KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA (MPU)
DALAM PENENTUAN KEBIJAKAN PENERAPAN SYARI’AT ISLAM
DI KABUPATEN ACEH TENGGARA
Oleh:
Hady Warman
NIM: 1320311105
TESIS
Diajukan kepada
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh
Gelar Magister Sosial (M.Sos.)
Program Studi Hukum Islam
Konsentrasi Studi Politik dan Pemerintahan Dalam Islam
YOGYAKARTA
2018
PERNYATAANKEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
NTM
Program
Program Studi
Judul Tesis
: Hady Warman
: 132031 1105
: Magister ( 52 )
: Hukum Islam
: Kewenangan Majelis Permusyawaratan lIlama (MptI) Dalam
penenhran kebijakan syariat Islam di Kabupaten Aceh Tenggara
Menyatakan bahwa naskah resis ini secara keseluruhan adalah hasil penelitianlkarya saya
sendiri kecuali pada bagian yang dirujuk sumbemya.
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
NIM
Program
Program Studi
Judul Tesis
: Hady Warman
:1320311105
: Magister ( 52 )
: Hukum Islam
: Kewenangan Majelis Pennusyawaratan tllama (MpU) Dalam
penentuan kebijakan syariat Islam di Kabupaten Aceh Tenggara
Menyatakan dengan sesunggubnya tesis ini secara keselwuhan adalah murni hasil karyasaya sendiri dan bukan plagiasi sebagian atau keseluruhan dari karya orang lain, kecualipada bagian-bagian yang dirujuk sebagai sumber pustaka sesuai dengan aturan penulisanyang berlaku. Apabila di kernudian hari terbukti bahwa tesis saya ini merupakan plagiasi
karya orang lain, maka saya sanggup menerima sangsi akademik dari dosen yangbersangkutan.
Yogyakarta, 30 April 2018
Yang menyatakan
NIM. 132031110s
Tesis berjudul
Nama
NIM
Jenjang
Progam Studi
Konsentrasi
Waktu
Hasil,/Nilai
Predikat Kelulusan
* Coret yang tidak perlu
PERSETUJUAN TIM PENGUJIUJIAN TESIS
KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARANULAMA (MPU) DALAM PENENTUANKEBIJAKAN PENERAPAN SYARIAT ISLAMDI KABUPATEN ACEH TENGGARA
Hady Warman
1320311105
Magister (S2)
Hukum Islam
Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam
Telah disetujui tim penguji ujian munaqosyah
Ketua/Penguj i : Dr. Sunarwoto, MA.
Pembimbing/Penguj i : Dr. Subaidi, M.Si
Pengui i : Najib Kailani, S.Fi1.I., M.A., Ph.D.
diuji di Yogyakarta pada tanggal 30 Mei 2018
rf,rc, ruy,
: 09.00 - 10.00 WIB
: 84/B+
: Memuaskan / Saagat Memuaskan / Cum Laude*
NOTA DINAS PEMBIMBING
Kepada Yth.
Direktur Program Pascasari ana
UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
Ass alamu' alaikltm wr. wb.
Setelah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi terhadap penulisan tesis berjudul
KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN I]LAMA (MPq DALAMPENENTUAN KEBIJAKAN PENERAPAN SYAR]AT ISLAM DI KABUPATEN ACEH
TENGGARA
Yang ditulis oleh:
Nama
NIM
Program
Program Studi
Konsentrasi
Hady Warman
1320311105
Magister ( 52 )
Hukum Islam
Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam
Saya berpurdapat bahwa tesis tersebut di atas sudah dapat diajukan kepada program
Pascasa{ana UIN Sunan Kalijaga untuk diujikan dalam rangka memperoleh gelar Magister
Studi Islam.
Was sa lamu' alailnrz, wr. wb.
27 April 2018
vii
MOTTO
Setiap kesusahan pasti ada Kemudahan
Berbakti kepada orang tua
Bersyukur dalam hidup
Dan mengabdi untuk Agama
(Hady Warman Kasrun)
viii
PERSEMBAHAN
Tesis ini penulis persembahkan untuk:
Almamaterku
Program Hukum Islam
Konsentrasi Studi Politik Dan Pemerintahan Dalam Islam
Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
ix
ABSTRAK
Esksistensi ulama tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat Aceh, terutama kaitannya dengan syariat Islam yang menjadi identitas daerah tersebut. Namun, setelah Indonesia merdeka peranan itu berkurang, terutama dalam penentuan kebijakan publik. Sempat meredup paska Indonesia merdeka, perjuangan penerapan syariat Islam mendapatkan momentumnya pada tahun 1999 yang sekaligus adanya pengakuan peran para ulama dalam pengambilan kebijakan daerah di Aceh. Formalisasi peran ulama itu kemudian terwujud secara kelembagaan bernama Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang oleh Qanun No. 2 Tahun 2009 dibagi menjadi dua, yakni MPU Aceh dan MPU Kabupaten/Kota.
Dalam usia yang akan memasuki dua dekade paska UU No. 44 Tahun 1999, penelitian ini hendak melihat penentuan kewenangan dan peran seperti apa yang telah dilakukan oleh MPU Aceh Tenggara dalam pembentukan kebijakan dan penerapan syariat Islam. Hal tersebut dirumuskan dalam dua masalah pokok penelitian ini, yaitu: Pertama, bagaimana kewenangan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dalam menentukan kebijakan tentang syariat Islam di Aceh Tenggara? Kedua, Bagaimana peran Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dalam penerapan syariat Islam di Aceh Tenggara?
Untuk menjawab masalah tersebut, peneliti menggunakan pendekatan yuridis-empiris karena akan melihat secara detail kewenangan MPU Aceh Tenggara berdasarkan peraturan yang berlaku, dan lalu mengkonfirmasi penerapannya ke ranah empiris (lapangan). Oleh karenanya, data yang digunakan peneliti utamanya adalah data primer yang dikumpulkan melalui jalur observasi dan wawancara. Selain itu, data primer tersebut didukung pula dengan bahan jadi yang dikumpulkan melalui jalur dokumentasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan: Pertama, kewenangan yang dimiliki MPU Aceh Tenggara merujuk sepenuhnya kepada ketentuan Pasal 5 ayat (2) Qanun Aceh No. 2 Tahun 2009, yakni: 1. Melaksanakan dan mengamankan fatwa yang dikeluarkan oleh MPU; dan 2. memberikan pertimbangan dan masukan kepada pemerintah kabupaten yang meliputi bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang Islami. Lebih lanjut, Pasal 5 ayat (2) tersebut perlu disandingkan dengan Pasal 6 ayat (2) yang mengatur tentang tugas-tugas MPU kabupaten/kota.
Kedua, peran MPU dalam penerapan syariat Islam (dalam arti luas) di Aceh Tenggara terwujud dalam berbagai kegiatan yang dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Kesatu, peran MPU Aceh Tenggara dalam penerapan syariat Islam. Peran ini dilakukan melalui jalur kerjasama institusional dengan Pemerintahan Daerah dan instansi vertikal lainnya di Kabupaten Aceh Tenggara serta sejumlah organisasi Islam di daerah tersebut. Kedua, peran MPU Aceh Tenggara dalam pengawasan penerapan syariat Islam, yang merupakan kelanjutan dari kebijakan yang telah mendapat saran dan rekomendasi dari MPU Aceh Tenggara. Ketiga, peran MPU Aceh Tenggara dalam penguatan pemahaman masyarakat terhadap syariat Islam. Peran ini, oleh MPU Aceh Tenggara, diwujudkan dalam kegiatan seperti safari dakwah, muzakarah ulama dan pendidikan kader ulama.
Kata kunci: Ulama, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Syariat Islam.
x
KATA PENGANTAR
��ا ر��ل هللا وا���ة وا���م � � ا�ف ا�����ء ّ��� ' رّب ا�%����$, ا�!� ان � ا �" ا� هللا وا�!� اّن ��ا�
�$ و� � آ�" وا+��)" ا*�%�$. اّ�� )%��� وا�
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala
puji bagi Allah SWT, yang telah memberi taufik, hidayah dan rahmat-Nya sehingga peneliti
dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.
