i
Judul Buku :
Laporan Ilmiah Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2019
Penulis :
TIM SURILI 2019
Editor :
Ir Memen Suparman, MM
Staff Balai Taman Nasional Matalawa
Dr Ir Nyoto Santoso, MS
Dr Ir Agus Hikmat, MScFTrop
Dede Aulia Rahman, SHut MSi PhD
Dr Ir Jarwadi Budi Hernowo, MScF
Dr Ir Mirza Dikari Kusrini, MSi
Ir Lin Nuriah Ginoga, MSi
Ir Siswoyo, MSi
Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc
Prof Dr E.K.S. Harini Muntasib, MS
Korektor:
Penata Isi:
Henning Ilmi Wijayanti
Teguh Purnomo
Dewa Made Juli Santika
Dhea Fauziyah Muttaqien
Desain Sampul:
Humaira Nurulakmal
Sumber Illustrasi/Sampul:
Fotografi Konservasi
Tim Surili 2019
Jumlah Halaman:
161 + 7 halaman romawi
Edisi/Cetakan:
Cetakan Pertama, Januari 2020
Naskah dan Dokumentasi:
Tim SURILI 2019, HIMAKOVA
ii
PRAKATA
Alhamdulillahirabbil’alamin segala puji bagi Allah SWT, karena sudah
memberikan nikmat serta hidayahNya sehingga laporan ilmiah kegiatan Ekspedisi
Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2019 dapat berjalan dengan baik dan
lancar. Ekspedisi SURILI 2019 dilaksanakan pada tanggal 28 Juli – 10 Agustus
2019 yang bertempat di Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi
Wanggameti (Matalawa), Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Lokasi
pengambilan data dibagi menjadi dua yaitu Blok Wanggameti dan Blok Mahaniwa.
Ekspedisi Studi Konservasi Lingkungan merupakan program dari Himpunan
Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (Himakova), Fakultas
Kehutanan, IPB University. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan data terbaru
dan termutakhir mengenai keanekaragaman flora, fauna, kawasan karst, potensi
wisata, dan sosial budaya masyarakat di kawasan konservasi di Indonesia. Kegiatan
ini telah mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai
kegiatan mahasiswa terbanyak dan berkelanjutan.
Kegiatan ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak yang telah membantu
kelancaran SURILI 2019, baik dalam bentuk finansial maupun bentuk dukungan
lain. Harapan kami semoga laporan ilmiah hasil ekspedisi SURILI 2019 ini dapat
bermanfaat bagi pembaca, terutama bagi Taman Nasional sebagai bahan acuan
pengelolaan kawasan.
Bogor, Oktober 2019
iii
Ir Memen Suparman, MM
Kepala Balai Taman Nasional Matalawa
Salam Hangat dari Tanah Marapu
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur mari panjatkan ke khadirat
ALLAH Subhanahuwata’ala atas rahmat, nikmat dan hidayah-Nya sehingga kegiatan Studi
Konservasi Lingkungan (SURILI) 2019 Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan
Laiwangi Wanggameti (TN Matalawa) yang dilaksanakan pada tanggal 28 Juli 2019 – 10
Agustus 2019 oleh Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Institut Pertanian Bogor (HIMAKOVA IPB) telah diselenggarakan dengan baik dan lancar.
Kawasan TN Matalawa merupakan satu-satunya kawasan konservasi yang ada di
Pulau Sumba Nusa Tenggara Timur yang memiliki potensi keanekaragaman hayati yang
sangat tinggi. Potensi tersebut diantaranya yaitu flora/tumbuhan tercatat 375 jenis, 70 jenis
tumbuhan paku, 90 jenis tumbuhan berhasiat obat, 16 jenis anggrek; avifauna/burung
tercatat 159 jenis (110 jenis sudah terdokumentasikan); mamalia tercatat 28 jenis; reptil
tercatat 30 jenis, amphibi tercatat 6 jenis; capung tercatat 41 jenis; dan kupu-kupu tercatat
94 jenis. Disamping itu juga terdapat potensi keunikan alam yang dapat dikembangkan
menjadi jasa lingkungan dan wisata alam seperti air terjun, pantai, gua dan perbukitan
(landscape). Namun demikian, dari potensi yang sudah ada tersebut masih banyak yang
belum tergali secara optimal sehingga pihak pengelola TN Matalawa secara proaktif
melakukan riset lingkup pengelola atau bekerjasama dengan akademisi dan para peneliti
termasuk diantaranya dari HIMAKOVA IPB yang diharapkan dapat menambah
data/informasi tentang keanekaragaman hayati di kawasan TN Matalawa.
Tema yang diusung dari kegiatan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2019
Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti (TN Matalawa) adalah
“Menapaki Pesona Keanekaragaman Hayati, Ekowisata, Kawasan Karst, dan Sosial
Budaya Masyarakat di Tanah Sumba Timur” sehingga sangat sesuai dan diperlukan dalam
mendukung pengelolaan TN Matalawa serta sejalan dengan Visi dan Misi Balai Taman
Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti dalam upaya melakukan
penggalian potensi Sumberdaya Alam dan Ekosistem kawasan TN Matalawa.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Institusi dari Institut Pertanian Bogor
melalui Himpunan Mahasiswa Konservasi (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan IPB dan
pihak lain atas kerjasama dan keterlibatan dalam pelaksanaan kegiatan ini sehingga
kegiatan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2019 Taman Nasional Manupeu Tanah
Daru dan Laiwangi Wanggameti (TN Matalawa) berjalan dengan lancar.
Waingapu, Oktober 2019
Kepala Balai Taman Nasional Matalawa
Ir Memen Suparman, MM
iv
Dr Ir Agus Hikmat, MScFTrop
Pembina Umum Himakova
Kata Pengantar
Syukur Alhamdulillah kami panjatkan ke hadlirat Allah SWT, yang telah
memberikan segala nikmatnya sehingga Tim Ekspedisi SURILI HIMAKOVA
dapat menyelesaikan laporannya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Kegiatan Ekspedisi SURILI HIMAKOVA merupakan kegiatan tahunan
HIMAKOVA melatih keprofesionalan mahasiswa Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (DKSHE) ekstrakurikuler, yang dilakukan di
berbagai kawasan konservasi di Indonesia, khususnya di kawasan taman nasional
yang ada di luar Pulau Jawa. Kegiatan SURILI ini meliputi studi tentang
keanekaragaman hayati khususnya satwa liar, tumbuhan, potensi wisata alam,
kawasan karst, dan sosial budaya masyarakat.
Ekspedisi SURILI tahun ini dilaksanakan di Taman Nasional Matalawa, Nusa
Tenggara Timur pada 28 Juli – 10 Agustus 2019. Taman Nasional Matalawa ini
merupakan gabungan antara Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Taman
Nasional Leiwangi Wanggameti. Kegiatan ekspedisi yang telah dilakukan
mengumpulkan banyak data tentang keanekaragaman hayati, potensi wisata alam,
dan soaial budaya yang ada di dalam kawasan TN Matalawa, khususnya di blok
Laiwangi Wanggameti. Ekspedisi SURILI di TN Matalawa tahun 2019 ini
merupakan ekspedisi yang kedua kalinya, untuk melengkapi Ekspedisi SURILI
sebelumnya pada tahun 2009 di blok Manupeu Tanah Daru.
Sebagai pembina HIMAKOVA, kami berharap laporan ini dapat bermanfaat
bagi pengelola TN Matalawa Nusa Tenggara Timur, serta khususnya bagi
mahasiswa anggota HIMAKOVA sebagai karya ilmiah yang melengkapi dan
memperkaya khasanah kekayaan keanekaragaman hayati dan potensi wisata serta
kearifan tradisional masyarakat yang ada di dalamnya untuk Indonesia yang lebih
maju.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan kegiatan
Ekspedisi SURILI 2019, sehingga kegiatan tersebut dapat berjalan lancar sesuai
dengan yang diharapkan. Semoga Allah SWT meridhoi kegiatan ini dan menjadi
amal ibadah untuk kita semua.
Bogor, Oktober 2019
Pembina Umum HIMAKOVA
Dr Ir Agus Hikmat, MScFTrop
v
UCAPAN TERIMAKASIH
Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2019 di Taman Nasional Manupeu
Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti (Matalawa) tidak lepas dari bantuan dan
kerja sama dari berbagai pihak, baik ketika persiapan kegiatan ekspedisi, ketika
kegiatan ekspedisi maupun dalam penyusunan laporan ilmiah. Bantuan yang
diberikan tidak hanya berbentuk finansial, melainkan doa dan dukungan. Oleh
karena itu, Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Keluarga besar Fakultas Kehutanan IPB, khususnya Dr Ir Rinekso Soekmadi,
MScFTrop, selaku Dekan Fakultas Kehutanan, Dr Ir Nyoto Santoso, MS selaku
ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata yang telah
memberikan izin dan dukungan kepada Tim dalam kegiatan SURILI 2019
Taman Nasional Matalawa.
2. Ir Memen Suparman, MM selaku Kepala Balai Taman Nasional Matalawa, dan
seluruh staff Balai Taman Nasional Matalawa yang telah memberikan
dukungan dan bantuan serta kekeluargaan yang hangat selama kegiatan
berlangsung. Kepala SPTN III Vivery Okthalamo S.Hut, Kepala Resort
Wanggameti Bapak Okto yang selalu mendampingi kegiatan bersama tim.
3. Dr Ir Agus Hikmat, MScFTrop selaku pembina HIMAKOVA dan segenap
Pembina Kelompok Pemerhati (KP) yang banyak meluangkan waktu untuk
membantu baik persiapan kegiatan maupun penyusunan laporan: Dede Aulia
Rahman, SHut MSi PhD (Pembina KP Mamalia), Dr Ir Jarwadi B. Hernowo,
MSc (Pembina KP Burung), Dr Ir Mirza D. Kusrini, MSc (Pembina KP
Herpetofauna), Ir Lin Nuriah Ginoga, MSi (Pembina KP Kupu-kupu), Ir
Siswoyo, MSi (Wakil Pembina Himakova dan Pembina KP Flora), Dr Ir
Arzyana Sunkar, MSc (Pembina KP Gua) dan Prof Dr E.K.S Harini Muntasib,
MS (Pembina KP Ekowisata), Ir Dones Rinaldi, MScF (Pembina Fotografi
Konservasi.
4. Dosen-dosen DKSHE atas bantuan yang telah diberikan kepada Tim SURILI
2019.
5. Pendamping lapang yang juga sebagai masyarakat lokal (Umbu Nawan, Umbu
Leti, Umbu Deki, Bapak John, Bapak Della, Ambu Dominikus).
6. KLHK dan BKSDA Nusa Tenggara Timur yang telah memberikan izin
pelaksanaan kegiatan ini.
7. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang telah membantu dalam
mengidentifikasi spesimen dan herbarium.
8. Terimakasih kepada rekan media yang telah membantu dalam publikasi
kegiatan ini, baik peliputan secara langsung maupun tidak langsung.
vi
9. Yoga Rudianto, SHut (KSHE 51) selaku pengisi kuliah pembekalan persiapan
kegiatan.
10. Seluruh anggota Tim SURILI 2019 Taman Nasional Matalawa atas
kekompakan dan kerjasama selama persiapan, kegiatan ekspedisi dan
penyusunan laporan.
11. Segenap pengurus HIMAKOVA periode 2018 – 2019 atas dukungan selama
kegiatan SURILI 2019.
12. Segenap senior dan alumni Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB yang telah memberikan arahan, doa dan
dukungannya kepada Tim SURILI 2019.
13. Terimakasih kepada senior dan alumni Fakultas Kehutanan IPB di NTT
terutama di Taman Nasional Matalawa yang turut membantu dalam persiapan,
finansial, dukungan, dan pendampingan selama kegiatan berlangsung.
14. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya sehingga
SURILI 2019 Taman Nasional Matalawa dapat berjalan dengan baik dan lancar
yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Bogor, Oktober 2019
Tim SURILI 2019
vii
DAFTAR ISI
PRAKATA ii
UCAPAN TERIMAKASIH vi
DAFTAR ISI vii
PENDAHULUAN 1
TUJUAN 2
MANFAAT 2
LOKASI DAN WAKTU 3
KONDISI UMUM KAWASAN 4
MAMALIA 6
BURUNG 30
HERPETOFAUNA 48
KUPU-KUPU 69
FLORA 80
GUA 110
EKOWISATA DAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT 127
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) merupakan kegiatan tahunan
Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (Himakova),
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB) yang berbentuk kegiatan
eksplorasi keanekaragaman hayati, inventarisasi potensi ekowisata, kajian sosial
budaya masyarakat lokal dan pemetaan kawasan karst di kawasan konservasi.
Kegiatan SURILI memfasilitasi mahasiswa dalam menerapkan ilmu yang
didapatkan di perkuliahan maupun pendalaman melalui kelompok pemerhati (KP).
Selain itu, kegiatan ini juga menjadi sarana untuk menjalin hubungan dengan
pengelola kawasan konservasi sebagai wujud tridharma perguruan tinggi. Kegiatan
SURILI telah terlaksana sebanyak 16 kali pada beberapa kawasan konservasi di
Indonesia. Pada tahun 2019, SURILI dilaksanakan pada tanggal 28 Juli – 10
Agustus 2019 di Taman Nasional Matalawa, Provinsi Nusa Tenggara Timur
khususnya di blok Wanggameti.
Taman Nasional Matalawa merupakan gabungan dari dua Taman Nasional
yaitu Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dengan luas 50 122 Ha dan Taman
Nasional Leiwangi Wanggameti dengan luas 41 771.18 Ha, sesuai dengan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.7/Menlhk/Setjen/0TL.0/1/2016. Taman Nasional Matalawa terbagi menjadi dua
wilayah terpisah yakni wilayah Manupeu Tanah Daru dengan ketinggian 0 – 918
mdpl dan wilayah Leiwangi Wanggameti dengan ketinggian 50 – 1 225 mdpl.
Secara administratif, Taman Nasional Matalawa terletak di Pulau Sumba Timur,
Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Taman Nasional Matalawa memiliki tipe ekosistem yang beragam yang
mewakili tipe-tipe ekosistem utama Pulau Sumba. Tipe-tipe ekosistem kawasan
Taman Nasional Matalawa tersebut dicirikan oleh perbedaan kondisi vegetasi
penyusunnya, yaitu ekosistem hutan hujan, ekosistem padang sabana (savana), dan
ekosistem hutan musim. Taman Nasional Matalawa memiliki beragam
keanekaragaman flora dan fauna. Blok Laiwangi Wanggameti merupakan
perwakilan semua tipe hutan di pulau Sumba. Tercatat sebanyak 215 jenis burung,
22 jenis mamalia, 72 jenis kupu-kupu, 7 jenis amphibi, dan 4 jenis reptil. Burung
yang terdapat di TN Matalawa, sembilan diantaranya merupakan spesies endemik
Sumba dari 215 jenis burung.
Taman Nasional Matalawa memiliki peran penting dalam tata air di Pulau
Sumba. Secara geomorfologi Pulau Sumba didominasi oleh bentuk lahan berupa
kawasan karst, tidak terkecuali di Taman Nasional Matalawa. Hampir separuh dari
luasan kawasan terbentang dari wilayah timur hingga ke barat adalah wilayah karst.
Taman Nasional Matalawa menjadi pusat konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistem di Pulau Sumba serta pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat,
2
sehingga perlu memiliki data dan informasi terbaru yang komprehensif mengenai
sumberdaya alam sebagai rujukan atau acuan dalam pengelolaan yang bijaksana
serta melindungi nilai kawasan, termasuk aspek sosial dan ekologis. Oleh karena
itu, perlu diadakan kegiatan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2019 yang
mengangkat kajian ekspedisi dengan tema “Menapaki Pesona Keanekaragaman
Hayati, Ekowisata, Kawasan Karst, dan Sosial Budaya Masyarakat di Tanah Sumba
Timur”.
TUJUAN
Tujuan Umum
Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk menghasilkan data dan informasi
terbaru tentang keanekaragaman hayati, potensi ekowisata, kawasan karst, dan
sosial budaya masyarakat di Taman Nasional Matalawa.
Tujuan khusus
Menghitung keanekaragaman, kelimpahan, dan pemetaan sebaran jenis fauna
(mamalia, burung, herpetofauna, dan kupu-kupu) serta peranannya dalam
ekosistem, mengidentifikasi dan menghitung struktur dan komposisi vegetasi,
penilaian ekowisata sesuai dengan budaya masyarakat lokal, menginventarisasi
potensi kawasan karst, serta mempelajari bentuk-bentuk interaksi, kearifan lokal,
dan kekhasan budaya masyarakat lokal di Taman Nasional Matalawa.
MANFAAT
Manfaat untuk Kawasan Konservasi
1. Dokumentasi kekayaan kawasan dalam bentuk laporan ilmiah, laporan semi
populer, dan video dokumenter.
2. Menggali potensi keanekaragaman flora, fauna, kawasan karst, gua, ekowisata,
dan sosial budaya masyarakat lokal.
3. Pembaharuan data dan informasi keanekaragaman hayati dan sosial budaya
masyarakat yang dapat menjadi bahan pertimbangan pengelolaan kawasan
maupun pengambilan keputusan.
Manfaat untuk Mahasiswa
1. Meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam kegiatan eksplorasi, analisis, dan
kerja sama tim.
2. Melatih kemampuan mahasiswa dalam berorganisasi dan bernegosiasi dengan
baik.
3
3. Melatih kepekaan mahasiswa terhadap permasalahan yang terjadi di lingkungan
sekitar.
4. Melatih mahasiswa dalam pembuatan laporan ilmiah.
LOKASI DAN WAKTU
Kegiatan ini akan dilaksanakan pada tanggal 28 Juli – 10 Agustus 2019 di
Taman Nasional Matalawa yang terletak di Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Tim Surili dibagi menjadi 2 lokasi di Resort Wanggameti. Kajian mamalia,
burung, herpetofauna, gua dan fotografi konservasi berada di Resort Mahaniwa.
Kelompok kajian kupu-kupu, flora ekowisata, dan sosial budaya berada di Resort
Wanggameti (Gambar 1).
Gambar 1 Peta lokasi pengambilan data Resort Wanggameti
4
KONDISI UMUM KAWASAN
Kondisi Fisik
Taman Nasional Matalawa secara geografis kawasan hutan Manupeu Tanah
Daru berada pada 9°53’32,013’’ – 9°29’43,809’’LS, 119°26’5,64’’ –
119°53’21,172’’BT, sedangkan Kawasan hutan Laiwangi Wanggameti berada pada
120˚03’ – 120˚19΄ BT dan 9˚57΄ – 10 ˚11΄ LS. Menurut klasifikasi Schmidt dan
Ferguson, iklim di kawasan TN Matalawa termasuk tipe iklim C sampai dengan F.
Curah hujan rata-rata tahunan hutan Manupeu Tanah Daru berkisar antara 500 – 2
000 mm. Rata-rata curah hujan pada bulan basah adalah 400 mm sedangkan pada
bulan kering adalah 18 mm. Untuk kawasan hutan Laiwangi Wanggameti keadaan
curah hujan berkisar antara 100 – 1 500 mm.
Berdasarkan Peta Geologi Bersistem Nusa Tenggara Skala 1 : 250.000 yang
dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung (1993)
formasi geologi pulau Sumba dapat diuraikan sebagai berikut: a) Endapan
permukaan (Aluvium) tersusun dari lempung, lanau, pasir, kerikil dan bongkah. b)
Batuan sedimen tediri dari Formasi Praikajelu, Formasi Watopata, Formasi
Tanahroong, c) Formasi Paumbapa, Formasi Pamalar, Formasi tandaro, Formasi
Waikabubak, Formasi Kananggar dan Formasi Kaliangga yang tersusun antara lain
dari batu gamping, batu pasir, batu lempung, batu lanau, napal, tufan, konglomerat.
d) Batuan gunung api terdiri dari formasi masu dan formasi jawila yang tersusun
dari lava, breksi gunung api tuf dan andesit. e) Batuan terobosan yang tersusun dari
sienit, diorit, granodiorit, dan granit.
Letak kawasan Taman Nasional Matalawa menurut secara administratif
kawasan hutan Manupeu Tanah Daru berada pada tiga wilayah kabupaten yaitu
Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Tengah dan Kabupaten Sumba Timur.
Kawasan hutan Laiwangi Wanggameti secara administratif terletak di wilayah
Kabupaten Sumba Timur pada empat wilayah kecamatan, yakni Kecamatan
Tabundung, Pinu Pahar, Karera, dan Matawai Lapau.
Dasar Hukum Penunjukan Kawasan
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 576/Kpts-II/1998
Tanggal 3 Agustus 1998 Tentang Perubahan Fungsi Sebagian Kawasan Cagar
Alam, Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas Seluas ± 134.998,09 (Seratus
Tiga Puluh Empat Ribu Sembilan Ratus Sembilan Puluh Delapan, Sembilan
Perseratus) Hektar Menjadi Kawasan Taman Nasional Manupeu – Tanah Daru
Seluas ± 87.984,09 (Delapan Puluh Tujuh Ribu Sembilan Ratus Delapan Puluh
Empat, Sembilan Perseratus) Hektar dan Kawasan Taman Nasional Laiwangi –
Wanggameti Seluas ± 47 014.00 (Empat Puluh Tujuh Ribu Empat Belas) Hektar,
Yang Terletak Di Kabupaten Daerah Tingkat II Sumba Barat dan Kabupaten Daerah
Tingkat II Sumba Timur, Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur.
5
Keanekaragaman Hayati
Kawasan Taman Nasional Manupeu Tanahdaru dan Laiwangi Wanggameti
(TN Matalawa) terletak di gugusan kepulauan Wallacea (Sulawesi, Bali, dan Nusa
Tenggara) merupakan wilayah yang sangat eksotis dan memiliki keanekaragaman
jenis flora dan fauna yang sangat khas dan tidak dapat dijumpai di wilayah lainnya.
Berdasarkan hasil pengumpulan data, terdapat 375 jenis tumbuhan, 70 jenis
tumbuhan paku-pakuan, 90 jenis tumbuhan berkhasiat obat. Fauna yang terdapat di
kawasan TN Matalawa antara lain 158 Jenis burung, 94 jenis kupu-kupu, 41 jenis
capung, 28 jenis mammalia, 6 jenis amfibi dan dan 30 jenis reptil. Objek Daya Tarik
Wisata (ODTWA) yang telah terinventarisasi dan teridentifikasi berjumlah 18
ODTWA yang tersebar di beberapa titik lokasi. Beberapa ODTWA unggulan TN
Matalawa diantaranya Air Terjun Lapopu – Sumba Barat, Air Terjun Matayangu –
Sumba Barat, Air Terjun Laputi – Sumba Timur, Pantai Mondulambi – Sumba
Timur, dan Puncak Wanggameti – Sumba Timur (Balai Taman Nasional 2018).
6
7
PENDAHULUAN Latar Belakang
Mamalia merupakan kelompok vertebrata dengan volume otak yang besar,
relatif mampu menghadapi berbagai ancaman di alam, sehingga hampir tersebar di
seluruh belahan dunia. Van Hoeve (1992) juga menyatakan bahwa mamalia
merupakan kelompok tertinggi taksonominya dalam dunia hewan. Ciri khusus dari
mamalia yaitu memiliki kelenjar susu, bernafas dengan paru-paru, berambut dan
melahirkan. Berdasarkan stratifikasi ekologinya, mamalia terdiri atas 3 kelompok,
yaitu mamalia teresterial (hidup di permukaan tanah), arboreal (hidup di atas tajuk
pohon) dan akuatik (hidup di wilayah perairan) (Meijaard 2006). Mamalia hidup di
berbagai habitat, mulai dari kutub sampai daerah ekuator. Beberapa jenis mamalia
kebanyakan ditemukan di dataran rendah, lainnya kebanyakan ditemukan di daerah
pegunungan serta beberapa jenis di pegunungan tinggi. Habitat yang sesuai bagi
suatu jenis satwa belum tentu sesuai untuk jenis lainnya. Hal ini disebabkan karena
setiap individu menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda (Alikodra 2002).
Indonesia salah satu negara yang memiliki sebaran mamalia yang tinggi. Kekayaan
jenis mamalia di Indonesia mencapai 515 jenis dan 36% diantaranya merupakan
satwa endemik (Mustari et al. 2010).
Taman Nasional Matalawa merupakan wilayah yang berada dalam gugusan
kepulauan Wallacea sehingga memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang khas.
Data terbaru sampai tahun 2005, menunjukkan jumlah jenis mamalia Sumba sampai
saat ini ada 32 jenis, yang terbagi ke dalam 6 bangsa (LIPI 2016). Sumba
mempunyai banyak kesamaan hewan mamalia dengan di bagian barat Indonesia.
Jenis-jenis mamalia di Sumba memiliki peran dan potensi yang sangat penting.
Selain memiliki peran alamiah dan fungsi ekologis yang penting bagi ekosistem
sebagai penyerbuk, penyebar biji, predator, dan sebagainya, keberadaan mamalia di
TN Matalawa menjadi salah satu daya tarik dari potensi biologis yang ada baik
untuk pemanfaatan protein hewani maupun mendukung ekowisata di TN Matalawa
khususnya Resort Manggaweti. Berdasarkan data yang disajikan dapat menjadi
pertimbangan bagi pengelolaan fauna khususnya mamalia di TN Matalawa di masa
yang akan datang.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keanekaragaman jenis
mamalia di Taman Nasional Matalawa khususnya di Resort Manggaweti.
8
METODE
Waktu dan Tempat
Pengambilan data dilaksanakan di Blok Mahaniwa, Resort Wanggameti,
Taman Nasional Matalawa, Nusa Tenggara Timur (Gambar 2). Pengamatan
dilakukan pada dua tipe ekosistem, yaitu ekosistem hutan primer dan ekosistem
hutan sekunder. Pengamatan dilaksanakan pada 1 – 7 Agustus 2019.
Gambar 2 Peta Pengamatan Kajian Mamalia SURILI 2019
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu buku panduan identifikasi
mamalia, trap Rodentia, kompas, GPS, thermometer dry wet, mistnet kelelawar,
jam tangan, senter/head lamp, pita ukur, meteran jahit, sarung tangan, pinset, jarum
suntik, gelas spesimen, dan kamera. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu alkohol 96%, tali rafia, kapas, pisang, selai kacang, dan terasi.
Metode Pengumpulan Data
A. Pengamatan Langsung
1. Metode Transek Jalur (Line Transect)
Metode pengamatan menggunakan metode transek jalur dilakukan melalui
pengamatan sepanjang jalur yang telah ditentukan sebelumnya, kemudian mencatat
seluruh jenis mamalia yang ditemukan secara langsung. Informasi yang dicatat
meliputi nama jenis, jumlah individu, waktu perjumpaan, jarak tegak lurus satwa
9
terhadap jalur, dan keterangan lainnya. Jarak antara pengamat dan satwa dapat
disimbolkan dengan r dan jarak tegak lurus antara satwa dengan jalur disimbolkan
dengan x. Jarak tegak lurus x didapatkan menggunakan trigonometri dengan sudut
antara r dan jalur (sudut pandang) diketahui θ (Navarro dan Díaz-Gamboa 2014).
Terdapat satu jalur pengamatan di masing-masing tipe ekosistem. Lebar jalur
pengamatan disesuaikan dengan kemampuan jarak pandang pengamat yang
dipengaruhi oleh kondisi topografi dan kerapatan tegakan pada lokasi pengamatan
(Gambar 3). Pengamatan dilakukan pada masing-masing jalur sebanyak 2 hari
dengan tiga pengulangan di setiap harinya, yaitu pagi hari (05.30 – 09.00 WITA),
sore hari (15.00 – 18.00 WITA), dan malam hari (19.00 – 21.00 WITA).
Gambar 3 Metode transek jalur Keterangan: L: panjang jalur, Z: posisi pengamat, Y: posisi satwa; r: jarak pengamat terhadap satwa; x: jarak
tegak lurus satwa terhadap jalur pengamatan, θ: sudut perjumpaan satwa
1. Metode Perangkap Hidup (Live Trapping)
Metode perangkap hidup digunakan untuk menginventarisasi jenis mamalia
kecil. Perangkap dipasang di bekas ladang kopi di dekat camp di Patamuwai.
Perangkap hidup yang dipasang selama penelitian bertujuan untuk
menginventarisasi Rodentia dan musang. Umpan yang digunakan untuk perangkap
hidup Rodentia berupa selai kacang dan terasi, sedangkan umpan untuk perangkap
hidup musang berupa pisang kepok. Jumlah perangkap hidup Rodentia yang
digunakan sebanyak tiga buah, sedangkan perangkap hidup musang berjumlah 1
buah.
2. Metode Jaring kabut (Mistnetting)
Metode jaring kabut/mistnetting digunakan untuk menginventarisasi
keanekaragaman jenis kelelawar atau bangsa Chiroptera. Jaring kabut dipasang di
dua lokasi, yaitu di mulut Gua Humurbakul dan di sekitar camp di Patamuwai.
Jaring kabut dipasang 0.5 – 3 m merentang di atas permukaan tanah dan dikaitkan
pada pohon di kedua sisinya (Gambar 4). Jaring kabut yang digunakan berukuran 3
x 6 meter. Pemasangan dilakukan selama 2 x 24 jam. Setiap kelelawar yang terjebak
jaring kabut dibawa ke camp menggunakan clothbag untuk diidentifikasi dengan
membandingkan ciri-ciri tubuhnya menggunakan buku panduan lapangan
Kelelawar di Indonesia.
Z
Y
x r
θ
L
10
Gambar 4 Ilustrasi pemasangan jaring kabut (Prasetyo et al. 2011)
3. Metode Pengamatan Cepat (Rapid Assessment)
Metode pengamatan cepat merupakan metode untuk menginventarisasi jenis-
jenis mamalia di suatu kawasan tanpa menduga populasinya. Metode ini dilakukan
pengamat di wilayah-wilayah di luar jalur pengamatan yang berpotensi sebagai
habitat dari mamalia baik secara perjumpaan langsung maupun tidak langsung.
Lokasi metode pengamatan cepat adalah Maradda Pangadu Jawa, Maradda
Kalimbung, Maradda Lei Muji, Omang Barakamundu, Omang Welatuna, dan Jarik.
A. Pengamatan Tidak Langsung
Metode pengamatan tidak langsung dilakukan untuk menginventarisasi
jenis mamalia tanpa melihat mamalia tersebut secara langsung. Metode ini
digunakan dengan mengidentifikasi feses, suara, jejak kaki, tempat tidur, tulang
belulang dan jejak keberadaan satwa lainnya yang ditemukan sepanjang jalur
pengamatan.
Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menggambarkan kondisi
mamalia serta lokasi perjumpaan sesuai dengan yang teramati di lapangan. Data
yang dikumpulkan berupa jenis mamalia yang ditemukan dan marking GPS lokasi
perjumpaan. Analisis deskriptif menggambarkan atau menganalisis suatu hasil
penelitian tetapi tidak dapat digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Habitat
Habitat merupakan kondisi dan sumber daya di suatu wilayah yang secara
spesifik dibutuhkan oleh organisme untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Habitat
menghubungkan keberadaan suatu jenis satwaliar, baik pada tingkat individu
maupun populasi, dengan komponen biologis (biotik) dan fisik (abiotik) di wilayah
11
tertentu (Hall et al. 1997). Informasi mengenai kondisi umum habitat lokasi
penelitian mamalia yang dilakukan di hutan primer dan hutan sekunder Blok
Mahaniwa Resort Wanggameti TN Matalawa diperoleh dengan melakukan studi
literatur dan pengamatan langsung.
Hasil studi literatur menunjukkan bahwa iklim di kawasan TN Matalawa
menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson berada pada tipe iklim C (agak basah)
sampai dengan F (kering). Curah hujan rata-rata tahunan di kawasan hutan
Laiwangi Wanggameti berkisar antara 100 – 1 500 mm (BTN Matalawa 2018).
Menurut curah hujan tersebut, hutan di kawasan TN Matalawa termasuk ke dalam
tipe ekosistem hutan musim selalu hijau (dry evergreen forest) (Murphy dan Logo
1986). Sementara itu, menurut ketinggian tempat, hutan di kawasan TN Matalawa
memiliki ekosistem tipe hutan hujan tropis Zona 1 atau hutan hujan bawah (Collins
et al. 1991; Kartawinata 2013). Pengamatan langsung dilakukan dengan
pengukuran suhu dan kelembaban menggunakan termometer dry-wet, mencatat
ketinggian tempat menggunakan GPS, dan deskripsi kondisi topografi dan
kerapatan vegetasi. Kondisi umum habitat lokasi penelitian adalah sebagai berikut:
a. Hutan Primer
Gambar 5 Hutan primer bernama Omang Padadalu yang penuh batuan karang
Kawasan hutan primer yang menjadi lokasi penelitian bernama Omang
Padadalu (omang = hutan) yang berada di sebuah bukit yang berjarak sekitar 870 m
dari camp di Patamuwai dan berjarak sekitar 2.5 km dari Desa Umandundu (Gambar
5). Suhu rata-rata di lokasi penelitian berkisar antara 21 – 24 ˚C dengan kelembaban
rata-rata 56.6%. Satu jalur pengamatan yang digunakan memotong kontur bukit
dengan ketinggian antara 892 – 956 mdpl. Panjang jalur pengamatan adalah 645 m.
Kondisi topografi tergolong datar-hampir datar hingga curam. Kerapatan vegetasi
12
tergolong sedang hingga rapat. Permukaan tanah di beberapa wilayah di lokasi
pengamatan ditutupi oleh batu karang berukuran kecil hingga besar.
b. Hutan Sekunder
Kawasan hutan sekunder yang menjadi lokasi penelitian bernama Omang
Humurbakul yang berjarak sekitar 450 m dari camp di Patamuwai dan berjarak 1.5
km dari Desa Umandundu (Gambar 6). Suhu rata-rata di lokasi penelitian berkisar
antara 20 – 24 ˚C dengan kelembaban rata-rata 55.8%. Satu jalur pengamatan yang
digunakan mengikuti jalur warga lokal dengan ketinggian antara 833 – 941 mdpl.
Panjang jalur pengamatan adalah 716 m. Kondisi topografi tergolong datar-hampir
datar. Kerapatan vegetasi tergolong sedang. Terdapat wilayah di lokasi pengamatan
yang ditanami oleh tanaman kopi.
Gambar 6 Hutan sekunder bernama Omang Humurbakul
Secara umum jalur pengamatan di Omang Padadalu cenderung lebih sulit
dibandingkan dengan jalur pengamatan di Omang Humurbakul sebab beberapa
wilayah di Omang Padadalu ditutupi oleh batu karang. Sumber air tidak ditemukan
di sepanjang jalur pengamatan namun ditemukan saat eksplorasi di bagian tenggara
bukit Omang Padadalu yang tidak masuk ke dalam jalur pengamatan, Omang
Welatuna, dan sebelah utara camp di Patamuwai.
Komposisi Jenis
Tujuh jenis mamalia ditemukan secara langsung dan tidak langsung di kedua
jenis ekosistem serta omang dan maradda (padang savana) lokasi eksplorasi.
Penemuan secara tidak langsung yaitu melalui feses, suara, jejak kaki, tempat tidur,
bekas pakan, dan bekas garukan ranggah (rusa timor). Data jenis mamalia yang
ditemukan pada lokasi penelitian tercantum pada Tabel 1.
13
Tabel 1 Komposisi Jenis Mamalia yang Dijumpai di Blok Mahaniwa
No. Famili Nama
Indonesia
Nama
Inggris Nama Ilmiah
Perjumpaan
Lang-sung
Tidak Langsung
1. Cercopithaecidae
Monyet
ekor
panjang
Nicobar Crab-eating Macaque
Macaca fascicularis
HP, HS,
OB, DU,
Camp
HP (BP)
2. Cervidae Rusa
timor Javan Deer
Rusa timorensis
HP (F,
GR, TT)
3. Muridae Tikus cokelat
Brown Rat Rattus norvegicus
Camp
4. Pteropodidae
Kelelawar
kubu Nusa
Tenggara
Western Naked-backed Fruit Bat
Dobsonia peronii
HS
5. Pteropodidae Prok-bruk
hutan
Intermediate Horseshoe Bat
Rhinolophus affinis
HS
6. Suidae Babi hutan
Wild Boar Sus scrofa
HP (F, S,
TT), HS (J), MPJ
(F, TT)
7. Viverridae Musang
luwak
Common Palm Civet
Paradoxurus hermaphroditus
HP, HS
MPJ
HP (F),
HS (F), MPJ (F)
Keterangan:
HP: hutan primer, HS: hutan sekunder, OB: Omang Barakamundu, MPJ: Maradda Pangadu Jawa,
DU: Desa Umandundu, BP: bekas pakan, GR: bekas garukan ranggah, F: feses, S: suara, TT:
tempat tidur, J: jejak kaki
Jenis Mamalia yang Ditemukan
1. Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)
Menurut Napier dan Napier (1967), monyet ekor panjang yang menghuni
pulau-pulau yang berdekatan dengan Pulau Sumba seperti Pulau Lombok, Pulau
Sumbawa, Pulau Flores, dan Pulau Kambing adalah subspesies M. f. sublimitis.
Oleh karena itu, monyet ekor panjang yang ditemukan di TN Matalawa dapat
disimpulkan merupakan subspesies ini. Monyet ekor panjang ditemukan di kedua
jalur pengamatan. Selain itu, satwa ini juga ditemukan di Omang Barakamundu
yang berlokasi di sebelah barat-daya bukit Omang Padadalu (hutan primer), camp
di Patamuwai, dan Desa Umandundu. Satwa ini menjadi mamalia yang paling
sering ditemukan secara langsung selama waktu penelitian dengan frekuensi
perjumpaan tertinggi di Omang Humurbakul (hutan sekunder). Menurut Crockett
dan Wilson (1980), monyet ekor panjang lebih menyukai habitat-habitat sekunder
seperti Omang Humurbakul sebab berjarak dekat dengan pemukiman penduduk dan
ladang pertanian yang menyediakan sumber pakan.
14
Monyet ekor panjang yang ditemukan di lokasi penelitian teramati sangat
sensitif dengan kehadiran pengamat. Hal ini ditunjukkan dengan monyet seketika
meninggalkan pohon bahkan saat pengamat masih berjarak cukup jauh dari pohon
di mana monyet terdeteksi. Hal ini menunjukkan bahwa monyet ekor panjang di
lokasi penelitian merupakan satwaliar yang waspada terhadap kehadiran
pengganggu, salah satunya adalah manusia. Kewaspadaan merupakan salah satu
fungsi hidup berkelompok (Napier dan Napier 1985; Van Schaik 1985). Setiap
anggota kelompok berperan dalam mendeteksi adanya gangguan/benda asing di
sekitarnya sehingga primata akan lebih cepat (lebih dulu) mengetahui (mendeteksi)
kehadiran predator (pengganggu).
Perilaku monyet ekor panjang lainnya yang teramati adalah pilihan ruang
untuk melarikan diri. Kelompok monyet yang berada di Omang Padadalu dan
Omang Humurbakul menjauhi pengamat dengan cara melompat dari pohon ke
pohon. Sementara itu, kelompok monyet yang berada di Omang Barakamundu
teramati menjauhi pengamat dengan menuruni pohon dan berlari di lantai hutan.
Hal ini dapat disebabkan adanya adaptasi oleh monyet ekor panjang terhadap
lingkungannya. Lokasi perjumpaan monyet ekor panjang Omang Barakamundu
berada di bagian tepi hutan di mana tajuk pohon tidak begitu rapat mengakibatkan
monyet dapat terlihat jelas oleh pengamat yang berada di padang terbuka dan
dianggap sebagai pengganggu atau predator (Daniel 1979; Peetz et al. 1992). Oleh
karena itu, monyet di lokasi ini diduga memilih berlari di lantai hutan yang
terhalangi dari pandangan pengamat dengan keberadaan semak-semak tinggi di tepi
hutan. Perilaku ini menunjukkan bahwa penggunaan ruang oleh monyet juga
dipengaruhi oleh tingkat resiko predasi (predation risk). Hal ini didukung dengan
hasil penelitian Makin et al. (2012) terhadap penggunaan ruang monyet vervet yang
melakukan penyesuaian ruang vertikal dan horisontal untuk menghindari predator
aerial dan terestrial.
Monyet ekor panjang juga teramati bertengger di pohon yang sama atau
berdekatan dengan julang sumba di Omang Humurbakul dan Omang Barakamundu.
Monyet ekor panjang teramati sedang bertengger dan makan pada pohon kaduru
(Palaquium sp. dan Planchonella sp.). Bekas pakan monyet ekor panjang berupa
sisa buah kadu rawa (Elaeocarpus sphaericus) yang ditemukan di Omang
Humurbakul menunjukkan bahwa satwa ini juga memanfaatkan tumbuhan ini
sebagai sumber pakan. Berdasarkan hasil pengamatan tim kajian burung, kadu rawa
juga merupakan pakan julang sumba (Rhyticeros everetti). Berdasarkan informasi
dari pemandu, monyet ekor panjang juga memanfaatkan kalihi omang
(Lophopetalum javanum) (Gambar 7) sebagai sumber pakan dan tumbuhan ini
ditemukan berada di dekat pohon-pohon tempat monyet ekor panjang dan julang
sumba terdeteksi selama pengamatan. Di Desa Umandundu monyet ekor panjang
teramati bertengger di pohon-pohon beringin (Ficus sp.) dan berdasarkan informasi
dari masyarakat satwa ini seringkali tidur di gua-gua yang ada di perbatasan antara
desa dengan taman nasional seperti Gua Lawola dan Gua Hibu Karik.
