KOMPARASI PEMIKIRAN NURCHOLIS MADJID DAN MUHAMMAD
AMIN SUMA TENTANG NIKAH BEDA AGAMA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
MOHAMMAD IQBAL IBNU ANSHORI
11150440000030
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441H/2020M
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “Komparasi Pemikiran Nurcholish Madjid dan
Muhammad Amin Suma tentang Nikah Beda Agama” telah diajukan dalam
sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal ............ Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Program
Strata Satu (S-1) pada Program Studi Hukum Keluarga.
Jakarta, .........................
Mengesahkan,
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H.,M.A.,M.H.
NIP. 197608072003121001
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : Dr. Hj. Mesraini, S.H.,M.A.g. ( ............................) NIP.197602132003122001
2. Sekretaris : Ahmad Chairul Hadi, M.A ( ............................) NIP. 197205312007101002
3. Pembimbing : Hj. Rosdiana, M.A. ( ............................) NIP. 196906102003122001
4. Penguji I : Dr. Umar Al-Haddad, M.Ag. ( ............................) NIP, 196809041994011001
5. Penguji II : Mu'min Roup, M.A. ( ............................) NIP, 197004161997031004
iv
ABSTRAK
MOHAMMAD IQBAL IBNU ANSHORI. 11150440000030. Komparasi
Pemikiran Nurcholish Madjid dan Muhammad Amin Suma Tentang Nikah Beda
Agama. Program Studi Hukum Keluarga. Fakultas Syariah dan Hukum.
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 1441 H/ 2020 M.
Xiii + 82 halaman.
Tujuan skripsi ini adalah memaparkan permasalahan nikah beda agama
yang merupakan topik yang tak pernah basi, karena selalu mengundang
perdebatan dan perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya pernikahan laki-laki
muslim dengan perempuan non-muslim atau sebaliknya. Peneliti mengambil
komparasi pemikiran tokoh antara Nurcholish Madjid dan Muhammad Amin
Suma yang mempunyai perbedaan penafsiran walaupun berawal dari satu frame
yang sama.
Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan
deskriptif analitis dan menggunakan teknik pengumpulan data dengan riset
pustaka dan wawancara langsung kepada tokoh terkait dan beberapa buku karya
para tokoh.
Hasil dan kesimpulan dari penelitian ini menjalaskan bahwa, Nurcholish
Madjid dan murid-muridnya mengemukakan pemikiran bahwa nikah beda agama
itu dimungkinkan. Demi terjalin ukhuwah antar agama, juga sebagai pembuka
wacana yang lebih luas untuk masa depan dari agama-agama berangkat dari
semangat „pembaharuan‟ dan pluralisme, terlihat bahwa Paramadina pernah
menfasilitasi nikah beda agama pada masa lalu. Sementara itu, Muhammad Amin
Suma menganjurkan tidak melakukan nikah beda agama kecuali dalam kasus-
kasus tertentu yang tidak bisa dihindari, nikah beda agama adalah pintu darurat
dan bukan sebuah kebolehan umum. Mereka berdua berbeda pendapat dalam
memberikan definisi tentang ahli kitab serta siapa saja yang termasuk ahli kitab.
Selain adanya perbedaan definisi ahli kitab, dalam memahami konsep nikah beda
agama tetapi mereka juga mengambil pendekatan yang berbeda. Nurcholis Madjid
dengan pendekatan teologi-historikal dan filosofis sementara Muhammad Amin
Suma dengan pendekatan teologi dan aqidah syariah sehingga menghasilkan hasil
pemikiran yang berbeda pula.
Kata Kunci : Nikah Beda Agama, Nurcholish Madjid, Muhammad Amin Suma
Pembimbing : Hj. Rosdiana, M.A.
Daftar Pustaka : Tahun 1985 - 2019
v
KATA PENGANTAR
Segala Puji bagi Allah, Tuhan semesta alam dan Tuhan diatas segala
kebesaran yang ada. Dengan kalimat “Laailaha illallah” kita hidup dan kita
dimatikan semoga tetap dengan prinsip menjaga iman serta tauhid kita kepada
Allah SWT. Atas dasar rahtmat-Nya lah yang selalu menaungi setiap hamba-Nya
tanpa pilih kasih, tanpa membedakan satu sama lain dan dengan keadilan dan
kebijaksanaan-Nya, sehingga penulis mampu merasakan nikmat hidup dan nikmat
sehat serta nikmat lainnya, nikmat yang tiada tara. Dan dari sebab-sebab itulah,
penulis pun akhirnya mampu menyelesaikan tulisan ini sebagai tugas akhir.
Tidak lupa dan tidak akan pernah bisa putus shalawat serta salam kita
kepada Nabi junjungan umat, yang selalu menegakkan kalimat Allah dalam setiap
tutur kata, tindakan dan ketetapannya, yang selalu kita harap penuh syafaat
darinya dan selalu kita rindu untuk berjumpa dengannya, tidak lain dan tidak
bukan Baginda Nabi Besar nan Agung Muhammad Rasulullah SAW. Atas dasar
peran besar beliaulah, Islam selain merupakan agama juga menjadi peran
peradaban dan sejarah yang besar yang bisa membawa dan menuntun umatnya
kedalam jalan yang benar-benar lurus dan penuh keridhoan dari-Nya. Jalan yang
indah dan penuh perdamaian serta kesejahteraan bagi yang mampu meresapi nilai-
nilainya.
Alhamdulillah, penuh syukur atas karunia Allah yang telah diberikan.
Sehingga sampai titik balik ini, sampai ke tahap ini, penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini, atas segala dorongan dan motivasi dari Bapak terhebat
Khoirul Kamami dan Ibu yang lembut kasihnya Siti Nur Hasanah, juga terhadap
saudara kandung satu-satunya Zulfikar Ali Musa yang ia pun masih berjuang di
pondok sana. Mereka semua senantiasa memberi masukan, dorongan dan
semangat yang tiada henti-hentinya kepada penulis untuk menyelesaikan proses
yang pastinya selalu menemui fase naik-turun dan penuh ujian ini hingga sampai
titik dimana terselesaikannya amanah di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dari sinilah, penulis belajar akan saling menguatkan satu
sama lain dan selalu berusaha tanpa kenal lelah tanpa kata menyerah. Semoga
vi
Allah selalu memberikan limpahan rezeki yang penuh barokah dan limpahan ilmu
yang berkah dan teramalkan bagi lingkungan dan masyarakat. Amin.
Selain itu, tak lupa penulis ucapkan banyak kata terimakasih kepada
pihak-pihak lain yang turut memberikan sumbangsihnya dan membantu
memberikan pengaruh positif selama masa perkuliahan ini. Terimakasih sebesar-
besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, L.c.,M.A., selaku Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2019-
2023.
2. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H.,M.A.,M.H selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Dr. Mesraini, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.
Yang mana selalu mendorong kami dengan nasihat, motivasi dan
bantuannyalah kami selalu semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.
4. Ibu Hj. Rosdiana, M.A., selaku Dosen Pembimbing skripsi yang selalu
meluangkan waktu membantu dengan memberi masukan, nasihat dan
saran yang tak kenal lelah dalam proses penyusunan tulisan ini dari awal
hingga akhir, hingga dapat terselesaikan seperti sekarang ini.
5. Dr. Ahmad Juaini Syukri, L.c., M.A., selaku Dosen Penasehat Akademik
yang selalu memberikan arahan dan banyak pelajaran yang bisa kami
dapatkan dari awal masuk keliah hingga pada titik proses wisuda ini.
6. Keluarga Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, segenap dosen, karyawan dan staff
yang telah banyak membantu baik langsung maupun secara tidak langsung
dengan menyediakan fasilitas-fasilitas belajar yang baik dan profesional.
7. Keluarga Besar Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (DEMA-F) dan
Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Hukum Keluarga Fakultas
vii
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta
8. Keluarga Forum Komunikasi Alumni Walisongo (FORKALIS)
Jabodetabek, kalian keluarga kecil yang tak bisa tergantikan. Tetaplah
menjadi santri selayaknya santri dan jangan pernah berhenti berbuat baik.
9. Aliansi Kosan Nenek: Edo, Sholeh, Fadil, Fiqi, Akbar, Jamet, Abu, Lani,
dkk yang tak bisa disebutkan satu persatu. Yang selama ini selalu bertukar
pikiran dan kegilaan.
10. Keluarga Besar, Bpk. Khoirul Kamami, Ibunda Siti Nur Hasanah dan Adik
laki-laki satu-satunya Zulfikar Ali Musa. Semua bentuk pengorbanan
beliau-beliau demi melihat anak-anaknya sukses, do‟akan anak-anakmu
selalu agar suatu saat tiba saatnya kami yang akan membahagiakan kalian
dan membuat bangga nama keluarga. Ridhoi kami selalu karena dengan
ridho kalian lah, kami menjadi kami yang sekarang dan yang akan datang.
11. Rodiana Zahratul Muharom, sosok perempuan hebat yang selalu ada dan
menemani di kala suka dan duka. Dari awal semester sampai lulus duluan,
semoga tetep menjadi teman hidup yang selalu berbagi rasa. Sampai ke
surga nanti. Amin.
Dan terakhir, penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga pada pihak-
pihak yang tentunya tidak bisa disebutkan satuperastu yang turut andil dalam
mendukung dan men-support secara lahir maupun batin. Semoga Allah SWT
membalas kebaikan kalian semua. Amin.
Ciputat, ................
Penulis
Mohammad Iqbal I. A
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan
asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin dimana istilah Arab tersebut belum
dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup penggunaannya masih
terbatas.
