JIEP
Jurnal Ilmu Ekonomi dan
Pembangunan
Jurnal Berkala Jurusan Ekonomi Pembangunan
Universitas Sebelas Maret Surakarta
ISSN: 1412-2200
Pengaruh Interpretasi Pelaksana Kebijakan
Terhadap Efektivitas Pelestarian Cendana (Santalum
Album L) Di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS)
Provinsi Nusa Tenggara Timur
Strategi Pengembangan Usahatani Kedelai Di
Kabupaten Grobogan Dengan Pendekatan Analysis
Hierarchy Process (AHP)
Dampak Kawasan Industri Di Desa Butuh Terhadap
Perekonomian Dan Keinginan Berwirausaha Di
Kecamatan Mojosongo, Boyolali
Suara Akar Rumput: Kebudayaan yang Mendasari
Perilaku Ekonomi
Blue Economy : Keseimbangan Perspektif Ekonomi
dan Lingkungan
Vol 14 No 1
November
2014
JIEP Vol 14 No 1 Surakarta
Nov 2014
ISSN 1412-2200
Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan (JIEP)
Jurnal Berkala Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret
ISSN 1412-2200
Diterbitkan oleh Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret
Pada bulan Maret dan November
Vol 14 No 1 November 2014
Tim pengelola dari jurnal ini adalah:
Pimpinan Redaksi :
Bhimo Rizky Samudro, M.Si, Ph.D.
Pembina :
Drs. Hari Murti, M.Si
Dewan Editor :
Dr. A.M. Soesilo, M.Sc (Universitas Sebelas Maret)
Dr. Asfi Manzilati (Universitas Brawijaya Malang)
Firmansyah, M.Si, Ph.D (Universitas Diponegoro)
Wahyu Widodo, M.Si, Ph.D (Universitas Diponegoro)
Losina Purnastuti M.Ec.Dev, Ph.D (Universitas Negeri Yogyakarta)
Dr. Muhammad Nasir (Universitas Syah Kuala)
Drs Hari Murti, M.Si (Universitas Sebelas Maret)
Drs Sutomo, MS (Universitas Sebelas Maret)
Editor Pelaksana:
Yogi Pasca Pratama, SE, ME.
Hery Sulistio Jati N S, SE, M.SE
Pengelola Promosi:
Nurul Istiqomah, SE, M.Si.
Izza Mafruhah, S.E., M.Si.
Alamat Sekretariat: Jurusan Ekonomi Pembangunan FEB Universitas Sebelas Maret Surakarta Jl Ir Sutami 36A, Kentingan
Surakarta 55361. Telepon: 0271 647381. Email: [email protected]
Editorial
Salam kawan kolega semua,
Rangkaian Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan edisi November 2014 menghadirkan
beberapa artikel terpilih. Nursalam dari Universitas Nusa Cendana, Kupang Nusa Tenggara
Timur memaparkan penelitian sosioekonomi tentang evaluasi kebijakan pelestarian kayu
Cendana. Dilanjutkan dengan penelitian strategi pengembangan usaha tani dengan metode
Analysis Hierarchy Process (AHP) oleh Avi Budi Setiawan dan Fafurida dari Universitas Negeri
Semarang. Penelitian kuantitatif dilakukan juga oleh Nurul Istiqomah, Dwi Prasetyani dan
Amina Sukma Dewi dari FEB Universitas Sebelas Maret Surakarta. Di sisi lain, sebuah
penelitian kualitatif disajikan oleh Yogi Pasca Pratama dan Asfi Manzilati dari FEB Universitas
Sebelas Maret dan FEB Universitas Brawijaya Malang. Pada artikel terakhir, Ajeng Faiza
melakukan kajian tentang Blue Economy serta penerapannya di Indonesia.
Pihak redaksi mengucapkan selamat membaca dan mohon maaf apabila dalam penyajian
masih terdapat beberapa kekurangan. Akhirnya, redaksi juga mengundang partisipasi para
peneliti, penulis dan pengkaji sosioekonomi untuk mengirimkan artikel/karya tulis/hasil kajian
ke redaksi kami.
Surakarta
November 2014
Jurnal Ilmu Ekonomi dan Pembangunan (JIEP)
Jurnal Berkala Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret
ISSN 1412-2200
Vol 14 No 1 November 2014
Daftar Isi
Pengaruh Interpretasi Pelaksana Kebijakan Terhadap
Efektivitas Pelestarian Cendana (Santalum Album L) Di
Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) Provinsi Nusa
Tenggara Timur
Nursalam
1-22
Strategi Pengembangan Usahatani Kedelai Di Kabupaten
Grobogan Dengan Pendekatan Analysis Hierarchy
Process (AHP)
Avi Budi Setiawan dan Fafurida
23-38
Dampak Kawasan Industri Di Desa Butuh Terhadap
Perekonomian Dan Keinginan Berwirausaha Di
Kecamatan Mojosongo, Boyolali
Nurul Istiqomah, Dwi Prasetyani dan Amina Sukma
Dewi
39-55
Suara Akar Rumput: Kebudayaan yang Mendasari
Perilaku Ekonomi
Yogi Pasca Pratama
56-69
Blue Economy : Keseimbangan Perspektif Ekonomi dan
Lingkungan
Ajeng Faiza N I
70-79
1
PENGARUH INTERPRETASI PELAKSANA KEBIJAKAN TERHADAP
EFEKTIVITAS PELESTARIAN CENDANA (SANTALUM ALBUM L)
DI KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN (TTS)
PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Nursalam
Fisip Undana / Jl.Adisucipto Penfui Kupang-NTT
Email: [email protected]
Abstract
This article aims to provide an overview of factors influence the interpretation of the effectiveness
of conservation policy implementers Sandalwood (Santalum album L) in the district of South
Central Timor (TTS) East Nusa Tenggara (NTT). Explanatory research design using survey.
Sampling technique is stratified sampling, with a size of 145 respondents. Researchers also
determined several key persons from various community groups and also from the head of the
forest service, the head of the planning department at Sub forestry service, and chief of the office of
South Central Timor regency service plan (Bappeda). While the techniques of data collection
techniques include questionnaires, observations, interviews, and documentation. Influence the
interpretation of the effectiveness of the conservation of sandalwood tested using path analysis.
Research conclusion is, the interpretation of policy implementers sandalwood is not maximized in
enhancing the effectiveness of conservation Sandalwood. The results also show that there are other
factors that need attention if the effectiveness of conservation the of Sandalwood to be improved,
the factors of community participation and the factor values are valid, both executive officers and
the community.
Keywords: Interpretation, Implementation, Effectiveness, Conservation, Sandalwood (santalum
album L).
A. Pendahuluan
Cendana (santalum album L)
merupakan tanaman penting di Provinsi Nusa
Tenggara Timur yang merupakan tanaman
yang diprioritaskan dalam pembangunan
kehutanan karena nilai ekonomi dan
berdasarkan pertimbangan keanekaragaman
hayati. Tanaman Cendana juga merupakan
tanaman hutan yang dahulu menjadi
penyumbang pendapatan asli daerah (PAD),
sampai dengan tahun 1997/1998 masih
memberikan kontribusi terhadap PAD
Kabupaten TTS sebanyak Rp.797.000.000.-
atau 9,48 % dari total PAD (Dispenda
Kab.TTS, 2008).
Pemanfaatan yang terus menerus
menyebabkan populasi pohon cendana
menyusut dengan cepat, karena tidak ada
keseimbangan antara laju kecepatan
pengurangan areal hutan cendana dengan
jumlah pohon yang ditanam kembali
ditambah kecepatan reproduksi alamiah dari
tegakan.
Pengembangan pembudidayaan/
pelestarian pohon cendana bentuknya
bermacam-macam, yang kesemuanya
melibatkan tindakan yang dapat mempengaruhi
populasi cendana, salah satunya adalah
dengan artificial (campur tangan), melalui
silvikultur yang dilakukan oleh pihak
2
pemerintah maupun oleh pihak swasta (Sinlae
dan Lango, 2002:5).
Menurut Rohadi et al (2002: 170)
menyatakan bahwa cendana mempunyai
banyak manfaat ekonomis antara lain:
1. Dalam bentuk gelondongan dapat
dimanfaatkan untuk membuat mobiler
(kursi, meja, lemari dan berbagai asesoris)
2. Karena baunya sangat wangi, maka
minyak cendana digunakan sebagai
minyak cendana dan bahan baku parfun.
3. Serbuk cendana dipakai sebagai dupa
(biasanya digunakan jika ada upacara
kematian. Dan banyak lagi kegunaan
lainnya, sehingga cendana memiliki nilai
ekonomis sangat tinggi. Saat ini harga
cendana bisa mencapai 50 ribu rupiah
perkilogram.
Mengingat nilai ekonomis yang cukup
tinggi tersebut, cendana kemudian
dieksploitasi secara besar-besaran baik oleh
pemerintah maupun oleh rakyat secara
keseluruhan.
Praktik eksploitasi Cendana di
Kabupaten Timor Tengah selatan (TTS)
sudah lama berlangsung, Seperti yang
disampaikan oleh Widiyatmika yang dikutip
dari Rohadi et al (2002:195) disebutkan
bahwa pada awalnya seluruh cendana yang
ada di pulau Timor dimiliki oleh Raja,
selanjutnya Raja menunjuk “Tuan Tanah”
(fetor atau uis pah) untuk mengawasi
produksi cendana yang ada di daerah. Tuan
tanah ini kemudian ditunjuk menjadi ketua
adat untuk memelihara dan mengamankan
pohon-pohon cendana yang ada dan
melakukan upacara ritual jika akan dilakukan
pengambilan cendana. Hasilnya kemudian
adalah akar cendana diberikan kepada Raja,
batang kepada Tuan Tanah, dan ranting
kepada pemilik pohon cendana (Ormeling
dalam Rohadi, 2002:196).
Berbagai upaya yang ditempuh melalui
kebijakan bertujuan untuk membudidayakan
cendana, namun kebijakan tersebut belum
dapat memberikan hasil yang
menggembirakan, diantara kebijakan tersebut
adalah:
(1) Peraraturan Daerah (Perda) Provinsi
Nusa Tenggara Timur nomor 6
tahun1996 tentang Perubahan Pertama
Peraturan Daerah Propinsi Nusa
Tenggara Timur nomor 16 tentang
cendana.
(2) Intruksi Gubernur Provinsi Nusa
Tenggara Timur Nomor 12 tahun 1997
Tentang Larangan Penebangan Pohon
Cendana.
(3) Peraturan Daerah Kabupaten Timor
Tengah Selatan Nomor 25 tahun 2001
tentang cendana.
Salah satu perubahan yang sangat
mendasar dari Perda Kabupaten Timor
Tengah Selatan Nomor 25 tahun 2001 tentang
cendana adalah menyangkut kepemilikan
pohon, dimana dalam perda 25/2001 ini telah
mengakui kepemilikan pohon cendana yang
dimiliki oleh para petani/masyarakat.
Disebutkan bahwa tanaman cendana yang
3
tumbuh di lahan pemerintah dimiliki oleh
pemerintah, tanaman cendana yang tumbuh
pada lahan swasta dimiliki oleh swasta, dan
pohon cendana yang tumbuh pada lahan
masyarakat dimiliki oleh masyarakat. Hal ini
merupakan langkah maju dalam pengelolaan
cendana di masa depan, persoalannya
kemudian terletak pada kemampuan aparat
pelaksana kebijakan dalam menindaklanjuti
Perda No.25/2001 kedalam program upaya
pelestarian.
Menafsirkan kebijakan yang bersifat
strategis menjadi kebijakan yang bersifat
operasional dalam bentuk program/proyek
yang konkrit dan jelas serta dapat
dilaksanakan merupakan tugas yang sulit bagi
implementor (pelaksana) kebijakan.
Sebagaimana halnya dalam melakukan
interpretasi Peraturan Daerah (Perda) menjadi
program/proyek yang dibuat oleh satuan kerja
pemerintah daerah (SKPD). Tugas utama
seorang implementor kebijakan sesungguhnya
adalah melakukan menginterpretasi sesuai
dengan tujuan kebijakan agar program yang
dibuat oleh mereka menjadi lebih operasional
dan siap dilaksanakan. Pentingnya
interpretasi dalam implementasi, dinyatakan
oleh White et al (2008); Besley (2010), yang
menyatakan Keberhasilan implementsi
kebijakan kemungkinan jarang bisa terwujud
jika kebijakan belum jelas dipahami oleh
aparat pelaksana, oleh karena itu syarat utama
adalah memahami kejelasan kebijakan.
Kebutuhan utama bagi keberhasilan
pelaksanaan kebijakan adalah mereka yang
akan melaksanakan kebijakan harus tahu apa
yang seharusnya mereka lakukan. Jika
kebijakan ingin dilaksanakan secara tepat,
maka arahan dan petunjuk pelaksanaan tidak
hanya diterima tetapi juga harus dipahami
secara jelas oleh implementor (Jones and
McBeth, 2010). Jika syarat ini tidak dipenuhi,
maka mereka akan mengalami kebingungan,
bahkan bisa berbeda pendapat dengan
keputusan pada tingkat diatasnya. Menurut
Allin (2008); Matheson (2009); Kochtcheeva
(2009); Marsh and Mc Connell (2010),
masalah yang paling mendasar dalam
penerapan kebijakan adalah bagaimana
memindahkan suatu keputusan ke dalam
kegiatan yang dapat dioperasikan. Kejelasan
pesan dapat menjembatangi jurang pemisah
diantara keputusan dan kegiatan yang dapat
dikerjakan. Interpretasi merupakan tindakan
dalam kebijakan akan menghasilkan
kebijakan turunan (derivation) yang
operasional. Beranjak dari kebijakan turunan
ini, maka akan menjadi petunjuk bagi
pelaksana kebijakan untuk melakukan
tindakan-tindakan yang diperlukan bagi
terlaksananya program sesuai dengan tujuan
implementasi kebijakan. Pemahaman, arahan,
dan petunjuk secara lengkap, tepat dan jelas
terhadap kebijakan merupakan unsur-unsur
penting yang harus diperhatikan dalam
menginterpreasi suatu kebijakan.
Berdasarkan pandangan di atas jelas
menunjukkan salah satu dimensi penting
dalam implementasi kebijakan adalah
kegiatan menginterpretasi. Interpretation
4
(menafsirkan) bertujuan agar program
menjadi rencana yang konkrit dan jelas serta
dapat dilaksanakan. Birokrasi pemerintah
yang berperan sebagai organisasi pelaksana
perlu menginterpretasikan kebijakan agar
lebih operasional dan siap dilaksanakan,
dalam hal ini kebijakan dirumuskan sebagai
program/proyek kemudian proyek dijabarkan
menjadi kegiatan, sehingga para pelaksana di
lapangan dapat bertindak sesuai dengan
tujuan kebijakan tersebut. Kenyataan yang
sering ditemui adalah terjadinya inkonsistensi
dalam menginterpretasi sehingga
menyebabkan masalah tidak bisa dipecahkan.
Kadangkala terdapat program yang
telah diimplementasikan, namun program
tersebut mengalami kegagalan, karena para
pelaksana tidak belajar dari pengalaman
kegagalan program sebelumnya, sehingga
otomatis implementasi kebijakan juga
mengalami kegagalan. Salah satu
penyebabnya adalah program tersebut lebih
mencerminkan suatu konsensus saja dan tidak
mengindahkan keyakinan yang sesungguhnya
akan keberhasilan program artinya proses
interpretasi dari tujuan kebijakan tidak terkait
langsung dengan tujuan yang sesungguhnya
dari kebijakan.
Interpretasi juga perlu melibatkan
lembaga antar pemerintah (intergovernmental)
dan partisipasi publik, sehingga memungkinkan
kebijakan yang diambil benar-benar dapat
diaplikasikan. Implementor kebijakan harus
merespon pertanyan tentang apa yang dapat
dilakukann saat ini, bagaimana melakukannya,
kapan waktunya. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut membantu implementor untuk
melakukan interpretasi secara jelas, teliti,
konsisten sehingga memberikan dampak pada
penyusunan program.
B. Perumusan Masalah
Berkaitan dengan interpretasi pelaksana
kebijakan terhadap kebijakan pelestarian pohon
Cendana pada kenyataannya belum dilaksanakan
sebagaimana yang diharapkan. Implementasi
kebijakan pelestarian pohon Cendana belum
menggembirakan, terbukti dari program-
program pelestarian masih bersifat rutinitas
sehingga belum mampu menyelesaikan
permasalahan dalam meningkatkan populasi
Cendana. Masalah utama artikel ini adalah
sejauhmana pelaksana kebijakan (implementor)
melakukan interpretasi peraturan daerah (Perda)
kabupaten Timor Tengah Selatan Nomor 25
Tahun 2001 Tentang Cendana.
C. Tujuan Penelitian
Studi ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh faktor interpretasi pelaksana
kebijakan terhadap efektivitas pelestarian
pohon Cendana di Kabupaten Timor Tengah
Selatan (TTS).
D. Metode Penelitian
1. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan eksplanatory
survey, sesuai dengan tujuan penelitian yang
akan menjelaskan hubungan antar variabel,
yaitu Pengaruh faktor interpretasi pelaksana
kebijakan cendana terhadap efektivitas
5
pelestarian pohon cendana. Peneliti
menggunakan desain tersebut karena tidak
hanya menggambarkan dan menjelaskan fakta
empirik yang ditemui dilapangan, tetapi juga
melakukan analisis pengaruh variabel bebas
(interpretasi) dengan variabel terikat
(efektivitas pelestarian).
Penelitian yang merujuk pada desain
eksplanasi tersebut, menggunakan satu
pendekatan yaitu pendekatan kuantitatif.
Pendekatan kuantitatif secara sederhana lebih
merujuk kepada pengumpulan data dan
penganalisaan informasi secara statistikal
dengan menggunakan uji statistik. Melalui
pendekatan ini, data yang dikumpulkan
bersifat kuantitatif dapat menjelaskan
pengaruh faktor interpretasi pelaksana
kebijakan cendana terhadap efektivitas
pelestarian pohon cendana.
2. Populasi dan Sampel
Berdasarkan unit analisis dari penelitian
ini yaitu penyelenggara pelestarian pohon
Cendana, sehingga yang menjadi populasi
adalah semua pihak yang terlibat dalam
penyelenggaraan pelestarian pohon Cendana
yang meliputi : aparat dinas kehutanan
kabupaten TTS, aparat kantor kecamatan di
kabupaten TTS, aparat kantor kepala desa di
kabupaten TTS, kelompok lembaga
pemangku hutan. Jumlah populasi sebanyak
794.
Pemilihan Sampel dari masing-masing
strata dilakukan dengan menggunakan teknik
pengambilan sampel secara acak (simple
random sampling).
Pengaruh Interpretasi terhadap
efektivitas pelestarian pohon cendana di
Kabupaten TTS akan diuji dengan
menggunakan analisis jalur (Path Analysis.
Untuk mendapatkan ukuran sampel minimum
(n) dalam populasi, digunakan rumus Slovin
(Bungin, 2005), sebagai berikut:
n = 21 Ne
N
+
Dimana:
n = Ukuran sampel minimum yang akan
diambil
N = Ukuran Populasi
e = Persentase kelonggaran ketelitian yang
digunakan karena kesalahan
pengambilan sampel yang masih dapat
ditolerir (error). Tingkat error yang
dipakai adalah 7,5 %
Dari Rumus tersebut dapat diketahui
besaran sampel yaitu:
n = 145%)5,7(7941
7942
=+
Peneliti juga menentukan beberapa key
person dari berbagai kelompok masyarakat
dan juga dari kepala dinas kehutanan, kepala
Sub dinas perencanaan pada dinas kehutanan,
dan kepala bidang pada kantor Bappeda
kabupaten Timor Tengah Selatan yang akan
dijadikan sebagai pembanding informasi dari
responden.
3. Skala Penilaian hasil indikator
Berdasarkan jumlah sampel selanjutnya
dibuat pengkategorian hasil yang dicapai oleh
setiap indikator/dimensi dengan menggunakan
rumus:
6
RS= m
mn )1( −
dimana,
n = Jumlah sampel (dalam penelitian ini
145)
m = Jumlah alternatif jawaban tiap item
(5 alternatif)
Berdasarkan analisis data kuesioner
dengan menggunakan rumus diatas diperoleh
rentang kategori indikator/dimensi penelitian
dalam tabel 1
Tabel 1. Kategori indikator/dimensi
No Tingkat
Pencapaian Kategori
1
2
3
4
5
613----729
496----612
379----495
262----378
145----261
Sangat Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat Rendah
Sumber: Husain Umar (2003)
4. Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah: 1) Observasi, 2) Wawancara,
3) Angket, 4) Dokumentasi.
E. Analisis dan Pembahasan
Analisis pengaruh faktor interpretasi
pelaksana kebijakan cendana terhadap
efektivitas pohon pelestarian cendana
dilakukan menggunakan analisis jalur.
1. Deskripsi Hasil Pengukuran Indikator
Interpretasi
Dimensi interpretasi diukur dengan 4
indikator yang meliputi komitmen mengenai
keberhasilan pelestarian, kejelasan program,
konsistensi pelaksanaan program dan
penetapan prioritas.
Berdasarkan perhitungan seluruh
indikator yang berkaitan dengan dimensi
interpretasi, maka dapat ditentukan skor dan
kategori seperti terlihat pada tabel 2.
Tabel 2. Skor Dimensi Interpretasi
No Indikator Skor Kategori
1 Komitmen mengenai
keberhasilan pelestarian
380 sedang
2 Kejelasan program 386 sedang
3 Konsistensi program 381 sedang
4 Penetapan prioritas 379 sedang
Rata-rata Dimensi
Interpretasi
381.5 sedang
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2008
Data pada tabel 2 di atas menunjukkan
bahwa dimensi interpretasi dari implemetasi
kebijakan pelestarian pohon cendana masih
berada pada kategori sedang, artinya
interpretasi aparat dalam menjabarkan
kebijakan tentang pelestarian pohon cendana
masih perlu ditingkatkan.
2. Pengujian Hipotesis
Penelitian ini akan menguji apakah
faktor interpretasi berpengaruh terhadap
efektivitas pelestarian pohon Cendana di
Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi
Nusa Tenggara Timur.
Setelah prosedur pengujian simultan H0
ditolak, dan disimpulkan terdapat pengaruh
faktor interpretasi pelaksana kebijakan
cendana terhadap efektivitas pelestarian
pohon Cendana di Kabupaten Timor Tengah
Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Pengukuran kebermaknaan (signifikansi)
pengaruh variabel independen (faktor
7
interpretasi) terhadap variabel dependen
(efektivitas pelestarian), maka dilakukan
pengujian dengan uji t.
Hipotesis yang diajukan adalah faktor
interpretasi berpengaruh terhadap efektivitas
pelestarian pohon Cendana di Kabupaten
Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa
Tenggara Timur”.
Statistik uji yang digunakan adalah uji t,
dimana thitung dapat dihitung melalui formula
berikut:
1
0,3195,478
(1- 0,7946) 2,332
145 -3-1
t = =×
2
0,4889,251
(1- 0,7946) 1,913
145 - 3-1
t = =×
3
0,1993,182
(1- 0,7946) 2,694
145-3-1
t = =×
Keterangan:
Angka 3 menunjukkan 3 dimensi penelitian,
namun dalam tulisan ini penulis hanya
menampilkan 1 dimensi/faktor yaitu faktor
interpretasi.
Selanjutnya nilai tersebut dibandingkan
dengan nilai t tabel untuk n = 145 dengan taraf
kesalahan 5% dan dk = n–k–1 = 145-3-1 =
141 adalah 1,977.
Hasil perbandingan antara t hitung dengan
t tabel dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3. Uji Hipotesis Pengaruh X terhadap Y
Hipotesis Koefisien
Jalur t hitung p-value t tabel
Kesimpulan
Statistik
Faktor
interpretasi
mempunyai
pengaruh
terhadap
efektivitas
pelestarian
pohon
Cendana
0,488 9,251 0,000 1,977 H0 ditolak,
terdapat
pengaruh
faktor
interpretasi
terhadap
efektivitas
pelestarian
pohon
Cendana
Sumber : Data Primer Hasil Penelitian 2008 (diolah)
Hasil pengujian hipotesis untuk melihat
pengaruh parsial dapat diuraikan sebagai
berikut
Pengaruh faktor interpretasi secara
parsial terhadap efektivitas pelestarian pohon
Cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan
Provinsi Nusa Tenggara Timur ditunjukkan
oleh koefisien jalur pYX2 sebesar 0,488. Hasil
perhitungan diperoleh thitung sebesar 9,251 dan
nilai ttabel untuk α=0,05 dan derajat bebas
145-3-1= 141 sebesar 1,977.
Hipotesis :
H0 : ρYX2 = 0 Tidak terdapat pengaruh
faktor interpretasi terhadap
efektivitas pelestarian pohon
Cendana di Kabupaten
Timor Tengah Selatan
Provinsi Nusa Tenggara
Timur
H1 : ρYX2 ≠ 0 Terdapat pengaruh faktor
interpretasi terhadap
efektivitas pelestarian pohon
Cendana di Kabupaten
Timor Tengah Selatan
Provinsi Nusa Tenggara
Timur
Hasil uji empiris menyatakan penolakan
terhadap H0 atau dengan kata lain menerima
H1 karena diperoleh thitung = 9,251 > ttabel =
1,977 dan nilai signifikan (p-value) untuk X2
8
lebih kecil dari α = 0,05. Diperoleh hasil
pengujian hipotesis terdapat pengaruh yang
bermakna pengaruh faktor interpretasi
terhadap efektivitas pelestarian pohon
Cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan
Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Berdasarkan hasil perhitungan koefisien
menunjukkan bahwa faktor interpretasi pada
implementasi kebijakan tentang cendana
secara signifikan mempengaruhi efektivitas
pelestarian pohon cendana di kabupaten
Timor Tengah Selatan provinsi Nusa
Tenggara Timur.
3. Besar Pengaruh faktor interpretasi
Terhadap Efektivitas pelestarian pohon
Cendana di Kabupaten Timor Tengah
Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur
Dari hasil pengujian pada bagian di atas
diperoleh kesimpulan terdapat pengaruh yang
signifikan (nyata) secara bersama-sama dan
secara parsial variabel implementasi
kebijakan tentang Cendana yang terdiri atas
Dimensi organisasi, Dimensi interpretasi dan
Dimensi aplikasi terhadap efektivitas
pelestarian pohon Cendana di Kabupaten
Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa
Tenggara Timur
Besar pengaruh faktor interpretasi
terhadap efektivitas pelestarian cendana
adalah sebagai berikut :
Pengaruh X2 = Pyx2 . Pyx2
terhadap Y
langsung = 0,488 x 0,488 = 0,2386
Pengaruh X2
terhadap Y
melalui X1
= Pyx2 . rx1x2 . Pyx1
= 0,488 x 0,606 x 0,319 = 0,0945
Pengaruh X2
terhadap Y
melalui X3
= Pyx2 . rx2x3 . Pyx3
= 0,488 x 0,672 x 0,199 = 0,0655
Total Pengaruh = 0,3985
Besar Pengaruh Dimensi interpretasi
Terhadap Efektivitas pelestarian pohon
Cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan
Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Hasil perhitungan memperlihatkan
bahwa kontribusi (pengaruh) langsung
Dimensi interpretasi terhadap efektivitas
pelestarian pohon Cendana di Kabupaten
Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa
Tenggara Timur adalah sebesar 23,86%.
Sementara itu adanya dua sub variabel
implementasi kebijakan tentang Cendana
lainnya yang saling berhubungan dengan
Dimensi interpretasi memperbesar pengaruh
Dimensi interpretasi terhadap efektivitas
pelestarian pohon Cendana di Kabupaten
Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa
Tenggara Timur yang ditunjukkan oleh
pengaruh tidak langsung melalui dimensi
organisasi sebesar 9,45% serta yang melalui
dimensi aplikasi sebesar 6,55%. Hasil yang
diperoleh menunjukan pengaruh Dimensi
interpretasi dari implementasi kebijakan
tentang Cendana terhadap efektivitas
pelestarian pohon Cendana di Kabupaten
Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa
Tenggara Timur semakin besar ditunjang oleh
9
sub-variabel implementasi kebijakan tentang
Cendana yang lain.
Secara total pengaruh total pengaruh
Dimensi interpretasi terhadap efektivitas
pelestarian pohon Cendana di Kabupaten
Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa
Tenggara Timur adalah 39,85% dengan arah
yang positif, yang berarti semakin baik
Dimensi interpretasi akan menjadikan
semakin tinggi efektivitas pelestarian pohon
Cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan
Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Dengan demikian menunjukkan
bahwa baik secara langsung maupun tidak
langsung, yaitu melalui dimensi lain dari
implemementsi kebijakan, dimensi
interpretasi berpengaruh terhadap efektivitas
pelestarian pohon cendana di kabupaten
Timor Tengah Selatan provinsi Nusa
Tenggara Timur.
4. Pembahasan:
Sehubungan dengan kegiatan
menafsirkan kebijakan pelestarian pohon
cendana di kabupaten Timor Tengah Selatan
ini, teori implementasi kebijakan publik dari
Jones (1984) belum diterapkan secara baik
oleh para implementor kebijakan Cendana
sehingga efektivitas pelestarian pohon
Cendana belum berjalan sebagaimana yang
diinginkan, kondisi tersebut berimplikasi pada
tingkat populasi pohon Cendana di
Kabupaten Timor Tengah Selatan yang
mengalami penurunan yang cukup berarti,
sebagaimana terlihat pada tabel 4.
Tabel 4. Populasi Pohon cendana di Kabupaten
Timor Tengah Selatan
Tahun
Diamter
> 30 Cm
(pohon
yang tua)
Diameter
< 30 Cm
(pohon
yang muda)
Total
2001 71.652 260.550 332.202
2002 41.427 209.513 250.940
2003 21.052 91.658 112.710
2004 15.745 60.975 76.720
2005 14.253 56.367 70.620
Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten TTS, 2010
Hasil Penelitian menunjukkan
interpretasi (X) dengan indikator: komitmen
mengenai keberhasilan program pelestarian,
kejelasan program, konsistensi program, dan
penetapan prioritas program pelestarian. Hasil
uji statistik diperoleh angka koefisien jalur
0,488 dengan pengaruh total X ke Y adalah
39,85 % arah positif. Dari hasil penelitian
dimensi interpretasi ini memperjelas bahwa
interpretasi suatu kebijakan berpengaruh
terhadap implementasi kebijakan publik.