Juga keluarganya serta semua orang yang menempuh jalannya.
Selama penulisan tesis ini tentunya kesulitan dan hambatan telah dihadapi. Dalam
mengatasinya peneliti tidak mungkin dapat melakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain.
Atas bantuan yang telah diberikan selama penelitian maupun dalam penulisan Tesis ini,
peneliti mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Drs. KH. Yudian Wahyudi, MA., Ph.D., Selaku Rektor UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
2. Prof. Noorhaidi, MA., M.Phil., Ph.D., Selaku direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, yang telah memberikan kemudahan dan kesempatan kepada penulis untuk
selama proses pendidikan.
3. Ro’fah, BSW., Selaku Kordinator Program Studi Magister (S2) Hukum Islam dan
jajarannya, atas segala kemudahan dan kebijakan yang diberikan kepada penulis untuk
melancarkan administrasi selama perkuliahan dan proses penyelesaian tesisi ini.
4. Dr. Subaidi, M.Si., sebagai pembimbing sekaligus sebagai penguji tesis yang telah
meluangkan waktu, mencurahkan pikiran, mengarahkan serta memberikan petunjuk
dalam penulisan tesis ini dengan penuh kesabaran.
5. Dr. Sunarwoto, MA., dan Najib Kailani, S.Fil.I., MA., Ph.D. selaku penguji dalam
penyelesaian Tesis ini.
xi
6. Segenap dosen dan karyawan yang ada di lingkungan Magister Pascasarjana yang telah
memberikan didikan, perhatian, serta sikap ramah dan bersahabat yang telah diberikan.
7. Ibu dan Ayahku, serta kedua Mertuaku yang selalu mendoakan dan memberi semangat
kepadaku.
8. Istriku tercinta, Radhiah, S.Pd.I., M.Pd.I., serta Putriku Aishe Putri Soliha Kasrun yang
menjadi penyemangatku dalam menyelesaikan tesis ini.
9. kakak, dan adik-adikku, Hadya Hasra, Jumika Mayyana, Devi Salma, Maria Ulpa sari,
Mona Lisa, Mar’atul Azizah, Azzah Azdakiyah, Rahmatillah, Tengku Dahnil dan
Nurhadijah.
10. Sahabat-sahabatku, Bapak Tengku Syakirin, Bang Sufriadi, Bang Yasir Arafat, M.Idris,
Keluarga Ikamara, Cahaya Imani, dan semua sahabat perjuangan Pascasarjana
2013,2014, yang telah memberikan banyak pelajaran akan pentingnnya sebuah
kebersamaan, kepedulian, dan kejujuran.
Peneliti sangat menyadari, bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
peneliti mengharapkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Semoga tesis ini
bermanfaat bagi peneliti khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Yogyakarta, 31 Maret 2018
Peneliti,
Hady Warman
NIM: 1320311105
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN ......................................................................................... ii
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI.............................................................. iii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................... iv
PERSETUJUAN TIM PENGUJI .................................................................................. v
NOTA DINAS PEMBIMBING ..................................................................................... vi
HALAMAN MOTTO .................................................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................................... viii
ABSTRAK ...................................................................................................................... ix
KATA PENGANTAR .................................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................................... xii
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
A. Latar Belakang Penelitian .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................... 9
D. Kajian Pustaka ................................................................................................ 10
E. Landasan Teoritis ........................................................................................... 12
F. Metode Penelitian ............................................................................................ 18
1. Lokasi Penelitian ......................................................................................... 18
2. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian ................................................ 18
3. Sumber Data ................................................................................................ 19
4. Teknik Pengumpulan Data .......................................................................... 19
5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ........................................................ 20
G. Sistematika Pembahasan ................................................................................ 21
BAB II. KEISTIMEWAAN PROVINSI ACEH DAN KEDUDUKAN MPU
SEBAGAI ELEMEN PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI ACEH ............. 22
A. Gambaran Umum Konsep Desentralisasi Indonesia; Desentralisasi
Asimetris ......................................................................................................... 22
B. Meninjau Seputar Status Keistimewaan Aceh ........................................... 28
1. Status Daerah Provinsi Aceh dalam Kerangka Desentralisasi ................... 28
xiii
2. Lintas Sejarah Keistimewaan Aceh Sebelum UU No. 11 Tahun 2006 ...... 37
3. Materi Muatan Kebijakan Keistimewaan Aceh dalam UU 11 Tahun
2006 ............................................................................................................ 47
C. Penerapan Syariat Islam sebagai Wujud Keistimewaan Aceh ................... 52
1. Syariat Islam di Aceh dan Pengaturannya Dalam Qanun ........................... 52
2. Sistem Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh ................................................. 60
D. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Sebagai Elemen Penerapan
Syariat Islam di Aceh .................................................................................... 65
BAB III. TATA KERJA MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA (MPU)
SEBAGAI MITRA KERJA LEMBAGA PEMERINTAHAN DI
KABUPATEN ACEH TENGGARA ........................................................... 71
A. Deskripsi Singkat Kabupaten Aceh Tengga ............................................... 71
B. Pembentukan Majelis Permusyawaran Ulama (MPU) Aceh Tenggara
dan Struktur Kepengurusan ........................................................................ 73
C. Tata Kerja MPU Aceh Tenggara sebagai Mitra Kerja Pemerintah dan
DPRK Aceh Tenggara ................................................................................... 83
BAB IV. ANALISIS TERHADAP KEWENANGAN DAN PERAN MAJELIS
PERMUSYAWARATAN ULAMA (MPU) DALAM PEMBENTUKAN
KEBIJAKAN DAN PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI
KABUPATEN ACEH TENGGARA ............................................................ 89
A. Kewenangan MPU dalam Menentukan Kebijakan tentang Syariat
Islam di Aceh Tenggara ................................................................................ 89
1. Batasan dan Lingkup Kewenangan MPU Aceh Tenggara ......................... 89
2. Pelaksanaan Kewenangan MPU Aceh Tenggara (Tinjauan Yuridis) ........ 95
B. Implementasi Kewenangan MPU Aceh Tenggara dalam Pembentukan
Kebijakan tentang Syariat Islam ................................................................. 98
C. Peran MPU Seputar Penerapan dan Pengawasan Penerapan Syariat
Islam di Aceh Tenggara ................................................................................ 106
1. Peran MPU dalam Penerapan Syariat Islam di Aceh Tenggara ................. 106
2. Peran MPU Aceh Tenggara dalam Pengawasan Penerapan Syariat Islam . 117
3. Peran MPU Aceh Tenggara dalam Penguatan Syariat Islam ..................... 121
xiv
BAB V. PENUTUP ......................................................................................................... 127
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 127
B. Saran ................................................................................................................ 129
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 131
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Studi-studi sosial, keagamaan dan pemerintahan di Aceh menununjukkan
bahwa keberadaan ulama di masyarakat sangat sentral dan menentukan, baik
ditinjau dari perspektif sejarah lahir dan perkembangan eksistensi syariat Islam di
Aceh maupun kekiniaan. Ulama merupakan sosok yang memainkan peranan
penting dalam segala sendi kehidupan masyarakat dan pemerintahan. Salah satu
identitas utama masyarakat Aceh kini yang identik dengan keislaman, bahkan
dapat disebut bermula dari jasa dan peran para ulama.1 Dalam perjalanannya, para
ulama memegang posisi sentral, terutama ketika agama Islam telah memasuki
kemapanannya melalui kerjaan-kerajaan islam di aceh. Dalam berbagai rujukan,
dijelaskan bahwa ulama di Aceh masa-masa itu memiliki peran yang meliputi
segala sisi kehidupan masyarakat dan pemerintahan.
