MENUJU ERA MULTIDISIPLINERDALAM KAJIAN BAHASA DAN SASTRA
Oleh: Djoko Saryono
Abstrak: Makalah ini secara ringkas-konseptual membeberkan pergeseran gerak divergensi ke gerak konvergensi dalam ilmu-ilmu modern. Terkait dengan itu, dibeberkan juga pergeseran ideologi monodisipliner ke ideologi multidipliner baik dalam ilmu-ilmu modern pada umumnya maupun dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra. Pergeseran gerak dan ideologi tersebut ter-bukti telah menghindarkan ilmu-ilmu analitis, ilmu-ilmu eman-sipatoris, dan ilmu-ilmu hermeneutis khususnya ilmu bahasa dan ilmu sastra dari “senjakala kematian”, sebaliknya malah berkembang baik sekarang. Sekarang makin banyak kajian ba-hasa dan kajian sastra berparadigma, berpendekatan, dan atau berteori multidisipliner. Era multidisipliner pun makin kuat dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra.
Kata Kunci: ilmu-ilmu, ideologi, divergensi, konvergensi, mon-odisipliner, multidisipliner
Dunia modern selama ini telah didominasi kerangka berpikir positivistik. Berdasarkan konsep-konsep metodologi ilmiah dan pemilahan yang ketat antara pengetahuan empiris dan pu-tusan nilai, nilai positivistik menempatkan diri mereka sendiri dalam posisi perang terhadap segala bentuk pseudo-ilmiah dan segala sesuatu yang non-ilmiah. Positivisme berupaya hendak membuka topeng dasar-dasar normatif – yang non-kognitif, subjektif, irasional – dari pandangan global tentang manusia dan masyarakat yang selama ini digunakan sebagai peneguh sistem-sistem etis dan politis tertentu. ... Ideologi positivistik kemudian berlaku sebagai dasar legitimasi seluruh aspek ke-hidupan ...[Sindung Tjahyadi, Dasar-dasar Validitas Ilmu dan Agama dalam Perspektif Teori Kritis Jurgen Habermas, dalam Zainal Abidin Bagir dkk, 2005, Integrasi Ilmu dan Agama.
Bandung, Penerbit MIZAN, hlm. 71)
Dalam makalah ini dicoba dibeberkan ihwal pertumbuhan dan
perkembangan paradigma dan kecenderungan kajian bahasa dan
sastra secara ringkas-konseptual. Pembeberan itu dilakukan dengan
mengacu pada pertumbuhan dan perkembangan ilmu-ilmu modern
pada umumnya terutama paradigma dan kecenderungan ilmu-ilmu
modern karena -- setuju atau tidak – paradigma dan kecenderungan
umum telah mendominansi, malah menghegemoni ilmu-ilmu yang
tumbuh-berkembang semasa modern. Dengan kata lain, paralelisme
tersebut menginformasikan bahwa apa yang berkembang dalam
ilmu-ilmu modern pada umumnya berkembang pula dalam ilmu-ilmu
khusus tertentu, misalnya apa yang berkembang dalam ilmu-ilmu
analitis atau ilmu-ilmu kealaman berkembang pula dalam ilmu ba-
hasa dan ilmu sastra sebagaian bagian ilmu-ilmu hermeneutis atau
ilmu-ilmu kemanusiaan.
Sebagaimana telah diketahui, ilmu-ilmu modern pada umum-
nya tumbuh dan berkembang sangat pesat berkat pumpunan atau
dorongan gerak divergensi yang membuahkan monodisiplineritas
ilmu. Akan tetapi, akibat pelbagai kekurangan, keterbatasan, dan
kelemahan yang secara inheren dimiliki dan dikandung oleh gerak
divergensi, kemudian “ditanggapi, disempurnakan, diperbaiki, dan
dicanggihkan serta digeser” oleh gerak konvergensi yang mem-
buahkan multidisiplineritas ilmu. Karena itu, dapat dikatakan, gerak
konvergensi sekarang tengah menggeser, menggantikan, atau
hanyalah melengkapi gerak divergensi dalam ilmu-ilmu modern. Di
sinilah dapat disaksikan pergeseran atau pergantian pendulum di-
vergensi ke arah pendulum konvergensi. Hal ini terjadi juga dalam
ilmu bahasa dan ilmu sastra: gerakan pendulum divergensi tengah
ditanggapi, digeser, dilengkapi, atau malah digantikan oleh gerakan
konvergensi dalam bingkai era multidisiplineritas. Setelah secara
umum membeberkan seluk-beluk gerak pendulum divergensi dan
monodisipliner ke arah pendulum konvergensi dan multidisipliner,
makalah ini membeberkan gerak pendulum divergensi dan mono-
disipliner ke arah pendulum konvergensi dan multidisipliner dalam
ilmu bahasa dan ilmu sastra; dalam kajian bahasa dan sastra seba-
gai bagian terpadu ilmu-ilmu hermeneutis. Dengan demikian, di-
harapkan dapat diketahui nalar kajian bahasa dan sastra yang multi-
disipliner.