Artinya semakin baik interpretasi yang
dilakukan oleh aparatur maka akan semakin
efektif pula pelestarian pohon cendana di
Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Pentingnya interpretasi terhadap
kebijakan publik oleh aparatur sejalan dengan
pendapat Edward III (1980:17); Besley
(2010), yang menyatakan bahwa kebutuhan
utama bagi efektivitas pelaksanaan kebijakan
adalah bahwa implementor harus mengetahui
secara jelas apa yang seharusnya dilakukan.
Jika kebijakan ingin dilaksanakan dengan
tepat, arahan, dan petunjuk pelaksanaan tidak
hanya diterima tetapi juga harus jelas.
Ketidakjelasan mengenai apa yang
seharusnya dilakukan implementor
10
menyebabkan kebingungan bagi mereka,
sehingga pada akhirnya mereka bertindak
berbeda dengan pandangan dari atasan
mereka. Sejalan dengan pandangan ini
ditegaskan pula bahwa:
Berdasarkan hasil penelitian pengaruh
faktor interpretasi terhadap efektivitas
pelestarian pohon cendana di Kabupaten
Timor Tengah Selatan menunjukkan bahwa
jawaban responden umumnya berada pada
kategori kurang sesuai. Untuk indikator
tentang komitmen untuk pelestarian 47,6 %
responden menyatakan kurang memiliki
komitmen. Indikator kejelasan program,
51,7 % responden menyatakan bahwa
program-program pelestarian adalah tidak
jelas. Indikator konsistensi program 38,6 %
responden menyatakan program yang ada
kurang konsisten. Indikator mengenai
penetapan prioritas, terdapat 38,6 %
responden menyatakan implementor
kebijakan kurang menyusun prioritas untuk
program pelestarian.
Fenomena ini kemudian dikaji lebih
jauh kepada responden dan informan kunci
yang memahami secara jelas kondisi
pelestarian pohon cendana di Kabupaten
Timor Tengah Selatan, berdasarkan hasil
wawancara diketahui beberapa hambatan
menyangkut interpretasi dari kebijakan
pelestarian, yaitu:
1. Interpretasi sulit dilakukan oleh
implementor oleh karena implementor
sudah terbiasa melaksanakan tugas
berdasarkan petunjuk-petunjuk yang ada.
Para pelaksana kurang mampu mengambil
tindakan diluar dari petunjuk yang ada.
padahal seringkali mereka dihadapkan
pada ketiadaan petunjuk-petunjuk
tersebut, misalnya dalam kasus pelestarian
pohon cendana ini belum ada semacam
juklak dan juknis yang bersifat baku.
2. Umumnya para pengambil kebijakan dan
pelaksana kebijakan memiliki komitmen
yang relatif rendah terhadap upaya
pelestarian pohon cendana. Rendahnya
komitmen mereka diidikasikan dari (1)
program-program pelestarian pohon
cendana bukan program prioritas bidang
pelestarian, masih ada program yang lain
yang lebih utama misalnya penanaman
pohon jati dan pohon kemiri (2) alokasi
anggaran yang disediakan untuk proyek
pelestarian pohon cendana relatif sangat
sedikit (3) penerbitan Keputusan Bupati
Timor Tengah Selatan No.8 Tahun 2002
tentang penetapan harga dasar jual kayu
cendana, padahal sebenarnya tidak perlu
ada surat keputusan ini, karena akan
semakin menghabiskan populasi pohon
cendana di Kabupaten Timor Tengah
Selatan.
3. Motivasi dari para implementor untuk
melestarikan pohon cendana menjadi
menurun disebabkan oleh karena pohon
cendana ini adalah merupakan tanaman
yang membutuhkan perlakuan istimewa/
khusus yang berbeda dari tanaman lain,
sebagaimana diketahui bahwa keberhasilan
tumbuh cendana dari anakan menjadi pohon
11
yang tegakannya berumur 2 tahun adalah
maksimal 20 %. Selain itu juga
dipengaruhi oleh minat masyarakat untuk
menanam pohon cendana sangat rendah
akibat dari perlakuan pemerintah kepada
masyarakat yang mengabaikan hak-hak
mereka.
4. Menonjolnya pengaruh interpretasi
terhadap efektivitas pelestarian pohon
cendana karena interpretasi dari para
pelaksana kebijakan memegang peranan
utama untuk menterjemahkan substansi
kebijakan tentang Cendana di kabupaten
Timor Tengah Selatan. Keberhasilan para
pelaksana tersebut untuk menginterpretasi
secara benar kebijakan tentang cendana
akan mempengaruhi komitmen mereka
dalam menyukseskan program-program
pelestarian yang dicanangkan, dan juga
memahami dengan jelas program
pelestarian sehingga mengarahkan
tindakan mereka untuk senantiasa
konsisten dalam menyusun program
berikutnya sebagai program yang
prioritas. Dimensi ini menonjol
pengaruhnya dalam kegiatan pelestarian
pohon cendana di kabupaten Timor
Tengah Selatan karena didukung oleh
beberapa tenaga teknis yang dimiliki oleh
Dinas Kehutanan kabupaten Timor
Tengah Selatan yang berkualifikasi
sarjana kehutanan dan berbagai kegiatan
pelatihan yang pernah mereka ikuti yang
berhubungan dengan manajemen
pelestarian dan teknik kultivasi sehingga
menjadi modal bagi mereka untuk
melakukan interpretasi dengan baik
terhadap kebijakan pelestarian pohon
cendana.
5. Faktor lain yang berpengaruh
1. Partisipasi Masyarakat
Menurut Holden (2010), dan Thomas
et al (2012) partisipasi masyarakat meliputi
berbagai bentuk :
a. Participation in decision making,
adalah partisipasi masyarakat dalam
pembuatan keputusan dan
kebijaksanaan organisasi.
b. Participation in implementation, adalah
partisipasi dalam kegiatan pelaksanaan
putusan yang ditetapkan.
c. Participation in benefit, adalah
partisipasi dalam pemanfaatan hasil-
hasil pembangunan yang telah dicapai.
d. Participation in evaluation, adalah
partisipasi dalam bentuk keikutsertaan
menilai serta mengawasi kegiatan
pembangunan dan hasil-hasilnya.
Sejalan dengan itu Mohan (2007)
membagi jenis partisipasi dalam pembangunan
sebagai berikut :
a. Participation in decesion making
(partisipasi dalam pengambilan
keputusan)
b. Participation in implementation of
development programmers and projects
(partisipasi dalam pelaksanaan program
dan pembangunan)
12
c. Participation in sharing the benefits of
development (partisipasi dalam berbagai
manfaat pembangunan).
d. Participation in monitoring and
evaluation of development programmers
and projects (partisipasi dalam bentuk
pengawasan dan evaluasi program serta
proyek pembangunan).
Dengan demikian partisipasi atau
peran serta mengandung arti (1) turut
memikul “tanggung Jawab” tertentu secara
proporsional, kemampuan, peran masing-
masing, serta tantangan pembangunan yang
dihadapi sehingga (2) memberi manfaat
dalam pencapaian tujuan bersama secara
optimal.
Berkaitan dengan upaya melestarikan
tanaman cendana di Kabupaten Timor Tengah
Selatan (TTS), maka ada 3 aspek penting
menurut Gunawan (2002) yang perlu
mendapat perhatian yaitu law enforcement
(pelaksanaan hukum), conservation campaign
(penyuluhan tentang pentingnya pelestarian)
dan prosperity approach (pendekatan
kemakmuran), ketiga aspek tersebut saling
menunjang untuk mencapai keberhasilan
pelestarian cendana. Tanaman cendana yang
merupakan unggulan bagi masyarakat dan
pemerintah daerah yang memiliki nilai
historis dan banyak memberikan manfaat bagi
masyarakat dan daerah Kabupaten TTS akan
mengalami kepunahan manakala pelestarian
tidak berhasil, oleh karena upaya pelestarian
ini sangat menentukan masa depan pohon
cendana.
Pengelolaan kegiatan pelestarian
tanaman cendana perlu didasarkan pada prinsip
partisipatif, transparan, berkesinambungan,
akuntabilitas serta efisiendan efektif. Sistem
rehabilitasi merupakan sistem yang terbuka,
yang melibatkan para pihak yang
berkepentingan. Dengan demikian pada
prinsipnya rehabilitasi tanaman cendana
diselenggarakan atas inisiatif bersama para
pihak, Dengan kata lain rehabilitasi
dilaksanakan melalui partisipasi masyarakat.
Pengalaman menunjukkan bahwa
masyarakat kurang berpartisipasi dalam upaya
pelestarian tanaman cendana karena
kebijaksanaan yang ditempuh oleh
pemerintah cenderung mengabaikan nilai
keadilan sosial dan hak-hak masyarakat
untuk mendapatkan manfaat dari pengelolaan
cendana (Rohadi et al, 2002). Bagaimana
dapat dikatakan adil tindakan pemerintah jika
pohon Cendana yang tumbuh pada lahan
milik masyarakat/petani diregistrasi dan
diwajibkan untuk dipelihara sampai besar.
Selanjutnya masyakat tidak berhak atas
kepemilikannya, atau bila terjadi kematian
atas pohon tersebut masyarakat mendapatkan
sanksi berupa denda atau kerja bakti di kantor
desa.
Kebanyakan pendekatan yang
digunakan adalah sistem “top down” yang
cenderung memberikan suara dan wewenang
kepada kepentingan penguasa, sedangkan
kepentingan dan kebutuhan masyarakat lokal
13
kurang diperhatikan. Hal ini mengakibatkan
berkurangnya akses penduduk lokal terhadap
sumber daya bagi kesejahteraannya, suara
mereka kurang terwakili dalam proses
pengambilan keputusan.
Diperlukan kebijakan yang lebih
mudah dan konsisten, sehingga lembaga-
lembaga yang berkepentingan dalam rangka
pelestarian cendana dapat memainkan
perannya dan menerapkan sistem yang
efektif. Menurut temuan Marks (2002) bahwa
pengelolaan Cendana oleh pemerintah daerah
tidak efisien dan tidak adil karena hasil dan
manfaat dari pengelolaan lebih banyak
dinikmati oleh pemerintah daerah, ini
merupakan suatu ujian kebijakan
desentralisasi politik ekonomi.
2. Nilai-nilai (Values)
Menurut Colebatch (2010), bahwa
keberhasilan suatu kebijakan sangat
ditentukan oleh Sejauhmana kebijakan
tersebut memperhatikan nilai-nilai yang
dianut, baik dari pelaksana kebijakan maupun
nilai yang berlaku di masyarakat dimana
kebijakan tersebut diterapkan.
Nilai dalam organisasi pada
hakekatnya sesuatu yang dianggap penting
untuk dijadikan pedoman dalam mencapai
suatu tujuan bersama. Schein (1985) nilai
dinyatakan sebagai:
“Asumsi dasar, yang ditemukan atau
dikembangkan oleh sekelompok orang
ketika mereka belajar mengatasi
masalah adaptasi eksternal dan
integrasi internal, yang telah berhasil
baik sehingga dianggap absah untuk
diajarkan kepada para anggota sebagai
pedoman berperilaku”.
Dari pandangan diatas, maka sistem
nilai dapat dinyatakan sebagai suatu susunan
prinsip dan aturan untuk membantu seseorang
memilih alternatif, mengatasi konflik, dan
membuat keputusan, nilai terwujud menjadi
budaya. Tachjan (2006), lebih jauh
mengemukakan bahwa:
“Norma-norma perilaku dan pola
sikap merupakan seperangkat nilai
dari adanya kebersamaan pengertian
(shared meaning) para anggota
organisasi dalam kepercayaan, asumsi,
persepsi, preferensi, pandangan dan
sikapnya dalam mengatasi masalah.
Shared meaning, shared
understanding, atau collective mind,
adalah kebersamaan pengertian para
anggota organisasi dalam memiliki
dan menggunakan nilai-nilai sebagai
ciri khas, berlaku lama, berbeda dari
organiasi lain, dan dapat diajarkan dari
generasi ke generasi berikutnya”.
Nilai-nilai ini yang menciptakan
artifak yang berupa teknologi, seni, pola
perilaku. Nilai-nilai ini timbul disebabkan
oleh adanya asumsi dasar yang berkaitan
dengan saling hubungan dengan
lingkungannya, sifat dari realitas waktu dan
tempat; sifat dari alam manusia; sifat dari
aktivitas manusia; dan sifat dari hubungan
manusia.
Nilai-nilai bersama akan menjadi pegangan
anggota organisasi dalam menjalankan
kewajiban dan merupakan landasan
berperilaku, serta menjadi pedoman untuk
menghadapi persoalan eksternal dan usaha
penyesuaian integrasi ke dalam organisasi
14
sehingga mereka mengetahui bagaimana
mereka harus bertindak.
Dari sisi organisasi, secara strategis
keberhasilan organisasi mencapai tujuannya
menurut Thompson (1999), tergantung pada
kesesuaian beberapa dimensi yang ada pada
organisasi yaitu, dimensi lingkungan
(environment), dimensi Sumber daya
(resources), dan dimensi nilai (values),
Thompson (1999:280) mengemukakan:
“How effective strategic management
implies a congruence between an
organization’s environment, its
resources and its values and culture.
The environment is the source of
opportunities and threats-external key
success factors. Resources constitute
strengths and weaknesses. Strategic
compentencies and capabilities which
either match, or fail to match,
environmental needs…. the values of
E-V-R analysis is fact that it provide a
straightforward framework for
assessing the organisation’s existing
strategic and strategic needs”.
Nilai-nilai yang terdapat pada
organisasi mendukung keberhasilan tujuan
organisasi sangat bergantung kepada
kepemimpinan yang kuat dengan kejelasan
misi, tujuan, dan nilai-nilai itu sendiri.
Persoalan tentang pentingnya
dimensi nilai atau faktor lingkungan dalam
implementasi kebijakan publik telah
dimasukkan oleh beberapa penulis antara lain,
Smith (2004); Rhodes and Wanna (2007).
Sedangkan Preuss dan Dixon (2012),
mengemukakan faktor lingkungan sebagai
salah dimensi untuk melihat implemetasi
kebijakan publik. Faktor lingkungan adalah
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi atau
dipengaruhi oleh penerapan kebijakan, dapat
berupa kondisi budaya, sosial, politik, dan
ekonomi. Pemahaman atas pengaruh faktor
lingkungan memang sangat penting karena
kebijakan publik tidak mungkin terlepas dari
pengaruh lingkungan dimana kebijakan itu
dibuat dan dilaksanakan, termasuk dalam
faktor lingkungan adalah kultur politik, opini
masyarakat, sistem sosial, dan sistem
perekonomian.
F. Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil penelitian
dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa:
Faktor interpretasi pelaksana
kebijakan Cendana secara signifikan
berpengaruh terhadap efektivitas pelestarian
pohon Cendana di kabupaten Timor Tengah
Selatan provinsi Nusa Tenggara Timur. Hal
ini menunjukkan bahwa peranan interpretasi
merupakan media pendekatan dalam
meningkatkan efektivitas pelestarian pohon
Cendana di kabupaten Timor Tengah Selatan
provinsi Nusa Tenggara Timur. Interpretasi
para pelaksanan kebijakan cendana
seharusnya diingkatkan lagi agar efektivitas
pelestarian pohon cendana tercapai.
Selain itu terdapat faktor lain yang
perlu mendapat perhatian jika efektivitas
pelestarian pohon cendana di Kabupaten
Timor Tengah Selatan (TTS) Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT) ingin ditingkatkan.
Faktor lain tersebut adalah faktor partisipasi
masyarakat dan faktor nilai-nilai yang
15
berlaku, baik nilai pada aparat pelaksana
maupun pada masyarakat yang menjadi
target/sasaran pelestarian.
2. Saran-saran
a. Bagi aspek keilmuan
Saran-saran yang bersifat
pengembangan aspek keilmuan yang dapat
penulis kemukakan adalah sebagai berikut:
1. Hasil temuan penelitian menunjukkan
adanya dukungan terhadap teori
implementasi kebijakan dari Jones (1984)
yang berdimensi organisasi, interpretasi,
dan aplikasi dengan efektivitas pelestarian
pohon cendana. Karena adanya
keterbatasan dalam penelitian ini, maka
diperlukan tindak lanjut melalui penelitian
berikutnya, agar teori dari Jones(1984)
yang didukung oleh hasil penelitian ini
menjadi lebih teruji lagi. Urgensi penelitian
lanjutan tersebut karena kenyataannya
penelitian ini hanya memfokuskan kepada
pengujian kebermaknaan dan pengukuran
terhadap efektivitas pelestarian pohon
Cendana di kabupaten Timor Tengah
Selatan (TTS) Provinsi Nusa Tenggara
Timur (NTT).
2. Penelitian ini menggunakan metode
eksplanatori survey dalam desain
kuantitatif. Untuk memperoleh pemahaman
mendalam tentang proses implementasi
kebijakan Cendana khususnya faktor
interpretasi, maka diperlukan model yang
lebih komprehensif dan baku sehingga
dapat menjelaskan dimensi interpretasi
secara utuh.
3. Dalam penelitian ini ditemukan faktor lain
yang berpengaruh dalam implementasi
kebijakan publik. Oleh karena itu
diharapkan dilakukan penelitian lanjutan
dalam rangka memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan bidang ilmu administrasi
publik, khususnya tentang implementasi
kebijakan.
b. Bagi aspek guna laksana (praktis)
Saran-saran yang bersifat guna laksana
(praktis) yang penulis dapat kemukakan
adalah sebagai berikut:
1. Dalam rangka meningkatkan efektivitas
pelestarian pohon Cendana di kabupaten
Timor Tengah Selatan provinsi Nusa
Tenggara Timur, maka diharapkan pula
upaya peningkatan efektivitas interpretasi
oleh para pelaksana kebijakan pelestarian
Cendana.
2. Peningkatan efektivitas interpretasi dalam
implementasi kebijakan tentang Cendana
dapat dilakukan melalui cara merubah pola
pikir (mindset) penentu kebijakan dan
implementor dari sekedar menjalankan
rutinitas tugas menjadi tugas mulia bagi
kepentingan generasi kini dan generasi
mendatang; dari berpikir jangka pendek
menjadi berpikir jangka panjang sehingga
membentuk pola pikir yang berkomitmen
mewujudkan keberhasilan pelestarian
pohon Cendana di kabupaten Timor
Tengah Selatan provinsi Nusa Tenggara
Timur.
16
3. Untuk membantu proses pengambilan
kebijakan berikutnya yang bersifat
operasional dalam meningkatkan
efektivitas pelestarian pohon Cendana,
maka diperlukan pendataan ulang (up date)
data-data dasar (date base) yang
menyangkut luas areal/lahan yang sudah
dan yang belum ditanami, jumlah yang
pasti dari populasi pohon Cendana, data
sertifikasi areal baik yang dimiliki oleh
masyarakat maupun oleh pihak swasta.
4. Peningkatan faktor lainnya yang turut
berpengaruh terhadap efektivitas
pelestarian pohon Cendana adalah
perhatian pada faktor nilai-nilai. Perhatian
pada faktor ini dapat dilakukan melalui
sosialisasi Peraturan Daerah nomor 25
tahun 2001 agar masyarakat memahami
mengenai adanya perubahan mengenai
hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat dari
kegiatan pembudidayaan pohon cendana;
melaksanakan hukum secara konsekwen
dari berbagai pelanggaran menyangkut
Cendana dan terakhir perlu dilakukan
peningkatan kesejahteraan masyarakat di
lingkungan lokasi pelestarian pohon
Cendana.
Daftar Pustaka
Allin, Craig W. 2008. The Politics of
Wilderness Preservation. University
of Alaska Press, Fairbanks.
Besley, J.C. 2010. “Public Engagement and
Impact of Fairness Perception on
Decision Favorability and
Acceptance”, Science
Communication, 32. 256-280.
Bungin, Burhan. 2005. Metode Penelitian
Kuantitatif. Prenada Media, Jakarta.
Colebath, Hal. 2010. ”Valuing Public Value:
Recognizing and Applying
Knowledge about the Policy
Process”, Australian Journal of
Public Policy, 66. 66-78
Edward III, George.1980. Implementing
Public Policy. Congresional Quartely
Press, Washinton DC
Gunawan, Rimbo. 2002. Power, Meaning,
And Forest Conservation: The
Dynamics of State-Society
Relation.Tidak dipublikasi, Bandung.
Holden, Meg. 2010. “Public Participation and
Local Sustainability: Questioning a
common Agenda in Urban
Governance”, International Journal
of Urban and Regional Research, 35.
312-329.
Jones, C. O, 1984. An Introduction to the
Study of Public Policy. Third
Edition. Wadsworth, Inc, California.
Jones, Michael D., and Mark K. McBeth.
2010. "A Narrative Policy
Framework: Clear Enough to be
Wrong?" Policy Studies Journal 38.
329-353.
Kochtcheeva, Lada.V. 2009. “Administrative
Discretion and Environmental
Regulation: Agency Substantive
Rules and Court Decisions in U.S.
Air and Water Quality Policies”,
Review of Policy Research, 26. 241–
265.
Marks S.V. 2002. “NTT Sandalwood: Roots
of Disaster”, Bulletin of Indonesia
Economic Studies, 38. 223-240.
Marsh, D. And McConnel, A. 2010. ” Toward
A Framework for Establishing Policy
Success”, Public Administration, 88.
564-583.
17
Matheson, Craig. 2009. ”Understanding the
Policy Process: The Work of Henry
Mintzberg”, The American Society
for Public Administration, 69. 1148-
1161.
Mohan, Gile. 2007. ”Participatory
Development: Fraom Epistemological
Reversals to Active Citizenship”.
Geography Compass, 1. 779-796.
Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan.
2001. Peraturan Daerah (Perda)
Kabupaten Timor Tengah Selatan
Nomor 25 Tahun 2001 Tentang
Cendana.
Preuss, Karissa., and Madeline Dixon. 2012.
“Looking after Coutry Two-Ways:
Insights into Indigenous Community-
Based Conservation from the
Southern Tannami”, Ecological
Management & Restoration, 13. 2-15
Rhodes, R.A.W., and John Wanna. 2007.
“The Limit to Public Value, or
Rescuing Responsible Government
from the Platonic Guardians”, The
Australian Journal of Public
Administration, 66. 406-421.
Rohadi, Dede. Retno Maryani.,Made
Widyana.,dan Irdez Azhar. 2002. A
Case Study of The Production-to-
Consumtion System of Sandalwood
(Santalum Album) in South Central
Timor, Indonesia.
http://www.cifor.cgior.org/scrip/new
scripts/publication. Diakses tanggal
23/5/2006.
Schein, Edgar H. 1985, Organization Culture
and Leadership: A Dynamic View.
Jossey Bass, San Fransisco.
Sinlae, Yonatan,.A.N.P.Lango. 2002. Kajian
Program Regenerasi Cendana
(santalum Album, L) di Daerah Nusa
Tenggara Timur. Kupang: Laporan
Hasil Penelitian. Faperta Undana
Smith, R.F.I. 2004. ”Focusing on Public
Value: Something New and
Something old”, Australian Journal
of Public Administration, 66. 406-
421.
Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan
Publik. AIPI Bandung-Puslit KP2W
Lemlit Unpad, Bandung.
Thomas, Ruth., Katherine Whybrow., and
Cassandra Scharber. 2012. “A
Conceptual Exploration of
Participation Section III: Utilitarian
Perspective and Conclution”,
Educational Philosophy and Theory,
44. 801-817.
Thompson, J. L. 1999. “A Strategic
Perspective of Entrepreneurship”
International Journal of
Entrepreneurial Behavior &
Research, 5. 279-296.
Umar, Husain,. 2003. Metode Riset Perilaku
Konsumen Jasa, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
White, Dave D., Elizabeth A.Corley., and
Margareth S.White. 2008. “Water
Managers Perceptions of The
Science-Policy Interface in Phoenix,
Arizona: Implications for an
Emerging Boudary Organization”,
Society&Natural Resources, 21. 230-
243.
18
STRATEGI PENGEMBANGAN USAHATANI KEDELAI DI KABUPATEN GROBOGAN
DENGAN PENDEKATAN ANALYSIS HIERARCHY PROCESS (AHP)
Avi Budi Setiawan; Fafurida
Universitas Negeri Semarang
Email: [email protected]
Abstract
Soybean is one of the agricultural commodity Grobogan. Soybean commodity is widely cultivated
by farmers because the topography is consistent with the characteristics of the soil in Grobogan. In
2010 soybean production Grobogan is most widely in Central Java. However, Indonesia is still
dependent on imported soybeans, especially in times of shortages of soybeans. This is partly also
due to soybean production in soybean-producing region is very volatile while soybean demand in
the market tends to increase. So, we need a strategy development of soybean farming in Grobogan.
The goals to be achieved from the preparation of this study was to analyze the condition of soybean
farming in Grobogan and obtain soybean farming development strategy in Grobogan based
approach Analysis of Hierarchy Process. Alternative measures a priority to develop soybean are:
Provision of continuous production factors and affordable, production factor subsidies, assistance to
farmers, extension and education on effective post-harvest handling, Counseling institutional
strengthening of farmer groups, and technical assistance (equipment, factors of production, training)
to farmers. sedagkan least priority are: Incentives for active farmer organizations, cooperatives
Revitalization and extension services and farmer partnerships with major employers
Keywords: Soybean, Analysis of Hierarchy Process
A. Pendahuluan
Pada era globalisasi dewasa ini dengan
salah satu isu utamanya adalah ketahanan
pangan maka sektor pertanian merupakan
salah satu sektor utama yang memegang
peranan penting dalam pembangunan
ekonomi di Indonesia. Pertanian merupakan
salah satu faktor penting mengingat
kebutuhan konsumen akan pangan sangatlah
besar, mata pencaharian sebagian besar
penduduk Indonesia juga berasal dari sektor
agraris. Pada abad modernisasi ini
pengembangan sektor pertanian harus
dilakukan mengingat komoditas pertanian
tidak hanya menjadi barang konsumsi namun
juga komoditas industri baik sebagai bahan
baku, maupun barang siap konsumsi.
Sektor pertanian di Indonesia merupakan
salah satu sektor utama penggerak
perekonomian hal ini dibuktikan dengan
kontribusi sektor pertanian terhadap PDB
Indonesia merupakan yang terbesar kedua
setelah sektor industri. Dalam
pengembangannya sektor pertanian masih
terkonsentrasi di pulau jawa terutama untuk
komoditas tanaman pangan sehingga pulau
jawa dapat dikatakan merupakan penopang
sektor pertanian di Indonesia. Dimana dalam
kontribusinya terhadap peta pertanian
nasional provinsi Jawa Tengah merupakan
salah satu wilayah agraris utama di pulau
jawa.
Jawa Tengah merupakan salah satu
sentra produksi utama komoditi tanaman
pangan dan hortikultura di Indonesia
19
(Sucihatiningsih: 2010). Beberapa komoditi
palawija seperti jagung, kedelai, kacang hijau,
dan kacang tanah merupakan potensi yang
cukup besar sebagai pangan alternatif, sumber
zat gizi dan pengembangan agroindustri,
sedangkan beberapa komoditi hortikultura
(bawang merah, bawang putih, cabe, kubis,
kentang, mangga, durian, rambutan, salak,
kelengkeng) merupakan komoditi agribisnis
serta menjadi unggulan regional Provinsi ini.
Kabupaten Grobogan adalah Kabupaten
dengan luas wilayah terluas ke 3 di Jawa
Tengah terdiri dari 18 kecamatan. Dengan
potensi luas wilayah yang besar menjadikan
Kabupaten Grobogan sebagai salah satu
lumbung pangan di Jawa Tengah bahkan
Indonesia, mayoritas penduduk Kabupaten
Grobogan juga bekerja di sektor pertanian.
Sektor pertanian merupakan penyumbang
terbesar dalam PDRB Kabupaten Grobogan
dari tahun ke tahun. Dengan luas lahan
pertanian yang besar serta ketersedian
berbagai faktor produksi dan output sektor
pertanian yang besar serta terdapat berbagai
macam komoditas pertanian unggulan (padi,
jagung, kedelai) maka pengembangan sektor
pertanian di Kabupaten Grobogan perlu
dilakukan guna peningkatan daya saing sektor
pertanian dan peningkatan kesejahteraan
petani
Kedelai merupakan salah satu
komoditas andalan pertanian Kabupaten
Grobogan. Komoditas kedelai ini banyak
diusahakan oleh petani karena secara
topografi memang sesuai dengan karakteristik
tanah di Kabupaten Grobogan, oleh karena itu
kedelai dapat tumbuh subur dan
menguntungkan ketika dibudidayakan.
Hingga tahun 2011 produksi kedelai
Kabupaten Grobogan adalah salah satu paling
banyak di Jawa Tengah, bahkan telah
dipatenkan benih unggul kedelai yang
dikembangkan di Kabupaten Grobogan
dengan nama kedelai Varietas Grobogan.
Selain itu, Kabupaten Grobogan merupakan
salah satu sentra komoditas kedelai utama di
Indonesia. Produksi kedelai dari Grobogan
merupakan salah satu penopang utama
terhadap total produksi kedelai nasional.
Tabel 1
Produksi, Kedelai Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2011 (dirinci per Kabupaten)
Kabupaten Luas
Panen
(Ha)
Produksi
(Ton)
Produktivitas
(Ku/ Ha)
Cilacap 3.233 3.693 11,42
Banyumas 4.051 7.14 17,63
Purbalingga 204 306 15,00
Banjarnegara 491 522 10,63
Kebumen 8.403 11.562 13,76
Purworejo 3.062 1.526 4,98
Wonosobo 12 15 12,51
Magelang - - -
Boyolali 2.478 4.082 16,47
Klaten 4.228 6.266 14,82
Sukoharjo 2.722 4.325 15,89
Wonogiri 18718 22.359 11,95
Karanganyar 617 846 13,71
Sragen 3140 4.166 13,27
Grobogan 7350 14.582 19,84
Blora 3.548 4.004 11,29
Rembang 4.256 3.732 8,77
Pati 2.801 3.335 11,91
Kudus 169 144 8,52
Jepara 61 48 7,88
Demak 2.99 7.24 24,21
Semarang 326 411 12,61
Temanggung 8 16 20,31
Kendal 3.746 5.614 14,99
Batang 77 88 11,41
Pekalongan 59 60 10,15
Pemalang 29 37 12,69
Tegal 297 283 9,53
Brebes 4.912 5.871 11,95
Kota Magelang - - -
Kota Surakarta - - -
Kota Salatiga - - -
Kota Semarang - - -
Kota Pekalongan - - -
Kota Tegal - - -
Sumber: BPS Provinsi Jawa Tengah 2013
20
Akan tetapi selama ini Indonesia
masih bergantung pada kedelai impor
terutama pada saat terjadi kekurangan stok
kedelai. Hal ini antara lain disebabkan juga
karena produksi kedelai di wilayah penghasil
kedelai sangat fluktuatif sedangkan
permintaan kedelai di pasar cenderung
mengalami peningkatan. Kegiatan penanaman
kedelai umumnya dilakukan pada musim
kemarau, hal ini dikarenakan karakteristik
kedelai bertipe tanaman kering.
