i
KESETARAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN ISLAM
MENURUT FATIMA MERNISSI
DAN
K.H. HUSEIN MUHAMMAD
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)
Oleh :
Indriyani Yuli Astuti
NIM : 23010150243
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
TAHUN 2020
ii
iii
KESETARAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN ISLAM
MENURUT FATIMA MERNISSI
DAN
K.H. HUSEIN MUHAMMAD
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)
Oleh :
Indriyani Yuli Astuti
NIM : 23010150243
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
TAHUN 2020
iv
v
vi
vii
MOTTO
“Perempuan adalah sumber kehidupan dan sumber peradaban.
Bagaimana kita memperlakukan perempuan seperti itulah wajah
kehidupan dan kebudayaan kita.”
(K.H. Husein Muhammad)
viii
PERSEMBAHAN
Alhamdullillahirabbil‟alamin dengan Rahmat dan Hidayah Allah SWT
skripsi ini telah selesai. Skripsi ini saya persembahkan kepada :
1. Beliau yag tak pernah kulupakan, Bapak Ispriyanto dan Ibu Sri Sutarmi, kedua
orangtua hebat yang bekerja keras tanpa henti, menyayangi, mengusahakan dan
selalu mendoakan yang terbaik untukku serta memotivasiku untuk segera
menyelesaikan studi.
2. Adikku satu-satunya Edi Indrawan dan seluruh keluarga besarku yang tidak
mampu kusebutkan satu persatu, yang selalu mengingatkanku untuk segera
menyelesaikan studi dan dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan
masyarakat.
3. Sahabat yang senantiasa memotivasi dan mendoakanku di setiap waktu, Siti
Zubaidah, Lia Fathonatul Fajar, Vili Indri Yani, Isti Nur Halimah, Yunita Ayu
Lestari, dan Madu Sari Putri Wulandari.
4. Teman-teman kelas G PAI angkatan 2015 yang tak pernah berhenti saling
menyemangati dalam menyelesaikan skripsi.
5. Sahabat perjuangan PAI angkatan 2015 FTIK IAIN Salatiga semoga selalu
dimudahan segala urusannya.
6. Teman-teman PPL SMA ISLAM SUDIRMAN Ambarawa yang selalu saling
memberi motivasi dalam menyelesaikan studi.
7. Teman-teman KKN Padas, Kedungjati yang selalu memberi semangat dan
motivasi.
ix
x
xi
ABSTRAK
Astuti, Indriyani Yuli. 2019. Kesetaraan Gender dalam Pendidikan Islam
Menurut Fatima Mernissi dan K.H. Husein Muhammad. Skripsi.
Program Studi Pendidikan Agama Islam. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Prof. Dr.
Muh. Saerozi, M. Ag
Kata Kunci: Kesetaraan Gender, Pendidikan Islam, Fatima Mernissi, K.H.
Husein Muhammad.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan 1).
Pemikiran Fatima Mernissi dan K.H. Husein Muhammad mengenai kesetaraan
gender dalam pendidikan Islam. 2). Komparasi pemikiran Fatima Mernissi dan
K.H. Husein Muhammad tentang kesetaraan gender dalam pendidikan Islam. 3).
Relevansi kekinian pemikiran Fatima Mernissi dan K.H. Husein Muhammad
tentang kesetaraan gender dalam pendidikan Islam dengan konsep pendidikan
Islam.
Jenis penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan/library research,
adapun data yang digunakan berupa data primer dan sekunder. Penulis juga
menggunakan hasil wawancara dengan K.H. Husein Muhammad. Metode yang
digunakan adalah deskriptif komparasi pemikiran kedua tokoh kemudian di
analisis dan direlevansikan dengan kondisi pendidikan Islam sekarang.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa semua manusia berhak
mendapatkan pendidikan tanpa dibatasi jenis kelamin. Kedua tokoh tersebut
memiliki tujuan yang sama yakni menyuarakan kesetaraan dalam pendidikan bagi
perempuan dengan corak berpikir yang berbeda. Saat ini sebagian besar lembaga
pendidikan di Indonesia telah menerapkan sistem keadilan gender dengan baik.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ iv
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. v
DEKLARASI DAN KESEDIAAN PUBLIKASI .............................................. vi
MOTTO ................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN ............................................................................................ viii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ix
ABSTRAK .................................................................................................... xi
DAFTAR ISI ................................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Fokus Penelitian......................................................................................... 5
C. Kegunaan Penelitian .................................................................................. 5
D. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 6
E. Kajian Pustaka ........................................................................................... 6
F. Metode Penelitian .................................................................................... 10
G. Penegasan Istlah....................................................................................... 13
H. Sistematika Penulisan .............................................................................. 15
BAB II BIOGRAFI TOKOH
A. Biografi Pribadi dan Keluarga Fatima Mernissi ................................... 17
B. Perjalanan Karir atau Jabatan Fatima Mernissi ..................................... 17
C. Biografi Pendidikan atau Keilmuwan Fatima Mernissi ........................ 18
D. Karya-karya Fatima Mernissi ................................................................ 20
E. Biografi Pribadi dan Keluarga K.H. Husein Muhammad ..................... 22
F. Perjalanan Karir atau Jabatan K.H. Husein Muhammad ...................... 24
G. Biografi Pendidikan atau Keilmuwan KH. Husein Muhammad ........... 28
H. Karya-karya K.H. Husein Muhammad ................................................. 31
BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN
A. Kesamaan Posisi Menurut Fatima Mernissi .......................................... 35
B. Peran dan Kesempatan Belajar bagi Perempuan Menurut
xiii
Fatima Mernissi .................................................................................... 36
C. Ruang Politik Menurut Fatima Mernissi ............................................... 39
D. Kesamaan Posisi Penerapan di Lembaga Pendidikan Menurut Fatima
Mernissi ................................................................................................. 40
E. Metode Pendidikan Menurut Fatima Mernissi ...................................... 44
F. Kesamaan Posisi Menurut K.H Husein Muhammad ........................... 49
G. Kesempatan Belajar Menurut K.H Husein Muhammad ....................... 49
H. Ruang Politik Menurut K.H Husein Muhammad ................................ 52
I. Penerapan di Lembaga Pendidikan Menurut K.H. Husein
Muhammad ........................................................................................... 53
J. Metode Pendidikan Menururt K.H. Husein Muhammad ...................... 56
BAB IV PEMBAHASAN
A. Persamaan dan Perbedaan dari Pemikiran Fatima Mernissi dan K.H.
Husein Muhammad ............................................................................... 59
B. Komparasi Kelebihan dan Kekurangan Pemikiran Fatima Mernissi dan
K.H. Husein Muhammad ..................................................................... 67
C. Relevansi Kekinian Pemikiran Fatima Mernissi dan K.H. Husein
Muhammad dengan Pendidikan Islam .................................................. 69
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................. 84
B. Saran ....................................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 87
LAMPIRAN
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lembar Konsultasi
Lampiran 2 Nota Pembimbing
Lampiran 3 Surat Permohonan Izin Melakukan Wawancara
Lampiran 4 Bukti telah Melakukan Wawancara Via Telepon
Lampiran 5 Hasil Wawancara
Lampiran 6 Daftar SKK
Lampiran 7 Daftar Riwayat Hidup Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan dari segi sosial budayanya. Gender berkaitan dengan laki-laki
dan perempuan agar dapat dipahami dan diharapkan untuk berpikir serta
bertindak sebagaimana mestinya sesuai dengan yang telah berlaku di
masyarakat. Gender bukanlah suatu given atau kodrat yang dapat berubah
dan dipertukarkan, tetapi merupakan suatu konsep yang telah berlaku di
masyarakat luas sebagai seorang laki-laki dan perempuan (Istibsyaroh,
2004: 62). Perempuan merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari
masyarakat. Allah telah menciptakan manusia dalam dua jenis yaitu laki-
laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam masyarakat. Keduanya
diberi potensi yang sama dari sisi insaniyahnya berupa akal dan
kebutuhan-kebutuhan hidup (Muslikhati, 2004: 135).
Perbedaan gender (gender differences) ini tidak menjadi masalah
krusial jika tidak melahirkan struktur ketidakadilan dalam berbagai
bentuk: dominasi, margnalisasi dan diskriminasi, yang secara ontologis
merupakan modus utama kekerasan terhadap kaum perempuan (Fakih,
2003: 12). Pada kondisi inilah, “kekuasaan laki-laki” mendominasi
perempuan, bukan saja melaggengkan kekerasan, tetapi juga melahirkan
rasionalitas sistem patriarki. Ideologi patriarki adalah ideologi kelaki-
lakian dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior dan privillage
2
ekonomi. Patriarki dianggap sebagai masalah yang mendahului segala
bentuk penindasan (Fakih, 2003: 145).
Dari situlah muncul fenomena gerakan feminis yang menggugat
isu-isu gender dalam memahami al-Qur‟an setidaknya itu mewarnai dan
memberikan kontribusi corak dan metodologi yang berbeda dari yang
sebelumnya, hal ini dapat dipahami banyaknya fenomena yang terjadi di
lapangan sering kali menunjukkan perlakuan kurang adil terhadap
perempuan (Mustaqim, 2002: 66).
Ketika feminisme yang merupakan reaksi dari ketimpangan-
ketimpangan dan ketidakadilan yang dirasakan dan menimpa kaum
perempuan sudah masuk ke dunia Islam, maka muncullah tokoh
feminisme muslimah yang atas dasar keyakinan keislaman, mereka
berusaha memberontak dari tafsiran-afsiran yang menurut mereka kurang
memihak perempuan (Miaftukhotusholikhah, 2002: 117). Salah satu tokoh
feminis muslimah adalah Fatima Mernissi yang berasal dari Maroko.
Setelah Mernissi selesai dalam bukunya, ia sampai pada satu kesimpulan
bahwa jika hak-hak wanita merupakan masalah bagi sebagian kaum
muslim modern, hal itu bukanlah karena al-Qur‟an atau Nabi, bukan pula
karena tradisi Islam melainkan semata-mata karena hak-hak tersebut
bertentangan degan kepentingan kaum elit laki-laki (Mernissi, 2013: xxi).
Mernissi mengungkapkan bahwa agama harus dipahami secara
progresif untuk memahami realitas sosial dan kekuatan-kekuatannya,
karena agama telah dijadikan sebagai pembenar kekerasan. Menghindari
3
hal-hal yang primitif dan irasional adalah cara untuk menghilangkan
penindasan politik dan kekerasan. Menurutnya, bahwa campur aduknya
antara yang profan dan yang sakral, antara Allah dan kepala negara, antara
al-Qur‟an dan fantasi-fantasi iman harus di dekonstruksi (Mernissi, 1994:
xv).
Selain di Maroko, di Indonesia juga muncul ulama-ulama yang
berasal dari dunia pesantren yang membela perempuan yaitu K.H. Husein
Muhammad. Kyai yang sehari-harinya mengasuh Pondok Pesantren Dar‟at
Tauhid Arjawinangun Cirebon ini lahir dan tumbuh menjadi seorang
aktivis hak-hak perempuan yang paling menonjol. Husein Muhammad
merupakan ulama yang mengusung gagasan feminisme Islam. Kesadaran
Husein akan penindasan perempuan muncul ketika beliau mengikuti
halaqoh tentang perempuan dalam pandangan agama-agama sejak itu
Husein mengetahui bahwa ada masalah besar yang dihadapi dan dialami
kaum perempuan, karena kaum perempuan mengalami eksploitasi dan
penindasan (Muhammad, 2004: xxiv).
Husein adalah salah satu ulama yang ikut melakukan pembaruan
dengan mengusung isu kesetaraan dan keadilan gender dengan paradigma
fiqh atau hukum Islam. Sebab menurut Husein kehidupan masyarakat
Indonesia sangat dipengaruhi oleh sikap beragama masyarakatnya pola
tradisi, kebudayaan dan pola hidup masyarakat dipengaruhi oleh norma-
norma keagamaan khususnya teks-teks keagamaan tersebut. Karena
4
pemahaman agama terhadap perempuan masih sangat bias, masih
menomorduakan dan memargialkan (Muhammad, 2004: xxxvii-xxxviii).
Kesetaraan gender bukan hanya mengeni kesamaan kedudukan
kaum perempuan dengan laki-laki, tetapi juga mengenai kesamaan hak
keduanya, terutama dalam bidang pendidikan. Pendidikan bagi kaum
perempuan merupakan hak terpenting yang harus didapatkan, bukan untuk
menandingi kedudukan laki-laki melainkan untuk dirinya sendiri, keluarga
dan masyarakat. Perempuan cerdas akan melahirkan anak-anak cerdas dan
anak-anak inilah nantinya akan menjadi generasi yang memajukan bangsa
Indonesia dalam semua aspek kehidupan.
Adapun hal yang menarik menurut penulis dalam penelitian
terhadap pemikiran kedua tokoh tersebut antara l ain:
1. Keduanya memiliki corak berpikir yang berbeda tentang gender.
2. Keduanya merepresentasi pemikiran Islam yang kemudian
memberikan pengaruh terhadap pemikiran Islam yang akan datang.
3. Keduanya melakukan pendekatan dengan berdasarkan keadaan sosial
masyarakat sesuai dengan kultur dan zamannya masing-masing.
4. Keduanya merupakan salah satu tokoh terkemuka mengenai kesetaraan
gender dalam perspektif Pendidikan Islam.
5. Penulis menganggap kedua tokoh tersebut cukup mewakili kubu
penafsiran yang berbeda.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik melakukan
penelitian untuk mencermati dialektika kedua tokoh tersebut lebih
5
lanjut dengan judul “Kesetaraan Gender dalam Pendidikan Islam
Menurut Fatima Mernissi dan K.H. Husein Muhammad”.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, masalah pokok yang akan dibahas
dalam skripsi ini hanya berfokus pada kesetaraan gender dalam pendidikan
Islam menurut pemikiran Fatima Mernissi dan K.H. Husein Muhammad,
dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pemikiran Fatima Mernissi dan K.H. Husein Muhammad
mengenai kesetaraan gender terhadap pendidikan Islam?
2. Bagaimana komparasi kelebihan dan kekurangan, serta persamaan dan
perbedaan kesetaraan gender terhadap konsep pendidikan Islam
menurut Fatima Mernissi dan K.H. Husein Muhammad?
3. Bagaimana relevansi kekinian pemikiran Fatima Mernissi dan K.H.
Husein Muhammad tentang kesetaraan gender dalam pendidikan
Islam dengan konsep pendidikan Islam?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui konsep pemikiran Fatima Mernissi dan K.H. Husein
Muhammad mengenai kesetaraan gender dalam pendidikan Islam.
2. Untuk mengetahui komparasi kelebihan dan kekurangan serta
persamaan dan perbedaan kesetaraan gender dalam pendidikan Islam
menurut Fatima Mernissi dan K.H. Husein Muhammad.
6
3. Untuk mengetahui relevansi kekinian pemikiran Fatima Mernissi dan
K.H. Husein Muhammad tentang kesetaraan gender dalam pendidikan
Islam dengan konsep pendidikan Islam.
D. Kegunaan Penelitian
Manfaat dari penelitian ini dapat dikemukakan menjadi dua bagian,
yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan memberi wawasan dan
kontribusi bagi pendidikan pada umumnya terutama yang berhubungan
dengan kesetaraan gender dalam pendidikan Islam.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian yang dilakukan diharapkan dapat menjadi bahan
masukan dalam fokus kajian mengenai konsep kesetaraan gender
dalam pendidikan Islam khususnya dan keadilan gender pada
umumnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi
bagi masyarakat tentang kesetaraan gender dalam pendidikan Islam
dan menambah wawasan pengetahuan bagi penulis dalam
mengeksplorasi, mengelaborasi serta mengkomparasi pemikiran
maupun teori tentang perempuan dan pendidikan Islam.
E. Kajian Pustaka
Diskursus mengenai kesetaraan gender telah banyak dilakukan
oleh para peneliti sebelumnya, tetapi menurut pengamatan penulis masih
7
belum ada para peneliti yang meneliti pemikiran Fatima Mernissi sebagai
feminis Timur Tengah dengan K.H. Husein Muhammad sebagai feminis
yang berbasis pesantren terutama dalam bidang pendidikan Islam. Untuk
memperoleh hasil penelaahan yang lebih integral, penulis melakukan
analisis terlebih dahulu terhadap pustaka atau karya-karya yang
mempunyai relevansi lebih terhadap topik yang akan diangkat oleh
penulis, antara lain:
1. Skripsi yang disusun oleh Murni Mupardila mahasiswi Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan IAIN Raden Intan Lampung tahun 2017, yang
berjudul Gender dalam Perspektif Pendidikan Islam (Studi Kritis Atas
Pemikiran Fatima Mernissi). Penelitian ini mendiskripsikan hasil
sinkronisasi pemikiran Fatima Mernissi tentang kesetaraan perempuan
di dalam Islam dengan Pendidikan Agama Islam. Pendidikan Islam
yang berlandaskan pada al-Qur‟an dan hadis yang di dalamnya
membawa prinsip persamaan, keadilan dan kebebasan, serta
menjunjung tinggi hak-hak perempuan. Mampu menjadi lokomotif
yang aktif dalam menerapkan keadilan gender dalam pendidikan.
Pendidikan Islam diharapkan mampu lebih bijak dalam memandang
ayat-ayat suci yang bias gender serta terus berupaya dalam melakukan
kajian ulang untuk mewujudkan pendidikan Islam yang sesuai dengan
tujuannya.
2. Skripsi yang disusun oleh Asyhari mahasiswa Fakultas Syari‟ah UIN
Sunan Kalijaga tahun 2009, yang berjudul Kesetaraan Gender
8
Menurut Nasaruddin Umar dan Ratna Megawangi (Studi Komparasi
Pemikiran Dua Tokoh). Penelitian ini menganalisis pemikiran
Nasaruddin Umar dan Ratna Megawangi mengenai kesetaraan gender.
Nasaruddin Umar menyatakan bahwa posisi kaum perempuan adalah
sama dengan kaum laki-laki, baik di hadapan Tuhan maupun di
tengah-tengah kehidupan sosial sebagai khalifah di bumi. Tuhan tidak
memandang jenis kelamin tertentu yang terhormat di hadapan-Nya,
melainkan yang Tuhan lihat adalah kualitas ketakwaannya. Sedangkan
Ratna Megawangi berpendapat, kesetaraan gender tidak harus sama
rata, terdapat wilayah universal yang bisa disetarakan sepenuhnya
tetapi juga ada wilayah khusus bagi gender tertentu sesuai dengan
kodratnya.
3. Skripsi yang disusun oleh Suprianto mahasiswa Fakultas Ushuluddin
IAIN Walisongo tahun 2014, yang berjudul Kesetaraan Gender dalam
Islam (Studi Pemikiran Nasaruddin Umar dan K.H. Husein
Muhammad). Penelitian ini menganalisis pemikiran Nasaruddin Umar
dan K.H. Husein Muhammad mengenai kesetaraan gender. Nasaruddin
Umar menggunakan metode model pembacaan kontekstual dengan
melakukan pembahasannya pada penafsiran terhadap al-Qur‟an dengan
menggunakan perspektif keadilan gender dalam mengungkapkan relasi
sosial antara laki-laki dengan perempuan. Sedangkan K.H. Husein
Muhammad mengungkapkan bahwa ada kesenjangan dan ketimpangan
antara idealitas agama dan realitas sosial.
9
Persamaan antara penelitian yang dilakukan Murni Mupardila,
Asyhari, dan Surprianto adalah sama-sama menggunakan penelitian
kualitatif pendekatan library research. Ketiganya mengangkat tema
umum mengenai kesetaraan gender dalam Islam.
Adapun perbedaan antara ketiga penelitian tersebut terletak pada
pembahasan, tokoh yang dijadikan obyek dan sumber data penelitian.
Penelitian pertama mensinkronkan pemikiran Fatima Mernissi tentang
kesetaraan gender di dalam Islam yang tertuang dalam karya-karyanya
semasa hidup dengan pendidikan Agama Islam. Penelitian yang kedua
menganalisis dan mengkomparasikan pemikiran Nasaruddin Umar
tentang kesetaran gender dalam bukunya yang berjudul Argumen
Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur‟an dan buku Membiarkan
Berbeda? karya Ratna Megawangi. Penelitian yang ketiga
menganalisis dan mengkomparasikan pemikiran Nasaruddin Umar
tentang kesetaraan gender dalam bukunya yang berjudul Argumen
Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur‟an dan buku Fiqh Perempuan
Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender karya K.H. Husein
Muhammad.