FAJAR ERA MONODISIPLINER
Dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan ilmu-ilmu
modern, falsafah rasionalisme Cartesian [baca: ala Rene Descartes]
atau rasionalitas, yang kemudian diperkaya atau diperkuat oleh fal-
safah positivisme Comtian [baca: ala August Comte] atau positivitas,
menjadi pupuk-subur atau landasan awal-utama kemodernan ilmu-
ilmu [Descartes, 1999; Suriasumantri, 1999; Nasution, 2000; Tjahyadi,
2005; Wilardjo, 2005]. Beralaskan rasionalisme dan positivisme itu,
fajar kemodernan dalam bidang ilmu-ilmu ditandai oleh semangat un-
tuk menerapkan metode ilmiah yang notabene sangat positivistis-em-
piris secara ketat-padat (rigorous) di samping memandang objek
pengetahuan ilmiah [baca: alam semesta dan alam manusia] secara
mekanistis ala Newton [baca: bukan holistis sebagai jejaring kehidu-
pan ala Capra] sekaligus profanistis [baca: bersifat tidak transenden
atau sekular!] [Capra, 2007; Hardiman, 2009]. Hal ini bertujuan agar
diperoleh sebuah validitas dan kepastian temuan ilmiah berdasarkan
bukti-bukti empiris dan pengujian empiris-real, terlepas dari pandan-
gan-pandangan mistis dan religius atau spiritualistis, apalagi pandan-
gan akal sehat semata-mata, common sense belaka [Tjahyadi, 2005;
Wilardjo, 2005]. Asas keketatan, kepastian, dan validitas tersebut dit-
erapkan secara konsekuen dan konsisten dalam metode ilmiah den-
gan maksud agar dapat diperoleh hasil kajian atau temuan yang
seilmiah-ilmiahnya (seilmiah mungkin) berupa kebenaran ilmiah
bersistem yang relatif permanen; memiliki hipotetikalitas sangat
tinggi atau proposisi-proposisi yang bertali-temali secara sistemis,
yang sekarang pada umumnya disebut ilmu atau teori. Demikian juga
padangan mekanistis sekaligus profanistis tentang objek penge-
tahuan ilmiah [baca: model dunia yang mekanistis ala Newton] diter-
apkan secara konsekuen dan konsisten supaya diperoleh keilmiahan
dan kesahihan teori secara meyakinkan, dalam arti benar-benar em-
piris [Capra, 2006; 2007]. Dari sinilah kemudian tumbuh-menguat
keyakinan bahwa validitas, keketatan, dan kepastian temuan ilmiah
dapat dicapai dengan metode ilmiah bercorak mekanistis, profanistis,
dan empiris. Selanjutnya, berkembanglah pandangan bahwa yang
disebut ilmu atau minimal teori selalu bersifat empiris, profanistis,
bahkan mekanistis [Capra, 2007; Smith, 1999]. Yang dapat memenuhi
persyaratan seperti ini dipandang objektif atau memiliki objektivitas.
Objektivitas ini menjadi obsesi semua ilmu modern dan juga semua il-
muwan di samping menjadi standar semua ilmu modern. Di sinilah il-
muwan mengganggap diri memiliki kebebasan ilmiah dan meyakini
netralitas ilmu, tanpa harus terikat oleh hal-hal mistik dan religiositas
serta sosial-kemanusiaan [bandingkan dengan Suriasumantri, 1999].
Lama-kelamaan hal tersebut dianggap berlaku universal sehingga
berkembanglah pandangan tentang universalitas ilmu-ilmu modern
kendati seharusnya tidak demikian [Smith, 1999; Fauzi, 2003].
Di bawah naungan semangat kebebasan ilmiah, netralitas, ob-
jektivitas, dan universilitas ilmu-ilmu tersebut di atas, lantas lahirlah
gerakan memisah-misahkan diri atau membagi-bagi diri (divergensi)
dalam tradisi ilmu-ilmu modern terutama ilmu-ilmu (ke)alam(an) atau
ilmu analitis, kemudian diikuti ilmu-ilmu humaniora atau ilmu
hermeneutis dan ilmu-ilmu sosial modern atau ilmu emansipatoris
yang memang berkembang berkat meniru atau meneladani model
ilmu-ilmu alam [Habermas, 1990; Hardiman, 2009]. Di sinilah gerak
divergensi (menyebar menjadi kecil-kecil) ilmu-ilmu dimulai dan
menggelinding-meluncur dengan begitu cepat. Gerak divergensi
perkembangan ilmu-ilmu ini sepanjang zaman modern [terutama dim-
ulai pada awal sampai dengan akhir Abad XX lalu] telah melahirkan
pelbagai disiplin ilmu baru yang khusus, bahkan sangat khusus (san-
gat teknis), misalnya urologi dalam kedokteran dan entomologi dalam
biologi, – yang jumlahnya demikian banyak dan melimpah ruah. Di
sini spesialisasi dan partikularisasi ilmu-ilmu terjadi dan kemudian
berlangsung secara radikal sangat (baca: mendasar), malah luar bi-
asa. Tidak mengherankan, berpuluh-puluh disiplin ilmu spesialistis-
partikular baru (kadang-kadang dibaca: cabang-cabang ilmu, mungkin
malah ranting-ranting ilmu!) tumbuh dan berkembang dari “pokok po-
hon” disiplin ilmu tertentu. Misalnya, ilmu kedokteran telah beranak-
pinak secara luar biasa menjadi urologi, dentologi, neurologi, dan se-
bagainya; ilmu bedah menjadi bedah umum, bedah tulang, bedah
syaraf, dan sebagainya. Ilmu hukum melahirkan cabang ilmu hukum
pidana, hukum perdata, hukum ekonomi, hukum bisnis, hukum
perikatan, hukum laut (akan tetapi, mungkin aneh, setakat kini belum
ada hukum darat atau hukum udara lho!), dan lain-lain. Ilmu ekonomi
melahirkan cabang ekonomi makro, ekonomi mikro, ekonomi pem-
bangunan, dan sebagainya. Ilmu bahasa melahirkan cabang atau
ranting fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, wacana, dan seba-
gainya. Ilmu sastra melahirkan sejarah sastra, teori sastra, kritik sas-
tra, dan apresiasi sastra beserta berbagai madzab turunannya;
sekadar contoh, kritik sastra terbagi menjadi kritik sastra akademis,
kritik sastra popular, dan kritik sastra Koran. Jika diperhatikan secara
cermat dan lengkap, niscaya dapat diketahui bahwa yang berkem-
bang sudah bukan cabang ilmu semata-mata, melainkan sudah sam-
pai pada ranting atau dahan ilmu-ilmu!