1 Beberapa literatur dan hasil ‘Seminar Masuknya Islam di Indonesia’ pada tahun 1963 di
Medan menyimpulkan bahwa Islam telah masuk ke bumi nusantara pada abad ke-7 Masehi (abad 1 Hijriah) dari Hadramaut (Arab) oleh para pedagang. Hanya saja, gelombang penyebaran agama Islam di Nusantara secara intensif dimulai abad ke 13 M. Beberapa ahli mengungkapkan keberhasilan penyebaran Islam yang dimulai dari Aceh adalah karena gerakan ini mampu menselaraskan ajaran Islam dengan budaya masyarakat setempat, sehingga mampu menghadirkan ajaran Islam yang sangat fleksibel dan harmoni. Hal ini juga disokong oleh pembawa dan penyebar Islam pertama yang bermazhab Syafi’i yang dinilai memiliki fleksibilitas dan kesesuaian dengan masyarakat. Baca Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris, (Yogyakarta: LKiS, 2005), 33; Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: LkiS 2001), 112-114; Nurcholis Madjid, Islam Doktrin Dan Pradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, (Jakarta: Paramadina, 1992), 235. Aboebakar Atjeh mengungkap, ketika Marco Polo berlayar dari pelabuhan Cina Selatan hingga sampai ke Sumatera dan singgah di Perlak (sekarang terdapat di Aceh Timur) pada tahun 1292, telah eksis masyarakat Islam di bawah Kerajaan Perlak dimana penduduknya tunduk pada undang-undang Islam. Lihat, Aboebakar Atjeh, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, (Solo: CV: Ramadhani, 1985), 13
2
Dalam kapasitasnya sebagai elit agama yang berpengetahuan luas, ulama
di Aceh memegang otoritas tafsir utama bahkan tunggal terhadap perbagai teks
keislaman seperti Al Qur’an, hadits dan fiqh di Aceh. Ketergantungan masyarakat
terhadap para ulama ditambah dengan justitifikasi norma agama dan perbagai
tafsir terhadap ajaran-ajarannya yang mensakralkan posisi mereka yang pada
gilirannya menempatkan ulama tampil sebagai agen (aktor) sosial yang sangat
berwibawa sehingga seruan-seruan mereka senantiasa diikuti secara fanatik oleh
masyarakat Aceh.2 Para ulama di Aceh tidak luput dalam peran pendidikan dan
pembimbingan masyarakat Aceh, baik dalam bentuk formal melalui lembaga
pendidikan dayah,3 maupun bimbingan secara langsung melalui dakwah-dakwah
keislaman.
Di sisi lain, realitas masyarakat Aceh sebagai penganut agama Islam
fanatik yang menempatkan ajaran-ajaran Islam sebagai satu-satunya basis nilai
dan sistem pandangan dunia (world view) telah menjadi material sinergis bagi
dominannya kewibawaan ulama di Aceh yang tidak hanya pada ranah keagamaan
tetapi juga melingkupi wilayah sosial, budaya dan politik praktis sekaligus.4
Bahkan peran ulama dalam pemerintahan tidak pernah dapat dikesampingkan,
karena peran itu berlangsung sangat panjang, sepanjang keberadaan kerajaan-
kerajaan Islam di Aceh.
2 Nirzalin, Krisis Agensi Politik Teungku Dayah di Aceh, Ringkasan Disertasi, Program Doktor
Sosiologi, (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2011), 1. 3 Dayah adalah Lembaga Pendidikan Islam tradisional di Aceh yang meskipun tidak persis
sama sepadan artinya dengan pesantren di wilayah Indonesia lainnya. Para pemimpin Lembaga ini, dikenal dengan sebutan Teungku Dayah, yang merupakan ulama panutan masyarakat di Aceh. Lihat, M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh, (Lhoksumawe: Nadya Foundation, 2003), 33. Baca juga Nirzalin, ibid, 1-2.
4 Mengenai pergulatan politik ulama di Aceh, Baca Isa Sulaiman, Sejarah Aceh; Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), 10-15.
3
Riwayat hubungan antara penguasa dengan para ulama dalam sejarah
Aceh dapat dirujuk semenjak dari kerajaan Islam Pasai berdiri (1270), ulama telah
mengambil peranan sebagai penasihat agama bagi para raja. Malik al-Zahir (w.
1326) bahkan pernah mendatangkan para ulama dari Makah, Persia, India dan dari
berbagai-bagai kawasan lain untuk dirujuk pendapatnya dan dijadikan sebagai
penasihat pemerintah.5
Peranan ulama dalam pemerintahan Kesultanan Aceh juga dapat dilihat
dari pengangkatan beberapa ulama sebagai mufti kerajaan ataupun sebagai
penasihat raja. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Syeikh Shams al-
Din al-Sumatrani diangkat sebagai penasihat dan mufti Kerajaan Islam Aceh
Darussalam (1607-1636) dengan gelaran Syeikh al-Islam yang bertanggung jawab
mengurus perihal keagamaan, selain juga kerap terlibat dalam permasalahan
politik.6 Sementara pada masa pemerintahan Sultan Iskandar al-Thani, Nuruddin
al-Raniry diangkat sebagai Qadi al-Malik al-‘Adil dan Mufti Mu’addam. Masa
pemerintahan empat orang ratu di Aceh (1641-1699), Syaikh Abdul Rauf al-
Singkil yang dikenali dengan Syiah Kuala dilantik sebagai Mufti dan Qadi al-
Malik al-‘Adil. Mereka tidak hanya sebagai penasihat akan tetapi memainkan
peranan penting dalam penetapan kebijakan kerajaan bahkan memberi saran dan
arahan dalam tatanan politik pada masa itu.7
Peran dan kedudukan para ulama di aceh pada dasarnya tidak meredup,
baik setelah kerajaan-kerajaan Islam di Aceh redup dan jatuh pada masa
5 Amiruddin, Ulama Dayah Pengawal, 7. Lihat juga, Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya,
Dan Tradisi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), 171. 6 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, (Jakarta: CV
Rajawali, 1983), 27. 7 Lihat, Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya, 128-129.
4
penjajahan, perjuangan kemerdekaan Indonesia hingga Indonesia
memproklamirkan diri sebagai negara merdeka. Hanya saja, peran mereka dalam
dimensi politik dan pemerintahan tidak lagi berjalan sebagaimana sebelumnya
karena adanya penjajahan tersebut. Berbagai faktor tentu saja memberi pengaruh
atas hal tersebut, termasuk perbedaan dinamika penyelenggaraan negara dan
pemerintahan dibanding masa sebelumnya serta pasang surut di tubuh internal
ulama Aceh sendiri. Khusus mengenai hal yang terakhir tersebut, M. Hasbi
Amiruddin dalam sebuah tulisannya bahkan berpendapat perlunya memaknai
kembali fungsi dan tugas ulama di Aceh.8
Perbedaan sistem penyelenggaraan negara dan pemerintahan Indonesia
sendiri menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi kedudukan dan
peran ulama, tidak seperti pada masa kerajaan. Hal ini tentu saja beralasan karena
baik dari sisi kewilayahan yang luas dan masyarakat Indonesia yang beragam,
termasuk dari sisi agama yang dianut, Indonesia telah ditetapkan sebagai negara
republik dengan berlandas pada konstitusi. Pada gilirannya, keberadaan dan peran
ulama di Aceh menjadi lebih bersifat sektoral: terbatas bidang tertentu (baca:
syariat Islam dan bimbingan keislaman bagi masyarakat), kondisi dan juga
daerah-daerah tertentu yang beragama Islam yang bersifat tidak mengikat. Dalam
8 M. Hasbi Amiruddin menyebutkan tiga faktor sulitnya memberikan gambaran kedudukan
ulama Aceh pada masa kini. Pertama, Aceh dilanda konflik bersenjata, terhadap kenyataan itu ulama Aceh tidak memberi jawaban dan gambaran yang jelas berpihak kemana. Kedua, lembaga pendidikan agama seperti dayah tidak memiliki peran penting dalam perkembangan pendidikan dan masyarakat Aceh. Ketiga, para ulama dewasa ini sering terjadi perbedaan pendapat yang tajam dan pada giliran akhir sering terjadi pada murid-murid mereka saling mengklaim pendapat gurunya yang paling benar. Berdasarkan tiga faktor di atas maka posisi ulama harus dimaknai kembali fungsi dan tugasnya. Lihat dalam Kamaruzzaman Bustamam Ahmad dan Hasbi Amiruddin sebagaimana dikutip oleh Muhammad Suhaili Sufyan, Peranan Majelis Permusyawaratan Ulama dalam Sistem Pemerintahan Aceh, Tesis, (Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya Kuala Lumpur, Malaysia, 2016), 21-22
5
kondisi demikian, meskipun tidak persis sama, keberadaan dan peran ulama di
Aceh dapat disandingkan dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Dalam konteks Aceh dan masyarakatnya, penerapan syariat Islam menjadi
bagian dari perjuangan, sesuai dengan frame pemikiran bahwa syariat Islam
adalah identitas daerah ini. Selain itu, terungkap pula dokumen dan fakta sejarah
perjalanan Republik Indonesia yang menempatkan Aceh sebagai daerah yang
berhak memperoleh identitas tersebut. Namun, perjalanan waktu menunjukkan
pasang surut pemenuhan pemberlakuan syariat Islam, sehingga turut menjadi
bagian latar belakang munculnya gejolak di Aceh.