Persamaan antara ketiga penelitian di atas dengan penelitian yang
akan dilakukan penulis adalah sama-sama menganalisis tentang
kesetaraan gender dengan menggunakan pendekatan library research.
Penelitian yang akan dilakukan penulis dengan penelitian pertama
terdapat kesamaan, keduanya menganalisis kesetaraan gender dengan
10
Pendidikan Islam menurut pemikiran Fatima Mernissi. Sedangkan
penelitian yang akan dilakukan penulis dengan penelitian yang kedua
dan ketiga memiliki kesamaan yaitu ketiganya sama-sama
mengeksplorasi, mengelaborasi dan mengkomparasikan pemikiran
dua tokoh tentang gender namun dengan tokoh dan sumber data yang
berbeda.
F. Metode Penelitian
Dalam menjelaskan dan menyampaikan sebuah penelitian yang
terarah dan dapat dipahami, maka penulis akan menyampaikan beberapa
metode penelitian yang digunakan, yaitu sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian kepustakaan
library research, yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan
metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta
mengolah bahan penelitian (Zed, 2004: 3).
2. Jenis Data
a. Data Primer
Bahan yang diperoleh penulis dari tangan pertama atau
ditulis oleh pelaku itu sendiri dan merupakan data orisinil (Zed,
2004: 5). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan data primer
yang berupa buku Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan
Kiai Pesantren karya K.H. Husein Muhammad, selain itu penulis
juga melakukan wawancara dengan K.H. Husein Muhammad
11
melalui sambungan telepon untuk mendapatkan informasi lebih
lanjut mengenai pemikirannya tentang kesetaraan gender dalam
pendidikan Islam. Selanjutnya penulis menggunakan buku
berbahasa Indonesia yang diperoleh dari terjemahan buku
berbahasa Inggris karya Fatima Mernissi yang berjudul
Pemberontakan Wanita! : Peran Intelektual Kaum Wanita dalam
Sejarah Muslim, diterjemahkan dari buku Women‟s Rebellion &
Islamic Memory, oleh Rahmani Astuti.
b. Data Sekunder
Bahan yang diperoleh penulis dari tangan kedua dan bukan
data orisinil dari tangan pertama di lapangan (Zed, 2004: 5).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan data sekunder yang
berupa buku-buku, yaitu:
1) Wanita di Dalam Islam karya Fatima Mernissi yang
diterjemahkan oleh Yaziar Radianti.
2) Hak-hak Perempuan Relasi Jender menurut Tafsir Al-
Sya‟rawi karya Dr. Hj. Istibsyaroh, S.H., M.A.
3) Kebebasan Wanita karya Abdul Halim Abu Syuqqah yang
diterjemahkan oleh Chairul Halim.
4) Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam karya Dr. Ahmad
Tafsir.
12
5) Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam
Timbangan Islam karya Siti Muslikhati dan masih ada
beberapa sumber lain yang berupa skripsi maupun jurnal.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan dengan menghimpun data dari
berbagai literatur diantaranya berupa buku-buku, artikel, jurnal,
ataupun surat kabar yang berkaitan dengan fokus penelitian.
4. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul dengan baik dan teoritis, maka data akan
diolah secara kualitatif menggunakan beberapa metode agar
mendapatkan hasil yang komprehensif, antara lain sebagai berikut:
a. Metode content analysis : Analisis ilmiah tentang isi pesan
suatu komunikasi yang mencakup upaya klasifikasi tanda-
tanda yang dipakai dalam komunikasi dan menggunakan
kriteria sebagai dasar klasifikasi dan menggunakan teknik
analisis tertentu sebagai pembuat prediksi (Muhadjir, 2000:
68). Dalam penelitian ini berupa analisis terhadap makna
yang terkandung dalam gagasan pandangan Fatima
Mernissi dan K.H. Husein Muhammad termasuk bagaimana
ide atau gagasan itu muncul, apa latar belakangnya dan
bagaimana ide itu bisa dimunculkan.
b. Metode Komparatif : Suatu bentuk pemikiran untuk
memperoleh pengetahuan dengan cara membandingkan
13
pendapat yang satu dengan pendapat yang lain untuk dicari
persamaan dan perbedaan, kekurangan dan kelebihannya
serta diambil pendapat yang paling kuat. Jika sudah
ditemukan inti dari suatu pemikiran maka selanjutnya
membandingkan dengan pemikiran yang lainnya. Pada
penelitian ini penulis membandingkan pemikiran Fatima
Mernissi dan K.H. Husein Muhammad untuk mendapatkan
persamaan dan perbedaan serta kekurangan dan kelebihan
dari pemikiran kedua tokoh tersebut.
G. Penegasan Istilah
1. Gender
Gender menurut Hilary M. Lips dalam bukunya Sex and Gender:
an Introduction yang dikutip Umar mengartikan gender sebagai harapan-
harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectation for
women and man) (Umar, 1999, hal. 34). Menurut H.T Wilson mengartikan
gender sebagai salah satu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan
laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang
sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan (Umar, 1999,
hal. 34). Gender sendiri diartikan sebagai “suatu sifat yang melekat pada
laki-laki dan perempuan dan dikonstruksi secara sosial, kultural atau
hubungan sosial yang bervariasi dan sangat bergantung pada faktor-faktor
budaya, agama, sejarah dan ekonomi (Sastriyani, 2007: 72).
2. Kesetaraan Gender
14
Kesetaraan Gender adalah kondisi relasi perempuan dan laki-laki
sebagai mitra sejajar agar mendapat perlakuan yang adil untuk mengakses
sumber daya, mengontrol, berpartisipasi dan memperoleh manfaat
pembangunan (UU KKG Pasal 1 nomor 2). Laki-laki dan perempuan
memiliki dan menikmat status yang sama, sama-sama memiliki
kesempatan yang sama untuk merealisasikan hak-haknya dan potensi
dirinya dalam memberikan kontribusi pada perkembangan politik,
ekonomi, sosial dan budaya serta sama-sama dapat menikmati hasil-hasil
pembangunan tanpa harus membedakan jenis kelamin.
Dapat disimpulkan bahwa semua orang harus mendapatkan
perlakuan yang setara, tidak ada deskriminasi terhadap identitas gender
tertentu, dalam hal ini laki-laki dan perempuan dapat memperoleh hak
yang sama terutama hak memperoleh pendidikan.
3. Pendidikan Islam
Istilah pendidikan berkenaan dengan fungsi yang luas dari
pemeliharaan dan perbaikan suatu masyarakat, terutama membawa warga
masyarakat yang baru mengenai tanggung jawab bersama di dalam
masyarakat (Syafaat, 2008: 171). Pendidikan Islam merupakan pendidikan
yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental
yang terkandung dalam sumber dasarnya, yaitu al-Qur‟an dan al-Sunnah.
Dalam pengertian ini, pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan
teori pendidikan yang mendasarkan diri atau dibangun dan dikembangkan
dari sumber-sumber dasar tersebut atau bertolak dari spirit Islam
15
(Muhaimin, 2003: 23). Ataupun segala usaha orang dewasa dalam
pergaulan dengan peserta didik untuk memimpin perkembangan potensi
jasmani dan rohaninya ke arah kesempurnaan (Ramayulis, 2015: 17).
Pendidikan Islam berisi pendidikan yang memuat syariat Islam baik
tingkah laku maupun sikap.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi yang disusun terbagi menjadi tiga
bagian, yaitu bagian awal, bagian isi dan bagian akhir. Bagian awal terdiri
dari sampul, lembar berlogo, halaman judul, halaman persetujuan
pembimbing, halaman pengesahan kelulusan, halaman pernyataan
orisinalitas, halaman motto dan persembahan, halaman kata pengantar,
halaman abstrak, halaman daftar isi dan halaman lampiran.
Bagian inti atau isi dalam penelitian ini, penulis menyusun ke dalam lima
bab yang rinciannya adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHUUAN
Bab ini memaparkan latar belakang masalah, fokus
penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian
pustaka, penegasan istilah, metode penelitian dan
sistematika penulisan skripsi.
BAB II BIOGRAFI TOKOH
Dalam bab ini akan diuraikan tentang biografi pribadi dan
keluarga Fatima Mernissi dan K.H. Husein Muhammad
menjadi empat bagian. Pertama, meliputi tempat lahir,
16
silsilah keluarga, perkembangan atau perpindahan tempat
tinggal. Kedua, rekam jejak karir atau jabatan yang pernah
dipegang Fatima Mernissi dan K.H. Husein Muhammad.
Ketiga, riwayat pendidikan dan keilmuannya yaitu lembaga
pendidikan yang pernah dimasuki dan guru-guru yang
pernah mengajarnya. Keempat, karya-karya dari Fatima
Mernissi dan K.H. Husein Muhammad.
BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN
Dalam bab ini penulis akan menguraikan pemikiran Fatima
Mernissi dan K.H. Husein Muhammad tentang kesempatan
dan peran belajar bagi perempuan, penerapan di lembgaa
pendidikan, dan metode pendidikan.
BAB IV PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan mengemukakan komparasi
antara pemikiran kedua tokoh tersebut, menemukan
kekurangan dan kelebihan, persamaan dan perbedaan serta
merelevansikan pemikiran tersebut dengan konsep
pendidikan Islam kekinian.
BAB V PENUTUP
Bab penutup berisi kesimpulan dan saran.
17
BAB II
BIOGRAFI TOKOH
A. Fatima Mernissi
1. Biografi Pribadi dan Keluarga Fatima Mernissi
Fatima Mernissi lahir di salah satu harem terakhir di kota di Fez,
Maroko Utara pada tahun 1940, ia merupakan feminis di Timur Tengah
yang paling populer (Mernissi, 1999: 5). Harem tersebut dijaga ketat oleh
seorang penjaga pintu agar perempuan-perempuan di dalamnya tidak
keluar, mereka juga dirawat dan dilayani dengan baik oleh pelayan
perempuan (Nuruzzaman, 2005: 79).
Kakek Mernissi bernama Sidi Tazi, neneknya bernama Lalla
Yasmina yang merupakan salah satu dari sembilan istri kakeknya.
Sementara ayah Mernissi seorang nasionalis Maroko yang menolak
poligami dan hanya mempunyai satu istri. Ibu Mernissi salah satu dari
sekian banyak perempuan Maroko yang buta huruf karena kehidupannya
dihabiskan di harem (Nuruzzaman, 2005: 80).
Mernissi berasal dari kalangan keluarga menengah, dengan
kehidupan masa kecil yang penuh keceriaan dan kebahagiaan karena
tinggal bersama sepuluh orang sepupunya yang berusia sebaya, baik laki-
laki maupun perempuan (Mernissi, 1992: 74). Salah satu sepupunya
bernama Aziz, di harem tersebut Mernissi juga tinggal dengan bibinya
yang bernama Fatimah (Mernissi, 1992: 15).
2. Perjalanan Karir atau Jabatan Fatima Mernissi
18
Berikut adalah rekam jejak karir atau jabatan yang pernah
dipegang oleh Fatima Mernissi semasa hidupnya:
a. Mengajar di Departemen Sosiologi Universitas Muhammad V Rabat
dari tahun 1974-1980 setelah mempelajari ilmu politik dan sosiologi di
Universitas tersebut (Mernissi, 1999: 5).
b. Dosen The Institute of Scientific Research di Universitas Muhammad
V, Rabat.
c. Mernissi pernah menjadi jurnalis di Paris pada tahun 1973 setelah
mendapatkan gelar dari University di Rabat (dalam Beyond the Veil:
Male and Female Dynamics in Modern Muslim Society).
d. Mernissi juga telah menjadi Profesor tamu (dosen terbang) pada
Universitas California di Barkeley dan Universitas Harvard (Zubaidah,
2010: 26).
e. Konsultan di United Nation Agencies.
f. Anggota Pan Arab Woman Solidarity Association.
g. Selain itu, ia juga tercatat sebagai peserta tetap dalam konferensi-
konferensi dan seminar-seminar Internasional. (dalam Murni
Mupardila, 2017: 51-52).
3. Riwayat Pendidikan atau Keilmuan Fatima Mernissi.
Pendidikan pertama yang di tempuh Mernissi ketika kecil adalah
sekolah al-Qur‟an, yaitu pendidikan yang mirip dengan sekolah-sekolah
zaman pertengahan. Mernissi belajar di sekolah al-Qur‟an selama tiga
tahun, mulai dari usia tiga tahun hingga enam tahun, guru pertamanya
19
bernama Lalla Faqiha yang mengajar menulis ayat-ayat di atas kertas dari
kulit kayu yang diberi sampul tanah liat (Mernissi, 1992: 93-96).
Semasa kanak-kanak Mernissi memiliki hubungan yang ambivalen
dengan al-Qur‟an. Meski di sekolah ia diajarkan al-Qur‟an dengan cara
yang keras, namun baginya hanya keindahan rekaan Islam versi neneknya
yang telah membuka pintu menuju agama yang puitis meski sang nenek
buta huruf. Bersama Lalla Yasmina, Mernissi bisa bebas bermain kata-
kata, sedangkan di sekolah Qur‟an, jika ia salah melafalkan maka akan
mendapat hukuman yang disertai bentakan: “Al-Qur‟an harus dibaca persis
sama dengan ketika kitab ini diturunkan” (Mernissi, 1994: 79). Mernissi
termasuk murid yang tidak memiliki suara yang bagus dalam melantunkan
ayat-ayat al-Qur‟an, tetapi ia memiliki daya ingat yang sangat bagus
(Mernissi, 1992: 95).
Pada usia remaja, Mernissi melanjutkan pendidikannya di Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama dalam Sekolah Nasional serta Sekolah Lanjutan
Atas pada sebuah Sekolah Khusus Wanita (sebuah lembaga yang dibiayai
oleh pemerintah Perancis) (Zubaidah, 2010: 25). Mernissi aktif dalam
perjuangan merebut kemerdekaan nasional, ia dan remaja-remaja lain baik
laki-laki maupun perempuan turun ke jalan-jalan kota untuk menyanyikan
lagu al-huriyya jihaduna hatta narha (kami akan berjuang untuk
kemerdekaan sampai kami memperolehnya) (Mernissi, 1992: 73).
Setelah tamat sekolah, Mernissi melanjutkan pendidikannya dan
mendapat gelar di bidang politik dari Muhammad V Univesity di Rabat,
20
Maroko dengan mengambil program Sosiologi dan ilmu politik yang
diselesaikan pada tahun 1965 (dalam Murni Mupardila, 2017: 52).
Sedangkan untuk gelar Ph.D didapatkannya dari Universitas Brandels,
Amerika Serikat pada tahun 1973. Disertasinya yang berjudul Beyond the
Veil berhasil menjadi buku rujukan dalam pustaka Barat (Nuruzzaman,
2005: 82).
4. Karya-karya Fatima Mernissi
Mernissi di kenal sebagai feminis Muslim di Timur Tengah yang
memiliki pengaruh penting di lingkungannya dan intelektualnya pun
mendapat pengakuan yang baik di negerinya sendiri, Perancis bahkan di
negara-negara lain. Bahkan karya-karyanya telah di terjemahkan ke
berbagai bahasa seperti bahasa Inggris, Jerman, Jepang, Belanda dan
Indonesia. Ia sangat produktif dalam menerbitkan kaya-karya baik dalam
bahasa Perancis maupun bahasa Arab. Berikut adalah karya-karya Fatima
Mernissi yang telah di terjemahkan ke dalam bahasa Inggris:
a. Beyond the Veil (Indian University Press/Al Saqi).
b. Doing Daily Battle (Women‟s Press/Rutgers University Press).
c. The Veil and the Male Elite (AddisonWesley/Virago).
d. Dreams of Trespass (Addison Wesley) diterbitkan di Inggris dengan
judul The Harem Within (Doubleday) (Mernissi, 1999: 5).
e. Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry,
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Yaziar Radianti,
Pustaka Bandung, 1994. Membahas tentang kedudukan wanita dalam
21
Islam. Pelacakan Mernissi terhadap nash-nash al-Qur‟an dan hadis
didasari pada pengalaman individualnya sehari-hari ketika
berhubungan dengan masyarakat, seperti hadis-hadis yang ia anggap
Misogini.
f. Islam and Democracy: Fear of Modern World, diterjemahkan dari
bahasa Perancis oleh Mary Jo Lakeland, 1992. Membahas tentang
wanita dan demokrasi.
g. The Forgotten Queens of Islam, diterjemahkan ke bahasa Indonesia
oleh Rahmani Astuti dan Enna Hadi, Mizan-Bandung, 1994.
Membahas tentang kepemimpinan wanita.
h. Women in Muslim Paradise, dalam Equal Before Allah, diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia oleh Tim Lembaga Studi dan
Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA), LSPPA Yayasan
Prakarsa Yogyakarta, 1995. Membahas tentang wanita/bidadari dan
surga.
i. Women in Muslim History: Traditional Perspectives and New
Strategies dalam Equal Before Allah, diterjemakan ke dalam Bahasa
Indonesia oleh Tim LSPPA, LSPPA Yayasan Prakarsa Yogyakarta,
1995. Membahas tentang wanita dan politik.
j. Can We Women Head A Muslim State? dalam Equal Before Allah,
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Tim LSPPA, LSPPA
Yayasan Prakarsa Yogyakarta, 1995.
22
k. The Fundamentalist Obsession With Women: A Current
Articurtulation of Class Conflict in Modern Muslim Societies dalam
Equal Before Allah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Tim
LSPPA, LSPPA Yayasan Prakarsa Yogyakarta, 1995.
l. Rebellions Women and Islamic Memory, London dan New Jersey: Zed
Books, 1996 (dalam Murni Mupardila, 2017: 53-54).
B. K.H. Husein Muhammad
1. Biografi Pribadi dan Keluarga K.H. Husein Muhammad
Husein Muhammad lahir pada tanggal 9 Mei 1953 di Pondok
Pesantren Dar‟at Tauhid Arjawinangun, Cirebon dari sepasang suami istri
Muhammad Asyrofuddin dan Ummu Salma Syathori. Muhammad
Asyrofuddin berasal dari keluarga biasa yang berpendidikan pesantren,
sedangkan Ummu Salma Syathori merupakan putri dari K.H. A. Syathori
dan beliau merupakan putra dari K.H. Sanawi bin Abdullah bin
Muhammad Salabi yang merupakan pendiri Pondok Pesantren Dar‟at
Tauhid Arjawinangun, Cirebon. Pada tahun 1932 K.H. A. Syathori
mendapat tanggungjawab dari sang ayah untuk mengelola pesantren dan
kemudian mencapai puncak kemajuannya pada tahun 1953-1970 masih
dibawah pimpinan K.H. A. Syathori (Nuruzzaman, 2005: 103-110).
Husein Muhammad memiliki delapan orang saudara dan semuanya
merupakan pengasuh Pondok Pesantren di Jawa Barat, Jawa Tengah dan
Jawa Timur, yakni:
23
a. Hasan Thuba Muhammad, pengasuh Pondok Pesantren Raudlah at
Thalibin, Bojonegoro, Jawa Timur.
b. Husein Muhammad, pengasuh Pondok Pesantren Dar‟at Tauhid,
Cirebon, Jawa Barat.
c. Ahsin Sakho Muhammad, pengasuh Pondok Pesantren Dar‟at Tauhid,
Cirebon, Jawa Barat.
d. Ibnu Ubaidillah Muhammad, pengasuh Pondok Pesantren Lasem,
Jawa Tengah.
e. Mahsum Muhammad, pengasuh Pondok Pesantren Dar‟at Tauhid,
Cirebon, Jawa Barat.
f. Azza Nur Laila, pengasuh Pondok Pesantren HMQ Lirboyo, Kediri,
Jawa Timur.
g. Salman Muhammad, pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras,
Jombang, Jawa Timur.
h. Faiqoh, pengasuh Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur.
Husein Muhammad menikah dengan Lilik Nihayah Fuad Amin,
kemudian dikaruniai lima orang putra-putri yang bernama: Hilya Auliya,
Layali Hilwa, Muhammad Fayyaz Mumtaz, Najlah Hammada, dan Fazla
Muhammad (dalam Noviyati Widiyani, 2010: 38-39). Selain dikaruniai 5
putra-putri, Husein Muhammad juga memiliki 3 orang cucu, 2
perempuan dan 1 laki-laki (wawancara, 4 Juli 2019, pukul 10.26 WIB).
