Kekejaman & kekerasan struktural di era Soeharto(1/9)
Received on Wed Aug 12 09:30:38 MET DST 1998
----------------------------------------------------------
PENGANTAR:
Dr. Hermawan Sulistiyo membutuhkan waktu 13 tahun untuk menyelesaikan disertasinya
tentang pembantaian dan kekejaman massal yang terjadi di daerah Jawa Timur pada
tahun 1965-66 sebagai kelanjutan dari peristiwa G30S. Disertasi itu dijadikannya buku
berjudul "The Forgotten Years".
Tepat sekali judul buku Dr. Sulistyo itu mencerminkan keadaan kita sekarang. Seolah-
olah kita sekarang telah melupakan pembantaian besar-besaran oleh ABRI dan bangsa
sendiri terhadap bangsa sendiri --sebagian terbesar dari mereka tidak tahu apa-apa dan
tidak berdosa.
Pembantaian itu memakan korban sekurang-kurangnya 500 ribu orang, kalau tidak
hendak dikatakan jauh lebih banyak lagi. Seolah-olah kita membenarkan apa yang pernah
menggemparkan dunia itu, dengan dalih "penumpasan PKI dan Komunisme yang jahat
dan anti-Tuhan".
Kekejaman itu telah mengantarkan bangsa Indonesia memasuki era Orde Baru, dan
kemudian terbukti telah menjadi bagian dari struktur dan sistem kekuasaan Orde Baru
sampai tumbangnya di tahun 1998. Orde Baru itu sendiri berdiri sebagai hasil
penggulingan kekuasaan Presiden Sukarno dan sekaligus penumpasan PKI. Dalih
langsung yang digunakan waktu itu adalah "penumpasan G30S yang melakukan upaya
kudeta terhadap pemerintahan yang sah."
Namun -- sebagaimana diajukan dalam tesis David Johnson, Center for Defense
Information, AS, (lihat artikel "[SP] Bukan G30S/PKI melainkan G30S/Soeharto #1-#4"
yang ditayangkan kemarin dalam MILIS-SPIRITUAL) -- justru Soeharto-lah yang
dicurigai merupakan dalang G30S, bekerja sama dengan CIA. Faktanya KASAD Jenderal
Ahmad Yani bersama kelima jenderal
Pahlawan Revolusi lainnya telah dibantai oleh kesatuan-kesatuan G30S yang berasal dari
Kostrad, sedangkan Soeharto sendiri, Panglima Kostrad waktu itu, secara aneh "lolos"
dari kekejaman G30S.
Betapa kejamnya pembunuhan-pembunuhan bermotif politik itu terungkap secara grafis
dalam artikel #9; begitu sadis, sebaiknya tidak dibaca oleh mereka yang berhati lembut.
(Sekalipun di sini artikel itu tidak jelas sumbernya, namun barang siapa yang telah
menginjak usia remaja atau dewasa pada tahun 1965 itu pasti masih ingat apa yang
didengarnya -- atau bahkan mungkin dilihatnya sendiri -- di kampungnya pada waktu
itu.)
Sukar dibayangkan bahwa selama 3 dasawarsa bangsa Indonesia telah dikelabui oleh
suatu rezim yang berkuasa dengan dalih "melaksanakan Pancasila secara murni dan
konsekuen" serta keabsahan konstitusional, namun tangannya berlumuran darah. Ada
suatu penolakan psikologis dalam diri kita, suatu rasa tidak percaya, bahwa selama ini
ternyata kita telah hidup dan menghirup kenikmatan di bawah bayang-bayang dosa dan
kutukan. Ada perasaan sedikit-banyak ikut bersalah di dalam ketidaktahuan dan
keawaman kita.
"Kekerasan muncul karena demokrasi dibungkam," kata Romo Mangunwijaya.
Dan demokrasi dibungkam dengan menyelewengkan Pancasila; Pancasila hanya
digunakan sebagai slogan dan penghias bibir belaka. Itu adalah sifat politis dan struktural
dari Orde Baru.
Serangkaian tulisan ini bertemakan kekerasan dan kekejaman yang merajalela pada era
Orde Baru, terdiri dari:
* "Pancasila Ditunggangi dan Diselewengkan" oleh Kartaprawira (#2);
* "September to Remember", Publikasi 29/1997, Laboratorium Studi Sosial Politik
Indonesia (#3);
* "Pembunuhan 3 Juta Orang dan Kup terhadap Presiden Sukarno", dimuat dalam Pijar,
23 September 1997 (#4);
* "Tak Ada Konsep Seragam dalam Pembunuhan Massal '65", wawancara dengan r.
Hermawan Sulistyo, penulis "The Forgotten Years", Suara INDEPENDEN, o
11/III/September 1997 (#5);
* "Rekayasa Soeharto pada Peringatan 30 September", oleh : Sutandi astraprawira (#6);
* "Beringas di Balik Mitos Kekeluargaan", Topik Utama, Suara INDEPENDEN, o
11/III/September 1997 (#7);
* "Orde Baru Itu Lahir dari Kekerasan", wawancara dengan YB angunwijaya, Topik
Utama, Suara INDEPENDEN, No 11/III/September 1997 #8);
* "Pembantaian Setelah G30S", Topik Utama, Suara INDEPENDEN, No 1/III/September
1997 #9).
Pengungkapan di dalam milis ini dimaksudkan untuk membuka mata kita elebar-lebarnya
akan apa yang terjadi di masa lampau yang belum terlalu auh. Suatu peristiwa mahahebat
yang menimbulkan luka yang dalam pada bangsa kita, luka yang sampai sekarang belum
selesai, menurut Dr Sulistyo. Dan luka itu hanya bisa kita harapkan sembuh -- bukan
dengan ditutup-tutupi -- melainkan dengan dibuka lebar-lebar, dikaji, dihayati secara
berani dan terus terang, diakui bersama, sehingga tidak akan terulang kembali di
kemudian hari. Demikian Romo Mangunwijaya.
Kekejaman & kekerasan struktural di era Soeharto(2/9)
Received on Wed Aug 12 09:31:09 MET DST 1998
----------------------------------------------------------
Memperingati GESTAPU/GESTOK 1965
PANCASILA DITUNGGANGI DAN DISELEWENGKAN
==========================================
Oleh Kartaprawira
Re: LPSI ONLINE EDISI, 04 Oktober 1997
PENYEGARAN PENGAMALAN PANCASILA
(Memperingati Kesaktian Pancasila 1 Oktober 1965)
Mengapa 1 Oktober dijadikan Hari Kesaktian Pancasila? Peristiwa G30S
memang suatu peristiwa bersejarah yang perlu diteliti secara tuntas,
obyektif dan tanpa apriori untuk ditarik pelajaran-pelajaran tertentu
bagi rakyat Indonesia. Sebab dalam peristiwa itu ternyata banyak
adegan-adegan yang perlu dibongkar secara transparan, jelas dan tuntas
demi keadilan, misalnya:
- Tersangkutnya Mayjen Suharto (kini presiden RI) dalam peristiwa G30S,
berhubung dia telah mengetahui sebelumnya akan adanya gerakan tersebut.
Dia sangat bertanggung jawab terjadinya malapetaka tersebut, sebab tidak
melaporkan kepada Presiden Soekarno. Dengan demikian logis kalau dia
juga harus bertanggung jawab atas kematian jenderal-jenderal di
Lubangbuaya. Apa latar belakangnya?
- Mengapa mayjen Suharto tidak mematuhi perintah Presiden Soekarno
(Pangti) 1 Oktober 1965 untuk menghentikan semua gerakan militer?
Mengapa Mayjen Suharto memboikot pengangkatan Pranoto Reksosamodro
sebagai Pangad? Mengapa Aidit yang dituduh sebagai organisator G30S
dibunuh, sehingga tidak dapat diambil kesaksiannya yang diperlukan dalam
pengadilan mengenai G30S? Dari beberapa misal tersebut dapatlah diambil
kesimpulan bahwa peristiwa G30S belumlah tuntas jelas.
Tapi mengapa Pancasila dihubung-hubungkan dengan peristiwa G30S, kalau
peristiwa G30S-nya sendiri belum tuntas jelas? Bukankah belum jelas juga
apakah G30S anti Pancasila? Maka adalah suatu tanda tanya besar mengapa
tanggal 1 Oktober dijadikan "Hari Kesaktian Pancasila", disamping
penghapusan hari Lahirnya Pancasila' 1 Juni. Apakah ini juga bukan
rekayasa lagi untuk menjadikan Pancasila sebagai topeng atau kuda
tunggangan demi maksud-maksud politik tertentu?
Rakyat Indonesia telah belajar dari kegagalan-kegagalan perjuangan nenek
moyangnya melawan kolonialisme. Berkat rahmat Tuhan, dengan menyandang
Pancasila rakyat Indonesia yang bermacam-macam sukunya, agamanya dan
bahasanya telah bersatu padu berjuang untuk mendirikan Negara Indonesia
Merdeka dan berhasil mempertahankannya dari usaha kaum kolonialis
Belanda yang ingin menjajah kembali. Dengan dijiwai Pancasila pula
rakyat Indonesia telah berhasil mempertahankan keutuhan negara Indonesia
dari bahaya perpecahan. Satu demi satu pemberontakan-pemberontakan
(Republik Maluku Selatan, PRRI-Permesta, DI-TII dan lain-lainnya)
berhasil dipatahkan. Dan akhirnya pada tahun 1962 Irian Barat dapat
direbut kembali meski melalui perjuangan fisik dan diplomasi yang berat.
Hal-hal tersebut diatas membuktikan kesaktian Pancasila.
Tapi toh tidak perlu pada hari jatuhnya RMS dijadikan Hari Kesaktian
Pancasila? Tapi toh tidak perlu hari runtuhnya PRRI-Permesta dijadikan
Hari Kesaktian Pancasila? Tapi toh tidak perlu hari direbutnya kembali
Irian Barat dijadikan Hari Kesaktian Pancasila? Jawaban mengapa 1
Oktober dijadikan Hari Kesaktian Pancasila adalah rekayasa penguasa
untuk menunggangi Pancasila demi kepentingan-kepentingan politik.
Memang benarlah apa yang ditulis LPSI bahwa tekad pelaksanaan Pancasila
secara murni dan konsekwen itu "perlu dipertanyakan terus menerus agar
tetap segar dan tidak sekedar jadi slogan politik sementara isinya tidak
pernah tersentuh". Dan benarlah tulisan kritis LPSI mengenai pengamalan
Pancasila yang ditelaah dari sisi kebijakan penguasa dalam menangani
bencana kebakaran hutan dan kebijakan dalam lapangan transportasi yang
tidak sesuai dengan Pancasila.
Tapi kami berpendapat bahwa banyak persoalan-persoalan prinsipiil yang
merupakan penyelewengan Pancasila tidak mendapat perhatian LPSI. Padahal
penyelewengan Pancasila tersebut mempunyai dampak yang sangat
membahayakan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Disini kiranya perlu
kami ulang kembali beberapa bagian apa yang pernah kami tulis mengenai
hal tersebut(#).
Kita tidak boleh menutup mata bahwa di samping kesaktian yang telah
terbukti, ternyata dalam perjalanan sejarah selanjutnya, pusaka sakti
Pancasila tidak sepenuhnya berhasil digunakan. Malah ada kesan dia
disimpan dalam lemari kaca sebagai perhiasan belaka. Dan Pancasila hanya
dijadikan label dalam segala move politik penguasa, demi untuk
kepentingan-kepentingannya yang sesungguhnya jauh dari bau-baunya
hakekat Pancasila. Sehingga hal itu mengakibatkan timbulnya keresahan,
kegoncangan, dan kesenjangan dalam masyarakat. Akibatnya akhir-akhir ini
(1996-97) di banyak tempat di Indonesia timbul kerusuhan-kerusuhan yang
mengakibatkan korban jiwa, raga dan harta-benda (Situbondo, Tasikmalaya,
Rengasdengklok, Kalimantan Barat, Banjarmasin, Ujungpandang dan
lain-lainnya). Dengan adanya pembakaran gereja-gereja dan tempat ibadah
lainnya, telah membuktikan tentang adanya bahaya yang mengancam ajaran
toleransi antar-agama yang terkandung dalam Sila Ketuhanan Yang Maha
Esa. Dengan adanya bentrokan fisik antara orang-orang Dayak dan
orang-orang Madura di Kalimantan Barat yang mengorbankan ratusan
(mungkin ribuan) nyawa juga membuktikan adanya bahaya yang mengancam
atas ajaran kerukunan antar-sukubangsa yang terkandung di dalam Sila
Persatuan Indonesia (Nasionalisme). Meskipun demikian tidaklah berarti
bahwa Pancasila telah kehilangan kesaktiannya. Bagaimana mungkin bisa
dimanfaatkan kesaktiannya, kalau Pancasila diselewengkan, dipenjara
dalam almari kaca, hanya labelnya sajalah yang ditempelkan dimana-mana?
Yang sangat tidak terpuji adalah ucapan Menteri Agama Dr. Tarmizi Taher.
di Surabaya (17 Juni '97) dihadapan 500 kyai, yang di atas mimbar dengan
keras mengucapkan: 'Halal darah dan nyawa para perusuh' dengan diikuti
pekikan Allahu Akbar. Tarmizi Taher jelas tidak berjiwa pancasilais,
sebab dengan mudah menggunakan pendekatan 'pembasmian' (bertentangan
dengan jiwa Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab) terhadap sesama
bangsa sendiri (bertentangan dengan jiwa Sila Persatuan Indonesia atau
Nasionalisme). Bahkan dalam ajaran Islampun dimungkinkan adanya
pendekatan-pendekatan lainnya. Apakah Tarmizi tidak akan terusik
jiwanya, kalau para perusuh itu ternyata juga muslimin, seperti terjadi
dimana-mana sekarang ini? Suatu kebodohan besar kalau dia menyimpulkan
bahwa para perusuh itu PASTI orang komunis atau anak-cucunya yang mau
balas dendam. Saya kira Tarmizi sebagai menteri harus masih banyak
belajar mengenai hakekat Pancasila dan lebih bijak dalam mengeluarkan
pikirannya. Apakah ucapan Tarmizi di Surabaya tersebut tidak bisa
dinilai sebagai provokasi untuk lebih memperkeruh situasi yang sangat
rawan dewasa ini, untuk membakar rasa permusuhan antar-ummat? Apakah
ucapan Tarmizi tersebut secara tidak langsung tidak bertujuan untuk
menyelewengkan hakekat Pancasila?
Harus kita akui bahwa sila Demokrasi (Musyawarah-mufakat) belum berjalan
seperti apa yang diinginkan. Dewasa ini banyak suara protes yang
menuntut pelaksanaan demokrasi, baik di forum-forum ilmiah maupun dalam
forum gerakan-gerakan unjuk rasa. Bahkan penguasa Orba sendiri dalam
padato-pidatonya banyak menyinggung masalah yang berhubungan dengan
pengembangan demokrasi (lepas apakah itu keluar dari hati nuraninya
ataukah hanya untuk lamis-lamis saja). Itu semua membuktikan bahwa
jalannya demokrasi tidak beres, pincang, tidak berkembang, sehingga
perlu dibenahi supaya berjalan wajar dan lancar sesuai dengan tuntutan
hakekat Pancasila. Dewasa ini dengan nyata bahwa 5 paket UU politik dan
pelaksanaan Dwifungsi ABRI telah merupakan perangkat politik yang
jelas-jelas menjegal realisasi sila Demokrasi, sehingga dapat dikatakan
demokrasi tidak berjalan. Misalnya, sistim kepartaian yang membatasi
hanya 3 partai saja (Golkar, PPP, PDI). Ini berarti orang yang tidak
mendukung ketiga partai tersebut (karena tidak setuju dengan programnya)
kehilangan hak demokrasinya. Sedang UU tentang susunan dan keanggotaan
MPR jelas-jelas menjamin apa saja yang dikehendaki penguasa dalam
kaitannya dengan pemilihan presiden dan pembentukan GBHN. Juga
pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI telah memungkinkan adanya pemerintahan yang
totaliter-otoriter-militeristik.
