1
Teks Khutbah Idul Fitri 1436 H.
Disampaikan dalam Khutbah (Hari Raya) ‘Idul Fitri,
Jumat, 1 Syawal 1436 H./17 Juli 2015 M., di Lapangan Glondong, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
Ikhtiar Mencari Pemimpin Yang Ideal
Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar wa Lillâhil Hamd,
Para Jamaah, kaum Muslimin yang dimuliakan Allah.
Di hari yang fitri ini, tak ada yang lebih indah untuk kita lafazhkan selain untaian puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT. Tuhan Maha Bijaksana yang menganugerahi kita nikmat iman, Islam, dan ihsan. Dengan
ketiga nikmat itulah, kita memiliki kekuatan untuk menunaikan ibadah puasa sebulan penuh. Ibadah yang berfungsi sebagai sarana pendidikan untuk mengasah spritualitas kita menjadi pribadi bertakwa. Pribadi yang
menyadari hakikat dirinya sebagai hamba Tuhan, sekaligus menginsyafi tujuan penciptaannya di muka bumi sebagai khalifah.
2
.
“Sungguh, Kami menjadikanmu khalifah di muka bumi. Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu,
karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS Shâd [38]: 26)
Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar wa Lillâhil Hamd,
Para Jamaah, kaum Muslimin yang dimuliakan Allah.
Kesadaran ini merupakan tanda keberhasilan kita menjalankan rangkaian ibadah di bulan Ramadhan. Puasa, tarawih, tadarus, zakat, dan
sedekah hakikatnya adalah media metamorfosa yang disediakan Allah untuk kita. Jika semuanya dijalankan dengan baik dan penuh penghayatan, maka
pada hari ini kita akan menjadi sosok baru yang berbeda dari sebelumnya. Kita akan menjadi muslim sejati yang bersih dari noda dosa sebagaimana dilukiskan Rasulullah saw melalui sabdanya:
.
“Orang yang berpuasa dan mendirikan shalat malam dengan dasar iman dan mengharapkan pahala dari Allah, niscaya akan terbebas dari dosa-dosanya seperti
ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR Ibnu Majah dari, Sunan ibn Mâjah, juz II,
hal. 355, hadits no. 1328 dan Ibnu Khuzaimah, Shahîh ibn Khuzaimah, juz
III, hal. 335, hadits no. 2201, dari Abu Salamah)
Namun sebaliknya, jika ibadah puasa dilaksanakan sekadar untuk
menggugurkan kewajiban, maka kita takkan mendapatkan keistimewaan Ramadhan. Ibadah Ramadhan hanya akan menjadi rutinitas tahunan yang
tak membawa perubahan apa-apa. Ibadah puasa takkan memerbarui diri dan kepribadian kita menjadi lebih baik. Janganlah sampai kita termasuk orang-
orang yang rugi seperti disabdakan Rasulullah saw dalam haditsnya:
”Betapa banyak orang yang berpuasa, (tetapi) tidak mendapatkan bagian dari
puasanya melainkan lapar dan dahaga, dan betapa banyak orang yang melakukan shalat malam, (tetapi) tidak mendapatkan bagian dari ibadah (shalat malam)-nya
3
melainkan (mengantuk karena) begadang saja.” (HR Ahmad dari Abu Hurairah,
Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz II, hal. 273, hadits no. 8843)
Kesuksesan menjalankan ibadah puasa bukan terletak pada kekuatan menjauhi faktor yang membatalkannya sejak fajar menyingsing hingga matahari terbenam. Tapi harus tercermin dari sikap dan perilaku kita
sebelas bulan berikutnya. Sejak hari ini sampai Ramadhan yang akan datang. Oleh sebab itu, mari jadikan hari kemenangan ini sebagai momentum
perubahan. Patrikan niat untuk mengisi hari-hari di masa depan, dengan aktivitas multiguna yang bernilai ibadah. Kuatkan tekad untuk menjadi
pembaharu, lalu hadirkan perubahan positif bagi keluarga, lingkungan dan
masyarakat. Āmîn ya rabbal ‘âlamîn.
