Kerjasama Militer Vietnam dengan Amerika Serikat
Dalam Mengelola Ancaman Keamanan
Laut Cina Selatan Tahun 2011
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Soial (S.Sos)
oleh:
Akbar Fitriyasa
108083100015
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
v
Abstraksi
Skripsi ini membahas tentang kerjasama militer Vietnam dengan Amerika
Serikat dalam mengelola ancaman keamanan Laut Cina Selatan tahun 2011.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor pendorong Vietnam dalam
meningkatkan kerjasama militer dengan AS melalui MoU 2011. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif analitis. Dalam penulisan,
penulis menggunakan data sekunder, yakni data yang diperoleh dari kajian
pustaka, seperti, buku, artikel, jurnal, koran, majalah, hasil penelitian dan situs
internet (website) yang dianggap relevan. Kerangka pemikiran yang digunakan
dalam skripsi ini adalah teori neo-realisme, serta konsep keamanan nasional,
aliansi dan perimbangan kekuatan (balance of power).
Penulis menemukan bahwa kerja sama militer Vietnam dengan AS melalui
MoU 2011 dilatar belakangi oleh tiga faktor. Pertama, hal tersebut ditujukan
untuk meningkatkan kapabilitas Angkatan Laut Vietnam, serta dapat
menghadirkan Angkatan Laut AS di LCS, sehingga dapat mengimbangi Angkatan
Laut Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di LCS. Kedua, MoU tersebut ditujukan
untuk menjaga aset-aset serta kegiatan ekonomi Vietnam dari agresifitas patroli
RRT di LCS. Ketiga, Vietnam berani melakukan MoU dengan AS, meskipun
dikritik RRT, karena adanya dukungan negara-negara Asia Tenggara, yaitu
berupa persamaan kepentingan antara AS, Vietnam dan negara-negara Asia
Tenggara lainnya. Dengan demikian, orientasi dari MoU 2011 bukan hanya
semata-mata untuk pengelolaan masalah keamanan maritim biasa saja, namun
juga untuk tujuan perimbangan kekuatan terhadap RRT di LCS.
Kata kunci: Vietnam, kerjasama militer, keamanan nasional, Laut Cina Selatan,
Amerika Serikat.
vi
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji serta syukur kehadirat Allah SWT, penguasa
alam semesta. Atas rahmat dan hidayah Nya serta inayah Nya, penulis dengan
segenap daya dan upaya mampu menyelesaikan tulisan ini. Shalawat dan salam
semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga serta para
sahabatnya yang telah menjadi jalan bagi umatnya dalam menempuh keselamatan
dan kebahagiaan di alam semesta ini dengan bergelimang ilmu pengetahuan.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu tugas akademis di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dalam rangka mencapai gelar sarjana pada
jurusan Hubungan Internasional. Dalam menyusun skripsi ini, penyusun
menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan dari
berbagai pihak yang telah mendorong dan memotivasi serta membimbing penulis,
baik tenaga, ide maupun pemikiran. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan
terimakasih kepada:
Kedua Orang tua, yang senantiasa mendampingi disaat suka maupun duka.
Terima kasih tak terhingga kepada Ayahanda Muchtar Effendi dan Ibunda tercinta
Badriyah, atas segala daya upaya, kucuran keringat, sujud panjang serta do’a yang
terus mengalir kepada Allah SWT, letihmu yang terus harapakan keselamatan
juga keberhasilan hidup penulis.
Ibu Mutiara Pertiwi, M.A, selaku dosen pembing, Ibu Debbie Affianty,
M.A, selaku Ketua Jurusan dan para staff dosen yang terlibat dalam membantu
dan membimbing dengan ikhlas atas kesediaan waktu, arahan, motivasi dan
kesabaran hingga pada akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.
vii
Tidak lupa pula ucapan terima kasih untuk wanita yang sangat dikasihi
penulis, Resti Deviani, yang dengan pengertian dan cintanya, dapat memberikan
kucuran semangat untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Seluruh keluarga besar HI Internasional 2008, kawan terbaikku dalam
berjuang “Alm. Bung Noviar Nurdiansyah, Bung Faruq Muhandis, Bung Fajar
Fiqh, Bung Mazhar Sandy Priagung dan Bung Haryo Dewanto”, serta teman-
teman terbaikku, senior HI internasional beserta keluarga Najong.
Keluarga besar Sedap Malam, khususnya M. Alfrad Rusyd, dan kawan-
kawan HMI komisariat FISIP. Serta tidak lupa teman satu atap penulis “Ahmad
Mukhlis Jaylani (Oghut, Embe, Jay, Ro’uf, Mukhlis), Ferry Bastian (Peri), Haris
Maknawi (Haris).
Segenap civitas akademik Universitas Islam Negeri Syarrif Hidayatullah
Jakarta, mudah-mudahan atas segala bantuan serta budi baik yang telah penulis
terima selama menjalani pendidikan, mendapatkan ridha Allah SWT. Semoga
skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca, amin. Atas segala
perhatiannya penulis haturkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.
Jakarta, 16 Mei 2014
Penulis,
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI....…….………………………………………..……………...... v
KATA PENGANTAR……..……………………...………………………...... vi
DAFTAR ISI....………………………………………………………............. viii
DAFTAR TABEL…………………………………………….......................... ix
DAFTAR GAMBAR………………….……………………………………... x
DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………….. xi
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang……………………………………………………. 1
1.2 Pertanyaan Penelitian……………………………………………... 5
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………..…….. 5
1.4 Tinjauan Pustaka………………………………………………….. 6
1.5 Kerangka Teori…………………………………………………..... 8
1.5.1 Keamanan Nasional…..…………………………………….. 9
1.5.2 Aliansi…………..…………………………………………... 11
1.5.3 Perimbangan Kekuatan (balance of power)………………… 12
1.6 Hipotesis………………………………………………………….. 13
1.7 Metode Penelitian………………………………………………… 14
1.8 Sistematika Penulisan…………………………………………….. 15
BAB II Ancaman Keamanan Terhadap Vietnam di Laut Cina Selatan
2.1 Posisi Vietnam di Laut Cina Selatan…………………………….. 16
2.2 Klaim Vietnam di Laut Cina Selatan…………………………..… 19
2.3 Sengketa terhadap Vietnam di Laut Cina Selatan………………. 23
2.3.1 Sengketa Kepulauan Paracel……………………………… 23
2.3.2 Sengketa Kepulauan Spratly ……………………………… 25
2.3.3 Sengketa batas ZEE dengan RRT ………………………… 26
BAB III Kerjasama Militer Vietnam dengan Amerika Serikat dalam mengelola
Ancaman Keamanan Laut Cina Selatan pada tahun 2011
1.1 Rintisan awal kerjasama militer Vietnam dengan Amerika Serikat 32
1.2 Tensi keamanan LCS menjelang penandatanganan MoU 2011...... 38
1.3 MoU dalam pengelolaan LCS tahun 2011……………………….. 41
BAB IV Faktor Pendorong bagi Vietnam dalam penguatan kemitraan dengan
AS melalui MoU tahun 2011
4.1 Motif “balancing” Vietnam terhadap RRT.…………………....… 45
4.2 Pengamanan aset nasional Vietnam di LCS……………………... 52
4.3 Dukungan negara-negara ASEAN terhadap kehadiran AS di LCS 58
BABV PENUTUP
5.1 Kesimpulan………………...……………………………...………. 61
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1: Pulau-pulau terluar Vietnam……………………………………. 17
Tabel 4.1: Perbandingan Kapabilitas Persenjataan RRT dengan Vietnam…47
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1: Zona Ekonomi Eksklusif Vietnam terhitung 200 mil dari garis
dasar “base line”……………………………….......………… 18
Gambar2.2 : Klaim wilayah Vietnam setelah memasukan kepulauan Paracel
dan Spratly .............................………………………............ 22
Gambar 2.3: Peta klaim RRT di wilayah Laut Cina Selatan….....………… 27
Gambar 2.4: Wilayah larangan memancing (fishing ban)….....…………... 29
Gambar 3.1: Pendidikan dan Pelatihan militer Vietnam dalam IMET…..... 36
Gambar 4.1: Perbandingan Angkatan Laut Amerika Serikat dengan RRT.. 49
Gambar 4.2: Lokasi penyerangan atas kapal Vietnam oleh kapal RRT........ 53
Gambar 4.3: Produksi dan konsumsi minyak Vietnam….....…………....... 55
xi
DAFTAR SINGKATAN
RRT Republik Rakyat Tiongkok
LCS Laut Cina Selatan
AS Amerika Serikat
PBB Perserikatan Bangsa-bangsa
MoU Memorandum of Understanding
UNCLOS United Nations Convention Law of Sea
POW Prisoner of war
MIA Missing in action
ZEE Zona Ekonomi Eksklusif
Tcf Trillion cubic feet
ASEAN Association of Southeast Asian Nation
IMET International Millitary Education and Training
PASSEX Passing Exercise
ACSA Acquisition and Cross-Servicing Agreement
ITAR International Traffic in Arms Regulations
NDU National Defense University’s
FMF Foreign Military Financing
FMS Foreign Military Sales
PLA People Liberation Army
MSO Maritime Security Operations
SAR Search and Rescue
UNPKO United Nations Peacekeeping Operations
HADR High availability disaster recovery
USCG United States Coast Guard
USPACOM United States Pacific Command
DOC Declaration on the Conduct
GDP Gross domestic product
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Laut Cina Selatan (LCS) merupakan wilayah di kawasan Asia Pasifik yang
mengalami berbagai kasus perbatasan maritim. Kasus-kasus tersebut terjadi
setidaknya sejak awal abad 20, ketika klaim teritorial mulai diperebutkan oleh
Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan dua kekuatan kolonial, yaitu: Jepang dan
Perancis di perairan ini (Vietnam White Paper oleh Ministry of Foreign Affairs,
1975: 17-18). Setelah Perang Dunia II, muncul juga persaingan klaim-klaim baru
di antara negara-negara yang baru memerdekakan diri di perairan LCS. Salah satu
negara yang terlibat dalam sengketa klaim teritorial di perairan tersebut adalah
Vietnam. Skripsi ini akan menganalisis upaya Vietnam dalam mengelola
keamanan di LCS melalui kerjasama militer dengan Amerika Serikat (AS).
Berdasarkan letak geografisnya, Vietnam merupakan salah satu negara
Indocina yang mempunyai garis pantai sepanjang 3,444 kilometer, yang
berbatasan langsung dengan LCS (Womack, 2006:57). Pada lepas pantai Vietnam,
terdapat kawasan perairan LCS dan dua kepulauan yang masih menjadi sengketa,
yaitu kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel. Di Kepulauan Spratly, Vietnam
memiliki sengketa dengan RRT, Taiwan, Filipina, Malaysia dan Brunei.
Sedangkan, di Kepulauan Paracel, Vietnam memiliki sengketa dengan RRT dan
Taiwan (Ahira, 2011). Sengketa perairan di LCS serta sengketa di Kepulauan
Spratly dan Kepulauan Paracel mengakibatkan tensi keamanan antara Vietnam
2
dengan negara yang mengklaim kedaulatannya atas perairan dan kepulauan
tersebut.
Keberadaan negara-negara yang mengklaim wilayah kedaulatan Vietnam di
LCS merupakan sebuah ancaman eksternal bagi Vietnam. Sebagaimana dikatakan
pada National Defense White Paper oleh Departemen Pertahanan Vietnam yang
dirilis pada bulan Desember 2009.
Concerning the disputes over sovereignty, sovereign rights and jurisdiction over the
territories in the East Sea, the complicated developments so far have seriously affected
many activities and the maritime economic development of Vietnam. [Mengenai
Perselisihan kedaulatan, hak berdaulat dan yurisdiksi atas wilayah di Laut Timur,
perkembangan rumit sejauh ini, berdampak serius pada banyak kegiatan dan pembangunan
ekonomi maritim Vietnam] (National Defense White Paper dikutip The National Institute
for Defense Studies, 2010:114).
Pernyataan tersebut menunjukan skala sengketa territorial di LCS sudah
menjadi ancaman serius bagi ekonomi Vietnam. Dalam menghadapi ancaman
tersebut, Vietnam melakukan diplomasi dan berbagai kerjasama pertahanan.
National Defense White Paper mengatakan bahwa kerjasama pertahanan
merupakan salah satu faktor yang paling penting untuk mencapai tujuan
pertahanan Vietnam. Oleh karena itu, Vietnam secara aktif berpartisipasi dalam
kerjasama pertahanan dan keamanan di regional dan internasional. Pada tingkat
bilateral, Vietnam mempromosikan kerjasama militer dengan beberapa negara
(The National Institute for Defense Studies, 2010: 121). Salah satu kerjasama
militer yang dilakukan oleh Vietnam adalah dengan AS, yang merupakan fokus
analisis skripsi ini.
Sebenarnya, Vietnam dengan AS memiliki sejarah konflik pada masa
Perang Dingin, khususnya pada periode (1954-1975) (Cuong, Nguyet, Thanh,
2010:2). Pertikaian tersebut berakhir dengan kemenangan rezim sosialis Vietnam
3
Utara, yang kemudian menyatukan Vietnam Utara dengan Selatan di bawah
pemerintahan sosialis. Sejak saat itu, hubungan diplomatik Vietnam dengan AS
tidak terjalin selama lebih dari 15 tahun, karena AS memberlakukan sanksi
ekonomi dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Vietnam (Babson, 2002:
1).
Membaiknya hubungan bilateral kedua negara diawali pada tahun 1987. Ini
dilakukan dengan melalui sebuah kerjasama yang terkait dengan isu POW/MIA
(prisoner of war / missing in action). Pada tahun 1991, kedua negara
memutuskan untuk memperbaiki hubungan diplomatik secara resmi (Manyin,
2012:4). Sejak normalisasi hubungan, berbagai kerjasama telah dilakukan dalam
berbagai aspek, salah satunya dalam aspek militer.
Kerjasama militer Vietnam dengan AS dilakukan dalam beberapa tahapan.
Tahapan awal yaitu pada periode 1996-1999 yang berfokus pada tiga jenis
kerjasama militer, yaitu: konferensi multilateral dan seminar yang
diselenggarakan oleh Komando Pasifik AS; kunjungan militer dan kerjasama
dalam bidang pencarian dan penyelamatan korban bencana; dan yang terakhir
mengenai keamanan lingkungan. Tahapan berikutnya dilakukan pada periode
tahun 2000-2004, dimana AS mendorong hubungan kerjasama militer ke arah
yang lebih strategis, seperti upaya AS untuk memodernisasi militer Vietnam dan
upaya untuk melakukan latihan pertahanan bersama (Jordan, Stern, and Lohman,
2012: 3-4).
Meskipun kemitraan pertahanan ini menguntungkan Vietnam, namun
terdapat resiko yang perlu diwaspadai. Kemitraan tersebut dapat menciptakan
4
dampak negatif terhadap hubungan luar negerinya dengan negara lain. Khususnya,
ini dikhawatirkan akan mengundang kecurigaan dan menciptakan insecurity bagi
RRT dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Kehadiran AS dalam skema
pertahanan Vietnam akan mempengaruhi kalkulasi perimbangan kekuatan di LCS,
yang ditakutkan dapat meningkatkan tensi keamanan yang ada.
Kekhawatiran di atas menjadi kenyataan ketika RRT merespon negatif
peningkatan hubungan kerjasama militer Vietnam dengan AS yang dilakukan
pada tahun 2010. Setelah kunjungan Hillary Clinton ke Hanoi pada tahun 2010,
RRT menyatakan akan menggunakan kekuatan militer atau sound of cannon
untuk menyelesaikan sengketa territorial di perairan LCS. Selain pernyataan
tersebut, RRT meningkatkan intensitas patroli di kawasan tersebut yang
mengakibatkan 20 kali penangkapan nelayan Vietnam oleh Angkatan laut RRT di
LCS pada tahun 2010 (Veronika, 2012: 6-108). Hal ini merupakan suatu resiko
dan dampak dari hubungan kerjasama militer Vietnam dengan AS. Apabila tidak
dikelola dengan tepat, kemitraan Vietnam dengan AS justru dapat memprovokasi
perang terbuka di LCS.
Namun, terlepas dari kekhawatiran terhadap resiko strategis tersebut,
Vietnam tetap melanjutkan kemitraan dalam kerjasama militer dengan AS pada
tahun 2011. Salah satu wujudnya berupa pelaksanaan latihan militer gabungan
Vietnam dan AS di kawasan LCS pada bulan Juli 2011. Pelaksanaan latihan
militer gabungan ini dengan segera mendapat respon dari RRT. Ini tertulis dalam
media terbitan pemerintah RRT pada tahun 2011, dimana dinyatakan bahwa
5
latihan militer Vietnam dengan AS dianggap sebagai unjuk kekuatan militer untuk
menantang Beijing (BBC, 2011).