24
2. Perjalanan Karir atau Jabatan Husein Muhammad
Husein Muhammad memiliki pengalaman organisasi dan aktivitas
semenjak ia masih menjadi mahasiswa di PTIQ Jakarta (Perguruan
Tinggi Ilmu Al-Qur‟an). Selain di lingkungan kampus, Husein
Muhammad juga sering mendapat amanah di berbagai organisasi
kemasyarakatan, politik maupun keagamaan sebagai ketua, pendiri,
sekjen, dewan redaksi, penanggung jawab, tim pakar maupun konsultan.
Berikut adalah rekam jejak karir dan daftar jabatan yang pernah
dipegang oleh Husein Muhammad:
a. Ketua I Dewan Mahasiswa PTIQ tahun 1978-1979.
b. Ketua I Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama, Kairo Mesir pada
tahun 1982-1983.
c. Sekretaris Perhimpunan Pelajar dan Mahasiswa, Kairo Mesir pada
tahun 1982-1983 (Nuruzzaman, 2005: 122)
d. Pendiri Fahimna Institute, Cirebon pada tahun 1998 (Natsir, 2014:
211).
e. Pengasuh Ponpes Dar‟at Tauhid Arjawinangun, Cirebon.
f. Anggota Dewan Syuro DPP PKB pada tahun 2001-2005.
g. Ketua Dewan Tanfiz PKB Kabupaten Cirebon pada tahun 1999-2002.
h. Wakil Ketua DPRD Kabupaten Cirebon pada tahun 1999.
i. Ketua Umum Yayasan Wali Sanga pada tahun 1996.
j. Ketua I Yayasan Pesantren Dar‟at Tauhid pada tahun 1994.
25
k. Wakil Rais Syuriyah NU Cabang Kabupaten Cirebon pada tahun
1989-2001.
l. Sekjen RMI (Asosiasi Pondok Pesantren) Jawa Barat pada tahun
1994-1999.
m. Pengurus PP RMI pada tahun 1989-1999.
n. Wakil Ketua Pengurus Yayasan Puan Amal Hayati Jakarta pada tahun
1999.
o. Direktur Pengembangan Wacana LSM RAHIMA Jakarta pada tahun
2000.
p. Ketua Umum DKM Masjid Jami‟ Fadhlullah Arjawinangun pada
tahun 1998.
q. Kepala Madrasah Aliyah Nusantara yang berlokasi di Arjawinangun
pada tahun 1989.
r. Kepala SMU Ma‟arif Arjawinangun pada tahun 2001.
s. Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Arjwinangun pada
tahun 1996.
t. Ketua Kopontren Dar‟at Tauhid pada tahun 1994.
u. Ketua Departemen Kajian Filsafat dan Pemikiran ICMI Orsat
Kabupaten Cirebon pada tahun 1994-2000.
v. Ketua I Badan Koordinasi TKA-TPA wilayah III Cirebon pada tahun
1992.
w. Pemimpin Umum/Penanggung jawab Dwibulanan “Swara Rahima”
Jakarta pada tahun 2001.
26
x. Dewan Redaksi Jurnal Dwi Bulanan “Puan Amal Hayati” Jakarta pada
tahun 2001.
y. Konsultan Yayasan Balqis untuk Hak-hak Perempuan Cirebon pada
tahun 2002.
z. Pendiri LSM Puan Amal Hayati Cirebon.
aa. Konsultan/Staf Ahli Kajian Fiqh Siyasah dan Perempuan.
bb. Anggota National Broad of International Center for Islam and
Pluralism Jakarta pada tahun 2003.
cc. Tim Pakar Indonesia Forum of Parliamentarians on Population and
Development pada tahun 2003.
dd. Dewan Penasihat dan Pendiri KPPI (Koalisi Perempuan Partai Politik
Indonesia) di Kabupaten Cirebon pada tahun 2004 (Nuruzzaman,
2005: 122-124).
ee. Komisioner Komnas Perempuan pada tahun 2007-2009 dan 2010-
2014.
ff. Anggota Pengurus Assosiate Yayasan Desantara Jakarta pada tahun
2002.
gg. Pendiri Lintas Iman (Forum Sabtuan) Cirebon pada tahun 2000.
hh. Komisi Ahli Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, masa bakti
2010-2014.
ii. Pembina Forum Reformasi Hukum Keluarga Indonesia pada tahun
2014 (dalam Susanti, 2010:20).
27
Selain pengalaman organisasi diatas, Husein Muhammad juga
memiliki beberapa pengalaman mengikuti konferensi dan seminar
Internasional diantaranya adalah:
a. Mengikuti Konferensi Internasional tentang “Al-Qur‟an dan Iptek“
yang diselenggarakan Rabithah Alam Islami Makkah di Bandung pada
tahun 1996.
b. Peserta Konferensi Internasional tentang “Kependudukan dan
Kesehatan Reproduksi” di Kairo Mesir pada tahun 1998.
c. Peserta Seminar Internasional tentang “AIDS” di Kuala lumpur
Malaysia pada tahun 1999.
d. Mengikuti studi banding di Turki pada tanggal 6-13 Juli 2002 tentang
“Aborsi Aman”.
e. Fellowship pada Institute Studi Islam Modern (ISIM) Universitas
Leiden Belanda pada November 2002.
f. Narasumber pada Seminar dan Lokakarya Internasional: Islam and
Gender di Colombo Srilanka pada tanggal 29 Mei-2 Juni 2003
(Nuruzzaman, 2005: 125).
g. Lecture pada International Scholar Vising di Malaysia pada tanggal
07-12 Oktober 2004.
h. Peserta Seminar International Conference of Islam Scholars di Jakarta
pada tanggal 23-25 Februari 2004.
28
i. Pembicara pada Seminar Internasional: “Social Justice and Gender
Equity within Islam” di Dhaka Bangladesh pada tanggal 08-09
Februari 2006.
j. Pembicara pada Seminar Internasional: “Trends in Family Law
Reform in Muslim Countries” di Malaysia pada tanggal 18-20 Maret
2006.
k. Speaker in Global Movement for Equality and Justice in the Muslim
Family, Malaysia 13-17th February 2009. The Title Paper: “Al-
Qur‟an and Ta‟wil for Equality and Justice” pada tanggal 13-17
Februari 2009.
l. Speaker pada Workshop “Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan”
di Istanbul Turki pada 4-8 September 2013 (dalam Susanti, 2010: 20-
22).
3. Riwayat Pendidikan dan Keilmuan Husein Muhammad
Sejak kecil Husein sudah akrab dengan dunia ilmiah, karena lahir
dan besar di lingkungan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang
mengkaji wacana-wacana fiqh, tauhid, tasawuf dan lain-lain. Husein
Muhammad belajar agama sejak kecil di pesantren. Menurut
pengakuannya:
“Pertama saya belajar al-Qur‟an pada K. Mahmud Toha dan kepada
kakek saya sendiri (K.H. Syathori). Di samping belajar di madrasah
diniyah (sekolah agama) pesantren, saya juga belajar di SD selesai
tahun 1966, kemudian melanjutkan di SMPN 1 Arjawinangun
selesai tahun 1969 dan di SMP saya sudah mulai aktif di dalam
organisasi sekolah bersama rekan-rekan.” (Nuruzzaman, 2005:
111).
29
Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan pesantren Husein telah
memberikan kebebasan dan ruang gerak yang luas kepada anak-anak kiai
dalam menempuh pendidikan umum untuk kemajuan mereka, yang
notabenenya pada masa itu untuk melanjutkan pendidikan di sekolah
umum sangat dilarang oleh kiai-kiai pesantren.
Setelah tamat SMP, Husein melanjutkan pendidikan ke Pondok
Pesantren Lirboyo Kediri selama tiga tahun sampai tahun 1973. Pada saat
inilah kecintaan Husein kepada dunia literasi mulai tumbuh dan
berkembang. Hal itu terlihat ketika para santri diberikan kesempatan untuk
ke kota mencari hiburan, Husein justru mencari koran untuk dibaca,
bahkan ia pernah beberapa kali menulis dalam koran lokal baik itu dalam
bentuk puisi, ataupun cerita orang-orang besar.
Setelah tiga tahun belajar di Ponpes Lirboyo, Husein melanjutkan
pendidikannya ke Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur‟an (PTIQ) Jakarta
selama lima tahun hingga tahun 1980. Perguruan tinggi ini
mengkhususkan kajian tentang al-Qur‟an dan mewajibkan mahasiswanya
untuk menghafal al-Qur‟an. Selama di PTIQ Husein sangat aktif dalam
kegiatan-kegiatan mahasiswa baik ekstra maupun intra kampus. Husein
semakin akrab dengan dunia jurnalistik kemudian ia dan seorang
kawannya mempelopori adanya majalah dinding di kampus itu dalam
bentuk tulisan reportase.
Selain aktif di dunia jurnalistik, Husein juga aktif di organisasi
intra kampus dengan mendirikan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
30
(PMII) Rayon Kebayoran Lama bersama teman-teman kampusnya. Secara
teoritik, Husein tamat kuliah pada tahun 1979, namun baru di wisuda pada
tahun 1980. Pada tahun ini juga Husein berangkat ke Kairo Mesir untuk
melanjutkan kuliah di Al-Azhar University, sesuai anjuran dari gurunya di
PTIQ, yaitu Prof. Ibrahim Husen guna mempelajari ilmu tafsir al-Qur‟an.
Husein belajar di Mesir selama tiga tahun hingga tahun 1983 dan
kembali ke Indonesia tanpa gelar. Hal tersebut terjadi karena Husein
merasa di Mesir pelajarannya kurang menantang dan hanya mengulang
materi yang telah ia dapatkan selama tumbuh di pesantren. Bahkan Husein
lebih sering mengajar kitab kepada mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang
sedang belajar di Mesir (wawancara, 4 Juli 2019, pukul 10.26 WIB).
Kesempatan belajar di Mesir tidak disia-siakan begitu saja oleh
Husein, justru ia semakin rajin belajar dan membaca buku-buku serta
kitab-kitab dari pemikir besar Islam yang jarang ditemukan di Indonesia
seperti Qasim Amin, Ahmad Amin dan lain-lain. Selain itu ia juga
membaca buku-buku filsafat atau sastra dari pemikir Barat yang ditulis
dengan bahasa Arab seperti Nietzsche, Sartre, Albert Camus dan lain-lain.
Husein kembali ke Indonesia untuk meneruskan jejak kakeknya
mengembangkan pesantren Dar‟at Tauhid. Setibanya di pesantren, Husein
langsung memimpin Madrasah Aliyah (SMU) yang saat itu dalam
keadaaan kurang baik, bahkan hampir dibubarkan (Nuruzzaman, 2005:
115).
31
Ketika di Mesir, Husein Muhammad lebih banyak membaca karya-
karya intelektual muslim, seperti pengakuannya:
“Sebenarnya banyak guru-guru saya, seperti guru-guru di Lirboyo
dan di Mesir juga banyak, tapi terutama ketika di Mesir saya sudah
membaca karya-karya intelektual muslim baik klasik maupun
modern seperti Muhammad Abduh, Toha Husein, Basmaut Haqqot,
Taufiqil Hakim yang semuanya adalah pembaharu-pembaharu
dunia Islam.” (wawancara, 4 Juli 2019, pukul 10.26 WIB).
4. Karya-Karya Husein Muhammad
Kemampuan Husein dalam dunia kepenulisan tidak perlu
diragukan lagi, ia telah menerbitkan buku-buku pengetahuan Islam
dan karya tulis mengenai gender yang hingga saat ini masih dijadikan
sumber referensi. Berikut adalah karya-karya Husein Muhmmad:
(dalam Susanti, 2010: 22-24).
a. Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Jender,
(Yogyakarta: LKiS, 2001).
b. Ta‟liq wa Takhrij Syarah „Uqud al-Lujjayn, bersama Forum Kajian
Kitab Kuning Jakarta, (Yogyakarta: LKiS, 2001).
c. Sejumlah makalah seminar/diskusi, antara lain: Islam dan Negara
Bangsa, Pesantren dan Civil Society, dan Islam dan Hak-Hak
Reproduksi.
d. Sejumlah tulisan dalam buku-buku kumpulan tulisan, antara lain
berjudul: Kelemahan dan Fitrah Perempuan, pengantar dalam buku
Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan, dan Kebudayaan
yang Timpang, sebuah epilog dalam buku Panduan Pengajaran Fikih
Perempuan (Nuruzzaman, 2005: 120-121).
32
e. Refleksi Teologis tentang Kekerasan terhadap Perempuan, dalam
Syafiq Hasyim (ed), Menakar Harga Perempuan: Eksplorasi Lanjut
atas Hak-Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam, (Bandung: Mizan,
1999).
f. Metodologi Kajian Kitab Kuning, dalam Marzuki Wahid dkk, (ed),
Pesantren Masa Depan: Wacana Peberdayaan dan Transformasi
Pesantren (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999).
g. Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren,
(Yogyakarta: LkiS, 2001).
h. Panduan Pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantren, (Yogyakarta:
YKF-FF, 2002).
i. Gender di Pesantren: Pesantren and The Issue of Jender Relation,
dalam Majalah Cultre, The Indonesian Journal of Muslim Cultures,
(Jakarta: Center of Language and Cultures, UIN Syarif Hidayatullah,
2002).
j. Kelemahan dan Fitnah Perempuan, dalam Moqsith Ghazali, et. All,
Tubuh Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan: Bunga Rampai
Pemikiran Ulama Muda (Yogyakarta: Rahima-FF-LkiS, 2002).
k. Kebudayaan yang Timpang, dalam K. M Ikhsanuddin, dkk. Panduan
Pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantren (Yogyakarta: YKF-FF,
2002).
l. Fiqh Wanita: Pandangan Ulama terhadap Wacana Agama dan
Gender (Malaysia: Sister in Islam, 2004).
33
m. Pemikiran Fiqh yang Arif, dalam K.H. MA. Sahal Mahfud, Wajah
Baru Fiqh Pesantren (Jakata: Citra Pustaka, 2004).
n. Kembang Setaman Perkawinan: Analisis Kritis Kitab „Uqud al Lujain
(Jakarta: FK3-Kompas, 2005).
o. Spiritualitas Kemanusiaan, Perspekif Islam Kemanusiaan
(Yogyakarta: LkiS, 2006).
p. Dawrah Fiqh Perempuan: Modal Kursus Islam dan Gender (Cirebon:
Fahmina Istitute, 2006).
q. Ijtihad Kiayi Husein, Upaya Membangun Keadilan Gender, 2011.
r. Fiqh Seksualitas (Jakarta: PKBI, 2011).
s. Sang Zahid, Mengarungi Sufisme Gus Dur (Bandung: Mizan, 2012).
t. Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerahan (Bandung: Mizan,
2011).
u. Menyusuri Jalan Cahaya: Cinta, Keindahan, Pencerahan. Buyan,
2013.
v. Kidung Cinta dan Kearifan (Cirebon: Zawiyah, 2014).
Selain karya-karya ilmiah diatas, sebagai intelektual yang memiliki
kemampuan bahasa asing (bahasa Arab) Husein juga memiliki
beberapa karya terjemahan, diantaranya:
a. Khutbah al-Jumu‟ah wa al-Idain, Lajnah min Kibar Ulama‟ Al-Azhar
(Wasiat Taqwa Ulama-Ulama Besar Al-Azhar), Kairo: Bulan Bintang,
1985.
34
b. Asy-Syari‟ah al-Islamiyyah bain al-Mujaddidin wa al-Muhadditsin,
(Hukum Islam antara Modernis dan Tradisionalis), karya DR. Faruq
Abu Zaid (Jakarta: P3M, 1986).
c. Mawathin al-Ijtihad fi asy-Syari‟ah al-Islamiyyah, karangan Syaikh
Muhammad al-Madani; at-Taqlid wa ad-Talfiq al-Fiqh al-Islami,
karangan Sayyid Mu‟in ad-Din; al-Ijtihad wa at-Taqlid baina adh-
Dhawabith asy-Syar‟iyyah wa al-Hayah al-Mu‟ashirah (Dasar-dasar
Pemikiran Hukum Islam) karangan DR. Yusuf Qardhawi,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987) (Nuruzzaman, 2005: 121-122).
d. Thabaqat al-Ushuliyyin (Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah) karya
Syeikh Mushthafa al Maraghi, (Yogyakarta: LKPSM, 2001).
e. Telaah kitab Syarah Uqud al-Lujain, (Wajah Baru Relasi Suami Istri),
(Jakarta: Forum Kajian Kitab Kuning-LkiS, 2001) (dalam Susanti,
2014: 25).
35
BAB III
DESKRIPSI PEMIKIRAN
A. FATIMA MERNISSI
1. Kesamaan Posisi
Islam sangat mengafirmasi kesetaraan laki-laki dan perempuan
(Mernissi, 1987: 19). Hal ini didasarkan pada gagasan monteisme
(tauhid) yang tidak hanya bermakna individual personal tetapi juga
sosial, tidak hanya berdimensi transendental tapi juga profan. Ide ini
mengimplikaskan prinsip kemerdekaan manusia yang berarti juga
adanya prinsip kesetaraan manusia secara universal. Semua manusia
dimanapun dan kapanpun, tanpa memandang etnis, bangsa, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, kekuasaan, adalah sama dan setara di hadapan
Tuhan. Seperti yang terdapat dalam QS. al-Hujurat: 13
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat ini merupakan satu dari sekian ayat al-Qur‟an yang berbicara
tentang kesetaraan manusia. Kehadiran gagasan ini telah
mendekonstruksi kultur masyarakat Arab yang mengukur kualitas dan
kemuliaan seseorang berdasarkan entitas, kekayaan, kekuasaan, dan
36
jenis kelamin, yang kemudian berimplikasi terhadap manifestasi
kultural dan praktek sosial, berupa penindasan, subordinasi, dan
eksploitasi kelompok-kelompok yang “tidak mulia”, lemah dan
marginal. Akibatnya, proses dehumanisasi berjalan secara sistematis
dengan adanya legitimasi kultural tersebut (Munfarida, 2016: 23-24).
Nilai kesetaraan sosial ini kemudian diperkuat dengan hadirnya
surah an-Nisa‟ yang berbicara tentang pemihakan Islam terhadap kaum
perempuan yang selama ini di margialkan dalam tradisi Arab pra-Islam.
Hal ini bisa dilihat dengan hadirnya hukum warisan yang memberikan
bagian bagi perempuan. Ketika dalam tradisi pra-Islam, perempuan
justru menjadi bagian dari harta suami yang bisa di wariskan kepada
anak atau saudaranya, Islam justru memperlakukan perempuan sebagai
manusia dan anggota masyarakat yang memiliki kedudukan sama dalam
perolehan warisan (Mernissi, 1987: 126).
2. Peran dan Kesempatan Belajar Bagi Perempuan
Dari pemaparan pada bab sebelumnya, Fatima Mernissi sebagai
salah satu perempuan Maroko yang berpendidikan dan memiliki
intelektual tinggi, memberikan perhatian yang begitu besar untuk
melawan kekurangadilan dan membela martabat kaum perempuan yang
selama ini begitu direndahkan oleh masyarakat Arab. Salah satu hal
yang diperjuangkan Mernissi atas hak perempuan adalah hak
memperoleh pendidikan (dalam Silviya Ulfah, 2006: 65).
37
Mernissi memulai kajiannya tentang wanita dengan menyatakan
bahwa pada tingkatan spiritual dan intelektual wanita adalah sama
dengan laki-laki perbedaan satu-satunya adalah perbedaan biologis. Hal
tersebut dibuktikan dengan QS. An-Nahl [16]: 97 :
Artinya : “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan
yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan” (Depag, 2010: 271).
Menurut Mernissi, pendidikan bagi perempuan merupakan sarana
utama yang paling pasti di Maroko dalam melakukan terobosan di
bidang pembangunan. Pendidikan juga sangat berperan untuk
menempuh suatu transisi, yaitu dari masyarakat yang lebur dalam
fantasi serta tenggelam dalam mitos-mitos dan gagasan-gagasan usang
menjadi masyarakat yang berorientasi ilmiah yang memandang manusia
sebagai sumber daya dan sumber bakat. Hal ini disebabkan karena tidak
hanya kaum laki-laki saja yang dapat berperan membuat perubahan
nyata dalam pembangunan di Maroko melainkan perempuan juga
memiliki hak dan perannya yang sama.
Jika kaum wanita Maroko pada tahun 1940-an dan 1950-an
menerima tugas domestik sebagai takdir, para wanita yang lebih muda
di masa sekarang berharap dapat memperoleh pendidikan dan
38
pekerjaan, tetapi itu masih sulit bagi mereka. Dalam pekerjaaan di
bidang birokrasi industri, hanya wanita yang berpendidikan menengah
dua tahun atau lebih saja yang mempunyai kesempatan, itu pun setelah
mendapatkan keterampilan sekretaris (Mernissi, 1999: 51-52).