Selanjutnya mari kita haturkan shalawat beriring salam kepada
Nabi Muhammad saw Nabi terakhir yang istikamah menyadarkan manusia bahwa kedudukan mereka setara di depan Tuhan. Nabi, pemimpin, sekaligus kepala negara yang disayangi kawan dan disegani lawan. Teladan ideal
dalam berdemokrasi dengan menyelesaikan semua masalah duniawi melalui musyawarah. Dialah kekasih Tuhan yang sukses mengubah bangsa Arab
yang jahiliah menjadi madaniah, yang barbar menjadi penyabar, dan yang sektarian menjadi egalitarian.
Prestasi Rasulullah saw ini telah menginspirasi jutaan tokoh lain di
dunia dalam melakukan perubahan dan menggerakkan pembaruan. Jadi, adalah sebuah keharusan bagi kita sebagai umatnya, untuk menjadikan beliau sebagai rujukan utama dalam seluruh aspek kehidupan. Sifat, sikap,
tindakan, dan ucapan kita sebisa mungkin selaras dengan yang dicontohkan Rasulullah saw. Karena hanya dengan begitu kita akan diakui sebagai
‘khairu ummah’ (umat terbaik).
Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar wa Lillâhil Hamd,
Para Jamaah, kaum Muslimin yang dimuliakan Allah.
Sambil terus mengumandangkan kalimah-kalimah thayyibah rasa
syukur kita kepada Tuhan, khâtib al-faqîr ingin mengajak kita semua untuk
merenung sejenak. Merefleksikan situasi bangsa dan kondisi negara setelah
69 tahun merdeka.
Dalam konnteks keindonesian, kita bisa menyimak ketulusan, semangat juang, serta militansi papa pejuang kemerdekaan kita, misalnya:
“panglima besar Soedirman”, bersama tokoh pendiri bangsa lainnya. Inilah yang sulit ditemui dalam diri para pemimpin bangsa sekarang. Jadi wajar
jika bangsa kita di usia kemerdekaannya yang sudah mencapai 69 tahun ini, masih belum mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sampai saat ini, masih banyak rakyat yang hidup bagaikan masih di zaman penjajahan.
Terlilit kemiskinan, terbelit kebodohan, dan terjebak keterbelakangan, kalah
4
dalam berkompetisi dengan dengan rakyat di negara-negara tetangga ‘kita’ yang baru belakangan ini mengecap nikmat kemerdekaan.
Ironi ini tidak perlu terjadi kalau para pemimpin negeri ini meniti jalan yang lurus. Memandang kepemimpinan sebagai media ibadah sekaligus amanah suci yang harus ditunaikan dengan sepenuh hati.
Ingat sabda Rasulullah saw:
.
“Kalian adalah pemimpin, dan akan diminta bertanggung jawab atas apa yang
dipimpinnya. Seorang penguasa adalah pemimpin, dan akan diminta bertanggung
jawab atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR Muslim dari Abdullah bin Umar,
Shahîh Muslim, juz VI, hal. 7, hadits no. 4828)
Nilai-nilai luhur inilah yang mulai tercerabut dari dalam jiwa para
pemimpin negeri, sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara tidak pernah harmonis dan serasi. Kekacauan politik, ketidakadilan hukum, dan
ketimpangan ekonomi, adalah akibat dari perilaku politik para pemimpin pada umumnya. Pemimpin yang lahir dari iklim politik yang tidak sehat atau tidak kondusif.
Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar wa Lillâhil Hamd,
Para Jamaah, kaum Muslimin yang dimuliakan Allah.
Fakta yang tak bisa dipungkiri adalah (bahwa) banyak pemimpin
yang memeroleh jabatan strategis dari hasil transaksi politik, bukan dari visi yang dimiliki, talenta yang mumpuni, atau jasa nyata yang dirasakan rakyat biasa. Akibatnya, kepemimpinan berjalan statis tanpa kreasi inovatif bagi
perubahan dan pembaruan masyarakat. Kepemimpinan lebih terlihat sebagai asesoris kekuasaan yang harus ada dalam suatu negara, dibanding wadah
menyalurkan ide positif dan gagasan konstruktif.
Banyak pemimpin yang mandul karena memang miskin visi, sehingga tidak bisa berbuat banyak untuk meningkatkan taraf hidup rakyat.
Pemimpin seperti ini, cenderung sibuk membangun citra positif agar terus mendapat kepercayaan masyarakat, ketimbang meningkatkan etos kerja
membangun bangsa. Menyimpang jauh dari teladan Rasulullah saw di kala memimpin umat Islam generasi awal.
