KOMPLIKASI INTRATEMPORAL
OMSK
OLEH :
RISKIANA DJAMIN
DIBAWAKAN PADA ACARA KEGIATAN ILMIAH
BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KLFAKULTAS KEDOKTERAN UNHAS
MAKASSARJULI 2008
0
KOMPLIKASI INTRATEMPORAL OMSK
PENDAHULUAN 1,2,3
Otitis media supuratif, baik yang akut maupun kronis, mempunyai potensi untuk
menjadi serius karena komplikasinya yang dapat mengancam kesehatan dan dapat
menyebabkan kematian. Bentuk komplikasi ini tergantung pada kelainan patologik yang
menyebabkan otore. Biasanya komplikasi didapatkan pada pasien OMSK tipe maligna,
tetapi OMSK tipe benigna pun dapat menyebabkan suatu komplikasi, bila terinfeksi
kuman yang virulen. Dengan tersedianya antibiotika mutahir komplikasi otogenik
menjadi semakin jarang, Pemberian obat-obat itu sering menyebabkan gejala dan tanda
klinis komplikasi OMSK menjadi kabur. Hal tersebut menyebabkan pentingnya
mengenal pola penyakit yang berhubungan dengan komplikasi ini.
Komplikasi OMSK dibagi menjadi komplikasi intratemporal dan komplikasi
intrakranial. Komplikasi intratemporal meliputi mastoiditis dengan abses subperiosteal,
petrositis, labirinitis, dan paresis fasial ; dan komplikasi intrakranial meliputi abses
ekstradural, abses perisinus, tromboflebitis sinus lateral meningitis, abses otak dan
meningitis otikus.
EPIDEMIOLOGI 4,5
Penelitian 8 tahun yang dilakukan di Thailand dengan jumlah kasus 17.144
menunjukkan prevalensi komplikasi intrakranial berkisar antara 0,24 % dan komplikasi
ekstrakranial berkisar antara 0,45%.
Penelitian 15 tahun yang dilakukan oleh Julius dan Kaltiokallio (1972)
menemukan 29 kasus mastoiditis dengan destruksi tulang ditemukan di Finlandia.
Penelitian 5 tahun yang dilakukan oleh Ritter di Universitas Michigan menunjukkan 152
kasus dioperasi dengan Cholesteatoma, dengan 40% kasus mempunyai kelainan
patologik berupa destruksi tulang, seperti fistula kanalis semisirkularis lateral, paparan
nervus facialis dan dural.
1
ANATOMI TELINGA TENGAH 2,3
Telinga tengah terdiri dari :
1. Membran timpani.
2. Kavum timpani.
3. Tuba eustachius.
4. Prosesus mastoideus
1. Membran Timpani 2,3
Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani dan
memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Membrana ini panjang vertikal
rata-rata 9-10 mm dan diameter antero-posterior kira-kira 8-9 mm, ketebalannya rata-
rata 0,1 mm . Letak membrana timpani tidak tegak lurus terhadap liang telinga akan
tetapi miring yang arahnya dari belakang luar ke muka dalam dan membuat sudut 450
dari dataran sagital dan horizontal. Membrana timpani merupakan kerucut, dimana
bagian puncak dari kerucut menonjol kearah kavum timpani, puncak ini dinamakan
umbo. Dari umbo kemuka bawah tampak refleks cahaya (cone of light).
Membran timpani mempunyai tiga lapisan yaitu :
1. Stratum kutaneum (lapisan epitel) berasal dari liang telinga.
2. Stratum mukosum (lapisan mukosa) berasal dari kavum timpani.
3. Stratum fibrosum (lamina propria) yang letaknya antara stratum kutaneum dan
mukosum. Lamina propria yang terdiri dari dua lapisan anyaman penyabung
elastis yaitu:
1. Bagian dalam sirkuler.
2. Bagian luar radier .
Secara Anatomis membrana timpani dibagi dalam 2 bagian :
1. Pars tensa
Merupakan bagian terbesar dari membran timpani suatu permukaan yang
tegang dan bergetar sekeliling menebal dan melekat pada anulus fibrosus pada
sulkus timpanikus bagian tulang dari tulang temporal.
