Cara Pengasuhan Anak
( Studi Deskriptif Masyarakat Nelayan di Kelurahan Kingking, Kecamatan
Tuban, Kabupaten Tuban)
Ja’far Shodiq Al [email protected]
Mahasiswa Departemen Antropologi, Fisip, Universitas Airlangga
85
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi untuk mengkaji pola pengasuhan yang berupa cara perawatan dan cara mendidik anak oleh orang tua nelayan di Kelurahan Kingking, Kecamatan Tuban, Kabupaten Tuban. Kondisi ekonomi masyarakat Kingking yang lemah dan menggantungkan diri pada kondisi alam berpengaruh pada cara berperilaku masyarakat setempat. Selain itu pengalaman di masa kecil dan sosialisasi yang dialami anak menjadi salah satu akibat terbentuknya kepribadian dasar. Pola pengasuhan yang diteliti bertujuan untuk mengetahui latar belakang yang mengakibatkan anak nelayan Kingking memiliki kepribadian yang dianggap unik oleh masyarakat luar nelayan. Teknik pengumpulan data yang dilakukan menggunakan pengamatan (observasi) dan wawancara agar dapat diperoleh data kualitatif serta penggambaran bersifat deskriptif. Informan berasal dari instansi yang berkaitan dengan masalah nelayan Tuban, orang tua (nelayan), anak nelayan, dan orang di luar keluarga nelayan di Kingking. Hasil penelitian menunjukkan adanya faktor keadaan ekonomi keluarga yang lemah berpengaruh pada perhatian orang tua untuk mengasuh anak karena orang tua sibuk bekerja. Ibu menjadi subyek terdekat anak dalam proses pengasuhan meskipun perann yang dijalankan kurang maksimal. Anak mendapatkan pengasuhan di masa kecil berupa perawatan dan didikan. Perawatan yang dilakukan misalnya memandikan anak, menggendong, melotek, menceboki anak setelah buang hajat, memberi makan, dan sebagainya. Didikan yang dilakukan yaitu menceritakan pengetahuan orang tua (cerita lisan dan realita kehidupan sehari-hari), mengajari sopan santun, dan menyekolahkan anak. Anak yang kurang mendapat perhatian orang tua juga terpengaruh lingkungan alam dan lingkungan sosial, sedangkan pengaruh yang ada tidak dikontrol orang tua dengan maksimal. Akibatnya, anak terpengaruh oleh pengaruh buruk lingkungan terutama lingkungan sosial teman sebaya. Akibat bagi anak yaitu berpendidikan rendah terutama anak laki-laki, terbiasa minum minuman keras tradisional (tuak), mengonsumsi narkoba, dan berperilaku kurang sopan santun bagi masyarakat Jawa pada umumnya.
Kata Kunci:
Pola pengasuhan, anak, lingkungan, pranata pertama, pranata kedua, kepribadian
Abstract
This research is a study to examine the child rearing in the form of how to care and how to educate children by parents as fishermen in Kingking village, sub-district of Tuban, Tuban. The weaknesses of economic conditions Kingking weak and depend on natural conditions affect the way of behaving the local community. Moreover childhood experiences and socialization experienced by the child to be one due to the formation of basic personality. Studied child rearing aims to determine the background which led to the Kingking fisherman’s child has a unique personality that is considered outside the fishing communities. Data collection techniques made by using the observations and interviews in order to obtain qualitative data and descriptive depiction. Informants came from institution relating to Tuban fishermen problem, parents (fishermen), children of fishermen, and people outside the family of fishermen in Kingking. The results showed
86
the presence of factors that weak economic conditions affect families parental concern to care for the child because the parents are busy working. Mother became the closest subject to the child care though the role is less than the maximum. Children receive rearing in the form of childhood care and education. The care is done by bathing the child, holding, melotek, cleaning a child after toileting, feeding, and so on. Education is done by telling the parents knowledge (folklores and realities of everyday life), taught manners, and sending children to school. Children who received less parental attention also affected the natural environment and social environment, whereas there was no effect with maximum controllable parents. As a result, children affected by the bad influence of the environment, especially the social environment of peers. Due to the children are low-educated children mainly for boys, used to drink traditional liquor (tuak), consuming drugs, and behave less manners for the Java community at large.
Keywords:
Child rearing,environment, first institutions, second institutions, personality
Pendahuluan
Manusia berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya sehari hari dan cara pemenuhan
kebutuhan yang ditempuh adalah bermacam-macam sesuai dengan kondisi georafis,
keahlian turun-temurun, dan konsep ide yang dimiliki. Sehingga sistem mata
pencaharian dapat lebih dirincikan lagi ke dalam beberapa sub-unsur seperti: perburuan
perladangan, pertanian, peternakan, perikanan, perdagangan, perkebunan, industri, dan
kerajinan (Koentjaraningrat, 1990:207). Perikanan merupakan satu sektor sub-unsur
mata pencaharian yang berfokus pada hasil perairan. Negara Indonesia memiliki
panjang garis pantai yaitu sepanjang 104.000 kilometer (BPS, 2012:3) dan luas laut
zona ekonomi eksklusif sebesar 2.981.211 km2 dari total luas Indonesia 4.892.142 km2
(BPS, 2012:119). Hal tersebut cukup menggambarkan keberadaan Indonesia sebagai
negara maritim dengan 60% luas negara merupakan wilayah laut. Hal ini menyebabkan
sub-unsur mata pencaharian perikanan menarik dibahas karena terdapat banyak
kelompok-kelompok masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor
perikanan.
Keberadaan kelompok-kelompok nelayan di Indonesia cukup banyak dan tiap-tiap
kelompok memiliki karakteristik berbeda antara satu dengan yang lain. Banyaknya
kelompok nelayan tersebut didukung oleh komoditi perikanan di Indonesia yang cukup
besar serta mempengaruhi jumlah nelayan di Indonesia. Menurut data Kementrian
87
Perikanan dan Kelautan (2011:19), jumlah nelayan Indonesia pada tahun 2011
mencapai angka 2.730.510 orang. Dalam kelompok-kelompok tersebut masing-masing
memiliki karakteristik kebudayaan yang berbeda karena berada dalam latar belakang
suku dan letak geografis. Termasuk diantaranya adalah kehidupan kelompok nelayan di
Kelurahan Kingking Kecamatan Tuban Kabupaten Tuban. Kehidupan nelayan yang
dimaksud tidak hanya dalam lingkup pekerjaannya saja, namun mengenai kehidupan
masyarakat nelayan yang ditinjau dari keberadaan keluarga sebagai kelompok terkecil
dalam masyarakat.
Dalam sebuah keluarga inti terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak mereka yang
belum menikah. Anak tiri dan anak yang secara resmi diangkat dalam kondisi ideal
memiliki porsi hak dan kewajiban yang sama dengan anak, dan karena itu dianggap pula
sebagai anggota dari keluarga inti (Koentjaraningrat, 1997:106). Di dalam keluarga
kecil itu terjadi proses sosialisasi yang dialami oleh seorang anak di rumahnya, proses
sosialisasi di rumah tersebut bisa disebut sebagai pola pengasuhan (child rearing) orang
tua terhadap anak, karena masyarakat menganggap ayah dan ibu yang merupakan
penggerak inti dari keluarga dan bertanggung jawab penuh terhadap pengasuhan anak.
Namun yang menjadi ketertarikan bagi penulis adalah mengenai karakteristik pola
pengasuhan yang terdapat di keluarga nelayan Kelurahan Kingking. Cara pengasuhan
ini berada dalam artian mengenai sebagian dari proses sosialisasi seorang anak ketika
berada dalam lingkungan keluarganya (Danandjaja, 1980: 497-516). Anak di keluarga
nelayan Kelurahan Kingking mendapat perlakuan yang sama dengan anak bukan
nelayan dari pendidik di institusi pendidikan formal yaitu sekolah. Namun pendidikan
dan sosialisasi di keluarga yang berbeda antara anak nelayan dan bukan nelayan. Hal
inilah yang menjadi karakteristik pola pengasuhan masyarakat nelayan yaitu mengenai
perbedaan yang berangkat dari keberadaan anak bersosialisasi dalam keluarganya yang
berdampak pada tingkah laku anak. Keberadaan keluarga, termasuk keluarga nelayan,
sangat mempengaruhi proses belajar dari kebudayaan tiap individu yang berangkat dari
sosialisasi yang ia alami selama dalam lingkungan keluarga (Koentjaraningrat,
1990:229).