Masing-masing disiplin ilmu yang telah berkembang demikian
yakin akan adanya suatu ontologi ilmu [baca: keberadaan ontologi]
yang bisa dikaji secara tuntas [heuristis], seolah-olah ada-nyata-
hadir objek yang dapat dikaji secara tuntas dan jelas [baca: heuristis
dan eksplanatif]. Diyakini di sini bahwa ontologi itu ada dan tak
perlu diragukan keberadaannya. Diyakini juga bahwa epistemologi
ilmu niscaya mampu mengobservasi, mendeskripsi, dan mengeks-
planasi realitas secara tepat-cermat. Dalam hubungan ini episte-
mologi dipandang mampu menghadirkan ontologi secara persis den-
gan presisi tinggi. Seiring dengan itu, masing-masing disiplin ilmu
pun membentuk-membangun bangunan epistemologis dan metodol-
ogis yang sangat tangguh, kokoh, ketat, dan ‘bertembok tinggi’ ser-
aya mencampakkan atau mengeliminasi jauh-jauh keberadaan aksi-
ologi ilmu (katanya ini bukan tugas ilmuwan). Di sinilah aksiologi
ilmu dianggap bukan urusan ilmuwan lagi atau urusan ilmu karena
ontologi dan epistemologi ilmu diyakini netral dan objektif dari ke-
pentingan-kepentingan dan kekuasaan-kekuasaan tertentu berkat
sterilisasi-sofistikasi objek dan metode. Tak ayal lagi, antara disiplin
ilmu (spesialistis-partikular) yang satu dan disiplin ilmu yang lain
tidak (boleh dilihat) berhubungan dan tak dapat saling melengkapi;
praktis tak ada saling sapa, apalagi saling-silang, antara satu disiplin
ilmu dan disiplin ilmu lain – saling-sapa seakan-akan sebuah dosa,
paling tidak kesalahan, lebih-lebih saling-temu dan saling-kerjasama
dianggap “terlarang hukumnya”. Saling hubungan di antara disiplin
dianggap sebagai “cinta terlarang” [pinjam judul lagu Andi Meriem
Mattalata atau The Virgin], bahkan juga “rindu terlarang” [pinjam
judul lagu popular Broery dan Dewi Yull]. Dalam konteks ini berkem-
bang pendirian bahwa satu teori (yang mengacu pada satu ontologi
tertentu) selalu membawa konsekuensi satu metodologis tertentu;
satu teori cocok dengan satu metodologi tertentu atau sebaliknya;
satu teori dan metodologi untuk satu penelitian. Hampir-hampir tak
ada pandangan: satu metodologi untuk banyak teori atau banyak
teori menggunakan banyak metodologi.
Sehubungan dengan itu, pada sepanjang Abad XX (kecuali
mulai 15 tahun terakhir Abad XX) dapat disaksikan dua watak-dasar
yang sangat penting-menonjol dalam perkembangan ilmu-ilmu mod-
ern, yaitu, pertama, betapa tertutupnya bangunan ontologis, episte-
mologis, teoretis, dan metodologis ilmu-ilmu (spesialistis-partikular)
kealaman, ilmu-ilmu sosial, dan humaniora; dan kedua, betapa
sibuknya masing-masing disiplin ilmu membangun “tembok-kokoh”
dan “tembok-pemisah” disipliner dengan mengabaikan keberadaan
disiplin ilmu-ilmu lain atau kerja-sama ilmu-ilmu; kerja-sama ilmu-
ilmu dan gabung-ilmu-ilmu benar-benar dianggap “cinta terlarang”.
Meminjam lirik manis maestro pernyanyi Broery dan Dewi Yull dalam
lagu Rindu Terlarang: sekarang “/di antara ilmu-ilmu memang tak
pantas [baca: satu disiplin ilmu – penulis] mengkhayal tentang
dirimu [baca: disiplin ilmu lain – penulis]/sebab kau tak lagi [baca:
disiplin ilmu lain] seperti yang dulu/kendati berat rasa rinduku [baca:
satu disiplin ilmu] kepadamu [baca: disiplin ilmu lain]/biarkan
kuhadang rinduku [baca: satu disiplin ilmu] terlarang [bertemu disi-
plin ilmu lain]/”. Di sinilah dapat disaksikan merebaknya dan kemu-
dian menguatnya era (masa) monodisipliner! [Horgan, 2005; Piliang,
2005; Smith, 1999].
Fajar era monodisipliner disertai dengan berkembangnya dan
atau menguat-menonjolnya [sebutlah] ‘ideologi’ kemonodisiplineran
dalam ilmu-ilmu (bolehlah disebut: monodisiplinerisme) pada umum-
nya – baik ilmu-ilmu alam atau ilmu analitis, ilmu-ilmu sosial atau
ilmu emansipatoris maupun ilmu-ilmu humaniora atau ilmu
hermeneutis. Monodisiplinerisme mewawasi, melandasi, dan meng-
gerakkan segenap ilmu-ilmu dalam bekerja. Kerja ilmu dan temuan
teori dikendalikan oleh monodisiplinerisme semata. Dalam bekerja
ini, ‘ideologi’ monodisiplinerisme ini meyakini empat hal berikut.
Pertama, ilmu-ilmu apapun harus mengejar tujuan dan kepentingan
tertentu yang melekat [inheren] dalam dirinya sendiri [internal],
bukan mengejar suatu tujuan dan kepentingan di luar dirinya [ek-
sternal], misalnya kepentingan kemanusiaan; kepentingan kemanu-
siaan merupakan soal aksiologi ilmu yang bukan urusan langsung
ilmu. Kedua, ilmu-ilmu apapun harus bekerja dengan asas-asas disi-
pliner(itas) yang ketat dan pasti yang dimilikinya dan dalam batas-
batas cakupan yang telah ditetapkan, bukan asas ketuntasan
masalah tertentu yang harus dikajinya dan kememadaian jawaban
atas masalah-masalah keilmuan. Ketiga, ilmu-ilmu apapun perlu
bekerja dengan satu teori dan metode(logi) yang sesuai dengan tu-
juan dan kepentingan monodisipliner, tidak perlu atau tidak boleh
bekerja dengan piranti-piranti teoretis dan metodologis dari luar
bidang; pencampuran atau penggunaan dua atau lebih teori dan
metodolgi dalam suatu kajian ilmiah disebut dengan nama eklekti-
sisme [catat baik-baik: namanya saja sudah “merendahkan”!],
bukan disebut multidisiplineritas atau interdisipliner. Terakhir, keem-
pat, ilmu-ilmu apapun wajib mengusung objektivitas-empiris yang
notabene posivistis (yang sering hanya menjadi objektivisme) seba-
gai pilar sekaligus tolok ukur (tunggal?) aktivitas penelitian ilmiah
termasuk ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu budaya; tak ayal objek ilmu-
ilmu alam, sosial, dan humaniora sama-sama (di)-mati-(kan). Enti-
tas, watak, dan sifat objek ilmu-ilmu sosial atau ilmu emansipatoris
dan apalagi ilmu-ilmu humaniora atau ilmu hermeneutis yang
sesungguhnya amat hidup, cair-lunak, dan mudah-bergerak pun
harus dimatikan supaya memperoleh status keilmiahan yang kokoh.