2
2. Pars flasida atau membran Shrapnell
Merupakan bagian yang terletak dibagian atas muka dan lebih tipis dari pars
tensa dan pars flasida dibatasi oleh 2 lipatan yaitu :
a. Plika maleolaris anterior (lipatan muka)
b. Plika maleolaris posterior
Membran timpani terletak dalam saluran yang dibentuk oleh tulang
dinamakan sulkus timpanikus. Akan tetapi bagian atas muka tidak terdapat sulkus ini
dan bagian ini disebut incisura timpanika (Rivini). Permukaan luar dari membrana
timpani disarafi oleh cabang n.aurikulotemporalis dari nervus mandibula dan nervus
vagus. Permukaan dalam disarafi oleh n. timpani cabang dari nervus glosofaringeal.
Aliran darah membrana timpani berasal dari permukaan luar dan dalam. Pembuluh-
pembuluh epidermal berasal dari aurikula yang dalam cabang dari arteri maksilaris
interna. Permukaan mukosa telinga tengah didarahi oleh timpani anterior cabang dari
arteri maksilaris interna dan oleh stylomastoid cabang dari arteri aurikula posterior.
Gambar 1. Membran Timpani 3
2. Kavum Timpani 2,3
Kavum timpani terletak didalam pars petrosa dari tulang temporal, bentuknya
bikonkaf, atau seperti kotak korek api. Diameter anteroposterior atau vertikal 15 mm,
sedangkan diameter transversal 2-6 mm. Kavum timpani mempunyai 6 dinding yaitu :
bagian atap, lantai, dinding lateral, dinding medial, dinding anterior, dinding
posterior.
3
a. Atap Kavum Timpani 2,3
Dibentuk oleh lempengan tulang yang tipis disebut tegmen timpani.
Tegmen timpani memisahkan telinga tengah dari fossa kranial dan lobus
temporalis dari otak. Bagian ini juga dibentuk oleh pars petrosa tulang temporal
dan sebagian lagi oleh skuama dan garis sutura petroskuama. Dinding ini hanya
dibatasi oleh tulang yang tipis atau ada kalanya tidak ada tulang sama sekali
(dehisensi).
Pada anak-anak, penulangan dari sutura petroskuamosa belum terbentuk
pada daerah tegmen timpani, sehingga memungkinkan terjadinya penyebaran
infeksi dari kavum timpani ke meningen dari fossa kranial media. Pada orang
dewasa bahkan vena-vena dari telinga tengah menembus sutura ini dan berakhir
pada sinus petroskuamosa dan sinus petrosal superior dimana hal ini dapat
menyebabkan penyebaran infeksi dari telinga tengah secara langsung ke sinus-
sinus venosus kranial.
b. Lantai Kavum Timpani 2,3
Dibentuk oleh tulang yang tipis memisahkan lantai kavum timpani dari
bulbus jugularis, atau tidak ada tulang sama sekali hingga infeksi dari kavum
timpani mudah merembet ke bulbus vena jugularis.
c. Dinding Medial 2,3
Dinding medial ini memisahkan kavum timpani dari telinga dalam, ini
juga merupakan dinding lateral dari telinga dalam. Dinding ini pada
mesotimpanum menonjol kearah kavum timpani, yang disebut promontorium
Tonjolan ini oleh karena didalamnya terdapat koklea. Didalam promontorium
terdapat beberapa saluran-saluran yang berisi saraf-saraf yang membentuk pleksus
timpanikus. Dibelakang dan atas promontorium terdapat fenestra vestibuli atau
foramen ovale (oval windows), bentuknya seperti ginjal dan berhubungan pada
kavum timpani dengan vestibulum, dan ditutupi oleh telapak kaki stapes dan
diperkuat oleh ligamentum anularis. Foramen ovale berukuran 3,25 mm x 1,75
4
mm. Diatas fenestra vestibuli, sebagai tempat jalannya nervus fasialis. Kanalis ini
didalam kavum timpani tipis sekali atau tidak ada tulang sama sekali (dehisensi).