Tingginya kontribusi Kabupaten
Grobogan terhadap total produksi komoditas
pertanian di Jawa Tengah khususnya kedelai
membuat Kabupaten Grobogan menjadi salah
satu sentra kedelai di Provinsi Jawa Tengah
terlebih dengan luas wilayah Kabupaten
Grobogan adalah yang terbesar ketiga di Jawa
Tengah tentu saja akan berdampak pada
semakin besarnya lahan usahatani potensial
yang digarap. Akan tetapi nilai PDRB
Kabupaten Grobogan justru rendah bila
dibandingkan dengan Kabupaten dan Kota
lain (Jawa Tengah Dalam Angka: 2012)
Pengembangan usahatani kedelai di
Kabupaten Grobogan tidak dapat dilakukan
secara parsial. Diperlukan kajian kebijakan
dan perumusan strategi yang komprehensif
mengingat kegiatan usahatani kedelai akan
melibatkan sub sistem-sub sistem yang ada
didalamnya. Kabupaten Grobogan merupakan
salah satu penyangga utama akan komoditas-
komoditas pertanian terutama tanaman
pangan di Jawa Tengah dan Indonesia
sehingga kajian akan strategi pengembangan
komoditas kedelai di Kabupaten Grobogan
merupakan sesuatu yang memiliki dimensi
yang luas terutama terkait dengan aspek
ekonomi serta potensi sumber daya.
Kebijakan pengembangan usahatani
kedelai yang telah dilaksanakan baik oleh
Pemerintah maupun pihak-pihak lain
dianggap belum mampu meningkatkan
kemampuan usahatani kedelai di Kabupaten
Grobogan dalam menyangga perekonomian
terutama di komoditas kedelai, serangkaian
kebijakan yang telah diprogramkan dan
dilaksanakan juga dirasa belum menyentuh
hingga level petani di tingkat bawah. Oleh
karena itu berdasarkan rumusan permasalahan
diatas maka yang menjadi pertanyaan
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi usahatani kedelai di
Kabupaten Grobogan?
2. Bagaimana strategi pengembangan
usahatani kedelai di Kabupaten Grobogan?
B. Perumusan Strategi
Perumusan strategi merupakan proses
penyusunan langkah-langkah ke depan yang
dimaksudkan untuk membangun visi dan misi
organisasi, menetapkan tujuan strategis dan
keuangan perusahaan, serta merancang
strategi untuk mencapai tujuan tersebut dalam
rangka menyediakan customer value terbaik.
Beberapa langkah yang perlu dilakukan
perusahaan dalam merumuskan strategi, yaitu:
Mengidentifikasi lingkungan yang akan
dimasuki oleh perusahaan di masa depan dan
menentukan misi perusahaan untuk mencapai
21
visi yang dicita-citakan dalam lingkungan
tersebut. Melakukan analisis lingkungan
internal dan eksternal untuk mengukur
kekuatan dan kelemahan serta peluang dan
ancaman yang akan dihadapi oleh perusahaan
dalam menjalankan misinya. Merumuskan
faktor-faktor ukuran keberhasilan (key
success factors) dari strategi-strategi yang
dirancang berdasarkan analisis sebelumnya.
Menentukan tujuan dan target terukur,
mengevaluasi berbagai alternatif strategi
dengan mempertimbangkan sumberdaya yang
dimiliki dan kondisi eksternal yang dihadapi.
Memilih strategi yang paling sesuai untuk
mencapai tujuan jangka pendek dan jangka
panjang. (Hariadi, 2005).
C. Metode Penelitian
Dalam penyusunan penelitian jenis data
yang digunakan oleh peneliti adalah data
primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dari hasil wawancara langsung
dengan para key person dalam usahatani
kedelai dengan menggunakan daftar
pertanyaan (kuesioner) dan pedoman
wawancara.
Sedangkan data sekunder adalah data
yang diperoleh dari catatan atau sumber lain
yang telah ada sebelumnya dan diolah
kemudian disajikan dalam bentuk teks, karya
tulis, laporan penelitian, buku dan lain
sebagainya. Data sekunder yang dibutuhkan
diperoleh dari catatan BPS Jawa Tengah,
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Holtikultura Kabupaten Grobogan serta dari
catatan-catatan laporan pertanian Kabupaten
Grobogan.
Dalam penyusunan penelitian ini
peneliti menggunakan analisis deskriptif
kuantitatif dan deskriptif kualitatif, analisis
deskriptif sendiri diartikan sebagai proses
pemecahan masalah yang diselidiki dengan
melukiskan keadaan subyek dan obyek
penelitian pada saat sekarang berdasarkan
fakta-fakta yang tampak atau bagaimana
adanya. Denzin (1978) dalam Sucihatiningsih
(2010) menggunakan istilah triangulasi untuk
mengkonsepkan penggunaan metode
gabungan dalam satu penelitian dimaksud.
Metode gabungan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kuantitatif sebagai metode utama
dan pendekatan kualitatif sebagai
pengkayaannya. Setelah mendapat gambaran
dari analisis deskriptif maka dilanjutkan
dengan analisis strategi pengembangan
usahatani kedelai melalui penggunaan
Model Analitycal Hierarchy Proses (AHP)
untuk menentukan strategi pengembangan
komoditas kedelai di Kabupaten Grobogan.
Seperti telah dijelaskan diatas metode AHP
digunakan untuk memilih kriteria dan
alternatif guna mencapai tujuan/ goal yaitu
pengembangan usahatani kedelai di
Kabupaten Grobogan. Adapun yang menjadi
kriteria dan alternatif dari strategi
pengembangan usahatani kedelai di
Kabupaten Grobogan adalah sebagai
berikut.
22
Tabel 2
Kriteria dan alternatif dalam metode AHP
Kriteria Alternatif
Aspek Faktor
Produksi
(penyediaan
Input)
• Subsidi faktor produksi
• Investasi pihak swasta dalam
penyediaan faktor produksi
• Penyediaan faktor produksi
secara kontinyu dan
terjangkau
Aspek
Budidaya • Pendampingan kepada petani
• Merangsang pupuk organik
dan pestisida organik
• Merangsang menggunakan
benih unggul dan berlabel.
Aspek
Kebijakan
Pemerintah
• Dukungan kebijakan
penetapan Harga Pokok
Penjualan (HPP)
• Kebijakan pembangunan
infrastruktur
• Bantuan teknis (peralatan,
faktor produksi, pelatihan)
kepada petani
Aspek
Kelembagaan • Penyuluhan penguatan
kelembagaan kelompok tani
• Insentif bagi lembaga tani
yang aktif
• Revitalisasi KUD serta
lembaga penyuluhan
Aspek Pasca
Panen • Kemitraan petani dengan
pengusaha besar
• Penyuluhan dan edukasi
tentang penanganan pasca
panen yang efektif.
Sumber: Data primer diolah
Pendekatan analisis deskriptif kualitatif
digunakan untuk melengkapi dan mendukung
kekayaan data pada analisis kuantitatif. Untuk
mendapatkan informasi dalam analisis
deskriptif kualitatif dilakukan melalui
wawancara dan pengamatan mendalam.
Wawancara dan pengamatan dilakukan
kepada petani Analisis ini digunakan untuk
mempertajam deskripsi tentang: (1) gambaran
umum kondisi pertanian, (2) metode
usahatani, (3) strategi kebijakan
pengembangan komoditas pertanian. Seperti
yang telah disebutkan diatas bahwa analisis
deskriptif sendiri diartikan sebagai proses
pemecahan masalah yang diselidiki dengan
melukiskan keadaan subyek dan obyek
penelitian pada saat sekarang berdasarkan
fakta-fakta yang tampak atau bagaimana
adanya.
D. Hasil dan Pembahasan
1. Gambaran Umum Petani di Kabupaten
Grobogan
Sektor pertanian merupakan sektor yang
menjadi mata pencaharian utama bagi
kebanyakan masyarakat di Kabupaten
Grobogan. Umumnya petani-petani di
Kabupaten Grobogan mengusahakan padi
sebagai komoditas utama yang ditanam. Akan
tetapi, intensitas penanamanya bergantung
kepada kondisi lahan. Apabila lahan
sawahnya adalah sawah irigasi maka padi
dapat ditanam dua kali dalam satu tahun,
tetapi apabila sawah merupakan tadah hujan
maka padi hanya dapat ditanam selama satu
kali dalam setahun. Petani di Kabupaten
Grobogan merupakan masyarakat yang
kebanyakan tinggal di daerah perdesaan
mengingat sektor pertanian adalah sektor
yang tumbuh dan menjadi penopang utama di
wilayah perdesaan.
2. Gambaran Umum Komoditas Kedelai
di Kabupaten Grobogan
Untuk jenis komoditas kedelai petani
kedelai di Kabupaten Grobogan biasanya
menggunakan jenis benih kedelai varietas
grobogan. Varietas kedelai ini merupakan
pengembangan dari kedelai varietas Malabar
yang dikembangkan di Kabupaten Grobogan
sehingga sekarang petani lebih banyak
menanam kedelai ini. Petani kedelai lebih
memilih jenis kedelai varietas grobogan
23
karena secara teknis lebih tahan penyakit,
waktu panen cepat dan kualitas biji yang
dihasilkan sangat bagus. Selain juga karena
merupakan varietas yang dibuat dan
dikembangkan di daerah sendiri.
Kedelai varietas grobogan sangat
mudah didapat, sehingga apabila petani ingin
menanam kedelai maka tinggal mencari di
toko pertanian. Kedelai ini dikembangkan
oleh pemerintah berkerja sama dengan pihak
swasta dan melibatkan petani.
3. Prioritas Kebijakan Alihfungsi Lahan
Dalam penyusunan strategi
pengembangan komoditas tanaman pangan
kedelai di Kabupaten Grobogan terdapat dari
5 kriteria dan 14 alternatif atau sama dengan
komoditas padi dan jagung. Untuk keempat
belas alternatif ini dapat diketahui secara
berurutan mulai dari alternatif yang paling
prioritas hingga yang paling tidak prioritas.
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai
alternatif-alternatif yang paling prioritas
secara keseluruhan. Jadi akan disajikan urutan
14 alternatif dari yang paling prioritas hingga
yang paling tidak prioritas berdasarkan
analisis AHP. Berikut disajikan gambar
tentang alternatif strategi pengembangan
komoditas tanaman pangan kedelai di
Kabupaten Grobogan sebagai berikut:
Berdasarkan hasil olah data diatas maka
dapat diketahui bahwa dari keempatbelas
alternatif yang ada tenyata alternatif
penyediaan faktor produksi secara kontinyu
dan terjangkau merupakan alternatif yang
terpenting guna mengembangkan komoditas
tanaman pangan kedelai dengan persentasi
prioritas sebesar 25,1%. Selanjutnya alternatif
yang paling penting kedua adalah subsidi
faktor produksi dengan persentase 16,3%.
Alternatif yang menjadi prioritas ketiga
dengan persentase prioritas sebesar 12,5%
adalah pendampingan kepada petani.
Sedangkan alternatif yang paling tidak
proritas dalam pengembangan komoditas
tanaman pangan kedelai adalah kemitraan
petani dan pengusaha besar di peringkat 12
dengan persentase prioritas 2,1%. Prioritas
ketiga belas adalah revitalisasi KUD serta
lembaga penyuluhan dengan persentase
2,0%.dan alternatif yang menjadi prioritas
terakhir adalah insentif bagi lembaga tani
yang aktif dengan persentase 0,9%.
Tabel 3
Urutan Alternatif Strategi Pengembangan
Komoditas Kedelai dari yang Paling Prioritas
Prioritas Alternatif Persentase 1 Penyediaan faktor produksi
secara kontinyu dan terjangkau
25,1%
2 Subsidi faktor produksi 16,3% 3 Pendampingan kepada petani 12,5% 4 Penyuluhan dan edukasi
tentang penanganan pasca panen yang efektif
9,6%
5 Penyuluhan penguatan kelembagaan kelompok tani
6,8%
6 Bantuan teknis (peralatan, faktor produksi, pelatihan) kepada petani
6,6%
7 Kebijakan pembangunan infrastruktur
5,0%
8 Dukungan kebijakan penetapan Harga Pokok Penjualan (HPP)
3,8%
9 Investasi pihak swasta dalam penyediaan faktor produksi
3,2%
10 Merangsang menggunakan benih unggul dan berlabel
3,0%
11 Merangsang pupuk organik dan pestisida organik
2,9%
12 Kemitraan petani dengan pengusaha besar
2,1%
13 Revitalisasi KUD serta lembaga penyuluhan
2,0%
14 Insentif bagi lembaga tani yang aktif
0,9%
Total 100%
Sumber: Data primer diolah
24
4. Pembahasan
Analisis AHP digunakan untuk
merumuskan strategi prioritas dalam
mengembangkan komoditas kedelai di
Kabupaten Grobogan. Perumusan alternatif
dan prioritas ini dibuat sekomprehensif
mungkin untuk menyentuh semua
kemungkinan yang dimungkinkan berperan
dalam pengembangan komoditas kedelai.
Apabila diurutkan dan dijadikan satu kedalam
satu tabel yang komprehensif. Maka kriteria
dan alternatif yang menjadi prioritas untuk
masing-masing komoditas adalah sebagai
berikut.
Apabila dilihat lebih lanjut maka
terdapat beberapa aspek yang menjadi kriteria
utama. Aspek-aspek yang paling menjadi
prioritas antara lain aspek faktor produksi.
Pengembangan komoditas kedelai dianggap
memerlukan sebuah strategi pengembangan
yang terkait aspek faktor produksi. Petani di
Kabupaten Grobogan membutuhkan sesuatu
yang sifatnya teknis dan aplikatif. Aspek
faktor produksi sangat terkait dengan
penyediaan input yang seperti diketahui
bersama penggunaan input ini sangatlah
penting bagi petani karena apabila tanpa
faktor produksi yang tersedia secara kontinyu
maka usahatani tidak akan maksimal.
Aspek budidaya juga merupakan aspek
yang penting bagi pengembangan komoditas
kedelai. Petani di Kabupaten Grobogan
sebagaimana telah diketahui bersama
memiliki update pengetahuan yang rendah
mengenai usahatani yang digeluti. Sebagai
contoh, petani sering ketinggalan informasi
tentang jenis varietas bibit unggul yang
dikembangkan oleh lembaga riset. Memang
sekarang ini di era globalisasi, banyak
perusahaan benih yang telah bekerja sama
dengan petani untuk menanam benih yang
diproduksi dari pabrik-pabrik mereka. Hal ini
merupakan sebuah fakta dan fenomena
empiris yang sebenarnya menguntungkan jika
dilihat secara parsial. Namun, apabila dikaji
lagi secara mendalam hal ini lebih bersifat
destruktif bagi petani. Petani memang
diberikan produk hasil inovasi baru, akan
tetapi itu merupakan strategi dari perusahaan
untuk membangun kemitraan kepada petani
tetapi hanya menguntungkan satu pihak saja.
Setelah perusahaan menguasai pasar
pemasaran benih maka mereka akan
menaikan harga benih karena perusahaan
mengejar keuntungan yang besar. Benih hasil
pengembangan dari lembaga riset, universitas
yang concern pada pengembangan pertanian
tidak berkembang karena kurang mendapat
dukungan untuk dibudidayakan oleh para
petani lokal.
Perlu pendampingan kepada petani oleh
penyuluh pertanian untuk menjamin petani
diayomi oleh pemerintah. Peran penyuluh
secara psikologis oleh petani dianggap
mampu memberikan rasa tentram kepada
mereka karena petani merasakan telah
mendapat dukungan dari wakil pemerintah
yang dalam hal ini penyuluh pertanian. Petani
akan mendapatkan informasi baru tentang
usahatani, peralatan pertanian yang modern,
25
faktor produksi yang efisien serta informasi
pasar dan juga treatment tentang
penanggulangan hama penyakit. Memang
benar apabila banyak petani masih berpikiran
sederhana dan sulit untuk menerima hal baru
bahkan hanya update informasi dan
pengetahuan saja sering tidak pernah
dilakukan oleh petani. Sedang disisi lain,
petani kadangkala membutuhkan bantuan
penyuluh pertanian apabila tanaman mereka
terserang hama penyakit. Perlu sebuah
pendekatan yang arif dalam menyikapi
kondisi ini. Penyuluh pertanian perlu
mengerti kondisi petani yang dibinanya,
memahami kearifan lokal serta
menyampaikan pengetahuan kepada petani
dengan model pembelajaran yang dibangun
berdasarkan basis komunikasi dan kesetaraan.
Petani pun juga harus mampu membuka diri
dengan pengetahuan baru, jangan sekedar
mentoleransi ketidaktahuan mereka dengan
ketidak pedulian. Harus ada upaya merubah
mindset petani dalam memandang usahatani
sebagai mata pencaharian.
Sedangkan aspek prioritas yang
selanjutnya dalam pengembangan komoditas
kedelai adalah aspek pasca panen. Aspek ini
dianggap cukup urgent dalam peta upaya
pengembangan komoditas tanaman kedelai.
Pasca panen sebenarnya merupakan sebuah
aspek yang penting. Sebagai contoh, ketika
pada saat panen raya kedelai tiba banyak
petani menjual panen mereka dengan sistem
ijon kepada tengkulak. Hal ini akan
mengakibatkan keuntungan potensial yang
diperoleh petani menurun karena harga jual
kedelai basah jauh di bawah harga beras.
Kondisi ini disebabkan karena penanganan
pasca panen untuk komoditas pertanian
terutama kedelai masih kurang optimal, bisa
disebabkan karena keterbatasan teknologi dan
pengetahuan namun juga bisa karena
dorongan untuk mrndapatkan uang cepat.
Bulog juga tidak menjalankan tugas lagi
untuk menyerap kedelai dari petani.
Kemudian aspek kebijakan pemerintah
walaupun menjadi prioritas terakhir namun
juga memerlukan kajian yang lebih cermat.
Petani dirasakan sangat membutuhkan
dukungan kebijakan perlindungan berupa
penetapan harga pokok penjualan atau harga
jual terendah untuk komoditas mereka. Jadi
petani dianggap lebih membutuhkan
dukungan berupa perlindungan harga jual
produk pertanian karena aspek harga jual ini
selalu dikaitkan dengan posisi tawar petani
yang rendah.
Aspek budidaya juga menjadi aspek
prioritas terlebih dalam teknis usahatani
kedelai. Petani perlu mendapatkan
pendampingan dan dukungan dalam
menjalankan kegiatan usahtani kedelai, hal itu
juga didorong dengan upaya menggunakan
benih kedelai varietas grobogan yang
dikembangkan di Kabupaten Grobogan.
Pengembangan benih kedelai unggulan dan
produk lokal ini perlu ditingkatkan. Selain itu,
untuk mengurangi ketergantungan akan
faktor-faktor produksi konvensional yang
tinggi perlu dimulai usaha untuk mulai
26
menggunakan pupuk organik dari kotoran
binatang dan pestisida organik.
Aspek infrastruktur juga menjadi
elemen penting bagi pengembangan
komoditas kedelai di Kabupaten Grobogan.
Selama ini, perhatian pemerintah dan pihak-
pihak terkait yang bertanggung jawab masih
terfokus pada komoditas padi dan jagung
yang lebih banyak ditanam petani. Padahal,
komoditas kedelai merupakan komoditas
yang sangat penting karena Kabupaten
Grobogan merupakan penyedia kedelai
terbesar di Jawa Tengah bahkan Indonesia
oleh karena itu infrastruktur kedelai harus
diperhatikan.
Infrastruktur yang dimaksud penting
dalam pengembangan komoditas kedelai
antara lain jaringan pengairan untuk lahan
tanam kedelai. Tanaman kedelai memang
tidak memerlukan banyak air akan tetapi
ketersediaan air melalui pembangunan
embung-embung di sawah , sumur-sumur di
tengah sawah harus ditambah untuk
memastikan ketersediaan air bagi tanaman
kedelai terjamin. Selain itu, perlu dibangun
pusat pasar kedelai di sentra-sentra kedelai
agar menjadikan kedelai bukan lagi
komoditas yang diperebutkan tengkulak dan
spekulan namun sebagai tempat untuk
mempertemukan pembeli besar dan pembeli
akhir dengan petani kedelai atau gabungan
petani kedelai sebagai penjual kolektif di
pasar. Pasar pemasaran pada sentra-sentra
kedelai ini juga dapat digunakan sebagai
sarana untuk menetapkan harga standar jual
kedelai pada level petani sehingga
menghindari terjadinya praktek spekulasi
harga. Hal ini dilakukan mengingat
berdasarkan pengalaman petani komoditas
kedelai ini sangat rawan spekulasi. Harga jual
kedelai dapat dengan mudah berubah drastis
dalam waktu yang sangat singkat. Kondisi ini
tentu saja sangat merugikan petani kedelai
karena mereka tidak dapat mempengaruhi
harga.
Subsidi faktor produksi seperti pupuk,
benih unggul dan obat-obatan juga perlu
ditingkatkan untuk mengembangkan
komoditas kedelai di Kabupaten Grobogan.
Subsidi yang ada selama ini masing kurang
dalam memenuhi kebutuhan petani akan
faktor produksi yang penting seperti pupuk
dan benih unggul. Pupuk bersubsidi
merupakan salah satu faktor produksi yang
penyediaanya diharapkan dapat ditambah
seiring dengan upaya peningkatan produksi.
Namun, penambahannya juga harus
diimbangi dengan upaya pendampingan
kepada petani agar dapat menggunakan
dengan efisien dan tidak berlebihan. Petani
memang memerlukan mekanisme
perlindungan dari pemerintah. Sedangkan
salah satu mekanisme perlindungan kepada
petani adalah dengan diberikan subsidi
kepada mereka. Dengan subsidi setidaknya
akan mengurangi biaya produksi petani dan
membuat mereka meningkat daya saingnya
karena harga yang bersaing dan kualitas
panen yang baik sebab faktor produksinya
diberikan secara optimal.
27
Penyuluh pertanian juga perlu untuk
memberikan dorongan kepada petani supaya
menggunakan benil lokal yaitu benih kedelai
varietas grobogan untuk dibudidayakan.
Kedelai varietas grobogan merupakan
varietas benih kedelai yang telah disertifikasi
dan termasuk jenis benih kedelai unggul
sehingga perlu untuk terus dibudidayakan.
Selain sebagai perwujudan rasa bangga
kepada produk benih lokal. Terlebih
penggunaan benih kedelai lokal lebih
meminimumkan biaya produksi karena
umumnya dijual dengan harga yang lebih
murah bahkan bisa dikembangkan sendiri
oleh petani dengan cara menyisihkan kedelai
hasil panen untuk dipersiapkan sebagai benih
dengan maksud ditanam pada periode masa
tanam berikutnya.
Bantuan teknis kepada petani kedelai
merupakan salah satu instrumen teknis yang
perlu dilaksanakan. Petani kedelai
memerlukan banyak sekali bantuan dari
pemerintah maupun pihak terkait. Misalnya
bantuan pompa air, alat pengering benih
kedelai, dan lain sebagainya. Bantuan ini
harus diberikan dengan terlebih dahulu
melakukan pemetaan mengenai kelompok
tani mana saja yang membutuhkan bantuan
peralatan tertentu. Hal ini dilakukan
mengingat azas kebermanfaatan dan
kesesuaian bantuan yang dibutuhkan dengan
realisasi bantuan. Sebab, sering ditemui
kejadian di lapangan bahwa banyak kelompok
tani yang mendapatkan bantuan peralatan
pertanian seperti mesin pengering benih
kedelai dan peralatan lain namun setelah
bantuan peralatan tersebut sampai kepada
petani alat tersebut tidak digunakan lagi oleh
petani karena ketidakmampuan dalam
pengorerasian dan ketidak sesuaian antara
kebutuhan dan bantuan yang datang.
E. Kesimpulan dan Saran
Dari penelitian yang telah dilakukan ini
diperoleh beberapa kesimpulan antara lain
bahwa kondisi petani komoditas kedelai di
Kabupaten Grobogan kebanyakan didominasi
oleh petani dengan struktur umur yang telah
tua, berlatar belakang pendidikan rendah dan
masih menjalankan kegiatan pertanian secara
tradisional secara turun-temurun. Strategi
pengembangan kedelai berdasarkan urutan
prioritas kriteria pengembangan adalah
sebagai berikut: aspek yang menjadi prioritas
utama adalah aspek faktor produksi, aspek
budidaya, aspek pasca panen, aspek
kelembagaan dan aspek kebijakan
pemerintah.
Adapun rekomendasi berdasarkan hasil
penelitian ini adalah perlunya Pemerintah
Kabupaten Grobogan disarankan untuk
mengaplikasikan strategi pengembangan
komoditas tanaman pangan kedelai
berdasarkan prioritas kriteria dan alternatif
yang telah dirumuskan berdasarkan hasil
penelitian. Berdasarkan hasil yang diperoleh,
pemerintah Kabupaten Grobogan disarankan
untuk lebih memfokuskan pengembangan
komoditas unggulan tanaman pangan kedelai
di sentra daerah pengembangan. Pemerintah
28
daerah juga disarankan untuk mendorong
upaya intensifikasi dan peningkatan
produktivitas lahan melalui program-program
peningkatan kemampuan petani, peningkatan
dan perbaikan sarana dan prasarana
penunjang produksi tanaman pangan. Perlu
ada sebuah kebijakan mempengaruhi harga
yang aplikatif menyentuh kepada petani untuk
meningkatkan kesejahteraan mereka.
Penetapan kebijakan harga pokok penjualan
(HPP) untuk komoditas padi perlu dilakukan
dengan berkerjasama dengan petani melalui
kelompok tani, sehingga kelompok tani dapat
memenuhi standar kualitas produk yang
diminta oleh BULOG. Sebab selama ini
permasalahan yang timbul adalah petani tidak
mampu mengolah hasil panen mereka karena
ketiadaan sarana pengolah padahal standar
gabah untuk masuk ke BULOG mensyaratkan
standar terkait kualitas produk yang dikirim.
Perlu juga kebijakan selling price dan floor
price untuk komoditas jagung dan kedelai
untuk meningkatkan posisi tawar petani.
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi.2002. Prosedur
Penelitian : Suatu Pendekatan
Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
Arsyad, Lincolin. 2004. Ekonomi
Pembangunan. Yogyakarta : STIE
YKPN
Baehaqi, Achmad. 2007. Pengembangan
Komoditas Unggulan Tanaman
Pangan di Kabupaten Lampung
Tengah. Tesis, Institut Pertanian
Bogor
Budi Setiawan, Avi. 2008. Analisis Efisiensi
Penggunaan Faktor-faktor Produksi
Usahatani Jagung Di Kabupaten
Grobogan tahun 2008, Skripsi,
UNNES
Badan Bimas Ketahanan Pangan. 2001.
Rencana Strategis dan Program
Kerja Pemantapan Ketahanan Pangan
2001-2004. Badan Bimas Ketahanan
Pangan. Jakarta.
BPS Provinsi Jawa Tengah. 2007. Jawa
Tengah Dalam Angka: Jawa Tengah.
BPS Provinsi Jawa Tengah. 2009. Jawa
Tengah Dalam Angka: Jawa Tengah.
BPS Kabupaten Grobogan 2007. Grobogan
Dalam Angka: Grobogan
BPS Kabupaten Grobogan 2008. Grobogan
Dalam Angka: Grobogan
Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten
Grobogan, 2007, Luas Panen dan
Produksi Tanaman Jagung Tahun
2002-2007: Grobogan.
Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten
Grobogan. 2006, Petunjuk
Pelaksanaan Program intensifikasi
Tanaman pangan dan perkebunan.
Grobogan.
Mason, R.D.,1996, Teknik Statistika untuk
Bisnis dan Ekonomi, Jakarta: Erlangga
Mosher, A.T., 1978, An Introduction to
Agricultural Extension, Agricultural
Development Council, New York
Mosher, A.T, 1985. Menggerakkan dan
Membangun Pertanian Saduran
Krisnandhi C.V. Yasaguna, Jakarta.
Mubyarto, 1989, Pengantar Ekonomi
Pertanian, Jakarta : LPES.
Nicholson, Walter. 2002, Mikro Ekonomi
Intermediate. Jakarta. Erlangga
29
Permadi, Bambang. 1992. Analysis Hierarchy
Process. Jakarta. PAU EK Universitas
Indonesia
Saaly, TL. 1987. The Analytic Hierarchy
Process- What it is and How it is used,
Math Modelling, Pergamon Journals
Ltd. Great Britain
Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Grobogan.
http://www.grobogankab.go.id.
Situs Resmi Pemerintah Provinsi Jawa
Tengah. http://www.jawatengah.go.id.
Soekartawi, 2003. Teori Ekonomi Produksi
Dengan Pokok Bahasan Analisis
Fungsi Cobb-Douglas (Theory of
Production Economics with Special
Discussion on Cobb-Douglas
Production Function). 3rd Edition,
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sukirno,Sadono, 2005, Mikro Ekonomi Teori
Pengantar, Raja Grafindo Persada:
Jakarta
Sucihatiningsih, DWP, 2010. Model
Penguatan Kapasitas Kelembagaan
Penyuluh Pertanian dalam
Meningkatkan Kinerja Usaha Tani:
Studi Empiris di Provinsi Jawa
Tengah . Disertasi. UNDIP
Suryana, Sawa, 2007. Analisis Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Produksi Jagung
di Kabupaten Blora (Studi Kasus
Produksi Jagung Hibrida di
Kecamatan Banjarejo Kabupaten
Blora). Tesis. UNDIP
Susilowati, Indah, Mudjahirin T, Waridin,
Tri Winarni A, Agung S. 2004.