Perjuangan masyarakat Aceh itu baru menemui momentumnya setelah
reformasi, tepatnya ketika diterbitkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Lahirnya UU tersebut memulai kondisi baru kaitannya dengan penerapan syariat
Islam, dengan ranah legislasi menjadi langkah awal untuk merealisasikannya.
Berbagai qanun (setingkat Peraturan Daerah) tentang syariat Islam mulai disusun,
diterbitkan dan diberlakukan di bumi Serambi Mekkah. Kondisi ini sekaligus
membangkitkan kembali peran ulama di Aceh, suatu bidang yang memang tidak
bisa dilepaskan dari kedudukan ulama. Melalui langkah legalisasi pula,
kedudukan ulama secara kelembagaan di Aceh diformalisasi dengan nama Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU), yang pertama sekali diatur melalui Peraturan
Daerah Istimewa Aceh No. 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan
Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Propinsi Daerah Istimewa
Aceh. Formalisasi itu sejatinya telah membuka tabir yang selama ini menjadi
6
“penghalang” peran ulama Aceh dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat
dan pemerintahan sebagaimana masa-masa sebelumnya. Qanun No. 2 Tahun 2009
tentang MPU menegaskan keberadaan peran ulama Aceh dalam berbagai bidang
kehidupan masyarakat dan pemerintahan di Aceh, termasuk penerapan syariat
Islam. Khusus dalam penerapan syariat Islam, para ulama Aceh bahkan dapat
turut menyiapkan rancangan qanun yang disponsori oleh MPU Aceh.
Hanya saja, dalam usia yang sudah memasuki dua dekade, kesan
penerapan syariat Islam di Aceh masih saja terkesan minor. “Suara sumbang”
muncul dari berbagai kalangan masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat Aceh
sendiri sebagai respon rasa tidak maksimalnya penerapan syariat Islam. Respon
itu memang seperti dikonfirmasi dengan baik oleh berbagai peristiwa yang
mencerminkan kondisi negatif masyarakat Aceh seperti penyalahgunaan narkoba,
menggeliatnya prostitusi, korupsi pejabat pemerintahan dan tindak pidana lainnya.
Kondisi tersebut seakan menutup beberapa aspek penerapan syariat yang
sebetulnya mengalami kemajuan, seperti dalam bidang pengaturan dan penerapan
peraturan-peraturan di dalam qanun.
Berkaitan dengan ini, Hafifuddin mengungkapkan tiga asumsi dasar
berkaitan dengan munculnya kesan negatif terhadap penerapan syariat Islam di
Aceh. Pertama, bahwa syari’at Islam yang ada sekarang belum sempurna sesuai
harapan karena qanun syari’at Islam yang ada sekarang sangat terbatas jumlahnya.
Kedua, bahwa kalau syari’at Islam hanya sebatas formalisasi belum menyentuh
hal substansi, maka sesungguhnya syari’at Islam belum dilaksanakan. Ketiga,
komitmen pemerintah dan aparat penegak hukum serta prilaku masyarakat belum
7
mendukung untuk berjalannya syari’at Islam yang kaffah di Nanggroe Aceh
Darussalam. Keempat, syari’at Islam agar lebih mudah berjalan apabila dilakukan
dengan pendekatan kultural, yaitu dengan memperhatikan sisi adat budaya
masyarakat. Namun dipihak lain menginginkan syari’at Islam murni dari Al
Qur’an dan Hadis, bebas dari kultur dan budaya lokal.9 Asumsi-asumsi tersebut
agaknya dapat ditambahkan pula dengan keterbatasan lingkup penerapan syariat
Islam di Aceh. Syariat Islam yang sejatinya melingkupi segala aspek kehidupan
masyarakat, tidak dapat teralisasi karena benturan sistem kenegaraan yang dianut
di Indonesia. Faktanya, seperti disebut di atas, berbagai tindak pidana tersebut
sebagian besar tidaklah masuk dalam kerangka syariat Islam (qanun) di Aceh
dalam penanganannya, melainkan masuk dalam penegakan hukum secara
nasional. Tapi tetap saja, pandangan masyarakat Aceh secara umum sejak awal
telah mendudukkan syariat Islam sebagai solusi untuk menata dan memperbaiki
kondisi masyarakat, sehingga ketika hal-hal tersebut masih eksis dan justru
berkembang, penilaian kegagalan penerapan syariat Islam di Aceh turut
tergeneralisir.
Lebih jauh, penilaian dan respon yang muncul di masyarakat tidak pelak
juga menimpa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) di Aceh. MPU berisi
sosok-sosok yang memiliki kedudukan yang mulia bagi masyarakat Aceh (ulama-
ulama) karena memiliki pengetahuan yang mapan terhadap syariat Islam sehingga
secara kelembagaan memiliki otoritas dalam mengembangkan dan menegakkan
syariat Islam. Praktis, mereka dituntut untuk berperan aktif dan positif dalam
9 Hafifuddin, Ulama dan Penerapan Syariat Islam di Aceh, Tesis, (Program Pascasarjana IAIN
Sumatera Utara, Medan, 2013), 10
8
bidang ini. Sebaliknya, penilaian gagal dari masyarakat dalam penerapan syariat
Islam maka tidak pula dapat dihindari munculnya anggapan minor terhadap
lembaga MPU.
Secara kelembagaan, peraturan yang berlaku membagi MPU kepada dua,
yakni MPU Aceh dan MPU Kabupaten/Kota. MPU-MPU di daerah Aceh
dirancang dengan prinsip kemandirian masing-masing, dalam arti MPU Aceh dan
MPU Kabupaten/Kota adalah lembaga-lembaga yang terpisah, yang meskipun
memili tugas, fungsi dan bidang yang sama namun secara kelembagaan tidak
memiliki hierarki/hubungan satu sama lainnya, kecuali sebatas koordinatif. Di sisi
lain, dalam Qanun tentang MPU tahun 2009 ditetapkan adanya sejumlah
kewajiban bagi MPU Kabupaten/Kota untuk melaksanakan sesuatu yang
pokoknya berasal dari MPU Aceh.10
Penelitian ini sendiri lebih lanjut akan melihat bagaimana kewenangan dan
peran MPU Kabupaten Aceh Tenggara baik dalam konstruksi kelembagaan
tersebut dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh Tenggara. Realitas masyarakat
di kabupaten ini adalah yang paling beragam, termasuk dari sisi agama yang
dianut, dibanding daerah-daerah di seluruh Aceh menjadikan penelitian ini
menarik. Meskipun tidak dalam posisi untuk membuktikan apakah daerah ini
termasuk menimbulkan kesan tidak maksimalnya penerapan syariat Islam bagi
Aceh secara keseluruhan, penelitian ini diperlukan dalam rangka memetakan
bagaimana dan seperti apa otoritas dan peran MPU Aceh Tenggara sejauh ini
dalam penerapan syariat Islam.
10 Pasal 6 ayat (3) Qanun No. 2 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Ulama.
9
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut di atas, maka muncul
permasalahan pokok, yaitu:
1. Bagaimana kewenangan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dalam
menentukan kebijakan tentang syariat Islam di Aceh Tenggara?