Peran perempuan dianggap penting, yaitu melalui keikutsertaannya
dalam kegiatan sehari-hari di seluruh bidang kehidupan sosial, terutama
bidang yang dianggap paling penting, yaitu bidang politik. Inilah
sebabnya mengapa pendidikan sangat penting dan mengapa dalam
melaksanakan pembangunan negara harus benar-benar memerangi buta
huruf, salah satu cacat yang memalukan di suatu masyarakat Maroko
yang begitu dinamis di wilayah-wilayah lain. Merissi juga menegaskan
jika masa depan keluarga berencana di Maroko dan dunia Islam pada
umumnya benar-benar bergantung pada pendidikan kaum wanitanya
(Mernissi, 1999: 116).
Fatima Mernissi menempatkan pendidikan sebagai salah satu
langkah yang strategis untuk mengangkat harkat martabat perempuan,
ia menyatakan bahwa pendidikan bagi perempuan telah mengganggu
titik rujukan identitas seksual tradisional dan peranan-peranan seks,
dimana pendidikan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi
tingkat perkawinan di usia muda. Dengan meningkatnya kesempatan
memperoleh pendidikan bagi perempuan maka akan mengurangi
tingkat pernikahan di usia muda pada masyarakat Maroko (dalam
Murni Mupardila, 2017: 82).
39
Pendidikan memberikan dampak yang luar biasa terhadap persepsi
wanita tentang diri mereka, peranan reproduksi dan seksualnya serta
harapan-harapan mobilitas sosialnya. Karena wanita-wanita yang telah
mencapai tingkat pendidikan tinggi semakin nampak dan dominan,
mereka semakin berusaha memasuki bidang-bidang dimana mereka
memiliki kesempatan yang lebih untuk bersaing pada profesi-profesi
yang lebih liberal atau pegawai negeri. Maka dari itu, Mernissi
menegaskan bahwa perempuan harus diberi pendidikan untuk dapat
keluar dari belenggu laki-laki (dalam Murni Mupardila, 2017: 82).
3. Ruang Politik
Dalam menguraikan gagasan Mernissi tentang kedudukan wanita
di bidang politik dapat disebutkan bahwa wanita memiliki porsi yang
sama dengan laki-laki. Kedudukan perempuan dalam pemerintahan ini
sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Banyak golongan yang melarang
tetapi ada juga golongan yang memperbolehkannya. Menurut Mernissi
penolakan kepempinan perempuan dengan dalih sebuah kemunduran
dan kehancuran sudah merasuki pemikiran orang Islam. Karena itu,
ketika menjadi pemimpin perempuan selalu di perdebatkan, seperti
Benazir Butho yag saat itu menjadi perdana menteri di Pakistan. Semua
orang memonopoli hak untuk berbicara atas nama orang Islam,
terutama Nawaz Syarif, pemimpin oposisi IDA (Islamic Democratic
Alliance) berteriak menghujat “Sungguh mengerikan! Belum pernah
40
ada negara muslim diperintah oleh seorang wanita!” (Mernissi, 1994:
7).
Dengan adanya peristiwa itu, Mernisi melakukan penelusuran
tentang hadis yang melarang kaum perempuan untuk berkiprah di dunia
politik terutama untuk menjadi seorang pemimpin. Kemudian ia
menyimpulkan sebagaimana yang dikutip Rusydi bahwa hadis tersebut
kontradiktif terhadap prinsip-prinsip kesejahteraan dan keadilan yang
mendasar yang merupakan landasan Islam itu sendiri. Mernissi
memperkuat pendapatnya dengan mengutip QS. An-Naml: 23 yang
menceritakan ratu Bilqis ketika menjadi pemimpin negeri Saba degan
sebaik-baiknya (Rusydi, 2012: 80).
4. Penerapan di Lembaga Pendidikan
Sebagaimana diungkapkan oleh Fatima Mernissi, telah banyak
usaha yang dilakukan dalam bidang pendidikan di negara Maroko,
tetapi ini hanya memberi sedikit manfaat pada kaum perempuan karena
sebagian besar dana yang diberikan oleh pemerintah tidak sampai ke
tangan mereka secara merata. Hal ini dapat dilihat dari survei perawatan
prakelahiran, hampir dua pertiga kaum ibu tidak dapat menikmati
perawatan itu. Akan tetapi, survei yang sama menunjukkan bahwa
seorang perempuan yang berpendidikan memiliki kesempatan tiga
setengah kali lebih besar untuk menerima perawatan prakelahiran
tersebut daripada perempuan yang tidak berpendidikan (Mernissi, 1999:
117).
41
Seperti yang telah diketahui, meskipun mempunyai sumber daya
dan dinamisme, Maroko termasuk dalam negara-negara yang
mempunyai angka buta huruf tertinggi di kalangan kaum
perempuannya. Angka tersebut mencapai 78% yang berbeda tipis dari
Mesir yakni 79,8%. Bagi Mernissi, Maroko hanya bisa hidup dengan
syarat pendidik utama juga memiliki pengetahuan teknologi modern.
Yang dimaksud pendidik utama disini bukanlah pasukan ahli
pendidikan (guru-guru sekolah dan para profesor di universitas) atau
para pegawai negeri di departemen pendidikan dan kebudayaan
nasional. Pendidik utama disini adalah wanita, sebagai ibu, mengasuh
anak dalam lima tahun pertama yang sangat menentukan dengan
pengetahuan yang dimilikinya (Mernissi, 1999: 44).
Pendidikan di Maroko sebelum kemerdekaan terdiri dari dua
macam yaitu: (Junus, 1968: 116)
a) Pendidikan dan pengajaran Islam yang telah berabad-abad
lamanya, berpusat di Djami‟ah Qurawijin di Fez.
b) Pendidikan dan pengajaran ala Perancis yang dinamai
pendidikan modern.
Setelah berdiri kerajaan Maghrib (Maroko), maka kedua macam
pendidikan dan pengajaran itu diperbaiki sesuai dengan zaman modern.
Djami‟ah Qurawijin adalah pusat pendidikan Islam di Maroko yang
mempunyai cabang-cabang bagian Ibtidaiyah dan Tsanawiyah. Pada
tahun 1960, sistem pengajaran Islam telah diperbaiki mulai dari bagian
42
rendah sampai bagian tinggi yaitu dengan memasukkan pengetahuan
umum disamping pelajaran ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab,
sehingga prosentase pembelajarannya seimbang yaitu 50% : 50%.
Tempat dilaksanaannya pembelajaran di Djami‟ Qurawijin juga
mengalami kemajuan, pada awalnya pembelajaran dilakukan di masjid
kemudian dilaksanakan di gedung-gedung besar serta telah didirikan
pula asrama yang menampung 1000 pelajar. Selain itu, lama belajar
pada kelompok Ibtidaiyah adalah 3 tahun setelah hafal al-Qur‟an.
Untuk belajar di Tsanawiyah 6 tahun yang dibagi atas dua tingkat
masing-masing 3 tahun, yaitu Jurusan Syari‟ah dan Jurusan Adab
(sejarah) (Junus, 1968: 116-117).
Setelah kemerdekaan, sistem pengajaran di sekolah-sekolah
modern Maroko mengalami kemajuan dengan memasukkan bahasa
Arab selama proses pembelajaran. Terhitung pada tahun 1961, di kelas
2 Ibtidayah telah menggunakan bahasa Arab pada proses
pembelajarannya, sedangkan di kelas 3-5 masih menggunakan 2 bahasa
yaitu bahasa Arab dan Prancis. Pendidikan agama Islam di sekolah
modern juga sangat di perhatikan, hal tersebut terlihat dari mata
pelajaran yang diberikan sejak tingkat Ibtidaiyah. Pendidikan Agama
Islam di tingkat Ibtidaiyah mencakup al-Qur‟an, agama, dan
nahwu/sharaf dengan durasi pembelajaran semakin meningkat sesuai
tingkatan kelasnya (Junus, 1968: 120-121).
43
Sejak kemerdekaan, Maroko telah berusaha untuk menyediakan
sekolah bagi setengah jumlah kaum laki-laki saat itu, sehingga dapat
dipastikan hanya sekitar 55,4% kaum laki-laki Maroko yang buta huruf.
Negara-negara Muslim yang telah merdeka berupaya merubah
pandangan-pandangan negatif dalam hal pendidikan dengan cara
melaksanakan program pendidikan massal di daerah pedesaan
meskipun pada awalnya program tersebut hanya diperuntukkan untuk
laki-laki (Mernissi, 1999: 119).
Tiga puluh tahun setelah kemerdekaan, 90% wanita Maroko di
wilayah pedesaan buta huruf dan 100% diantara mereka secara politis
tersisihkan (Mernissi, 1999: 44). Pada tahun 1982 hanya ada 37,4%
murid di sekolah dasar, 33,1 % murid di sekolah menengah dan 26,3%
mahasiswa di universitas adalah perempuan (Mernissi, 1999: 52). Hal
tersebut menunjukkan bahwa pendidikan bagi perempuan di Maroko
belum sepenuhnya merata, tetapi mereka sedang berusaha keluar dari
belenggu buta huruf dan bayang-bayang laki-laki.
Seperti yang dikutip Silvia Ulfah, menurut Mernissi adanya
program pendidikan massal diatas telah membantu perkembangan
sebuah kelas baru, yaitu “Generasi muda yang terpelajar dari dua jenis
kelamin”. Perubahan ini adalah hasil dari tiga faktor yang saling
berpengaruh, yaitu: (dalam Silviya Ulfah, 2006: 65-68).
a) Faktor demografis, karena saat ini kaum muda merupakan
mayoritas populasi di Maroko.
44
b) Faktor politik, munculnya negara kesejahteraan (Welfare State).
c) Faktor budaya, perubahan persepsi diri perempuan sebagai
pelaku dalam masyarakat.
Salah satu langkah yang dibutuhkan agar para wanita intelektual
dapat berbagi akses pengetahuan dan kesadaran yang lebih tinggi
adalah dengan berusaha memahami perlawanan kaum wanita terhadap
patriarki jika disuarakan dengan selain bahasa mereka sendiri. Salah
satu usaha semacam itu adalah menangkap dan mencoba memahami
pemberontakan kaum wanita buta huruf, entah di budayakan dalam
budaya lisan atau dalam praktik pergerakan (Mernissi, 1999: 54).
5. Metode Pendidikan
Mernissi mencoba menawarkan beberapa metode atau strategi
pendidikan bagi perempuan untuk menciptakan citra kaum perempuan
yang tidak kalah baik dari kaum laki-laki sesuai dengan kondisi
masyarakat Maroko pada saat itu. Adapun metodenya adalah sebagai
berikut:
a) Penyebaran Pendidikan melalui Industri Media
Pendidikan merupakan faktor kunci untuk mendorong
rasionalisasi dalam aktivitas reproduksi sebab ia telah dianggap
sebagai faktor yang menentukan dalam upaya menurunkan
angka kelahiran. Namun, pada dasarnya kelompok elite wanita
berpendidikan itu masih menjadi fenomena di kota, bagi
kalangan masyarakat menengah di Maroko masih sangat
45
terbatas. Seperti yang telah di jelaskan diatas bahwa telah
banyak usaha yang dilakukan oleh negara Maroko dalam bidang
pendidikan, tetapi hanya dapat dirasakan oleh sedikit kaum
wanita kerena tidak meratanya dana yang tersalurkan kepada
mereka untuk mengenyam pendidikan.
Industri media dianggap sebagai sarana penting yang dapat
menyebarkan pendidikan perempuan, termasuk Maroko yang
selama ini mereka di batasi oleh harem, namun dapat dipastikan
dalam satu keluarga menengah kebawah telah memiliki televisi.
Penetrasi televisi secara massal ke dalam kehidupan keluarga-
keluarga miskin membuktikan bahwa benda itu merupakan
sarana hebat untuk menyebarkan pendidikan bagi kaum
perempuan dan juga untuk melahirkan citra perempuan yang
lebih positif. Televisi juga akan menjadi instrumen terbaik untuk
mengubah mentalitas pria Arab (Mernissi, 1999: 120).
Mernissi mengungkapkan bahwa sangat penting menyusun
strategi-strategi yang memungkinkan kelompok elite perempuan
yang telah bekerja di media agar dapat memainkan peranannya
lebih besar lagi, terutama dalam menghasilkan program-
program perempuan serta film dan video dalam bahasa daerah
mereka. Upaya tersebut dapat dikatakan bahwa dalam
perkembangan industri media, perempuan bisa menjadi jalan
46
untuk mempromosikan kaum perempuan dalam sektor kunci
masa depan (Mernissi, 1999: 121).
b) Penyebaran Pendidikan melalui Riset Feminis
Mernissi mengutip pendapat Syaikh Ibn Hajar bahwa
banyak feminis Barat yang dikejutkan oleh biografi karya
Margot Badran mengenai feminis Mesir, Huda Sya‟rawi (1879-
1924), sebab mereka yakin bahwa para wanita Muslim tidak
lebih dari pengikut-pengikut mati dalam perjuangan untuk
membela hak-hak asasi wanita (Mernissi, 1999: 181).
Ada beberapa contoh yang dapat memberikan sebuah
gagasan tetang melimpahnya data yang telah tersedia tapi masih
tersebar di seluruh negara Muslim. Sebagai contoh, seorang
pengarang Turki, Dr. Bahriye Uçok telah melakukan riset dan
menghasilkan beberapa biografi penting tentang wanita-wanita
yang menjalankan kekuasaan politik di negara-negara Muslim.
Al-Nisa‟ Al-Hakimat fi Al-Tarikh (Wanita-wanita yang
Menjalankan Kekuasaan Politik dalam Sejarah) adalah sebuah
dokumen dengan landasan riset mendalam tentang beberapa
wanita yang mengambil alih kekuasaan politik di sudut-sudut
dunia Muslim seperti Persia, Mesir, India, Spanyol Muslim dan
Kepulauan Maladewa.
Pada 1890-an Zainab Fawaz Al-„Amili seorang penulis
wanita Mesir yang menerbitkan sebuah kumpulan biografi para
47
wanita dengan judul Generalizations of Secluded Housewives
(Al-Durr Al-Mantsur fi Thabaqat Rabbat Al-Khadur). Dalam
bab pendahuluannya tertera bahwa dia mengerjakan karya
tersebut untuk memberikan sumbangan demi meningkatkan
kualitas kaum sejenisnya. Hal tersebut yang membuat Mernissi
yakin bahwa metode riset feminis merupakan salah satu langkah
yang mampu menyadarkan dan menggerakkan kaum perempuan
untuk keluar dari belenggu buta huruf di Maroko (Mernissi,
1999: 182-184).
c) Penyebaran pendidikan melalui Inisiatif-Inisiatif Penerbitan
Nisa‟ist
Secara khusus harus dikemukakan tentang banyaknya
sarjana wanita di Barat dari kalangan masyarakat Islam. Mereka
lebih suka tinggal di luar negeri untuk meneruskan aktivitas
mereka dan memainkan peranan yang sangat penting dalam
penerbitan riset sejarah atau dalam koordinasi jaringan, tim
penerjemah, aktivitas-aktivitas penerbitan atau media lainnya di
panggung Barat. AMEWS (Association for Middle-East
Women‟s Studies) akan dapat menggerakkan para peneliti yang
tertarik pada sejarah kaum wanita Muslim.
Akhirnya suatu komite penerjemah cepat perlu dibentuk
untuk memberikan informasi tentang riset yang ditulis dalam
bahasa asing, melayani kebutuhan orang-orang yang tidak dapat
48
berbahasa Arab juga untuk memproduksi secara terus menerus
daftar-daftar mutahir publikasi-publikasi baru dalam bahasa
Arab yang memungkinkan para peneliti dan penerbit Urdu,
India, Turki dan Indonesia merencanakan penerjemahan dan
penerbitan materi yang relevan di masa mendatang.
Penerjemahan dari suatu bahasa Islam ke dalam bahasa lain
akan mudah dilaksanakan jika sudah ada terjemahan dalam
bahasa Inggris dari karya aslinya. Selain itu, lebih mudah
menemukan terjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa Urdu
daripada bahasa Arab ke bahasa Urdu. Mengumpulkan para
sarjana yang mampu menerjemahkan dari bahasa Arab ke
bahasa Inggris akan dapat meningkatkan komunikasi antara para
peneliti di wilayah Arab sekaligus mendorong agar data dapat
dijangkau oleh para pembaca Barat.
Riset Nisaist telah menghasilkan karya-karya nomor satu
mengenai kaum wanita. Hal tersebut tidak terlepas dari usaha
para peneliti yang bekerja dalam kondisi sulit dan tidak
mendapat akses untuk menjangkau media. Sehingga Mernissi
menganggap dengan adanya penerbitan Nisa‟ist ini akan
mempermudah para perempuan untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan dan motivasi belajar. Hadirnya banyak sarjana
wanita di Barat yang bekerja dalam lingkup penerbitan Nisa‟ist
49
ini juga dianggap sebagai salah satu bukti jika perempuan
berhak mengenyam pendidikan (Mernissi, 1999: 185-187).
B. K.H. HUSEIN MUHAMMAD
1. Kesamaan Posisi
Menurut Husein, posisi perempuan dan laki-laki adalah setara tidak
ada yang membedakan baik dari segi jenis kelamin, bahasa, suku
maupun negaranya. Keduanya sama, hanya ketaqawaan dan
keimanannya yang membedakan di hadapan Allah SWT, seperti yang
tertuang dalan QS. An-Nahl: 97 (wawancara, 4 Juli 2019).
Ketertarikan Husein dengan wacana kesetaraan gender bermula
ketika ia mengikuti halaqoh dan menjabat sebagai anggota Komnas
Perempuan, ia melihat banyak adanya kasus kekerasan terhadap
peempuan yang tidak hanya terjadi di ruang publik tetapi juga terjadi
di ruang domestik (rumah tangga). Husein memilih menganalisis
agama dan perempuan karena dia punya keyakinan bahwa agama
tidak mungkin melakukan kekerasan dan penindasan terhadap
siapapun terutama perempuan. Menurut Husein terjadinya kekerasan
terhadap perempuan ini terjadi karena adanya kekuasaan laki-laki atas
perempuan (wawancara, 4 Juli 2019).
2. Kesempatan Belajar
Rifa‟ah al-Thahthawi (1801-1873) merupakan orang pertama yang
mengkampanyekan dengan gigih kesetaraan dan keadilan gender serta
menyerukan dibukanya akses pendidikan yang sama bagi kaum
50
perempuan. Hal senada juga terjadi di Indonesia yang dilakukan oleh
Dewi Sartika, Rahma el-Yunisiah, K.H. A. Wahid Hasyim dan lain-
lain. Pada tahun 1928 menjadi momen paling penting bagi sejarah
perempuan di Indonesia karena diselenggarakannya sebuah Kongres
Perempuan. Beberapa butir rekomendasinya adalah menuntut kepada
pemerintah kolonial untuk menambah sekolah bagi anak perempuan;
memberikan beasiswa bagi siswa perempuan yang memiliki
kemampuan belajar tetapi tidak memiliki biaya pendidikan, lembaga
itu disebut studie fonds, dan mendirikan suatu lembaga kursus
pemberantasan buta huruf, kursus kesehatan serta mengaktifkan usaha
pemberantasan perkawinan kanak-kanak (Muhammad, 2014: 243).
Tugas manusia sebagai khalifah di bumi adalah melakukan amar
ma‟ruf nahi mungkar, yaitu menjalakan perintah dan menjauhi
larangan Allah SWT. Dalam menjalankan kebaikan dan mencegah
keburukan harus didasari oleh adanya pengetahuan atau ilmu
pendidikan. Menurut K.H. Husein Muhammad tidak ada perbedaan
atau pembatasan bagi perempuan dalam menuntut ilmu baik ilmu
umum maupun ilmu agama. Bahkan dalam agama Islam perintah
menuntut ilmu ini lebih dulu diturunkan karena tertera dalam ayat
pertama al-Qur‟an yang berbunyi “Iqra” atau bacalah daripada
perintah beriman atau “Berimanlah kamu sekalian”. Selain itu terdapat
pula hadis-hadis yang juga memerintahkan manusia untuk menuntut
51
ilmu. Hal ini dapat membuktikan bahwasannya menuntut ilmu telah
menjadi kewajiban dan kebutuhan manusia di dunia.