Pengembangan Model
Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil,
Menengah dan Koperasi Dalam
Mendukung Ketahanan Pangan di
Kabupaten dan Kota Pekalongan.
RUKK Kantor Menneg Ristek dan
LIPI. Jakarta.
Susilowati, Indah. 2009. Penguatan Kinerja
Agribisnis Tanaman Pangan
Unggulan Provinsi Jawa Tengah
dalam Mendukung Ketahanan
Pangan. Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian. Kerjasama UNDIP dan
Badan Litbang. Deptan.
Syahyuti. 1995. Pendekatan Kelompok dalam
Pelaksanaan Program/Proyek
Pembangunan Pertanian. Majalah
Forum Agro Ekonomi. Vol. 13. No. 2
Desember 1995.
Syahyuti. 2002. Pembentukan Struktur
Agraria pada Masyarakat Pinggiran
Hutan. Tesis pada Jurusan Sosiologi
Pedesaan. IPB, Bogor
Syahyuti. 2003. Pembangunan pertanian
indonesia dalam pengaruh
kapitalisme dunia: analisis ekonomi
politik perberasan. Pusat penelitian
dan pembangunan sosial ekonomi
pertanian.
Vu. Linh H. 2004. Efficiency of Rice Farming
Households in Vietnam :A DEA with
Bootstrap and Stochastic Frontier
Application. University of Minnesota.
USA
Yotopoulos, Pan A and JB Nugget. 1976,
Economic of Development: Empirical
Investigation, Harper International.
USA
Yulianik, Siswi. 2006. Analisis Efisiensi
penggunaan Faktor-faktor Produksi
pada Usahatani Bawang Merah di
Kabupaten Brebes (Studi Kasus di
Desa larangan). Skripsi. UNDIP
30
DAMPAK KAWASAN INDUSTRI DI DESA BUTUH TERHADAP
PEREKONOMIAN DAN KEINGINAN BERWIRAUSAHA
DI KECAMATAN MOJOSONGO, BOYOLALI
Nurul Istiqomah1)
, Dwi Prasetyani2)
, Amina Sukma Dewi3)
1Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sebelas Maret
Email : [email protected] 2Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sebelas Maret
Email : [email protected] 3Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sebelas Maret
Email : [email protected]
ABSTRACT
This background of this research is the establishment of several factories in Butuh Village,
Mojosongo Sub-District, Boyolali Regency, which forms an industrial area. In the past, the
residents of Butuh Village worked by cultivating land and breeding livestock because the soil in this
area is barren and water sources are difficult to find. Because of the establishment of industrial area,
the economic activity of this area increases significantly.
This research uses descriptive-quantitative research method. Qualitative analysis is used to discover
the increase of economic activity and the level of health and education of the surrounding
community. Whereas quantitative analysis was conducted by using Paired Samples T test. This test
is used to discover the presence of average difference between two paired (corresponding) sample
groups. In this case, it is about community’s income and expenditure in the surroundings of
industrial area. Whereas regression analysis, specifically Ordinary Least Square (OLS) Logit, is
used to discover community’s entrepreneurship desire after the existence of industrial area.
The impact of industrial area in Butuh Village, Mojosongo Sub-district can reduce unemployment
rate. However,most people in Butuh Village prefer becoming entrepreneurs around the industrial
area to factory workers. Additional income earned shifts the way of thinking of people around
industrial area in the field of education and health. In addition, there were differences of income and
expenditure between the times before and after the existence of industrial area in Butuh Village.
The last, education, income and expenditure influence the entrepreneurial decision.
Keywords: Industrial Area, Income, Expenditure, Paired Samples T-test, Logit.
A. Pendahuluan
Struktur perekonomian di Indonesia
sudah mulai mengalami pergeseran. Hal
tersebut merupakan suatu yang wajar yang
dialami oleh setiap negara di seluruh
dunia. Data mengenai kontribusi masing-
masing sektor terhadap PDB bisa
memberikan gambaran, bahwa pada tahun
1969 struktur perekonomian di Indonesia
masih didominasi oleh sektor pertanian ,
dimana kontribusi sektor pertanian adalah
sebesar 49,3 % dan semakin lama
kontribusinya mengalami penurunan. Pada
tahun 1979 sumbangsih sektor pertanian
menjadi 28,1 % dan terus menurun hingga
data yang diperoleh pada tahun 2011
kontribusinya hanya 14,7%. Penurunan
kontribusi sektor pertanian terhadap PDB
disebabkan pengurangan lahan-lahan
pertanian yang ada di Pulau Jawa, adanya
kegagalan panen, kegagalan untuk
membuka lahan pertanian baru di luar
31
Pulau Jawa yang disebabkan tingkat
kesuburan tanah yang berbeda dengan
Pulau Jawa.
Ketika sektor pertanian mengalami
penurunan, sektor industri cenderung
mengalami kenaikan. Pada tahun 1969,
kontribusi sektor industri pengolahan hanya
9,2 %, masih kalah jauh jika dibandingkan
dengan sektor pertanian dan perdagangan
yang kala itu mencapai 30%. Sektor
industri pengolahan pada tahun 1979
angkanya sudah naik menjadi 10,3% dan
satu dekade berikutnya menjadi 18,4%.
Pada tahun 2008, kontribusinya mencapai
27,8 % dan hingga data tahun 2012
Semester I diperoleh data kontribusi sektor
industrI pengolahan sebesar 23,6 %.
Pertumbuhan sektor industri di
Indonesia masih ditopang oleh 3 sektor
industri, yaitu industri makanan, alat angkut
dan tekstil. Ketiga sektor industri tersebut
berkontribusi hampir 70 % terhadap
pertumbuhan industri di Indonesia. Menurut
Dedi Mulyadi, Dirjen Pengembangan dan
Perwilayahan Kementrian Perindustrian,
berpendapat bahwa peningkatan daya saing
industri merupakan salah satu kebijakan
yang dilakukan untuk meningkatkan daya
saing industri baik di dalam maupun di
luar negeri. Untuk menjadi industri yang
mempunyai daya saing yang bagus, maka
pembangunan sektor industri harus
memaksimalkan potensi sumber daya yang
dimiliki oleh daerah.
Boyolali merupakan salah satu
kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yang
pertumbuhan ekonominya mempunyai potensi
untuk terus meningkat. Berdasarkan data dari
BPS, pertumbuhan ekonomi Kabupaten
Boyolali pada tahun 2008 adalah 4,04%
sedangkan pada tahun 2009 meningkat
menjadi 5,16 %. Ada empat sektor yang
memberikan kontribusi di atas 10% terhadap
PDRB Kabupaten Boyolali pada tahun 2010,
yaitu sektor pertanian sebesar 37,18%; sektor
perdagangan sebesar 23,93%; sektor industri
pengolahan sebesar 14,15 %; dan sektor jasa-
jasa sebesar 11 % . Khusus untuk sektor
industri, perkembangannya begitu pesat di
Kabupaten Boyolali.
Kecamatan Mojosongo merupakan
salah satu kecamatan yang ada di
Kabupaten Boyolali dan termasuk kecamatan
yang perekonomiannya mengalami kemajuan
yang pesat. Hal ini dilatarbelakangi karena
munculnya banyak perusahaan tekstil di
kawasan tersebut, sehingga menyebabkan
masyarakat yang bermata pencaharian di
sektor industri sebanyak 17 %, dan posisi
pertama masih ditempati petani sebanyak 52
%. Kecamatan Mojosongo terdiri dari 13
desa, dan salah satunya adalah Desa Butuh.
Di Desa Butuh terdapat beberapa perusahaan
yaitu PT Tosalina Furniture di Desa Butuh,
Bengawan Solo Garment, PT Panca Prima Eka
Brothers, CV Cahaya Nugraha Jati.
(www.boyolalikab.go.id).
Perkembangan Desa Butuh
mengalami kemajuan yang pesat, salah
32
satunya disebabkan banyaknya industri
yang mulai membangun kawasan
produksinya di daerah tersebut, misalnya PT
Pan Brothers Tbk, Pilar Sejati Sejahtera, dll.
Dampak dari berdirinya pabrik-pabrikbaru
begitu signifikan, dahulu Desa Butuh
merupakan salah satu desa yang tanahnya
kering dan tandus serta kurang produktif,
bahkan untuk irigasi maupun kebutuhan air
sehari-hari mengalami kesulitan sehingga
menyebabkan harga jual tanah di daerah
tersebut rendah dan perekonomiannya
hanya berladang dan berternak sapi perah.
Pembangunan pabrik-pabrik tersebut
diharapkan dapat meningkatkan lapangan
pekerjaan di Kabupaten Boyolali pada
khususnya, sehingga angka pengangguran
bisa dikurangi. Pada tahun 2010, data
mengenai jumlah pencari kerja adalah
sebanyak 234.797 orang yang mengalami
kenaikan jika dibandingkan tahun 2008
yang sejumlah 155.134 orang. Timbulnya
kawasan industri di Desa Butuh
Kecamatan Mojosongo Kabupaten Boyolali
tersebut meningkatkan aktivitas
perekonomian masyarakat di sekitar
kawasan industri tersebut. Rizki (2007)
dalam penelitiannya mengambil kesimpulan
bahwa perkembangan industri secara
langsung maupun tidak akan berdampak
pada perkembangan suatu wilayah. Lokasi
industri akan menarik aktivitas perumahan
dan perdagangan, karena melibatkan tenaga
kerja dan bahan baku dari luar wilayah.
Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis dampak keberadaan kawasan
industri di Desa Butuh Kecamatan
Mojosongo Kabupaten Boyolali terhadap
peningkatan aktivitas perekonomi dan
keinginan berwirausaha masyarakat di Desa
Butuh Kecamatan Mojosongo Kabupaten
Boyolali.
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian
ini adalah :
a. Bagaimanakah dampak keberadaan
kawasan industri di Desa Butuh
Kecamatan Mojosongo Kabupaten
Boyolali terhadap peningkatan aktivitas
perekonomomian masyarakat di
sekitarnya ?
b. Apakah keberadaan kawasan industri di
Desa Butuh Kecamatan Mojosongo
Kabupaten Boyolali dapat mengurangi
jumlah pengangguran, serta meningkatkan
tingkat pendidikan dan kesehatan di sekitar
kawasan industri tersebut ?
c. Apakah terdapat perbedaan terhadap
pendapatan dan pengeluaran masyarakat
di Desa Butuh Kecamatan Mojosongo
Kabupaten Boyolali sesudah adanya
kawasan industri tekstil tersebut ?
d. Bagaimanakah dampak keberadaan
kawasan industri tekstil di Desa Butuh
Kecamatan Mojosongo Kabupaten
Boyolali terhadap keputusan untuk
berwirausaha di sekitar kawasan industri
tersebut ?
33
C. Tinjauan Pustaka
1. Teori Industri
Industri merupakan sekumpulan
perusahaan yang menjual produk yang
sama atau yang berhubungan dengan
produk tersebut. Industri adalah suatu
kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan
mengubah suatu barang dasar secara mekanis,
kimia, atau dengan tangan sehingga menjadi
barang jadi atau setengah jadi dan atau barang
yang kurang nilainya menjadi barang yang
lebih tinggi nilainya, dan sifatnya lebih dekat
kepada pemakaian terakhir (Indra, 2010:52).
Pengertian lain tentang industri adalah
suatu usaha atau kegiatan pengolahan
bahan mentah atau setengah jadi menjadi
barang jadi yang mempunyai nilai tambah
untuk memperoleh keuntungan.
Pengertian industri menurut BPS
(www.bps.go.id) adalah cabang kegiatan
ekonomi, sebuah perusahaan atau badan
usaha sejenisnya dimana tempat seseorang
bekerja. Kegiatan ini diklasifikasikan
berdasarkan Klasifikasi Lapangan Usaha
Indonesia (KLUI). Sedangkan industri
pengolahan adalah suatu kegiatan ekonomi
yang melakukan kegiatan mengubah barang
dasar (bahan mentah) menjadi barang
jadi/setengah jadi dan atau dari barang yang
kurang nilainya menjadi barang yang lebih
tinggi nilainya, baik secara mekanis, kimiawi
dengan mesin ataupun dengan tangan.
Industri menurut jumlah tenaga
kerjanya dapat dibedakan menjadi industri
rumah tangga, industri kecil, menengah dan
besar. Industri rumah tangga adalah
industri yang mempunyai tenaga kerja
antara 1-4 orang. Industri mikro adalah
industri yang jumlah tenaga kerjanya
antara 5-19 orang. Industri menengah
adalah industri yang jumlah tenaga
kerjanya antara 20-99 orang dan industri
besar adalah industri yang jumlah tenaga
kerjanya lebih dari 100 orang.
2. Pengertian Kewirausahaan
Wirausaha berasal dari kata wira dan
usaha, wira berarti gagah berani. Apabila
digabungkan dengan kata usaha berarti
wirausaha adalah orang yang gagah berani
untuk melakukan usaha. Drucker (1985)
mengartikan kewirausahaan sebagai
semangat, kemampuan,sikap dan perilaku
individu dalam menangani usaha (kegiatan)
yang mengarah pada upaya mencari,
menciptakan, menerapkan cara kerja,
teknologi, dan produk baru dengan
meningkatkan efisiensi dalam rangka
memberikan pelayanan yang lebih baik dan
atau memperoleh keuntungan yang lebih
besar.
Secara lebih luas, kewirausahaan
adalah padanan kata dari entrepreneurship
dalam bahasa Inggris, unternehmer dalam
bahasa Jerman, ondernemen dalam bahasa
Belanda. Dala bahasa Perancis, entrepende
mempunyai arti peuang, pengambil resiko,
kontraktor, pengusaha dan pencipta yang
menjual hasil ciptaannya (Hendro, 2011:
29).
34
Kewirausahaan adalah kemampuan
kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar,
kiat dan sumber daya untuk mencari
peluang menuju sukses. Dengan kata lain,
kewirausahaan merupakan suatu kemampuan
dalam menciptakan nilai tambah di pasar
melalui proses pengelolaan sumber daya
dengan cara-cara baru dan berbeda
(Suryana, 2003: 1-2).
Setiap orang yang berfikir kreatif
dan inovatif bisa dikategorikan sebagai
wirausahawan. Proses kewirausahaan
diawali dengan proses imitasi dan
duplikasi, yang terus melalui proses
pengembangan dan akhirnya bisa
menciptakan sesuatu yang baru dan
berbeda.
Menjadi seorang wirausaha ternyata
dapat didorong oleh beberapa faktor, yaitu
faktor personal, faktor lingkungan, faktor
sosiologis, dan faktor ketersediaan sumber
daya.
Faktor personal sebagai salah satu
faktor yang mendorong berwirausaha, yang
menekankan bahwa independensi
merupakan motif yang utama dalam
mendirikan usahanya sendiri. Wirausahawan
adalah orang-orang yang berani mengambil
resiko, pandai beradaptasi dengan
perubahan, dan membangun kekuatan
pribadi. Wirausahawaan adalah orang-orang
yang optimis, ketika melihat masalah
menjadi peluang.
Faktor lingkungan mempunyai peran
yang signifikan dala pembentukan jiwa
kewirausahaan. Salah satu factor
lingkungan yang berperan besar dalam
membentuk jiwa kewirausahaan adalah
budaya. Apabila kewirausahaan dianggap
mulia atau mempunyai derajat yang tinggi
dalam system sebuah budaya, maka
seorang wirausahawan mempunyai
kedudukan yang terhormat di suatu
masyarakat. Dan dengan budaya tersebut
akan menghasilkan banyak wirausahawan
baru.
Faktor sosiologis tergantung kepada
kondisi sosial yang bisa mempengaruhi
seseorang untuk melakukan usaha atau
menjadi wirausahawan. Beberapa kondisi
sosial tersebut adalah keterbatasan
pengembangan karier, tanggung jawab
keluarga, dan lain-lain yang bisa
memotivasi seseorang untuk memperoleh
kehidupan yang lebih baik dengan cara
menjadi wirausahawan.
Faktor ketersediaan sumber daya
adalah hal yang sangat penting, termasuk
ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM)
dengan pengalaman dan ketrampilan yang
sesuai.
D. Metode Penelitian
Data yang dibutuhkan dalam
penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder baik untuk data kualitatif maupun
kuantitatif.. Sampel dari penelitian ini adalah
masyarakat di desa Butuh Kecamatan
Mojosongo Kabupaten Boyolali yang
berada di sekitar kawasan industri tersebut.
35
Jumlah penduduk Desa Butuh adalah
sebanyak 3.138 jiwa. Dengan menggunakan
rumus Slovin untuk mencari jumlah
sampel, maka diperoleh hasil perhitungan
sebagai berikut :
(1)
Dimana :
n = jumlah sampel
N = jumlah populasi
e = batas toleransi kesalahan
Berdasarkan rumus Slovin diatas, maka
perhitungan sampelnya adalah sebagai
berikut :
96)10,0(31381
31382
=+
=n (2)
Jumlah responden yang akan dicari adalah
sebanyak 96 orang, yang dibulatkan
menjadi 100 orang responden untuk diminta
mengisi kuesioner penelitian.
Dalam penelitian ini data kuantitatif
dianalisis secara tabulasi dan statistik
deskriptif dengan menggunakan uji dua
sampel berpasangan dan logit. sedangkan
data kualitatif dianalisa secara deskriptif
studi kasus yaitu dengan mendiskripsikan,
kemudian memberikan penafsiran-penafsiran
dengan interpretasi rasional yang memadai
terhadap fakta-fakta yang diperoleh di
lapangan.
1. Definisi Operasional
a. Penggangguran
Adalah penduduk yang bekerja
kurang dari 35 jam seminggu (Sakernas,
2007). Sedangkan menurut BPS,
pengangguran adalah penduduk yang
tidak bekerja tetapi sedang mencari
pekerjaan atau sedang mempersiapkan
suatu usaha baru atau penduduk yang
tidak mencari pekerjaan karena tidak
mungkin mendapatkan pekerjaan, dan
penduduk yang tidak aktif encari
pekerjaan dengan alasan sudah
mempunyai pekerjaan tetapi belum
mulai bekerja, yang dihitung dalam satuan
orang.
b. Pendapatan
Adalah hasil dari aktivitas bisnis, seperti
pendapatan sewa atau penjualan (Albertus
Ong), yang dihitung dalam satuan rupiah.
c. Pengeluaran
Adalah semua pengeluaran yang
digunakan untuk membeli barang dan
jasa, yang dihitung dalam satuan rupiah.
d. Pendidikan
Pendidikan yang berhasil ditamatkan dihitung
dengan tahun sukses, masa lama sekolah.
e. Tanggungan Keluarga
Jumlah anggota keluarga yang masih
menjadi tanggungan atau dibiayai oleh
responden, yang dihitung dalam satuan
orang.
f. Status perkawinan
Status perkawinan responden ditunjukkan
dengan status kawin atau tidak kawin
g. Usia
Usia responden, dihitung dengan tahun.
36
2.Teknik Analisa Data
a. Uji Dua Sampel Berpasangan (Paired
Samples T Test)
Uji ini dipergunakan untuk mengetahui
ada tidak nya perbedaan rata-rata antara dua
kelompok sampel yang berpasangan
(berhubungan). Maksudnya di sini adalah
sebuah sampel tetapi mengalami dua
perlakukan yang berbeda (Priyatno, 2010;
37), dan disini perlakuan yang berbeda
adalah sebelum dan sesudah ada kawasan
industri.
Dalam pengujian yang dilakukan
peneliti membandingkan antara pendapatan
sebelum dan sesudah adanya kawasan
industri tersebut dan juga membandingkan
antara pengeluaran penduduk Desa Butuh
sebelum dan sesudah adanya industri tersebut.
b. Analisis Regresi Logit
Dampak keberadaan kawasan industri
di Desa Butuh menimbulkan keinginan
untuk berwirausaha. Untuk melihat faktor-
faktor yang mempengaruhi keinginan
berwirausaha masyarakat di sekitar kawasan
industri di Desa Butuh Kecamatan
Mojosongo Kabupaten Boyolali dapat
dijabarkan dengan persamaan sebagai
berikut :
Y= βo+ β 1 X1 + β2 X2 + β3X3+ β4X4 + β5X5 + ei (3)
Dimana :
Y = merupakan variabel Dummy, setelah
adanya kawasan industri dibedakan
menjadi
D1 = Wirausaha
D2 = Tidak berwirausaha
X1 = Pendidikan
X2 = Tanggungan Keluarga
X3 = Status Perkawinan
X4 = Usia
X5 = Pengeluaran
X6 = Pendapatan
Βo = Konstanta
β 1 β2, β3, β4= Koefisien regresi
ei = Variabel pengganggu
Model yang digunakan adalah Analisis Regresi
dengan menggunakan metode Ordinary Least
Square ( OLS ) Logit.
E. Hasil dan Pembahasan
1. Dampak Keberadaan Kawasan
Industri Di Desa Butuh Terhadap
Peningkatan Aktivitas Perekonomian
Masyarakat.
Keberadaan kawasan industri di Desa
Butuh, terutama setelah berdirinya pabrik
PT. Pan Brothers Tbk, Pilar Sejati Sejahtera
Tbk di Desa Butuh membuat
perekonomiannya kian menggeliat. Daerah
tersebut dipilih oleh para investor karena
harga tanahnya yang masih lumayan
murah, dan oleh penduduk setempat hanya
digunakan untuk berladang saja karena
tekstur tanahnya yang cenderung tandus.
Selain karena faktor tanah yang
murah, ada hal lain yang menyebabkan
para investor mendirikan pabriknya di
wilayah Boyolali. Salah satu sebabnya
adalah tingkat UMR yang sudah begitu
tinggi di wilayah Jakarta dan Jawa Barat
sehingga mendorong investor untuk beralih
37
ke wilayah Jawa Tengah. Tingkat UMR di
Jawa Tengah jauh lebih rendah jika
dibandingkan dengan tingkat UMR yang
ada di Jakarta dan Jawa Barat. UMR
Jakarta pada tahun 2013 sudah mencapai
Rp. 2.200.000,- juta, sedangkan UMR
Semarang adalah Rp 1.209.100,- dan UMR
di Boyolali adalah sebesar Rp. 895.000,-
Di Desa Butuh Kabupaten Boyolali
merupakan salah satu desa yang
mendapatkan dampak dari perpindahan
investor tersebut. PT. Pan Brothers Tbk
merupakan pabrik yang pertama berdiri di
Tangerang semenjak tahun 1980 dan pada
tahun 2007 melakukan ekspansi ke daerah
Sragen dan Boyolali. Kapasitas produksinya
lebih besar pabrik di daerah Boyolali
daripada Tangerang. Pan Brothers Tbk
merupakan perusahaan yang bergerak pada
industri garment, dan mulai masuk dalam
pasar saham semenjak tahun 1990.
Nilai ekspor dari produk yang
dihasilkan PT. Pan Brothers Tbk cukup
tinggi, tingginya nilai ekspor tersebut
membuat perusahaan tersebut terus
berproduksi. Jumlah tenaga kerja yang
dibutuhkan pun terus meningkat.
Peningkatan permintaan tenaga kerja
membuat daerah di Desa Butuh juga ikut
bergeliat.
Selain PT. Pan Brothers Tbk, di Desa
Butuh juga terdapat pabrik PT. Pilar Sejati
Sejahtera. Perusahaan tersebut juga
bergerak dalam bidang industri garment
yang produknya 100 % di ekspor ke luar
negeri.
Perkembangan Desa Butuh setelah
berdirinya beberapa industri tersebut
membuat perekonomiannya lebih
berkembang. Kawasan di pinggir jalan
sudah mempunyai nilai jual yang tinggi,
karena tanah yang berada di sekitar pabrik
atau kawasan industri tersebut sudah
beralih fungsi menjadi kawasan kios
pertokoan dan sarana lainnya yang
menyediakan keperluan bagi pekerja yang
bekerja di pabrik-pabrik di Desa Butuh.
Indikator kemajuan perekonomian di
suatu wilayah bisa dilihat dari beberapa
hal, diantaranya adalah banyaknya aktivitas
ekonomi masyarakat. Aktivitas ekonomi
muncul karena banyaknya permintaan baik
barang dan jasa di sekitar wilayah tersebut.
Dibangunnya pabrik-pabrik industri
menyebabkan permintaan terhadap
pangan,sandan dan tempat tinggal
meningkat. Tenaga kerja yang bekerja di
kawasan industri tersebut tidak hanya
berasal dari daerah sekitar pabrik. Tetapi
banyak yang berasal dari luar wilayah.
Kebutuhan akan tempat tinggal mengalami
peningkatan, lahan-lahan kosong akhirnya
dijadikan rumah kos-kosan. Penduduk desa
menangkap peluang dari kelebihan
permintaan akan tempat tinggal ini. Lahan
yang dahulu tandus sekarang sudah beralih
fungsi menjadi rumah kos-kosan.
Penghasilan yang diperoleh dari berkebun
yang jumlahnya tidak pasti sudah diganti
38
dengan penghasilan bulanan yang diperoleh
oleh para pemilik rumah kos.
Permintaan tempat tinggal membawa
efek lain, yaitu terjadi peningkatan
terhadap penyediaan makanan. Warung-
warung makan juga banyak bermunculan.
Banyak data yang diperoleh dari
responden yang memutuskan untuk
membuka warung atau tempat makan.
Prospeks usaha tersebut juga
menguntungkan. Para karyawan pabrik
industri memang memperoleh jatah makan
satu kali, tapi tak sedikit pu;a para
karyawan tersebut yang memutuskan untuk
membeli makan di sekitar wilayah industri.
Bagi tenaga kerja yang memilih tinggal di
rumah kos-kosan, kebutuhan akan tempat
makan begitu penting. Mereka tidak
banyak mempunyai waktu untuk memasak
masakan sendiri. Selain membutuhkan
waktu yang relatif lama, mereka juga
menginginkan kepraktisan.
Kebutuhan akan perlengkapan sehari-
hari bisa diperoleh di warung kelontong
yang bermunculan di daerah tersebut.
Beberapa penduduk yang berada dikawasan
industri itu ada yang memutuskan untuk
membuka toko kelontong. Tidak dibutuhkan
keahlian spesifik, hanya modal dan
ketekunan, ternyata mampu untuk
meningkatkan pendapatan yang mereka
peroleh. Bahkan dikawasan tersebut, muncul
satu minimarket Alfamart yang menangkap
peluang untuk ekspansi usahanya.
Jasa laundry mengalami
perkembangan yang sangat pesat di Desa
Butuh. Dahulu sebelum ada kawasan
industri tersebut, belum ada jasa laundry di
daerah tersebut. Melihat karakteristik
penduduk yang mempunyai banyak waktu
senggang, biasanya penduduk di daerah
tersebut mencuci pakaiannya sendiri.
Setelah adanya kawasan industri, tenaga
kerja yang tinggal di rumah kos
membutuhkan jasa laundry. Waktu
senggang yang mereka punyai sedikit,
karena apabila mereka bekerja dengan jam
kerja normal maka upah yang mereka
peroleh hanya sebesar UMR Boyolali.
Tetapi apabila mereka mengambil jam
kerja lembur, maka penghasilan yang
mereka peroleh jauh lebih banyak.
Konsekuensinya adalah waktu senggang
yang mereka punyai lebih sedikit, dan
waktu senggang tersebut kebanyakan
digunakan untuk istirahat. Maka berawal
dari inilah, kebutuhan akan jasa laundry
mengalami peningkatan yang sangat
signifikan.
Counter pulsa/ HP juga banyak
bermunculan di sekitar kawasan tersebut. Di
era teknologi sekarang ini, kebutuhan akan
pulsa sudah masuk dalam kebutuhan
primer. Para penyedia jasa ini
mempermudah akses bagi tenaga kerja
yang bekerja di kawasan industri di Desa
Butuh.
Peluang di bidang kesehatan pun
ditangkap oleh penduduk di Desa Butuh,
39
dengan cara mendirikan apotik dan praktik
dokter. Ada satu apotik dan juga satu
tempat praktik dokter umum dan dokter
gigi. Jadi masyarakat di sekitar wilayah
industri tersebut tidak perlu pergi jauh
untuk membeli obat atau ketika ingin ke
dokter. Gambaran adanya apotik dan
tempat praktik doker tersebut juga
mengandung arti bahwa daya beli
masyarakat di sekitra kawasan industri
juga mengalami peningkatan.
Lembaga keuangan pun juga ada di
sekitar kawasan industri, peluang-peluang
yang ada dengan segera ditangkap oleh
para penyedia barang dan jasa. Jasa di
bidang keuangan pun ada untuk
menfasilitasi antara masyarakat yang
mempunyai kelebihan dana dan masyarakat
yang kekurangan dana. Manusia
mempunyai keinginan untuk
memaksimalkan kepuasannya. Salah satu
kepuasan diperoleh ketika mereka
mengkonsumsi barang yang bersifat
kebutuhan sekunder bahkan mewah.
Kebutuhan sekunder atau mewah itu
kadang mereka peroleh dengan cara kredit.
Lembaga keuangan menangkap peluang
tersebut, dengan jaminan bahwa para
pekerja mendapatkan gaji dari pabrik
tempatnya bekerja, maka dana pun bisa
mereka dapatkan dari lembaga keuangan
tersebut.
Jasa lain yang ada di sekitar
kawasan industri tersebut adalah bengkel
sepeda motor. Sepeda motor merupakan
sarana transportasi utama yang dipilih oleh
para pekerja pabrik. Disaping adanya
kendaraan/bus jemputan, tapi rutenya belum
mencakup semua asal/ tempat tinggal para
pekerja pabrik. Pilihan menggunakan
sepeda motor yang lebih fleksibel, karena
kapanpun mereka berangkat atau
menambah jam kerja lembur bisa
dilakukan. Kendala terhadap kerusakan
sepeda motor inilah yang ditangkap oleh
para pelaku usaha dengan cara mendirikan
bengkel sepeda motor. Usaha untuk
mendirikan bengkel sepeda motor memang
membutuhkan keahlian spesifik mengenai
mesin sepeda motor. Selain menwarkan
perbaikan, bengkel tersebut juga
menawarkan jasa untuk mengganti oli dan
perlengkapan sparepart lainnya.
Fenomena kendaraan sepeda motor
sebagai salah satu alat transportasi utama
meningkatkan permintaan terhadap tempat
untuk menitipkan kendaraan tersebut.