2. Bagaimana peran Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dalam penerapan
syariat Islam di Aceh Tenggara?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan kewenangan Majelis Permusyawaran Ulama (MPU)
dalam menentukan kebijakan penerapan syariat Islam di Kabupaten Aceh
Tenggara
2. Untuk menganalisis dan mendeskripsikan peran Majelis Permusyawaratan
Ulama (MPU) dalam penerapan syariat Islam di Aceh Tenggara
Sementara kegunaan penelitian ini adalah:
1. Memberikan kontribusi bagi para akademisi, peneliti dan pihak lainnya
dalam bidang keilmuan sehingga dapat menambah referensi (rujukan)
dalam rangka menggali dan lebih lanjut menyimpulkan kewenangan
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Tenggara dalam kerangka
penerapan syariat Islam.
2. Selain untuk para akademisi dan pihak dalam profesi keilmuan lainnya,
hasil penelitian ini juga diharapkan memberikan kontribusi positif bagi
10
Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Tenggara untuk perbaikan ke
depan, serta instansi-instansi pemerintahan (badan eksekutif dan badan
legislatif) di Aceh Tenggara mengenai penerapan syariat Islam di daerah
ini kaitannya dengan kewenangan, fungsi dan tugas pokok MPU Aceh
Tenggara dalam bidang penerapan syariat Islam.
D. Kajian Pustaka
Dari hasil penelusuran terkait dengan pembahasan tersebut ada beberapa
buku dan karya ilmiah yang dijadikan sebagai kajian awal, yaitu:
Pertama, hasil penelitian Ma’mun Mu’min menilai bahwa ulama di Aceh
cukup berperan dakwah dan politik terutama sebagai mediator antara masyarakat
dan pemerintah.11 Meskipun penelitian ini lebih terfokus pada ulama yang berada
dalam partai politik yang disebutnya sebagai ulama kekaryaan.
Daniel Djuned mengatakan bahwa MPU sebagai lembaga ulama yang
lebih berada digarda depan dalam perumusan Qanun harus diberikan ruang yang
jelas agar peran dan kerjanya tidak tumpang tindih dengan lembaga lainnya.12
Selain itu, Muslim Ibrahim menilai bahwa MPU merupakan lembaga legeslatif
independen, artinya bahwa ulama merupakan mitra sejajar pemerintah yang
memiliki peran tidak hanya dalam proses legeslasi, tetapi juga sosialisasi Qanun.13
11 Ma’mun Mu’min, Peran Dakwah dan Politik Ulama Kekaryaan di Daerah Istimewa Aceh,
(Banda Aceh: Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry), 1998. 12 Djunet Daniel, Syari’at bagaimana yang mesti diaplikasikan, dalam fairus M. Nur lbr 2002.
Syari’at di Wilayah syari’at: pemik-pemik Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam, 2002), 74.
13 Muslim Ibrahim, Rekonstruksi Peran Ulama Di Masa Depan, Dalam Fairus M. Nur lbr, Syari’at di Wilayah syari’at: pemik-pemik Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam, 2002), 245-252.
11
Kedua kajian ini cukup berkaitan dengan penelitian yang akan peneliti tulis ,
meskipun belum dijelaskan wewenang dan peran MPU Aceh Tenggara pasca
pemberlakuan Syari’at Islam di Aceh sebagaimana yang akan diteliti sebagaimana
akan diteliti dalam penelitian ini.
Rusydi Ali Muhammad menulis tentang Revitalisasi Syari’at Islam di
Aceh: Problem, Solusi dan Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di
Nanggore Aceh Darussalam. Buku tersebut diberi pengantar oleh Azyumardi Azra
yang di terbitkan oleh Logos Jakarta mengupas banyak hal yang berkenaan
pelaksaan Syari’at Islam di Aceh, mulai dari sosialisasi Syari’at Islam di Aceh,
bahwa persoalan Aceh dapat diselesaikan dengan Syari’at Islam di Aceh,
meskipun ada beberapa hal yang menimbulkan kekhawatiran karena belum
selesainya hukum materil. Dan beliau tidak membahas tentang wewenang MPU di
Aceh.14
Nurrohman dan kawan-kawan pernah meneliti tetang Syari’at Islam di
Aceh sebagai Formalisasi Kembali, yang dimuat dalam Jurnal Istiqra’ yang
diterbitkan oleh Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Depag Pusat, Volume
03, Nomor 01 tahun 2003 pada kesimpulan penelitian, mereka kemukakan ada
rasa khawatir bahwa Syari’at Islam di Aceh akan mendapat ganjalan dan tidak
dapat berjalan sesuai dengan amanat undang-undang. Karena Aceh adalah bagian
14 Rusydi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh: Problem, Solusi dan
Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggore Aceh Darussalam, (Jakarta: Logos, 2003).
12
dari Indonesia, sedangkan di Indonesia tidak diterapkan Syari’at Islam dan
berlaku hokum positif.15
Selain itu, buku Isa Sulaiman memaparkan panjang lebar mengenai
dinamika peran ulama di Aceh dan hubungannya dengan umara (uleebalang) dari
masa kerajaan-kerajaan hingga zaman reformasi. Buku tersebut masih berbentuk
disertasi belum dijadikan buku. Menurutnya dalam system ketatanegaraan di Aceh
hubungan ulama dan umara sangat dekat dan saling mengisi. Dalam masyarakat
Aceh elit agama atau ulama memiliki kedudukan tinggi, kemudian barulah
punguasa dan elit politik dan lainnya. Buku ini memang tidak secara spesifik
membahas tentang wewenang ulama di Aceh, namun pemaparannya sangat
mendalam khususnya mengenai kedudukan dan peran ulama serta hal yang
menjadi persoalan sehingga menghadap-hadapkannya dengan kelompok
uleebalang di Aceh. Menurutnya, meskipun diawal kemerdekaan pernah terjadi
konflik antara ulama dan umara sehingga banyak terjadi korban, keadaan ini
terjadi karena adanya sifat adu domba yang dilakukan oleh Belanda antara ulama
dan Umara.16
E. Kerangka Teoritis
“Kewenangan” atau “wewenang” adalah istilah yang sangat akrab dalam
kajian hukum tata negara atau hukum administrasi pemerintahan. Padanannya di
dalam ilmu politik adalah “kekuasaan”. Dalam bidang kajian tersebut, masing-
15 Nurrohman, dkk., “Syari’at Islam di Aceh sebagai Formalisasi Kembali”, Jurnal Istiqra’
Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Depag Pusat, Volume 03, Nomor 01 tahun 2003. 16 Isa Sulaiman, Sejarah Aceh; Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1997).
13
masing istilah itu bahkan menjadi salah satu pokok pembahasan karena hal itu
berkaitan erat dengan aspek kepentingan umum, khususnya bagaimana
pengelolaan suatu negara melalui lembaga-lembaga pemerintahan serta batasan-
batasan tindakan yang dapat dilakukan para pejabatnya. Hal itu pula yang yang
menunjukkan relevansi penggunaan teori kewenangan digunakan dalam penelitian
ini mengingat kedudukan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh
Tenggara sebagai obyek utama penelitian ini merupakan institusi publik atau
pemerintahan (dalam arti luas), sehingga segala tindakan yang dilakukan harus
sah (legal) berdasarkan peraturan yang berlaku.
Menurut P. Nicolai, istilah kewenangan mencakup hak dan kewajiban.