Sangat memprihatinkan adalah kenyataan realisasi sila Keadilan Sosial,
yang tergambar sebagai makin melebarnya jurang pemisah antara sikaya dan
simiskin, yang menjadi sumber dari segala keresahan di dalam masyarakat.
Benarlah teori 'rumput kering' Amien Rais, dimana kesenjangan sosial ini
diumpamakan sebagai rumput kering. Siapa saja yang melempar api
kepadanya maka akan terbakarlah rumput tersebut dan terjadilah
malapetaka yang tragis. Sedang api tersebut bisa berasal dari
macam-macam pembakar, tidak mesti dari bensin yang disulut, tapi bisa
juga dari puntung rokok. Jelasnya api penyulutnya itu bisa dari
perselisihan etnis, agama, politik, dan apa saja. Seandainya kue hasil
pembangunan itu bisa mengucur ke bawah, ke rakyat, mungkin kesenjangan
sosial sedikit demi sedikt bisa diatasi.
Tapi sampai sekarang kue pembangunan tersebut hanya dinikmati para
lapisan atas. Padahal untuk membiayai terciptanya 'kue pembangunan' ini
telah dikeruk habis-habis kekayaan rakyat (minyak, gas, hutan, emas
dll.) ditambah dengan hutang luar negeri yang berjumlah lebih dari 200
milyar USD. Maka jelaslah 'pemerataan' yang pada tahun-tahun silam ramai
dibicarakan di Indonesia (berkat udara perestroikanya Gorbacev yang
sempat mengalir ke Indonesia), sukar diharapkan realisasinya. Ada suatu
anggapan bahwa lapisan atas dengan sengaja berusaha melupakan katakunci
'pemerataan', yang sejak dulu (sebelum adanya perestroikanya Gorbacev)
telah merupakan salah satu tujuan dari Sila Keadilan Sosial.
Pembangunan yang berwujud gedung-gedung tinggi megah, obyek-obyek
rekreasi mewah, jalan-jalan aspal halus dan sebagainya, tidaklah
membantu meringankan derita puluhan juta orang yang hidup disekitar
garis kemiskinan. Kiranya bagi mereka perlu adanya bantuan konsumptif
(yang langsung bisa dimanfaatkan), disamping adanya bantuan produktif
(yang bisa membantu untuk membuka sesuatu usaha di bidang produksi).
Sudah waktunya Indonesia mengambil pelajaran kebijaksanaan pemerintah
negara-negara Eropah yang melaksanakan teori 'solidaritas sosial',
misalnya Nederland, Jerman, Swedia, Denmark, Belgia dan lain-lainnya. Di
Nederland misalnya, seseorang yang penghasilannya sebatas 'gajih
minimum', berhak mendapat bantuan-bantuan tertentu, misalnya bantuan
subsidi sewa rumah, tunjangan anak-anak dll. Sedang orang yang karena
sesuatu hal tidak mempunyai nafkah (belum/tidak mendapatkan pekerjaan)
menerima uang tunjangan sosial sebanyak f.1330,- tiap bulan bagi orang
yang hidup sendirian, sedang bagi orang yang hidup berkeluarga jumlah
yang diterima lebih banyak lagi (sebesar gaji minimum). Selain itu
mereka masih mendapat tunjangan-tunjangan lainnya, misalnya subsidi sewa
rumah, uang vakansi tahunan dan lain-lainnya.
Ketika saya berkesempatan berbincang-bincang dengan seorang sahabat,
dosen IAIN yang pernah tugas belajar di Nederland, dia dengan mata
menyala-nyala mengomentari hal tersebut diatas: "Betul-betul
kebijaksanaan yang Islami, padahal Nederland bukanlah negara Islam, dan
tidak mempunyai Pancasila. Sungguh luar biasa!". Kalau dia tahu bahwa
peraturan tersebut berlaku tidak hanya terhadap warganegaranya saja,
tapi juga terhadap orang asing yang mempunyai izin mukim tetap (waktu
tak terbatas), maka dia akan lebih memuji lagi. Mengapa Indonesia yang
kaya raya dengan kekayaan alamnya yang berlimpah-limpah (apalagi punya
banyak orang supra-kaya), dan mempunyai Pancasila, tidak bisa
melaksanakan kebijaksanaan jaminan sosial untuk membantu orang-orang
yang hidup di sekitar garis kemiskinan? (Tentu saja tidak usah sama
sehebat Nederland).
Juga jalannya sila Perikemanusiaan (Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab)
masih perlu diluruskan. Adalah wajar bahwa setiap perbuatan yang melawan
hukum harus ditindak sesuai peraturan hukum yang berlaku. Tapi jelas
tidak wajar bahwa didalam negara hukum Indonesia telah terjadi puluhan
ribu orang bertahum-tahun meringkuk di dalam tahanan tanpa proses hukum
yang ada. Adalah sukar diterima oleh akal sehat bahwa orang yang menjadi
korban penyerbuan (di gedung DPP PDI jalan Diponegoro) malah diseret ke
pengadilan dan dijatuhi hukuman. Sedang para penyerbunya dibiarkan
bebas, seakan-akan tidak melakukan sesuatu yang bersifat kriminal,
seakan-akan sah-sah saja mereka membunuh, menganiaya orang, melakukan
pengrusakan gedung dan isinya. Dimana sila Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab? Bukankah didalam buku Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (Ketetapan MPR No.II/MPR/1978) mengenai Sila Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab kita diharuskan "mengembangkan sikap saling mencintai
sesama manusia, sikap tenggang rasa dan 'tepa slira', serta sikap tidak
semena-mena terhadap orang lain"?
Suatu pertanyaan yang meskipun utopis perlu juga kami teriakkan demi
pelampiasan desakan hati nurani: "Bisakah MPR/DPR (1997-2002)berbuat
sesuatu demi pelurusan pengamalan Pancasila secara murni dan konsekwen?
Berani dan mampukah MPR/DPR memperjuangkan aspirasi rakyat yang
'diwakili', sesuai dengan tuntutan filsafat/dasar negara Pancasila.
---------
#) Kartaprawira, 'Pancasila: Pusaka Sakti Untuk Perdamaian, Persatuan dan
Kemakmuran',
Indonesia-l, 25 Juni 1997.
Kekejaman & kekerasan struktural di era Soeharto(3/9)
=============================================================
Publikasi 29/1997
LABORATORIUM STUDI SOSIAL POLITIK INDONESIA
Motto: Membela Pancasila dan UUD'45
Email: [email protected], [email protected]
============================================================
SEPTEMBER TO REMEMBER
30 September datang dan pergi lagi. Walaupun ritus apa yang dinamakan
'Hari Kesaktian Pancasila' masih diteruskan, makin terasa kehampaan
upacara-upacara serta kegiatan resmi lainnya yang diselenggarakan dalam
rangka hari yang dikaitkan dengan apa yang dinamakan pemberontakan
"G30S/PKI". Kian tampak bahwa hari itu tak ada kaitannya dengan
Pancasila, tak ada hubungannya pula dengan kesaktian.
Generasi manusia di kemuidian hari akan mencatat bahwa versi yang
disuguhkan oleh pemerintah Orba dengan bekerja sama dengan vested
interest asing mengenai segala sesuatu yang terjadi sekitar "G30/PKI",
merupakan salah satu 'cover up story' yang paling besar dalam sejarah
politik pada abad ke-20 ini. Walaupun fakta-faktanya belum tersingkap
semua dan masih ada serentetan pertanyaan yang belum terjawab mengenai
peristiwa ini, banyak orang kian yakin bahwa PKI bukan biang keladi
peristiwa itu, malah jadi korbannya.
Logika adalah sesuatu yang inheren dalam pikiran manusia, meskipun
kemampuan untuk menggunakannya berbeda-beda derajatnya pada setiap
orang. Logika itu bisa dilumpuhkan sementara dengan berbagai cara, tapi
tidak untuk selama-lamanya. Pada kenyataan inilah dapat kita temukan
salah satu penjelasan mengapa rencana menyelenggarakan seminar Nawaksara
beberapa waktu yang lalu dibatalkan oleh pemrakarsanya sendiri, yakni
penguasa tertinggi Orba. Yang perlu ditegaskan dalam konteks ini adalah
bahwa prakarsa itu timbul karena Soeharto masih mampu menyadari bahwa
dirinya mendapat sorotan utama negatip dalam analisa orang yang
menggunakan logika.
Menyingkap kabut misteri yang menyelubungi "G30S" merupakan suatu hal
yang akan mendamaikan hati kita dalam berhadapan dengan sejarah. Tanpa
itu kita tak bisa lepas dari asap maharaksasa yang ditimbulkan oleh rekayasa.
Bagi orang yang berbalik pikirannya mengenai peristiwa tragis itu, mudah
tergoda untuk menyangsikan tuduhan-tuduhan Orba terhadap PKI mengenai
peristiwa Madiun yang juga terjadi dalam bulan September (1948). Ini
juga hasil proses penalaran logis.
Beberapa waktu yang lalu, dalam majalah Tiras, wartawan senior Rosihan
Anwar menulis sesuatu tentang peristiwa Madiun, dengan judul 'Wild
West'. Sorotannya khusus ditujukan terhadap prolog peristiwa itu. Tentu
diperlukan logika dan obyektivitas sebelum menerima atau menolak
kebenaran tulisan itu.
Mengenai peristiwa "G30S" ada seorang saksi mahkota yang tak pernah
diberi kesempatan untuk memberikan kesaksiannya. Ia cepat-cepat dibunuh
atas perintah Jendral Soeharto, jauh sebelum ia membubarkan PKI dengan
menggunakan Supersemar. Nama saksi ini adalah D.N. Aidit, pemimpin utama
PKI.
Lain halnya dengan kasus apa yang dinamakan "pemberontakan PKI" di
Madiun 1948. Kira-kira 10 tahun yang lalu saya membaca sebuah brosur
yang berisi pleidooi D.N. Aidit mengenai peristiwa itu. Berjudul
"Menggugat peristiwa Madiun", brosur itu diterbitkan dan dijual bebas,
bahkan dicetak sampai ampat kali pada jaman pra-Orba. Kali terakhir di
tahun 1964. Sayang buku itu pinjaman, dan pemiliknya kini entah di mana.
Demi obyektivitas, baik sekali kalau tulisan itu dimuat di forum
Apakabar ini. Siapa yang punya naskah itu?
Kita perlu mendengar apa yang dikatakan oleh Rosihan Anwar dan
orang-orang lain. Tapi kita perlu juga mendengar kisah yang diceritakan
oleh orang PKI sendiri. Karena itu, berilah kesempatan kepada Aidit
untuk bicara. Dua-duanya, begitu juga tulisan-tulisan lain mengenai hal
yang sama, perlu disikapi secara ilmiah.
PEMBUNUHAN 3 JUTA ORANG DAN
KUP TERHADAP PRESIDEN SUKARNO.
Dini hari tanggal 1 Oktober 1965, 32 tahun yang lalu Gerakan 30
September melancarkan aksinya terhadap "Dewan Jenderal". Aksi yang
semula direncanakan tanggal 30 September oleh penanggungjawabnya diubah
menjadi 1 Oktober 1965. Sesudah peristiwa tersebut setiap tanggal 1
Oktober selalu diperingati oleh penguasa orde baru-Suharto keberhasilan
menggunakan G30S sebagai alasan untuk menindas dan menghancurkan,
membunuh 3 juta orang PKI, progresif dan rakyat biasa, menggulingkan
Presiden Sukarno, merebut kekuasaannya dan menawannya hingga meninggal.
Peristiwa besar ini mempunyai pengaruh yang besar dan dalam, bukan hanya
pada waktu itu tetapi juga sampai sekarang, bukan hanya secara nasional
tetapi juga internasional. Ia mengubah jalan, arah revolusi, sejarah
Indonesia, dari arah mencapai Indonesia merdeka yang demokratis menjadi
Indonesia yang militeris fasistis. Namun sampai hari ini di Indonesia
masih belum jelas benar apakah peristiwa itu sebenarnya, siapakah aktor
yang berdiri dibelakangnya dan apakah peranan Jenderal Suharto.
Dalam menelaah peristiwa besar ini tidak dapat melepaskan dari situasi
politik secara Internasional yaitu 'Perang Dingin' waktu itu, situasi
politik regional dan dalam negeri Indonesia, pertentangan antara partai
politik, golongan, kelas-kelas, perseorangan dengan kepentingan,
karakter, ambisi, posisinya masing-masing yang berbeda dan bertentangan
satu sama lainnya yang mempunyai pengaruh sangat dalam terhadap
terjadinya peristiwa G30S.
Banyak orang, dari berbagai kelompok kepentingan memainkan peranan
berbeda bahkan bertentangan satu sama lain. Salah satu peranan besar
yang mempunyai pengaruh menentukan bangsa ini ialah peran Jenderal
Suharto, Presiden RI sekarang ini.
Peran apakan yang dimainkan oleh Jenderal Suharto, terutama pada malam
menjelang 1 Oktober 1997 tersebut, maka marilah kita simak kembali
pembelaan kolonel Latief didepan Mahkamah Militer Tinggi II Jawa Bagian
Barat pada tahun 1978.
Suharto Diminta Sebagai Saksi a de Charge
Seperti diketahui, sesudah hampir 13 tahun kolonel Latief ditahan (ia
mulai ditahan 11 Oktober 1965) maka dihadapkanlah dia ke Mahkamah
Militer Tinggi (Mahmilti) II Jawa Bagian Barat pada tahun 1978.
Dalam jawaban kolonel Latief terhadap tanggapan Oditur militer tinggi
pada eksepsi tertuduh & pembela tanggal 6 Mei 1978, antara lain
dikemukakan bahwa Jenderal Suharto terlibat di dalamnya dan dua
persoalan pokok:
(a) Jenderal Suharto terlibat langsung dalam G.30-S (tahu lebih dulu
persoalan G.30-S);
(b) Jenderal Suharto kemudiannya memimpin langsung penggulingan Presiden
Sukarno dan pemerintahannya, tanpa saya ikut di dalamnya.
Mengenai keterlibatan langsung Jenderal Suharto dalam G.30-S, seperti
dikemukakan Kolonel Latief di atas menjadi lebih jelas dengan membaca
surat kolonel Latief tertanggal 9 Mei 1978 yang ditujukan kepada Ketua
Mahmilti II Jawa Bagian Barat mengenai permohonan tambahan saksi. Saksi
yang dimaksudnya saksi a de charge.