Kawasan di dalam pabrik ternyata tempat
penitipan sepeda motornya masih jauh dari
kapasitas sepeda motor yang dibawa oleh
pekerja. Ini menimbulkan banyaknya
tempat penitipan sepeda motor yang
berada di luar kawasan pabrik. Dari lahan
kosong, dengan modal adanya atap baik
yang terbuat dari seng atau asbes sudah
menjadi tempat yang layak untuk penitipan
sepeda motor. Bahkan dari pendapatan jasa
penitipan sepeda motor ini, para pelaku
usaha penitipan sepeda motor ini bisa
melakukan ekspansi ke bisnis di bidang
40
lain seperti membuka toko sepatu, toko
kelontong atau membuka usaha rumah kos.
Berikut disajikan data mengenai
peningkatan aktivitas perekonomian
masyarakat akibat adanya kawasan industri di
Desa Butuh Kecamatan Mojosongo.
Tabel 1. Data Jumlah Aktivitas
Perekonomian Di Desa Butuh
Aktivitas Perekonomian Jumlah
Warung Makan 47
Warung Kelontong 27
Counter Pulsa/ HP 9
Apotik 1
Rumah Kos >20
Bengkel Motor 3
Lembaga Keuangan 2
Salon 2
Laundry 4
Praktik Dokter 2
Sumber : Survei Lapangan (2013)
2. Dampak Keberadaan Kawasan
Industri di Desa Butuh Terhadap
Pengurangan Jumlah Pengangguran,
serta Peningkatan Tingkat
Pendidikan dan Kesehatan di Sekitar
Kawasan Industri
Aktivitas perekonomian yang terjadi
sebagai dampak keberadaan kawasan
industri di Desa Butuh membawa beberapa
perubahan terhadap masyarakat di sekitar
kawasan industri tersebut. Beberapa
perubahan positif adalah kemampuan para
penduduk di sekitar wilayah industri itu
menangkap peluang berwirausaha. Ada
berbagai macam usaha yang mereka
lakukan, diantaranya adalah membuka
warung makan, warung kelontong,
mendirikan rumah kos dan tempat
penitipan kendaraan bermotor, membuka
usaha laundry, bengkel sepeda motor
bahkan ada pula usaha salon di sekitar
kawasan industri. Di bidang kesehatan, ada
pula yang mendirikan apotik dan tempat
praktik dokter umum dan dokter gigi, serta
ada pula yang lembaga keuangan yang
ekspansi ke daerah tersebut.
Dahulu, masyarakatnya hanya sebagai
peternak saja. Kota Boyolali merupakan
sentra penghasil susu,mereka mengandalkan
produksi susu yang dihasilkan oleh sapi
peliharaan mereka. Susu sapi itu diambil
tiap sore oleh KUD Mojosongo yang
letaknya tidak terlalu jauh dari Desa
Butuh. Kualitas susu yang disetor harus
sesuai dengan kualitas standar Industri
Pengolahan Susu (IPS), dengan harga per
liter berkisar antara Rp. 2.800 – 3.000. Ada
beberapa permasalahan yang biasa dialami
oleh peternak sapi perah, yaitu
ketidakstabilan harga pakan ternak. Harga
pakan ternak pada musim-musim tertentu
sangat fluktuatif, sehingga membuat
keuntungan yang diperoleh para peternak
itu pun berkurang. Atau ketika mereka
beralih ke pakan ternak yang lainnya,
maka produksi susu yang dihasilkan tidak
sesuai dengan kualitas standar yang
ditetapkan oleh IPS sehingga tidak bisa
diterima oleh KUD Mojosongo.
Bagi yang dahulu hanya berladang
saja, dengan kondisi tanah yang tandus
maka hasil yang diperoleh tidak bisa
41
dijadikan sebagai pemasukan yang utama
baginya. Ladang tersebut biasa ditanami
dengan singkong dan pohon pepaya. Masa
panen singkong yang relatif lama, yaitu
mencapai usia 9-10 bulan membuat ladang
tersebut tidak bisa dijadikan sebagai salah
satu sumber utama untuk pemasukan
keluarga. Begitu pula dengan buah pepaya,
baru bisa dipanen setelah usia 9-12 bulan
semenjak penanaman pertama kali. Boyolali
selain sebagai sentra susu perah, juga
sebagai daerah penghasil pepaya terbesar
di Jawa Tengah. Tetapi karena masa panen
lama, dan buah yang dihasilkannya pun
tidak bisa relatif lama maka para petani
pepaya kebanyakan tidak bisa
menghasilkan keuntungan yang besar.
Ketika daerah di sekitar tempat
tinggalnya didirikan industri, maka mereka
mencoba menangkap peluang lain yang
lebih menjanjikan. Peluang yang mereka
tangkap inilah yang mendorong mereka
menjadi wirausahawan, dengan berbagai
macam jenis. Ternyata penghasilan yang
mereka peroleh dari usaha wiraswasta ini
bisa menambah penghasilan sebelumnya
atau menjadi masukan utama bagi
keluarganya.
Jumlah pengangguran di daerah
Boyolali setiap tahun masih mengalami
peningkatan terus. Hal ini salah satunya
disebabkan oleh angka kelulusan sekolah
yang terus meningkat tetapi tidak
diimbangi dengan banyaknya lapangan
pekerjaan. Industri di Desa Butuh
Kecamatan Mojosongo menyerap banyak
tenaga kerja, baik tenaga kerja lokal
maupun tenaga kerja yang berasal dari
luar wilayah. Berdasarkan data yang
diperoleh, penyerapan tenaga kerja bagi
penduduk yang berada di sekitar kawasan
industri jumlahnya lebih sedikit apabila
dibandingkan dengan penduduk yang
berasal dari luar daerah tersebut.
Kecenderungan penduduk di sekitar
kawasan industri adalah lebih suka untuk
berwirausaha memenuhi kebutuhan tenaga
kerja yang ada di kawasan industri tersebut
dibandingkan menjadi tenaga kerja/ buruh
pabrik.
Tambahan pendapatan yang diperoleh
oleh masyarakat di sekitar kawasan industri
pun bisa mengubah cara berfikir mereka
untuk menjadi lebih baik lagi. Ketika
pendapatan yang dahulu mereka peroleh
adalah pas-pasan, maka akses mereka
terhadap pelayanan kesehatan pun terbatas.
Setelah adanya industri, dan kebanyakan
dari masyarakat melakukan wirausaha
maka tambahan pendapatan yang diperoleh
juga semakin besar. Ini yang mendorong
kemudahan akses mereka terhadap
pelayanan kesehatan.
Pentingnya pendidikan ternyata sudah
menjadi prioritas masyarakat untuk
meningkat kesejahteraan mereka.
Memperoleh kehidupan yang lebih baik itu
yang dicita-citakan setiap manusia di muka
bumi ini. Begitu pula dengan masyarakat
sekitar kawasan industri di Desa Butuh
42
Kecamatan Mojosongo Kabupaten Boyolali.
Berdasarkan kuesioner yang kami sebar,
diperoleh hasil bahwa sebagian besar atau
hampir 48 % responden bercita-cita atau
mempunyai harapan untuk bisa
menyekolahkan anaknya hingga jenjang
perguruan tinggi, baik sebelum maupun
setelah adanya industri. Sebanyak 16 %
mempunyai harapan bisa menyekolahkan
anaknya hingga jenjang perguruan tinggi
sesudah adanya kawasan industri tersebut.
Karena pendapatan yang mereka dapatkan
mengalami peningkatan, dahulu sebelum
adanya kawasan industri harapan mereka
hanya bisa menyekolahkan anak hingga
jenjang SMA saja. Sebanyak 7 %
responden juga mempunyai pengharapan
bisa menyekolahkan anaknya hingga
jenjang perguruan tinggi dari sebelumnya
yang berharap anaknya sekolah sampai
dengan tingkat SMP saja. Dan sisanya
kebanyakan mereka mengharap dengan
adanya kawasan industri tersebut yang
memberikan peluang masyarakat untuk
terus berwirausaha, maka mereka bisa
menyekolahkan anaknya sampai dengan
tingkatan yang lebih tinggi dari harapan
sebelumnya ketika pendapatan yang
mereka peroleh terbatas.
Berdasarkan hasil 100 kuesioner yang
sudah tersebar, terdapat hasil bahwa ada
32% responden memilih ke dokter ketika
sakit baik sebelum atau sesudah adanya
kawasan industri tersebut. Yang artinya,
masyarakat di sekitar kawasan industri
tersebut sebenarnya akses terhadap
kesehatannya relatif sudah mudah.
Sebanyak 29 % responden yang
mempercayakan Puskesmas sebagai rujukan
tempat berobat. Biaya yang cenderung
lebih murah tetapi dengan pelayanan yang
memuaskan menjadi pertimbangan mereka.
Sebanyak 12 % responden memilih berobat
ke rumah sakit, baik sebelum maupun
setelah adanya industri. Pertimbangan yang
mereka ambil adalah karena kelengkapan
dokter spesialis dan peralatan yang ada di
rumah sakit. Sebanyak 7% responden
memilih pergi ke mantri kesehatan apabila
mereka sakit, dengan alasan sudah terbiasa
berobat ke mantri dan biasanya obat yang
diberikan relatif murah tetapi manjur.
Sisanya sebanyak 5 % respon yang
berubah tempat berobatnya, ketika sebelum
adanya industri mereka apabila sakit
berobat ke puskesmas, tetapi setelah
adanya industri mereka memilih pergi ke
dokter. Sebanyak 3 % responden yang
berobat ke bidan ketika belum ada industri
di Desa Butuh, dan setelah adanya kawasan
industri mereka pindah berobat ke dokter.
Peningkatan pendapatan yang mengubah
gaya hidup mereka, biasanya untuk
mencari tempat berobat yang lebih baik.
3. Hubungan Antara Keberadaan
Kawasan Industri di Desa Butuh
Kecamatan Mojosongo Kabupaten
Boyolali terhadap Pendapatan dan
43
Pengeluaran Masyarakat Sekitar
Kawasan Industri
Keberadaan suatu industri akan
memberikan pengaruh terhadap pendapatan
dan pengeluaran penduduk yang berada
diwilayah tersebut. Baik secara langsung
maupun tidak langsung akan berkaitan dengan
perekonomian dalam hal ini adalah pendapat
dan pengeluaran dari masyarakat setempat.
a. Uji Dua Sample Berpasangan Untuk
Pendapatan
Uji ini dipergunakan untuk melihat
apakah terdapat perbedaan pendapatan antara
sebelum dan sesudah adanya kawasan
industri di Desa Butuh Kecamatan
Mojosongo Kabupaten Boyolali.
Hipotesis :
H0 = Tidak terdapat perbedaan pendapatan
sebelum dan sesudah adanya kawasan
industri di Desa Butuh Kecamatan
Mojosongo Kabupaten Boyolali.
H1 = Terdapat perbedaan pendapatan
sebelum dan sesudah adanya kawasan
industri di Desa Butuh Kecamatan
Mojosongo Kabupaten Boyolali.
Kriteria hasil uji adalah :
H0 = diterima jika nilai signifiknasi hasil
pengujian > 0,05.
H1 = diterima jika nilai signifikansi hasil
pengujian < 0,05.
Hasil analisis menggunakan uji t terhadap
pendapatan sebelum dan pendapatan setelah
adanya kawasan industri di Desa Butuh
Kecamatan Mojosongo Kabupaten Boyolali
adalah sebesar -4,767 dimana nilai ini < dari
nilai t tabel (1,980). Hal tersebut berarti H1
diterima, ada perbedaan tingkat pendapatan
antara sebelum dan sesudah adanya kawasan
industri di Desa Butuh Kecamatan
Mojosongo Kabupaten Boyolali.
b. Uji Dua Sample Berpasangan Untuk
Pengeluaran
Uji ini dipergunakan untuk melihat
apakah terdapat perbedaan pengeluaran antara
sebelum dan sesudah adanya kawasan
industri di Desa Butuh Kecamatan
Mojosongo Kabupaten Boyolali.
Hipotesis :
H0 = Tidak terdapat perbedaan pengeluaran
sebelum dan sesudah adanya kawasan
industri di Desa Butuh Kecamatan
Mojosongo Kabupaten Boyolali.
H1 = Terdapat perbedaan pengeluaran
sebelum dan sesudah adanya kawasan
industri di Desa Butuh Kecamatan
Mojosongo Kabupaten Boyolali.
Hasil analisis menggunakan uji t terhadap
pengeluaran sebelum dan sesudah adanya
kawasan industri di Desa Butuh Kecamatan
Mojosongo Kabupaten Boyolali adalah
sebesar -4,769 dimana nilai ini < dari nilai t
tabel (1,980). Hal tersebut berarti H1 diterima,
ada perbedaan tingkat pengeluaran antara
sebelum dan sesudah adanya kawasan
industri di Desa Butuh Kecamatan
Mojosongo Kabupaten Boyolali.
4. Analisis Faktor yang Mempengaruhi
Keinginan Berwirausaha Masyarakat
44
di Desa Butuh Kecamatan Mojosongo
Kabupaten Boyolali.
Hasil olahan data mengenai factor-
faktor yang mempengaruhi keinginan
berwirausaha masyarakat yang berada di
sekitar kawasan industri Desa Butuh
Kecamatan Mojosongo Kabupaten Boyolali
setelah dicari nilai odd rationya tersaji sebagai
berikut :
Tabel 2. Nilai Odds Ratio Variabel Yang
Mempengaruhi Keinginan
Berwirausaha
Variabel Odd Ratio Probabilitas
C -39.537739 0.722878362
Pendidikan 13.032753 0.083602557
Jumlah Keluarga 6.204323 0.729449762
Status 67.362132 0.283635169
Usia -2.037810 0.328633498
Pengeluaran 0.000076 0.097335764
Pendapatan -0.000036 0.058911586
Sumber : Data Primer diolah (2013)
Berdasarkan tabel 2, maka bisa diambil
kesimpulan sebagai berikut :
Koefisien regresi dari variabel
pendidikan adalah sebesar 0.12250, dengan
probablilitas sebesar 0.0836 maka variabel
pendidikan pada taraf signifikansi 10%
mempunyai pengaruh terhadap keinginan
berwirausaha. Odds ratio yang diperoleh
adalah sebesar 13.032753 yang berarti
apabila pendidikan meningkat satu tingkat
atau satu jenjang, maka probabilitas
kemungkinan keinginan untuk berwirausaha
naik sebesar 13,03 %.
Koefisien regresi variabel jumlah
tanggungan keluarga adalah sebesar
0.060194631, dengan probabilitas sebesar
0.7295 maka dapat disimpulkan bahwa
variabel jumlah tanggungan keluarga tidak
berpengaruh terhadap keinginan
berwirausaha masyarakat di Desa Butuh
Kecamatan Mojosongo pada taraf
signifikansi 10%.
Hasil olahan data menunjukkan
koefisien status pernikahan adalah sebesar
0.514989732. Sedangkan tingkat
probabilitasnya aalah sebesar 0.2836, yang
berarti pada taraf signifikansi 10 %
variabel status pernikahan tidak
mempengaruhi terhadap keinginan
berwirausaha dari masyarakat di sekitar
kawasan industri di Desa Butuh Kecamatan
Mojosongo.
Koefisen regresi dari variabel usia
adalah sebesar -0.020588601 dengan odds
ratio sebesar -2.037810. Probabilitas
variabel usia adalah sebesar 0.328633498.
Maka dapat disimpulkan pada taraf
signifikasi 10 %, variabel usia tidak
berpengaruh terhadap keinginan
berwirausaha masyarakat yang berada di
sekitar kawasan industri di Desa Butuh
Kecamatan Mojosongo Kabupaten Boyolali.
Koefisien regresi variabel pengeluaran
adalah sebesar 0.0000007 dengan
probabilitas sebesar 0.097335764 dan odds
ratio sebesar 0.000076 . Maka dapat
disimpulkan pada taraf signifikansi 10 %,
variabel pengeluaran berpengaruh terhadap
45
keinginan masyarakat untuk berwirausaha.
Adapun arti dari odds ratio tersebut adalah
apabila pengeluaran sebelum adanya
industri meningkat 1 rupiah, maka
kemungkinan keputusan untuk
berwirausaha bagi masyarakat di sekitar
kawasan industri akan meningkat sebesar
0,000076 %.
Koefisien regresi variabel pendapatan
adalah sebesar -0.0000003 dengan
probabilitas sebesar 0.058911586. Maka
dapat disimpulkan bahwa variabel
pendapatan berpengaruh signifikan terhadap
keputusan berwirausaha bagi masyarakat
yang ada di sekitar kawasan industri pada
taraf signifikansi sebesar 10 %. Odds ratio
yang diperoleh sebesar -0.000036, yang
mengandung arti apabila pendapatan
masyarakat sebelum adanya industri
meningkat sebesar 1 rupiah, maka
kemungkinan keputusan untuk
berwirausaha akan turun sebesar
0,000036%.
F. Kesimpulan
1. Perekonomian masyarakat di sekitar
kawasan industri di Desa Butuh
Kecamatan Mojosongo dengan
berdirinya beberapa pabrik membuat
semakin berkembang. Masyarakat yang
dahulu hanya bertani, beternak dan
berladang sekarang sudah banyak yang
menangkap peluang untuk berwirausaha.
Banyaknya permintaan akan kebutuhan
barang dan jasa menyebabkan kawasan
di Desa Butuh semakin ramai, dan
mendorong masyarakat di sekitar wilayah
tersebut untuk membuka warung makan,
toko kelontong, rumah kos, jasa laundry,
bengkel sepeda motor, bahkan hingga ke
apotik, praktik dokter dan salon.
2. Dampak keberadaan kawasan industri di
Desa Butuh Kecamatan Mojosongo bisa
mengurangi angka pengangguran di desa
tersebut. Tenaga kerja yang terserap
berasal dari dalam dan luar wilayah
Desa Butuh. Tetapi kebanyakan
masyarakat di Desa Butuh memilih untuk
berwirausaha di sekitar kawasan industri
tersebut daripada menjadi buruh pabrik.
Tambahan pendapatan yang diperoleh,
menggeser cara berfikir masyarakat di
sekitar kawasan industri tersebut dalam
bidang pendidikan dan kesehatan. Di
bidang pendidikan, mereka berharap bisa
menyekolahkan anaknya hingga jenjang
yang paling tinggi sedangkan di bidang
kesehatan, dengan adanya tabahan
pendapatan dari berwirausaha membuat
mereka semakin mudah untuk
mendapatkan akses kesehatan yang lebih
layak.
3. Terdapat perbedaan pendapatan dan
pengeluaran antara sebelum dan sesudah
adanya kawasan industri di Desa Butuh
Kecamatan Mojosongo Kabupaten
Boyolali.
4. Variabel pendidikan, pengeluaran dan
pendapatan berpengaruh terhadap
keinginan untuk berwirausaha.
46
Sedangkan variabel jumlah tanggungan
keluarga, status dan usia tidak
berpengaruh terhadap keinginan untuk
berwirausaha bagi masyarakat yang
berada di sekitar kawasan industri di
Desa Butuh Kecamatan Mojosongo
Kabupaten Boyolali.
G. SARAN
1. Perusahaan yang ada di Desa Butuh,
yaitu PT. Pan Brothers dan Pilar Sejati
Sejatera hendaknya membuat program
CSR yang berupa pelatihan atau
pendampingan untuk meningkatkan
kemampuan berwirausaha bagi
masyarakat di sekitar wilayah industri
tersebut.
2. Masyarakat pendatang hendaknya
diikutsertakan pada kegiatan sosial yang
ada di daerah tersebut untuk
menghilangkan adanya batas antara
warga pendatang dan warga asli daerah
Desa Butuh.
3. Pemerintah Boyolali hendaknya
membuat kebijakan untuk menambah
ketrampilan, permodalan bagi pelaku
wirausaha serta melakukan penataan
sehingga tidak terkesan kumuh di sekitar
wilayah industri tersebut.
Daftar Pustaka
Alma, Buchori, 2007, Kewirausahaan,
Alfabeta, Bandung. Cultural Council of Indiana River County,
2012, The Economics Impact of
Creative Industry in Indiana river County in 2010.
Dandekar, C Hemalata, 1983, The Impact of
Bombay’s Textile on Work of Women From Sugao Village, Third World Planning Review, Volume 5, Number 4/1982: November.
Dumairy, 1996, Perekonomian Indonesia,
Erlangga, Jakarta.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/12345678
9/23570/3/Chapter%20II.pdf diakses
pada 15 Desember 2012 pukul 22.00
WIB.
Indra Setyo Nugroho, 2010, Dampak
Keberadaan Industri Tekstile PT
Delta Dunia Tekstil Terhadap
Aktifitas Ekonomi Masyarakat Desa
Brujul Kabupaten Karanganya,
Skripsi, Tidak Untuk
Dipublikasikan, UNS.
Irawan dan M. Suparmoko, 1998,
Ekonomika Pembangunan, BPFE
Yogyakarta, Yogyakarta.
Nachrowi D. N & Hardius Usman, 2006,
Pendekatan Populer dan Praktis
Ekonometrika untuk Analisis
Ekonomi dan Keuangan, LP FE
UI, Jakarta.
Mubyarto, 1988, Sistem dan Moral
Ekonomi Indonesia, LP3ES,
Jakarta.
Mudrajat Kuncoro, Artidiatun Adji, Rimawan
Pradiptyo, 1997, Ekonomi Industri
: Teori, Kebijakan, dan Studi
Empiris di Indonesia, Widya
Sarana Informatika, Yogyakarta.
Myles, Albert and Garen Evans, 2005,
Measuring The Impact of New Industry in Town, Mississippi State
University Publication.
Publication.
Nur Feriyanto, 2004, Profil Industri Kecil
Tekstil dan Produk Tekstil (TPT)
di Kabupaten Klaten, Jurnal
47
Ekonomi Pembangunan , Vol 9 No
1, Juni 2004, Hal 91-104.
Priyatno, Duwi,. 2010. Paham Analisis
Statistik Data Dengan SPSS. PT
Buku Seru.
Todaro, Michael, 2006, Ekonomi
Pembangunan, Erlangga.
Jakarta.Viva Tjafura Ni’mah, 2012,
Analisis Dampak Perusahaan
Rokok Alfi Putra Terhadap
Kesejahteraan Masyarakat di Desa
Gembleb Kecamatan Pogalan
Kabupaten Trenggalek, diakses
melalui www.um.library.ac.id pada
tanggal 2 Desember 2012 pukul
20.05 WIB.
www.antaranews.com
www.boyolalikab.go.id
www.bps.go.id
48
SUARA AKAR RUMPUT: KEBUDAYAAN YANG
MENDASARI PERILAKU EKONOMI
Yogi Pasca Pratama
Universitas Sebelas maret
Asfi Manzilati [email protected]
Universitas Brawijaya
Abstract
Social values that are believed to individuals are often more than just maximizing profit motive
alone that ultimately basing all economic interactions carried out in accordance moral owned
economy and believed. Geographical location Wonosari village located on the border of two
different areas of cultural assimilation implications developed in the community. Tendency blend of
Javanese and Islam reflected in the current market in Wonosari Village and patterns of behavior of
individuals who sought not in conflict with prevailing social values.
This study aims to determine the underlying culture of economic behavior faced with the
rationalization of neoclassical economics. The method used to explore and explain the economic
decisions through qualitative research methods with the paradigm of phenomenology, given the
Wonosari Village believes strongly in the local social and cultural values that influence patterns of
behavior in interaction.
Results of the study found that there is some value in line with neoclassical economic
rationalization, where all things in economic interactions must be for-profit, and there is also
contrary to the values of economic rationalization. The conclusion to be drawn is the value of a
good adherence to the parents and to the specific role turned out in line with the rationalization of
the economy rests on the efficiency to obtain profit maximization. But there is also a value that is
not in line with economic rationalization that is in adherence to religious values and local culture,
which prefers good relations between people rather than the profit motive.
Keywords: rationality economy, culture
A. Pendahuluan
Kesadaran akan pentingnya motif non
ekonomi dalam mengambil penjelasan yang
benar dari aspek ekonomi dan hukum-hukum
yang mengatur aspek-aspek non ekonomi
tersebut seringkali dilupakan, sehingga motif
non ekonomi dipandang sebagai faktor yang
tidak masuk dalam operasi hukum ekonomi.
Mubyarto (2002:1) mengungkapkan bahwa
ilmu ekonomi yang diterapkan kebanyakan
saat ini dikenal sebagai teori ekonomi
Neoklasik. Ajaran ekonomi Neoklasik
merupakan sintesa teori ekonomi pasar
persaingan bebas Klasik (Homo ekonomikus
dan invisible hand Adam Smith), dan ajaran
marginal utility dan keseimbangan umum
Neoklasik. Tekanan ajaran ekonomi
Neoklasik adalah bahwa mekanisme pasar
persaingan bebas, dengan asumsi-asumsi
tertentu, selalu menuju keseimbangan dan
efisiensi optimal yang baik bagi semua orang.
Artinya jika pasar dibiarkan bebas, tidak
diganggu oleh aturan-aturan pemerintah yang
bertujuan baik sekalipun, masyarakat secara
49
keseluruhan akan mencapai kesejahteraan
bersama yang optimal atau disebut pareto
optimal.
Oleh karena itu diperlukan suatu
pendekatan yang bisa mencakup keputusan
ekonomi yang diciptakan akibat motif non
rasional. Witte (dalam Yustika, 2006:46)
menyatakan bahwa ekonomi kelembagaan
tidak menfokuskan kepada apa yang disebut
oleh beberapa ahli ekonomi sebagai motif-
motif ekonomi (economic motives), yakni
konsentrasi untuk memperoleh pendapatan
(gain), motif laba (profit motives) atau
memaksimalkan sesuatu yang memiliki nilai
material. Ekonomi kelembagaan telah
mengenal pentingnya perilaku manusia non
rasional (non rational human behaviour)
dalam pembuatan keputusan ekonomi pada
level motivasinya. Motivasi yang kuat dari
perilaku individu dapat berupa perilaku haus
terhadap kekuasaan dan petualangan, rasa
kemerdekaan, sifat mementingkan orang lain,
keinginan tahu, serta adat dan kebiasaan
(Yustika, 2006:85).
Kasper dan Streit mengungkapkan
bahwa kebudayaan mempengaruhi perilaku
sosial, termasuk perilaku ekonomi di
dalamnya. Kebudayaan yang dimaksud terdiri
dari bahasa, kumpulan ide atau pemikiran,
nilai-nilai, institusi internal dan eksternal.
Juga mencakup kesenian, ritual, simbol dan
pengalaman seseorang. Yang mana komponen
yang ada di dalam kebudayaan tersebut
terbentuk melalui proses dan menjadi pondasi
bagi perilaku manusia baik perilaku sosial
maupun perilaku ekonomi (Mariawati,
2006:7). Seperti yang diungkapkan Suradi
(2005:1) bahwa komunitas Osing termasuk
dalam komunitas yang memiliki pola
komunikasi dan interaksi sosial horizontal-
egaliter. Citra sebagai masyarakat terbuka
tersebut berhubungan dengan aktualisasi diri
setiap anggota masyarakat yang apa adanya,
terang-terangan, tanpa basa-basi, dan mudah
akrab. Masyarakat yang nilai sosial
budayanya bersifat terbuka terkesan kasar dari
sudut budaya yang mengenal kaidah kasar-
halus atau kromo-ngoko, tetapi mereka dapat
mengaktualisasikan dirinya secara utuh dan
dapat membicarakan realitas sosial secara apa
adanya.
Begitupula dengan kebudayaan Jawa.
Berdasarkan paradigma Barat, dikatakan
umumnya agama kaum Muslimin yang
tinggal di Jawa adalah agama Jawa
(Javanisme). Biasanya pemeluk agama ini
berkeyakinan bahwa segala sesuatu pada
hakikatnya adalah Satu, merupakan kesatuan
hidup. Selanjutnya Javanisme meliputi lebih
banyak bidang. Jika agama-agama formal
hanya mengenal adanya bidang sakral dan
bidang profan, maka Javanisme memandang
kehidupan manusia selalu terpaut dalam
kosmos alam raya, dan dengan demikian
hidup manusia merupakan semacam
pengalaman religius. Mulder (1996:31)
mengungkapkan bahwa “kehidupan manusia
hendaklah dalam keadaan seimbang-tenang
dengan Jagat Raya; jangan sekali-kali
manusia itu ingin menaklukkan alam, jangan
50
bersaing dan berambisi atau ingin mencapai
sesuatu dengan jalan terlalu memperhatikan
barang-barang materiil. Pendekatan terhadap
hidup dan kenyataan itu tak lain dan tak
bukan daripada sikap narimo dan sujud
terhadap kehadiran Ilahi yang meliputi segala
sesuatu, terhadap Sang Hyang Maha Kuasa.”
Keyakinan ini terwujud dalam kebatinan dan
mistik Jawa.
Sejalan dengan Mulder, Soeratman
(1989:99) menguraikan bahwa “...agama
Islam yang bersifat sinkretik, yang disebut
dengan istilah Agama Jawi atau Kejawen.
Agama ini merupakan Agama Islam yang
bercampur dengan keyakinan dan konsep-
konsep Hindu-Buddha yang cenderung ke
arah mistik, serta unsur-unsur yang berasal
dari zaman pra-Hindu.”. Apabila paradigma
Barat cenderung mengeliminasi apapun yang
berbau Islam, tetapi dari pandangan lain
Javanisme tidak dapat dilepaskan dari Islam
yang sebenarnya.
Keunikan terjadi manakala keputusan
ekonomi terjadi atas pengaruh dari nilai-nilai
lokal yang ada. Bagaimana seorang pelaku
ekonomi melaksanakan kegiatan ekonomi
tanpa keinginan untuk mendapatkan laba,
bahkan lebih menjunjung tinggi nilai yang
diyakininya daripada motif-motif ekonomi
yang selalu menjadi kajian utama dalam teori
ekonomi Neoklasik. Maka tulisan ini akan
membahas realita yang ada di mana
keputusan ekonomi seringkali didasari oleh
motif-motif non ekonomi.