Dihadapkan pada pernyataan yang provokatif tersebut, Vietnam tetap
mempertahankan hubungan pertahanannya dengan AS dengan suatu langkah
penegasan dalam kemitraan. Ini dilakukan dalam sebuah Memorandum of
Understanding (MoU) yang ditandatangani antara Vietnam dan AS, pada bulan
September 2011. Dengan pelaksanaan MoU 2011, kedua negara menegaskan
kembali komitmen untuk implementasi penuh dalam melanjutkan kesepakatan
Politik, Keamanan, dan Dialog Kebijakan Pertahanan (Thayer, 2013).
Langkah penegasan kemitraan Vietnam dengan AS dalam MoU 2011
tersebut merupakan fokus analisis skripsi ini. Apabila Vietnam mempertaruhkan
stabilitas keamanan LCS demi kemitraan pertahanannya dengan AS, ini diduga
dikarenakan adanya peluang pencapaian kepentingan yang lebih besar bagi
Vietnam. Hal ini yang berusaha diungkap dalam pemaparan dan analisis di bab-
bab berikutnya.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Komitmen Vietnam dalam melakukan kerjasama militer dengan AS ini akan
menjadi fokus analisis penulis. Skripsi ini akan membahas; “Mengapa Vietnam
melanjutkan kerjasama militer dengan AS melalui MoU 2011, meskipun beresiko
meningkatkan tensi keamanan di LCS?”
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
6
1) Untuk mengetahui bentuk-bentuk ancaman di LCS terhadap
kedaulatan dan keamanan wilayah Vietnam.
2) Untuk mengetahui kesepakatan kesepakatan strategis serta bentuk-
bentuk kerjasama militer antara Vietnam dengan AS pada tahun 2011,
dalam mengelola ancaman keamanan Vietnam di LCS.
3) Untuk mengungkap faktor pendorong Vietnam dalam meningkatkan
kerjasama militer dengan AS melalui MoU 2011.
Adapun manfaat penelitian dalam penelitian ini sebagai berikut
1) Menambah literatur dalam bidang studi Hubungan Internasional,
khususnya mengenai permasalahan sengketa perairan.
2) Meningkatkan pemahaman tentang upaya negara dalam mengelola
sengketa perairan yang dilakukan melalui kerjasama pertahanan,
khususnya kerjasama militer Vietnam dengan AS di LCS.
1.4 Tinjauan Pustaka
Bagian tinjauan pustaka ini mengkaji tiga penelitian terdahulu tentang
kerjasama Vietnam dengan AS. Penelitian pertama berjudul “U.S.-Vietnam
Military Relations: Game Theory Perspective” ditulis oleh Ngan M. Kim.
Penelitian tersebut diajukan untuk memperoleh gelar Master Of Science dalam
bidang Defense Analysis, di Naval Postgraduate School AS, pada bulan Juni 2012.
Kim berargumen bahwa Vietnam telah belajar pada pengalaman aliansi dengan
Uni Soviet, yaitu bahwa sebuah aliansi militer dengan pihak asing hanyalah
bersifat sementara. Karenanya, bagi Vietnam, AS tidak dapat mempengaruhi
Vietnam menuju aliansi militer yang lebih formal kecuali terdapat ancaman invasi
7
dari RRT. Meskipun sama-sama membahas kerjasama militer Vietnam dengan
AS, fokus skripsi Kim ialah memberikan analisis prediktif. Sedangkan dalam
skripsi ini, penulis lebih memfokuskan kepada analisis faktor kerjasama militer
Vietnam dengan AS. Kim berusaha mengidentifikasi pilihan kebijakan Vietnam di
masa depan, sedangkan skripsi ini berusaha memahami kebijakan yang sudah
terjadi.
Literatur kedua yang dikaji adalah “Pengaruh Komponen Geopolitik
Terhadap Konflik Di Laut China Selatan Antara China-Vietnam Pada Periode
2009-2011” ditulis oleh Nuri Widiastuti Veronika. Penelitian tersebut diajukan
untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Hubungan
Internasional di Universitas Indonesia, pada bulan juli 2012. Veronika dalam
penelitiannya mempertanyakan: “Bagaimana pengaruh komponen geopolitik
terhadap konflik teritorial Cina-Vietnam di Laut Cina Selatan periode 2009-
2011?” Ini dijawab dengan argumen bahwa terdapat tiga komponen geopolitik
yang mempengaruhi konflik teritorial Cina-Vietnam di LCS, yaitu wilayah,
komponen energi, dan komponen power. Meskipun sama-sama membahas konflik
dan sengketa wilayah maritim Vietnam di LCS, fokus skripsi Veronika tersebut
berbeda dengan penelitian skripsi ini. Dalam skripsi ini, penulis lebih
memfokuskan kepada kerjasama militer Vietnam dengan AS dalam menanggapi
sengketa wilayah tersebut pada tahun 2011.
Literatur yang ketiga yang dikaji adalah “Balancing And Bandwagoning In
The South China Sea” ditulis oleh Jonathan R. Martin, yang diajukan untuk
memperoleh gelar Magister of Sains di National Defence Academy Of Latvia
8
pada tahun 2013. Martin dalam penelitiannya mempertanyakan: “Apakah negara-
negara di Asia Tenggara melakukan balancing atau bandwagoning terhadap Cina?
Ini dijawab dengan argumen bahwa negara-negara Asia Tenggara cenderung
melakukan balancing terhadap Cina. Ini terjadi sejak krisis ekonomi global pada
akhir tahun 2007 dan 2008 melalui penguatan hubungan Filipina dan Vietnam
dengan AS. Meskipun sama-sama membahas kerjasama militer Vietnam dengan
AS, fokus skripsi Martin tersebut berbeda dengan penelitian skripsi ini. Dalam
skripsi ini, penulis lebih memfokuskan kepada kerjasama militer Vietnam dengan
AS dalam menanggapi beberapa sengketa wilayah Vietnam di LCS.
1.5 Kerangka Teori
Logika argumen dalam penelitian ini mengacu pada pemahaman teori Neo-
realisme yang mengungkapkan bahwa: struktur dalam sistem internasional yang
membentuk perilaku negara (Waltz, 1979: 108). Dalam anarki, setiap negara
memiliki kedaulatan yang setara, sehingga tidak ada otoritas yang lebih tinggi
tingkatannya di atas negara. Dalam sistem yang anarki, tidak ada kepastian bahwa
negara yang satu tidak akan menyerang negara yang lain. Oleh karena itu, timbul
ketakutan dan ketidak percayaan antar satu negara dengan lainnya. Negara akan
memastikan dirinya mendapatkan kekuatan untuk dapat melindungi diri dari
ancaman yang mungkin timbul dari negara lain untuk keberlangsungan negara itu
sendiri (Dunne dan Smith, 2010:77-94).
Menurut pandangan ini, rasa tidak aman sebagian besar merupakan hasil
dari struktur sistem internasional. Hal ini menjadikan Neo-Realisme sering
disebut sebagai 'struktural Realis'. Karenanya, Neo-Realisme memprediksi bahwa
9
politik internasional akan selalu penuh konflik (Baylis dan Smith, 2005:303).
Untuk pemikir Neo-realis, seperti Mearsheimer, politik internasional tidak selalu
ditandai oleh perang yang nyata, namun pasti terdapat unsur kompetisi keamanan.
Dalam situasi kompetitif, kerjasama antar negara dapat dilakukan. Namun,
kerjasama tersebut akan sangat terbatas dari segi ruang maupun waktu
(Mearsheimer dikutip Baylis dan Smith, 2005:303). Kerjasama akan sulit bertahan
karena faktor relative gain, yaitu satu pihak mendapatkan keuntungan yang lebih
besar dan pihak yang lain mendapatkan keuntungan yang lebih kecil (Jackson dan
Sorensen, 2005: 130-131). Hal ini menjadikan tindakan kerjasama antara negara
hanya akan terjadi dalam hal perimbangan kekuasaan “balance of power” dan
tanpa memperhatikan faktor-faktor lain, seperti ekonomi, dan lain-lain (Waltz,
1979: 195). Atas dasar kerangka teori ini, penulis akan memakai tiga konsep
dalam menjawab pertanyaan penelitian, yaitu: keamanan nasional, aliansi, dan
balance of power. Ketiganya akan dijelaskan di bawah ini.
1.5.1 Keamanan Nasional
Secara etimologis, keamanan “security” berasal dari bahasa latin “securus”
ataupun “se + cura” yang bermakna terbebas dari bahaya dan terbebas dari
ketakutan “free from danger, free from fear”. Kata ini juga bisa bermakna dari
gabungan kata “se” yang berarti tanpa dan “curus” yang berarti uniasiness atau
kegelisahan. Sehingga, bila digabungkan, kata ini bermakna terbebas dari
kegelisahan, atau situasi damai tanpa resiko atau ancaman (Liota dikutip
Hermawan, 2007:26).
10
Pengertian di atas menyatakan bahwa konsep keamanan nasional merupakan
suatu kondisi tidak terdapatnya ancaman militer atau kemampuan suatu negara
untuk melindungi diri dari serangan militer yang berasal dari lingkungan
eksternalnya (Haftendorn dikutip Hermawan, 2007:28). Sejalan dengan
pemahaman di atas, Walter Lippmann, juga menyatakan bahwa sebuah bangsa
dapat dikatakan aman ketika negara tersebut tidak dalam bahaya, dan harus
menghindari perang, ataupun mampu untuk memberikan kemenangan jika
terdesak ke dalam sebuah perang. Sedangkan, Arnold Wolfers memaknakan
konsep keamanan adalah suatu hal yang obyektif, ukuran adanya ancaman
terhadap nilai-nilai merupakan hal yang subyektif, yaitu merupakan perasaan
tidak adanya ketakutan bahwa nilai-nilai tersebut akan diserang (Baylis and Smith
dikutip Hermawan, 2007:29).
Dalam pengupayaan keamanan nasional, ancaman keamanan dapat dihadapi
dengan kapabilitas dan penggunaan kekuatan militer. Sekurang-kurangnya
terdapat empat fungsi kekuatan militer dalam politik internasional. Pertama,
kekuatan militer yang digunakan sebagai prestige power, dimana suatu negara
menunjukkan keunggulan militernya untuk dapat menggetarkan lawan. Kedua,
kekuatan militer digunakan sebagai detterence power atau kekuatan penangkal,
yaitu negara meyakinkan lawannya tentang konsekuensi yang akan dihadapi bila
memulai peperangan. Ketiga, kekuatan militer dibangun sebagai kekuatan
pertahanan (defensive power), yang bertujuan untuk melindungi diri dari musuh
dengan cara bertahan. Keempat, kekuatan militer digunakan sebagai alat pemaksa
(coercive power) atau compellent power, yaitu sebagai kemampuan negara untuk
11
menekan negara lainnya, sehingga dapat mengikuti keinginannya (Jemadu, 2008:
146-147).
Upaya dalam meningkatkan kapabilitas kekuatan militer suatu negara dapat
dilakukan dengan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas persenjataan, serta
pelatihan dan pendidikan militer. Ini dapat dicapai dengan meningkatkan
anggaran belanja militer. Selain itu, juga dapat dicapai dengan melalui kerjasama
pertahanan.
1.5.2 Aliansi
Kerjasama pertahanan dilakukan untuk meningkatkan kapabilitas kekuatan
militer dan menanggapi ancaman keamanan yang ada. Ini salah satunya dengan
menerapkan konsep aliansi. Menurut George Liska (1968), aliansi merupakan
asosiasi resmi antara dua negara atau lebih terhadap ancaman dari negara ketiga
yang lebih kuat. Sedangkan menurut Holsti, Hopmann, dan Sullivan, aliansi
merupakan perjanjian formal antara negara-negara yang bersangkutan terhadap
masalah keamanan nasional (Bergsmann, 2001: 25-26). Pengertian-pengertian di
atas menjelaskan bahwa aliansi dilakukan dengan suatu ikatan perjanjian formal.
Dengan kata lain, terdapat legitimasi bahwa kedua negara atau lebih telah
melakukan hubungan aliansi.
Namun, Stephen M. Walt menekankan bahwa pengaturan aliansi juga dapat
bersifat informal. Ia berargumen bahwa aliansi merupakan suatu pengaturan
formal atau informal dalam kerjasama keamanan antara dua negara atau lebih
(Bergsmann, 2001: 27). Aliansi yang berbentuk formal merupakan aliansi yang
ditandai dengan penandatangan sebuah treaty yang dilakukan secara terang-
12
terangan (publicly recognized). Ini berarti kedua belah pihak atau lebih telah
menyatakan kepada publik bahwa telah terdapat perjanjian “treaty” yang
membentuk hubungan aliansi. Sedangkan, aliansi informal tidak ditandai oleh
kedua hal tersebut (treaty dan publicly recognized), bahkan dapat juga dicapai
dengan hanya perjanjian secara rahasia oleh kepala negaranya (Griffiths, Martin
dan O’Callaghan, 2002: 1).
Dalam pelaksanaannya, aliansi merupakan sebuah upaya negara dalam
merespon ancaman. Namun terdapat dua perbedaan perilaku negara dalam
melakukan aliansi. Yaitu, negara melakukan balance (bersekutu bersama pihak
yang bertentangan dengan negara yang mengancam) atau bandwagoning
(bersekutu dengan negara yang menimbulkan ancaman tersebut). Negara yang
melakukan aliansi untuk menghindari dominasi kekuatan yang lebih kuat
merupakan pemahaman dari konsep balance of power (Walt, 1985: 4). Seperti
perilaku Vietnam untuk menghindari dominasi RRT di LCS.
1.5.3 Perimbangan kekuatan (Balance of power)
Balance of power dapat ditafsirkan sebagai distribusi perimbangan
kekuatan, yang berarti suatu distribusi yang relatif seimbang di antara partisipan.
Selain itu penafsiran lainnya mengenai balance of power yaitu sebagai
ekuilibrium. Ekuilibrium dipandang sebagai suatu hubungan di antara variabel-
variabel utama sistem itu (seperti distribusi sumberdaya atau sikap dan kebijakan
negara-negara), yang begitu erat sehingga perubahan disuatu variabel pasti akan
menimbulkan perubahan di variabel lainnya. Pendekatan ini berasumsi bahwa
selama masih ada distribusi sumberdaya yang cukup seimbang, kebijakan negara-
13
negara di dalamnya akan tetap moderat, dan upaya oleh satu aktor untuk
memperoleh posisi hegemoni akan bisa digagalkan oleh kekuatan pengimbangnya
(Hopkins, 1973: 27).
Dalam perimbangan kekuatan (balance of power), negara berupaya untuk
melindungi keamanan dan kemerdekaannya. Sehingga, tidak ada entitas tunggal
dalam sistem untuk mendapatkan dominasi atas negara lain (Dwivedi, 2012: 228).
Menurut Kenneth Waltz dalam Theory of International Politcs, teori Balance of
Power memahami konsep balancing sebagai tindakan negara dalam
mempertahankan posisinya dalam sistem, bukan meningkatkan kekuatam (Waltz,
1979: 126).
Dalam pelaksanaannya tersebut, terdapat dua perbedaan dalam balance of
power, yaitu antara hard balancing dan soft balancing. Hard balancing mengacu
pada strategi oleh negara-negara kecil untuk membangun dan memperbarui
kemampuan militer mereka, serta menciptakan dan memelihara aliansi formal,
informal dan kontra-aliansi untuk menciptakan kemampuan yang lebih kuat.
Sementara itu, soft balancing merupakan tindakan balancing sementara dalam
aliansi, terutama dalam bentuk meningkatkan persenjataan secara terbatas,
kerjasama dalam pelatihan, atau kolaborasi pada lembaga-lembaga regional atau
internasional (Paul, 2004: 3). Hal ini selaras dengan upaya Vietnam dalam
meningkatkan kerjasama militer dengan AS melalui latihan militer bersama di
perairan LCS dan kolaborasi lembaga-lembaga kedua negara.
1.6 Hipotesis
14
Dalam memulai penelitian, terdapat hipotesis yang diajukan sebagai pijakan
awal dalam memulai rangkaian proses penelitian. Dalam penelitian ini, terdapat
hipotesis bahwa Vietnam meningkatkan kerjasama militer dengan AS melalui
MoU pada tahun 2011 dikarenakan tensi ancaman LCS yang terus meningkat.