Empat keyakinan tersebut mengakibatkan kuatnya pandan-
gan bahwa penggunaan satu teori dan metodologi dalam kegiatan
penelitian sangat baik dan paling sah, sedangkan penggunaan
berbagai teori dan metodologi secara serempak dalam suatu
kegiatan penelitian tidak sah dan jelek, bahkan terlarang. Penggu-
naan dua atau lebih teori dan metodologi dalam kegiatan penelitian
disikapi sebagai oportunisme epistemologis dan metodologis alias
mau enaknya sendiri, tidak mau bersusah-susah, bukan dipandang
sebagai perluasan empiris teori! [simak Kleden, 1987; Fauzi, 2003;
Hardiman, 2008; 2009]. Pendek kata, kerja-sama ilmu-ilmu yang
maujud [manifest] dalam penggunaan dua atau lebih teori dan
metode dalam suatu kerja ilmiah dipandang negatif – yang secara
peyoratif sering disebut sebagai eklektisisme. Di Indonesia, hal
tersebut berkembang sangat kuat semenjak dasawarsa 1970-an dan
1980-an. Istilah eklektisisme (atau pendekatan eklektis) dipersepsi
kurang memiliki nilai akademis dan keterandalan atau validitas
ilmiah di samping dipandang lemah bangun-teori dan bangun-
metodologinya. Alhasil, penelitian yang tercermin dalam penggu-
naan dua atau lebih teori dan metode praktis tak mendapat tempat
dalam aktivitas penelitian karena dilihat sebagai eklektis, tidak dili-
hat sebagai multidisipliner atau interdisipliner [simak Kleden, 1987].
Roman Jakobson – salah seorang tokoh terkemuka bidang
fungsionalisme ilmu bahasa di samping tokoh kajian sastra – men-
gatakan bahwa semua teori dan metodologi yang berwatak mono-
disipliner-posivistis-partikular niscaya bakal bocor atau “kedodoran”
mengeksplanasi objek ilmu. Maksudnya, bahwa tidak ada kesempur-
naan dan kelengkapan teori dan metodologi apapun – kesempur-
naan hanyalah ilusi, utopia atau halusinasi [Jakobson, 2000] – se-
hingga klaim kesempurnaan dan kelengkapan suatu teori dan
metodologi justru akan menimbulkan banyak masalah epistemolo-
gis. Sebagaimana diketahui bersama, ‘ideologi’ monodisipliner-posi-
tivis-spesialistis tersebut belakangan hari memang menimbulkan
berbagai persoalan kritis, genting, dan krusial dalam kegiatan
penelitian dan kemudian juga persoalan teori dan metodologi. Per-
soalan kritis, genting, dan krusial yang dimaksud adalah (1)
masalah-masalah dalam kehidupan manusia ternyata banyak yang
tidak dapat dikuak, dijawab, diselesaikan, dan diatasi oleh ilmu-ilmu
disipliner yang spesialistis-partikular, (2) ilmu-ilmu disipliner yang
spesialistis-partikular kehilangan relevansi dan nilai guna dalam
masyarakat, dan (3) bangunan teoretis dan epistemologis atau
metodologis ternyata mengalami ‘kebocoran serius’ sehingga klaim-
klaim teoretis dan metodologis dari ilmu-ilmu disipliner (yang spe-
sialistis-partikular) banyak yang tidak andal dan tak dapat dian-
dalkan; dan (4) watak ideologis (dan subjektivistis) ilmu-ilmu disi-
pliner tidak dapat diketahui dan dimanfaatkan secara pasti dalam
konteks kepentingan masyarakat, bisa jadi hanya kepentingan
kekuasaan non-demokratis; serta (5) watak ilmu-ilmu monodisipliner
terbukti sangat orientalistis dan kolonialistis sebagaimana dike-
mukakan oleh Fauzi, Said, dan Linda Smith [Fauzi, 2003; Horgan,
2005; Piliang, 2005; Said, 2001; Smith, 1999].
Beberan tersebut di atas menunjukkan bahwa ilmu-ilmu mod-
ern monodisipliner-positivis yang mengklaim universal sungguh
sarat dengan berbagai kepentingan dan kekuasaan sehingga senan-
tiasa berada di bawah hegemoni kepentingan dan kekuasaan ter-
tentu [Fauzi, 2003; Hardiman, 2008; 2009; Habermas, 1990; Said,
2001]. Tidak mengherankan, banyak pihak memaklumkan bahwa
ilmu-ilmu modern monodisipliner yang posivistis-spesialistis-partiku-
lar telah berada pada senjakala kematian [the end of science] [Hor-
gan, 2005; Smith, 1999]. Di sini senjakala kematian dalam arti seba-
gai sesuatu yang melampaui batas untuk menuju titik ekstrem, pele-
buran dan pencampuradukan, dan kondisi tidak ada lagi objek [ilmu
pengetahuan] itu sendiri [Horgan, 20005; Piliang, 2005]. Dalam
keadaan seperti ini, meminjam istilah Piliang [2005], manusia hanya
menemukan “puing-puing ilmu pengetahuan”, tidak ada lagi keu-
tuhan ilmu. Sayang sekali, itu semua kurang disadari semenjak dini
oleh para ahli (ilmu spesialistis-partikular) atau ilmuwan spesialis-
partikular sehingga tak dapat ditanggulangi dengan segera.