Fenestra koklea atau foramen rotundum (round windows), ditutupi oleh
suatu membran yang tipis yaitu membran timpani sekunder, terletak dibelakang
bawah. Foramen rotundum ini berukuran 1,5 mm x 1,3 mm pada bagian anterior
dan posterior 1,6 mm. Kedua lekukan dari foramen ovale dan rotundum
berhubungan satu sama lain pada batas posterior mesotimpanum melalui suatu
fossa yang dalam yaitu sinus timpanikus. Suatu ruang secara klinis sangat penting
ialah sinus posterior atau recessus fasial yang didapat di sebelah lateral kanalis
fasial dan prosesus piramidal. Dibatasi sebelah lateral oleh anulus timpanikus
posterosuperior, sebelah superior oleh prosesus brevis inkus yang melekat ke
fossa inkudis. Lebar recessus fasialis 4,01 mm dan tidak bertambah semenjak
lahir. Recessus fasialis penting karena sebagai pembatas antara kavum timpani
dengan kavum mastoid sehingga bila aditus as antrum tertutup karena suatu sebab
maka recessus fasialis bisa dibuka untuk menghubungkan kavum timpani dengan
kavum mastoid.
d. Dinding Posterior 2,3
Dinding posterior dekat keatap, mempunyai satu saluran disebut aditus,
yang menghubungkan kavum timpani dengan atrum mastoid melalui
epitimpanum. Di bawah aditus terdapat lekukan kecil yang disebut fossa inkudis
yang merupakan suatu tempat prosesus brevis dari inkus dan melekat pada serat-
serat ligamen. Di bawah fossa inkudis dan dimedial dari korda timpani adalah
piramid, tempat terdapatnya tendon muskulus stapedius, tendon yang berjalan ke
atas dan masuk kedalam stapes. Diantara piramid dan anulus timpanikus adalah
recessus fasialis. Dibelakang dinding posterior kavum timpani adalah fossa kranii
posterior dan sinus sigmoid. Disebelah dalam dari piramid dan nervus fasialis
merupakan perluasan kearah posterior dari mesotimpani adalah sinus timpani.
Perluasan sel-sel udara kearah dinding posterior dapat meluas seperti yang
dilaporkan Anson dan Donaldson (1981), bahwa apabila diukur dari ujung
piramid, sinus dapat meluas sepanjang 9 mm kearah tulang mastoid. Dinding
5
medial dari sinus timpani kemudian berlanjut ke bagian posterior dari dinding
medial kavum timpani dimana berhubungan dengan dua fenestra dan
promontorium.
e. Dinding Anterior 2,3
Dinding anterior kavum timpani agak sempit tempat bertemunya dinding
medial dan dinding lateral kavum timpani. Dinding anterior bawah adalah lebih
besar dari bagian atas dan terdiri dari lempeng tulang yang tipis menutupi arteri
karotis pada saat memasuki tulang tengkorak dan sebelum berbelok ke anterior.
Dinding ini ditembus oleh saraf timpani karotis superior dan inferior yang
membawa serabut-serabut saraf simpatis ke pleksus timpanikus dan oleh satu atau
lebih cabang timpani dari arteri karotis interna.
Dinding anterior ini terutama berperan sebagai muara tuba eustachius.
Tuba ini berhubungan dengan nasofaring dan mempunyai dua fungsi. Pertama
menyeimbangkan tekanan membran timpani pada sisi sebelah dalam, kedua
sebagai drainase sekresi dari telinga tengah, termasuk sel-sel udara mastoid.