MoU 2011 dengan AS ditujukan untuk menghadirkan Angkatan Laut AS di LCS
untuk mengimbangi Angkatan Laut RRT. Dalam perimbangan tersebut, kerjasama
kedua negara diharapkan dapat mencegah pelanggaran-pelanggaran patroli RRT
di masa depan, sehingga Vietnam dapat menjaga kegiatan ekonomi serta aset-
asetnya di LCS.
1.7 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan teknik analisa data yang bersifat kualitatif,
yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Adapun yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kualitatif yang berkarakter deskriptif analitis. Dengan
demikian, penelitian akan menginterpretasi data dengan tujuan untuk memberi
gambaran yang akurat mengenai fakta-fakta dan hubungannya dengan sifat
fenomena yang diteliti (Moleong. 2009: 4-11).
Sedangkan, teknik pengumpulan data adalah studi kepustakaan (library
research), yaitu pengumpulan data dengan cara memanfaatkan sumber-sumber
data dan informasi-informasi dari berbagai literatur yang relevan. Jenis data yang
digunakan adalah data sekunder, yakni data yang diperoleh dari kajian pustaka,
seperti, buku, artikel, jurnal, koran, majalah, hasil penelitian dan situs internet
15
(website) yang dianggap relevan. Penulis kemudian memilah dan menganalisanya,
sehingga dapat dirangkai dalam suatu kesimpulan (Moleong. 2009: 258).
1.8 Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Pertanyaan Penelitian
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Tinjauan Pustaka
1.5 Kerangka Teori
1.6 Hipotesis
1.7 Metode Penelitian
1.8 Sistematika Penulisan
BAB II Ancaman Keamanan Terhadap Vietnam di Laut Cina Selatan
2.1 Posisi Vietnam di Laut Cina Selatan
2.2 Klaim Vietnam di Laut Cina Selatan
2.3 Sengketa terhadap Vietnam di Laut Cina Selatan
2.3.1 Sengketa Kepulauan Paracel
2.3.2 Sengketa Kepulauan Spratly
2.3.3 Sengketa batas ZEE dengan RRT
BAB III Kerjasama Militer Vietnam dengan Amerika Serikat dalam
mengelola Ancaman Keamanan Laut Cina Selatan pada tahun 2011
3.1 Rintisan awal kerjasama militer Vietnam dengan Amerika Serikat
3.2 Tensi keamanan LCS menjelang penandatanganan MoU
3.3 MoU dalam pengelolaan LCS tahun 2011
BAB IV Faktor Pendorong bagi Vietnam dalam penguatan kemitraan
dengan AS melalui MoU tahun 2011
4.1 Motif “balancing” Vietnam terhadap RRT
4.2 Pengamanan aset nasional Vietnam di LCS
4.3 Dukungan negara-negara ASEAN terhadap kehadiran AS di LCS
BAB V Penutup
5.1 Kesimpulan
16
BAB II
ANCAMAN KEAMANAN TERHADAP VIETNAM
DI LAUT CINA SELATAN
Bab ini membahas tentang letak geografis Vietnam di Laut Cina Selatan
(LCS) yang diikuti klaim Vietnam di wilayah tersebut. Ini kemudian disusul
dengan berkembangnya sengketa antara negara-negara di wilayah tersebut,
sehingga menghadirkan ancaman nyata bagi keamanan territorial Vietnam. Untuk
itu, struktur pembahasan dalam bab ini terbagi kedalam 3 bagian. Bagian pertama
akan menjelaskan letak geografis perairan Vietnam serta posisi Vietnam di LCS.
Bagian kedua akan menjelaskan klaim Vietnam di kawasan perairan tersebut,
termasuk klaim Vietnam di kepulauan Spratly dan Paracel. Sedangkan bagian
terakhir akan menjelaskan sengketa di LCS yang menyebabkan ancaman bagi
kedaulatan Vietnam, yaitu sengketa wilayah perairan, sengketa Kepulauan Spratly
dan Kepulauan Paracel, serta sengketa batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
dengan RRT.
2.1 Posisi Vietnam di LCS
Vietnam merupakan salah satu Negara Indocina yang secara geografis
mempunyai wilayah darat dan laut. Negara ini berbatasan darat dengan Kamboja
sepanjang 1,228 km; Laos (2,130 km); RRT (1,281 km). Vietnam juga
mempunyai garis pantai sepanjang 3,444 kilometer (Womack, 2006: 57), terhadap
perairan yang termasuk ke dalam wilayah LCS. Wilayah tersebut terletak di
sebelah timur lepas pantai Vietnam. Di kawasan ini, luas wilayah laut teritorial
17
Vietnam ditentukan berdasarkan deklarasi pernyataan wilayah Laut Vietnam pada
tanggal 12 mei 1977. Deklarasi tersebut dilakukan dalam Konferensi Ketiga
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Hukum Laut. Ini dilegitimasi dalam
penandatanganan United Nations Convention Law of Sea (UNCLOS) pada tahun
1982. (United States Department of State Bureau of Intelligence and Research,
1983: 3).
Berdasarkan UNCLOS, Vietnam memiliki luas wilayah laut teritorial sejauh
12 mil dari pulau-pulau terluar Vietnam. Pulau-pulau terluar tersebut membentuk
garis dasar “baseline” yang menjadi tolak ukur pengukuran luas wilayah laut
teritorial Vietnam (United States Department of State Bureau of Intelligence and
Research, 1983: 3-4). Pulau-pulau terluar Vietnam di antaranya dapat dilihat
dalam tabel berikut ini:
Tabel 2.1: Pulau-pulau terluar Vietnam
No Nama Pulau Lintang dan Bujur
1 Pulau Hon Nhan, kepulauan Tho Chu,
provinsi Kien Giang 9°15.0’ 103°27.0’
2 Pulau Hon Da, provinsi Minh Hai 8°22.8’ 104°52.4’
3 Tai Lon Islet, Con Dao Islet, di Con Dao-
Vung Toa 8°37.8’ 106°37.5’
4 Bong Lai Islet, Con Dao Islet 8°38.9' 106°40.3’
5 Bay Canh Islet, Con Dao Islet 8°39.7’ 106°42.1’
6 Hon Hai Islet, provinsi Thuan Hai 9°58.0’ 109°5.0’
7 Hon Doi Islet, provinsi Thuan Hai 12°39.0’ 109°28.0’
8 Dai Lanh point, provinsi Phu Khanh 12°53.8’ 109°27.2’
9 Ong Can Islet, provinsi Phu Khanh 13°54.0’ 109°21.0’
10 Ly Son Islet, provinsi Nghia Binh 15°23.1' 109°9.0'
11 Pulau Con Co, provinsi Binh Tri Thien 17°10.0' 107°20.6'
18
Sumber: United States Department of State, Bureau of Intelligence and Research, dalam
Limits in the Seas No. 99 Straight Baselines hal: 7
Pulau-pulau terluar di atas membentuk garis dasar “baseline”. Garis tersebut
tidak hanya menentukan luas wilayah laut territorial, namun berpengaruh pada
pengukuran Zona tambahan “The contiguous zone” dan ZEE. Zona tambahan
Vietnam memiliki luas 12 mil dari laut teritorial. Sedangkan, ZEE terhitung 200
mil dari laut teritorialnya tersebut (United States Department of State Bureau of
Intelligence and Research, 1983: 3-4). Ini sesuai dengan Hukum Laut (UNCLOS)
pada tahun 1982 yang mulai berlaku sejak 16 November 1994, bahwa setiap
negara hanya berhak untuk memasukkan wilayah hingga 12 mil laut sebagai dari
kedaulatannya dan 200 mil laut untuk ZEE (Ali, 2012). Berdasarkan hukum
tersebut dapat dilihat luas wilyah ZEE Vietnam dalam peta berikut ini:
Gambar 2.1: Zona Ekonomi Eksklusif Vietnam terhitung 200 mil dari garis
dasar “base line”
19
Sumber: 200 mile boundaries without consideration of the Spratlys or Paracels, oleh Cire
Sare, pada http://www.southchinasea.org/category/mpas/territorial-claims/page/2/
Peta di atas menunjukan ZEE Vietnam dan lima negara lainnya di wilayah
LCS. Namun, setelah kesepakatan UNCLOS 1982, negara-negara di kawasan ini
saling mengklaim wilayah kedaulatannya di luar ZEE yang telah disepakati dalam
UNCLOS. Vietnam menjadi salah satu yang mengklaim wilayah dan terlibat
dalam sengketa dengan negara lainnya di kawasan tersebut.
2.2 Klaim Vietnam di Laut Cina Selatan
Berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), negara-
negara yang mempunyai wilayah perairan dapat mengklaim ZEE yang meliputi
200 mil dari garis pantai pulau terluar (Kim, 2012: 28). Di LCS, tidak dapat
ditentukan pulau-pulau terluar yang dimiliki dan menjadi kedaulatan suatu negara.
Ini dikarenakan, kawasan ini memiliki banyak pulau yang kepemilikannya masih
diperebutkan oleh negara-negara di perairan ini,1 sehingga menimbulkan berbagai
sengketa. Dengan adanya berbagai sengketa, batas-batas ZEE di LCS sulit untuk
ditentukan.
Vietnam tercatat memiliki sengketa dengan lima negara di LCS. Sengketa-
sengketa tersebut antara lain: Teluk Tonkin dekat pulau Hainan dengan RRT;
kepulauan Paracel dengan RRT dan Taiwan; kepulauan Spratly dengan RRT,
Malaysia, Filipina, Brunei dan Taiwan. Pada kepulauan Spratly, Vietnam berebut
klaim atas wilayah perairan sebelah barat kepulauan ini dengan RRT dan Taiwan.
1 Negara-negara yang pemperebutkan klaim kedaulatannya di LCS yaitu: Brunei,
Filipina, Malaysia, Taiwan, RRT dan Vietnam (Heijmans, 2004).
20
Sementara pada bagian lainnya, tumpang tindih klaim terjadi antara Vietnam
dengan Brunei, Malaysia, dan Filipina (Ahira, 2011).
Di antara kasus-kasus tersebut, dua klaim yang mengundang perhatian
utama Vietnam adalah kepulauan Spratly dan Paracel. Selain karena posisinya
yang strategis, juga karena adanya potensi sumberdaya minyak dan gas. RRT
memperkirakan potensi minyak di kepulauan Spratly dan Paracel Islands bisa
mencapai 105 miliar barel, sementara keseluruhan potensi minyak di LCS
mencapai 213 miliar barel. Sedangkan potensi gas yang terdapat di Kepulauan
Spratly hampir mencapai 900 Tcf. Ini diperkirakan akan dapat memproduksi
sumberdaya gas hampir mencapai 1,8 Tcf setiap tahunnya (global security.org,
2011).
Mengenai Spratly dan Paracel, Vietnam sendiri belum menetapkan dua
kepulauan tersebut sebagai pulau-pulau terluar yang membentuk garis dasar
“baseline” Vietnam dalam penandatanganan UNCLOS pada tahun 1982. Namun,
setelah ratifikasi UNCLOS pada tahun 1994, Vietnam mengadakan Resolusi
Majelis Nasional Kesembilan yang mulai merumuskan kembali wilayah
kedaulatan laut pada kepulauan Paracel dan Spratly pada tahun 1994. Ini
menjelaskan bahwa Vietnam belum menentukan lingkup zona maritim di sekitar
pulau. Baseline dan zona maritim di seluruh pulau-pulau akan didefinisikan dalam
peraturan perundang-undangan di masa depan, seperti undang-undang yang
membahas Zona Maritim Vietnam, dengan melalui perjanjian batas negara dengan
negara lain (Nguyen, 2012: 196-197).
21
Pada tahun 2003, Majelis Nasional Vietnam membuat Undang-Undang
tentang batas Nasional. Pada pasal 1, ditegaskan kembali klaim kedaulatan
Vietnam atas Kepulauan Paracel (Hoang Sa) dan Kepulauan Spratly (Truong Sa)
(Biendong.net, 2012). Dalam Undang-undang ini juga menjelaskan landas
kontinen negara diperpanjang hingga 350 mil laut sesuai dengan kondisi dan
prosedur Konvensi PBB tentang Hukum Laut pada tahun 1982. Ini merupakan
kelanjutan klaim sejak bersatunya Vietnam paska Perang Dingin pada tahun 1975.
Sebagaimana ditegaskan dalam Vietnam White Paper oleh Ministry of Foreign
Affairs, bahwa Kepulauan Paracel (Hoang Sa) dan Kepulauan Spratly (Truong Sa)
merupakan bagian dari kedaulatan negara (Vietnam White Paper oleh Ministry of
Foreign Affairs, 1975: 1).
Pada tahun 2009, pemerintah Vietnam mengirim laporan bahwa batas
landas kontinen Vietnam diperpanjang dalam dua daerah untuk dipertimbangkan
oleh Komisi Batas Landas Kontinen (Hanh, 2012). Upaya perluasan klaim ini
mengakibatkan perubahan batas-batas kedaulatan wilayah Vietnam yang pada
awalnya ditentukan oleh garis dasar “baseline” dalam Deklarasi Pernyataan
Wilayah Laut Vietnam, pada tanggal 12 Mei 1977. Berikut ini merupakan peta
wilayah kedaulatan Vietnam setelah klaim kedaulatan diperluas yang mencakupi
kepulauan Paracel (Hoang Sa) dan kepulauan Spratly (Truong Sa):
22
Gambar 2.2 : Klaim wilayah Vietnam setelah memasukan kepulauan Paracel
dan Spratly
Sumber: Bellacqua. “The China Factor in U.S.-Vietnam RelationsNgan M. Kim dalam U.S.
–Vietnam Military Relations: Game Theory Perspective
Peta di atas menunjukan perluasan klaim Vietnam yang mencakupi
kepulauan Paracel dan kepulauan Spratly. Vietnam memasukan klaim kedua
kepulauan tersebut berdasarkan data historis. Keduanya dianggap termasuk ke
dalam wilayah Vietnam, sejak masa pemerintahan Raja Le Thanh Tong (1460-
1497). Vietnam menyatakan bahwa pihaknya telah memiliki dokumen dan peta
dari abad ke-17, 18, dan 19 (Kim, 2012: 30). Klaim Vietnam tersebut berujung
pada sengketa dan konflik antara Vietnam dengan negara yang juga telah
mengklaim kedaulatannya atas perairan di LCS serta kepulauan Paracel dan
kepulauan Spratly.
23
2.3 Sengketa terhadap Vietnam di Laut Cina Selatan
Terdapat setidaknya lima negara yang merupakan pesaing klaim territorial
Vietnam di LCS. Pertama, klaim Brunei yang merujuk pada prinsip kawasan ZEE
dengan memasukan satu karang paling selatan di Kepulauan Spratly dalam peta
teritorialnya. Kedua, RRT yang mengklaim hampir semua dari kawasan LCS
berdasarkan ZEE dan prinsip landas kontinental serta catatan sejarah dinasti Han
(110 \M) dan Ming (1403 – 1433M). Ketiga, klaim Malaysia di LCS atas 3 pulau
di Spratly berdasarkan ZEE dan batas landas kontinen. Keempat, Filipina
mengklaim 8 pulau di Kepulauan Spratly. Ini didasari oleh ZEE dan batas landas
kontinental serta sebuah ekspedisi penjelajah Filipina pada tahun 1956. Kelima,
Taiwan yang mengklaim hampir semua kawasan di LCS, dengan mengklaim
semua pulau di Kepulauan Spratly dan Paracel dengan dasar yang sama seperti
klaim yang dibuat oleh RRT (Veronika, 2012: 45). Bagian berikutnya akan
mengidentifikasi konflik dan tensi keamanan yang terjadi akibat sengketa
teritorial di kedua kepulauan tersebut.
2.3.1 Sengketa Kepulauan Paracel
Kepulauan Paracel menjadi wilayah sengketa yang di perebutkan beberapa
negara, salah satunya adalah Vietnam yang memiliki sengketa dengan RRT dan
Taiwan (Ahira, 2011). Sengketa ini menyebabkan konflik antara Vietnam dengan
RRT, yang terjadi sejak sebelum bersatunya Vietnam Utara dengan Vietnam
Selatan pada tahun 1975. RRT mengklaim kedaulatan Vietnam yang berujung
konflik pada tahun 1974 di Kepulauan Paracel. Dalam bentrokan yang dikenal
sebagai pertempuran Kepulauan Paracel, RRT mengambil kendali Kepulauan
24
Paracel dari Vietnam Selatan. Pertempuran itu mengakibatkan 36 militer dari
kedua belah pihak tewas (Garver, 1992: 999-1028). Pertempuran ini juga berujung
pada pengusiran orang-orang Vietnam dari kepulauan Paracel dan pendudukan
kepulauan tersebut oleh RRT (Heijmans, 2004: 506).