GERAK KONVERGENSI ILMU-ILMU
Guna mengatasi berbagai permasalahan kritis, genting, dan
krusial tersebut, banyak pihak terutama “ilmuwan alternatif” [bukan
ilmuwan mainstream] mulai berpikir tentang bagaimana titik-temu,
saling-silang, dan kerja-sama ilmu-ilmu beserta dengan metode-
metode penelitian tertentu dimungkinkan sembari berpikir tentang fil-
safat ilmu alternatif khususya ontologi, epistemologi, dan aksiologi al-
ternatif [Horgan, 2005; Piliang, 2005; Smith, 1999]. Saling-silang dan
kerja-sama itu disertai usaha-usaha mempertanyakan pendirian-
pendirian filsafat ilmu yang ada; misalnya, dipertanyakan apakah me-
mang benar-benar ada kenyataan ontologis ilmu-ilmu; apakah episte-
mologi ilmu-ilmu mampu membeberkan kenyataan; dan apakah aksi-
ologi ilmu menjadi bagian penting pengkajian keilmuan [simak Hor-
gan, 2005; Hardiman, 2009; Piliang, 2005; Smith, 1999]. Menurut Pil-
iang [2005], inilah titik-balik sejarah ilmu-ilmu modern. Titik balik se-
jarah itu dimaksudkan untuk menghindari senjakala kematian ilmu se-
hingga ilmu-ilmu modern diusahakan menempuh jalan berbeda
dibandingkan jalan monodisipliner.
Rintisan saling-silang dan kerja sama ilmu-ilmu dan metode-
metode yang disertai perubahan filosofis tersebut mulai banyak atau
marak dilakukan pada dasawarsa 1980-an. Gerakan saling-silang dan
kerja sama ilmu-ilmu dan metode penelitian pun dimulai, kemudian
berkembang cukup baik pada masa selanjutnya. Di sinilah dapat dis-
aksikan munculnya gerak konvergensi dalam tradisi ilmu-ilmu mod-
ern, yaitu gerak perapatan, penggabungan, penyatuan, pemaduan,
dan pengombinasian teori dan metodologi ilmu-ilmu yang beraneka
ragam dan majemuk. Sebagai contoh, saling-silang dan kerja sama
ilmu biologi dengan teknologi melahirkan bioteknologi; saling-silang
dan kerja sama antara psikologi dan antropologi menghasilkan
antropologi psikologi. Hal ini menegaskan bahwa gerak konvergensi
menjadikan disiplin-disiplin ilmu (yang spesialitis) dan metode-
metode yang dulu terpisah-pisah (yang partikular) mulai bertemu dan
menyatu lagi; dalam hal ini berbagai disiplin dan metode digunakan
secara serempak dalam kegiatan keilmuan terutama kegiatan peneli-
tian tanpa harus disebut eklektisisme, melainkan kombinasi, pencam-
puran [mixing], dan penyematan [blending]. Misalnya, gerakan men-
gombinasikan atau memadukan fisika dengan pikiran mistisisme
Timur sebagaimana terlihat dalam buku The Tao of Physics karya
Fritjof Capra melahirkan Fisika Baru yang dipelopori oleh Gari Sukav.
Pada awal tahun 1990-an juga mulai muncul dan berkembang pula
gerakan memadukan atau meleburkan metodologi kualitatif dan
kuantitatif [yang dahulu dilarang atau dianggap tidak mungkin] – se-
bagaimana tampak pada buku Mixing Method: Qualitative and Quanti-
tative Research karya Julia Brannen (1993), Research Design: Qualita-
tive and Quantitative Approach karya John W. Creswell (1997), dan
Blending of Qualitative and Quantitative Research karya Amstrong
(2003).
Semua itu menandakan terbitnya fajar era multidisipliner, yang
berikutnya mendorong berkembangnya ‘ideologi’ multidisipliner
dalam teori dan metodologi ilmu-ilmu. Berbeda dengan ideologi se-
belumnya, ‘ideologi’ multidisipliner memiliki orientasi pada penun-
tasan masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia dengan menggu-
nakan berbagai teori dan metodologi secara serempak; menggunakan
corak ontologi, epistemologi, dan aksiologi berbeda [simak Kleden,
1987; Zed, 2005]. Bangun teoretis [ontologis] dan metodologis [epis-
temologis] yang tersekat-sekat atau terfragmentasi dibongkar dan ak-
siologi dirangkul kembali dalam ‘ideologi’ multidisipliner serta kemu-
dian diduetkan atau dipertemukan dalam konteks ideologi multidisi-
pliner. Dari sinilah kemudian lahir studi-studi tertentu [dan bukan
ilmu-ilmu tertentu!], misalnya Studi Wanita atau Gender, Studi Asia,
Studi Amerika, Studi Pembangunan, dan Studi Lingkungan dan den-
gan demikian ilmu-ilmu modern benar-benar memasuki fase sen-
jakala kematian teori spesialistis-partikular atau bahkan kematian
teori (the end of theory) atau metodologi monodisipliner. Kematian
teori atau metodologi di sini dalam arti terjadinya penggantian secara
mendasar filsafat ilmu, paradigma kajian, dan watak teori atau
metodologi [simak Horgan, 2005; Piliang, 2005; Smith, 1999].
PENDULUM KAJIAN BAHASA DAN SASTRA
Semua beberan di atas menunjukkan adanya dua pendulum
pertumbuhan dan perkembangan ilmu-ilmu modern, yaitu pendulum
divergensi yang membuat ilmu-ilmu berkembang luar biasa pesat;
dan pendulum konvergensi yang mengatasi kekurangan dan kelema-
han pendulum divergensi sehingga ketuntasan penyelesaian masalah
tercapai. Dapat dikatakan, semua ilmu harus “mendayung” di antara
pendulum divergensi dan konvergensi. Pertumbuhan dan perkemban-
gan ilmu bahasa dan ilmu sastra pun harus “mendayung” di antara
pendulum divergensi dan konvergensi. Mengikuti gerbong humaniora
atau ilmu-ilmu hermeneutis [menurut Jurgen Habermas], ilmu bahasa
dan ilmu sastra -- sebagai salah satu “pokok pohon” tertua ilmu-ilmu
dalam hermeneutis, juga mengalami gerak divergensi [gerak mera-
pat, memadu, atau menyatu] ketika pendulum divergensi sedemikian
dominan dan hegemonis menguasai ilmu-ilmu modern.
Sebagaimana ilmu-ilmu pada umumnya, semenjak awal Abad
XX, seiring dengan hadirnya strukturalisme (tentu juga semiologi) dari
Bapak Ilmu bahasa Modern Ferdinand de Saussure [dan juga dari
Leonard Bloomfield] dan tokoh mashur ilmu sastra Renne Wellek dan
Austin Werren, dalam ilmu bahasa [modern] dan kemudian juga
dalam ilmu sastra berlangsung telah penyebaran atau pemisahan diri
yang sedemikian cepat. Buku terpenting Saussure bertajuk General
Linguistics dan buku Wellek dan Warren bertajuk Theory of Literature
merupakan gambaran paling gamblang ideology monodisipliner.