Seperti yang diuraikan di atas bahwa keluarga menjadi tempat pertama dalam
pembentukan kepribadian yang diterima oleh anak secara intensif. Dr. Josep S. Roucek
(dalam Simandjutak, 1983: 129) mengungkapkan bahwa keluarga adalah buaian
88
kepribadian. Setelah anak mulai bertambah dewasa hal yang sangat berpengaruh besar
adalah lingkungan di mana dijadikan tempat tinggal serta berinteraksi dalam kehidupan
sehari-hari turut mempengaruhi kehidupan individual anak-anak yang ada di dalamnya.
Pola pengasuhan anak dalam masyarakat nelayan akan menjadi menarik untuk di
teliti, karena kehidupan masyarakat nelayan sangat bergantung pada lingkungan alam
beserta isinya yaitu berupa ikan dan hasil lautnya yang menjadi sumber mata
pencahariannya. Menurut Acheson (dalam Andriati, 2012:20) ada kendala khusus yang
dihadapi masyarakat nelayan yaitu gangguan dan fluktuasi alam seperti ombak besar,
badai, angin kencang sehingga nelayan tidak dapat melaut. Akibatnya nelayan
mengalami fluktuasi sosial di dalam kehidupan yaitu ketidakpastian pendapatan.
Sedangkan menurut ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Yussuf
Solichien, 90 persen nelayan diantaranya berada dalam garis kemisikinan
(http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/
2014/06/11/205358/Pemerintahan-Baru-Harus-Berpihak-Kepada-Nelayan diakses pada
tanggal 15 Juni 2014 pukul 14.43).
Berbagai studi telah banyak membuktikan kondisi masyarakat nelayan yang
memiliki cara hidup berbeda dan para ibu yang memiliki tugas mencari nafkah di antara
anggota keluarga (dalam Andriati, 2005). Dalam fenomena tersebut, anak adalah pihak
terdampak atas kondisi perekonomian keluarga. Selain itu dalam Andriati (2012:47),
juga menjelaskan ibu memiliki beban ganda atas ketimpangan gender di keluarga
nelayan Tuban. Berdasarkan hal tersebut, penelitian mengenai cara pengasuhan anak di
Kelurahan Kingking, Tuban cukup menarik dilakukan sebagai relasi atas dampak yang
disebabkan oleh beban ganda istri nelayan tersebut.
Berdasarkan materi-materi yang diperoleh di atas baik secara langsung maupun
literatur maka peneliti memiliki pemikiran bahwa cara pengasuhan masyarakat nelayan
khususnya di Kelurahan Kingking Kecamatan Tuban Kabupaten Tuban, Jawa Timur
menjadi fokus yang menjadi perhatian untuk mengangkat sebagai sebuah tema
penelitian. Sehingga dalam penelitian ini pokok permasalahan yang akan dikaji adalah
mengenai bagaimana cara pengasuhan anak pada masyarakat nelayan di Kelurahan
Kingking Kecamatan Tuban Kabupaten Tuban?
89
Metode Penelitian
Tahap awal sebelum memfokuskan penelitian ini ialah melakukan pengamatan
yang bersifat penjajakan obyek lapangan secara umum (grand tour observation). Istilah
grand tour mengacu pada (Spradley, 1997:110) yaitu pengalaman yang diperoleh
peneliti ketika pertama kali mulai mempelajari suatu lingkup budaya. Penjajakan dalam
obyek penelitian digunakan untuk memperhatikan unsur-unsur utama dari konteks
sosial yaitu suasana budaya masyarakat.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang
diperoleh secara kualitatif. Penelitian yang bersifat deskriptif, bertujuan
menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok
tertentu untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala dan gejala lain dalam
masyarakat (Tan, Mely G. Dalam Koentjaraningrat, 1997: 29).
Gambaran Umum Masyarakat Nelayan Kingking
Kelurahan Kingking adalah sebuah wilayah pesisir pantai utara di kawasan
Kecamatan Tuban Kabupaten Tuban. Luas Kelurahan Kingking sebesar 35,25 Ha
dengan batas-batas wilayah yaitu: sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan
Karangsari, sebelah selatan yaitu Kelurahan Ronggomulyo, sebelah barat dengan
Kelurahan Karangsari dan Latsari, dan sebelah timur yaitu Kelurahan Sidomulyo dan
Karangsari.
Jumlah penduduk di Kelurahan Kingking adalah 1.605 orang. Sekitar 228 orang
diantaranya merupakan nelayan laut. Dari total tersebut, 53 orang merupakan juragan
nelayan (pemilik perahu) dan 175 orang menjadi buruh nelayan. Faktor pendorong
adanya jumlah nelayan yang banyak ini adalah letak geografis yang sangat dekat dengan
laut. Meskipun tidak langsung berhadapan dengan laut, namun masih dikategorikan
sebagai kawasan pesisir. Hasil laut para nelayan juga menjadi sumber mata pencaharian
pedagang. Pedagang membeli ikan segar dan ikan olahan dari nelayan untuk dijual
kembali.
Nelayan Kingking dalam kesehariannya melaut yang biasa disebut nelayan
sebagai miyang atau mbelah. Pekerjaan mencari ikan ini adalah satu-satunya pekerjaan
yang dilakukan para nelayan. Adapun tiga tipe nelayan menurut Andriati (2012:26)
90
yaitu tipe nelayan lautan bebas dan tipe nelayan pantai, dan nelayan sungai. Di
Kelurahan Kingking terdapat dua dari tiga tipe nelayan tersebut yaitu nelayan lautan
bebas dan pantai. Nelayan lautan bebas yang melaut selama 3 hari hingga berminggu-
minggu hingga berbulan-bulan. Kegiatan mbelah ini dilakukan pada saat muson angin
timur karena pada musim inilah saat ikan mudah didapat (musim ikan). Musim ini
terdapat pada bulan Juni sampai bulan Oktober. Di saat tersebut, baik nelayan lautan
bebas ataupun nelayan pantai, dapat melaut dengan normal. Pada musim ini, hasil
tangkapan biasanya berupa ikan teri, ikan layur, ikan ethek, dan ikan tongkol. Pada
umumnya masyarakat nelayan sekarang telah banyak mengalami penurunan
pendapatan, hal itu disebabkan oleh beberapa faktor yaitu sudah banyak terumbu karang
yang sudah rusak, over fishing, dan pola pikir masyarakat yang masih tradisional.
Kesulitan melakukan pekerjaannya untuk melaut hanya dapat tertutup dengan
bantuan istri. Hasil pekerjaan nelayan rata-rata hampir tidak dapat mencukupi
kebutuhan sehari-hari dalam keluarga (Andriati, 2012:70). Sang nelayan, sebagai kepala
keluarga, telah memaklumi keberadaan dan posisi istri yang wajib bekerja membantu
perekonomian. Jadi tidak terdapat batasan kebudayaan yang membedakan seorang
wanita, baik istri maupun anak perempuan nelayan, untuk bekerja. Dalam kehidupan
nelayan yang tidak pasti tersebut, istri nelayan akhirnya melaksanakan beban ganda.
Beban ganda ini diantaranya mengurus rumah tangga, mengasuh anak, dan membantu
mencukupi kebutuhan keluarga yang kurang. Selain itu mereka juga berjualan kue dan
hasil laut suami, terdapat sedikit diantara istri nelayan yang terpaksa meminta-minta
(mengemis) untuk menyambung kehidupan ekonomi. Hal ini diakibatkan karena
seringnya mereka mengalami kerugian jika berjualan ikan atau kue. Ketika mengemis,
mereka menganggap hal tersebut tidak membutuhkan modal dan tenaga yang sama
dengan ketika berjualan. Pada umunya istri-istri nelayan diharuskan untuk bekerja
disamping mereka harus mengurusi urusan-urusan keluarga. Istri nelayan ini
kebanyakan dari kelompok nelayan menengah kebawah dan buruh nelayan, mereka
lebih banyak mengambil keputusan sendiri untuk mengatur pengeluaran keuangan
rumah tangganya. Namun suaminya dominan dalam mengambil keputusan tentang
pendidikan dan perkawinan anak (Andriati 2012:77).