Awalnya, RRT menduduki bagian barat kelompok pulau Crescent di
kepulauan Paracel. Ini kemudian meluas ke seluruh wilayah Paracel. RRT bahkan
membangun pelabuhan besar di Pulau Triton pada tahun 1982, yang terutama
diperuntukan untuk kepentingan militer (Lo, 1989: 118). Kemudian pada tahun
1994, RRT membangun landasan udara baru di kepulauan Paracel (Heijmans,
2004: 509).
Selain itu, RRT membangun pangkalan lainnya di pulau Hainan yang
terletak di sebelah utara kepulauan Paracel. Pulau ini merupakan pusat operasi
pesawat-pesawat tempur baru berdaya jelajah jauh Su-27 Flanker yang dikirim
dari pangkalan udara ketiga terbesar the People’s Liberation Army (PLA) di
Zhanjiang, yang juga sebagai markas besar armada Laut Cina Selatan. Kapal
terbang tanker yang baru dioperasikan di Pulau Hainan akan mempermudah
pesawat-pesawat tempur RRT beroperasi pada jarak yang lebih jauh, pada jalur-
jalur laut dan ladang-ladang minyak lepas pantai strategis di LCS. Di sana, RRT
memiliki armada militer untuk memperjuangkan klaim teritorialnya yang
merentang seribu mil ke arah selatan dari pantai RRT, hampir mendekati wilayah
pantai Malaysia dan Indonesia (Calder, 1996:191).
Pada awal tahun 1996, Beijing secara sepihak menyatakan baseline di
sekitar kepulauan Paracel dan mengumumkan bahwa mereka akan melakukan hal
25
yang sama untuk wilayah lain di kemudian hari (Heijmans, 2004: 510). Pada
tahun 2006, RRT memasang penanda baru di kawasan Paracel sehingga
menyebabkan kemarahan Vietnam dan dianggap sebagai tindakan “invalid”.
(Veronika, 2012: 53).
2.3.2 Sengketa Kepulauan Spratly
Selain Kepulauan Paracel, Vietnam memiliki sengketa di Kepulauan
Spratly. Vietnam bersengketa dengan RRT, Malaysia, Filipina, Brunei dan
Taiwan. Vietnam berebut klaim atas wilayah perairan sebelah barat Kepulauan
Spratly dengan RRT dan Taiwan. Sementara pada bagian lainnya, terjadi tumpang
tindih klaim terjadi antara Vietnam dengan Brunei, Malaysia, dan Filipina (Ahira,
2011).
Sengketa ini juga menyebabkan konflik antara Vietnam dengan RRT. Ini
terjadi setelah bersatunya kembali Vietnam pada tahun 1975, yaitu pada tahun
1988. Pasukan Vietnam dan RRT terlibat pada bentrokan atas Kepulauan Spratly
yang menewaskan 74 pelaut Vietnam (Miks, 2010). Bentrokan ini menghasilkan
penguasaan enam pulau di kepulauan Spratly oleh pihak RRT. Sebelum bentrokan
itu, RRT telah berhasil dalam pembangunan secara fisik di Kepulauan Spratly.
Setelah bentrokan itu, yaitu pada tahun 1989, tiga pulau karang di Kepulauan
Spratly yang diduki oleh Vietnam telah disewakan oleh RRT kepada Crestone
Energy Corporation. Pulau-pulau tersebut yaitu; Vanguard Bank (Bai Tu Chinh),
Prince Consort Bank (Bai Phuc Nguyen), dan Bank Grainger (Bai Que Duong)
(Kang, 2000: 12-18).
26
Pada tahun 1992, Vietnam menegaskan kembali klaimnya, tidak hanya
terhadap RRT, tetapi juga terhadap klaim negara lainnya di kepulauan Spartly,
yaitu Malaysia, Filipina, dan Brunei. Laporan pada tahun 1992 menyatakan bahwa
tingkat personel Vietnam di kepulauan ini mencapai sekitar 1.000 orang, meliputi
tentara, pelaut dan beberapa pekerja konstruksi. Ini tersebar di 21 pulau di
kepulauan Spratly. Di Pulau Sin Cowe, Vietnam menempatkan artileri dan senjata
anti-pesawat, serta memiliki lapangan terbang kecil (Kang, 2000: 18).
Meskipun memiliki fasilitas militer, Vietnam tetap tidak dapat
menghindarkan ancaman di Kepulauan Spratly. Pada tahun 1995, artileri Taiwan
menembaki kapal barang Vietnam yang mendekati sebuah pulau yang dikuasai
Taiwan di Kepulauan Spratly (Deutsche Presse-Agentur, 1995). Ini mendorong
Vietnam untuk lebih agresif dalam menjaga klaim teritorialnya di wilayah
tersebut.
Pada tahun 1998, Vietnam telah mempertahankan wilayah sengketa pada
setidaknya lima kepulauan, yaitu kepulauan Spratly, Amboyna Cay, Sin Cowe,
Namyit, and Southwest Cay, dengan menghadirkan sekitar 350 tentara (Kang,
2000: 19). Atas dasar mempertahanankan wilayah tersebut, tentara Vietnam
menembaki sebuah kapal nelayan berbendera Filipina yang melukai seorang
nelayan Filipina pada tahun 1998 (Deutsche Presse-Agentur, 1998). Tindakan
tersebut juga terjadi pada tahun 1999, ketika tentara Vietnam menembaki pesawat
pengintai Filipina di dekat Kepulauan Spratly (Klare, 2002:124).
2.3.3 Sengketa batas ZEE dengan RRT
27
Sengketa batas wilayah Vietnam dengan RRT berawal pada tahun 1947,
ketika RRT menerbitkan sebuah peta yang merinci klaim wilayahnya di sebagian
besar kawasan LCS (Sihombing, 2012). Pada tahun 1992, badan legislatif
tertinggi RRT, Committee of the National People’s Congress, secara resmi
mengesahkan undang-undang tentang Perairan Teritorial. Undang-undang ini
secara resmi mengakui “the nine-dashed line” yang berbentuk U, dan juga dikenal
dengan "lidah sapi" sebagai perairan territorial RRT. Pemerintah RRT juga
memberdayakan militernya, the People’s Liberation Army (PLA) untuk
menggunakan kekuatan jika perlu dalam membela serta melawan pendudukan
atau serangan asing diwilayah tersebut (Kim, 2012: 30). “The nine-dashed line”
disampaikan kepada komisi PBB dengan menunjukan peta klaim wilayah RRT,
pada bulan Mei 2009 (Cordero, 2012). Berikut ini merupakan peta wilayah di
dalam “the nine-dashed line” ataupun 9 garis putus-putus yang merupakan klaim
RRT di LCS:
Gambar 2.3: Peta klaim RRT di wilayah Laut Cina Selatan
28
Sumber: Eurasia Review, September 10, 2012 dikutip dari O'Rourke pada;
http://www.fas.org/sgp/crs/row/R42784.pdf
Peta tersebut disambut dengan protes resmi dari Vietnam, karena sebagian
wilayah Vietnam termasuk ke dalam peta RRT yang disampaikan kepada Komisi
PBB (Cordero, 2012). Wilayah Kepulauan Spratly dan Paracel yang diklaim oleh
Vietnam masuk juga kedalam peta wilayah yang disampaikan oleh RRT.
Tepatnya sebagian wilayah yang diklaim oleh RRT merupakan wilayah ZEE
Vietnam.
Hal di atas menimbulkan suatu ancaman pada lalu lintas nelayan dan
perdagangan laut Vietnam, berupa penangkapan kapal-kapal nelayan dan kapal
barang Vietnam oleh patroli RRT. Ini setidaknya terjadi sejak tahun 1992, ketika
RRT merebut sekitar 20 kapal kargo Vietnam yang mengangkut barang dari Hong
Kong (Klare, 2002:124). Pada periode 2005-2012, Vietnam mengatakan telah
terjadi penangkapan dan penyitaan terhadap 63 kapal nelayan dengan 725 awak,
oleh RRT sejak tahun 2005 di LCS. Vietnam lalu diminta membayar denda untuk
pembebasan mereka. Hal serupa sempat disoroti publik internasional kembali
pada tahun 2010, ketika patroli RRT melakukan penangkapan dan penyitaan
sebuah kapal nelayan Vietnam dengan 12 awak, di sekitar Paracel (Buszynski,
2012:143).
Selain penangkapan dan penyitaan terhadap kapal nelayan dan kapal barang
Vietnam, RRT juga telah memberlakukan larangan memancing tahunan di LCS.
RRT pertama menyatakan larangan tersebut pada tahun 1999. Ini dilakukan pada
bulan Juni sampai Juli setiap tahunnya. Pada tahun 2009, periode larangan
diperpanjang dari tanggal 16 Mei hingga 1 Agustus setiap tahun. Luasnya wilayah
29
yang diberlakukan peraturan larangan memancing tersebut tidak begitu jelas,
walaupun pada dasarnya meliputi area sekitar Paracel (Buszynski, 2012: 143).
Berikut merupakan peta wilayah larangan memancing tahunan yang diberlakukan
oleh RRT:
Gambar 2.4: Wilayah larangan memancing (fishing ban)
Sumber: A Bilateral Network of Marine Protected Areas between Vietnam and China: An
Alternative to the Chinese Unilateral Fishing Ban in the South China Sea? oleh Hai-Dang
Vu, pada http://nghiencuubiendong.vn/en/conferences-and-seminars-/the-third-
international-workshop-on-south-china-sea/668-a-bilateral-network-of-marine-protected-
areas-between-vietnam-and-china-an-alternative-to-the-chinese-unilateral-fishing-ban-in-
the-south-china-sea-by-hai-dang-vu
Di wilayah pada peta di atas, RRT telah mengirimkan kapal patroli
perikanan, yang dilaksanakan oleh angkatan kapal laut RRT. Ini untuk
menegakkan larangan memancing bagi Vietnam dan melindungi kapal-kapal
nelayan RRT. RRT juga telah mengumumkan rencana untuk meningkatkan
kekuatan maritimnya yaitu penambahan 16 pesawat dan 350 kapal pada tahun
2015, yang akan digunakan untuk memonitor pengiriman, melakukan survei,
30
melindungi keamanan maritim, dan memeriksa kapal-kapal asing yang beroperasi
di perairan RRT (Buszynski, 2012: 143-144).
Selain menghadirkan ketegangan-ketegangan antara Vietnam dengan RRT,
sengketa batas wilayah ini juga telah menghadirkan upaya diplomasi dari kedua
belah pihak. Pada tahun 1991 hingga September 2008, Menteri Pertahanan
Vietnam telah melakukan enam kali kunjungan ke Beijing, sementara Menteri
Pertahanan RRT mengunjungi Hanoi sebanyak tiga kali. Pada tahun 2006, Hanoi
menerima Menteri Pertahanan RRT, Cao Gangchuan, dalam rangka kerjasama
patroli bersama di LCS (Thayer, 2008: 5). Sejak itu, telah dilakukan operasi
penghapusan ranjau dan patroli angkatan laut bersama pertama di Teluk Tonkin
pada tanggal 27 April 2006 (Kim, 2012: 21-22). Selain itu, pada tahun 2006,
Vietnam dan RRT sepakat untuk melakukan eksploitasi minyak dan gas di
wilayah laut Teluk Tokin dalam garis demarkasi kedua negara. Setelah minyak
dan gas yang terdeteksi, kedua belah pihak akan bekerjasama dalam eksploitasi
bersama (Vietnamnet, 2013).
Kerjasama dalam eksploitasi bersama di kawasan LCS antara Vietnam
dengan RRT tidak mengurangi tensi keamanan bagi Vietnam. Pada 9 Juni 2011,
terjadi penyerangan atas kapal Vietnam oleh kapal RRT. RRT melakukan
pemotongan kabel eksplorasi yang dipasang oleh kapal survey yang digunakan
oleh perusahaan minyak Vietnam (PetroVietnam) dan RRT menuntut Vietnam
menghentikan kegiatan eksplorasi dikawasan tersebut (Hoang, 2011).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat digambarkan terjadinya tensi
keamanan diakibatkan dari tumpang tindih klaim di LCS. Ini mengancam klaim
31
wilayah kedaulatan Vietnam, terutama di kepulauan Paracel dan Spratly. Selain
itu, sengketa batas ZEE dengan RRT juga mengakibatkan ancaman bagi lalu lintas
nelayan dan perdagangan Vietnam, serta menghalangi eksplorasi sumber daya
alam di kawasan tersebut. Dengan berbagai tantangan keamanan yang ada,
Vietnam memutuskan untuk bekerjasama dengan AS pada tahun 2011. Ini akan
dijelaskan pada bab berikutnya.
32
BAB III
KERJASAMA MILITER VIETNAM DENGAN AMERIKA
SERIKAT DALAM MENGELOLA ANCAMAN KEAMANAN
LAUT CINA SELATAN PADA TAHUN 2011
Setelah melihat posisi dan klaim Vietnam di Laut Cina Selatan serta
ancaman keamanan di kawasan ini, maka bab ini akan membahas tentang upaya
Vietnam dalam mengelola ancaman keamanan tersebut melalui kerjasama militer
dengan AS. Ini diawali penjelasan rintisan awal kerjasama militer Vietnam
dengan AS, hingga hubungan srategis dalam mengelola ancaman keamanan LCS,
yang salah satunya melalui penandatanganan MoU tahun 2011. Dalam bab ini,
MoU akan dipaparkan melalui penjelasan tensi keamanan di LCS menjelang
penandatanganannya, serta peranan MoU itu sendiri dalam pengelolaan ancaman
keamanan di LCS.
3.1 Rintisan awal kerjasama militer Vietnam dengan AS
Kerjasama antara Vietnam dengan AS diawali dengan membaiknya
hubungan bilateral kedua negara pada tahun 1987, dengan adanya sebuah
kerjasama yang terkait dengan isu POW/MIA. Kerjasama ini berupa pencarian
pasukan AS yang hilang pada Perang Vietnam. Untuk kerjasama ini, Jenderal
Vessey dan Presiden Reagan melakukan suatu kunjungan khusus ke Vietnam
(Manyin, 2012:4).
Pada tahun 1995, normalisasi hubungan diplomatik secara resmi terjalin di
antara Vietnam dengan AS (Manyin, 2012:4). Kedua negara mulai menggagas
beragam kerjasama di bidang ekonomi, perdagangan, konsuler, dan normalisasi
33
diplomatik. Namun, pemerintah Vietnam menunjukan keengganan untuk
melakukan hubungan kerjasama dengan AS di dalam sektor pertahanan (Jordan,
Stern, and Lohman, 2012: 3).
Pada tahun 1996 dan 1997, AS menawarkan Kementrian Pertahanan
Vietnam berbagai titik awal untuk kerjasama militer, dan mengemukakan
serangkaian kegiatan dalam kerjasama pertahanan. Ini dilakukan dengan tetap
memprioritaskan masalah POW/MIA (Jordan, Stern, and Lohman, 2012: 3).
Prosesnya dimulai pada bulan Juli 1996, ketika The U.S. National Security
Advisor, Anthony Lake, mengunjungi Vietnam untuk mulai membentuk hubungan
militer antara Vietnam dan AS. Pada bulan Oktober di tahun yang sama, asisten
Menteri Pertahanan, Kurt Campbell, memimpin delegasi yang terdiri dari
Departemen Pertahanan, Departemen Luar Negeri, Dewan Keamanan Nasional,
dan Komando Pasifik (USPACOM), pada kunjungannya ke Vietnam. Campbell
memulai diskusi dengan Menteri Pertahanan Vietnam, Letjen Nguyen Thoi Bung
mengenai hal-hal di luar POW/MIA. Campbell mengusulkan beberapa program,
yaitu: kunjungan beberapa kolonel senior Vietnam ke AS, kunjungan Komandan
Angkatan Laut AS ke Vietnam, kunjungan Universitas Pertahanan National AS
dan The Air Force War College. Campbell juga mengusulkan pertukaran pelajar,
latihan kemanusiaan secara multilateral, latihan bantuan bencana, dan pertukaran
pejabat peradilan militer. (Dalpino, 2005: 27).
Tawaran dan kunjungan-kunjungan yang dilakukan oleh AS ke Vietnam
direspon oleh Vietnam pada awal 1997 dengan suatu Keputusan Komite Sentral
ke-9 dari Partai Komunis Vietnam. Partai Komunis Vietnam mengungkapkan
34
bahwa lingkup kerjasama pertahanan dengan AS akan dilakukan dalam hal:
konferensi multilateral dan seminar yang diselenggarakan oleh Komando Pasifik
AS (PACOM), kunjungan militer, dan kerjasama bilateral praktis di berbagai
bidang seperti pencarian dan penyelamatan (SAR), militer medis, dan keamanan
lingkungan (Jordan, Stern, and Lohman, 2012: 3).