Diatas tuba terdapat sebuah saluran yang berisi otot tensor timpani. Dibawah tuba,
dinding anterior biasanya tipis dimana ini merupakan dinding posterior dari
saluran karotis.
f. Dinding Lateral 2,3
Dinding lateral kavum timpani adalah bagian tulang dan membran. Bagian
tulang berada diatas dan bawah membran timpani. Kavum timpani dibagi menjadi
3 bagian yaitu :
6
Gambar 2. Dinding Cavum Timpani 3
1. Epitimpanum 2,3
Berada dibagian atas membran timpani. Merupakan bagian superior
kavum timpani, disebut juga atik karena terletak diatas membran timpani.
sebagian besar atik diisi oleh maleus inkus. Dibagian superior epitimpanum
dibatasi oleh suatu penonjolan tipis os posterior. Dinding medial atik dibentuk
oleh kapsul atik yang ditandai oleh penonjolan kanalis semisirkularis lateral.
Pada bagian anterior terdapat ampula kanalis superior, dan lebih
anterior ada ganglion genikulatum, yang merupakan tanda ujung anterior
ruang atik. Dinding anterior terpisah dari maleus oleh suatu ruang yang
sempit, disini dapat dijumpai muara sel-sel udara yang membuat pneumatisasi
pangkal tulang pipi (zygoma). Dinding lateral atik dibentuk oleh os skuama
yang berlanjut kearah lateral sebagai dinding liang telinga luar bagian tulang
7
sebelah atas. Diposterior, atik menyempit menjadi jalan masuk ke antrum
mastoid, yaitu aditus ad antrum.
2. Mesotimpanum 2,3
Terletak kearah medial dari membran timpani. Disebelah medial
dibatasi oleh kapsul otik, yang terletaknya lebih rendah dari pada nervus
fasialis pars timpani. Dinding anterior mesotimpani terdapat orifisium timpani
tuba eustachius pada bagian superior dan membentuk bagian tulang dinding
saluran karotis asendens pada bagian inferior. Dinding ini biasanya
mengalami pneumatisasi yang baik dan dapat dijumpai bagian-bagian tulang
lemah.
3. Hipotimpanum atau recessus hipotimpanikus 2,3
Terletak dibawah membrana timpani, berhubungan dengan bulbus
jugulare. Kavum timpani terdiri dari :
a. Tulang-tulang pendengaran (maleus, inkus, stapes)
b. Dua otot
c. Saraf korda timpani
d. Saraf pleksus timpanikus
Gambar 3. Cavum Timpani 2,3
8
Tulang-tulang pendengaran terdiri dari :
a. Malleus (hammer / martil).
b. Inkus (anvil / landasan)
c. Stapes (stirrup / pelana)
Gambar 4. Tulang-tulang pendengaran 3
Malleus 2,3
Malleus adalah tulang yang paling besar diantara semua tulang- tulang
pendengaran dan terletak paling lateral, leher, prosesus brevis (lateral),
prosesus anterior, lengan (manubrium). panjangnya kira-kira 7,5 sampai 9,0
mm. Kepala terletak pada epitimpanum atau didalam rongga atik, sedangkan
leher terletak dibelakang pars flaksida membran timpani. Manubrium terdapat
didalam membran timpani, bertindak sebagai tempat perlekatan serabut-
serabut tunika propria. Ruang antara kepala dari maleus dan membran
Shrapnell dinamakan Ruang Prussak. Maleus ditahan oleh ligamentum maleus
anterior yang melekat ke tegmen dan juga oleh ligamentum lateral yang
terdapat diantara basis prosesus brevis dan pinggir lekuk Rivinus.
Inkus 2,3
9
Inkus terdiri dari badan inkus ( corpus) dan 2 kaki yaitu : prosesus
brevis dan prosesus longus. Sudut antara prosesus brevis dan longus
membentuk sudut lebih kurang 100 derajat. Inkus berukuran 4,8 mm x 5,5
mm pada pinggir dari corpus, prosesus longus panjangnya 4,3 mm-5,5 mm.