Dalam sistem kekerabatan masyarakat nelayan tidak membeda-bedakan
kedudukan keluarga pihak wanita maupun pihak laki-laki. Tapi keputusan penuh untuk
91
pemilihan jodoh diambil penuh oleh seorang kepala keluarga, sedangkan keputusan
untuk mengatur kepentingan keluarga diambil penuh oleh seorang istri nelayan.
Dari sistem kekerabatan ini akan mempengaruhi adat istiadat masyarakat nelayan
terutama adat ketika menetap setelah menikah atau saat pelamaran. Adat menetap
setelah menikah masyarakat nelayan Kingking tidak jauh berbeda dengan masyarakat
Tuban lainnya meskipun saat ini sudah agak berbeda dengan dahulu. Dahulu adat
menetap setelah menikah adalah ke pihak suami atau tinggal di lingkungan keluarga
suami sesuai dengan bentuk perkawinan patrilokal. Saat ini pergeseran adat menikah
mulai ke bentuk perkawinan bebas dimana suami atau istri tidak ditentukan secara tegas
dimana mereka akan tinggal. Ketika suami istri belum memiliki tempat tinggal sendiri,
biasanya mereka untuk sementara tinggal di rumah keluarga suami. Kondisi ekonomi
keluarga muda nelayan ini juga mempengaruhi tempat tinggal mereka. Jika keluarga
suami memiliki saudara maka dalam satu rumah diisi lebih dari satu keluarga. Namun
jika istri kurang cocok dengan mertua atau keluarga suami yang lain maka
kecenderungan untuk tinggal di tempat lain adalah di rumah kontrakan sederhana
karena mereka belum mampu membeli lahan/rumah baru.
Dalam kehidupan sehari-hari penduduk masyarakat Kingking umumnya
mengikuti ormas (organisasi masyarakat) keagamaan Nahdlatul Ulama (NU). Hal ini
diperkuat adanya pondok pesantren As- Shomadiyah dan lembaga pendidikan diniyah
Yayasan pendidikan Mamba’ul Ma’arif milik NU. Keberadaan Pondok Pesantren dan
lembaga diniyah ini mempengaruhi kepercayaan agama masyarakat setempat. Dahulu
sebelum adanya kedatangan ulama di lingkungan masyarakat setempat, mereka masih
banyak yang menganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam Nahdlatul Ulama, kiai/ulama dianggap sebagai orang yang dihormati
karena kiai dianggap orang pintar yang mengetahui segala hal. Kiai juga menjadi
panutan dan patron utama dalam menjalani kehidupan, terutama masalah ibadah.
Meskipun masyarakat tidak sepenuhnya dapat melakukan hal yang sama seperti kiai,
namun mereka mencoba menaati kata-kata dari kiai.
Sedangkan untuk masyarakat yang menganut kepercayaaan kejawen adalah
penganut kejawen sejati tanpa embel-embel islam kejawen, kristen kejawen, atau hindu
kejawen. Mereka percaya pada Manunggaling Kawulo Gusti yang berarti bahwa jiwa
dan raga mereka dianggap telah menyatu dengan obyek Tuhan (Gusti). Clifford Geertz
92
dalam bukunya The Religion of Java (1981) menyebutkan bahwa kejawen juga dapat
disebut agami jawi. Dalam kejawen tidak ditetapkan jenis peribadatan yang baku untuk
menyembah Gusti Pangeran (Tuhan). Mereka biasanya memiliki aji-aji (jimat) berupa
keris, batu, atau cincin yang dianggap magis. Mereka juga memiliki mantra-mantra
khusus sebagai lambang doa kepada Tuhan.
Fenomena Masyarakat Nelayan Kingking
Terdapat fenomena di masyarakat nelayan Kelurahan Kingking yang berhubungan
dengan keberadaan etika dan etiket. Fenomena yang dimaksud adalah adanya cara
berperilaku masyarakat nelayan.
Etika adalah sesuatu yang membahas tentang moralitas. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, etika berarti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Sedangkan etiket adalah sopan santun berupa perbuatan dalam pergaulan yang sifatnya
jauh lebih relatif dari etika. Yang dianggap sopan dalam kebudayaan, bisa menjadi
sesuatu yang tidak sopan dalam kebudayaan lain (Bertens, 2004:9).
Etika dalam masyarakat nelayan berupa tingkah laku moral yaitu adat kebiasaan,
anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, dan tindakan yang diperbolehkan dan tidak
diperbolehkan. Di dalam masyarakat setempat, keberadaan ketiga hal tersebut berasal
dari adanya norma agama Islam yang cukup berpengaruh pada masyarakat muslim Jawa
pada umumnya. Orang Jawa memiliki aturan mengenai molimo. Molimo dalam
masyarakat Jawa Kuno diartikan sebagai wujud kesempurnaan seseorang atas usaha
(tirakat) untuk (1) ojo maling (jangan mencuri), (2) ojo madon (jangan main
perempuan/jangan berzina), (3) ojo madat (jangan mengonsumsi narkoba), (4) ojo
mendem (jangan mabuk-mabukan), dan (5) ojo main (jangan berjudi). Jika kelima hal
itu diakukan sepenuhnya oleh orang tersebut, maka ia dipercaya akan memiliki
kekuatan magis tertentu.
Namun dalam pandangan masyarakat Kingking, molimo adalah sekumpulan
aturan tingkah laku yang harus dilakukan yaitu untuk tidak mencuri, main perempuan,
jangan memakai narkoba, jangan mabuk, dan jangan judi. Masyarakat nelayan Kingking
memahami keberadaan etika yang harus ddipatuhi. Namun tidak semua molimo
dilaksanakan sepenuhnya. Masyarakat nelayan tidak suka mencuri, mereka memahami
93
bahwa hak masing-masing individu adalah hal yang tidak boleh diambil. Namun masih
ada beberapa nelayan yang sengaja mengambil hak nelayan lain ketika di laut. Rumpon
(alat perangkap ikan di tengah laut) sering dicuri ikannya oleh nelayan lain yang tidak
turut memiliki. Pengambilan ikan yang tidak diketahui nelayan menyebabkan konflik di
antara para nelayan. Konflik yang timbul dapat menyebabkan tawuran di tengah laut.
Tawuran yang terjadi dapat menyebabkan luka-luka hingga meninggal.
Mengenai kebiasaan minum-minuman keras berjenis tuak yang merupakan
minuman keras tradisional khas Tuban, keberadaan Tuak di Tuban yang telah
membudaya kini mulai dilarang produksinya. Namun dengan adanya tuak yang telah
membudaya tersebut, masih banyak masyarakat Tuban yang masih memproduksi dan
mengonsumsi. Tuak bagi para nelayan muda juga memiliki fungsi aktualisasi diri.
Dalam Dio (2008:105) Fungsi aktualisasi diri dalam kebiasaan noak adalah sarana
nelayan untuk menunjukkan diri bahwa “Saya orang pantura”. Noak bagi masyarakat
nelayan Kingking adalah satu ciri khas yang selayaknya mereka tunjukkan. Mereka
menganggap bahwa orang pantura (pantai utara) adalah orang-orang yang berani dan
jagoan.