Namun, dengan kegiatan-kegiatan tersebut, pejabat senior di Kementerian
Pertahanan Vietnam masih merasa sulit untuk memahami niat pemerintah AS.
Vietnam masih berusaha untuk membatasi ruang lingkup kerjasama pertahanan.
Ketika AS menyebut hubungan kerjasama ini sebagai hubungan pertahanan,
Vietnam dalam hal ini hanya menekankan pada hubungan militer ke militer. Ini
menyiratkan bahwa Vietnam membatasi ruang lingkup kerjasama ke dalam aspek
yang lebih sempit, sehingga menimbulkan perbedaan ekspektasi dari kedua negara
(Jordan, Stern, and Lohman, 2012: 3-4).
Terdapatnya perbedaan ekspektasi antara Vietnam dan AS tidak
menurunkan minat kedua negara untuk memajukan kerjasama pertahanan. Pada
periode 2000-2004, hubungan kedua negara semakin erat. Ini diawali dengan
kunjungan Menteri Pertahanan AS, William Cohen, ke Hanoi dan Ho Chi Minh
City pada bulan Maret 2000. Cohen berfokus kepada perkembangan hubungan
pertahanan kedua negara dalam kerangka kerja yang lebih rutin. Dalam hal ini,
Cohen menyarankan hubungan kerjasama berkembang ke arah penelitian bersama
dalam bidang Agen Orange2 dan berbagai bidang lainnya, seperti penghapusan
2 Agent Orange adalah zat kimia penggundul hutan dioxin-laced yang disemprotkan oleh
tentara Amerika Serikat selama perang Vietnam (Viva News, 2012)
35
ranjau darat, pencarian dan penyelamatan, bantuan bencana alam, penelitian
medis, dan dialog tentang isu-isu keamanan regional. (Dalpino, 2005: 28).
Kunjungan Cohen ke Hanoi juga menghasilkan kesepakatan dengan Menteri
Pertahanan Vietnam, Pham Van Tra. Vietnam menyetujui kunjungan kapal-kapal
militer AS ke Vietnam. Pham Van Tra menyatakan bahwa kunjungan kapal AS
akan menjadi aspek positif dari rencana bertahap dalam memperluas keterlibatan
militer (Jordan, Stern, and Lohman, 2012: 5). Pada tahun yang sama, Presiden
William Clinton mengunjungi Vietnam yang merupakan perjalanan pertama
Presiden AS ke Vietnam sejak Richard Nixon pergi ke Saigon (sekarang Ho Chi
Minh City) pada tahun 1969 (Manyin, 2012:4).
Dari tahun 2000 hingga 2004, Kementerian Pertahanan Vietnam bekerja
keras untuk memastikan bahwa komitmennya dalam peningkatan keterlibatan
militer AS bukan sebagai tujuan kebijakan luar negeri secara keseluruhan.
Vietnam tidak ingin tergantung secara militer pada kerjasama dengan satu negara
saja. Oleh karena itu, Kementrian Pertahanan Vietnam akan memastikan terlebih
dahulu kerjasama pertahanan ini tidak akan memiliki dampak strategis pada
hubungan bilateral Vietnam dengan negara lainnya. Yaitu terhadap hubungan
bilateral dengan RRT dan hubungan multilateral dengan negara tetangga di Asia
Tenggara yang tergabung dalam the Association of Southeast Asian Nation
(ASEAN) (Jordan, Stern, and Lohman, 2012: 5).
Pada tahun 2005 sampai 2010, hubungan pertahanan Vietnam dengan AS
mulai berkembang secara strategis. Ini diawali dengan pertemuan antara Menteri
Pertahanan AS, Donald Rumsfeld dan Perdana Menteri Vietnam, Phan Van Khai
36
di Washington DC pada pertengahan 2005 (Jordan, Stern, and Lohman, 2012: 6).
Pada tahun yang sama, Vietnam menandatangani perjanjian akhir yang menjadi
syarat untuk memulai Pendidikan Militer dan Pelatihan dalam International
Millitary Education and Training (IMET). Ini ditujukan untuk menerima
pelatihan bahasa Inggris bagi militer Vietnam di AS (Manyin, 2013: 22). Tahun
2005 menjadi awal dilaksanannya program pendidikan dan pelatihan militer
dalam kerjasama militer Vietnam dengan AS. Berikut ini merupakan grafik
pendidikan dan pelatihan militer Vietnam dalam IMET sejak tahun 2005-2008.
Gambar 3.1: Pendidikan dan Pelatihan militer Vietnam dalam IMET
Sumber: US Department of Defense Security Cooperation Agency Historical Facts Book,
2008 dalam jurnal Contemporary Southeast Asia, Volume 32, Nomer 3. Institute of
Southeast Asian Studies, 2010.
Dalam pengembangan strategis selanjutnya, Vietnam dan AS merancang
rencana untuk mendatangkan kapal-kapal Angkatan Laut AS di perairan Vietnam.
Pada tahun 2007 dan 2008, kapal angkatan Laut AS dan kapal kemanusiaan
Angkatan Laut AS memasuki perairan Vietnam untuk suatu kunjungan. Selain itu,
37
Vietnam juga mengikuti pelatihan penjaga perdamaian, latihan angkatan laut
gabungan seperti Passing Exercise (PASSEX), mendiskusikan tentang Acquisition
and Cross-Servicing Agreement (ACSA), melakukan kerjasama hidrografi, dan
studi bersama mengenai dampak strategis dari pergeseran meteorologi dan
perubahan permukaan laut (Jordan, Stern, and Lohman, 2012: 6). Ini dilanjutkan
dengan penandatanganan International Traffic in Arms Regulations (ITAR) pada
tahun 2007, yang merupakan upaya pembatasan dalam perdagangan senjata-
senjata militer yang tidak mematikan atau non-lethal weapon” (Manyin, 2012:21).
Pada tahun 2008, pemerintahan Bush melalui Kementerian Pertahanan AS
berupaya membawa kerjasama dengan Vietnam ke tingkat yang lebih tinggi.
Upaya AS tersebut mendapatkan respon positif dari Vietnam. Vietnam mulai
membuka diri dalam diskusi yang mengarah pada isu-isu pertahanan regional,
serta modernisasi pertahanan Vietnam (Jordan, Stern, and Lohman, 2012: 6-7).
Pada akhirnya, di tahun 2009, AS memberikan pendanaan militer asing
(FMF) untuk mendorong modernisasi pertahanan Vietnam sebesar $ 500.000
(Manyin, 2011:20). Mengenai penjualan militer asing (FMS), menurut
Departemen Luar Negeri AS, Vietnam mengajukan surat permintaan untuk suku
cadang helikopter dan laboratorium Bahasa Inggris (Manyin, 2012:21).
Pendanaan militer asing (FMF) dilanjutkan pada tahun 2010 sebesar $ 1.350.000
(Manyin, 2011:20).
Mulai tahun 2010, kedua negara mempercepat proses kerjasama dengan
membentuk kemitraan di beberapa bidang. AS mengidentifikasi Vietnam sebagai
38
salah satu mitra baru sebagai bagian dari upaya rebalancing3 AS di kawasan Asia-
Pasifik (Manyin, 2012:1). Pada tanggal 17 Agustus 2010, Asisten Menteri
Pertahanan AS untuk Asia Selatan dan Asia Tenggara, Robert Scher, bertemu
Wakil Menteri Pertahanan Vietnam, Nguyen Chi Vinh, untuk melakukan dialog
pertahanan formal yang pertama (Brown, 2010: 333). Pada tahun ini, kedua
negara berupaya untuk merespon RRT yang meningkatkan klaimnya ke perairan
dan pulau-pulau di LCS, serta terus bekerja sama pada isu-isu kebebasan dan
keamanan maritim (Manyin, 2012:1). Kerjasama Vietnam dengan AS dalam
mengelola ancaman keamanan LCS terus ditingkatkan pada tahun 2011, yang
akan dipaparkan pada bagian selanjutnya.
3.2 Tensi keamanan LCS menjelang penandatanganan MoU 2011
Kerjasama militer Vietnam dengan AS selama tahun 2011 bertujuan untuk
meningkatkan hubungan kedua negara ke dalam tingkat yang lebih strategis. Yaitu
dengan memfokuskan pengembangan kemampuan militer kedua negara dan
memperluas batas-batas keterlibatan militer yang ditujukan untuk memenuhi
tantangan keamanan (Jordan, Stern, and Lohman, 2012: 7-8).
Pada pertengahan 2011, Vietnam mengirimkan perwira angkatan darat
pertama ke U.S. National War College. Senior Kolonel Hà thanh Chung, seorang
kepala departemen di The Vietnamese Military Science Academy, yang bergabung
3 kebijakan rebalancing merupakan kebijakan menyeimbangkan kembali kekuatan strategis
AS pada pemerintahan Presiden Obama di kawasan Asia Pasifik, khususnya untuk bidang
ekonomi.
39
pada periode 2011-2012 untuk satu tahun studi (Jordan, Stern, and Lohman, 2012:
6).
Selain itu, Vietnam dan AS melakukan kerjasama dalam hal perbaikan
kapal noncombatant AS. Yaitu perbaikan kapal kargo dan amunisi, Military
Sealift Command (MSC) yang dinahkodai oleh Richard E. Byrd, yang
mengunjungi pelabuhan Cam Ranh pada bulan Agustus 2011. Ini merupakan
kunjungan yang pertama oleh sebuah kapal Angkatan Laut AS ke pelabuhan Cam
Ranh selama lebih dari tiga dekade. Byrd menghabiskan tujuh hari di Cam Ranh
untuk perbaikan dan pemeliharaan rutin, yaitu pembersihan lambung kapal,
pembersihan baling-baling kapal, perbaikan pipa kapal, perbaikan sistem
pendingin salt water cooling yang mendinginkan mesin kapal dan mengaktifkan
AC (air conditioning) (Baxter, 2011: 1).
Pada bulan Juni 2011, Asisten Menteri Luar Negeri untuk Urusan Politik
dan militer AS, Andrew J. Shapiro, bertemu Wakil Menteri Luar Negeri Vietnam,
Pham Binh Minh, untuk berbagi pandangan mengenai hubungan bilateral dan
masalah keamanan regional. Yaitu membahas langkah-langkah untuk lebih
memperkuat kerjasama nonproliferasi, kontraterorisme, kontra narkotika, POW-
MIA, penanganan dioxin, isu-isu agen orange, bantuan kemanusiaan dan bantuan
bencana, serta aspek-aspek lain dalam kerjasama pertahanan dan keamanan.
Kedua belah pihak juga berkomitmen untuk bekerja menuju "kemitraan strategis"
antara Vietnam dengan AS. Hubungan kemitraan strategis ini khususnya
ditujukan untuk menanggapi tensi keamanan di LCS (Jordan, Stern, and Lohman,
2012: 7-8).
40
Tensi keamanan di LCS semakin meningkat pada pertengahan tahun 2011,
terutama antara Vietnam dan RRT. Ini berupa pelanggaran yang dilakukan RRT
di kawasan perairan yang merupakan bagian dari kedaulatan Vietnam, yaitu
tindakan pemotongan kabel eksplorasi yang digunakan oleh perusahaan minyak
Vietnam (PetroVietnam), pada 9 Juni 2011 (Thayer, 2011: 2). Tindakan ini
direspon oleh pihak Vietnam melalui pernyataan resmi. Juru bicara Kementerian
Luar Negeri Vietnam, Nguyen Phuong Nga mengatakan bahwa Vietnam
menentang tegas tindakan RRT yang menghancurkan, menghalangi kegiatan
eksplorasi dan survei pada landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif Vietnam
(Nguyen dikutip Hoang, 2011).
Pada tanggal 9 Juni dan tanggal 13 Juni, Angkatan Laut Vietnam
menanggapi tindakan RRT tersebut dengan melakukan latihan simulasi di dekat
perairan Hon Ong, pada sebuah Pulau yang terletak sekitar empat puluh kilometer
dari Provinsi Quang Nam, Vietnam bagian tengah. Kementerian Luar Negeri
Vietnam menegaskan bahwa latihan live-firing merupakan rutinitas tahunan dari
kegiatan latihan angkatan laut Vietnam. Tidak ada penjelasan mengenai berapa
banyak kapal yang terlibat dalam latihan tersebut, tapi Vietnam menjelaskan tidak
terdapat rudal yang ditembakan (Thayer, 2011: 2-3).
Pada bulan Juli 2011, Vietnam melakukan latihan gabungan dengan AS. AS
mengirimkan tiga kapal perangnya ke Vietnam yang tiba di pelabuhan Da Nang,
Vietnam, pada 16 Juli 2011 dan melakukan latihan gabungan dengan angkatan
laut Vietnam selama tujuh hari. AS mengirimkan kapal penyelam
USNS Safeguard dan dua kapal penghancur misil, USS Chung-Hoon dan USS
41
Preble, bersama dengan 700 orang awak kapal. Ketiga kapal ini akan bergabung
dengan Angkatan Laut Vietnam dalam melakukan latihan navigasi dan keadaan
darurat (Haluan Media, 2011).
Menurut pernyataan AL kedua negara, latihan gabungan ini merupakan
latihan rutin yang telah dijadwalkan jauh sebelum terjadi ketegangan Vietnam dan
RRT di LCS. Laksamana Tom Carney, pemimpin armada AS di Vietnam,
mengatakan bahwa:
Kedatangan AS adalah upaya membangun hubungan dengan negara-negara
Asia Tenggara pada bidang keamanan maritim. Pasukan AS telah ada di Samudera
Pasifik dan Laut Cina Selatan sejak 50 dan 60 tahun yang lalu, bahkan sebelum Perang
Dunia II. Kami akan terus mempertahankan keberadaan kami di lautan ini untuk puluhan
tahun ke depan, kami tidak berniat menyingkir (Carney dikutip Haluan Media, 2011).
Penjelasan Carney di atas didorong oleh respon yang dikemukakan oleh
RRT. Seperti yang tertulis dalam media terbitan pemerintah RRT pada tahun
2011, latihan ini merupakan unjuk kekuatan militer untuk menantang Beijing
(BBC, 2011). Meskipun dihadapkan pada pernyataan yang provokatif tersebut,
Vietnam tetap mempertahankan hubungan pertahanannya dengan AS, serta
melakukan suatu langkah penegasan dalam kemitraan melalui MoU yang salah
satunya bertujuan untuk pengelolaan ancaman keamanan di LCS.
3.3 MoU dalam pengelolaan LCS tahun 2011
Indikator yang paling penting dalam kesediaan Vietnam untuk memperluas
keterlibatan strategis AS dalam kerjasama pertahanan di LCS adalah
penandatanganan kerjasama melalui MoU. Pada tanggal 20 September 2011,
Asisten Deputi Secretary of Defense for South and Southeast Asia dan
Kementrian Pertahanan Vietnam menandatangani MoU untuk memajukan
42
kerjasama bilateral dalam bidang pertahanan. Dalam MoU, teridentifikasi lima hal
dimana kedua belah pihak akan memperluas kerjasama, yaitu: (1) operasi
keamanan maritim “Maritime Security Operations” (MSO) (2) pencarian dan
penyelamatan, “Search and Rescue” (SAR) (3) United Nations Peacekeeping
Operations (UNPKO), (4) High availability disaster recovery (HADR), dan (5)
kolaborasi antara Universitas Pertahanan dan lembaga penelitian kedua negara
(Jordan, Stern, and Lohman, 2012: 8). MoU mengenai operasi keamanan maritim
“Maritime Security Operations” (MSO), salah satunya ditujukan untuk mengelola
stabilitas regional yang memungkinkan Vietnam untuk berkontribusi dalam
menjaga keamanan wilayah, serta untuk mencegah tindakan-tindakan provokatif
RRT di LCS.
Dalam menjaga keamanan wilayah, terdapat lembaga yang berperan aktif
dalam pelaksanaannya. Salah satu lembaga tersebut adalah United States Pacific
Command (USPACOM). Peranan USPACOM berfokus pada menjalankan fungsi
kontrol komando, manuver, logistik dan perlindungan kawasan, serta
meningkatkan keterampilan dan kemampuan dasar militer Vietnam yang dapat
diterapkan di berbagai operasi militer. Selain itu, USPACOM berperan dalam
menanggapi peristiwa-peristiwa yang terjadi, seperti bencana alam, ancaman
kedaulatan dari pihak lain, atau konflik bersenjata (Chalkley, 2013: 14).