Sebagai alasan dari pengajuan tambahan saksi-saksi tsb, kolonel Latief
antara lain mengatakan: "...demi terciptanya hukum yang adil dan tidak
memihak, sesuai dengan UU No 14 thn 1970 pasal 5, dengan ini saya
mengajukan saksi-saksi tambahan untuk diajukan di depan sidang ini:
1. Bapak Jenderal Suharto
2. Ibu Tien Suharto
3. Bapak RM Suharyono, ayah Ibu Tien Suharto
4. Ibu RM Suharyono
5. Ibu kolonel Suyoto
6. Ibu Dul, tamu Ibu Tien Suharto
7. Bapak Dul, tamu Ibu Tien Suharto
8. Ny Suharti, istri saya pada waktu itu
9. Subagiyo anak buah Bapak Jenderal Suharto asal Yogyakarta yang
melaporkan adanya Dewan Jenderal dan Gerakan tanggal 1 Oktober 1965
10. Tuan Brackman yang mewancarai Bapak Jenderal Suharto
11. Wartawan Der Spiegel Jerman Barat yang pernah mewancarai Bapak
Jenderal Suharto.
Tentang tahunya Jenderal Suharto lebih dulu persoalan G.30-S, dapat
diketahui dari "Laporan tentang Dewan Jenderal pada Jenderal Suharto",
yang disampaikan kolonel Latief, diantaranya sbb:
Disini perlu saya ungkapkan dimuka sidang Mahmilti ini agar persoalannya
lebih jelas.
Dua hari sebelum peristiwa tanggal 1 Oktober 1965, saya beserta keluarga
mendatangi ke rumah keluarga Bapak Jenderal Suharto di rumah
jl.H.Agusalim, yang waktu itu beliau masih menjabat sebagai Panglima
Kostrad, disamping acara keluarga, saya juga bermaksud: "menanyakan
dengan adanya info Dewan Jenderal, sekaligus melaporkan kepada beliau".
Oleh beliau sendiri justru memberitahukan kepada saya, bahwa sehari
sebelum saya datang ke rumah beliau, ada seorang bekas anak buahnya
berasal dari Yogyakarta, bernama Soebagiyo, memberitahukan tentang adanya
info Dewan Jenderal AD yang akan mengadakan coup d'etat terhadap kekuasaan
Pemerintahan Presiden Sukarno.
Tanggapan beliau akan diadakan penyelidikan. Oleh karena itu tempat/ruangan
tsb banyak sekali tamu, maka pembicaraan dialihkan dalam soal-soal lain,
antara lain soal rumah.
Saya datang ke rumah Bapak jenderal Suharto bersama istri saya dan tamu
istri saya berasal dari Solo, Ibu kolonel Suyoto dan dalam perjamuan di
ruangan beliau ada terdapat Ibu Tien Suharto, orang tua suami istri Ibu
Tien, tamu Ibu Tien Suharto berasal dari Solo bersama Bapak Dul dan Ibu
Dul, juga termasuk putera bungsu laki-laki Bapak Jenderal Suharto, yang
kemudian harinya ketimpa sup panas.
Jenderal Suharto Berdalih
Selain daripada itu, sesuai laporan seorang penulis bernama Brackman,
menulis tentang wawancara dengan Jenderal Suharto, sesudah peristiwa 1
Oktober 1965, kira-kira pada tahun 1968. Diterangkan bahwa dua hari
sebelum 1 Oktober 1965, demikian kata Jenderal Suharto: anak laki-laki
kami yang berusia 3 tahun mendapat kecelakaan di rumah, ia ketumpahan
sup panas dan cepat-cepat dibawa ke rumah sakit. Banyak kawan-kawan yang
datang menjenguk anak saya di malam tanggal 30 September 1965. Saya juga
berada di situ. Lucunya kalau ingat kembali. Saya ingat kolonel Latief
datang ke rumah sakit malam itu untuk menanyakan kesehatan anak saya.
Saya terharu atas keprihatinannya. Ternyata kemudian Latief adalah orang
penting dalam kup yang kemudian terjadi. Kini menjadi jelas bagi saya
bahwa Latief ke rumah sakit malam itu bukanlah untuk menengok anak saya,
melainkan sebenarnya untuk mengecek saya. Rupanya ia hendak membuktikan
bahwa saya akan terlampau prihatin dengan keadaan anak saya. Saya diam
di rumah sakit sampai menjelang tengah malam dan kemudian pulang ke
rumah.
Adalagi sebuah wawancara dari surat kabar Der Spiegel Jerman Barat pada
bulan Juni 1970 yang menanyakan bagaimana Suharto tidak termasuk dalam
daftar Jenderal-Jenderal yang harus dibunuh, Suharto menjawab:
"Kira-kira jam 11 malam itu, kolonel Latief dari komplotan Pucht datang
ke rumah sakit untuk membunuh saya, tapi nampaknya ia tidak melaksanakan
berhubung kekawatirannya melakukan di tempat umum".
Dari dua versi keterangan tsb diatas yang saling bertentangan satu sama
lain, yaitu yang satu hanya "mencek" dan yang satu "untuk membunuh",
saya kira Hakim Ketua sudah bisa menilai dari dua keterangan tsb dan
akan timbul pertanyaan tentunya: mengapa Latief datang pada saat yang
sepenting itu? Mungkinkah Latief akan membunuh Jendral Suharto pada
malam itu?
Mungkinkah saya akan berbuat jahat kepada orang yang saya hormati, saya
kenal semenjak dahulu yang pernah menjadi komandan saya? Logisnya,
seandainya benar saya berniat membunuh Bapak Jenderal Suharto, pasti
perbuatan saya itu adalah merupakan suatu blunder yang akan menggagalkan
gerakan tanggal 1 Oktober 1965 itu.
Dari dua versi keterangan tersebut menunjukkan bahwa Bapak Jenderal
Suharto berdalih untuk menghindari tanggungjawabnya dan kebingungan.
Yang sebenarnya bahwa saya pada malam itu datang di samping memang
menengok putranya yang sedang terkena musibah, sekaligus untuk "saya
melaporkan akan adanya gerakan pada besok pagi harinya untuk
menggagalkan rencana coup d'etat dari Dewan Jenderal, di mana beliau
sudah tahu sebelumnya".
Memang saya berpendapat, bahwa satu-satunya adalah beliaulah yang saya
anggap loyal terhadap kepemimpinan Presiden Sukarno dan saya kenal
semenjak kecil dari Yogyakarta siapa sebenarnya Bapak Jenderal Suharto
ini. Saya datang atas persetujuan Brigjen Supardjo sendiri bersama
Letkol Untung. Dengan tujuan sewaktu-waktu akan meminta bantuan beliau.
Saya mempercayai kepemimpinan beliau. Seandainya berhasil menggagalkan
usaha coup d'etat Dewan Jendral beliaulah sebagai tampuk pimpinan,
sebagai pembantu setia Presiden Sukarno itu... Beliau yang kami harapkan
akan menjadi pembantu setia Presiden/Mandataris MPR/Panglima tertinggi
Bung Karno, menjadi berubah memusuhinya.
Permintaan saksi tambahan (a de charge) dari Kolonel Latief ini ditolak
Ketua Mahmilti dengan alasan "tidak relevan". Sedang menurut Kolonel
Latief saksi a de charge yang diajukannya adalah penting dan sangat
relevan dalam perkara yang dituduhkan padanya, karena saksi Jenderal
Purn Suharto harus turut bertanggungjawab dalam perkara ini.
Dalih Jenderal Suharto yang bohong itu, yang kepada Brackman menyatakan
kedatangan Latief 30 September malam hanya "untuk mengecek", kepada Der
Spiegel "untuk membunuh", menjadi lebih lengkap dengan cerita dalam
otobiografinya, di mana dikatakan ia bukan bertemu dengan Latief di
RSPAD, melainkan hanya melihat dari ruangan di mana anaknya dirawat, di
mana ia berjaga bersama Ibu Tien, dan Latief jalan di koridor melalui kamar itu.
"Peran" Jenderal Suharto Dalam Operasi G.30-S
Menjadi tanda-tanya: mengapa setelah Kolonel Latief memberi laporan
bahwa besok paginya 1 Oktober 1965 akan dilancarkan operasi guna
menggagalkan rencana coup d'etat Dewan Jenderal, Jenderal Suharto tidak
mencegah, tidak melaporkan kepada atasannya, baik kepada A Yani,
Nasution maupun kepada Presiden Sukarno?
Operasi G.30-S dini hari 1 Oktober 1965 tidak akan terjadi, sekiranya
Jenderal Suharto mencegahnya atau melarangnya, misalnya dengan segera
menangkap Kolonel Latief dan komplotannya! Juga operasi itu tidak akan
terjadi sekiranya Jenderal Suharto melaporkan kepada Jenderal A Yani,
atau kepada Nasution bahkan kepada Presiden Sukarno! Dengan demikian
tidak akan terbunuh 6 Jenderal itu. Peranan Jenderal Suharto sangat
menentukan dalam hal berlangsung atau tidak berlangsungnya operasi
G.30-S di pagi 1 Oktober 1965 itu.
Satu-satunya kemungkinan Jenderal Suharto berkepentingan terbunuhnya
Jenderal Yani. Dengan terbunuhnya Jenderal Yani terbuka peluang bagi
dirinya untuk menjadi orang pertama dalam AD. Karena ada semacam
konsensus di kalangan AD bahwa bila A Yani berhalangan, otomatis
Panglima Kostrad penggantinya. Panglima Kostrad ketika itu ialah dirinya
Jenderal Suharto.
Memang pada waktu itu di AD terdapat 3 golongan perwira tinggi, yaitu
golongan yang berorientasi kiri, tengah dan kanan. Yani cs adalah
perwira tinggi anti-kiri tetapi setia pada Presiden Sukarno dan pernah
memimpin penumpasan terhadap PRRI/Permesta-Pemberontak militer yang
didukung AS/CIA.
Karena peran Jenderal Yani menumpas PRRI/Permesta inilah maka AS/CIA
tidak senang dengan kelompok Yani cs, dan berkepentingan mengenyahkan.
Jenderal Suharto termasuk kelompok kanan yang anti-kiri maupun secara
terselubung anti-Sukarno dan karena itu berkepentingan sesuai ambisi
terselubungnya menggulingkan Presiden Sukarno.
Peluang itu benar-benar digunakan secara maksimal oleh Jenderal Suharto.
Setelah besok paginya ia mendengar Jenderal A Yani terbunuh, ia segera
mengangkat dirinya menjadi pimpinan AD tanpa sepengetahuan
Presiden/Pangti ABRI Sukarno. Padahal pengangkatan seseorang menjadi
Kepala Staf adalah hak prerogatif Presiden/Pangti ABRI. Karena jabatan
itu adalah jabatan politik.
Setelah ia mengangkat dirinya sebagai pemimpin AD, maka tindakan
selanjutnya yang ia lakukan ialah mencegah Jenderal Pranoto Reksosamudro
memenuhi panggilan Presiden/Pangti ABRI untuk datang ke Halim, guna
menerima jabatan sebagai caretaker atau pengganti sementara almarhum A
Yani. Terus disusul dengan langkah memberi petunjuk kepada Presiden
Sukarno melalui Kolonel KKO Bambang Widjanarko agar setiap perintah yang
akan dikeluarkan harus disalurkan melalui dirinya. Juga supaya Presiden
Sukarno segera meninggalkan Halim sebelum tengah malam 1 Oktober 1965,
karena Halim akan diserbu pasukan Kostrad dan RPKAD (Lihat buku "G.30-S
Pemberontakan PKI", hal: 146).
Kenyataan ini menunjukkan bahwa sejak 1 Oktober 1965 kekuasaan secara de
facto berada di tangan Jenderal Suharto. Yang tinggal pada Presiden Sukarno
hanya kekuasaan de jure belaka.
Soebandrio Melibatkan Aidit (PKI)
Untuk menutupi dalang yang sesungguhnya dari G.30-S ialah Jenderal
Suharto sendiri, maka Jenderal Suharto memfitnah PKI sebagai dalang
G.30-S. Hal itu dimungkinkan karena sejak awal Soebandrio (orangnya
Syahrir-PSI) berusaha melibatkan pimpinan PKI, Aidit, untuk dapat
dihancurkan. Hal ini dapat diketahui dari pemeriksaan atas diri Presiden
Sukarno, baik yang dilakukan Mayjen (purn) Sunarso selaku ketua Teperpu,
maupun yang dilakukan Achmad Durmawel sebagai Oditur militer yang
menjadi penuntut dalam pengadilan Soebandrio, seperti yang diberitakan
Forum Keadilan No 14 thn ke-III, 27 Desember 1994.
Menurut Forum Keadilan Mayjen (purn) Sunarso pada tgl 9 Sept 1966
mengajukan pertanyaan secara tertulis kepada Presiden Sukarno dan
jawaban baru diberikan Presiden Sukarno tanggal 16 Agust 1966. Di antara
yang ditanyakan: Apakah benar Bapak memanggil kembali Aidit dari Moskow,
untuk mengumpulkan bahan penyusunan teks pidato 17 Agust 1965?
Menjawab pertanyaan tersebut Presiden Sukarno mengatakan: "Saya telah
memanggil Nyoto, Menteri Negara diperbantukan pada Presidium Kabinet
Dwikora untuk turut menyumbang pendapatnya dalam penyusunan pidato saya
tanggal 17 Agust 1965". Menurut kebiasaan saya, dalam penyusunan pidato
itu saya minta sumbangan dari belbagai pihak, antara lain agama,
nasionalis dan komunis.
Berbeda dengan pemeriksaan yang dilakukan Mayjen (purn) Sunarso, maka
pemeriksaan yang dilakukan Durmawel, sebagai Oditur militer yang menjadi
penuntut dalam pengadilan Soebandrio, tergolong pro justicia. Durmawel
menyerahkan pertanyaan tertulis melalui Sekretaris Presiden. Sebelum
mengajukan pertanyaan itu, Durmawel menanyakan lebih dulu kepada
Presiden Sukarno untuk diperiksa. Saya katakan (kata Durmawel)
keterangan ini akan saya gunakan sebagai kesaksian dalam perkara
Soebandrio.
Kesaksian Presiden Sukarno itu kemudian dibacakan dalam sidang
Soebandrio. Menurut Durmawel pembacaan itu sama nilainya dengan
kehadiran Bung Karno di pengadilan.
Inti dari kasaksian Bung Karno yang dikejar Durmawel adalah soal siapa
yang memanggil DN Aidit pulang dari Moskow. Karena menurut analisanya,
kepulangan Aidit di tengah isu sakitnya Bung Karno adalah dalam rangka
mempersiapkan G.30-S. Artinya siapa yang berinisiatif memanggil Aidit,
itulah yang tahu tentang rencana G.30-S. Ternyata Bung Karno tidak
memanggil Aidit. Kesaksian itu bagi Durmawel adalah kartu truf yang
melicinkan jalan bagi vonis seumur hidup untuk Soebandrio.
Keterangan Durmawel berarti bahwa Soebandrio-lah yang tahu tentang
rencana G.30-S dan berusaha melibatkan Aidit sebagai pimpinan PKI dalam
peristiwa yang akan terjadi. Ya, Soebandrio sebelum itu juga telah
mensuplai PKI dengan dokumen palsu Gilchrist supaya PKI kebakaran
jenggot dan mendahului langkah Dewan Jenderal yang hendak melakukan kup
(Lihat Dr Sulastomo dan Eckky Sahrudin dalam majalah Sinar 17 Juni 1995,
hal 11).