Selain itu etika dalam kehidupan sosial yang masih dilanggar adalah madat
(mengonsumsi narkoba). Pemuda Kingking saat ini banyak terlibat kasus
penyalahgunaan narkoba. Dalam satu berita (http://kotatuban.com/head-lie/diduga-
industri-karnopen-berada-di-bumi-wali/ diakses pada tanggal 23 Juni 2014 pukul 21.25)
pengedar & pembuat (home industry) narkoba incaran Polres Tuban berada di wilayah
Kelurahan Kingking, Tuban. Posisi pemuda nelayan Kingking adalah sebagai
pengonsumsi/pembeli narkoba tersebut. Harga narkoba berjenis karnopen yang dijual
seharga Rp 10.000,00/paket dengan isi 5 butir pil. Dengan harga dan tempat membeli
yang terjangkau, pemuda nelayan dapat membeli pil narkoba dengan mudah.
Etiket dalam masyarakat nelayan Kingking berbeda dengan masyarakat Kingking
bukan nelayan. Etiket dalam masyarakat nelayan Kingking tidak terlalu diperhatikan
dan cenderung bersikap adanya. Dari segi berpakaian, mereka tidak terlalu membeda-
bedakan pakaian yang dikenakan pada setiap acara yang berbeda. Saat bepergian,
pakaian yang digunakan tidak jauh berbeda dengan ketika melaut. Hal tersebut bagi
orang bukan nelayan dianggap kurang sopan dan tidak layak. Bagi masyarakat Kingking
bukan nelayan, pakaian ketika bepergian dan menerima tamu tidak seharusnya
94
disamakan ketika sedang melaut. Meskipun demikian, mereka memahami hal tersebut
dan tidak mempersoalkan penampilan masyarakat nelayan Kingking.
Selain itu cara berbicara masyarakat nelayan Kingking juga tergolong bervolume
keras dibanding masyarakat Jawa pada umumnya. Kebiasaan bercakap-cakap ketika di
laut yang tidak dapat menggunakan volume pelan karena angin cukup besar, dibawa ke
daratan untuk bercakap-cakap dengan orang lain. Mereka juga cenderung menggunakan
bahasa Jawa ngoko terutama pada masyarakat nelayan yang masih muda (di bawah 30
tahun). Hal ini berbeda dengan nelayan Kingking yang berusia lebih tua yang cenderung
menggunakan bahasa Jawa alus (tingkatan bahasa Jawa yang lebih sopan) pada tamu
yang berusia tua atau muda. Selain itu ketika masyarakat nelayan sedang minum tuak,
mereka meminumnya di trotoar pinggir jalan ketika akan mbelah (melaut). Tempat di
trotoar berada di pinggir Jalan Surabaya-Semarang yang merupakan jalan provinsi yang
ramai. Mereka biasa duduk di kawasan tersebut sembari membenahi jaring dan
mempersiapkan perlengkapan mbelah. Mereka minum tuak di tempat tersebut tanpa
memperhatikan keadaan sekitar yang masih siang hari dan banyak anak kecil yang
merupakan anak nelayan.
Lingkungan Berpengaruh pada Anak
Menurut Ralph Linton (dalam Simandjuntak, 1983:127) lingkungan merupakan
tempat paling lebar untuk memasukkan seluruh orang-orang di sekitar dengan
kepribadiannya, sekaligus fenomena obyek dan alam yang melakukan kontak dengan
subyek tersebut. Sehingga perbedaan kondisi lingkungan dapat berpengaruh pada
kepribadian anak. Lingkungan terbagi menjadi dua yaitu lingkungan alam dan
lingkungan sosial.
Tidak dapat dipungkiri lingkungan alam mempengaruhi proses belajar anak
dalam bertingkah laku karena lingkungan alam adalah tempat anak tinggal dan
menjalankan aktivitas. Lingkungan alam anak nelayan adalah kawasan pesisir pantai
yang berhadapan dengan laut Jawa. Sejak kecil anak telah berhadapan langsung dengan
ekosistem pantai dan laut. Hal tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi
kepribadian anak. Ia menjadi menggantungkan diri pada laut dan hal itu terus terjadi
hingga anak tumbuh dewasa. Akibat yang didapatkan ketika ia dewasa adalah
ketergantungan pada pesisir dan laut. Ketika sumber penghasilan dari melaut tidak dapat
95
diharapkan karena tidak sedang musim ikan atau cuaca buruk, maka nelayan tersebut
kesulitan mendapatkan pekerjaan lain.
Sedangkan Lingkungan sosial berperan secara bertahap berperan pada anak mulai
dari anak lahir hingga ia tua. Bentuk hubungan antara seorang anak dan lingkungan
sosialnya berupa proses sosialisasi. Sosialisasi bersangkutan pada proses belajar
kebudayaan dalam sistem sosial. Dalam proses ini seorang individu dari masa anak-
anak hingga tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam
individu yang berada di sekeliingnya, yang menduduki beraneka macam peran sosial
yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Pola-pola tersebut akan membentuk cara
bersikap anak dan berinteraksi.
Pola Interaksi
Masyarakat Kelurahan Kingking tergolong masyarakat yang cenderung
berinteraksi hanya pada kelompok masyarakat sesama nelayan. Meskipun secara
geografis berada di kawasan ibu kota Kabupaten Tuban, namun perkembangan sosial
tidak sepenuhnya berubah dari masa sebelum orde baru. Perubahan yang terjadi seperti
sifat mereka yang telah mulai terbuka pada pihak di luar nelayan untuk berinteraksi.
Namun, interaksi yang dilakukan tidak seterbuka masyarakat bukan nelayan.
Nampaknya mereka lebih memilih untuk meneruskan apa yang sudah mereka peroleh
dari orang tua mereka untuk menjadikan suatu kebudayaan yang sudah cukup
memuaskan bagi masyarakat setempat.
Selain itu, perubahan sosial yang terjadi disebabkan adanya pergeseran budaya
yang berasal dari interaksi sosial. Salah satu media tempat pergeseran itu terbentuk
adalah dari institusi pendidikan. Pendidikan membuat pelajarnya memiliki sikap terbuka
dan menyukai hal-hal baru. Masuknya pendidikan pada anak nelayan ini lambat laun
semakin banyak berpengaruh karena mereka merupakan agen penerus komunitas bagi
orang tuanya. Pola pikir yang demikian juga terbentuk karena dinamika masyarakat
yang menimbulkan pengaruh cukup dramatis (Mead dalam Friedman & Schustack,
2006:81).
Pola interaksi anak yang terjadi adalah dengan orang tua, saudara kandung,
kerabat, tetangga, dan teman sebaya. Pada era tahun 1990-1998an hubungan anak
terhadap orang tua masih sangat menjunjung tinggi nilai kesopanan atau unggah-
96
ungguh misalnya penggunaan bahasa Kramamadya pada orang tua. Contoh lain yaitu
ketika anak lewat di depan orang tuanya maka sang anak menundukkan kepalanya
sebagai etika anak terhadap oang tuanya. Kemudian ketika berbicara mengenai
kepatuhan anak, masih terus dilaksanakan tugas anak untuk patuh kepada orang tua
dalam setiap perintah. Berbeda dengan masa kini dimana konsep-konsep kesopanan
zaman dahulu mulai ditinggalkan generasinya. Telah dijelaskan di atas bahwa anak kini
telah menggunakan bahasa Jawa ngoko.
Pada pola interaksi anak nelayan dengan saudara kandung, interaksi yang terjadi
merupakan adanya kebersamaan diantara mereka sebab aktivitas mereka cenderung
terarah pada kegiatan kerja dan keseharian sebagai keluarga anggota keluarga nelayan.
Terlebih lagi apabila dalam keluarga tersebut terdiri atas lebih dari 1 anak, maka
pekerjaan pokok dalam kehidupan rumah tangga menjadi lebih terbantu atau sebaliknya
menjadi lebih kompleks atau rumit.Keberadaan interaksi antar saudara sekandung,
khususnya pada masyarakat setempat, menjadi tugas orang tua untuk mengatur
keberadaan mereka dalam posisi secara horizontal dalam keluarga. Posisi tersebut
mengatur tugas masing-masing individu yaitu misalnya kakak menjadi pembimbing
bagi adiknya serta adik menjadi pihak yang wajib dilindungi keberadaannya oleh kakak.
Dalam tugas tersebut, orang tua menganjurkan pada anak-anaknya untuk menghormati
kepada anak yang lebih tua.