15
Gambar 7 Kalihi omang (Lophopetalum javanum)
Interaksi antara monyet ekor panjang dan julang sumba menarik untuk dikaji
sebab monyet ekor panjang terkenal sebagai mamalia invasif yang apabila
populasinya tidak dikelola dengan baik dapat merusak ekosistem. Sementara itu,
julang sumba merupakan salah satu satwa khas TN Matalawa yang berstatus
konservasi ‘Rentan’ atau Vulnerable menurut IUCN. Berdasarkan hasil pengamatan
tidak ada interaksi negatif antara monyet ekor panjang dan julang sumba sehingga
diduga interaksi antara kedua spesies ini adalah interaksi antara spesies frugivor
(pemakan buah).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembahasan mengenai interaksi antar
spesies frugivor adalah karakter-karakter buah-buah yang menjadi sumber pakan,
hubungan intraspesifik, dan hubungan interspesifik. Namun, pada suatu ekosistem
interaksi antara tumbuhan dan satwa merupakan sebuah produk evolusi sehingga
interaksi antara komponen ekosistem saat ini, termasuk ada tidaknya persaingan
antar spesies frugivor, merupakan hasil dari hubungan saling mempengaruhi sekian
lamanya (Fleming 1979). Sementara itu, menurut Sebastián-González et al. (2016),
pemilihan jenis buah oleh burung frugivor banyak dipengaruhi oleh morfologi
tubuh, sedangkan pemilihan jenis buah oleh mamalia frugivor banyak dipengaruhi
oleh preferensi dan perilaku.
Beberapa studi juga berpendapat bahwa pemilihan jenis buah sebagai pakan
oleh satwa dilakukan melalui proses pengambilan keputusan secara hierarki
(hierarchial decision-making process). Ketiadaan interaksi negatif antara monyet
ekor panjang dan julang sumba dapat juga disebabkan oleh monyet ekor panjang
yang bersifat generalis dan omivora sehingga mengurangi persaingan terhadap
sumber pakan yang sama dengan julang sumba. Sementara itu, hasil pengamatan
menunjukkan bahwa jenis mamalia lainnya dapat dijumpai di lokasi keberadaan
16
monyet ekor panjang yaitu musang luwak dan babi hutan. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian Kartono et al. (2009) di TN Gunung Ciremai di mana berdasarkan
korelasi Pearson (r) sebaran populasi monyet ekor panjang memiliki hubungan
negatif yang sangat nyata dengan musang luwak dan babi hutan. Hal ini berarti
keberadaan monyet ekor panjang tidak memengaruhi keberadaan musang luwak dan
babi hutan dan sebaliknya.
2. Rusa Timor (Rusa timorensis)
Rusa timor yang berada di Pulau Sumba merupakan subspesies R. t.
floresiensis (Van Bemmel 1951). Rusa timor dijumpai secara tidak langsung
melalui keberaadan feses, tempat tidur, dan bekas garukan ranggah di Omang
Padadalu. Menurut informasi yang diperoleh dari pengelola Taman Nasional
Matalawa, rusa timor baru dijumpai di lokasi tersebut sejak tahun 2015. Selama ini,
rusa timor di Resort Wanggameti paling banyak hidup di Maradda La Pahar
(maradda = padang savana). Menurut Semiadi (2006), rusa timor mempunyai
habitat utama berupa savana dan di daerah hutan terbuka. Rusa mencari makan di
padang rumput dan daerah-daerah terbuka, sedangkan hutan dan semak belukar
merupakan tempat berlindung.
Feses dan tempat tidur rusa timor dijumpai di lokasi yang sama yaitu di bagian
puncak bukit Omang Padadalu yang cukup datar dan di bawah tutupan tajuk
(Gambar 8 dan 9). Lokasi tersebut dapat dicapai melalui hutan yang cukup rapat di
sebelah utara atau sisi bukit yang cukup terjal di bagian lainnya. Hasil pengamatan
menunjukkan rusa mencapai lokasi ini melalui sisi bukit yang terjal sebab lebih
dekat dengan sumber air. Menurut Masy’ud et al. (2007), rusa merupakan satwa
dengan kebutuhan air yang cukup tinggi. Selain itu, hasil penelitian Kayat et al.
(2017) menunjukkan bahwa rusa timor di kawasan Tanjung Torong Padang, Nusa
Tenggara Timur juga ditemukan tersebar pada daerah dengan kemiringan terjal.
Pemilihan lokasi tidur rusa timor di bawah tutupan tajuk dapat merupakan strategi
anti-predator. Penelitian Smith et al. (1986) mengenai pemilihan lokasi tidur oleh
rusa mule (Odocoileus hemionus) dan penelitian Mysterud (1996) oleh rusa roe
(Capreolus capreolus) menunjukkan bahwa lokasi tidur rusa seringkali tersembunyi
Gambar 9 Feses rusa timor Gambar 8 Bekas tempat tidur rusa timor
17
oleh vegetasi dibandingkan oleh topografi sebagai strategi anti-predator di mana
vegetasi akan membuat rusa yang tidur membaur dengan sekelilingnya. Hal yang
sama ditunjukkan oleh hasil penelitian Brodie et al. (2009) yang menunjukkan
bahwa kijang (Muntiacus muntjak) dan rusa sambar (Rusa unicolor) memilih lokasi
tidur dengan tutupan tajuk yang tinggi dan topografi datar yang dapat memberikan
bidang pandang yang lebih luas (Canon dan Bryant 1997).
Di Omang Padadalu juga ditemukan bekas garukan ranggah rusa. Menggaruk
ranggah pada rusa merupakan tanda bahwa ranggah sudah matang atau akan lepas
(Wirdateti et al. 2005). Menurut Handarini (2006), rusa jantan memasuki tahap
ranggah keras pada awal musim kemarau dan mengalami casting ketika musim
hujan tiba. Musim hujan di Kabupaten Sumba Timur biasanya terjadi pada bulan
Desember dan Maret (Molyoutami et al. 2016). Selain itu, menggaruk ranggah juga
merupakan bentuk penandaan teritori, mempertajam tanduk, dan mencari harem
untuk dikawini (Handarini et al. 2004).
3. Tikus cokelat (Rattus norvegicus)
Selama waktu penelitian tikus cokelat dijumpai secara langsung melalui
metode trapping dengan menaruh jebakan atau trap di sekitar bekas ladang kopi
sekitar 30 m sebelah timur camp di Patamuwai. Jebakan dipasang pada saat malam
hari yang merupakan waktu aktif tikus (Tristiani et al. 2003). Selama waktu
penelitian pemasangan jebakan hanya berhasil menjebak satu ekor tikus dewasa
yaitu pada malam pertama pemasangan jebakan (Gambar 10). Menurut Stokes
(2013), efisiensi jebakan untuk tikus hitam (R. rattus) dapat dipengaruhi oleh
ukuran jebakan, perilaku tikus, desain jebakan, fitur habitat, dan kombinasi dari
faktor-faktor tersebut. Perilaku menghidari resiko dan diduga mengakibatkan tikus
hitam tidak mendekati objek yang tidak familiar. Perilaku ini kemungkinan juga
dimiliki oleh tikus cokelat. Menurut hasil penelitian Davis dan Emlen (1956) dan
Himsworth et al. (2014), tikus dewasa juga menunjukkan kemungkinan lebih besar
untuk memasuki jebakan pada hari-hari pertama pemasangan dibandingkan tikus
yang belum dewasa. Selain itu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat
kesuksesan tertinggi pemasangan jebakan pada tikus terjadi pada hari-hari pertama
pemasangan dan semakin menurun pada hari-hari berikutnya (Himsworth et al.
2014; Byers et al. 2019). Hal ini menunjukkan perilaku ‘trap shy’ pada tikus.
18
Gambar 10 Tikus cokelat (Rattus norvegicus)
Keberadaan tikus juga terdeteksi melalui perjumpaan langsung disertai suara
gemerisik vegetasi yang diakibatkan pergerakan tikus (Tristiani et al. 2003) dan
perjumpaan seperti ini terjadi beberapa kali pada siang hari. Tikus polinesia (Rattus
exulans) merupakan jenis Rodentia lainnya yang tercatat ditemukan di TN
Matalawa (BTN Matalawa 2018). Namun, jenis ini diketahui memiliki hubungan
kompetisi dengan tikus cokelat dan cenderung menghindari habitat yang telah
dihuni oleh tikus cokelat (Harper dan Veitch 2006) sehingga hal ini diduga menjadi
penyebab tikus polinesia tidak dapat dijumpai selama waktu penelitian. Rodentia
berperan penting dalam penyebaran biji dan spora, polinasi, pemangsaan biji, siklus
energi dan nutrisi, modifikasi suksesi tumbuhan dan komposisi spesies, serta
menjadi pakan bagi berbagai jenis predator (Witmer dan Shiels 2018). Di Omang
Padadalu dijumpai lubang sarang tikus berupa cerukan pada batuan karang dengan
sisa-sisa buah kalihi. Hal ini dapat merepresentasikan peran tikus dalam
pemangsaan dan penyebaran biji.
4. Kelelawar Kubu Nusa Tenggara (Dobsonia peronii) dan Prok-bruk Hutan
(Rhinolophus affinis)
Kelelawar kubu Nusa Tenggara dijumpai secara langsung terjebak di jaring
kabut atau mistnet yang dipasang di mulut Gua Humurbakul yang berada di Omang
Humurbakul (Gambar 11). Menurut Goodwin (1979), koloni terbesar kelelawar ini
menghuni chamber besar di dalam suatu gua kapur. Kelelawar ini langsung dapat
teridentifikasi saat dijumpai melalui ciri khas rambut nya yang berwarna kuning
kehijauan. Kelelawar kubu Nusa Tenggara merupakan salah satu jenis
Megachiroptera, yaitu jenis kelelawar berukuran tubuh besar dan pemakan buah.
Kelelawar ini diketahui memakan buah dari Borassus dan Ficus (Goodwin 1979).
Ficus merupakan tumbuhan yang banyak dijumpai di dalam kawasan dan menjadi
19
pakan bagi berbagai jenis satwa, sedangkan Borassus banyak dijumpai di
pekarangan atau ladang masyarakat setempat sebab dimanfaatkan menjadi bahan
baku pembuatan tas dan keranjang.
Gambar 11 Kelelawar Kubu Nusa Tenggara (Dobsonia peronii)
Prok-bruk hutan juga dijumpai secara langsung terjebak di jaring kabut atau
mistnet yang dipasang di mulut Gua Humurbakul bersama dengan kelelawar kubu
Nusa Tenggara (D. peronii) (Gambar 12). Kelelawar jenis ini diketahui bersarang
di gua kapur (Kingsada et al. 2011). Perjumpaan jenis ini di Omang Humurbakul
yang merupakan ekosistem hutan sekunder juga ditunjukkan melalui hasil
penelitian Furey et al. (2010) dimana jenis ini lebih sering ditemukan di hutan yang
sudah terganggu dibandingkan di hutan primer. Prok-bruk hutan merupakan salah
satu jenis Microchiroptera, yaitu jenis kelelawar berukuran tubuh kecil dan
pemakan serangga. Kelelawar Microchiroptera berperan penting dalam
mengendalikan populasi serangga yang dapat menjadi hama (Wijanarko 2008).
Menurut hasil penelitian Jiang et al. (2008), serangga yang menjadi pakan Prok-
bruk hutan mayoritas berasal dari famili Pyralidae, Geometridae, dan
Melolonthidae.
20
Gambar 12 Prok-bruk Hutan (Rhinolophus affinis)
Pemasangan jaring kabut di malam kedua di tempat yang sama menunjukkan
ketidaksuksesan. Hal ini dapat disebabkan memori spasial yang dimiliki kelelawar
(Robbins et al. 2008) yang menyebabkan kelelawar menghindari lokasi jaring kabut.
Selain itu, keefektifan penggunaan jaring kabut juga dipengaruhi oleh tinggi
terbang, kecepatan terbang, tipe ekolokasi, dan ukuran tubuh (Kofoky et al. 2006).
Eonycteris spelaea dan Rousettus amplexicaudatus merupakan dua jenis kelelawar
yang juga tercatat ditemukan di TN Matalawa (BTN Matalawa 2018). Namun,
kedua jenis ini tidak terjebak jaring kabut selama waktu penelitian. Hal ini dapat
disebabkan kedua jenis ini mencari makan di ruang terbuka di puncak kanopi hutan
(Hodgkison 2001) sehingga tidak terjebak oleh jaring kabut yang dipasang setinggi
2 – 3 m dari atas permukaan tanah.
5. Babi Hutan (Sus scrofa)
Babi hutan dijumpai secara tidak langsung di jalur pengamatan di kedua
ekosistem, Omang Padadalu dan Omang Humurbakul, serta di Maradda Pangadu
Jawa. Perjumpaan secara tidak langsung berupa perjumpaan suara, feses, tempat
tidur, dan jejak kaki. Suara babi hutan terdengar saat pengamatan sore menjelang
malam di puncak bukit lokasi Omang Padadalu. Suara terdengar datang dari bagian
bawah bukit. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa babi hutan seringkali bersifat
nokturnal dan menggunakan matahari tenggelam sebagai tanda untuk mulai
beraktivitas (Spitz 1986; Lemel et al. 2003; Pei 2006). Walaupun diketahui sebagai
satwa generalis dalam hal pemilihan habitat, hasil pengamatan menunjukkan bahwa
jejak keberadaan babi hutan lebih banyak ditemukan di ekosistem hutan primer yaitu
di Omang Padadalu. Hal ini dapat disebabkan Omang Padadalu memiliki vegetasi
rapat yang baik untuk lokasi sarang dengan memberikan perlindungan dari cuaca
dan predator (Allwin et al. 2016). Tempat tidur babi hutan yang dijumpai selama
pengamatan mayoritas berbentuk tumpukan daun-daun rerumputan. Selain itu,
tempat tidur babi hutan juga ditemukan berada di cerukan-cerukan batuan karang
membentuk gua yang banyak terdapat di Omang Padadalu (Gambar 13). Perilaku
21
yang sama juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Nichols (1962) terhadap babi
hutan di Hawaii yang menggunakan gua-gua sebagai tempat tidur.
Gambar 13 Tempat tidur babi hutan (Sus scrofa) di cerukan batu karang
Satwa ini menjadi mamalia yang paling sering ditemukan secara tidak
langsung selama waktu penelitian. Hal ini perlu menjadi pertimbangan dalam
pengelolaan kawasan sebab babi hutan memberikan dampak yang bertentangan bagi
komunitas tumbuhan dan satwaliar lainnya. Perilaku makan babi hutan yang
mencabut tumbuhan pakannya untuk mendapatkan umbi (rooting) dapat
mengakibatkan penurunan populasi tumbuhan pakan dan penggemburan tanah yang
dapat berakibat erosi di lokasi dengan topografi yang curam. Namun, perilaku ini
juga menyebabkan tanah menjadi lebih subur akibat penggemburan tanah yang
mempermudah pertukaran mineral dan kation. Babi hutan juga memangsa telur dari
burung-burung terestrial (Massei dan Genov 2004). Bagi komunitas satwaliar babi
hutan diketahui memangsa larva serangga yang berpotensi menjadi hama. Oleh
karena itu, penelitian lebih lanjut mengenai ekologi babi hutan sangat diperlukan
untuk menjadi dasar bagi pengelolaan populasinya.
6. Musang Luwak (Paradoxurus hermaphroditus)
Musang luwak dijumpai secara langsung maupun tidak langsung selama
waktu pengamatan. Musang luwak dijumpai secara langsung di Omang Padadalu
pada pengamatan sore (Gambar 14) dan di Maradda Pangadu Jawa pada pengamatan
malam. Selama pengamatan hanya satu individu musang luwak yang dijumpai
setiap kalinya. Hal ini menunjukkan sifat nokturnal dan soliter dari musang luwak
(Nakashima et al. 2010). Perjumpaan musang luwak pada sore hari di Omang
Padadalu diduga adalah saat ketika musang luwak keluar dari pohon istirahatnya di
dalam hutan untuk mulai mencari makan. Hal ini didukung oleh pernyataan
22
Nakashima et al. (2013) yaitu musang luwak seringkali kembali ke hutan untuk
beristirahat pada siang hari. Musang luwak yang dijumpai di Maradda Pangadu
Jawa pada malam hari selalu dijumpai berada di atas pohon Gaik yang tumbuh di
antara padang rumput. Perilaku ini juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Joshi et
al. (1995) di mana musang luwak beristirahat pada pohon tertinggi dan terbesar yang
ada di sekitarnya pada malam hari. Pohon gaik bertajuk jarang sehingga pantulan
cahaya dari mata musang luwak sangat mudah terlihat pada saat pengamatan
malam.
Hasil penelitian Nakashima et al. (2013) menunjukkan bahwa keberadaan
buah dan lokasi tidur siang (day-bed site) merupakan faktor penting yang
mempengaruhi penggunaan ruang oleh musang luwak. Walaupun secara klasifikasi
ilmiah musang luwak termasuk dalam bangsa Carnivora, musang diketahui banyak
mengkonsumsi buah-buahan (Zhou et al. 2008). Musang memakan buah secara utuh
dan mengeluarkan bijinya secara utuh pula melalui feses (Mudappa 2001). Perilaku
makan ini menyebabkan musang luwak mampu menyebarkan biji dengan jarak
yang lebih jauh dibandingkan frugivora toleran-gangguan (disturbance-tolerant)
lainnya (Nakashima dan Sukor 2010). Menurut Wunderle (1997), penyebar biji
jarak jauh sangat penting baik bagi melestarikan populasi jenis-jenis tumbuhan
maupun untuk restorasi hutan. Oleh karena itu, musang luwak merupakan satwaliar
yang sangat perlu untuk dilestarikan.
Gambar 14 Musang luwak di atas pohon Gambar 15 Feses musang luwak
Status Konservasi
Status konservasi merupakan indikator yang digunakan untuk menunjukkan
tingkat keterancaman spesies mahluk hidup dari kepunahan. Status konservasi
diterapkan baik untuk hewan maupun tumbuhan. Penetapan status konservasi
bertujuan untuk memberikan perlindungan dan pelestarian terhadap spesies mahluk
hidup. Status tersebut bisa berbeda-beda di setiap negara, sehingga status konservasi
juga merupakan salah satu indikator dalam pengelolaan satwaliar. Status konservasi
bisa dikeluarkan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga yang memiliki perhatian
pada keanekaragaman hayati. Status konservasi yang paling banyak dijadikan
rujukan secara global diantaranya The IUCN Red List of Threatened Species dan
23
CITES Appendices. Status yang dikeluarkan oleh kedua lembaga ini tidak mengikat
secara hukum sampai suatu negara mengadopsinya dalam sistem hukum masing-
masing. Penerapan perlindungan terhadap fauna di Indonesia diatur oleh Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI No. P.106 Tahun 2018.
Tabel 2 Status Konservasi Mamalia yang Dijumpai di Blok Mahaniwa
Secara status, penilaian ancaman bagi rusa timor (Rusa timorensis) di habitat
alaminya adalah perburuan, perdagangan ilegal, dan kerusakan habitat. Rusa diburu
untuk pemenuhan pangan dan kesenangan bagi manusia (Jacoeb dan Wiryosuhanto
1994). Salah satu upaya untuk menjaga keberadaan rusa timor yaitu dengan
melakukan upaya penangkaran untuk mengantisipasi kepunahan rusa. Berdasarkan
Kategori IUCN Red list, sejak tahun 2008 rusa timor termasuk kategori rentan
(Vulnerable) (Tabel 2). Sebelumnya pada tahun 1996 rusa timor berstatus resiko
rendah (Lower Risk). Perubahan status ini disebabkan total populasi asli rusa timor
di darah penyebaran aslinya diperkirakan kurang dari 10.000 individu dewasa,
dengan perkiraan penurunan sekurangnya 10% selama tiga generasi sebagai akibat
dari hilanganya habitat dan perburuan (IUCN 2015). Pemerintah dalam Permen
LHK No P.106 juga memasukkan rusa timor kedalam satwa dilindungi, namun
dalam status perdagangannya, CITES tidak menempatkan rusa timor dalam daftar
Appendix-nya.
Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) termasuk dalam status beresiko
rendah atau Least Concern dalam IUCN dan termasuk dalam Appendix II dalam
CITES. Appendix II meliputi spesies yang tidak selalu terancam punah, namun
perdagangannya harus dikontrol untuk menghindari pemanfaatan yang
membahayakan kelangsungan hidupnya. Musang Luwak (Paradoxurus
hermaphroditus) termasuk dalam status Least Concern dalam IUCN dan termasuk
dalam Appendix III dalam CITES. Appendix III meliputi spesies yang dilindungi
oleh paling sedikit satu negara dan pihak tersebut meminta bantuan CITES untuk
mengendalikan perdagangannya. Mamalia lain yang ditemukan seperti babi hutan
(Sus scrofa), tikus cokelat (Rattus norvegicus), kelelawar jenis Rhinolophus affinis
No Famili Nama Ilmiah
Status Konservasi
IUCN CITES
Permen
LHK
No.106
1. Cercopithaecidae Macaca fascicularis LC Appendix II -
2. Cervidae Rusa timorensis VU - √
3. Muridae Rattus norvegicus LC - -
4. Pteropodidae Dobsonia peronei LC - -
5. Pteropodidae Rhinolophus affinis LC - -
6. Suidae Sus scrofa LC - -
7. Viverridae
Paradoxurus hermaphrodites LC
Appendix III -
24
dan Dobsonia peronii merupakan mamalia yang berstatus Least Concern dalam
IUCN, dan untuk status perlindungan terhadap perdagangan liar dan perlindungan
fauna dalam negeri tidak disinggung sama sekali. Hal ini dapat disebabkan
keberadaan jenis satwa yang berlimpah dan juga kurangnya data terkait keberadaan
satwa tersebut serta kedudukan satwa yang kurang primer dalam rantai ekosistem.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Jenis mamalia yang dijumpai selama penelitian di Blok Mahaniwa Resort
Wanggameti TN Matalawa berjumlah 7 jenis dari 6 famili. Jenis mamalia yang
paling sering dijumpai secara pengamatan langsung maupun tidak langsung adalah
babi hutan (Sus scrofa). Selain itu, tidak dijumpai interaksi negatif antara monyet
ekor panjang (Macaca fascicularis) dan julang sumba. Rusa timor dijumpai secara
tidak langsung melalui keberaadan feses, tempat tidur, dan bekas garukan ranggah
di Omang Padadalu dan baru dijumpai di lokasi tersebut sejak tahun 2015. Jenis
kelelawar yang dijumpai selama penelitian adalah kelelawar kubu nusa tenggara
(Dobsonia peronii) dan prok-bruk hutan (Rhinolophus affinis) yang terperangkap
oleh mistnet. Musang luwak dijumpai secara langsung di Omang Padadalu pada
pengamatan sore dan di Maradda Pangadu Jawa pada pengamatan malam. Rusa
timor memiliki status konservasi rentan (Vurnerable) menurut IUCN dan termasuk
ke dalam daftar satwaliar dilindungi menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan RI No. P.106 Tahun 2018. Sementara itu, jenis mamalia lainnya
berstatus beresiko rendah (Least Concern).
Saran
Pemantauan (monitoring) mamalia di TN Matalawa perlu rutin dilakukan
untuk mengetahui kondisi populasi dan habitatnya yang penting sebagai dasar
dalam pengelolaanya. Kajian terhadap jenis-jenis Pteropodidae perlu lebih banyak
dilakukan sebab informasi mengenai famili satwaliar ini di Nusa Tenggara masih
minim. Kajian lebih mendalam perlu dilakukan mengenai hubungan antara monyet
ekor panjang dengan jenis-jenis burung endemik. Kondisi habitat di Omang
Padadalu perlu diteliti lebih lanjut dalam kesesuaiannya sebagai habitat rusa timor
yang dapat menjadi dasar untuk peningkatan kuantitas dan kualitas habitatnya.
Potensi babi hutan untuk menjadi satwa buru untuk aktivitas wisata berburu dapat
juga dikaji lebih lanjut.
25
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwa Liar. Jilid 1. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Allwin B, Swaminathan R, Mohanraj A, Suhas GN, Vedaminckam S, et al. 2016.
The wild pig (Sus scrofa) behavior – a retrospective study. J Veterinar Sci
Techno. 7:333.
[BTN Matalawa] Balai Taman Nasional Manapeu Tanah Daru-Laiwangi
Wanggameti. 2018. Statistik Balai TN Matalawa 2018. Tidak dipublikasikan.
Brodie JF, Brockelman YF. 2009. Bed site selection of red muntjac (Muntiacus
muntjac) and sambar deer (Rusa unicolor) in a tropical seasonal forest. Ecol.
Res. doi: 10.1007/s11284-009-0610-9.
Byers KA, Lee MJ, Bidulka JJ, Patrick DM, Himswort CG. 2019. Rat in a cage:
trappability of urban Norway rats (Rattus norvegicus). Front. Ecol. Evol. 7:
68.
Canon SK, Bryant FC. 1997. Bed-site characteristics of pronghorn fawns. J. Wildl.
Manag. 61:1134-1141.
Collins NM, Sayer JA, Whitmore TC. 1991. The Conservation Atlas of Tropical
Forests: Asia and The Pacific. London (UK): Macmillian Press Ltd.
Crockett CM, Wilson WL. 1980. The ecological separation of Macaca nemestrina
and Macaca fascicularis in Sumatra. Dalam: The Macaques: Studies in
Ecology Behaviour and Evolution. Lindburg DG, editor. New York (US):
Van Nostrand Reinhold Company.
Daneel ABC. 1979. Prey size and hunting methods of the crowned eagle. Ostrich
50:120-121.
Davis DE, Emlen JT. 1956. Differential trapability of rats according to size and sex.
J. Wildl. Manag. 20:326–327.
Fleming TH. 1979. Do tropical frugivores compete for food?. AMER. ZOOL.
19:1157-1172.
Furey NM, Mackie IJ, Racey PA. 2010. Bat diversity in Vietnamese limestone karst
areas and the implications of forest degradation. Biodiversity Conservation
19:1821-1838.
Goodwin RE. 1979. The bats of Timor: systematics and ecology. Bulletin of The
American Museum of Natural History 163(2):73-122.
Hall LS, Krausman PR, Morrison ML. 1997. The habitat concept and a plea for
standard terminology. Wildlife Society Bulletin 25(1):173-182.
26
Handarini R, Nalley WMM, Semiadi G, Agung P, Subandriyo, Purwantara B,
Toelihere MR. 2004. Lama tahap pertumbuhan ranggah dalam satu siklus
ranggah rusa pada rusa timor (Cervus timorensis) jantan. Teknologi
Peternakan dan Veteriner 459-465.
Handarini R. 2006. Pola dan siklus pertumbuhan ranggah rusa timor jantan (Cervus
timorensis). Jurnal Agribisnis Peternakan 2(1):28-35.
Harper G, Veitch D. 2006. Population ecology of Norway rats (Rattus norvegicus)
and interference competition with Pacific rats (Rattus exulans) on Raoul
Island, New Zealand. Wildlife Research 33:539-548.
Himsworth CG, Jardine CM, Parsons KL, Feng AYT, Patrick DM. 2014. The
characteristics of wild rat (Rattus spp.) populations from an inner-city
neighborhood with a focus on factors critical to the understanding of rat-
associated zoonoses. PLoS ONE 9: e91654.
Hodgkison R. 2001. The Ecology of Fruit Bats (Chiroptera: Pteropodidae) in a
Malaysian Lowland Dipterocarp Forest, with Particular Reference to The
Spotted-Winged Fruit Bat (Balionycteris maculata, Thomas) [tesis]. Scotland
(UK): University of Aberdeen.
IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Reserves).
2015. The Redlist of Threathened Species [Internet]. [Diakses 2019
September 04]. Tersedia pada: http://www.iucnredlist.org.
Jacoeb TN, Wiryosuhanto SD. 1994. Prospek Budidaya Ternak Rusa Jilid I. Jakarta
(ID): Kanisius.
Jiang T, Feng J, Sun K, Wang J. 2008. Coexistence of two sympatric and
morphogically similar bat species Rhinolophus affinis and Rhinolophus
pearsoni. Progress in Natural Science 18(5):523-532.
Joshi AR, Smith JLD, Cuthbert FJ. 1995. Influence of food distribution and
predation pressure on spacing behavior in palm civets. Journal of
Mammalogy 76:1205–1212.
Kartawinata K. 2013. Diversitas Ekosistem Alami Indonesia: Jakarta (ID): LIPI
Press dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Kartono AP, Gunawan, Maryanto I, Suharjono. 2009. Jurnal Biologi Indonesia
5(3):279-294.
Kayat, Pudyatmoko S, Maksum M, Imron MA. 2017. Potensi konflik
penggembalaan kuda pada habitat rusa timor (Rusa timorensis Blainville
1822) di kawasan Tanjung Torong Padang, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Imu
Kehutanan II 2017:4-18.
27
Kingsada P, Douangboubpha B, Saveng I, Furey N, Sisook P, Bumrungsri R,
Satasook C, Thong VD, Csorba G, Harrison D et al. 2011. A checklist of bats
from Cambodia, including the first record of the intermediate horseshoe bat
Rhinolophus affinis (Chiroptera: Rhinolophidae), with additional information
from Thailand and Vietnam. Cambodian Journal of Natural History
2011(1):49-59.
Lemel J, Truve J, Soderberg B. 2003. Variation in ranging and activity behavior of
European wild boar Sus scrofa in Sweden. Wildlife Biology 9:29-36.
[LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2016. Ekspedisi Sumba. Jakarta (ID):
LIPI Press.
Kofoky A, Andriafidison D, Ratrimomanarivo F, Razafimanabaka HJ,
Rakatondravony D, Racey PA, Jenkins RKB. 2006. Habitat use, roost
selection and conservation of bats in Tsingy de Bemaraha National Park,
Madagascar. Biodivers Conserv. 16 (4):1039-1053.
Makin DF, Payne HFP, Kerley GIH, Shrader AM. 2012. Foraging in a 3-D world:
how does predation risk affect space use of vervet monkeys?. Journal of
Mammalogy 93(2):422-428.
Massei G, Genov PV. 2004. The environmental impact of wild boar. Galemys. 16:
135-145.
Masy’ud B, Wijaya R, Santoso IB. 2007. Pola distribusi, populasi dan aktivitas
harian rusa timor (Rusa timorensis, De Blainville 1822) di Taman Nasional
Bali Barat. Media Konservasi 12(3).
Meijaard E, Sheil D, Nasi R, Augeri D, Rosenbaum B, Iskandar D, Setyawati T,
Lammertink M, Rachmatika I, Wong A, et al. 2006. Hutan Pasca Pemanenan:
Melindungi Satwaliar dalam Kegiatan Hutan Produksi di Kalimantan. Jakarta
(ID): Center for International Forestry Research.
Mudappa D. 2001. Ecology of the Brown Palm Civet Paradoxurus jerdoni in the
Tropical Rainforests of the Western Ghats, India [tesis]. Coimbatore (IN):
Barathiar University.
Mulyoutami E, Sabastian G, Roshetko JM .2016. Pengetahuan dan Persepsi
Masyarakat Pengelola Padang Savana Sebuah kajian Gender di Sumba Timur,
Indonesia: Working Paper no. 245. Bogor (ID): World Agroforestry Centre
(ICRAF) Southeast Asia Regional Program.
Murphy PG, Logo AE. 1986. Ecology of tropical dry forest. Annual Review of
Ecology and Systematics 17:67-88.
Mustari AH, Fatimah DN, Setiawan A, Febria R. 2010. Diversity of Mammals in
Sebangau National Park, Central Kalimantan. Media Konservasi 15:115–119.
28
Mysterud A. 1996. Bed-site selection by adult roe deer Capreolus capreolus in
southern Norway during summer. Wild. Biol. 2:101-106.
Nakashima Y, Inoue E, Inoue-Murayama M, Sukor JA. 2010. High potential of a
disturbance-tolerant frugivore, the common palm civet Paradoxurus
hermaphroditus (Viverridae), as a seed disperser for large-seeded plants.
Mammal Study 35:209–215.
Nakashima Y, Sukor JA. 2010. Importance of common palm civets (Paradoxurus
hermaphroditus) as a long distance diperser for large-seeded plants in
degraded forests. TROPICS 18(4):221-229.
Nakashima Y, Nakabayashi M, Sukor JA. 2013. Space use, habitat selection, and
day-beds of the common palm civet (Paradoxurus hermaphroditus) in human-
modified habitats in Sabah, Borneo. Journal of Mammalogy 94(5):1169–
1178.
Napier JR, Napier PH. 1967. A Handbook of Living Primates. London (UK):
Academic Press.
Napier JR, Napier PH. 1985. The Natural History of the Primates. London (UK):
British Museum (Natural History).
Navarro J, Díaz-Gamboa R. 2014. Line Transect Sampling. Di dalam: Manly BFJ
dan Alberto JAN, editor. Introduction to Ecological Sampling. Florida (US):
Chapman and Hall/CRC.
Nichols L. 1962. Ecology of the Wild Pig, Federal Aid in Wildlife Restoration Final
Report Project W-5-R-13. Hawaii (US): Hawaii Department of Land and
Natural Resources, Division of Fish and Game, Honolulu, Hawaii.
Pei KJC. 2006. Present status of the Formosan wild boar (Sus scrofa taivanus) in
the Kenting National Park, southern Taiwan. Suiform Soundings 6:9-10.
Peetz A, Norconk MA, Kinzey WG. 1992. Predation by jaguar on howler monkeys
(Alouattaseniculus) in Venezuela. Am J Primatol. 28:223-228.
Prasetyo PN, Noerfahmy S, Tata HL. 2011. Jenis-jenis Kelelawar Agroforest
Sumatera. Bogor (ID): World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional
Office.
Robbins LW, Murray KL, McKenzie P. 2008. Evaluating the effectiveness of the
standard mist-netting protocol for the endangered Indiana bat (Myotis
sodalis). Northeastern Naturalist 15.
Sebastián-González E, Pires MM, Donatt CI, Guimarães Jr. PR, Dirzo R. 2016.
Species traits and interaction rules shape a species-rich seed-dispersal
interaction network. Ecology and Evolution 2017:1-11.
29
Semiadi G. 2006. Biologi Rusa Tropis. Bogor (ID): Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI).
Smith HD, Overson MC, Pritchett CL. 1986. Characteristics of mule deer beds.
Great Basin Naturalist 46(3):542-546.
Spitz F. 1986. Current state of knowledge of wild boar biology. Pig News and
Information 7:171-175.
Stokes VL. 2013. Trappability of introduced and native rodents in different trap
types in coastal forests of south-eastern Australia. Australian Mammalogy
35(1):49-53.
iga MRM. 2018. Pengembangan Ekowisata sebagai Alternatif Upaya Konservasi
Taman Nasional Matalawa di Kabupaten Sumba Timur, NTT [tesis]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Tristiani H, Murakami O, Watanabe H. 2003. Ranging and nesting behavior of the
ricefield rat Rattus argentiventer (Rodentia: Muridae) in West Java,
Indonesia. Journal of Mammalogy 84(4):1228-1236.
Van Bemmel ACV. 1951. Some additions to a revision of the rusine deer in the
Indo-Australian archipelago. TREUBIA 21:105-110.
Van Hoeve IB. 1992. Ensiklopedia Indonesia Seri Fauna (Mamalia I). Jakarta (ID):
Perpustakaan Nasional.
Van Schaik C. 1985. The Socio-Ecology of Sumatran Long-Tailed Macaques
(Macaca fascicularis). Utrecht (NL): Drukkerij Elinkwijk BV-Utrecht.
Wijanarko A. 2008. Pengaruh penambahan bahan organik pada fosfat alam terhadap
hasil kedelai di Ultisol Lampung. Jurnal Agritek 16(4):13-23.
Wirdateti, Mansur M, Kundarmasno A. 2005. Pengamatan tingkah laku rusa timor
(Cervus timorensis) di PT Kuala Tembaga, Desa Aertembaga, Bitung,
Sulawesi Utara. Animal Production 7(2):121-126.
Witmer GW, Shiels AB. 2018. Ecology, impacts, and management of invasive
rodents in the United States. Dalam: Ecology and Management of Terrestrial
Vertebrae Invasive Species in the United States I. Pitt WC, Beasley JC,
Witmer GW, editor. Florida (US): CRC Press.
Wunderle JM. 1997. The role of animal seed dispersal in accelerating native forest
regeneration on degraded tropical lands. Forest Ecology and Management
99:223-235.
Zhou Y, Zhang J, Slade E, Palomares F, Chen J, Wang X, Zhang S. 2008. Dietary
shifts in relation to fruit availability among masked palm civets (Paguna
larvata) in Central China. Journal of Mammalogy 89:435-447.
30
31
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pulau Sumba merupakan salah satu pulau yang terletak diposisi terluar di
Indonesia. Luas Pulau Sumba kurang lebih 11 005 km2 memiliki luas kawasan hutan
37% dengan komposisi luas hutan konservasi terbesar sebanyak 57%. Keberadaan
Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti (Matalawa)
menjadi salah satu pilar dalam pengelolaan keanekaragaman hayati yang ada di
tanah Sumba sebagai habitat flora maupun fauna. Taman Nasional Matalawa
memiliki variasi ketinggian 0 – 1 224 mdpl sehingga terdiri dari berbagai tipe
vegetasi diantarnya padang savana terbuka, hutan tropika kering, hutan semi awet
hijau dan hutan mangrove. Ketinggian yang bervariasi pada kawasan Taman
Nasional Matalawa menyebabkan pergerakan musiman satwa sangat baik. Taman
Nasional Matalawa merupakan kawasan konservasi terluas di Sumba Timur
sehingga merupakan salah satu dari DPB (Daerah Penting Burung) di Pulau Sumba.
Menurut Rombang et al. (2002) DPB merupakan kriteria-kriteria baku yang
ditetapkan untuk menentukan pelestarian keanekaragaman hayati dalam tingkat
global, regional, dan sub regional yang menggunakan burung sebagai indikatornya.
Kawasan padang savana yang cukup luas dan diapit oleh tutupan hutan
merupakan salah satu daya tarik Taman Nasional Matalawa, kawasan tersebut
merupakan habitat bagi burung-burung endemik yang menjadi spesies kunci seperti
Julang sumba (Rhyticeros everetti) sebagai jenis endemik di Pulau Sumba. Oleh
sebab itu diperlukan penelitian mengenai jenis-jenis burung yang berada di kawasan
Taman Nasional Matalawa. Data keanekaragaman burung sangatlah penting
dikarenakan informasi tersebut diperlukan sebagai salah satu acuan untuk
mengambil kebijakan dalam mengelola kawasan, terutama mengenai jenis-jenis
burung dan habitatnya.
Tujuan
Tujuan dilakukan penelitian inventarisasi burung di Taman Nasional
Matalawa antara lain adalah sebagai berikut:
1. Menghasilkan data terbaru Taman Nasional Matalawa.
2. Menghitung keanekaragaman jenis yang mencakup kelimpahan, dominansi,
serta mengetahui pola penggunaan strata tajuk oleh burung di Resort
Wanggameti, Taman Nasional Matalawa.
32
METODE
Waktu dan Tempat
Pelaksanaan pengambilan data dilakukan pada kawasan hutan Wailatuna,
aliran sungai Petamawai, dan bukit Hiliwuku wilayah Mahaniwa yang termasuk
wilayah Resort Wanggameti, STPN Wilayah III TN Matalawa pada tanggal 2 – 7
Agustus 2019. Pengulangan dilakukan sebanyak empat kali untuk setiap tipe
habitat. Pengamatan dilakukan pada dua waktu dalam satu hari menyesuaikan
waktu aktif burung diurnal dan waktu matahari terbit yaitu pada pukul 05.30 – 11.00
WITA dan 14.30 – 17.30 WITA.
Gambar 16 Peta Pengambilan Data KPB
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam kegiatan pengamatan burung adalah binokuler,
GPS (Global Positioning System), zoom recorder, tally sheet, buku panduan lapang
burung-burung di kawasan Wallacea (Coates & Bishop 2000), kamera, alat tulis,
dan jam tangan. Objek yang diamati dan dimasukan ke dalam data adalah burung-
burung yang ditemukan secara langsung maupun melalui identifikasi suara pada
setiap habitat pada setiap ekosistem.