Dalam melindungi keamanan dan kepentingan bersama di LCS, USPACOM
terus menigkatkan keamanan maritim di LCS, melalui pelatihan-pelatihan militer.
Salah satunya yaitu pelatihan anti pembajakan yang akan mendukung pendekatan
strategis untuk meningkatkan kerjasama keamanan kedua negara. Selain itu,
43
pelatihan anti pembajakan dapat memberikan US Coast Guard (USCG)
kesempatan untuk berlatih dan berbagi pengalaman dengan penjaga pantai
Vietnam (Conley, 2013: 15). Sebagaimana yang terdapat dalam MoU, Vietnam
dan AS terus berfokus kepada peningkatan hubungan antara the Maritime Police
of Vietnam dan USCG (Vietnamembassy-usa, 2013). Pada Fungsinya, USCG
difokuskan untuk membangun kemampuan respon militer Vietnam dalam
menghadapi permasalahan-permasalahan maritim (Morgan, 2013: 9).
Dalam menjaga keamanan maritim Vietnam, selain kehadiran USPACOM
dan USCG, AS juga akan memberikan bantuan kepada Vietnam sebesar
$18.000.000, khusus untuk meningkatkan kapasitas unit patroli pantai Vietnam.
Ini termasuk penyediaan lima kapal patroli cepat untuk penjaga pantai Vietnam.
Menurut Departemen Luar Negeri AS, bantuan ini untuk membantu Vietnam
dalam menanggapi ancaman maritim, seperti pembajakan, perdagangan narkoba,
dan sejenisnya (Johnson, 2013).
Bahkan, Menteri Luar Negeri AS, John Kerry menjelaskan bahwa kapal
patroli tersebut akan memiliki misi yang lebih penting, seperti pada
pernyataannya:
Peace and stability in the South China Sea is a top priority for us and for countries in the
region. We are very concerned by and strongly opposed to coercive and aggressive
tactics to advance territorial claims. [Perdamaian dan stabilitas di Laut Cina Selatan
merupakan prioritas utama bagi kami dan bagi negara-negara di kawasan. Kami sangat
prihatin dan sangat menentang pemaksaan serta taktik agresif untuk memajukan klaim
teritorial] (Kerry dikutip Johnson, 2013).
Dalam pernyataan di atas, dapat diasumsikan bahwa Kerry merujuk pada
RRT, ketika menyebutkan ancaman agresif di LCS. Hal ini menandakan bahwa
dengan penandatanganan MoU, memiliki tujuan yang lebih luas dari sekedar
44
menanggapi ancaman maritim biasa. Ini menjadikan suatu tinjauan dalam analisis
penulis pada bab berikutnya mengenai faktor pendorong bagi Vietnam dalam
penguatan kemitraan dengan AS melalui MoU 2011.
45
BAB IV
FAKTOR PENDORONG BAGI VIETNAM DALAM
PENGUATAN KEMITRAAN DENGAN AMERIKA SERIKAT
MELALUI MOU 2011
Bab ini akan memaparkan faktor-faktor pendorong Vietnam dalam
meningkatkan kerjasama militer dengan AS pada tahun 2011, meskipun hal ini
berisiko dipersepsikan sebagai ancaman oleh RRT. Faktor pendorong tersebut
akan dijelaskan melalui analisis perimbangan kekuatan, identifikasi ancaman
keamanan nasional bagi Vietnam di LCS, dan sikap negara-negara Asia Tenggara
terhadap kehadiran AS di LCS. Ketiga analisis tersebut kemudian menunjukan
adanya motif “balancing” dalam MoU tahun 2011 antara Vietnam dengan AS.
MoU tersebut juga merupakan upaya Vietnam untuk mengamankan aset-asetnya
di LCS, seperti jalur perdagangan, sumber perikanan, dan eksplorasi minyak.
Selain itu, MoU juga merupakan persamaan kepentingan antara Vietnam, AS, dan
negara-negara Asia Tenggara.
4.1 Motif “balancing” Vietnam terhadap RRT
Dalam konsep Hubungan Internasional, Haftendorn menyatakan bahwa
konsep keamanan nasional merupakan sebuah kondisi yang terbebas dari ancaman
militer atau kemampuan suatu negara untuk melindungi negara-bangsanya
terhadap serangan militer yang berasal dari lingkungan eksternalnya (Haftendorn
dikutip Hermawan, 2007:28). Pondasi pemahaman Vietnam tentang keamanan
46
nasionalnya di LCS dapat dipahami melalui National Defense White Paper yang
dipublikasikan oleh Departemen Pertahanan Vietnam pada bulan Desember 2009.
National Defense White Paper tersebut mengidentifikasi tensi di LCS
mengakibatkan ancaman keamanan bagi kedaulatan Vietnam.
Pernyataan ini dilatar belakangi tindakan-tindakan negara yang terlibat
dalam sengketa, terutama tindakan-tindakan agresif yang dilakukan oleh RRT
pada tahun 2009, yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Tindakan-tindakan
RRT mengakibatkan prioritas keamanan nasional Vietnam adalah mengatasi
ancaman militer tersebut.
Dalam pengupayaan keamanan nasional, ancaman keamanan dapat dihadapi
dengan kapabilitas dan penggunaan kekuatan militer yang tidak digunakan untuk
masa perang saja. (Jemadu, 2008:146-147). Pernyataan ini selaras dengan upaya
Vietnam untuk terus meningkatkan kemampuan militer dalam melindungi
keamanan nasionalnya dari ancaman eksternal, melalui berbagai kemitraan di
bidang strategis dengan AS. Kemitraan Internasional dengan negara seperti AS
menjadi penting terutama karena Vietnam tidak mungkin menghadapi RRT
sendiri. Ini dikarenakan terdapat perbedaan besar antara kekuatan militer Vietnam
dengan kekuatan militer RRT yang antara lain dapat diukur dari kemampuan
personil angkatan laut dan kapabilitas persenjataan. Perbedaan kapabilitas
persenjataan kedua negara dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
47
Tabel 4.1: Perbandingan Kapabilitas Persenjataan RRT dengan Vietnam
Sumber: Military Balance 2011 oleh Walton, C. Dale (London, Routledge, 2011)
Dari tabel di atas, tidak ada satupun persenjataan Vietnam yang lebih unggul
dari RRT. Bahkan, Vietnam hanya memiliki 49 patroli laut, sementara RRT
memiliki 211 untuk pengamanan wilayah perairan yang diantaranya ditujukan
untuk pemenuhan keamanan maritim di perairan LCS. RRT juga telah
mengumumkan rencana untuk meningkatkan kekuatan maritimnya yaitu
penambahan 16 pesawat dan 350 kapal pada tahun 2015, yang akan digunakan
untuk memonitor pengiriman, melakukan survei, melindungi keamanan maritim,
dan memeriksa kapal-kapal asing yang beroperasi di perairan RRT (Buszynski,
2012: 143-144).
Perbedaan kapabilitas militer kedua negara ini menuntut Vietnam untuk
meningkatkan kapabilitas militernya dalam hal pelatihan dan peningkatan
persenjataan. Salah satu upayanya yaitu melakukan peningkatan hubungan
Equipment China Vietnam
Submarines 71 2
Principal Surface Combatants 78 7
Patrol and Coastal Combatants 211 49
Mine Warfare 89 13
Amphibious 239 6
Support 258 24
Missile 72
Aircraft 436
Helicopters 80
Tank 124
Armoured Combat Vehicles 248
Artillery 40
Total 1973 101
48
kerjasama dengan AS pada tahun 2011. Dalam peningkatan persenjataan, AS
memberikan bantuan pendanaan militer sebesar $ 1,1 juta dalam foreign military
financing (FMF) untuk Vietnam pada tahun 2011 (Manyin, 2011:20). Vietnam
juga melakukan latihan angkatan laut gabungan dengan Angkatan Laut AS di
kawasan LCS pada bulan Juli 2011 (Haluan media, 2011). Ini dilanjutkan dengan
penandatanganan MoU pada bulan September 2011 yang menyatakan komitmen
kedua negara untuk terus menggelar program latihan militer bersama di LCS.
Kerjasama pertahanan yang ditujukan untuk pemenuhan keamanan nasional
salah satunya merupakan hubungan aliansi. Stephen Walt berargumen bahwa
aliansi merupakan suatu pengaturan formal atau informal dalam kerjasama
keamanan antara dua negara atau lebih. (Walt, 1987 dikutip Bergsmann, 2001:
27). Atas dasar argumen tersebut, penulis mengansumsikan bahwa pada pasca
pernyataan komitmen dalam MoU 2011, kerjasama militer Vietnam dengan AS
tergolong ke dalam penerapan hubungan aliansi secara informal. Ini dikarenakan
tidak terdapatnya perjanjian “treaty”4 dalam hubungan kedua negara.
Sebagaimana yang dikemukakan Griffiths, Martin dan O’Callaghan (2002: 1),
bahwa aliansi informal tidak ditandai oleh treaty dan publicly recognized.
Pada konsepnya, negara melakukan aliansi untuk menghindari dominasi
kekuatan yang lebih kuat, yang merupakan pemahaman dari konsep balance of
power (Walt, 1985: 4). Berdasarkan konsep ini, pertimbangan Vietnam dalam
meningkatkan hubungan pertahannannya dengan AS ditujukan untuk
perimbangan kekuatan terhadap RRT. AS merupakan satu-satunya negara yang
4 Aliansi formal dua negara dengan terdapatnya perjanjian “treaty” salah satunya “The
US-Japan Treaty Mutual Cooperation and Security” yang ditandatangani tahun 1951 dan berlaku
mulai bulan April 1952.
49
dapat memenuhi tantangan Vietnam terhadap ambisi militer RRT di kawasan LCS
melalui kehadiran Angkatan Lautnya (Le, 2013: 359). Ini dapat dilihat dalam
pengoperasian kekuatan angkatan laut AS di dunia dan perbandingan kekuatan
angkatan lautnya dengan RRT, seperti dalam gambar berikut ini.
Gambar 4.1: Perbandingan Angkatan Laut Amerika Serikat dengan RRT
Sumber: University of Southern California US-China Institute. US-China Today. diakses
pada tanggal 27 Februari 2014, dalam
http://uschina.usc.edu/w_usci/showarticle.aspx?articleID=17718&AspxAutoDetectCookieS
upport=1
Gambar di atas menunjukan jumlah kapal induk dan kapal selam AS yang
dioperasikan di dunia. Kekuatan Angkatan Laut AS ini dapat beroperasi di
kawasan LCS untuk kegiatan kerjasama dan pelatihan melalui USPACOM
ataupun USCG dengan Vietnam, serta dapat mengimbangi pengoperasian
angkatan laut RRT di kawasan tersebut.
50
Dalam konteks balance of power, kerjasama ini merupakan soft balancing,
yaitu tindakan balancing sementara dalam aliansi, terutama dalam bentuk
meningkatkan persenjataan secara terbatas, kerjasama dalam pelatihan, atau
kolaborasi pada lembaga-lembaga regional atau internasional5 (Paul, 2004: 3). Hal
ini selaras dengan upaya Vietnam dalam meningkatkan kerjasama militer dengan
AS melalui latihan militer bersama di perairan LCS dan kolaborasi lembaga-
lembaga kedua negara.
Meskipun tidak terdapat pernyataan dari Vietnam maupun AS bahwa
kerjasama ini merupakan upaya soft balancing terhadap RRT, namun pernyataan
John Kerry pada bab 3 telah menyiratkan bahwa kerjasama Vietnam dan AS di
LCS difungsikan untuk menanggapi tindakan-tindakan RRT, yang bertujuan agar
dapat menurunkan agresifitas RRT di LCS. Hal ini selaras dengan tujuan dari
konsep balance of power.
Dalam konsepnya, balance of power ditujukan sebagai ekuilibrium.
Ekuilibrium dipandang sebagai suatu hubungan di antara variabel-variabel utama
sistem itu (seperti distribusi sumberdaya atau sikap dan kebijakan negara-negara),
yang begitu erat sehingga perubahan di suatu variabel pasti akan menimbulkan
perubahan di variabel lainnya. Pendekatan ini berasumsi bahwa selama masih ada
distribusi sumberdaya yang cukup seimbang, kebijakan negara-negara di
5 Pada dasarnya, dalam upaya Vietnam untuk mengimbangi Cina, Vietnam melakukan
upaya soft balancing dan hard balancing. Selain upaya soft balancing dengan Amerika Serikat
yang berbentuk program peningkatkan persenjataan secara terbatas dan kerjasama dalam bentuk
pelatihan, Vietnam melakukan kolaborasi pada lembaga regional di Asia Tenggara, yaitu ASEAN.
Sementara itu dalam tindakan hard balancing, Vietnam berkerjasama dengan negara-negara lain
yang diperuntukan untuk memperbaharui kemampuan persenjataan Vietnam, seperti hubungannya
dengan Rusia pada tahun 2011 (Le, 2013: 354).
51
dalamnya akan tetap moderat, dan upaya oleh satu aktor untuk memperoleh posisi
hegemoni6 akan bisa digagalkan oleh kekuatan pengimbangnya (Hopkins, 1973:
27).
Perilaku RRT sebelum kehadiran AS di LCS cenderung lebih agresif dan
menunjukan hegemoni di kawasan tersebut. Namun, pada paska kehadiran AS di
LCS, kekuatan RRT yang telah memperoleh posisi hegemoni di kawasan tersebut
tersaingi oleh adanya kemitraan antara Vietnam dengan AS setelah menyatakan
MoU pada September 2011. Salah satu indikator bahwa soft balancing telah
membuat RRT relatif moderat terlihat pada paska MoU antara Vietnam dan AS.
Pada saat itu, RRT dan Vietnam menyepakati dipercepatnya proses perundingan
untuk mengakhiri perebutan wilayah di LCS. Keputusan perundingan tentang
LCS disetujui saat pertemuan kedua negara di Hanoi dalam rangka persiapan
rencana kunjungan Ketua Partai Komunis Vietnam, (Ahira, 2011).
Pada 10 Oktober 2011, Sekjen Partai Komunis Vietnam, Nguyen Phu
Trong, mengunjungi Beijing. Dalam kunjungan tersebut, Vietnam dan RRT
menyusun sebuah perjanjian baru, yaitu mengenai prinsip-prinsip dasar dalam
penyelesaian masalah kelautan (International Boundaries Research Unit, 2011).
Kedua belah pihak juga sepakat untuk mengadakan diskusi dua kali setahun untuk
menyelesaikan perbedaan mereka, dan untuk mengatasi setiap perbedaan pendapat
dengan lebih cepat (Bradsher, 2011).
Dari perjanjian baru di atas, meskipun tidak menjamin penyelesaian
sengketa di LCS, terjadi penurunan tensi ancaman bagi Vietnam di kawasan
6 Dalam politik internasional, menurut Antonio Gramsci hegemoni adalah dominasi satu
kekuasaan (Gramsci dikutip the New York Times, 2008).
52
tersebut. Ini menjelaskan bahwa faktor pendorong Vietnam melakukan MoU
dengan AS, salah satunya untuk mengimbangi angkatan laut RRT7 yang berfungsi
untuk menurunkan potensi satu kekuatan tunggal yang dapat mengancam,
sehingga dapat menurunkan potensi perang maupun pelanggaran kedaulatan
Vietnam di kawasan LCS.
4.2 Pengamanan aset nasional Vietnam di LCS
Adanya kekuatan angkatan laut RRT yang difungsikan untuk kegiatan
patroli di LCS telah menimbulkan ancaman bagi kegiatan-kegiatan ekonomi
Vietnam. Ini khususnya berlaku di sektor perdagangan, kegiatan nelayan, serta
kegiatan eksplorasi minyak di kawasan LCS. Misalnya saja, sempat terjadi
penangkapan dan penyitaan yang dilakukan oleh patroli RRT. Penangkapan ini
setidaknya terjadi sejak tahun 1992, ketika RRT merebut sekitar 20 kapal kargo
Vietnam yang mengangkut barang dari Hong Kong (Klare, 2002:124).
Pada periode 2005-2012, Vietnam mengatakan telah terjadi penagkapan dan
penyitaan terhadap 63 kapal nelayan dengan 725 awak oleh RRT sejak tahun 2005
di LCS. Vietnam kemudian diminta membayar denda untuk pembebasan mereka.
(Buszynski, 2012:143). Pada tahun 2010, RRT meningkatkan intensitas patroli di
kawasan tersebut yang mengakibatkan 20 kali penangkapan nelayan Vietnam oleh
angkatan laut RRT di kawasan LCS (Veronika, 2012: 108).