Lebih lanjut Husein menjelaskan bahwa saat ini pemerintah
Indonesia juga sudah mendukung pendidikan berbasis kesetaraan
gender dengan diterapkannya wajib belajar 9 tahun atau minimal
pendidikan setara sampai SMA/SMK/MA tanpa adanya pembatasan
berdasarkan jenis kelamin. Selain itu, pemerintah juga menyokong
terwujudnya pemerataan pendidikan di Indonesia dengan adanya
beasiswa BOS, Bidikmisi dan lain-lain yang ditujukan untuk
membantu pembelajaran bagi pelajar yang kurang mampu tanpa
memandang latar belakang lainnya terutama jenis kelamin.
Husein menganggap adanya pembatasan kesempatan belajar bagi
perempuan sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan pada saat ini. Ia
menganggap hal tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam yang
menegakkan keadilan. Pada kenyataannya dewasa ini hampir semua
perempuan berkesempatan mengenyam pendidikan baik formal
maupun informal, bahkan sudah banyak perempuan yang menjadi
doktor, guru, maupun pada bidang-bidang lain yang dapat
menggambarkan bahwa mereka adalah perempuan-perempuan yang
memiliki intelektualitas tinggi.
Jika kita lakukan kilas balik pada masa Rasulullah sudah pasti
perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk
belajar. Seperti yang Husein tuturkan kepada penulis:
52
“Bahkan dalam sejarah Islam juga disebutkan kalau para
sahabat dan tabi‟in pada waktu itu saling bertukar ilmu baik
laki-laki maupun perempuan. Ada juga ketika kaum sahabat
perempuan meminta kepada Rasulullah untuk diadakan
pengajian khusus bagi perempuan dan Rasulullah
memberikan waktunya untuk memberi pelajaran kepada
kaum perempuan.” (wawancara tgl 23 September 2019 pukul
12.15 WIB)
Dari pendapat K.H. Husein Muhammad diatas penulis dapat
menyimpulkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak dan
kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan, tidak ada
aturan yang membatasi gerak perempuan dalam lingkup pendidikan
baik pendidikan formal maupun informal. Disamping itu pemerintah
juga mendukung terwujudnya keadilan pendidikan tanpa membedakan
jenis kelamin.
3. Ruang Politik
Diktum-diktum Islam telah memberikan ruang pilih bagi
perempuan juga laki-laki untuk menjalani peran-peran politik
domestik maupun publik untuk menjadi cerdas dan terampil. Sejarah
kenabian telah mencatat sejumlah besar perempuan yang ikut
memainkan peran-peran ini bersama kaum laki-laki, seperti Aisyah,
Khadijah, Ummu Salamah, Nusaibah binti Ka‟b dan masih banyak
lagi (Muhammad, 2004: 166-167).
Berikut pengakuan Husein kepada Marzuki ketika di mintai
pendapat mengenai kepemimpian perempuan dalam pemerintahan:
“Kondisi sosial dan budaya kita semakin terbuka, perempuan
sudah banyak yang terdidik, terpelajar, banyak yang menjadi sarjana,
53
profesor, politisi dan lain sebagainya. Di kalangan masyarakat
Nahdlatul Ulama, kini sudah diperkenankan perempuan menjadi
menteri, seperti duduknya Khofifah Indarprawansa dalam jajaran
Kabinet Persatuan Nasional pimpinan K.H. Abdurahman Wahid.
Demikian pula untuk jabatan hakim di pengadilan, baik agama
maupun umum tidak dipermasalahkan” (Muhammad, 2004: 108-109).
Dari pemaparan di atas, semakin jelas dan kuat bahwa
kepemimpinan publik tidak ada kaitannya sama sekali dengan urusan
jenis kelamin, tetapi pada kualifikasi pribadi, integritas intelektal dan
moral, serta sistem politik yang mendukung. Perempuan dapat
menjaadi pemimpin jika kemaslahatan bangsa menghendakinya.
Sebaliknya, laki-laki tidak dapat menjadi pemimpin apabila ia
membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi rakyatnya (Muhammad,
2014: 196-206).
4. Penerapan di Lembaga Pendidikan
K.H. Husein Muhammad merupakan salah satu orang yang tidak
sependapat dengan adanya praktik pemisahan ruang kelas yang
disesuaikan dengan jenis kelamin karena dirasa masih menyulitkan.
Namun, ia juga tidak menentang praktik tersebut karena bukan
merupakan salah satu bentuk ketidakadilan gender dan kemungkinan
hal tersebut memang telah disesuaikan dengan tradisi dan budaya
masyarakat yang berkembang di sekolah itu. Seperti yang di tuturkan
kepada penulis:
54
“Tidak bisa di sebut tidak menyetarakan gender karena hal
itu (pemisahan ruang kelas sesuai jenis kelamin). Menurut
saya itu hanya masalah teknis saja dalam pengelolaan kelas.
Bagaimana mengatur pembelajaran di dalam kelas,
bagaimana mengatur kondusifitas dalam kelas. Tapi intinya
kan kewajiban belajar bagi laki-laki dan perempuan itu
sama. Mengenai tata cara pengelolaan kelas dan sekolahnya
ya disesuaikan dengan budaya, tradisi urf‟ dan lain
sebagainya yang ada di lingkungan tersebut. Mau dipisah
atau digabung tidak masalah. Mau duduk di lantai tanpa
kursi atau mau lengkap dengan meja dan kursi juga tidak
masalah, mau halaqoh atau diskusi dan presentasi ya tidak
menjadi masalah, itu hanya teknis saja bukan prinsip. Yang
paling penting itu jangan sampai ada yang saling
merendahkan, menghina, melakukan kekerasan satu sama
lain. Tapi kalau mau dipisah antara kelas laki-laki dan kelas
perempuan juga tidak apa-apa, mungkin tradisi dan
lingkungannya tidak mendukung dan masyarakatnya juga
belum menerima adanya pencampuran jenis kelamin dalam
satu kelas.” (wawancara, 23 September 2019 pukul 12.15
WIB).
Husein melihat fenomena pencampuran siswa dan siswi
dalam satu ruang kelas merupakan hal yang lumrah dan tidak perlu
di permasalahkan selagi keduanya dapat menjaga akhlak masing-
masing dan tidak saling mengganggu atau merendahkan satu sama
lain. Bahkan pada masa Rasulullah pun kaum wanita dan laki-laki
saling bertukar pikiran tanpa memandang siapa yang mengajar dan
siapa yang diajar. Hal yang paling mendasar dalam pembelajaran
bagi Husein adalah kesempatan belajar dan isi pelajaran yang
diberikan antara laki-laki dan perempuan adalah sama tidak ada
yang dibedakan sedikitpun. Seperti yang ia tegaskan kepada
penulis:
55
“Kalau dalam satu ruang kelas itu terjamin kondusifitas dan
kebaikannya, tidak apa-apa di campur antara siswa dan
siswi asal tetap menjaga kehormatan diri dan orang lain.
Bahkan dalam sejarah Islam juga disebutkan kalau para
sahabat dan thabi‟in pada waktu itu saling bertukar ilmu
baik laki-laki maupun perempuan. Yang penting itu, laki-
laki dan perempuan sama-sama dididik dan diajari agar
tidak saling merendahkan. Laki-laki tidak boleh
merendahkan perempuan, begitu juga perempuan tidak
boleh merendahkan laki-laki, tidak boleh juga melakukan
kekerasan, cuat-cuit di dalam kelas juga tidak boleh. Jadi
yang paling utama itu pembentukan akhlak dari
muridnya.” (wawancara, 23 September 2019 pukul 12.15
WIB).
Selain sebagai aktivis gender, Husein juga merupakan salah
satu pengasuh Pondok Pesantren Dar‟at Tauhid Arjawinangun
Cirebon. Dalam praktik pembelajaran di pondok pesantren
tersebut sudah menerapkan sistem penempatan siswa dan siswi
dalam satu ruang kelas namun dalam kelas tertentu masih terdapat
hijab atau satir yang dapat digunakan sebagai pembatas antara
siswa dan siswi jika dirasa pembelajaran tersebut harus dibatasi.
Bahkan dalam materi fiqh wanita yang mencakup bab
haidh, nifas, wiladah dan lain-lain, juga diajarkan pada peserta
didik laki-laki. Hal tersebut sebagai bentuk keadilan dan
kesetaraan dalam proses belajar mengajar serta salah satu cara
agar kaum laki-laki dapat menghormati kaum perempuan
begitupun sebaliknya.
Dalam proses pembelajaran, Husein lebih menekankan
pada pembentukan akhlak dari peserta didik. Apabila peserta
didik mampu menjaga akhlaknya maka proses belajar mengajar
56
akan berlangsung dengan baik. Begitupun sebaliknya, jika peserta
didik tidak mampu menjaga akhlaknya maka akan terjadi saling
menghina dan merendahkan antara laki-laki dan perempuan
(wawancara, 23 September 2019 pukul 12.15 WIB).
5. Metode Pendidikan
Pondok pesantren Dar‟at Tauhid masih menggunakan metode
pembelajaran tradisional sama seperti pondok pesantren lain di
Indonesia dengan kajian kitab kuning, halaqoh, ceramah dan lain
sebagainya (wawancara, 23 September 2019 pukul 12.15 WIB).
a) Kajian kitab kuning klasik
Dalam lingkungan pesantren pengajaran formal yang diberikan
adalah kajian kitab kuning. Kitab kuning ini biasanya berisi karangan-
karangan ulama yang menganut faham Syafi‟i di masa lampau dengan
tujuan utamanya adalah mendidik para santri untuk menjadi calon-
calon ulama. Istilah kitab kuning kerap disebut “Kitab Gundul” karena
tidak dilengkapi dengan sandangan (syakl) dan rentang waktu sejarah
panjang dari kemunculannya sekarang, tidak sedikit yang menjuluki
kitab kuning dengan sebutan Kitab Kuno.
Terdapat dua metode yang berkembang di lingkungan pesantren
untuk mempelajari kitab kuning yaitu metode sorogan dan bandongan.
Kedua metode tersebut memiliki ciri khas tersendiri dalam
membacanya yang dikenal dengan cara utawi iki-iku yang merupakan
sebuah cara membaca dengan pendekatan grammar (nahwu dan
57
sharaf) yang ketat. Kitab-kitab klasik yang diajarkan di Pondok
Pesantren Dar‟at Tauhid dapat digologkan menjadi 8 jenis
pengetahuan, yaitu Nahwu Sharaf, Fiqh, Ushul Fiqh, Hadis, Tafsir,
Tauhid, Tasawuf dan Etika serta cabang-cabang lain seperti Tarikh
dan Balaghah (dalam, Siti Khodijah, 2016: 34-35).
b) Halaqoh
Halaqoh merupakan model pengajian yang umumnya dilakukan
dengan cara mengitari kyainya. Para santri duduk melingkari kyainya
untuk mendiskusikan suatu masalah yang tentunya dibawah
bimbingan sang kyai. Metode ini dilakukan pada setiap diskusi ilmiah,
bahtsul masail, atau musyawarah qubro. Metode bandongan dan
sorogan juga tergolong di dalamnya. Arti bandongan adalah suatu
metode pengajaran dengan cara guru membaca, menerjemahkan,
menerangkan dan mengulas materi yang dipelajari sedang para santri
mendengarkan dan mengamatinya. Sedangkan sorogan adalah suatu
metode pengajaran dengan cara para santri membaca dan
menerjemahkan dihadapan kyainya.
Kedua metode tersebut mulai di praktikkan oleh pendiri Pondok
Pesantren Dar‟at Tauhid yaitu K.H. A. Syathori yang hingga kini
masih dipraktikkan oleh penerusnya salah satunya K.H. Husein
Muhammad. Ketika pada bulan Ramadhan metode bandongan ini juga
dipraktikkan dalam pengajian rutin yang dikenal dengan sebutan ngaji
pasaran (dalam Siti Khodijah, 2016: 34-35).
58
c) Ceramah
Kegiatan ini awalnya dilakukan oleh K.H. A. Syathori dalam
penyampaian materi pengajian dan pembelajaran kepada para santri
khususnya dan masyarakat pada umumnya yang hingga kini masih
dipraktikkan oleh penerusnya. Kegiatan tersebut dilaksanakan satu
minggu sekali yaitu dengan mendengarkan tausyiah atau mau‟idoh
hasanah dari Kyai Syathori setiap ba‟da sholat Jum‟at. Kyai Syathori
menyampaikan materi dengan cara bercerita kemudian menjelaskan
materi yang dipelajari (dalam Siti Khodijah, 2016: 34-35).
59
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Perbedaan dan persamaan Fatima Mernissi dan K.H. Husein
Muhammad
Dari berbagai sumber data yang penulis teliti baik dari buku kedua
tokoh maupun hasil wawancara dengan K.H. Husein Muhammad, penulis
menemukan persamaan dan perbedaan serta kekurangan dan kelebihan
dari pemikiran kedua tokoh tersebut. Berikut ini analisis perbedan dan
persamaan dari Fatima Mernissi dan K.H. Husein Muammad yang penulis
sajikan dalam bentuk tabel:
Tabel 4.1 Perbedaan dan Persamaan dari Fatima Mernissi dan K.H.
Husein Muhammad
Perbedaan Persamaan
a. Keduanya memiliki latar belakang
yang berbeda. Mernissi mulai
menyuarakan keadilan gender
karena ia merasakan sendiri
bagaimana masyarakat Maroko
memperlakukan wanita dengan tidak
adil. Sedangkan Husein mulai
menyuarakan keadilan gender
setelah mengikuti halaqoh kemudian
ketika menjadi anggota Komnas
1) Fatima Mernissi dan K.H.
Husein Muhammad
merupakan tokoh ternama
yang aktif menyuarakan
keadilan gender karena
mengetahui perempuan
mengalami penindasan,
pembatasan dan di
perlakukan kurang adil
terutama dalam bidang
60
Perempuan, ia melihat adanya
ketidakadilan yang dialami oleh
perempuan Indonesia.
pendidikan di negaranya
masing-masing.
b. Keduanya memiliki corak pemikiran
yang berbeda. Sebagai seorang
sosiolog, dalam melakukan kajian
Mernissi menggunakan pendekatan
sosiologis atau kehidupan sosial
masyarakatnya. Sedangkan Husein
sebagai seorang aktivis perempuan
dan juga seorang kyai, dalam
melakukan kajian menggunakan
pendekatan keagamaan sesuai
dengan syariat dan nash yang
terdapat dalam al-Qur‟an dan hadis
serta di sesuaikan dengan kondisi
masyarakat Indonesia.
2) Fatima Mernissi dan K.H.
Husein Muhammad
memiliki pendapat yang
sama dalam hal
kesempatan dan peran
belajar bagi perempan.
Keduanya berpendapat
antara laki-laki dan
perempuan memiliki
kesempatan dan hak yang
sama dalam dunia
pendidikan.
c. Keduanya memiliki perbedaan
dalam hal penerapan pendidikan.
Fatima Mernissi mengemukakan
penerapan pendidikan di Maroko
yang masih berkutat dengan
pengentasan buta huruf pada kaum
61
perempuan. Sedangkan Husein
mengemukakan penerapan di
lembaga pendidikan secara khusus
yakni pengelolaan kelas. Sehingga
menurut penulis pembahasan
keduanya masih kurang meluas dan
mendalam jika di sandingkan dengan
pendidikan Islam kekinian.
d. Keduanya mengemukakan metode
pendidikan yang berbeda. Mernissi
dengan metodenya yang dapat
dikatakan sangat mendasar dan
sederhana, karena ia hidup ditengah
masyarakat yang buta huruf menuju
masyarakat yang berusaha
memperoleh pendidikan. Sedangkan
Husein dengan metodenya yang
tradisional sesuai dengan tradisi
sebuah pondok pesantren.
Terlepas dari persamaan dan perbedaan diatas, keduanya tetap
merupakan tokoh-tokoh yang memiliki andil cukup besar dalam
perkembangan keilmuan dunia terutama pada ranah pendidikan
62
perempuan. Perbedaan diatas bukan merupakan sesuatu yang harus di
perdebatkan, mengingat keduanya berasal dari kultur yang berbeda
sehingga corak berpikirnyapun berbeda.
Selain perbedaan dan persamaan dari Fatima Mernissi dan K.H.
Husein Muhammad, penulis juga telah menganalisis adanya kekurangan
dan kelebihan dari pemikiran Fatima Mernissi dan K.H. Husein
Muhammad yang akan disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Tabel 4.2 Kelebihan dan kekurangan dari pemikiran Fatima Mernissi
Kelebihan Kekurangan
a. Mernissi merupakan salah satu
tokoh perempuan yang
mempelopori gerakan keadilan
gender dan menyadarkan
pentingnya pendidikan bagi
perempuan di tengah-tengah budaya
patriarki agar mereka dapat keluar
dari belenggu buta huruf yang
tengah dialami oleh penduduk
Maroko.
1) Metode pendidikan yang
dianjurkan Mernissi hanya
dapat diterapkan pada
masanya saja dan tidak
efektif apabila masih
diterapkan pada zaman
sekarang. Mengingat pada
zaman sekarang sudah
mengalami banyak
kemajuan baik dari segi
teknologi maupun
pendidikan.
b. Dalam menyikapi problematika 2) Dalam pemikirannya
63
gender dan pendidikan bagi
perempuan, Mernissi lebih tegas
dan berani. Hal ini dikarenakan
sejak kecil ia merasakan sendiri
berada pada lingkungan sosial yang
masih memegang erat budaya
patriarki sehingga dapat dijadikan
representasi persoalan perempuan
Islam pada umumnya.
tentang keadilan gender,
Mernissi menggunakan
pendekatan sosiologis
dengan memperhatikan
keadaan masyarakat
Maroko pada saat itu
sehingga konsep
individualisme,
liberalisme dan kebebasan
individu yang
mempengaruhi
pemikirannya kurang
relevan apabila diterapkan
di Indonesia.
c. Meskipun Mernissi seorang
profesor di bidang sosiologi, tetapi
perhatiannya terhadap lslam sangat
kuat. Totalitas dan semangatnya
untuk memperjuangkan kesetaraan
gender tidak perlu diragukan lagi. Ia
banyak melakukan kajian tentang
hadis-hadis misogini. Dalam
praktiknya, Mernissi bahkan tidak
64
segan-segan menggali dan
menelaah kitab-kitab klasik seperti
sahih Bukhari, Muslim, tafsir al-
Tabari, Ikhya ulum al-Din dan lain
sebagainya.
d. Pemikiran dan gagasan Mernissi
mengenai pendidikan bagi
perempuan sangat positif bahkan
sangat konstruktif. Mernissi sangat
antusias mengajak kaum perempuan
untuk bangkit melawan penindasan,
ketidakadilan, kesewenangan dan
keterbelakangan dalam setiap sisi
kehidupan.
Tabel 4.3 Kelebihan dan Kekurangan dari pemikiran K.H. Husein
Muhammad
Kelebihan Kekurangan
a. Dalam mengkaji gagasan kesetaraan
gender, Husein menggunakan
pendekatan keagamaan sesuai
dengan nash dan syariat yang
terdapat dalam al-Qur‟an dan hadis.
1) Metode pendidikan yang
diterapkan Husein di
Pondok Pesantren Dar‟at
Tauhid masih terbilang
tradisional sehingga
65
Sehingga mudah diterima oleh
masyarakat umum.
kurang efektif apabila
diterapkan pada sekolah-
sekolah umum.
b. Kedalaman akan literatur klasik
Islam yang di miliki Husein dalam
melakukan analisis atau argumen
tandingan terhadap ketimpangan
gender di masyarakat sangat jarang
dimiliki feminis Islam lain di
Indonesia. Sehingga banyak yang
menyebut Husein sebagai salah satu
pewaris semangat intelektualisme
dan aktivisme ulama-ulama salaf
karena ia tampil dengan berbagai
pemikirannya yang tajam dan kritis.
c. Husein tidak serta-merta berkiblat
langsung oleh pemikiran tokoh
gender lainnya dalam menghasilkan
sebuah pemikiran, dengan kata lain
Husein tidak termasuk orang yang
hanya menerima produk melainkan
mengambil konsep-konsep dasarnya
saja kemudian dikontruksikan
66
dengan nash dan syariat Islam dan
disesuaikan kembali dengan
permasalahan yang ada sesuai zaman
dan budaya yang berlaku di
Indonesia.
d. Gagasan dan pemikiran Husein
mengenai keadilan gender di bidang
pendidikan tidak hanya berupa
gagasan saja, tetapi ia juga berusaha
menerapkan pada sistem
pembelajaran di Pondok Pesantren
Dar‟at Tauhid yang ia asuh.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kedua tokoh diatas memang
memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Terlepas dari itu
semua, Fatima Mernissi dan K.H. Husein Muhammad telah menyadarkan
kita betapa keadilan dan kesetaraan gender harus di tegakkan agar
terwujud kehidupan masyarakat yang adil dalam segala aspeknya. Mereka
juga memberikan sumbangsih yang cukup besar dalam khasanah keilmuan
terutama mengenai keadilan perempuan di bidang pendidikan bahkan
gagasan dan pemikiran keduanya telah menjadi sumber rujukan hingga
saat ini.