Kewenangan sendiri merupakan kemampuan untuk melakukan tindakan hukum
tertentu (yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat
hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum). Hak berisi
kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau
menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban
memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.17
Ateng Syafrudin menjelaskan, istilah wewenang merupakan lingkup
tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi
wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang
dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi
wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.18 Lebih
17 P. Nicolai dalam Ridwan HR, Ibid, 99 18 Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan
Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia, (Bandung, Universitas Parahyangan, Edisi IV Tahun 2000), 22
14
lanjut, Philipus M. Hadjon mengungkapkan bahwa wewenang sebagai konsep
administrasi publik sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu
pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum. Komponen pengaruh ialah
bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku
subjek hukum. Komponen dasar hukum bahwa wewenang itu selalu harus dapat
ditunjuk dasar hukumnya. Komponen konformitas mengandung makna adanya
standar wewenang yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar
khusus (untuk jenis wewenang tertentu).19 Oleh karena itu pula, teori kewenangan
baik dalam kajian akademik maupun praktis, sangat berkaitan dengan prinsip atau
asas legalitas (legaliteitsbeginsel). Tepatnya, asas legalitas itu adalah kelanjutan
atau wujud konkrit dari kewenangan yang dimiliki suatu lembaga pemerintahan.20
Di Indonesia, secara formal asas legalitas atau asas keabsahan ditemukakn
normativisasinya dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Administrasi
dan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 1 angka 2
UU tentang Peradilan Administrasi, berbunyi: “Badan dan atau Pejabat Tata
usaha Negara melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”. Sementara UU tentang Administrasi
Pemerintahan secara eksplisit memuat definisi istilah “kewenangan” dan
“wewenang” tersebut. Pasal 1 angka 6 UU tersebut berbunyi: “Kewenangan
Pemerintahan yang selanjutnya disebut Kewenangan adalah kekuasaan Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk
19 Phillipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Yuridika, No. 5 & 6 Tahun XII, Sep-Des 1997, 1-
2. 20 Lihat, SF Marbun, Hukum Administrasi Negara I, (Yogyakarta: UII Press, 2013, 63-81).
Lihat juga, Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), 91-100
15
bertindak dalam ranah hukum publik”. Sementara “Wewenang adalah Wewenang
adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau
penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan
dalam penyelenggaraan pemerintahan”.
Asas legalitas itu pada akhirnya dapat melahirkan konsekwensi positif dan
negatif bagi badan atau pejabat pemerintahan. Konsekwensi positif berarti akan
melahirkan setiap tindakan dari badan atau pejabat pemerintahan selalu
berdasarkan hukum (tertulis). Oleh karena berdasarkan pada hukum tertulis
(undang-undang formal) berarti tindakan badan atau pejabat pemerintahan
merupakan manifestasi dari keinginan rakyat karena telah memperoleh
persetujuan dari rakyat. Dengan demikian, asas leglitas merupakan manifestasi
dari asas negara hukum dan asas demokrasi yang melahirkan asas negara hukum
demokratis.21
Sementara konsekuensi negatif dari asas legalitas berarti apabila tindakan
badan atau pejabat pemerintah tidak berdasarkan atas peraturan perundang-
undangan yang berlaku, maka tindakan itu dapat dikualifikasi sebagai tindakan
illegal (tidak memiliki dasar wewenang) sehingga tindakan badan atau pejabat
administrasi negara tidak memiliki sifat mengikat secara umum, utamanya dalam
hal meletakkan beban atau kewajiban tertentu bagi rakyat. Artinya, badan atau
pejabat administrasi negara tidak boleh melakukan suatu tindakan yang bersifat
mengikat secara umum, tanpa memiliki dasar wewenang yang diperoleh dari
undang-undang formal (attribusi). Demikian juga dalam hal mengeluarkan suatu
21 Marbun, Hukum Administrasi Negara, 93.
16
peraturan (regeling) dalam arti material, akan berakibat peraturan peraturan
tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat secara umum dan karenanya tidak
dapat diterapkan karena tidak memiliki attribusi.22
Dalam kepustakaan hukum administrasi terdapat dua cara untuk
memperoleh wewenang pemerintahan yaitu Atribusi dan Delegasi kadang-kadang
mandat juga ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang.
Secara sederhana ketiga sumber wewenang ini dapat dijelaskan bahwa
kewenangan atribusi adalah kewenangan badan atau pejabat administrasi
pemerintahan yang diperoleh secara langsung dari peraturan perundang-undangan,
sedangkan kewenangan delegasi berarti kewenangan badan atau pejabat
administrasi pemerintahan yang diperoleh dari pendelegasian badan atau pejabat
administrasi pemerintahan yang lain. Dalam hal ini diperlukan
peraturan/keputusan pendelegasian wewenang dari pemberi delegasi kepada
penerima delegasi karena tanggung jawab yuridis akan beralih kepada penerima
delegasi. Adapun mandat bukan merupakan peralihan kewenangan akan tetapi
pelaksanaan kewenangan oleh jajaran administrasi pemerintahan atas nama
pejabat definitif manakala pejabat definitif tersebut berhalangan.23
Suatu atribusi menunjuk kepada kewenangan yang asli atas dasar
ketentuan hukum tata negara. Atribusi merupakan wewenang untuk membuat
keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti
materiil. Rumusan lain mengatakan bahwa atribusi merupakan pembentukan
wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu. Yang dapat
22 P.J.T. Tak, dalam Marbun, Ibid, 94-95. 23 Tri Cahya Indra Permana, Pengujian Keputusan Diskresi Oleh Pengadilan Tata Usaha
Negara, Tesis, (Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2009), 31
17
membentuk wewenang adalah organ yang berwenang berdasarkan peraturan
perundang-undangan.24
Indroharto mengemukakan, pada atribusi terjadi pemberian wewenang
pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan. Di sini diciptakan suatu wewenang baru. Lebih lanjut disebutkan pula
bahwa legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang
pemerintahan itu dibedakan antara original legislator dan delegated legislator.25
Sementara itu, delegasi dan mandat dalam banyak referensi dipadukan
menjadi satu kelompok karena proses mendapatkan wewenang ini adalah melalui
pelimpahan kekuasaan. Badan/pejabat tata usaha negara yang melimpahkan
wewenang delegasi disebut delegans dan yang menerimanya disebut delegaris.
Sedangkan pada badan/pejabat tata usaha yang melimpahkan mandat disebut
dengan mandans dan yang menerimanya disebut mandataris.
Pada tahun 2014 silam, kajian teoritik terhadap cara mendapatkan
kewenangan tersebut (atribusi, delegasi dan mandat) telah diformalisasi melalui
UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Di dalam UU
tersebut terdapat sejumlah pasal yang mengatur tentang hal tersebut yang
sekaligus menjadi rujukan dalam penyelenggaraan pemerintahan oleh seluruh
lembaga negara, termasuk dalam kontek penelitian ini yaitu Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU).
24 Hadjon, Hukum Administrasi Negara., 2-3 25 Baca lebih lanjut dalam Indroharto, Usaha memahami Undang-Undang Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, Buku I, (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), 91-93
18
F. Metode Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Aceh Tenggara, tepatnya di institusi
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) daerah tersebut. Sebagaimana
telah dikemukakan, beragamnya latar belakang masyarakat yang mendiami
daerah ini menjadi bagian pertimbangan penting menetapkan lokasi
penelitian. Dibanding dengan daerah lainnya di Provinsi Aceh, masyarakat
Kabupaten Aceh Tenggara dapat dikatakan paling beragam, baik dari suku,
etnis, bahasa dan agama. Faktanya, di tengah kondisi tersebut, syariat Islam
dirasa kurang berjalan dengan baik sejauh ini meskipun masyarakat
tergolong sangat fanatik terhadap ajaran Islam dan mendudukkan para
ulama (sebagian menjadi bagian dari MPU) pada posisi yang mulia dan
dihormati.
2. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), dalam arti
penelitian yang bertitik berat pada data-data primer atau data yang
didapatkan di lapangan. Sementara pendekatan yang digunakan adalah
yuridis-empiris, yakni penelitian yang melihat realitas pelaksanaan suatu
peraturan yang berlaku di lapangan. Penelitian yuridis dalam penelitian ini
bertitik tolak pada ketentuan peraturan formal yang menjadi landasan MPU
Aceh Tenggara dalam melaksanakan kewenangan yang dimilikinya.