Selain itu, RRT juga berupaya menghambat kegiatan eksplorasi minyak
Vietnam di LCS. Pada tanggal 26 mei 2011, kapal Binh Minh 02, yang
merupakan kapal Vietnam Petroleum Corporation dalam eksplorasinya di Blok
7 Selain balancing, ini bisa juga sebagai deterrence, yaitu penggunaan ancaman oleh salah
satu pihak untuk meyakinkan pihak lain agar dapat menahan diri dalam memulai beberapa
tindakan (Huth, 1999:26).
53
148 dari 200 mil laut landas kontinen Vietnam, didekati oleh 3 kapal angkatan
laut RRT. RRT memotong kabel sepanjang 7 km, merusak beberapa peralatan
kapal dan mempengaruhi rencana kerja dari the Vietnam Oil and Gas Group, di
daerah ini. Ini memperlihatkan bahwa RRT secara serius melanggar kedaulatan
dalam landas kontinen Vietnam. Di bawah ini merupakan lokasi penyerangan
RRT yang melanggar landas kontinen atau ZEE Vietnam (Hoang, 2011).
Gambar 4.2 : Lokasi penyerangan atas kapal Vietnam oleh kapal RRT
Sumber: Nguyen Hoa Programs dikutip Hoàng Vũ dalam Vũ's Inner Peace, Diunduh pada
http://vudang.com/category/vietnam/
Peta di atas menunjukan bahwa lokasi penyerangan atas kapal Vietnam oleh
kapal RRT, sepenuhnya berada dalam 200 mil landas kontinen Vietnam.
Pemotongan kabel dilakukan oleh RRT hanya sekitar 120 mil dari Dai Lanh Cape,
54
Provinsi Phu Yen, yang juga masih 80 mil ke batas 200 mil ZEE Vietnam (Hoang,
2011). Tindakan ini direspon oleh pihak Vietnam melalui pernyataan resmi. Juru
bicara Kementerian Luar Negeri Vietnam, Nguyen Phuong Nga mengatakan
Vietnam menentang tegas tindakan RRT yang menghancurkan, menghalangi
kegiatan eksplorasi dan survei pada landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif
Vietnam. Ini menyebabkan kerusakan besar kepada perusahaan minyak nasional
di Vietnam. Tindakan ini telah secara serius melanggar kedaulatan dan yurisdiksi
Vietnam ke landas kontinen dan ZEE. Beliau juga menekankan bahwa RRT telah
melanggar Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982, dan melakukan tindakan yang
bertentangan dengan Declaration on the Conduct (DOC), antara ASEAN dan
RRT yang ditandatangani pada tahun 2002. Bagi Vietnam, ini adalah pelanggaran
yang sangat jelas (Nguyen dikutip Hoang, 2011).
Vietnam kemudian meminta RRT untuk segera menghentikan dan tidak
mengulangi pelanggaran pada hak-hak berdaulat serta yurisdiksi Vietnam.
Menurut Nguyen Phuong Nga, kebijakan pertahanan Vietnam bersifat damai dan
defensif. Dengan itu, Angkatan Laut Vietnam akan melakukan segala sesuatu
yang diperlukan untuk mempertahankan integritas wilayah Vietnam (Nguyen
dikutip Hoang, 2011). Hal ini didorong pada perkembangan ekonomi Vietnam
serta tingkat kebutuhan energi Vietnam yang terus meningkat. Berikut ini
merupakan grapik perbandingan tingkat produksi dan konsomsi minyak Vietnam
dari tahun 1990 hingga 2011.
55
Gambar: 4.3: Produksi dan konsumsi minyak Vietnam
Sumber: International Energy Statistics dikutip dalam Vietnam Energy
Report, diunduh pada http://www.endofcrudeoil.com/2012/06/vietnam-
energy-report.html
Dari grafik di atas, dapat dilihat bahwa setelah tahun 2010, tingkat konsumsi
berbanding terbalik dengan tingkat produksi. Ini mengakibatkan keharusan
Vietnam untuk meningkatkan produksi minyaknya. Vietnam berharap untuk
memperluas produksi minyaknya pada lepas pantai di LCS, sebagai cara untuk
memenuhi permintaan domestik dan memberikan kontribusi bagi keuangan
negara. Dalam produksi minyak Vietnam, PetroVietnam memegang tanggung
jawab dalam hal pemenuhan kebutuhan minyak, penyimpanan, pengolahan, dan
distribusi. Perusahaan minyak negara ini menyumbang secara langsung sebesar 20
persen dari produksi minyak Vietnam. Aktifitas PetroVietnam sebagian besar
dilakukan di LCS beserta perusahaan asing KNOC, ConocoPhillips, Geopetrol,
56
Premier Oil, PTTEP, Santos, SK Corp, Total, Zarubezhneft, yang menghasilkan
sekitar 300.000 barel per hari pada tahun 2011 (EIA, 2013: 5-7).
Selain untuk pemenuhan kebutuhan minyak Vietnam, Perekonomian
Vietnam sangat tergantung pada produksi minyak Laut di LCS yang menyumbang
30% dari GDP (Gross domestic product) (Dee, 2011). Ini menyiratkan bahwa
LCS memiliki peranan penting bagi perekonomian Vietnam. Pengamanan jalur
perdagangan, lalu lintas nelayan, dan menjamin produksi minyak, merupakan
upaya pencapaian kepentingan yang lebih besar bagi Vietnam dari pada terus
memperhitungkan resiko kerugian pada hubungan perekonomiannya dengan RRT.
Karena, dengan pemasukan produksi minyak di LCS memungkinkan akan
menghasilkan keuntungan yang lebih besar dari hubungan perekonominya dengan
RRT. Sehingga, ini mengharuskannya peningkatan hubungan kerjasama
pertahanan dengan AS melalui MoU 2011, untuk mengamankan kegiatan
eksplorasi dan produksi minyak di LCS.
Kedekatan Vietnam dengan AS pada bidang pertahanan ini, juga
memberikan keuntungan bagi Vietnam di bidang lainnya, terutama di bidang
ekonomi. Pada tahun 2011, ekspor Vietnam ke AS mewakili sekitar 17% dari total
ekspor Vietnam dan menjadikan Vietnam salah satu penerima terbesar bantuan
AS di kawasan Asia Timur. AS memberikan bantuan ke Vietnam lebih dari $ 140
juta di tahun 2011 (Manyin, 2013: 13-14). Vietnam kemungkinan juga akan
mendapatkan dukungan yang lebih besar dari AS melalui Trans-Pacific
Partnership (TPP).
57
Partisipasi Vietnam dalam perundingan TPP telah didorong oleh kalkulasi
strategis Vietnam untuk mengimbangi pengaruh ekonomi RRT. Di dalam TPP,
Vietnam menyerap hingga 39 persen (US $ 45 miliar) dari total ekspor Vietnam
pada tahun 2012. Salah satunya AS yang tetap menjadi tujuan ekspor terbesar
untuk produk-produk Vietnam (Le, 2013).
Namun dalam hal ini, kalkulasi keuntungan dari kerja samanya dengan
AS, hanya untuk mengimbangi pengaruh ekonomi RRT di Vietnam, bukan untuk
menghapuskan kerjasama ekonomi kedua negara. Meskipun terjadi ketegangan
antara Vietnam dengan RRT di LCS, Hanoi dan Beijing terus memperluas
hubungan diplomatik mereka serta mencari cara untuk mencegah sengketa
maritim tersebut berdampak pada hubungan lainnya (Manyin, 2013: 30).
Para pemimpin Vietnam mengungkapkan keprihatinan tentang defisit
perdagangannya dengan RRT, yang sekitar $ 13 miliar pada tahun 2011. Namun
pada tahun 2011, impor RRT mewakili hampir seperempat dari total impor
Vietnam. Dalam ekspor Vietnam ke RRT untuk barang dan jasa pada dasarnya
juga tetap tidak berubah, yaitu sekitar 10% dari total ekspor Vietnam (Manyin,
2013: 30). Selain itu, menurut Duta Besar Vietnam untuk RRT, Nguyen Van Tho,
perdagangan bilateral antara Vietnam dengan RRT mencapai $ 40200 juta pada
tahun 2011. Lebih dari 800 proyek investasi RRT dilakukan pada tahun 2011,
yaitu berkaitan dengan mineral, sumber daya alam dan manufaktur (Laudermilk,
2012).
58
4.3 Dukungan negara-negara ASEAN terhadap kehadiran AS di LCS
Faktor lainnya yang mendorong kehadiran AS di wilayah perairan Vietnam
adalah dukungan negara-negara ASEAN terhadap kehadiran AS di LCS. Pada
awalnya, hubungan Vietnam dengan AS dikhawatirkan dapat mengganggu
hubungan bilateral maupun multilateralnya dengan negara-negara Asia Tenggara.
Namun, sejak Vietnam resmi menjadi ketua ASEAN pada periode 2010, Vietnam
menekankan bahwa permasalahan di LCS menjadi keprihatinan bersama antara
negara-negara ASEAN dan mendorong AS untuk turut ikut serta dalam mengatasi
tantangan bersama ini.
Ini menghasilkan suatu pertemuan dalam ASEAN Regional Forum di Hanoi
pada tahun 2010. Vietnam dengan AS berupaya memobilisasi respon diplomatik
negara-negara Asia Tenggara untuk memberikan suatu ketegasan terhadap RRT di
LCS. AS dan negara-negara Asia Tenggara menyatakan keinginannya dalam
menjaga kebebasan navigasi di LCS dan mengupayakan penyelesaian damai
terhadap sengketa sesuai dengan hukum internasional. Ini berupa pernyataan
Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton yang diamini oleh 11 menteri luar negeri
dari 26 negara yang hadir, beberapa di antaranya adalah negara-negara ASEAN
(Bellacqua, 2012: 17).
Pertemuan ASEAN Regional Forum di atas menandakan bahwa AS dan
Vietnam siap untuk bekerja sama dalam isu-isu utama yang didorong oleh
persamaan kepentingan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Pertemuan tersebut
juga menandakan bahwa negara-negara di Asia Tenggara tidak lagi bersedia
59
menerima intimidasi RRT dan menunjukkan antusiasme terhadap kehadiran AS di
wilayah LCS (Bellacqua, 2012: 17-18).
Di antara para negara ASEAN, Filipina merupakan yang paling menerima
kehadiran AS di LCS. Filipina bahkan mengizinkan kehadiran militer AS yang
lebih besar sebagai reaksi terhadap kebangkitan RRT (Rood, 2012). Hal ini
dikarenakan posisi Filipina yang merupakan sekutu formal dari AS di kawasan
Pasifik. Perjanjian Pertahanan Bersama AS-Filipina telah berjalan sejak tahun
1951. Perjanjian tersebut menyatkan bahwa:
Each Party recognizes that an armed attack in the Pacific Area on either of the Parties
would be dangerous to its own peace and safety and declares that it would act to meet the
common dangers in accordance with its constitutional processes. [Setiap pihak mengakui
bahwa serangan bersenjata di wilayah Pasifik oleh salah satu pihak akan berbahaya bagi
perdamaian dan keamanan sendiri, serta menyatakan bahwa hal itu akan ditindak untuk
menanggapi bahaya sesuai dengan proses konstitusinya] (Glaser, 2012).
Pada tanggal 16 November 2011, hubungan AS dengan Filipina semakin
diperkuat, ketika Menteri Luar Negeri Hillary Clinton membuat pernyataan di
Manila Bay untuk merayakan ulang tahun ke-60 perjanjian pertahanan kedua
negara. Dalam pidatonya, Hillary Clinton menyatakan:
Today we meet in a new era where we face new challenges but also where we confront new
opportunities. So we must ensure that this alliance remains strong, capable of delivering
results for the people of the Philippines, the United States, and our neighbors throughout
the Asia Pacific. [Sekarang kami bertemu di era baru di mana kita menghadapi tantangan
baru, tetapi juga di mana kita menghadapi peluang baru. Jadi kita harus memastikan bahwa
aliansi ini tetap kuat , mampu memberikan hasil bagi rakyat Filipina, Amerika Serikat, dan
tetangga kami di seluruh Asia Pasifik] (Ring, 2012: 20).
Dari pernyataan ini, terlihat bahwa kerjasama AS dengan Filipina merupakan
persamaan kepentingan bagi seluruh Asia Pasifik.
60
Selain itu, pernyataan AS yang mengungkapkan "rebalance" terhadap
kawasan Asia-Pasifik mendapatkan respon positif dari Malaysia. Pada bulan April
2010, Perdana Menteri Malaysia, Najib Tun Razak mengatakan:
Malaysia, in particular, welcomes the Obama Administration’s endorsement of
multilateralism as the preferred route to problem-solving. We also welcome its
endorsement of ASEAN’s centrality in regional processes. [Malaysia, khususnya,
menyambut dukungan Obama sebagai pilihan untuk memecahkan masalah. Kami juga
menyambut dukungan atas sentralitas ASEAN dalam proses regional] (Finkbeiner, 2013:
16-17).
Hal di atas menjelaskan bahwa peningkatan hubungan pertahanan antara
Vietnam dan AS tidak akan mengganggu hubungan bilateral maupun
multilateralnya dengan negara-negara Asia Tenggara. Ini dikarenakan adanya
persamaan kepentingan antara Vietnam dengan organisasi regional di Asia
Tenggara (ASEAN) dan negara-negara Asia Tenggara, di antaranya Filipina dan
Malaysia yang mendukung kehadiran AS di LCS. Sehingga, adanya dukungan
regional ini mempermudah terbentuknya MoU antara Vietnam dan AS pada tahun
2011. Setidaknya, secara diplomatik, Vietnam tidak menghadapi kritik RRT
seorang diri. Vietnam mendapat dukungan diplomatik negara-negara tetangganya
di Asia Tenggara.
61
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Skripsi ini telah membahas Kerjasama militer Vietnam dengan AS dalam
mengelola ancaman keamanan di Laut Cina Selatan pada tahun 2011. Dalam
mengelola ancaman keamanan ini, kedua negara melakukan penandatanganan
MoU pada bulan September 2011, yang bertujuan untuk meningkatkan kapabilitas
militer Vietnam, serta menghadirkan kekuatan AS di LCS.
Tindakan Vietnam ini beresiko meningkatkan tensi konflik LCS, mengingat
bahwa RRT selalu memprotes kedekatan militer Vietnam dengan AS. Pada tahun
2011, sebelum penandatanganan MoU, Vietnam dan AS melakukan latihan militer
bersama yang dimana dinyatakan bahwa latihan ini dianggap sebagai unjuk
kekuatan militer untuk menantang RRT. Selain itu, dengan kedatanganan Hillary
Clinton ke Vietnam, RRT menyatakan akan menggunakan kekuatan militer atau
sound of cannon untuk menyelesaikan sengketa territorial di perairan LCS.
Dengan adanya resiko di atas, skripsi ini meneliti motivasi Vietnam
melakukan MoU dengan AS. Analisis dilakukan dengan logika Neo Realisme,
serta kerangka pemikiran keamanan nasional, aliansi dan balance of power.
Setelah melakukan serangkaian analisis, skripsi ini menyimpulkan bahwa
terdapat setidaknya 3 alasan utama Vietnam melakukan MoU dengan AS.
Pertama, Angkatan Laut AS diharapkan dapat beroperasi di kawasan LCS dalam
kegiatan kerjasama dan pelatihan dengan Vietnam, melalui USPACOM dan
62
USCG untuk mengimbangi pengoprasian angkatan laut RRT di kawasan tersebut.
Sehingga, perimbangan kekuatan di perairan LCS ini akan menghasilkan
ekuilibrium, yaitu upaya RRT untuk memperoleh posisi hegemoni di LCS akan
bisa digagalkan oleh kekuatan Vietnam dengan AS. Ini terlihat ketika perilaku
RRT sebelum kehadiran AS di LCS, cenderung lebih agresif dan menunjukan
ambisi hegemoni di kawasan tersebut. Namun paska kehadiran AS di LCS, dan
terutama paska melakukan nota kesepahaman (MoU) dengan Vietnam, RRT lebih
terdorong untuk mengupayakan negosiasi untuk menghindarkan ketegangan
dengan Vietnam.
Kedua, untuk mencegah tindakan patroli RRT yang menghalangi kegiatan
eksplorasi minyak, serta survei pada landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif
Vietnam. Sebelum MoU, RRT telah melakukan pemotongan kabel eksplorasi
yang dipasang oleh kapal perusahaan minyak Vietnam (PetroVietnam) dan
menuntut Vietnam menghentikan kegiatan eksplorasi dikawasan tersebut. Atas
perilaku RRT ini, kerjasama militer Vietnam dengan AS diharapkan dapat
mengamankan kegiatan eksplorasi minyak dan menjaga asset-aset Vietnam di
kawasan LCS dari ancaman-ancaman patroli RRT.