Metode Pengambilan Data
Metode pengambilan data burung menggunakan metode daftar jenis
MacKinnon dan metode point count atau titik hitung pada jalur (transect). Metode
daftar jenis MacKinnon yaitu mencatat jenis-jenis burung yang ditemukan selama
33
pengamatan. Burung-burung yang telah diidentifikasi dimasukan kedalam daftar
jenis-jenis burung yang sudah diamati dan satu daftar memuat maksimal sepuluh
jenis burung. Satu jenis hanya dicatat satu kali pada daftar tabel tetapi bisa dicatat
dalam daftar tabel selanjutnya, apabila sudah mencapai sepuluh jenis burung maka
dibuat daftar yang baru hingga seterusnya (MacKinnon et al. 2010). Pengambilan
data menggunakan metode MacKinnon dimulai sejak kedatangan di kawasan TN
Matalawa pada kawasan Mahaniwa hingga meninggalkan kawasan.
Pengambilan data menggunakan dalam metode titik hitung yaitu pengamat
berhenti pada suatu titik di habitat yang diamati dan menghitung semua burung yang
terdeteksi baik yang terlihat langsung maupun melalui suara burung yang didengar
selama selang waktu 15 menit dalam setiap titik hitung yang beradius 50 meter
kemudian menuju titik lainnya (Gambar 17). Jumlah titik yang diamati selama
pengamatan yaitu sebanyak 5 titik. Jenis data yang diambil meliputi jenis burung,
jumlah individu, aktifitas, waktu perjumpaan, dan strata tajuk. Burung yang terlihat
dan terdokumentasi di identifikasi menggunakan buku panduan lapang pengenal
jenis burung Wallacea. Sedangkan suara burung yang terekam disesuaikan dengan
kumpulan suara rekaman burung pada situs www.xeno-canto.org.
Gambar 17 Ilustrasi titik pengamatan metode titik hitung
Analisis Data
Data jumlah individu tiap jenis burung pada setiap plot menghasilkan data
mengenai keanekaragaman jenis burung yang dianalisis menggunakan indeks
keanekaragaman Shannon-Wiener (H’), kemerataan jenis burung menggunakan
indeks kemerataan jenis (E’) dan dominansi jenis burung. Habitat dianalisis secara
deksriptif berdasarkan kondisi lapangan kemudian dihubungkan dengan jenis
burung yang dijumpai. Adapun rumus yang digunakan sebagai berikut:
1. Indeks keanekaragaman jenis Shannon Wiener
H’ = – Σ (pi ln pi)
150 m
700 m
50 m
34
Keterangan :
H’ : indeks keanekaragaman
pi : perbandingan jumlah individu satu jenis dengan jumlah individu
keseluruhan sampel dalam plot (n/N)
Ln : Logaritma natural
Indeks ini didasarkan pada teori informasi dan merupakan suatu hitungan rata-
rata yang tidak pasti dalam memprediksi individu spesies apa yang dipilih secara
acak dari koleksi S spesies dan individual N akan dimiliki. Rata-rata ini naik dengan
naiknya jumlah spesies dan distribusi individu antara spesies-spesies menjadi sama
atau merata. Ada dua hal yang dimiliki oleh indeks Shanon-Wiener yaitu :
H’= 0 jika dan hanya jika ada satu jenis dalam sampel.
H’ adalah maksimum hanya ketika semua jenis diwakili oleh jumlah individu
yang sama, ini adalah distribusi kelimpahan yang merata secara sempurna.
Nilai keanekaragaman jenis menurut dibagi menjadi tiga kategori:
H’ < 1,5 : kategori rendah
1.5 ≤ H’ ≤ 3.5 : kategori sedang
H’ > 3.5 : kategori tinggi
2. Indeks kemerataan
Kestabilan suatu jenis juga dipengaruhi oleh tingkat kemerataannya, semakin
tinggi nilai H’, maka keanekaragaman jenis dalam komunitas tersebut semakin
stabil. Indeks kemerataan bertujuan untuk mengetahui kemerataan setiap jenis
dalam setiap komunitas yang dijumpai. Rumus untuk menghitung indkes
kemerataan adalah sebagai berikut:
E’ = H’ / ln S
Keterangan:
E’ : Indeks kemerataan jenis (nilai antara 0 – 10)
H’ : Indek Shannon
S : Jumlah jenis yang ditemukan
Ln : Logaritma natural
Bila E mendekati 0 (nol), jenis penyusun tidak banyak ragamnya, ada
dominasi dari jenis tertentu dan menunjukkan adanya tekanan terhadap ekosistem.
Bila E mendekati 1 (satu), jumlah idividu yang dimiliki antar jenis tidak jauh
berbeda, tidak ada dominasi dan tidak ada tekanan terhadap ekosistem.
3. Dominansi
Penentuan jenis burung yang dominan dalam pengamatan ditentukan melalui
rumus menurut van Helvoort (1981), yaitu:
35
Di = Ni
N x 100%
Keterangan:
Di : indeks dominansi suatu jenis burung
Ni : jumlah individu suatu jenis
N : jumlah individu dari seluruh jenis
Perhitungan nilai dominansi berguna untuk mengetahui spesies yang
dominan pada suatu ekosistem.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keanekaragaman Jenis Burung
Jumlah jenis yang dijumpai selama pengambilan data di kawasan Mahaniwa
Resort Wanggameti sebanyak 43 jenis burung dari 24 famili dengan perbandingan
28 jenis dari 20 famili ditemukan pada ekosistem hutan dataran rendah dan 32 jenis
dari 21 famili pada ekosistem riparian. Perbandingan jumlah jenis pada kedua
ekosistem dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18 Jumlah jenis burung pada setiap ekosistem
Perbandingan keanekaragaman famili pada keseluruhan lokasi pengamatan
dan masing–masing ekosistem di kawasan Mahaniwa dapat dilihat pada Gambar 19.
Famili yang paling banyak ditemui dari kedua tipe ekosistem yaitu Pssitacidae dan
Columbidae yang memiliki jumlah jenis yang sama yaitu sebanyak 5 jenis.
28
32
26
27
28
29
30
31
32
33
HutanDataran Rendah Riparian
Jum
lah
Jen
is
36
Gambar 19 Jumlah jenis pada famili di kawasan Mahaniwa
Perbandingan keanekaragaman famili ekosistem dataran rendah di kawasan
Mahaniwa dapat dilihat pada Gambar 20. Famili yang paling banyak ditemukan di
ekosistem hutan dataran rendah antara lain Meliphagidae dan Pssitacidae. Sebanyak
tiga jenis dari famili Meliphagidae, yaitu isapmadu australia (Lichmera indistincta),
myzomela sumba (Myzomela dammermani), dan cikukua tanduk (Philemon
buceroides). Kelompok famili Meliphagidae ditemukan pada pucuk-pucuk pohon
yang sedang berbunga, hal tersebut dikarenakan famili Meliphagidae merupakan
kelompok penghisap madu sehingga menyukai daerah-daerah tajuk pohon yang
banyak terdapat bunga (Trainor et al. 2000). Sebanyak empat jenis dari famili
Psittaciidae yang ditemukan yaitu nuri bayan (Eclectus roratus), nuri pipi merah
(Geoffroyus geoffroyi), perkici orange (Trichoglossus capistratus), dan kakatua
sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata).
Gambar 20 Jumlah jenis pada famili di ekosistem hutan dataran rendah
5 5
3 3 3
2 2
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0
1
2
3
4
5
6
4
3
2 2 2
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
37
Jenis-jenis dari famili Psittacidae umumnya ditemukan bertengger pada
pohon-pohon yang berdameter lebih dari 2 meter. Kelompok burung famili
Pssitacidae umumnya menggunakan pohon berukuran besar dan berumur tua
sebagai sarangnya dengan melubangi pohon atau memanfaatkan celah pohon
kemudian menggunakannya tidak hanya pada saat musim kawin tetapi
menggunakan sarangnya sepanjang tahun sebagai sarana perlindungan (Irham
2014). Sarang nuri bayan (E. roratus) dijumpai pada pohon Mara (Tetrameles
nudiflora) dari famili Tetramelaceae. Berdasarkan aktivitas nuri bayan (E. roratus)
yang dijumpai, diduga jenis nuri bayan betina sedang mengerami telur. Hal tersebut
karena nuri betina selalu dijumpai saat pengamatan berlangsung. Terlihat beberapa
kali nuri bayan betina keluar dari sarangnya, dan bertengger pada pohon lain didekat
sarang selama rentang waktu 10 – 15 menit sampai kembali ke sarangnya tanpa
membawa pakan. Jenis nuri bayan jantan tidak selalu dijumpai disarang, akan tetapi
berada disekitar pohon sarang tersebut pada dahan pohon yang berbeda. Pohon
tersebut juga merupakan habitat bagi jenis Pssitacidae lain seperti perkici orange (T.
capistratus) dan nuri pipi merah (G. geoffroyi), akan tetapi jenis kakatua sumba (C.
sulphurea citrinocristata) tidak dijumpai pada pohon yang telah dihuni oleh jenis
Psittacidae lainnya.
Gambar 21 Nuri bayan (Eclectus roratus)
Pada ekosistem riparian, famili yang paling banyak ditemukan adalah
Columbidae dan Muscicapidae. Sebanyak empat jenis yang ditemukan dari famili
Columbidae yaitu pergam hijau (Ducula aenea), walik rawamanu (Ptilinopus
dohertyi), uncal kouran (Macropygia ruficeps), dan delimukan zamrud
(Chalcophaps indica). Jenis-jenis burung famili Columbidae umumnya dijumpai
bertengger pada puncak-puncak pohon Gamal (Gliricidia sepium) yang
mendominasi pada sekitar ekosistem riparian. Famili Columbidae umunya
38
ditemukan beraktifitas dipermukaan tanah dan di atas tajuk. Aktivitas yang biasa
dilakukan yaitu mencari makan biji-bijian, terkadang mereka memakan batu atau
pasir untuk membantu proses pencernaannya (Hidayat 2012). Perbandingan
keanekaragaman famili pada ekosistem riparian di kawasan Mahaniwa dapat dilihat
pada Gambar 22.
Gambar 22 Jumlah jenis pada famili di ekosistem riparian
Kelompok jenis-jenis burung dari famili Muscicapidae ditemukan sebanyak
tiga jenis yaitu sikatan sumba (Ficedulla harterti), sikatan bubik (Muscicapa
dauurica), dan sikatan kepala abu (Culicicapa ceylonensis).
Gambar 23 Pergam hijau (Ducula aenea)
4
3 3
2 2 2 2
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
39
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dengan Metode Daftar Jenis
MacKinnon (Gambar 24) kurva ekosistem riparian cenderung lebih curam
dibandingkan dengan ekosistem hutan dataran rendah karena pada ekosistem
riparian selalu mengalami pertambahan daftar jenis. Ekosistem dataran rendah
memiliki kurva cenderung relatif mendatar karena tidak mengalami kenaikan kurva
pada daftar jenis ke 6 dan 8. Kecuraman yang terjadi pada kurva kekayaan jenis
menandakan bahwa terdapat kemungkinan adanya jenis burung baru yang belum
tercatat pada daftar jenis apabila ada penambahan waktu dalam pengamatan
(Mackinnon 1998).
Gambar 24 Kurva pertambahan jenis pada masing-masing ekosistem
Jenis – jenis yang sering dijumpai pada ekosistem hutan dataran rendah
antara lain nuri bayan (E. roratus), perkici orange (T. capistratus), dan julang sumba
(R. everetti). Struktur vegetasi dari ekosistem hutan dataran rendah cenderung
tertutup dan ditumbuhi oleh jenis pohon ai marra (Toona sureni) dan kondorawa
(Elaeocarpus sphaericus). Penggunaan ruang pada burung pemakan buah
(frugivora) biasanya cenderung beraktivitas pada bagian tengah pohon, dimana
terdapat buah dan biji (Jarulis 2007). Julang Sumba (R. everetti) dijumpai pada tajuk
bagian atas pohon. Hal tersebut disebabkan karena kelompok Burcerotidae
cenderung memilih tajuk bagian atas karena kemudahannya mendatangi tempat
tersebut dan persaingan dengan jenis lain (Mardiastuti et al. 1999).
Pada ekosistem riparian ditemukan lebih banyak jenis burung dari pada
ekosistem hutan dataran rendah. Perjumpaan burung lebih mudah ditemukan karena
tutupan lahan dari ekosistem riparian lebih terbuka apabila dibandingkan dengan
hutan dataran rendah. Struktur vegetasi ekosistem riparian umumnya di dominasi
dengan tanaman Gamal (G. sepium), oleh sebab itu jenis – jenis burung yang
dijumpai pada ekosistem riparian relatif berukuran lebih kecil seperti kipasan
arafura (Rhipidura dryas), burungmadu sumba (Cinnyris buettikoferi), dan
kacamata wallacea (Zosterops wallacei) yang memanfaatkan lapisan sub-canopi
10
15
18
2123 24 24 24 25 26
28
10
15
1921
25
29
32
0
5
10
15
20
25
30
35
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Jum
lah
jen
is
Daftar Jenis ke -Hutan Dataran Rendah Riparian
40
atau strata II yang memungkinkan untuk berpindah diantara ranting-ranting.
Kelompok burung famili Nectariniidae sering memanfaatkan ketinggian 3 – 10 m
untuk mencari makan, disamping itu juga digunakan untuk istirahat, dan bersuara
(Jarulis 2007).
Indeks Keanekaragaman, Indeks Kemerataan, dan Dominansi
Burung
Berdasarkan pengambilan data yang dilakukan pada dua ekosistem
menggunakan analisis indeks keanekaragaman Shannon-Winner, ekosistem hutan
dataran rendah memiliki nilai H’ lebih tinggi yaitu H’ = 2.51 nilai tersebut lebih
tinggi dari ekositem riparian yang memiliki nilai H’= 2.07. Menurut Krebs (1978)
terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi nilai keanekaragaman jenis dalam
suatu komunitas antara lain waktu, heteroginitas ruang, persaingan, pemangsaan,
kestabilan lingkungan dan produktivitas. Heterogenitas ruang pada ekosistem hutan
dataran rendah lebih beragam karena memiliki kerapatan yang lebih rapat dan
cenderung beragam vegetasinya dengan strata yang lebih kompleks, sedangkan
ekosistem riparian yang didominasi oleh jenis Gamal (G.sepium).
Indeks kemerataan pada ekosistem hutan dataran rendah memiliki nilai 0.91
yang lebih tinggi dibandingkan ekosistem riparian yang memiliki nilai 0.72. Nilai
indeks kemerataan dikategorikan tinggi apabila > 0.60 (Odum 1971). Hal tersebut
menunjukan pada masing-masing ekosistem tidak terjadi dominansi antar jenis dan
keberadaan jenis merata. Nilai yang mendekati nilai 1 menunjukan bahwa
kemerataan populasi semakin tinggi. Persebaran jenis burung yang merata
dipengaruhi oleh ketersediaan pangan yang berlimpah sehingga memperkecil
interaksi antar jenis baik kompetensi dan aktivitas predasi.
Tabel 3 Indeks keanekaragaman dan kesamaan jenis burung tiap ekosistem
No Indeks Ekosistem
HDR R
1 Keanekaragaman 2.51 2.07
2 Kemerataan 0.91 0.72
Keterangan : HDR = Hutan Dataran Rendah, R = Riparian
Dominansi jenis burung pada suatu ekosistem menunjukkan bahwa jenis
burung tersebut memiliki kecocokan dengan ekosistemnya sebagai bagian dari
habitatnya dan hal tersebut dapat diartikan kemampuan beradaptasi dengan
lingkungannya sangat baik. Menurut Dewi et al. (2007), penentuan nilai dominansi
berfungsi untuk menentukan atau menetapkan jenis burung yang dominan, sub-
dominan, atau tidak dominan dalam pengamatan. Jenis burung yang sering
ditemukan pada saat pengamatan menunjukkan bahwa jenis burung tersebut dapat
dengan mudah dijumpai atau cukup dominan pada kawasan tersebut (Wisnubudi
41
2009). Hasil perhitungan dominansi disajikan pada Gambar 25. Nilai dominansi
pada tingkat dominan, sub-dominan, dan tidak dominan memiliki angka yang sama.
Hal tersebut menunjukkan bahwa jalur pengamatan memiliki ciri-ciri habitat yang
hampir sama.
Gambar 25 Jumlah jenis dominan tiap ekosistem
Ekosistem hutan dataran rendah pada lokasi pengamatan memiliki
karakteristik yaitu hutan galeri (hutan yang terkonsentrasi di lembah-lembah),
kerapatan vegetasi tinggi, dan memiliki aliran sungai (Hidayat dan Kayat 2014).
Berdasarkan karakteristik hutan dataran rendah tersebut, ekosistem riparian terdapat
di dalam ekosistem dataran rendah. Hal tersebut berpengaruh terhadap jenis burung
yang ditemukan hampir sama antara ekosistem hutan dataran rendah dengan
ekosistem riparian. Jenis-jenis burung yang mendominasi setiap ekosistem
dijelaskan pada Tabel 4.
Tabel 4 Jenis burung yang mendominasi tiap ekosistem
Hutan Dataran Rendah Nilai Indeks Riparian Nilai Indeks
Corvus macrorhynchos 7.527 Cinnyris buettikoferi 6.207
Rhyticeros everetti 7.527 Corvus macrorhynchos 5.517
Rhipidura dryas 5.376 Zosterops wallacei 5.517
Eclectus roratus 9.677 Rhipidura dryas 5.517
Ducula aenea 10.753 Trichoglossus capistratus 9.655
Trichoglossus capistratus 13.978 Collocalia estulenta 45.517
Terpsiphone floris 5.376
Muscicapa dauurica 6.452
Collocalia estulenta 17.204
Hutan menyediakan sumberdaya untuk mempertahakan kelangsungan
mahluk hidup termasuk makanan dan tempat berlindung. Burung berperan dalam
9
4
3
6
5
7
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Dominan Sub Dominan Tidak Dominan
Hutan Dataran Rendah R
42
berbagai tingkat trofik di hutan dari konsumen primer hingga predator. Sebagai
konsumen utama, burung mendapatkan pakan dari nektar, buah, biji, dan serangga.
Jenis burung yang sering ditemukan pada kawasan Mahaniwa Resort Wanggameti
yaitu burung pemakan atau pengisap madu (nektarinivor) dan pemakan buah
(frugivor). Jenis pengisap madu yang sering ditemukan antara lain jenis cikukua
tanduk (P. buceroides) dan burungmadu sumba (C. buettikoferi). Burung pengisap
madu lebih banyak ditemukan pada ekosistem riparian pada ranting dan dahan
pohon gamal (G. sepium) dan memanfaatkan bunganya sebagai sumber pakan,
sementara burung pemakan biji lebih banyak ditemukan di ekosistem hutan dataran
rendah.
Gambar 26 Julang Sumba (Rhyticeros everetti)
Salah satu jenis burung pemakan buah yang sering dijumpai yaitu julang
sumba (R. everetti). Karakteristik dari buah pakan famili Bucerotidae yaitu buah
Ficus sp sebagai pakan utamanya (Dahlan 2015). Pakan julang sumba (R. everetti)
yang ditemukan yaitu buah dari pohon Kondorawa (Elaeocarpus sphaericus) dengan
karakteristik buah berukuran kecil seperti Ficus sp dan berwarna ungu. Kemampuan
burung famili Bucerotidae sebagai pemakan buah dalam jumlah banyak dan
keahliannya dalam menelan dan memuntahkan biji-biji besar di area hutan,
menjadikan mereka sebagai penyebar biji tumbuhan secara alami di kawasan hutan
yang sangat penting untuk dilestarikan (Kitamura 2008).
Status Konservasi
Status konservasi dari 43 jenis burung yang ditemukan di Taman Nasional
Matalawa khususnya pada Resort Wanggameti kawasan Mahaniwa menurut daftar
jenis IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural
Resources) menunjukan sebagian besar memiliki status LC (Least Concern) atau
43
beresiko rendah. Terdapat dua jenis memiliki status VU (Vulnerable) atau rentan
yaitu jenis julang sumba (R. everetti) dan walik rawamanu (P. dohertyi). Jenis anis
nusa tenggara (Zoothera dohertyi) berstatus NT (Near Threatened) atau terancam
punah dan kakatua sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata) memiliki status CR
(Critically endangered) atau kritis. Terdapat tiga blok hutan sebagai habitat utama
kakatua sumba di TN Matalawa yaitu Billa, Praingkareha, dan Mahaniwa. Kakatua
sumba bertahan hidup melalui kelompok-kelompok kecil pada wilayah hutan yang
tersisa di wilayah Sumba. Penurunan jumlah kakatua sumba akibat degradasi hutan
dan maraknya perburuan liar (Hidayat 2014).
Menurut PermenLHK No P.106 Thn 2018 terdapat 12 jenis yang dilindungi.
Beberapa famili yang dilindungi oleh Permenhut No. 106 Thn 2018 antara lain
Pssitacidae, Bucerotidae, Columbidae, dan Acciptridae. Semua jenis burung paruh
bengkok famili Pssitacidae yang ditemukan dilindungi, yaitu kakatua sumba (C.
sulphurea citrinocristata), nuri pipi merah (G. geoffroyi), perkici orange (T.
capistratus), dan nuri bayan (E. roratus).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil pengamatan pada dua ekosistem di kawasan Mahaniwa
Resort Wanggameti ditemukan 43 jenis, 28 jenis ditemukan di ekosistem hutan
dataran rendah dan 32 jenis pada ekosistem riparian. Melalui perhitungan dan
analisis data didapatkan indeks keanekaragaman pada ekosistem hutan dataran
rendah sebesar 2.51 dan indeks keanekaragaman pada ekosistem riparian sebesar
2.07. Hasil pengamatan pada 10 plot dengan pengulangan sebanyak 4 kali
didapatkan jenis yang dominan menetap pada kawasan Mahaniwa, spesies yang
dikategorikan dominan atau sering dijumpai yaitu walet sapi (C. esculanta), perkici
orange (T. capistratus), dan pergam hijau (D. aenea). Pada ekosistem riparian
ditemukan lebih banyak jenis burung dari pada ekosistem hutan dataran rendah.
Perjumpaan burung lebih mudah ditemukan karena tutupan lahan dari ekosistem
riparian lebih terbuka apabila dibandingkan dengan hutan dataran rendah. Hal
tersebut juga mempengaruhi penggunaan tajuk, burung berukuran kecil cenderung
memanfaatkan lapisan sub-canopi atau strata II yang memungkinkan untuk
berpindah diantara ranting-ranting. Jenis burung yang sering ditemukan pada
kawasan Mahaniwa Resort Wanggameti yaitu burung pemakan atau pengisap madu
(nektarinivor) dan pemakan buah (frugivor).
Saran
Perlu adanya kajian lebih lanjut di Resort Wanggameti TN Matalawa
sehingga dapat ditemukan jenis-jenis baru yang sebelumnya belum pernah
ditemukan.
44
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan J. 2015. Perilaku makan julang emas (Rhyticeros undulatus) pada saat
bersarang [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Negeri Semarang.
Dewi RK, Mulyani Y, Santosa Y. 2007. Keanekaragaman jenis burung di beberapa
tipe habitat Taman Nasional Gunung Ciremai. Media Konservasi 12(3):1-3.
Hidayat O dan Kayat. 2014. Karakteristik dan preferensi habitat kakaktua Sumba
(Cacatua sulphurea citrinocristata) di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Widyariset. 17(3):399-408.
Hidayat O. 2012. Keragaman spesies avifauna hutan penelitian Oilsonbai, Kupang,
Nusa Tenggara Timur. Di dalam: Pratiwi, Heriansyah I, Gunawan H,
Dharmawan IWS, Irianto RSB, Kuntandi, editor. Peran IPTEK Hasil Hutan
Bukan Kayu untuk Kesejahteraan Mayarakat Nusa Tenggara Timur; 2012 16
Okt; Kupang Indonesia. Kupang (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan
Konservasi dan Rehabilitasi. hlm 23–29.
Hidayat O. 2014. Komposisi, preferensi dan sebaran jenis tumbuhan pakan kakatua
sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata) di Taman Nasional Laiwangi
Wanggameti. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea 3(1):25-36.
Irham M. 2015. Perilaku persarangan burung nuri pipi merah (Geoffroyus geoffroyi
Bechstein, 1811). Fauna Indonesia 13(1):39–44.
Jarulis. 2007. Pemanfaatan ruang secara vertikal oleh burung- burung di hutan
kampus kandang limun Universitas Bengkulu. Jurnal Gradien 3(1):237-242.
Kitamura S, Yumoto T, Poonswad P, Noma N, Chuailua P, Plongmai K, Maruhashi
T, Suckasam C. 2004. Pattern and impact of hornbill seed dispersal at nest
trees in a moist evergreen forest in Thailand. J Trop Ecol. 20(2):545–553.
Krebs CJ. 1978. Ecological Methodology. New York (US): Harper dan Row
Publisher.
MacKinnon J, Phillips K, van Ballen B. 2010. Burung-Burung di Sumatera, Jawa,
Bali, dan Kalimantan. Bogor (ID): Burung Indonesia.
Mardiastuti A, Salim LR, Mulyani YA. 1999. Perilaku makan Rangkong Sulawesi
pada dua jenis Ficus di Suaka Margasatwa Lambusango, Buton (Feeding
behavior of Sulawesi Red-Knobbed Hornbills on two ficus trees in
Lambusango Wildlife Sanctuary, Buton). Media Konservasi 6(1):7-10.
Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology. Philadelphia. WB Sounders.
Rombang WM, Trainor C dan Lesmana, D. 2002. Daerah Penting bagi Burung:
Nusa Tenggara [Important Bird Areas of Indonesia: Nusa Tenggara]. Bogor
(ID): PKA and BirdLife International. [In Indonesian]
45
Trainor C, Lesmana D, Gatur A. 2000. Kepentingan hutan di daratan Timor bagian
barat telaah awal informasi keanekaragaman hayati dan sosial ekonomi di
Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. (Laporan No. 13). Bogor (ID):
PKA/Birdlife International/WWF.
Wisnubudi G. 2009. Penggunaan strategi vegetasi oleh burung di kawasan wisata
Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Vis Vitalis. 2(2):41-49.
46
LAMPIRAN
Lampiran 1 Jenis burung dilindungi berdasarkan IUCN, CITES, dan Permenhut No.106 Tahun
2018
No Nama Jenis Nama Latin Famili IUCN CITES
Permenhut
No. 106
Thn 2018
1 Elang bondol Haliastur indus Accipitridae LC Appendix II D
2 Branjangan Jawa Mirafra javanica Alaudidae LC Non Appendix -
3 Walet Sapi Collocalia estulenta Apodidae LC Non Appendix -
4 Julang sumba Rhyticeros everetti Bucerotidae VU Appendix II D
5
Kepudangsungu
besar
Coracina novaehollandiae Campephagidae LC Non Appendix -
6 Delimukan zamrud Chalcophaps indica Columbidae LC Non Appendix -
7 Pergam hijau Ducula aenea Columbidae LC Non Appendix -
8 Uncal buau Macropygia emiliana Columbidae LC Non Appendix -
9 Uncal kouran Macropygia ruficeps Columbidae LC Non Appendix -
10 Walik rawamanu Ptilinopus dohertyi Columbidae VU Non Appendix D
11 Gagak kampung Corvus macrorhynchos Corvidae LC Non Appendix -
12 Kedasi emas Chrysococcyx lucidus Cuculidae LC Non Appendix -
13 Wiwik uncuing Cacomantis sepulclaris Cuculidae LC Non Appendix -
14 Cabai sumba Dicaeum wihelminae Dicaediae - Non Appendix -
15
Srigunting
wallacea Dicrurus densus Dicruridae LC Non Appendix -
16 Bondol peking Lonchura punctulata Estriltidae LC Non Appendix -
17
Gosong Kaki-
merah Megapodius reinwardt Megapodiae LC Non Appendix D
18 Cikukua tanduk Philemon buceroides Meliphagidae LC Non Appendix -
19 Isapmadu australia Lichmera indistincta Meliphagidae LC Non Appendix -
20 Myzomela sumba Myzomela dammermani Meliphagidae LC Non Appendix -
21 Kehicap kacamata Monarcha trivirgatus Monarchidae LC Non Appendix -
22
Seriwang nusa-
tenggara Terpsiphone floris Monarchidae LC Non Appendix -
23 Sikatan bubik Muscicapa dauurica Muscicapidae LC Non Appendix -
24 Sikatan kepala-abu Culicicapa ceylonensis Muscicapidae LC Non Appendix -
25 Sikatan sumba Ficedulla harterti Muscicapidae LC Non Appendix -
26
Burungmadu
sumba Cinnyris buettikoferi Nectarinidae LC Non Appendix D
47
No Nama Jenis Nama Latin Famili IUCN CITES
Permenhut
No. 106
Thn 2018
27
Burungmadu
kelapa Anthreptes malacensis Nectariniidae LC Non Appendix -
28
Burungmadu
sriganti Nectarinia jugularis Nectariniidae LC Non Appendix -
29
Kepudang kuduk-
hitam Oriolus chinensis Oriolidae LC Non Appendix -
30 Kancilan emas Pachycephala pectoralis Pachycephalidae LC Non Appendix -
31 Ayamhutan Hijau Gallus varius Phasianidae LC Non Appendix -
32 Paok laus Pitta elegans Pittidae LC Non Appendix D
33
Betetkelapa paruh-
besar
Tanygnathus megalorynchos Psittaciidae LC Appendix II D
34 Kakatua Sumba
Cacatua sulphurea citrinocristata Psittaciidae CR Appendix I D
35 Nuri Bayan Elcectus roratus Psittaciidae LC Non Appendix D
36 Nuripipi merah Geoffroyus geoffroyi Psittaciidae LC Appendix II D
37 Perkici Orange
Trichoglossus capistratus Psittaciidae LC Appendix II D
38 Tikusan ceruling Rallina fasciata Rallidae LC Non Appendix -
39 Kipasan arafura Rhipidura dryas Rhipiduridae LC Non Appendix -
40 Perling kecil Aplonis minor Sturnidae LC NonAppendix -
41 Anis nusatenggara Zoothera dohertyi Turdidae NT Non Appendix -
42 Gemak totol Turnix maculosa Turnicidae LC Non Appendix -
43 Kacamata wallacea Zosterops wallacei Zosteropidae LC Non Appendix D
Keterangan :
D : Dilindungi
LC : Least Concern
Lampiran 1 Jenis burung dilindungi berdasarkan IUCN, CITES, dan Permenhut No.106 Tahun
2018 (lanjutan)
48
49
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti
(Matalawa) merupakan salah satu kawasan konservasi yang memiliki kondisi alam
yang masih terjaga. Kawasan ini memiliki kekayaan flora dan fauna yang paling
tinggi di Pulau Sumba. Hal ini juga didukung oleh tipe ekosistem yang beragam.
Tipe ekosistem yang terdapat di kawasan taman nasional ini dicirikan oleh
perbedaan kondisi vegetasi habitat penyusunya, seperti ekosistem hutan hujan,
savana, dan hutan musim. Keberagaman tipe ekosistem tersebut menjadikan
kawasan ini memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi. Berdasarkan
hasil pengumpulan data, terdapat 375 jenis tumbuhan, 70 jenis tumbuhan paku-
pakuan, dan 90 jenis tumbuhan berkhasiat obat. Jenis fauna didalam kawasan TN
Matalawa terdapat 158 jenis burung, 94 jenis kupu-kupu, 41 jenis capung, 28 jenis
mamalia, 6 jenis amfibi, dan 30 jenis reptil (Balai TN Matalawa 2018).
Potensi sumberdaya alam yang terdapat di kawasan Taman Nasional
Matalawa yang sangat beragam ini tentunya sangat penting untuk diteliti,
khususnya potensi herpetofauna. Keberadaan herpetofauna (reptil dan amfibi) ini
tentunya sangat penting, karena merupakan bagian dari rantai makanan di alam dan
berfungsi sebagai penyeimbang ekosistem. Amfibi dan reptil merupakan kelompok
satwa yang kurang mendapat perhatian dalam penelitian di Indonesia, padahal
pemanfaatan amfibi dan reptil di Indonesia relatif besar (Kusrini 2019). Penelitian-
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di kawasan taman nasional ini juga
belum banyak yang mengkaji mengenai keberadaan amfibi dan reptil. Berdasarkan
hal tersebut, Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH) Himakova melalui kegiatan
ekspedisi Studi Konservasi Lingkungan (Surili) ini melakukan kegiatan
inventarisasi jenis herpetofauna dalam rangka membantu menginformasikan serta
menambah data mengenai keberadaan jenis herpetofauna di Taman Nasional
Matalawa.
Tujuan
1. Mengidentifikasi komposisi jenis dan kelimpahan relatif herpetofauna di
Resort Wanggameti, Taman Nasional Matalawa.
2. Mengindentifikasi keberadaan spesies invasif herpetofauna di kawasan Taman
Nasional Matalawa.
50
METODE
Waktu dan Lokasi
Pengambilan data dilakukan selama enam hari, sejak tanggal 1 – 6 Agustus
2019 yang berlokasi di Resort Wanggameti tepatnya di Blok Mahaniwa, Taman
Nasional Matalawa (Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi
Wanggameti). Lokasi pengamatan dilakukan pada dua tipe habitat, yaitu habitat
akuatik dan terestrial. Kondisi habitat di lokasi pengamatan secara umum
merupakan wilayah padang rumput (ekosistem savana) yang ditumbuhi dengan
ilalang dengan tinggi mencapai satu meter. Vegetasi lain yang terdapat di lokasi
pengamatan berupa semak belukar dan pepohonan berukuran kecil hingga sedang
yang cukup rapat.
Gambar 27 Peta lokasi pengamatan herpetofauna di Taman Nasional Matalawa
Pengambilan data dilakukan di dua tipe ekosistem, yaitu habitat akuatik
(Sungai Patamawai dan Sungai Laiju) dan terestrial (Hutan Wailatuna) (Gambar
28). Waktu saat dilakukan pegambilan data yakni ketika musim kemarau dengan
suhu antara 33o – 34 oC pada siang hari dan 14o – 23 oC pada malam hari dengan
kelembaban antara 47 – 98 %. Lokasi pengamatan pertama terletak di Sungai
Patamawai. Sungai Patamawai merupakan sungai utama yang terdapat di Blok
Mahaniwa. Sungai ini memiliki lebar sebesar 3 – 5 m dengan aliran air yang tidak
terlalu deras. Kedalaman sungai mulai dari 10 – 70 cm. Vegetasi di kanan dan kiri
sungai cukup rapat dengan tumbuhan yang mendominasi adalah bambu dan
51
beberapa jenis palem, juga tumbuhan bawah. Pepohonan yang terdapat di sekitar
sungai hanya sebagian kecil yang berukuran besar.
Lokasi pengamatan kedua merupakan habitat terestrial yang terletak di Hutan
Wailatuna. Hutan Wailatuna merupakan hutan yang terletak di Desa Mahaniwa
tepatnya di Resort Wanggameti Taman Nasional Matalawa. Hutan Wailatuna
memiliki topografi curam dan terdapat bebatuan karst. Vegetasi cukup rapat dengan
pohon-pohon berukuran besar. Lantai hutan tidak ditutupi oleh tumbuhan bawah,
namun banyak ditumbuhi pandan serta semai dan pancang dari famili
Dipterocarpaceae.
Gambar 28 Atas kiri: Jalur pengamatan akuatik-1 di Sungai Patamawai; Atas
kanan: Jalur pengamatan akuatik 2 (Sungai Laiju); Bawah: Jalur
pengamatan terestrial (Hutan Wailatuna)
52
Lokasi pengamatan ketiga merupakan habitat akuatik yang terletak di Sungai
Laiju. Lokasi ini cukup jauh dari dua lokasi pengamatan sebelumnya, namun masih
berada di kawasan Mahaniwa. Sungai Laiju merupakan sebuah sungai yang terletak
di sekitar perbukitan Mahaniwa. Sungai ini memiliki air yang jernih dengan aliran
air yang tidak terlalu deras dan juga terdapat bebatuan yang cukup besar. Sungai
tidak terlalu lebar dan juga tidak terlalu dalam, lebar sungai 1 – 3 m dan kedalaman
20 – 60 cm. Vegetasi di bagian kanan dan kiri sungai tidak terlalu rapat, didominasi
oleh tumbuhan bawah, pinang, dan beberapa jenis pohon dengan diameter yang
tidak terlalu besar.
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu hook stick, grab stick, kantong ular,
kantong plastik ukuran 2 kg, termometer dry-wet, GPS, pita ukur, lem, papan
ukuran 30 x 30 cm, tallysheet, spidol, buku panduan lapang pengenalan amfibi dan
reptil, alat tulis, kamera, meteran jahit, kaliper, neraca digital, alat bedah, alkohol
70%, kapas, kotak spesimen, dan pita penanda.
Metode Pengambilan Data
Survei awal dilakukan saat siang hingga sore hari sebelum dilakukan
pengamatan pada malam harinya. Kegiatan ini bertujuan untuk mengenali area
penelitian, kondisi lapang, dan titik pengamatan untuk memudahkan pengamatan.
Data primer diperoleh melalui observasi di lapang. Metode yang digunakan adalah
Visual Encounter Survey (VES), yaitu penangkapan satwa yang dijumpai langsung
di habitat terestrial maupun akuatik (Heyer et al. 1994). Metode ini dimodifikasi
dengan metode time search dan transect. VES digunakan untuk menentukan
kekayaan jenis suatu daerah, mengumpulkan daftar jenis, dan memperkirakan
kelimpahan relatif spesies (Kusrini 2019).
Metode VES dilakukan dengan mencatat usaha pencarian sejumlah surveyor
yang terlibat (search effort dalam bentuk jam-orang) yang bergerak dalam hutan
secara acak dan mengamati semua mikrohabitat yang dijumpai. Metode transect
merupakan pencarian yang dibatasi oleh panjang jalur pengamatan, yakni sepanjang
200 m. Metode time search merupakan pencarian yang dibatasi oleh waktu yang
ditentukan, yakni selama 2 jam.
53
Pengamatan dilakukan pada malam hari dengan jumlah pengamat sebanyak 4
orang perhari, sehingga usaha pencarian total yang digunakan dalam penelitian ini
adalah 8 jam-orang. Pengamatan juga dilakukan pada pagi hari dengan metode pasif
berupa pemasangan glue trap dengan menempatkan sebanyak 10 papan berukuran
Gambar 30 Pembuatan spesimen di lapang (kiri) dan hasil pengawetan spesimen
(kanan)
Gambar 29 Survei lokasi pengamatan (kiri atas), pemasangan glue trap (pojok
kanan atas), pencatatan di lapang (kanan tengah), dan pengamatan malam
(bawah)
54
30 x 30 cm di jalur terestrial. Jenis herpetofauna yang dijumpai pada setiap titiknya
ditangkap dan dicatat segala bentuk aktivitasnya. Data sekunder meliputi data
penunjang yang berkaitan dengan penelitian ini untuk mencari, mengumpulkan, dan
menganalisis data penunjang berupa keadaan fisik lokasi penelitian, iklim, vegetasi,
dan jenis-jenis herpetofauna menggunakan studi literatur.
Amfibi dan reptil yang tertangkap secara langsung diidentifikasi di lapang
dengan melakukan pengukuran panjang dan bobokuput tubuh. Pengukuran panjang
mulai dari moncong hingga anus (SVL) untuk katak, sedangkan untuk reptil
mengukur SVL dan panjang total hingga ujung ekor. Pengukuruan panjang
menggunakan kaliper (amfibi) dan meteran jahit (reptil), dalam satuan cm. Bobot
tubuh ditimbang menggunakan timbangan digital dalam satuan gram. Hal
berikutnya yakni identifikasi dan pengambilan foto. Herpetofauna tersebut
dilepaskan kembali kecuali untuk beberapa ekor yang akan diawetkan untuk
identifikasi lebih lanjut. Panduan lapang herpetofauna yang digunakan dalam
identifikasi diperoleh dari berbagai macam literatur antara lain buku dan jurnal,
seperti Buku Panduan Lapang Alas Purwo (Yanuarefa et al. 2012), A Fieldguide to
The Reptiles of Southeast Asia (Das 2010), Panduan Lapang Fauna Taman
Nasional Gunung Tambora (HIMAKOVA 2015), dan Panduan Bergambar
Identifikasi Amfibi Jawa Barat (Kusrini 2013). Herpetofauna yang tidak
teridentifikasi secara langsung di lapangan akan diawetkan menjadi spesimen basah
menggunakan alkohol 70%. Spesies yang sudah diawetkan akan dibawa ke Museum
Zoologicum Bogoriense (MZB) LIPI Cibinong untuk diidentifikasi lebih lanjut dan
disimpan. Penamaan herpetofauna mengacu pada Frost (2017) untuk amfibi dan
Uetz et al. (2017) untuk reptil.
Analisis Data
Kondisi habitat secara umum diketahui dengan pengumpulan data vegetasi
melalui survei rapid assessment untuk mendapatkan gambaran secara umum
komposisi vegetasi pada setiap plot pengamatan. Prinsip umum rapid assessment
adalah berbasis lapangan yang fokus pada suatu lokasi untuk mengumpulkan data
dan mencatat data secara cepat dan akurat untuk mendapatkan gambaran secara
umum tipe vegetasi ditemukannya keberadaanya herpetofauna.