Bahwa Aidit dilibatkan Soebandrio dalam peristiwa G.30-S, adalah sejalan
dengan pedapat Anthoni Dake (Tempo 6 Oktober 1990) bahwa peristiwa
G.30-S itu dilatar belakangi oleh sikap Bung Karno yang sangat tak sabar
melihat oposisi beberapa perwira tinggi AD terhadap program revolusinya.
Ia kemudian memerintahkan Letkol Untung untuk membereskan mereka. Aidit
yang mengetahui rencana itu setelah ia kembali dari RRC 7 Agustus 1965.
Inilah yang membuat PKI terlibat dan karena tak ada pilihan lain
mengingat PKI sangat tergantung kepada Presiden Sukarno.
Sejalan dengan usaha Soebandrio melibatkan Aidit, agar PKI dapat
dihancurkan, maka Kamaruzzaman (alias Syam) bekas kader Wijono dan Johan
Sjahruzah (yang kemudian menjadi tokoh PSI) di zaman Jepang, yang telah
berhasil memasuki Biro Chusus PKI di bawah pimpinan Aidit mengusulkan
supaya Untung, bekas anak buah Suharto di Jawa Tengah, yang menjadi
Ketua Dewan Revolusi. Kamaruzzaman tetap dengan usulnya itu meskipun
Kolonel Latief mengusulkan supaya yang menjadi Ketua itu seorang Jenderal.
Kamaruzzaman mudah mendekati Aidit, karena di tahun 1950, tatkala Aidit
dan Lukman hendak muncul kepermukaan di Jakarta setelah peristiwa
Madiun, Kamaruzzaman membantu kemunculannya di Tanjung Priok, sebagai
penumpang gelap pada kapal yang baru datang dari Vietnam. Hal itu
dimungkinkan karena Kamaruzzaman ketika itu adalah pimpinan Sarekat
Buruh Perkapalan dan Pelayaran di Tanjung Priok.
Kamaruzzaman ini diawal revolusi pernah menjadi anak buah Suharto dalam
kelompok Pathok Yogya sewaktu melakukan penyerbuan ke sebuah tangsi
tentara Jepang di Kota Baru. Pada tahun 1951 dia salah seorang dari 9
kader pilihan PSI yang mendapat pendidikan/latihan khusus dan kemudian
pada tahun 1954 menjadi informan Kodam V Jaya.
Dengan dijadikannya Untung sebagai Ketua Dewan Revolusi memudahkan bagi
Jenderal Suharto menuduh PKI yang mendalangi G.30-S, karena Untung
dikenalnya sebagai perwira yang berhaluan kiri. Itu juga dinyatakan Yoga
Sugama dalam bukunya "Memori Jenderal Yoga" (hal: 49), bahwa ia
mengetahui Untung perwira yang berhaluan kiri.
Kamaruzzaman yang dipercayai Aidit inilah yang mempecundangi Aidit dalam
gerakan. Menurut Manai Sophiaan dalam bukunya "Kehormatan bagi yang
berhak" Syam membuat ketentuan bahwa persoalan yang akan disampaikan
kepada Aidit tidak boleh disampaikan langsung, melainkan harus lewat
dirinya. Syamlah yang akan menyampaikan kepada Aidit.
Ternyata berbagai pertimbangan militer yang harus disampaikan kepada
Aidit, tidak disampaikan oleh Syam, sehingga banyak hal yang tidak bisa
dikoordinasikan dengan baik. Semua pertimbangan, hanya Syam sendiri yang
menampung dengan akibatnya, setelah gerakan dimulai terjadi kesimpang
siuran (hal:82). Semua itu dilakukan Syam untuk bosnya yang lain,
Suharto dan PSI.
Peranan Nasution Mengantarkan Suharto ke Kekuasaan De Jure
Seperti diketahui sejak 1 Oktober 1965 kekuasaan de facto sudah berada
di tangan Jenderal Suharto. Langkah berikut yang diayunkan Suharto
setapak demi setapak ialah merebut kekuasaan de jure. Untuk tujuan
itulah maka tanggal 11 Maret 1966 pasukan Kostrad dan RPKAD (tanpa
memakai identitas) mengepung Istana Merdeka, dimana sedang berlangsung
Sidang Kabinet Dwikora dibawah pimpinan Presiden Sukarno.
Menurut Frans Seda pengepungan Istana Merdeka itu adalah berdasarkan
strategi Suharto untuk membikin panik sidang Kabinet dan kemudian
menangkap Soebandrio (Lihat pengakuan Frans Seda, Kemal Idris, Sarwo
Edhi dalam Tempo 15 Maret 1986).
Sesuai dengan strategi Suharto, setelah Presiden Sukarno menerima
laporan adanya pasukan liar di sekitar Istana, maka untuk keamanannya,
Presiden Sukarno diterbangkan ke Bogor. 3 orang Jenderal suruhan Suharto
mengikuti Presiden Sukarno ke Bogor dengan membawa pesan agar Jenderal
Suharto diberi kekuasaan lebih besar. Hasilnya lahir Surat Perintah 11
Maret (Supersemar). Jadi, Supersemar adalah buah pengepungan Istana oleh
pasukan liar.
Supersemar itu mereka anggap sebagai "Pelimpahan kekuasaan", padahal
hanya pelimpahan "tugas pengamanan" (Lihat pidato kenegaraan Presiden
Sukarno 17 Agustus 1966). Dengan meyalah tafsirkan Supersemar, mereka
bubarkan PKI, mereka tangkap sejumlah Menteri, mereka tangkap dan ganti
DPRGR/MPRS dari PKI, PNI, Partindo dan pendukung Presiden Sukarno
lainnya dan digantinya dengan kelompok pendukung Suharto. DPRGR yang
"tidak konstitusional" itulah yang menuduh Presiden Sukarno melanggar
GBHN, karena tidak membubarkan PKI dan menuntut MPRS supaya
melangsungkan sidang Istimewa guna menyingkirkan Bung Karno dari
kedudukannya sebagai Presiden.
Sesungguhnya yang melanggar GBHN adalah DPRGR sendiri, karena GBHN yang
berlaku ketika itu ialah GBHN-Manipol, GBHN yang memegang prinsip
persatuan berdasarkan Nasakom. Membubarkan PKI sama artinya dengan
menentang GBHN-Manipol, apalagi tidak ada bukti bahwa PKI yang
mendalangi G.30-S seperti yang dikemukakan Dewi Sukarno dalam tabloid
Detik No 030 th 1993.
Begitu pula MPRS yang lahir dari Dekrit Presiden Sukarno kembali ke UUD
1945 tanggal 5 Juli 1959 tidaklah sama fungsinya dengan dengan MPR,
seperti dikatakan Presiden Sukarno dalam amanat negaranya tanggal 10
November 1960. Presiden Sukarno mengatakan bahwa fungsi MPRS itu sama
dengan lembaga-lembaga negara yang lain, yaitu sebagai alat revolusi dan
tidak berwenang merubah UUD 1945 serta memilih Presiden dan Wakil
Presiden.
Menurut JK Tumakaka bahwa MPRS tsb adalah semacam Komite Nasional. Ini
sesuai dengan pasal IV aturan peralihan UUD 1945, artinya berkedudukan
sebagai pembantu Presiden. Karena itu pulalah Ketua dan Wakil-wakil
ketuanya berkedudukan sebagai Menteri ex-officio (masyarakat Pancasila,
secercah pengalaman bersama Bung Karno", hal: 191-194).
Namun demikian Jendral Nasution sebagai ketua MPRS (yang sudah
diordebarukan) menerima usul DPRGR (yang pernah direvisi berdasarkan
penyalah-tafsirkan Supersemar) untuk mengadakan Sidang Istimewa MPRS.
Melalui pidato pembukaan Sidang Istimewa MPRS tertanggal 7 Maret 1967,
Jenderal Nasution secara berselubung "mendekritkan" perubahan kedudukan
MPRS dari sebagai pembantu Presiden menjadi sepenuhnya seperti MPR.
Padahal belum ada pemilihan umum untuk memilih MPR seperti yang
ditetapkan UUD 1945. Nampaknya Jenderal Nasution tidak mau kalah hebat
dari Presiden Sukarno yang mendekritkan kembali ke UUD 1945, maka ia
mendekritkan kembali ke MPR, padahal MPRnya belum pernah ada.
"Pendekritan" Jenderal Nasution itu tercermin dengan pidatonya, yang
antara lain mengatakan: "Sidang Umum I, II dan III berbeda dengan Sidang
Umum IV (Sidang Istimewa ini-pen). Tiga Sidang Umum tadi berdasarkan
Penpres dan wewenangnya pada azasnya masih dibatasi kepada penentuan
GBHN...dengan Sidang Umum IV telah kembali ke MPRS, maupun Presiden, DPR
kekuasaan kehakiman dan kekuasaan pemerintahan pada posisi dan wewenang
menurut UUD 1945 dan bukan lagi menjadi pembantu Presiden/PBR
sebagaimana hakikat sebelum itu" (Memenuhi Panggilan Tugas, jilid 7,
hal: 163-164).
"Dekrit" Nasution, yang ketua MPRS (bukan Presiden) itu sangat
bertentangan dengan pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi:
"Sebelum MPR, DPR, DPA dibentuk menurut UUD ini, segala kekuasaan
dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional". MPR
seperti yang dimaksud pasal IV itu belum terbentuk, belum ada pemilihan.
Yang ada hanya MPRS, hasil Dekrit 5 Juli 1959 dari Presiden Sukarno.
Dengan "Dekrit" Nasution yang merubah kedudukan MPRS menjadi MPR, yang
bertentangan dengan pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, MPRS menarik
mandat dari Presiden Sukarno serta segala kekuasaan pemerintahan yang
diatur dalam UUD 1945 dan mengangkat Jenderal Suharto sebagai pejabat
Presiden.
"Dekrit" Nasution itulah yang telah melapangkan jalan bagi keberhasilan
kudeta merayap dari Jenderal Suharto dari kekuasaan secara de facto yang
dimulai 1 Oktober 1965 menjadi kekuasaan secara de jure tanggal 12 Maret
1967.
Sebenarnya usaha untuk meminggirkan Presiden Sukarno dan menaikkan
Jenderal Suharto telah diusulkan oleh Nasution kepada Suharto 12 Maret
1966, melalui usulnya supaya Suharto membentuk Kabinet Darurat
berdasarkan wewenang yang diberikan Supersemar. Jenderal Suharto tak
berani melaksanakan usul Nasution itu, karena Suharto menganggap "Itu
wewenang Bung Karno, bukan wewenang saya" (Lihat keterangan Nasution
dalam Tempo 15 Maret 1986, hal: 19).
Adanya kerjasama Nasution-Suharto ini mudah dimengerti, karena Nasution
sangat berdendam kepada Presiden Sukarno, karena "kudetanya" 17 Oktober
1952, yang telah menghadapkan moncong meriam ke Istana Merdeka,
dipatahkan Presiden Sukarno. Sesungguhnya dengan "kudetanya" yang gagal
itu Nasution dapat diajukan ke pengadilan, namun Presiden Sukarno tidak
menempuh jalan itu. Ide persatuannya terlalu kuat, tidak menghendaki
perpecahan. Ironisnya Presiden Sukarnolah yang kemudian "diadili" dan
"dijatuhkan" oleh Jenderal Nasution, setelah ia berkedudukan sebagai
ketua MPRS.
Menurut Manai Sophiaan sepuluh tahun lamanya Amerika mengupayakan
penggulingan Sukarno... kerja keras Amerika ini akhirnya menjadi
sempurna setelah ketua MPRS Jenderal`AH Nasution menanda-tangani
Ketetapan MPRS No XXXIII/MPRS/1967, yang mencabut semua kekuasaan
pemerintahan negara dari tangan Presiden Sukarno, bahkan melarangnya
melakukan kegiatan politik untuk akhirnya dijebloskan ke dalam tahanan.
Bung Karno dituduh terlibat G.30-S PKI (Kehormatan bagi yang berhak,
hal: 215).
Kebenaran Akan Mengalahkan Kebohongan
Sungguhpun begitu gamblangnya isi pembelaan Kolonel Latief di depan
Mahmilti II Jawa Bagian Barat pada tahun 1978 bahwa Jenderal Suharto
terlibat langsung dalam G.30-S dan kemudian menggulingkan Presiden
Sukarno, namun penguasa orde baru terus-menerus mempropagandakan bahwa
yang menjadi dalang G.30-S adalah PKI.
Dalam hal melakukan propaganda yang demikian, Jenderal Suharto dengan
orde barunya berpegangan kepada ajaran Goebbles, yaitu: "Ulangi" (NASRUN).
Kekejaman & kekerasan struktural di era Soeharto(5/9)
Received on Wed Aug 12 09:32:22 MET DST 1998
Suara INDEPENDEN, No 11/III/September 1997
TOPIK UTAMA
Dr. Hermawan Sulistyo, penulis "The Forgotten Years":
"TAK ADA KONSEP SERAGAM DALAM PEMBUNUHAN MASSAL '65"
Ia tolak anggapan, bahwa pembunuhan massal tahun 1965-1966 di Jawa Timur dilakukan
secara sistematis oleh tentara saja. Dalam "The Forgotten Years", desertasi yang baru
diselesaikannya di Arizona State, Amerika Serikat, ia kemukakan sejumlah faktor
penyebab yang saling tumpang-tindih. Yang ingin ia katakan, persoalan itu tidaklah
sesederhana konflik antara tentara dengan PKI. Sebab, "tentara yang ada di Jawa Timur
itu tentara yang semuanya PKI." Kiranya harus diakui bahwa tragedi itu, dalam banyak
hal disebabkan pertentangan sesama masyarakat sendiri. Benar bahwa di Jawa Tengah,
pembantaian itu sepenuhnya adalah operasi militer, tapi di Bali dan Jawa Timur, sungguh
berbeda. Khusus Jawa Timur, konflik sosial-politik yang terjadi sudah berkepanjangan.
"Selama satu dekade penuh, orang bertarung tiap hari, wajar saja kalau bunuh-bunuhan,"
ujar mantan dosen Unas yang perlu 13 tahun mengumpulkan data untuk desertasinya.
G30S baginya, hanya menjadi satu faktor pemicu pembantaian itu. Ia juga menjelaskan
mengapa PKI sebagai partai besar bisa dengan mudah kalah. Ikuti selengkapnya,
wawancaranya dengan Suara INDEPENDEN:
-----------------------------
* Apa yang membedakan hasil penelitian Anda tentang pembunuhan massal '65 dengan
yang selama ini diyakini secara umum?
** Selama ini, hanya ada dua versi mengenai pembunuhan-pembunuhan massal '65.
Pertama, versi mereka yang menang; bahwa PKI itu jahat. Oleh karena itu pembunuhan-
pembunuhan itu dibenarkan. Bahkan, dipuji sebagai langkah penyelamatan bangsa.
Kedua,versi sebaliknya; bahwa pembunuhan adalah tindakan sistematik yang dilakukan
oleh negara yang diwakili tentara pada kelompok yang memiliki hak hukum sah, yaitu
PKI. Nah, kita tidak punya versi alternatif selain dari dua ini. Karena dalam proses
pembentukan ingatan kolektif bangsa ini, kita dibiasakan menerima tanpa ada pertanyaan
lagi. Padahal, fakta sejarah itu ditafsirkan untuk kepentingan masing-masing. Ternyata,
tidak sesederhana itu.