Ketiga, terdapatnya dukungan negara-negara Asia Tenggara, yaitu berupa
persamaan kepentingan antara AS, Vietnam dan negara-negara Asia Tenggara
lainnya. AS dan negara-negara Asia Tenggara menyatakan keinginannya dalam
menjaga kebebasan navigasi di LCS dan mengupayakan penyelesaian damai
terhadap sengketa sesuai dengan hukum internasional. Sehingga, Vietnam berani
63
melakukan MoU dengan AS meskipun di kritik RRT. Setidaknya secara
diplomatik, Vietnam tidak menghadapi kritik RRT seorang diri.
Dengan demikian, skripsi ini telah menjawab pertanyaan penelitian yang
ada. Vietnam meningkatkan hubungannya dengan AS melalui MoU 2011 yaitu
bukan hanya semata-mata untuk pengelolaan masalah keamanan maritim biasa,
namun juga untuk mengimbangi angkatan laut RRT. Dengan perimbangan
kekuatan, diharapkan dapat mengurangi agresifitas patroli RRT yang mengancam
aset-aset Vietnam di LCS.
xii
Daftar Pustaka
Buku
Baylis, John and Steve Smith., ed. 2005. The Globalization of world Politics: An
Introduction to International Relations. New York: Oxford University Press
Inc.
Dunne, T., Kurki, M. & Smith, S. 2010. International Relations Theories:
Discipline and Diversity. New York: Oxford University Press.
Calder, Kent. E. 1996. Asia’s Deadly Triangle: How Arms, Energy, and Growth
Threaten to Destablize Asia Pacific. London: Nicholas Brealey Publishing
Limited.
Griffiths, Martin dan Terry O’Callaghan. 2002. International Relations the Key
Concepts, 2nd
. London: Routledge
Heijmans, Annelies, Nicolo Simmonds, dan Hans van de veen. 2004. Searching
for Peace in Asia Pacific: An Overview of Conflict Prevention and
Peacebuilding Activities. London: Lynne Rienner Publishers, Inc.
Hermawan, Yulius. P. 2007. Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional:
Aktor, Isu dan Metodologi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Hopkins, Raymond F. dan Richard W. Mansbach. 1973. Structure and Process in
International Politics. New York: Harper & Row.
Jackson, Robert dan Georg Soroensen. 2005. Pengantar Studi Hubungan
Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jemadu, Aleksius. 2008. Politik Global dalam Teori & Praktik. Yogyakrta:
Graha Ilmu.
Lo, Chi Kin. 1989. China's Position Towards Territorial Disputes. The Case of
the SouthChina Sea Islands. London: Routledge.
Klare, Michael T. 2005. Resource Wars: The New Landscape of Global Conflict.
New York: Henry Holt and Company.
Moleong , Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.
Paul, Thazha V. 2004. Introduction: The enduring Axioms of Balance of Power
Theory and Their Contemporary Relevance, in Balance of Power: Theory
and Practice in the 21st Century. Stanford, CA: Stanford University Press.
Sitepu, P. Anthonius. 2011. Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
The National Institute for Defense Studies. 2010. The NIDS International
Workshop on Asia Pacific Security: Asia Pacific Countries’ Security
Outlook and Its Implications for the Defense Sector. Tokyo: The National
Institute for Defense Studies.
Womack, Brantly. 2006. China And Vietnam: The Politics of Asymmetry. New
York: Cambridge University Press. Walton, C. Dale. 2011. The military balance 2011. London: Routledge.
xiii
Walt, Stephen M. 1985. Alliance Formation and the Balance of World Power.
International Security Vol 9 No 4. The MIT Press.
Waltz, Kenneth. N. 1979. Theory of International Politics. Boston Mass:
McGraw-Hill
Jurnal
Babson, Oliver. 2002. Diplomacy of Isolation; United States Unilateral Sanctions
Policy and Vietnam 1975-1995. WWS Case Study 4/02.
Bellacqua, James. 2012. The China Factor in U.S.-Vietnam Relations. CNA China
Studies.
Brown, Frederick. Z. 2010. Rapprochment Between Vietnam and the United
States dalam Contemporary Southeast Asia, Volume 32, Number 3. Institute
of Southeast Asian Studies.
Buszynski, Leszek. 2012. The South China Sea: Oil, Maritime Claims, and U.S.—
China Strategic Rivalry. Center for Strategic and International Studies, The
Washington Quarterly, 35:2.
Chalkley, Adam L. 2013. An Engaged Vietnam: Developing A U.S. Pacific
Command Solution. Naval War College.
Conley, Michael E. 2013. The Vietnam Petroleum Industry: Positioned For Growth But Ripe For Regional Complications. Naval War College.
Cuong, Nguyen Anh, Trinh Thi Nguyet, Pham Quoc Thanh. 2010. Vietnam-
United States Relations After Normalization. Vietnam National University.
Dalpino, Catharin E. 2005. Dialogue On U.S.-Vietnam Relations Ten Years After
Normalization. The Asia Foundation.
Deutsche Presse-Agentur. 1995. Taiwan Navy Defends Decision to Open Fire on
Vietnamese Boat. Deutsche Presse-Agentur.
Deutsche Presse-Agentur. 1998. Philippines Lodges Protest Over Shooting in
Spratlys. Deutsche Presse-Agentur.
Dwivedi, Sangit Sarita. 2012. Alliances In International Relations Theory.
International Journal of Social Science & Interdisciplinary Research, Vol.1
Issue 8, August 2012, ISSN 2277 3630.
Emmers, Ralf. 2012. The US rebalancing strategy: Impact on the South China
Sea. National Security College, Australian National University.
Finkbeiner, John M. 2013. Malaysia’s Great Power Balance and the South China
Sea Disputes. United States Army War College. Garver, John W.1992. China's Push Through the South China Sea. The China
Quarterly, no. 132.
Hiep, Le Hong. 2013. Vietnam’s Hedging Strategy against China since
Normalization. Contemporary Southeast Asia. ISEAS. Vol 35, number 3.
Huth, Paul K. 1999. Deterrence And International Conflict: Empirical Findings
And Theoretical Debates. Annual Review of Political Science.
Jordan, William, Lewis M. Stern, Walter Lohman. 2012. U.S.-Vietnam Defense
Relations: Investing in Strategic Alignment. The Heritage Foundation
Leadership for America, No. 2707.
xiv
Kang, Tong Hum. 2000. Vietnam and the Spratly Islands Dispute Since 1992.
California: Naval Postgraduate School.
Kim, Ngan M. 2012. U.S. –Vietnam Military Relations: Game Theory
Perspective. California: Naval Postgraduate School.
Manyin, Mark E. 2011. U.S.-Vietnam Relations in 2011: Current Issues and
Implications for U.S. Policy. Congressional Research Service.
Manyin, Mark E. 2012. U.S.-Vietnam Relations in 2011: Current Issues and
Implications for U.S. Policy. Congressional Research Service.
Manyin, Mark E. 2013. U.S.-Vietnam Relations in 2011: Current Issues and
Implications for U.S. Policy. Congressional Research Service.
Morgan, Robert. 2013. Mutual Interest: Engaging Vietnam On Oil Spill
Prevention And Response. Naval War College.
Nguyen, Hong Thao. 2013. Regional Focus & Controversies Vietnam’s Position
On The Sovereignty Over The Paracels & The Spratlys: Its Maritime Claims.
Journal of East Asia International Law, V JEAIL (1).
O'Rourke, Ronald. 2014. Maritime Territorial and Exclusive Economic
Zone (EEZ) Disputes Involving China: Issues for Congress. Congressional
Research Service.
Republic of Vietnam Ministry of Foreign Affairs. 1975. White Paper on the
Hoang Sa (Paracel) and Truong Sa (Spratly) Islands. Saigon.
Ring, Andrew H. 2012. A U.S. South China Sea Perspective: Just Over the Horizon. Weatherhead Center for International Affairs. Harvard University.
Stern, Lewis M. 2012. Building Strategic Relations with Vietnam. National
Defense University, issue 65, 2d quarter 2012.
Thayer, Carlyle A. 2008. The Structure of Vietnam-China Relations, 1991-2008.
Paper for the 3rd International Conference onVietnamese Studies, Hanoi,
Vietnam, December 4-7, 2008
Thayer, Carlyle A. 2011. Recent Naval Exercises in the South China Sea.The
University of New South Wales at the Australian Defence Force Academy
and Director of Thayer Consultancy, Sage International.
United States Department of State Bureau of Intelligence and Research. 1983.
Limits in the Seas.no. 99 Straight Baselines.
Veronika, Nuri Widiastuti. 2012. Pengaruh Komponen Geopolitik Terhadap
Konflik di Laut China Selatan antara China-Vietnam. Universitas
Indonesia.
Referensi Online
Ahira. 2011. Laut Cina Selatan - wilayah sengketa, beragam nama. AnneAhira.
Diunduh pada tanggal 19 Mei 2013, www.anneahira.com/laut-cina-
selatan.htm.
Ali, Alman Helvas. 2012. Dinamika Di Laut Cina Selatan Dan Implikasinya
Terhadap Indonesia. Center for Defense and Maritime Studies. Diunduh
pada tanggal 27 agustus 2013, http://www.fkpmaritim.org/?p=254.
xv
Baxter, Edward. 2011. MSC ship completes first U.S. Navy ship visit to Vietnam
port in 38 years. Diunduh pada tanggal 24 Januari 2014,
http://www.msc.navy.mil/ publications/pressrel/press11/press40.htm
BBC Indonesia. 2011. Vietnam latihan militer di Laut Cina Selatan. BBC Indonesia.
Diunduh pada tanggal 17 september 2013,
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/06/110613_vietnamnavaldrill.s
html
Bergsmann, Stefan. 2001. The Concept of Military Alliance. Diunduh pada
tanggal 15 Februari 2014. http://www.bundesheeroesterreich.info-
/pdf_pool/publikationen/05_small_states_04.pdf.
Biendong.Net. 2012. The Vietnam Maritime Law Reflects Viet Nam’s Major
Policy Of Peace. Biendong.Net. Diunduh pada tanggal 7 desember 2013,
http://www.southchinasea.com/analysis/480-the-2012-viet-nam-maritime-
law-reflects-viet-nams-major-policy-of-peace.html
Bradsher, Keith. 2011. China and Vietnam Move to Reduce Tensions in South
China Sea. The New York Times. Diunduh pada tanggal 10 Februari 2014,
http://www.nytimes.com/2011/ 10/13/world/asia/china-and-vietnam-move-
to-reduce-tensions-in-south-china-sea.html?_r=0
Cordero, Jean Magdaraog. 2012. Kekhawatiran meningkat atas rencana Cina
menghalangi kapal yang masuk perairan sengketa. Asia Pacific Defense
Forum. Diunduh pada tanggal 15 juni 2013,
http://apdforum.com/id/article/rmiap/articles/online/features/2012/12/17/phi
lippines-china-patrols.
Duy, Hanh. 2012. Law on Viet Nam’s Sea. Biengioilanhtho.gov. Diunduh pada
tanggal 7 desember 2013,http://biengioilanhtho.gov.vn/eng/lawonvietnam-
ssea-nd-1280c50c.aspx
EIA US Energy Information Administration. 2013. South China Sea. EIA,
Independent statistics and analysis. Diunduh pada tanggal 4 Maret 2014,
http://www.eia.gov/countries/regions-topics.cfm?fips=scs
Embassy of the Socialist Republic of Vietnam in the United States of America.
2013. Vietnam, US hold defense dialogue.Vietnamembasy-usa. Diunduh
pada tangal 29 Maret 2014, http://vietnamembassy-
usa.org/news/2013/10/vietnam-us-hold-defense-dialogue
Glaser, Bonnie S. 2012. Armed Clash in the South China Sea. Council on Foreign
Relations. Diunduh pada tanggal 5 Mei 2013,
http://www.cfr.org/world/armed-clash-south-china-sea/p27883?cid=rss-
internationalpeaceandsecuri-armed_clash_in_the_south_china-041112 Global Security.org. 2011. South China Sea Oil and Natural Gas. Global
Security.org. Diunduh pada tanggal 8 januari 2014,
http://www.globalsecurity.org/military/world/war/spratly-oil.htm
xvi
Hiep, Le Hong. 2013. The US–Vietnam comprehensive partnership: key issues
and implications. East Asia Forum. Diunduh pada tanggal 12 Juli 2014,
http://www.eastasiaforum.org/2013/08/06/the-us-vietnam-comprehensive-
partnership-key-issues-and-implications/
Haluan Media. 2011. Cina meradang, AS-Vietnam latihan tempur. Haluan.
Diunduh pada tanggal 2 februari 2014,
http://harianhaluan.com/index.php/berita/dunia/6806-cina-meradang-as-
vietnam-latihan-tempur
International Boundaries Research Unit. 2011. China and Vietnam agree
principles for resolving maritime disputes. International Boundaries
Research Unit. Diunduh pada tanggal 10 Februari 2014,
https://www.dur.ac.uk/ibru/news/boundary_news/?itemno=12969
International Energy Statistics. 2012.Vietnam Energy Report. International Energy
Statistics. Diunduh pada tanggal 4 Maret 2014,
http://www.endofcrudeoil.com/2012/06/vietnam-energy-report.html
Johnson, Keith. 2013. Kerry’s Return to Vietnam Is All About Blocking China.
Foreign Policy Report. Diunduh pada tanggal 2 Mei 2014.
http://www.foreignpolicy.com/articles/2013/12/16/kerry_s_return_to_vietna
m_is_all_about_blocking_china Laudermilk, Baron. 2012. Vietnam: Prime Opportunity or Risky Investment?.
Diunduh pada tanggal 5 Juli 2014. http://www.investin.com.cn/invest-in-
vietnam-prime-opportunity-or-risky-investment.html
Miks, Jason. 2010.China-Vietnam: Rough Waters. The Diplomat. Diunduh pada
tanggal 17 september 2013, http://the-diplomat.com/china-
power/2010/06/07/choppy-sino-viet-ties-waters/
New York Times. 2008. International: 'Hegemony'. New York Times. Diunduh
pada tanggal 5 Mei 2013, http://www.nytimes.com/2008/05/01/news/01iht-
30oxan.12491269.html?_r=0
Rood, Steven. 2012. U.S. Military and the Philippines: What do Philippine
Citizens Really Think?. The Asia Foundation. Diunduh pada tanggal 5 Mei
2013, http://asiafoundation.org/in-asia/2012/02/01/u-s-military-and-the-
philippines-what-do-philippine-citizens-really-think/
Sihombing, Mona. 2012. Babak Baru Perang Laut China. Vhrmedia. Diunduh
pada tanggal 5 Mei 2013,http://www.vhrmedia.com/2010/-detail.php?.e=5761
Sare, Cire. 2011. 200 mile boundaries without consideration of the Spratlys or
Paracels. The South China Sea. Diunduh pada tanggal 29 november 2013,
http://www.southchinasea.org/category/mpas/territorial-claims/page/2/
Thayer, Carl. 2013. Vietnam Gradually Warms Up to US Military. The Diplomat.
Diunduh pada tanggal 29 november 2013,
http://thediplomat.com/2013/11/vietnam-gradually-warms-up-to-us-
military/
University of Southern California US-China Institute. US-China Today.
University of Southern California US-China Institute. Diunduh pada tanggal
xvii
27 Februari 2014, http://uschina.usc.edu/w_usci/showarticle.aspx-
?articleID=17718&AspxAutoDetectCookieSupport=1
Vietnamnet. 2013. Vietnam, China agree on oil and gas exploitation in Tokin
Gulf. Vietnamnet. Diunduh pada tanggal 13 Januari 2014,
http://english.vietnamnet.vn/fms/ government/77196/vietnam--china-agree-
on-oil-and-gas-exploitation-in-tokin-gulf.html
Viva News. 2012. Remaja Mini Korban Agent Orange. Viva News. Diunduh pada
tanggal 5 Mei 2014, http://foto.news.viva.co.id/read/5681-remaja-mini-
korban--agent-orange-/73391
Vũ, Hoàng. 2011.Cutting oil cable of Vietnam, China seriously violated Law of
the Sea Convention. Vũ's Inner Peace. Diunduh pada tanggal 3 maret 2014,
http://vudang.com/category/vietnam/
Woo, Dee. 2011. Why A War Between China And Vietnam Is Inevitable. Beijing
Royal School. Diunduh pada tanggal 5 maret2014,
http://www.businessinsider.com/sino-vietnamese-south-china-sea-
warblood-oil-and-american-interest-the-inevitable-2011-7?IR=T&