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
H ha dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis bawah ص
D de dengan garis bawah ض
T te dengan garis bawah ط
ix
Z zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan „ ع
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Qo ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrop ˋ ء
Y Ya ي
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti bahasa Indonesia, memiliki vokal
atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau
monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
َ A Fathah
ِ I Kasrah
ُ U Dammah
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan sebagai
berikut:
xi
.al-syuf‟ah tidak ditulis asy-syuf‟ah = الشفعة
Dalam penulisan ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat
contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta
marbȗtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah
tersebut diikuti dengan kata benda (isim), maka huruf tersebut dialihaksarakan
menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
No. Kata Arab Alih Aksara
syarî‟ah شريعة 1
al-syarî‟ah al-islâmiyyah الشريعة اإلسالمية 2
muqâranat al-madzâhib مقارنة املذاىب 3
Untuk huruf kapital tidak dikenal dalam tulisan Arab. Tetapi dalam
transliterasi huruf ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diketahui bahwa jika nama diri
didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap
huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh: البخاري
= al-Bukhâri tidak ditulis Al-Bukhâri.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut
berasal dari bahasa Arab, Misalnya: Nuruddin al- Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn
al-Rânîrî.
xii
Setiap kata, baik kata kerja (fi‟il) kata benda (isim) atau huruf (harf),
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih akasara dengan
berpedoman pada ketentuan-ketentuan diatas:
No Kata Arab Alih Aksara
-al-darûrah tubîhu al الضرورة تبيح احملظورات 1mahzûrât
al-iqtisâd al-islâmî االقتصاد اإلسالمي 2
usûl al-fiqh أصول الفقو 3
شياء اإلباحةاألصل يف األ 4 al-„asl fî al-asyya َ al-ibâhah
al-maslahah al-mursalah املصلحة املرسلة 5
xiii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................ i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ......................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................................... viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ........................... 4
1. Identifikasi Masalah ...................................................................... 4
2. Pembatasan Masalah ..................................................................... 5
3. Rumusan Masalah ......................................................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 6
D. Tinjauan Kajian Terdahulu ................................................................ 6
E. Metode Penelitian .............................................................................. 8
1. Jenis Penelitian .............................................................................. 8
2. Jenis Pendekatan ........................................................................... 9
3. Sumber Data ................................................................................ 10
a. Sumber Data Primer ............................................................... 10
b. Sumber Data Sekunder ........................................................... 10
4. Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 11
c. Wawancara ............................................................................. 11
d. Riset Kepustakaan/dokumen .................................................. 11
F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 12
BAB II TINJAUAN UMUM NIKAH BEDA AGAMA ................................... 13
A. Pengertian Nikah dan Nikah Beda Agama ...................................... 13
xiv
B. Pandangan Ulama Klasik dan Kontemporer tentang Nikah Beda
Agama .............................................................................................. 17
C. Landasan Yuridis Nikah Beda Agama ............................................. 22
D. Rukun dan Syarat Sah Nikah ........................................................... 26
BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN NURCHOLIS MADJID DAN
MUHAMMAD AMIN SUMA ............................................................. 30
A. Biografi Nurcholis Madjid ............................................................... 30
1. Latar Belakang dan Pendidikan .................................................. 30
2. Karya-karya Intelektual ............................................................... 35
3. Pemikiran Nurcholis Madjid tentang Nikah Beda Agama .......... 36
B. Biografi Muhammad Amin Suma.................................................... 39
1. Latar Belakang dan Pendidikan .................................................. 39
2. Karya-karya Intelektual ............................................................... 42
3. Pemikiran Muhammad Amin Suma tentang Nikah Beda Agama
.....................................................................................................43
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN NIKAH BEDA AGAMA MENURUT
PEMIKIRAN NURCHOLIS MADJID DAN MUHAMMAD AMIN
SUMA ................................................................................................... 52
A. Analisis Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Nurcholis Madjid dan
Muhammad Amin Suma tentang Nikah Beda Agama ..................... 52
B. Analisis Dasar Hukum dan Penguat Argumentasi Pemikiran
Nurcholis Madjid dan Muhammad Amin Suma tentang Nikah Beda
Agama .............................................................................................. 61
BAB V PENUTUP ............................................................................................. 77
A. Kesimpulan ...................................................................................... 77
B. Saran ................................................................................................ 79
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 81
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Maraknya aksi bela Hak Asasi Manusia (HAM), kesetaraan gender,
kesetaraan hak warga negara dan aksi-aksi perihal kebebasan berpikir dan
beraspirasi ini juga melahirkan banyak cabang permasalahan yang
mendompleng/menyuarakan tentang kesetaraan hak. Diantaranya, selain
maraknya masalah perkawinan sesama jenis (LGBT) ini juga marak terjadinya
perkawinan beda agama atau cinta lintas agama. Perkawinan beda agama
menimbulkan pro dan kontra terkait kebolehan secara hukumnya dan
kebolehan dalam pelaksanaannya. Karena selain menimbulkan perbedaan
pemikiran tentang kebolehannya, nikah beda agama ini juga menimbulkan
dampak permasalahan setelahnya atau berdampak juga setelah terjadinya
pernikahan itu.
Perkawinan adalah akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan
boleh melakukan sesuatu yang sebelumnya dilarang, dengan tujuan untuk
menjadikan keluarga sakinah, mawaddah wa rohmah. Pernikahan merupakan
sesuatu yang pada dasarnya mubah (boleh) bahkan dianjurkan dan
diperintahkan sebagai sunnah Allah dan sunnah Rasul. Perkawinan yang
dianjurkan oleh agama menjadikan hubungan antara laki-laki dan perempuan
itu menjadi mubah, oleh sebabnya perkawinan haruslah dilakukan dengan
memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan agama masing-masing.1
Pernikahan juga merupakan cara yang Allah pilih untuk manusia beranak
pinak dan meneruskan keturunan serta melestarikan kehidupan masing-masing
saat mereka siap untuk mewujudkan dari tujuan pernikahan tersebut.2
1 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta; Prenada Media,
2014) Cet. ke-4, h. 43
2 Drs. H. Abdu Rahman Ghazaly, M.A. Fikih Munakahat (Jakarta Timur: Prenada Media,
2003) cet. pertama, h. 10-11
2
Indonesia adalah negara yang penuh keragaman dan bermacam-macam
suku, bangsa dan bahasa. Juga terdapat lima agama yang diakui di Indonesia
(yang keenam adalah konghucu/tionghoa) dan Islam merupakan mayoritas
agama yang dipeluk di Indonesia yang jumlahnya sedemikian besar sehingga
menjadi barometer bahwa pemerintah perlu ada campur tangan dalam
pelaksanaannya. Terutama dalam pembahasan ini adalah tentang pelaksanaan
pernikahan dan pencatatan pernikahan serta masalah keperdataan lainnya.3
Keragaman itu bersifat mutlak, karenanya dengan menghormati
keberagaman maka akan menjadi rahmat. Maka dari itu, diantara dilema fikih
paling serius adalah ketika pembahasan keagamaan berbenturan atau
bersinggungan dengan kalangan diluar komunitasnya, yaitu non-Muslim,
apapun aliran dan kepercayaannya. Ada beberapa istilah fiqih klasik yang
dianggap musuh adalah diantaranya, “musyrik”, “murtad” dan “kafir”. Bila
pembahasan fiqih sudah bertemu dengan istilah-istilah itu pastinya fiqih klasik
seolah merasa anti.4
Seperti halnya pernikahan beda agama, selalu menjadi topik yang tak
pernah basi, karena selalu mengundang perdebatan dan perbedaan pendapat
antara boleh tidaknya pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan non-
Muslim atau sebaliknya, dilihat dari sudut pandang hukum positif (peraturan
perundang-undangan negara) maupun hukum agama, dalam konteks ini adalah
hukum islam (fiqih).5 Nurcholis Madjid salah satu tokoh pembaharu islam
yang modernis fenomenal dan kontroversial. Menurutnya, titik tolak yang
menjadi perdebatan perihal nikah beda agama ini terletak pada definisi wanita
“Ahlul Kitab”. Karena itu pastilah merujuk pada wanita non-Muslim,
sebelumnya ulama keseluruhan sepakat bahwa haram menikahi wanita
musyrik. Yang dibolehkan adalah menikahi wanita “Ahlul Kitab”.dan ulama
3 A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama (Jakarta: Qolbun Salim, 2005) Cet. Pertama,
h. 1
4 Nurcholis Madjid dkk, Fikih Lintas Agama (Jakarta: Paramadina, 2004) Cet. ke-5, h. 2
5 Kawin Beda Agama di Indonesia, Prof. Dr. Muhammad M Amin Suma, S.H., MA.,
M.M., (Tangerang, Lentera Hati, 2015) h. 100-101
3
mempunyai definisi yang berbeda-beda tentang itu, karena yang kita pahami
sekarang adalah konsep “Ahlul Kitab”-nya Imam Syafi‟i saja.
Nurcholis Madjid menyatakan bahwa, tidak semua orang non-Muslim
itu haram dinikahi, selain orang musyrik. Lalu, apa definisi musyrik itu
sendiri. Bukankah Agama Yahudi dan Nasrani itu sendiri juga menyekutukan
Allah, karena menganggap Isa bin Maryam adalah putra Allah atau Uzzair
sebagai anak Allah. Yang digadang-gadang bahwa Agama Yahudi dan
Nasrani itu termasuk Ahli Kitab dan yang dibolehkan untuk dinikahi.6 Tapi
tidak berhenti disitu, dalam pembahasan nanti juga dipaparkan bahwa sebutan
Ahli Kitab tidak hanya untuk yang beragama Yahudi dan Nasrani (Agama
Samawi) saja, sehingga poin untuk melaksanakan nikah beda agama semakin
kuat, terutama jika dibenturkan dengan Hak Asasi Manusia dan keberagaman
dalam bingkai kebangsaan.
Berbeda halnya dengan Nurcholis Madjid, MUI dalam fatwanya
Nomor: 4/MunasVII/MUI/8/2005 tentang Pernikahan Beda Agama bahwa
nikah beda agama itu haram dan tidak sah, begitupun menikahi wanita ahli
kitab. Karena menurut fatwa tersebut, untuk saat ini tidak ada yang namanya
Wanita Ahli Kitab lagi. Sudah barang tentu fatwa ini menimbulkan banyak
persoalan karena berbeda dengan apa yang telah di firmankan Allah dalam Al-
qur‟an, hadis maupun literatur fiqih klasik.7
Pendapat yang serupa juga pernah diatakan oleh Muhammad Amin
Suma dalam wawancaranya bersama wartawan hukumonline.com, terkait
perdebatan hukum nikah beda agama dan uji materi Pasal 2 ayat (1) UU
Perkawinan yang diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Beliau berpendapat
bahwa “ Nikah beda agama itu hanya sebagai pintu darurat dan bergantung
pada kasusnya. Jika memang tinggal di daerah yang mayoritas non-Islam dan
sulit untuk menemukan wanita muslimah, walaupun sebenarnya bisa dengan
6 Nurcholis Madjid dkk. Fikih Lintas Agama. H. 158
7 Skripsi oleh Wahyu Sunandar, Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) tentang Nikah
Beda Agama dan Respon para Pemuka Agama terhadapnya, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
UIN Jakarta, 2011. h. 42
4
cara pulang ke Indonesia dan mencari wanita muslimah, tapi tidak semua
orang mempunyai kemampuan seperti itu. Maka dibolehkan saja, ini contoh
kasus yang real. Jika tidak ada halangan dan keterpaksaan untuk
melakukannya, selagi masih ada wanita muslimah, kenapa tidak.” Muhammad
Amin Suma juga menjelaskan bahwa, terlepas dari perdebatan dari definisi
wanita ahli kitab ataupun wanita musyrik, dampak yang ditimbulkan ketika
seseorang melakukan pernikahan beda agama akan sangat merugikan, entah
untuk diri masing-masing pihak maupun untuk anak-anaknya kelak.8
Dari penjelasan diatas, dapat menjadi gambaran dua pendapat yang
saling bertentangan tentang pernikahan beda agama. Untuk selengkapnya akan
ditulis di bab selanjutnya dan juga akan dijabarkan secara detail dasar
pemikiran kedua tokoh tersebut dalam skripsi ini yang berjudul “Komparasi
Pemikiran Nurcholish Madjid dan Muhammad Amin Suma tentang
Nikah Beda Agama”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dalam menulis sebuah karya ilmiah, identifikasi masalah menjadi
sangat amat penting untuk memulai langkah awal. Identifikasi masalah
dimulai ketika penulis mengetahui fenomena atau peristiwa yang
mempunyai potensi untuk diteliti. Setelah itu, mengidentifikasi masalah
yang menjadi bahan penelitian dan apa saja yang akan muncul dalam topik
bahasan tersebut.
Berikut adalah beragam permasalahan yang akan dipaparkan, yaitu:
1. Nikah beda agama menurut pandangan islam dan kacamata hukum
Indonesia
8 Prof. M. Amain Suma, Nikah Beda Agama Hanya Sebagai Pintu Darurat, Hukum
Online, diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt546049e2779c7/prof-m-amin-
suma--nikah-beda-agama-hanya-sebagai-pintu-darurat/ ,pada tanggal 31 Juli 2019 pukul 02.08
WIB
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt546049e2779c7/prof-m-amin-suma--nikah-beda-agama-hanya-sebagai-pintu-darurat/https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt546049e2779c7/prof-m-amin-suma--nikah-beda-agama-hanya-sebagai-pintu-darurat/
5
2. Beberapa permasalahan yang terjadi tentang fenomena nikah beda
agama di Indonesia
3. Pertentangan pemahaman antara pengertian perempuan ahli kitab dan
perempuan musyrik
4. Dasar pemikiran nikah beda agama menurut Nurcholish Madjid dalam
buku Fikih Lintas Agama
5. Dasar pemikiran nikah beda agama menurut Muhammad Amin Suma
dalam buku Kawin Beda Agama
6. Pandangan filosofis dan yuridis tentang nikah beda agama menurut
Nurcholish Madjid dan Muhammad Amin Suma
7. Hasil pemikiran Nurcholis Madjid dan Muhammad Amin Suma
mengenai nikah beda agama berdasarkan dasar pemikiran, dalil-dalil
dan penerapan konsep Maslahah (Kemaslahatan)
2. Pembatasan Masalah
Sudah banyak buku dan karya ilmiah yang meneliti dan membahas
kasus pernikahan beda agama dan penerapannya di Indonesia. Tentu
pembahasan yang demikian sangatlah luas dan umum, maka dari itu
penulis membatasi pokok bahasan agar lebih terarah dan spesifik.
Pembahasan tulisan ini lebih mengarah ke perbedaan dan dasar pemikiran
nikah beda agama menurut Nurcholis Madjid dan Muhammad Amin
Suma.
3. Rumusan Masalah
Dari latar belakang dan pembatasan masalah yang penulis paparkan,
maka penulis merangkum beberapa pokok permasalahan utama, yaitu:
1. Apa yang melatar belakangi perbedaan dan persamaan dasar
pemikiran Nurcholish Madjid dan Muhammad Amin Suma mengenai
nikah beda agama tersebut ?
2. Bagaimana metode dan dalil-dalil apa saja yang mereka pakai untuk
menguatkan argumentasi meraka ?
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui perbedaan pemikiran dan sudut pandang
Nurcholish Madjid dan Muhammad Amin Suma mengenai hukum
dan penerapan nikah beda agama di Indonesia
b. Untuk mengetahui pengaruh dari penerapan nikah beda agama
yang ada di Indonesia menurut Nurcholish Madjid dan Muhammad
Amin Suma
2. Manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah :
a. Sebagai bentuk referensi tertulis dan keikutsertaan penulis dalam
membuka wawasan masyarakat awam mengenai momok dan
perhelatan nikah beda agama di Indonesia
b. Sebagai bentuk sumbangsih pemikiran kepada civitas akademika
untuk menambah wawasan dan pengetahuan terkait permasalahan
nikah beda agama
c. Teruntuk penulis sendiri, penelitian dan penulisan skripsi ini
berguna untuk menjadi bahan ajar sekaligus pelatihan dalam
menganalisa permasalahan yang tengah menjadi perbincangan serta
menjadi kontroversial di tengah-tengah masyarakat. Terutama
dalam hal pernikahan dan hubungan lintas agama
D. Tinjauan Kajian Terdahulu
Sudah menjadi perbincangan hangat sesuatu yang berbau „lintas
agama‟ atau „beda agama‟ dalam lingkungan masyarakat. Karena agama
adalah sesuatu yang riskan dan sangat sensitif di tengah masyarakat. Sudah
barang tentu, kajian yang penulis ambil “Komparasi Pemikiran Nikah Beda
Agama” ini sudah banyak yang mengkaji dan meneliti dari berbagai aspek,
namun masih bisa dikorelasikan dan diambil inti permasalahan yang serupa.
Maka dari itu, penulis juga membahas kajian terdahulu dari karya-
karya ilmiah yang pernah memuat pokok bahasan yang hampir sama mengenai
7
pemikiran nikah beda agama menurut Nurcholish Madjid dan Muhammad
Amin Suma yang menjadi tokoh dari pembahasan skripsi ini.
Diantara karya skripsi yang membahas atau mengkaji tentang
pemikiran Nurcholish Madjid antara lain: Skripsi oleh Muhammad Irpan yang
berjudul “Perkawinan Beda Agama di Indonesia, Studi Perbandingan
Pemikiran Prof. Dr. Nurcholish Madjid dan Prof. Dr. Ali Mustofa Yaqub”.
Karya ini menelaah tentang pandangan Cak Nur (Nurcholish Madjid)
mengenai pernikahan beda agama dengan membandingkan pemikiran dari Ali
Mustofa Yaqub, pengasuh Pondok Hadist „Darussunnah‟ dan mantan Imam
Masjid Istiqlal. Pemikiran Nurcholis Madjid yang cenderung Pluralis
dibenturkan dengan pemikiran Ali Mustofa Yaqub yang tidak mentolerir
apapun yang bisa merusak akidah dan iman, terutama permasalahan umat
lintas agama yang bersifat kontemporer.9
Juga ada skripsi dari Moch. Anang Abidin yang berjudul “Kawin Beda
Agama (Kajian terhadap Buku Fikih Lintas Agama)”. Karya ini mencoba
membahas pemikiran Cak Nur tentang nikah beda agama, yang menjadi
sumber pokok rujukan adalah buku karya Cak Nur, dkk yang diterbitkan di
Universitas Paramadina dengan judul “Fikih Lintas Agama: Membangun
Masyarakat Inklusif-Pluralis”. Buku ini adalah buku yang menimbulkan
banyak kontroversi dan kontradiksi pemikiran, sehingga MUI sendiri
mengecam buah pemikiran yang ditulis Nurcholis Madjid dkk ini, karena
mengandung bias makna hingga penafsiran yang sangat bebas dan terkesan
liberal. 10
Lalu ada skripsi dari Imam Fauzi dari UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang yang berjudul :Studi Komparatif Pemikiran Masfuk Zuhdi dan
Nurcholis Madjid tentang Nikah Beda Agama” disini juga membahas beda
9 Skripsi oleh Muhammad Irpan, Perkawinan Beda Agama di Indonesia, Studi
Perbandingan Pemikiran Prof. Dr. Nurcholish Madjid dan Prof. Dr. Ali Mustofa Yaqub, Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014
10 Skripsi oleh Moch. Anang Abidin, Kawin Beda Agama (Kajian terhadap Buku Fiqih
Lintas Agama), Fakultas Syari‟ah UIN Maulana Malik Ibrahim, 2008
8
pemikiran tentang dibolehkan atau tidaknya nikah beda agama antara Masjfuk
Zuhdi pengarang buku Masail Fiqhiyyah dengan membandingkan pemikiran
dari Nurcholis Madjid. Lebih tepatnya, tulisan ini mencoba menelaah
pemikiran Nurcholis Madjid dan membandingkannya dengan seorang ahli
fiqih yang tentunya, membahas permasalahan Nikah Beda Agama dari segi
pendalaman fiqih dan ushul fiqh. Kedua tokoh tersebut memang tokoh
kontemporer yang aktif membahas isu-isu seputar fikih kontemporer dan
penerapannya.11
Perbedaan dari karya-karya ilmiah yang sudah disebutkan diatas, disini
penulis lebih membahas kedalam analisis Nikah Beda Agama yang objektif
dan tidak memihak kepada salah satu subjek tokoh yang penulis bahas. Karena
materi skripsi ini adalah studi tokoh yang komparatif, dengan analisis
perbandingan pemikiran dari kedua tokoh, penulis juga harus adil mengambil
kesimpulan yang objektif. Jika dilihat secara subyektif, penulis juga
mengambil tokoh yang berangkat dari latar akademis yang tak jauh berbeda
tapi menghasilkan pemikiran yang kontradiktif, sehingga menarik untuk
menjadi bahasan masalah.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis atau metode penelitian yang penulis pakai adalah jenis penelitian
Kualitatif yang penyajiannya menggunakan analisis data secara naratif.12
Dalam pengolahan data/informasi yang didapat akan disajikan dengan
deskripsi detail menurut analisis penulis dengan penguatan pendapat-
pendapat tokoh serta telaah dari buku-buku yang menunjang hasil
pemikiran dari pendapat Nurcholish Madjid dan Muhammad Amin Suma
tentang nikah beda agama ini.
11
Skripsi oleh Imam Fauzi, “Studi Komparatif Pemikiran Masjfuk Zuhdi dan Nurcholish
Madjid” Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim, 2011
12 Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Gabungan (Jakarta:
Kencana, 2017) Cet. Ke-4 h. 331
9
Selain itu, penulis juga memasukkan penelitian ini kedalam jenis
penelitian Filsafat Hukum, mengacu pada pendapat dari Prof. Dr. H. M.
Atho‟ Mudzhar dalam bukunya yang berjudul Esai-esai Sejarah Sosial
Hukum Islam bahwa, “ ...Salah satu catatan atau bahkan keberatan
terhadap pendapat Soejono ialah bahwa ia memasukkan penelitian hukum
atau asas-asas hukum kedalam penelitian hukum normatif. Sesungguhnya
penelitian hukum atau asas-asas hukum adalah penelitian filsafat hukum
dan setiap filsafat tentu selalu bersifat spekulatif dan tidak bersifat
normatif. Mungkin lebih tepat jika penelitian filsafat hukum dikeluarkan
dari kategori penelitian hukum normatif dan diletakkan dalam kategori
tersendiri yaitu kategori penelitian filsafat hukum ...”
Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa “Studi filsafat hukum Islam
atau studi pada tataran filsafat hukum. Termasuk kedalam kategori ini
adalah semua topik atau pertanyaan yang tercakup dalam kajian ushul
fikih, baik ushul fikih sebagai filsafat hukum maupun ushul fikih sebagai
teori hukum... ”.13
a. Jenis Pendekatan
Pendekatan penelitian merupakan cara berpikir peneliti dalam
membangun bagaimana penelitian akan dilakukan. Proses pendekatan
adalah proses yang dilakukan peneliti dalam mengidentifikasi dan
menganalisa sebuah permasalahan. Dalam tulisan ini, salah satunya
peneliti memakai pendekatan hukum normatif-doktriner atau pendekatan
hukum yang dibangun atas dasar norma-norma keagamaan/wahyu yang
asalnya dilakukan secara deduktif (tanpa pertimbangan akal, norma sosial,
historis dll)14
tapi disini penulis memadukannya dengan pendekatan yang
deskriptif-analitis yaitu menggunakan metode analisis secara induktif atau
13
Prof. Dr. H.M. Atho‟ Mudzhar, “Esai-esai Sejarah Sosial Hukum Islam” (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2014) Cet. pertama, h. 13 & 14 14
Muhamad Sirozi, Arah Baru Studi Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2008) h. 343
10
interpretasi yang mengedepankan penalaran makna serta pemahaman
subtansial dari sebuah permasalahan.15
2. Sumber Data
Penelitian ini juga memiliki sumber data yang validitasnya bisa
dipertanggung jawabkan. Diantara lain sebagai berikut :
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah data yang langsung diambil dari
pemikiran tokoh berupa karya-karya buku yang tokoh tersebut
tulis sendiri dan dipublikasikan. Diantaranya sebagai berikut :
1) Buku karya Nurcholis Madjid dkk yang berjudul “Fiqih
Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis”
2) Buku karya Muhammad Amin Suma yang berjudul “Kawin
Beda Agama: Telaah Syariah dan Qonuniyah”
3) Wawancara peneliti dengan Dr. Aan Rukmana, M.A.
4) Wawancara peneliti dengan Prof. Dr. H. Muhammad Amin
Suma, S.H., M.A., M.M
Penelitian ini mengkaji tulisan dan karya-karya Nurcholis
Madjid dan Muhammad Amin Suma yang membahas langsung
tentang nikah beda agama atau tentang hal lain yang menguatkan
argumentasi mereka.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah data-data yang diambil dari
orang kedua atau data lain yang membahas permasalahan serupa
namun bukan dari tokoh tersebut. Bisa juga dari orang lain yang
membahas pemikiran tokoh tersebut. Diantara lain sebagai berikut
:
15
Ajat Rukajat, Pendekatan Penelitian Kualitatif (Qualitative Research Approach),
(Yogyakarta: Deepublish, 2018) Cetakan pertama, h.27
11
1) Buku “Islam dan Hak Asasi Manusia: Dalam Pandangan
Nurcholis Madjid” oleh Mohammad Monib
2) Buku “Pandangan Muslim Moderat” oleh Zuhairi Misrawi
3) Buku “Islam dihujat Islam menjawab” oleh Prof. Dr.
Mahmoud Hamdi Zaqzouq
4) Pendalaman Fatwa MUI : Nomor 4/MUNAS
VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama
5) Buku-buku dan karya tulis lainnya yang membahas masalah
Nikah Beda Agama
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik dalam pengumpulan data yang penulis pakai untuk
mendapatkan data yang relevan dan kredibel sebagai bahan penulisan
karya ilmiah ini diataranya adalah sebagai berikut:
c. Wawancara
Peneliti merupakan salah satu instrumen dalam penelitian kualitatif
sekaligus sebagai pengumpul data dan informan sebagai sumber data
karena kadang dalam interaksinya, subjek penelitian akan lebih
tanggap mengenai proses pengumpulan data melalui wawancara
tersebut.16
Disini peneliti melakukan wawancara langsung pada tokoh
terkait atau tokoh yang berpemikiran sama dengan kajian penelitian.
d. Riset Kepustakaan/dokumen
Penelusuran pustaka merupakan langkah awal dalam membangun
kerangka penelitian untuk memperdalam kajian teoritis juga sebagai
sarana untuk memperdalam metodologi.17
Peneliti dalam
pengumpulan datanya juga banyak mengambil dokumen dari pustaka
16
Albi Anggito dan Johan Setiawan, Metodologi Penelitian Kualitatif (Sukabumi: Jejak
Publisher, 2018) Cetakan pertama, h. 75
17 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008)
Cet. Ke-2, h. 1-2
12
baik cetak maupun dari literatur online yang relevan dengan
pembahasan.
F. Sistematika Penulisan
Agar diperoleh pemahaman yang sistematis dan mudah dipahami bagi
pembaca. Maka, penulis akan menyajikan karya ilmiah ini ke dalam bentuk
sistematika pembahasan yang terdiri dari lima bab, diantaranya yaitu :
BAB I, berisi Pendahuluan yang meliputi antara lain Latar Belakang,
Masalah, Identifikasi Masalah, Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan
dan Manfaat Penelitian, Kajian Terdahulu, Kerangka Teori, Metode Penelitan,
Analisis Data dan Sistematika Pembahasan.
BAB II, berisi tentang penjelasan umum (landasan teori) Nikah Beda
Agama dalam Islam meliputi Teks Al-Qur‟an dan dalil pendukung hingga
interpretasi teks keagamaan, telaah syariah dan qonuniyah di Indonesia.
BAB III, berisi tentang biografi singkat dari Nurcholis Madjid dan M
Amin Suma, rekam jejak pendidikan, peran penting beliau dalam dunia
intelektual-akademik hingga buah-buah pemikiran beliau dengan
memperkenalkan karya-karya fenomenal dan kontroversial dari Nurcholis
Madjid dan Muhammad Amin Suma, serta pemikiran-pemikiran beliau
tentang Nikah Beda Agama.
BAB IV, memaparkan Komparasi Pemikiran Nurckolis Madjid Dan M
Amin Suma Dalam Nikah Beda Agama yang didalamnya meliputi, Kawin
Beda Agama menurut Nurcholis Madjid dalam buku “Fikih Lintas Agama:
Menuju Masyarakat Inklusif-Pluralis”, Kawin Beda Agama menurut M Amin
Suma dalam buku “Kawin Beda Agama: Telaah Syariah dan Qonuniyah”,
Latar belakang Pemikiran dan Bangunan Epistemologi dari pemikiran kedua
tokoh, dan Analisis penulis tentang pemikiran mereka.
BAB V, yaitu penutup. Berisi kesimpulan dan pesan atau saran-saran.
13
BAB II
TINJAUAN UMUM NIKAH BEDA AGAMA
A. Pengertian Nikah dan Nikah Beda Agama
Pernikahan merupakan sunnah yang dianjurkan rasulullah kepada
umatnya. Islam sendiri juga mengajarkan bagaimana mengatur dan mengelola
rumah tangga, karena dalam Islam rumah tangga menjadi dasar dari kehidupan
manusia dan merupakan faktor utama dalam membina masyarakat. Hubungan
pernikahan juga bertujuan untuk meneruskan kelangsungan hidup manusia
kedepannya.
Pernikahan berasal dari kata “ Kata nikah menurut bahasa sama .“ النكاح
dengan kata “ الزواج “. Secara harfiah, an-nikah berarti “ الضمّ ”,“ الوطء “ dan ” الجمع
“. Al-Wath‟u berasal dari kata َوْطء –َيَطُء –َوِطَء yang artinya adalah berjalan diatas,
melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki, menggauli dan bersetubuh atau
bersenggama. Adh-dhommu yang terambil dari akar kata َضّم – َيُضم –َضم yang
secara harfiah berarti mengumpulkan, memegang, menggenggam, menyatukan,
menggabungkan, menyandarkan, merangkul dan menjumlahkan. Dan bisa juga
diartikan, melunak dan ramah. Sedangkan al-jam‟u yang asal katanya َيْجَمُع –َجَمَع–
,yang artinya yaitu, mengumpulkan, menghimpun, menyatukan َجْمعا
menggabungkan, menjumlahkan dan menyusun.18
Secara definisi dalam Kitab Al-Fiqhu al-Islam wa „adillatuhu karangan
Prof. Wahbah Az-Zuhaili menyebutkan bahwa:19
رأة, بالوطء واملباشرة, والتقبيل واضّم وغريذالك. باحة اإلمتتاع باملوالزوج شرعا : عقد يتضّمن إإذاكانت املرأة غري حمرم بنسب أو رضاع أو صهر. أوىوعقد وضعو الشارع ليفيد ملك استمتاع
الرجل باملرأة, وحّل استمتاع املرأة بالرجل.
18
Zaenal Arifin dan Muh. Anshori , Fiqih Munakahat (Madiun: Pustaka Pelajar, 2019) h.
1-2 19
Wahbah Az-Zuhaili, Kitab Al-Fqhu al-Islam wa Adillatuhu, Juz 7 (Damaskus, Dar Al-
Fikr, 1985) , h. 29
14
Artinya: “ Nikah menurut syariat adalah sebuah akad yang membolehkan
bersenang-senang dengan perempuan, dengan berhubungan intim, menyentuh,
mencium, memeluk, dan sebagainya, jika perempuan tersebut bukan termasuk
mahrom dari segi nasab, sesusuan dan keluarga. Atau bisa diartikan bahwa nikah
adalah sebuah akad yang telah ditetapkan oleh syariat yang berfungsi untuk
memberikan hak kepemilikan bagi laki-laki untuk bersenang-senang, dan
menghalalkan seorang perempuan bersenang-senang dengan laki-laki “20
Selebihnya, dalam Buku Fiqih Munakahat karangan Drs. H. Dzamaan Nur
menjelaskan lebih lanjut tentang pengertian pernikahan menurut golongan 4
(empat) mazhab, diantaranya sebagai berikut :21
Menurut golongan Hanafiyah mendefinisikan nikah sebagai,
بِأَنَُّو َعْقٌد يُِفْيد ِمْلَك اْلُمَتاَعِة َقْصًداالنَكاُح
“ Nikah itu adalah akad yang menfaedahkan memiliki, bersenang-senang
dengan sengaja”
Menurut golongan Syafi‟iyyah mendefinisikan sebagai berikut,
النَِّكُح بِأَنّو َعْقٌد يَ َتَضمَُّن ِمْلَك َوْطٍء بَِلْفِظ ِإْنَكٍح أْو تَ ْزِوْيٍج أَْوَمْعَناَىا
“ Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan
watha‟ dengan lafaz nikah atau tazwij atau yang semakna dengan keduanya “
Sementera menurut golongan Malikiyah, nikah didefinisikan sebagai,
ُر ًمْوِجٍب ِقيْ ْقدٌ النَِّكاُح بِأَنَُّو عَ ُد بِاََد ميٍَّة َغي ْ َعِة الت ََّلذَّ َنةٍ َمتَ َها بِبَ ي ِّ َعَلى ُُمَرَِّد ًمت ْ
“Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata
untuk membolehkan watha‟, bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada
diri seorang wanita yang boleh nikah dengannya”
Sementara itu golongan Hanabilah juga mendefinisikan nikah sebagai:
َفَعِة اإِلْسِتْمَتاعِ ُىَوَعْقٌد بَِلْفِظ ِإْنَكٍح أَْو تَ ْزِوْيٍج َعَلى َمن ْ
20
Wahbah Az-Zuhaili, Kitab Al-Fqhu al-Islam wa Adillatuhu, Juz 9 Terj. Abdul Hayyie
al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2011) cet.kesepuluh, h.48
21 Dzamaan Nur, Fiqih Munakahat (Semarang, Dina Utama Semarang, 1993), cet.
pertama, h.2-3
15
“ Nikah adalah akad dengan mempergunakan lafadz nikah atau tazwij guna
membolehkan manfaat, bersenang-senang dengan wanita”
Dalam pengertian-pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa ulama-ulama
terdahulu melihat definisi pernikahan itu dari satu sudut segi pandang saja. Tapi
tidak melihat aspek hukum dan aspek yang lain. Para ulama mutaakhirin
memasukkan unsur hak dan kewajiban istri kedalam definisi pernikahan,
Muhammad Abu Ishrah mendefinisikan nikah sebagai:
ُحُقْوٍق َوَماَعَلْيِو ِمْن َوِجَباتٍ اِلَكْيِلِهَما ِمنْ َعْقٌد يُِفْيُد َحلَّ ُعْشرٍَة بَ ْْيَ اَرُجِل َواْلَمْرأَِة َوتَ َعاَوِِنَِما َوَيَُِد مَ
“Nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan
mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita dan
mengadakan tolong-menolong serta memberi batas hak bagi pemiliknya dan
pemenuhan kewajiban masing-masing”22
Pernikahan jika dilihat dari segi hukum adalah merupakan sebuah
perjanjian. Yaitu sebagai “Perjanjian yang Kuat” atau istilah arabnya adalah
Mitsaqon Ghalizhan.
امَّرِي اَىِن َفُكُلوهُ سانَف وُ مِّن ءَشي َعن َلُكم ِطبَ فَِإن َلةِن َصُدقََِٰتِهنَّ ءَ ٱلنَِّسا َوَءاتُواْ Artiunya: “ Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal
sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri.
dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat. “
(An-Nisaa‟ [04] : 21)
Selanjutnya, pernikahan jika dilihat dari segi sosial di dalam masyarakat
itu ditemui suatu penilaian yang umum bahwa orang yang berkeluarga
mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak menikah atau
belum melangsungkan pernikahan. Lalu, pernikahan jika dilihat dari segi agama
adalah sesuatu yang sangat penting karena pernikahan itu dianggap sebagai suatu
lembaga yang suci yang didalamnya terdapat Upacara perkawinan yang juga
merupakan upacara yang suci.23
Cinta memang tak pandang bulu, cinta memang buta, hingga terkadang
banyak yang salah menaruh harapan cinta. Cinta tak pernah salah, tapi perilaku
22
Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang, Dina Utama Semarang, 1993) h. 2-4
23 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2016) h. 25
16
pecinta yang kadang salah, cinta itu murni tapi dalam tindakannya belum tentu
suci. Cinta tak pandang perbedaan, entah itu berbeda suku, ras, warna kulit hingga
perbedaan agama. Trend saat ini, banyak yang melakukan nikah beda agama.
Nikah beda agama adalah pernikahan antara seorang muslim dan non-muslim.
Dikatakan nikah beda agama atau lintas agama, karena memang pernikahan
tersebut dilakukan oleh pasangan yang berbeda agamanya. Sebagian besar lainnya
juga mengakui bahwa demi memelihara kerukunan beragama antar pemeluk
agama, terkadang dibungkus dengan tradisi ataupun memang kedekatan keluarga
sehingga dalam implementasi (kerukunan) tersebut dituangkan dalam sebuah
pernikahan (nikah beda agama), setidaknya itu yang mereka percayai. Diantara
fenomena global saat ini tentang kamuflase motto “Persaudaraan”, “Persamaan”,
“Kesetaraan” dan gembor-gembor dengan perdamaian umat beragama yang
disana ada titik pertemuan antar agama-agama dan ikatan antar pemeluknya.
Abdul Mutaal Muhammad al Jabry dalam bukunya Perkawinan Campuran
menurut Pandangan Islam disini menjelaskan bahwa tidak akan ada titik
pertemuan yang seperti itu, bahkan tidak akan terjadi. Yang terjadi jika memang
begitu adalah pertemuan dusta, hipokrit atau pertemuan lucu yang mengundang
gelak tawa.24
Dalam sejarahnya, nikah beda agama memang sudah terjadi sejak zaman
dahulu, sebelum zaman kenabian Muhammad SAW bahkan sebagian Nabi dahulu
juga mempunyai istri yang beda agama. Diantaranya adalah pernikahan Nabi Nuh,
Nabi Luth dan lain-lain. Walaupun kenyataannya, kasus nikah beda agama ini
hanya tergolong sedikit, bahkan mungkin cuma ada dua-tiga kasus yang dilakukan
oleh beberapa tokoh-tokoh Muslim tertentu, tapi dalam kenyataannya hal tersebut
masih berlanjut hingga kini dan dari waktu ke waktu menjadi semakin banyak
jumlahnya, teritama yang terjadi di era transnasional seperti saat ini.25
Nikah beda
agama memunculkan resistensi diantara masyarakat luas, memang masih menjadi
momok dan perdebatan sosial. Karena memang sebagian ulama masih
24
Abdul Mutaal Muhammad Al Jabry, Perkawinan Campuran menurut Pandangan Islam
Tejm. Drs. Achmad Syathori, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1988) h. 3
25 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama, h. 99-100
17
beranggapan bahwa dalam beberapa ayat dalam Al-Qur‟an menyebutkan bahwa
Kristen dan Yahudi adalah musyrik. Yang tidak boleh dinikahi karena bukan
termasuk orang-orang yang musyrik. Pandangan seperti ini karena masih banyak
yang beranggapan bahwa musyrik itu adalah non-muslim, secara keseluruhan.
Lalu apa yang membedakan wanita kafir musyrik dan wanita kafir ahli kitab ?
Padahal jelas-jelas kedua hal itu berbeda dan dibedakan. Dibalik itu, ada nilai
keharaman dan pembolehan untuk melaksanakan nikah beda agama, apa saja yang
termasuk musyrik dan yang termasuk ahli kitab, yang jelas-jelas dua hal ini
dibedakan karena mengandung hukum yang berbeda pula.26
Dalam hal ini, untuk kedepannya jika terjadi perbedaan-perbedaan
pendapat mengenai masalah perkawinan diharapkan menjadi tolak ukur terhadap
negara-negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya muslim sebagai
sumbangsih positif agar saling mengadopsi hukum-hukum perkawinan yang lebih
baik dan lebih adil bagi masing-masing. Dan, titik terang bagi beberapa negara
yang memang pada mulanya menganut satu mazhab tertentu yang sekarang
sedikit demi sedikit mengarah pada talfik mazhab secara kooperatif yang
setidaknya pada hukum-hukum tertentu.27
B. Pandangan Ulama Klasik dan Kontemporer tentang Nikah
Beda Agama
Semua madzhab sepakat bahwa, laki-laki dan perempuan muslim tidak
boleh menikahi laki-laki dan perempuan yang tidak memiliki Kitab Suci atau
yang hanya dekat dengan Kitab Suci. Diantara yang masuk dalam kategori itu
adalah Penyembah berhala, penyembah matahari, penyembah bintang, orang
zindik dan segala apapun yang mereka sembah selain Allah.28
Maksud dari orang-orang yang hanya dekat dengan Kitab Suci (Syibhul-
Kitab) adalah seperti orang-orang majusi yang beranggapan bahwa mereka
26
Nurcholish Madjid, dkk. Fiqih Lintas Agama, h. 155-156 27
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press,
2005), h. 45 28
Muhammad Jawad Mughniyah, (Beirut: Penerbit Lentera, 2015) Cet. 29, Fiqih Lima
Mazhab, h. 364
18
memiliki kitab suci dan kemudian mereka ubah sendiri seperti yang ada sekarang
ini sehingga kitab asli mereka telah hilang atau sudah lenyap. Tetapi keempat
mazhab juga sepakat bahwa laki-laki muslim boleh menikahi wanita ahli kitab,
yaitu perempuan dari nasrani dan Yahudi tapi tidak sebaliknya.29
Mengenai nikah beda agama Islam telah mengaturnya dalam suat Al-Baqarah :
221, yang berbunyi :
تَنِكُحواْ َواَل ُتِ ٱمل ُ تُنِكُحواْ َواَل َجَبتُكمأَع َوَلو رَِكةمُّش مِّن َخري ِمَنةٌ مُّؤ َوأَلََمة ِمنَّ يُؤ َحّتََّٰ شرِكََٰ
ِشِكْيَ ٱمل نَّةِ ٱلَ ِإَل ُعواْ يَد َوٱللَّوُ ٱلنَّارِ ِإَل يَدُعونَ ِئكَ أُْولََٰ َجَبُكمأَع َوَلو رِكمُّش مِّن َخري ِمنٌ مُّؤ دَوَلَعب ِمُنواْ يُؤ َحّتََّٰ َُ ۦۖنِوِ بِِإذ ِفغِفرَةِ َوٱمل ٕٕٔ يَ َتذَكَُّرونَ َلَعلَُّهم لِلنَّاسِ ۦَءايََِٰتوِ َويُ بَ ْيِّ
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia
menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-
perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. “ (QS. Al-
Baqarah [2] : 221)
Dan juga pada surat al-Mumthahanah Ayat 10, yang bebunyi :
ُ ءَُكمُ َجا ِإَذا َءاَمنُ وْ ٱلَِّذينَ أَي َُّهايََٰ ِجرََٰت ؤِمنََٰتُ ٱمل ُتُموُىنَّ َعِلم فَِإن بِِإيََِٰنِهنَّ َلمُ أَع ٱللَّوُ َتِحُنوُىنَّ فَٱم ُمهََٰ
ُجَناحَ َواَل أَنَفُقواْ مَّا اتُوُىمَوءَ ََّلُنَّ َيَِلُّونَ ُىم َواَل َّلَُّم ِحلّ ُىنَّ اَل ُكفَّارِ ٱل ِإَل ِجُعوُىنَّ َتر َفاَل ِمنََٰتُمؤ َما ُلواْ َيسَول ُتمأَنَفق َما َوسُلواْ َكَواِفرِ ٱل بِِعَصمِ ِسُكواْ تُ َواَل أُُجوَرُىنَّ ُتُموُىنَّ َءاتَي ِإَذا تَنِكُحوُىنَّ َأن ُكمَعَلي
ِلُكم أَنَفُقواْ ٓٔ َحِكيم َعِليمٌ َوٱللَّوُ َنُكمبَي مُ كُ َيَ ٱللَّوِ مُ ُحك ذََٰArtinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah
kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika
kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah
kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir.
mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada
29
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, h. 365
19
halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar
yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila
kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang
pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu
minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang
telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara
kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Mumthahanah
[60] : 10)
Kemudian dilanjutkan dalam al-Maidah ayat 5 berbunyi:
ُم ِحلّ َوَطَعاُمُكملَُّكم ِحلّ ٱلِكتََٰبَ أُوتُواْ ٱلَِّذينَ َوطََعامُ ٱلطَّيِّبََٰتُ َلُكمُ أُِحلَّ َيومَ ٱل ُحَصنََٰتُ َّلَّ ِمنَ َوٱمل
ؤِمنََٰتِ ُحَصنََٰتُ ٱمل
ُ َغريَ ِصِنْيَ وَرُىنَّ حمُ أُجُ َءاتَيُتُموُىنَّ ِإَذا قَبِلُكم ِمن ٱلِكتََٰبَ أُوتُواْ ٱلَِّذينَ ِمنَ َوٱمل
ِفحِ ٘ ٱلََِٰسرِينَ ِمنَ ٱألِخرَةِ يف َوُىوَ ۥَعَمُلوُ َحِبطَ فَ َقد بِٱإِليََٰنِ َيكُفر َوَمن َأخَدان ُمتَِّخِذي َواَل ْيَ ُمسََٰ Artinya: “Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan
kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang
menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita
yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum
kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-
hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-
orang merugi.”(QS. Al-Ma‟idah [5] : 5)
Menurut Al-Qur‟an Al-Baqarah ayat 221 “Janganlah kamu menikahi
wanita musyrik sampai ia beriman” dan Al-Mumthahanah ayat 10 “Janganlah
kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan
kafir” tersebut, pria dan wanita muslim dilarang kawin dengan wanita dan pria
musyrik dan kafir, sebab illat-nya menurut Al-Baqarah ayat 221 “Orang musyrik
dan orang kafir itu membawa kamu ke neraka sedang Allah membawa kamu ke
Syurga dan ampunan”. Kemudian didalam Al-Ma‟idah ayat 5 “Dihalalkan
mengawini wanita beriman yang baik-baik dan ahl-Kitab yang baik-baik”.
Didalam ayat ini Allah memberikan dispensasi tentang kebolehan seorang pria
menikahi wanita ahli-kitab yaitu wanita dari Yahudi dan Nashrani. Dikatakan
bahwa hak dan kewenangan yang dimiliki oleh pria ini boleh dipergunakan atau
tidak dipergunakan tergantung pada situasi dan kondisi dirinya. Tapi hak tersebut
20
juga tidak boleh ditafsirkan secara eksplisit diberikan pada pria muslim itu secara
implisit juga diberikan pula pada perempuan muslim untuk bisa menikah dengan
pria non-muslim, karena dalam Al-Ma‟idah ayat 5 ini juga secara jelas
menyatakan bahwa dispensasi itu hanya diberikan pada pria muslim tidak kepada
wanita muslim.30
Dalam istilah modernnya adalah nikah campuran atau nikah antara yang
berbeda keyakinan. Perkawinan yang dibenarkan dalam Islam adalah perkawinan
antara seorang laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim yang ahli-kitab,
bukan wanita musyrik. Tapi, sekalipun pada dasarnya perkawinan antara laki-laki
muslim dengan perempuan non-muslim itu dibolehkan, menurut Prof. Huzairin,
yang dinukil dalam Buku Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer karya
Hassan Saleh, mengatakan bahwa penggunaan dispensasi sempit ini ada
syaratnya, yaitu apabila di tempat tinggal laki-laki Muslim tersebut perempuan
Muslimnya sangat sedikit, lebih banyak perempuan ahli-kitabnya. Dengan
demikian, di Indonesia yang memang mayoritas perempuannya muslim, maka
alangkah baiknya laki-laki muslim menikahi perempuan yang juga muslim pula,
karena syarat dispensasi itu tidak terpenuhi.31
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili pun menerangkan dalam isi kitabnya Fiqih
Islam wa Adillatuhu, tentang perempuan-perempuan yang dilarang dinikahi,
bahwa menurut Mazhab Hanafi dan Syafi‟i serta mazhab yang lainnya
memasukkan perempuan yang murtad kedalam golongan musyrik dan tidak ada
seorang muslim pun yang boleh menikahinya. Karena ia tidak mengakui Islam
dan tidak pula percaya pada Allah, dia pun tidak menyadari dan mengakui
kemurtadannya sehingga dia mempunyai pilihan antara Islam atau mati. Yang
artinya juga bahwa murtad itu berarti mati dan tidak diperbolehkan menikahi
orang mati. Pada intinya, kesepakatan fuqaha bahwa dilarang menikah dengan
perempuan selain ahli kitab, diantaranya perempuan Watsaniyyah, yaitu
30
Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Fiqih dan Kompilasi Hukum
Islam (Jakarta: Qolbun Salim, 2005) h. 34-35
31 Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta, Rajagrafindo
Persada, 2008). h. 332-335
21
perempuan-perempuan penyembah berhala dan perempuan Majusiyyah, yaitu
perempuan-perempuan penyembah api. Larangan ini dikarenakan tidak adanya
kitab yang mereka percayai dan bukan pula termasuk agama samawi (langit).
Keterangan lebih lanjut, bahwa menikahi perempuan-perempuan itu (musyrik)
tidaklah mendatangkan suatu keharmonisan, ketenangan dan kerjasama diantara
suami dan istri. Karena dimungkinkan bahwa perbedaan akidah akan membawa
kedalam kegelisahan dan ketidak tenangan, serta perpecahan. Sehingga tujuan
utama dibentuknya keluarga yang berdirin diatas kasih sayang dan cinta untuk
mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah ini tidak
dimungkinkan terwujud.32
Sayyid Sabiq dalam kitabnya yang berjudul “Fikih Sunnah” menukil
pendapat Ibnu Mundzir yang berkata, “Tidaklah sah pendapat salah seorang
sahabat yang mengatakan bahwa Allah swt. mengharamkan pernikahan muslim
dengan perempuan ahli kitab.” Perihal itu menanggapi pernyataan Ibnu Umar
yang ketika ditanya mengenai hukum seorang Muslim yang menikahi seorang
perempuan Nasrani dan Yahudi, ia mengkiaskan bahwa jika menikahi wanita
musyrik saja haram, lalu kemusyrikan apa yang lebih tinggi dan berbahaya dari
mengakui Nabi Isa, a.s sebagai Tuhan, padahal ia hanyalah hamba Allah. Secara
tidak langsung Ibnu Umar mempersamakan bahwa perempuan Nashrani dan
Yahudi (ahli kitab) adalah perempuan musyrik juga. Masih dalam buku Fikih
Sunnah Sayyid Sabiq bahwa Imam Qurthubi menyangkal pendapat Ibnu Umar
tersebut karena bertolak belakang dengan peendapat mayoritas ulama tentang
halalnya menikahi wanita ahli kitab, pendapat ini juga didukung pendapat para
sahabat dan tabi‟in secara keseluruhan, seperti: Utsman bin Affan, Thalhah, Ibnu
Abbas, Jabir dan Hudzaifah dari golongan para sahabat. Dan dari golongan para
tabi‟in adalah Sa‟id bin Musayyib, Said bin Jubair, Hasan, Mujahid, Thawus,
Ikrimah, Sya‟hi, Dhahhak, dan berbagai ulama fikih di berbagai negeri.33
32
Wahbah Az-Zuhaili, Kitab Al-Fqhu al-Islam wa Adillatuhu, Juz 9 Terj. Abdul Hayyie
al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2011) cet.kesepuluh, h. 147
33 Sayyid Sabiq, Kitab Fikih Sunnah, Terj. Abdurrahim dan Masrukhin (Jakarta,
Cakrawala Publishing, 2008) h. 336
22
Tapi, secara khusus Sayyid Sabiq menganjurkan untuk tidak menikahi
wanita ahli kitab, karena walaupun dalam islam itu diperbolehkan tapi
menurutnya hukum menikahi wanita ahli kitab masuk dalam kategori makruh
(lebih baik dihindari). Dalam pertimbangan bahwa, ditakutkan jika seorang laki-
laki bisa condong berlebihan kepada pihak perempuannya bisa-bisa menjadikan ia
berpaling dari aqidah asalnya (Islam). Selain itu, makruh juga hukumnya karena
disebabkan bisa memperbanyak komunitas non-Muslim.34
C. Landasan Yuridis Nikah Beda Agama
Agama merupakan bentuk eksistensi, partisipasi dan fungsi dalam
membangun dan mengembangkan negara bangsa Indonesia, maka peran penting
tersebut juga menjadi hal sebaliknya manakala negara pun juga mengatur tentang
pemberlakuan hukum agama terhadap penerapannya dalam masyarakat beragama
atau umat beragama. Sebagaimana negara juga mengatur perundang-undangan
tentang pernikahan di Indonesia, pada tempat tertentu, waktu tertentu dan dalam
konteks tertentu. Maka, peraturan tersebut berlaku dan diberlakukan pada waktu,
tempat dan dalam konteks tertentu pula.35
Para penyusun Kompilasi Hukum Islam (KHI) berpendapat bahwa
diperlukannya prinsip dalam penyusunan KHI yang ditetapkan, diantara lain:36
1. Kompilasi Hukum Islam merupakan awal pembaharuan Hukum Islam di
Indonesia
2. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia pada umumnya dan masyarakat Islam
khususnya masih jauh, karenanya disadari keterbatasan kemampuan utuk
berbuat sempurna
3. Hasil rumusan dan sistematika Kompilasi Hukum Islam, adalah sebagai
Trail Solving (mencoba memecahkan) kebekuan masa kini.
34
Sayyid Sabiq, Kitab Fikih Sunnah, h. 337
35 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 132
36 Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama, h. 144
23
4. Kompilasi Hukum Islam merupakan hasil karya, nilai yang dikandungnya
memiliki nilai warisan untuk generasi yang akan datang.
Sementara, mengenai Nikah Beda Agama KHI menempatkan pada
larangan perkawinan. Yang menyinggung pernikahan beda agama terdapat dalam
dua pasal, yakni Pasal 40 (c), dan pada Pasal 44.37
Dalam pasal 40 (c) “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang
pria dengan seorang wanita karena keaadaan tertentu: (c) Seorang wanita yang
tidak beragama Islam.”. dan pada Pasal 44 berbunyi: “Seorang wanita Islam
dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama
Islam.”38
Drs. H. A. Basiq Djalil menjelaskan bahwa kedua pasal diatas dengan jelas
melarang seorang muslim menikahi seorang non-muslim lainnya. Tanpa
membedakan laki-laki atau perempuan, wanita musyrik atau ahli-kitab sekalipun.
Dalam hal ini KHI memperlihatkan ketentuannya yang bertolak belakang dengan
pendapat para jumhur dan para fuqaha lainnya atau dalam istilahnya ulama klasik.
Dalam hal ini pula, KHI mengambil kaidah syaddua al-dzari‟ah (Menutup
Peluang), yaitu meninggalkan atau menjauhi sesuatu yang pada dasarnya boleh
atau halal, dimana terdapat resiko tinggi atau nilai syubhat dalam kebolehannya
yang bisa mendatangkan mafsadah. Jadi, jika peluang mafsadah dan mudharat
nya lebih tinggi, daripada nilai maslahat-nya maka lebih baik ditinggalkan untuk
berjaga-jaga.Sikap KHI disini pun adalah sikap yang penuh kehati-hatian yang ini
diakui oleh para jumhur dan sebagian sahabat lainnya. Seperti contoh pada Masa
kekhalifahan Umar bin Khattab yang menghimbau sahabat-sahabat lainnya untuk
menceraikan istri-istri mereka yang tidak mau masuk Islam (agar tidak membawa
suaminya kepada kemusyrikan dan kelemahan iman).39
37
Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama, h. 145
38 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung, Nuansa Aulia, 2015),
h. 12-13
39 Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama, 146
24
Saddu dzara‟i atau dzari‟ah yang dimaksudkan dalam Ilmu Ushul Fiqih
adalah:
ْسِئَلُة اَلَِّّت ظَاِىرَُىا اإِلبَاَحُة َويَ تَ َوَصلُ َ ِِبَا إَل ِفْعِل اْلَمْحظُْوِر. امل
“ Suatu masalah yang tampaknya mubah, tetapi (kemungkinan) bisa
menyampaikan kepada perkara yang terlarang (haram).”
Sesuatu dikatakan bisa menjerumuskan dalam bahaya (mafsadah) dilihat
dari segi bentuknya dibagi menjadi tiga:40
1 Sesuatu yang jika dilakukan, biasanya akan terbawa kepada yang
terlarang.
2 Sesuatu yang jika dilakukan tidak terbawa kepada yang terlarang
3 Sesuatu yang jika dilakukan menurut pertimbangan adalah sama
kemungkinannya untuk terbawa pada yang terlarang dan pada yang
tidak terlarang.
Alasan ini juga selaras dengan hadis Nabi yang berbunyi:
ْع َمايُرِيْ ُبَك إَل َما يُرِيْ ُبَك . )راوه الرتمزى(د“Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan engkau kepada sesuatu yang tidak
meragukanmu.” (HR. At-Tirmidzhi)
Terkadang banyak persepsi yang salah dalam membedakan nikah beda
agama dan nikah campuran dalam Undang-undang Perkawinan tahun 1974,
bahkan terkesan menyamakan definisi keduanya. Karena sesungguhnya yang
diatur dalam Undang-undang itu adalah nikah campuran antar warga negara yang
tunduk pada hukum yang berbeda (hukum negara). Seperti diuraikan pada Pasal
57 yang berbunyi: “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini
ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena
perbedaan kewarga-negaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”..
Selain mengacu pada Intruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam yang memang ditujukan pada orang-orang Indonesia
yang mayoritas muslim sebagai dasar pengambilan hukum islam dalam penerapan
40
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih (Jakarta, Prenada Media Group, 2014) Cet. Ke-2, h.
169-170
25
UU Perkawinan tahun 1974. Hukum positif indonesia juga mengatur perihal
pernikahan yang dilakukan oleh warganya. Dalam KUHPer Bab IV Pasal 26
berbunyi bahwa ”Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam
hubungan-hubungan perdata” jadi dalam undang-undang ini menyatakan bahwa
yang diatur dalam KUHPer ini hanya sebatas pertalian perdata atau ikatan lahiriah
yang dicatatkan tertulis oleh pegawai pencatatan sipil antara laki-laki dan
perempuan dan tidak ada sangkut pautnya dengan agama dalam aturannya. Jadi,
dalam KUHPer sendiri tidak diatur secara eksplisit apakah pernikahan beda
agama itu diperbolehkan atau tidak.
Kembali lagi pada Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa
perkawinan adalah “ ...ikatan lahir batin antara pria dan wanita dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Dalam undang-undang ini lebih memperjelas bahwa pernikahan itu tidak
hanya perihal perikatan perdata atau hubungan lahiriah saja tapi juga menyangkut
hubungan bathiniyah. Lalu diteruskan lagi pada Pasal 2, yang berbunyi bahwa “
.... perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu.” bahkan disini lebih mempertegas bahwa dalam
sebuah hubungan perkawinan itu tidak akan lepas dari hukum masing-masing
agamanya dan campur tangan lainnya. Pasal ini juga memperkuat bahwa tidak sah
suatu pernikahan apabila tidak didasari oleh hukum agama masing-masing. Dan
tentunya, sinergitas itu hanya terwujud apabila masih dalam lingkup satu frame
(agama yang sama). Undang-undang ini ditujukan bukan hanya untuk umat islam
saja, melainkan umat beragama lainnya dikarenakan keumuman dari penulisan
kata pada pasal tersebut mengacu pada ... agama masing-masing dan bukan hanya
agama islam saja.
Jadi, berdasarkan uraian diatas, tidak ada satupun pasal atau undang-
undang yang dengan jelas memperbolehkan terjadinya nikah beda agama. Bahkan
dari telaah bunyi pasal-pasal tersebut mengacu pada pelarangan dari nikah beda
agama itu. KHI pun melarang dengan tegas dan secara jelas juga tertulis dalam
kompilasinya.
26
D. Rukun dan Syarat Sah Nikah
Rukun dan syarat sangatlah penting diketahui sebelum melangsungkan
sebuah pernikahan, karena sah atau tidaknya sebuah pernikahan sangat ditentukan
dengan kelengkapan rukun dan pemenuhan syarat pernikahan. Bahkan, jika rukun
dan syarat pernikahan tidak dilengkapi tanpa sebab tertentu bisa menjadikan
alasan pembatalan pernikahan atau sebab dari fasakh-nya pernikahan. Rukun
adalah sesuatu yang berada didalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur
yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada diluarnya dan
merupakan unsurnya. 41
Para ulama juga berbeda pendapat dalam menentukan mana rukun dan
mana syarat ini, tapi letak perbedaannya tidak bersifat substansial namun lebih
karena perbedaan dalam memandang fokus pernikahan saja.
Rukun pernikahan ada lima, yaitu:42
1. Calon mempelai laki-laki
2. Calon mempelai perempuan
3. Wali dari mempelai perempuan
4. Dua orang saksi yang adil
5. Shigot / Ijab yang dilakukan oleh wali dan kabul yang dilakukan suami
Selain rukun nikah yang ditetapkan oleh dua madzhab besar yaitu,
Malikiyah dan Syafi‟iyah dengan 4 (empat) rukun nikah yang sama persis dan 1
(satu) rukun nikah yang berbeda, yaitu terletak pada rukun tentang mahar dari
Malikiyah dan rukun tentang dua orang saksi dari Syafi‟iyah. Sementara di
mazhab Hanafiyah mempunyai pendirian tegas tentang rukun nikah („aqd al-
zawaj) itu cuma dua saja yaitu, ijab dan kabul (al ijab wa al qobul). Disebutkan
bahwa banyakn juga ulama-ulama fiqih “non-mazhab” di zaman kontemporer ini
yang membatasi rukun nikah pada pembahasan “ijab dan kabul” saja dan
41
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media,
2007) h.59
42 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2016) h. 39
27
menempatkan yang lain pada syarat nikah atau bahkan tidak masuk dalam syarat
sah nikah. Tapi, bukan berarti ulama-ulama tersebut menolak atau tidak mengakui
keberadaan wali, saksi, dan mahar dalam suatu pernikahan. Lebih tepatnya,
sebagian ulama memang menempatkan ketiadaan wali, saksi dan mahar itu hanya
sekedar dalam keadaan tertentu atau syarat-syarat khusus yang tidak bisa
dielakkan sehingga diperbolehkan ketiadaannya. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa rukun nikah yang disepakati oleh keempat mazhab ialah rukun al-ijab wa
al-qobul (Ijab-kabul).43
Syarat-syarat pernikahan meliputi syarat mempelai laki-laki dan
perempuan, syarat wali dan kedua saksi hingga syarat ijab kabul. Syarat-syarat
pernikahan merupakan dasar dari sahnya pernikahan. Jika syarat-syarat ini
terpenuhi, maka pernikahan tersebut sah dan menimbulkan kewajiban dan hak-
hak pernikahan.44
Dan selain syarat diatas untuk sahnya suatu akad pernikahan, disyaratkan
tidak ada larangan-larangan pada calon istri untuk dinikahi. Diantara syarat
diharamkan nya perempuan untuk dinikahi selain dari keharaman menurut
nasabnya, ada juga halangan atau larangan pernikahan dikarenakan sebab-sebab
tertentu. Salah satu sebab tertentu itu adalah sebab perbedaan kepercayaan, iman
atau agama. 45
ُتُكم َعَليُكمُحرَِّمت ُتُكم َوبَ َناُتُكم أُمَّهََٰ ُتُكم َوَأَخوََٰ ُتُكم َوَعمََّٰ لََٰ ُتُكُم ٱأُلختِ َوبَ َناتُ ٱأَلخِ َوبَ َناتُ َوخََٰ َوأُمَّهََُٰتُكم أَرَضعَنُكمٱلََِِّٰت َعةِ مِّنَ َوَأَخوََٰ تُ ٱلرَّضََٰ ٱلََِِّٰت نَِّساِئُكمُ مِّن ُحُجورُِكم يف ٱلََِِّٰت َوَربََِٰئُبُكمُ ُكمِنَسائِ َوأُمَّهََِٰبُكم ِمن ٱلَِّذينَ أَبَناِئُكمُ ِئلُ َحلََٰ وَ َعَليُكم ُجَناحَ َفاَل ِِبِنَّ َدَخلُتم َتُكونُواْ ّلَّ فَِإن ِِبِنَّ َدَخلُتم َوَأن َأصلََٰ
ُحَصنََٰتُ ۞ ٖٕا رَِّحيما َغُفور َكانَ ٱللَّوَ ِإنَّ َسَلفَ َقد َما ِإالَّ ٱأُلخَتْيِ َبْيَ َمُعواْ تَ ِإالَّ ٱلنَِّساءِ ِمنَ َوٱمل
ِلُكم َورَاءَ مَّا َلُكم َوأُِحلَّ َعَليُكم ٱللَّوِ ِكتََٰبَ أَيََُٰنُكم َمَلَكت َما ِلُكم تَبتَ ِفُغواْ َأن ذََٰ ِصِنْيَ بَِأموََٰ َغريَ حمُّ
43
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 38-39
44 Djamaan Nur, Fiqih Munakaha, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993) h. 61
45 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab h.364
28
ِفِحْيَ بَعدِ ِمن ۦبِوِ تَ رَََٰضيُتم ِفيَما َعَليُكم ُجَناحَ َواَل َفرِيَضة ُأُجوَرُىنَّ اتُوُىنَّ َ فَ نَّ ِمنهُ ۦبِوِ ٱسَتمَتعُتم َفَما ُمسََٰ ٕٗا َحِكيم َعِليًما َكانَ ٱللَّوَ ِإنَّ ِة ٱلَفرِيضَ
Artinya: “ ...diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu
yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang
dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak
berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. dan (diharamkan juga kamu
mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah
telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan
bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu
untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati
(campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan
sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap
sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisaa‟
[4]: 23-24)
Berdasarkan ayat diatas, ajaran Islam menyatakan bahwa larangan
pernikahan meliputi:46
1 Larangan yang berlaku selamanya, yaitu larangan perkawinan
karena hubungan darah (keturunan), karena sepersusuan, karena
hubungan mertua, dan sebagai anak tiri.
2 Larangan yang berlaku sementara, yaitu larangan perkawinan
karena perbedaan agama, karena masih dalam iddah, masih sebagai
istri atau suami orang lain, sedang melakukan ihram, dan istri yang
ditalak tiga.
Menurut Firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 221 pun menjelaskan
bahwa “ Jangan engkau menikahi orang-orang musyrik diantara kamu sebelum ia
beriman ...” yang ini merupakan dasar bahwa larangan ini bersifat sementara dan
46
Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, h. 306
29
tidak untuk selamanya. Dilarang menikahi perempuan-perempuan (yang masih
dalam keadaan) musyrik, hingga ia beriman (lalu dibolehkan karena ia sudah
beriman kepada Allah).
30
BAB III
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN NURCHOLIS MADJID DAN
MUHAMMAD AMIN SUMA
A. Biografi Nurcholis Madjid
1. Latar Belakang dan Pendidikan
Nurcholish Madjid lahir pada tanggal 17 Maret 1939 M, di desa Mojoanyar,
Jombang, Jawa Timur. Ayahnya K.H. Abdul Madjid, dikenal sebagai kyai
terpandang dan juga seorang pemimpin Masyumi, partai berideologi Islam pada
saat itu. Nurcholish Madjid kecil pernah bermimpi menjadi seorang masinis,
karena pada waktu itu kereta api merupakan kendaraan rakyat ter-populer. Tapi,
dikemudian hari beliau tidak hanya menjadi „masinis kereta api‟ bahkan menjadi
„Bapak Lokomotif Pembaharu Islam‟ yang fenomenal. 1
Wacana-wacana para pendiri bangsa, seperti H.O.S Cokroaminoto dengan
ideologi Islam dan Sosialisme, H.Agus Salim dengan ide keadilan sosial
(Sosialisme) yang berlandaskan ajaran-ajaran agama dan pemikiran-pemikiran
founding father yang lain, itu menjadi daya dorong untuk memberikan andil
dalam pemikiran Nurcholis Madjid dalam membangun upaya pencapaian keadilan
sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Melalui telaah pemikiran-pemikiran diatas
mampu mematangkan Nurcholish Madjid menjadi sosok seorang pemikir dan
cendekiawan muslim.2
Pendidikan dasar Nurcholish ditempuh di Madrasah yang dikelola ayahnya,
yaitu Madrasah al-Wathaniyah (Sekolah Patriot) pada sorenya, dan paginya di
Sekolah Rakyat (SR). Di madrasah, pelajarannya diprioritaskan pada ilmu nahwu
dan shara maka dari itu tidak heran sejak dini ia menguasai dan hafal kitab-kitab
dasar seperti Aqidah al-Awam dan Imrithi. Ia juga termasuk murid yang
1 Nurcholish Madjid, dkk. Fiqih Lintas Agama, h. 271
2 Nurcholish Madjid, dkk. Fiqih Lintas Agama, h. 271
31
berprestasi cemerlang, walaupun sempat terlambat masuk Sekolah Rakyat namun
ia mampu menyelesaikannya dalam waktu lima tahun (1953) di umur 14 tahun.3
Pada tahun 1954, Nurcholish melanjutkan pendidikan SMP nya di Peantren
Darul Ulum, Rejoso, Jombang. Disana ia langsung dimasukkan ke kelas enam dan
hanya mengulang banyak pelajaran yang telah dikuasainya dulu. Pada waktu itu
banyak tokoh NU yang keluar dari Masyumi, tapi ayah Nurcholish tetap bertahan.
Menurut ayahnya, sikap konsistensi pilihan partai itu dikarenakan „fatwa‟ Kiai
Hasyim Asy‟ari. Bahkan ayahnya berucap “Lho, saya ini ikut Pak Natsir dalam
soal politik dan ikut Kiai Hasyim Asy‟ari dalm soal-soal Agama”. Sehingga ada
seorang kiai yang menyindirnya dan tidak menghargainya, padahal Nurcholis
kecil sangat berbakat dan sering mendapatkan juara. Karena merasa tidak betah ia
akhirnya pindah, Nurcholish dipindahkan ke Pesantren Gontor, sebuah pesantren
modern, bahkan sangat modern. Secara kognitif dan motorik, di pesantren ini ia
terlatih untuk berpikiran bebas, berwawasan luas dan komparatif. Menurutnya,
kitab Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd memiliki andil dalam hidupnya
untuk berwawasan komparatif dan tidak fanatik mazhab. Di Gontor ini pula, ia
mengenal Tasawuf Modern-nya Buya Hamka, Civillization on Trial-nya Arnold
Tonybee, dan Personal Psychology-nya Frits Kunkle. Ia lulus dari Gontor pada
tahun 1960.4
Pada tahun 1961. Nurcholis resmi menjadi mahasiswa di Fakultas Adab
IAIN Ciputat, Jakarta. Ia memilih Fakultas ini karena memang dari Gontor ia
sudah mempunyai bekal Bahasa Arab yang mumpuni. Bahkan, di kampus ia juga
aktif di Dewan Mahasiswa (DEMA) sebagai Ketua Departemen Hubungan Luar
Negeri karena mempunyai kemampuan Bahasa Inggris yang lancar. Walaupun ia
sangat aktif dalam keorganisasian, ia mengaku tak pernah sekalipun ikut
melakukan demonstari. Ia lulus dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan
skripsi sarjananya berjudul: Al-Qur‟an, Arabiy-un Lughat-an wa Alaiy-un Ma‟nan
3Mohammad Monib, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nurcholish
Madjid, (Jakarta: Gramedia, 2011), h. 26
4 Mohammad Monib, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nurcholish
Madjid, h. 27-28
32
(al-Qur‟an dari Segi Bahasa bersifat lokal, tapi dari segi Makna bersifat
Universal).5
Nurcholish Madjid pernah menduduki kepemimpinan dalam Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) selama dua periode, pertama pada periode 1966-1968
dan yang kedua pada tahun 1969-1971. Dalam masa-masa inilah Nurcholish
Mad