Misalnya, tentang asumsi bahwa semua tentara adalah lawan PKI. Kasus yang saya
temukan di Jawa Timur, ternyata, tentara yang ada semuanya PKI. Pada Pemilu tahun
1955, di beberapa batalyon, PKI menang. Tentara kan banyak yang bersimpati pada PKI.
* Apa lagi yang Anda temukan?
** Bahwa tak ada satu konsep yang seragam, atau cetak biru, yang bisa dikenakan secara
nasional pada pembunuhan massal '65. Studi di Jawa Tengah menunjukkan,
(pembantaian itu dilakukan melalui) operasi militer, penuh. Tentara masuk, lalu perang
lawan orang yang kalah. Di Bali,
operasi militer ditambah konflik lokal. Di Jawa Timur, mayoritas disebabkan oleh konflik
sosial-politik berkepanjangan, yang sudah bertahun-tahun. Satu dekade penuh, orang
bertarung tiap hari. Wajar saja kalau bunuh-bunuhan. Ketanpa-adaan blue print ini yang
membedakan kasus di Indonesia dengan genosida di Kamboja.
* Di Jawa Timur, kelompok mana yang saling konflik dan apa penyebabnya?
** Antara buruh-buruh yang afiliasinya PKI dengan petani-petani yang afiliasinya NU.
Sebabnya: perbedaan afiliasi politik yang tumpah-tindih dengan orientasi kultural, dan
dengan kepentingan ekonomi. Tumpang-tindih lagi dengan lifestyle. Ini terasa sekali,
karena seluruh kawasan perkebunan di sana punya ciri-ciri wilayah perambahan, frontier
area. Misalnya, pabrik-pabrik gula dan kantong-kantong persentuhan industri dan agraria.
Suatu wilayah baru yang terbuka, yang biasanya diasosiasikan dengan sifat-sifat sekuler.
Ini wilayah yang secara kultural, potensial konfrontatif.
Satu lagi sebab penting: retorika politik di tingkat nasional, diterjemahkan secara harafiah
oleh massa politik. Di berbagai koran partai, Harian Rakyat milik PKI, koran NU dan
koran-koran daerah, ditulis ketua partai menyebut "ganyang". "Ganyang" itu
diterjemahkan harafiah di tingkat bawah, berarti "bunuh". Dan pembunuhan itu terjadi
hampir tiap minggu. Bukan pasca '65 saja. Dari tahun lima puluhan, sudah ada. Semua
pelaku yang saya wawancarai bilang, "Biasa saja kalau mati dua puluh, tiga puluh..."
* Adakah konflik agama juga menjadi sebab?
** Sama sekali bukan. Karena PKI-nya banyak orang Islam juga. Para korban, banyak
yang sebelum dibunuh, minta shalat dulu. Habis sembahyang disembelih.
* Bagaimana dengan pertentangan kelas?
** Saya melihat, ada kesalahan PKI dalam menganalisis massa pedesaan.
Konsep Marxisme itu kan pertentangan kelas. Dengan kacamata yang tajam, dan
gampang dilihat, ada konflik kelas antara petani dan tuan tanah, dan sebagainya. Itu
diambil mentah-mentah. Kemudian dijadikan dasar strategi kampanye nasional. Nah,
studi saya menunjukkan, yang terjadi sebaliknya. Ketika kampanye dimulai, terutama
dengan adanya UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) tahun 1960 dan UUPBH
(Undang-undang Pokok Bagi Hasil) tahun yang sama, yang terjadi konflik pada lapisan
yang sama. Antara buruh pabrik gula dan kelas petani yang orientasinya pesantren. Sama-
sama bukan pemilik modal. Dan terjadinya, bukan antara buruh yang
unskilled, tapi buruh kelas menengah yang paling aktif. Serikat Buruh Gula yang
berorientasi ke PKI, semua aktifisnya di level menengah. Buruh semi-skilled, setengah
berkeahlian. Lawan mereka adalah petani-petani kelas menengah.
* Konflik itu bisa demikian tajam, apakah mereka saling merugikan?
** Ada beberapa kasus. Misalnya, dengan UUPA, ada pembagian tanah.
Padahal, kepemilikan tanah itu, sulit dibedakan antara kepemilikan pribadi kyai dengan
kepemilikan pesantren sebagai institusi. Itu, salah satu faktor yang membuat marah para
kyai.
* Apakah mereka juga tertindas secara ekonomi?
** Kalau berbicara tentang deprivasi ekonomi -teori yang menganggap sumber utama
konflik semacam itu adalah ketertindasan ekonomi dan alienasi ekonomi-, studi saya
menemukan yang sebaliknya. Makin miskin, makin mereka tidak ikut. Yang ikut, justru
mereka yang secara ekonomi relatif survive, kelas menengahnya.
* Siapa yang paling banyak jadi korban?
** Yang berafiliasi dengan PKI. Umumnya kalau aktif, tidak bawa bendera PKI. Tapi,
onderbouw-nya. Misalnya, Serikat Buruh Gula dan Pemuda Rakyat. Buruh ini ada juga
yang bukan anggota PKI. Tapi, karena secara organisatoris di bawah naungan PKI, jadi
korban juga.
* Mengapa PKI paling banyak jadi korban?
** PKI, meskipun secara nasional disiapkan menjadi partai pelopor yang militan, dalam
prakteknya tidak siap bertarung. Mereka tidak pernah dilatih tentara, bergerilya atau
erang-perangan. Apalagi dipersenjatai. Jadi, ketika konflik memuncak, mereka tidak siap.
* Yang paling banyak mengeksekusi?
** Istilah saya vigilante group, kelompok kewaspadaan - dalam tanda petik. Bukan juga
Ansor. Kyai Mahrus dari NU, salah satu yang paling berpengaruh di Kediri, sempat
bilang, "Jangan diteruskan bunuh-bunuhan ini." Tapi, perintahnya nggak diikuti.
Vigilante group ini, pemuda-pemuda yang sebelumnya sudah bertarung. Mereka
gabungan dari macam-macam kelompok. Operasinya pun jangan dibayangkan sistematis.
Kadang-kadang, 3 orang pergi nangkep 10 orang. Diikat dan dibunuh. Senjatanya
seadanya saja. Pentungan, clurit, pacul...
* Daerah mana saja yang Anda teliti?
** Sekitar Kabupaten Jombang dan Kediri, yang tertinggi intensitasnya.
Perhitungan saya di Jombang, korbannya sekitar 5000-an. Kediri, 13.000-an. Saya
dapatkan dari jumlah desanya, sekitar 300-an. Tiap desa, aktifis PKI-nya 25 sampai 40.
Jadi, satu kabupaten bisa dapat angka antara 8000 sampai 13.000. Dan, bila daerah yang
intensitas konfliknya tertinggi saja jumlah korbannya seperti itu, saya kira secara
nasional, jumlahnya sekitar 400.000. Mereka bilang, maksimal membunuh 40 orang, "Itu
sudah kami habisi."
* Peristiwa 30 September apakah juga memicu?
** Betul, sebagai faktor pemicu. Karena peristiwa di Jakarta itu, mengubah
keseimbangan lokal, dan membuat orang melakukan serangan mendadak, pre-emptive
strike. Penjelasannya begini: Sebelum 30 September ada keseimbangan nasional yang
diciptakan Bung Karno (keseimbangan
antara Angkatan Darat dengan PKI-red.). Setelah peristiwa itu, terjadi kevakuman hingga
5 Oktober. Usai penguburan jenderal-jenderal itu, terjadi titik balik. Di level nasional,
keseimbangan mulai bergeser ke "kanan" (tentara). PKI yang di level bawah tak
disiapkan untuk bertarung, hanya menunggu. Nah, saat itulah, lawan-lawannya
melakukan serangan lebih dulu. Di Kediri, tanggal 13 Oktober. Tapi, konflik ini sama
sekali bukan baru. Musuhnya pun musuh lama. Ibarat kita sedang berantem, tiba-tiba
dihentikan karena ada kejadian di luar ring. Semua menunggu. Begitu terjadi perubahan
keseimbangan di pusat, PKI digebug duluan. Karena menunggu, ya tidak siap. Habis.
Kata pengurus PKI itu, "Lho kami ini 'nunggu, dan nggak ada perintah. Kalau kami
diperintah berantem ya berantem."
* Lawan-lawan PKI di situ merasa menang secara moril, begitu tahu perubahan
keseimbangan di pusat?
** Nggak juga. Ketika pertama, NU, Masyumi dan sebagainya menyerang, mereka
sendiri juga tidak yakin menang. Karena melihat kekuatan PKI sebelumnya. Kodimnya
saja takut. Tentaranya kan juga banyak yang PKI.
Batalyon Ronggolawe dan Madiun itu, PKI-nya menang (dalam pemilu 1955).
Tentara waktu itu berpolitik, punya afiliasi politik.
* Apa hikmah kejadian ini untuk konteks sekarang?
** Bahwa penyelesaian politik dengan kekerasan itu harganya mahal sekali. Lalu,
meskipun bentuknya luka-luka, ini adalah bagian dari sejarah kita. Bicara tentang
400.000 korban, artinya kita bicara juga tentang jutaan orang yang membuat ada korban.
Bila sudah jutaan orang, itu bukan sekedar persoalan pemerintah dengan masyarakat. Tak
sesederhana state versus society. Ini persoalan bangsa yang lebih kompleks, luka-luka
bangsa yang dalam sekali, dan belum selesai.
Peristiwa ini sampai ke tingkat tertentu, harus tetap dibuka dan dipelajari. Kalau tidak
kita tak akan pernah belajar. Dengan mudah, orang bisa dicap PKI. PKI kan partai sah
waktu itu. Hanya saja, mereka kalah dalam percaturan politik. Seandainya PKI menang,
sejarah yang sekarang akan lain.
REKAYASA SOEHARTO PADA PERINGATAN 30 SEPTEMBER
Oleh : Sutandi Sastraprawira
Kelompok Arief Kusno alias Romo Imam Mahdi Prawironegoro sejak Juli 1997
lalu sudah diincar yang berwajib di Malang. Dan baru tanggal 26
September, mereka digebuk karena diduga telah menghimpun kekuatan dan
melakukan aktifitas militer ilegal.
Dalam penggerebegan petugas menemukan bukti, selain mereka telah
melakukan aktifitas militer misalnya upacara militer dan latihan
baris-berbaris, petugas juga menemukan sejumlah senjata, pakaian militer
dan lain-lain. Aktivitas mereka dilakukan di sebuah rumah besar milik
salah seorang pengusaha real estate di Jl. Simpang Borobudur 31 C
Malang, para anggota kelompok ini akhirnya dituduh telah melakukan
kegiatan makar terhadap pemerintah yang sah.
Kelompok Imam Mahdi yang beranggotakan kurang lebih 60 pengikut ini
semuanya sudah digulung dan ditahan pihak berwajib dan mereka dituduh
dengan sengaja menghimpun kekuatan dan menamakan dirinya titisan Bung
Karno. Dan memang di antara anak buahnya terdapat anggota ABRI yang
berpangkat Letkol dan Letjen, salah satunya adalah Letjen Bagaskoro
alias Letkol Kuncoro Nazar.
Memang, penampilan Imam Mahdi hampir sempurna seperti Bung Karno, selalu
menenteng tongkat komando lengkap dengan pakaian kebesarannya berwarna
putih memakai kopiah songkok, berkacamata hitam, tubuhnya tegap, nada
dan bicaranya tegas seperti Ir Soekarno semasa hidupnya. Jika hal ini
diskenariokan untuk sebuah permainan sinetron, maka publik Indonesia
benar-benar akan terkesima. Sebab, sungguh hebat sang sutradara bisa
mendapatkan tokoh yang sangat persis dengan Bung Karno semasa hidupnya.
Di Jawa Timur, di mana Menpen Jenderal Hartono masih punya link, memang
dibuat gempar dengan adanya peristiwa ini. Malah para pengikut Imam
Mahdi, atau Romo Yoso ini dikhabarkan sudah menyebar sampai ke Jember
dan lain-lain. Juga seluruh tanah air menjadi terheran-heran karena
sudah kurun waktu 27 tahun Bung Karno wafat, masih saja ada hal-hal yang
menggelikan.
Menurut pengakuan Romo Yoso kepada yang berwajib, ia mendapatkan ilham
langsung dari Bung Karno dan diberinya nama Arief Kusno Saputro. Dan
menurutnya, Bung Karno pada tahun 1970-an pernah pesan kepadanya untuk
meneruskan perjuangannya. Ketika ditanya petugas, mereka mengaku telah
melakukan penyusunan pasukan dan sebagainya bahkan telah mendapatkan
bantuan dari negara jiran 600 juta dan juga dari para simpatisannya.
REKAYASA MURAHAN YANG GAGAL
Dari sumber yang sangat dapat dipercaya, Soeharto sangat gusar dengan
pernyataan-pernyataan Megawati beberapa waktu silam. Waktu itu Megawati
mengeluarkan statement "jangan coba-coba menggoyang saya", beberapa
waktu kemudian ia mengeluarkan pernyataan lagi "jangan coba-coba
menyingkirkan saya".
Pernyataan-pernyataan itu dianggap sebuah tantangan kepada pemerintah.
Maka bersamaan waktunya memperingati 30 September diciptakan sedemikian
rupa kondisi seakan-akan bahaya laten tetap ada termasuk bahaya akan
pengikut-pengikut Soekarno masih besar (yang dimaksud adalah pengikut
Megawati). Bahkan menurut laporan-laporan intelijen, kekuatan Mega
semakin besar terutama di kalangan pemuda.
Seperti yang dilaporkan menteri Hayono Isman ketika Nawaksara akan
diseminarkan, bahwa di kalangan pemuda nampaknya masih tertanam melekat
ketokohan Soekarno yang makin diresapi adalah pemimpin besar yang ideal
karena tidak mempunyai apa-apa sampai akhir hayatnya.
Mendengar laporan ini Soeharto langsung memerintahkan agar dilaksanakan
seminar pidato Nawaksara. Tetapi telah diketahui bahwa ada bagian-bagian
pidato Bung Karno itu kalau diputar kembali justru akan menghancurkan
nama Soeharto sebagai presiden, maka akhirnya rencana tersebut
dibatalkan.
BERTUJUAN MENGHANCURKAN KEKUATAN MEGAWATI
Melalui alat-alatnya, Soeharto (baca: Hartono, Amir Santoso, Din
Syamsudin) memerintahkan adanya rekayasa lagi sejak gagalnya boneka
Soerjadi menjadi ketua DPP PDI yang ternyata hancur lebur dengan hanya
memperoleh 11 suara untuk PDI dalam pemilu yang lalu. Mereka mencari
jalan lain supaya kekuatan Mega pada umumnya dan nama harum Bung Karno
pada khususnya dapat dirusak sebelum sidang umum Maret tahun depan.
Maka, dikerahkanlah tatacara rekayasa baru melalui Yogi S Memet dan
Hartono agar momentum peringatan 30 September ini diumumkan adanya
kekuatan pasukan-pasukan yang masih tetap mengancam negara dan datangnya
dari eks pengikut-pengikut Bung Karno.
