terlihat beragam barang da-
gangan disana. Komplek pasar yang
terbagi atas 2 blok , 1 blok tempat
berjualan kelontong dan 1 blok terdiri
dari kios dan para pedagang sayur,
ikan maupun sagu. Diujung blok kedua
terdapat 2 perempuan Papua yang
berjualan. Dagangan mereka cukup
unik yakni Ikan Namu dan Udang yang
diasar. Tim JERAT menemui kedua
perempuan tersebut Jumat.
“Untuk mendapatkan ikan ini, tidak
muncul tiap tahun, namun setahun
satu kali saja. Untuk menangkapnya
kami menggunakan linen atau kain
halus yang dibentuk dalam sebuah
lingkaran untuk menangkap ikan tersebut” ujar Mina
Aronggear. Ikan Namu adalah ikan yang halus sekali, bahkan
kalau terkena ikan tersebut maka bisa menempel pada kulit
dan untuk mendapatknya biasanya di muara kali Wapoga
tambah Mina Aronggear.
Ikan Namu yang telah didapatkan lalu dihamparkan kemudian
dihamburkan garam diatasnya serta air jeruk nipis. Setelah itu
dibungkus menggunakan daun bobo sedangkan kedua ujung
bungkusan daun bobo tersebut ditusukan “tulang” yang be-
rasal dari pelepash sagu , kemudian diasar. “Untuk asar me-
merlukan waktu selama 3-4 jam agar kering, bisa juga dibuat
lebih kering sekali diasar lebih lama” ujar perempuan yang
bersuamikan pria dari Waren ini. Untuk harga satu bungkus
Ikan Namu asar seharga Rp 10 ribu dan sekali bikin dirinya
bisa membuat 30 bungkus tukasnya.
Disamping Naomi Aronggear terdapat perempuan paruh baya
yang ikut juga berjualan . “Ini udang yang diasar dan bisa
didapatkan di kali. Setelah mendapatkan udang, maka
udangnya dibungkus daun bobo lalu pada kedua bagian ujung
bungkusan tersebut dijepit menggunakan ruas dari pelepah sagu” ujar Ibu Naomi
Imbiri. Harga 1 bungkus udang asar adalah Rp 30 ribu. Saat ditanyakan mana
yang lebih sulit dalam pembuatan kedua jenis makanan asar tersebut , disam-
paikan Mina Arronggear adalah lebih sulit membuat Ikan Namu asar. Karena
butuh ketelatenan dari mulai penangkapan , pengeringan hingg mengisi kedalam
daun sagu dan kemudian dibungkus. Dilihat dari jualan kedua perempuan terse-
but tidak banyak membutuhkan bahan yang harus dibeli. “Kalau yang dibeli han-
yalah garam untuk membuat Ikan Namu asar sedangkan bahan yang lainnya
berupa Ikan Namu, ruas sagu, daun bobo, jeruk nipis dan kayu bakar bisa
didapatkan di alam” ujar Mina sembari tersenyum. Ditambahkannya bahwa Ikan
Namu asar jika remas untuk jadi serpihan kecil lalu di jemur maka akan bertahan
hingga 1 bulan. Demikian pula dengan udang asar, dengan mematahkan kepal-
anya lalu dijemur dibawah sinar matahari makan akan bertahan hingga 1 bulan
tambah Ibu Naomi Imbiri.