Maka, ilmu bahasa dan ilmu sastra membentuk dan memperkuat diri
dengan spesialisasi dan partikularisasi serta membatasi diri. Spesial-
isasi-partikularisasi ilmu bahasa dan ilmu sastra yang terjadi dengan
tempo sedemikian cepat, bahkan demikian berkelebat, menggusur
disiplin-disiplin lama yang sejak awal multidisipliner seperti
antropologi ilmu bahasa, filsafat seni, dan retorika serta kajian moral
dalam sastra. Lahirlah berbagai disiplin ilmu ilmu bahasa yang khusus
(spesifik-partikular), misalnya fonologi, morfologi, leksikologi, sintak-
sis, semantik, dan disiplin ilmu bahasa teoretis lain. Hal ini diiringi
oleh hadirnya berbagai linguis yang ahli di bidang tertentu, misalnya
ahli fonologi, ahli morfologi, ahli sintaksis, dan ahli leksikologi yang “
… di antara hatimu hatiku terbentang dinding yang tinggi …” [pinjam
lirik lagu Hatiku Hatimu yang didendangkan Muchsin Alatas dan Titik
Sandhora]. Demikian juga lahir berbagai disiplin ilmu sastra yang spe-
sialistis-partikular, antara lain strukturalisme, formalisme, stilistika,
analisis teks, strata norma, dan teori-teori objektif lain yang berkutat
pada bentuk-bentuk sastra. Masing-masing disiplin ilmu bahasa dan
ilmu sastra tersebut secara ketat dan terpisah berkembang dengan
perspektif, teori, dan metodenya sendiri. Hal ini diikuti oleh keyakinan
linguis dan ahli sastra yang demikian tinggi pada spesialisasi masing-
masing pada satu pihak dan pada pihak lain kegamangan linguis dan
ahli sastra untuk ‘menengok’ atau terjun dan menggumuli bidang
yang [dianggap] bukan spesialisasinya (spesialisasi orang lain). Al-
hasil, ilmu bahasa dan ilmu sastra menjadi berkeping-keping ke
dalam pelbagai disiplin mikro yang didukung oleh para spesialis pada
satu pihak dan pada pihak lain ilmu bahasa dan ilmu sastra menjadi
terisolasi dalam lingkungannya sendiri. Hal ini pertanda bahwa ‘ide-
ologi’ monodisipliner juga mencengkeram kuat dalam dunia ilmu ba-
hasa dan ilmu sastra. Maka, monodisiplinerisme merasuk ke dalam
ilmu bahasa dan ilmu sastra.
Hampir sama dengan ‘ideologi monodisipliner’ dalam ilmu-ilmu
modern pada umumnya, ternyata ‘ideologi’ monodisipliner dalam
ilmu bahasa dan ilmu sastra mengakibatkan empat hal. Pertama, ilmu
bahasa dan ilmu sastra terlalu banyak memusatkan perhatian pada
aspek-aspek formatif bahasa atau struktural bahasa dan aspek-aspek
formal sastra, meninggalkan atau menyingkirkan aspek-aspek fung-
sional bahasa, aspek-aspek ekstrinsik sastra, dan aspek-aspek puitik
sastra. Ia memang tidak mau berurusan dengan aspek-aspek non-for-
matif karena dipandang sebagai hal di luar bahasa dan sastra (ekster-
nal), tak berkaitan dengan bahasa dan sastra. Ini mengakibatkan
analisis ilmu bahasa dan ilmu sastra atau kajian sastra terfokus pada
bentuk-bentuk bahasa dan sastra yang steril atau dilepaskan dari
konteks sosial-masyarakat, budaya, dan masyarakat yang dinamis.
Kedua, ilmu bahasa dan ilmu sastra terutama penelitian ilmu bahasa
dan kajian sastra tampak terisolasi dari persoalan manusia,
masyarakat, dan budaya. Di sini segala sesuatu yang berbau ‘di luar
bahasa dan sastra’ selalu disingkirkan sebab bukan urusan ilmu ba-
hasa dan ilmu sastra. Ilmu bahasa dan ilmu sastra pun – termasuk
penelitian ilmu bahasa dan kajian sastra – lebih asyik dengan dirinya
sendiri. Selain ada positivisme yang kuat, ada semacam narsisisme
ilmu bahasa dan narsisisme literer/puitika di dalam dunia ilmu bahasa
dan ilmu sastra di samping dunia para ahli ilmu bahasa dan ilmu sas-
tra. Ketiga, peran, fungsi, dan sumbangan [kontribusi] ilmu bahasa
dan ilmu sastra bagi kemanusiaan, kemasyarakatan, kebudayaan,
dan peradaban dipertanyakan atau dipersepsi rendah. Kehadiran ilmu
bahasa dan ilmu sastra dalam konteks ilmu-ilmu kemanusiaan dan
kemasyarakatan juga dipertanyakan banyak pihak. Di sinilah ilmu ba-
hasa dan ilmu sastra kehilangan relevansi dengan kebutuhan manu-
sia dan masyarakat. Keempat, banyak masalah yang terkait, bersen-
tuhan, dan melekat dengan ilmu bahasa dan ilmu sastra tidak dapat
diselesaikan dan diatasi oleh ilmu bahasa dan ilmu sastra yang mono-
disipliner; padahal masalah-masalah itu membutuhkan sandaran teo-
retis ilmu bahasa dan ilmu sastra di samping penelitian ilmu bahasa
dan kajian sastra. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: di man-
akah dan seberapa besarkah sumbangan ilmu bahasa dan ilmu sastra
bagi penyelesaian masalah-masalah manusia dan masyarakat?
Banyak kalangan kemudian beranggapan dan berkesimpulan bahwa
ilmu bahasa dan ilmu sastra tidak banyak memberikan manfaat bagi
kehidupan manusia; tidak banyak menyelesaikan persoalan-persoalan
hidup manusia. Pendek kata, keempat dampak negatif ‘ideologi’
monodisipliner dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra tersebut men-
dorong timbulnya (semacam) “krisis ontologis dan epistemologis
[metodologis]” di dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra.