B. Komparasi Pemikiran
67
Pada bab sebelumnya telah dipaparkan mengenai deskripsi
pemikiran Fatima Mernissi dan K.H. Husein Muhammad tentang keadilan
gender dalam bidang pendidikan. Keduanya memiliki corak berpikir yang
berbeda karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu latar belakang
kehidupan sosial, pendidikan dan masyarakat sesuai zaman yang
berkembang di negaranya masing-masing.
Fatima Mernissi merupakan salah satu tokoh yang mempelopori
gerakan keadilan dan kesetaraan gender pada tahun 1970-an di Maroko
dengan pemikiran-pemikirannya yang kritis terutama pada bidang
pendidikan dan perempuan. Pemikiran Mernissi mengenai kesetaraan dan
keadilan perempuan di bidang pendidikan didasari oleh kenyataan
masyarakat Maroko yang saat itu masih memegang teguh budaya patriarki,
bahkan ia sempat merasakan bagaimana tumbuh dan besar yang dibatasi
oleh harem. Mernissi juga menjadi saksi fenomena buta huruf yang
dialami oleh wanita-wanita Maroko termasuk ibu dan neneknya.
Beruntung ia beranjak remaja ketika pemerintah Maroko berusaha untuk
memberikan pendidikan kepada wanita sehingga ia mampu merasakan
bangku pendidikan hingga menjadi seorang Profesor.
Dalam menggugat budaya patriarki, Mernissi sangat apresiatif
terhadap konsep individualisme, liberalisme dan kebebasan individu yang
berkembang di Barat (Zakariya, 2011: 128). Ia menggunakan pendekatan
sosiologis sesuai dengan latar belakang pendidikannya sebagai seorang
sosiolog di Universitas Muhammad V Rabat, Maroko. Selain bergerak
68
pada gagasan keadilan gender dalam pendidikan, Mernissi juga
memfokuskan penelitian dan kajiannya terhadap hadis-hadis misogini atau
hadis-hadis yang bernada membenci perempuan, hal tersebut dapat
diketahui dari karya-karya tulis yang ia terbitkan selama ini. Bahkan karya
intelektual yang ia hasilkan telah menjadi buku rujukan pustaka Barat
(Nuruzzaman, 2005: 82). Secara universal pemikiran Mernissi sebenarnya
ingin menampilkan keberpihakan Islam pada kesetaraan laki-laki dan
perempuan.
Sedangkan K.H. Husein Muhammad merupakan seorang kyai yang
memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender dari ranah pesantren.
Berbeda dengan Mernissi, Husein mulai tertarik dengan kajian gender
setelah mengikuti halaqoh bersama kyai-kyai yang peduli dengan keadilan
gender di Indonesia. Selain dari kegiatan halaqoh tersebut ia juga melihat
kenyataan masyarakat Indonesia yang pada saat itu masih membatasi
gerak perempuan dalam bidang sosial, budaya bahkan pendidikan.
Pemikiran dan gagasan Husein tentang keadilan gender menggunakan
pendekatan keagamaan sesuai dengan nash dan syariat yang terdapat
dalam al-Qur‟an dan hadis. Hal tersebut tidak lepas dari latar belakang
keluarganya yang tumbuh dan besar dari kalangan pesantren bahkan
pendidikan yang ia tempuh tidak jauh dari lembaga pendidikan Islam.
Banyak yang menyebut Husein sebagai pewaris semangat
intelektualisme dan aktivisme ulama-ulama salaf. Ia tampil dengan
berbagai pemikirannya yang tajam dan kritis untuk mengumpulkan dan
69
mempropagandakan kebenaran-kebenaran yang termarginalkan dan juga
kebenaran yang sengaja dimarginalkan oleh kelompok-kelompok dengan
kepentingan tertentu yang sesat dan menyesatkan (dalam Noviyati
Widiyani, 2010: 32).
Husein mulai mencoba menerapkan gagasan keadilan gender
sedikit demi sedikit di Pondok Pesantren Dar‟at Tauhid yang ia asuh. Hal
itu dilakukan karena menurutnya apabila gagasan keadilan gender di
terapkan secara keseluruhan di tengah masyarakat yang belum siap
menerima gagasan tersebut maka akan menimbulkan permasalahan baru
(wawancara tgl 4 Juli 2019 pukul 10.26 WIB). Untuk menciptakan
keadilan gender, Husein tidak hanya bergerak pada ranah pendidikan saja,
melainkan pada bidang sosial kemasyarakatan dengan mendirikan dan
mengembangkan beberapa LSM seperti Fahmina Institute dan Puan Amal
Hayati (Natsir, 2014: 211).
C. Relevansi Kekinian
Azyumardi Azra mengemukakan pendidikan adalah salah satu
agen perubahan sosial yang mengacu pada tiga alasan. Pertama, lembaga
pendidikan adalah wadah institusional dimana semua pegawai (laki-laki
dan perempuan) mengekspresikan segala potensinya, mengaktualisasikan
dan mendefinisikan identitas dirinya. Kedua, lembaga pendidikan
merupakan institusi dinamis yang menyiapkan, memproduksi dan
mengembangkan potensi sumber daya. Ketiga, lembaga pendidikan
memproduksi ideologi atau doktrin tertentu baik melalui proses
70
pendidikan, nilai-nilai diperkenalkan, ditransmisi dan ditransformasikan.
Akibatnya proses pendidikan pengajaran dan lembaga pendidikan
memainkan peranan penting dalam merealisasikan arah pembangunan
yang melahirkan keadilan gender (Azra, 2004: 5).
Sebelum membahas lebih lanjut, penulis akan menjelaskan kembali
mengenai pengertian dan tujuan Pendidikan Islam. Secara implisit
Pendidikan Islam adalah proses bimbingan secara sadar seorang pendidik
sehingga aspek jasmani, rohani dan akal anak didik tumbuh dan
berkembang menuju terbentuknya pribadi, keluarga dan masyarakat yang
Islami (Mahmud, 2011: 25).
Adapun tujuan pendidikan Islam adalah mengarahkan dan
membimbing manusia melalui proses pendidikan sehingga menjadi orang
dewasa yang berkepribadian muslim yang takwa, berilmu pengetahuan
dan berketerampilan melaksanakan ibadah kepada Tuhannya sesuai nilai-
nilai ajaran Islam. Sedangkan tujuan umum pendidikan Islam adalah
muslim yang sempurna atau manusia yang takwa atau manusia yang
beriman dan beribadah kepada Allah SWT (Mahmud, 2011: 122).
Pada bagian ini, penulis akan merelevansikan pemikiran kedua
tokoh diatas dengan Pendidikan Islam kekinian, mulai dari kesempatan
dan peran belajar bagi perempuan, penerapan di lembaga pendidikan,
metode pendidikan dan beberapa poin sesuai dengan pendidikan Islam
kekinian yang belum disinggung kedua tokoh diatas.
1) Kesempatan dan Peran Belajar bagi Perempuan
71
Kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam
menuntut ilmu sebenarnya sudah diterapkan sejak zaman Rasulullah
Saw. Abu Syuqqah menyatakan hal tersebut terlihat dari keinginan
shahabiah bertemu dengan Rasulullah Saw untuk mendapatkan ilmu
dari sumbernya yang paling tinggi. Begitu juga halnya dengan para
sahabat dan tabi‟in mereka begitu ingin bertemu dengan istri-istri
Rasulullah Saw demi mendapatkan ilmu pengetahuan dari sumber
yang terkaya setelah wafatnya Rasulullah. Kaum muslimin baik laki-
laki maupun perempuan harus selalu mencari pengetahuan dari
sumber-sumber yang tertinggi, baik itu dari sumber laki-laki maupun
perempuan (Syuqqah, 1997: 39-40).
Terdapat beberapa ulama-ulama perempuan di Indonesia yang
konsensus dan mempunyai perhatian terhadap pendidikan, misalnya di
kerajaan Aceh pernah diperintah beberapa Sultanah, yang mempunyai
kekuatan politis juga kepakaran di bidang ilmu agama Islam dan
perhatian yang besar terhadap keberlangsungan agama Islam melalui
pendidikan Islam dan dakwah Islam. Pada abad ke-20 mucul beberapa
aktivis pendidikan Islam seperti Nyai Ahmad Dahlan dan beberapa
Nyai lain yang berkiprah dalam pesantren-pesantren tradisional.
Bahkan tokoh emansipasi perempuan di Indonesia RA. Kartini yang
turut menginspirasi kesadarannya untuk memperjuangkan pendidikan
bagi kaum perempuan juga pernah belajar agama Islam kepada Kyai
Soleh Darat (Abidin, 2015: 15).
72
Dalam hal ini penulis sependapat dengan kedua tokoh diatas
yang menyebutkan bahwa perempuan juga memiliki kesempatan dan
hak yang sama atas pendidikan. Atau pada dewasa ini sering disebut
dengan pendidikan berbasis keadilan gender. Pendidikan Islam
berbasis kesetaraan gender merupakan suatu sistem pendidikan yang
merujuk pada nilai-nilai ajaran Islam yang didalamnya terkandung
asas-asas keadilan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan serta
menjunjung tinggi persamaan hak antara keduanya. Seperti yang
tertera dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara pada alenia
ke 4 yang berbunyi “…dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa….” Salah satu cara untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa adalah melalui pendidikan yang
merata dan tidak dibatasi oleh apapun terutama jenis kelamin.
Selain pada pembukaan Undang-Undang Dasar, negara juga
menjamin bahwa setiap warga negara (perempuan dan laki-laki)
mempunyai kesamaan hak dan kewajiban untuk memperoleh
pendidikan, yang dituangkan dalam pasal 31 Undang-undang Dasar
(UUD 1945). Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan, melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 dan
Permendiknas Nomor 84 Tahun 2008 sebagai bentuk komitmen
negara terhadap berbagai bentuk diskriminasi yang dialami
73
perempuan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk pendidikan
(Effendy, 2014: 157).
Kebijakan nasional menyangkut pendidikan dapat ditelusuri
dari UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
menyebutkan bahwa kesempatan pendidikan pada setiap satuan
pendidikan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras,
kedudukan sosial dan tingkat kemampuan ekonomi dan tetap
mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang bersangkutan
(pasal 7) (Adriana, 2009: 141).
Adapun yang dimaksud dari pendidikan berbasis keadilan
gender adalah pendidikan yang diselenggarakan untuk semua
masyarakat, tidak membedakan janis kelamin, agama, suku maupun
bangsa. Tidak adanya perbedaan pendidikan untuk laki-laki dan
perempuan inilah yang akhirnya akan mempermudah terwujudnya
kesetaraan gender dalam masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa
pendidikan merupakan sarana penting untuk mencapai pembangunan
kesetaraan dan kedamaian. Untuk dapat menjadi agen perubahan
harus memiliki akses yang adil terhadap kesempatan pendidikan yang
tidak dibatasi oleh jenis kelamin (Sumar, 2015: 175).
Pendidikan Islam berbasis keadilan gender hadir untuk
memberikan dan menjamin terpenuhinya hak pendidikan yang sama
bagi laki-laki dan perempuan. Dengan proses transformasi
pengetahuan dan nilai-nilai Islam berlandaskan al-Qur‟an dan Hadis
74
Nabi untuk mengantarkan terbentuknya kepribadian Islami dengan
mempertimbangkan perbedaan kebutuhan, pengalaman dan
pengetahuan laki-laki dan perempuan akibat konstruksi sosial
lingkungannya, menuju pendidikan berkesetaraan gender agar
keduanya memperoleh manfaat yang sama dari hasil pendidikan
dalam mencapai tujuan yang diharapkan (Cholil, 2011: 399-400).
Al-Qur‟an memberikan pujian kepada ulul albab, yang
berdzikir dan memikirkan kejadian langit dan bumi. Mereka yang
dinamai ulul albab tidak terbatas pada kaum laki-laki saja, melainkan
juga perempuan. Hal tersebut ditegaskan dalam QS. Ali Imran [3]:
195 :
Artinya : “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya
(dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-
nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu,
baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu
adalah turunan dari sebagian yang lain” (Depag, 2010:
76).
Ini berarti bahwa kaum perempuan juga dapat berpikir dan
mempelajari kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati setelah
berdzikir kepada Allah serta apa yang mereka ketahui dari alam raya
ini (Badriyah, 2017: 16).
Dari pemaparan diatas, penulis menyimpulkan bahwa pada
saat ini tidak ada pembatasan hak dan kesempatan bagi perempuan
75
untuk memperoleh pendidikan dan hal tersebut telah dijamin oleh
pemerintah Indonesia dalam undang-undangnya. Sejauh ini, penulis
belum menemukan adanya pembatasan hak dan kewajiban perempuan
di lingkungan pendidikan. Dapat dilihat pada sekolah-sekolah yang
tidak membatasi jumlah pendaftar peserta didik baru sesuai jenis
kelamin. Jikapun ada pembatasan hanya berupa jumlahnya saja, bukan
jenis kelaminnya.
Jadi, bagi kaum wanita tidak perlu merasa terhambat untuk
menuntut ilmu jika hanya karena guru yang dapat mengajarinya
adalah seorang laki-laki, begitu pula dengan kaum laki-laki tidak perlu
merasa terhalangi dalam menuntut ilmu pengetahuan jika ternyata
guru yang mengajarinya adalah guru perempuan. Karena sejatinya
pendidikan dan pengajaran di Indonesia berlaku untuk semua
golongan. Pendidikan bagi perempuan juga sangat penting karena
untuk membentuk pribadi dan karakter seorang perempuan yang
nantinya akan menjadi ibu dan sebagai tempat pertama kali
mengajarkan ilmu-ilmu kepada anaknya.
2) Penerapan di Lembaga Pendidikan
Pada bab sebelumnya, Fatima Mernissi dan K.H. Husein
Muhammad memiliki pendapat yang berbeda. Mernissi lebih
membahas mengenai penerapan lembaga pendidikan di Maroko yang
tidak merata bagi perempuan dan laki-laki, sedangkan K.H. Husein
lebih mengkhususkan pembahasan mengenai pengelolaan siswa di
76
lembaga pendidikan Indonesia sesuai gender sejak dulu hingga
sekarang. Maka dari itu penulis akan memaparkan relevansi
penerapan di lembaga pendidikan dengan keadilan gender secara
umum dan khusus.
Bagi penulis, penerapan di lembaga pendidikan secara umum
adalah bagaimana lembaga tersebut berusaha mempraktikkan keadilan
gender bagi masyarakat yang ada di lingkup sekolah tersebut baik
pendidik, peserta didik maupun staf dan karyawan yang ada di
dalamnya. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan tidak
membatasi apapun sesuai jenis kelamin. Sebagai contoh, seorang guru
perempuan diperbolehkan mengampu mata pelajaran yang lebih
bersifat maskulin seperti olahraga, bela diri, karate dan lain
sebagainya. Begitupun dengan guru laki-laki diperbolehkan
mengampu mata pelajaran yang lebih bersifat feminim seperti
menyanyi dan menari. Namun hal tersebut harus di sesuaikan pula
dengan kemampuan dan kapabilitas dari pendidik itu sendiri.
Masih menurut penulis, penerapan di lembaga pendidikan
secara khusus adalah penempatan peserta didik di dalam kelas dan isi
pendidikan yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik. Untuk
menerapkan keadilan dan kesetaraan gender di kelas adalah sama
dengan yang diutarakan oleh K.H. Husein Muhammad yakni dengan
menyamakan isi pendidikan antara siswa dan siswi. Namun dalam
praktiknya, pendidik juga harus memahami kemampuan dari peserta
77
didiknya terlebih dahulu sebelum memberikan pelajaran agar ilmunya
dapat di pahami oleh peserta didik dengan baik.
Untuk memahami kelembagaan pendidikan Islam perlu dikaji
pendekatan normatif tentang siapa yang bertanggung jawab dalam
menangani dan mengembangkan pendidikan. Tanggung jawab
pendidikan Islam merupakan tugas tiga institusi pokok pendidikan,
yaitu orangtua, sekolah dan masyarakat. Disamping itu, lembaga
pendidikan adalah suatu bentuk organisasi yang diadakan untuk
mengembangkan pendidikan, yang mempunyai pola-pola tertentu
dalam memerankan fungsinya, serta mempunyai struktur sendiri yang
dapat mengikat individu sehingga lembaga ini mempunyai kekuatan
hukum tersendiri (Mahmud, 2011: 183).
3) Metode Pendidikan
Relevansi metode pendidikan yang di kemukakan Fatima
Mernissi dengan metode yang pertama, penyebaran pendidikan
melalui industri media sangat efektif jika di terapkan semasa hidup
Mernissi, hal ini karena pada saat itu kaum perempuan di masyarakat
Maroko tidak memiliki akses yang bebas untuk keluar rumah. Salah
satu cara menyebarkan pendidikannya adalah melalui industri media
dengan pembuatan program-program televisi yang bermuatan
pendidikan. Namun metode tersebut kurang efektif apabila di terapkan
pada saat ini, karena di Inonesia bahkan di dunia telah mengalami
kemajuan zaman, perempuan di berikan aksses yang bebas untuk
78
mendapatkan pendidikan dimanapun. Pada saat ini media televisi
lebih dijadikan sebagai media hiburan daripada pendidikan, bahkan
saat ini masyarakat lebih tertarik dengan gadget daripada televisi.
Kedua, penyebaran pendidikan melalui riset feminis. Bagi
penulis, metode ini masih cukup efektif diterapkan pada masa kini.
Hal ini dipengaruhi oleh adanya kebebasan perempuan untuk
mendapatkan pendidikan, mereka dapat mengakses riset-riset yang
telah dilakukan oleh banyak tokoh pendidikan di masa lalu terutama
tokoh perempuan. Dengan kemudahan tersebut, para perempuan akan
semakin semangat untuk mengoptimalkan kemampuannya dalam hal
pendidikan.
Ketiga, Penyebaran pendidikan melalui inisiatif-inisiatif
penerbitan nisa‟ist, yaitu suatu program penerjemahan dan penerbitan
yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat dengan tujuan untuk
mempermudah kaum penerusnya mendapatkan informasi mengenai
riset-riset terdahulu. Penerjemahan dari suatu bahasa Islam ke bahasa
lain akan mudah dilaksanakan apabila sudah ada terjemahan ke dalam
bahasa Inggris dari karya aslinya. Menurut penulis, metode ini masih
cukup efektif apabila di terapkan pada saat ini, karena untuk
memenuhi kebutuhan orag-orang yang tidak dapat berbahasa Arab dan
memudahkan peneliti-peneliti dari Barat atau Asia yang tidak dapat
berbahasa Arab. Sehigga dengan adanya penerjemahan dan penerbitan
Nisa‟ist ini akan memudahkan peneliti yang akan datang untuk
79
melakukan riset yang lebih relevan sesuai zamannya (Mernissi, 1999:
185-187).
Sedangkan metode pendidikan yang di kemukakan K.H.
Husein Muhammmad masih sangat relevan karena metode tersebut
adalah metode pendidikan di pesantren yang masih di gunakan hingga
saat ini. Namun, metode tersebut masih kurang relevan apabila di
terapkan di sekolah-sekolah umum.
Dari metode-metode diatas, penulis sependapat dengan Juono
yang mengutip tiga metode pendidikan yang dapat dijadikan acuan
dan relevan sepanjang zaman menurut Hamka dengan merujuk pada
QS. Al-Nahl [16]: 125.
Artinya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan
cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-
Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (Depag, 2010: 281).
Ketiga metode tersebut adalah al-hikmah (kebijaksanaan), al-
mau‟izhah al-hasanah (pendidikan dan pengajaran yang baik) dan
mujadalah bi allati hiya ahsan (diskusi). Pada ketiga metode tersebut
tidak ada batasan atau pengkhususannya terhadap peserta didik laki-
laki maupun perempuan. Semua metode yang sesuai untuk laki-laki,
80
sesuai pula untuk perempuan. Hanya saja, menurut Hamka
penggunaan metode pendidikan hendaknya disesuaikan dengan
tingkat kemampuan peserta didik, materi, ruang dan waktu serta
situasi dan kondisi dimana pendidikan itu dilaksanakan. Jika
penggunaan metode tidak memperhatikan hal-hal tersebut, maka
proses pendidikan kemungkinan besar akan gagal dan sia-sia (Juono,
2015: 133).