Keuntungan dari berjualan Ikan Namu asar dan udang asar ternyata untuk kebu-
tuhan keluarga terutama biaya pendidikan. Hal ini diungkapkan oleh Naomi Imbi-
ri. “Keuntungannya digunakan untuk biaya pendidikan anak-anak “ ujar Ibu Nao-
mi Imbiri. Hal senada juga disampaikan oleh Mina Aronggear mengakhiri bin-
cang-bincang bersama Tim JERAT di Pasar Urei Faisei, Disrik Urei Faisei , Ka-
bupaten Waropen. (Wirya/Markus)
REDAKSI
Penanggungjawab : pt. JERAT Papua
Pimpinan Redaksi : Septer Manufandu
Editor/Redaktur : Jerry Omona
Kontributor : Wirya Supriyadi, Engelbert Dimara
Desain/Layout : Markus Imbiri
Kantor JERAT Papua
Jalan : Bosnik Blok.C No. 48 BTN Kamkey
Abepura (99351) Kota Jayapura - Papua
Email : [email protected] Telp : (0967) 587836
Website : www.jeratpapua.org
Foto : JERAT PAPUA/Markus Imbiri
EDISI III JARINGAN KERJA RAKYAT
www.jeratpapua.org JARINGAN KERJA RAKYAT EDISI III
J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I I I A P R I L 2 0 1 4 H A L . 1 4 J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I I I A P R I L 2 0 1 4 H A L . 1 5
P apua, pulau paling timur Nusantara ini memiliki potensi yang indah termasuk keunikan tradisinya. Papua menyimpan berbagai warisan kebudayaan yang ha-
rus dilestarikan agar tidak punah. Salah satu keunikan budaya Papua adalah adanya upacara tradisional yang dinamakan dengan Bakar Batu. Tradisi ini merupakan salah satu terpenting yang berfungsi sebagai tanda rasa syukur, menyambut kebahagiaan atas kelahiran, kematian, atau untuk mengumpulkan prajurit ketika ber-perang. Tradisi ini dilakukan oleh suku yang berada di daerah pegunungan yang terkenal cara me-masaknya dengan membakar batu. Pada perkem-bangannya, tradisi ini mempunyai berbagai nama, misalnya masyarakat Paniai menyebutnya Gapiia, masyarakat Wamena menyebutnya Kit Oba Isogoa. Persiapan awal tradisi ini dimulai dengan masing-masing kelompok menyerahkan babi sebagai persembahan, sebagian ada yang menari, lalu ada yang menyiapkan batu dan kayu. Proses membakar awalnya dengan cara menumpuk batu sedemikian rupa kemudian mulai dibakar sampai batu menjadi panas. Kemudian setelah itu, babi yang telah dipersiapkan, lalu dipanah. Biasanya yang memanah babi adalah kepala suku. Ada pandangan yang cukup unik dalam ritual ini. Ketika kepala suku telah memanah dan babi didapati lang-sung mati, pertanda acara akan sukses. Sedangkan jika babi tidak langsung mati, diyakini acara tersebut bakal tidak akan sukses. Tahap berikutnya adalah memasak babi. Para lelaki mulai menggali lubang yang cukup dalam, kemudian batu panas dimasukan ke dalam galian yang sudah diberi alas daun pisang dan alang-alang sebagai penghalang agar uap panas batu tidak menguap. Di atas batu panas diberikan dedaunan lagi, baru setelah itu disimpan potongan daging babi bersama dengan
sayuran dan ubi jalar. Setelah makanan matang, semua orang berkumpul dengan kelompoknya masing-masing dan mulai makan bersama. Tradisi ini dipercaya bisa mengangkat solidaritas dan kebersamaan tiap orang. Saat ini tradisi Bakar Batu bukan hanya untuk merayakan kelahiran dan kebahagian. Tradisi ini mulai digunakan untuk menyambut tamu besar yang berkunjung ke Papua, seperti pejabat negara dan lainnya.
(JERAT/palingindonesia.com)
www.facebook.com/page.jeratpapua
SMS GateWay JERAT PAPUA : 0821 9827 1212
Audy Pohan : JERAT PAPUA, aku pribadi sangat berterimakasih
pada kalian, karena banyak memposting informasi Papua. Maju
terus ya...ku tunggu postingan kalian selalu di Internet (sumber :
www.facebook.com/audrypohan) #Bandung
Mihram : Relawan TIK Papua, siap membantu penyebaran informa-
si Papua dari JERAT PAPUA. Selamatkan Hutan Papua ….Maju Terus
(+628135463xxxx) #Kota-Jayapura
Gunawan Sumadiputra: Apapun namanya selama tujuannya
untuk kemajuan Papua seutuhnya..saya siap kapanpun kalau
diperlukan karena disana tempat saya dibesarkan...Gbu
(www.facebook.com/gunawan.sumadiputra)
#Kota-Yogyakarta
Ony Cantiko : Ada-ada saja ni JERAT PAPUA, selalu saja
menjerat jemari tangan ku untuk klik dan baca berita
www.jeratpapua.org. Tersenyum, haru, semua rasa menjadi
satu di jerat oleh JERAT. Tuhan sayangi langkah kalian
(www.twitter.com @onycantiko) #Makassar
Ferlan Vebianti : Setiap bangun pagi, saya melihat Bintang Fajar
dan saat itupula saya selalu membuka www.jeratpapua.org
(www.facebook.com/ferlan.vebianti) #Jakarta
Lais Wenda : Kalau SMS togel, saya Delete, kalau sms dari JERAT
Papua, so pasti saya klik. Salam (+628124813xxxx) #Wamena
Foto : JERAT PAPUA/ Jerry Omona
EDISI III JARINGAN KERJA RAKYAT
www.jeratpapua.org EDISI III
Supported by :
DAPATK
AN
Edisi
New
sLet
ter JE
RAT
di Web
site
www.jeratpapua.org