Inkus terletak pada epitimpanum, dimana prosesus brevis menuju
antrum, prosesus longus jalannya sejajar dengan manubrium dan menuju ke
bawah. Ujung prosesus longus membengkok kemedial merupakan suatu
prosesus yaitu prosesus lentikularis. Prosesus ini berhubungan dengan kepala
dari stapes. Maleus dan inkus bekerja sebagai satu unit, memberikan respon
rotasi terhadap gerakan membran timpani melalui suatu aksis yang merupakan
suatu garis antara ligamentum maleus anterior dan ligamentum inkus pada
ujung prosesus brevis. Gerakan-gerakan tersebut tetap dipelihara
berkesinambungan oleh inkudomaleus. Gerakan rotasi tersebut diubah
menjadi gerakan seperti piston pada stapes melalui sendi inkudostapedius.
Stapes 2,3
Merupakan tulang pendengaran yang teringan, bentuknya seperti
sanggurdi beratnya hanya 2,5 mg, tingginya 4mm-4,5 mm. Stapes terdiri dari
kepala, leher, krura anterior dan posterior dan telapak kaki (foot plate), yang
melekat pada foramen ovale dengan perantara ligamentum anulare. Tendon
stapedius berinsersi pada suatu penonjolan kecil pada permukaan posterior
dari leher stapes. Kedua krura terdapat pada bagian leher bawah yang lebar
dan krura anterior lebih tipis dan kurang melengkung dari pada posterior.
Kedua berhubungan dengan foot plate yang biasanya mempunyai tepi superior
yang melengkung, hampir lurus pada tepi posterior dan melengkung di
anterior dan ujung posterior. panjang foot plate 3 mm dan lebarnya 1,4 mm,
dan terletak pada fenestra vestibuli dimana ini melekat pada tepi tulang dari
kapsul labirin oleh ligamentum anulare. Tinggi stapes kira-kira 3,25 mm
Otot-Otot Pada Kavum Timpani 2,3
10
Terdiri dari otot tensor timpani (muskulus tensor timpani) dan otot
stapedius (muskulus stapedius) Otot tensor timpani adalah otot kecil panjang
yang berada 12 mm diatas tuba eustachius. Otot ini melekat pada dinding
semikanal tensor timpani. Kanal ini terletak diatas liang telinga bagian tulang
dan terbuka kearah liang telinga sehingga disebut semikanal. Serabut-serabut
otot bergabung dan menjadi tendon pada ujung timpani semikanal yang
ditandai oleh prosesus kohleoform. Prosesus ini membuat tendon tersebut
membelok kearah lateral kedalam telinga tengah. Tendon berinsersi pada
bagian atas leher maleus. Muskulus tensor timpani disarafi oleh cabang saraf
kranial ke-5. kerja otot ini menyebabkan membran timpani tertarik kearah
dalam sehingga menjadi lebih tegang dan meningkatkan frekuensi resonansi
sistem penghantar suara serta melemahkan suara dengan freksuensi rendah.
Otot stapedius adalah otot yang relatif pendek. Bermula dari dalam
kanalnya didalam eminensia piramid, serabut ototnya melekat ke perios kanal
tersebut. Serabut-serabutnya bergabung membentuk tendon stapedius yang
berinsersi pada apek posterior leher stapes. M. Stapedius disarafi oleh salah
satu cabang saraf kranial ke 7 yang timbul ketika saraf tersebut melewati m.
stapedius tersebut pada perputarannya yang kedua. Kerja m.stapedius menarik
stapes ke posterior mengelilingi suatu pasak pada tepi posterior basis stapes.
Keadaan ini stapes kaku, memperlemah transmisi suara dan meningkatkan
frekuensi resonansi tulang-tulang pendengaran
Saraf Korda Timpani 2,3
Merupakan cabang dari nervus fasialis masuk ke kavum timpani dari
kanalikulus posterior yang menghubungkan dinding lateral dan posterior.