5
Yang lebih ‘memrihatinkan’ lagi, tidak sedikit pemimpin yang terbelenggu dengan transaksi politiknya sendiri. Utang budi politik semacam
inilah yang menjadi pangkal merebaknya fenomena korupsi. Perhatian pemimpin tak lagi fokus pada rakyat, tapi para kroni politiknya. Yang
diperjuangkan bukan lagi kepentingan masyarakat, tapi kepentingan diri dan kelompoknya. Pada titik inilah, akhlak, etika dan moralitas politik hanya
menjadi slogan yang sering diucapkan, tanpa dipraktikkan. Padahal Allah SWT telah berfirman:
.
.
“Wahai orang-orang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang
tidak kamu kerjakan.” (QS Shaff [61]: 2-3)
Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar wa Lillâhil Hamd,
Para Jamaah, kaum Muslimin yang dimuliakan Allah.
Agar kondisi bangsa kita tidak semakin terpuruk akibat tingkah laku pemimpin yang tidak memiliki integritas, mari kita tandai hari raya Idul Fitri
kali ini sebagai momentum perubahan. Perubahan pada pola pikir yang tercermin dalam pola hidup. Memang langkah ini tidaklah mudah
dilakukan. Perlu perjuangan kita semua secara istiqamah dan penuh kesungguhan. Terlebih karena kondisi kepemimpinan di negeri ini banyak
dilahirkan dari partai politik yang belum sepenuhnya berfungsi sebagai mesin kepemimpinan. Partai politik kita sebagian besar dikendalikan oleh orang-orang yang lebih mengedepankan uang dan modal daripada akhlak,
integritas dan moral. Akibatnya banyak calon pemimpin ditentukan oleh kekuatan modal bukan kualitas moral. Pemimpin yang dimunculkan bukan
karena kualitas visi dan misinya, tapi karena kekuatan modal yang dimiliki.
Sungguh ironis, apabila ‘model kepemimpinan’ yang kita kembangkan selama ini telah telah melahirkan pemimpin-pemimpin yang
justru melawan kodrat ‘demokrasi’ yang menempatkan kedaulatan di tangan rakyat. Rakyat hanya menjadi tumbal demokrasi untuk melanggengkan
kekuasaan pemimpin yang tak amanah dan korup. Sungguh hal ini merupakan penyimpangan demokrasi yang harus kita luruskan bersama, agar rakyat tidak hanya menjadi sapi perah calon pemimpin yang ingin
berkuasa atau memertahankan kekuasaannya.
Proses lahirnya kepemimpinan di negeri ini tidak bisa dilepaskan dari keberadaan lembaga-lembaga yang menyeleksi maupun mendukung
6
calon pemimpin. Salah satu lembaga penting dalam melahirkan pemimpin adalah partai politik. Selain sebagai pilar demokrasi, partai politik juga
memiliki tanggung jawab untuk mendidik dan mendistribusikan calon pemimpin baik pada tingkat lokal maupun nasional. Baik di lembaga
legislatif, eksekutif, maupun yudikatif serta berbagai institusi negara lainnya. Karena itu, partai politik memunyai tanggung jawab besar untuk melahirkan
kepemimpinan yang berkualitas dan memiliki integritas. Partai politik harus bertanggung jawab atas lahirnya pemimpin-pemimpin yang korup dan menyimpang.
Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar wa Lillâhil Hamd,
Para Jamaah, kaum Muslimin yang dimuliakan Allah.
Tugas ini memang tidak mudah dilaksanakan, mengingat saat ini
banyak partai politik yang justru terjebak dalam lingkaran setan. Kehilangan ideologi dan orientasi. Bahkan menjadi tempat berlindung yang aman dan nyaman bagi para koruptor.
Fenomena ini tidak boleh terus berlangsung agar kepemimpinan di Republik ini tidak semakin jauh melenceng dari cita-cita demokrasi dan konstitusi kita. Terlebih agar kita tidak terus menjadi korban akibat ulah
pemimpin yang tidak amanah. Karena itu, partai politik harus membuang semua penyakit yang berpotensi merusak sistem kepartaian, seperti
kekuasaan oleh sekelompok orang (oligarki) atau kekuasaan sentralistik figur (patronase), maupun berdasarkan trah keluarga (nepotis). Para petinggi
partai harus sadar, penyakit oligarki hanya akan membuat partai menjelma layaknya perusahaan yang hanya dikuasai oleh segelintir orang. Sedangkan proses kaderisasinya hanya akan melahirkan orang-orang yang taat pada elit
partai. Hal yang sama akan terjadi pada partai yang tidak bisa melepaskan diri dari politik patronase. Figur patron yang menempati hierarki tertinggi
dalam piramida partai, akan memiliki kekuasaan mutlak laksana seorang raja. Ruh partai bukan lagi berada di balik ideologi, tapi beralih ke tangan
seorang tokoh atau figur karena trah keluarga.
Gejala ini pernah dialami oleh umat Islam generasi awal yang lazim
disebut assâbiqûnal awwalûn. Ketika Rasulullah saw wafat, banyak kaum
Muslimin yang merasa kehilangan pegangan. Mereka tidak percaya, bahkan
tidak menerima kematian sang Nabi, sampai Abu Bakar ash-Shiddiq menyadarkan mereka:
.
7
“Saudara-sadara, barangsiapa mau menyembah Muhammad, Muhammad sudah meninggal, tetapi siapa yang menyembah Allah, Allah Mahakekal dan tak pernah mati.”
Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar wa Lillâhil Hamd,
Para Jamaah, kaum Muslimin yang dimuliakan Allah.
Hikmah dari perkataan Abu Bakar dalam konteks kepemimpinan ‘kita’ adalah:
Pertama, perlunya melihat kepemimpinan sebagai sebuah proses
yang tidak abadi. Siapapun dia, sekuat apapun dia, bahkan seotoriter apapun dia, seorang pemimpin pasti akan sampai pada kejatuhannya.
Karena itu, pemimpin harus betul-betul berusaha maksimal untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakatnya.
Kedua, kepemimpinan janganlah didasarkan pada faktor keturunan,
karena kepemimpinan bukanlah warisan. Kepemimpinan harus didasarkan pada kualitas dan integritas sang pemimpin siapa pun dan dari suku apapun
dia.
Ketiga, pemimpin tidak hanya punya tanggung jawab secara sosial,
tapi juga secara spiritual, yaitu kepada Allah SWT. Karena itu, pemimpin
dituntut tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual, tapi juga spiritual yang dapat menuntunnya pada amanah kepemimpinannya.
Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar wa Lillâhil Hamd,
Para Jamaah, kaum Muslimin yang dimuliakan Allah.
Karakter pemimpin ideal sebenarnya sudah tercermin secara sempurna pada diri Rasulullah saw Sejarah sudah memberikan paparan yang
jelas tentang segala hal yang berkaitan dengan seni kepemimpinan beliau. Jadi, yang perlu kita lakukan saat ini adalah memahami esensi dari setiap
karakter tersebut, sehingga bisa diaplikasikan dalam seni kepemimpinan Indonesia modern. Secara ringkas, empat karakter Rasulullah saw adalah sebagai berikut
1. Shidhq (Jujur)
Karakter utama yang menjadi ciri khas pemimpin ideal adalah kejujuran. Jangan pernah remehkan sifat ini, karena fakta sejarah membuktikan bahwa kejujuran memiliki energi dahsyat untuk melegitimasi
kepemimpinan. Nabi Muhammad saw dan Abu Bakar secara berurutan sudah membuktikan dahsyatnya energi kejujuran bagi kepemimpinan agama
dan politik mereka. Rasulullah saw mendapatkan gelar Al-Amîn (yang dapat
dipercaya) jauh sebelum mendapatkan beragam gelar positif lainnya. Karena
8
rekam jejak kejujuran beliaulah, dakwah Islam cepat tersebar. Semua perkataan beliau langsung dipercaya dan diyakini kebenarannya oleh semua
orang yang mendengar. Termasuk hal-hal yang tidak bisa dinalar akal sehat sekalipun, seperti persitiwa Isra’ dan Mi’raj. Abu Bakar juga demikian. Ia
dijuluki ash-Shiddîq (orang jujur dan bisa dipercaya). Kejujuran inilah yang
membuat semua kabilah Arab bersatu dan membaiatnya secara aklamatif
sebagai khalifah ketika Rasulullah saw wafat.
Fakta ini seharusnya bisa membuka mata semua pemimpin, bahwa kejujuran merupakan modal utama untuk menjadi pemimpin. Pribadi yang jujur relatif lebih mudah diterima oleh masyarakat, meskipun mungkin dia
tidak memiliki kecakapan yang hebat dalam mengorganisir kekuasaan. Sebab, masyarakat pasti lebih tenang dan lebih senang dipimpin oleh orang
jujur. Mereka tidak akan khawatir aset-aset bangsa hasil jerih payah rakyat akan diselewengkan untuk kepentingan pribadi. Mereka juga tidak akan was-
was akan diperlakukan seperti binatang ternak, yang diperas keringatnya dan diperah saripatinya untuk membiayai kebutuhan hedonisme ala pemimpin pendusta.
Pemimpin yang jujur pasti berpikir seribu kali untuk melakukan tindakan tidak terpuji, atau memutuskan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat. Oleh sebab itu, Allah SWT. dengan tegas memerintahkan
kita untuk bersama atau mengikuti orang-orang yang jujur.
.
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu
bersama orang-orang yang jujur.” (QS At-Taubah [9]: 119)
2. Amanah (Tepercaya dan Bertanggung Jawab)
Jika kejujuran berfungsi melejitkan potensi internal untuk
melegitimasi pemimpin, maka amanah merupakan karakter eksternal yang berfungsi meningkatkan etos kerja. Karakter inilah yang bisa memacu dan
memicu pemimpin untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Karena
berkaitan dengan kerja-kerja praktis, maka karakter amanah memiliki kaitan yang erat dengan tanggung jawab. Jadi, pemimpin yang amanah adalah
pemimpin yang bertanggung jawab.
Sejauh ini, kita cenderung memaknai amanah sebatas menunaikan tugas dan kewajiban. Padahal, penyempitan makna amanah seperti inilah
yang menjadi pangkal rendahnya kinerja para pemimpin. Oleh sebab itu, pada kesempatan yang amat langka ini, khatib al-faqir ingin mengingatkan kembali bahwa amanah memiliki arti yang agung. Amanah berarti berusaha
9
memberikan kemampuan terbaik dan berorientasi kesempurnaan dalam setiap tugas yang dijalankan. Pemimpin amanah adalah pemimpin yang
selalu berusaha perfeksionis dalam melakukan pekerjaan. Tidak pernah puas dengan hasil yang didapatkan, dan selalu berpikir keras untuk menghasilkan
sesuatu yang lebih baik lagi.
Menurut para ahli hikmah, pemimpin yang amanah selalu menjunjung tinggi etika sehingga tidak suka memermalukan orang.
Membangun kepercayaan diri melalui kualitas dan kapasitas diri. Berani mengakui kesalahan diri dan tidak pernah segan mengingatkan orang lain
atas kesalahannya. Bertanggung jawab sendiri untuk memerjuangkan tujuan
serta cermat dalam bekerja. Teguh memegang prinsip dengan segala risiko dan konsekuensi yang harus dihadapi.
Di samping itu, pemimpin amanah adalah yang sudah selesai
dengan dirinya sendiri. Tidak membuat rakyat kerepotan mengurusi masalahnya. Selalu meninggalkan kenangan positif bagi orang di sekitarnya
dan masyarakat luas. Tidak mengalihkan tanggung jawab kesalahannya kepada pihak lain, dan juga tidak mewariskan tumpukan masalah yang
menyulitkan generasi setelahnya.
3. Tabligh (komunikatif)
Karakter ini harus dimiliki karena dalam menjalankan tugas, pemimpin selalu berhadapan dengan manusia yang punya perasaan dan
pikiran. Bukan berhadapan dengan benda mati yang mudah direkayasa. Oleh sebab itu, pemimpin dituntut terampil berkomuniksi agar pesannya bisa
dipahami dan dilaksanakan dengan baik. Ia harus bersikap terbuka sehingga rakyat tidak segan atau takut menyampaikan keinginannya. Seperti inilah yang dicontohkan Rasulullah saw dalam menjalin komunikasi dengan para
sahabatnya.
Keterampilan berkomunikasi ini mustahil diperoleh secara instan tanpa proses yang panjang. Pengalaman akan menumbuhkan empati yang
membuat pemimpin bisa merasakan keluh-kesah rakyatnya, bukan hanya menjadi pendengar setia. Itulah sebabnya mengapa para pemimpin yang
berhasil, selalu sosok yang bersahaja. Sosok yang rela berlumpur dan berkeringat bersama rakyat, bukan sosok yang pura-pura memerhatikan penderitaan rakyat dari balik tirai kemewahan. Rasulullah saw selalu
berhasil mencerna masalah yang dikeluhkan sahabat, karena beliau memang pernah mengalami masalah yang dikeluhkan tersebut. Kepribadian
sederhana yang berpadu dengan tutur kata santun, membuat siapa pun merasa nyaman berdialog dengan Rasulullah saw, termasuk orang yang baru
kenal sekali pun.
4. Fathanah (Visioner)
10
Seorang pemimpin harus memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Visioner dan memiliki program yang jelas dalam memajukan masyarakat.
Memiliki analisa yang tajam, strategi yang jitu, serta cermat mengidentifikasi skala prioritas dalam menyelesaikan masalah.
Pemimpin yang tidak visioner pasti tidak memiliki pendirian yang
teguh, sehingga mudah dipengaruhi orang lain. Gampang terombang-ambing di antara serbuan argumen yang beragam. Karena itu keputusan
yang diambil rentan kesalahan dan berpotensi merugikan rakyat.
Rasulullah saw adalah pemimpin yang sangat visioner.
Ketajamannya dalam menganalisa masalah benar-benar tak tertandingi oleh
siapa pun. Kisah tentang Perjanjian Hudaibiyah adalah contoh nyata yang pasti membuat semua orang terpana. Betapa tidak, dengan kecerdasannya, Rasulullah saw mampu membalikkan perjanjian yang pasal-pasalnya
terkesan merugikan, menjadi sangat menguntungkan bagi kaum Muslimin. Sebagai bukti, pihak Qurasiy yang sempat girang setelah menandatangi
perjanjian tersebut, akhirnya tidak kuat lalu khianat dan melanggarnya.
.
Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar wa Lillâhil Hamd,
Para Jamaah, kaum Muslimin yang dimuliakan Allah.
Sebelum mengakhiri khutbah ini, khâtib al-faqîr ingin mengingatkan
bahwa saat ini kita berada di tengah kepungan entertaimen dan gejolak politik. Bukan saja karena kita akan menghadapi pemilukada di berbagai daerah, tetapi juga karena hingar-hingar suksesi kepemimpinan 2015 sudah
ramai dibicarakan sekarang.
Sebagai insan yang beriman dan berpendidikan, mari kita sikapi semua rayuan politik tersebut dengan arif agar tidak salah memilih
pemimpin. Sebab, kesalahan memilih pemimpin berpengaruh besar terhadap nasib kita untuk satu periode politik ke depan. Semoga Allah memberi kita
kekuatan untuk menapaki jalan yang benar dan memilih pemimpin yang amanah.
Kita juga berdoa semoga Allah SWT segera menyadarkan para
pemimpin di negeri ini untuk menjalankan amanatnya secara jujur, transparan, dan penuh keikhlasan sehingga negeri ini betul-betul menjadi
11
baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Negeri yang jauh dari bencana karena
pemimpinnya semakin dekat pada penciptanya, yaitu Allah SWT. Āmîn yâ
rabbal ‘âlamîn.
.
.
(Wahai Tuhan Yang memunyai kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari orang yang Engkau
kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu)
.
(Ya Allah, muliakanlah agama Islam dan tinggikanlah derajat kaum muslimin. Hapuskan segala bentuk kekufuran dan enyahkan segala bentuk kejahatan. Tegakkan panji-panji kebesaran-Mu hingga akhir nanti, dengan Rahmat-Mu wahai Dzat Yang Maha Pengasih)
.
(Ya Allah kami, berikanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir)
12
.
(Ya Allah, tolonglah penguasa kami, pemimpin kaum yang beriman, tolonglah para ulama kami, tolonglah para menteri, pejabat, serta tentaranya hingga hari Akhir. Tetapkan keselamatan dan kesehatan bagi kami, yang sedang berjihad, para musafir, serta yang tidak bepergian, baik yang ada di darat atau di laut-Mu -- umat Muhammad -- dan seluruh umat manusia)
.
(Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan
peliharalah kami dari siksa neraka)
.
(Mahasuci Tuhanmu Yang memunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan.
Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah Tuhan Penguasa alam semesta)