Bayangkan saja, pasukan-pasukan gadungan ini sudah enam bulan yang lalu
dibiarkan melakukan aktivitasnya dan baru sekarang ditangkapi dan di
diumumkan, diekspose besar-besaran oleh orangnya Soeharto dengan tuduhan
makar. Apa tidak aneh dan lucu, jika sudah diumumkan oleh polisi bahwa
sudah enam bulan dibuntuti kenapa tidak ditangkap enam bulan yang lalu?
Para tokoh yang tersangkut paut dengan rekayasa ini tergugah hatinya
tidak sampai hati merusak nama baik Bung Karno, di saat-saat seperti ini
menceritakan kepada kita, yang jelas akan mengkambinghitamkan nama harum
Bung Karno yang arahnya menjurus untuk menghancurkan Mega.
Rekayasa ini sekaligus juga dimaksudkan untuk mengkondisikan supaya
diberlakukan SOB, situasi negara dalam keadaan darurat perang. Hal
tersebut diciptakan supaya pemerintah secara gampang melakukan
penangkapan-penangkapan dan penahanan-penahanan tanpa batas demi
mempertahankan kekuasaan Soeharto.
Tapi ternyata hal yang berbeda telah terjadi. Alam telah menurunkan
azabnya. Berbagai bencana telah menimpa bangsa ini. Mulai dari krisis
ekonomi, asap kebakaran dari hutan yang dibakar, tewasnya 234 penumpang
pesawat Garuda yang jatuh di Sibolangit, kelaparan di Irian Jaya yang
menelan korban lebih dari 351 orang, sampai berbagai kecelakaan akibat
tabrakan di jalan-jalan serta gempa bumi di Sulawesi Selatan.***
BERINGAS DI BALIK MITOS KEKELUARGAAN
Puluhan tahun setelah pembunuhan massal 1965, potensi keberingasan masih saja
mengancam. Penyebabnya, bukan semata-mata datang dari pemegang kuasa dan senjata.
Seperti peristiwa saling bantai di Sanggau Ledo, keberingasan juga dibuahi oleh
masyarakat sendiri. Seharusnya, keadaan ini tak perlu jadi kian memburuk, andaikan
sistem demokrasi sebagai sarana mengelola konflik, berjalan dengan baik.
Time edisi 17 Desember 1966: “Dipersenjatai berbagai pisau ukuran besar yang disebut
parang, kelompok-kelompok muslim mendatangi rumah-rumah milik para komunis,
membunuh seluruh keluarganya dan menguburkan mayat-mayatnya secara sembarangan.
Pembunuhan itu begitu keterlaluannya, di beberapa tempat di Jawa Timur, sampai-
sampai kepala-kepala para korban ditancapkan di tiang-tiang dan kemudian dipamerkan
ke seluruh desa...”
Demikianlah rekaman situasi mencekam dari peristiwa pembantaian massal 1965, yang
dikutip salah satu majalah terkemuka di dunia itu. Peristiwa yang sayangnya, sampai kini
tak pernah dibuka tuntas. Sehingga, masyarakat Indonesia tak pernah belajar, mengambil
hikmah di balik itu. Yang muncul akhirnya, hanyalah cerita-cerita serba hitam-putih.
Pemerintah Orde Baru, memang berkepentingan untuk menutupi kisah tragis ini. Sebab,
dari ketidaktahuan masyarakat, akan mudah membentuk mitos mereka adalah
“penyelamat Pancasila”, yang telah menyingkirkan “musuh negara”. Meskipun, ketika itu
PKI adalah partai yang sah, dan pernah mengikuti pemilu.
Tentu ada pula kepentingan lain, apalagi kalau bukan untuk mencegah “bocornya” versi-
versi alternatif Peristiwa ‘65. Versi-versi yang umumnya, mendukung asumsi keterlibatan
Angkatan Darat mengkudeta Presiden Soekarno.
Ketiadaan sikap berterus terang akan sejarah ini, akibatnya terkadang membuat mereka
yang punya sikap kritis juga terjebak dalam pilihan hitam-putih. Mereka tidak lagi
berusaha mencari sejarah yang apa adanya, tapi lebih menyukai mencari versi sejarah
yang “anti-mitos”
Perang „mitos“ ini yang membuat kebanyakan orang melihat, peristiwa pembunuhan
massal 1965 itu sebagai persoalan struktural semata-mata. Persoalan negara lawan
masyarakat, state versus society. Seperti dalam sebuah artikel bernada kritis yang beredar
di internet kira-kira setahun lalu, disebutkan, „orang-orang Islam dukungan tentara dan
para pelajar ‚dimobilisasi’ untuk melawan PKI, dan tentara telah melatih dan
mempersenjatai kelompok Islam... »
Kenyataannya, seperti terungkap dalam penelitian selama belasan tahun Dr. Hermawan
Sulistyo tentang pembunuhan massal 1965 di Jombang dan Kediri, persoalan ketika itu
begitu rumit. Yang ia temukan di Jawa Timur, malah tak ada mobilisasi oleh tentara.
Rakyat bergerak sendiri, bukan dipersenjatai, dengan membawa clurit, pentungan
ataupun golok. Pembantaian itu terjadi, karena sejak lama telah ada konflik yang
penyebabnya tumpang tindih (lihat: wawancara Hermawan Sulistyo, „Tak Ada Konsep
Seragam dalam Pembunuhan Massal ‚65“). Konflik itu, kemudian mendapatkan
momentum pemicu dari meletusnya peristiwa G30S yang menyudutkan posisi PKI.
Dengan kejatuhannya di tingkat nasional, maka para kader PKI di Jawa Timur yang “tak
siap bertarung”, akhirnya “digasak” oleh musuh-musuh lamanya.
Sekali lagi, persoalannya memang tidak sederhana. Bahwa di Jawa Tengah dan Bali,
pembantaian massal itu umumnya dilakukan oleh tentara, itu memang sudah faktanya.
Tapi, untuk kasus Jawa Timur, tentaranya bahkan banyak yang PKI. Seperti di Batalyon
Ronggolawe dan Madiun, ketika itu.
Nah, jika memang persoalannya tak melulu bisa diasalkan dari kesalahan pemerintah,
secara tidak langsung, bukankah ini merupakan pengakuan akan adanya sesuatu yang tak
beres dalam masyarakat Indonesia? Harus diakui bahwa tak cuma penguasa yang
bersenjata saja, di dalam masyarakat Indonesia pun masih banyak yang ‘sakit’. Sebab,
jika tidak, sulit membayangkan angka korban yang diperkirakan mencapai 500.000 jiwa
itu.
Bukti bahwa “penyakit” itu memang ada dalam masyarakat, sebenarnya, dapat dilihat
dari berbagai peristiwa saling bantai sebelum dan sesudah Pembunuhan Massal ‘65 itu.
Di jaman Hindia-Belanda, jauh sebelum Indonesia merdeka, tanggal 9 Oktober 1740,
pernah terjadi peristiwa yang juga tak kalah tragisnya di Batavia -kini sudah jadi Jakarta.
Ketika itu pun, kanal-kanal dipenuhi bangkai serta darah tumpah ruah di mana-mana.
Para tentara, pelaut, warga Belanda serta budak-budak memenuhi jalan-jalan. Mereka tak
saja membunuh orang dewasa dan
anak-anak, tapi juga merampok para korban yang umumnya adalah orang-orang Cina.
Diperkirakan, 5000 orang tewas.
Penyebabnya, karena Gubernur Jenderal Valckenier melakukan usaha pendeportasian
paksa orang-orang Cina yang menganggur ke Ceylon (Sri Lanka). Namun, geng-geng
Cina di luar Batavia menduga yang terjadi adalah penenggelaman di Laut Jawa.
Akibatnya, mereka mempersenjatai diri dan menyerang pos-pos penjagaan. Kerusuhan
pun meletus, tak lama setelah pemerintah menggeledah semua rumah orang Cina.
Keadaan tak bisa dikontrol pemerintah Hindia-Belanda sendiri. Apalagi ternyata, ada
konflik antara Kanselir Baron van Imhoff -yang kala itu berusaha meredakan amarah
orang Cina dengan Gubernur Jenderal Valckenier.
Contoh lain yang paling segar dalam ingatan, adalah „Peristiwa Sanggau Ledo“.
Penyebabnya, sungguh sepele. Gara-gara sejumlah pemuda Madura yang ingin menonton
orkes dangdut di Ledo, dengan kasar menarik-narik tangan gadis Dayak untuk ikut
mereka. Sehingga membuat para pemuda Dayak marah. Lalu terjadi perkelahian.
Peristiwa yang terjadi di Bulan September 1996 itu pun terus berbuntut. Apalagi, ketika
Desember 1996, dua orang Dayak ditusuk oleh pemuda Madura. Tak pelak lagi, aksi anti
Madura meletus di Ledo dan Sanggau Ledo, yang segera meluas menjadi perang antar
suku di seluruh Kalbar. Dua ribu orang, diperkirakan tewas. Sebagian besar orang
Madura.
Sebetulnya, benih-benih pertikaian di antara kedua suku ini, sudah berlangsung lama.
Sangat laten. Sedari awal, penyulutnya muncul dari masyarakat sendiri. Sejak tahun
1968, pertikaian Dayak-Madura ini dimulai. Camat Sungai Pinyuh Kabupaten Pontianak
bernama Sani dibunuh oleh seorang Madura di Anjungan. Penyebabnya, cuma lantaran
Sang Camat tidak mau melayani urusan pembuatan keterangan tanah pada hari Minggu.
Mulai saat itulah, setiap terjadi peristiwa kecil saja, saling bunuh tak dapat terelakkan.
Setidaknya, di pertengahan tahun 70-an, letupan di antara keduanya makin sering terjadi.
Selain peristiwa tahun 1996, kejadian besar lainnya terjadi tahun 1979, di Kabupaten
Sambas. Dimulai tak lama setelah seorang petani Madura membunuh petani Dayak.
Sebabnya, ia tersinggung, sesudah ditegur lantaran mengambil rumput di tanah milik
petani Dayak tadi tanpa ijin. Perang pun berkobar. Puluhan jiwa melayang. Sempat pula
didirikan „tugu perdamaian“ di Salamantan, atas prakarsa pemerintah. Namun, tugu itu
ternyata bukan obat mujarab. Tahun 1983 dan 1993, perang masih juga berkobar.
Bahwa benih-benih keberingasan ini, masih tertanam pada alam bawah sadar masyarakat
dapat dilihat dari berbagai peristiwa „kecil“ sepanjang tahun 1995 dan 1996. Hanya
karena isu dan sebab sepele kerusuhan dengan mudahnya meletus. Boleh dibilang, tahun-
tahun itu adalah rekor terjadinya kerusuhan. Mulai dari pembakaran toko-toko dan gereja,
25 November 1995 di Pekalongan; pengeroyokan hingga tewas oleh sejumlah pemuda
Katholik pada pemuda lainnya yang dianggap menodai air suci, sehari setelah Natal 1995
di Nusa Tenggara Timur; pembakaran 25 gereja dan terbunuhnya 5 warga di Situbondo,
10 Oktober 1996; pembakaran terhadap 14 pos polisi, 13 gereja, 4 pabrik dan 89
bangunan lainnya di Tasikmalaya, 26 Desember 1996; hingga pembakaran 4 gereja dan 2
vihara di Rengasdengklok, 30 Januari 1996. Betapa mudahnya orang terpicu, lalu
melakukan penghancuran.
Lalu apa hikmah semua ini? „Ini persoalan bangsa yang lebih kompleks, luka-luka
bangsa yang dalam sekali,“ ujar Hermawan Sulistyo. Dengan itu ia mengingatkan agar
semua pihak tak terbiasa menyederhanakan masalah. Mungkin, dengan menyadari
kehadiran benih-benih tak sehat ini, akan ada keinginan semua pihak untuk berusaha
membangun kultur yang lebih baik, yang minimal harus dimulai dari diri sendiri. Bahwa
masyarakat -dan mungkin kita sendiri- juga bisa salah, bukan cuma penguasa.
Bukan berarti, tak perlu lagi membenahi persoalan struktural seperti demokratisasi. Justru
itu yang lebih penting. Bukankah keberingasan itu dimungkinkan terjadi, karena ada
ketidakpercayaan rakyat terhadap sistem? Setiap kali rakyat digusur tanahnya, kehilangan
mata pencahariannya, sistem tak berpihak pada mereka. Makanya, tak perlu heran bila
terjadi peristiwa pembakaran kantor polisi seperti di Pameungpeuk, baru-baru ini. Jika
rakyat sudah tak percaya pada sistem, tak ada jalan lain memang, selain memakai cara
mereka sendiri. Tak peduli betapa pun mahal harga yang harus dibayar.
„Demokrasi adalah sarana mengelola konflik yang sehat,“ demikian ucap Arief Budiman,
suatu kali. Kiranya, memang itulah prioritas utama yang harus segera diwujudkan, agar
tak makin banyak darah yang bergelimang, akibat keberingasan ini.
Sayangnya, penguasa memang tak pernah mau belajar. Peristiwa berdarah sudah semakin
banyak, tapi pendekatan kekuasaan malah makin menjadi-jadi. Bukannya memberikan
ruang gerak bagi demokrasi, malah memberi kekuasaan tanpa batas pada presiden dengan
Tap MPR VI yang kontroversial itu. Mimpi buruk ini, kapankah berakhir?
"ORDE BARU ITU LAHIR DARI KEKERASAN"
Keprihatinan Mangun, tentang gejala meruyaknya kekerasan massa, dapat ditemui di
hampir setiap karyanya. Tokoh ini pula, yang tak henti-henti menyarankan agar Tragedi
65 dipelajari secara tuntas, agar tak terulang di masa depan. Mangun berpendapat,
kekerasan di masa Orde Baru ini lebih sistematis, dibanding Orde Lama. Intensitasnya
pun makin tinggi. Ia menunjuk macetnya demokrasi, sebagai sebab uneg-uneg
masyarakat menumpuk; dan siap meledak kapan saja, seperti lahar gunung berapi yang
lama terpendam. Berikut cuplikan bincang-bincang Suara INDEPENDEN dengan romo
yang juga novelis itu, di rumahnya. Termasuk soal Kalimantan Barat, yang dinilainya
belum selesai.
· Setelah kekerasan massal tahun 1965, ternyata masih saja terjadi kekerasan antar
masyarakat...
** Ya, kekerasan setelah tahun 1965 agaknya melebihi jaman Orla. Tapi memang
kekerasan itu gejala umum, semua negara, semua negeri ada kekerasan. Hanya saja, ada
kekerasan yang dapat dikekang oleh adat istiadat. Kalau „kekerasan gaya modern
internasional“ itu kan karena manusia terlepas dari kerangka adat istiadat lama, tapi
belum menemukan adat istiadat baru. Orang itu kalau lepas dari suatu kerangka terus
mudah mengikuti egoisme, hawa nafsu.
· Kekerasan itu terjadi karena faktor struktural atau kultural?
** Orde Baru itu lahir dari kekerasan dan memang metodenya adalah kekerasan, paksaan.
Tidak sekeras, misalnya, Hitler, atau Stalin tapi toh intinya itu kekerasan. Lain dengan
revolusi atau Orde Lama generasi ‚28 memang ada kekerasan tapi bukan „struktural“.