B. Pengaruh Budaya dan Perkembangan
Ekonomi
Pembangunan ekonomi akan
menimbulkan dampak pada nilai budaya
seperti yang diidentifikasikan Inglehart dan
Baker (2000:37). Penelitiannya pada 61
golongan masyarakat pada tahun 1995
mengungkapkan bahwa level jaminan hidup
(existensial security) adalah penyebab utama
dari perubahan level nilai (intergenerational
value change) dan perbedaan nilai dalam
masyarakat berhubungan erat dengan
tingginya ekspektasi hidup (highest life
expectancies). Menurut Inglehart dan Baker,
yang mengidentifikasi versi kebudayaan yang
menjadi mainstream masyarakat pra-industri
menunjukkan data bahwa terdapat tingkat
toleransi yang rendah terhadap aborsi,
perceraian, dan homoseksualitas; masyarakat
memiliki penekanan yang kuat pada
keagamaan; adanya tendensi penekanan atas
dominasi lelaki pada kehidupan ekonomi dan
politik; rasa hormat pada otoritas keluarga,
dan pentingnya kehidupan berkeluarga; dan
politiknya relatif otoriter. Masyarakat industri
yang lebih maju memiliki karakteristik-
karakteristik yang berbeda dari masyarakat
pra-industri. Dikotomi ekspresi bertahan
hidup diekspresikan dengan rasa saling
percaya, toleransi, kesejahteraan yang
subyektif, aktivitas politik, dan ekspresi diri
yang timbul pada masyarakat post-industrial
dengan tingkat jaminan yang tinggi. Pada sisi
ekstrim yang lain, orang-orang dalam
masyarakat terbentuk oleh tingkat
51
kesejahteraan yang rendah dan absennya
jaminan, yang menekankan pada jaminan
ekonomi dan fisik di atas segala tujuan,
merasa terancam oleh orang asing dan
keberbedaan etnis, dan menghindari resiko
dalam perubahan. Kesemua hal tersebut
menjadikan tidak adanya toleransi pada kaum
gay dan komunitas-komunitas di luar
kelompoknya, adanya desakan atas aturan-
aturan gender yang tradisional, dan
pandangan politik otoriter.
Studi Osborne menemukan fakta yang
berbeda dengan studi Inglehart dan Baker.
Osborne (2001: 668) mengkaji “kasta”
dengan studi kasus India sebagai
permasalahan budaya. Osborne menunjukkan
bahwa logika dari kekuatan pengelompokan
masyarakat India pada masa lampau sangatlah
sederhana. Apabila muncul pemerintahan yang
secara agresif mengintervensi, maka pilihan
masyarakat adalah mendapatkan rente dari
sistem kasta tersebut atau mendapatkan sesuatu
yang lain. Keanggotaan sistem kasta sangat
mudah diverifikasi dan memerlukan biaya yang
kecil dalam mengorganisasikannya, jadi
sangatlah sulit jika keanggotaan dari satu kasta
berpindah secara mudah pada kasta yang lain,
kontinuitas atas identitas ini menjadikan
kekuatan kebudayaan yang powerful di
masyarakat India. Pembuktian inilah yang
membawa sistem kasta dan etnis lebih penting
daripada kepentingan ekonomi, spesifikasi
kelas, dan organisasi. Rendahnya biaya
organisasi yang ditimbulkan akibat adanya
sistem kasta menciptakan intervensi
pemerintah India untuk mengakomodir sistem
tersebut walaupun terdapat perubahan-
perubahan sistem ekonomi di luar komunitas
tersebut.
Thomphson (2001:1) mengungkapkan
bahwa kelompok-kelompok masyarakat yang
berbeda-beda juga mengikuti lintasan-lintasan
yang berbeda pula walaupun mereka memiliki
tujuan yang sama pada suatu pembangunan
ekonomi. Pembangunan kelompok
masyarakat yang khusus dapat pula dibentuk
oleh satu atau lebih dari satu faktor situasi
yang spesifik, seperti budaya, geografi,
teknologi, cuaca, dan lain sebagainya.
DiMaggio juga mengungkapkan bahwa
sebagian besar dari nilai-nilai tradisional dan
komponen dari kebudayaan tidak mempan
terhadap perubahan ekonomi dan politik.
Kasper dan Streit (dalam Mariawati,
2006:7) mengungkapkan bahwa kebudayaan
mempengaruhi perilaku sosial, termasuk
perilaku ekonomi di dalamnya. Kebudayaan
yang dimaksud terdiri dari bahasa, kumpulan
ide atau pemikiran, nilai-nilai, institusi
internal dan eksternal, juga mencakup
kesenian, ritual, simbol dan pengalaman
seseorang. Komponen yang ada dalam
kebudayaan tersebut terbentuk melalui proses
dan menjadi pondasi bagi perilaku manusia
baik perilaku sosial maupun perilaku
ekonomi.
Keseluruhan dari aktivitas ekonomi telah
termasuk dalam hubungan kemasyarakatan.
Pandangan yang berkembang dalam masyarakat
bahwa ekonomi di negara berkembang secara
52
total adalah rasional, dengan pengertian perilaku
ekonomi dipisahkan dari sosial, agama, muatan
politik, dan selalu sesuai dengan logika
ekonomi; tetapi hal ini tidak sepenuhnya
benar. Sebagai contoh, alasan Amerika serikat
menghentikan impor gula pada Cuba pada
tahun 1960 adalah alasan politik, tidak secara
ekonomi; contoh berikutnya adalah puncak
aktivitas retail terjadi pada akhir bulan
Desember yang didasarkan pada alasan
religius yang bertepatan dengan saat Natal
yang dirayakan oleh mayoritas warga
Amerika serikat (Plattner, 1989:4).
Pemisahan dari perilaku inilah yang
menciptakan permasalahan bagi ekonomi
antropologi, yang mana menganalisa sesuatu
yang tampaknya seperti produksi “ekonomi”
tetapi juga jelas muatan “religius”. Plattner
(1989:11) mengungkapkan sebuah contoh
dalam kehidupan petani Mayan Indian di
mana memiliki anggaran tersendiri yang
diperuntukkan bagi pelantun doa yang akan
mendoakan lading jagung yang akan digarap,
karena para petani percaya jagung yang
ditanam tidak akan tumbuh tanpa adanya si
pelantun doa. Biaya yang dibayarkan kepada
si pelantun doa merupakan ongkos produksi
yang secara nyata dikeluarkan oleh petani,
tetapi tidak ditujukan kepada para ahli
pertanian yang mengunjungi area tanam untuk
memberi pengetahuan cara tanam yang lebih
baik agar jagung yang ditanam tumbuh
dengan baik.
Rasionalisasi ekonomi yang
berhubungan dengan produktifitas yang tinggi
akan tercapai apabila petani Mayan Indian
tidak membuang waktu dengan berdoa kepada
Dewa Bumi (Earth Gods), dengan
perbandingan bahwa di Amerika Serikat akan
mengalokasikan waktu libur untuk tetap
bekerja demi mencapai produktifitas yang
tinggi. Petani Mayan Indian akan merespon
logika tersebut dengan petani Mayan Indian
bekerja untuk hidup, bukannya hidup untuk
bekerja (they are working to live, not living to
work).
Ekonomi antropologi yang
menganalisa pilihan atas suatu produk dengan
keputusan yang rasional yang mencakup nilai
marginal disebut formalis. Pendekatan
formalis ini menekankan pada asumsi di mana
setiap kebudayaan menerapkan pilihan yang
rasional pada pola pikir, batasan-batasan, dan
pola pikir oportunitas. Kritik terhadap tipe
ekonomi antropologi formalis memiliki suatu
argumen yang kuat di mana pendukung tipe
substantif tidak mempercayai bahwa
kelangkaan (scarcity) adalah termasuk bagian
dari kondisi seseorang. Kelangkaan pada
masyarakat primitif didefinisikan sebagai
kelangkaan kesejahteraan (scarcity of wealth),
secara historis kebanyakan disebabkan oleh
penetrasi dari kapitalisme barat pada
masyarakat setempat. Tipe ekonomi
antropologi substantif memandang kasus
petani kecil (peasant) pada strategi produksi
lebih pada produksi untuk digunakan
(production for use) dalam artian subsisten
daripada produksi untuk pertukaran
(production for exchange). Petani yang tidak
53
memasuki pasar untuk melaksanakan
pertukaran mengakibatkan nilai pasar dari
barang dan jasa menjadi tidak relevan dan
disimpulkan tidak tepatnya penggunaan
model yang berbasis pilihan dalam suatu
kelangkaan dikarenakan bersifat ethnosentris.
Pendukung substantif juga menolak
penggunaan kosakata yang berhubungan
dengan pasar finansial kapitalis untuk
menjelaskan institusi dalam suatu kelompok
atau masyarakat seperti “interest”, “credit”,
dan “capital”.
Perilaku ekonomi yang dibahas
berhubungan dengan perilaku ekonomi
individu di pasar yang lebih terlihat “sosial”
daripada “ekonomi”. Granovetter (dalam
Plattner, 1989:210) mengungkapkan bahwa
pada dasarnya terdapat dua cara yang saling
berlawanan dalam sebuah transaksi. Transaksi
dapat berupa impersonal atau atomized dan di
sisi yang lain adalah personal atau dapat
dikatakan embedded. Pelaku transaksi
impersonal tidak memiliki hubungan yang
lain di luar pertukaran dalam jangka pendek
tersebut dan secara organisasi bersifat
atomized atau tidak terorganisasi dalam suatu
perkumpulan atau struktur sosial. Sedangkan
pada pelaku transaksi personal, transaksi
antara orang per orang memiliki hubungan
yang tahan lama (endures) setelah adanya
suatu pertukaran, selain itu pelaku transaksi
ini tergabung dalam jaringan dari suatu
hubungan sosial.
Menurut Bennet (dalam Plattner,
1989:212), realitasnya mode pasar impersonal
dan personal tidak secara jelas terpisahkan.
Korporasi seringkali menginginkan para
pekerjanya memiliki perasaan loyal kepada
perusahaan selayaknya keluarga. Hal ini
berarti secara normal bahwa para pekerja
harus menempatkan tujuan-tujuan perusahaan
di atas kepentingan pribadi para pekerja
dalam jangka pendek, untuk menjadi bagian
dalam mencapai ekspektasi kesuksesan
jangka panjang perusahaan. Keluarga para
petani seringkali saling bertukar barang dan
jasa atas nama saling bertetangga dan
pertemanan, sambil mereka menyimpan
perhitungan atas nilai ekonomi barang dan
jasa yang dipertukarkan “untuk menjaga
segalanya berjalan lurus”. Salah satu teori
organisasi yang disebutkan Ouchi (1980
dalam Pratama, 2007:18) mengatakan tentang
“clan” dalam organisasi industri di mana
perusahaan akan meraih produktivitas yang
tinggi dengan menerapkan bentuk hubungan
kerja kekeluargaan (kinship-type role
expectation).
Pada model ekonomi klasik dari
persaingan sempurna, telah diprediksikan
secara utuh informasi mengenai barang,
transaksi, dan aktor atau pelaku ekonominya.
Tetapi dalam kenyatannya untuk kepentingan
keamanan dan keputusan yang penting maka
informasi selalu dalam keadaan yang tidak
sempurna dan tidak lengkap.
Nelson (dalam Plattner, 1989:214)
mengungkapkan dua aspek dari barang, yaitu
“search” dan “experience quality”. Aspek
yang pertama berhubungan dengan atribut
54
yang jelas seperti contohnya bentuk, ukuran,
warna pada pakaian. Masalah yang dihadapi
konsumen adalah ketika menempatkan
preferensi pada atribut yang tersedia di pasar.
Sedangkan pada “experience quality”
berhubungan dengan atribut yang muncul
setelah barang tersebut dipergunakan,
misalnya kekuatan tahan lama dari suatu
pakaian. Masalah yang dihadapi konsumen
pada aspek barang ini adalah mengetahui
“experience quality” sebelum membeli,
padahal kualitas dari suatu barang adalah
tidak terlihat.
Aturan dalam pembayaran pun
terdapat suatu spesifikasi dari apa yang
ditukarkan (tunai, barang lain, atau jasa) dan
jangka waktu (pembayaran segera,
pembayaran secara kredit, dan lain-lain).
Sebagai contoh, adalah studi yang dilakukan
Plattner di Chiapas, Mexico. Pedagang dari
Chiapas akan menjual barang lebih murah
pada konsumen Indian yang berada di
hinterland di mana pedagang Chiapas
membeli kebutuhan pangan dan logistik. Di
dalam pemikiran pedagang, rendahnya
pendapatan yang didapatkan dari penjualan
barang-barang akan menjamin keramahtamahan
(the assurance of hospitality) dari suku Indian.
Sebaliknya dari sisi suku Indian, dengan
ditunjukkannya suatu sikap ramah maka akan
didapatkan barang-barang dengan harga yang
lebih murah dan terciptanya perdagangan
perantara dari sebuah kebudayaan.
Kebudayaan merupakan adat istiadat
yang menyangkut nilai-nilai, norma-norma,
dan kebiasaan-kebiasaan dalam hidup sehari-
hari yang dianut oleh sekelompok orang dan
berfungsi sebagai pedoman tingkah laku.
Menurut Bath (dalam Suparlan, 1986:1)
setiap golongan suku bangsa atau etnik
mempunyai seperangkat kebudayaan yang
melekat pada identitas suku bangsa atau etnik
tersebut, yang sewaktu-waktu bila diperlukan
dapat diaktifkan sebagai simbol-simbol untuk
identifikasi dan untuk menunjukkan adanya
batas-batas sosial dengan golongan suku
bangsa atau etnik lainnya dalam interaksi.
Rahmani (1992:145) mengungkapkan
bahwa nilai adat budaya sangat berguna untuk
mengaktualkan nilai-nilai estetika dalam
kehidupan kita, dan sekaligus dapat dijadikan
sebagai instrumen penjaga identitas dan
perekat kesatuan bangsa. Dalam kehidupan
orang Melayu senantiasa ditekankan tentang
kehidupan yang saling menghormati, saling
memberi, rukun dan damai, rasa persaudaraan
dan kekeluargaan, keramahtamahan dan
keterbukaan, kesetiakawanan, tenggang rasa,
kemauan untuk bekerja keras, hemat dan
prasaja (Diah, 1988:1). Rab (dalam
Syafriman, 2004:1) mengungkapkan bahwa
orang suku bangsa Melayu yang baik selalu
merendahkan diri, tidak menonjolkan dirinya,
tidak mau memaksakan kemauannya jika
bertentangan dengan kemauan orang lain,
senantiasa sahaja dan sedia kompromi. Nilai-
nilai tersebut diperkenalkan dan ditanamkan
sejak dini kepada anak-anak Melayu. Proses
perubahan sosial juga tidak akan berhenti dan
akan terus melanda masyarakat Melayu
55
sehingga mungkin telah berdampak pada telah
terjadinya berbagai perubahan nilai. Harahap
(1986:24) mengatakan bahwa beberapa
daerah ternyata memiliki sejumlah
mekanisme kepemimpinan dan kearifan
sebagai bagian dari nilai adat budaya. Dalam
konsep adat budaya daerah terdapat beberapa
kearifan lokal dan sejumlah kepemimpinan
lokal yang kesemuanya potensial dalam
menata masyarakat damai dengan identitas
dan integritas bangsa yang kuat.
Wenke (1980:431) mengungkapkan
ilustrasi penekanan pada level administratif,
dimisalkan pada desa pertanian yang masih
sederhana, banyak keputusan yang harus
dibuat sehubungan dengan tanaman-tanaman
apa yang hendak ditanam, berapa banyak
hasil panen yang akan disimpan, siapa yang
menggarap lahan, keputusan untuk menikah,
dan lain sebagainya. Kebanyakan dari
keputusan-keputusan tersebut dibuat individu-
individu, tetapi beberapa yang lain terutama
keputusan yang berdampak pada masyarakat
diputuskan oleh kepala desa. Dapat dikatakan
kemudian, bahwa kepala desa
merepresentasikan pembuat keputusan tingkat
pertama dalam suatu hirarki, kepala desa
memerintahkan aktivitas-aktivitas kepada
orang-orang untuk dikerjakan. Level
administratif kedua ada apabila ada orang-
orang yang berhubungan dengan gugus tugas
yang diperintahkan kepala desa, bisa berupa
membenarkan atau menindaklanjuti
keputusan tersebut, bisa juga agen-agen
pemerintah yang berhubungan dengan pajak
dan administrasi lokal. Beberapa agen akan
menjadi level administratif level ketiga, dan
level-level penambahan akan muncul di
atasnya.
Boeke (1983:16) mengungkapkan
bahwa wilayah perdesaan di dunia ketiga
biasanya dideskripsikan sebagai tempat bagi
orang-orang untuk bekerja di sektor pertanian.
Sementara itu dalam pengertian yang sempit,
desa adalah suatu mayarakat petani yang
mencukupi hidup sendiri atau swasembada.
Ciri penting dari penduduk di perdesaan ini
adalah masalah kepemilikan tanah. Tanah
masih merupakan dasar utama dari
kesejahteraan dan kekuatan politik di wilayah
perdesaan. Tetapi proses komersialisasi sektor
pertanian yang mulai dipraktikkan pada tahun
1960-an, yakni melalui serangkaian kebijakan
yang berupaya meningkatkan pertumbuhan
sektor pertanian, yakni revolusi hijau dan
penciptaan petani yang rasional malah
semakin mematikan ekonomi perdesaan.
Proses pertumbuhan pertanian komersial
tersebut malah kian menjepit posisi petani
dari beberapa cara, antara lain: (i) kaum tani
menjadi tidak terlindungi dari ketidakpastian
baru yang disebabkan oleh ekonomi pasar
yang memperbesar variasi penghasilannya;
(ii) terjadinya erosi nilai-nilai yang hidup di
desa dan kekerabatan sebagai pemberi
perlindungan dan pemikul resiko secara
bersama-sama; (iii) berbagai “katub
pengaman” subsistensi tradisional atau
pekerjaan tambahan untuk menyambung
hidup menjadi berkurang atau hilang sama
56
sekali; (iv) pemilik tanah yang sebelumnya
memikul sebagian resiko pertanian dapat
mengutip lebih banyak lagi dari petani lewat
sewa dan memungut bagian penghasilan
penggarap; (v) negara sering menaikkan
penerimaan pajak melalui pungutan dari
kegiatan pertanian (Scott, 1976:57).
C. Metode Penelitian
Penelitian ini didasarkan pada realitas
yang dibentuk oleh nilai-nilai sosial, politik,
budaya, ekonomi, etik, dan gender yang
terkristalisasi melalui proses perjalanan dan
waktu. Pada pendekatan kualitatif, data yang
dikumpulkan umumnya berbentuk kata-kata,
gambar, dan bukan angka-angka, kalaupun
ada angka-angka sifatnya hanya sebagai
penunjang. Data yang dimaksud meliputi
transkrip wawancara, catatan dan lapangan,
foto-foto, dokumen pribadi, nota dan catatan
lain-lain (Danim, 2002:61).
Suatu perilaku dipengaruhi oleh segi
budaya yang di dalamnya tercakup segala
pengetahuan, pengalaman, kepercayan,
simbol, dan aturan-aturan yang berlaku dalam
masyarakat dengan perannya sebagai pelaku
ekonomi. Dalam hal ini fokus perilaku adalah
keputusan ekonomi yang didasari motif non
rasional dari individu.
Paradigma yang digunakan dalam
penelitian ini adalah fenomenologi, di mana
peneliti dalam pandangan fenomenologis
berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-
kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam
situasi tertentu. Seperti dalam Manzilati
(2005:1), fenomenologi tidak berasumsi
bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi
orang-orang yang sedang mereka teliti.
Inkuiri fenomenologi memulai dengan diam.
Diam merupakan tindakan untuk menangkap
pengertian yang sedang diteliti. Dalam hal ini
manusia dianggap secara “aktif” menciptakan
dunianya dan memiliki kesadaran dan
mengkomunikasikan pengalaman sehari-hari
dan pengetahuannya. Dengan kata lain
fenomenologi menolak beberapa asumsi yang
memisahkan antara subyek (knower) dari
obyek (known).
Penelitian kualitatif juga mengurangi
semaksimal mungkin intervensi peneliti
terhadap ungkapan yang dituturkan oleh
responden penelitian. Pada saat penulisan
hasil wawancara misalnya, peneliti diminta
untuk menuliskan bentuk asli dari tuturan
yang diungkapkan responden, walaupun
struktur dan kosakata responden tersebut tidak
bagus. Dengan menyalin tuturan asli tersebut
diharapkan pembaca memiliki ruang
tersendiri untuk memberikan interpretasi,
tanpa harus setuju dengan tafsiran peneliti.
Melalui prosedur tersebut, subjektivikasi
penelitian kualitatif tetap dituntun oleh pagar-
pagar akademis sehingga dapat menjaga nilai
keilmiahannya (Yustika, 2006:95).
Unit analisis dalam penelitian ini
adalah individu yang bertempat tinggal di
Desa Wonosari Kecamatan Tutur Kabupaten
Pasuruan Provinsi Jawa Timur. Tidak dibatasi
dari strata sosial seperti apa, tetapi telah
berdomisili tetap dalam jangka waktu yang
57
lama. Syarat tersebut ditentukan adalah untuk
mengetahui pola perilaku individu dan
perilaku komunal sehingga diketahui kilasan
sejarah dari tiap individu dalam lingkup
ekonominya.
Penentuan lokasi di Desa Wonosari
dikarenakan lokasi tersebut memiliki sifat
yang khas. Pertama dari segi geografisnya,
terletak di perbatasan antara Kabupaten
Malang dan Kabupaten Pasuruan yang
diharapkan dapat mewakili dua kabupaten
dengan proporsi masyarakat yang heterogen
sehingga dapat dipotret keunikan khas yang
sangat berbeda dari daerah yang lain. Kedua,
dari segi pengaruh kejawaan dan Islam yang
sama-sama kuat, sehingga kegiatan budaya
yang sinkretik dan pola perilaku yang telah
berasimilasi juga merupakan keunikan
tersendiri. Ketiga, wilayah yang berbatasan
dengan Tengger juga menciptakan dampak
pada masyarakat setempat, baik dalam hal
pola berdagang (hari pasaran, motif dalam
berdagang) maupun dalam hal motivasi
masyarakat setempat untuk mencontoh
motivasi masyarakat Tengger.
Teknik pengumpulan data melalui
wawancara mendalam. Teknik ini dipilih
dengan pertimbangan banyaknya keunikan
nilai sosial yang akan berbeda dengan tataran
teori. Untuk menemukan informan yang tepat,
maka terlebih dahulu diadakan Focus Group
Discussion di antara informan-informan
kunci. Hal ini dilakukan untuk menyatukan
pikiran sehubungan dengan penggalian data
dan informasi lokasi-lokasi penelitian. Setelah
ditemukan informasi yang mendukung
permasalahan yang diangkat dalam penelitian,
maka barulah diadakan suatu wawancara
mendalam dengan informan yang terpilih.
Setelah ditemukan informan kunci,
maka dimulailah proses penggalian data.
Informan rata-rata merupakan pedagang kecil
dengan modal yang terbatas pula. Beberapa
informan menjalankan usahanya secara
menetap dan sebagian lainnya menjalankan
usaha secara berkeliling. Perlakuan terhadap
data yang telah ditemukan akan diseleksi,
disarikan, dan disubtemakan dalam sebuah
konfigurasi yang lebih luas, yang kesemuanya
merupakan sebuah bagian dari proses
pereduksian data tersebut. Analisis diarahkan
pada kecenderungan-kecenderungan
kesamaan fenomena realitas nilai sosial yang
berhubungan dengan lingkup ekonomi di
mana ditemukan sebagai nilai-nilai yang
tergeneralisir dalam konteks riset studi kasus
ini.
Untuk memperoleh temuan yang dapat
dipertanggungjawabkan, maka yang dapat
dilakukan adalah dengan triangulasi, yaitu
dengan menggunakan beberapa sumber,
metode, dan teori. Hasil temuan dari
penelitian ini akan diverifikasi dengan
penelitian-penelitian terdahulu yang
membahas topik yang kurang lebih sama pada
daerah yang berbeda jadi dapat diketahui
perbandingan antara hasil penelitian ini
dengan penelitian sebelumnya. Dengan
metode yang berbeda diharapkan semakin
mempertajam analisis penelitian ini. Teori
58
dipergunakan sebagai titik tolak dari
permasalahan. Dalam hal ini teori ekonomi
neoklasik diangkat sebagai titik tolak yang
dihadapkan pada interaksi yang sebenarnya
dilakukan oleh individu di lapangan.
D. Peran Nilai Kepatuhan dan
Kebudayaan Setempat dalam
Keputusan Ekonomi Individu
Di dalam klasifikasi nilai yang dianut
oleh setiap individu, menurut cirinya dapat
dibedakan bahwa setiap individu akan
menganut dua nilai yaitu nilai dominan dan
nilai yang mendarah daging (internalized
value). Dalam nilai dominan, nilai yang
dianut ini berhubungan dengan kondisi sosial
kemasyarakatan yang berada di sekitar
individu tersebut. Sedangkan pada nilai yang
mendarah daging (internalized value)
cenderung telah menjadi kepribadian dan
kebiasaan sehingga ketika seseorang
melakukannya terkadang tidak melalui proses
berfikir atau pertimbangan terlebih dahulu
(dalam bawah sadar). Apabila seseorang
menyalahi nilai yang diyakininya, umumnya
akan timbul perasaan malu bahkan merasa
sangat bersalah.
Pola pikir yang telah menjadi
landasan, alasan, atau motivasi dalam segala
tingkah laku dan perbuatannya sehari-hari.
Pada bab ini nilai yang diyakini dikategorikan
menjadi dua sub bagian, yaitu nilai kepatuhan
dan kebudayaan setempat. Di dalam nilai
kepatuhan terdapat pembahasan mengenai
nilai kepatuhan terhadap orang tua, nilai
kepatuhan pada kharisma seseorang yang
dianggap sebagai panutan, dan nilai-nilai
religi yang mendasari pola perilaku individu.
Sedangkan pada sub bagian kedua akan
dibahas mengenai kebudayaan setempat yang
berkembang dan diyakini sehingga terjadi
harmoni antara alam dan kenyataan yang
dihadapi, yang merupakan falsafah dalam
kebudayaan Jawa. Berikut ini dipaparkan
matriks yang menghubungkan antara peran
nilai kepatuhan dan kebudayaan setempat
dengan keputusan ekonomi yang muncul.
Tabel 1. Hubungan Antara Nilai Kepatuhan
dan Kebudayaan Setempat dengan
Keputusan Ekonomi
Nilai Kepatuhan
dan Kebudayaan
Setempat
Keputusan Ekonomi
1. Kepatuhan
terhadap orang
tua
Pemilihan dalam jenis dan
lokasi usaha yang dipilih
2. Kepatuhan
terhadap
panutan
Pemilihan dalam jenis dan
lokasi usaha yang dipilih
3. Kepatuhan
terhadap nilai
religi
Mengesampingkan
orientasi keuntungan dan
berkonsentrasi pada
menjaga hubungan baik
antar sesama
4. Kebudayaan
setempat
Bekerja lebih keras,
mendasarkan waktu
berjualan pada kalender
Jawa (hari pasaran) dan
hari-hari besar adat
setempat, melakukan jual
beli hewan ternak dengan
pertimbangan mitos yang
berkembang
Sumber : Pratama, 2006
1. Kepatuhan Terhadap Orang Tua
Orang tua sebagai teladan kadangkala
mengambil porsinya dalam tataran yang
terlalu berlebihan. Nilai yang dianut oleh
orang tua seringkali baik secara langsung atau
59
tidak “dipaksakan” kepada anak-anaknya.
Bisa saja yang terjadi adalah sintesa dari nilai
yang dianut oleh orang tua dengan nilai dari si
anak, tetapi bisa juga akan menciptakan nilai
baru yang sama sekali jauh dari nilai yang
dijunjung tinggi dari kedua belah pihak.
Terlepas dari fenomena yang ada, berikut ini
dipaparkan bagaimana nilai dapat
mempengaruhi pola perilaku individu dalam
menjalankan aktivitasnya.
Yu Patemah dapat dikatakan sebagai
sahabat senasib dari Bu Siti. Nasibnya yang
sama-sama menjanda semakin mempererat
hubungan mereka, selain itu stigma negatif
masyarakat membuat Yu Patemah sadar betul
bahwa apa yang dinasehatkan kedua orang
tuanya harus tetap dilaksanakan karena semua
ini adalah cobaan yang menguji
kesungguhannya. Yu Patemah pernah
berdagang di Pasar Wonosari lebih kurang
selama dua puluh lima tahun, ini belum
terhitung ketika Yu Patemah dalam masa
anak-anak dan sudah mencoba berjualan di
Pasar Wonosari.
Weling* dari orang tuanya sangat
dijunjung tinggi, yang mengakibatkan Yu
Patemah terkesan hanya nrimo† pada kondisi
yang ada. Selama kurun waktu itu, tidak
pernah sekalipun Yu Patemah meninggalkan
wilayah Wonosari.
“...pun kulo manut mawon criosipun
Bapak.”
(“...sudah saya ikut saja apa yang
dikatakan Bapak.”)
* wasiat, nasehat † pasrah
Yu Patemah sangat menghormati
orang tuanya melebihi aturan adat yang
berlaku di Desa Wonosari. Apa yang
diwasiatkan bapaknya agar jangan sekali-kali
meninggalkan tanah leluhur apapun yang
terjadi menjadi pedoman hidup bagi Yu
Patemah. Ketika mata pencaharian
masyarakat beralih menjadi buruh di
peternakan dan perusahaan jamur, Yu
Patemah memilih tetap tinggal di kawasan itu
dan menghindari pergi terlampau jauh. Pun
ketika Yu Patemah terjerat hutang pada bank
thitil‡ tidak sekalipun merubah pendirian
untuk merubah mata pencahariannya menjadi
buruh pabrik.
Berbeda dengan Yu Patemah yang
mendasarkan pola perilakunya pada nasehat
orang tuanya, Bu Siti lebih berpegang teguh
pada nasehat pemuka agama dari agama yang
dianutnya. Riwayat Bu Siti berjualan buah di
Pasar Lawang adalah setelah mengikuti
sebuah pengajian. Bu Siti diwejang oleh
seorang Yai§ untuk menerima berapapun uang
yang diberikan oleh seorang teman dan
berapapun nilai uangnya harus digunakan
untuk berdagang, seperti penuturannya
berikut ini:
“...Pun kulo sowan ten Yai kok
diisyarohi ngoten. Nggih lajeng
dhateng Nglawang niku.”(“...Lalu
saya ke Kyai diperintahkan begitu.
