Transcript
Page 1: KAJIAN TEORITIS MENGENAI KECERDASAN EMOSIONAL (EMOTIONAL INTELLIGENCE) DALAM PROGRAM PEMBINAAN ANAK JALANAN

KAJIAN TEORITIS MENGENAI KECERDASAN EMOSIONAL (EMOTIONAL INTELLIGENCE) DALAM PROGRAM PEMBINAAN ANAK JALANAN

DI RUMAH SINGGAH

Rika Dwi AgustiningsihFakultas Psikologi Universitas Padjadjaran

ABSTRAK

Kecerdasan emosi atau dikenal dengan istilah Emotional Intelligence (EI) adalah kemampuan untuk mengerti dan mengendalikan emosi serta kemampuan untuk membina hubungan dengan orang lain di sekitarnya. Faktor-faktor yang terdapat dalam kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Beberapa hal di atas digunakan sebagai landasan awal pembinaan anak jalanan di rumah singgah dalam bentuk program-program pelaksanaan pendampingan dan pembinaan anak jalanan, yang dimaksudkan untuk mengubah perilaku anak jalanan dengan menginternalisasi kembali sistem nilai dan moral di masyarakat sehingga perilaku agresif pada anak jalanan berubah atau tidak muncul. Maka dari itu, kajian ilmiah ini dimaksudkan untuk mengkaji teori kecerdasan emosional yang kemudian digunakan sebagai basic theory dalam penggagasan program pembinaan dan pendampingan anak jalanan di rumah singgah. Pengkajian dilakukan dengan mengumpulkan data dari berebagai referensi untuk memperkuat korelasi kajian kecerdasan emosi terhadap penerapannya untuk mengurangi perilaku agresif anak jalanan. Salah satu contoh, faktor empati dan keterampilan sosial dapat tercapai melalui pelaksanaan program yang berbentuk ‘one parent, one child’ dimana masyarakat turut berperan menjadi orangtua asuh bagi anak jalanan sehingga afeksi orangtua dapat mereka rasakan kembali dan peran kontrol juga diberdayakan kembali. Kedepannya dalam pembuatan program pembinaan anak jalanan untuk mengurangi perilaku agresif dapat dilakukan melalui pengkajian teoritis kecerdasan emosional (EI) atau teori lainnya sesuai dengan kebutuhan dan tujuan yang akan dicapai.

1

Page 2: KAJIAN TEORITIS MENGENAI KECERDASAN EMOSIONAL (EMOTIONAL INTELLIGENCE) DALAM PROGRAM PEMBINAAN ANAK JALANAN

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara luas yang juga memiliki jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, dengan jumlah 237,6 juta jiwa berdasarkan data sensus penduduk 2010. Setiap tahun jumlah bayi yang dilahirkan sekitar 4,5 juta. Hal ini merupakan salah satu faktor bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang besar ini merupakan tantangan tersendiri yang harus dihadapi oleh bangsa ini. Bangsa ini harus memikirkan bagaimana upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, menciptakan kesempatan kerja, menghilangkan kemiskinan, meningkatkan pendidikan dan kesehatan, meningkatkan infrastruktur, dan memberikan pelayanan publik, semuanya ini harus dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia secara adil dan merata.

Pemerintah Indonesia turut serta dalam perumusan Deklarasi Milenium yang berperan dalam mewujudkan cita-cita dunia yang terangkum dalam delapan tujuan utama dalam bentuk Millenium Development Goals (MDGs). Tujuan-tujuan tersebut harus dicapai dalam jangka waktu tertentu. Tujuan pertama yang menjadi salah satu prioritas utama penyelesaian masalah di dunia ini adalah pengentasan kemiskinan ekstrim dan kelaparan. Pemerintah Indonesia yang sudah berkomitmen untuk mencapai target pertama ini, mencanangkan akan dapat mengurangi kemiskinan dan kelaparan hingga setengahnya dari sekitar 7,5% atau 17 juta orang pada 2015. Keseriusan ini mulai diwujudkan dengan adanya beberapa program dari Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerja sama dengan kepolisian yang bersepakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak secara terpadu, terarah dan berkelanjutan. Kesepakatan ini ditujukan untuk menyukseskan program bersama dalam membebaskan Indonesia dari anak jalanan pada 2014.

Anak jalanan menjadi salah satu fenomena sosial di perkotaan yang belakangan ini semakin marak, terlebih akibat krisis moneter yang berdampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat yang tidak merata di Indonesia. Fenomena ini harus menjadi perhatian serius karena sebagaimana diketahui bahwa anak merupakan generasi emas yang akan melanjutkan perjalanan bangsa ini. Persoalan mereka bukan saja karena persoalan seosial; berada pada wilayah kemiskinan, ketiadaan lapangan kerja, dan urbanisasi, tetapi juga permasalahan psikologis dari aspek perkembangan sosioemosionalnya; eksploitasi, manipulasi, ketidak-konsistenan terhadap cara-cara pertolongan baik oleh mereka sendiri maupun pihak lain.

2

Page 3: KAJIAN TEORITIS MENGENAI KECERDASAN EMOSIONAL (EMOTIONAL INTELLIGENCE) DALAM PROGRAM PEMBINAAN ANAK JALANAN

Persoalan psikologis dapat berdampak pada terhambatnya aspek perkembangan sosio-emosional anak. Perkembangan emosional ini berfungsi untuk menyesuaikan diri dan kelangsungan hidup anak, meregulasi, dan berkomunikasi. Perkembangan sosio-emosional akan berkembang dengan baik jika adanya dukungan dari lingkungan, seperti pola asuh yang memberikan model positif bagi anak-anak, lingkungan yang tidak diberikan kondisi yang tidak aman, lingkungan yang menimbulkan empati dan kepekaan sosial, dan adanya pemberian validasi positif pada perilaku yang baik. Namun sebaliknya, jika aspek perkembangan ini terhambat maka anak akan kesulitan untuk dapat beradaptasi dan bersosialisasi dan muncul agresivitas negatif.

Agresivitas yang dilakukan anak jalanan bukan semata karena mereka hanya menyaksikan perilaku tersebut dari model tertentu, tetapi juga karena sebelumnya mereka juga mengalami langsung perlakuan seperti itu dari orang lain. Sumber dari agresivitas yang terjadi adalah orang-orang di sekitar mereka.