Husein Muhammad menyatakan kesetaraan dalam pendidikan
Islam di Indonesia masih belum setara, masih terdapat pandangan-
pandangan lama dan kitab-kitab lama yang dijadikan sumber rujukan
dalam proses pembelajaran. Di pondok pesantren yang Husein asuh
juga belum sepenuhnya menggunakan sumber rujukan kekinian,
masih menggunakan kitab-kitab klasik (wawancara, 4 Juli 2019 pukul
10.26 WIB). Seperti yang diungkapkan kepada penulis :
“Praktik pendidikan Islam dalam memandang kesetaraan
gender pada umumnya masih seperti kehidupan sosial
masyarakat, bahkan di perguruan tinggi Islam sendiri masih
menggunakan sumber pemikiran dahulu, dengan kitab-kitab
dan pandangan lama. Saya bisa mengatakan seperti ini karena
saya pernah diminta oleh menteri Pendidikan dan
Pemberdayaan Perempuan untuk membaca 20 karya akademik
yang akan dijadikan sumber dasar pendidikan baru. Saya
mengatakan kepada mereka bahwa ini harus direvisi, meskipun
yang menulis buku itu mahasiswa S2 dan S3 tapi terjadi
inkonsistensi dimana-mana, masih juga menggunakan
pandangan lama. Ada juga yang sudah menggunakan
pemikiran baru tapi masih banyak kurangnya” (wawancara, 4
Juli 2019 pukul 10.26 WIB).
Menurut Adriana ada beberapa cara untuk memasukkan kajian
gender di perguruan tinggi, yaitu menjadikan mata kuliah gender
81
sebagai mata kuliah mandiri, memasukkan materi atau isu gender pada
salah satu materi pendidikan dan pengajaran, dan memasukkan isu
gender pada materi pengajaran tanpa menyebutkan secara spesifik
dengan sub topik materi gender.
Lebih lanjut Adriana menyatakan dari ketiga cara diatas,
kemungkinan yang paling mudah dan dapat dilaksanakan dengan baik
adalah mengintegrasikan gender ke dalam mata kuliah tertentu.
Seperti mata kuliah yang berkaitan dengan pendidikan yaitu psikologi
pendidikan, dasar-dasar pendidikan, strategi pembelajaran,
pengelolaan kelas dan sebagainya (Adriana, 2009: 151). Selain
kesempatan dan peran belajar bagi perempuan, penerapan di lembaga
pendidikan, metode pendidikan dan isi pendidikan, masih ada satu
aspek yang berkaitan dengan Pendidikan Islam yaitu kurikulum
pendidikan. Dalam hal ini yang dimaksud kurikulum adalah
kurikulum yang berbasis kesetaraan gender.
Kurikulum dijabarkan dalam tujuan pembelajaran, materi dan
topik bahan bacaan atau referensi yang di pakai, strategi
pembelajaran, media atau sarana dan prasarana yang digunakan dan di
evaluasi. Pada umumnya isi kurikulum adalah nama-nama mata
pelajaran beserta silabinya atau pokok bahasan, tetapi kurikulum
sebenarnya tidak harus berupa mata pelajaran namun dapat berupa
nama kegiatan (Iqbal, 2015: 107). Lembaga pendidikan yang
memerhatikan kesetaraan gender akan mencantumkan upaya
82
kesetaraan gender ini sebagai bagian dari visi dan misinya yang
kemudian akan terimplementasikan melalui kurikulum beserta
komponen-komponennya.
Perlu diperhatikan bahwa dalam mengembangkan integrasi
kurikulum perspektif gender sepatutnya memuat nilai-nilai persamaan
hak, kerjasama, partisipasi, keadilan, perbedaan fisik, kesetaraan,
kemajemukan dan prinsip demokratis antara laki-laki dan perempuan.
Untuk mewujudkan kurikulum yang dimaksud perlu mengambil
langkah-langkah kongkrit yaitu dengan merumuskan visi, misi, tujuan
dan pengembangan diri yang mencerminkan kurikulum berbasis
kesetaraan gender. Selain itu perlu juga mengkaji standar kompetensi,
kompetensi dasar pada standar isi yang dapat diintegrasikan oleh nilai-
nilai kesetaraan gender dalam indikator atau kegiatan pembelajaran
pada silabus dan rencana pembelajaran (Effendy, 2014: 163).
Nilai-nilai kesetaraan gender dapat diintegrasikan dalam
kurikulum antara lain: persamaan hak laki-laki dan perempuan,
perbedaan fisik laki-laki dan perempuan, partisipasi laki-laki dan
perempuan, keadilan bagi laki-laki dan perempuan, kerjasama laki-
laki dan perempuan, kesetaraan laki-laki dan perempuan, menghargai
kemajemukan, dan demokrasi (Adriana, 2009: 150). Nilai-nilai
kesetaraan gender tersebut dapat diintegrasikan dalam kurikulum dan
dapat disebarkan pada berbagai mata pelajaran yang diterapkan di
sekolah masing-masing.
83
Menurut penulis untuk menciptakan keadilan gender dalam
pendidikan, ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, guru harus
berperspektif gender karena ia merupakan ujung tombak pendidikan di
dalam sekolah yang akan mentransfer ilmu kepada peserta didik
sehingga untuk menjadikan peserta didik memahami dan menerapkan
keadilan gender, harus dimulai dari guru dengan mendukung keadilan
gender. Kedua, sumber belajar atau buku-buku pelajaran harus penuh
dengan muatan keadilan gender, sehingga proses transformasi nilai-
nilai yang berperspektif keadilan gender dapat berjalan dengan
maksimal. Ketiga, proses pembelajaran yang menerapkan sistem
keadilan gender, tidak ada perbedaan perlakuan terhadap peserta didik
laki-laki maupun perempuan. Kalaupun ada perbedaan dalam
penerapan proses belajar, hal tersebut terjadi karena menyesuaikan
dengan kemampuan peserta didik masing-masing bukan karena
perbedaan jenis kelamin.
Dalam penerapan pendidikan Islam berbasis kesetaraan gender
harus dimulai sejak dini dari pendidikan terendah. Agar pendidikan
kesetaraan gender tersebut dapat menjadi suatu kebiasaan dan
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk mewujudkan kehidupan
berkesetaraan gender dalam masyarakat.
84
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan paparan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Kesetaraan gender dalam pendidikan Islam bagi Fatima Mernissi dan
K.H. Husein Muhammad sangat penting. Hal tersebut terdapat pada
beberapa aspek yang telah mereka singgung dalam karya-karyanya
seperti kesempatan dan peran belajar bagi perempuan, penerapan di
lembaga pendidikan dan metode pendidikan. Menurut Fatima
Mernissi dan K.H. Husein Muhammad perempuan berhak
mendapatkan pendidikan dan perlakuan yang sama seperti laki-laki
karena di dalam al-Qur‟an tidak disebutkan jika pendidikan hanya
diperuntukkan bagi laki-laki saja. Selain itu perempuan juga berhak
mengembangkan potensi dirinya di dalam masyarakat
2. Fatima Mernissi dan K.H. Husein Muhammad merupakan dua tokoh
gender dan pendidikan di dunia yang memiliki tujuan sama untuk
mewujudkan tercapainya kesetaraan dan keadilan bagi perempuan
dalam segala aspek kehidupan terutama aspek pendidikan. Namun,
keduanya memiliki banyak perbedaan terutama kultur budaya dan
lingkungan keluarga yang menyebabkan corak berpikirnyapun
berbeda. Dari perbedaan-perbedaan itu, dihasilkan kelebihan dan
kekurangan dalam mengkaji suatu gagasan. Keduanya memiliki
85
persamaan dan perbedan serta kelebihan dan kekurangan masing-
masing. bagi penulis pemikiran K.H. Husein Muhammad mengenai
kesetaraan gender dalam pendidikan Islam lebih mudah diterima dan
diterapkan di Indonesia karena lingkungan sosial yang tidak banyak
berubah.
3. Metode pengajaran yang di kemukakan Fatima Mernissi dan K.H.
Husein Muhammad sebagian bsar masih sangat relevan dengan
metode pendidikan saat ini, mskipun saat ni penidikannya lebih
modern. Bagi penulis, metode pendidikan yang cukup relevan
diterapkan sepanjang zaman adalah metode kebijaksanaan, pendidikan
dan pengajaran yang baik, dan diskusi.
4. Pendidikan Islam dianggap mampu menjadi lokomotif yang aktif
untuk menerapkan kesetaraan gender, mengingat nilai-nilai yang
terkandung dalam Islam menjunjung tinggi kesetaraan dan keadilan.
Untuk menciptakan keadilan gender dalam pendidikan ada tiga hal
yang perlu diperhatikan, yaitu perspektif guru harus berkeadilan
gender, sumber belajar harus dipenuhi dengan muatan keadilan gender
dan proses pembelajaran yang menerapkan sistem keadilan gender.
Hingga saat ini pendidikan Islam di Indonesia telah menerapkan
kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki.
B. Saran
Apa-apa yang digambaran pada skripsi ini hanyalah sedikit dari
pandangan dan pemikiran Fatima Mernissi dan KH. Husein Muhammad
86
tentang kesetaraan gender dalam perspektif pendidikan Islam. Karya ini
dimaksud dan diharapkan sebagai salah satu usaha menguak sekelumit
dari pemikiran kedua tokoh diatas. Sebagai pemikir, ulama dan tokoh yang
berbasis gender dan keperempuanan, pemikiran keduanya tidak akan habis
dibahas.
Pemikiran Islam sebagai transfer keilmuan diharapkan mampu
menjadi lokomotif yang aktif menerapkan keadilan gender dalam
pendidikan. Dengan memberikan pendidikan yang seluas-luasnya kepada
perempuan tanpa ada batasan serta memberikan kebebasan kepada
perempuan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri tanpa harus dibatasi
oleh budaya patriarki. Diharapkan kajian gender tidak hanya berupa teori
namun juga harus dipraktikkan dalam dunia nyata terutama dalam bidang
pendidikan. Agar pendeskriminasian, kekerasan dan subordinasi terhadap
perempuan dapat diminimalisir bahkan dapat dihapuskan agar dapat
tercipta keselarasan dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
87
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. 2015. Kesetaraan Gender dan Emansipasi Perempuan dalam
Pendidikan Islam. Tarbawiyah, 12(01): 1-17.
Adriana, Iswah. 2009. Kurikulum Berbasis Gender (Membangun Pendidikan yang
Berkesetaraan). Tadris, 4(1): 137-152.
Asyhari, 2009. Kesetaraan Gender Menurut Nasaruddin Umar dan Ratna
Megawaangi. Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: Jurusan Perbandingan
Madzhab dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Azra, Azyumardi. 2004. Realitas dan Cita Kesetaraan Gender di UIN Jakarta.
Jakarta: McGill IAIN.
Badriyah, Laila. 2017. Epistimologi Pendidikan Islam Menuju Perspektif Gender.
al-Hikmah, 5(1): 9-18.
Cholil, Mufidah. 2011. Strategi Implementasi Pengarusutamaan Gender Bidang
Pendidikan Islam. Al-Tahrir, 11(2): 391-414.
Depag. 2010. Al-Qur'an dan Terjemahannya Mushaf Aisyah. Bandung: JABAL.
Effendy, Rustam. 2014. Kesetaraan Gender dalam Pendidikan. Al-Maiyyah, 07(2):
142-165.
Iqbal, Mahathir Muhammad. 2015. Diskursus Gender dalam Pendidikan Islam.
ANALISIS: Jurnal Studi Keislaman, 15(1): 99-199.
Istibsyaroh. 2004. Hak-Hak Perempuan Relasi Jender menurut Tafsir Al-
Sya'rawi. Jakarta: TERAJU.
Junus, M. 1968. Perbandingan Pendidikan Modern di Negara Islam dan Intisari
Pendidikan Barat. Jakarta: Al-Hidayah.
Juono, Ribut Purwo. 2015. Kesetaraan Gender dalam Pendidikan Islam.
ANALISIS: Jurnal Studi Keislaman, 15(1): 121-141.
Mahmud. 2011. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Mernissi, Fatima. 1996. Pemberontakan Wanita: Peran Intelektual Kaum Wanita
dalam Sejarah Muslim. Diterjemahkan oleh Rahmani Astuti. 1999.
Bandung: Mizan.
____________. 1991. Wanita di Dalam Islam. Diterjemahkan oleh oleh Yaziar
Radianti. 1994. Bandung: Pustaka.
_____________. 1992. Islam dan Demokrasi Antologi Ketakutan (Cet. ke-5 ed.).
Diterjemahkan oleh Amirudin ar-Rany. 1994. Yogyakarta: LKiS.
88
Muhaimin. 2003. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta:
PSAPM.
Muhammad, Husein. 2004. Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kyai
Pesantren. Yogyakarta: LKiS.
_______________. 2014. Islam dan Pendidikan Perempuan. Jurnal Pendidikan
Islam, 3(2): 231-243.
Mupardila, Murni. 2017. Gender dalam Perspektif Pendidikan Islam (Studi Kritis
Atas Pemikiran Fatima Mernissi). Skripsi tidak diterbitkan. Lampung:
Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN Raden Intan Lampung.
Muslikhati, Siti. 2004. Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam
Timbangan Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Natsir, Lies Marcoes. 2014. Menolak Tumbang Narasi Perempuan Melawan
Pemiskinan. Yogyakarta: INSSTPress.
Noviyati, Widiyani, 2010. Peran KH. Husein Muhammad dalam Gerakan
Kesetaraan Gender di Indonesia. Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta:
Jurusan Sejarah Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Nuruzzaman, M. 2005. Kiai Husein Membela Perempuan. Yogyakaarta: LKiS.
Ramayulis. 2015. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: KALAM MULIA.
Siti, Khodijah, 2016. Peran KH. Abdullah Syathori dalam Pengembangan Pondok
Pesantren Dar‟at Tauhid Arjawinangun Cirebon. Skripsi tidak diterbitkan.
Cirebon: Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Ushuluddin Adab
Dakwah IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Silviya, Ulfah, 2006. Pendidikan Islam Berwatak Kontruktivisme (Studi Atas
Pemikiran Fatima Mernissi tentang Pendidikan Perempuan Tahun 1940-
2006). Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Tarbiyah Program Studi
Pendidikan Agama Islam STAIN Salatiga.
Sumar, Warni Tune. 2015. Implementasi Kesetaraan Gender dalam Bidang
Pendidikan. MUSAWA, 7(1): 158-182.
Susanti, 2014. Feminisme dalam Perspektif Husein Muhammad. Skripsi tidak
diterbitkan. Surabaya: Program Studi Aqidah Filsafat UIN Sunan Ampel
Surabaya
Suprianto. 2014. Kesetaraan Gender dalam Islam (Studi Atas Pemikiran
Nasarudin Umar dan KH. Husein Muhammad). Skripsi tidak diterbitkan.
Semarang: Jurusan Aqidah Filsafat IAIN Walisongo Semarang.
Syuqqah, Abdul Halim. tt. Kebebasan Wanita. Diterjemahkan oleh Chairul Halim.
1997. Jakarta: Gema Insani Press.
Tafsir, Ahmad. 2001. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. (Cet ke-4).
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
89
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tentang Kesetaraan
Gender. 2018. Jakarta.
Zakariya, Nur Mukhlish. 2011. Kegelisahan Intelektual Seorang Feminis (Telaah
Pemikiran Fatima Mernissi tentang Hermeneutika Hadits). KARSA, 19 (2):
120-135.
Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Zubaidah, Siti. (2010). Pemikiran Fatima Mernissi tentang Kedudukan Wanita
dalam Islam. Bandung: Ciptapustaka Media Perintis.
Wawancara dengan KH. Husein Muhammad pada tanggal 4 Juli pukul 10.26 WIB
dan 23 Oktober 2019 pukul 12.15 WIB melalui sambungan telepon.
90
Lampiran 1
91
Lampiran 2
92
Lampiran 3
93
Lampiran 4
94
95
Lampiran 5
Daftar Lampiran Wawancara
Dilakukan pada Kamis, 4 Juli 2019 pukul 10.26 WIB atau pukul 11.26 ketika KH.
Husein Muhammad berada di Bali melalui sambungan telefon via WhatsApp atas
permintaan beliau.
IY : Indriyani Yuli Astuti (Penulis)
HM : KH. Husein Muhammad (Narasumber)
IY : “Dari beberapa literatur yang saya baca hanya menyebutkan Kiai
Mahmud Toha, KH. Syathori dan Prof. Ibrahim Husein sebagai guru
Buya, selain kepada beliau, kepada siapa lai Buya belajar?”.
HM : “Oh, kalau itu yang langsung, ya. Kiai Syathori itu kakek saya yang
mendirikan Pesantren Arjawinangun, kalau Mahmud Toha (hafidz)
pertama di Cirebon) itu menantunya Kiai Syathori, kami semua belajar
mengaji kepada beliau berdua. Kemudian Ibrohim Husen itu guru saya
di Perguruan Tinggi yang mengajarkan ushul fqh, fiqh perbandingan.
Selain itu sebetulnya banyak guru-guru saya, seperti ketika di Lirboyo,
ya ustadz/kiai di Lirboyo. Ketika di Mesir juga banyak sekali guru yang
mengajari saya”.
I : “Apakah hanya dari guru-guru tersebut Buya menambah wawasan dan
menuntut ilmu?”
HM : “Tentu tidak, ketika saya di Mesir, saya juga membaca banyak sekali
karya-karya intelektual Islam modern dan klasik, semacam dari
96
Muhammad Abduh, Toha Husein, Basmahul Haqots, Taufiqil Hakim,
dan lain-lain yang merupakan para pemikir dan pembaharu Islam”.
I : “Apakah selama ini Buya hanya membaca karya-karya intelektual
mereka, atau Buya juga mengenal mereka secara langsung?”
HM : “Saya kenal banyak sekali tokoh-tokoh itu secara langsung, saya
pernah ngobrol dengan Nasalimar Burzaet di Leiden, beliau juga pernah
memberikan kuliah Pasca. Alhamduillah saya mendapat pujian karena
bisa menjelaskan buah pemikiran saya dihadapan beliau. Beliau berkat
“Allahumma fi amsalak, mudah-mudahan banyak orang yang punya
pikiran seperti anda”, selain itu juga saya mengenal Amina Wadud
Muhsin, beliau juga memberi apresiasi kepada saya. Tapi yang paling
utama saya juga membaca karya-karya intelektual dari tokoh-tokoh
pembaharu dan pemikir Islam yang lainnya”.
I : “Saya pernah membaca artikel di salah satu media massa yang
menyebutkan bahwa selama 3 tahun belajar di Mesir, Buya pulang ke
Indonesia tanpa gelar. Benarkah seperti itu? Jika benar, bagaimana hal
itu bisa terjadi?”
HM : “Iya betul, jadi gini kalo orang tahu, saya itu disana akhirnya melihat
kenyataan-kenyataan belajar di Mesir itu mengulang semua pelajaran-
pelajaran yang pernah saya pelajari ketika di Pesantren dulu. Ini bukan
hanya di Mesir ya, dimana saja di dunia Islam pelajarannya pasti itu-itu
saja. Jadi, saya disana justru mengajar mahasiswa-mahasiswa Indonesia
yang ingin belajar membaca kitab. Disana saya tinggal di KMNU
97
(Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama) yang ada di Mesir. Saya sama
dengan Gus Dur, Bisri Mustofa, Harun Nasution dan yang lainnya, dulu
enggak belajar dan bagus dalam sisi akademik, karena itu pengulangan-
pengulangan yang membosankan sekali menurut saya. Jadi saya
belajarnya pada guru-guru secara pribadi sajalah”.
I : “Apa yang melatarbelakangi Buya berperan aktif membela kaum
perempuan?”
HM : “Banyak ya, yang paling menjadi dasar utama adalah fakta-fakta
tentang kekerasan terhadap perempuan dimana-mana, bahkan di negara
kita banyak sekali. Ketika saya menjadi komisioner Komnas
Perempuan, saya keliling Indonesia mencari dan mendapatkan
informasi dari lembaga-lembaga negara maupun LSM tentang fakta
kekerasan sebanyak ratusan ribu yang terjadi tiap tahunnya. Ini yang
menjadi pertanyaan besar buat saya, Kenapa fenomena ini dapat terjadi?