Dalam hubungan persaudaraan tidak jarang terjadi konflik. Persaingan atas hal-hal
rutin dalam rumah terkadang dapat memicu konflik. Misalnya ketika saudara sekandung
berebut makanan dan salah satu diantara mereka tidak mau mengalah, ketika berebut
siaran televisi, kecemburuan salah seorang anak yang merasa tidak mendapat kasih
sayang lebih dari orang tua dibanding saudaranya. Ini akan menimbulkan kecemburuan
sosial karena sang anak akan masing-masing memainkan peranan memperlihatkan
keunggulannya dari pengalaman-pengalamannya pada proses belajarnya sebagai
individu-individu tertentu (Simandjuntak B., 1983:130-131).
Interaksi anak dengan kerabat terkadang anak nelayan Kingking dapat lebih dekat
dengan paman atau saudara sepupunya dibanding dengan orang tua, biasanya hal ini
terjadi apabila sedang terjadi kerenggangan antara anak dengan orang tuanya. Anak pun
mencari solusi kepada saudara yang umurnya sebaya. Hal ini menjadi salah satu pilhan
bagi anak ketika menghadapi konflik karena saudara masih merupakan kelompok
97
kekerabatannya dan karena saudara sebaya dengannya. Ada perasaan malu apabila ia
mencurahkan hatinya pada orang yang lebih tua. Sehingga pelarian anak atas masalah
yang ia hadapi adalah meminta bantuan pada kerabat untuk menyelesaikan atau
melupakan masalahnya dengan mengonsumsi narkoba.
Dalam sistem kekerabatan masyarakat nelayan Kingking masih mengenal sayan
atau gotong-royong. Hal ini hampir terdapat pada seluruh kegiatan yang diadakan oleh
salah satu keluarga. Sehingga akan membentuk kekeluargaan yang sangat erat serta
mengarah pada keserasian misalnya pada saat mereka membangun rumah keluarga yang
berjarak lebih dekat akan membantu tanpa meminta upah dari pemilik rumah yang juga
kelurganya tersebut
Orang-orang di luar lingkup keluarga nelayan dipahami anak hanya sebagai orang
lain yang ketika mereka membutuhkan bantuan maka mereka mulai berinteraksi, namun
di luar kepentingan itu maka hampir tidak ada interaksi yang terjadi. Masyarakat bukan
nelayan di Kingking menganggap bahwa anak keluarga nelayan adalah anak yang nakal,
bermoral rendah, dan kotor. Mereka menganggap rendah (underestimate) anak nelayan
atas pandangan ketidakbecusan orang tua nelayan dalam mendidik anaknya. Tetangga
bukan nelayan juga membeda-bedakan sikapnya terhadap anak nelayan dan bukan
nelayan. Mereka mengizinkan anak-anak mereka berteman dengan anak nelayan namun
dengan anjuran agar menjaga jarak dengan anak nelayan tersebut. Mereka takut apabila
anak mereka disakiti secara fisik oleh anak nelayan, meskipun pada faktanya tidak
sepenuhnya demikian. Sementara bagi tetangga yang keluarganya berlatang belakang
nelayan, anak nelayan baginya tidak dibedakan dengan anak lain pada umumnya. Hal
tersebut dibuktikan dengan sikap terbuka tetangga tersebut ketika ibu dari anak nelayan
meminta bantuan untuk menjaga sang anak.
Wujud interaksi yang ada antara anak dan teman sepermainan dapat dipahami
sebagai hubungan interaksi antara anak-anak yang memiliki kesamaan tingkatan umur.
Biasanya teman sepermainan anak juga berhubungan dengan tingkatan pendidikan yang
sedang ditempuh (untuk anak yang masih sekolah). Interaksi yang dilakukan anak
dengan teman sepermainan dilakukan cukup sering dengan intensits pertemuan hampir
setiap hari. Interaksi dapat berupa saling bercerita dan melakukan permainan. Anak-
anak berkumpul di depan rumah salah seorang teman atau tempat lapang yang telah
ditentukan untuk bermain, atau dapat pula di dalam lingkungan sekolah ketika waktu
98
istirahat saja. Mereka biasa berkumpul pada siang hari sepulang sekolah hingga sore
hari ketika akan mengaji. Permainan yang sering dilakukan adalah bal-balan (sepak
bola), kelereng, sketeng, dan delik’an.
Cara Pengasuhan Anak
Cara pengasuhan berada dalam artian mengenai sebagian dari proses sosialisasi
seorang anak ketika berada dalam lingkungan keluarganya (James Danandjaja, 1980:
497-516). Cara pengasuhan tersebut menimbulkan adanya pola atas cara yang dilakukan
terus menerus. Pola pengasuhan anak masyarakat nelayan menyangkut cara perawatan
dan cara mendidik yang dilakukan pada anak-anak nelayan Kingking. Pola pengasuhan
dalam subbab ini didapat dari referensi buku Keluarga Jawa (Geerts, 1982). Dalam
Keluarga Jawa dijelaskan mengenai keberadaan anak dalam keluarga yang merupakan
bekerjanya sistem pertalian keluarga Jawa. Anak sejak dalam kandungan mulai
diperhatikan hingga ia lahir dan bertumbuh dewasa. Perhatian yang dilakukan berupa
cara-cara perawatan dan pengajaran agar anak “beradab” Jawa. Cara-cara demikian
berkaitan dengan cara merawat dan cara mendidik.
Cara Perawatan Menurut Golongan Usia Anak
Pada usia 0-5 tahun anak masih mendapatkan perlakuan yang khusus dari
keluarga lebih khususnya dari sang ibu karena anak belum dapat mengurus dirinya
sendiri. Ketika ibu akan melahirkan biasanya ibu akan dibawa ke bidan atau dukun bayi.
Jika dahulu istri nelayan melahirkan di dukun bayi saja maka akhir-akhir ini mereka
mulai pergi ke bidan meskipun tidak seluruhnya. Dukun bayi dipakai jasanya dengan 2
alasan: magis dan ekonomi. Dukun bayi dianggap dapat memberikan doa-doa khusus
atau suwuk yang berguna bagi keselamatan dan rezeki bayi. Alasan kedua karena faktor
ekonomi, keluarga nelayan tidak mampu membayar jasa bidan.
Ibu tidak mendapatkan perlakuan khusus dari sang suami mereka sekedar
mengantar istri ke dukun atau ke bidan untuk periksa dan melahirkan. Tidak ada
perhatian suami akan keinginan khusus istri (ngidam) atau nasehat khusus bagi istri
ketika mengandung. Ini disebabkan karena fokus suami berada pada kewajibannya
mencari nafkah yang sibuk dan banyak menyita waktunya di laut. Ketika anak baru saja
lahir, anak langsung diadzani lewat telinga kanan diiqomahi di telinga kiri oleh ayahnya
99
dengan suara pelan. Setelah itu anak dimandikan dengan air hangat oleh dukun bayi
atau bidan. Pada usia 8 hari bayi diberi nama dan dipuput (pupak puser) yang ritus di
saat lepasnya tali pusar dari perut sang bayi. Hal yang diadakan pada ritus ini adalah
orang tua mengadakan selamatan1. Selamatan diadakan sekaligus pemberian nama pada
bayi tersebut. Pada proses ini keluarga yang mampu juga aqiqah untuh sang bayi yaitu
selamatan sekaligus menyembelih kambing yang juga merupakan anjuran dalam agama
Islam dimana jumlah kambing yang disembelih bergantung pada jenis kelamin bayi.
Satu kambing untuk bayi perempuan dan dua kambing untuk bayi laki-laki. Aqiqah
tidak dititikberatkan pada proses penyembelihan tapi acara slametan setelah kambing
dimasak dan siap makan. Setelah rangkaian ritus yang dilakukan, tubuh dan pikiran bayi
mulai berkembang sesuai dengan perkembangan usianya. Bayi pada usia 4 bulan
biasanya dapat tengkurap, usia 7 bulan dapat rinjo-rinjo (posisi berdiri sambil dipegangi
kedua sisi tubuhnya lalu ia dapat loncat-loncat), usia 8 bulan dapat merangkak, dan 12
bulan dapat berjalan. Pada umur dua tahun rata-rata bayi sudah disapih. Sapih atau
penyapihan adalah suatu proses singkat saat bayi sudah menginjak usia 2 tahun dimana
kebiasaan memium ASI diganti dengan makanan lain. Menurut masyarakat nelayan
Kingking apabila anak sudah berusia lebih dari dua tahun belum disapih maka anak
akan lebih sulit lepas dari kebiasaan meminum air susu Ibu. Dalam pemahaman
masyarakat setempat, kelak bayi dianggap akan menjadi bodoh dan manja karena
bersembunyi di ketiak ibunya terus. Cara penyapihan dengan memberikan air doa dari
orang pintar kepada sang bayi, cara lain yaitu mengoleskan air dalam biji pohon mahoni
yang pahit ke puting ibu. Makanan yang diberikan setelah proses penyapihan berupa
bubur bayi, susu, atau buah-buahan yang dihaluskan. Pemberian susu formula pada bayi
di masyarakat setempat tidak diberikan pada setiap bayi, namun hanya beberapa.
Pemberian tergantung pada kondisi ekonomi keluarga.
Pada usia dua sampai lima tahun, bayi sudah kurang mendapatkan perhatian
karena sibuknya sang ibu bekerja. Meskipun ibu masih mengikutsertakan keberadaan
1Selamatan adalah upacara pokok bagi orang Jawa dalam hampir semua ritus dan upacara dalam sistem religi orang Jawa. Selamatan adalah tradisi untuk mengundang kerabat dan tetangga yang melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut di dalamnya, dengan melibatkan handai-taulan, arwah setempat, nenek moyang yang sudah mati duduk bersama untuk diminta perlindungannya, restunya dan kesediaannya untuk tidak mengganggu. Baca Clifford Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi dalam masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin (1981: 13).
100
anak saat ibu bekerja, namun kualitas komunikasi diantara keduanya berbeda. Ibu yang
berkonsentrasi bekerja tidak dapat sepenuhya mengawasi anak atau melakukan interaksi
yang mendidik. Keberadaan solusi dimana anak dititipkan kepada tetangga atau
keluarga terdekatnya terkadang justru membawa masalah baru. Rasa kasih sayang dan
tanggung jawab yang berbeda antara ibu dan tetangga kepada anak berpengaruh pada
pribadi anak sendiri. Jika perhatian ibu lebih dianggap anak lebih besar daripada
tetangga atau kerabat, anak akan cenderung lebih dekat pada ibu. Sebaliknya, jika
perhatian tetangga atau kerabat dianggap lebih besar daripada ibu maka anak cenderung
dekat pada tetangga atau kerabat tersebut.
Pada usia 6-10 tahun, Mengenai perawatan anak, ibu mulai tidak memperhatikan
kegiatan sehari-hari anak. Kegiatan sehari-hari seperti mandi, berpakaian, dan
kewajiban beribadah mulai dilakukan sendiri oleh anak sebab pada usia ini anak mulai
bisa melakukannya sendiri tanpa bantuan orang tua. Meskipun begitu anak masih
membutuhkan koreksi dan pembenahan dari kegiatan yang ia lakukan. Kegiatan lain
yang mulai diajarkan pada anak pada usia di atas 6 tahun adalah pemberian tugas pada
anak. Anak perempuan diminta ibu melakukan pekerjaan sederhana seperti menyapu
teras, mencuci piring, membelikan salah satu bahan memasak untuk ibu, dan melipat
pakaiannya sendiri. Anak perempuan biasanya cenderung menurut pada orang tua.
Sementara bagi anak laki-laki, di usia 6-7 tahun anak masih sepenuhnya dalam
perawatan dan pengasuhan oleh ibu. Anak laki-laki di usia tersebut juga masih
mendapat banyak tugas dari ibu seperti halnya anak perempuan. Lalu kemudian di usia
8 tahun ke atas ia mulai diminta membantu pekerjaan ayah.
Anak laki-laki pada usia ini sudah banyak yang ikut miyang atau melaut sebagai
proses pembelajaran mengenai kondisi lingkungan. Ia dihadapkan pada keseharian dan
tempat bekerja ayah yang selama ini menyita waktu bertemu antara ayah dan keluarga.
Selain itu pada usia 6-10 tahun banyak anak laki-laki nelayan yang mulai bekerja.
Pekerjaan yang dilakukan adalah menjadi alang-alang. Alang-alang adalah satu jenis
pekerjaan yang dilakukan dengan membantu membawakan hasil tangkapan nelayan dari
perahu di pinggir laut ke pasar ikan atau Tempat Pelelangan Ikan (TPI) setempat.
Alang-alang biasa mendapat upah dari nelayan berupa uang tunai senilai Rp
10.000,00 atau berupa sebagian kecil ikan hasil tangkapan nelayan tersebut. Kegiatan
alang-alang ini dilakukan pada waktu nelayan pulang ke darat seteah sebelumnya
101
mereka menunggu di tempat nelayan biasa mendarat. Orang tua cenderung membiarkan
anaknya alang-alang dengan alasan mereka menyadari bahwa mereka tidak mampu
memberikan uang jajan yang cukup untuk anak. Disamping itu mereka tidak pula
mendukung secara jelas kegiatan anak karena orang tua memberikan kebebasan yang
sifatnya tidak menentang norma. Kegiatan alang-alang dianggap hal yang tidak
melanggar norma dan wajar, didukung pula atas pengalaman orang tua yang masa
kecilnya juga menjadi alang-alang.
Hal di atas menunjukkan bahwa pengalaman masa kecil orang tua ketika ia masih
anak-anak dalam bekerja dan sikap orang terdahulu membenarkan adanya alang-alang,
terus terjadi pada generasi selanjutnya dan menjadi salah satu kepribadian anak
mengenai kebiasaan bekerja sejak masih kecil. Anak juga cukup banyak dinasehati
mengenai cara menghormati orang yang lebih tua, kewajiban patuh pada orang tua,
kewajiban menjalankan ibadah dengan baik, dan belajar sebagai tugas anak sebagai
pelajar. Namun sayangnya dari seluruh aktivitas yang diwajibkan orang tua kepada
anak, tidak disertai pengawasan yang baik dari orang tua. Orang tua hanya mengawasi
anak hanya ketika mereka bertemu langsung dengan anak. Mereka terlalu sibuk dan
menganggap remeh perbuatan-perbuatan anak, sehingga terjadi pembiaran yang secara
tidak sadar dilakukan.
Pada usia 11 tahun hingga akil baliq atau dewasa seorang anak akan mengalami
masa transisi atau masa peralihan. Koentjoroningrat (1997:92) menyebutkan bahwa
masa peralihan adalah daur hidup dari satu tingkat hidup atau lingkungan sosial ke
tingkat hidup atau lingkungan sosial berikutnya, proses ini merupakan saat-saat yang
penuh bahaya, baik yang nyata maupun gaib.
Dalam masyarakat nelayan setempat, anak yang menjelang dewasa ini sudah
kelihatan pembawaan dan kepribadian mereka, sebab pada kebanyakan anak nelayan
pada usia ini sudah kelihatan karaktiristik dari individu masing-masing, pada
masyarakat nelayan seorang anak laki-laki pada usia 11 tahun kebanyakan sudah
banyak yang ikut melaut atau miyang. Hal ini berbeda dengan anak perempuan yang
masih banyak menempuh pendidikan. Orang tua pada umumnya hanya memberikan
nasihat-nasihat, petuah, serta larangan-larangan melakukan hal buruk. Anak dituntut
menjadi orang yang berguna bagi keluarga dan tidak membuat malu nama baik
102
keluarga. Namun kembali lagi pada permasalahan pengawasan orang tua yang sangat
minim dan terkesan tidak mempedulikan anak pada usia ini.
Ketika anak memutuskan untuk berhenti sekolah pada tingkat sekolah menengah,
orang tua cukup kecewa. Tapi dari kekecewaan tersebut anak tidak melakukan inisiatif
untuk kembali bersekolah karena teman sepermainannya juga banyak yang putus
sekolah. Sehingga keberadaan anak putus sekolah di Kelurahan Kingking seakan
menjadi hal biasa. Sementara itu untuk masalah pribadi anak, orang tua sudah
menganggap anak telah sepenuhnya mandiri. Meskipun masih mendapatkan makanan
dan tempat tinggal bersama orang tua, namun untuk uang jajan telah didapatkan secara
mandiri hal ini hanya belaku pada anak laki-laki. Sementara untuk anak perempuan,
mereka cenderung patuh pada peraturan di rumah dan bergantung pada pendapatan
orang tua.
Mendidik Anak
Dalam keluarga nelayan, anak mendapatkan didikan yang berasal dari orang tua
sebagai sarana terbentuknya kepribadian dasar anak tersebut. Didikan yang diberikan
berupa pemberian pengetahuan pada anak lewat cerita lisan, realita kehidupan sehari-
hari, pengajaran etika dan etiket, dan lewat lembaga pendidikan formal.
Pada masyarakat nelayan Kingking terdapat sangat sedikit cerita lisan (foklor)
yang didokumentasikan ke dalam tulisan. Masyarakat setempat bahkan memiliki versi
yang berbeda-beda mengenai cerita lisan misalnya asal mula Kingking dan cerita
pewayangan. Dan keberadaan versi-versi tersebut menyebabkan eksistensi cerita lisan
diabaikan. Pengabaian juga diakibatkan karena anak mulai berpikir rasional atas cerita
lisan yang diceritakan oleh orang tuanya. Anak mendapatkan cerita lisan tersebut ketika
ia sedang bercakap-cakap dengan ibu atau didongengkan oleh ibu ketika akan tidur,
meskipun hal ini sangat jarang dilakukan pada saat ini.
Mengenai pemberian didikan realita kehidupan sehari-hari, kebanyakan anak laki-
laki diarahkan oleh ayahnya terutama jika ia telah dianggap telah memiliki cukup
tenaga. Biasanya anak laki-laki diminta membantu pekerjaan ayah yaitu membersihkan
dan memperbaiki jaring, membersihkan dan memperbaiki perahu, memperbaiki mata
pancing, dan pukat. Hal semacam ini bukan berarti ayah telah sepenuhnya
menginginkan anak menjadi pencari ikan juga, tapi atas dasar kebutuhan ayah untuk
103
dibantu dan pengetahuan ayah yang dapat ia ajarkan pada anak hanya sebatas
pengetahuan tentang pekerjaan nelayan.
Sementara bagi anak perempuan, masyarakat nelayan setempat mengarahkannya
pada ibu dari anak tersebut. Pengetahuan ibu yang juga terbatas pada pengetahuan
tentang rumah tangga dan berjualan menyebabkan arahan pada anak perempuan
cenderung kepada hal-hal sederhana seperti pekerjaan rumah tangga, mengasuh adik,
dan membantu pekerjaan ibu berjualan. (Andriati 2012:159).
Anak perempuan nelayan Kingking berada pada rata-rata lulusan pendidikan
SMA dan lebih tinggi dibanding anak laki-laki nelayan Kingking yang rata-rata
merupakan lulusan SMP. Perbedaan tingkat rata-rata tersebut sedikit banyak
dipengaruhi tingkat kepatuhan anak perempuan yang lebih tinggi. Mereka berada dalam
pemikiran bahwa menjadi ibu rumah tangga di masa depan merupakan hal yang harus
diperbaiki baginya, maka ia berpikir untuk meninggikan prestise di bidang pendidikan.
Anak juga diajari beretika dan etiket. Sejak masih digendong, seorang anak telah
mulai diajari sopan santun pada orang dewasa. Ia diajari cara menggunakan masing-
masing tangan untuk fungsi tertentu. Tangan kanan untuk memberi dan menerima
sesuatu dari orang lain dan tangan kiri untuk cebok (membersihkan anus setelah buang
hajat). Mengenai etika molimo, ibu dan ayah hanya sebatas memberikan nasihat. Namun
keberadaan nasihat tersebut tidak didukung dengan pengawasan akan tindakan yang
dilakukan anak. Anak diberi kebebasan untuk memilih jalan hidupnya sejak ia mulai
dirasa dewasa. Anak sudah dianggap telah mampu memilih jalan hidupnya ketika ia
telah khitan bagi anak laki-laki. Sementara untuk anak perempuan tidak terlalu
dibebaskan karena anak perempuan cenderung penurut dan dianggap merupakan anak
yang harus didampingi hingga ia telah menikah di masa dewasa (di atas usia 17 tahun).
Sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan anak pada masa kini orang tua
mulai memperhatikan pendidikan anak. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya anak
nelayan yang didaftarkan ke playgroup atau PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini)
setempat di Kecamatan Tuban. Meskipun dengan biaya yang tidak sedikit, mereka tidak
segan-segan mendaftarkan anak ke PAUD. Selain ingin memperhatikan pendidikan
anak, orang tua juga memiliki tujuan lain dalam mendaftarkan anak yaitu tujuan
prestise. Ketika anak disekolahkan ke PAUD, pelajaran yang disampaikan adalah
mengenai hal-hal ringan seperti bermain, menggambar, menyanyi, dan berhitung
104
sederhana. Sedangkan bagi ibu yang berjualan, maka anak sangat jarang disekolahkan
ke PAUD. Ibu yang memiliki anak usia 4 tahun dan memilih untuk tidak
menyekolahkan anak ke PAUD merupakan ibu-ibu yang keluarganya berada dalam
kesulitan ekonomi dan tidak mampu membayar biaya pendaftaran, seragam, buku, dan
uang bulanan. Mereka menganggap jauh lebih rasional untuk mencari uang saja
ketimbang menyekolahkan anak ke tingkat pendidikan yang belum wajib.
Pendidikan anak selanjutnya adalah Taman Kanak-Kanak (TK). Pada umumnya
warga Kingking telah menyekolahkan anak ke jenjang TK. Pendidikan TK ini
merupakan salah satu persyaratan bagi anak untuk meneruskan pendidikan ke sekolah
dasar (SD). Kemudian anak disekolahkan ke SD untuk syarat masuk ke jenjang sekolah
menengah dan seterusnya hingga bangku kuliah meskipun anak nelayan sangat sedikit
yang mampu meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi.Mengenai pendidikan formal
anak di sekolah dasar, orang tua menganggap bahwa sekolah merupakan tempat
menitipkan anak secara penuh dalam hal mengasuh dan mendidik pada jam sekolah.
Mereka berpikir bahwa uang bulanan dan buku-buku yang harus mereka bayar harus
mendapatkan timbal balik pada pengetahuan anak
Mereka menganggap bahwa dengan telah membayar biaya sekolah anak, anak
dapat terbentuk kepribadian dan kecerdasannya hanya di lingkup sekolah. Hal ini
menyebabkan adanya pembiaran dari pihak orang tua untuk menata perilaku anak
sebagai salah satu kewajiban sebagai orang tua. Padahal menurut Kardiner pengalaman
yang didapat pada saat anak-anak akan membentuk suatu kepribadian dasar
(Danandjaja,1980:11). Sementara itu pengalaman yang dialami anak tidak hanya berasal
dari lingkungan sekolah.
Apabila terjadi pelanggaran atas hal yang tidak boleh dilakukan oleh anak, maka
orang tua menjadi penentu kebijakan apakah ia akan mengambil sikap atau tidak. Hal
tersebut juga dipengaruhi oleh usia anak tersebut. Apabila anak masih berusia di bawah
10 tahun dan ia nakal, maka ibu/ayah akan memarahi atau nuturi dengan bahasa
sederhana pada anak. Terkadang kemarahan disertai hukuman fisik yang ringan seperti
mencubit atau menjewer telinga anak. Kenakalan yang dilakukan di usia tersebut
biasanya karena anak rewel, usil, sekedar mencari perhatian secara berlebihan.
Apabila anak telah berusia di atas 10 tahun, maka sikap orang tua berbeda dengan
sebelumnya. Orang tua akan lebih menekankan hukuman fisik lebih berat disamping
105
memarahi. Hal ini berarti orang tua hHukuman fisik ini biasanya berupa pukulan.
Namun hukuman fisik itu juga tidak sepenuhnya dilakukan orang tua pada anak jika ia
nakal. Hal itu bergantung pada jenis kesalahan dan kenakalan yang anak perbuat.
Kenakalan yang dianggap orang tua pantas mendapatkan hukuman fisik adalah ketika
anak mengonsumsi obat-obatan terlarang. Biasanya obat yang digunakan ini berjenis pil
karnopen.
Pada masyarakat Indonesia pada umumnya, minum minuman keras adalah hal
tabu untuk dilakukan anak apalagi bersama dengan orang tuanya. Namun di masyarakat
nelayan Kingking, minum minuman keras (berjenis tuak) adalah hal biasa. Keberadaan
tuak ini sebenarnya didukung keberadaan tuak di Tuban yang juga dianggap hal biasa.
Terlebih lagi meminum tuak bersama antara sesama nelayan, termasuk antara ayah dan
anak yang telah bekerja.
Kesimpulan
Keluarga nelayan Kelurahan Kingking dalam mengasuh anaknya menggunakan
cara-cara yang ia alami di masa kecil berupa cara merawat dan cara mendidik. Cara
merawat berupa usaha orang tua melakukan perawatan yang dibedakan dengan umur
anak yaitu 0-5 tahun, 6-10 tahun, dan 11-18 tahun. Anak usia 0-5 tahun mendapatkan
perawatan dan pengasuhan secara intensif. Perawatan tersebut dilakukan hampir setiap
waktu khususnya pada anak yang masih minum ASI. Ia dilotek (diberi makan dengan
paksa) agar dapat belajar memakan makanan selain ASI. Pengalaman anak dilotek
tersebut menjadi pengalaman masa kecil yang sulit dan membentuk perangai emosional
dan mudah stres. Kemudian pada usia 6-10 tahun anak mulai dilatih mandiri dan
membantu mengerjakan pekerjaan orang tua secara sederhana. Anak juga mulai
mendapatkan memperoleh pendidikan formal. Interaksi yang dilakukan sudah bersama
teman sepermainannya. Pada usia 11 tahun ke atas anak telah dianggap cukup mandiri
dalam mengurus kegiatan sehari-hari. Orang tua hanya sebatas mengontrol agar anak
tidak menyalahi aturan/norma masyarakat dan norma hukum agar nama baik keluarga
tetap terjaga.
Pengasuhan yang dilakukan juga dengan cara mendidik anak. Anak diberi
pengetahuan mengenai realita kehidupan sehari-hari dan cerita lisan yang berisi pesan
moral penting. Selain itu anak disekolahkan ke lembaga pendidikan formal yaitu TPQ
106
(Taman Pembelajaran Qur’an) untuk bekal sebagai anak muslim dan sekolah umum
mulai dari PAUD hingga universitas. Selain itu cara pengasuhan juga disertai adanya
hubungan antara anak dan lingkungan. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan
alam dan lingkungan sosial. Lingkungan alam membuat anak bergantung pada
kehidupan laut dan potensinya. Lingkungan sosial membuat adanya interaksi sosial
yang dilakukan sebagai proses anak belajar kebudayaan sendiri. Ia melakukan interaksi
dengan orang tua, saudara sekandung, kerabat, tetangga, dan teman sepermainan.
Hubungan antara anak dengan orang-orang di sekitarnya juga mendukung terbentuknya
kepribadian dasar. Interaksi yang terjadi pada orang-orang dalam lingk up kekerabatan
cukup baik dan dekat. Interaksi yang dekat akan membuat pengaruh terbesar dalam
pembentukan kepribadian.
Dalam pengawasan yang dilakukan orang tua, mereka cenderung tidak aktif
mengawasi secara total. Pengawasan yang dilakukan tidak sepenuhnya membuat anak
jera dan patuh terutama bagi anak laki-laki. Pengawasan juga disertai pembebasan yang
sifatnya terpaksa kepada anak yang terlanjur melakukan kesalahan dan menyalahi
aturan di masyarakat. Mengenai etika molimo yang telah dijelaskan di bab 2, ibu dan
ayah hanya sebatas memberikan nasihat. Namun keberadaan nasihat tersebut tidak
didukung dengan pengawasan akan tindakan yang dilakukan anak. Anak diberi
kebebasan untuk memilih jalan hidupnya sejak ia mulai dirasa dewasa. Anak sudah
dianggap telah mampu memilih jalan hidupnya ketika ia telah khitan bagi anak laki-laki.
Sementara untuk anak perempuan tidak terlalu dibebaskan karena anak perempuan
cenderung penurut dan dianggap merupakan anak yang harus didampingi hingga ia
telah menikah di masa dewasa (di atas usia 17 tahun). Adapun sanksi yang diberikan
pada anak yang telah melakukan pelanggaran atas norma di masyarakat berasal dari
orang tua. Namun sanksi dari orang tua hanya sebatas bentuk ekspresi kemarahan orang
tua. Ketika orang tua telah reda amarahnya, ia tidak terlalu mengurusi kesalahan anak.
Anak dibebaskan atas jalan hidupnya sendiri, sementara orang tua hanya membimbing
dengan pengawasan yang minim.
Hasil kepribadian yang berada pada anak-anak nelayan Kingking berupa pranata
pertama yaitu cara pengasuhan dari orang tua semasa ia kecil. Anak mendapatkan
pengaruh mengenai sikap ibu pada anak tersebut melalui cara-cara yang dilakukan ibu.
Munculnya sifat animistis pada anak yang turut mempercayai adanya kesakralan pohon
107
kelapa pada saat sedekah laut; sikap acuh tak acuh membuang sampah ke laut yang
dilakukan ibu yang menurun pada anak menjadi sikap anak pada obyek tertentu; dan
kefrustasian anak atas uang jajan yang tidak cukup diberikan orang tua membuat anak
bekerja pada usia dini; serta penggunaan pil narkoba sebagai bentuk kenakalan yang
disebabkan stres anak pada kehidupannya, menjadi gambaran kepribadian anak nelayan
Kingking. Hal tersebut memunculkan adanya pranata kedua berupa larangan dan
kepercayaan yang timbul atas kepribadian mereka.
Daftar Pustaka
Andriati, Retno, 2012. Buku Ajar Antropologi Maritim. Surabaya: PT.REVKA PETRA
MEDIA
Andriati, Retno & Endah, Sri N, 2005. Relasi Kekuasaan Suami Istri Pada Masyarakat
Nelayan. Surabaya: Universitas Airlangga
Bertens, K, 2007. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Danandjaja, James, 1980. Kebudayaan Petani Desa Trunyan Di Bali. Jakarta: PT
Djaya Pirusa.
Friedman, Howard S & Schustack, Miriam W, 2006. Personality Classic Theories and
Modern Research 3Th Edition. English: Allyn&Bacon (terjemahan Benedictine
Widyasinta)
Geertz, Clifford, 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Bandung: PT
Dunia Pustaka Jawa
Geertz, Hildred, 1982. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers
Kelompok Kerja Penyelarasan Data Kelautan dan Perikanan, 2011. Kelautan dan
Perikanan Dalam Angka 2011. Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia.
Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. RINEKA CIPTA.
Koentjaraningrat, 1997. Metode-metode Penelitian Masyarakat (Edisi Ketiga). Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Randupitoyo, Darundiyo, 2009. Skripsi Tradisi Nitik: STudi Etnogrfi Trdisi Minum
Toak di Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Antropologi FISIP. Universitas Airlangga.
Simandjutak, E.B, 1983. Latar Belakang Kenakalan Remaja. Bandung: Alumni
Bandung.
108
Sumber Internet:
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news
2014/06/11/205358/Pemerintahan-Baru-Harus-Berpihak-Kepada-Nelayan diakses pada
tanggal 15 Juni 2014 pukul 14.43
109