Kembali pada kajian perwujudan MDGs, dalam rangka mencapai tujuan yang pertama maka pemberantasan anak jalanan masuk ke dalam agenda pengentasan kemiskinan ekstrim dan kelaparan. Program-program yang dibuat oleh pemerintah, seperti rumah singgah, mobil sahabat anak, dan boarding house sudah tidak terdengar lagi gaungnya dalam mengurangi jumlah anak jalanan di kota-kota besar. Program terbaru kota layak anak menjadi salah satu alternatif untuk memberantas anak-anak jalanan. Hal ini merupakan kota/kabupaten yang memberi kesan aman, nyaman bagi pertumbuhan dan perkembangan anak yang ditandai dengan tidak adanya penculikkan anak, jalan trotoar yang aman untuk tempat lalu lalang anak di pinggir jalan, tersedianya lampu-lampu penerangan, pengaturan jam belajar yang tepat, tersedia tempat bermain anak, tempat penitipan anak, rumah baca, dan sebagainya. Namun, hal terpenting untuk mengurangi perilaku agresif dari anak jalanan adalah tersedianya pendampingan dan pelatihan yang akan meningkatkan kecerdasan emosi anak jalanan.

Kecerdasan emosi atau dikenal dengan istilah Emotional Intelligence (EI) adalah kemampuan untuk mengerti dan mengendalikan emosi. Termasuk di dalamnya kemampuan untuk membina hubungan dengan orang lain di sekitarnya. Jika anak jalanan ini diberikan keterampilan emotional coping yang baik maka perilaku agresif tidak akan terjadi pada mereka dan pembinaan anak-anak jalanan serta pembuatan kota layak anak akan terealisasi dengan baik.

Studi kasus ini berupaya meninjau pengurangan perilaku agresivitas melalui bahasan emotional intelligence pada anak jalanan yang setidaknya dapat memberikan tambahan informasi bagi masyarakat dan pemerintah dalam membuat suatu program untuk anak jalanan. Pengkajian landasan teoritis kecerdasan emosional pada program pemerintah diharapkan dapat mengubah agresivitas negatif anak jalanan menjadi lebih positif sehingga dapat membantu pemerintah dan dunia dalam upaya mencapai tujuan dalam pemberantasan

3

Page 4: KAJIAN TEORITIS MENGENAI KECERDASAN EMOSIONAL (EMOTIONAL INTELLIGENCE) DALAM PROGRAM PEMBINAAN ANAK JALANAN

kemiskinan. Kehadiran anak jalanan di wilayah tertentu acap kali dianggap sebagai cermin kemiskinan dari wilayah tersebut maka sudah menjadi hal yang mutlak bagi setiap masyarakat juga turut berperan dalam mengubah paradigma itu. Kontribusi dari setiap elemen bangsa ini akan mempercepat target realisasi tujuan pertama MDGs di Indonesia. Selain hanya memberantas, tetapi juga memperbaiki kondisi generasi emas Indonesia dengan memberikan implementasi kecerdasan emosi pada anak jalanan.

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh melalui studi literatur dari berbagai referensi dan jurnal.

TINJAUAN LITERATUR

Anak Jalanan

1. Definisi Anak Jalanan

Menurut lisa (1996) anak jalanan adalah anak-anak yang bekerja di jalanan. Studi yang dilakukan oleh Soedijar (1989/1990) menunjukkan bahwa anak jalanan adalah anak yang berusia antara 7-15 tahun yang bekerja di jalanan dan dapat mengganggu ketentraman dan keselarnatan orang lain serta mebahayakan dirinya sendiri. Sementara itu, Direktorat Bina Sosial DKI menyebutkan bahwa anak jalanan adalah anak yang berkeliaran di jalan raya sambil bekerja mengemis atau menganggur saja. Panti Asuhan klender mengatakana bahwa anak jalanan adalah anak yang sudah biasa hidup sangat tidak teratur di jalan raya, bisa diambil bekerja tetapi dapat juga hanya menggelandang sepanjang hari (Kirik Ertanto dalam w ww.humana.20m.com/babl/htm ).

Menurut Aptekar dan Lusk, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Felsman sebelumnya, pekerjaan anak jalanan terbagi menjadi tiga kategori:

a. Children on the street adalah anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga. Ada dua kelompok anak jalanan dalam kategori ini, yaitu anak-anak yang tinggal bersama orangtuanya dan senantiasa pulang ke rumah setiap hari, dan anak-anak yang melakukan kegiatan ekonomi dan tinggal di jalanan namun masih mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan cara pulang baik berkala ataupun dengan jadwal yang tidak rutin.

b. Children of the street adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya di jalanan dan tidak memiliki hubungan atau ia memutuskan hubungan dengan orangtua atau keluarganya.

4

Page 5: KAJIAN TEORITIS MENGENAI KECERDASAN EMOSIONAL (EMOTIONAL INTELLIGENCE) DALAM PROGRAM PEMBINAAN ANAK JALANAN

c. Children in the street atau children from the families of the street adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup atau tinggalnya juga di jalanan.

Lusk memberikan definisi mengenai anak jalanan dari hasil penelitiannya:

any girl or boy...for whom the street (in the widest sense of the word, including unoccupied dwellings, wasteland, etc.) has become his or her habitual abode and/or source of livelihood; an who is inadequately protected, supervised, or directed by responsible adults (Lusk et al. 1989, Lusk 1989, 1992).

Sedangkan, menurut Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (1999 ; 22-24) anak jalanan dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu :

a. Anak-anak yang tidak berhubungan lagi dengan orang tuanya (children of the street). Mereka tinggal 24 jam di jalanan dan menggunakan semua fasilitas jalanan sebagai ruang hidupnya, disebabkan oleh faktor sosial psikologis keluarga, mengalami kekerasan, penolakan, penyiksaan dan perceraian orang tua.

b. Anak-anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tua. Mereka adalah anak yang bekerja di jalanan (children on the street). Mereka seringkali diindentikkan sebagai pekerja migran kota yang pulang tidak teratur kepada orang tuanya di kampung. Pada umumnya mereka bekerja dari pagi hingga sore hari, seperti menyemir sepatu, pengasong, pengamen, tukang ojek payung, dan kuli panggul.

c. Anak-anak yang berhubungan teratur dengan orang tuanya. Mereka tinggal dengan orang tuanya, beberapa jam dijalanan sebelum atau sesudah sekolah. Motivasi mereka ke jalan karena terbawa teman, belajar mandiri, membantu orang tua dan disuruh orang tua. Aktivitas usaha mereka yang paling menyolok adalah berjualan koran.

d. Anak-anak jalanan yang berusia di atas 16 tahun. Mereka berada di jalanan untuk mencari kerja, atau masih labil suatu pekerjaan. Umumnya mereka telah lulus SD bahkan ada yang SLTP. Mereka biasanya kaum urban yang mengikuti orang dewasa (orang tua ataupun saudaranya) ke kota. Pekerjaan mereka biasanya mencuci bus, menyemir sepatu, membawa barang belanjaan (kuli panggul), pengasong, pengamen, pengemis dan pemulung.