Komposisi jenis herpetofauna pada lokasi penelitian disusun dalam tabel
daftar jenis yang akan berisi nama latin, famili, dan status konservasi berdasarkan
daftar merah IUCN, apendiks CITES dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Republik Indonesia (Permenhut) No. 106 Tahun 2018 Tentang Jenis
Tumbuhan dan Satwa yang dilindungi. Jenis-jenis yang bukan jenis asli dari wilayah
ini maka akan dicatat sebagai spesies alien. Kelimpahan relatif jenis dihitung
berdasarkan pembagian jumlah individu spesies ke-i dengan jumlah individu
keseluruhan dikalikan 100%. Pencatatan kondisi habitat (substrat ditemukan, jarak
dari air, suhu, dan kelembaban) dari masing-masing jenis saat ditemukan akan
digunakan untuk mengetahui hubungan keberadaan jenis tersebut dengan
55
karakteristik habitatnya. Data habitat yang dihimpun selama pengamatan meliputi
vegetasi dominan, kelembaban, suhu, serta kondisi habitat selama pengamatan akan
dijelaskan secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Jenis Herpetofauna
Hasil pengamatan di Blok Mahaniwa menemukan 8 jenis herpetofauna dari 7
famili. Jumlah amfibi yang ditemukan sebanyak 3 jenis dan reptil sebanyak 5 jenis
(lihat lampiran untuk deskripsi jenis). Terdapat dua spesies yang belum berhasil
diidentifikasi sampai ke tingkat spesies. Seluruh jenis amfibi dan reptil yang
ditemukan sebagian besar berkategori LC (Least Concern) menurut daftar merah
IUCN, tidak termasuk ke dalam apendiks CITES, dan bukan merupakan jenis
dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Republik Indonesia (Permen LHK) No. 106 Tahun 2018 Tentang Jenis Tumbuhan
dan Satwa yang dilindungi. Berdasarkan data statistik TN Matalawa (2018), jumlah
jenis herpetofauna yang ditemukan di kawasan taman nasional ini yaitu 6 jenis
amfibi dan 30 jenis reptil. Jumlah jenis herpetofauna yang ditemukan di Mahaniwa
lebih sedikit jika dibandingkan dengan data penelitian HIMAKOVA (2009) dan
LIPI (2017). HIMAKOVA (2009) menemukan 4 jenis amfibi dan 14 jenis reptil,
sedangkan LIPI (2017) menemukan 9 jenis amfibi dan 25 jenis reptil.
Komposisi jenis amfibi dan reptil yang ditemukan dipengaruhi oleh beberapa
faktor, seperti ukuran daerah pengamatan, keterpencilan, ketinggian, letak lintang
dan bujur, keragaman tumbuhan, adanya bencana alam, dan kondisi cuaca (Kusrini
2019). Penelitian yang dilakukan oleh tim Surili Himakova hanya terletak di satu
lokasi. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh LIPI (2017) terletak di dua
lokasi yaitu di Desa Wanggameti dan Desa Praing Kareha. Desa Mahaniwa
memiliki luas kawasan sebesar 2 210 ha, Desa Wanggameti seluas 5 590 ha, dan
Desa Praing Kareha seluas 5 120 ha (Balai TN Matalawa 2018). Luas daerah
pengamatan yang lebih kecil (± 2% dari luas TN Matalawa) ini membuat jumlah
jenis yang ditemukan sedikit.
Faktor lain adalah kondisi cuaca. Kondisi cuaca saat pengamatan adalah saat
musim kemarau. Hal ini diduga juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan
jumlah jenis yang ditemukan tidak terlalu banyak, terutama di jalur pengamatan
terestrial. Tidak adanya sumber air di jalur pengamatan terestrial menyebabkan
sulitnya menemukan jenis herpetofauna. Menurut Riyanto dan Trilaksono (2012),
air menyebabkan kondisi lingkungan menjadi lembab sehingga menguntungkan
kebanyakan jenis herpetofauna. Suhu dan kelembaban juga sangat berpengaruh
terhadap kelimpahan jenis herpetofauna. Suhu dan kelembaban di daratan
(terestrial) akan menjadi faktor pembatas kuat bagi satwa, hal ini akan terlihat dari
distribusi dan kelimpahannya. Semakin ekstrim suhu dan kelembaban, maka sedikit
56
jenis maupun jumlah individu yang akan hidup ditempat itu (Sukarsono 2012). Hal
ini sesuai dengan kondisi daerah pengamatan yang memiliki selisih suhu dan
kelembaban yang cukup ekstrim antara siang dan malam hari. Suhu di Mahaniwa
antara 33o – 34o C pada siang hari dan 14o – 23o C pada malam hari dengan
kelembaban antara 47 – 98%. Perbedaan hasil penelitian juga dapat disebabkan oleh
beberapa kendala seperti lama pengamatan. Menurut Kusrini (2009) bila waktu
pengamatan terlalu pendek mungkin hanya mampu melingkup kurang dari 50%
jenis yang ada di lokasi tersebut. HIMAKOVA (2009) melakukan pengambilan data
di blok Manupeu Tanah Daru dengan waktu pengambilan data selama 8 hari.
Sementara itu, pengambilan data kali ini dilakukan selama 6 hari.
Hasil pengamatan ditemukan lebih banyak amfibi (147 individu; 93%)
daripada reptil (11 individu; 7%). Duttaphrynus melanostictus merupakan jenis
amfibi yang paling banyak ditemukan (Gambar 31). Spesies ini ditemukan sebanyak
89 individu (60.54%) dan dapat dijumpai di seluruh jalur pengamatan, baik di
habitat akuatik maupun terestrial. D. melanostictus banyak ditemukan di habitat
akuatik dengan aliran air yang tidak terlalu deras dan tidak terlalu dalam, di substrat
berupa bebatuan, tanah, dan serasah. Sementara itu, jenis amfibi yang paling sedikit
ditemui adalah Polypedates leucomystax yaitu berjumlah 5 individu (3.40 %).
Kodok buduk (D. melanostictus) merupakan salah satu jenis amfibi hasil
introduksi. Spesies ini dapat dijumpai di berbagai tipe habitat, mulai dari kawasan
hutan hingga ke daerah pemukiman. Penyebaran kodok buduk di Indonesia sudah
dijumpai di berbagai pulau, mulai dari Sumatera hingga Papua. Menurut Kennedi
(2018), penyebaran kodok buduk khususnya di wilayah Nusa Tenggara juga sudah
cukup luas, yakni tersebar hampir di seluruh pulau yang berada di kawasan Nusa
Tenggara. Hal ini disebabkan oleh kemampuan kodok buduk dalam beradaptasi
dengan lingkungan. Wowor (2010) juga menyatakan bahwa kodok buduk
merupakan amfibi yang dapat hidup di perairan atau daratan yang tergenang oleh
60.54
36.05
3.40
0
10
20
30
40
50
60
70
Duttaphrynus
melanostictus
Papurana elberti Polypedates
leucomystax
Gambar 31 Kelimpahan relatif amfibi (%) di Blok Mahaniwa Resort
Wanggameti, TN Matalawa (1-6/8 2019)
57
air hujan. Postur tubuhnya yang relatif besar dan kulitnya yang tebal dapat menjadi
salah satu faktor mengapa jenis ini dapat bertahan hidup di semua habitat.
Kemampuan kodok buduk dalam beradaptasi dengan lingkungannya ini juga
dibuktikan dengan ditemukannya spesies ini di seluruh jalur pengamatan, mulai dari
habitat akuatik hingga terestrial. Kodok ini ditemukan di sekitar bebatuan sungai,
tanah, serasah, di air mengalir, bahkan di sekitar kubangan yang airnya sedikit
keruh. Kehadiran kodok buduk sebagai spesies invasif masih harus dilakukan
penelitian lanjutan. Keberadaan kodok buduk yang mendominasi kawasan Blok
Mahaniwa belum dapat dikatakan sebagai spesies invasif, karena perlu waktu yang
cukup lama untuk melihat dampak negatif dari suatu spesies yang terintroduksi
hingga menjadi spesies invasif. Menurut Kennedi (2018), luasnya penyebaran
kodok buduk di Indonesia khususnya di Nusa Tenggara menunjukkan adanya
kemungkinan spesies ini menjadi spesies invasif.
Kelimpahan jenis reptil tertinggi adalah Trimeresurus insularis. Spesies ini
ditemukan sebanyak 6 individu (54.55%). Seluruh individu ditemukan di jalur
pengamatan akuatik, di sekitar bebatuan dan bambu. Jenis lain hanya ditemukan
sebanyak satu hingga dua individu. Kelimpahan jenis reptil seperti ditunjukkan pada
Gambar 32.
Trimeresurus insularis merupakan salah satu jenis ular yang banyak
ditemukan di kawasan Nusa Tenggara. Penyebarannya meliputi Bali, Komodo,
Rinca, Adonara, Lembata, Pantar, Alor, Roti, Semau, Wetar, Romang, Flores,
Kisar, Lombok, Sumbawa, Sumba, dan Timor (Das 2010). Jenis ini memilki tiga
warna berbeda, yakni berwarna biru (di Pulau Komodo), kuning (di Pulau Wetar),
dan hijau (jenis yang umum dijumpai). Menurut Das (2010), ular jenis ini
merupakan ular arboreal yang aktif pada malam hari (nokturnal) dan ditemukan
54.55
9.09
18.18
9.09 9.09
0
10
20
30
40
50
60
Trimeresurusinsularis
Dendrelaphisinornatus
Sphenomorphussp.
Ramphotyphlopssp.
Ramphotyplopsbraminus
Gambar 32 Kelimpahan relatif reptil (%) di Blok Mahaniwa Resort
Wanggameti, TN Matalawa (1-6/8 2019)
Indotyphlops
braminus
58
pada ekosistem hutan dengan ketinggian mencapai 880 mdpl. Makanan berupa
kadal, tokek, tikus, dan katak. Lokasi tempat ditemukannya ular ini adalah di sekitar
sungai, tepatnya di bagian tepi sungai. Ular ini banyak dijumpai sedang diam di
bagian akar-akar bambu, dan beberapa juga ditemukan di bebatuan dekat bambu.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Komposisi jenis herpetofauna yang terdapat di Blok Mahaniwa, Resort
Wanggameti, Taman Nasional Matalawa terdiri dari delapan jenis, yaitu tiga amfibi
dan lima reptil yang terbagi dalam tujuh famili. Seluruh jenis yang ditemukan bukan
merupakan jenis yang dilindungi dan bukan jenis yang terancam punah.
Kelimpahan jenis herpetofauna terbanyak untuk amfibi adalah jenis Duttaphrynus
melanostictus sedangkan dari reptil kelimpahan tertinggi adalah jenis Trimeresurus
insularis. Kodok buduk (D. melanostictus) teridentifikasi sebagai jenis introduksi
yang berpotensi menjadi spesies invasif di masa yang akan datang karena spesies
ini merupakan jenis yang mudah beradaptasi dengan lingkungan baru.
Saran
Lokasi penelitian yaitu Blok Mahaniwa hanya bagian kecil dari Taman
Nasional Matalawa dan survei ini mendapatkan data pertama untuk jenis
herpetofauna di blok ini sehingga tidak menutup kemungkinan dapat ditemukan
jenis baru. Waktu pengambilan data yang terlalu singkat serta kurangnya survei
pendahuluan sehingga membuat penelitian ini kurang optimal, untuk itu diperlukan
monitoring berkala dan penelitian lanjutan untuk mengeksplorasi lebih banyak
lokasi.
59
DAFTAR PUSTAKA
Balai Taman Nasional Matalawa. 2018. Statistik Balai TN Matalawa. Waingapu
(ID): Taman Nasional Matalawa.
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora.
2019. CITES-listed species [diunduh pada 20 Agustus 2019
https://www.cites.org].
Das I. 2010. A Field Guide to the Reptiles of Southeast Asia. London (UK):
Bloomsbury Publishing Plc.
Frost DR. 2017. Amphibian Species of The World: an Online Reference Version
6.0 [diunduh pada 20 Agustus 2019
https://research.amnh.org/herpetology/amphibia/index.html]
Heyer WR, Donnelly MA, McDiarmid RW, Hayek LC, Foster MS. 1994.
Measuring and Monitoring Biodiversity: Standard Methods for Amphibians.
Washington (US): Smithsonian Institution Press.
HIMAKOVA. 2009. Laporan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2009 di
Taman Nasional Manupeu Tanahdaru, Nusa Tenggara Timur. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
HIMAKOVA. 2015. Panduan Lapang Fauna Taman Nasional Gunung Tambora.
Mataram (ID): BKSDA NTB.
International Union for Conservation of Nature. 2019. The IUCN red list of
threatened species [diunduh pada 20 Agustus 2019
https://www.iucnredlist.org].
Kennedi UF. 2018. Keanekaragaman jenis herpetofauna di Taman Nasional
Komodo dan sekitarnya [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Kusrini MD. 2009. Pedoman Penelitian dan Survei Amfibi di Alam. Bogor (ID):
Fakultas Kehutanan IPB
Kusrini MD. 2013. Panduan Bergambar Identifikasi Amfibi Jawa Barat. Bogor
(ID): Fakultas Kehutanan IPB.
Kusrini MD. 2019. Metode Survei dan Penelitian Herpetofauna. Bogor (ID): IPB
Press.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2017. Ekspedisi Sumba. Jakarta (ID): LIPI
Press.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (Permen
LHK) No. 106 Tahun 2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang
dilindungi.
60
Riyanto A, Trilaksono W. 2012. Komunitas Herpetofauna di Lereng Timur Gunung
Slamet, Jawa Tengah. Ekologi Gunung Slamet. 153-155.
Sukarsono. 2012. Pengantar Ekologi Hewan. Malang (ID): UMM Press.
Uetz P, Freed P, Hosek J. 2017. The reptile database [diunduh pada 20 Agustus
2019 http://www.reptile-database.org]
Wowor D. 2010. Studi Biota Perairan dan Herpetofauna di Daerah Aliran Sungai
(DAS) Ciliwung dan Cisadane: Kajian Hilangnya Keanekaragaman Hayati.
Laporan Akhir Program Insentif Peneliti dan Perekayasa LIPI. 1-48.
Yanuarefa MF, Hariyanto G, Utami J. 2012. Panduan Lapang Alas Purwo.
Banyuwangi (ID): Balai Taman Nasional Alas Purwo.
61
LAMPIRAN
Lampiran 2 Jenis herpetofauna yang ditemukan di TN Matalawa
Famili: Bufonidae
Duttaphrynus melanostictus
Kodok berukuran sedang hingga besar. Bagian atas tubuh terdapat bintik
hitam dan garis berwarna merah. Bagian kepala terdapat garis hitam yang melingkar
di belakang mata. Kaki depan tidak berselaput, kaki belakang pendek dan berselaput
hingga ruas jari kedua. Ukuran tubuh anakan mulai dari 0.4 – 2.9 cm dengan bobot
0.1 – 0.5 gram. Ukuran kodok dewasa mulai dari 3.2 – 9.9 cm dengan bobot 3.90
gram. Kodok ini ditemukan di seluruh jalur pengamatan, seperti di serasah,
bebatuan, kubangan, dan di sekitar aliran air. Jumlah yang ditemukan sebanyak 89
individu, 13 anakan dan 76 dewasa.
62
Famili: Ranidae
Papurana elberti
Katak berukuran sedang hingga besar, dengan ukuran mulai dari 3.93 – 7.29
cm dan bobot mulai dari 4 – 35 gram. Tubuh berwarna hijau, putih, hingga keabu-
abuan. Timpanum terlihat jelas, terdapat garis dari belakang mata hingga kaki dan
pola garis hitam dari bagian moncong hingga mata. Mata bulat menonjol, pupil mata
horizontal dan berwarna hitam. Kepala berbentuk segitiga. Kaki depan tidak
berselaput, memiliki kaki belakang yang panang dan berselaput hingga ruas jari
kedua, disk bulat namun tidak terlalu besar. Jenis ini banyak ditemukan di daerah
sungai dengan aliran air yang tenang hingga deras. Ditemukan juga di bebatuan, di
atas tanah, dan beberapa ditemukan di bawah perakaran. Jumlah yang ditemukan
sebanyak 53 individu.
63
Famili: Rhacoporidae
Polypedates leucomystax
Katak pohon dengan panjang tubuh mulai dari 3.76 – 4.86 cm dan bobot dari
3 – 7 gram. Jenis yang ditemukan berwarna oranye, abu-abu, dan kehitaman. Katak
ini memiliki kepala berbentuk segitiga. Mata bulat dengan pupil mata horizontal.
Memiliki garis hitam yang memanjang dari moncong hingga anus sebanyak 6 garis.
Kaki depan tidak berselaput. Kaki belakang berselaput hingga ruas jari kedua.
Memiliki disk yang cukup lebar dan lengket di kaki depan dan belakang. Jenis ini
ditemukan di daun, akar, dan bebatuan sungai. Jumlah yang ditemukan sebanyak 4
individu. Satu ekor ditemukan di bebatuan gua.
64
Famili: Colubridae
Dendrelaphis inornatus
Ular yang mempunyai panjang SVL 40.3 cm, panjang total 59.8 cm dan
berat 6 gram. Mempunyai mata bulat, pupil hitam dan berbentuk bulat. Mempunyai
bentuk kepala lonjong, bagian dorsal berwarna coklat keemasan, terdapat garis
hitam memanjang sampai anus dan bagian ventral berwarna putih kekuningan. Ular
ini hanya ditemukan sebanyak satu individu, di atas ranting pohon.
65
Famili: Typhlopidae
Indotyphlops braminus
Ular ini ditemukan sebanyak satu individu, di tanah sekitar rumah warga
pada siang hari. Bentuk tubuh ular ini menyerupai cacing. Warna tubuh bagian
dorsal berwarna hitam, bagian ventral berwarna lebih terang. Kepala dan ekor
tumpul, mata dan mulut berukuran kecil. Jenis yang ditemukan memiliki ukuran
SVL 19 cm dengan panjang total 29 cm, bobot tubuh sebesar 4 gram.
66
Famili: Typhlopidae
Ramphotyphlops sp.
Ular berukuran kecil, tubuh bagian dorsal berwarna hitam kecoklatan,
bagian vetral berwarna coklat. Ular ini ditemukan di atas tanah pinggir jalan dalam
keadaan mati. Mempunyai panjang SVL 15 cm, panjang total 19 cm dan berat 2
gram.
67
Famili: Viperidae
Trimeresurus insularis
Merupakan salah satu ular berbisa tinggi. Tubuh bagian dorsal berwarna
hijau terang. Tubuh bagian ventral berwarna hijau kekuningan. Kepala berbentuk
segitiga, mata berwarna merah dengan pupil vertikal. Ekor berwarna coklat
kemerahan. Ular ini ditemukan di bambu dekat aliran sungai. Mempunyai panjang
SVL dari 30 – 49 cm, panjang total dari 37.5 – 63 cm dan berat dari 7 – 63 gram.
Jumlah yang ditemukan sebanyak 6 individu.
68
Famili: Scincidae
Sphenomorphus sp.
Kadal berukuran kecil, panjang tubuh 4.57 cm, bobot tubuh 0.5 gram.
Memiliki timpanum berwarna putih dan garis hitam dari ujung mulut hingga kaki
bagian depan. Pupil mata berbentuk bulat dan berwarna hitam. Tubuh bagian dorsal
berwarna cokelat, bagian ventral warna putih. Memiliki bintik hitam di bagian atas
tubuh. Ditemukan di atas tanah dekat akar, sebanyak dua individu (satu hasil glue
trap dan satu hasil penangkapan langsung).
69
70
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pulau Sumba merupakan salah satu pulau yang terletak di posisi terluar
Indonesia. Luas Pulau Sumba kurang lebih 11 005 km2, memiliki luas kawasan
hutan 37% dengan komposisi luas hutan konservasi terbesar sebanyak 57%.
Keberadaan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti
(Matalawa) menjadi salah satu pilar dalam pengelolaan keanekaragaman hayati
yang ada di tanah Sumba sebagai habitat flora maupun fauna. Taman Nasional
Matalawa memiliki variasi ketinggian 0 sampai 1 225 mdpl sehingga terdiri dari
berbagai tipe vegetasi diantarnya padang savana terbuka, hutan tropika kering,
hutan semi awet hijau dan hutan mangrove. Kawasan padang sabana yang cukup
luas dan diapit oleh tutupan hutan beserta flora dan fauna endemik didalamnya
merupakan salah satu daya tarik Taman Nasional Matalawa.
Resort Wanggameti merupakan salah satu resort yang terdapat di Taman
Nasional Matalawa tepatnya di wilayah kerja seksi 3. Resort ini dikelilingi oleh 2
desa, yaitu Desa Wanggameti dan Desa Mahaniwa, serta 1 desa enclaf, yaitu Desa
Katikuwai. Terdapat berbagai macam ekosistem pada resort tersebut, seperti
ekosistem riparian, hutan tertutup, dan savana. Resort Wanggameti dijadikan
sebagai lokasi penelitian kupu-kupu karena habitatnya mendukung berbagai jenis
kupu-kupu untuk hidup, terutama jenis kupu-kupu raja Troides haliphron yang
dilindungi menurut Permen LHK No. 20 tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan
Satwa yang Dilindungi.
Kupu-kupu merupakan satwa yang memiliki keindahan pada corak sayapnya.
Sayap kupu-kupu sangat berperan dalam pengaturan suhu tubuh (termoregulasi) dan
menjadi salah satu bioindikator lingkungan. Intensitas cahaya yang cukup bagi
kupu-kupu terbang dan ketersediaan tumbuhan pakan menjadi faktor penentu
keberadaan kupu-kupu pada habitat tertentu. Kupu-kupu memiliki kisaran suhu
tertentu agar dapat bertahan hidup. Kupu-kupu hanya dapat terbang jika suhu
tubuhnya di atas 30°C (Sihombing 1999).
Keanekaragaman hayati harus dijaga dari kerusakan habitat dan kepunahan
maupun penurunan keanekaan jenis hayatinya. Seperti satwa lainnya, kupu-kupu
juga mengalami ancaman kelangkaan jika tidak dilakukan perlindungan, pelestarian
serta pembinaan habitat agar tetap lestari (Lestari 2018). Letak geografis Taman
Nasional Matalawa membuat taman nasional tersebut memiliki habitat yang cocok
bagi kupu-kupu untuk hidup. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian mengenai
keanekaragaman hayati khususnya kupu-kupu di kawasan Taman Nasional
Matalawa, Resort Wanggameti. Data keanekaragaman hayati adalah penting karena
informasi tersebut dapat menjadi acuan pengelola untuk mengelola kawasan taman
nasional, khususnya perlindungan satwaliar dan pengembangan kawasan di Resort
Wanggameti.
71
Tujuan
Penelitian ini bertujuan mengetahui keanekaragaman jenis, kekayaan jenis,
kemerataan jenis, kelimpahan jenis kupu-kupu dan mengetahui tumbuhan pakan
kupu-kupu di Resort Wanggameti, Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan
Laiwangi Wanggameti sehingga dapat dijadikan sebagai data dasar untuk
melakukan pengembangan kawasan khususnya di Resort Wanggameti.
METODE
Waktu dan Tempat
Pengamatan ini dilaksanakan di dalam kawasan Resort Wanggameti, Taman
Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti, Sumba Timur, Nusa
Tenggara Timur tanggal 1 – 7 Agustus 2019. Pengamatan dilakukan mulai dari
pukul 08.30 – 12.00 WITA. Pengamatan dilakukan pada 3 (tiga) tipe ekosistem,
yaitu lahan tertutup dan lahan terbuka (savana) di Desa Wanggameti, serta
ekosistem riparian di Desa Katikuwai.
Gambar 33 Peta Pengambilan Data KPK
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan selama penelitian adalah jaring serangga sebagai
alat pembantu untuk menangkap kupu-kupu, papilot untuk menyimpan spesimen
kupu-kupu yang ditangkap, suntikan dan alkohol 70%, tallysheet dan alat tulis,
termometer dry-wet untuk mengukur suhu dan kelembaban lokasi penelitian, global
72
positioning system (GPS) untuk tracking, trap untuk menangkap kupu-kupu dengan
metode tidak langsung, kamera untuk mendokumentasi kupu-kupu, serta buku
panduan lapang kupu-kupu. Sampel penelitian ini adalah kupu-kupu yang terdapat
di Resort Wanggameti, Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi
Wanggameti, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.
Metode Pengambilan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode tidak langsung menggunakan
trap dan metode langsung menggunakan pollard transect. Metode tidak langsung
menggunakan trap untuk memerangkap kupu-kupu dengan cara memasang trap
pada plot pengamatan yang diduga memiliki banyak potensi kupu-kupu dengan
umpan terasi. Metode pollard transect dilakukan dengan menangkap kupu-kupu di
sepanjang jalur pengamatan dengan lebar 10 meter dan panjang 50 meter.
Penangkapan dilakukan dengan cara berjalan perlahan atau menunggu sambil terus
mengawasi keberadaan kupu-kupu untuk ditangkap. Pengamatan tidak dibatasi oleh
waktu di setiap plotnya. Antar plot pengamatan terdapat jeda sepanjang 10 meter
agar tidak terjadi perhitungan ganda (double counting). Sketsa metode pollard
transect dapat dilihat pada Gambar 34.
Gambar 34 Sketsa jalur pengamatan kupu-kupu metode pollard transect
Analisis Data
Data dalam penelitian ini dianalisis menggunakan rumus indeks sebagai
berikut:
1. Keanekaragaman Jenis
Keanekaragaman jenis kupu-kupu ditentukan dengan menggunakan Indeks
Keanekaragaman Shannon-Wiener dengan rumus:
10 m
Plot 2 Plot 1
Jeda
10 m
50 m
600 m
Arah Jalur
73
H’ = − ∑ 𝑝𝑖 ln 𝑝𝑖
Keterangan:
H’ = indeks keanekaragaman jenis
Pi = proporsi nilai penting
Ln = logaritma natural
Tabel 5 Klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wieners
Nilai Indeks SW Kategori
> 3 Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap
spesies tinggi dan kestabilan komunitas tinggi
1 – 3 Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap
spesies sedang dan kestabilan komunitas sedang
< 1 Keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap
spesies rendah dan kestabilan komunitas rendah
2. Kekayaan Jenis
Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai kekayaan jenis adalah:
𝑅 =(𝑆 − 1)
𝑙𝑛(𝑁)
Keterangan:
R = Indeks kekayaan jenis
S = Jumlah jenis yang ditemukan
N = Jumlah individu keseluruhan jenis
3. Kemerataan Jenis
Kemerataan jenis digunakan untuk mengetahui gejala dominansi diantara
setiap jenis dalam suatu lokasi. Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai
Evennes adalah:
𝐸 =𝐻′
𝑙𝑛 𝑠
Keterangan:
E = Indeks kemerataan jenis
H’= Indeks Shannon-Wiener
S = Jumlah jenis
4. Kelimpahan Jenis
Untuk kelimpahan jenis, digunakan nilai kelimpahan jenis relatif. Persamaan
yang dipakai adalah persentase kelimpahan relatif (Brower & Zar 1977) sebagai
berikut:
𝑃𝑠𝑖 =𝑛
𝑁 𝑥 100%
74
Keterangan:
Psi = Nilai percent similarity untuk jenis ke-I
N = Jumlah individu jenis ke-I
N = Jumlah individu total
Tumbuhan pakan dianalisis menggunakan studi literatur, yaitu tumbuhan
pakan yang ditemukan pada lokasi pengamatan dibandingkan dengan data
tumbuhan pakan kupu-kupu yang ditemukan di literatur berupa jurnal dan buku
yang membahas tentang tumbuhan pakan kupu-kupu.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keanekaragaman Jenis
Keanekaragaman jenis adalah indeks yang menggambarkan keragaman kupu-
kupu. Keanekaragaman jenis berkaitan dengan kekayaan jenis kupu-kupu pada
suatu habitat (Magurran 1998). Krebs (1978) menyebutkan bahwa terdapat enam
faktor yang saling berkaitan yang menentukan naik turunnya keanekaragaman jenis
pada suatu komunitas, yaitu waktu, haterogenitas ruang, persaingan, pemangsaan,
kestabilan lingkungan dan produktivitas jenis. Selain ke enam faktor tersebut,
Soerianegara (1996) menambahkan bahwa keanekaragaman jenis tidak hanya
ditentukan oleh banyaknya jenis, tetapi ditentukan juga oleh banyaknya individu
dari setiap jenis. Nilai indeks keanekaragaman jenis dari 3 (tiga) tipe ekosistem di
Resort Wanggameti dapat dilihat pada Gambar 35.
Gambar 35 Nilai indeks keanekaragaman jenis kupu-kupu pada 3 (tiga) tipe
ekosistem di Resort Wanggameti
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
Riparian Lahan Terbuka Lahan Tertutup
75
Hasil analisis nilai indeks keanekaragaman jenis kupu-kupu pada 3 (tiga) tipe
ekosistem diperoleh, H’ = 3.10 di riparian, H’ = 1.61 di lahan tertutup, dan H’ =
3.15 di lahan terbuka (savana). Menurut ketentuan rentang nilai indeks
keanekaragaman jenis Shannon-Wiener, keanekaragaman jenis kupu-kupu
tertinggi terdapat pada ekosistem lahan terbuka dan keanekaragaman jenis terendah
terdapat pada ekosistem lahan tertutup. Hal tersebut berkaitan dengan kekayaan
jenis yang terdapat pada masing-masing tipe ekosistem. Nilai indeks kekayaan jenis
kupu-kupu di lahan tertutup lebih rendah dibandingkan dengan lahan terbuka dan
riparian.
Kekayaan Jenis
Kekayaan jenis merupakan nilai yang ukurannya dipengaruhi oleh banyaknya
jenis dan jumlah individu pada suatu lokasi pengamatan. Menurut Lestari (2018),
kekayaan jenis menunjukkan perbandingan jumlah jenis yang ditemukan di suatu
lokasi dengan jumlah dari masing-masing jenis yang ditemukan. Semakin banyak
jumlah jenis dan individu pada suatu lokasi maka nilai indeks kekayaan semakin
tinggi (Syaputra 2015). Nilai indeks kekayaan jenis dari 3 (tiga) tipe ekosistem di
Resort Wanggameti dapat dilihat pada Gambar 36.
Gambar 36 Nilai indeks keanekaragaman jenis kupu-kupu pada 3 (tiga) tipe
ekosistem di Resort Wanggameti
Hasil analisis nilai indeks kekayaan jenis kupu-kupu pada 3 (tiga) tipe
ekosistem diperoleh, R = 6.82 di riparian, R = 2.08 di lahan tertutup, dan R = 7.16
di lahan terbuka (savana). Nilai indeks kekayaan jenis dipengaruhi oleh jumlah jenis
dan jumlah individu pada ekosistem tersebut. Kekayaan jenis di lahan terbuka
tertinggi dan kekayaan jenis di lahan tertutup terendah. Hal tersebut disebabkan
jumlah jenis kupu-kupu dengan jumlah individu yang ditemukan di lahan terbuka
lebih banyak, yaitu sebanyak 29 jenis dengan 50 individu ditemukan sedangkan di
lahan tertutup sebanyak 7 jenis dengan 17 individu ditemukan.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Riparian Lahan Terbuka Lahan Tertutup
76
Kemerataan Jenis
Kemerataan merupakan nilai yang menunjukkan sebaran jumlah individu per
setiap jenis pada suatu lokasi. Tingkat kemerataan juga mempengaruhi kestabilan
suatu jenis di alam, hal ini berkaitan dengan kemampuan suatu spesies bertahan dari
ancaman kepunahan. Mawazin dan Subiakto (2013) menyatakan bahwa suatu jenis
yang memiliki tingkat kestabilan yang tinggi mempunyai peluang yang lebih besar
untuk mempertahankan kelestarian jenisnya. Nilai indeks kemerataan jenis dari 3
(tiga) tipe ekosistem di Resort Wanggameti dapat dilihat pada Gambar 37.
Gambar 37 Nilai indeks kemerataan jenis kupu-kupu pada 3 (tiga) tipe ekosistem
di Resort Wanggameti
Hasil analisis nilai indeks kemerataan kupu-kupu pada 3 (tiga) tipe ekosistem
diperoleh, E = 0.60 di riparian, E = 0.56 di lahan tertutup, dan E = 0.80 di lahan
terbuka (savana). Hasil tersebut menggambarkan bahwa individu jenis kupu-kupu
di seluruh lokasi pengamatan hampir merata, tetapi tidak menutup kemungkinan
ada jenis yang mendominasi karena nilai indeks berada di pertengahan rentang
angka 0 sampai 1. Menurut Magurran (1988), apabila indeks kemerataan jenis
mendekati 0 berarti kemerataan antar jenis di dalam ekosistem tersebut adalah
rendah, sedangkan apabila indeks kemerataan jenis mendekati 1 berarti kemerataan
antar jenis di dalam ekosistem tersebut adalah tinggi. Indeks kemerataan yang tinggi
menunjukkan bahwa suatu ekosistem memiliki jumlah individu per jenis yang
hampir sama atau merata, sedangkan indeks kemerataan yang rendah menunjukkan
adanya kecenderungan dominansi jenis tertentu di suatu habitat.
Kelimpahan Jenis
Kelimpahan jenis adalah nilai yang menunjukkan banyaknya jenis individu
suatu jenis dibandingkan dengan total individu dari setiap jenis yang ditemukan.
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
Riparian Lahan Terbuka Lahan Tertutup
77
Nilai indeks kelimpahan jenis kupu-kupu di Resort Wanggameti dapat dilihat pada
Gambar 38.
Gambar 38 Kelimpahan jenis kupu-kupu di Resort Wanggameti
Jenis kupu-kupu dengan kelimpahan tertinggi adalah Neptis hylas, yaitu
sebesar 12% dari famili nymphalidae. Jenis kupu-kupu tersebut ditemukan pada
seluruh tipe ekosistem, sedangkan jenis yang lainnya hanya ditemukan pada satu
atau dua tipe ekosistem yang diamati. Menurut Odum (1993), nilai kelimpahan jenis
kupu-kupu N. hylas, P. memnon, D. chrysippus, Eurema blanda, Z. otis dan C.
pomona tergolong tinggi dan merupakan jenis yang dominan di Resort Wanggameti
karena memiliki nilai kelimpahan jenis > 5% (lebih dari 5%), sedangkan jenis kupu-
kupu lainnya tergolong sedang dan merupakan jenis sub-dominan pada lokasi.
Tumbuhan Pakan
Banyaknya jumlah jenis kupu-kupu hasil tangkapan di lokasi penelitian
berkaitan dengan ketersediaan tumbuhan pakan. Menurut Rahayu dan Basukriadi
(2012), kekayaan jenis kupu-kupu yang tinggi tidak terlepas dari faktor ketersediaan
tumbuhan inang kupu-kupu, baik sebagai sumber makanan maupun tempat
bernaung. Beberapa jenis tumbuhan yang dikenal sebagai tumbuhan inang dan
tumbuhan pakan larva kupu-kupu banyak tumbuh di lokasi penelitian. Menurut
Efendi (2009) dan Lamatoa et al. (2013), kupu-kupu jenis ini bersifat polifagus.
Polifagus merupakan sifat kupu-kupu yang dapat melakukan oviposisi pada
beberapa jenis tumbuhan (Vane 2003). Tanaman inang dari jenis Catopsilia pamona
antara lain yaitu Caesalpinacea, Capparaceae, dan Papilionaceae (Peggie 2006).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil analisis data menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman dan
kekayaan jenis kupu-kupu tertinggi terdapat pada ekosistem lahan terbuka
6%
11%
12%
7%
5%
5%
1%
0 5 10 15 20 25 30
Catopsilia pomona
Eurema blanda
Neptis hylas
Zizina otis
Danaus chrysippus
Papilio memnon
Lainnya
78
(savanna). Persebaran jenis kupu-kupu pada tiga tipe ekosistem tersebar hampir
merata, namun masih ada beberapa jenis yang mendominasi. Jenis kupu-kupu yang
memiliki kelimpahan relatif tinggi antara lain N. hylas, P. memnon, D. chrysippus,
Eurema blanda, Z. otis dan C. Pomona yang merupakan jenis dominan ditemukan
pada tiga tipe ekosistem pengamatan.
Saran
Resort Wanggameti merupakan kawasan yang memiliki satwa kupu-kupu
langka dan dilindungi Permen LHK No. 20 tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan
Satwa yang Dilindungi, yaitu kupu-kupu raja Troides haliphron. Oleh karena itu,
sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai keberadaan pakan kupu-kupu
tersebut serta kaitannya dengan konservasi kupu-kupu T. haliphron berbasis
kearifan masyarakat lokal (masyarakat sumba timur). Penelitian tersebut dapat
dijadikan sebagai dasar bagi pengelola Taman Nasional Matalawa khususnya
Resort Wanggameti dalam melestarikan kupu-kupu T. haliphron.
79
DAFTAR PUSTAKA
Efendi MA. 2009. Keragaman Kupu-Kupu (Lepidoptera: Ditrysia) di Kawasan
“Hutan Koridor” Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Jawa Barat. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Magguran AE. 1998. Ecologycal Divercity and Its Measurement. Yogyakarta (ID):
Princeton University Press.
Lamatoa DC, Koneri R, Siahaan R, Maabuat PV. 2013. Populasi kupu-kupu
(Lepidoptera) di Pulau Mantehage, Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Sains
13(1):2-56.
Lestari VC, Erawan TS, Melanie, Kasmara H, Hermawan W. 2018.
Keanekaragaman jenis kupu-kupu familia nymphalidae dan familia pieridae
di Kawasan Cirengganis dan Padang Rumput Cikamal Cagar Alam
Pananjung Pangandaran. Jurnal Agrikultura 29(1):1-8.
Mawazin, Subiakto A. 2013. Keanekaragaman dan komposisi jenis permudaan
alam hutan rawa gambut bekas tebangan di Riau. J Forest Rehabilitation.
1(1):59–73.
Peggie D, Amir M. 2006. Practical Guide to the Butterflies of Bogor Botanic
Garden. Bogor (ID): Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI.
Sihombing DTH. 1999. Satwa Harapan I Pengantar Ilmu dan Teknologi Budidaya.
Bogor (ID): Pustaka Wirausaha Muda.
Syaputra M. 2015. Pengukuran keanekaragaman kupu-kupu (lepidoptera) dengan
menggunakan metode time search. Media Bina Ilmiah 9(4).
80
81
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Taman Nasional Manupeu Tanah Daru Laiwangi Wanggameti (Matalawa)
merupakan taman nasional gabungan dari dua taman nasional yang terdapat di Pulau
Sumba Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan Permen LHK Nomor 7 Tahun 2016
tentang Organissi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional, BTN
Manupeu Tanah Daru dan BTN Laiwangi Wanggameti digabung menjadi BTN
Manupeu Tanah Daru Laiwangi Wanggameti (Matalawa). Secara umum, taman
nasional memiliki fungsi pelestarian keanekaragaman hayati yang terdapat di
dalamnya. Dasar penetapan Taman Nasional Matalawa yaitu karena terdapat jenis
burung endemik yang dilindungi, yaitu Kakatua Jambul Kuning (Cacatua
sulphurea) dan Julang Sumba (Rhyticeros everetti). Ekosistem taman nasional
memiliki fungsi melindungi seluruh komponen ekosistem karena antar
komponennya saling berkaitan satu dengan yang lainnya, termasuk
keanekaragaman floranya.
Kondisi topografi daerah Sumba Timur secara umum datar di daerah pesisir,
landai hingga bergelombang di daerah dataran rendah < 100 mdpl dan berbukit
(Rengganis 2016). Sebaran flora di kawasan Taman Nasional Matalawa
dipengaruhi oleh kondisi topografi yang ada. Tipologi kawasan Taman Nasional
Matalawa di dominasi oleh perbukitan dengan bukit tertinggi adalah Bukit Tanah
Daru dengan ketinggian sekitar 918 mdpl dan Puncak Wanggameti dengan
ketinggian sekitar 1 224 mdpl. Tipe vegetasi di kawasan TN Matalawa terbagi
menjadi vegetasi hutan pantai, vegetasi hutan bakau, vegetasi padang dan savana,
dan vegetasi hutan dataran rendah (Surahman dan Rachman 2018). Berdasarkan
data flora TN Matalawa tahun 2017, masih banyak jenis flora yang belum
teridentifikasi secara lokal dan belum diketahui potensi pemanfaatannya terutama
untuk obat-obatan.
Kelompok Pemerhati Flora (KPF) yang tergabung dalam kegiatan Ekspedisi
Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) melakukan penelitian untuk mengkaji
keanekaragaman jenis flora serta pemanfaatannya terutama untuk obat-obatan dan
akan menghasilkan data ilmiah terkait keanekaragaman hayati Taman Nasional
Matalawa.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi keanekaragaman flora,
jenis tanaman yang berpotensi obat, dan potensi anggrek di Taman Nasional
Matalawa.
82
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada 1 – 7 Agustus 2019 di Resort Wanggameti dengan
dua jenis ekosistem, hutan dataran rendah dan padang savana. Waktu pengambilan
data pada ekosistem hutan dataran rendah adalah enam hari dan ekosistem padang
savana satu hari.