Kenyataan tersebut jelas merupakan kondisi dunia ilmu bahasa
dan dunia ilmu sastra yang tak ideal, bahkan “terbelakang” dan ter-
ancam mengalami senjakala kematian. ‘Ideologi’ multidisipliner
dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra kemudian muncul untuk mere-
spons dan mengubah kondisi dunia ilmu bahasa dan ilmu sastra
tersebut. Bangunan teoretis [ontologis] dan epistemologis atau
metodologis yang monodisipliner lalu mulai dibongkar, digeser, malah
diganti. Sebagai gantinya, mulailah dikembangkan bangun teoretis
dan metodologis yang bersifat multidisipliner dalam ilmu bahasa dan
ilmu sastra. Semenjak paruh terakhir dasawarsa 1980-an mulai
berkembang pesat teori dan metodologi ilmu bahasa dan ilmu sastra
yang multi(inter)disipliner. Demikian juga bidang-bidang multidisi-
pliner dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra bermunculan, misalnya
fonetik, psikologi bahasa, sosioilmu bahasa, geografi bahasa, etno-
grafi komunikasi, dan neurologi bahasa serta wacana kritis; psikologi
sastra, sosiologi sastra, estetika, kritisisme baru, etnopuitika, dan pas-
cakolonialisme. Metode-metode multidisipliner juga mendapat tempat
dalam penelitian ilmu bahasa dan ilmu sastra, bahkan sangat lazim
dipakai dalam kegiatan penelitian ilmu bahasa dan kajian sastra, mis-
alnya semiotika bersama hermeneutika. Pada dasawarsa 1980-an
multidiplineritas dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra sudah tumbuh
dan berkembang baik. Sekarang perspektif, teori, dan metode multi-
disipliner sudah berkembang jauh dalam kajian bahasa dan kajian
sastra. Penggunaan perspektif, teori, dan metode yang multidisipliner
juga tak lagi dipandang sebagai wujud oportunisme teori dan
metodologi yang bertujuan mencari gampangnya saja dalam kegiatan
penelitian. Pendek kata, dunia ilmu bahasa dan ilmu sastra sekaligus
kajian bahasa dan kajian sastra sekarang memasuki era multidisi-
pliner.
Kajian-kajian bahasa dan sastra berdasarkan perspektif, teori,
dan metode multidisipliner sudah dilakukan oleh berbagai pihak se-
menjak paruh kedua tahun 1980-an di Indonesia. Dalam kajian ba-
hasa, sebagai contoh, kajian wacana kritis, sosiologi bahasa, psikologi
bahasa, linguistik komputasi, pragmatik, politik bahasa, dan pe-
merolehan bahasa dalam kaitannya dengan berbagai faktor
kekuasaan sudah cukup banyak dilakukan di Indonesia. Disertasi Ju-
madi (2007) berjudul Kuasa dalam Kelas, disertasi Dyah Werdiningsih
(2006) berjudul Pemerolehan Pragmatik Anak Usia Pra-sekolah, diser-
tasi Lilik Wahyuni (2008) berjudul Pertarungan Simbolis di Media
Massa, Hari Suwignyo (2009) berjudul Tindak Tutur Pembelajaran
Among, dan disertasi Roekhan (2009) bertajuk Kekerasan Simbolis di
Media Massa serta Anang Santosa (2003) berjudul Wacana Politik
Orde Baru adalah beberapa contoh kajian bahasa yang fungsional dan
multidisipliner. Demikian juga tesis Taufik Dermawan (1989) berjudul
Analisis Sosiologi Sastra dan Strukturalisme-Genetik Ronggeng Dukuh
Paruk, disertasi Dharmojo (2004) bertajuk Munaba: Struktur, Fungsi,
dan Nilai, disertasi Aleda Mawene (2005) berjudul Mitos Suku
Amungme, dan disertasi Muhammad Ali (2009) berjudul Kelong dalam
Perspektif Hermeneutika adalah beberapa contoh kajian sastra yang
fungsional dan multidisipliner nan fenomenologis-hermeneutis. Berba-
gai kajian bahasa dan sastra tersebut semuanya menggunakan dua
atau lebih pendekatan dan teori untuk memecahkan masalah kajian;
misalnya, pendekatan hermeneutika dan semiotika digunakan secara
serempak dalam kajian; teori wacana kritis dipadukan dengan teori
etnografi komunikasi; teori pragmatik dipadukan dengan etnografi ko-
munikasi; dan teori pragmatik dan etnografi komunikasi dipadukan
dengan teori pembelajaran among Tamansiswa. Ini semua menun-
jukkan bahwa multidisiplinerisme yang fenomenologis-humanistis
telah berkembang baik dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra; dalam ka-
jian bahasa dan kajian sastra. Beralaskan multidisiplinerisme ini di-
harapkan kajian bahasa dan kajian sastra dapat terus berkembang
baik sehingga bisa menyelamatkan ilmu-ilmu modern khususnya
ilmu-ilmu humaniora atau hermeneutis dari “senjakala kematian ilmu-
ilmu’ (Piliang, 2005); paling tidak bisa membebaskan ilmu bahasa dan
ilmu sastra dari bayang-bayang hegemonis atau dominan ilmu-ilmu
analitis dan ilmu-ilmu emansipatoris. Jadi, multidisiplinerisme yang
fenomenologis-humanistis dalam ilmu-ilmu hermeneutis bisa men-
dorong pertumbuhan dan perkembangan ilmu bahasa dan ilmu sastra
serta kajian bahasa dan kajian sastra.
Pertumbuhan dan perkembangan kajian bahasa dan kajian sas-
tra sekaligus ilmu bahasa dan ilmu sastra multidisipliner tersebut
memberikan dua arti penting. Pertama, kajian bahasa dan kajian sas-
tra sekaligus ilmu bahasa dan ilmu sastra akan semakin terbuka-
inklusif memanfaatkan dan mendayagunakan paradigma, pen-
dekatan, dan teori serta metode kajian dari manapun – baik dari
dalam dunia kajian bahasa dan kajian sastra maupun dari dunia ilmu-
ilmu hermeneutis pada umumnya, malah ilmu-ilmu emansipatoris.