2. Faktor Penyebab Lahirnya Fenomena Anak Jalanan

Peningkatan jumlah anak jalanan beberapa tahun belakangan yang pesat merupakan fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Perhatian ini tidak semata-mata terdorong oleh besarnya jumlah anak

5

Page 6: KAJIAN TEORITIS MENGENAI KECERDASAN EMOSIONAL (EMOTIONAL INTELLIGENCE) DALAM PROGRAM PEMBINAAN ANAK JALANAN

jalanan melainkan karena situasi dan kondisi anak jalanan yang buruk dimana kelompok ini belum mendapatkan hak-haknya bahkan sering dilanggar.

Anak-anak jalanan dipandang merupakan bukti dari para deviant yang mengancam ketentraman para penghuni kota lainnya. Sedangkan penelitian tim peneliti dari Universitas Diponegoro menyatakan bahwa alasan utama untuk menjadi anakjalanan disebabkan oleh ketidakharmonisan keluarga dan kurangnya perhatian orang tua (66,7%), kemiskinan keluarga dan dorongan teman (22,4%) dan lain-lain (10,9%) (Nur Rochaeti dkk dalam www. undip. ac. id/riset/htm). Akibatnya hal itu mendorong mereka untuk pergi ke jalanan mencari kebebasan tanpa beban "pendidikan".

3. Dinamika Kehidupan Anak Jalanan

Dunia jalanan adalah dunia yang penuh dengn kekerasan dan eksploitasi. Berbagai penelitian mengungkapkan situasi buruk yang dialami oleh anak jalanan. Lebih tragis lagi kekerasan oleh anak jalanan justru dilakukan oleh petugas keamanan yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap mereka. Menurut penelitian YDA menyatakan bahwa bahaya terbesar yang paling sering dialami anak jalanan adalah dikejar polisi dimana 91% anak yang pernah tertangkap mengaku mengalami penyiksaan. Selain itu, juga mengalami penyiksaan atau kekerasan dari pihak sindikat yang secara terselubung mengkoordinasi kerja mereka.

Kehidupan anak jalanan berada dalam kondisi yang mengancam kehidupan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial mereka. Dalam situasi kekerasan yang dihadapi terus-menerus dalam perjalanan hidupnya, akan membentuk nilai-nilai baru dan tindakan yang mengedepankan kekerasan sebagai jalan keluar untuk mempertahankan hidupnya. Ketika memasuki usia dewasa, besar kemungkinan bagi mereka akan menjadi salah satu pelaku kekerasan dan ekspletasi terhadap anak-anak jalanan.

Berkaitan dengan fenomena kehidupan jalanan yang mengancam kehidupan anak jalanan, sudah seharusnya berbagai pihak harus turut terlibat dalam penuntasan permasalahan ini. Baik pemerintah, organisasi masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat, dan akademisi harus saling berupaya dalam menangani masalah ini dengan upaya pendampingan anak-anak. Program pendampingan ini bertujuan untuk meningkatkan martabat anak jalanan dalam aspek kemandirian, literasi, enumerasi, dan keterampilan kerja.

4. Sifat Psikologi Anak Jalanan

Anak jalanan menggunakan tubuhnya sendiri sebagai sarana untuk mengekspresikan dirinya. Ketika mulai tumbuh lebih besar, anak jalanan mulai menampilkan nilai-nilai kejantanan yang menjadi aspek vital bagi anak jalanan.

6

Page 7: KAJIAN TEORITIS MENGENAI KECERDASAN EMOSIONAL (EMOTIONAL INTELLIGENCE) DALAM PROGRAM PEMBINAAN ANAK JALANAN

Mereka memainkan peran yang selama ini dijalankan oleh kaum dewasa yang ada di sekitarnya, meminum minuman keras, judi, berkelahi, serta menggemari free sex. Kebiasaan-kebiasaan yang dianggap tidak sesuai dilakukan oleh anak, mereka justru menganggap bahwa dengan melakukan hal demikian akan membuat mereka menjadi seorang yang dewasa dan lebih terlihat jantan. Hal apapun yang dilarang untuk anak jalanan, maka seolah-olah mereka merasa terpanggil untuk melakukannya.

5. Beberapa penyebab masalah anak jalanan

a. Tingkat mikro, faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya. Penyebab yang teridentifikasi dari anak dan keluarga saling berkaitan, tetapi dapat juga berdiri sendiri, yaitu :

- Lari dari keluarga, disuruh bekerja, berpetualang, bermain-main karena diajak teman.

- Penyebab dari keluarga; terlantar, ketidakmampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar, penolakan orang tua, kekerasan di rumah, kesulitan berhubungan dengan keluarga, berpisah dengan orang tua, sikap-sikap yang salah terhadap anak, keterbatasan merawat anak berakibat pada permasalahan fisik, psikologi, dan sosial anak.

b. Tingkat messo, faktor yang terjadi di masyarakat. Pada tingkat messo, sebab yang dapat diidentifikasi yaitu:

- Pada masyarakat miskin, anak adalah aset untuk membantu peningkatan ekonomi keluarga.

- Pada masyarakat lain yaitu urbanisasi, anak-anaknya mengikuti.

- Penolakan masyarakat dan anggapan anak jalanan selalu melakukan tindakan tidak terpuji.

c. Tingkat makro, yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur masyarakat. Pada tingkat struktur masyarakat, faktor-faktor penyebabnya adalah:

- Ekonomi, adanya peluang kerja pada sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian.

- Pendidikan, biaya sekolah yang tinggi dan perlakuan diskriminasi.

- Tidak adanya keseragaman perspektif mengenai anak jalanan dari pemerintah, sebagian berpandangan anak jalanan merupakan kelompok yang memerlukan perawatan (pendekatan kesejahteraan) dan sebagian yang lain memandang anak jalanan sebagai pembuat masalah (pendekatan keamanan).