Apa sih faktor-faktornya? Lalu saya mencoba menggunakan
pendekatan dari sisi agamanya bagaimana. Faktor utamanya yang saya
temukan yaitu kekuasaan laki-laki terhadap perempuan. Dimanapun,
kekuasaan memiliki potensi untuk melakukan kekerasan, membatasi,
mengucilkan, membebani dan lain sebagainya. Itu yang disebut dalam
ilmu gender yang timbul akibat marginalisasi, subordinasi, kekerasan,
kesenjangan ekonomi, kekerasan psikologis dan fisik dan lain
sebagainya. Itu yang terjadi karena kekuasaan. Kemudian saya gali
98
terus, menurut saya dari segi agama tidak mungkin, agama
membenarkan kekuasaan untuk melakukan kekerasan.
I : “Jadi berdasar pada fakta-fakta sosial yang telah terjadi ya
Buya?”
HM : “Iya, fakta-fakta sosial menurut saya harus menjadi dasar untuk
menentukan kebijakan baru. Karena fakta sosial itu tidak bisa
dihilangkan atau di tentang. Harus dicari dulu masalahnya apa, kok bisa
seperti ini? Itu harus dianalisis, jangan menyalahkan orang lain tapi
harus melihat ke diri sendiri dulu.”
I : “Sejak kapan Buya tertarik dengan kesetaraan gender?”
HM : “Pertama kali setelah dari Mesir sekitar tahun 80-an, saya diundang
halaqoh oleh Masdar Ali Mas‟udi dan para kiai-kiai yang lainnya. Saya
termasuk yang paling muda disana. Disana diajarkan tentang gender,
pertamanya ya saya menentang, masak perempuan boleh menjadi
kepala keluarga, sih? Tapi setelah melihat kenyataan saya mulai
tertarik. Tidak semua laki-laki itu pintar, gagah, dan tidak semua
perempuan itu bodoh, lemah. Ilmu gender itu bisa berubah, yang tidak
bisa berubah itu sex.
I : “Jika seperti itu, bagaimana ketidakadilan gender itu bisa terjad
Buya?”
HM : “Ini akhirnya dibuat oleh aturan sendiri, negara, hukum dan budaya.
Jadi, pembakuan peran itu yang menjadi masalah, laki-laki di publik,
perempuan di domestik. Akhirnya saya melihat perempuan itu hebat
99
pintar, laki-laki ada yang bodoh. Jadi tidak bisa digeneralisasikan,
bukan dari Allahnya laki-laki itu kuat, bukan dari Allahnya perempuan
itu lemah. Itu yang saya temukan di pelajaran gender”.
I : “Dari buku-buku pemikiran tokoh Islam yang telah dibaca, Buya lebih
berkiblat pada pemikiran siapa?”
HM : “Wah, tidak bisa dikatakan satu persatu, saya ini kan mengambil
teorinya saja. Saya bukan termasuk orang yang menerima produk, tapi
harus dianalisis dulu, mengapa dia bisa berpikir seperti ini? Apakah
akal atau teks yang menentukan? Jadi bukan persoalan produknya,
melainkan analisis saya sendiri. Sampai saya berani menulis perempuan
boleh menjadi imam untuk laki-laki ya karena saya membaca dan
menganalisis. Meskipun saya tahu sebagian besar ulama menolak
perempuan menjadi imam sholat, tapi saya gali terus hadisnya
bagaimana setelah itu saya bandingkan. Nah kalo orang bilang, wah
kamu berijtihad sendiri, ya? Mujtahid, ya? Sesat, ya? Ya, saya gak
taulah, tapi logika saya mengatakan kategori kepemimpinan itu bukan
pada jenis kelamin tapi kepada karakter dan kemampun. Jadi seperti itu
pemikiran KH. Husein, bukan siapa mengikuti siapa. Saya hanya
mengambil teori dan basis-basis pemikirannya saja, karena yang saya
kritisi adalah teorinya bukan produknya”.
I : “Dengan pemikiran dan padangan yang seperti itu apakah Buya
pernah mendapatkan penolakan?”
100
HM : “Ya, saya mengalami sekali kalau kiai-kiai itu banyak yang
menyalahkan dan menolak saya, yang katanya tidak mengikuti ulama.
Tapi ya mau bagaimana lagi? Masak saya tidak boleh mengemukakan
pemikiran saya sendiri?”
I : “Lalu, bagaimana Buya menanggapinya?”
HM : “Saya selalu mengatakan bahwa perubahan itu memang harus
bertahap tidak boleh sekaliggus, rakyat akan marah dan menolak kita.
Tapi ya, dibanding-bandingkan saja antara yang tidak boleh dan yang
boleh. Kita pasti punya pandangan sendiri, tapi juga tidak boleh
menyalahkan pandangan orang lain.”
I : “Selain melalui karya tulis dalam bentuk buku, Buya memahamkan
masyarakat tentang kesetaran gender melalui apa lagi?”
HM : “Wah banyak sekali. Selain buku saya lewat seminar-seminar diskusi,
halaqoh, jadi banyak sekali ruang yang sudah saya hadiri untuk
memahamkan gender kepada masyarakat luas. Sebagai contoh sudah
ada yang ditulis di buku, salah satunya di majalah RAHIMA tentang
pemikiran KH. Husein Muhammad, semua itu bukan hanya hasil
renungan dan pemikiran saya, tetapi juga hasil dari forum-forum
diskusi atau seminar dengan tokoh lain yang pernah saya ikuti.”
I : “Menurut Buya, pemahaman masyarakat Indonesia tentang gender
saat ini bagaimana?”
HM : “Menurut saya secara umum masih stagnan dan jauh dari konservatif
ya, tapi ada kemajuan sedikit-sedikit. Sudah ada banyak komunitas-
101
komunitas, LSM yang memperjuangkan wanita. Pada umumnya masih
belum, masih ada sebagian masyarakat yang membatasi gerak
perempuan dan memandang subordinat, seperti pada sebagian hukum
dan undang-undang perkawinan tapi ada juga yang sudah maju”.
I : “Bagaimana menurut pandangan Buya tentang gender di lembaga
pendidikan Islam?”
HM : “Ya, seperti pada umumnya di kehidupan sosial masyarakat, masih
belum banyak perubahan. Bahkan di perguruan tinggi Islam sendiri
masih menggunkan sumber pemikiran dahulu, dengan kitab-kitab dan
pandangan-padangan lama. Saya bisa mengatakan seperti ini karena
saya pernah diminta oleh menteri pendidikan dan pemberdayaan
perempuan untuk membaca 20 karya akademik yang akan dijadikan
sumber dasar pendidikan. Saya mengatakan kepada mereka bahwa ini
harus direvisi, meskipun yang menulis buku itu mahasiswa S2 dan S3
tapi terjadi inkonsistensi dimana-mana, masih juga menggunakan
pandangan lama. Ada juga yang sudah menggunakan pemikiran baru
tapi masih banyak kurangnya.”
I : “Apakah ada pembahasan lain atau teori baru yang Buya kemukakan
mengenai perempuan?”
HM : “Ya, baru-baru ini saya dimintai pendapat oleh Kemang dan Menteri
Pemberdayaan Perempuan mengenai perempuan yang mengawinkan
dirinya sendiri. Semua bilang tidak boleh, diajaran Islam tidak boleh.
Tapi kalau menurut pandangan saya ya boleh kenapa tidak? Kalau
102
poligami, saya baru akan mengatakan tidak boleh. Hal ini yang
akhirnya membuat terjadinya dualisme hukum di masyarakat dalam
berbagai ruang. Contohnya, cerai harus di pengadilan, sebagian
masyarakat menyatakan laki-laki boleh menceraikan kapan dan dimana
saja, dalilnya ada, ulama juga mengatakan seperti itu.”
I : “Menurut Buya, perbedaan gender di Barat dengan di Indonesia
seperti apa?”
HM : “Pada umumnya sama dengan pemikiran gender yang di Barat, Mesir
maupun Indonesia, ada sedikit tokoh-tokoh yang analisis, pemikiran
dan perjuangannya sama dengan tokoh di Indonesisa. Ada yang
menganalisis hadis, tafsir, fiqh. Pada umumnya mereka menggugat
teori, ayat-ayat dan hadis-hadis yang meminggirkan perempuan. Karena
saya pernah mengenal beberapa dari mereka ketika dalam satu forum
musyawarah gloal yaitu organisasi dengan tokoh-tokoh dunia yang
bergerak untuk kaum perempuan. Pendekatannya saja yang berbeda,
ada yang hadis, fiqh dan tafsir”.
I : “Bagaimana menurut Buya cara untuk memperjuagkan kaum
perempuan khususnya bagi kaum milenial sekarang?”
HM : “Menurut saya ya semua harus bergerak, menghilangkan budaya
patriarki, seperi membetuk dan berkumpul dengan komunitas, LSM
atau yang lainnya yang bergerak dibidang feminis. Jika semua
menyadari pentingnya kesetaraan dan mau bergerak untuk kesetaraan
pasti akan ada kemajuan yang besar.”
103
I : “Selain dikaruniai 5 orang putra-putri, apakah Buya sudah memiliki
cucu?”
HM : “Saya sudah memiliki 3 orang cucu, 2 perempuan dari anak pertama
berada di Purwasari, Kediri dan 1 orang laki-laki dari anak kedua yang
berada di Banten.”
I : “Baik Buya, saya kira sudah cukup, mungkin ada kalimat terakhir
sebagai penutup”.
HM : “Begini, perempuan itu sumber kehidupan, perempuan itu sumber
peradaban, tergantung bagaiaman kita akan memperlakukan perempuan
seperti apa. Maka itulah wajah kebudayaan dan kehidupan. Kalau kita
membuat perempuan itu tegas, sehat, sabar, mandiri maka akan
menciptakan dunia yang tegas, sehat dan memiliki cara berpikir yang
hebat kerena semua sumber kehidupan berasal dan tergantung pada
perempuan”.
Daftar Lampiran Wawancara Kedua
Dilakukan pada hari Senin 23 September pukul 12.15 dengan narsumber KH.
Husein Muhammad melalui sambungan telepon whatsapp
IY : Indriyani Yuli Astuti (Penulis)
HM : KH. Husein Muhammad (Narasumber)
IY : “Bagaimana pendapat Buya Husein mengenai Pendidikan Islam
berbasis kesetaraan gender?”
104
HM : “Pendidikan itu merupakan hak semua rakyat baik laki-laki maupun
perempuan, mereka memiliki hak yang sama dalam menuntut ilmu.
Kita ini kan dituntut untuk dapat bekerja sama dalam melakukan amar
ma‟ruf nahi mungkar yaitu memerintah kebaikan dan melarang atau
mencegah untuk melakukan kemungkaran. Orang-orang tidak akan bisa
menyuruh untuk melakukan amar ma‟ruf nahi mungkar tanpa adanya
pengetahuan. Tidak ada masalah sama sekali kalau perempuan itu
menuntut ilmu apalagi Pendidikan Islam. Keduanya memiliki
kesempatan yang sama kok, bahkan menuntut ilmu sudah menjadi
kewajiban bagi kaum muslimin baik laki-laki maupun perempuan. Al-
Qur‟an sendiri juga lebih dulu menegaskan tentang perintah belajar
(membaca) daripada beriman. Bukan „berimanlah kamu kepada Allah‟
tetapi „Iqra‟ bacalah. Perintah ini juga bukan hanya ditujukan kepada
laki-laki ataupun perempuan saja, tetapi kepada semua makhluk Allah”
IY : “Apakah menurut Buya Husein pendidikan Islam di Indonesia sudah
menerapkan kesetaraan gender?”
HM : “Sudah itu, menurut saya baik di sekolah umum maupun di pesantren-
pesantren, mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi umum atau
keagamaan sudah membuka ruang yang sama untuk perempuan dan
laki-laki. Tidak ada pembatasan jumlah dalam menerima murid sesuai
jenis kelaminnya, semua memiliki kesempatan yang sama. Bahkan di
Indonesia sudah diterapkan wajib belajar 9 tahun atau minimal
setingkat SMA/SMK/MA itu berlaku untuk semuanya. Selain itu,
105
negara juga memberi fasilitas pendukung seperti beasiswa BOS dan
Bidikmisi bagi mereka yang tidak mampu. Itu menunjukkan bahwa
negara sangat mendorong warga negaranya dalam menuntut ilmu tanpa
membedakan jenis kelamin dan latar belakang lainnya. Karena
kemajuan sebuah bangsa harus dimulai dari pendidikan, semakin maju
pendidikannya maka akan semakin sejahtera pula bangsa tersebut.”
IY : “Apakah menurut Buya Husein adanya pemisahan ruang kelas sesuai
jenis kelamin dapat disebut tidak menyatakan kesetaraan gender?”
HM : “Tidak, itu tidak apa-apa, tidak bisa di sebut tidak menyetarakan
gender juga. Menurut saya itu hanya masalah teknis saja dalam
pengelolaan kelas. Bagaimana mengatur pembelajaran di dalam kelas,
bagaimana mengatur kondusifitas dalam kelas. Tapi intinya kan
kewajibanbelajar bagi laki-laki dan perempuan itu sama. Mengenai tata
car pengelolaan kelas dan sekolahnya ya disesuaikan dengan budaya,
tradisi urf‟ dan lain sebagainya yang ada di lingkungan tersebut. Mau
dipisah atau digabung tidak masalah. Mau duduk di lantai tanpa kursi
atau mau lengkap dengan meja dan kursi juga tidak masalah, mau
halaqohatau diskusi dan presentasi ya tidak menjadi masalah, itu hanya
teknis saja bukan prinsip. Yang paling penting itu jangan sampai ada
yang saling merendahkan, menghina, melakukan kekerasan satu sama
lain. Jadi terserah mau bagaimana caranya mengelola kelas tersebut,
kalau dalam satu ruang kelas itu terjamin kondusifitas dan kebaikannya
ya tidak apa-apa di campur antara siswa dan siswi asal tetap menjaga
106
kehormatan diri dan orang lain. Bahkan dalam sejarah Islam juga
disebutakn kalau para sahabat dan thabi‟in pada waktu itu saling
bertukar ilmu baik laki-laki maupun perempuan. Tapi kalau mau
dipisah antara kelas laki-laki dan kelas perempuan juga tidak apa-apa,
mungkin tradisi dan lingkungannya tidak mendukung dan
masyarakatnya juga belum menerima adanya pencampuran jenis
kelamin dalam satu kelas.”
IY : “Bagaimana dengan pengelolaan kelas Pondok Pesantren Dar‟at
Tauhid yang Buya Husein asuh? Apakah masih dengan sistem
pembedaan jenis kelamin atau sudah berada dalam satu ruang kelas
antara laki-laki dan perempuan?”
HM : “Iya, kalau disini sama saja, sudah campur itu satu kelas laki-laki dan
perempuan. Meskipun begitu, diruangan tertentu juga masih disediakan
hijab atau pembatas antara siswa dan siswi dalam pembelajarannya.
Menurut saya, lebih baik jangan terlalu formalitas seperti itu, kalau
siswa dan siswi dipisah dalam pembelajaran itu kan masih menyulitkan.
Yang penting itu, laki-laki dan perempuan sama-sama dididik dan
diajari agar tidak saling merendahkan. Laki-laki tidak boleh
merendahkan perempuan, begitu juga perempuan tidak boleh
merendahkan laki-laki, tidak boleh juga melakukan kekerasan, cuat-cuit
di dalam kelas juga tidak boleh. Jadi yang paling utama itu
pembentukan akhlak dari muridnya.”
107
IY : “Apakah materi pembelajaran yang diberikan kepada siswa dan siswi
di Pondok Pesanten Dar‟at Tauhid itu sama?”
HM : “Iya, sama persis semuanya. Tidak ada materi khusus untuk laki-laki
maupun materi khusus untuk perempuan. Bahkan di pelajaran haid,
nifas, kesehatan reproduksi dan lain sebagainya mengenai
keperempuanan juga diajarkan kepada laki-laki. Laki-laki juga
menerima materi itu, apalagi perempuan.”
IY : “Dalam pembelajaran mengenai keperempuanan dan kajian kitab
kuning seperti yang dijelaskan tadi, apakah pengelolaan kelasnya juga
dijadikan satu antara laki-laki dan perempuan?”
HM : “Iya, dijadikan satu. Setiap ngaji kitab kuning itu dijadikan satu. Di
dalam kitab kuning itukan tidak hanya ada bab-bab tentang
keperempuanan tetapi ada juga tentang keimanan, makanya dalam
pembelajarannya kita jadikan satu anatara siswa dan siswi. Pada bab
haid, nifas dan kesehatan reproduksi itukan ditujukan untuk semuanya
tidak hanya perempuan, laki-laki juga harus memahami itu. Jadi agar
mereka mengerti kalau misalkan perempuan sedang haid itu sakit,
emosinya tidak terkontrol apalagi tidak boleh dipaksa untuk melakukan
hubungan seks. Itulah pentingnya memberikan pembelajaran yang sama
antara laki-laki dan perempuan.”
IY : “Bagaimana dengan kurikulum yang diterapkan di Pondok Pesantren
Dar‟at Tauhid yang Buya Husein asuh?”
108
HM : “Kita masih menggunakan kurikulum tradisional seperti hampir
28.000 pesantren yang ada di Indonesia. Masih dengan kajian kitab
kuning, seperti nahwu sharaf, sistemnya masih dengan halaqoh, tabligh
dan lain sebagainya.”
IY : “Apakah lingkungan masyarakat di Pondok Pesantren Dar‟at Tauhid
sudah mendukung praktek kesetaraan gender?”
HM : “Kalau prakteknya sudah, tapi jangan tanya lagi hukumnya
bagaimana. Kalau sesuai hukum nanti kembali lagi, ini tidak boleh itu
tidak boleh. Misalkan anak perempuan datang dari jauh kesini sendirian
tidak ditemani oleh mahramnya, tidak akan menjadi masalah disini,
semuanya akan baik-baik saja. Tapi kalau ditanya hukumnya boleh atau
tidak, ya pasti tidak boleh karena itu sudah ada hadisnya sendiri kalau
perempuan berpergian jauh harus ditemani dengan mahromnya.
Jadi sebenarnya sudah ada realitas yang lebih baik tapi masih ada juga
pendangan yang belum berubah dari dulu. Pandangan yang perempuan
tidak boleh ngobrol dengan laki-laki pada prakteknya disini sudah
banyak dilakukan oleh anak-anak dan memang kami perbolehkan. Tapi
kalau ditanya lagi hukumnya bagaimana, ya pasti tidak boleh. Menurut
saya hukum tersebut harus dirubah, tidak akan menjadi masalah jika
laki-laki dan perempuan ngobrol dan diskusi bersama selagi tidak
menyalahi norma kesopanan dan akhlakul karimah.”
109
IY : “Apakah menurut Buya Husein pembelajaran tentang keperempuanan
seperti yang telah di praktekkan oleh madrasah dapat diterapkan di
sekolah umum?”
HM : “Menurut saya, pendidikan agama yang sifatnya universal masih
relevan diterapkan di sekolah umum, tetapi kalau untuk yang bersifat
khusus seperti kajian kitab kuning itu tidak relevan diterapkan di
sekolah umum. Karena bagaimanapun juga dalam sekolah umum pasti
tidak hanya ada kaum muslim tetapi ada juga yang non muslim. Jadi,
biarkan pendidikan agama secara khusus menjadi tugas dan ranah dari
madrasah atau pondok pesantren jangan di samakan dengan pendidikan
umum.”
IY : “Apakah di Pondok Pesantren Dar‟at Tauhid ada pembelajaran atau
keterampilan khusus yang diajarkan kepada siswi perempuan?”
HM : “Kalau kursus-kursus khusus seperti menjahit, menganyam dan lain
sebagainya belum ada. Disini hanya diajarkan keterampilan pidato,
batsul masail, ceramah dan lain sebagainya yang dilaksanakan setiap
minggu. Dalam pelaksanaannya juga ditujukan kepada semuanya baik
laki-laki maupun perempuan. Untuk tempatnya juga berada dalam satu
ruang, sistemnya juga bergiliran. Laki-laki pidato, perempuan
mendengarkan begitu juga sebaliknya, tidak pernah ada masalah. Saya
selalu menekankan kepada mereka untuk saling menghormati, tidak
melecehkan, merendahkan dan mengganggu satu sama lain. Silakan
mengobrol dan bediskusi jadi satu tetapi tetap menjaga adab dan
110
akhlaknya sebagai seorang santri. Jadi dapat dikatakan bahwa pada
prakteknya di pesantren kami sudah menerapkan kesetaraan gender.”
111
Lampiran 6
112
113
114
Lampiran 7