Misalnya, kajian sastra bisa saja menggunakan sosiologi pengete-
tahuan ala Manheim dan Berger-Luckman [baca: asal sosiologi] dan
arkeologi pengetahuan ala Foucault [baca: asal filsafat] serta wacana
kritis ala van Dijk atau Sara Mills [baca: asal linguistik kritis]. Hasil-
hasil kajian sastra niscaya akan berbeda dengan kajian-kajian sastra
pada umumnya. Kedua, kajian bahasa dan kajian sastra akan dapat
semakin berkembang secara otonom dan mandiri tanpa harus selalu
bergantung pada ilmu-ilmu lain, terbebas dari bayang-bayang domi-
nan atau hegemonis ilmu-ilmu emansipatoris atau ilmu-ilmu analitis,
kendati tetap terbuka menerima pikiran-pikiran eksternal. Misalnya,
kendati tidak dilarang atau boleh-boleh saja, kajian sastra tidak harus
selalu mengambil dan menerapkan asumsi-asumsi dan teorema-teo-
rema dari ilmu-ilmu emansipatoris secara paksa, padahal tidak cocok
dengan kajian sastra. Kajian sastra bisa bebas mengambil dan mener-
apkan paradigma, pendekatan, teori, dan atau metode dari manapun
asalkan cocok dengan kebutuhan kajian sastra, dan kalau bisa mem-
perkaya kajian sastra. Dua arti penting tersebut niscaya akan men-
jadikan kajian bahasa dan kajian sastra memiliki kebebasan berkem-
bang pada satu sisi dan pada sisi lain akan me miliki konstribusi pent-
ing pada ilmu-ilmu hermeneutis pada umumnya, malahan mungkin
pada ilmu-ilmu emansipatoris. Tersirat di sini bahwa kajian bahasa
dan kajian sastra multidisipliner yang sehat-berkembang akan selalu
memiliki otonomi sekaligus kontribusi hasil kajian bahasa dan kajian
sastra. Otonomi dalam arti kajian bahasa dan kajian sastra berkem-
bang secara mandiri, tidak di bawah baying-bayang apapun; dan kon-
tribusi dalam arti hasil-hasil kajian bahasa dan kajian sastra mem-
berikan kegunaan dan kemanfaatan tertentu, misalnya kegunaan
kontemplasi bagi orang tertentu.
SIMPULAN
Beberan-beberan di atas memperlihatkan terjadinya peralihan
atau pergeseran paradigma, pendekatan, dan model-model kajian
ilmu-ilmu analitis, ilmu-ilmu emansipatoris, dan ilmu-ilmu
hermeneutis. Pada satu sisi telah terjadi pergeseran dari gerak diver-
gensi ke gerak konvergensi dan pada sisi lain juga telah terjadi perge-
seran dari ideologi monodisiplineritas ke ideologi multidisiplineritas
dalam ilmu-ilmu modern. Tentu saja, peralihan atau pergeseran ini
juga terjadi pada ilmu bahasa dan ilmu sastra sebagai bagian terpadu
ilmu-ilmu hermeneutis. Gerak divergensi kajian bahasa dan kajian
sastra sudah beralih atau bergeser ke gerak konvergensi dalam kajian
bahasa dan kajian sastra di samping ilmu bahasa dan ilmu sastra.
Demikian juga monodisiplineritas kajian bahasa dan kajian sastra su-
dah beralih atau bergeser ke multidisiplineritas kajian bahasa dan ka-
jian sastra. Dengan peralihan atau pergeseran tersebut, baik ilmu ba-
hasa dan ilmu sastra maupun kajian bahasa dan kajian sastra bisa
tetap eksis, terhindar dari “senjakala kematian”. Ini mengimp-
likasikan, kajian bahasa dan kajian sastra dapat berkembang baik.
Perkembangan yang baik itu paling tidak ditandai oleh pemilikan
otonomi sekaligus kemampuan berkontribusi hasil kajian bagi pihak
lain. Tanda-tanda otonomi dan kontribusi tersebut tampak pada ka-
jian bahasa dan kajian sastra konvergen-multidisipliner.
DAFTAR RUJUKAN
Capra, Fritjof. 2006. The Tao of Physics. Bandung: Penerbit Jalasutra.
Capra, Fritjof. 2007. The Turning Point, Titik Balik Peradaban. Yo-gyakarta: Penerbit Jejak.
Fauzi, Noer. 2003. Dekolonisasi Metodologi: Memerdekan Pendidikan. Dalam Jurnal Wacana, Edisi 15, Tahun IV, 2003, hlm. 3—10.
Habermas, Jurgen. 1987. Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi. Jakarta: Penerbit LP3ES.
Hardiman, Francisco Budi. 2008. Melampaui Positivisme dan Moderni-tas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Hardiman, Franscisco Budi. 2009. Kritik Ideologi: Pertautan Penge-tahuan dan Kepentingan menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Horgan, John. 2005. The End of Science: Senjakala Ilmu Pengetahuan. Bandung: Penerbit Teraju.
Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: Penerbit LP3ES.
Piliang, Amir Yasraf. 2005. Di Antara Puing-puing Ilmu Pengetahuan. Pengantar Buku The End of Science. Bandung: Penerbit Teraju.
Said, Edward. 2001. Orientalisme. Bandung: Penerbit MIZAN.
Smith, Linda Tuhiwai. 1999. Decolonizing Methodologies. London: Zed Book.
Suriasumantri, Jujun. 2001. Filsafat Ilmu. Jakarta: Penerbit Sinar Hara-pan.
Tjahyadi, Sindung. 2005. Dasar-dasar Validitas Ilmu dan Agama dalam Perspektif Teori Kritis Jurgen Habermas. Dalam Bagir, Zainal Abidin dkk. (Ed.). 2005. Integrasi Ilmu dan Agama. Ban-dung: Penerbit MIZAN.
Wilardjo, Like. 2005. Hipotetikalitas: Ketidakpastian dan Pilihan Etis? Dalam Bagir, Zainal Abidin dkk. (Ed.). 2005. Integrasi Ilmu dan Agama. Bandung: Penerbit MIZAN.