Sementara empiris memiliki substansi bahwa penelitian ini akan melihat dan
mengkonfirmasi secara langsung bagaimana MPU Aceh Tenggara
19
melaksanakan kewenangan tersebut. Dengan penentuan jenis dan
pendekatan penelitian demikian, maka peneliti mengharapkan hasil
penelitian tidak sekedar melihat seperti apa kewenangan yang dimiliki MPU
tersebut, melainkan juga bagaimana cara dan dampak seperti apa yang
sudah dihasilkan MPU Aceh Tenggara dalam melaksanakan
kewenangannya.
3. Sumber Data
Yang menjadi sumber data serta yang diminta tanggapannya terhadap
otoritas MPU dalam penerapan syari’at Islam di Kabupaten Aceh Tenggara
adalah Ulama yang berdomisili di Kabupeten Aceh Tenggara, khususnya
yang tergabung dalam MPU Aceh Tenggara serta personal institusi
pemerintahan lainnya yang dinilai memiliki kaitan dengan otoritas dan
peran MPU Aceh Tenggara dalam penerapan syariat Islam. Lengkapnya,
kriteria ulama yang dijadikan sumber data tersebut adalah ulama yang
mewakili Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi Aceh, Kabupaten Aceh
Tenggara, Ulama mewakili Pondok Pesantren dan Ulama cendikiawan dari
perguruan Tinggi.
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data di lapangan peneliti menggunakan beberapa
teknik pengumpulan data, yaitu:
Pertama; Observasi, yang penulis maksudkan adalah mengamati dan
melihat langsung proses jalannya Syari’at Islam di Aceh secara Umum dan
20
Khususnya di Kabupaten Aceh Tenggara baik mengikuti berita di media
maupun pengamatan langsung dalam masyarakat.
Kedua; wawancara, penulis melakukan wawancara secara mendalam dengan
nara sumber diseputar permasalahan tentang pelaksanaan syaria’at Islam
dan implikasinya berkenaan dengan: substansi Qanun Syari’at Islam dan
khusus Qanun No. 2 Tahun 2009 berkaitan dengan fungsi dan wewenang
MPU dalam dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh Tenggara yang
sedang berjalan. Sebagaiman instrumen dalam wawancara peneliti
menggunakan tape recorder dan panduan wawancara serta catatan kecil
yang mendukung peneliti dalam proses pengolahan dan analisis data.
Ketiga; untuk mendapatkan data peneliti mengkaji dan menelaah data
dokumentasi berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku terutama
berjenis qanun tentang MPU dan syari’at Islam, serta berkas resmi baik dari
MPU Aceh Tenggara dan instansi pemerintahan daerah lainnya yang
dianggap relevan dengan fokus penelitian ini. Peneliti juga melakukan
pengkajian pustaka terhadap bahan literatur yang berkenaan dan
relevansinya dengan penerapan Syari’at islam di Aceh tenggara.
5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Setelah seluruhnya data diperoleh, kemudian diklarifikasi sesuai dengan
bidang dan kepentingan penelitian dalam rangka menjawab pertayaan-
pertayaan pokok penelitian yang diajukan dan dikategorisasi. Selanjutnya
akan dielaborasi dalam bentuk deskriptif. Bila data tersebut melalui alat
perekam, maka peneliti akan mendengarkan kembalihasil rekamannya dan
127
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah disajikan dalam beberapa bab di atas,
kesimpulan dalam rangka menjawab permasalah penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Kewenangan yang dimiliki oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)
Aceh Tenggara saat ini merujuk sepenuhnya kepada ketentuan Pasal 5 ayat
(2) Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan
Ulama, yakni: 1. Melaksanakan dan mengamankan fatwa yang dikeluarkan
oleh MPU; dan 2. memberikan pertimbangan dan masukan kepada
pemerintah kabupaten yang meliputi bidang pemerintahan, pembangunan,
dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang Islami. Memahami
ketentuan yuridis tersebut harus dibarengi dengan ketentuan mengenai tugas
MPU kabupaten/kota sebagaimana dalam Pasal 6 ayat (2) qanun tersebut
yang antara lain menentukan bahwa MPU kabupaten memiliki tugas untuk
memberikan masukan, pertimbangan, dan saran kepada Pemerintah
Kabupaten/kota dan DPRK dalam menetapkan kebijakan berdasarkan
syari'at Islam. Dalam pelaksanaannya, MPU Aceh Tenggara berkedudukan
sebagai mitra badan eksekutif (Pemerintah Daerah) dan badan legislatif
(DPRK) Aceh Tenggara serta instansi vertikal pemerintahan pusat yang
berada di daerah ini. Sebagai mitra, MPU dengan instansi-instansi tersebut
128
memiliki kewajiban yang bersifat timbal balik, dalam arti MPU Aceh
Tenggara dibebani untuk memberikan masukan dan saran kepada instansi-
instansi mitra. Sebaliknya, mitra kerja tersebut juga berkewajiban pro aktif
untuk melibatkan MPU Aceh Tenggara dalam penentuan kebijakan daerah,
terutama yang berkaitan dengan syariat Islam.
2. Peran MPU Aceh Tenggara diwujudkan dalam berbagai macam kegiatan
yang sepenuhnya bermuatan dan berdasar pada syariat Islam. Peran-peran
yang dilakukan MPU Aceh Tenggara itu dapat dibagi menjadi tiga bagian
besar. Pertama, peran MPU Aceh Tenggara dalam penerapan syariat Islam.
Peran ini dilakukan oleh MPU melalui jalur kerjasama institusional dengan
Pemerintahan Daerah dan instansi vertikal lainnya di Kabupaten Aceh
Tenggara dalam penerapan syariat Islam. Secara teknis di lapangan,
adakalanya instansi mitra MPU Aceh Tenggara tersebut yang aktif meminta
pertimbangan atas kebijakan yang akan dikeluarkan. Namun terkadang
MPU Aceh Tenggara yang aktif mendangi instansi tersebut, terutama mitra
Pemerintah Daerah. Selain kepada instansi pemerintahan, kerjasama ini juga
dilakukan MPU Aceh Tenggara dengan sejumlah organisasi Islam di daerah
tersebut. Kedua, peran MPU Aceh Tenggara dalam pengawasan penerapan
syariat Islam. Peran ini pada prinsipnya merupakan kelanjutan dari
kebijakan yang telah dijalankan berupa pemantauan oleh MPU, selain
materi yang juga termasuk di dalamnya adalah kebijakan yang diterbitkan
dari provinsi serta produk-produk hukum dari MPU Aceh. Dalam
menjalankan peran ini, MPU Aceh Tenggara tidak mendapat kendala yang
129
berarti, meskipun potensi munculnya kendala itu terbuka lebar karena
kekurangan perangkat aturan. Ketiga, peran MPU Aceh Tenggara dalam
penguatan pemahaman masyarakat terhadap syariat Islam. Peran ini, oleh
MPU Aceh Tenggara, diwujudkan dalam berbagai kegiatan yakni Safari
Dakwah, muzakarah ulama dan Pendidikan Kader Ulama Aceh Tenggara.
Kegiatan-kegiatan tersebut berorientasi bersentuhan secara langsung dengan
masyarakat setempat. Sesuai sifat dari kegiatan-kegiatan tersebut, peran
yang dilakukan MPU Aceh Tenggara tidak terbatas pada penguatan
pemahaman masyarakat terhadap syariat Islam yang telah diformalisasi
melalui kebijakan daerah seperti qanun dan produk lainnya, melainkan
memuat ajaran-ajaran Islam yang secara menyeluruh.
B. Saran
1. Dalam proses penelusuran dan pengkajian peneliti, MPU-MPU di Aceh,
termasuk di Aceh Tenggara, memiliki kewenangan yang sangat luas
cakupannya. Merujuk kepada ketentuan yang berlaku, kewenangan yang
dimiliki oleh MPU bahkan dapat dikatakan menyentuh segala aspek
kehidupan masyarakat dan pelaksanaan pemerintahan. Namun, masih
terdapat celah yang berpotensi menjadi penghambat pelaksanaan
kewenangan dan tugas-tugas MPU Aceh Tenggara, yakni berkaitan dengan
tindakan/upaya yang dapat ditempu MPU dalam hal terdapat pengabaian
kewajiban mitra atas kewajiban pelibatan MPU Aceh Tenggara dalam
membentuk suatu kebijakan daerah. Dengan begitu, MPU Aceh Tenggara,
130
sebagaimana MPU seluruh Aceh, memerlukan perangkat yang lebih
menjamin pelaksanaan pertimbangan, masukan atau saran dari MPU Aceh
Tenggara. Di Aceh Tenggara sendiri tindakan internal mitra MPU perlu
diberdayakan sebelum adanya perangkat aturan yang benar-benar mengatur
hal tersebut.