Ya terus ke Lawang itu.”)
‡ renternir § Kyai, alim ulama, pemuka agama Islam
60
Tidak berapa lama setelah mengikuti
suatu pengajian, teman Bu Siti memberi uang
sejumlah Rp 25.000,00, maka dengan
berpedoman kepada wejangan tersebut Bu
Siti memakai uang tersebut sebagai modal
berdagang buah di Pasar Lawang.
Penghargaan yang tinggi kepada kharisma
alim ulama menciptakan suatu pola pikir yang
baru. Hal ini membuktikan bahwa sikap
optimisme dan pantang menyerah bisa saja
timbul dengan bantuan orang lain yaitu
seorang Yai yang diyakini sebagai panutan
oleh Bu Siti. Dengan mengacu pada nasehat
yang diyakininya, Bu Siti “merambah” Pasar
Lawang sedangkan usaha mlijo**
di pelataran
rumahnya tetap dijalaninya. Siang hari Bu Siti
menuju Pasar Lawang untuk berjualan buah
dan menyelesaikan proses berdagang sekitar
pukul 21.00, tanpa pulang ke rumah ia pun
beristirahat di rumah temannya atau
bermalam di musolla pasar, pagi menjelang
saatnya berkulakan untuk mlijonya. Sekitar
pukul 06.00 Bu Siti sudah sampai di
rumahnya untuk menjajakan sayur mayur.
Muatan psikologis yang disampaikan
oleh Yai membuat Bu Siti mengesampingkan
stigma masyarakat yang menekannya.
Keinginan pembuktian atas harga diri telah
menjadi motif yang utama, baru setelahnya
terpikir bahwa berdagang di dua tempat yang
berbeda akan menciptakan keuntungan yang
berlipat karena setiap wilayah memiliki
keunggulan yang berbeda-beda, yang dengan
**
berjualan sayur mayur
keterampilan kulakan yang tepat juga akan
menghasilkan keuntungan.
Selain dari nilai yang diturunkan dari
orang tua maupun yang berasal dari orang
yang dianggap sebagai panutan, nilai-nilai
religi juga digunakan sebagai acuan dari
individu untuk menjalankan aktivitasnya.
Seperti tergambar pada kehidupan keluarga
Pak Giyo,
“..mboten gadhah mas menawi damel
tani, nggih ngaten niki. Menawi
mboten klintu, kulo sadean niki milai
taun sangang puluhan, saderenge niku
nggih serabutan pun.” (“...tidak punya
mas kalau untuk tani, ya seperti ini.
Kalau tidak salah saya berjualan ini
mulai tahun sembilan puluhan,
sebelumnya itu ya bekerja serabutan.”)
Pak Giyo memulai aktivitas berjualan
keliling mulai pukul 07.00 dan
menyelesaikannya pada 16.00. Menurutnya
berjualan makanan itu sekaligus merupakan
ibadah, yaitu membuat orang yang membeli
merasa kenyang dan merasa puas adalah
kewajibannya sedangkan para langganan
adalah hasil dari kejujuran dalam mengolah
barang dagangannya. Motif ibadah adalah
suatu nilai yang dijunjung keluarga Pak Giyo,
di mana motif seseorang melakukan kegiatan
ekonomi tidak semata-mata atas dasar
keuntungan (profite motives), melainkan
ternyata nilai kebaikan akan berbuah pahala
dan keburukan akan terganjar siksa neraka
yang telah tertanam dan menyatu dengan
kepribadian dari individu.
Sejalan dengan Pak Giyo, Yu Patemah
juga menerapkan amal sebagai bagian dari
61
terjaganya harmoni dalam siklus hidup
seseorang.
“senaoso kulo teksih ngeten, tapi
wonten ingkang amrat ngluwihi
kulo.” (“meskipun saya masih seperti
ini, tetapi masih ada yang lebih berat
melebihi saya.”)
Yu Patemah memaknainya ketika
mengalami puncak kejayaan dan masih
mengingat teman atau orang yang kesusahan
maka niscaya jika suatu saat berada dalam
kesusahan akan ada orang yang sudi
membantu. Secara logika sangat tidak masuk
akal ketika Yu Patemah yang masih bergulat
dengan rintisan usahanya, setiap sore hari
memborong mangga dari pedagang yang
barangnya belum laku untuk dibagi-bagikan
bukan atas alasan kulakan, tetapi untuk
dibagikan ke rekan pedagang yang lainnya.
Kepercayaan yang sangat melekat bahwa
amal tidak akan hilang dan dirinya akan
semakin kaya dengan melakukan hal tersebut.
Nilai-nilai religi yang diaplikasikan
dalam keputusan ekonomi dari beberapa
informan tidak sejalan dengan rasionalisasi
ekonomi neoklasik yang telah dibahas pada
tinjauan sebelumnya. Menjaga hubungan baik
antara sesama manusia dipandang lebih
berpahala daripada semata-mata memandang
aktivitas ekonomi yang dilakukan yang
berorientasi keuntungan. Menurut Nasr
(dalam Harahap, 2006:1) mengemukakan
beberapa hal yang tidak bisa dijangkau sains:
Nilai tidak bisa dijangkau sains, sains selalu
meninggalkan khasanah lama, sains tidak bisa
memberikan warna dalam kehidupan, sains
tidak bisa mengukur kualitas dan ukuran baik
dan buruk, bahkan terjadi pemiskinan realitas
dan penghilangan makna kehidupan. Mungkin
hal ini yang menjadi salah satu penyebab
mengapa ilmu ekonomi konvensional
semakin jauh dari harapan semula sebagai alat
mensejahterakan masyarakat seluruhnya.
2. Kebudayaan Setempat
Dalam kebudayaan Jawa, mitos
merupakan suatu hal yang sangat berpengaruh
pada hidup dan kehidupan seseorang.
Berbagai kitab Jawa menjelaskan berbagai hal
yang mengatur kehidupan pribadi dan
bermasyarakat. Mulai dari kelahiran bayi, hari
baik, hari naas, weton, ilmu pengasihan,
hingga ilmu pesugihan. Berbagai perhitungan
Jawa sangat diugemi oleh masyarakat yang
meyakininya. Begitu pula dengan ihwal
mimpi, orang Jawa mengistilahkan mimpi
sebagai perlambang.
Pasar di Desa Wonosari memiliki dua
hari pasaran pada setiap minggunya, sehingga
muncul istilah Pasar Minggu dan Pasar Rebo.
Pada kedua hari tersebut aktivitas warga dan
pedagang lebih ramai dibandingkan dengan
hari yang lain. Dalam satu tahun terdapat
beberapa waktu yang merupakan konsentrasi
masyarakat untuk mengunjungi pasar yang
merupakan berkah bagi para pedagang.
Adalah perpekan††
di mana pada saat itu
masyarakat mempersiapkan datangnya hari
istimewa dengan berbelanja aneka kebutuhan
baik makanan ataupun kue sebagai hidangan.
††
7 hari sebelum Hari raya Idul Fitri
62
Pedagang sandhangani juga akan menuai
keuntungan. Waktu berikutnya adalah pada
saat Riyaya Karo‡‡
. Pada saat tersebut,
volume pembelian di pasar didominasi oleh
masyarakat Tengger yang mana setiap
individunya menginginkan bahan makanan
dengan kualitas yang baik. Hal itu karena adat
yang berlaku di sana adalah setiap tamu yang
berkunjung akan dipersilahkan masuk ke
pawon§§
untuk menyantap hidangan langsung
di depan perapian. Apabila tamu tersebut
menolak walaupun dengan alasan merasa
kenyang maka hal tersebut dianggap tuan
rumah yang mengundang, seperti penuturan
Bu Fa:
“...wong Tengger uripe gawe
slametan. Asil apel utowo kebon
ditabung kadhang sih ditambahi kerjo
satemune. Lah wes wayah e Karo,
blanjane yo nang Pasar Wonosari.
Bandingane lah wonge dhewe lek
tuku ayam iso gawe rolas kadang
rong puluh potong. Tapi wong
Tengger pupu iku yo dadi loro.”
(“...orang Tengger hidupnya untuk
slametan. Hasil dari apel atau kebun
ditabung terkadang ya ditambah kerja
sedapatnya. Lah kalau tiba saatnya
Karo, belanjanya ya di Pasar
Wonosari. Perbandingannya orang
sini kalau membeli ayam bisa
dijadikan dua belas terkadang dua
puluh potong. Tetapi orang tengger,
paha itu ya menjadi dua potong.”)
Selain itu orang Tengger juga
menganut pendapat bahwa tidak begitu
mementingkan sandhangan***
yang
disebutnya gombalan. Menurutnya pakaian
‡‡
Hari Raya Masyarakat Tengger §§ dapur ***
pakaian jadi
akan amoh†††
sedangkan apabila dialokasikan
pada slametan akan lebih bermanfaat karena
akan membuat kehidupan diberkahi. Budget
slametan bisa mencapai Rp 5.000.000,00
maka sangatlah logis jika hasil tabungan
dialokasikan untuk hal tersebut. Menjalankan
ritual bagi masyarakat Tengger harus dipatuhi
karena telah dilakukan secara turun-temurun.
Seperti penuturan Bu Petinggi:
“...neng kono iku peralatane masak
mewah. Pawone yo porselen. Soale
saben tamu langsung diparakno nang
pawon. Dadi yo kebanggaan pisan
lek barang-barang e apik tho.” (“...di
sana itu peralatan masaknya mewah.
Dapurnya ya dilapis porselen.
Soalnya tiap tamu langsung
dipersilahkan ke dapur. Jadi ya
merupakan suatu kebanggaan kalau
barangnya bagus kan.”)
Motivasi untuk bekerja keras dan
slametan, sebagai upaya agar hidup diberkahi
mempengaruhi pola perilaku masyarakat Desa
Wonosari. Sejalan dengan hal tersebut, Suradi
(2005:1) berkesimpulan bahwa unsur
kebudayaan yang khas adalah unsur nilai atau
adat istiadat. Di mana nilai sosial budaya
yang positif pada komunitas Osing seperti
egaliter, kesetaraan, dan keterbukaan
diperlukan dalam pembangunan yang
berwawasan keswadayaan. Namun adanya
sihir atau santet yang tanpa diduga membawa
korban masyarakat adalah tidak mendukung
pembangunan.
†††
lusuh
63
Warga Desa Wonosari juga mengakui
kalender Jawa dan mendasarkan berbagai
aktivitasnya dengan sistem penanggalan
tersebut. Menurut Widarmanto (2007:1)
pertemuan antara kebudayaan Jawa dan Islam
dalam kalender Jawa tampak dalam
penentuan pergantian tahun. Pergantian tahun
Jawa yang jatuh pada tanggal 1 Sura
bertepatan dengan Tahun Baru Hijriah yaitu
pada bulan Muharam. Berkaitan dengan nilai-
nilai spiritualis Islam dalam menyikapi bulan
Muharam atau Sura, orang Jawa
memandangnya sebagai waktu untuk
introspeksi diri. Memasuki bulan Sura atau
pergantian tahun, utamanya saat menjelang
pergantian tahun baru, sebagian besar
masyarakat Jawa akan melakukan laku
prihatin berupa berbagai laku tirakatan
dengan berbagai cara. Misalnya tidak tidur
sepanjang malam, berpuasa, tapa bisu,
berendam di tempuran dua sungai, atau
melakukan interospeksi diri di tempat-tempat
yang hening.
Berbagai laku tirakatan tersebut
berpijak pada anggapan keseimbangan dunia
mikrokosmos dan makrokosmos (jagat gedhe
jagat alit). Sehingga orang Jawa menganggap
bulan Sura sebagai dimensi waktu yang
kurang baik untuk melakukan suatu hajatan
yang berkaitan dengan siklus kehidupan.
Seperti yang tergambar pada perilaku
keluarga Pak Kasan. Informan ini
mengistilahkan dirinya nasionalis, dengan
pengertian Islam adalah agama sebagai
tuntunan hidupnya sekaligus memaknai hidup
dan kehidupan sesuai dengan falsafah
Kejawen.
“tiyang niku kadhang klintu menawi
masalah Gunung Kawi nika. Kulo
kaliyan Ni nggih mrika. Dhateng
mrika wonten kalih, Mbah Junggo
kaliyan Putri Gunung Kawi. Ingkang
pesugihan niku ingkang Putri Gunung
Kawi nika, dados mboten sedanten.
Dados usaha nika kersane aman. Lah
dhateng mrika nggih kersane
penggalih niki tentrem supados
mboten iren dhateng lintu.” (“orang
itu terkadang salah untuk masalah
Gunung Kawi itu. Saya dengan Ni
[istri Pak Kasan] ya kesana. Di sana
ada dua, Mbah Junggo dan Putri
Gunung Kawi. Yang pesugihan itu ya
yang Putri Gunung Kawi itu, jadi
tidak semuanya. Jadi usaha agar
aman. Lah kesana itu ya biar hati ini
tenteram biar tidak timbul rasa iri
kepada orang lain.”)
Menurut ajaran Islam adalah dilarang
untuk memohon kepada selain Allah, tetapi
Pak kasan bersikukuh tidak meminta kepada
selain Allah. Di sisi lain Bu Nima
melaksanakan ritual memeluk salah satu
pohon yang dipercaya apabila kejatuhan daun
atau buahnya akan terkabul apapun yang
diinginkannya. Selain itu, apabila sewaktu ke
Gunung Kawi disertai hujan konon
merupakan perlambang yang baik. Sebuah
mitos yang dipercaya sehingga masuk ke
dalam logika berpikir.
Masih dalam pembahasan pesugihan.
Orang miskin seringkali dihadapkan pada
jalan pintas untuk mendapatkan kekayaan
dengan instan dan jauh dari logika penalaran.
64
Mitos pesugihan wedhus puteh‡‡‡
juga pernah
santer terdengar. Tanpa mengusahakan untuk
mencarikan fakta untuk sebuah klenik, berikut
ini penuturan informan mengenai pesugihan
tersebut,
“Singen natih jamane niku, wedhuse
tiyang-tiyang niku podho mati, getihe
garing, mung ono bolong loro nang
gulune..biyen podo-podo nguli nang
Mediun. Saiki trek e pating jejer. Tapi
yo ngono mas, perawan e umur rong
puluh dek ingi mati, yo ora loro yo ora
opo.” (“Dulu pernah pada saat itu,
kambingnya orang-orang mati,
darahnya kering, hanya ada dua
lubang di lehernya..dulu sama-sama
menjadi kuli di Madiun. Sekarang
trucknya berjejer. tapi ya gitu mas,
anak perawannya umur dua puluh
tahun kemarin meninggal, ya tidak
sakit tidak apa.”)
Salah satu informan menceritakan
temannya yang sama-sama berasal dari
Trenggalek yang rupanya menjalani
pesugihan tersebut. Modus operandi
pesugihan tersebut adalah orang yang
melakukan ritual tersebut akan menjelma
menjadi kambing putih yang mengambil uang
tanpa diketahui si pemilik lalu menghisap
darah kambing dengan menyisakan dua
lubang kecil di leher. Biasanya apabila
berhembus isu tersebut, maka harga kambing
akan merosot karena para peternak segera
menjual ke blantik daripada mati digigit
“siluman kambing”. Mungkin ini adalah
upaya blantik§§§
dengan menebar isu negatif
untuk menjatuhkan harga pasar demi
‡‡‡ ritual menjelma menjadi kambing §§§
pedagang kambing dan sapi
keuntungan yang lebih besar. Tanpa
berprasangka, peneliti hanya ingin
mengungkap fakta yang terdapat di lapangan
sebagai bukti bahwa berbagai mitos sangat
mempengaruhi pola perilaku individu dalam
berinteraksi.
Menurut Fraser terdapat
kecenderungan yang tersebar dari suatu
kebudayaan yang mana memiliki suatu
mitologi hewan, mitologi ini digunakan untuk
mendefinisikan hubungan antara manusia
dengan spesies yang lain. Mitologi hewan ini
menurutnya merupakan suatu seni
kebudayaan dan serita tentang kepercayaan
seputar nilai yang berlaku yang akan
mempengaruhi pandangan orang dalam
memandang hewan dan bagaimana menyikapi
hewan. Seperti legenda orang Ojibwa, di
mana mempercayai manusia dapat hidup di
bumi dikarenakan bantuan dan kerjasama dari
binatang, yaitu dimulai dengan kura-kura
yang menyumbangkan tempurungnya sebagai
pondasi tanah dan dilanjutkan oleh katak yang
membawa tanah dari kedalaman.
Masyarakat Amerika Utara memiliki
pandangan yang tradisional yang mana
melihat pertanian keluarga sebagai gaya hidup
yang khusus yang terdiri atas kebajikan,
kesederhanaan, dan harmoni terhadap lahan.
Binatang memiliki peran yang khusus dalam
pandangan ini. Binatang menjadi bagian yang
terintegrasi dalam proses ekologi dan
ekonomi sebuah lahan. Binatang juga
berperan pada pendidikan moral, karena anak-
65
anak selalu belajar rasa tanggung jawab
dengan adanya binatang.
Terdapat pandangan yang berbeda ketika
mitologi hewan (animal mithology)
diperbandingkan antara budaya Jawa dengan
budaya Barat. Adanya berbagai bentuk
pesugihan dengan wujud hewan, meskipun
menciptakan pengaruh terhadap interaksi
ekonomi tetapi kecenderungannya adalah
bersifat saling merugikan antara satu dengan
yang lainnya (untung diperoleh blantik dan
kerugian diderita pemilik kambing). Sedangkan
dalam kebudayaan Barat (Amerika Utara)
mitologi hewan berkesan positif, sebagai
contohnya hewan dapat dijadikan bagian dari
sebuah family farming. Tetapi harmoni dalam
pengertian Jawa diwujudkan dalam
keseluruhan aspek kehidupan. Pesugihan
hanyalah suatu bentuk manifestasi
kebudayaan Jawa, yang tetap dipercaya dan
menjadi suatu titik tolak bagi orang Jawa
yang tidak melakukan pesugihan untuk lebih
waspada dan menjaga keharmonisan antar
sesama.
Menurut Rosseau (dalam Fink,
2003:1) pemujaan terhadap rasionalitas
bahkan menjauhkan orang-orang dari
berbagai kebajikan moral yang sederhana
seperti kerendahan hati, keakraban, dan
kesediaan menolong. Ditambahkan pula
bahwa liberalisme yang merupakan hasil dari
paradigma empirisme akan mengganti ikatan
komunal tradisional. Idiologi ini akan
menimbulkan tindakan penghisapan dan
penghisapan, melalaikan nilai solidaritas,
cinta, kasih sayang, rasa kebersamaan,
kedermawanan, dan kesabaran. Kerendahan
hati akan hilang dan diganti dengan egoisme
keserakahan, korupsi, dan tidak menghargai
cita-cita mulia dan luhur.
E. Kesimpulan
Terdapat berbagai nilai dan
kebudayaan yang diyakini keberadaannya
oleh masyarakat dan dijadikan pedoman
hidup. Setiap individu akan berusaha untuk
menjalankan kesesuaian dengan apa yang
telah diatur dalam nilai komunal di mana ia
berada dan disesuaikan pula dengan nilai
yang telah mendarah daging pada dirinya.
Menurut Williamson (dalam Yustika,
2006:120) asumsi perilaku dari ekonomi
biaya transaksi adalah rasionalitas terbatas
(bounded rationality), yakni perilaku rasional
tetapi terbatas, dan perilaku oportunis
(oportunism), yaitu perilaku mementingkan
diri sendiri yang diperoleh dengan cara licik.
Kepatuhan pada nasehat orang tua
dapat menjadikan sebuah sikap nrimo pada
keadaan yang ada. Tetapi sikap ini
menciptakan suatu kegigihan walaupun
dengan adanya suatu batasan “tidak boleh
meninggalkan tanah leluhur”. Kepatuhan ini
masih sejalan dengan rasionalisasi ekonomi.
Meskipun terdapat “batasan” dalam hal lokasi
usaha, tetapi menciptakan usaha informan
untuk meraih interaksi ekonomi dengan
seefisien mungkin.
Muatan psikologis yang diberikan
menjadikan stimulus untuk melaksanakan
66
suatu interaksi. Keberadaan panutan di
kebudayaan jawa sangatlah penting. Segala
sikap dan tindakan haruslah sesuai dengan
apa yang diperintahkan orang yang
“ditahbiskan” sebagai panutan. Posisi tawar
untuk menentukan suatu keputusan ekonomi
seringkali berkurang bahkan tidak ada dan
semua akan disesuaikan dengan panutan yang
dipercayai.Tetapi pada kenyataannya
kepatuhan pada panutan ini menghindarkan
pada ketidakefisienan.
Begitu pula dengan nilai-nilai religi
yang diyakini, nilai ini akan menjadi dasar
dalam berinteraksi pula. Ibadah dan amal
adalah nilai yang kebanyakan diyakini oleh
informan. Nilai kebaikan yang akan
mendapatkan “imbalan surga”, dan sebaliknya
mendapatkan “siksa neraka” menciptakan
asumsi yang baru bagi para informan, dengan
makna besarnya permintaan ataupun besarnya
pendapatan yang akan diperoleh menjadi hal
yang kurang penting. Harmoni itulah yang
diaplikasikan oleh orang Desa Wonosari.
Hubungan yang baik dengan sesama lebih
diutamakan daripada maksimisasi laba.
Secara objektif, penelitian ini masih
perlu dikembangkan dan memiliki beberapa
keterbatasan. Penelitian ini menggunakan
sumber data yang berasal dari keterangan para
informan di lapangan. Penelitian ini bersifat
lokal, terkini dan unik, sehingga tidak dapat
digeneralisasikan. Perbedaan waktu sangat
berpengaruh karena apa yang terjadi di
lapangan pada saat penelitian berlangsung
tidak dapat dijadikan patokan bahwa yang
akan terjadi di waktu yang berbeda akan
sama. Dengan keterbatasan yang ada
diharapkan penelitian ini dapat ditindaklanjuti
dan menjadi masukan bagi penelitian
selanjutnya.
Daftar Pustaka
Boeke, J.H. 1983. Prekapitalisme di Asia.
Jakarta: Sinar Harapan
Diah, M., Kasim, M., Afrizal, Muhammad, N.
1988. Tata Kelakuan di Lingkungan
Pergaulan Keluarga dan Masyarakat di Daerah Riau. Pekanbaru:
Depdikbud
Fink, Hans. 2003. Filsafat Sosial, Dari
Feodalisme hingga Pasar Bebas. Jakarta: Pustaka Pelajar
Harahap. 1986. Adat Istiadat Tapanuli
Selatan. Jakarta: Grafindo Utama
Harahap, Sofyan S. 2006. Quo Vadis
(Jurusan) Studi Ilmu Ekonomi. Paper pada Konferensi Nasional
Jurusan Ekonomi Pembangunan 25-26
Januari 2006. Universitas Trisakti,
tidak dipublikasikan
Inglehart, Ronald. Baker, Wayne. 2000.
Modernization, Cultural Change,
and the persistence of Traditional Values. American Sociological
Review, 65 (1), February: 19-21
Manzilati, Asfi. 2005. Penelitian Kualitatif:
Metodologi Penelitian Alternatif?. Workshop Penelitian Kuaantitatif dan
Kualitatif Jurusan IESP 13-14 Mei
2005. Jurusan IESP Universitas
Brawijaya, tidak dipublikasikan
Mariawati, Dwiana. 2006. Perilaku Produksi
Pada Pedagang Etnis Cina di Kya-
Kya Kembang Jepun Surabaya.
67
Skripsi Program Sarjana Universitas
Brawijaya Malang
Mubyarto. 2002. Membangkitkan Ekonomi
Kerakyatan Melalui Gerakan
Koperasi: Peran Perguruan Tinggi. Artikel-Th.I-No.6-Agustus 2002
Mulder,Niels. 1996. Kepribadian Jawa dan
Pembangunan Nasional. Yogyakarta:
Gadjahmada Un. Press
Osborne, Evan. 2001. Culture, Development,
and Government: Reservations in
India. Development and Cultural Change. 49(3): 659-685
Plattner, Stuart. 1989. Economic
Anthropology. Standford, California:
Stanford University Press
Pratama, Yogi Pasca. 2007. Nilai-Nilai Sosial
dalam Keputusan Ekonomi (Studi
Kasus Desa Wonosari Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan). Skripsi
Program Sarjana Universitas
Brawijaya
Rahmani, Astuti. 1992. Asal Usul Manusia:
Menurut Bibel Al-Quran dan Saint. Bandung: Mizan
Scott, James C. 1976. The Moral Economy of
the Peasant: Rebellion and
Subsistence in Southeast Asia. USA:
Yale University Press
Suparlan, P. 1986. Melayu dan Non Melayu:
Kemajemukan dan Identitas Sosial
Budaya dalam Masyarakat Melayu dan Kebudayaannya. Pekanbaru:
Pemda Tingkat I Riau
Suradi. 2005. Kehidupan Komunitas Adat
Terpencil Studi Sosial Budaya
Komunitas Osing di Banyuwangi. Jakarta: Balitbang Kesos, Depsos R.I
Soeratman, Darsiti. 1989. Kehidupan Dunia
Kraton Surakarta 1830-1939. Yogya:
Tamansiswa
Syafriman dan Yapsir Gandi Wirawan. 2004.
Perbedaan Orientasi Nilai dan
Perilaku Prososial antara Suku
Bangsa Melayu dan Suku Bangsa Tionghoa. Jakarta: Balitbang Kesos,
Depsos. R.I
Widarmanto, Tjahjono. 2007. Tradisi Suran
dan Persepsi Orang Jawa. Artikel
Kompas, 19 Januari 2007
Yustika, Ahmad Erani. 2006. Ekonomi
Kelembagaan: Definisi, Teori, & Strategi. Malang: Bayumedia
68
BLUE ECONOMY: KESEIMBANGAN PERSPEKTIF EKONOMI DAN
LINGKUNGAN
Ajeng Faizah Nijma Ilma1)
1. Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
Blue economy is a process in which all the following raw materials derived from natural
production process and follow the way nature works. Economic models of the future will take into
account the advantages and strategy of innovation by following the natural conditions. Blue
Economy is a tool that can be used to improve the unfavorable economic conditions and create
more activity in the form of a sustainable model. Providing the best solution by transferring the
economy and result in the community for the future so that it will be better. Indonesian nation has
been indoctrinated to become the nation's agricultural and economic use of the land base oriented as
its economic growth pattern. However, the strength of the domestic market consumption value
indicates that there should be digging back potential economic growth potential there to be able to
be a formidable nation. The contribution of fisheries and marine sector experienced an increasing
trend. However, the welfare of the people residing in coastal areas is still very low, lower than the
society that focuses on development in other sectors.
Keywords: blue economy, marine sector, economic growth
A. Pendahuluan
Seiring dengan waktu berbagai sektor
yang terdapat dalam suatu negara, sudah
seharusnya terus maju dan berkembang. Peran
pemerintah dalam mengoptimalkan dan
meningkatkan kualitas kegiatan setiap sektor
sangat diperlukan sehingga kemajuannya
dapat dirasakan oleh masyarakat. Sektor
perikanan merupakan salah satu sektor yang
sejauh ini cukup berperan dalam
pembangunan ekonomi Indonesia.
Pembukaan lapangan kerja, peningkatan
produktivitas individu, peningkatan nafkah
dan pendapatan hidup, penambahan devisa
melalui kegiatan ekspor impor adalah
beberapa diantara peran sektor perikanan
dalam pembangunan ekonomi. Perikanan juga
menciptakan multiple effect atau efek berantai
yang terbukti menggerakkan sektor lain,
seperti : sektor perdagangan, sektor industri
bahkan sektor pendidikan yang terkait dengan
berbagai riset-riset penelitian kampus dan
serapan tenaga kerja terdidik. Perikanan
selalu diarahkan ke proses industrialisasi
berbasis IT yang akan semakin memacu dan
menggerakan sektor-sektor lain untuk terlibat
dalam proses industrialisasi tersebut.
Perikanan sebagai kegiatan ekonomi
memiliki peranan yang sangat penting dalam
kemajuan negara dan kesejahteraan
masyarakat. Sebagai suatu kegiatan ekonomi,
perikanan seharusnya terus dimajukan dan
dikembangkan serta menjadi prioritas agar
mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi
yang positif. Hal ini menuntut adanya inovasi
dan kreativitas serta optimalisasi peran stake
69
holder, dalam hal ini pemerintah, agar
kegiatan perikanan tetap eksis dan bisa
berkontribusi untuk kesejahteraan negara.
Selain itu perikanan yang saat ini mengarah
ke proses industrialisasi harus mampu
menjaga keberlanjutan usaha dengan tetap
memperhatikan keseimbangan dan kelestarian
perairan. Berdasarkan hal inilah maka muncul
konsep blue economy yang digagas oleh Cicip
Sutardjo menteri kelautan dan perikanan.
Blue ekonomi adalah proses dimana
bahan baku berikut proses produksi berasal
dari alam semesta dan mengikuti cara alam
bekerja. Ekonomi Biru merupakan suatu alat
yang dapat digunakan untuk memperbaiki
kondisi ekonomi yang dewasa ini menjadi
kurang baik dan menciptakan lebih banyak
kegiatan dalam bentuk model yang
Sustainable. Memberikan solusi terbaik
dengan cara mentransfer ekonomi dan
mengahasilkan komunitas yang lebih baik
untuk masa yang akan datang. Konsep
Ekonomi Biru dikembangkan untuk
menjawab tantangan sistem ekonomi dunia
yang cenderung ekploitatif dan merusak
lingkunganyang disebabkan oleh eksploitasi
melebihi kapasitas atau daya dukung alam.
Inti dari Ekonomi Biru adalah Sustainable
Development yang merupakan koreksi
sekaligus perkayaan dari Ekonmi Hijau
denagan semboyan “Blue Sky – Blue
Ocean” dimana Ekonomi tumbuh, rakyat
sejahtera, namun langit dan laut tetap Biru.