Jadi revolusi waktu itu pun selalu mencari jalan damai. Hanya karena Belanda
mempergunakan kekerasan maka dilawan. Tapi secara struktural, revolusi dan Orde
Lama itu sendinya, prinsipnya berunding, perdamaian, non violence. Perjuangan
perintisan kemerdekaan jaman Jepang pun tidak ada kekerasan.
· Bagaimana menjelaskan kekerasan masyarakat yang terjadi sejak ‘65 hingga akhir akhir
ini? Kenapa masyarakat Indonesia mampu melakukan itu?
** Karena bangsa Indonesia itu tidak mempunyai suatu struktur dan sistem mengajukan
pendapat pribadi atau mengeluarkan uneg-uneg itu tidak ada. Ya masyarakat dan negara.
Masyarakat juga terkekang, kalau ada yang punya pendapat lain dengan teman-teman di
kampung ya dipukuli. Jadi dari segi masyarakat, pergaulan sehari hari, berpendapat lain
itu musuh. Agama juga begitu, „Kalau bukan agama saya berarti musuh.“ Kalau negara
dan masyarakat saling memperkuat suasana ketakutan yang timbul dari kekerasan fisik
maupun psikis, lalu suatu ketika meledak, atau orang lari. Banyak orang lari; daripada
mengamuk, minggat. Sekarang yang lari itu siapa? Kaum yang punya duit, ijasah tinggi,
punya kemampuan itu lari ke luar negeri; yang tidak suka sama Orde Baru itu ya lari.
· Negara sering menyatakan bahwa bangsa Indonesia itu bangsa yang cinta damai « toto
tentren karto raharjo »...
** Itu kan watak bangsa, suka damai. Tapi itu lain dari struktur politik. Cinta damai itu
setiap bangsa, setiap orang. Bangsa kita itu memang cinta damai, tapi cinta damai ini
sering dikacaukan dengan “cinta mengalah”. Jadi, kalau tidak berani, terus mengalah,
dongkol tapi diam. Itu sering disebut cinta damai tapi sebenarnya bukan itu cinta damai.
Terus menghindari konflik atau ya, “jangan ramailah, jangan bikin heboh”, itu belum
tentu cinta damai. Jadi cinta damai bagi bangsa kita itu sebetulnya ideal. Tapi
kenyataannya banyak orang yang mengamuk, terutama akhir-akhir ini.
· Ada kepentingan negara dengan jargon “cinta damai” itu?
** Ya, mestinya begitu. RI itu dulu, jaman revolusi dan Orla, tidak pakai kekerasan.
Bahwa ada orang yang keras, itu memang ada, tapi tidak struktural, tidak sistematis,
karena ada arus top down dan bottom up. Jadi kalau top down melulu, pasti ada
kekerasan. Dan kekerasan itu tidak hanya kekerasan brutal, fisik, tapi juga ada kekerasan
batin, mental.
Kalau ada suatu suasana di mana masyarakat takut, dan ketakutan itu tidak hanya di
kalangan bawah tapi juga kalangan menengah, kalangan atas, itu indikator paling jelas
ada kekerasan struktural. Di Orde Lama orang tidak takut. Ada orang menderita, orang
lapar, orang menggerutu, orang protes, orang maki-maki Soekarno, tapi tidak takut.
Revolusi juga begitu. Jaman Belanda itu takut dan sejak tahun 1965. Dan yang takut
bukan orang kecil saja; semua pegawai negeri itu semua kan takut, walaupun menteri
atau dirjen ya takut, gubernur takut, panglima pun takut, profesor juga takut. Nah, itu
indikator bahwa iklim kekerasan merajalela.
· Amok itu sebenarnya gejala apa?
** Amok ya karena orang tidak berani; ketakutan yang menumpuk.. menumpuk..
menumpuk. Gambaran paling tepat itu seperti gunung berapi itu. Laharnya menumpuk..
menumpuk, kelihatannya „damai, indah“; tapi 10 tahun kemudian meledak. Kalau
masyarakat itu seperti Gunung Merapi ini, laharnya bisa keluar, seperti gunung di Hawai,
ya tidak meletus. Tapi kalau tersumbat seperti Kelud, Semeru, Galunggung; nah, di
situlah maka meledak.
· Betulkah Amok itu gejala khas Melayu?
** Di mana-mana amok itu ada. Di Inggris juga ada orang menembaki anak-anak TK, di
Australia juga ada orang yang menembaki orang mandi di pantai. Itu jika orang sedang
frustrasi, seperti vulkan yang menumpuk, tersumbat, tidak ada outlet. Jadi, demokrasi itu
mencegah ledakan amok, itu demokrasi. Kalau tidak demokratis, ya mesti ada amok.
· Apakah tragedi 30 September 1965 itu tergolong amok?
** ‘65 itu ya amok, jelas itu. Jadi jaman Orla itu sampai Soekarno menjadi diktator itu
orang mengeluarkan pendapat tidak takut. Tapi sesudah PKI kuasa, sejak konstituante
dibubarkan, ‘59 , itu orang mulai takut. Karena PKI memang keras, walaupun yang keras
tidak hanya PKI, semua pihak keras. Di situlah mulainya terjadi kekerasan.
· Pihak mana lagi yang keras?
** Ya banyak, yang non-PKI juga keras, Soekarno kemudian juga jadi keras, ada
Manikebu, LEKRA, itu kan kekerasan juga. Jadi sejak Soekarno jadi diktator -selalu
diktator, ketakutan dan kekerasan itu suatu tritunggal. Selalu ada diktator, ketakutan dan
kekerasan. Nah, mulai Soekarno jadi diktator, PKI banyak (melakukan) intimidasi, partai
lain juga intimidasi, sama saja terus ketakutan merayap di kalangan masyarakat.
Sehingga seperti yang dikatakan Aidit itu, “Republik kita hamil tua”. Hamil tua apa, tidak
jelas. Tapi memang betul istilah Aidit itu. Ternyata ya itu, meledak kekerasan ‘65.
· Apa ada kesamaan background antara kekerasan massal ‘65 dengan yang baru-baru ini
terjadi beruntun?
** Itu agak lain. Kebanyakan amok akhir-akhir ini rekayasa, bukan massa.
Bukan penduduk asli di situ; datang dengan truk-truk itu kan orang luar. Kalau amok ‘65
itu kan massa di situ sendiri yang membunuh kawannya sendiri. Tapi yang akhir-akhir ini
kan tidak; yang membakar itu kan bukan orang di situ, didatangkan.
· Seperti Kalbar kan penduduk setempat...
** Lha, itu mungkin. Yang jelas itu Dayak (Sangau Ledo). Kalau Dayak itu memang
psikologi massa. Itu mengamok sungguh, frustrasi, trance. Orang sudah tidak sadar
berbuat apa. Seperti kerasukan. Kalau Dayak yang membunuh Madura itu sungguh
kerasukan, bukan dari luar. Itu memang perselisihan antara Dayak dan Madura. Itu
sejarahnya memang mengerikan. Jadi di sana itu kalau ada proyek yang mengambil
biasanya selalu orang Madura, atau orang Banjar atau orang Jawa. Orang Dayak itu
tersingkir.
Suatu ketika ada seorang kepala desa Dayak, yang entah bagaimana kebetulan mendapat
proyek, tapi kemudian dicemburui. Suatu ketika dia, anaknya dan sopirnya bepergian di
jalan, mereka dihadang oleh pihak yang mencemburui itu. Anak dan sopirnya kemudian
diculik dan disembunyikan, tapi sopirnya masih sempat melihat bagaimana bosnya itu
dipukul dan dianiaya. Anak dan sopir ini kemudian disuruh pergi tapi nasib kepala desa
ini sudah tidak jelas. Ini kan sudah lama ada api dalam sekam. Rakyat kemudian
menuntut,yaitu paling tidak ABRI harus mengembalikan jenazah kepala desa yang
dibunuh.
Tentu saja ABRI kemudian mencari korban itu. Saya punya sahabat-sahabat pastor di
sana, ABRI datang minta tolong. Sudah ketemu jenazahnya. Nah jenazah itu akan
dikembalikan ke keluarga korban. Keluarga ini sudah didatangi oleh ribuan orang Dayak,
berkumpul di desa korban. Mereka menuntut supaya jenazah ini dikembalikan. Nah,
ABRI minta tolong (pada pastor-pastor) karena tahu situasi gawat, bagaimana
mengembalikan jenazah ini. Pastor sebagai pimpinan agama supaya meredakan suasana.
Lalu disiapkan. Ada 10 pastor mempersiapkan ini. Kemudian menentukan hari untuk
mengambil jenazah. Pada hari „H“, pastor dan beberapa suster naik mobil berangkat ke
tempat ABRI seperti yang sudah disepakati. Sesampai di sana, ada berita dari ABRI itu
bahwa jenazah sudah dipulangkan ke desa. Nah, pastornya terkejut. „Waduh gawat,
sungguh gawat,“ gitu. Kemudian rombongan pastor ini dengan mobil ngebut ke desa itu.
Persis pada saat rombongan pastor ini sampai di desa itu, peti jenazah kepala desa itu
sedang dibuka oleh penduduk Dayak.
Ketika penduduk membuka peti, ternyata mayatnya penuh lumpur, belum dibersihkan,
tangannya sudah tidak ada, kepalanya sudah putus tapi dijahit lagi, dan yang gawat itu
kemaluannya hilang. Sudah; ribuan yang datang itu, pastor sudah tidak mampu untuk
menguasai situasi. Ketika itu kepala keluarga masih bisa mengekang perasaan, kemudian
dia pidato, „Inilah jenazah Ayahanda kepala desa sudah datang, tapi jelas bahwa kami
orang-orang Dayak sudah tidak dianggap sebagai lelaki!“ Langsung ribuan orang itu
menjadi semacam trance sambil mengeluarkan bunyi, „uuu..uuu... uuu..“; itu ribuan.
Trance itu bagi kepercayaan Dayak adalah ketika nenek moyang datang dan manjing
(merasuk) kembali pada penduduk (istilahnya „Tariu“). Kalau sudah demikian, orang
Dayak sudah lupa segala-galanya, tidak kenal takut, tidak takut mati, terus mengamuk.
Mengamuknya luar biasa, berhari-hari. Sampai polisi dan tentara tidak berani.
Gereja mencoba meredakan itu tapi para panglima bilang, „Ini bukan urusan gereja, ini
urusan Dayak.“ Trance ini bahkan sampai menjalar ke daerah Serawak Malaysia, dan
penduduk sana juga ikut kesurupan dan membantu, tapi distop oleh Malaysia sendiri dan
ABRI dengan menutup perbatasan. Tapi ya pasti ada yang menyusup. Terus berhari-hari,
berminggu-minggu terus terjadi pembunuhan, ribuan, ribuan rumah terbakar.
Tapi masjid tidak ada yang dibakar, dan kalau menemukan Al Quran di rumah orang
Madura, maka Al Quran tersebut dikumpulkan di masjid. Jadi mereka tidak menyentuh
barang-barang yang keramat, masjid aman, mushola aman, kitab-kitab Al Quran ya
diamankan di masjid. Tapi rumah semua dibakar, habis, dibunuh habis. Mereka itu bisa
mencium siapa orang yang Madura. Bis-bis distop, masuk dalam bis, diciumi
penumpangnya, „Wah ini Madura!“ diambil lalu dibunuh. Sesudah ‚65, ya ini yang
besar-besaran. Lalu Kopassus didatangkan, tapi tidak mampu mengatasi. Kemudian
mendatangkan bantuan 3 ribu tentara dari Sumatera, terus agak reda sedikit. Tapi ini
belum selesai.
· Apa maksudnya belum selesai?
** Jadi ada 3 tahap, perdamaian (perdamaian pertama itu bagi orang Dayak tidak ada
artinya, hanya formalitas saja), tahap kedua juga belum, tahap ketiga yang trance itu juga
belum. Jadi trance, kesurupan nenek moyang berdasarkan kepercayaan orang Dayak itu
namanya „Tariu“. Kalau sudah „Tariu“ itu roh-roh nenek moyang manjing (merasuk) di
situ, mereka mengamuk dan tidak kenal takut. Teman-teman pastor itu cerita mereka
melihat, „Waduh..sudah, menutup mata tidak bisa lihat, tidak tega“. Orang-orang biasa
itu terus membunuh, minum darah memenggal kepala, makan hati enak saja pada saat itu.
Nah, fase „Tariu“ itu sekarang belum klikmaks. Fase pertama perdamaian itu, bagi orang
Dayak tidak berarti apa-apa.
Nah, sekarang mereka berhenti karena ada pemilu tapi mereka tetap membuat senjata,
senapan-senapan. Mereka membuat sendiri senapan itu dan yang dicari sebagai bahan
senapan itu pipa-pipa setir mobil itu menjadi senapan yang besar. Dan pelurunya diambil
dari Malaysia, katanya ada peluru khusus yang besar. Mereka terus produksi senapan.
Nah, „Tariu“ ini belum.
Makanya saya pikir, pembakaran hutan di Kalimantan itu apa ya betul hanya dilakukan
oleh perusahaan-perusahaan pemegang HPH?
· Anda mengaitkan kebakaran hutan dengan „tariu“?
** Itu harus diinvestigasi. Apa betul itu seperti kata presiden „Bukan penduduk asli tetapi
perusahaan-perusahaan!“ Biasanya kan kalau secara resmi dibantah itu kan biasanya ada
udang di balik batu. Kok dibantah. Level presiden lho ini, bahwa ada kebakaran hutan itu
tidak oleh penduduk asli. Lha ini bagi kita, „Jangan-jangan justru oleh penduduk asli.“
Tapi bukan karena mereka berladang pindah-pindah sebagai nomad, itu mereka sudah
tahu caranya. Tapi mungkin pembalasan dendam, kemarahan. Jadi mungkin pembalasan
dendam dengan membakar perkebunan-perkebunan itu.
Secara politis, kalau hal ini dinyatakan karena „Tariu“ itu, sungguh membahayakan dan
SARA dan juga memalukan. Lebih baik kalau perusahaan-perusahaan itu yang dijadikan
kambing hitam saja, netral. Keterangan resmi memang begitu, yang membakar itu
perusahaan atau clearing hutan. Tapi saya pikir, kalau perusahaan-perusahaan besar itu,
ya apa mereka sebodoh itu dalam membakar hutan. Karena mereka sudah berpengalaman
berpuluh-puluh tahun membakar hutan, apa ya seperti ini sampai jalan, sungai pun penuh
dengan asap. Jangan-jangan yang membakar hutan itu penduduk (orang Dayak) yang
„Tariu“. Mereka itu kan sudah berpuluh-puluh tahun dendam karena perkebunan-
perkebunan dari konsesi-konsesi HPH. Makanya ketika dijelaskan oleh koran bahwa
presiden mengatakan bahwa yang membakar itu bukan penduduk, malah saya curiga, kok
sampai presiden, wong Sarwono saja belum ngomong, kok presiden sudah mendekritkan
bahwa itu bukan penduduk.
· Sarwono menyebut beberapa perusahaan sebagai pihak yang telah melakukan
pembakaran, tapi anehnya perusahaan itu menurutnya tak bisa dilacak alamatnya....
** Makanya itu, karena kok presiden sendiri langsung mengatakan bahwa ini bukan
penduduk. Lho.. bagi saya dalam kaitan dengan „Tariu“ tadi, rupa-rupanya ya
pembalasan dendam orang Dayak. Kalau perusahaan ya aneh, bunuh diri itu namanya.