Gambar 39 Peta Pengambilan Data KPF
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam pengambilan data yaitu alat tulis, tallysheet,
kamera digital, pita ukur, meteran (phiband), golok, GPS, kompas, penanda
spesimen, tali rafia, dan tali tambang. Bahan berupa alkohol 70%, kertas koran, dan
objek yang diamati adalah spesies flora.
Metode Pengambilan Data
Data yang diambil berupa data biotik dan data abiotik. Data yang diambil
adalah data vegetasi dengan menggunakan metode analisis vegetasi. Data yang
diambil dalam kegiatan analisis vegetasi yaitu keanekaragaman jenis tumbuhan dari
berbagai habitus, kesuburan tanah, kelerengan, topografi, ketinggian, suhu dan
kelembaban. Menurut Latifah (2005), analisis vegetasi merupakan studi untuk
mengetahui struktur dan komposisi vegetasi. Analisis vegetasi dilakukan dengan
dua cara yakni dengan metode jalur berpetak dan metode petak. Metode jalur
berpetak digunakan untuk ekosistem hutan dataran rendah dengan petak berukuran
83
20 m x 20 m untuk tingkat pohon, 10 m x 10 m untuk tangkat tiang, 5 m x 5 m
untuk tingkat pancang, dan 2 m x 2 m untuk tingkat semai dan tumbuhan bawah
(Febriliani et al 2013) disajikan dalam Gambar 40.
Gambar 40 Jalur analisis vegetasi ekosistem hutan tutupan
Metode petak yang dilakukan untuk ekosistem savana yaitu petak berukuran
2 m x 2 m di dalam petak 20 m x 20 m disajikan pada Gambar 41.
Gambar 41 Jalur analisis vegetasi ekosistem padang savana
Heriyanto dan Garsetiasih (2004), struktur vegetasi dibagi menjadi pohon,
tiang, pancang, dan semai berdasarkan kriteria:
1. Pohon, vegetasi dengan diameter setinggi dada (1.3 m) ≤ 20 cm dan untuk
pohon berbanir, diameter diukur 20 cm diatas banir.
2. Tiang, vegetasi dengan diameter setinggi dada (1.3 m) ≥ 10 cm sampai < 20
cm.
3. Pancang, vegetasi yang memiliki tinggi ≥ 1.5 m dan berdiameter ≤ 10 cm.
4. Semai, vegetasi muda mulai dari kecambah sampai tinggi < 1.5 m.
84
Data abiotik diperlukan sebagai data penunjang dalam analisis vegetasi. Data
yang diambil berupa suhu basah dan suhu kering pada petak pertama ukuran 2 m x
2 m pada setiap jalur pengamatan.
Metode selanjutnya yang digunakan dalam pengambilan data adalah metode
eksplorasi. Eksplorasi dilakukan dengan mencatat semua jenis tumbuhan yang
ditemukan dalam setiap jalur pengamatan serta mencatat kegunaan dan potensi
pemanfaatan tumbuhan yang diperoleh. Metode eksplorasi digunakan untuk
pengambilan data inventarisasi potensi tumbuhan obat. Data spesies yang diperoleh
di lapangan didokumentasikan dalam berbagai bentuk seperti foto identifikasi
spesies dan herbarium. Metode pembuatan herbarium yang dilakukan adalah dengan
tahapan berikut:
1. Spesimen herbarium yang diambil adalah ranting, daun, buah, biji maupun
bagian batang yang lengkap dan apabila ada bunganya maka bagian bunga juga
dapat diambil untuk dijadikan herbarium.
2. Spesimen herbarium dimasukkan ke dalam kertas koran dengan memberi label
berukuran 3 cm x 5 cm dan berisi informasi nama lokal, nama ilmiah dan lokasi
pengumpulan spesimen.
3. Spesimen herbarium disusun di atas kertas koran dan disiram dengan alkohol
70%.
4. Spesimen disimpan dalam kotak atau di dalam trashbag bening sebelum dibawa
ke laboratorium untuk diidentifikasi lebih lanjut.
Analisis Data
Data dianalisis menggunakan analisis indeks nilai penting, indeks kekayaan,
indeks keanekaragaman jenis, dan indeks kemerataan seperti berikut:
Analisis vegetasi
a. Kerapatan (K) = Jumlah individu suatu jenis
Luas petak contoh
b. Kerapatan Relatif (KR) = Jumlah kerapatan suatu jenis
Jumlah kerapatan seluruh jenis x 100%
c. Frekuensi (F) = Jumlah plot ditemukannya suatu spesies
Jumlah total plot
d. Frekuensi Relatif (FR) = F suatu jenis
Jumlah F seluruh jenis x 100%
e. Dominansi (D) = Luas bidang dasar suatu spesies
Luas petak contoh
f. Dominansi Relatif (DR) = Dominansi suatu jenis
Dominansi seluruh jenis x 100%
g. Indeks Nilai Penting (semai dan pancang) = KR+FR
h. Indeks Nilai Penting (tiang dan pohon) = KR+FR+DR
85
Nilai penting suatu spesies berkisar antara 0% – 300% untuk tingkat tiang dan
pohon dan 0% – 200% untuk tingkat semai dan pancang. Menurut Parmadi et al.
(2016) nilai penting suatu spesies menunjukkan pengaruh atau peranan suatu jenis
terhadap jenis lain dalam suatu ekosistem.
Analisis Habitat
Analisis habitat menggunakan indeks keanekaragaman jenis, indeks
kemerataan dan indeks kekayaan jenis pada setiap petak pengamatan menggunakan
beberapa formula sebagai berikut :
1. Indeks Kekayaan Margalef
Kekayaan jenis adalah adalah jumlah jenis yang ditemukan suatu komunitas.
Indeks margalef mengindikasikan kekayaan jenis yang ditunjukkan dari jumlah
jenis (spesies) yang ditemukan (Ismaini et al. 2015).
Margalef’s indeks: Dmg = (S-1)/ln N
Keterangan:
Dmg : Indeks Margalef
S : Jumlah individu teramati
N : Jumlah total Individu
2. Indeks Keanekaragaman Jenis
Indeks keanekaragaman jenis dihitung dengan menggunakan metode indeks
keanekaragaman Shannon-Wienner (H’). Metode ini digunakan untuk mengetahui
keanekaragaman jenis (Latupapua 2011) dengan rumus:
H’= -∑Pi ln Pi
Keterangan:
H’ : Indeks keanekaragaman
Pi : ni/N (perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan jumlah seluruh
jenis)
Indeks keanekaragaman (H’) terdiri dari beberapa kriteria:
H’ > 3.0 : menunjukkan tingkat keanekaragaman yang sangat tinggi
1.5 < H’ < 3.0 : menunjukkan tingkat keanekaragaman yang tinggi
1.0 < H’ < 1.5 : menunjukkan tingkat keanekaragaman sedang
H’ < 1 : menunjukkan tingkat keanekaragaman rendah
3. Indeks Kemerataan
Indeks kemerataan digunakan untuk menunjukkan keseragaman kelimpahan
antar jenis (Kartijono et al. 2010). Metode perhitungan yang digunakan yaitu
dengan perhitungan Indeks Simpsons dengan rumus:
E= H’/ln S
86
Keterangan:
E : Indeks kemerataan
H’ : Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner
S : Jumlah jenis
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Vegetasi
Analisis vegetasi adalah cara mempelajari vegetasi tumbuhan dilihat dari
struktur dan komposisi vegetasi yang dapat menghasilkan data kuantitatif terkait
keanekaragaman tumbuhan (Greig dan Smeith 1993). Menurut Indriyanto (2006),
analisis vegetasi merupakan suatu cara mempelajari susunan atau komposisi jenis
dan bentuk atau struktur vegetasi, dan tujuan yang ingin dicapai adalah untuk
mengetahui komposisi spesies dan struktur komunitas pada suatu wilayah yang
dipelajari. Komposisi vegetasi merupakan daftar floristik dari jenis vegetasi yang
ada dalam suatu komunitas. Struktur vegetasi adalah hasil penataan ruang oleh
komponen penyusun tegakan dan bentuk hidup, stratifikasi, dan penutupan vegetasi
yang digambarkan melalui keadaan diameter, tinggi, penyebaran dalam ruang,
keanekaragaman tajuk, serta kesinambungan jenis (Fachrul 2007). Data yang
diambil dalam kegiatan analisis vegetasi yaitu keanekaragaman jenis tumbuhan dari
berbagai habitus, kesuburan tanah, kelerengan, topografi, ketinggian, suhu dan
kelembaban.
Struktur tegakan horizontal suatu tegakan hutan alam pada umumnya
cenderung mendekati bentuk sebaran huruf J-terbalik yang menunjukkan bahwa
pohon berukuran kecil yang menyusun ekosistem tersebut cenderung lebih rapat
dibandingkan dengan pohon berukuran besar (Gunawan et al. 2011) . Berdasarkan
hasil analisis vegetasi yang dilakukan di ekosistem hutan dataran rendah diperoleh
sebanyak 3 371 individu tumbuhan. Terdiri dari 35 jenis pohon dengan jumlah
individu 497, tiang sebanyak 34 jenis dengan 208 individu, 41 jenis pancang dengan
956 individu, 24 jenis semai sebanyak 949 individu, 3 jenis tumbuhan bawah dengan
57 individu, 2 jenis liana dengan 95 individu, 4 jenis epifit dengan 397 individu, 2
jenis palem dengan 21 individu, dan 2 jenis pandan dengan 191 individu (Gambar
42).
87
Gambar 42 Jumlah spesies dan individu di ekosistem hutan tutupan
Tingginya jumlah vegetasi tingkat semai dan pancang dapat disebabkan
karena perubahan lingkungan yang terjadi seperti terbukanya tajuk yang
berpengauh terhadap masuknya cahaya matahari dan kurangnya dominansi dari
tingkat pertumbuhan pohon, sehingga semai yang sangat membutuhkan cahaya
matahari untuk pertumbuhannya mendapat cukup cahaya dan tumbuh optimal
(Haryadi 2017). Tingkat pancang memiliki jumlah individu yang lebih tinggi
dibandingkan semai. Hal ini dapat terjadi karena semai tidak mengalami gangguan
yang berarti dalam pertumbuhannya, sehingga peluang untuk tumbuh menjadi
tingkat pancang lebih besar (Haryadi 2017). Tingkat pertumbuhan tiang memiliki
jumlah individu yang paling rendah diantara tingkat pertumbuhan lainnya. Hal ini
dapat disebabkan oleh vegetasi tingkat tiang mendapatkan banyak gangguan, antara
lain penebangan, terbukanya lapisan tanah sehingga terjadi kurangnya kesuburan
tanah dan rusaknya sistem perakaran vegetasi tingkat tiang (Haryadi 2017).
Jumlah spesies penyusun padang savana di lokasi pengambilan data, sebanyak
19 spesies dari 11 famili, disajikan pada Tabel 6.
24 41 34 353 3 2 2 2
949 956
208
497
57
397
95
191
21
0
200
400
600
800
1000
1200
Semai Pancang Tiang Pohon TumbuhanBawah
Epifit Liana Pandan Palem
Jumlah jenis Jumlah Individu
88
Tabel 6 Jenis tumbuhan di ekosistem savana
No Nama Jenis Nama Latin Famili
1 Wau Kabanga Ageratum conyzoides Asteraceae
2 Lorotan Brachiaria reptans Poaceae
3 Pegagan Centella asiatica Apiaceae
4 Rumput Teki Cyperus rotundus Cyperaceae
5 Rumput pangola Digitaria eriantha Poaceae
6 Rumput jariji Digitaria sanguinalis Poaceae
7 Brabuan Digitaria sp Poaceae
8 Tapak liman Elephantopus scaber Asteraceae
9 Tai ruha Erigeron sumatrensis Retz Asteraceae
10 Tai kabala / Kirinyuh Eupatorium inulifolium Asteraceae
11 Daun Ungu Graptophyllum pictum Acanthaceae
12 Alang-alang Imperata cylindrica Poaceae
13 Rumput knop Hyptis capitata Lamiaceae
14 Tembelekan Lantana camara Verbenaceae
15 Melastoma Melastoma aculeolatum Melastomataceae
16 Putri Malu Mimosa pudica Fabaceae
17 Buah berry Rubus moluccana Rosaceae
18 Gletang /Katumpang Tridax procumbens Asteraceae
19 Bunga padang Vaccinium varingiaefolium Ericaceae
Indeks nilai penting (INP) digunakan untuk menganalisis dominansi suatu
jenis dalam komunitas tertentu (Kusmana dan Melyanti 2017). Kemudian peranan
suatu tumbuhan dalam suatu ekosistem dapat terlihat dari besarnya INP pada setiap
tingkat pertumbuhan dalam ekosistem tersebut.
Tabel 7 Jenis dominan pada setiap tingkat pertumbuhan di ekosistem hutan dataran
rendah
Habitus No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP (%)
Semai 1 Laru Garcinia sp. Clusiaceae 72.13
2 Kalauki Calophyllum soulattri Clusiaceae 33.65
3 Loba Symplocos sp. Symplocaceae 27.13
Pancang 1 Laru Garcinia sp. Clusiaceae 65.69
2 Kalauki Calophyllum soulattri Clusiaceae 33.26
3 Loba Symplocos sp. Symplocaceae 27.82
Tiang 1 Kalauki Calophyllum soulattri Clusiaceae 94.30
2 Ai Watu Nysa sp. Nysaceae 32.00
3 Laru Garcinia sp. Clusiaceae 20.82
Pohon 1 Kalauki Calophyllum soulattri Clusiaceae 44.14
2 Kalada Tuna Neonaucle excelsa Rubiaceae 40.88
3 Kaju Omang Podocarpus rumphii Podocarpaceae 31.65
89
Jenis pohon yang memiliki INP tertinggi adalah dari famili Clusiaceae yakni
kalauki (Calophyllum soulattri) jika dibandingkan dengan jenis pohon lainnya.
Tumbuhan ini memiliki nama khas masing-masing untuk setiap daerah. Di daerah
Bangka tanaman ini dikenal dengan sebutan bintangur bunut atau malang-malang,
di daerah Belitung terkenal dengan sebutan membalung, di daerah sunda terkenal
dengan nama sulatri, dan di daerah Jawa sering disebut dengan bintangur, slatri atau
sletri. Tumbuhan ini tumbuh liar di daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat dibawah
ketinggian 300 mdpl.
Pohon kalauki (C. soulattri) menjulang tinggi hingga 23 m dan berdiameter
sampai 50 cm. Bentuk batang bundar lurus tanpa banir. Bunganya sangat harum
dan buahnya terasa masam (Heyne 1987). Kalauki (C. soulattri) dapat
dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat tradisional. Seduhan daun dan akarnya
digunakan sebagai obat oles untuk nyeri encok. Minyak dan bijinya dapat
dimanfaatkan untuk plitur, minyak rambut, minyak urut, berkhasiat juga untuk obat
rematik (Heyne 1987). Menurut Leksono (2012) sebagian besar jenis tumbuhan dari
famili Clusiaceae seperti bintagur dapat tumbuh pada habitat dengan ketinggian
tempat berkisar antara 100 - 150 mdpl dan dapat tumbuh dengan baik di tanah
mineral. Suhu yang baik untuk pertumbuhan Clusiaceae adalah berkisar antara 18 –
33°C. Jenis tumbuhan famili Clusiaceae dapat tumbuh di hutan dataran rendah –
hutan pantai. Jenis tumbuhan ini dapat tumbuh dengan baik di habitat yang dekat
dengan air seperti sungai dan pantai. Hal tersebut sesuai dengan kondisi habitat di
lokasi penelitian yakni hutan Wanggameti yang merupakan hutan dataran rendah
dan memiliki suhu dengan kisaran 15 – 28°C.
Jenis kalauki (Calophyllum soulattri) ditemukan pada setiap tingkat
pertumbuhan yakni semai, pancang, tiang, dan pohon sehingga regenerasi jenis
tersebut baik. Selain itu Laru (Garcinia sp.) merupakan jenis yang memiliki prospek
regenerasi positif karena Laru (Garcinia sp.) memiliki jumlah semai dan pancang
yang mendominansi struktur pertumbuhan, dan merupakan jenis yang memiliki INP
tertinggi dan kehadiran tingkat pertumbuhan yang lengkap. Kedepannya akan ada
kemungkinan pergantian jenis yang mendominansi pada tiap tingkat pertumbuhan.
Tabel 8 Persentase INP tertinggi di ekosistem savana
No Nama Ilmiah Famili INP (%)
1 Cyperus rotundus Cyperaceae 51.28
2 Imperata cylindrica Poaceae 45.15
3 Centella asiatica Apiaceae 15.31
4 Brachiaria reptans Poaceae 15.25
Indeks Nilai Penting (INP) jenis tumbuhan pada suatu komunitas merupakan
salah satu parameter yang menunjukkan peranan jenis tumbuhan yang bersangkutan
dalam komunitasnya atau pada lokasi penelitian (Sundarapandian dan Swamy
2000). Kehadiran suatu jenis tumbuhan pada suatu daerah menunjukkan
90
kemampuan adaptasi dengan habitat dan toleransi yang lebar terhadap kondisi
lingkungan. Indeks Nilai Penting (INP) dapat menunjukkan peranan suatu spesies
dalam komunitas dimana nilai yang tinggi menunjukkan tingkat vegetasi yang
memiliki nilai dan jumlah individu paling banyak (Sorianegara dan Indrawan 1998).
Persaingan terjadi antar masyarakat hutan yang menyebabkan adanya spesies
dominan sehingga spesies dominan tersebut adalah yang memiliki INP tertinggi.
Indeks Nilai Penting (INP) yang tinggi menggambarkan tingkat pertumbuhan
vegetasi yang paling banyak dan mendominasi yang menyebabkannya dapat
bersaing dengan spesies lainnya dalam suatu ekosistem. Perbedaan jumlah jenis dan
INP suatu jenis tumbuhan dalam eksosistem disebabkan oleh adanya persaingan
antar jenis dalam memperebutkan sumberdaya yang sama dan terbatas dalam suatu
kawasan disamping adanya faktor adaptasi dan kebutuhan hidup yang berbeda antar
jenis dan tingkat pertumbuhan (Maisyaroh 2010).
Analisis vegetasi yang dilakukan di savana dijumpai 19 jenis dari 11 famili.
Famili dengan jenis yang banyak dijumpai adalah Asteraceae dan Poaceae,
disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Komposisi famili di ekosistem savana
No Famili Jumlah Persentase (%)
1 Asteraceae 5 27.78
2 Poaceae 5 27.78
3 Acanthaceae 1 05.56
4 Apiaceae 1 05.56
5 Cyperaceae 1 05.56
6 Ericaceae 1 05.56
7 Fabaceae 1 05.56
8 Melastomataceae 1 05.56
9 Rosaceae 1 05.56
10 Verbenaceae 1 05.56
11 Lamiaceae 1 05.56
Berdasarkan data pada Tabel 9, dapat diketahui bahwa famili Poaceae pada
umumnya mempunyai jumlah individu lebih banyak dari pada spesies lainnya.
Kemudian dengan demikian komunitas yang diteliti dicirikan oleh spesies rumput
dengan nilai penting relatif tinggi. Poaceae merupakan tanaman yang dapat dengan
mudah dijumpai dan jumlahnya sangat banyak, selain itu Poaceae juga berperan
dalam kehidupan manusia, baik menguntungkan ataupun merugikan. Peran Poaceae
yang menguntungkan adalah dapat digunakan sebagai bahan pangan, papan, dan
obat. Sedangkan peran yang merugikan adalah banyak anggota familia Poaceae
hidup sebagai gulma (Solikin 2003). Kemudian di lokasi penelitian ekositem savana
dijumpai kotoran hewan ternak masyarakat. Hal tersebut mengindikasikan bahwa
masyarakat sekitar memanfaatkan padang savana sebagai tempat merumput hewan
ternak. Menurut Sutomo (2016) intensitas grazing oleh mamalia yang cukup tinggi
91
di savana akan menyebabkan penurunan di dalam biomassa rumput. Secara formasi
vegetasi hutan dan savana memiliki karakteristik vegetasi yang tentunya berbeda.
Perbedaan dalam hal komposisi jenis ini dapat terjadi secara gradual sehingga
menyebabkan adanya daerah batas atau boundaries antara hutan dan savana. Selain
itu kondisi mikroklimat juga akan berbeda antara hutan dan savana (Sutomo 2016).
Indeks Keanekaragaman, Indeks Kekayaan, dan Indeks
Kemerataan Jenis
Hasil analisis vegetasi didapatkan beberapa indeks yang mendeskripsikan
kondisi vegetasi pada lokasi penelitian yaitu indeks keanekaragaman, indeks
kekayaan jenis, dan indeks kemerataan jenis.
Gambar 43 Indeks keanekaragaman jenis
Indeks keanekaragaman digunakan untuk melihat tingkat keanekaragaman
jenis tumbuhan pada suatu komunitas hutan. Berdasarkan Gambar 43 diketahui
bahwa indeks keanekaragaman jenis yang diperoleh tergolong tinggi (1.5 <H’< 3.0)
karena nilai indeks keanekaragaman mencapai 2.88. Semakin tinggi
keanekaragaman jenis, maka komunitas tersebut akan semakin stabil dan memiliki
kemampuan lebih tinggi dalam menghadapi gangguan hutan (Irwan 2009). Nilai
indeks keanekaragaman sangat dipengaruhi oleh dua hal yaitu kelimpahan jenis dan
kemerataan jenisnya (Mulyasana 2008). Jika jenis yang ditemukan semakin banyak
dan jumlah individu pada masing-masing jenisnya merata, nilai indeks
keanekaragaman yang diperoleh akan semakin tinggi.
0.89 1.04
2.88 2.88
1.09 1.24
0.68
0.29 0.41
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
H' (Keanekaragaman)
92
Gambar 44 Indeks kekayaan jenis
Selanjutnya, indeks kekayaan jenis digunakan untuk mengetahui kekayaan
jenis dalam suatu komunitas. Berdasarkan Gambar 44, diketahui bahwa nilai indeks
kekayaan tergolong tinggi (R > 5). Nilai indeks kekayaan jenis berbanding lurus
dengan jumlah jenis dan individu tumbuhan pada suatu komunitas. Semakin banyak
jumlah jenis tumbuhan yang ditemukan, nilai indeks kekayaannya akan semakin
besar (Fathia 2017). Pada area pengambilan data tajuk lebih terbuka sehingga
cahaya yang sampai ke lantai hutan dan dimanfaatkan untuk pertumnuhan semai
meskipun memiliki jumlah individu yang lebih banyak dibandingkan tiang namun
semai memiliki tingkat kekayaan jenis yang lebih rendah dibandingkan tingkat
pertumbuhan tiang, hal tersebut dikarenakan beberapa jenis yang ditemukan pada
tiang tidak ditemukan pada tingkat semai.
Gambar 45 Indeks kemerataan jenis
Indeks kemerataan menunjukkan persebaran suatu jenis tumbuhan di dalam
suatu komunitas atau suatu lokasi penelitian. Krebs (1978) menyatakan bahwa
3.355
5.836.183
5.48
0.49 0.5 0.22 0.19 0.33
0
1
2
3
4
5
6
7
R (Kekayaan)
0.281 0.28
0.82 0.81
0.990.89
0.98
0.42
0.59
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
S (Kemerataan)
93
indeks kemerataan yang mendekati satu menunjukkan bahwa spesies tersebut
memiliki persebaran yang merata dalam suatu lokasi atau komunitas, sedangkan
apabila indeks kemerataan mendekati nol maka hal tersebut menunjukkan
ketidakmerataan suatu spesies dalam komunitas. Kemudian pada indeks kemerataan
jenis yang diperoleh cenderung mendekati 1. Hal ini menunjukkan bahwa
penyebaran spesies pada lokasi penelitian hampir sama rata. Fathia (2017),
menyatakan bahwa penambahan jenis pada suatu komunitas, terutama jenis yang
memiliki nilai individu yang rendah dapat berpengaruh signifikan terhadap nilai
indeks kemerataan jenis.
Beberapa Jenis Tumbuhan yang Memiliki Ciri Khas di
Lokasi
1. Kiloba (Symplocos sp.)
Gambar 46 Kiloba (Symplocos sp.)
Kiloba (Symplocos sp.) merupakan tanaman endemik di Nusa Tenggara
Timur (NTT), yang banyak tumbuh di Pulau Sumba. Masyarakat Nusa Tenggara
Timur menggunakan serbuk daun gugur tanaman loba (Symplocos sp.) untuk
meningkatkan kekuatan warna kain tradisional yang berasal dari bahan pewarna
alami tumbuhan. Penguat warna kain yang umum digunakan masyarakat Nusa
Tenggara Timur berasal dari jenis tanaman loba, yaitu kiloba manu (Symplocos
chaoanensis) dan kiloba wawi (Symplocos fasciculata Zoll.) yang cukup banyak
terdapat di Pulau Sumba.
Masyarakat Sumba menggunakan bagian tanaman kiloba tersebut sebagai
campuran pada proses pewarnaan kain tradisional dengan cara yang sederhana.
Bagian tanaman yang digunakan adalah daun. Daun kiloba yang sudah gugur
dikeringkan dengan cara daun yang dijemur dibawah terik matahari untuk
94
meningkatkan keawetan selama penyimpanan. Daun kemudian dihancurkan hingga
menjadi serbuk dan siap untuk digunakan. Serbuk daun gugur loba dapat digunakan
karena kandungan garam logam aluminium (Al) pada daunnya yang dapat
menguatkan warna kain tenun tradisional yang dibandingkan bagian tanaman
lainnya. Pewarna alami daun kiloba dapat menghindarkan kelunturan kain dan
meningkatkan tensitas warna pada kain.
2. Gaharu Putih (Aquilaria malaccensis L.)
Gambar 47 Gaharu Putih (Aquilaria malaccensis L.)
Kata gaharu diperkirakan berasal dari bahasa Melayu yang berarti harum.
Bahasa Sansekerta, gaharu berasal dari kata ‘aguru’ yang mempunyai arti kayu
sebagai produk resin atau dammar wangi dengan aroma yang khas (Setyaningrum
dan Saparinto 2014). Gaharu adalah sejenis kayu dengan berbagai bentuk yang
memiliki warna yang khas, serta memiliki kadar damar wangi, berasal dari pohon
atau bagian pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati,
sebagai akibat dari proses infeksi yang terjadi baik ecara alami maupun buatan pada
pohon tersebut, dan pada umumnya terjadi pada pohon Aquilaria spp. yang dikenal
dengan nama daerah seperti karas, alim, gaharu dan lain-lain (Wahyudi 2013).
Secara taksonomi gaharu termasuk ke dalam golongan:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dycotiledoneae
Ordo : Myrtales
Family : Thymelaeaceae
Genus : Aquilaria
Spesies : Aquilaria malaccensis L
95
Daerah sebaran tumbuh pohon penghasil gaharu di Indonesia, salah satunya
dijumpai di Nusa Tenggara Timur. Secara ekologis, karakteristik penyebaran
gaharu berada pada ketinggian 0 – 2400 mdpl, pada daerah beriklim panas dengan
suhu antara 28º – 34ºC, berkelembaban sekitar 80% dan bercurah hujan antara 1 000
– 2 000 mm/th. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim di kawasan TN
Matalawa termasuk tipe iklim C sampai dengan F. Rata-rata curah hujan pada bulan
basah adalah 400 mm sedangkan pada bulan kering adalah 18 mm. Kawasan hutan
Laiwangi Wanggameti keadaan curah hujan berkisar antara 100 – 1500 mm, dengan
ketinggian 1 225 mdpl. Lahan tempat tumbuh pada berbagai variasi kondisi struktur
dan tekstur tanah, baik pada lahan subur, sedang hingga lahan marginal. Gaharu
dapat dijumpai pada ekosistem hutan rawa, gambut, hutan dataran rendah atau hutan
pegunungan, bahkan dijumpai pada lahan berpasir berbatu yang ekstrim (Sumarna
2012). Berdasarkan peta Geologi Bersistem Nusa Tenggara, formasi geologi pulau
Sumba, terdiri dari endapan permukaan (Aluvium), batuan sedimen yang tersusun
dari batu gamping, batu pasir, batu lempung, dan batuan konglomerat. Sesuai data
parameter ekologis yang diamati, secara biologis kawasan hutan alam di wilayah
Taman Nasional Matalawa sangat cocok upaya pembinaan dan pengembangan
berbagai jenis tumbuhan hutan, termasuk upaya budidaya pohon penghasil gaharu.
3. Edelweiss (Anaphalis longifolia)
Gambar 48 Edelweiss (Anaphalis longifolia)
Anaphalis spp. adalah jenis tumbuhan dari suku Asteraceae yang hidup di
daerah pegunungan dengan ketinggian antara 800 – 3 400 mdpl. Tumbuhan ini
dikenal sebagai bunga abadi karena sangat tahan lama dan tidak mudah rusak.
Dalam Bahasa Sumba tumbuhan ini disebut Kondumerada. Masyarakat setempat
sangat menghormati tumbuhan ini. Secara taksonomi Edelweiss termasuk ke dalam
golongan:
96
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Asterales
Famil : Asteraceae
Genus : Anaphalis
Spesies : Anaphalis longifolia
Bunga Edelweiss (Anaphalis longifolia) adalah tumbuhan dengan ciri
morfologis, merupakan tumbuhan perdu dengan bulu putih, bercabang lebat,
ranting-rantingnya berdaun kering putih kelabu, bunganya berbentuk bonggol kecil,
pada tengah bunga yang berwarna kuning dan daun tidak lengket. Sering menjadi
tumbuhan pionir pada lereng batuan lava dan abu vulkanik pada 1 200 – 2 850 mdpl.
Jarang turun sampai ketinggian 800 mdpl (Van Steenis 1979).
4. Gamal (Gliricidia sepium)
Gambar 49 Gamal (Gliricidia sepium)
Tanaman gliricidia biasa disebut gamal terdiri atas dua spesies, yaitu yang
berbunga merah muda dan berbunga putih. Di Indonesia yang banyak ditanam
adalah gliricidia yang memiliki bunga berwarna merah muda. Ada yang hidup
dipermukaan laut tetapi juga dapat ditemukan pada ketinggian 1 200 mdpl. Gamal
berbentuk semak, pohon dengan daun yang mejemuk bersirip ganjil (Susilo 2014).
Secara taksonomi gamal termasuk ke dalam golongan:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Fabales
97
Famili : Fabaceae
Genus : Gliricidia
Spesies : Gliricidia sepium
Masyarakat Sumba memanfaatkan tumbuhan ini sebagai pagar hidup.
Tanaman ini berfungsi pula sebagai pengendali erosi dan gulma terutama alang-
alang. Dalam Bahasa Indonesia, gamal merupakan akronim dari: ganyang mati
alang-alang. Bunga-bunga gamal merupakan pakan lebah yang baik, dan dapat pula
dimakan setelah dimasak.
Keanekaragaman Potensi Tumbuhan Obat
Tumbuhan obat adalah tanaman yang salah satu, beberapa atau seluruh bagian
tanaman tersebut mengandung zat aktif yang berkhasiat untuk menyembuhkan
penyakit (Rahardi 1996). Hasil penelitian menunjukkan terdapat 21 famili terdiri
atas 35 jenis tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar Taman
Nasional. Keanekaragaman jenis tumbuhan obat disajikan dalam Gambar 50.
Gambar 50 Famili tumbuhan obat di Taman Nasional Matalawa
Keanekaragaman jenis tumbuhan obat didominasi oleh famili Asteraceae
dengan jumlah spesies sebanyak 5 spesies tumbuhan obat. Berdasarkan pernyataan
Romanaputra (2017), famili Asteraceae dan Fabaceae merupakan tumbuhan yang
dapat mendominasi dalam suatu vegetasi di wilayah yang beriklim tropis dan
sedang. Sebagian besar tumbuhan dari famili Asteraceae dapat digunakan sebagai
pangan, obat, bahan kimia, dan varietas hortikultura. Bagian tumbuhan yang
digunakan sebagai tumbuhan obat oleh masyarakat Taman Nasional diantaranya
akar, batang, buah, daun, bunga, dan kulit batang. Bagian daun merupakan bagian
0 1 2 3 4 5 6
Asteraceae
Rutaceae
Apocynaceae
Aspleniaceae
Rubiaceae
Theaceae
Ericaceae
Fabaceae
Thymelaceae
Nysaceae
Phyllanthaceae
Jumlah
Fam
ili
98
yang paling banyak dimanfaatkan untuk dijadikan obat. Persentase penggunaan
daun sebesar 42%, sedangkan bagian tumbuhan yang paling sedikit dimanfaatkan
sebagai tumbuhan obat adalah bagian bunga sebesar 2% dapat dilihat pada Gambar
51.
Gambar 51 Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan
Hamzari (2008) menyebutkan bahwa daun merupakan tempat pengelolaan
nutrisi tumbuhan yang mudah diperoleh dan mudah diramu menjadi obat
dibandingkan dengan bagian tumbuhan lainnya. Penggunaan daun sebagai obat
berbanding lurus dengan usaha konservasi tumbuhan, karena daun merupakan
bagian dari tumbuhan yang mudah didapatkan tanpa harus merusak tumbuhan
tersebut (Zenebe et al. 2012). Selain itu, penggunaan daun sebagai bahan obat tidak
berdampak negatif pada pertumbuhan tanaman karena daun dapat tumbuh kembali
pada pucukpucuk tumbuhan, sedangkan penggunaan bagian lain, seperti akar,
batang, rimpang, umbi atau seluruh bagian tumbuhan dapat mengganggu proses
ekologi dan kemampuan bertahan hidup tumbuhan tersebut (Wakhidah et al. 2017).
Berdasarkan hasil eksplorasi spesies tumbuhan obat, dapat diklasifikasikan ke
dalam 11 kelompok penyakit. Dilihat dari komposisi jumlah spesies tumbuhan
obatnya, kelompok penyakit yang tertinggi adalah kelompok penyakit lain-lain dan
kelompok penyakit terendah adalah kelompok penyakit kelainan darah dan
gangguan organ tubuh. Adapun data macam penyakit dan jumlah spesies tumbuhan
obat yang dapat digunakan pada masing-masing kelompok penyakit tersaji pada
Tabel 10.
2% 7%
7%
10%
32%
42%
Bunga Batang Buah Kulit batang Akar Daun
99
Tabel 10 Pengelompokkan penyakit tumbuhan obat di Taman Nasional Matalawa
No Kelompok Penyakit /
Penggunaan
Macam Penyakit / Penggunaan Jumlah spesies
Tumbuhan Obat
1 Gangguan
pencernaan
Sakit perut, keras hati 2
2. Gangguan fungsi
otot dan syaraf
Rheumatik, pusing , ayan, kepala
berat, kaki lumpuh
4
3. Gangguan
reproduksi/ vital
Melancarkan haid, sfilis 2
4. Gangguan mulut Panas dalam, sakit gigi 1
5. Gangguan saluran
pernapasan
Batuk, influenza, sesak napas 4
6. Kelainan pada darah Obat malaria 1
7. Imunitas Menambah nafsu makan 3
8. Gangguan organ
tubuh
Ginjal 1
9. Penyakit kulit Kulit gatal, luka pada kulit, bisul 9
11. Lain-lain Penyakit demam tinggi,
menghangatkan tubuh, pegal-pegal,
sakit pinggang, patah tulang, penyubur
rambut, bau badan, mempercepat bayi
bisa jalan, antipacet, obat penenang
15
Potensi Anggrek
1. Appendicula sp.
Gambar 52 (Appendicula sp.)
100
Anggrek ini merupakan genus anggrek epifit yang pertumbuhan batangnya
tumbuh ke atas berakhir dengan tangkai bunga yang terdiri dari banyak sekali
kuntum bunga mekar yang tidak bersamaan. Anggrek ini belum dibudidayakan atau
masih terdapat di alam karena kurang menarik namun masih tetap dipelihara oleh
kolektor. Anggrek ini memiliki persebaran di Sumatera yang merupakan lokasi
persebaran terbanyak yaitu sekitar 35 spesies. Jenis Appendicula yang ditemukan di
lokasi penelitian antara lain: Appendicula micrantha.
2. Calanthe triplicata
Gambar 53 (Calanthe triplicata)
Sebutan populer untuk tanaman anggrek yang satu ini, salah satunya adalah
“anggrek bayi sedang tidur”. Anggrek ini mempunyai warna bunga berwarna putih
mirip bayi yang sedang tidur, daunnya yang berwarna hijau tua mempunyai panjang
50 cm dan lebar 20 cm, sedangkan tingginya bisa mencapai 100 cm. Calanthe
triplicata banyak tumbuh secara alami di benua Asia, Kepulauan Afrika Timur,
dan Australia, berasal dari suku Orchidaceae, tumbuh subur pada tanah lembab
berhumus di hutan hujan tropis dekat sungai dengan ketinggian 500 sampai
dengan 1 500 mdpl. Di bumi belahan selatan tanaman anggrek ini umumnya
berbunga pada bulan Desember sehingga disebut juga anggrek natal.
101
3. Anoectochilus reinwardtii
Gambar 54 (Anoectochilus reinwardtii)
Anoectochilus adalah genus dalam famili Orchidaceae yang beranggotakan
kira-kira 50 spesies. Anggrek dari genus ini sering disebut dengan anggrek permata
(Jewel orchid) karena penampakannya yang menarik. Jewel orchid (Anoectochilus
reinwardtii) dapat tumbuh pada lantai hutan dengan cahaya yang sangat minim, dan
apabila terkena sinar matahari, urat daunnya akan menyala dengan indah. Anggrek
jenis ini tidak seperti anggrek jenis lain yang dinikmati bunganya tetapi anggrek ini
indah pada bagian daunnya. Jewel orchid (Anoectochilus reinwardtii) oleh
masyarakat dianggap sama dengan Macodes petola, karena bentuknya yang mirip.
Jewel orchid (Anoectochilus reinwardtii), tulang daun dan urat daunnya berwarna
merah bata hingga kuning, bahkan ada yang pink. Anggrek ini memiliki persebaran
di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara sampai dengan Papua.
4. Bulbophyllum sp.
Bulbophyllum merupakan anggrek epifit dan merupakan salah satu genus
anggrek terbesar dengan mencapai 1 200 spesies. Anggrek ini memiliki umbi semu
beruas satu, berdaun satu. Daunnya sangat tebal dengan ukuran yang beragam,
tumbuh di ujung umbi semu, beruas, duplikatif. Jenis anggrek ini memiliki akar
rimpang merayap, perbungaan satu (soliter) dan beberapa ada yang majemuk
susunan bunganya beragam, tandan kepala atau berkas, bunga besar-sedang dengan
jumlah satu atau lebih setiap kali berbunga. Umumnya bunga memiliki kelopak
menonjol lebih besar atau lebih panjang dari mahkota, kelopak samping tumbuh
pada kaki tiang sekaligus membentuk dagu. Bibir tumbuh pada ujung kaki tiang atau
bercupang. Persebaran anggrek ini meliputi Afrika, Asia Selatan Timur, Australia
dan Amerika Selatan.
102
Simpulan dan Saran
Simpulan
Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian dapat disimpulkan bahwa
keanekaragaman tumbuhan yang terdapat di lokasi penelitian Resort Laiwanggi
Wanggameti Taman Nasional Matalawa tergolong tinggi dan kondisi hutan masih
dalam keadaan baik. Potensi tumbuhan obat yang ditemukan di lokasi penelitian
ditemukan 35 jenis diantaranya dapat teridentifikasi dan digunakan oleh masyarakat
sekitar Taman Nasional, dengan famili yang mendominasi yaitu Asteraceae dan
bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan adalah bagian daun. Potensi jenis
anggrek yang ditemukan dalam penelitan terdapat 4 jenis anggrek, diantaranya
Parapteroceras sp., Appendicula sp., Calanthe triplicate, Aneoctochilus reinwardtii,
dan Bulbophyllum sp.
Saran
Perlu adanya pemberdayaan masyarakat baik melalui penyuluhan tentang
pemanfaatan tumbuhan yang memiliki potensi yang dapat memberikan keuntungan
bagi masyarakat, disamping itu tidak merugikan pihak taman nasional dan tidak
mengakibatkan kerusakan bagi keanekaragaman hayati. Perlu juga untuk
melibatkan masyarakat dalam pengelolaan taman nasional sehingga dapat
membantu perekonomian masyarakat dan memberikan pengetahuan baru bagi
mereka tentang pentingnya menjaga keanekaragaman hayati di sekitarnya.
103
DAFTAR PUSTAKA
Fachrul MF. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta (ID):Bumi Aksara.
Febriliani, Ningsih SM, Muslimin. 2013. Analisis vegetasi habitat anggrek di
sekitar Danau Tambing kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Warta Rimba
1(1):1-9.
Fathia AA. 2017.Komposisi jenis dan struktur tegakan serta kualitas tanah di Hutan
Gunung Galunggung Tasikmalaya [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Greig-Smith P. 1993. Quantitative Plant Ecology. Studies Ecology Volume 9.
Oxford (UK): Blackwell Scientific Publication.
Gunawan W, Basuni S, Indrawan A, Prasetyo LB, Soedjito H. 2011. Analisis
komposisi dan struktur vegetasi terhadap upaya restorasi kawasan hutan
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. JPSL 1(2):93-105.
Hamzari. 2008. Identifikasi tanaman obat-obatan yang dimanfaatkan oleh
masyarakat sekitar Hutan Tabo-Tabo. Jurnal Hutan Masyarakat 3(2): 111-
234.
Haryadi N. 2017. Struktur dan komposisi vegetasi pada kawasan lindung air terjun
telaga Kameloh Kabupaten Gunung Mas .ZIRAA’AH 42(2):137-149.
Heriyanto NM, Garsetiasih R. 2004. Potensi pohon kulim (Scorodocarpus
borneensis Becc.) di kelompok Hutan Gelawan Kampar Riau. Buletin Plasma
Nutfah 10(1): 37-42.
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid 3. Jakarta (ID): Badan Litbang
Kehutanan. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
Irwan ZD. (2009). Prinsip-Prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem Komunitas
dan Lingkungan. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
Ismaini L, Lailati M, Rustandi, Sunandak D. 2015. Analisis komposisi dan
keanekaragaman tumbuhan di Gunung Dempo, Sumatera Selatan. Prosiding
Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia; 2018 Nov 1;
Surakarta, Indonesia. Surakarta (ID): Masyarakat Biodiversitas Indonesia.
1397- 1402.
Kartijono NE, Rahayuningsih M, Abdullah M. 2010. Keanekaragaman jenis
vegetasi dan profil habitat burung di hutan mangrove Pulau Nyamuk Taman
Nasional Karimunjawa. Biosaintifika 2(1): 27-39.
[KLHK] Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. 2016. Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.7 Tahun
104
2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman
Nasional. Jakarta (ID): KLHK.
Kusmana C, Melyanti AR. 2017. Keragaman komposisi jenis dan struktur vegetasi
pada kawasan hutan lindung dengan pola PHBM di BKPH Tampomas, KPH
Sumedang, Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Barat dan Banten. Jurnal
Silvikultur Tropika 8(2):123-129.
Latifah S. 2005. Analisis vegetasi hutan alam [skripsi]. Medan (ID): Universitas
Sumatera Utara.
Latupapua MJJ. 2011. Keanekaragaman jenis nekton di mangrove Kawasan segoro
anak Taman Nasional Alas Purwo. Jurnal Agroforestri 6(2):81-91.
Leksono. 2012. Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta (ID): Pakem Sleman.
Maisyaroh W. 2010. Struktur komunitas tumbuhan penutup tanah di Taman Hutan
Raya R. Soerjo Canggar, Malang. Jurnal Pembangunan dan Alam Lestari
1(1):76-108.
Mulyasana D. (2008). Kajian keanekaragaman jenis pohon pada berbagai
ketinggian tempat di Taman Nasional Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Parmadi EH, Dewiyanti I, Karina S. 2016. Indeks nilai penting vegetasi mangrove
di kawasan Kuala Idi, Kabupaten Aceh Timur. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Kelautan dan Perikanan Unsyiah 1(1):82-95.
Rahardi F. 1999. Membuat Kebun Tanaman Obat. Jakarta (ID): Puspa Swara.
Rengganis H. 2016. Zona wilayah pendayagunaan sumberdaya air untuk
pembangungan irigasi di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Analisis
Kebijakan Pertanian 14(1):17-33.
Romanaputra A. 2017. Keanekaragaman tumbuhan obat di desa Cibuntu,
Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Setyaningrum HD, Saparinto C. 2014. Panduan Lengkap Gaharu. Jakarta (ID)
:Penebar Swadaya.
Sumarna.2012. Budidaya Pohon Penghasil Gaharu. Bogor (ID): Departemen
Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Litbang
Produktivitas Hutan.
Surahman M, Rachman DA. 2018. Jejak Selingkuh Matalawa. Waingapu (ID):
Balai Taman Nasional Manupeu Tanah Daru Laiwangi Wanggameti.
Susilo. 2014. Status taksonomi dan populasi jenis-jenis Aquilaria dan Gyrinops
pusat penelitian dan pengembangan konservasi dan rehabilitasi Bogor. Jom
Faperta 3(1):18-25.
105
Solikin.2003. Jenis-jenis tumbuhan suku poaceae di Kebun Raya Purwodadi.
BIODIVERSITAS 5(1):23-27.
Sorianegara I, Indrawan A. 2002. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Van Steenis CJ. 1947. Flora. Jakarta (ID): PT. Pradya Paramita.
Wahyudi. 2013. Buku Pegangan Hasil Hutan Bukan Kayu. Yogyakarta (ID): Pohon
Cahaya.
Wakhidah HMH, Wirian AS, Yaputra T, Dalimartha, Wibowo B. 1992. Tanaman
Berkhasiat Obat di Indonesia Edisi I. Jakarta (ID): Pustaka Kartini.
Zanebe GM, Zerihun, Solomon Z. 2012. An ethnobotanical study of medicinal
plants in Asgede Tsimbila District, Northwestern Tigray, Northen Ethiopia.
Journal of Plants, People and Applied Research 10: 305-320.
106
LAMPIRAN
Lampiran 3 Jenis tumbuhan di Taman Nasional Manupeu Tanah Daru Laiwangi
Wanggameti (Matalawa) Resort Wanggameti
No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili Habitus
1 Ai Katabi Litsea elliptica Lauraceae Pohon
2 Ai kawau Acronichya trifoliata Rutaceae Pohon
3 Ai Watu Nysa sp. Nysaceae Pohon
4 Ando Mangili Myrica esculenta Myricaceae Pohon
5 Bakahao Podocarpus rumphii Podocarpaceae Pohon
6 Bunga padang Vaccinium varingiaefolium Ericaceae Pohon
7 Cemara Casuarina sp. Casuarinaceae Pohon
8 Gaharu Aquilaria filaria Thymelaeaceae Pohon
9 Gaharu putih Aquilaria malaccensis Thymelaeaceae Pohon
10 Halada Tuna Lophopetalum sp. Celastraceae Pohon
11 Hali Pittosporum glaberrimum Pittosporaceae Pohon
12 Hambala Mata Macaranga tanarius Euphorbiaceae Pohon
13 Haramanjara Ficus sp. Moraceae Pohon
14 Kabebak Omalanthus populneus Euphorbiaceae Pohon
15 Kadu rawa Elaeocarpus sphaericus Elaeocarpaceae Pohon
16 Kaduru Palaquium sp. Sapotaceae Pohon
17 Kahambi Schleichera oleosa Sapindaceae Pohon
18 Kahembi Omang Dacrycarpus imbricatus Podocarpaceae Pohon
19 Kahi Omang Simarouba sp. Simaroubaceae Pohon
20 Kahuduk 1 Glochidion obscurum Phyllanthaceae Pohon
21 Kahuduk 2 Podocarpus imbricatus Podocarpaceae Pohon
22 Kajiu Omang Sundacarpus amarus Podocarpaceae Pohon
23 Kaju Omang Podocarpus rumphii Podocarpaceae Pohon
24 Kalada Tuna Neonaucle excelsa Rubiaceae Pohon
25 Kalauki Calophyllum soulattri Clusiaceae Pohon
26 Kamala Jarek Zanthoxylum sp. Rutaceae Pohon
27 Kamala kaninggu Litsea velutina Lauraceae Pohon
28 Kanunu 1 Glochidion sp. Phyllanthaceae Pohon
29 Kanunu 2 Melicope lanu-akenda Rutacea Pohon
30 Katang Planchonella nitida Sapotaceae Pohon
31 Katikataru Litsea accedentoides Lauraceae Pohon
32 Kawita Kaba Litsea sp. Lauraceae Pohon
33. Kayarak 1 Magnolia glauca Magnoliaceae Pohon
107
Lampiran 3 Jenis tumbuhan di Taman Nasional Manupeu Tanah Daru Laiwangi
Wanggameti (Matalawa) Resort Wanggameti (lanjutan)
No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili Habitus
34. Kayarak 2 Quercus piriformis Fagaceae Pohon
35 Kayu Manis Cinnamomum verum Lauraceae Pohon
36 Kiru Dyxoxylum caulostachyum
Meliaceae Pohon
37 Kondorawa Elaeocarpus serratus Elaeocarpaceae Pohon
38 Laru Garcinia sp. Clusiaceae Pohon
39 Loba Symplocos sp. Symplocaceae Pohon
40 Lobung Syzygium antisepticum Myrtaceae Pohon
41 Lopuwe Sauropus macranthus Phyllanthaceae Pohon
42 Malairau (blank) Meliaceae Pohon
43 Murungiha Memecylon edule Melastomataceae Pohon
44 Pangandu Kiking Eurya acuminata Theaceae Pohon
45 Papa Schefflera sp. Araliaceae Pohon
46 Rakang Rhus sp. Araliaceae Pohon
47 Rita Alstonia scholaris Apocynaceae Pohon
48 Rokowaw Melicope triphylla Rutaceae Pohon
49 Tada Katabi Prunus sp. Rosaceae Pohon
50 Tada Malara Melicope latifolia Rutaceae Pohon
51 Tanggala Elaeocarpus sp. Elaeocarpaceae Pohon
52 Walabara Tabernaemontana sphaerocarpa
Apocynaceae Pohon
53 Walaru 1 Harrisonia perforata Rutaceae Pohon
54 Walaru 2 Weinmania blumei Cunnonaceae Pohon
55 Alang-alang Imperata cylindrica Poaceae Tumbuhan
bawah
56 Wau Kabanga / babandotan
Ageratum conyzoides L. Asteraceae Tumbuhan bawah
57 Brabuan Digitaria sp. Poaceae Tumbuhan
bawah
58 Anggrek spesies 1 Parapteroceras odoratissimum
Orchidaceae Epifit
59 Anggrek spesies 2 Appendicula micrantha Orchidaceae Epifit
60 Paku sarang burung Asplenium nidus Aspleniaceae Epifit
61 Epifit spesies 1 Colysis pedunculata Polypodiaceae Epifit
62 Sirih spesies 1 Piper sp. Piperaceae Liana
63 Sirih spesies 2 Piper betle Piperaceae Liana
64 Pandan rambat Freycinetia sp. Pandanaceae Pandan
65 Pandan Pandanus sp. Pandanaceae Pandan
66 Enau/Kanoru Arenga pinnata Arecaceae Palem
67 Rotan Calamus sp. Arecaceae Palem
108
Lampiran 4 Potensi jenis tumbuhan obat di Taman Nasional Manupeu Tanah Daru
Laiwangi Wanggameti (Matalawa) Resort Wanggameti
N
o
Nama lokal Nama Ilmiah Famili Manfaat Bagian yang
dimanfaatka
n
1 Bunga padang Vaccinium varingiaefolium
Ericaceae Obat luka Buah
2 Sirih Piper sp. Piperaceae Obat batuk Daun
3 Ai watu Nysa sp. Nysaceae Obat anti keras hati dan
penenang
Daun
4 Gaharu putih Aquilaria malaccensis Lam
Thymelaceae Mengobati
luka kulit
Batang
5 Wotakanawabi Tabernaemontana sphaerocarpa
Apocynaceae Obat panas
dalam dan
bisul
Daun
6 Lawu lobung Elaeocarpus sp. Elaeocarpacea
e
Kayu
bangunan,
obat anak kurang gizi
Daun
7 Rawu Ai
Kawawo
Acronichya trifoliata
Rutaceae Obat
memandikan
bayi
Daun
8 Ai malara Melicope latifolia
Rutaceae Obat sesak
nafas dan obat
anti pacet
Daun
9 Rumput teki Cyperus rotundus
Poaceae Obat luka Daun
10 Kaju omang Podocarpus imbricatus
Podocarpaceae Obat anak
kurang gizi
Daun
11 Pangandukikin
g
Eurya acuminata Theaceae Obat untuk
mempercepat
bayi bisa jalan
Daun dan Akar
12 Kaningu/kayu
manis
Cinnamomum zeylanicum
Lauraceae Bahan
pembuat kue,
untuk
menghangatka
n badan
Kuit batang dan
Daun
13 Tai kabala /
Kirinyuh
Eupatorium odoratum
Asteraceae Obat kulit
gatal
Daun
14 Kanoru Arenga pinnata Arecaceae Sakit pinggang Akar
15 Epapa Polyscias sp. Araliaceae Obat flu, rheumatik,
lumpuh pada
anak
Daun dan Kulit batang
16 Rauri Digitaria sp. Poaceae Bau badan Akar dan Daun
17 Kara unang/tali
oren
Cassytha Filiformis
Convolvulacea
e
Obat pusing
sakit kepala
berat
Akar
18 Ai ritta Alstonia scholaris
Apocynaceae Obat malaria
dan
melancarkan
menstruasi
Akar
109
Lampiran 4 Potensi jenis tumbuhan obat di Taman Nasional Manupeu Tanah Daru
Laiwangi Wanggameti (Matalawa) Resort Wanggameti (lanjutan)
No Nama local Nama Ilmiah Famili Manfaat Bagian yang
dimanfaatkan
19 Ai halai Alstonia spectabilis
Apocynaceae Obat
demam
Akar
20 Tapak kuda Elephantopus scaber
Asteraceae Obat bisul
dan kulit
gatal
Daun
21 Hanjua
karteki
Leea angulata Rutaceae Mengobati
luka kulit
Kulit batang
22 Kasikara
Rara
Connarus semidecandrus Jack
Connaraceae Obat
demam
Buah dan Akar
23 Kadu rawa Elaeocarpus ganitrus
Elaeocarpaceae Sakit ginjal,
patah
tulang
Kulit batang
24 Kaduru Palaquium obovatum
Sapotaceae Obat kulit
gatal
Batang
25 Arenga pinnata Arecaceae Sakit pinggang
Akar
26 Kundu Anaphalis longifolia
Asteraceae Obat sakit
gigi
Daun dan akar
27 Gamal /
cebreng
Gliricidia moculata
Fabaceae Obat batuk Daun dan bunga
28 Cimung Timonius timon Rubiaceae Obat sakit
perut
Daun
29 Rotan Calamus sp. Arecaceae Air minum,
penyubur
rambut
Batang
30 Paku sarang burung
Asplenium nidus Aspleniaceae Obat ayan Akar
31 Wai rara Bischofia javanica Phyllanthaceae Obat sifilis Akar
32 Terong /
pokak /
takokak
Solanum torvum Swartz
Solanaceae Obat
demam dan
batuk
Buah
33 Alang Imperata cylindrica
Poaceae Obat sakit
pinggang
Daun dan Akar
34 Tai ruha Erigeron sumatrensis
Asteraceae Obat pegal Akar
35 Wau
Kabanga /
babandotan
Ageratum conyzoides
Asteraceae Obat
demam
Akar
110
111
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberadaan kawasan karst di Indonesia, dianggap memiliki nilai-nilai yang
sangat strategis. Nilai strategis tersebut merupakan sebagai kawasan pemasok dan
tandan air untuk keperluan domestik. Menurut Ko (1997), PBB memperkirakan
bahwa sebesar 20% persediaan sumber air dunia merupakan sumber air karst. Selain
itu juga, kawasan karst mempunyai sumberdaya yang dapat dimanfaatkan sebagai
pariwisata, penambangan bahan galian, penghasil sarang burung wallet dan lain
sebagainya yang dapat menambah devisa negara.
Taman Nasional Laiwangi Wanggameti merupakan salah satu kawasan yang
mempunyai daerah resapan air utama dan pengairan bagi lahan pertanian
masyarakat di Kabupaten Sumba Timur dengan luasan sekitar 47 014 ha (TN
Matalawa 2017). Secara geomorfologi Taman Nasional Matalawa memiliki
bentang alam lahan berupa kawasan karst yang terbentang dari wilayah timur
hingga barat. Potensi yang terdapat pada kawasan karst Taman Nasional Matalawa
hampir separuh dari luasan merupakan potensi gua. Gua yang diibaratkan seperti
laboratorium alam memiliki arti penting dalam pengendalian keseimbangan
ekosistem, pemanfaatan sumber daya air, sekaligus sebagai objek wisata alam
(ekowisata). Hal ini tentu beralasan karena kawasan Laiwangi Wanggameti
memiliki potensi yang dapat dikembangkan sebagai kawasan ekowisata. Ekowisata
merupakan salah satu bentuk pemanfaatan jasa lingkungan hutan yang secara
ekonomi menguntungkan (economically viable), secara ekologi ramah lingkungan
(environmentally benign), secara teknis dapat diterapkan (technically feasible), dan
secara sosial dapat diterima oleh masyarakat (socially acceptable) (Karsudi et al.
2010).
Kelompok Pemerhati Gua (KPG) “Hira” Himakova melakukan eksplorasi
gua di TN Manupeu Tanahdaru, Sumba Barat pada tahun 2009. Tahun 2019
Kelompok Pemerhati Gua kembali ke bagian timur Sumba untuk menjelajahi
potensi gua dan kawasan karst yang ada di Taman Nasional Matalawa. Keindahan
alam, keunikan, serta kealamian Sumba Timur menjadi salah satu daya tarik wisata
bagi masyarakat sekitar taman nasional maupun pengunjung dari berbagai daerah.
Pengelola Taman Nasional Matalawa telah mengembangkan beberapa lokasi di
kawasannya sebagai objek wisata alam, namun potensi kawasan karst dan gua di
TN Matalawa masih belum dimanfaatkan oleh pengelola taman nasional, maka dari
itu tim KPG melakukan kajian identifikasi potensi serta studi kelayakan gua sebagai
objek wisata di TN Matalawa.
112
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Eksplorasi gua di Taman Nasional Matalawa
2. Inventarisasi fauna gua di Taman Nasional Matalawa
METODE
Waktu dan tempat
Eksplorasi gua dilakukan pada tanggal 1 – 7 Agustus 2019 yang berlokasi di
Resort Wanggameti tepatnya di Blok Mahaniwa, Taman Nasional Matalawa.
Pengamatan dilakukan pada pagi hingga sore hari.
Gambar 55 Peta Pengambilan Data KPG
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian, yaitu alat perlindungan dasar
penelusuran gua (coverall, helm, sepatu bot, sarung tangan), alat pertolongan
pertama, alat penerangan (senter dan headlamp), Global Positioning System (GPS),
alat ukur (disto laser, kompas, klinometer), kamera, Tally sheet pengukuran gua,
fauna gua, dan ornamen gua.
Metode pengambilan data
Pengambilan data pada penelitian ini adalah melalui studi literatur,
pengamatan langsung, dan pengukuran langsung.
113
1. Studi Literatur
Studi literatur digunakan untuk mengetahui kondisi umum Taman Nasional
Matalawa seperti letak, luas, sejarah, status, topografi, dan ketinggian. Studi
literatur bersumber dari jurnal, buku, hasil penelitian, maupun web resmi dari TN
Matalawa.
2. Pengamatan langsung
Pengamatan langsung digunakan untuk mendidentifikasi tipe ornamen, jenis
fauna gua yang dijumpai, serta potensi bahaya pada penelusuran gua.
Pengamatan ornamen gua dilakukan dengan mencatat jenis ornamen yang ada
didalam tiap gua kemudian diklasifikasikan berdasarkan proses pembentukan
ornamennya menjadi empat kelas, yaitu batu tetes (dripstone), batu alir
(flowstone), endapan pori (pore deposit), serta endapan kolam (pool deposit).
3. Pengamatan fauna gua dilakukan dengan mencatat jenis fauna yang ada di tiap
gua melalui observasi langsung maupun koleksi fauna untuk jenis yang belum
dapat diidentifikasi. Fauna yang telah dikoleksi terlebih dahulu
didokumentasikan serta diidentifikasi jenisnya sebelum dilakukan preservasi.
4. Pengamatan potensi bahaya dilakukan dengan menelusuri gua serta mencatat
potensi bahaya yang dapat terjadi. Potensi bahaya yang didapat kemudian
dikelompokkan berdasarkan matriks risk assessment (Tabel 10).
Metode Pengukuran Langsung
Pengukuran dilakukan dengan memetakan gua dari pintu masuk hingga ke
ujung gua. Pemetaan dilakukan oleh empat orang surveyor yang berperan sebagai
pemimpin survey atau leader, pembaca alat, target dan pencatat. Pembaca alat dan
pencatat berada pada stasiun pengukuran pertama, seorang lagi sebagai target pada
stasiun kedua. Setelah kegiatan pembacaan selesai, pembaca alat dan pencatat
berpindah ke stasiun kedua, kemudian target berpindah ke stasiun selanjutnya
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 56.
Gambar 56 Ilustrasi metode pemetaan
114
Setelah pengambilan data selesai, dilanjutkan dengan pembuatan gambar peta
gua. Pembuatan gambar peta menggunakan perangkat lunak Compass dan Corel
Draw.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kawasan Karst TN Matawala
Bentang lahan karst adalah suatu bentang alam yang dibentuk oleh batu
gamping. Bentang lahan karst juga merupakan daerah resapan air. Topografi
bentang lahan karst dapat berupa cekungan-cekungan, kubah-kubah serta gua kapur.
Topografi bentang lahan karst dapat dengan mudah dikenali berdasarkan morfologi
yang spesifik tersebut (Kasri N 1999). Gua merupakan sebuah bentukan alami
berupa ruangan karst yang terbentuk pada medan batu gamping dibawah tanah baik
yang berdiri sendiri maupun saling terhubung dengan ruangan-ruangan lain sebagai
hasil proses pelarutan oleh air maupun aktivitas geologi yang terjadi pada suatu
daerah. Gua dapat dikembangkan menjadi berbagai macam pemanfaatan seperti
wisata, penyimpanan air, pertambangan, dan habitat makhluk hidup. Olehnya itu,
gua merupakan salah satu asset yang harus di data.
Taman Nasional Matalawa mempunyai kawasan padang savana yang luas.
Padang savana yang membentang di Blok Mahaniwa menjadi pelengkap ekosistem,
termasuk kawasan karst. Kawasan karst yang berada di Blok Mahaniwa mempunyai
penyimpanan air yang cukup baik. Hal tersebut dapat menunjang fungsi kawasan
sebagai lokasi penyimpanan sumber air yang dapat digunakan untuk masyarakat.
Karst merupakan medan dengan bentuk muka bumi dan pola aliran khas yang
terbentuk pada batu gamping akibat proses pelarutan oleh air (Jennings 1985). Tidak
semua batu gamping memperlihatkan morfologi sebagai kawasan karst. Morfologi
karst terjadi apabila bentang alam batu gamping mengalami karstifikasi (proses
pembentukan topografi karst) yang didominasi oleh pelarut. Terdapat 2 bentukan
morfologi karst, yaitu endokarst dan eksokarst. Endokarst merupakan bentuk-
bentuk morfologi relief karst yang berada di bawah permukaan. Eksokarst
merupakan bentuk morfologi topografi wilayah karst yang berada di permukaan.
Secara morfologi, Pulau sumba didominasi oleh bentukan lahan berupa kawasan
karst, tidak terkecuali di Taman Nasional Matalawa. Hampir setengah dari kawasan
Taman Nasional merupakan kawasan karst, potensi yang membentang dari timur
hingga barat didominasi oleh potensi gua (website TN Matalawa).
Gua di Taman Nasional Matalawa
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan petugas taman nasional,
diketahui bahwa terdapat 94 gua di Taman Nasional Matalawa. Penelitian dilakukan
dengan mengeksplor 5 gua pada daerah Mahaniwa, dan terdapat 1 gua di daerah
Matailarawa. Survey gua di Taman Nasional Matalawa dilakukan pada 6 gua di
115
Resort wanggameti. Sebelumnya, inventarisasi gua di Taman Nasional Matalawa
pernah dilakukan oleh peneliti jepang pada tahun 2015. Survey gua dilakukan pada
ke-6 gua yang membutuhkan waktu selama 7 hari. Keadaan gua di Taman Nasional
Matalawa cenderung memiliki mulut gua berbentuk vertikal serta mempunyai
lorong berbentuk horizontal. Akses menuju lokasi gua berupa jalan tanah selebar 1
meter dan cenderung mudah untuk dilalui. Hasil survey yang dilakukan pada 6 gua
menunjukkan sebanyak 5 gua (Gua Humur Bakul, Gua Hibukarik, Gua Lawola,
Gua Matawai Latuna, dan Gua Uaka Karambua) terletak pada zona pemanfaatan
taman nasional dan hanya Gua ke-6 (Matailarawa) yang terletak di Matailarawa
mendekati zona inti. Hasil eksplorasi gua di Taman Nasional Matalawa Resort
Wanggameti disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Hasil eksplorasi gua di Taman Nasional Matalawa
Nama gua Lokasi Koordinat Elevasi
(mdpl) S E
Gua Humur Bakul Mahaniwa 100 01`06.24” 1200 09`40.21” 846
Gua Lawola Mahaniwa 100 01`06.25” 1200 09`40.71” 784
Gua Hibukarik Mahaniwa 100 01`16.48” 1200 09`45.53” 779
Gua Matawai Latuna Mahaniwa 100 01`28.95” 1200 09`26.85” 802
Gua Uaka Karambua Mahaniwa 100 00`29.10” 1200 09`31.27” 834
Gua Matai Larawa Matailarawa 100 00`54.66” 1200 07`45.85” 846
Kondisi Fisik Gua
1. Gua Humur Bakul
Gua Humur Bakul merupakan gua yang diberi nama dari bentuk mulut gua
yang menyerupai sumur dan berukuran sangat besar. Gua Humur Bakul berada di
tengah kerapatan vegetasi yang lokasinya berjarak kurang lebih 21 km dari Kantor
Resort Wanggameti. Akses menuju gua ini dapat dilalui serupa dengan akses gua
lain di Taman Nasional Matalawa Resort Wanggameti yang ditempuh dengan
melalui perkebunan masyarakat namun sudah masuk dalam kawasan taman
nasional dan tidak bisa dilalui dengan menggunakan kendaraan. Mulut gua yang
berukuran besar dan harus dimasuki menggunakan bantuan alat SRT karena
berbentuk vertikal. Potensi yang terdapat pada Gua Humur Bakul yaitu pintu masuk
gua yang berukuran besar, keanekaragaman fauna gua, dan keindahan ornamen gua.
Pemetaan gua dilakukan dengan waktu 1 jam, karena ukuran gua yang tidak terlalu
panjang. Panjang Gua Humur Bakul yaitu 73.8 m. Hasil pemetaan Gua Humur
Bakul disajikan pada Gambar 57.
116
Gambar 57 Peta Gua Humur Bakul
Hasil pengukuran morfometri Gua Humur Bakul, didapatkan jumlah stasiun
sepanjang lorong gua yaitu 8 stasiun. Stasiun terpanjang berada pada stasiun 7 – 8
dengan panjang 57.75 meter, sedangkan stasiun yang memiliki jarak terpendek
terdapat pada stasiun 0-1 dengan jarak 2,04 meter. Perubahan kemiringan lantai gua
paling besar terdapat di stasiun 7 – 8 dengan kemiringan 69°, sedangkan kemiringan
terendah terletak pada stasiun 2 – 3 dengan kemiringan -15°. Tanda (-)
menunjukkan lantai mengalami penurunan, sebaliknya jika tidak menggunakan
tanda (-) menunjukkan kenaikan lantai gua (tanjakan). Hasil penelitian terdapat 6
ornamen gua yang berada di Gua Humur Bakul yaitu stalaktit, stalakmit, pilar,
helectit, pearl, gorden, dan flowstone.
Berdasarkan hasil pengamatan dan pengolahan data pengukuran pada Gua
Humur Bakul, diperoleh hasil bahwa gua tersebut mempunyai sejumlah 3 ruangan
(chamber). Keadaan chamber yang berada di dalam Gua Humur Bakul berukuran
sangat luas. Chamber yang memiliki ruang paling luas yaitu pada stasiun 7-8.
Chamber tersebut diukur dengan menggunakan 4 sisi dari sudut yang berbeda. Hasil
dari pengukuran yaitu 7-8a (15.5 m), 7-8b (15.43 m), 7-8c (25.1 m), 7-8d (22.25
m).
Kondisi fisik lorong Gua Humur Bakul mempunyai bentuk yang lebar dan
menurun. Lorong gua tersebut tidak ditemukan jalur atau aliran air seperti sungai
bawah tanah. Gua Humur Bakul merupakan bagian yang besar dan seluruh bagian
didominasi oleh bentuk ruangan (chamber).
117
Gambar 58 Kondisi fisik Gua Humur Bakul
Ditemukan jenis ornamen stalactite dan stalacmite di sepanjang gua Humur
Bakul. Ornamen gua berupa stalactite yang ditemui pada gua tersebut tidak terlihat
dengan jelas karena kondisi gua yang mempunyai keadaan atap cukup tinggi, rata-
rata tinggi atap Gua Humur Bakul mencapai 11.5 meter. Ornamen lain (stalacmite)
yang ditemukan pada gua tersebut mempunyai bentuk yang berukuran besar yang
lebih besar daripada ukuran manusia pada umumnya. Stalacmite terbentuk karena
adanya rembasan pada atap gua yang berupa tetesan air. Tetesan air tersebut
membawa senyawa CaCO3 dan mengendapkannya di lantai gua. Proses
pembentukan kedua ornamen gua tersebut bisa mencapai puluhan bahkan ratusan
tahun. Gua Humur Bakul mempunyai kondisi bahwa tetesan air dari atap
mempunyai intensitas yang cukup tinggi. Hal tersebut dapat terjadi bahwasannya
vegetasi yang berada di atas Gua Humur Bakul mempunyai kerapatan yang cukup
tinggi.
2. Gua Lawola
Gua Lawola merupakan gua yang berlokasikan lebih dekat dengan
pemukiman warga. Kurang lebih berjarak 100 meter dari pemukiman. Terletak di
sebelah kiri jalan yang berukuran 1 meter, gua tersebut sangat mudah dijangkau.
Mulut gua tersebut berjarak sekitar 7 meter dari jalan setapak. Jika gua Humur
Bakul mempunyai bentuk mulut yang lebar dan luas, berbeda dengan Gua Lawola
yang mempunyai kondisi fisik mulut gua yang berukuran sempit. Gua Lawola
mempunyai bentuk gua horizontal, sehingga alat yang diperlukan untuk memasuki
gua tersebut cukup dengan alat penelusuran gua.
Potensi yang terdapat pada Gua Lawola yaitu keanekaragaman fauna gua dan
keindahan ornamen gua. Pemetaan gua dilakukan dengan waktu 1 jam, karena
ukuran gua yang tidak terlalu panjang. Panjang Gua Lawola yaitu 74.12 meter.
Hasil pengukuran morfometri Gua Lawola diperoleh jumlah stasiun sepanjang
118
lorong gua yaitu 12 stasiun. Stasiun terpanjang berada pada stasiun 8 – 9 dengan
panjang 8.4 meter, sedangkan stasiun yang memiliki jarak terpendek terdapat pada
stasiun 2 – 3 dengan jarak 1,6 meter. Perubahan kemiringan lantai gua paling besar
terdapat di stasiun 0-1 dengan kemiringan -15°, sedangkan kemiringan terendah
terletak pada stasiun 1-2 dan 8-9 dengan kemiringan -2° dan 2°.
Gambar 59 Peta Gua Lawola
Hasil penelitian terdapat 6 ornamen gua yang berada di Gua Lawola yaitu
stalaktit, stalakmit, pilar, pearl, gorden, dan flowstone. Berdasarkan hasil
pengamatan dan pengolahan data pengukuran pada Gua Lawola, diperoleh hasil
bahwa gua tersebut mempunyai sejumlah 1 chamber. Keadaan chamber yang berada
di dalam Gua Lawola berukuran tidak terlalu luas yaitu pada stasiun 1. Hasil dari
pengukuran yaitu 1a (1.7 m), 1b (1.6 m), 1c (6 m), 1d (5.6 m). Kondisi fisik lorong
Gua Lawola mempunyai bentuk yang tidak terlalu lebar. Lorong Gua Lawola
mempunyai cabang pada stasiun 1 sebelah kiri. Cabang lorong tersebut panjangnya
mencapai 14.9 meter hingga sampai ujung. Lorong gua tersebut tidak ditemukan
jalur atau aliran air seperti sungai bawah tanah.
Gua Lawola mempunyai jalur aliran air bawah tanah hingga sampai ujung
lorong gua. Pengambilan data terhenti pada ujung lorong gua, karena kondisi lorong
berupa lubang dan dipenuhi air (sum). Diduga lorong gua akan berlanjut hingga
melewati lubang tersebut. Belum adanya penelitian lebih lanjut untuk meneruskan
sum tersebut.
3. Gua Hibu Karik
Gua Hibu Karik ini berlokasidekatan dengan gua Laawola dengan akses yang
sangat mudah. Letak gua ini sangat dekat dengan pemukiman warga dan termasuk
119
pada zona pemanfaatan Taman Nasional Matalawa. Posisi Gua ini dapat dilihat dari
jalan setapak dan berada di lereng bukit karst. Mulut gua berbentuk horizontal
sehingga mudah untuk mengakses masuk kedalam gua. Disekitar mulut gua
terdapat runtuhan batuan yang berasal dari luar gua.
Gambar 60 Peta Gua Hibu Karik
Gua Hibu Karik memiliki ornamen yang beragam. Namun gua ini sudah tidak
aktif dilihat dari tidak adanya tetesan air kapur. Gua Hibu Karik dapat
dikembangkan menjadi objek wisata dengan menambah fasilitas penunjang karena
tergolong dalam gua dengan tingkat energi dan potensi bahaya yang rendah. Gua
Hibu Karik memiliki kondisi fisik panjang gua yang relatif pendek dengan fauna
gua yang tidak terlalu beragam. Dikarenakan gua Hibu Karik kering, fauna gua yang
berada didalam gua ini pun relatif sedikit, hanya jangkrik dan kalacemeti.
120
4. Gua Matawai Latuna
Gambar 61 Peta Gua Matawai Latuna
Gua Matawai Latuna merupakan salah satu gua yang berada Blok Mahaniwa
dinamakan Mataiwaila tuna dinamakan dari bahasa setempat yang berarti mata air
belut lokasi gua Lawatuna berada di 3 km dari desa Mahaniwa. Akses menuju Gua
ini dapat ditempuh dengan berjalan kaki dengan medan yang berbukit dan sedikit
curam. Lokasi Gua Matawai Latuna berada di kawasan pemanfaatan Taman
Nasional Matalawa. Posisi mulut Gua Matawai Latuna sedikit tersembunyi tertutup
beberapa vegetasi yang ada di sana, kondisi mulut gua Matawai Latuna yaitu
vertikal dengan kemiringan tidak terlalu tajam namun banyak serasah daun yang
dapat membuat akses masuk kedalam gua sedikit licin. Kondisi panjang gua
Matawai Latuna tidak terlalu panjang dengan dua jalan yang terdapat di pintu masuk
gua. Jalan sepanjang gua ini sangat sempit dan diharuskan untuk merangkak dan
jongkok jika menyusuri gua lebih dalam. Masih sangat besar karena gua ini
merupakan cerukan dan topografinya paling rendah dibandingkan dengan kawasan
sekitar.
121
Gambar 62 Kondisi ornamen Gua Lawatuna
5. Gua Uaka Karambua
Gua Uaka Karambua berada dikawasan hutan Mahaniwa. Lokasi gua
Uaka Karambua sangat jauh dari pemukiman warga. Letak Uaka Karambua
berdekatan dengan gua Matawai Latuna dengan jarak sekitar 1 km. Mulut gua
berbentuk horizontal yang cukup lebar dengan vegetasi disekitar gua sangat
beragam, bahkan merupakan hutan dengan kerapatan yang tinggi. Disekitar
mulut gua terdapat banyak bebatuan karst. Jalan menuju gua Uaka Karambua
terbilang cukup mudah, dengan topografi landai dan melewati banyak bebatuan
karst. Gua ini terdapat pada ketinggian 834 mdpl.
Gambar 63 Peta Gua Uaka Karambua
122
Gua Uaka Karambua memiliki ornamen yang sangat menarik. Setelah
masuk beberapa meter, gua ini memperlihatkan keindahan stalaktit dalam
bentuk yang unik dan berlimpah di satu ruangan, tim menyebutnya dengan
istana stalaktit (Gambar 64) yang sangat megah dan menarik perhatian. Lokasi
ini dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata yang menarik dan sebagai objek
fotografi gua.
Gambar 64 Kumpulan stalaktit
Gua ini dapat dikembangkan menjadi wisata dengan adanya ornamen-
ornamen menarik yang ada didalam gua dengan potensi bahaya gua yang tergolong
rendah. Di ujung gua Uaka Karambua, terdapat bukit dengan ruangan yang besar.
Bukit ini sekaligus sebagai penghujung dari gua Uaka Karambua dimana tidak ada
lagi ruang yang bisa dieksplor. Bukit ini membentuk ruangan besar yang dinamakan
chamber. Didalam gua ini juga terdapat danau kecil (Gambar 66) yang selalu ada
walaupun musim kemarau.
Gambar 65 Bukit didalam gua Uaka Karambua
123
Gambar 66 Danau kecil yang tertelat di Gua Uaka Karambua
6. Gua Matawai Larawa
Gua Matawai Larawa terletak pada kawasan zona inti Taman Nasional
Matalawa, berbeda dengan gua lainnya gua ini memiliki lokasi terjauh dengan jarak
sekitar 10 km dari desa terdekat. Akses menuju gua ini berbukit dengan bebatuan
karst hampir di sepanjang perjalanan. Nama Matawai Larawa merupakan bahasa
yang diambil dari nama daerah sekitar yeng memiliki arti ’Mata air kerbau’ salah
satu gua yang berada blok kawasan Mahaniwa dinamakan Lawatuna dari bahasa
setempat yang berarti ‘mata air belut’. Kondisi mulut gua ini horizontal dengan
kondisi mulut gua yang berair, air tesebut berasal dari mata air yang lokasinya tidak
jauh dari mulut gua ini. Akses untuk memasuki mulut gua ini cukup sulit karena
mulut gua yang sempit dan berair yang mengharuskan merangkak untuk bisa masuk
kedalam gua ini.
Panjang dari Gua Matawai Larawa saat ini belum diketahui secara pasti
karena sejauh ini belum ada penelitian yang dapat mengakses hingga keujung gua,
hal ini di akibatkan oleh sulitnya akses menuju dalam gua yang di dominasi oleh
jalan yang sempit dan kondisi air yang sangat tinggi sehingga resiko bahaya di gua
ini sangat besar, sejauh ini panjang gua yang sudah di ketahuai sepanjang 100 meter.
Terdapat 3 pintu yang sudah diketahaui saat ini dan hanya pintu 1 saja yang
kondisinya horizontal dan sisanya vertical. Kondisi bebatuan di Gua Matawai
Larawa masih sangat terjaga, hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya stalaktit
yang msaih hidup dan terawat dengan baik.
124
Gambar 67 Kondisi mulut ke-2 Gua Matawai Larawa
Keanekaragaman Fauna Gua
Gua Humur Bakul mempunyai keanekaragaman fauna yang menarik. Hasil
penelitian bahwa ditemukan 3 jenis fauna, yaitu kelelawar, jangkrik gua, dan laba-
laba. Fauna-fauna gua yang ditemukan sebagai mana mestinya fauna yang
ditemukan pada gua-gua lain. Fauna yang mendominasi di Gua Humur Bakul yaitu
Kelelawar. Kelelawar merupakan salah satu hewan yang disebut dengan
Trogloxene, yaitu hewan yang bersarang di dalam gua dan mencari makan di luar
(Traister 1983). Sebagai hewan Trogloxene, kelelawar mempunyai peran penting
di dalam gua karena menghasilkan guano. Guano dapat berfungsi sebagai sumber
energi bagi hewan kecil lainnya (Sridhar et al. 2006).
Fauna yang ditemukan di gua Matawai Latuna yaitu burung walet
(Coollocalia vestita), Lipan serta katak. Lokasi penemuan burung walet berada
disekitar 20 meter di ujung gua 1, ditemukan pula sarang dan telur burung walet di
gua ini, hal ini menunjukan bahwa ekosistem gua ini masih sangat baik untuk
menunjang kehidupan walet. Lipan serta katak ditemukan di sekitar mulut gua.
Fauna yang ditemukan di gua Matailarawa yaitu burung walet (Coollocalia
vestita), Lipan, katak, dan jangkrik. Jumlah fauna yang masih beragam
menunjukann ekositem yang masih bagus dan masih terjaga sehigga satwa dapat
hidup dengan baik.
125
Gambar 68 Anak burung walet di sarang, di dalam Gua Matailarawa
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Eksplorasi gua di Taman Nasional Matalawa Blok Mahaniwa menghasilkan
sejumlah 6 gua dengan melakukan penelusuran dan pengambilan data pada 5 gua
dan 1 gua terakhir melakukan penelusuran gua tanpa memetakan gua karena
keterbatasan alat dan waktu.
2. Fauna yang ditemukan pada gua di Taman Nasional Matalawa Blok Mahaniwa
menghasilkan jenis-jenis kelelawar, jangkrik gua, dan laba-laba, walet
(Coollocalia vestita), lipan, kalacemeti, kelabang.
Saran
1. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memperoleh data tentang gua
dan kawasan karst di Taman Nasional Matalawa. Kekayaan gua yang masih
banyak belum teridentifikasi menjadi tantangan untuk pengelolaan Taman
Nasional agar lebih diperhatikan untuk kemajuan pengelolaan gua dan kawasan
karst Taman Nasional Matalawa.
2. Pengembangan wisata gua sangat penting dilakukan untuk menunjang zona
pemanfaatan dari Taman Nasional.
126
DAFTAR PUSTAKA
[BTNMatalawa] Balai Taman Nasional Matalawa. 2017. Profil Taman Nasional
Matalawa. [Internet].[diunduh 2017 Okt 25]. Tersedia pada:
http://tnmatalawa.com/kakatua-jambul-jingga/profil-taman-nasional-
matalawa/
[BTNMatalawa] Balai Taman Nasional Matalawa. 2017. Data gangguan kawasan
selama 5 tahun terakhir (tidak dipublikasi). Waingapu (ID)
Jennings JN. 1985. Karst Geomorphology. Basil Blackwell (UK): Oxford
Karsudi et.al. 2010. Strategi pengembangan ekowisata di Kabupaten Yapen
Propinsi Papua. JMHT. 16(3): 148-154.
Kasri N. 1999. Kawasan Karst di Indonesia: Potensi dan Pengelolaan
Lingkungannya. Jakarta (ID): Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Ko RKT. 1984. Peranan Ilmu Speleologi Dalam Penyelidikan Fenomena Karstik
dan Sumberdaya Tanah dan Air. Bogor (ID): Pusat Penelitian Tanah.
Sridhar KR, Ashwini KM, Seena S, Sreepada KS. 2006. Manure qualities of guano
of insectivorous cave bat. Tropical and Subtropical Agroecosystems. (6): 103
– 110.
Traister RJ. 1983. Cave Exploring. USA.
127
128
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumba, Nusa Tenggara Timur dengan segala keindahan dan kekayaan
alamnya memiliki banyak sumberdaya alam yang dapat dikembangkan dengan
berbagai macam potensi yang dimiliki baik dari segi ekologis maupun ekonomis
yang tetap memperhatikan kelestariannya. Salah satu pengembangan sumberdaya
yang tetap menjaga nilai konservasi yaitu ekowisata. Ekowisata merupakan
kegiatan perjalanan wisata yang bertanggungjawab di daerah yang masih alami atau
di daerah-daerah yang dikelola dengan kaidah alam dengan tujuan selain untuk
menikmati keindahannya juga melibatkan unsur pendidikan, pemahaman, dan
dukungan terhadap usaha-usaha konservasi alam dan peningkatan pendapatan
masyarakat setempat (Walhi 1995). Daerah yang bersifat alami dapat berupa hutan
yang berada di kawasan konservasi maupun kawasan non-konservasi. Salah satu
prinsip ekowisata ialah berkelanjutan dalam pelaksanaan dan manajemennya secara
ekologi yang berarti semua fungsi lingkungan baik biologi, fisik, dan sosial tetap
berjalan dengan baik, karena pada dasarnya suatu tempat yang pernah didatangi
akan mengalami perubahan namun perubahan tersebut tidak menganggu fungsi-
fungsi ekologis yang seharusnya terjadi di kawasan tersebut.
Selain sumberdaya alam, Indonesia juga kaya akan budaya lokal yang
tersebar di pelosok nusantara. Pola ekowisata berbasis masyarakat adalah pola
pengembangan ekowisata yang mendukung dan memungkinkan keterlibatan penuh
oleh masyarakat setempat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengembangan dan
pengelolaan usaha ekowisata dan segala keuntungan yang diperoleh. Ekowisata
berbasis masyarakat merupakan usaha ekowisata yang menitikberatkan peran aktif
komunitas. Hal tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki
pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai
daya tarik wisata, sehingga keterlibatan masyarakat menjadi mutlak. Pola ekowisata
berbasis masyarakat mengakui hak masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan
wisata di kawasan yang mereka miliki secara adat ataupun sebagai pengelola.
Ekowisata berbasis masyarakat dapat menciptakan kesempatan kerja bagi
masyarakat setempat, dan mengurangi kemiskinan, dimana penghasilan ekowisata
adalah dari jasa-jasa wisata untuk wisatawan lokal maupun internasional yang juga
membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat
yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa
bangga antar penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan
ekowisata.
Tataran implementasi ekowisata perlu dipandang sebagai bagian dari
perencanaan pembangunan terpadu yang dilakukan di suatu daerah, sehigga
keterlibatan para pihak terkait mulai dari level komunitas, masyarakat, pemerintah,
dunia usaha dan organisasi non pemerintah yang diharapkan dapat membangun
129
suatu jaringan dan menjalankan suatu kemitraan yang baik sesuai peran dan
keahlian masing-masing. Banyak sekali potensi ekowisata di Indonesia yang masih
belum dimanfaatkan, salah satunya adalah di kawasan konservasi Taman Nasional
Matalawa yang terletak di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Keanekaragaman hayati
yang unik di Taman Nasional Matalawa terkhusus di Laiwangi Wanggameti
mengandung potensi ekowisata dan budaya lokal yang berpotensi untuk
dikembangkan. Partisipasi masyarakat setempat merupakan salah satu faktor yang
penting dalam pengembangan kawasan ini agar pembangunan atau pengembangan
kawasan berjalan lancar dan dapat berkelanjutan.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini antara lain:
1. Memetakan potensi ekowisata di Taman Nasional Matalawa
2. Merencanakan pengembangan ekowisata di Taman Nasional Matalawa
3. Mengkaji interaksi masyarakat sekitar kawasan dengan keberadaan Taman
Nasional Matalawa
4. Mengkaji kebudayaan lokal suku yang ada di sekitar Taman Nasional Matalawa
METODE
Waktu dan Tempat
Kegiatan ekspedisi SURILI tim KPE Himakova dilaksanakan selama 7 hari,
dimulai pada tanggal 1 – 7 Agustus 2019. Kegiatan SURILI dilaksanakan di
kawasan Wanggameti, Resort Wanggameti SPTN III.
Gambar 69 Peta Pengambilan Data KPE
130
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan SURILI ini yaitu GPS Garmin
64s, pita ukur, meteran jahit, klinometer, kompas, tally sheet, kamera, binokuler,
dan alat tulis. Instrumen yang digunakan ialah panduan wawancara.
Metode Pengambilan Data
Ekowisata
Tim KPE melakukan kegiatan inventarisasi potensi objek wisata dengan
metode eskplorasi. Eksplorasi merupakan penjajahan lapangan dengan tujuan
memperoleh pengetahuan lebih banyak mengenai keadaan, terutama sumber-
sumber alam yang terdapat di tempat itu. Tim pengamat melakukan penggalian data
potensi sumberdaya biologis yang terdiri dari satwa dan tumbuhan yang ditemukan
sepanjang lokasi pengamatan serta potensi sumberdaya fisik yang terdiri dari
kemiringan lahan, hamparan dataran, sumber air yang berada di sepanjang jalur
menuju objek wisata dan kegiatan wisata yang dapat dilakukan di lokasi. Setelah
dilakukan pengamatan potensi objek kemudian dilakukan penilaian Objek dan Daya
Tarik Wisata Alam berdasarkan Direktort Jendral Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam tahun 2003. Komponen yang dinilai diantaranya: 1) kondisi
biologis meliput jenis flora dan fauna yang dijumpai di sekitar objek wisata, 2) objek
dan daya tarik wisata alam diantaranya keindahan alam, keunikan sumberdaya,
kerawanan kawasan, dan keutuhan sumberdaya, 3) aksesibilitas diantaranya
meliputi kondisi dan jarak jalan darat, waktu tempuh menuju objek, dan frekuensi
kendaraan umum dari pusat penyebaran wisata ke objek dan menggunakan metode
pengambilan data manajemen pengunjung secara keseluruhan di wisata Taman
Nasional Matalawa. Komponen yang diambil yaitu antara lain sistem informasi,
distribusi pengunjung, pelayanan interpretasi, dan keselamatan pengunjung.
Kegiatan wawancara kepada masyarakat juga dilakukan dengan teknik
snowball untuk mengetahui sejarah, adat istiadat dan kebiasaan serta budaya yang
berkembang pada masyarakat di lokasi pengambilan data. Teknik snowball
merupakan teknik pengambilan responden secara bertahap dengan mengidentifikasi
orang yang dianggap dapat memberikan informasi untuk diwawancarai, kemudian
orang tersebut dijadikan sebagai informan untuk mengidentifikasi orang lain
sebagai sampel selanjutnya, hingga sampel yang dibutuhkan sesuai dengan jumlah
yang dkehendaki (Silalahi 2012). Berdasarkan penjelasan tersebut yang menjadi
informan kunci adalah tokoh masyarakat yang dianggap sesuai dengan informasi
yang dibutuhkan.
Analisis Data
Data dari objek dan daya tarik wisata yang telah didapatkan di lapangan akan
diolah dengan analisis deskriptif mengenai potensi yang dimiliki oleh setiap objek
131
wisata sesuai dengan parameter Objek dan Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA).
Deskripsi adalah pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata secara jelas dan
terperinci (KBBI 2001:258). Berdasarkan pemaparan tersebut kemudian
dikembangkan perencanaan kegiatan yang dapat dilakukan di setiap objek wisata
yang kemudian dari objek dan daya tarik (flora, fauna, dan objek lainnya) yang telah
diperoleh kemudian dianalisis sesuai dengan kriteria penskoringan pada pedoman
Analisis Daerah Operasi Objek dan Daya Tarik Wisata Alam Dirjen PHKA tahun
2003 sesuai dengan nilai yang telaah ditentukan untuk masing-masing krteria.
Jumlah nilai dari masing-masing kriteria dapat dihitung dengan rumus:
S = N x B
Keterangan:
S = Skor atau nilai suatu kriteria
N = Jumlah nilai unsur-unsur pada kriteria
B = Bobot nilai
Kriteria daya tarik diberi 6 karena daya tarik merupakan faktor utama alasan
seseorang melakukan perjalanan wisata. Aksesibilitas diberi bobot 5 karena
merupakan faktor penting yang mendukung wisatawan dapat melakukan kegiatan
wisata. Skor yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan skor total suatu kriteria
apabila setiap sub krteria memiliki nilai kuat yaitu 5. Menurut Karsudi (2010)
menyatakan setelah dilakukan perbandingan, maka diperoleh indeks kelayakan
dalam persen. Indeks kelayakan suatu kawasan ekowisata seperti yang terlihat pada
Tabel 12, sedangkan untuk hasil wawancara mengenai sejarah, adat istiadat serta
kebudayaan masyarakat setempat juga akan di analisis deskriptif.
Tabel 12 Penilaian tingkat kelayakan suatu kawasan ekowisata
No. Tingkat Kelayakan Penilaian Kelayakan
1 > 66,6% Layak dikembangkan
2 33,3% – 66% Belum layak dikembangkan
3 < 33% Tidak layak dikembangkan
Indeks kelayakan suatu kawasan ekowisata pada tingkat kelayakan > 66,6%
layak dikembangkan, dengan kriiteria suatu kawasan wisata yang memiliki potensi,
sarana dan prasarana yang tinggi berdasarkan parameter yang telah ditetapkan serta
didukung oleh aksesibilitas yang memadai. Tingkat kelayakan 33,3% – 66,6%
belum layak dikembangkan, dengan kriteria suatu kawasan wisata yang memiliki
potensi, saran dan prasarana yang sedang berdasarkan parameter yang telah
ditetapkan serta didukung oleh aksesibilitas yang cukup memadai. Tingkat
kelayakan < 33,3% tidak layak dikembangkan, dengan krteria suatu kawasan wisata
132
yang memiliki potensi, sarana dan prasarana yang rendah berdasarka parameter
yang telah ditetapkan serta aksesibiltas yang kurang memadai.
Tabel 13 Kriteria Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata Alam
No. Unsur/Sub Unsur Nilai
1. Keindahan Alam Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1
a. Pandangan lepas dalam
objek
30 25 20 15 10
b. Variasi pandangan dalam
objek
c. Pandangan lepas menuju
objek
d. Keserasian warna dan
bangunan dalam objek
e. Pandangan lingkungan
objek
2. Keunikan Sumber Daya Alam Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada1
a. Sumber air panas 30 25 20 15 10
b. Gua
c. Air Terjun
d. Flora Fauna
e. Adat istiadat
3. Banyaknya potensi sumberdaya
alam yang menonjol
Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1
a. Batuan 30 25 20 15 10
b. Flora
c. Fauna
d. Air
e. Gejala Alam
4. Keutuhan sumberdaya alam Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1
a. Batuan 30 25 20 15 10
b. Flora
c. Fauna
d. Air
e. Gejala alam
5 Kepekaan sumberdaya alam Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1
a. Batuan
b. Flora
c. Fauna
d. ErosiEkosistem
30 25 20 15 10
6 Jenis kegiatan wisata alam >7 6-7 4-5 2-3 1
a. Tracking
b. Mendaki
c. Rafting
d. Camping
e. Pendidikan
30 25 20 15 10
133
Keterangan: Kriteria penilaian daya tarik (bobot 6)
Tabel 14 Penilaian Kadar Hubungan/ Aksesibilitas
No Kondisi dan Jarak Jalan
Darat
Baik Cukup Sedang Buruk
< 75 Km 80 60 40 20
76 – 150 Km 60 40 25 15
151 – 225 Km 40 20 15 5
>225 Km 20 10 5 1
2 Pintu Gerbang
Udara
Internasional/
Regional
Jarak
(Km)
S/d 150 151-300 301-450 451-600 .600
Jayapura/
Pekanbaru/
Ambon/Kupang
15 20 5 1 -
Medan/Manado 25 20 15 10 5
Denpasar 30 25 20 15 10
Jakarta 40 35 30 25 20
3 Waktu tempuh ke
Obyek
1-2 2-3 3-4 4-5 >5
30 25 20 15 10
4 Kendaraan
bermotor di
Kabupaten/kota
>7500 5001-
7500
2501-
5000
2500-
1000
<1000
30 25 20 15 10
f. Religius
g. Hiking
h. Dll
7 Kebersihan udara dan lokasi
bersih tidak ada pengaruh
dari :
Tidak
ada
1-2 3-4 5-6 7
a. Alam
b. Industri
c. Jalan aramai motor/ mobil
d. Pemukiman penduduk
e. Sampah
f. Binatang
g. Coret – coret (vandalism)
30 25 20 15 10
8 Kerawanan kawasan Ada 5 Ada 4 Ada 3 Ada 2 Ada 1
a. Perambahan
b. Kebakaran
c. Gangguan terhadap flora
fauna
d. Masukya flora/fauna
e. Eksotik
30 25 20 15 10
134
5 Frekuensi
kendaraan umum
dari pusat
penyebaran wisata
ke obyek
>50 40-50 30-40 20-30 <20
30 25 20 15 10
6 Kapasitas tempat
duduk kendaraan
menuju obyek
wisata
>2500 2000-
2500
1500-
2000
1000-
1500
<1000
30 25 20 15 10 Keterangan: Kadar Hubungan/ Aksesibilitas (Bobot 5)
Manajemen pengunjung merupakan suatu kegiatan untuk mengelola
pengunjung yang datang ke suatu obyek wisata sehingga memberikan manfaat.
Terdapat dua elemen dasar yaitu mencapai keseimbangan antara kebutuhan dan
persyaratan dari obyek wisata dan pengunjung, dan menjadi bagian penting dalam
pengembangan dan pengelolaan suatu obyek wisata. Pada intinya manajemen
pengunjung yaitu untuk mempengaruhi pergerakan pengunjung, mendorong
penyebaran kunjungan secara merata dan memberikan pengalaman wisata yang
menarik dan terbaik untuk disesuaikan dengan kebutuhan obyek wisata dan
wisatawan. Pengelola kawasan juga diharapkan dapat memberikan pelayanan
terhadap para pengunjung yang datang untuk dapat memaksimalkan pengalaman
berwisata mereka. Pelayanan-pelayanan tersebut antara lain:
a. Penyebaran pengunjung
Pengunjung yang datang ke suatu kawasan wisata cenderung terkonsentrasi
pada suatu bentang alam tertentu dengan atraksi yang tertentu pula dan
mengabaikan bentang alam lain. Hal tersebut umumnya disebabkan karena
kurangnya akses yang dimiliki oleh pengunjung terkait potensi lainnya. Adanya
konsentrasi pengunjung disuatu tempat menyebabkan terjadinya dampak negative
yang cukup besar di suatu kawasan dan menimbulkan ketidaknyamanan dan akan
menyebabkan turunnya tingkat kepuasan pengunjung. Oleh karena itu, pengelola
perlu melakukan suatu upaya penyebaran pengunjung ke potensi lainnya (Muntasib
2014).
b. Pelayanan informasi dan interpretasi
Pelayanan interpretasi dimaksudkan untuk memberian pengetahuan dan
pemahaman pada pengunjung tentang alam atau sumberdaya yang dikunjunginya
sehingga lebih mengerti dan memahami serta dapat mengembangkan apresiasinya.
Interpretasi merupakan elemen penting dalam pengelolaan pengunjung karena
interpretasi merupakan suatu cara untuk mengeksplorasi pendekatan pengelolaan
pengunjung yang diharapkan.
135
c. Pengelolaan keselamatan pengunjung
Penyebab terjadinya ancaman terhadap pengunjung dapat berasal dari
beberapa hal, sehigga pengelola perlu melakukan pengelolaan terhadap penyebab
ancaman. Menurut Muntasib (2014) penyebab ancaman keselamatan pengunjung
terbagi menjadi 3 yaitu :
1) Dari pengunjung pada pengunjung
Perilaku negatif pengunjung yang datang ke suatu kawasan wisata dapat
membahayakan dan atau menganggu aktifitas pengunjung lainnya.
2) Dari sumberdaya terhadap pengunjung
Keberadaan sumberdaya yang berbahaya (misalnya fauna yang ganas atau
beracun, sumberdaya fisik yang berbahaya dan lainnya) akan
membahayakan dan atau mengganggu kenyamanan pengunjung beraktifitas.
3) Dari pengunjung terhadap sumberdaya
Aktifitas yang dilakukan oleh pengunjung selama berada di kawasan dapat
menganggu atau berdampak pada kondisi sumberdaya yang terdapat di
kawasan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi Ekowisata di Taman Nasional Matalawa
Potensi wisata alam merupakan suatu keadaan, jenis flora dan, bentang alam
seperti pantai, hutan, pegunungan serta keadaan fisik suatu daerah. Berdasarkan
Undang-Undang No. 48 tahun 2010 tentang pengusahaan pariwisata alam di suaka
margasatwa, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam, wisata alam
adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut, yang dilakukan
secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan
keindahan alam di kawasan suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya
dan taman wisata alam. Wisata alam hutan merupakan salah satu sektor hasil hutan
yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Hutan wisata alam adalah hutan
wisata yang memiliki keindahan alam, baik keindahan tumbuhan, keindahan
hewani, maupun kaindahan alamnya sendiri. Menurut Rigma (2012), manfaat hutan
wisata alam yaitu: 1) pariwisata alam dan rekreasi, 2) penelitian dan pengembangan
(kegiatan pendidikan dapat berupa karya wisata, widya wisata, dan pemanfaatan
hasil-hasil penelitian serta peragaan dokumentasi mengenai potensi kawasan wisata
alam tersebut), 3) sebagai sarana pendidikan, dan 4) kegiatan penunjang budaya.
Menurut Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia (2009),
ekowisata memiliki banyak definisi, yang seluruhnya berprinsip pada pariwisata
yang kegiatannya mengacu pada 5 (lima) elemen penting, yaitu: 1) memberikan
pengalaman dan pendidikan kepada wisatawan, sehingga dapat meningkatkan
pemahaman dan apresiasi terhadap daerah tujuan wisata yang dikunjunginya.
Pendidikan diberikan melalui pemahaman tentang pentingnya pelestarian
lingkungan, sedangkan pengalaman diberikan melalui kegiatan-kegiatan wisata
136
yang kreatif disertai dengan pelayanan yang prima, 2) memperkecil dampak negatif
yang bisa merusak karakteristik lingkungan dan kebudayaan pada daerah yang
dikunjungi, 3) mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan dan
pelaksanaannya, 4) memberikan keuntungan ekonomi terutama kepada masyarakat
lokal. Oleh karena itu, kegiatan ekowisata harus bersifat profit (menguntungkan),
dan 5) dapat terus bertahan dan berkelanjutan.
Berdasarkan dari elemen ekowisata, terdapat beberapa cakupan ekowisata
yaitu untuk edukasi, pemberdayaan masyarakat, peningkatan ekonomi, serta upaya
dalam kegiatan konservasi. Dalam pengembangan ekowisata, diperlukan sebuah
dukungan khusus dalam pengadaan sebuah produk wisata, yang dapat menjadi
bahan pertimbangan wisatawan. Wisatawan dengan minat khusus, umumnya
memiliki latar belakang intelektual yang lebih baik, pemahaman serta kepekaan
yang lebih terhadap etika, moralitas, dan nilai-nilai tertentu, sehingga bentuk dari
wisata ini adalah untuk mencari pengalaman baru (Fandeli 2000).
Taman Nasional Matalawa memiliki dua blok yakni blok Manupeu Tanah
daru dan Laiwangi Wanggameti. Kegiatan studi potensi terfokus pada blok
Laiwangi Wanggameti, Resort Wanggameti SPTN III dan bagian hutan Mahaniwa
yang merupakan bagian dari Resort Wanggameti. Masing-masing daerah memiliki
potensi ekowisata yang cukup menarik yang dapat dijadikan sebagai objek wisata.
Observasi dilakukan di kawasan aliran sungai dengan bebatuan dan bertebing, serta
daerah perbukitan hutan dan perbukitan savana yang menjual pemandangan sangat
indah.
Kondisi Umum Kawasan Hutan Laiwangi Wanggameti
Pengambilan data mengenai ekowisata dilakukan di Resort Wanggameti
Taman Nasional Matalawa, Desa Wanggameti, Kecamatan Matawai Lapau, Nusa
Tenggara Timu. Lokasi pengambilan data memiliki topografi yang bervariasi baik
darat maupun perairan dengan didominasi perbukitan savana dan hutan tertutup.
Kawasan Laiwangi Wamggameti memiliki luasan 42.567,50 Ha dengan tipe
pengelolaan konservasi yaitu tipe B. Secara geografis Kawasan Laiwangi
Wanggameti berada pada 120°03’ – 120°19’ BT dan 9°57’ – 10°11’ LS. Menurut
klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim dikawasan Matalawa termasuk tipe iklim
C sampai dengan F. Curah hujan rata-rata tahunan berkisar antara 100-1500 mm.
Kawasan hutan Laiwangi Wanggameti secara administratif terletak di wilayah
Kabupaten Sumba Timur pada 4 (empat) wilayah kecamatan, yakni Kecamatan
Tabundung, Pinu Pahar, Karera dan Matawai Lapau. Kawasan hutan Laiwangi
Wanggameti berbatasan langsung dengan wilayah pemukiman dan budidaya dari 18
desa. Desa yang berada disekitar kawasan Laiwangi Wanggameti terdapat 3 desa,
yakni adalah Desa Ramuk dan Desa Mahaniwa di Kecamatan Pinu Pahar serta Desa
Katikuwai di Kecamatan Matawai Lapau, ketga desa tersebut merupakan enclave.
Sebanyak empat desa merupakan desa pemekaran yaitu, Desa Prekomba, Desa
137
Watubokul, Desa Laputi, dan Desa Laiwangi. Berdasarkan hasil dilapang, didapat
dua jenis ekowisata yang berpotensi untuk dikembangkan yaitu Puncak
Wanggameti yang merupakan puncak tertinggi di Pulau Sumba dan air terjun
Ampupu yang memiliki danau diatasnya.
A. Puncak Wanggameti
Puncak Wanggameti berada di Desa Wanggameti, Kecamatan Matawai
Lapau, Dusun Laironja, Nusa Tenggara Timur yang merupakan bagian dari potensi
obyek wisata yang berada di zona pemanfaatan di Resort Wanggameti Taman
Nasional Matalawa dengan panorama yang memiliki daya tarik wisata yang cukup
berpotensi untuk dikembangkan. Puncak ini memiliki ketinggian 1 225 mdpl.
Obyek wisata tersebut dapat ditempuh dengan menggunakan roda 2 dan roda 4.
Jarak dari ibukota kabupaten ke Puncak Wanggameti adalah ±80 km dengan waktu
tempuh sekitar 3 – 4 jam. Dari Kantor Resort Wanggameti menuju gerbang jalur
pendakian dibutuhkan waktu ± 30 menit. Pengunjung yang mendaki akan disambut
dengan gapura selamat datang yang berada dibagian samping pintu masuk utama,
selain itu juga sudah dilengkapi dengan tata tertib pendakian, papan informasi
mengenai larangan, shelter yang berada diseberang gerbang pendakian, dan papan
interpretasi nama jenis pohon.
Gambar 70 Gapura Selamat Datang Gambar 71 Papan interpretasi
Keunikan dari Puncak Wanggameti dapat dilihat dari nilai sejarahnya, yaitu
memiliki cerita yang cukup religius bagi pendatang atau pengunjung tepatnya
dibagian Puncak Wanggameti terdapat kuburan emas berbentuk bayi yang dulunya
dipercaya oleh masyarakat sekitar sebagai sesembahan atau yang biasa disebut
dengan bagian dari kepercayaan Marapu sebagai bentuk rasa syukur masyarakat
terhadap sumberdaya alam. Kawasan Laiwangi Wanggameti sebelum ditetapkan
sebagai kawasan taman nasional, dulunya memang dijadikan sebagai lokasi
pemujaan roh nenek moyang oleh aliran kepercayaan Marapu. Oleh masyarakat
setempat disebut sebagai hamayang. Biasanya lokasi hamayang menjadi tempat
yang sangat sakral dan dianggap sebagai kawasan religi bagi masyarakat yang tidak
boleh dimasuki oleh sembarang orang apalagi untuk mengambil kayu dan hasil
hutan lainnya. Kebiasaan ini masih dipertahankan sampai dengan saat ini. Kegiatan
138
pemujaan tersebut biasaya dilakukan di waktu tertentu seperti perayaan adat.
Kawasan disekitar puncak Wanggameti adalah lokasi yang subur dan selalu ditutupi
kabut yang tebal apabila hujan turun dengan tipe ekosistem hutan hujan, ekosistem
sabana dan ekosistem hutan musim yang mewakili tipe-tipe ekosistem utama Pulau
Sumba.
Akses untuk menuju puncak Wanggameti dapat ditempuh dengan waktu 3-
4 jam waktu normal. Panorama yang disajikan puncak Wanggameti cukup unik
dengan menampilkan nilai sejarah yang masih kental dan lanskap alam yang masih
asri dengan perpaduan hutan yang lebat dengan sabananya yang menjadi daya tarik
utama di Pulau Sumba. Para pendaki sangat mudah melakukan tracking karena jalur
sudah cukup terbuka dibagian awal jalur pendakian, namun mendekati puncak, jalur
belum terlalu jelas, sehingga perlu adanya pembukaan jalur yang lebih jelas dan
pengadaan pembatas jalan sebagai fungsi keamanan ketika melakukan pendakian
karena jalan cukup curam. Disepanjang jalur dipenuhi dengan papan nama pohon
sebagai bentuk pengetahuan bagi pengunjung yang melakukan pendakian. Pada
papan pohon diinformasikan mengenai nama lokal dan nama ilmiah dari pohon
tersebut. Selain itu, terdapat rest area di pertengahan jalur menuju obyek untuk
tempat beristrahat para pendaki. Bagian rest area diberi fasilitas berupa tempat
duduk yang terbuat dari pohon yang sudah rebah dan dibiarkan melintang, terdapat
sumber air yang apabila musim kemarau cukup kering dan pada musim hujan airnya
banyak, serta adanya papan interpretasi mengenai larangan, selain aksesnya yang
jauh, puncak Wanggameti juga berpotensi bahaya bagi pegunjung, seperti jalur
yang licin apabila musim hujan dan banyaknya pohon yang sudah tua dan rapuh
akibat jarang terjamah oleh masyrakat sekitar.
Puncak Wanggameti merupakan salah satu obyek wisata yang sangat jarang
dikunjungi oleh pengunjung baik lokal maupun internasional dibanding dengan
obyek wisata lainnya yang ada di Taman Nasional Matalawa dikarenakan
aksesibilitasnya yang cukup jauh dan sulit dijangkau oleh pengunjung pada
umumnya. Hal tersebut juga dibuktikan dengan data pengunjung yang dimiliki
Taman Nasional Matalawa, bahwa jumlah pengunjung pada Puncak Wanggameti
sangat sedikit dan sebagian besar berasal dari masyarakat lokal. Motivasi
merekapun hanya sebatas bersenang-senang tanpa mempunyai tujuan untuk
melakukan wisata. Dari topografi dan keadaan Resort Wanggameti beserta obyek
wisatanya pengunjung yang cocok dan sesuai ialah pengunjung yang memiliki
minat khusus terhadap alam sehingga baginya aksesibiltas yang jauh bukan suatu
masalah besar.
Rekomedasi
a. Secara Keseluruhan:
1. Jalur tracking lebih diperjelas
2. Menyediakan peta jalur pendakian di bagian gapura selamat datang
3. Ada pemandu wisata/ guide
139
4. Papan informasi mengenai keanekaragaman hayati didalamnya (flora fauna
yang unik) dan sejarah yang ada dibagian puncak
5. Papan interpretasi tumbuhan/pohon lokal dan potensial (deskripsi dan
manfaat) di lokasi yang potensial
6. Sistem pembatasan pengunjung
7. Di sepanjang jakur pendakian berpotensi spot birdwatching
b. Bagian Rest Area
1. Tempat istirahat/ pondok khas sumba
2. Tempat duduk dari kayu yang ada di hutan
3. Dibuat bilik kecil (toilet) di sekitar mata air
c. Bagian Puncak
1. Dibagian puncak lebih dirapihkan dan dilakukan pemangkasan secara
berkala untuk mendapatkan pemandangan yang menarik
2. Menyediakan papan atau tempat khusus rekam jejak pengunjung
B. Air Terjun Ampupu
Air Terjun Ampupu berada di Desa Wanggameti Kecamatan Matawai Lapau
Kawasan Taman Nasional Matalawa. Memiliki ketinggian 4.7 m dan terdapat danau
dengan lebar 5 m, panjang 4 m berbentuk hati dengan kedalaman 2.4 m. Saat musim
kemarau kondisi air sangat tenang sehimgga untuk menempuh obyek wisata Air
terjun Ampupu dibutuhkan waktu sekitar 1-2 jam dengan jarak 5 km dari kantor
Resort Wanggameti dengan jalan kaki. Sepanjang jalan menuju lokasi disuguhkan
beberapa jenis tumbuhan dengan tajuk yang cukup rapat dengan udara yang sejuk
dan tapak yang berbukit (naik turun), selain tumbuhan banyak juga fauna sepeti
beberapa jenis burung seperti Elang Bondol (Haliastur indus), Gagak kampung
(Corvus macrorhynchos), Perkici orange (Trichoglossus capistratus) dengan
suaranya yang merdu dan kupu-kupu yang menjadi penghias diperjalanan. Kegiatan
yang dapat dilakukan di Air terjun ialah aktivitas renang dan menikmati keindahan
alam yang tersedia.
140
Gambar 72 Danau diatas air terjun utama Gambar 73 Aliran air terjun Ampupu
Keindahan alam dan Air terjun Ampupu tidak terlepas dari potensi bahaya
yang suatu waktu akan terjadi. Jalan yang licin apabila musim hujan disepanjang
perjalanan, air dengan arus yang cukup deras dan disekitar obyek Air Terjun
Ampupu berpotensi longsor yang sebelumnya juga sudah pernah terjadi, banyak
pohon yang rapuh dan tua sehingga dapat tumbang ketika musim kemarau, selain
akses jalan yang cukup sulit dan jauh, jalur menuju obyek Air Terjun Ampupu juga
belum terbuka dengan baik, karena obyek tersebut belum terjamah oleh pengunjung
dan belum dijadikan sebagai obyek wisata. Namun, walaupun belum terjamah tidak
mengurangi nilai potensi wisatanya dengan keadaan alam yang masih alami serta
kicauan burung dan lambaian tumbuhan yang kerap kali menyapa.
Keunikan lain yang dimiliki oleh Air terjun Ampupu ialah terdapat dua
tingkat air terjun. Dibagian bawah danau yang berbentuk hati terdapat air terjun
utama Ampupu. Jadi bentuk dari air terjunnya yakni, aliran air berbatu disambut air
terjun Ampupu tingkat pertama dengan ketinggian 4,7 m, kemudian ditampung oleh
danau berbentuk hati pada Gambar 72, setelah itu terdapat air terjun utama Ampupu
yang memiliki ketinggian 4 kali lipatnya dari air terjun tingkat pertama, namun
akses untuk mencapai air terjun utama sulit dan curam serta cukup jauh untuk di
jangkau.
C. Kuburan Batu Megalitik
Objek wisata Kubur Batu Megalitik terletak di Desa Wanggameti Kecamatan
Matawai Lapau Kabupaten Sumba Timur. Kuburan Batu Megalitik merupakan
kuburan tua berumur ratusan tahun yang terbuat dari batu, merupakan salah satu
simbol kebudayaan yang mempunyai makna sebagai manifestasi kejayaan jaman
megalitik di masa lampau. Keunikan lain dari objek tersebut ialah memiliki nilai
religi yang sangat tinggi. Di dalam Kubur Batu Megalitik terdapat mayat yang
sebelumnya sudah diawetkan dirumahnya. Mayat akan dikubur apabila keluarga
sudah dikatakan mampu untuk membeli kebutuhan rangkaian pemakaman. Disetiap
depan rumah masyarakat Sumba mempunyai Kubur Batu tersebut. Masyarakat
Sumba percaya bahwa rumah ketika masih hidup harus berdampingan dengan
141
rumah ketika mereka meninggal, dalam hal ini kuburan. Hal tersebut sebagai simbol
kedekatan antara arwah dan keluarga yang masih hidup.
Sebagai bentuk penghormatan kepada kerabat yang telah meninggal, keluarga
akan membuatkan batu kubur yang besar dan indah dengan relief yang
menggambarkan manusia dan hewan seperti kuda, kerbau, ayam, buaya dan tanduk
kerbau ditambah miniatur rumah adat dan rupa-rupa perhiasan sebagai lambang
kebangsawanan dan kekayaan pemiliknya.. Batu - batu itu diambil dari gunung,
kemudian dipahat sesuai dengan bentuk dasar yang diingankan, setelah itu ornamen
- ornamen akan diukir di setiap sisi batu yang telah terbentuk menjadi sebuah
dolmen atau sarkofagus. Semakin indah dan besar sebuah batu kubur, maka hal itu
menyimbolkan juga semakin besar status dan martabat dari yang meninggal.
Gambar 74 Kubur Batu Megalitik
Kubur Batu Megalitik tidak terlepas dari upacara-upacara ritual yang
merupakan bagian dari kepercayaan masyarakat Sumba yang setiap rangkaiannya
membutuhkan biaya yang banyak. Akses menuju Kubur Batu Megalitik bisa dengan
berjalan kaki maupun dengan kendaraan, berjarak sekitar 50 meter dari Resort
Wanggameti dan terletak ditepi jalan.
Obyek Daya Tarik Wisata Alam
Hasil perhitungan dari setiap unsur dan sub unsur pada penilaian daya tarik
wisata areal mengacu pada pedoman penilaian ODTWA PHKA 2002 dan tingkat
kelayakan suatu obyek wisata. Hasil perhitungan untuk penilaian daya tarik wisata
ketiga wisata di Wanggameti dapat dilihat pada Tabel 15.
142
Tabel 15 Penilaian tingkat kelayakan obyek wisata di Wanggameti
No Obyek Wisata Tingkat Kelayakan
Wisata (%)
Penilaian Kelayakan
1 Puncak Wanggameti 77 % Layak dikembangkan
2 Air Terjun Ampupu 66,67 % Layak dikembangkan
3 Kubur Batu
Megalitik
68,75 % Layak dikembangkan
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan nilai tertinggi dari unsur dan
subunsur serta tingkat kelayakan daya tarik wisata sesuai keunikan sumberdaya
alam yaitu pada obyek wisata Puncak Wanggameti sebesar 1 110 dengan skor 77%.
Nilai skor yang didapat dikalikan dengan bobot nilai untuk kriteria penilaian daya
tarik wisata dengan nilai bobot 6. Nilai kriteria penilaian daya tarik Puncak
Wanggameti dengan nilai keseluruhan 185 x 6 = 1 110. Nilai yang didapat
dikelaskan dengan penilaian kelayakan berdasarkan tingkat kelayakan wisata alam,
maka kawasan Puncak Wanggameti memiliki daya tarik areal yang bernilai layak
untuk dikembangkan menjadi obyek wisata alam. Selain obyek wisata Puncak
Wanggameti, kedua obyek wisata berupa Air Terjun Ampupu dan Kubur Batu
Megalitik juga layak untuk dikembangkan menjadi wisata alam karena tingkat
kelayakan diatas 66.6% dengan persentase berturut-turut 66.67% dan 68.75%.
Aksesibilitas merupakan salah satu faktor penting dalam melakukan kegiatan
wisata. Aktivitas wisata sebagian besar tergantung pada transportasi dan
komunikasi karena faktor jarak dan waktu yang sangat mempengaruhi keinginan
seseorang melakukan perjalanan wisata berupa transportasi yang terdiri dari
frekuensi penggunaannya, jumlah transportasi, dan kecepatan yang dimiliki, selain
itu prasarana juga menjadi sangat penting karena keterkaitan satu sama lain, seperti
jalan, jembatan, terminal, stasiun, dan bandara yang berfungsi untuk
menghubungkan suatu tempat ke tempat yang lain. Aksesibilitas atau tingkat
keterjangkauan dalam wisata merupakan upaya wisatawan dalam mencapai obyek
wisata. Wisatawan akan memperhatikan kondisi jalan yang akan dilalui, jarak dan
waktu yang ditempuh, pilihan transportasi yang tersedia dan digunakan serta biaya
yang dikeluarkan ketika menuju obyek wisata (Mustofa 2018). Berdasarkan
perhitungan, penilaian aksesibilitas secara keseluruhan masih rendah hanya bernilai
600 (50%) dari beberapa kriteria yang dinilai, antara lain kondisi jarak jalan darat,
jarak bandara terdekat ke tujuan, waktu tempuh, jumlah serta frekuensi transportasi
di kawasan. Hal tersebut menunjukkan perlu adanya pengembangan aksesibilitas
dan sarana prasarana utama maupun pendukung dalam mendukung kegiatan wisata
untuk mencapai tingkat kepuasan wisatawan yang maksimum.
143
Manajemen Pengujung
a. Sistem Informasi
Penyebaran informasi mengenai ekowisata yang ada di Taman Nasional
Matalawa tidak terlepas dari media yang digunakan. Di era yang modern, informasi
mengenai sesuatu akan sangat mudah tersebar. Taman Nasional Matalawa
menggunakan media elektronik dan media cetak dalam melakukan promosi wisata.
Media elektronik yang digunakan berupa website Taman Nasional Matalawa,
instagram, dan facebook. Media tersebut digunakan karena dianggap efektif dalam
menjangkau pengunjung jarak jauh. Sedangkan untuk media cetak melalui buku
informasi milik taman nasional dan berupa selebaran pada saat mengikuti kegiatan
pameran tingkat nasional seperti yang sudah pernah diikuti sebelumnya di 3
pameran nasional. Kegiatan promosi sudah gencar dilakukan sejak tahun 2017 dan
efektif dilakukan oleh tim humas dan informasi Taman Nasional Matalawa. Selain
kedua media, Taman Nasional Matalawa juga bekerjasama dengan beberapa biro
travel atau biro perjalanan. Bentuk promosi yang dilakukan berupa deskripsi dari
objek wisata dan penawaran paket wisata yang menggabungkan beberapa objek
wisata dari sumba timur ke sumba barat atau sebaliknya. Taman Nasional Matalawa
menganggap bahwa bentuk promosi yang sudah dilakukan efektif dan sangat mudah
diakses oleh semua orang. Hal tersebut dibuktikan dengan terus meningkatnya
jumlah pengunjung baik domestik maupun internasional.
b. Interpretasi
Objek wisata yang ada di resort Wanggameti tidak terletak persis di tepi jalan,
tetapi akses untuk masuk ke dalam kawasan dengan berjalan kaki. Perjalanan
menuju kawasan sebaiknya dilengkapi dengan papan interpretasi untuk
menjelaskan tentang apa saja yang ada di sepanjang jalur atau manfaat dari apa yang
ada di jalur tersebut. Perjalanan menuju puncak Wanggameti dilengkapi papan
interpretasi sepanjang jalurnya, tapi kebanyakan dari papan interpretasi
menjelaskan tentang nama lokal dan ilmiah dari pohon, belum menjelaskan tentang
fungsi atau manfaat dari pohon tersebut.
Banyak pohon dalam jalur pendakian puncak Wanggameti yang biasa
dimanfaatkan untuk membuat rumah tradisional ataupun dimanfaatkan untuk obat
tradisional, dan bisa dijelaskan dalam papan interpreatasi untuk menarik dan
menambah pengetahuan pengunjung. Jalur menuju air terjun Ampupu belum
memiliki papan interpretasi, untuk penjelasan tentang air terjun Ampupu juga
belum ada, jika diberikan papan interpretasi akan menarik pengunjung. Interpretasi
juga bisa dilakukan melalui pemandu wisata. Pemandu wisata yang ada di resort
Wanggameti menggunakan jasa dari warga lokal yang memang bisa lebih mengerti
tentang jalur, flora dan fauna yang ada di kawasan tersebut.
144
c. Distribusi Pengujung
Pengunjung dapat mengakses informasi mengenai objek wisata yang ada di
Taman Nasional Matalawa melalui media elektronik maupun cetak yang dianggap
efesien dan mampu meningkatkan jumlah pegunjung baik mancanegara maupun
nusantara. Konsentrasi pengunjung tidak tersebar secara merata. Menurut informasi
yang didapat dari Taman Nasional Matalawa sebagian besar pengunjung
berkunjung ke objekk wisata yang sudah memiliki paket wisata. Taman Nasional
Matalawa mempunyai tiga jenis paket wisata yaitu 2 paket wisata 3 hari 3 malam
dan 1 paket wisata 3 hai 2 malam. Untuk paket wisata I akan diarahkan
mengunjungi berbagai tempat di Kabupaten Sumba Timur dan Taman Nasional
Matalawa khususnya Blok Hutan Wanggameti, paket wisata II akan mengunjungi
berbagai tempat di Kabupaten Sumba Timur dabn Taman Nasional Matalawa
khususnya Blok Hutan Laiwangi di Tabundung, dan paket wisata III akan
mengunjungi berbagai tempat di Kabupaten Sumba Barat, Sumba Tengah, dan
Taman Nasional Matalawa khususnya Blok Hutan Manupeu Tanah Daru.
Ketiga paket wisata tersebut memiliki objek wisata yang berbeda-beda dengan
jalur yang berbeda pula. Kebanyakan pengunjung memilih paket wisata III dengan
keindahan objek wisatanya dari mulai Sumba Barat hingga Taman Nasional
Matalawa Blok Hutan Manupeu Tanah Daru. Karena potensi dan panorama yang
disajikan pada paket wisata III jauh lebih indah dan unik serta arah jelajahnya yang
cukup memuaskan. Objek wisata yang disajikan ialah dimulai dari Wisata budaya
Kampung Praijing yang berada di Sumba Barat, Kampung Tarung, Air Terjun
Lapopu yang sekarang sangat terkenal dengan keindahan dan kesejukkannya serta
akses yang cukup mudah dijangkau, Air Terjun Matayangu, birdwatching yang ada
di Bila, dan pantai Konda Maloba. Pesona yang disajikan membuat pengunjung
berpendapat bahwa jika mereka memilih paket wisata III, mereka akan sekaligus
menjelajahi sebagian besar wilayah Sumba. Apabila dibandingkan objek wisata
yang ada di sekitaran Sumba Barat dan Blok Hutan Manupeu Tanah Daru memang
lebih banyak serta akses untuk menuju objek tersebut juga sangat mudah. Berbeda
dengan Sumba Timur dan Blok Hutan Wanggameti walaupun terdapat Puncak
Wanggameti yang merupakan puncak tertinggi di Sumba, namun akses untuk
menuju ke objek tersebut sangat jauh membutuhkan waktu 3 – 4 jam dengan
menggunakan transportasi darat.
145
Gambar 75 Perbandingan pengunjung mancanegara dan nusantara
Berdasarkan Gambar 75 bahwa sebagian besar pengunjung berasal dari lokal
atau nusantara yang kebanyakan berkunjung dan memilih paket wisata III. Hal ini
sesuai dengan informasi yang didapat dari Taman Nasional Matalawa ketika
melakukan wawancara. Musim terbaik ketika berkunjung ialah ketika musim hujan
pada bulan dan adanya kegiatan festival nasional. Kemudian didukung oleh data
statistk milik Taman Nasional Matalawa sebanyak 3 821 pengunjung berkunjung
pada bulan Desember karena sebgaian besar pengunjung merayakan akhir tahun di
Sumba.
d. Keselamatan Pengunjung
Kegiatan wisata tidak terlepas dari keamanan dan keselamatan pengunjung.
Keamanan dan keselamatan pengunjung bukan semata menjadi tanggun jawab
pemilik atau pengelola wisata (owner). Keamanan dan keselamatan pengunjung
akan memberikan kontribusi pada peningkatan pengunjung selanjutnya dan
merupakan faktor terciptanya tanggungjawab sosial kepada masyarakat. Sebuah
kawasan atau destinasi wisata persoalan keamanan dan keselamatan menjadi
tanggungjawab semua masyarakat khususnya pengelola obyek wisata aparat
keamanan, maupun para pengunjung atau wisatawan pada umumnya. Taman
Nasional Matalawa memiliki sistem tersendiri dalam menangani keamanan dan
keselamatan pengunjung. Setiap tahunnya Taman Nasional Matalawa melakukan
monitoring dan evaluasi dengan melakukan pengecekan kondisi kesehatan
pengunjung dan lokasi yang akan dikunjungi serta pengadaan guide/ pemandu
wisata.
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500 Wstwan Mancanegara Wstwan Nusantara
146
Sosial Budaya Masyarakat Desa Wanggameti
Kehidupan Sosial
Kebudayaan merupakan segala hal yang dimiliki oleh manusia diperoleh
dengan belajar dan menggunakan akalnya. Manusia dapat berkomunikasi, berjalan
karena kemampuannya untuk berjalan dan didorong oleh nalurinya serta terjadi
secara alamiah (Saliyo 2012). Kebudayaan merupakan sesuatu yang melekat dalam
kehidupan manusia. Kehidupan sosial dan budaya tidak dipisahkan satu sama
lainnya, begitu pun dengan kehidupan masyarakat sekitar resort Wanggameti di
wilayah Desa Wanggameti dan Desa Katikuwai yang menjadi lokasi kajian sosial
budaya masyarakat di Sumba Timur.
Masyarakat Desa Wanggameti dan Desa Katikuwai memiliki kehidupan
sehari-hari dan kebudayaan yang relatif sama, berbeda dengan masyarakat di
wilayah Sumba Barat yang memiliki perbedaan khususnya dari segi bahasa daerah
pada setiap daerahnya. Bahasa yang digunakan di Sumba Timur adalah bahasa
Sumba Tmur, berbeda dengan masyarakat Sumba Barat yang setiap suku dan
daerahnya memiliki perbedaan bahasa, di Sumba Timur perbedaan lagam dan
bahasa setiap suku daerahnya hanya berbeda tipis saja bahkan dapat dikatakan
hampir sama. Terdapat sekitar 12 bahasa di wilayah Sumba Timur, yang paling
umum digunakan adalah mahu karera. Sebelum era modern, pemegang kekuasaan
tertinggi ada di tangan ketua adat atau raja besar dan raja kecil di setiap sukunya,
namun saat sudah modern seperti sekarang yang memimpin adalah kepala desa, dan
beberapa ada yang dibagi berdasarkan dusun seperti di Desa Wanggameti yang
dibagi menjadi dusun Laironja dan Pahulu Bandil, Desa Katikuwai dibagi menjadi
tiga dusun yaitu dusun Pingi Ailuri, Matawai Watu, dan Matawai Petaku. Selain
karena kini sudah mengkuti struktur dari pemerintahan, keturunan raja saat ini juga
sudah mulai terbuka pola pikirnya untuk mengikuti perkembangan zaman, sehingga
sudah jarang ditemui wilayah yang dipimpin oleh seorang raja.
Masyarakat Wanggameti terbagi menjadi beberapa suku, 3 suku yang diakui
hingga saat ini yakni suku Tawiri, suku Mangiluwai, dan suku Tapuhawai, akan
tetapi suku besar yang mendominasi adalah suku Tawiri. Pada umumya kata “suku”
yang dimaksud oleh masyarakat diartikan sebagai marga, sehingga masyarakat
mengatakan bahwa terdapat banyak suku, yaitu marga dari silsilah keluarganya.
Mayoritas masyarakat di Sumba Timur adalah kristen protestan, dan seluruh
masyarakat di Desa Wanggameti dan Katikuwai beragama kristen protestan.
Kepercayaan lokal masyarakat (agama lokal) yang biasa disebut kepercayaan
marapu secara besar sudah ditinggalkan, namun sebagian kecil masih dilakukan
karena berkaitan dengan adat yang berlaku. Pendidikan masyarakat lebih dari 90%
adalah sekolah dasar, hanya sekitar 0.5 % yang melanjutkan sampai tingkat SMA,
selain terbatasnya tempat pendidikan di sekitar pemukiman, sekolah SMA hanya
terdapat di Kota Waingapu yang dapat terjangkau. Pekerjaan dan aktivitas
147
masyarakat pada umumnya adalah berkebun dan bertani. Jenis yang ditanam
umumnya sayur mayur dan umbi-umbian untuk dijual ke pasar dan dikonsumsi
pribadi. Penghasilan rata-rata masyarakat berkisar antara Rp 50 000-200 000 per
bulan.
Sejarah dan Kepercayaan
Konon sejarahnya pada zaman nenek moyang, saat itu nenek moyang sudah
mulai memiliki banyak keturunan dan ingin agar keturunannya terbagi menjadi
beberapa suku, ragamnya suku dimulai saat prosesi penyembelihan seekor babi pada
kegaiatan adat kala itu nenek moyang sudah meminta bagian kepala saat babi belum
juga disembelih, melihat sikap dari nenek moyang keturunan sepakat bahwa suku
yang akan dibawa nenek moyang adalah Tawiri karena berani mengambil bagian
terlebih dahulu. Bagian dari babi lainnya terbagi menjadi suku lain yang berada
diluar kawasan Wanggameti. Selain dengan pembagian potongan babi, suku lain
yang tidak mendapat bagian dinamai berdasarkan penyebab lain misalnya
berdasarkan ketinggian tempat tinggal seperti suku Mbaradita yang rumahnya di
atas dan Mbarawa yang berada di bawah. Selain cerita itu, dahulu kala ketika
masyarakat sedang mencari air dan diberi petunjuk untuk mencari di sekitar puncak
Wanggameti orang yang pertama meminum air berjanji mengakui diri dan
keturunan serta orang sekitarnya sebagai suku Mangiluwai. Sedangkan yang
membawa pulang air dinamakan suku Tapuhawai (dibawah puncak = laipukul). Sisa
air minum ditumpahkan dan berdoa agar sumber air tersebut tetap ada, hal tersebut
menjadi sumber sejarah terbentuknya danau paberiwai yang berarti pembagi air dan
saat ini terbagi menjadi 12 aliran air yang mengaliri daerah Wanggameti dan
sekitarnya.
Gambar 76 Tempat emas berbentuk bayi Gambar 77 Puncak Wanggameti
Suku Tawiri merupakan keturunan dari Jawa, Makassar, Bima, Sumatera, dan
Bali. Tokoh masyarakat setempat mengatakan bahwa ada darah gadjah mada yang
mengalir dalam darah suku tawiri, sehingga sampai saat ini suku tawiri terkenal
dengan ketangguhannya, konon saat zaman berperang suku tawiri dikenal dengan
semangatnya yang pantang menyerah, meskipun dadanya sudah robek, badan sudah
luka-luka, kepala sudah hampir terlepas mereka akan tetap maju melawan. Istilah
148
Wanggameti umumnya dikenal sebagai pohon beringin, akan tetapi Wanggameti
yang menjadi nama daerah di Sumba Timur ini berartikan pengusir arwah kematian.
Hal itu karena pada zaman dahulu ketika daerah Sumba masih berupa hutan lebat
tidak berpenghuni, saat itu masyarakat dari luar mulai menjajakan kakinya di tanah
Sumba dan melakukan perambahan serta penebangan pohon untuk membuka hutan,
namun lambat laun hutan yang lebat mulai terkikis habis, sehingga menurut
kepercayaan masyarakat disana bahwa ada arwah yang marah disertai dengan
fenomena alam yang mencekam seperti badai dan petir, satwa buas dalam hutan
juga menyerang, sehingga masyarakat percaya bahwa mereka harus melakukan
sesuatu untuk menghentikan bencana itu, inisiatif masyarakat yakni memberikan
sesembahan kepada arwah yang menempati daerah tersebut, sesembahan itu
diberikan di puncak wanggameti, yaitu puncak tertinggi di tanah sumba dengan
ketinggian 1 225 mdpl.
Sesembahan yang diberikan yakni berupa emas yang berbentuk bayi, yang
kini tengah terkubur disana. Sebelum sesembahan tersebut diberikan banyak terjadi
kematian akibat kejadian tersebut, sehingga setelah diberikan sesembahan, bencana
kematian pun selesai, kemudian masyarakat bersenang-senang di sebelah bawah
Puncak Wanggameti yang sekarang dikenal dengan Puncak Kariki (tempat
tertawa), setelah kejadian itu masyarakat mulai berhenti dan mengurangi kegiatan
mernebang pohon serta aktivitas merusak hutan lainnya. Namun seiring
bertambahnya pendatang baru disana, dan mengetahui bahwa ada emas berbentuk
bayi yang mereka katakan sebagai benda yang antik terkubur di puncak
Wanggameti, banyak orang yang ingin mengambil karena nilainya yang dianggap
antic dan mahal. Akan tetapi setiap orang yang hendak mencuri emas tersebut akan
mengalami hal serupa seperti dulu, angin kencang dan badai petir serta satwa buas
akan menyerang, hingga ada beberapa yang meninggal dan tidak diketahui
keberadaannya. Tepat di Puncak Wangggameti tempat terkuburnya emas bayi
banyak lalat hijau yang berterbangan di atas kuburan, lalat hijau tersebut dipercaya
sedang mengerubungi bangkai pencuri yang hingga sekarang lalat hijau tersebut
masih tetap banyak karena masyarakat mengganggap bahwa arwah nenek moyang
yang menyebabkan adanya lalat hijau tersebut, bukan lagi akibat keberadaan
bangkai. Misteri di Puncak Wanggameti pun masih dirasakan oleh masyarakat
sekarang, berdasarakan kejadian sebelumnya bahwa saat mendaki Puncak
Wanggameti selalu saja ada anggota yang hilang, selain itu ketika sudah berada di
puncak dilarang untuk ribut dan berisik karena akan mengundang badai dan hujan,
karenanya tim pendaki bersama pemandu menyusun formasi pendakian dan tidak
menimbulkan kegaduhan selama berada di Puncak Wanggameti.
149
Pengetahuan masyarakat terhadap sumberdaya alam
Tabel 16 Jenis sumbedaya alam yang dimanfaatkan
No Jenis SDA Manfaat
1 Ewi Pangan
2 Ganyu Pangan
3 Singkong Pangan
4 Pisang Pangan
5 Ubi Jalar Pangan
6 Mayela Anaratu Papan
7 Kilu Matamanu Papan
8 Tualaku Kanunu Papan
9 Loba Industri
10 Kihu Kataru Obat
11 Sirih Obat
12 Pinang Obat
Pengetahuan masyarakat terkait sumberdaya alam lebih kepada kebiasaan
yang berkaitan adat dengan memanfaatkan SDA sebagai obat-obatan tradisional,
masyarakat percaya bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya yang tersedia di alam,
mereka menyebutnya dengan istilah nai dan muru yang berarti bahwa penyakit yang
tidak dapat disembuhkan secara medis dapat disembuhkan dengan kebiasaanya
mengonsumsi obat tradisional yang tersedia di alam, selain itu kepecayaan dalam
pembangunan rumah adat yang mengharuskan penggunaan pohon tertentu sebagai
bahan dasar kayu membuat masyarakat mengetahui kulaitas kayu dari pohon
tersebut, masyarakat juga memanfaatkan SDA lainnya sebagai bahan industrI dan
pangan seperti pemanfaatan daun pohon loba sebagai pewarna alami untuk
mewarnai kain sumba karena dapat memberikan corak warna yang jauh lebih baik
sehingga dapat meningkatkan nilai jual dari kain tersebut, lalu memanfaatkan umbi-
umbian dan sayur mayur untuk konsumsi pangan pribadi, masyarakat mampu
mengolah salah satu umbi-umbian yang dinamakan ewi sebagai bahan pangan saat
melewati musim kelaparan (bertepatan saat panceklik), ewi merupakan umbi-
umbian yang beracun namun mampu diolah dengan baik sehingga aman untuk
dikonsumsi.
Akan tetapi untuk pengelolaan lanjutan yang berpotensi sebagai sumber
peningkatan ekonomi masih belum tercapai mengingat pengetahuan dan ranah
teknologi yang masih terbatas. Pengetahuan masyarakat terkait obat-obatan
misalnya kebiasaan masyarakat dalam melakukan hapa (mengunyah rempah-
rempah seperti pinang, buah sirih, dan kapur) atau biasa dikenal dengan minang,
nyirih, dan nyeupah (dalam bahasa sunda) juga memberi manfaaat untuk
menghilangkan bau mulut, gigi kuat, obat sakit mata, panas tinggi, dan penyakit
kelamin. Selain itu tumbuhan yang dinamai kihu kataru daun dan kulitnya sebagai
obat sakit gigi dan pencegah gigi berlubang.
150
Adat Istiadat dan Kebiasaan
a. Hapa
Kebiasaan hapa atau minang merupakan kebiasaan yang masih sangat
melekat dalam kehidupan masyarakat sumba, baik sumba timur maupun sumba
barat. Hapa merupakan simbolis penghargaan atau penghormatan masyarakat
sumba timur untuk menyambut atau menerima tamu, hapa adalah hal pertama yang
disajikan sebelum minuman seperti kopi, makanan, dan jamuan lainnya.
Masyarakat percaya jika tidak menyajikan hapa kepada tamu akan dianggap sebagai
orang yang sombong dan tidak menghargai tuan rumah.
Gambar 78 Sirih pinang
b. Hewan Adat
Sebagian besar masyarakat sumba timur memlihara hewan seperti kuda, sapi,
kerbau, anjing, babi, dan ayam. Hewan tersebut ada yang dilepas liarkan di alam dan
ada yang dipelihara disekitar rumah. Hewan-hewan tesebut menjadi umum dimiliki
masyarakat sumba timur karena berkaitan dengan adat dan kebudayaannya. Babi
menjadi wajib dimiliki setiap keluarga sebagai simbol tradisi, sedangkan hewan
lainnya digunakan untuk konsumsi, diperjual belikan dan untuk keperluan adat
seperti adat pernikahan dan kematian. Setiap hewan yang disembelih atau dikenal
dengan istilah tikam hewan dalam setiap proses adat tersebut dianggap sebagai
persembahan dan rasa syukur mereka kepada sang pencipta.
151
Gambar 79 Hewan peliharaan Gambar 80 Babi yang dipelihara
b. Adat Perkawinan
Adat perkawinan budaya yang dikenal adalah kawin mawin, seorang laki-laki
yang jatuh cinta pada perempuan tidak dapat mengutarakan rasa cintanya secara
langsung pada perempuan tersebut. Hal pertama yang dilakukan biasanya meminta
bantuan pada temannnya atau teman perempuan yang disukainya, laki-laki tersebut
akan memberikan simbol melalui ikatan sebatang rokok lokal (dari daun lontar),
setelah itu diberikan melalui temannya, apabila sang perempuan menerima maka
laki-laki tersebut akan memberikan cincin yang menandakan bahwa dia sudah
menjadi kekasihnya. Perempuan itu akan memberitahu ke orangtuanya, dan orang
tua akan memanggil laki-laki tersebut untuk menanyakan kesungguhannya. Setelah
diyakinkan orang tua akan meminta laki-laki tersebut untuk datang kembali dengan
membawa juru bicara yang mereka sebut sebagai wunang untuk melakukan
kegiatan lamaran di acara selanjutnya dan membawa seekor hewan. Setelah
kegiatan tersebut dilakukan, keluarga perempuan akan berunding untuk
menentukan jumah hewan yang diminta untuk dibawa laki-laki tersebut, penentuan
jumlah hewan dilakukan secara musyarawah dengan seluruh keluarga, misalnya
kakak perempuan ingin 10 ekor, ibu ingin 15 ekor, ayah ingin 20 ekor, dan paman
ingin 5 ekor, sehingga jumlah hewan yang harus dibawa sebanyak 50 ekor. Namun
biasanya juga jumlah mahar hewan tersebut berpatokan dengan jumlah mahar ibu
perempuannya. Dalam kawin mawin mahar tidak hanya diberikan oleh pihak laki-
laki saja, tetapi pihak perempuan juga memberi timbal balik berupa peralatan rumah
tangga berupa isi rumah seperti lemari, mutiara (muti salak/ anahida), dan kain.
Cara kawin mawin yang kedua selain memakai rokok, ketika kedua pasangan
sudah saling cinta, laki-laki akan langsung menghampiri orang tua untuk
perkenalan diri dan meminta persetujuan, setelah disetujui masuk proses ketiga
yaitu pangga untuk menentukan jumlah ekor hewan yang harus dibawa pihak laki-
laki. Setelah itu laki-laki akan datang dengan membawa juru bicara/ wunang dan
membawa hewan yang sudah setujui. Cara kawin yang ketiga yaitu tamarumbak,
yaitu pasangan yang tidak atau kurang disetujui, maka sang laki-laki akan
menyerobot masuk ke dalam kamar perempuannya, tamarumbak yang artinya
serobot. Cara kawin terakhir yaitu kawin masuk untuk pihak laki-laki yang miskin
dan tidak mampu memenuhi keharusan adat (belis = mahar). Sehingga pihak laki-
152
laki melepas sukunya secara sementara dan menyandang suku perempuannya yang
ditujukan untuk penyederhanaan upacara adat dan setelah upacara adat selesai pihak
laki-laki akan kembali kepada suku awalnya.
c. Juru Bicara (wenang)
Juru bicara atau dikenal juber yang dipakai saat kegiatan adat bukan
sembarang orang. Juber adalah orang yang memiliki kemampuan berbicara dengan
bahasa sastra lokal yang tidak dimiliki orang lain. Meskipun bahasa yang dipakai
tetap bahasa sumba tetapi masyarakat umum tidak akan mengerti arti yang
dikatakan, sehingga biasanya ada sesi untuk menerjemahkan bahasa tersebut kepada
masyarakat yang menghadiri upacara atau kegiatan adatnya. Kemampuan juber
dimiliki bukan berdasarkan proses belajar, tetapi kemampuan yang lahir secara
turun temurun, sehingga tanpa ada proses apapun orang yang sudah ditakdirkan
sebagai juber akan langsung memiliki kemampuan tersebut. Dalam melaksanakan
tugasnya sebagai juber harus sangat berhati-hati, karena berdasarkan ceritanya juber
yang melakukan kesalahan seperti salah bicara ia akan menanggung risiko yang
membahayakan dirinya, seperti sakit hingga meninggal karena tumbal pada hewan
akan berbalik pada dirinya dan dalam kegiatan adatpun seperti kawin mawin
sebaiknya menggunakan dua juber agar terjadi timbal balik dan interaksi dari
masing-masing juber dari pihak laki-laki maupun perempuan.
.
Gambar 81 Juru bicara
d. Adat Pemakaman
Adat pemakaman di Sumba Timur juga masih dipertahankan, sama halnya
dengan pernikahan kegiatan ini diadakan secara besar-besaran, melakukan
penyembelihan puluhan hewan, dihadiri hingga ribuan warga, dan menggunakan
juru bicara/wunang. Umumnya orang yang meninggal di Sumba Timur tidak
langung dikuburkan, selain karena prosesnya yang panjang, juga anggaran yang
dikeluarkan terbilang besar, keluarga dari orang yang meninggal harus menyiapkan
sejumlah hewan untuk keperluan adat, sehingga apabila keluarga belum mampu
153
melakukan prosesi adat kematian maka mayat akan disimpan selama kurun waktu
tertentu sesuai kesepakan sampai kebutuhan sudah siap sedia. Mayat yang disimpan
di rumah biasanya disimpan di kamar atau ruangan lainnya, disimpan dalam peti
dengan beralaskan tembakau dan kapur sirih didalamnya untuk menyerap bau yang
dikeluarkan. Secara singkat proses pemakaman dimulai dari memandikan,
memakaikan baju, hingga dikuburkan. Namun selang sebelum dikuburkan diadakan
terlebih dahulu musyawarah untuk menetapkan tanggalnya. Dalam setiap prosesnya
dilakukan penyembelihan hewan sebagai persembahan dan syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa sebagai pemberi kehidupan dan juga bentuk terimakasih dan
pernghormatan kepada orang yang meninggal. Misalnya ketika ibu yang meninggal
maka pemotongan hewan tersebut sebagai tanda terima kasih atas kasih sayang,
cinta,dan jasa yang telah diberikan selama hidupnya.
Gambar 82 Kubur batu raja
e. Adat Membangun Rumah dan Bercocok Tanam
Kebiasaan masyarakat lainnya adalah melaksanakan prosesi adat sebelum
pembangunan rumah, dalam pembangunan rumah adat dikarenakan harus
menggunakan bahan dasar kayu dari pohon tertentu yakni Mayela Anaratu, Kiru
Matamanu, dan Tualaku Kanunu maka pengambilan kayu tidak dapat dilakukan
sembarangan, harus melalui prosesi adat terlebih dahulu, meskipun tidak
menggunakan bahan kayu dari ketiga pohon tersebut, tetap harus melakukan proses
adat sebagai bentuk rasa syukur. Sama dengan kegiatan adat lainnya masyarakat
akan diundang oleh yang memiliki hajat untuk datang dalam proses pemnbangunan,
sebelum mendirikan tiang pertama masyarakat akan berdatangan dan melaksanakan
pesta adat, begitupun dengan penyembelihan hewan tetap dilakukan, dalam
prosesnnya pun tetap menggunakan juru bicara (wunang).
154
Gambar 83 Rumah menara atap alang Gambar 84 Tempat menyimpan makanan
Gambar 85 Rumah menara dengan atap seng
Rumah adat di Sumba Timur dikenal dengan sebutan Uma Mbatangu yang
berarti rumah menara, bahan dasar kayu yang digunakan tidak sembarang
melainkan kayu dari pohon tertentu yakni Mayela anaratu, Kiru matamanu,dan
Tualaku kanunu, dengan beratapkan dari alang-alang. Akan tetapi seiring
berjalannya waktu rumah adat yang betul-betul 100% menggunakan bahan tersebut
sudah jarang sekali ditemukan, alang alang sudah berganti bahan seng, dan rangka
rumah juga bercampur kayu dari pohon lain karena bahan dasar seperti ketiga pohon
tersebut sangat sulit didapatkan dan dalam pengambilan pohonnya pun mempunyai
tradisi tersendiri. Kegiatan melaksanakan aktivitas sehari-harinya yakni bercocok
tanam, masyarakat akan malakukan sembahyang sebelum membuka lahan kebun
pertanian karena mereka sangat percaya bahwa tuhanlah satu-satunya yang mampu
memberhasilkan kegiatan menanam mereka, mereka juga akan sembahyang dan
upacara pasca panen sebagai bentuk rasa syukur.
f. Alat Musik
Alat musik tradisional yang masih digunakan hingga saat ini ada tiga yaitu
gitar sumba (jungga), gong (anakalang), dan tambur. Sumba memiliki berbagai
macam variasi Jungga. Jungga adalah sebutan untuk berbagai alat musik sumba
yang memiliki berbagai bentuk,baik itu menyerupai ukulele dan kecapi. Sumba
Timur memiliki setidaknya dua variasi Jungga, yang memiliki dua, empat, hingga
enam senar. Jungga yang memiliki empat hingga enam senar sering disebut “juk”.
155
Sementara di Jawa, alat musik ini disebut Jungga Jawa. Biasanya jungga mengiringi
nyanyian dalam bahasa Kambera yang merupakan salah satu bahasa di Sumba.
Musik jungga awalnya dimainkan untuk mengiringi lagu selama ritual tradisional.
Lagu-lagu yang diiringi bercerita tentang kehidupan di Sumba, nasihat tentang
cinta, dan lainnya yang berkaitan dengan kehidupan. Pada tipe jungga bersenar dua
diperkirakan memiliki umur yang lebih tua daripada yang bersenar empat sampai
enam dan tidak berasal dari instrument gitar. Jungga bersenar dua berbentuk seperti
lute menyerupai kapal yang berasal dari Sukawesi Selatan. Jungga jenis ini
memiliki nada yang tinggi.
Gambar 86 Tambur dan gong
Tambur merupakan alat musik yang terbuat dari kayu, rotan, dan kulit
binatang. Tambur terbuat dari kayu lai sejenis kurma hutan dan kulit rusa. Alat
musik ini dimainkan saat berlangsung upacara adat dan untuk mengiringi lego-legi
(tari tradisional) bagi kalangan bangsawan. Konon, tambur seperti ini pertama kali
ditemukan oleh Agustinus. Benda aslinya sekarang tersimpan di suku bangsa Alalu,
Desa Aramaba, Kecamatan Pantar Tengah. Setiap ketukan atau nada yang
dihasilkan akan menginformasikan kejadian yang berbeda, seperti pada tambur,
tambur yang dipukul dari sebuah rumah akan menghadirkan orang-orang sebagai
tanda adanya informasi yang mendadak, tambur dengan ketukan tertentu dalam
upacara kematian menandakan berita duka.
g. Tarian dan Lagu
Terdapat lebih dari 100 tarian lokal Sumba yang menggambarkan
kepercayaan kepata Tuhan agama asli Marapu, kehidupan warga, keadilan,
kejujuran, pesta panen, dan persta perkawinan, namun sebagian besar tarian itu
sudah terlupakan dan hanya menyisakan 22 jenis tarian yang masih sering
ditampilkan. Tarian tersebut antara lain Kabokang (tarian untuk menghormati raja
agar selalu jujur dan adil memimpin), Mapandamu (tarian mewujudkan rasa syukur
atas kelahiran anak), Kandingan (tarian syukur pada pesta panen), Patanjangung
156
(tarian syukur atas panen perdana), dan panapang banu (tarian melamar gadis). Ada
juga tarian Ningguharana yang dibawakan pria dan perempuan untuk menyambut
pahlawan yang pulang dari peperangan. Kini, tarian itu dibawakan saat menjemput
para peserta pasola yang baru pulang dari pertarungan (permainan melempar
tongkat kayu sambil menunggang kuda). Tarian yang sering dimainkan adalah
tarian yungga (tarian humba=sebutan lain untuk sumba) diiringi gitar sumba dan
tarian panapang baru yang melambangkan kebahagiaan masyarakat menggunakan
tambur, mereka akan menari pada setiap kegiatan upacara adat, seperti upacara
pernikahan, berkebun, dan lainnya.
h. Kain Sumba
Pakaian adat yang dikenal adalah dari kain sumba, kain yang ditenun dan
diberi corak warna dari pewarna alami pohon loba, semakin mahal dan baik kualitas
kain tersebut orang yang memakainya pun akan naik derajatnya. Kain tenun Sumba
Timur memiliki ciri khas dan nilai yang cukup tinggi. Menurut cerita turun temurun
kain tenun Sumba Timur memiliki nama dan arti yang sangat mendalam yang
didalam bahasa Sumba Timur disebut “Lukamba Nduma Luri” berarti benang yang
memberi ruh atau kain yang memberi hidup sebagaimana filosofi agama Marapu,
yakni agama kepercayaan masyarakat asli Sumba, sehingga bila diterjemahkan
dalam kehidupan sehari-hari memiliki arti bahwa benang dapat meyambung
kehidupan masyarakat Sumba Timur seperti memberi makan untuk keluarga atau
dapat pula menyekolahkan anak-anak, juga menaikan harga diri keluarga, sebab
benang yang tadinya tidak berarti ketika setelah dipntal dengan seni yang tinggi
menghasilkan sebuah tenun yang cantik dan bernilai tinggi.
Gambar 87 Proses menenun kain Gambar 88 Kain sumba
sumba
Kain tenun Sumba sudah berumur ratusan tahun memiliki corak yang unik
dan langka. Motif dari kain tenun Sumba bervariasi, namun kebanyakan
menggunakan motif gambar kuda yang memiliki filosofi tinggi yang diartikan
kepahlawanan atau kebangsaan, kuda juga symbol harga diri bagi perempuan. Lalu
ada motif buaya yang memiliki arti kekuatan atau gambar papanggang yang biasa
digunakan saat upacara kematian karena menggambarkan proses penguburan.
157
Papanggang ialah hamba yang paling dekat selama hidup dengan sang Raja dan juga
Mamuli yang terlihat seperti rahim wanita yang melambangkan kesuburan. Ada dua warna yang menjadi ciri khas pada kain tenun Sumba yaitu warna
merah dan biru. Warna merah didapatkan dari akar mengkudu, biru dari akar
tumbuhan nila atau indigo, juga terdapat warna hitam kecoklatan. Warna ini didapat
dari perpaduan warna merah dan biru. Selain itu, ada pula warna putih yang menjadi
dasar benang serta warna kuning yang berasal dari sogan kayu kuning. Warna-
warna kain sumba berbahan dasar dari beberapa jenis tumbuhan seperti buah
mengkudu, daun gewang, atau kemiri. Sebelum diberi warna, kain akan dicelupkan
terlebih dahulu kedalam santan kemiri agar warnanya meresap sehingga
meimbulkan aroma kain yang begitu khusus dan unik yang merupakan ciri
utamanya. Ciri lainnya ialah kain tenun Sumba bisa awet sampai ratusan tahun
lamanya.
i. Makanan
Makanan tradisional masyarakat sumba timur umumnya memanfaatkan hasil
SDA disekitar areal tempat tinggal mereka seperti pisang yang dibuat menggulu,
ubi jalar dibuat menjadi kilu, dan umbi-umbian lainnya seperti ganyu dan ewi
(tanaman lokal saat musim kelaparan) yang diolah menjadi keripik. Salah satu
makanan yang cukup terkenal di Sumba Timur adalah manggulu yang mempunyai
rasa sedikit asam namun ada manisnya yang berasal dari gula merah dan kacang
tanah. Caranya cukup mudah, pisang cukup dijemur sampai 3 hari, kemudian goring
kacang tanah tanpa menggunakan minyak, dan siapkan gula merah. Kemudian
pisang ditumbuk dengan menggunakan alu. Adonan tesebut dibungkus dengan
menggunakan daun pisang atau daun lontar. Berdasarkan informasi kebanyakan
wisatawan sudah pernah merasakan makanan dan menyukai makanan ini.
j. Salam Khusus
Salam hidung merupakan tradisi khas dari Nusa Tenggara Timur, salam
hidung memiliki filosofi bahwa hidung sebagai alat pernapasan yang memiliki arti
kehidupan. Salam hidung memiliki makna yang dalam sebagai bentuk
kekeluargaan, keakraban, dan rasa saling memiliki serta keterikatan antar
sesamanya. Tradisi ini tidak mengenal usia, jenis kelamin, dan status sosial,
meskipun sering menjadi simbol kehormatan bagi seseorang terhadap yang lebih
tua. Tradisi salam hidung berasal dari wilayah Kabupaten Sabu dan masih sangat
terjaga hingga saat ini. Sehingga menyebar dan menjadi dikenal sebagai tradisi di
wilayah Nusa Tenggara Timur lainnya. Berdasarkan penelitian, di Desa
Wanggameti pada kerabat dekat atau pada orang dicintai juga terdapat kebiasaan
bersalaman khusus yakni dengan menempelkan kedua hidung dan saling menarik
nafas yang terhembus sebagai tanda kasih sayang sesama. Berdasarkan pengalaman
orang yang pernah melakukan hal tersebut, akan terasa ada sesuatu yang berbeda,
seolah-olah kedua pihak akan merasakan kedekatan yang begitu luar biasa.
158
k. Humba
Hampir kata kata dengan komposisi huruf S di Sumba, huruf S nya akan
dileburkan, seperti Sumba menjadi Humba dan Susu menjadi Huhu. Konon saat
NTT terbagi menjadi empat pulau besar yakni Flores, Sumba, Timor, dan Alor .
Sebelah timur pulau Timor terdapat pulau kecil yaitu pulau Sabu, Sabu dan Sumba
memiliki keterkaitan darah, budaya dan kebiasaan yang tidak jauh berbeda, sehingga
biasanya orang menyebut dengan istilah Sabu Sumba, terpisahnya dua pulau itu
melahirkan kebiasaan yaitu di Sabu penyebutan kata biasanya ditambahan kata
akhiran, sedangkan di Sumba penyebutan kata biasanya dikurangi walau hanya satu
kata, sehingga huruf seperti S menjadi lebur dalam penyebutan kata Sumba menjadi
Humba.
l. Hamba
Pada zaman dahulu hingga sekarang raja atau tokoh besar di Sumba Timur
akan mempunyai hamba yang akan melayani raja. Ketika raja tersebut meninggal
maka hamba tersebut harus ikut dikubur bersama raja, hamba tersebut akan dibunuh
dan dikuburkan disetiap sisi makan raja, yakni di kiri, kanan, atas (kepala), dan
bawah (kaki). Masyarakat percaya bahwa saat perjalanan sang raja menuju akhirat
maka raja masih harus dilayani, sehingga hamba tersebut harus mengantar rajanya.
Namun seiring berjalannya waktu dan semakin terbuka pola pikir masyarakat,
banyak raja yang tidak dikubur dengan empat hambanya, satu saja sudah menjadi
sulit, karena itu banyak hamba yang kabur saat rajanya meninggal.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil inventarisasi objek wisata di kawasan Resort Wanggameti, Taman
Nasional Matalawa memberikan hasil bahwa terdapat 3 objek wisata yang layak
dikembangkan berdasarkan perhitungan tingkat kelayakan objek wisata yaitu
Puncak Wanggameti yang merupakan puncak tertinggi di Sumba, Air Terjun
Ampupu, dan Kubur Batu Megalitik yang mempunyai keunikan sejarahnya. Setiap
objek memiliki ciri khas tersendiri. Kearifan lokal berupa kebudayaan yang masih
kental dan mitos yang berkembang di masyarakat Desa Wanggameti juga dapat
menjadi daya tarik wisata sebagai bentuk pelestarian kebudayaan masyarakat tanah
Sumba. Keterlibatan dan peran serta masyarakat juga diperlukan dalam
pengembangan ekowisata sekaligus untuk menyejahterakan masyarakat sekitar
dalam aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budayanya. Objek-objek wisata yang
berada di kawasan Resort Wanggameti merupakan objek wisata yang dapat
dikembangkan sebagai wisata minat khusus dengan perpaduan alam dan budayanya
159
karena pengunjung dituntut untuk memiliki keahlian tertentu untuk dapat mencapai
lokasi objek wisata yang jarak lokasinya cukup jauh.
Saran
Berdasarkan hasil inventarisasi, ketiga objek wisata layak untuk
dikembangkan. Sehingga sebaiknya pihak Taman Nasional Matalawa dapat
mempertimbangkan pengembangan ketiga objek wisata tersebut dalam hal
akomodasi, sarana prasarana, aksesibilitas, dan pelayanan penunjang lainnya, serta
meningkatkan kegiatan promosi dari objek wisata yang ada di Resort Wanggameti
dengan tetap memperhatikan sumberdaya pengelolanya. Hal tersebut bertujuan
untuk melestarikan objek wisata dan kebudayaan setempat agar tetap terjaga dan
tidak terjadi kerusakan pada kawasan.
160
DAFTAR PUSTAKA
Darsiharjo, Supriatna U, Saputra IM. 2016. Pengembangan Geopark Ciletuh
berbasis partisipasi masyarakat sebagai kawasan geowisata di Kabupaten
Sukabumi. Jurnal Manajemen Resort dan Leisure Vol.13 (1): 55-66.
Fandeli Ch. 1992. Analisis mengenai Dampak Lingkungan, Prinsip Dasar dan
Pemempanannya dalam Pembangunan. Yogyakarta (ID): Liberty.
Karsudi, Soekmadi dan Kartodiharjo. 2010. Strategi Pengembangan Ekowisata di
Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua. JMHT Vol. XVI, (3): 148-154.
KBBI. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [Online]. Available at:
http://kbbi.web.id/pusat. [Diakses 13 Oktober 2018].
Mustofa D. 2018. Aksesibiltas Objek Wisata Air Terjun Sinar Tiga di Desa Harapan
Jaya Kecamatan Way Ratai Kabupaten Pesawaran [skripsi]. Bandar Lampung
(ID): Universitas Lampung.
Saliyo.2012.Konsep diri dalam budaya jawa. Jurnal Buletin Psikologi 20(1-2) : 26-
35.
Walhi. 1995. Strategi Keanekaragaman Hayati Global. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
161
LAMPIRAN
Lampiran 5 Dokumentasi kegiatan Surili 2019
162