7

Page 8: KAJIAN TEORITIS MENGENAI KECERDASAN EMOSIONAL (EMOTIONAL INTELLIGENCE) DALAM PROGRAM PEMBINAAN ANAK JALANAN

6. Rumah Singgah sebagai Tempat Alternatif Pemberdayaan Anak Jalanan

Salah satu bentuk penanganan anak jalanan adalah melalui pembentukan rumah singgah. Konferensi Nasional II Masalah pekerja anak di Indonesia pada bulan Juli 1996 mendefinisikan rumah singgah sebagai tempat pemusatan sementara yang bersifat non-formal, dimana anak-anak bertemu untuk memperoleh informasi dan pembinaan awal sebelum dirujuk ke dalam proses pembinaan lebih lanjut. Sedangkan menurut Departemen Sosial RI, rumah singgah berarti perantara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka memberikan suasana untuk membina sistem nilai dan norma di masyarakat. Tujuan dibentuknya rumah singgah adalah membantu anak jalanan mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya serta membentuk kembali sikap dan perilaku anak yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.

Peran dan fungsi rumah singgah bagi program pemberdayaan anak jalanan sangat penting. Secara ringkas fungsi rumah singgah antara lain :

a. Tempat meeting point pekerja sosial dan anak jalanan, menciptakan persahabatan dan keterbukaan antara anak jalanan dengan pekerja sosial dalam menentukan dan melakukan berbagai aktivitas pembinaan.

b. Pusat diagnosa dan rujukan, berfungsi sebagi tempat melakukan diagnosa terhadap kebutuhan dan masalah anak jalanan serta melakukan rujukan pelayanan sosial bagi anak jalanan.

c. Fasilitator atau sebagai perantara anak jalanan dengan keluarga, keluarga pengganti, dan lembaga lainnya.

d. Perlindungan, sebagai tempat berlindung dari berbagai bentuk kekerasan yang kerap menimpa anak jalanan dari kekerasan dan prilaku penyimpangan seksual ataupun berbagai bentuk kekerasan lainnya.

e. Pusat informasi tentang anak jalanan.

f. Kuratif dan rehabilitatif, yaitu fungsi mengembalikan dan menanamkan fungsi sosial anak.

g. Akses terhadap pelayanan, yaitu sebagai persinggahan sementara anak jalanan dan sekaligus akses kepada berbagai pelayanan sosial.

h. Resosialisasi, salah satu upaya mengenalkan kembali norma, situasi dan kehidupan bermasyarakat bagi anak jalanan. Pada sisi lain mengarah pada pengakuan, tanggung jawab, dan upaya warga masyarakat terhadap penanganan masalah anak jalanan.

Bentuk upaya pemberdayaan anak jalanan selain melalui rumah singgah dapat juga dilakukan melalui program-program :

a. Center based program, yaitu membuat penampungan tempat tinggal yang bersifat tidak permanen.

8

Page 9: KAJIAN TEORITIS MENGENAI KECERDASAN EMOSIONAL (EMOTIONAL INTELLIGENCE) DALAM PROGRAM PEMBINAAN ANAK JALANAN

b. Street based interventions, yaitu mengadakan pendekatan langsung di tempat anak jalanan berada atau langsung ke jalanan.

c. Community based strategy, yaitu memperhatikan sumber gejala munculnya anak jalanan baik keluarga maupun lingkungannya.

Agresi

Menurut Buss (1961, hlm.1) diungkapkan bahwa agresi merupakan sebuah respon yang mengantarkan stimuli ‘buruk’ kepada makhluk hidup lain. Sedang menurut Baron dan Richardson (1994, hlm.7) menyatakan penggunaan istilah agresi untuk mendeskripsikan segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti makhluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari perlakuan itu. Motif utama perilaku agresi adalah keinginan menyakiti orang lain untuk mengekspresikan perasaan-perasaan negatif, seperti pada agresi permusuhan, atau keinginan mencapai tujuan yang diinginkan melalui tindakan agresif, seperti dalam agresi instrumental.

Kekerasan (violence) merupakan suatu bentuk perilaku agresi (aggressive behavior) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, termasuk terhadap hewan atau benda-benda. Agresi adalah suatu respon terhadap kemarahan, kekecewaan, perasaan dendam atau ancaman yang memancing amarah yang dapat membangkitkan suatu perilaku kekerasan sebagai suatu cara untuk melawan atau menghukum berupa tindakan menyerang, merusak hingga membunuh. Agresi tidak selalu diekspresikan berupa tindak kekerasan menyerang orang lain (assault) agresivitas terhadap diri sendiri (self aggression) penyalahgunaan narkoba untuk melupakan persoalan hingga tindakan bunuh diri juga merupakan suatu bentuk perilaku agresi.

Agresi merupakan salah bentuk reaksi terhadap rasa frustasi, rasa kecewa karena tidak terpenuhi kebutuhan atau keinginannya. Biasanya bentuk ini diwujudkan dengan menyerang, seperti mencubit, menggigit, menendang, dan sebagainya. Sebaiknya orang tua berusaha mereduksi, mengurangi agresifitas anak dengan cara mengalihkan perhatian atau keinginan anak. Jika orang tua menghukum anak yang agresif maka agretifitas anak akan semakin meningkat. Agresi merupakan perilaku yang dimaksudkan menyakiti orang lain baik secara fisik (non verbal) dan kata-kata (verbal) maupun psikis (Baron & Dye, 1994: Brehm & Kassin 1993: Brigham, 1991). Pada remaja perilaku agresi meningkat karena meningkatnya hormon testosteron (Tieger dalam Dunkin, 1995). Pada anak laki-laki meningkat perilaku agresinya tetapi tidak pada anak perempuan (Brigham, 1991; Baron & Byrne, 1994). Perspektif teoritis perilaku agresi meliputi:

1. ‘Instinct theory’ mengasumsikan bahwa perilaku agresi merupakan suatu insting naluriah setiap manusia. Menurut teori tersebut setiap manusia

9

Page 10: KAJIAN TEORITIS MENGENAI KECERDASAN EMOSIONAL (EMOTIONAL INTELLIGENCE) DALAM PROGRAM PEMBINAAN ANAK JALANAN

memiliki insting kematian (tanatos) yang diekspresikan lewat agresivitas pada diri sendiri maupun pada orang lain.

2. ‘Drive theory’ menekankan bahwa dorongan agresivitas manusia dipicu oleh faktor pencetus eksternal untuk mempertahankan eksistensinya. Menurut teori tersebut tanpa agresi kita tidak dapat mempertahankan diri.

3. ‘Social learning theory’ menyatakan bahwa perilaku agresi merupakan hasil pembelajaran seseorang sejak masa kanak-kanaknya yang kemudian menjadi pola perilaku (learned behavior). Dalam perkembangan konsep teori ini mengasumsikan juga bahwa pola respon agresi seseorang memerlukan stimulus (impuls) berupa kondisi sosial lingkungan (faktor psikososial) untuk memunculkan perilaku agresi.

Namun bentuk stimulus yang sama tidak selalu memunculkan bentuk perilaku agresi yang sama pada setiap orang. Dengan kata lain, pola perilaku agresi seseorang dibentuk oleh faktor pengendalian diri individu tersebut (internal control) serta berbagai stimulus dari luar (impulses). Saat keseimbangan antara kemampuan pengendalian diri dan besarnya stimulus terganggu maka akan membangkitkan perilaku agresi.

1. Mekanisme Terjadinya Perilaku Agresi

Tindak kekerasan pada agresi permusuhan timbul sebagai kombinasi antara frustasi yang intens dengan stimulus (implus) dari luar sebagai pemicu. Pada hakekatnya setiap orang potensial untuk melakukan tindak kekerasan. Namun pada kenyataannya ada orang-orang yang mampu menghindari kekerasan.

Ciri kepribadian (personality trait) seseorang sejak masa balita hingga remaja berkembang melalui tahapan perkembangan kognitif, respon perasaan, dan perilaku yang terbentuk melalui interaksi faktor herediter—karakter tempramen (nature) dan faktor pola asuh—kondisi sosial lingkungan (nurture), yang membentuk ciri kepribadiannya di masa dewasa. Pola kepribadian tersebut yang membentuk refleks respon pikiran dan perasaan seseorang saat menerima stimulus dari luar, khususnya pada saat kondisi menerima stimulus ‘ancaman’. Bila refleks yang telah terpola berupa tindakan kekerasan maka saat menghadapi situasi ‘ancaman’ respon yang muncul adalah tindak kekerasan.

2. Upaya Untuk Mendeteksi Seseorang yang Potensial Melakukan Tindak

Tanda-tanda yang dapat diamati (observable warning signs), antara lain: (a) Biasa menyelesaikan konflik dengan cara kekerasan dan sikap permusuhan (hostility); (b) sering menunjukan perilaku aneh (strange behavior); (c) sedang mengalami problem emosional, stress, depresi tanpa terapi medis; (d) problem

10

Page 11: KAJIAN TEORITIS MENGENAI KECERDASAN EMOSIONAL (EMOTIONAL INTELLIGENCE) DALAM PROGRAM PEMBINAAN ANAK JALANAN

interpersonal, hypersensitivity; dan (e) indikasi kecenderungan ingin bunuh diri (tentament suicide).

Peristiwa pencetus (triggering event) yang akan memunculkan respon agresitivitas, adalah (a) mengalami pemutusan hubungan kerja, kehilangan lahan pencarian, kegagalan usaha; (b) mengalami tindakan indisipliner, kritik dari atasan di pekerjakan tanpa dapat menerima dan menyadari alasan kesalahannya; (c) mengalami masalah krisis personal.

Beberapa kiat pendekatan pada seseorang yang potensial melakukan tindak kekerasan:

a. Memahami pola pikir seseorang dengan hostilitas dan potensial melakukan tindak kekerasan

b. Sikap empati c. Hindari sikap konfrontatif mengancam d. Alternatif solusi penyelesaian masalah e. Menyelesaikan permasalahan dengan win-win resolution

Kecerdasan emosi

1. Pengertian emosi

Menurut Daniel Goleman (2002 : 411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu.

Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat menjadi salah satu aspek yang dapat meningkatkan dan mengganggu perilaku intensional manusia (Prawitasari, 1995). Berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 65) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu: self-awareness, fight dan flight dalam permasalahan. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu perasaan (afek) yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.

11

Page 12: KAJIAN TEORITIS MENGENAI KECERDASAN EMOSIONAL (EMOTIONAL INTELLIGENCE) DALAM PROGRAM PEMBINAAN ANAK JALANAN

2. Pengertian kecerdasan emosional

Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire menemukan adanya kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan yaitu kecerdasan emosional atau EQ sebagai, kemudian didefinisikan sebagai:

“himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.” (Shapiro, 1998:8).

Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional. Keterampilan EQ bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan. (Shapiro, 1998-10).

Gardner dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind (Goleman, 2000 : 50-53) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika atau logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional.

Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey (Goleman, 200:57) memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.

Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.

12

Page 13: KAJIAN TEORITIS MENGENAI KECERDASAN EMOSIONAL (EMOTIONAL INTELLIGENCE) DALAM PROGRAM PEMBINAAN ANAK JALANAN

3. Faktor Kecerdasan Emosional

Goleman mengutip Salovey (2002:58-59) menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu :

a. Mengenali Emosi Diri

Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 64) kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.

b. Mengelola Emosi

Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat diekspresikan dengan sesuai, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Emosi yang terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.

c. Memotivasi Diri Sendiri

Prestasi akan muncul disertai dengan adanya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati.

d. Mengenali Emosi Orang Lain

Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut empati. Menurut Goleman (2002 :57) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain. Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.

13

Page 14: KAJIAN TEORITIS MENGENAI KECERDASAN EMOSIONAL (EMOTIONAL INTELLIGENCE) DALAM PROGRAM PEMBINAAN ANAK JALANAN

e. Membina Hubungan

Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002 : 59). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Sejauhmana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.

Berdasarkan uraian di atas, penulis mengambil komponen-komponen utama dan prinsip-prinsip dasar dari kecerdasan emosional sebagai faktor untuk mengembangkan instrumen kecerdasan emosional.

PEMBAHASAN

Anak jalanan merupakan salah satu fenomena sosial yang saat ini kerap terlihat di kota-kota besar. Mereka hidup di jalanan yang berdasarkan beberapa penelitian, berdampak fatal begi kehidupan mereka. Beberapa penyebab mereka hidup di jalanan karena hubungan orangtua-anak yang tidak sehat (tingkat mikro), kondisi kemiskinan yang dihadapi maupun urbanisasi (tingkat messo), dan perlakuan yang berbeda dari sektor pendidikan dan ekonomi bagi orang-orang yang tidak mampu (tinkat makro) menjadi kesimpulan alasan anak-anak berada di jalanan. Kerasnya kehidupan jalanan membuat mereka belajar dari orang dewasa bagaimana mempertahankan kehidupan mereka dengan melakukan kekerasan atau berperilaku agresif. Selain berperilaku agresif, mereka juga seringkali mendapatkan tindak kekerasan dan eksploitasi.

Agresivitas yang dilakukan anak jalanan bukan semata karena mereka hanya menyaksikan perilaku tersebut dari model tertentu, tetapi juga karena sebelumnya mereka juga mengalami langsung perlakuan seperti itu dari orang lain. Sumber dari agresivitas yang terjadi adalah orang-orang di sekitar mereka. Sehingga berdasarkan teori Social-Learning Bandura, agresivitas yang dilakukan anak jalanan muncul karena sebelumnya anak-anak jalanan juha mendapatkan perilaku kekerasan dari orang lain, jadi tingkah laku tersebut ditampilkan karena mereka belajar dari orang lain. Bandura mengungkapkan bahwa dalam pembentukan agresivitas berdasarkan observational learning, melalui empat proses yang satu sama lain saling berkaitan.

Sumber dari agresivitas yang terjadi berasal dari orang-orang di sekitar mereka. Bentuk perlakuan yang tidak adil dan semena-mena merupakan

14

Page 15: KAJIAN TEORITIS MENGENAI KECERDASAN EMOSIONAL (EMOTIONAL INTELLIGENCE) DALAM PROGRAM PEMBINAAN ANAK JALANAN

pendorong munculnya agresivitas. Agresivitas menjadi semakin kuat karena hubungan pertemanan yang semakin baik, pujian, dan perlindungan yang didapatkan, merasa bangga, dihargai, dan dianggap keberadaan dan kemampuan oleh lingkungannya. Proses pembentukan agresivitas pada anak jalanan ini diawali dengan ketertarikan yang berlanjut dengan proses memperhatikan tingkah laku yang dilakukan oleh model. Kemudian tingkah laku tersebut diingat dan akan semakin kuat karena mendapatkan feedback langsung dari model. Tingkah laku agresif muncul karena mereka memperhatikan bahwa perilaku ini memberikan efek positif yang didapatkan model dalam melakukan agresivitas pada waktu tertentu sehingga membuat mereka menjadi termotivasi untuk melakukannya. Hal ini disebabkan karena pada teori observational learning, seseorang menirukan tingkah laku model karena ia merasa tertarik dan kemudian mengamati tingkah laku tersebut, lalu mengingatnya, dan ditampilkan dengan diberikan positive reinforcement dari modelnya. Sedangkan agresivitas yang dilakukan oleh anak jalanan, bukan sematamata karena mereka hanya mengamati model, namun mereka juga mengalami langsung agresivitas tersebut. Anak jalanan mengadopsi perilaku-perilaku yang ditampilkan oleh orang dewasa di lingkungannya karena mereka ingin dianggap sebagai seseorang yang lebih dewasa dengan menunjukkan nilai-nilai yang dianggap jantan oleh lingkungan. Mereka memainkan peran yang selama ini dijalankan oleh kaum dewasa yang ada di sekitarnya, meminum minuman keras, judi, berkelahi, serta menggemari free sex. Kebiasaan-kebiasaan yang dianggap tidak sesuai dilakukan oleh anak, mereka justru menganggap bahwa dengan melakukan hal demikian akan membuat mereka menjadi seorang yang dewasa dan lebih terlihat jantan.

Selain berdasarkan model di jalanan, perilaku kekerasan juga kerap diperoleh anak-anak di rumah. Hukuman secara fisik dapat memberikan dampak negatif, yakni dapat memunculkan stimulasi aversif atau permusuhan, merupakan model perilaku untuk pencegahan dan koersif. Hal ini menjadi alasan mengapa kekerasan pada remaja dan kekerasan anak oleh orang tua datang dari rumah dimana kedisiplinan berasal dari hukuman yang keras.

Berdasarkan penjelasan teori selanjutnya dari Sigmund Freud, manusia memiliki Id, Ego, dan Superego. Id adalah keinginan atau hasrat mendasar, misalnya makan, minum, seks, dan lain-lain. Ego mengadakan kontak dengan dunia realitas yang ada di luar dirinya, mengatur kepribadian, tempat kedudukan intelegensi dan rasionalitas. Superego merupakan kode moral seseorang, terkait dengan nilai dan norma yang berada pada lingkungan yang telah terinternalisasi oleh dirinya sehingga memberikan keputusan apakah perilaku itu akan muncul atau tidak. Manusia dianggap ideal bila memiliki Id, Ego, dan Superego yang seimbang. Anak-anak jalanan memiliki Id yang lebih besar dari pada Superego. Kebutuhan atau hasrat kebutuhan dasarnya lebih besar dibandingkan dengan Superego yang ada dalam dirinya. Hal demikian terbentuk karena tidak diperolehnya pendidikan tata nilai dan morma masyarakat, kesopanan, dan tata krama dari orang tua atau dari lingkungannya. Ketika anak jalanan berperilaku

15

Page 16: KAJIAN TEORITIS MENGENAI KECERDASAN EMOSIONAL (EMOTIONAL INTELLIGENCE) DALAM PROGRAM PEMBINAAN ANAK JALANAN

tidak baik, tidak ada orang-orang di sekitar yang memperingatkannya sehingga superego mereka tidak terbentuk. Misalnya, anak jalanan yang berbicara denga kasar kepada temannya, tidak mendapatkan pelarangan untuk berbicara denngan baik.

Tindak kekerasan pada agresi anak jalanan dapat muncul juga sebagai akibat dari kombinasi antara frustasi yang intens dengan stimulus (implus) dari luar. Pada hakekatnya setiap orang potensial untuk melakukan tindak kekerasan. Anak jalanan tinggal pada kondisi jalanan yang rentan dengan kekerasan dan bahaya yang menghambat perkembangan fisik, sosial, dan emosinya juga kehidupannya, menjadi salah satu penyebab anak jalanan merasa tertekan dengan kondisi seperti ini. Perlakuan kekerasan dari sindikat, pihak keamanan, atau sesama teman mereka, dan eksploitasi menjadi makanan situasi yang harus diasupi setiap hari. Anak jalanan yang berdasarkan kriteria Departemen Sosial RI, berusia di bawah 18 tahun harus menghadapi kerasnya kehidupan di jalanan tanpa adanya perlindungan dan kasih sayang yang cukup dari orangtuanya. Sehingga hal ini membuat anak menjadi frustrasi dan bila suatu stimulus muncul ketika anak merasa benar-benar dalam kondisi tertekan maka akan muncul respon agresif dari kondisi ini.

Ciri kepribadian (personality trait) seseorang sejak masa balita hingga remaja berkembang melalui tahapan perkembangan kognitif, respon perasaan, dan pola perilaku yang terbentuk melalui interaksi faktor herediter- tempramen (nature) dan faktor pola asuh-kondisi sosial lingkungan (nurture), yang membentuk ciri kepribadiannya di masa dewasa. Pola kepribadian tersebut yang membentuk respon dari pikiran dan perasaan seseorang saat menerima stimulus dari luar, khususnya pada saat kondisi menerima stimulus ‘ancaman’. Bila refleks yang telah terpola berupa tindakan kekerasan maka saat stimulus ‘ancaman’ hadir, respon perilaku yang muncul adalah perilaku agresif. Hal ini juga menjadi salah satu kajian yang membahas bagaimana agresivitas itu muncul pada anak jalanan. Kondisi lingkungan jalanan yang dinamis dan penuh dengan bahaya, pola pikir anak jalanan yang sudah terprogram melakukan tindak kekerasan maka akan muncul respon agresif.

Kekerasan (violence) merupakan suatu bentuk perilaku agresi (aggressive behavior) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain. Dari beberapa perspektif teori yang membahas tentang bentuk perilaku kekerasan pada anak jalanan ditemukan bahwa agresivitas muncul jika terdapat stimulus yang memungkinkan seseorang memunculkan agresivitas, misalnya kondisi yang mengancam, maka pada kondisi tersebut anak jalanan akan melakukan tindakan agresi hasil belajarnya sebagai respon dari ‘ancaman’ tadi baik secara verbal maupun non-verbal. Dalam mewujudkan tujuan MDGs, salah satunya menjadi program kerja Kementerian Sosial adalah membebaskan Indonesia dari anak jalanan pada 2014, diperlukan sebuah peran kerja sinergis dari seluruh lapisan maupun struktural masyarakat

16

Page 17: KAJIAN TEORITIS MENGENAI KECERDASAN EMOSIONAL (EMOTIONAL INTELLIGENCE) DALAM PROGRAM PEMBINAAN ANAK JALANAN

dalam menangani masalah anak jalanan yang tahun demi tahun semakin bertambah jumlahnya.

Beberapa program telah dibuat oleh pemerintah, seperti rumah singgah, mobil sahabat anak, dan boarding house. Namun beberapa sudah tidak terdengar lagi eksistensi keberadaan program-program tersebut. Program terbaru kota layak anak menjadi salah satu alternatif untuk memberantas anak-anak jalanan, hal ini merupakan kota/kabupaten yang memberi kesan aman dan nyaman bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Namun, hal terpenting untuk mengurangi perilaku agresif dari anak jalanan adalah tersedianya pendampingan dan pelatihan pada program pembinaan rumah singgah menggunakan pengkajian dan penerapan teori kecerdasan emosional sehingga diharapkan perilaku agresivitas dapat berkurang karena terinternalisasi nilai-nilai positif melalui pembinaan sosial. Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengerti dan mengendalikan emosi. Termasuk di dalamnya kemampuan untuk membina hubungan dengan orang lain di sekitarnya. Jika anak jalanan ini diberikan keterampilan emotional coping yang baik maka perilaku agresif menjadi berkurang pada mereka serta pembuatan kota layak anak akan terealisasi dengan baik.

Kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain. Penerapan kajian teoritis kecerdasan emosional dalam upaya penanganan anak jalanan adalah dengan menyertakan teori sebagai landasan dalam menciptakan program-program pembinaan dan pendampingan yang berkualitas di rumah singgah sehingga tujuan terbentuknya rumah singgah sebagai media perantara dalam membantu anak jalanan mengatasi permasalahannya dan membentuk kembali sikap dan perilaku sesuai dengan sistem nilai dan norma yang berlaku di masyarakat akan tercapai.

Program-program pembinaan yang dibuat pun harus mencakup lima komponen kecerdasan emosi agar peran dan fungsi rumah singgah sebagai tempat meeting point, pusat diagnosa dan rujukan, fasilitator, perlindungan, pusat informasi, kuratif dan rehabilitatif, akses terhadap pelayanan, dan resosialisasi dalam rangka pemberdayaan anak jalanan terealisasi dengan baik:

a. Program yang dapat membantu anak jalanan dalam mengenali emosinya sendiri dengan baik sehingga dapat mengembalikan rasa kepercayaan dirinya kembali. Contohnya: kemampuan membaca situasi, setiap anak jalanan diberikan sebuah permainan yang sebagai simulator sehingga anak jalanan akan mampu menghadapi kehidupan di realita yang sebenarnya.

b. Program yang membina pengendalian emosi dalam menyelesaikan suau masalah. Anak jalanan yang memiliki kemampuan ini akan memiliki pikiran positif terhadap masalah yang tengah dihadapinya sehingga tekanan emosi

17

Page 18: KAJIAN TEORITIS MENGENAI KECERDASAN EMOSIONAL (EMOTIONAL INTELLIGENCE) DALAM PROGRAM PEMBINAAN ANAK JALANAN

tidak akan mempengaruhinya dalam penyelesaian masalah. Anak jalanan diberikan kesempatan untuk mendekati masyarakat. Kondisi penerimaan maupun penolakan dari masyarakat harus diterima dengan perasaan terbuka sehingga mereka mampu mengendalikan kondisi dan situasi emosi yang tidak menentu.

c. Program yang memotivasi anak ajalanan agar memiliki kemauan yang mampu menggerakkan dirinya dan memberi panduan terhadap dirinya dalam mencapai tujuan. Dengan memiliki motivasi, diharapkan anak jalanan akan mampu mengambil inisiatif dalam memperbaiki dirinya dan berpikir positif dalam menghapai permasalahan. Rumah singgah yang baik adalah yang juga menyediakan fasilitas pengembangan diri untuk anak jalanan, baik keterampilan fisik, seperti bengkel otomotif, menjahit, atau wirausaha sehingga mereka memiliki bekal untuk keberlangsungan hidup setelah lepas dari jalanan.

d. Program yang mengenalkan emosi orang lain kepada anak jalanan atau mengajarkan empati sehingga mampu merasakan perasaan orang lain, memahami sudut pandang orang lain, dan mampu menciptakan keserasian dalam hubungannya dengan orang lain. Contoh: belajar mendengarkan orang lain dan berempati terhadap perasaan orang lain.

e. Program yang melakukan pembinaan dengan lingkungan sosial, merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai yakni reosialisasi. Anak-anak jalanan dapat dibaurkan atau digabungkan secara alami agar dapat saling berinteraksi dan belajar memahami emosi yang terjadi di dalam dirinya. Selain itu, program ini dapat berbentuk ‘one parent, one child’ dimana masyarakat juga harus turut berperan dalam pembinaan ini bukan hanya pekerja sosial yang tergabung dalam suatu rumah singgah saja. Sehingga afeksi orangtua dapat mereka rasakan kembali dan peran kontrol juga diberdayakan kembali.