Blue economy merupakan konsep
optimalisasi sumber daya perairan yang
bertujuan untuk meningkaktkan pertumbuhan
ekonomi melalui berbagai kegiatan yang
inovatif dan kreatif dengan tetap menjamin
keberlanjutan usaha dan kelestarian
lingkungan. Konsep blue ekonomi
mengedepankan dan menitikberatkan pada
efisiensi. Efisiensi mendorong adanya
pengembangan investasi dan bisnis perikanan
dengan tetap menjaga lingkungan tetap
lestari. Inti utama dari blue economy ini
adalah kegiatan yang pro ekosistem. Segala
limbah keluaran dari kegiatan perikanan harus
berada dalam kondisi yang tidak mencemari
tanah maupun perairan umum. Limbah, baik
limbah kimia maupun limbah organik secara
langsung maupun tidak langsung akan
berpengaruh pada habitat dan kehidupan
ekosistem, oleh sebab itu, maka perlu ada
ilmu dan teknologi dalam men-
treatment keluaran limbah.
Blue economy merupakan integrasi
dari program industrialisasi perikanan yang
sebelumnya digagas oleh kementerian yang
sama. Industrialisasi perikanan merupakan
model kegiatan usaha yang dibangun secara
berkelanjutan (kontinyu) dengan berorientasi
pada pasar ekspor. Syarat utama produk yang
dijual dipasar ekspor salahsatunya adalah
tracebility produk hasil perikanan harus terjaga
dengan mengkedepankan biosekuritas dalam
setiap proses kegiatan budidaya. Saat ini sudah
ada semacam aturan yang dibuat dalam pasar
global dan merupakan hasil konsorsium negara-
negara perikanan dunia bahwa suatu produk
perikanan akan diterima di pasaran suatu
70
negara bila input kegiatan budidaya (media
air, sarana dan prasarana), proses budidaya
(pengobatan penyakit, pakan), dan output
budidaya (ikan yang dihasilkan dan limbah
budidaya) dilakukan sesuai dengan standar
keamanan yang telah ditetapkan. Pada
kegiatan penangkapan juga demikian,
termasuk dalam kegiatan pengolahan hasil
perikanan, prinsip HACCP (Hazard Analysis
Critical Control Point) harus diterapkan. Di
Indonesia pemerintah telah membuat
semacam standar (SNI) untuk menjamin
kualitas ikan baik dalam input, proses
maupun output sesuai dengan kualitas standar
yang ditetapkan.
B. Tinjauan Pustaka
Pada tanggal 5 Juni 2012 yang lalu
kita memperingati hari lingkungan hidup
sedunia (World Environment Day/WED).
Program Lingkungan PBB (United Nations
Environment Programe / UNEP) mengambil
tema Green Economy: Does it Include You?
Dalam konteks Indonesia, tema yang diambil
pada peringatan hari lingkungan hidup di
Indonesia tersebut adalah Ekonomi Hijau.
Ekonomi hijau adalah sistem ekonomi yang
mampu meningkatkan kesejahteraan manusia
dan sekaligus secara signifikan mengurangi
resiko lingkungan dan kerusakan ekologi
melalui efisiensi sumber daya alam, rendah
karbon, dan kepedulian sosial. Ekonomi Hijau
atau green economy: Ubah perilaku,
tingkatkan kualitas lingkungan. Jelas dari
tema tersebut kita dihimbau untuk merubah
perilaku yang selalu mengambil setiap
peluang untuk mencari informasi, belajar, dan
bertindak demi mengelola dan melindungi
lingkungan hidup, sehingga kualitas
lingkungan menjadi lebih baik dan akibatnya
kualitas hidup masyarakat juga semakin baik.
Jika pada bulan Juni yang lalu kita
masih berbicara perencanaan pembangunan
Indonesia yang berorientasi pada green
economy, lalu apa kaitannya dengan blue
Economi. Konsep blue economy menjadi satu
hal yang akan mendukung jalannya konsep
green economy yang selama ini menjadi
konsep dalam perencanaan pembangunan
Indonesia. Pengertian ekonomi hijau dalam
kalimat sederhana dapat diartikan sebagai
perekonomian yang rendah karbon (tidak
menghasilkan emisi dan polusi lingkungan),
hemat sumber daya alam dan berkeadilan
sosial UNEP, dalam Alamendah’s blog, 3
Juni 2012). Walaupun prinsip-prinsip
resource efficiency, low carbon, social
inclusiveness mulai dikembangkan, namun
masih belum mampu mengatasi keserakahan
manusia untuk mengeksploitasi sumber daya
alam lebih banyak. Bahkan, implementasi
pembangunan berkelanjutan dengan konsep
green products and services, yaitu produk-
produk dan jasa ramah lingkungan harus
dibeli mahal dan makin tidak dapat dijangkau
masyarakat miskin.
Sedangkan konsep blue economy
pertama kali dilontarkan oleh Prof. Gunter
Pauli dalam bukunya yang berjudul The Blue
Economy, 10 Years, 100 Innovations, 100
71
Million Jobs, yang menggambarkan potensi
manfaat teorinya bagi perlindungan
lingkungan hidup komunitas dunia,
pelestarian sumber daya alam, inisiatif
pengurangan biaya industri dengan
pengalihan pada konsumsi energi hijau,
bersih, hasil daur ulang atau terbarukan.
Dalam bukunya tersebut, Pauli (2006)
menyebutkan bahwa Blue Economy is a
collection of innovations contributing towards
the creation of a global consciousness rooted
in the search for practical solutions based on
sustainable natural systems. Esensi blue
ekonomi:
BELAJAR DARI ALAM: Blue
Economy mencontoh alam, yaitu cara kerja
ekosistem sesuai dengan apa yang disediakan
alam dan cara bekerja dengan efisiensi tinggi.
LOGIKA EKOSISTEM: Cara kerja
ekosistem dijadikan model Blue Economy,
yaitu seperti air mengalir dari gunung
membawa nutrien dan energi untuk
memenuhi kebutuhan dasar kehidupan
seluruh makhluk hidup dan tanaman yang
berinteraksi dan saling menghidupi--limbah
dari sesuatu menjadi makanan/energi bagi
yang lain. Hanya dengan gravitas ienergi
didistribusikan secara efisien dan merata
tanpa henti dan tanpa ekstraksi energi
eksternal.
INOVASI DAN KREATIVITAS:
Blue economy berkembang karena inovasi
dan kreativitas. Ada 100 inovasi ekonomi
praktis yang mengilhami Blue Economy
dengan prinsip mencontoh cara kerja
ekosistem: ekosistem selalu bekerja menuju
tingkat efisiensi lebih tinggiuntuk
mengalirkan nutrien dan energi tanpa limbah
untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi semua
kontributor dalam suatu sistem.
Penerapan Blue and Green Economy
(BGE) di Indonesia
Blue Economy memang tidak harus
Ekonomi Kelautan tetapi konsep ini sangat
cocok untuk pembangunan di sektor kelautan
dan perikanan. Menurut Jusuf (2012),
ekonomi biru dapat dilihat sebagai tindakan
yang bertumpu pada pengembangan ekonomi
rakyat secara komprehensif guna mencapai
pembangunan nasional secara keseluruhan.
Pendekatan pembangunan berbasis ekonomi
biru akan bersinergi dengan pelaksanaan
triple track strategy, yaitu program pro-poor
(pengentasan kemiskinan), pro-growth
(pertumbuhan), projob (penyerapan tenaga
kerja) dan pro-environtment (melestarikan
lingkungan). Ketika daya dukung (sumber
daya) alam dan daya tampung lingkungan
sudah tidak seimbang dan tidak kuat lagi
dalam menampung dan memfasilitasi
kegiatan penduduk (kualitas, kuantitas, dan
mobilitas penduduk), maka otomatis
kehidupan kita dan kehidupan generasi
mendatang akan terancam karena kesalahan
kita akibat kerusakan lingkungan. Agar tidak
terjadi hal itu, memang dibutuhkan
pemahaman, kesadaran, dan pembelajaran
(pemberdayaan) kepada sesama akan
pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.
72
Dan semoga program ekonomi hijau ini, juga
bisa jadi model dan pedoman dalam setiap
langkah kegiatan manusia di Bumi ini. Inilah
pentingnya perubahan paradigma dan perilaku
manusia untuk selalu mengambil setiap
kesempatan dalam mencari informasi, belajar
dan melakukan tindakan demi melindungi dan
mengelola lingkungan hidup. Dengan kualitas
lingkungan hidup yang lebih baik akan
meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Prinsip-prinsip yang terkandung di
dalam ekonomi biru dapat menjadi kunci
emas di dalam perencanaan pembangunan
nasional. Langkah-langkah konkret dari
penerapan "blue economy" ini terbagi
menjadi tiga, yaitu : "Pertama adalah soal
pemahaman yang lebih jelas tentang nilai dari
ekosistem laut. Kedua, dengan lebih efektif
mengaitkan ekosistem laut dengan ketahanan
pangan, ini terkait dengan kesinambungan
bahan pangan dengan strategi ekonomi serta
sosial pembangunan," sementara pendekatan
ketiga adalah dengan transisi ekonomi dalam
potensi ekonomi menyangkut pasar, industri,
dan komunitas terhadap pola pembangunan
yang lebih berkeadilan. Kegiatan nelayan di
pantai nan elok Prinsip ekonomi biru dinilai
tepat dalam membantu dunia untuk
menghadapi tantangan perubahan iklim,
ekosistem laut yang kian rentan terhadap
dampak perubahan iklim dan pengasaman
laut. Dalam konsep blue economy,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, akan
berfokus pada tiga factor, yaitu, ekologi,
sosial, dan ekonomi, Menteri Kelautan dan
Perikanan Sharif Cicip Sutardjo mengatakan,
prinsip ekonomi biru tidak bertentangan
dengan konsep ekonomi hijau Konsepsi
ekonomi biru dapat menjembatani ekonomi
hijau yang selama ini diterapkan dalam
perencanaan pembangunan di Indonesia.
Menurut Sharif, kedua hal tersebut
saling melengkapi karena ekonomi biru
merupakan bagian integral dari ekonomi
hijau. Ia memaparkan, prinsip-prinsip yang
terkandung di dalam ekonomi biru dapat
memperkuat ketahanan pangan dan ekonomi
demi mencapai pertumbuhan yang
berkelanjutan. Indonesia yang memiliki ciri
sebagai negara agraris dan maritim,
menyimpan potensi yang sangat besar bagi
nusantara, termasuk di bidang ekonomi.
Lumbung devisa negara kita sampai saat ini
pun masih berada di alam. Mulai dari sektor
pertanian, kelautan, perikanan, hingga sektor
pariwisata. Apa lagi saat ini konsep Blue &
Green Economy (BGE) tengah marak
digalakkan seantero dunia karena
permasalahan lingkungan yang mendesak dan
telah mengancam kelangsungan hidup
manusia.
C. Pembahasan
1. Dampak blue ekonomi di Indonesia
Pada industri akuakultur skala kecil,
menengah maupun besar, limbah yang
mencemari perairan berasal dari bahan
organik sisa pakan ikan, penggunaan obat-
obatan (chemotherapetic agent) untuk
mengobati penyakit ikan dan penggunaan
73
bahan kimia lainnya, seperti desinfektan
untuk men-treatment media budidaya ikan
sebelum digunakan untuk kegiatan budidaya.
Untuk mengatasi hal ini terdapat beberapa
teknologi yang telah dikembangkan oleh
kalangan akademisi dan peneliti, diantaranya
yaitu penggunaan bahan alami atau bakteri
probiotik untuk mengobati penyakit ikan dan
treatment media budidaya serta penerapan
teknologi IMTA (Integrated Multi Trophik
level Aquaculture) yang menjadikan sisa
pakan ikan berada dalam kondisi zero waste.
Pada industri penangkapan dan
pengolahan hasil perikanan, limbah dapat
muncul akibat penggunaan bahan-bahan
tambahan dalam meningkatkan nilai (value
added) dari produk ikan. Segala limbah yang
muncul baik dalam industri perikanan
budidaya, perikanan tangkap maupun
pengolahan selama ini kurang begitu
diperhatikan oleh para pelaku usaha.
Munculnya konsep blue economyyang
dicanangkan oleh kementerian kelautan dan
perikanan salah satunya adalah untuk
menegaskan dan mengingatkan kembali
pentingnya pengelolaan limbah hasil dari
kegiatan perikanan agar tidak mencemari
lingkungan sehingga ekosistem lingkungan
masih tetap terjaga.
2. Kasus empiris Blue Economy
Pada kegiatan budidaya ikan, CBIB
(Cara Budidaya Ikan yang Baik) merupakan
standar yang ditetapkan bagi para
pembudidaya ikan untuk menjamin proses
budidaya, kualitas ikan hasil budidaya dan
output limbah dari kegiatan budidaya harus
sesuai dengan standar yang ditetapkan. Secara
internasional untuk kegiatan budidaya ikan,
ada beberapa standar yang ditetapkan oleh
lembaga sertifikasi internasional, seperti
lembaga sertifikasi Global Aquaculture
Alliance (GAA) yang mana standar yang
ditetapkan oleh lembaga ini harus dipenuhi
apabila ikan hasil budidaya akan dibeli oleh
konsumen tujuan. Salah satu poin penting
yang harus dipenuhi adalah keluaran limbah
dari kegiatan harus tidak mencemari
lingkungan atau merubah dan merusak
ekosistem alam. Hal ini relevan dengan
konsepsi blue economy yang dicanangkan
oleh pemerintah.
Blue economy sebenarnya adalah
simbol kegiatan industri khususnya industri
perikanan yang pro lingkungan. Walaupun
sebenarnya tanpa konsep ini, para pelaku
usaha perikanan sudah seharusnya untuk
menerapkan kegiatan yang sesuai dengan
standar keamanan lingkungan. Bagi pelaku
usaha yang secara pemikiran sudah maju
ataupun skala usahanya sudah sangat mapan
penyelenggaraan kegiatan industri yang
berwawasan lingkungan adalah sebuah hal
wajib yang harus dilakukan. Disamping
karena kesadaran pribadi, hal lain yang
menjadi penyebab adalah tuntutan pasar
(pembeli) yang sering mempersyaratkan
kegiatan perikanan harus pro lingkungan,
namun bagi pelaku usaha kecil dan
menengah, pemikiran kearah tersebut belum
menjadi prioritas. Maka menjadi sebuah
74
tugas besar bagi pihak-pihak terkait terutama
kalangan pencetus program blue economy
untuk peduli dan memperhatikan serta
mengangkat usaha perikanan terutama skala
kecil dan menengah agar usahanya semakin
pro ekosistem. Jika hal ini dapat terwujud
maka blue economy yang terintegrasi dengan
program industrialisasi perikanan akan
semakin berhasil dan memajukan sektor
perikanan.
Di Bangka Belitung saat ini, kegiatan
perikanan khususnya kegiatan perikanan
budidaya mulai mengarah ke konsep budidaya
yang pro lingkungan. Beberapa kolam atau
tambak sudah mulai memperoleh Sertifikat
CBIB. Hal ini berarti pembudidaya yang
memperoleh sertifikat ini memiliki kewajiban
salah satunya adalah kewajiban untuk
menjaga keluaran (output) budidaya agar
tidak mengganggu ekosistem perairan. Ini
merupakan poin positif bagi para
pembudidaya ikan di Bangka Belitung dalam
menerapkan secara tidak langsung
konsep blue economy. Namun sayangnya
ketika sektor perikanan budidaya terus
berbenah dalam menggiatkan sektor
perikanan berwawasan lingkungan, ada sektor
lain yang seringkali mengesampingkan
kegiatan yang pro lingkungan.
Beberapa kegiatan pertambangan yang
dilakukan tanpa upaya untuk recovery
kerusakan yang muncul masih terus melanda
wilayah Bangka Belitung. Dampak lahan
yang rusak, air yang keruh dan kandungan
logam berat di air akibat usaha tambang
merupakan sebuah masalah. Namun
mengutuk dan meratapi sebuah masalah
bukan tindakan yang bijak. Ternyata sisi lain
dari kegiatan pertambangan ini mendatangkan
peluang bagi kegiatan perikanan khususnya
akuakultur. Pemanfaatan air bekas tambang
memang tidak serta merta dapat digunakan
untuk menunjang kegiatan perikanan. Perlu
ada treatment untuk kualitas air yang
mengalami degradasi. Disinilah pentingnya
ilmu dan teknologi. Dengan ilmu dan
teknologi maka sinergi antara sektor
perikanan dan pertambangan akan terwujud
hingga akan memunculkan konsep blue
economy baik disektor perikanan maupun
pertambangan.
"Blue and Green Economy (BGE)"
merupakan hal yang penting karena sektor
ekonomi kelautan dan perikanan merupakan
sumber daya yang berlimpah yang
menjanjikan usaha-usaha yang
menguntungkan dan dapat menyerap tenaga
kerja dalam jumlah besar. Dengan kata lain
pengelolaan sumber daya kelautan dan
perikanan dapat mengatasi tingginya angka
pengangguran dan kemiskinan. Dengan
mengembangkan sektor ekonomi kelautan,
maka akan tercipta pusat-pusat kemakmuran
yang tersebar di seluruh wilayah nusantara.
Ini dapat memecahkan permasalahan kronis
bangsa berupa ketimpangan pembangunan
antarwilayah, 'brain drainn, dan urbanisasi.
Konsep ‘sustainability development with
equity’ (pembangunan berkelanjutan dengan
kesetaraan) menjadi pegangan Indonesia dan
75
menjiwai semua perencanaan pembangunan.
Dalam penerapan konsep BE dan GE dalam
perencanaan pembangunan Indonesia memiliki
tujuan akhir pada peningkatan pendapatan, yang
juga berarti kesejahteraan masyarakat
meningkat. Penjelasan di muka mengandung
arti bahwa perencanaan pembangunan di
Indonesia harus memperhatikan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan dan sumber daya
hayati secara seimbang agar terjamin
keberlangsungannya (sustainable), dapat
memberi kontribusi pada pertumbuhan
ekonomi (economic growth), dan pada
akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Indonesia (community welfare).
Blue Economy yaitu konsep
pembangunan ekonomi yang tepat. Sektor ini
mampu menciptakan lapangan kerja dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat
secara adil, memelihara daya dukung dan
kualitas lingkungan pesisir dan lautan. Prinsip
Blue Economy menggunakan bahan baku dari
alam secara efisien, tidak menyisakan limbah,
memberikan dampak sosial yang luas. sistem
produksi berkelanjutan dan tidak merusak
lingkungan, serta kaya inovasi dan adaptasi
teknologi teramah lingkungan. Untuk
implementasi Blue Economy pada wilayah
pesisir dan pulau kecil, ada mina wisata yaitu
pemberdayaan masyarakat lokal dengan
program penyerapan tenaga kerja lokal,
souvenir berbahan baku sampah, inovasi dan
teknologi ramah lingkungan, dan banyak.
Dengan beberapa hal itulah dapat dengan
mudah melaksanakan Blue Ekonomy yang
akan mensejahterakan masyarakat. Hasil yang
diharapkan dari penerapan Blue Economy
penambahan nilai ekonomis dengan zero
waste, akan membuka peluang usaha baru dan
berbanding lurus dengan penambahan jumlah
lapangan pekerjaan yang dibutuhkan. Seluruh
bahan baku yang termanfaatkan tidak akan
menimbulkan limbah sehingga keberlangsungan
usaha dan sumber daya alam terjamin.
D. Kesimpulan
Penerapan konsep BGE secara
berdampingan dalam perencanaan
pembangunan Indonesia membawa dampak
positif bagi kelestarian sumber daya
perikanan dan kelautan serta lingkungan. Jika
tujuan dari kebijakan ekonomi biru (blue
economy) adalah agar sumber daya laut
terpelihara kelestarian/keberlangsungannya,
dan kemudian tujuan kebijakan ekonomi hijau
(green economy) adalah pelestarian
lingkungan hidup, maka alangkah lebih
indahnya jika kedua kebijakan itu
dilaksanakan secara berdampingan, yang satu
melengkapi yang lain sehingga menjadi
kebijakan ekonomi biru dan hijau (Blue and
Green Economy /BGE). Perencanaan
pembangunan dengan menerapkan konsep
BGE memiliki konsekuensi pada perubahan
paradigma perilaku masyarakat untuk lebih
cinta lingkungan, lebih cinta sumber daya
hayati, dan berusaha untuk menjaga
kelestariannya. Dengan demikian cita-cita
luhur yang tertuang dalam perencanaan
pembangunan Indonesia untuk
76
mensejahterakan masyarakat bisa terlaksana
melalui kebijakan BGE ini, mengingat
penerapan konsep BGE Membawa dampak
berantai pada tumbuhkembangnya usaha-
usaha yang menggandalkan kekayaan laut dan
lingkungan
Tuntutan pembangunan berbasis
sumberdaya kelautan dan perikanan agar
dijadikan sebagai motor penggerak dalam
pembangunan perekonomian nasional.
Pembangunan kelautan ke depan harus
diarahkan pada pengelolaan berbasis
ekosistem. Pembangunan juga ditujukan
untuk peningkatan dan penguatan peranan
sumberdaya manusia di bidang kelautan dan
perikanan serta membangkitkan wawasan
bahari dan kekuatan pertahanan kedaulatan
sebagaimana sejarah membuktikannya bahwa
penguasaan laut sangat menentukan kekuatan
dan keamanan suatu negara (Who Command
the Sea, Command the World). Upaya
revitalisasi ekonomi kelautan perlu
difokuskan pada pembangunan ilmu
pengetahuan dan teknologi, penganggaran,
peningkatan patroli keamanan untuk
menghindari pencurian ikan atau illegal
fishing. Apabila pemerintah mampu
mendayagunakan segenap potensi ekonomi
kelautan, maka sektor ini tidak hanya mampu
mengeluarkan bangsa dari persoalan utang
luar negeri, kemiskinan dan pengangguran,
juga dapat menghantarkan Indonesia menjadi
bangsa yang maju, adil, makmur dan
bermartabat.
Daftar Pustaka
Affandi, Anhar Rizki 2012. Indonesia
Bertekad Capai Blue Economy,
VIVA News edisi 9 Juni 2012
Hendra, Roy 2010. Determinan Kemiskinan,
UI Press.
Jusuf, Gellwynn (2012). Ekonomi Biru
Menjadi Arah Kebijakan
Pembangunan Perikanan Siaran
Pers Tanggal 6 Juni 2012.
Mula, 2012. Ekonomi Biru Tidak
Bertentangan dengan Ekonomi
Hijau. Antara, 25 Juni 2012
Pauli, Gu�ter ����. �The Blue Economy,
10 Years, 100 Innovations, 100
Million Jobs�. Paradigm
Publications
Sutardjo, Syarif C. 2012. Ekonomi Biru dan
Industrialisasi Kelautan Perikanan,
15 September 2012
Sutardjo, Sharif C. 2012. Ekonomi Biru Tidak
Bertentangan dengan Ekonomi
Hijau; Antara, edisi Senin, 25
Juni 2012
Suhanto, 2011. UMKM: Pilar Fundamental
Perekonomian Nasional, Direktur
Dagang Kecil dan Menengah,
Direktorat Jenderal Perdagangan
Dalam Negeri.
http://www.menlh.go.id. Kementerian
lingkungan Hidup, 6 juli 2012
http://id.berita.yahoo.com finance.html. Blue
economy : perbaiki hubungan
manusia dan laut.
http://www.analisadaily.com. Inisiatif
"Ekonomi Biru" RI Vs "Blue
Economy Gunter Pauli�, Harian
77
Analisa, edisi Rabu, 22 Februari
2012
http://3.bp.blogspot.com . Imam Hidayat,
2012. Indonesia: Ujung Tombak
Green & Blue Economi Dunia
http://www.dinsos.pemda-diy.go.id : Kreteria
untuk menentukan keluarga/rumah
tangga miskin.
http://www.rokhmindahuri.info. Aplikasi Blue
Economy Dalam Pembangunan
Kelautan Berkelanjutan. 10
Oktober 2012
http://mindcommonline.com. Blue economy
harus diimplementasikan dalam
percepatan industri kelautan dan
perikanan//. September 2013
Pengelola jurnal memberikan beberapa petunjuk penulisan sebagai berikut:
1. Naskah karya tulis ditulis menggunakan Times New Roman dengan ukuran font 12 dan spasi 1.
2. Jumlah halaman dari naskah adalah 15 sampai 20 halaman, belum termasuk daftar pustaka dan lampiran.
3. Keaslian naskah akan menjadi pertimbangan utama dari dewan editor.
4. Pengembangan wacana dan ide baru yang mengedepankan keberagaman school of thought akan menjadi pertimbangan utama
dari dewan editor.
4. Naskah dapat dikirim melalui email: [email protected]
5. Informasi dari jurnal tersebut dapat dilihat melalui website: http://ep.fe.uns.ac.id/
6. Struktur naskah meliputi:
a. Judul
b. Penulis, alamat email dan institusi asal
c. Abstrak (tidak lebih dari 250 kata)
d. Kata kunci dan klasifikasi JEL
e. Pendahuluan
f. Perumusan Masalah
g. Tinjauan Pustaka / Kerangka Teori
h. Metode penelitian (dapat dimasukkan dalam poin g apabila naskah berupa kajian teori/wacana)
i. Analisis dan Pembahasan
j. Kesimpulan dan Rekomendasi
k. Referensi
7. Judul tabel diletakkan di sisi atas dari tabel tersebut.
8. Judul gambar diletakkan di sisi atas dari gambar tersebut.
9. Penulisan referensi mengacu pada APA Style (www.apastyle.org), sebagai berikut:
A. Bagian Pertama (sumber cetak)
A.1. Non-Periodicals (e.g. Books, Reports, Brochures, or Audiovisual media)
1. Basic Format:
Author, A.A. (Year of publication). Title of work: Capital letter also for subtitle.
Location: Publisher.
2. Examples:
Arnheim, R. (1971). Art and visual perception. Berkeley: University of California
Press.
JIEP FEB UNS
Department of Economics, FEB UNS 4
Nicol, A.A.M., & Pexman, P.M. (1999). Presenting your findings: A practical guide
for creating tables. Washington, D.C.: American Psychological Association.
A.2. An Article in A Periodical (e.g. a journal, newspaper, or magazine)
1. Basic Format:
Author, A.A., Author, B.B., & Author, C.C. (Year, add month and day of publication
for daily, weekly, or monthly publications). Title of article. Title of periodical, volume
number (issue), pages.
2. Examples:
Magazine articles
Monson, M. (1993, September 16). Urbana firm obstacle to office project. The
Champaign-Urbana News-Gazette, pp. A1,A8.
Journal articles
Passons, W. (1967). Predictive validities of the ACT, SAT, and high school grades for
first semester GPA and freshman cources. Educational and Psychological
Measurement, 27, 1143 – 1144.
Monthly periodicals
Chandler-Crisp, S. (1988, May) ”Aerobic writing”: a writing practice model. Writing
Lab Newsletter, pp. 9-11.
Weekly periodicals
Kauffman, S. (1993, October 18). On firms: class consciousness. The New Republic,
p. 30.
A.3. An Article in A Periodical (e.g. a journal, newspaper, or magazine)
1. Basic Format:
Author, A.A., & Author, B.B. (Year of publication). Title of chapter. In A. Editor & B
Editor (Eds.). Title of book (pages of chapter). Location: Publisher.
2. Example:
Rubenstein, J.P. (1967). The effect of television violence on small children. In B.F.
Kane (Ed.). Television and juvenile psychological development (pp. 112-134). New
York: American Psychological Society.
A.4. An Article in A Periodical (e.g. a journal, newspaper, or magazine)
1. Basic Format:
Author, A.A., & Author, B.B. (Year of publication). Title of chapter. In Title of
encyclopedia (vol. page no. (s)). Location: Publisher.
2. Example:
Boy scouts of America (1969). In Funk & wagnalls new encyclopedia (Vol 4, pp.
163-165). New York: Funk & Wagnalls.
A.5. A Translated Work
1. Basic Format:
Author, A.A., Author, B.B., & Author, C.C. (Year of publication). Title of work (A.
Translator & B. Translator, Trans.). Location: Publisher. (Original work published
year).
2. Example:
Freud, S. (1970). An outline of psycholoanalysis (J. Strachey, Trans.). New York
Norton. (Original work published 1940).
A.6. A Government Publication
1. Basic Format:
JIEP FEB UNS
Department of Economics, FEB UNS 5
Organisation. (Year of publication). Title or article: Subtitle if any (Publication
Information). Location: Publisher.
2. Example:
National Institute of Mental Health. (1982). Television and behavior: Ten years of
scientific progress (DHHS Publication No. A 82-1195). Washington, D.C.: U.S.
Government Printing Office.
A.7. Work Discussed in A Secondary Source
Coltheart, M., Curtis, B., Atkins, P, & Haller, M. (1993). Models of reading aloud:
Dual-route and parallel-distributed-processing approaches. Psychological Review,
100, 589-608.
B. Second Part (Electrobic Sources)
B.1. A Non-Periodical Internet Document (e.g., a web page or report)
1. Basic Format:
Author, A.A., & Author, B.B. (Date of publication). Title of article. Retrieved month
date, year, from http://web address
2. Examples:
Greater Hattiesburg Civic Awareness Group, Task Force on Sheltered Programs.
(n.d.). Fund-raising efforts. Retrieved November 10, 2001, form
http://www.hattiesburgcag.org
GVU’s 8th WWW user survey. (n.d.). Retrieved August 8, 2000, from
http://www.cc.gatech.edu/gvu/user/survey-1997-10
Gordon, C.H., Simons, P., & Wynn, G. (2001). Plagiarism: What it is, and how to
avoid it. Retrieved July 24, 2001, form Biology Program Guide 2001/2002 at the
University of British Columbia Web site:
http://www.zoology.ubc.ca/bpg/plagiarism.htm
B.2. Periodical Internet Document
1. Basic Format:
Author, A.A., & Author, B.B. (Date of publication). Title of article. Title of journal,
volume number (issue number if available). Retrieved month, day, year, form
http://web address
2. Example:
Jensen, S. (2000). Ethical underpinnings for multidisciplinary practice in the United
States and abroad:Are accounting firms and law firms really different?. Online
Journal of Ethics, 3 (1). Retrieved August 20, 2001, form
http://www.stthom.edu/cbes/ethunder.html
B.3. Internet Government Report
1. Basic Format:
Sponsoring agency. (Date). Title. (Publication data). Retrieved (date) from (name of
organization and URL)
2. Example:
U.S. General Accounting Office. (1997, February). Telemedicine: Federal strategy is
needed to guide investments. (Publication No. GA0/NSAID/HEHS-97-67). Retrieved
September 15, 2000, from General Accounting Office Reports Online via GPA
Access: http://www.access.gpo.gov/su_docs/aces/aces160.shtml?/goa/index.html