Korda timpani memasuki telinga tengah bawah pinggir posterosuperior sulkus
timpani dan berjalan keatas depan lateral ke prosesus longus dari inkus dan
kemudian ke bagian bawah leher maleus tepatnya diperlekatan tendon tensor
timpani. Setelah berjalan kearah medial menuju ligamentum maleus anterior,
saraf ini keluar melalui fisura petrotimpani. Korda timpani juga mengandung
jaringan sekresi parasimpatetik yang berhubungan dengan kelenjar ludah
11
sublingual dan submandibula melalui ganglion submandibular. Korda timpani
memberikan serabut perasa pada 2/3 depan lidah bagian anterior.
Pleksus Timpanikus 2,3
Adalah berasal dari n. timpani cabang dari nervus glosofaringeus dan
dengan nervus karotikotimpani yang berasal dari pleksus simpatetik disekitar
arteri karotis interna. Saraf dari pleksus ini dan kemudian berlanjut pada :
1. Cabang-cabang pada membrana mukosa yamg melapisi kavum
timpani, tuba eustachius, antrum mastiod dan sel-sel mastoid.
2. Sebuah cabang yang berhubungan dengan nervus petrosus
superfisial mayor.
3. Pada nervus petrosus superfisial minor, yang mengandung serabut-
serabut parasimpatis dari N. IX. Saraf ini meninggalkan telinga tengah
melalui suatu saluran yang kecil dibawah m. tensor timpani kemudian
menerima serabut saraf parasimpatik dari N. VII dengan melalui cabang
dari ganglion genikulatum. Secara sempurna saraf berjalan melalui tulang
temporal, dilateral sampai nervus petrosus superfisial mayor, diatas dasar
fossa kranial media, diluar durameter. Kemudian berjalan melalui foramen
ovale dengan nervus mandibula dan arteri meningeal assesori sampai
ganglion otik. Kadang-kadang saraf ini tidak berjalan pada foramen ovale
tetapi melalui foramen yang kecil sampai foramen spinosum. Serabut post
ganglion dari ganglion otik menyuplai serabut-serabut sekremotor pada
kelenjar parotis melalui nervus aurikulotemporalis.
Saraf Fasialis 2,3
Meninggalkan fossa kranii posterior dan memasuki tulang temporal
melalui meatus akustikus internus bersamaan dengan N. VIII. Saraf fasial
terutama terdiri dari dua komponen yang berbeda, yaitu :
2. Saraf motorik untuk otot-otot yang berasal dari lengkung brankial
kedua (faringeal) yaitu otot ekspresi wajah, stilohioid, posterior belly m.
Digastrik dan m. stapedius.
12
2. Saraf intermedius yang terdiri dari saraf sensori dan sekretomotor
parasimpatetis preganglionik yang menuju ke semua glandula wajah
kecuali parotis.
Saraf kranial VII mencapai dinding medial kavum timpani melalui
auditori meatus diatas vestibula labirin tulang. Kemudian membelok kearah
posterior dalam tulang diatas feromen ovale terus ke dinding posterior kavum
timpani. Belokan kedua terjadi dinding posterior mengarah ke tulang petrosa
melewati kanal fasial keluar dari dasar tengkorak melewati foramen
stilomastoidea. Pada belokan pertama di dinding medial dari kavum timpani
terdapat ganglion genikulatum, yang mengandung sel unipolar palsu. Sel ini
adalah bagian dari jaringan perasa dari 2/3 lidah dan palatum. Saraf petrosa
superfisial yang besar bercabang dari saraf kranial VII pada ganglion
genikulatum, masuk ke dinding anterior kavum timpani, terus ke fossa kranial
tengah. Saraf ini mengandung jaringan perasa dari palatum dan jaringan
sekremotor dari glandula atap rongga mulut, kavum nasi dan orbita. Bagian
lain dari saraf kranial VII membentuk percabangan motor ke otot stapedius
dan korda timpani. Korda timpani keluar ke fossa intra temporal melalui
handle malleus, bergerak secara vertikal ke inkus dan terus ke fisura
petrotimpanik. Korda timpani mengandung jaringan perasa dari 2/3 anterior
lidah dan jaringan sekretorimotor dari ganglion submandibula. Sel jaringan
perasanya terdapat di ganglion genikulatum.