2. Berkaitan dengan peran yang dilakukan oleh MPU Aceh Tenggara, perlu
mewujudkan sinergisitas dengan peran yang dilakukan oleh mitra dalam
kerangka pelaksanaan syariat Islam di Aceh Tenggara. Fakta penelitian ini
antara lain menunjukkan adanya program/kegiatan yang dijalankan secara
sendiri-sendiri dan terkesan tidak terdapat koordinasi antara MPU dengan
mitra kerja, terutama Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara. Dengan
begitu, semua pihak yang memiliki otoritas dalam pelaksanaan syariat Islam
benar-benr saling membahu untuk mewujudkan syariat Islam yang kaffah di
Aceh Tenggara.
131
DAFTAR PUSTAKA
‘T Veer, Paul Van. Perang Aceh: Kisah Kegagalan Hurgronje, Jakarta: Grafiti
Pers, 1985
Abubakar, Al Yasa. Wilayatul Hisbah: Polisi Pamong Praja dengan Kewenangan Khusus di Aceh, Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam, 2008
Amal, Taufik Adnan dan Samsu Rizal Panggabean. Politik Syariat Islam: Dari Indonesia hingga Nigeria, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004
Amiruddin, M. Hasbi. Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh, Lhoksumawe: Nadya Foundation, 2003
Arafat, Yasir. Kewenangan Pemerintah Daerah Terhadap Perguruan Tinggi (Studi Kasus Pemecatan Rektor Universitas Gunung Leuser, Aceh Tenggara, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2017
Asshiddiqie, Jimly. Konsitusi dan Konsitutusionalisme Indonesia, Ctk. Pertama, Jakarta: Sekretarian Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2005
Atjeh, Aboebakar. Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, Solo: CV: Ramadhani, 1985
Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh Tenggara Dalam Angka 2012, Kutacane: BPS Kabupaten Aceh Tenggara, 2012
Bako, Ronny Sautma. Dampak Pemberlakuan Otonomi Khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Laporan Penelitian yang dilakukan di Provinsi NAD pada Tahun 2007, Jurnal Kajian, Vol. 14, No. 3, September 2008
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008
Daudy, Ahmad. Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, Jakarta: CV Rajawali, 1983
Fuad, Mahsun. Hukum Islam Indonesia: dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris, Yogyakarta: LKiS, 2005
Hadi, Amirul. Aceh: Sejarah, Budaya, Dan Tradisi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010
Hadjon, Phillipus M. Tentang Wewenang, Yuridika, No. 5 & 6 Tahun XII, Sep-Des 1997
Hafifuddin, Ulama dan Penerapan Syariat Islam di Aceh, Tesis, Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara, Medan, 2013
Hakim, Lukman. Filosofi Kewenangan Organ dan Lembaga Daerah, Malang: Setara Press, 2012
132
Hamzah, Murizal (ed), Polemik Penerapan Syari’at Islam di Aceh, Banda Aceh: Yayasan Insan Cita Madani, 2007
Hasjmy, A. Semangat Merdeka, Jakarta: Bulan Bintang, 1985
Huda, Ni’matul. Desentralisasi Asimetris dalam NKRI, Bandung: Nusa Media, 2014
Indroharto, Usaha memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Jakarta: Sinar Harapan, 1993
Jalil, Husni. Fungsi Majelis Permusyawaratan Ulama dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Jurnal Equality, Vol. 12 No. 2 Agustus 2007
Joeniarto, Perkembangan Pemerintahan Lokal, Jakarta: Bumi Aksara, 1992
Koesoemahatmadja, Pengantar ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, Bandung: Bina Cipta, 1979
Madjid, Nurcholis. Islam Doktrin Dan Pradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadina, 1992
Marbun, SF. Hukum Administrasi Negara I, Yogyakarta: UII Press, 2013
MPU Aceh Tenggara, Rencana Strategis (Renstra) Kantor Majelis Permusyawaratan Ulama Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2012-2017, Kutacane: MPU Aceh Tenggara, 2016
Mu’min, Ma’mun. Peran Dakwah dan Politik Ulama Kekaryaan di Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry) 1998.
Muhammad, Rusjdi Ali. Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh, Problem, Solusi dan Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Jakarta, Logos, 2003
Muslimin, Amrah . Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Bandung: Alumni, 1986
Nirzalin, Krisis Agensi Politik Teungku Dayah di Aceh, Ringkasan Disertasi, Program Doktor Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2011
Nur, Fairus M. Syari’at di Wilayah syari’at: pemik-pemik Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam, 2002
Nurhasim, Moch. Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008
Permana, Tri Cahya Indra. Pengujian Keputusan Diskresi Oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2009
133
Reid, Antony. Asal Mula Konflik Aceh, Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera Hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005
Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013
Situmorang, Victor. Hukum Administrasi Pemerintahan di Daerah, Jakarta: Sinar Grafika, 1994
Sufriadi, Wali Nanggroe dalam Konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2012
Sufyan, Muhammad Suhaili. Peranan Majelis Permusyawaratan Ulama dalam Sistem Pemerintahan Aceh, Tesis pada Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya Kuala Lumpur, Malaysia, 2016
Sujito, Irawan . Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Jakarta: Rineka Cipta, 1990
Sulaiman, Isa. Sejarah Aceh; Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997
Syafrudin, Ateng. Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia, Bandung, Universitas Parahyangan, Edisi IV Tahun 2000
Syah, M. Kaoy dan Lukman Hakiem. Keistimewaan Aceh Dalam Lintasan Sejarah (Proses Pembentukan UU No. 44/1999, Jakarta: PB Al Jam’Iyatul Washliyah, 2000
Syahrizal, dkk, Dimensi Pemikiran Hukum Dalam Implementasi Syari’at Islam di Aceh, Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam NAD, 2007
Tim Penulis, Buku Putih Sanitasi (BPS) Kabupaten Aceh Tenggara 2011, Aceh Tenggara: PPSP Aceh Tenggara, 2012
Tim Penulis, Profil Kementerian Agama Provinsi Aceh Tahun 2016, Aceh: Subbagian Informasi & Humas Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh, 2016
Wahid, Marzuki dan Rumadi. Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: LkiS, 2001
Widodo, Ismu Gunadi. Sistem Penetapan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Sistem Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11 No. 2 Mei 2011
Yadi, Amon. Strategi Komunikasi Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Untuk Meningkatkan Pengamalan Qanun Syariat Islam tentang Maisir di Kabupaten Aceh Tenggara, Tesis, Program Pascasarjana, Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, 2012
Zamzami, Amran. Tragedi Anak Bangsa, Pembantaian Teungku Bantaqiah dan Santri-Santrinya, Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2001
CURICULUM VITAE
I. DATA PRIBADI
1. Nama : Hady Warman,S.H.I
2. Tempat dan Tanggal Lahir : Lawe Sumur 26 juni 1989
3. Jenis Kelamin : laki-laki
4. Agama : Islam
5. Status Pernikahan : Menikah
6. Alamat KTP : Dusun Saragan Pandowoharjo Rt 03 Rw 04
Sleman Yogyakarta
7. Nomor Telphon/Hp :085293125576/081903716026
8. Email :[email protected]
II. RIWAYAT PENDIDIKAN
1. 1994-2000 : MIN Lawe Sumur
2. 2000-2003 : Mts.S Nurul Islam
3. 2003-2006 : Mts.S Bambanglipuro Bantul
4. 2006-2008 : MA Asy-syifa Bantul
5. 2008-2009 : SMA Muhammadiyah Sleman
6. 2009-2013 : S1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
7. 2013-2018 : S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta