Kisah Sukses Charisma dengan Bisnis Hamster
Awal ia akrab dengan Hamster, hewan mungil
seperti tikus ini saat isterinya minta dibelikan
hamster lengkap dengan kandangnya. Saat itu
harga hamsternya sendiri hanya Rp25.000 dan
kandangnya Rp.200.000. Tidak disangka ternyata
hamster yang ia pelihara beranak pinak dengan cepat. Sampai Cheris bingung mau
dikemanakan anakan-anakan hamster tersebut. Beberapa hamster diberikan kepada
saudara dan teman. Selain itu ia juga mulai membuat Rumah hamster sendiri, yang
akhirnya menjadi merek usahanya.
Selain diberikan kepada teman dan saudara ia mencoba memberanikan diri untuk
berjualan hamster yang awalnya masih pedagang emperan. Namun melihat
permintaan hamster yang terus meningkat ia mulai mengembangkan usaha hamster
dengan memanfaatkan facebook dan delivery order.
Setelah menjalankan bisnis hamster ini selama tiga tahun, Cheris dengan Rumah
Hamsternya kini sudah memiliki outlet, di Jl.Jupiter 7 no.85, Margahayu Raya yang
menawarkan sejumlah jenis hamster berikut perlengkapannya.
Menurutnya dalam bisnis hamster ini harus
dilandasi dengan perasaan cinta dan senang,
tidak semata-mata mencari keuntungan.
Baginya Hamster-hamster ini sudah
mendatangkan keuntungan, berarti sudah
semestinya diberikan perawatan yang baik.
Selain sekadar memberi makan dan
membersihkan kandangnya, harus diperhatikan kesehatannya.
Sesuatu jika dilakukan dengan penuh cinta dan hobi tidak hanya akan memberikan
kesenangan namun bisa memberikan keuntungan. Salah satunya adalah hobi
memelihara hamster yang dilakukan oleh Muhammad Charisma Maghribi. Beternak
hamster atau bisnis dalam bidang ini tidak pernah terlintas dalam benak lelaki yang
akrab dipanggil Cheris ini. Namun ternyata bisnis dengan hewan kecil ini ternyata
menghasilkan omzet yang terus meningkat. Pada 2010 saja, saat dia merintis
bisnsnya sudah menghasilkan Rp4 juta – Rp5 juta per bulan. Bahkan, pada 2011
omzet bulanannya sudah mencapai dua kali lipatnya.
Kisah Sukses Mang Haji OyoTea dengan Bisnis Bubur Ayam
Bubur ayam seperti yang kita ketahui memang
termasuk makanan yang paling laris di
Indonesia. Penjual bubur ayam bisa kita temui
dimana saja dengan mudahnya. Peluang usaha
bubur ayam ini memang cukup menarik untuk
ditekuni, begitupula dengan usaha yang
dilakoni oleh Oyo Saryo, seorang pengusaha
bubur ayam yang cukup sukses. Dulunya Oyo Saryo adalah seorang buruh tani asal
Majalengka namun berkat keuletannya kini berubah menjadi seorang Bos Bubur
Ayam “Mang Haji OyoTea” yang saat ini memiliki 8 cabang.
Bubur ayam Mang Haji Oyo Tea ini memang rasanya gurih dan pembeli pun rela
antri demi mendapatkan bubur ayamnya. Mang Oyo, demikian ia biasa disapa, sudah
berjualan bubur ayam sejak tahun 1976. Kisah sukses Oyo Saryo merupakan
gambaran kegigihan rakyat kecil yang menggeluti usaha untuk mengubah nasib.
Ia memilih berjualan bubur ayam dikarenakan bubur ayam banyak disukai orang dan
dinikmati oleh segala kalangan dari anak-anak sampai orangtua. Pertama-tama ia
berjualan bubur ayam di lingkungan kantor dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa
barat di kota Bandung.
Usahanya walaupun sering berpindah lokasi namun makin berkembang. Saat ini ia
sudah memiliki 7 cabang di kota bandung yaitu di Jalan Gelapnyawang, Jalan
Sulanjana, Jalan Ir Soetami, Jalan Surapati, Jalan burangrang, semuanya berada di
kota Bandung serta kota baru Parahyangan, Kabupaten Bandung Barat.
Ia biasa membuka usaha sekitar pukul 06.00
dan tutup sekitar pukul 13.00 kecuali untuk di
jalan Sulanjana dan Jalan Ir Soetami buka
sampai pukul 8 malam.
Mang Oyo juga sudah mendaftarkan”Bubur
Ayam MH Oyo Tea” ke Direktorat Jendral
Hak Kekayaan Intelektual dan Departemen Kesehatan. Selain itu, ia juga sudah
mendapatkan pengakuan dari Majelis Ulama Indonesia berupa setifikat halal. Harga
bubur komplitnya sendiri dijual seharga Rp 10,000. Mang oyo cukup meraih
kesuksesan dengan berjualan bubur ayam ini, ia sudah memiliki rumah, menunaikan
haji, memiliki kebun dan berbagai kendaraan.
Kisah Sukses Sunani dengan Bisnis Jeli dan Dodol dari Lidah Buaya
Lidah Buaya awalnya hanya dikenal
sebagai bahari dasar kosmetik dan
sampo. Dalam satu dekade terakhir,
lidah buaya! mulai dikenal sebagai
produk beragam makanan olahan asal
Pontianak. Salah seorang yang
berperan memopulerkan lidah buaya sebagai produk makanan khas Pontianak itu
adalah Sunani (39). Dimulai dari kesenangan membuat kue, lulusan kolah menengah
atas itu mencoba membuat jeli dan dodol berbahan dasar lidah buaya (aloe vera)
tahun 2004.
“Saya mencobanya dari jumlah yang sangat sedikit, hanya satu kilogram lidah buaya
yang saya olah menjadi jeli dan dodol,” ujar Sunani. Pada awal usahanya, Sunani
memutuskan untuk menitipkan jeli dan dodol lidah buaya di pusat toko oleh-oleh
Kota Pontianak. Sayangnya, respons konsumen belum bagus karena masih asing
dengan produk olahan itu. Sunani menilai hal itu wajar mengingat lidah buaya
memang bukan balian baku siap olah seperti ba-han baku lain.
“Mengolah lidah buaya menjadi makanan memang harus sabar, prosesnya agak lama.
Konsumen yang membeli produk makanan olahan lidah buaya pada masa awal itu
umumnya mereka yang tahu khasiatnya,” ujar Sunani.
Awalnya, Sunani hanya memanfaatkan daging lidah buaya untuk membuat jeli dan
dodol. Prosesnya agak rumit karena harus dicuci lima hingga enam kali supaya
lendirnya hilang. Selanjutnya, lidah buaya harus direbus.
Tantangan pada tahun pertama membuat makanan olahan dari lidah buaya bagi
Sunani terasa berat Pasalnya, dia harus memperkenalkan produk makanan dari bahan
baku yang baru.
“Namun, upaya saya dengan ikut pameran, menitipkan produk di beberapa tempat,
dan memperkenalkannya dari mulut ke mulut tidak sia-sia. Dalam tahun pertama,
saya sudah bisa mengolah sekitar 200 kilogram lidah buaya setiap bulan,” kata
Sunani. Sunani dibantu lima pekerja pada se-tahun pertama dan bisa membukukan
omzet Rp 20 juta per bulan. Supaya makin dikenal konsumen, Sunani yang dibantu
suaminya, Jifung (41), menggunakan merk Isunvera.
Tiga tahun pertama, Sunani menggarap serius pangsa pasar di Kota Pontianak
dengan membuat beberapa jenis makanan olahan baru berbahan dasar lidah buaya,
seperti kerupuk, minuman, dan teh. Khusus teh, Sunani membuatnya dari kulit lidah
buaya.
“Dengan berhasil menemukan cara pembuatan teh
dari lidah buaya, usaha saya hampir tak
menghasilkan limbah atau sampah. Semua terpakai,
mulai daging hingga kulit. Bagian yang tidak terolah
hanya bagian ujung dan duri saja, kata Sunani.
Setelah delapan tahun menggeluti usahanya, kini
Sunani menghabiskan 2 ton bahan baku setiap hari.
Dari kebunnya yang .seluas 2 hektar, Sunani hanya
mendapatkan sekitar 1 ton bahan baku setiap hari. Sisanya diperoleh dari enam petani
yang bersedia bekerja sama menyediakan lahan untuk ditanami lidah buaya.
Saat ini, dia dibantu 35 pekerja yang sebagian besar perempuan. Sebagian dari para
perempuan itu adalah anak-anak putus sekolah yang hanya lulus sekolah dasar.
Selain untuk pasar lokal Pontianak. Isunvera juga didistribusikan ke beberapa daerah
di Indonesia, seperti Jakarta, Yogyakarta, Balikpapan, Pangkalan Bun, dan
Banjarmasin. Dalam waktu dekat ini. Isunvera juga didistribusikan untuk memenuhi
permintaan Pasar.
Kendati hamil lulus Kitalah menengah atas. Sunani tetap han.i karena tak hanya
memasok produk makanan untuk pasar lokal. Pasar makanan lian produk kosmetik
berbahan dasar Udah buaya di Kuchini rawak, Malaysia dan Brunei pun dia
Sunani berbagi peran dengan Jifung. Pemeliharaan dan panen di kebun pengantaran
produk untuk Pontianak dilakukan Jifung. sementara pengembangan produk dan
pengelolaan sumber daya manusia oleh Sunani
Kendati berhasil mendapatkan omzet ratusan juta, Sunani mengaku belum pernah
menambah modal dari pinjaman. Takut, katanya. Sunani dan suaminya tak
meminjam modal karena takut pekerjaan sehari-hari terbebani membayar cicilan dan
bunga. “Bungo pinjaman tidak pernah kecil Di mana pun itu.” ujar Sunani Tambahan
modal diperoleh dari keuntungan yang disisihkan setiap bulan. Sunani bertekad
menambah produknya menjadi 20 jenis pada akhir 2012, termasuk bakso lidah buaya
yang baru diproduksi belum lama ini.
Kisah Sukses Wildan dengan Bisnis Pisang Goreng Pasir
Wildan yang hanya tamatan SMA menjadi
Wirausahawan Sukses. Wildan demikian panggilan
akrabnya tak pernah bermimpi menjadi sukses seperti
saat ini. Dia cukup tahu diri. Bekal pendidikan yang dia
dapatkan hanya pas-pasan. Namun, kerja keras yang
telah dirintisnya beberapa tahun mampu membalikkan
nasib bapak lima anak ini. Wildan berawal dari sebuah
gerai berukuran 9×10 M berlokasi di bawah flyover
Jalan ExitTol RC Veteran,Bintaro,Jakarta Selatan, yang
ia sewa empat tahun yang lalu. Bermodal awal Rp. 75 juta, pria asal Lampung ini
mencoba peruntungan membuka bisnis pisang goreng.Keberanian Wildan membuka
gerai jajanan pasar pisang goreng boleh diacungkan jempol.
Wildan berpikir, nama pasir ini akan menjadi magnet tersendiri. Wildan bercerita,
mendapat ide berbisnis pisang goreng berawal dari menjamurnya gerai-gerai pisang
goreng yang berada di daerah Bintaro. Pada 2005 lalu di jalan sekitar sini banyak
gerai pisang goreng,dan yang paling laku yakni pisang goreng pontianak, ujar pria
kelahiran Lampung. Setelah mengantre dan ikut mencoba mencicipi pisang goreng
pontianak yang memang sedang booming saat itu. Wildan melihat bentuk tepungnya
begitu unik namun dari segi rasa menurutnya kurang nikmat.
Wildan memutuskan mengkreasikan pisang goreng miliknya dengan rasa yang
berbeda. Minyak penggorengan yang digunakannya juga terus diganti setelah enam
jam pemakaian.Tujuannya agar lebih bersih dan tidak menggunakan minyak yang
memiliki kolesterol tinggi, katanya. Mengenai jenis pisang yang digunakan,Wildan
memilih pisang lampung karena potensi pisang di Lampung cukup banyak dan tidak
kalah kualitasnya dengan pisang dari Pontianak. Hasil dari coba-coba dan terus
inovasi, ide ayah lima anak ini berbuah manis. Di hari pertama penjualannya, pisang
goreng pasir laku hingga 500 potong. Didukung embel-embel nama pasir, ternyata
membuat orang makin penasaran dengan pisang goreng hasil olahannya. Tantangan
Wildan dalam membesarkan usahanya tidak selalu berjalan mulus. Stok bahan baku
yang ia dapatkan terkadang kosong.
Pernah ia siasati dengan mengganti bahan baku yang jenis pisangnya berbeda namun
kualitasnya di atas pisang kepok kuning dari Lampung tapi sebagian besar
pelanggannya kecewa. Hingga kini Wildan selalu menjaga mutu. Ketika stok bahan
baku tidak ada, gerainya akan tutup pada esok atau lusanya. Namun,saat ini dirinya
dapat mengantisipasi kekosongan bahan baku.setiap hari ia menerima 300 tandan
pisang yang langsung didatangkan dari Lampung.
Dia mampu menjual 1.000
potong pisang pada hari biasa
dengan harga per potong
Rp2.500. Sementara, di akhir
pekan bisa mencapai 4.000
potong pisang. Itu pun hanya
untuk setiap gerainya. Jika
dihitung, Wildan bisa mengantongi omzet penjualan Rp. 2,5 juta per hari tiap
gerainya. Bila saat ini ia memiliki 15 gerai, berarti Wildan memiliki omzet penjualan
Rp. 37,5 juta per hari dan dalam sebulan omzetnya mencapai Rp. 1,125 miliar. Selain
bisnis pisang goreng,Wildan melakukan inovasi baru yakni membuat kompor pintar
untuk mendongkrak penjualan pisang gorengnya.
Wildan mengaku, dengan adanya kompor pintar ini dapat memberikan berbagai
keuntungan. Salah satu keuntungan yang ia dapat yakni bisa menghemat 20% bahan
bakar dalam pemakaian gas 12 kg. Bila dengan kompor gas biasa setiap menggoreng
hanya bisa 20 pisang. Tetapi sekarang dengan kompor pintar bisa menggoreng
hampir 100 pisang sekali goreng, ucapnya sumringah. Penghematan waktu
menggoreng juga diamini pria yang dulunya pernah bekerja sebagai salesman panci
ini.
Rata-rata setiap menggoreng tanpa kompor pintar berkisar 15-20 menit namun
sekarang 10 menit saja sudah bisa dicapai, demikian Wildan bertutur. Dengan
kesuksesan yang sudah diraihnya saat ini tidak membuat Wildan berpuas diri. Wildan
selalu mencari celah untuk bisa memasarkan produknya ke segala lapisan konsumen.
Ini terlihat dari rencananya ke depan yang akan menjual pisang goreng pasir ke
tempat-tempat yang tidak mungkin dijangkau olehnya.
Seperti terminal ataupun kampus-kampus dengan cara menggunakan sepeda motor
yang sedang dia modifikasi saat ini. Rencananya untuk memasarkan produk melalui
delevery order atau sepeda motor adalah salah satu solusi un-tuk para konsumen
yang selalu meminta dirinya menjadi partner bisnis. Wildan juga sempat mendapat
tawaran di dalam negeri maupun di beberapa negara tetangga untuk menjadi rekanan.
Lagi-lagi Wildan belum siap menerima tawaran itu. Dikhawatirkan akan merusak
bahan baku pisang karena terlalu lama dalam pengirimannya.
Kisah Sukses Jeffry Preston Bezos Mendirikan Toko Online Amazon
Kalu bicara tentang Amazon pasti semua
sudah tau. apalagi yang namanya pebisnis
online yang jiwa raganya bergantung dengan
toko online ini untuk sekedar mencari sesuap
nasi,hixhixhix.. tapi, taukah anda siapa
pendirinya? dan bagaimana liku- liku
perjalananya hingga ia dideretkan diantara 10
besar pengusaha terkaya di Dunia hanya karna website Amazon yang dibuatnya?
baiklah.. Postingan kali ini saya akan membahasnya! mudah-mudahan menginspirasi
sobat semua..
Jeffry Preston Bezos atau biasa dikenal Jeff Bezos, adalah pria kelahiran
Albuquerque, New Mexico 12 Januari 1964 ini dari kecil memang terkenal sebagai
anak yang tekun dan kreatif. ini terlihat ketika ia masih berumur 3 tahun, pada saat
itu orang tua Jef membelikanya tempat tidur BOX tapi Jef menginginkan tempat
tidur yang biasa, karena orang tuanya tidak memenuhi kemauan Jef, akhirnya ia
membokar tempat tidur itu dengan Obeng( gila..baru tiga tahun udah bisa pegang
obeng). bukan hanya itu, di sekolah pun Jef sering membuat gurunya stres, karena
susahnya menghentikanya dari tugas yang ia kerjakan. sampai-sampai untuk
memberikan tugas berikutnya ia harus dipindahkan tempat duduk.
Di umurnya 10 tahun Jef liburan musim panas bersama kakeknya yang bernama
Preston Gise di Texas, kakenya adalah seorang ilmuwan yang bekerja di Komisi
Energi Atom sebagai penanggung jawab di Laboratorium Sandia, Livermore, dan
Los Almos. Gise melihat Jef sebagai ilmuwan muda sama sepertinya dulu. lalu.. dia
membantu Jef untuk membuat Radio Amatir dan mengumpulkan barang- barang
koleksi Bezos yang biasa merusak Garasi rumahnya, karena di Garasi inilah Jef
membuat Laboratorium sendiri untuk melakukan eksperiman ilmiah yang ia lakukan.
Sewaktu di SMA dia memenangkan perlombaan yang disponsori oleh NASA dengan
menulis naskah tentang pengaruh tidak adanya grafitasi pada usia lalat. di tahun
1981, dia bekerja di Macdonalds Miami, pada saat inilah Jef Belajar Bagaimana
pentingnya melayani pelanggan. Jef melanjutkan studynya di Universitas Princeton,
dengan mengambil jurusan Fisika, tapi mungkin karena tidak betah ia pindah
kejurusan Komputer hingga mendapatkan gelar sarjana komputer. setelah lulus, Jef
bekerja di Wall Street, kemudian jef Pun bekerja di D.E Shaw & Co sebagai Wakil
Presiden Direktur padawaktu itu umurnya baru 28 tahun. bos Jef menyuruhnya bukan
hanya meneliti peluang Bisnis baru tetapi peluang Bisnis internet, dan disinilah Jef
mulai mengenal yang namanya Bisnis Internet..
Pada saat itu Jef mulai berfikir barang apa
yang paling cepat dijual di internet, untuk itu
Jef mencoba melihat daftar barang-barang
yang paling laku dijual lewat surat, list barang
yang ia kumpulkan sebanyak 20. akhirnya, jef
berkesimpulan Bukulah barang yang paling
cepat laku namun belum ada yang menominasi, Jef Sadar tidak ada penyimpanan
data yang memuat judul buku pesanan Konsumen melalui surat selama satu tahun,
fikirnya kalau penyimpanan data ini dilakukan secara komputerisasi maka akan lebih
teroganisir dan menjadi sebuah toko online. tapi, bosnya tidak setuju dengan ide jef.
Karena itu, jef memutuskan untuk mencobanya sendiri dengan mengajak dan
membicarakanya bersama temanya Mackenzie, Jef mulai berfikir nama apa yang
cocok dengan Bisnis barunya ini. mereka mulai mencari nama depan dengan huruf
“A”. akhirnya Jef menemukan nama yang cocok yaitu Amazon.com. menurutnya
Amazon sebagai sungai terbesar yang melambangkan “Koleksi Terbesar”. di tahun
1994, Jef bersama rekan-rekanya yakni Mackenzie, Paul dan shel mulai bekerja di
Garasi yang sangat sempit untuk digunakan sebagai Kantor pertama mereka.
Awal memulai usaha Jef mengalami 2 masalah yakni pertama Dana. Jef harus
mampu membayar orang-orang yang nantinya bekerja di Amazon, untuk itu Jef
membentuk Perusahaan, yang di mana ia merangkap Jabatan sebagai Pendiri, CEO,
dan Presiden Direktur. Yang kedua adalah perangkat lunaknya, yang tersedia hanya
untuk Inventaris dan perangkat untuk pesanan barang yang di pesan melalui surat.
tapi keuletan yang mereka milki semua masalah itu akhirnya bisa di atasi.
Amazon mengalami peningkatan yang terbilang begitu cepat, karena memudahkan
konsumen untuk melakukan pemesanan buku, di tambah lagi harganya lebih murah
di bandingkan harga pasaran pada umumnya. Sampai saat ini, Amazon tidak hanya
menjual buku, tapi berkembang dengan menjual barang- barang yang lain, yang
kemudian Amazon di juluki sebagai “Toko Terlengkap Di Dunia” luar biasa!!
Kembali.. bukti dari sebuah kerja keras,ketekunan, kecerdasan, dari seorang Jef
Bezos menjadikan Amazon.com mendunia, tentu ini bukan hal yang mudah. Jef
mampu melihat peluang Bisnis baru, yang menjadikanya pengusaha ternama di
dunia. inilah yang patut kita teladani dan harus kita mengerti bahwa sebuah
kesuksesan besar di mulai dari sebuah pengorbanan dan kerja keras yang besar pula.
Kisah Sukses Pak Mudiarjo dengan Siomay Kang Cepot
Siomay Kang Cepot berdiri
sejak tahun 1987, penemu
racikan Siomay Kang Cepot
sendiri adalah Bapak
Mudiarjo. Dari tahun ke tahun
pak Mudi sapaan akrabnya,
selalu mencoba mengolah dan
memastikan rasa yang khas
untuk Siomay Kang Cepotnya. Namun keberhasilan usahanya itu, tidak diraih tanpa
kerja keras.
Sejak kecil, Pak Mudi yang dilahirkan dari keluarga yang sangat sederhana ini sudah
membantu keluarganya mencari makan sendiri. Hingga menginjak usia remaja,
beliau ikut orang ke Bandung untuk berjualan siomay. Setelah mendapatkan
pembelajaran tentang berjualan siomay, pak Mudi kembali ke Purbalingga kampung
halamannya pada saat acara pemilihan lurah. Lalu beliau mencoba meminjam modal
kepada lurah yang terpilih untuk membuka usaha, alhasil beliau mendapat pinjaman
sebesar Rp 250 ribu.
Dengan modal pinjaman tersebut, pak Mudi gunakan untuk membeli gerobak
lengkap dengan peralatannya. Dari situlah, pak Mudi mulai berjualan siomay dan
usahanya pun mulai berkembang, hingga beliau dapat melunasi pinjaman modalnya.
Namun usahanya itu tak jarang pula sepi pembeli, maka untuk menambah
penghasilan sesekali pak Mudi menarik becak.
Pada tahun 1987, atas ajakan dari temannya, lelaki kelahiran Banjarnegara 51 tahun
ini mencoba peruntungan dari berjualan siomay di Kota Yogyakarta. Di Jogjapun
beliau berjualan siomay sembari menarik becak dan menjadi buruh tani. Semuanya
pak Mudi lakukan demi menghidupi istri dan enam anaknya. Selain di Jogja. beliau
pun sempat berjualan siomay di Pekalongan, Semarang dan Solo. Namun pada tahun
1994 akhirnya pak Mudi beserta anak dan istrinya mengontrak sebuah rumah di Jogja
untuk tempat tinggal sekaligus sebagai tempat berjualan siomay. Mulai tahun 1994
tersebut, beliau tidak lagi berjualan siomay keliling dengan menggunakan gerobak.
Kini kita dapat menjumpai Siomay Kang Cepot di Jl. Kaliurang KM 8,5 Dayu
Sinduharjo Ngaglik Sleman. Jika dulu pak Mudi menamai usahanya dengan Siomay
Super, setelah memiliki tempat sendiri, beliau memberi nama usahanya “Siomay
Kang Cepot”, nama kang Cepot sendiri diambil dari nama salah satu ikon wayang
golek dari Bandung Jawa Barat yang sudah sangat khas itu.Untuk meracik adonan
dan bumbu siomay, Pak Mudi sendirilah yang mengerjakannya, namun apabila
beliau sedang sakit, maka karyawannya yang membantu membuatnya. Siomay yang
dijual Kang Cepot ada 2 jenis, biasa dan spesial. Dikatakan spesial karena full tengiri
yang rasanya sangat yummi.
Siomay rebus dan goreng ia jual Rp
1000/ biji, sedangkan untuk siomay
super / tengiri, ia jual dengan harga
Rp 2.500/biji. Selain itu juga ada
tahu, kubis/kol, pare, telur rebus yang
dijual Rp 1000/bijinya. Pembeli pun
dipersilahkan untuk memilih sendiri
menu siomaynya. Kini, Siomay Kang
Cepot pun mulai dikenal masyarakat
Jogjakarta. Pak Mudi pun kini sudah
bisa mengkaryakan 15 orang dengan upah Rp 600ribu sampai Rp.900 ribu.
Diantara karyawannya bahkan ada yang sudah 11 tahun membantunya membangun
usaha tersebut. Siomay Kang Cepot buka setiap hari pukul 9 pagi hingga 10 malam,
ia mengaku rata-rata omsetnya mencapai Rp 4 juta/hari. Dari usahanya itu pula,
beliau bisa menyekolahkan dua putranya di fakultas Kedokteran di Solo dan
Purwokerto.
Dengan latar belakang pendidikan yang hanya kelas 1 SD, pak Mudi mempunyai
tekad besar agar dapat menyekolahkan putra-putrinya hingga jenjang yang lebih
tinggi. Beliau sangat yakin bahwa Tuhan-lah yang mengatur rizki, pak Mudi tidak
pernah takut bersaing dengan beberapa orang yang membuka usaha sama dengannya.
Bahkan ada salah satu mantan karyawannya yang bisa sukses dengan membuka
usaha yang sama yaitu berjualan siomay. Namun diakuinya, omset tempat usahanya
tetap stabil.
Kisah Sukses Merry Riana seorang Sales Asuransi
Kisah sukses Merry Riana sebenarnya tidak
lain adalah kisah sukses seorang sales
asuransi atau kalau di Singapura disebut
Konsultan Keuangan karena yang mereka
jual bukan hanya asuransi tetapi produk-
produk keuangan lainnya seperti deposito,
kartu kredit dan sebagainya. Yah, dia
menekuni usaha ini hingga menghantarnya menggapai 1 juta dolar pada umur yang
relatif begitu muda, 26 tahun. Pekerjaan sebagai sales asuransi kadang-kadang tidak
dianggap sebagai pekerjaan elit, terutama di Indonesia. Bahkan, tidak jarang mereka
dicibir karena suka mengusik dan mengganggu ketenangan orang.
Tidak banyak orang bisa mencapai itu. Dan, Merry Riana adalah satu di dalam
sedikit orang sukses itu. Resolusi untuk bebas secara finansial sebelum umur 30
tahun, motivasi yang tinggi, semangat yang menggebu, kerja keras hingga larut
malam tanpa kenal lelah, ketajaman pikiran dan hati, serta hubungan yang intim
dengan Yang Di Atas menjadi kata-kata kunci kesuksesannya.
Buku ini diawali dengan kisah keberangkatan Merry Riana dari Jakarta ke Singapura
pada 1998. Setelah tamat SMA Ursula, dia tadinya hendak kuliah di Universitas
Trisakti. Proses pendaftaran sudah dilakukan. Tiba-tiba pecah kerusuhan. Sebagai
etnis Tionghoa yang menjadi sasaran amuk massa ketika itu, orang tua Ria, sapaan
akrabnya, mengubah haluan demi masa depan putrinya.Meski ekonomi terbatas,
orang tuanya memutuskan untuk melanjutkan kuliah sulung dari tiga bersaudara itu
ke luar negeri dan pilihannya Singapura. Ria kuliah di Nanyang Technological
University (NTU). Untuk biaya kuliah di situ, Ria dan beberapa WNI yang kuliah di
sana mendapat pinjaman dari Development Bank of Singapura yang kalau
dirupiahkan sebesar 300 juta. Uang ini dipakai untuk membayar kuliah hingga lulus,
uang asrama, dan uang saku. Ria haris menyiasati uang yang begitu sedikit agar bisa
bertahan dan tidak membebani orang tuanya di Jakarta.
Tahun pertama, Ria konsentrasi pada kuliah. Biaya hidupnya hanya dengan 10 dolar
per minggu. Untuk itu dia harus makan mi instan yang dibawa dari Jakarta setiap
pagi dan malam sedangkan siang dia hanya makan setangkup ruti tawar.Pada tahun
kedua kuliah, pada masa liburan, Ria tidak berlibur ke Jakarta tetapi mencoba
mencari uang tambahan dengan menjual brosur dengan gaji 3-5 dolar Singapura per
jam. Kemudian dia bekerja di toko bunga. Uang hasil jerih payahnya itu tidak dipakai
untuk berfoyah-foyah tetapi ditabung. Uang tabungannya makin banyak ketika dia
kerja magang di perusahan terkenal di negeri singa itu dengan gaji 750 dolar per
bulan.
Pengalaman susah ini kemudian melahirkan resolusi dalam dirinya. Tepatnya, ketika
dia merayakan ulang tahun ke-20, dia membangun resaolusi bahwa dia mau merdeka
secara finansial sebelum umur 30 tahun. Menjelang akhir kuliah di NTU, Merry
Riana, sempat terjun ke bisnis Multi Level Marketing (MLM). 200 dolar hilang. Dia
juga mencoba main saham. Tapi gagal. Menjelang akhir kuliah, dia bersama
pacarnya yang kini menjadi suaminya Alva Tjenderasa, melirik bisnis mencetak
skripsi mahasiswa NTU dan pembuatan kaus. Tetapi bisnis ini tidak jadi karena
sudah dikuasai pemain besar.
Merry Riana pernah mau menjadi distributor tunggal Tiansi di Singapura. Merry
Riana sudah mengkondisikan teman-teman kampusnya untuk menjadi down line-nya
untuk bisnis MLM yang marak di Indonesia itu. Tetapi akhirnya, Tiansi gagal masuk
Singapura.
Merry Riana dan Alva adalah penyuka buku-buku motivasi sekelas Robert Kiyosaki
dan Anthony Robbins. Bahkan, keduanya mengeluarkan dana lebih dari 2.000 dolar
untuk mengikuti seminar Robbins di Singapura. Bahkan, Merry Riana berhasil
berfoto dengan idolanya itu. Usaha ini tidak mudah. Tetapi tekadnya yang kuat
hingga mimpi berfoto bersama Anthony Robbins terwujud. Setamat kuliah, Merry
Riana dan Alva memilih untuk berwirausaha. Mereka tidak mengikuti arus seperti
teman-temannya yang bekerja di perusahan dengan gaji 2.500-3.000 dolar per bulan.
Keduanya memilih menjadi sales asuransi.
Mereka menghubungi nasabah dari kantor, tetapi sering kali gagal. Lalu mereka pergi
ke mal-mal untuk memprospek calon nasabah. Eh malah diusir satpam. Keduanya
lalu ke stasiun MRT. Satu dua orang berhasil mendengar penjelasan mereka. Tetapi
tidak sampai deal. Mereka lalu mengatur strategi dan siasat untuk menawarkan
produk keuangan. Target pun dipasang. Harus wawancara 20 orang per hari. Target
itu harus dipenuhi, meski badan lelah. Tak jarang, Ria menangis karena terlalu capek.
Saking ngototnya, kadang-kadang target itu baru terpenuhi dini hari. Puncaknya
ketika Merry Riana berhasil meraih 1 juta dolar pada umur 26 tahun, lebih cepat
empat tahun dari resolusinya ketika merayakan ulang tahun ke-20. Kesuksesan itu
menghantarnya terpilih sebagai Presiden Star Club. Inilah yang membawa dia diliput
secara luas media massa di Asia Tenggara. Dia kemudian menjadi pembicara
seminar di mana-mana dan menjadi motivator ulung.
Kisah Sukses John Pieter yang berangkat dari Pemulung Sampah Plastik
John Pieter adalah seorang mahasiswa jurusan
Kimia, Institut Teknologi Bandung (ITB), dengan
semangat pantang menyerah membuat John Pieter
merasa tidak perlu malu dan risih untuk memungut
serta mengumpulkan sampah plastik yang banyak
berserakan di belakang kosnya di kawasan Kota
Bandung, Jawa Barat.
Kucuran keringat dan rasa malu menjadi pemulung tak dia hiraukan karena
keyakinan untuk meraih sukses. Sampah-sampah plastik itulah yang
menginspirasinya untuk membuka usaha pada 1987. Pada awal memulai usaha John
berpikiran, jika dibandingkan harga gabah yang saat itu Rp600 per kg, harga limbah
plastik di tingkat pengepul sudah mencapai Rp1.000 per kg.
Saat itu dia memantapkan diri untuk memulai bisnis daur ulang sampah plastik
sambil tetap kuliah. Menurut John, seorang pengusaha sejati harus memiliki sifat
visioner, memandang jauh ke depan, ditambah keyakinan diri pada usaha yang
dilakukannya.
“Melihat perbandingan harganya yang begitu besar, saat itu saya yakin bisnis ini
akan menghasilkan potensi besar. Dan perlu diingat, untuk menjalankannya bisnis ini
tidak memerlukan modal sama sekali. Hanya dengan catatan, buang jauh-jauh
perasaan malu,” tandas John saat ditemui di ruang kerjanya di Cipamokolan, Kota
Bandung, belum lama ini.
Dibarengi kerja keras dan tak kenal lelah,usahanya makin maju. Hingga suatu hari
ada surat kabar nasional memberitakan sosok John sebagai pengusaha sukses yang
berangkat dari pemulung sampah plastik.
Hal ini berlanjut dengan adanya tawaran kucuran modal dari Mandiri Business
Banking. Sejak saat itu John resmi menjadi nasabah Mandiri Business Banking.
“Modal yang saya terima benar-benar saya gunakan untuk menjalankan roda bisnis.
Saat menerima kucuran modal itu, saya sudah memiliki mesin pengolah sampah dan
sarana pendukungnya hingga tempat usaha. Jadi, saya berani menerima ajakan untuk
bermitra dari Mandiri Business Banking sehingga kredit modal itu bisa digunakan
secara optimal,” papar John.
Dengan bantuan modal dari Mandiri Business Banking, usaha John yang
menggunakan nama Peka Group semakin berkibar. Biji plastik hasil olahannya
menjadi primadona pengusaha yang banyak bergerak di bidang home industry.
“Mereka membeli produk saya untuk berbagai keperluan seperti bahan baku
pembuatan tali plastik, tali rafia, helm, alat-alat rumah tangga, dan lainnya,” tutur
ayah dari Yediza dan Ishak ini.
Keyakinan John menggeluti bisnis pengolahan sampah plastik semakin kuat karena
keinginannya untuk menjadi orang kaya. “Saya berpikiran, jika jadi pekerja,
meskipun lulusan dari kampus ternama, tidak berarti memberikan jaminan bisa
menjadi orang kaya. Di pikiran saya hanyalah bagaimana caranya menjadi orang
kaya melalui jalan yang benar,” ungkapnya.
John merasakan betul bagaimana aktivitasnya mengumpulkan satu per satu sampah
plastik di halaman kosnya untuk dijual kepada pengepul. John mengungkapkan,
kedua orang tuanya yang tinggal di Sumatera tidak mengetahui jika anaknya menjadi
pemulung selepas kuliah.
“Tetapi, saat bertandang ke Bandung, orang tua saya pun akhirnya tahu jika selama
ini saya menjadi pemulung. Saat melihat apa yang saya lakukan, mereka menangis
karena sedikit pun tidak pernah terlintas dalam pikiran kedua orang tua saya jika
anaknya harus memunguti sampah,” tutur lelaki asal Tanah Karo, Sumatera Utara itu.
Namun, hal itu tak menyurutkan langkah John untuk menekuni usaha yang telah dia
rintis. Usahanya sedikit demi sedikit terus mengalami kemajuan dan dia
memberanikan diri meminjam modal pada temannya sebesar Rp4 juta.
Dengan modal tersebut, akhirnya John menjadi seorang pengepul dan memindahkan
tempat usahanya ke kawasan Cikutra, Kota Bandung. Di Cikutra John menyiapkan
tempat khusus yang bisa ditinggali pemulung.
Namun, dia sering meninggalkan tempat usahanya karena harus kuliah dan kadang
mengajar. Untuk itu, dia pun memercayakan kepada seseorang.
“Tanpa sepengetahuan saya, ternyata pemulung yang kerap tidur dan makan bersama
itu menohok dari belakang. Sampah plastik yang sudah saya bayar kembali diambil.
Modal saya pun habis,” kenangnya.
Kegagalan itu diakui John sebagai pengalaman paling berharga. Sebab, sejak
kejadian itu, dia memutuskan untuk fokus menekuni bisnisnya. Aktivitas mengajar
pun akhirnya dia lepaskan dan tempat usaha tersebut hanya ditinggalkan saat John
kuliah.
John pun memantapkan diri menjadi pengusaha limbah plastik. Bisnis jual beli
limbah plastiknya terus berkembang hingga bisa mempekerjakan tiga orang
karyawan. Sadar usahanya terus berkembang pesat, setelah menyelesaikan kuliah
John benar-benar tak ingin mencari pekerjaan sesuai ilmu yang dia peroleh di ITB.
Suami Ninik Maryani ini tetap berkeyakinan, usaha limbah plastik bisa
mengantarkannya menjadi orang kaya. Selama ini John selalu berusaha
menghasilkan produk yang berkualitas. Diawali dengan pemilahan, sampah plastik
mengalami beberapa kali proses pembersihan untuk menghilangkan kotoran yang
menempel.
Setelah itu, sampah plastik itu dipotong-potong kecil hingga akhirnya kembali
dipisahkan berdasarkan titik lelehan melalui proses pemanasan. Ditanya nilai
omzetnya kini, John tidak bersedia mengungkapkan. Begitu pula dengan total aset
yang dia miliki. “Lumayan lah, yang pasti usaha ini hingga kini terus berkembang,”
kata John singkat.
Kini, setelah lebih dari 20 tahun menjalankan usaha limbah plastik, John
menyerahkan kepada orang-orang kepercayaannya untuk mengelola. John juga telah
membuka cabang usaha biji plastik di Makassar, Medan, dan Banjarmasin.
Selain itu, dia juga mendirikan pabrik pengolahan biji plastik di kawasan Bantar
Gebang, Bekasi, Jawa Barat. “Hasil produksi di beberapa daerah tersebut semua
dikirim ke Bantar Gebang,” katanya.
Banyaknya cabang itu sampai membuat John tak tahu persis berapa jumlah seluruh
karyawannya. Tidak ketinggalan, John melibatkan sang istri yang juga teman satu
almamaternya ikut berperan dalam memajukan usaha limbah plastik.
Bahkan, sejak tiga tahun lalu Ninik mengelola sebuah koperasi mikro yang bisa
memberikan pinjaman modal usaha bagi para pemulung dan warga biasa dengan
bunga sangat rendah. Selain itu, John dan istrinya memberikan pelatihan
kewirausahaan kepada pemulung dan warga sekitarnya.
Kisah Sukses Kasiyem Roesmadji dengan Bisnis Sambal Pecel
Madiun
Rasanya sulit membayangkan seorang yang
buta huruf bisa menjadi pengusaha sukses.
Tapi Kasiyem Roesmadji, pengusaha Sambal
Pecel asal Madiun, Jawa Timur, bisa
membuktikan: keterbatasan pendidikan bukan
halangan untuk mengecap keberhasilan.
Tengok saja. Pada kelas 3 sekolah dasar (SD), Kasiyem harus meninggalkan bangku
sekolah karena kedua orangtua tidak punya biaya. Ayah Kasiyem hanyalah seorang
buruh di PT Inka, Madiun. Sehari-hari, ia lebih banyak berjualan mangga dan jambu
kluthuk (jambu biji) di pasar bersama kakeknya.
Kasiyem sendiri adalah anak ketujuh dari 12 bersaudara. Hingga menikah dengan
petani bernama Roesmadji, naluri dagang Kasiyem tak pernah luntur. Di rumahnya di
Jalan Delima 32, Madiun, dia berjualan es dawet setelah aneka gorengan buatannya
tak laku alias gagal.
Kebetulan, rumah Kasiyem berdekatan dengan kantor cabang PT Telkom dan Perum
Pegadaian. Tapi, harapan es dawet buatannya disukai pegawai perusahaan pelat
merah tersebut ternyata kandas.
Toh, itu tidak menyurutkan semangatnya berwirausaha. Kasiyem lalu mencoba
berjualan nasi pecel untuk melayani kebutuhan pegawai kantor di sekitar rumahnya
tersebut.
Eh, ternyata peruntungan Kasiyem mulai berubah. Dagangan nasi pecelnya disukai
banyak pembeli. Buktinya, warung yang ia buka mulai pukul enam pagi tersebut
sudah tutup pada pukul delapan pagi. Laris.
Warung nasi pecel Kasiyem biasa menghabiskan 10 kilogram sambal pecel dalam
sehari. Tapi, di tengah jalan ia merasa repot kalau terus berjualan nasi pecel.
Kasiyem berinisiatif membuat sambal pecel saja.
Tepatnya, pada 1971, Kasiyem mencoba memproduksi sambal pecel khas Madiun.
Untuk menembus pasar, sambal pecel itu ia bungkus dalam ukuran 2,5 ons sampai 5
ons.
Makin lama makin banyak orang yang tahu akan sedapnya sambal pecel Kasiyem.
Bahkan, banyak pembeli yang memesan dalam paket besar. “Kebanyakan pembeli
adalah pegawai Telkom dan Pegadaian,” kata ibu lima anak ini.
Menurut Kasiyem, sambal pecel buatannya bisa terkenal sampai ke Solo dan Jogja
berkat informasi dari mulut orang yang pernah mencoba rasanya. Kasiyem pun mulai
berpikir untuk memberi label pada sambal pecel buatannya agar tidak ada yang
meniru.
Alhasil, pada tahun 1990, pengusaha yang lebih dikenal dengan nama Bu Roesmadji
ini memberi label “Cap Jeruk Purut” pada sambal pecel buatannya. Nama jeruk purut
dipilih lantaran ia menyisipkan daun jeruk purut itu untuk memperkuat rasa sambal
pecelnya.
Selanjutnya, karena sudah terkenal dan memiliki banyak pelanggan, Kasiyem bisa
mendapatkan pinjaman dana dari PT Inka sebesar Rp 10 juta untuk mengembangkan
usaha. Ia menggunakan uang itu untuk memproduksi sambal pecel lebih banyak lagi.
Seiring peningkatan produksi sambal pecel Cap Jeruk Purut, PT Inka
menggelontorkan pinjaman Rp 10 juta lagi ke Bu Roesmadji. “Total saya dapat Rp
20 juta,” kata dia.
Setelah memberi label, Bu Roesmadji berpikir untuk mendapatkan hak paten buat
sambal pecel Cap Jeruk Purut. Tapi, karena mengurus hak paten waktu itu sulit, Bu
Roesmadji pun mengurungkan niatnya.
Eh, tidak disangka, berkat bantuan beberapa orang yang ia kenal, Kasiyem bisa
mendapatkan hak paten pada tahun 2000. “Lalu, pada 2002 sambal Cap Jeruk Purut
mendapatkan sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat,” ujar
pengusaha yang kini mempekerjakan 25 orang pegawai ini.
Bu Roesmadji menuturkan, sehari ia bisa menjual 600 bungkus sambal pecel, dengan
harga Rp 5.000 untuk ukuran 2,5 ons, Rp 11.000 per 5 ons, dan Rp 20.000 per
kilogram. Alhasil, dengan jumlah produksi rata-rata 1,5 kuintal sehari, ia bisa
mengantongi omzet Rp 200 juta per bulan dari usaha sambal pecel Cap Jeruk Purut
ini.
Bagaimana tidak, pelanggan sambal pecel Cap Jeruk Purut sudah meluas hingga ke
kalangan instansi pemerintah, perusahaan swasta, toko, maupun pejabat pemerintah.
Bahkan, pemasaran sambal pecel Bu Roesmadji sudah menyebar hingga ke Malang,
Surabaya, Bali, Bandung, dan Jakarta.
Hebatnya lagi, sambal pecel produksi Bu Roesmadji ini sudah singgah ke Belanda.
Pernah dalam sepekan ia bisa mengirim sebanyak 1 ton sambal pecel ke Negeri
Kincir Angin itu.
Kendati begitu, ujian juga menghampiri Kasiyem. Saat permintaan dari Belanda
meledak pada 1995, Pemerintah Kota Madiun mengalihkan order ke pengusaha lain.
Alasannya, harga sambal pecel Bu Roesmadji terlalu mahal.
Tapi, karena sambal pecel itu
berbeda dengan buatannya,
pengusaha di sana menolak.
“Sambal pecel itu sudah bau meski
baru 15 hari,” ujar dia. Alhasil,
Kasiyem pun kembali menjalin
kontak agar ada lagi pesanan ekspor.
Kasiyem Roesmadji sudah
membuktikan bahwa sambal pecel
khas Madiun bisa mendunia. Setelah berhasil mengekspor sambal pecel Cap Jeruk
Purut ke Negeri Kincir Angin, Belanda, Bu Roesmadji kini membidik pasar Malaysia
dan Singapura.
Bu Roesmadji bilang, beberapa bulan sebelum pemilihan Walikota Madiun, ia
sempat diundang untuk membahas rencana ekspor sambal pecel ke dua negara
tetangga itu. Tapi, hingga saat ini belum ada realisasi sama sekali.
Nah, setelah Walikota Madiun yang baru terpilih, Bu Roesmadji berharap bisa segera
mewujudkan mimpinya mengekspor sambal pecel ke Malaysia dan Singapura. “Saya
hanya ingin tahu bagaimana caranya,” ujar dia.
Menurut Bu Roesmadji, alasannya membidik dua negara itu lantaran banyak warga
negara di sana yang menyukai sambal pecel. Hal itu ia dengar dari beberapa sanak
saudaranya asal Madiun yang tinggal di Singapura dan Malaysia.
Tak hanya ke dua negara itu, Kasiyem juga ingin menjajal pasar ekspor Arab Saudi,
terutama saat musim haji. Pasalnya, permintaan sambal pecel di sana juga oke.
“Pemerintah mesti memberi perhatian ke usaha seperti kami. Sebab peluangnya
menjanjikan,” kata dia.
Kisah Sukses Ibu Pinik dengan Bisnis Telur Asin
Kisah kali ini adalah tentang pengalaman
seorang pebisnis telur asin memulai
usahanya. Ibu Pinik, pemilik merek telur
asin EL ini memulai usaha telur asin
rumahan karena terinspirasi dengan
banyaknya peminat telur asin, namun
masih sedikitnya pebisnis yang melirik
bisnis ini, sementara bahan baku di
daerahnya yaitu berupa telur bebek segar sangat berlimpah ruah. Walaupun sempat
merasa ragu, akhirnya dengan berpikiran positif, ia mencoba merealisasikan bisnis
telur asin ini.
Dimulai dari ide tersebut, akhirnya ia mencoba untuk membuat telur asin. Percobaan
pertamanya gagal karena telur-telur itu menjadi terlalu asin dan kurang enak untuk di
konsumsi. Setelah mengalami beberapa kali kegagalan, akhirnya ia berhasil juga
menciptakan resep telur asinnya sendiri dan ia pun mulai memasarkan telur asin itu
kepada teman-temannya dan keluarganya. Aspirasi teman dan keluarga yang
menyukai telur asin buatannya tersebut membuatnya semakin bersemangat untuk
terus mengembangkan bisnis telur asin ini.
Namun masalah baru muncul. Ia tidak pandai berjualan. Ia hanya bisa memproduksi
telur-telur tersebut lalu menunggu teman atau keluarganya membeli telur-telur itu. Ia
belum pernah mempunya pengalaman untuk berjualan. Padahal, jika ingin usaha
telur asinnya ini berkembang ia harus memasarkan produknya secara luas.
Dari berbagai artikel, dari saran teman-teman dan keluarganya, maka ia harus
mencoba menitipkan telur asin buatannya tersebut ke toko-toko kue dan ke depot-
depot makan. Mungkin bagi orang yang terbiasa berjualan, hal ini sangatlah mudah.
Tinggal membawa telur asin tersebut ke suatu toko atau depot makan, meminta
pemilik toko atau depot tersebut menerima titipan telur-telur asin itu dan selesailah
sudah.
Tapi apa yang dialami ibu Pinik ini jelaslah tidak semudah yang dibayangkannya.
Pemilik toko yang pertama kali dikunjunginya menolak untuk dititipi telur asin itu
dengan alasan produknya masih belum dikenal. Padahal ibu Pinik ini dengan rela
memberikan bonus telur untuk dicicipi oleh pemilik toko. Begitu pula dengan depot
makanan pertama yang dikunjunginya pun menolak karena menganggap telur
asinnya itu belum tentu diminati oleh pengunjung depot tersebut. Hari pertama
akhirnya dilalui dengan tangan hampa, tidak ada satupun toko dan depot yang
dikunjunginya itu mau menerima titipan telur asin-telur asin itu.
Itu berlangsung selama beberapa hari, bahkan hampir dua minggu pertama ia tidak
mendapatkan tempat untuk menitipkan produk telur asinnya tersebut. Putus asa?
Jelas. Ibu Pinik nyaris putus asa akan usaha ini. Sempat di dalam pikirannya terlintas
bahwa bisnis ini tidak akan dapat dipertahankan bahkan ia nyaris menghentikan
pembuatan telur asin mengingat telur asin adalah produk makanan yang tidak akan
dapat disimpan terlalu lama. Telur asin yang tanpa bahan pengawet hanya bisa
bertahan sekitar dua hingga tiga minggu. Jika lebih dari itu, maka rasa dari telur asin
itu akan sangat tidak enak dikonsumsi dan menimbulkan bau yang tidak sedap. Dan
jelas, telur seperti ini tidak akan bisa dijual dan harus dibuang.
Dalam keputusasaan, ia tetap berpikiran positif, bahwa suatu saat telur asin
buatannya ini akan dikenal oleh masyarakat bahkan akan menjadi favorit. Tapi
bagaimana hal itu bisa terjadi jika untuk menitipkan sepuluh butir telur asin ke suatu
toko saja ia belum mampu?
Pikiran positif yang masih dimilikinya tersebut ternyata menjadi modal terbesar di
dalam usaha yang sedang dirintisnya itu. Ia tetap berkeliling setiap hari untuk
mencari toko atau depot yang mau menjualkan produk telurnya itu. Berbagai rencana
pemasaran ia coba, target penjualan pun diturunkannya, dari toko makanan dan depot
makan menjadi warung-warung kecil di pinggir jalan. Hingga akhirnya, ada sebuah
warung kecil mau menerima titipan telur asin tersebut. Berawal dari sepuluh butir
telur untuk seminggu. Bertambah menjadi dua puluh butir untuk seminggu hingga
akhirnya, di satu warung itu, ia mampu menjual lima puluh butir seminggu.
Sejak itu, ibu Pinik berusaha untuk berpikiran positif, maka akan ada banyak jalan
keluar yang bisa dicobanya. Pikiran positif membuatnya kebanjiran ide untuk
mencoba berbagai peluang, pikiran positif membuatnya berani mencoba pangsa pasar
yang mungkin tidak terduga, pikiran positif pula yang membangun kepercayaan diri
untuk terus bangkit dan berusaha tanpa pantang menyerah.
Dari pengalaman ibu Pinik, pengusaha telur asin ini maka kita bisa mengambil
kesimpulan bahwa pikiran positif akan mampu membuat kita menghadapi berbagai
masalah.
Kisah Sukses Pramono, dari Office Boy menjadi Milyader
Kisah perjalanan hidup A Pramono (34) mirip
cerita sinetron. Belasan tahun lalu, ketika pria
kelahiran Madiun ini mengadu nasib ke Ibu
Kota Jakarta, ia memulainya dengan menjadi
office boy di sebuah perusahaan swasta. Lalu ia
beralih menjadi pedagang ayam bakar di
pinggir jalan. Ternyata sukses. Kini Pramono
sudah menjadi miliarder yang memiliki banyak usaha. Siapa yang tidak ngiler? Ayah
satu anak yang akrab dipanggil Mas Mono ini buru buru menambahkan bahwa
sukses bisa diraihnya setelah melewati proses yang cukup panjang. la meyakini,
dalam hidup ini tidak ada sesuatu yang instan. Artinya, kalau ingin sukses mesti
lewat perjuangan.
“Orang tidak tahu dan mungkin tidak mau tahu, ketika memulai usaha ini saya harus
ke pasar jam tiga dinihari. Jam empat subuh sudah menyalakan kompor, ketika
kebanyakan orang masih tidur,” ujar Pramono. Awalnya, suami Nunung ini berjualan
ayam bakar di pinggir Jalan Soepomo, Jakarta Selatan, persisnya di seberang
Universitas Sahid. Di tempat itu, setiap hari-kecuali hari libur dia menggelar tenda,
bangku dan meja untuk berdagang.
Dengan memakai kaus, celana gombrang dan sandal jepit, dia setia melayani pembeli
yang datang dari pagi sampai pukul 14.00. Sebagian pembelinya adalah mahasiswa
dan orang kantoran yang bekerja di wilayah tersebut. “Tapi ya namanya dagang kaki
lima, ada gilirannya. Saya dagang dari pagi sampai siang. Dagangan habis nggak
habis saya harus tutup. Lalu, jam 14.00 diganti pedagang lain yang menjual nasi
goreng, pecel lele dan seafood,” tutur Pramono sambil memperlihatkan foto lamanya
di laptop.
Pria yang menamatkan S3 (maksudnya tamat SD, SMP, SMA) di Madiun ini
belakangan akrab dengan laptop karena dia menjadi salah seorang mentor nasional
dari Entrepreneur University (EU). Foto-foto lamanya itu menjadi salah satu bahan
presentasinya ketika membawakan materi tentang wirausaha. Menurut Pramono,
sejak dulu dia suka fotografi tapi hanya sebatas hobi. Bukan karena dia tahu akari
sukses. Jika diamati, foto Pramono saat masih berjualan di pinggir jalan dan saat
ditemui Warta Kota beberapa hari lalu, memang berbeda jauh. Dulu dia terlihat
kurus, sekarang tampak macho dan keren. “Ya, bedalah Mas. Dulu tidak terawat,
sekarang terawat. Dulu nggak punya tabungan,sekarang tabungan banyak di bank,”
ujarnya sambil menunjukkan tabungannya yang pernah mencapai persis Rp 1 miliar.
Salah satu kebiasaan positif yang dimiliki
Pramono dan sangat memberi inspirasi
adalah kesenangannya belajar sesuatu
yang baru untuk meningkatkan kualitas
hidupnya. Tahun 1999, ketika menjadi
office boy di sebuah perusahaan swasta,
Pramono selalu memanfaatkan,waktu
luangnya dengan belajar komputer. Bukan
bermain bermain game seperti kebanyakan orang. Sebab dia tahu, dengan menguasai
keterampilan itu kariernya bisa naik dan gajinya juga akan lebih besar. Pramono
benar, karena kariernya terus meningkat hingga akhirnya diangkat menjadi
supervisor. Meski jabatannya cukup tinggi tapi dia terus tertantang untuk
meningkatkan taraf hidupnya. Cita-citanya cuma satu, bagaimana caranya lebih
membahagiakan orang-orang yang dicintai, keluarga dan orangtuanya.
Akhirnya, tahun 2001 dia keluar dart perusahaan tersebut dan memulai usaha dengan
berjualan gorengan keliling di seputar,wilayah Pancoran, Jakarta Selatan.
Langkahnya rada ekstrem. Sebab, bagi Pramono, untuk memulai usaha tidak perlu
banyak berpikir, apalagi menghitung rugi laba. Yang terpenting adalah melakukan
action. “Banyak saudara saya yang tidak terima dengan keputusan itu. Apalagi pada
awal-awal berdagang, omzetnya baru Rp 15.000 sampai Rp 20.000 per hari,”
ujarnya. Meski menghadapi banyak tantangan, Pramono tidak mau mundur. Sampai
akhirnya dia mendapat lapak kosong di seberang Universitas Sahid. Dengan modal
Rp 500.000 untuk membeli gerobak dan peralatan lainnya, termasuk ayam lima ekor,
Pramono membuka lembaran barunya dengan menjual ayam bakar. Namun karena
belum mahir mendorong gerobak, pernah suatu ketika ayam dagangan jatuh ke pasir.
Terpaksa ayam tersebut harus dibersihkan dulu. “Kalau orang lain mungkin sudah
mikir macam-macam. Wah ini tanda sepi, nggak laku, karena baru mau jualan
ayamnya sudah jatuh, sial. Namun, kalau saya justru berpikir lain. Wah, ini pertanda
bagus, dagangan saya bakal laku. Sebab, saya menggunakan otak kanan. Selalu
optimis dan percaya dirt,” tegas Pramono. Terlepas dart peristiwa itu, beberapa tahun
kemudian usaha Ayam Bakar Mas Mono berkembang pesat. Dia mempunyai 13
cabang dan dalam satu hari bisa menjual 1.000 ekor ayam. “Sampai sekarang saya
merasa seperti mimpi. Kok bisa ya,” kata Pramono
Kisah Sukses Dudi Purwanto Menekuni Bisnis Bengkel Vespa
Pengalaman menjadi guru paling berharga
dalam menggeluti bisnis. Itu dibuktikan
oleh Dudi Purwanto yang kini sukses
menekuni bisnis bengkel Vespa beromzet
Rp. 500 ribu per hari. Tidak mudah
memulai bisnis, apa pun bentuknya.Hal itu
dibuktikan oleh pemuda kelahiran Jakarta
bernama Dudi Purwanto biasa di panggil Doyok. Sukses yang didapatnya saat ini
dengan membuka bengkel Vespa di Jalan Kayu Manis Timur 11, Jakarta Timur,
diraih setelah melewati waktu bertahun-tahun. Itu pun setelah melalui kerja keras
sejak merintis usaha. Sebelum bengkel bernama Gaya Mandiri (GM) tersebut berdiri,
jatuh bangun membangun bisnis dijalani pria yang dikenal dengan sapaan akrab
Doyok itu. Bahkan berkali-kali dia ditipu rekan bisnis sendiri yang dianggapnya
memiliki niat baik dan bisa menjalankan bisnis bersama-sama.
Kisah sukses Doyok membangun bisnis dengan membuka bengkel berawal dari
pemikirannya ketika bekerja di sebuah perusahaan swasta. Menurut dia, menjadi
karyawan tidak ada jaminan untuk hari depan, termasuk tak mendapatkan
kesejahteraan di hari tua. “Kalau bekerja sebagai karyawan, masa depan tidak
terjamin. Belum hari tua nanti,” katanya ditemui di bengkel miliknya. Sejak
pemikiran itu muncul, dari situlah Doyok mulai berencana untuk membangun bisnis
sendiri. Waktu itu pada 1995, Doyok memutuskan untuk keluar dari perusahaan
tempat dia bekerja.
Langkah pertama berbisnis, Doyok melakukan kerja sama dengan temannya. Namun
sayang, ketika usaha pertama yang dirintisnya, yakni bengkel untuk motor Jepang
berkembang, Doyok justru ditipu teman bisnisnya. “Waktu itu saya hanya kuat
berbisnis dengan teman selama enam bulan, saya ditipu,” ungkapnya mengenang
masa pahit menjalankan bisnis. Setelah ditipu teman sendiri, Doyok kembali
kehilangan segalanya. Modal awal untuk membuka bengkel motor pertamanya itu
ludes dibawa kabur oleh rekan bisnisnya. Namun, kegagalan pertama tersebut tidak
membuat Doyok menyerah. Pria berkacamata tersebut akhirnya memutuskan untuk
kembali membuka bengkel dan melakukan kerja sama. “Waktu itu, untuk memulai
lagi, saya terpaksa meminjam uang,” kenangnya.
Namun, usaha bersama tersebut kembali runtuh. Doyok kembali tertipu teman
sendiri. Dalam masa-masa trauma untuk menggeluti bisnis kembali, Doyok mendapat
saran dari orang-orang dekatnya untuk kembali membuka bengkel, namun bukan
motor buatan Jepang. Dia disarankan untuk membuka bengkel khusus Vespa. Saran
itu akhirnya diterima oleh Doyok dan akhirnya membuka bengkel Vespa dengan
nama GM. Awal membuka usaha tersebut, bengkel milik Doyok hanya berukuran
kecil dan terletak di beranda depan rumah orang tuanya.
Ujian bagi Doyok untuk merintis bisnis saat itu kembali terulang. Setelah tiga bulan
bengkel tersebut berdiri, belum satu pelanggan pun datang untuk memperbaiki
Vespa, apalagi datang meminta bodinya dicat biar lebih bagus. “Kalau diingat-ingat,
tiga bulan pertama buka bengkel itu, tidak ada satu pun pelanggan yang masuk,”
katanya. Namun, Doyok tetap bersabar. Memasuki bulan keempat, pelanggan
pertama pun datang meski teman sendiri. “Ada Vespa satu yang masuk, rasanya
senang sekali. Vespa itu akhirnya saya pinjam dan saya pelajari detailnya,” kata
Doyok.
Sejak itu, keberuntungan Doyok mulai terlihat. Sejak itu pula satu demi satu
bengkelnya banyak didatangi para pemilik Vespa. Mulai dari servis hingga mengecat
bodi dengan berbagai warna yang menarik dan inovatif. “Sejak itulah bengkel ini
mulai banyak diminati. Saat ini saya kewalahan melayani perbaikan Vespa yang
masuk,” ujarnya bersemangat.
Dari pengalaman menjadi mekanik di bengkel miliknya, Doyok menjadi tahu bahwa
pelayanan yang berkualitas dan hasil pekerjaan memuaskan membuat dia tidak
pernah takut kehilangan pelanggan. “Bagi kami kepuasan pelanggan itu nomor satu,”
ungkapnya. Selain itu, pengalaman ditipu teman, bahkan sampai dua kali, membuat
Doyok menjadi lebih percaya diri bahwa dia bisa menjalankan bisnis sendiri. Dalam
mengelola bengkelnya, Doyok tidak mau tanggung-tanggung.
Untuk itu, walaupun sudah memiliki tiga orang karyawan, Doyok tidak sungkan-
sungkan ikut membantu karyawannya memperbaiki atau mengecat motor keluaran
Italia tersebut dengan tangan sendiri. “Jangan mentang-mentang sudah bos, anak
buah disuruh kerja sendiri,” katanya merendah. Berkat ketelatenan dan semangatnya
untuk terus maju, sekarang Doyok sudah memiliki ratusan pelanggan. Bahkan
menurut Doyok, ada satu keluarga yang menggunakan Vespa selalu memperbaiki
atau menyervis ke bengkelnya.
Kisah Tati Hartati, Sukses dengan Menjahit Omset Milyaran
Berikut adalah kisah pendiri produk pakaian jadi “Dannis”
specialis pakaian muslim. Dengan modal awal Rp.1juta dan
keuletan berusaha kini beromset Rp 2 milyar. Salah satu kisah
sukses yang bisa menjadi inspirasi bagi kita semua. Sebuah
inspirasi bisa muncul dari mana saja, termasuk dari keluarga
sendiri. Tati Hartati pun bisa menjadi seorang pengusaha
pakaian muslim yang sukses berkat terinspirasi kemandirian
ibu kandungnya.
Sewaktu kecil dulu, pemilik “Rumah Dannis” ini hidup dalam keprihatinan. Untuk
membeli pakaian saja tidak mampu. Bila ingin baju baru, sang ibu rajin membuatkan
baju untuk Tati dan juga saudara-saudaranya.
Alhasil, Tati terbiasa mengenakan pakaian hasil jahitan sang ibu. Begitu pula ketika
Hari Raya Lebaran tiba. Ketekunan dan ketelatenan sang ibu inilah yang menjadi
sumber ilham bagi Tati untuk memberanikan diri menjahit pakaiannya sendiri saat
duduk di kelas empat sekolah dasar (SD).
Sejak itu pula Wati belajar mandiri. Setidaknya, dia tak lagi meminta uang jajan
kepada orangtuanya lantaran dia bisa mencari uang sendiri dari jualan pakaian
boneka dan tempat pensil. Apalagi hasil keterampilan tangan Tati semakin terkenal
di kalangan teman-temannya. “Di sekolah jadi banyak yang tahu, dan pesanan terus
bertambah,” kenang Tati.
Setelah lulus sekolah kejuruan itu, bukannya bekerja, Tati malah masuk ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Tidak tanggung-tanggung, dia bisa kuliah di Institut
Teknologi Bandung (ITB) hingga berhasil meraih gelar insinyur kimia.
Setelah lulus kuliah, Tati pun harus bekerja di
kantoran. Maklum, ketika itu sang ayah memasuki
masa pensiun dari sebuah badan usaha milik negara
(BUMN). Tanggung jawab keluarga seolah berpindah
ke pundak Tati. “Ibu saya tidak bekerja dan ayah pensiun. Jadi, untuk biaya kuliah
adik, saya harus mencari uang,” kata Tati.
Setelah menikah pada 1998, ternyata sang suami tidak mengizinkannya bekerja di
kantoran. Larangan inilah yang menjadi dorongan kuat bagi Tati untuk berjualan
pakaian buatan sendiri. Dengan modal Rp 1 juta dari suami, Tati mulai membuktikan
keahliannya dalam menggambar dan mendesain pakaian. Itu semua dia lakukan di
sela-sela kegiatan mengurus rumah dan anak.
Meski disambi mengurus rumah tangga, saban bulan, Tati mampu membikin 50
potong pakaian anak. Semuanya dia desain, jahit, dan bordir sendiri. “Jiwa saya
selalu ingin menghasilkan sesuatu,” ujar Tati.
Dan ternyata, baju anak hasil kreasinya diterima pasar. Tati pun kian semangat. Dia
juga mulai berani memasang merek Dannis pada baju bikinannya.
Lantas, tumbuh pula kepercayaan dirinya untuk mengembangkan usaha. Tati mulai
memproduksi pakaian muslim dewasa, mukena, hingga jilbab.
Sayang, kali ini tidak laku. Toko-toko pakaian di Surabaya tidak mau menjual
produknya. Ternyata, pakaian muslim buatan Tati bukan segmen dari toko-toko
pakaian itu. Dia lantas berpikir, produk Dannis harus jelas target dan segmentasinya.
“Akhirnya saya fokuskan produk ini untuk kalangan menengah ke atas,” tutur Tati.
Untuk bisa membuat model baju dengan mode mutakhir, Tati rajin menonton acara
mode di televisi, membuka majalah wanita, hingga jalan-jalan ke berbagai kota.
“Kalau lihat ada pameran fashion di televisi, saya selalu membayangkan berada di
acara tersebut dan melihat semua desain untuk menyelami,” ujar Tati.
Omset Rp 2 miliar
Di dunia mode, Tati merasakan sebuah ide itu menguras pikiran dan tenaga; hingga
terkadang Tati merasa jenuh. Tapi, karena bisnis ini menguntungkan, dia pun tetap
senang menjalaninya.
Kemampuannya berimajinasi soal model membuat busana Dannis selalu segar.
Karena itu, tak perlu heran kalau bisnis Tati juga terus berkembang. Sekarang ini Tati
mampu memproduksi 35.000 potong baju dengan omzet mencapai Rp 2 miliar per
bulan. Harga termahal dari baju muslim bermerek Dannis ini Rp 250.000.
Tati kini memperkerjakan 1.000 orang karyawan dengan melibatkan 500 agen yang
tersebar di kota-kota besar. Dia menerapkan konsep kemitraan. “Jadi, saya tidak
perlu membuat gerai, sehingga lebih efektif dan efisien,” imbuh Tati.
Kendati sudah malang melintang di dunia busana, pakaian muslim buatan Tati tak
lepas dari kritikan, termasuk dari konsumen. “Saya anggap kritikan itu sebagai
pemacu untuk menampilkan produk yang lebih baik lagi,” ujar Tati.
Kisah Sukses Sasang Priyo Sanyoto dengan Bisnis Kreasi Ampas Kopi
Berbeda dari kedai kopi lainnya,
Refresho coffee shop tidak hanya
menyajikan aneka macam menu
minuman kopi bagi para konsumennya,
namun juga melengkapi interior
bangunannya dengan beragam jenis
perabot rumah tangga yang terbuat dari
limbah atau ampas kopi. Dirintis pada
bulan April 2010 silam, awalnya Sasang
Priyo Sanyoto (sang owner) menekuni bisnis kerajinan yang semuanya diproduksi
dari limbah atau ampas kopi.
Namun seiring dengan meningkatnya permintaan konsumen, sekarang ini Sasang
tidak hanya memproduksi aneka macam kerajinan dari limbah kopi saja. Tetapi Ia
juga mulai membuka bisnis kedai kopi dengan beragam menu andalan yang banyak
digemari para pelanggan.
Mengambil ide bisnis dari tradisi “nyenthe” kebiasaan masyarakat Jawa Timur yang
sering mengoleskan endapan kopi pada sebatang rokok untuk mendapatkan sensasi
rasa baru. Sasang mencoba melakukan sedikit inovasi, dengan mengaplikasikan
tradisi nyenthe pada barang perabot rumah tangga yang ada di sekitarnya. Sebut saja
seperti piring, gelas, kap lampu, dan lain sebagainya. Tak disangka-sangka inovasi
tersebut diminati banyak konsumen, sehingga Sasang mulai tertarik memasarkan
kreasi kerajinan limbah kopi dengan mengangkat Centhe Merchandise sebagai brand
produk yang Ia usung.
Melihat respon pasar yang cukup bagus, bapak satu anak ini memberanikan diri
untuk melebarkan sayap bisnisnya dengan membuka usaha kedai kopi. Mengambil
nama Refresho yang merupakan gabungan kata “refresh” dan “Indonesia”, Sasang
ingin menjadikan kedai kopinya sebagai media refreshing bagi seluruh masyarakat
Indonesia.
Bermodalkan uang sebesar Rp 30 juta, Sasang membangun kedai kopi Refresho
dengan konsep sederhana namun bersahabat, disesuaikan dengan jargon andalannya
yakni “lebih kecil, lebih sederhana, dan lebih bersahabat”. Dimana kedai kopi
tersebut sengaja menggunakan konsep sederhana agar bisa dijangkau semua kalangan
konsumen, serta senantiasa memberikan pelayanan hangat dan bersahabat bagi setiap
pelanggaan yang datang ke kedai kopinya.
Kisah Sukses Sasang Priyo Sanyoto dengan Bisnis Kreasi Ampas KopiMemiliki
menu andalan seperti misalnya continental coffe, gingseng coffe, ginger coffe, kopi
godhog, fruit coffee (kopi rasa buah), serta coffee late dengan hiasan latte art yang
menawan. Kedai kopi Refresho yang berlokasi di Sidoarjo ini dikunjungi sedikitnya
200 orang tamu setiap harinya. Tidak heran bila omset sekitar Rp 600.000,00 sampai
Rp 1.000.000,00 per hari bisa dikantongi pengusaha sukses ini, bahkan angka
tersebut bisa melonjak hingga dua kali lipatnya ketika memasuki hari libur atau akhir
pekan (sabtu dan minggu).
Berkat kreativitas Sasang Priyo Sanyoto dalam menggabungkan kreasi kerajinan
limbah atau ampas kopi dengan konsep bisnis kedai kopi yang Ia bangun, kini omset
puluhan juta rupiah bisa masuk ke kantong Sasang setiap bulannya. Tidak hanya itu
saja, sekarang ini bisnis kedai kopi Refresho telah berkembang menjadi bisnis
kemitraan dan telah tersebar hingga Daerah Tulungagung, Padang, serta Makassar.
Semoga kisah sukses Refresho berawal dari ampas kopi ini bisa memberikan manfaat
bagi para pembaca dan menginspirasi seluruh masyarakat Indonesia untuk terus
berkreasi dan berinovasi menciptakan peluang-peluang bisnis yang menjanjikan
keuntungan cukup besar. Maju terus UKM Indonesia dan salam sukses.
Kisah Pak Sanim ” Tukang Becak yang Sukses jadi pengusaha”
Siapa bilang tukang becak tidak bisa kaya? Pak Sanim, seorang warga asal Cirebon
telah membuktikannya. Anda tahu bagaimana latar pendidikannya? Beliau bukan
seorang lulusan dari universitas ternama juga bukan seorang sarjana bisnis. Latar
belakang pendidikan beliau hanya sampai SD, itu pun hanya sampai kelas 4. Berkat
kegigihannya kini ia telah menjadi pengusaha sukses kaya raya yang memiliki 10
mobil, 3 rumah, dan 2 pabrik.
Sebelum Pak Sanim menjadi seorang pengusaha, ia pernah bekerja menjadi tukang
becak di sekitar prapatan Cirebon. Lama menjalani profesi ini ia menjumpai sebuah
pabrik garam di sekitar tempat pangkalannya. Dari situ ia mencoba untuk beralih
bekerja menjadi seorang karyawan di pabrik tersebut.
Seiring berjalannya waktu, ia mulai berpikir untuk membuka pabrik sendiri.
Menurutnya garam memiliki potensi besar pada waktu itu mengingat banyaknya
permintaan dari daerah sekitar Cirebon dan sekitar Jawa Tengah.
“Setelah dua bulan bekerja, saya pun berpikir, daerah kita kan punya potensi garam,
loh kenapa saya tidak bisa membuat garam sendiri,” ungkapnya.
Akhirnya, Sanim berhenti kerja dari pabrik garam tersebut. Di situlah ia mulai
berpikir, usaha garam ternyata mampu mengeruk keuntungan yang lebih besar dari
buruh pabrik, apalagi tukang becak.
Baginya, garam bukan hanya sebagai bumbu penyedap makanan, melainkan juga
dibutuhkan untuk keperluan industri, pertanian, dan perikanan. Ternyata, tidak sia-sia
pernah bekerja di pabrik garam. “Jadi bisa dikatakan cuma menimba ilmu di pabrik
tersebut,” tuturnya.
Pada awalnya ia mencoba untuk membuka pabrik sendiri di belakang rumah bersama
isterinya. Masih sangat sederhana dan di olah secara tradisional. Setelah di produksi
ternyata dagangannya laku terjual. “Lambat laun ternyata keuntungan kita tambah
besar dan banyak peminatnya. Akhirnya kita menambah karyawan dari tetangga-
tetangga kita lalu kita bisa membeli tanah untuk tempat produksi yang lebih luas lagi
dan sekarang ada pabrik, yakni pabrik garam,” tambahnya.
Sanin mengaku, dalam setahun ia bisa menghasilkan garam minimal mencapai 2.000
ton. Sanin mengaku kewalahan memenuhi permintaan garam olahan yang datang dari
Cirebon dan luar kota.
Usahanya yang ditekuni Sanin sejak 30 tahun silam bukannya tanpa tantangan.
Ketika usahanya tumbuh dan membutuhkan tambahan modal, ia pernah ditolak saat
mengajukan pinjaman ke sebuah bank karena dianggap usahanya tidak menjanjikan.
Berkat kegigihannya, akhirnya Sanin pun bisa memperoleh pinjaman.
“Kita pernah mengajukan utang pinjaman ke bank, tapi waktu itu ditolak. Katanya
setelah ditolak, bangunnya masih bilik. Setelah itu akhirnya kita ke bank lain. setelah
diproses dan melihat prospek perkembangan usaha kita, akhirnya kita dapat dana dan
akhirnya usaha kita berkembang sampai sekarang. Sekarang punya tanah, punya
kantor, punya pabrik,” sebutnya
Pria yang tidak tamat pendidikan sekolah dasar (SD) ini menjelaskan hasil usahanya
bisa membuat ia naik haji beberapa kali dan menyekolahkan anaknya hingga ke
jenjang sarjana. Usaha yang ditekuni Sanin saat ini, juga telah merambah ke pabrik
pembuatan pupuk.
“Anak saya pun kini sarjana semua. Sementara saya pendidikan kelas 4 SR (setara
SD) dulu. Makanya kita punya anak tidak mau mengalami masa muda seperti kita,
makanya kita sekolahkan semua itu. Kita haji pun sudah dua kali, malah akan datang
tahun depan mau umroh dulu,” tutup Sanin.
Recommended