Rumah singgah yang bermakna media perantara antara pekerja sosial dan anak jalanan akan sia-sia keberadaannya jika tempat tersebut tidak mampu memberikan kebermanfaatan jangka panjang bagi anak jalanan yang dibina di sana. Sehingga bukan hanya keterampilan fisik yang dibekalkan kepada anak jalanan, tetapi juga sebuah sistem nilai dan norma yang terinternalisasi dengan baik yang akan mengubah pola pikir dan perilaku anak jalanan yang semula bertindak agresif menjadi berkurang, mampu mengendalikan emosi. Anak jalanan sebaiknya tidak diberikan bantuan yang bersifat jangka pendek, seperti uang, makanan, hingga alat permainan dan tidak memanjakanan anak jalanan dengan materi dan fasilitas. Fenomena ini menyebabkan aktivitas keluar masuk anak jalanan dari rumah singgah yang satu ke yang lain cukup tinggi.

Proses jangka panjang dalam mengubah intensitas perilaku agresif menjadi lebih berkurang atau bahkan hilang akan mengalami kesulitan. Kebanyakan anak akan merasa tidak senang jika harus mengubah perilaku yang

18

Page 19: KAJIAN TEORITIS MENGENAI KECERDASAN EMOSIONAL (EMOTIONAL INTELLIGENCE) DALAM PROGRAM PEMBINAAN ANAK JALANAN

sudah menjadi suatu kebiasaan. Kesulitan ini juga terjadi karena waktu terbanyak yang dihabiskan oleh anak jalanan adalah di jalan-jalan maka kualitas waktu di rumah singgah dalam membentuk nilai dan norma yang baik harus menjadi prioritas utama dalam pembinaan di waktu yang singkat. Berdasarkan penelitian Lochman, anak agresif jika diberikan pembinaan yang intensif maka perilaku agresivitas cenderung berkurang. Mengacu pada hasil penelitian dari Lochman (dalam buku Emotional Intelligence, hlm. 237-239) program pembinaan berdasarkan landasan teoritis kecerdasan emosional diharapkan menjadi formula baru dalam pembinaan anak-anak jalanan sekaligus membantu pemerintah mengentaskan anak jalanan tahun 2014.

KESIMPULAN

Kehidupan jalanan yang mengancam kehidupan dan perkembangan fisik, psikis, dan sosial anak jalanan menjadi suatu fenomena yang semakin meningkat tahun demi tahunnya di kota-kota besar Indonesia. Kehidupan jalanan identik dengan perilaku kekerasan dan tindakan eksploitasi para awak kehidupannya. Kekerasan merupakan salah satu bentuk agresivitas yang kini tidak asing lagi terlihat pada anak jalanan. Sumber-sumber agresivitas itu dapat diuraikan melalui beberapa perpektif teori psikologi, seperti Social-Learning Bandura, psikoanalisa, dan personality-trait. Perilaku agresivitas pada anak jalanan dapat dikurangi melalui pembinaan dan pndampingan rumah singgah yang program-program pelaksanaannya berdasarkan teori kecerdasan emosional atau Emotional Intelligence (EI).

Berdasarkan kajian teoritis, indikator-indikator dalam kedua teori Agresivitas dan Kecerdasan Emosisonal memiliki satu benang merah yang menghubungkan keduanya sehingga penerapan teori kecerdasan emosional dalam mengurangi respon agresif anak jalanan dapat dilakukan dengan program pembinaan dan pendampingan yang aplikaif dan komprehensif. Proses jangka panjang pembinaan dan pendampingan berusaha untuk mengubah tata nilai dan norma sehingga mereka dapat tampil dengan perilaku sesuai harapan masyarakat sebagai tujuan untu membantu pemerinta RI dalam menunaikan target MDGs, khusunya Kemeterian Sosial RI dalam misi membebaskan anak jalanan 2014.

19

Page 20: KAJIAN TEORITIS MENGENAI KECERDASAN EMOSIONAL (EMOTIONAL INTELLIGENCE) DALAM PROGRAM PEMBINAAN ANAK JALANAN

DAFTAR PUSTAKA

Bandura, Albert. (1977). Social Learning Theory. New jersey: Prentice-Hall, Inc.

Goleman, Daniel. (1995). Emotional Intelligence. School for Bullies (237-239). New York: Bantam Books.

Goleman, Daniel. (2007). Emotional Intelligence. Kecerdasan Emosional ‘Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ’. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Krahe, Barbara. (2001). The Social Psychology of Aggresion: Perilaku Agresif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Myers, David G. (2010). Social Psychology (10th ed.). United States: McGraw-Hill International Edition.

Kassin, Saul., Fein, Steven.,Markus, Hazel R. (2008). Social Psychology (7th ed.). Situational Influences on Aggression (406-411). Boston, USA: Houghton Mifflin Company.

Anonim1. 1997. The Results of a Search of the Scholarly Literature about Latin American Street Children: as it Pertains to Their Health, with Special Emphasis on Mental Health. Presented with permission by the student author in Paul Anderson's Latin America course in Spring 1997. http://lilt.ilstu.edu/psanders/litsearch/streetchildren.htm (diakses 20 Maret 2011)

Anonim2. Emotional Processing. Emotional Concepts: Emotional Intelligents. http://www.emotionalprocessing.org.uk/emotion%20concepts/Emotional%20intelligence.htm (diakses 14 Maret 2011)

Mayer, John D., Salovey, Peter., Caruso, David R. (2004). Emotional Intelligence: Theory, Findings, and Implications. Lawrence Erlbaum Associates, Inc. http://www.unh.edu/emotional_intelligence/EI%20Assets/Reprints...EI%20Proper/EI2004MayerSaloveyCarusotarget.pdf (diakses pada 19 Maret 2011)

20


Recommended