Lagian kayunya dijual kan masih bisa, kok dibakar. Ya saya tidak mengatakan pasti, tapi
saya curiga.
· Apa tindakan untuk menghilangkan kekerasan massa?
** Ya, demokratisasi itu ditangani serius. Orang bisa bicara, ketakutan-ketakutan itu
harus dihilangkan. Jangan sampai takut mengutarakan pendapat, itu satu satunya jalan
menggemboskan insting-insting yang terpendam, yang mendongkol itu. Orang itu kalau
sesak harus berteriak, kalau berteriak tidak boleh, ya membunuh nantinya.
· Bagaimana kalau lebih mengefektifkan lembaga perwakilan rakyat?
** Kalau sistem politiknya berubah ya bisa. Kalau sistemnya begini ya tidak bisa, wong
semua takut kok. Kalau semua takut ya bagaimana? Jadi harus struktur yang efektif
menghilangkan ketakutan. Kalau orang takut terus, ya ndongkol terus, wong takut.
· Apakah aparat militer yang kuat selalu meredam gejolak kejengkelan masyarakat?
** Tidak mungkin, 200 juta orang kok. Kalau ketel dikompor masih bisa, tapi kalau
masyarakat itu tidak seperti ketel. Masyarakat itu kalau sudah out of control, sudah habis.
Seperti orang mengamuk, bisanya kalau sudah membunuh ini-ini lalu sadar kemudian dia
nangis.
PEMBANTAIAN SETELAH G-30S
Orde Baru lahir dengan genangan darah dan airmata. Inilah sejarah hitam pembantaian
massal yang menumpuk ketakutan. Tapi sampai kapan ketakutan mampu ditahan?
-----------------------------
Tahun 1965 bagi Indonesia sungguh menyayat hati. Apa yang kita rayakan sebagai hari
“Kesaktian Pancasila” sesungguhnya adalah saling bunuh saudara sebangsa. Terlepas dari
siapa yang benar ; Soekarno? Soeharto? TNI AD? PKI? atau partai dan ormas saat itu?
Peristiwa itu berbuntut ajal yang tak pasti jumlahnya. Mereka dituduh PKI, sebagian
memang PKI, tapi sebagian lain tak tahu apa-apa, termasuk ibu-ibu dan anak-anak.
Berapa yang mati? Angka resmi pertama yang diumumkan di akhir 1965 adalah 78.832
jiwa. Perinciannya; korban di pihak PKI di Bali 12.500, Jawa Timur 54.000, Jawa
Tengah 10.000, Sumatra Utara 2.000, sementara korban non PKI yang dibunuh orang-
orang PKI tercatat 328 orang. Itu hasil Komisi Pencari Fakta dengan anggota 9 orang
yang dibentuk Soekarno. Tapi dari wawancara John Hughes tahun 1968 dengan salah
satu anggota Komisi, angka yang benar adalah 780.000 jiwa (baca: tujuh ratus delapan
puluh ribu jiwa). Oei Tjoe Tat, Menteri Negara d/p Presidium Kabinet yang juga anggota
Komisi, saat ditanya Bung Karno usai penyampaian laporan resmi menjawab 500.000
atau 600.000 korban.
Memang angka resmi baru kemudian muncul setelah Kantor Berita Antara menyatakan
ada 500.000 orang yang mati. Laksamana Soedomo dalam wawancara resmi tahun 1977
dengan wartawan Newsweek, Bernard Krisher, mengaku ada setengah juta korban
dibunuh. Begitu banyak orang PKI yang mati dilatari dendam warga non PKI karena aksi
sepihak, kampanye PKI yang begitu provokatif, hingga penculikan dan pembunuhan
terencana oleh aktivis PKI. Di samping itu, pemuda-pemuda anti PKI dilatih dua-tiga hari
oleh Pasukan RPKAD yang dipimpin Sarwo Edhie, lalu dilepas untuk menggerakkan
masyarakat di bawah gerakan Komite Aksi Pengganyangan.
Pembunuhan massal
Seperti mendapat pembenaran dengan maraknya demonstrasi anti PKI dan berita-berita
media massa yang menyiarkan betapa kejamnya PKI membunuhi para jendral. Koran-
koran terbitan Angkatan Darat, seperti Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, koran
Kristen Sinar Harapan, dan koran umum seperti Duta Masyarakat dan Mingguan Berita,
menyiarkan kekejian PKI dan ormas-ormasnya yang membunuhi para jendral dengan
silet, sabit, sundutan rokok, dengan diiringi tarian cabul para Gerwani sampai memotong
alat vital korban. Sedangkan menurut otopsi dokter yang diperintahkan Soeharto, para
jendral mati karena tembakan, sama sekali tak ada luka pukulan atau akibat senjata tajam,
sedangkan lebam di kulit diakibatkan benturan saat korban dijatuhkan ke sumur Lobang
Buaya (Anderson, 1987). Tapi dendam dan pengkondisian anti PKI terlanjur menyulut
pembantaian. Cara-cara yang digunakan sering di luar nalar, sampai Mayjen Achmadi -
Menteri Penerangan yang juga anggota Komite Pencari Fakta- mengucap, “Wah terlalu,
kok bangsaku bisa begitu kejam”. Di Jakarta, menurut pelaku, mereka menjerang air
dalam drum sampai mendidih. Seorang aktivis IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia)
diikat dengan kepala di bawah lantas dicelupkan ke air yang menggelegak itu. Saat
diangkat, kulitnya melepuh, sebagian terkelupas matang, dan kedua bola matanya
meletup. Sebuah keluarga, suami-isteri dan anak-anak, semuanya dibunuh. Jenazah
seluruh keluarga ditusuk dengan sebatang bambu, masuk dari dubur dan keluar pada
kerongkongan, kemudian diarak berkeliling untuk tontonan umum.
Di Jawa Tengah, menurut fakta yang ditemukan H.J. Princen, 800 orang dibunuh massal
dengan pukulan batang-batang besi ke kepala. Pembantaian itu terjadi setelah dua bulan
penggulungan atas orang-orang yang dinyatakan sebagai komunis, yang sebelumnya
dijebloskan dalam kamp-kamp tahanan di Purwodadi, Gundi dan Kuwu.
Interogator dari Batalyon 404 dan 409 menggunakan listrik untuk menstroom alat vital
para tahanan demi mengorek info gerakan bawah tanah PKI. Saksi mata mengatakan
pada Princen bahwa Let.Kol. Tedjo Suwarno adalah orang yang memerintahkan
pembantaian massal di Purwodadi. Para pemuka umat diancam agar tidak lapor ke
Semarang. TNI AD membantah bahwa telah terjadi pembantaian massal di Jawa Tengah.
Panglima Kodam VII (kini IV) Mayjen. Surono mengatakan bahwa para tahanan
ditembak saat hendak melarikan diri. Sementara yang lainnya mati karena bunuh diri
dipenjara.
Massa PKI di Jawa Tengah dan DIY memang cukup besar. Di Yogya, Kol. Katamso dan
Let.Kol. Sugijono mati dibantai PKI. Oleh sebab itu Kol. Sarwo Edhie Wibowo meminta
Soeharto agar pasukannya (RPKAD) dikonsentrasikan di Jawa Tengah. Sarwo Edhie
terkenal berdarah dingin. Ia pernah memerintah langsung eksekusi atas perempuan-
perempuan yang dituduh Gerwani. Ketika penduduk desa kasak-kusuk tak puas atas
pembunuhan itu, seluruh desa disukabumikan.
Di Jawa Timur, Gatot Lestario (tokoh PKI) sebelum dieksekusi sempat membeberkan
pembelaan di pengadilan (banyak eksekusi kasus PKI tanpa pengadilan) betapa
„inovatif“, „kreatif“ dan „kompetitif“ para algojo terhadap korban-korban mereka.
“Sadisme dan penyiksaan tak manusiawi yang tak terperikan,” gugat Gatot, “Menyertai
pembantaian-pembantaian massal. Keluarga-keluarga secara keseluruhan dihabisi, di
mana anak-anak satu demi satu dibunuh di depan mata orang tuanya hingga akhirnya tiba
giliran sang ayah. Seorang perempuan dibunuh dalam keadaan hamil. Perempuan-
perempuan dengan anak-anak di pinggul mereka dibunuh di pesisir-pesisir sungai. Ada
kompetisi dilakukan dalam pembunuhan, siapa yang terbaik membelah dalam sekali
bacok dari atas ke bawah akan memperoleh hadiah ekstra (ini terjadi di Singosari).
Banyak pembunuhan terjadi di pesisir-pesisir sungai, agar dengan demikian orang tak
perlu lagi menggali kuburan. Kepala-kepala yang telah dipenggal digantungkan di pasar-
pasar, di depan rumah, di pinggir jalan, beberapa di antaranya dilabur dengan kapur.
Mayat-mayat perempuan dengan bayi susuannya mengapung di Kali Brantas dan di
sungai Bengawan Solo, di Bojonegoro banjaran mayat-mayat diikat satu menjadi rakit.
Pada sebuah jembatan di lingkungan Babat yang telah berfungsi sebagai rumah potong
manusia, aliran dari gumpalan-gumpalan darah membuktikan betapa banyak orang yang
telah dibunuh di situ. Sejumlah korban dibunuh secara perlahan-lahan, dengan cara
memotong anggota-anggota badannya satu demi satu, yang lainnya dipaksa terjun ke
dalam parit untuk ditanam di situ hidup-hidup...”
Di Jawa Barat, menurut John Hughes (Indonesian Upheaval) dan Robert Cribb (The
Indonesian Killings), kekerasan massa tidak merajalela kecuali di Indramayu, antara
Subang dan Cirebon. Meski dekat dengan pusat kekuasaan, pendukung PKI di daerah ini
relatif sedikit. Hanya di Indramayu PKI punya massa karena wilayah ini selalu miskin.
Alasan lain, dendam terhadap orang-orang PKI tidak begitu terasa di Jawa Barat. Meski
bukan berarti tak ada kebengisan, seperti pengiriman kepala tanpa badan seorang tokoh
PKI kepada keluarganya di rumah.
Di Aceh, pengganyangan dikomandani Kolonel Ishak Djuarsa. Semua orang PKI di Aceh
binasa, tidak hanya kader-kader tapi juga seluruh keluarga, bahkan para pembantu-
pembantu rumah mereka. Di Medan, kantor SARBUPRI/SOBSI diserang saat ada rapat.
Gedung tingkat tiga itu disiram bensin dan dibakar. Para aktivis serikat buruh yang panik
mencoba menyelamatkan diri. Tapi begitu keluar dari pintu, mereka segera disambut
dengan berondongan peluru atau keroyokan orang ramai. Melihat tak ada lagi jalan
keluar kecuali maut, sebagian menyelimuti tubuh dengan bendera serikat buruh atau
spanduk merah dengan menyerukan slogan „Hidup SARBUPRI, Hidup SOBSI,“ lalu
terjun ke jilatan api. Tindakan itu makin menyulut kemarahan penyerbu yang banyak di
antaranya adalah aktivis Pemuda Pancasila, sehingga korban yang terbakar itu diseret dari
api, kepalanya dipenggal dan ditendang-tendang bagai bola mainan.
Di Bali, pembunuhan massal berlangsung tak kalah mengerikan. „Teror massa“, sebuah
term yang populer di Rusia jaman Stalin, justru dirasakan orang-orang PKI. Mereka
dengan perasaan takut dan tiada harapan menyerahkan diri untuk diapakan saja oleh
penguasa. Hal ini dilakukan untuk menghindari siksa aniaya oleh massa lawan politiknya.
Sebulan setelah peristiwa 1 Oktober 1965, Gubernur Bali, Sutedja (tokoh PKI) masih
berkuasa. Ketika ditanya Bung Karno di hadapan Sabur, Chaerul Saleh, dan pejabat lain,
apakah dia PKI? Sutedja menjawab bahwa itu hanya fitnah belaka. Para pejabat Bali yang
punya sangkut paut dengan PKI mulai cuci tangan. Saat itu kabar tentang pembantaian di
Jawa Tengah dan Timur telah santer terdengar di Bali.
Rakyat menunggu ABRI. Tapi rupanya pimpinan ABRI di Bali, khususnya Pangdam
Sjafiuddin pun menunggu siapa yang akan menang di Jakarta. Sebetulnya istri Sjafiuddin
sendiri adalah simpatisan Gerwani. Ketua DPRGR I Gusti Media, Ketua Bamumas I
Gede Puger, Ketua Lembaga Pariwisata Ida Bagus Komjang juga tokoh-tokoh PKI.
Namun ketika gelagat Bung Karno kalah kian menguat, para pejabat itu mulai
menghilangkan jejak. Dan pembunuhan, adalah jalan paling cepat dan aman sebab orang
mati tidak akan bisa bersaksi. Orang-orang Nasakom yang berkuasa di Bali ingin
menunjukkan bahwa merekalah yang paling anti PKI dan paling Pancasilais.
Wedagama (tokoh PNI) menghasut rakyat bahwa membunuh PKI dibenarkan oleh Tuhan
dan tidak akan disalahkan hukum. Wijana, yang mengaku masih kerabat Bung Karno,
menyatakan bahwa mengambil barang-barang PKI bukanlah pekerjaan yang melanggar
peraturan. Pembakaran rumah orang PKI dianjurkan sebagai warming up. Dan akhirnya
pembunuhan itu pun berlangsung di seluruh pelosok Pulau Dewata. Menurut Soe Hok
Gie yang menggunakan nama samaran Dewa dalam tulisannya di Mahasiswa Indonesia
(Des’67), pembunuhan massal di Bali telah memakan korban sedikitnya 80.000 jiwa.
Korban material tak terhitung. Sementara itu pemerkosaan terhadap mereka yang dituduh
anggota Gerwani merajalela. Widagda, tokoh PNI adik Wedastra Suyasa yang jadi
anggota DPRGR Pusat, diketahui umum telah memperkosa belasan wanita yang
dituduhnya Gerwani.
Anak Agung Made Agung, Kepala Djawatan Penerangan Bali diculik dan dibunuh.
Terbukti kemudian pembunuhan itu direncanakan wakilnya yang ingin menduduki
jabatan kepala. Sedangkan Lie Lie Tjien, pengusaha yang jadi kasir PKI, selamat jiwa
dan hartanya karena menyogok Widjana birokrat Bali Utara. Saingan Lie Tjien, Tjan Wie
difitnahnya hingga gudang kopi milik tauke itu diserbu massa dan ratusan ton kopi
dibuang berserakan di jalan-jalan Singaraja. Tjan Wie pun jadi gila setelah peristiwa itu.
Begitulah..., fitnah, pemerkosaan dan pembunuhan massal terjadi di berbagai pelosok
tanah air. Indonesia yang „hamil tua“ akhir-nya melahirkan Orde Baru dengan genangan
air mata dan darah. Siapa yang salah, barangkali bukan pertanyaan yang relevan sebab
tak menyelesaikan persoalan. Yang terjadi adalah amok.
“Amok ya karena orang tidak berani, ketakutan yang menumpuk... menumpuk...
menumpuk.
Kelihatannya damai, indah, tapi 10 tahun kemudian meledak,” ujar Romo Mangunwijaya.