Perdarahan Kavum Timpani 2,3
Pembuluh-pembuluh darah yang memberikan vaskularis asi kavum
timpani adalah arteri-arteri kecil yang melewati tulang yang tebal. Sebagian
besar pembuluh darah yang menuju kavum timpani berasal dari cabang arteri
karotis eksterna. Pada daerah anterior mendapat vaskularisasi dari a.
timpanika anterior, yang merupakan cabang dari a. maksilaris interna yang
masuk ke telinga tengah melalui fisura petrotimpanika.
Pada daerah posterior mendapat vaskularisasi dari a. timpanika
psoterior, yang merupakan cabang dari a. mastoidea yaitu a. stilomastoidea.
13
Pada daerah superior mendapat perdarahan dari cabang a. meningea media
juga a. petrosa superior, a. timpanika superior dan ramus inkudomalei.
Pembuluh vena kavum timpani berjalan bersama-sama dengan pembuluh
arteri menuju pleksus venosus pterigoid atau sinus petrosus superior.
Pembuluh getah bening kavum timpani masuk ke dalam pembuluh getah
bening retrofaring atau ke nodulus limfatikus parotis.
3. Tuba Eustachius 2,3
Tuba eustachius disebut juga tuba auditory atau tuba faringotimpani.
bentuknya seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan kavum
timpani dengan nasofaring. Pada orang dewasa panjang tuba sekitar 36 mm berjalan
ke bawah, depan dan medial dari telinga tengah 13 dan pada anak dibawah 9 bulan
adalah 17,5 mm.
Tuba terdiri dari 2 bagian yaitu :
1. Bagian tulang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian).
2. Bagian tulang rawan terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3 bagian).
Bagian tulang sebelah lateral berasal dari dinding depan kavum timpani, dan
bagian tulang rawan medial masuk ke nasofaring. Bagian tulang rawan ini berjalan
kearah posterior, superior dan medial sepanjang 2/3 bagian keseluruhan panjang tuba
(4 cm), kemudian bersatu dengan bagian tulang atau timpani. Tempat pertemuan itu
merupakan bagian yang sempit yang disebut ismus. Bagian tulang tetap terbuka,
sedangkan bagian tulang rawan selalu tertutup dan berakhir pada dinding lateral
nasofaring. Pada orang dewasa muara tuba pada bagian timpani terletak kira-kira 2-
2,5 cm, lebih tinggi dibanding dengan ujungnya nasofaring. Pada anak-anak, tuba
pendek, lebar dan letaknya mendatar maka infeksi mudah menjalar dari nasofaring ke
telinga tengah. Tuba dilapisi oleh mukosa saluran nafas yang berisi sel-sel goblet dan
kelenjar mukus dan memiliki lapisan epitel bersilia didasarnya. Epitel tuba terdiri dari
epitel selinder berlapis dengan sel selinder. Disini terdapat silia dengan
pergerakannya ke arah faring. Sekitar ostium tuba terdapat jaringan limfosit yang
dinamakan tonsil tuba.
Otot yang berhubungan dengan tuba eustachius yaitu :
14
1. M. tensor veli palatini
2. M. elevator veli palatini
3. M. tensor timpani
4. M. salpingofaringeus
Fungsi tuba eustachius sebagai ventilasi telinga yaitu mempertahankan
keseimbangan tekanan udara didalam kavum timpani dengan tekanan udara luar,
drainase sekret dari kavum timpani ke nasofaring dan menghalangi masuknya sekret
dari nasofaring ke kavum timpani.
4. Prosesus Mastoideus 2,3
Rongga mastoid berbentuk seperti bersisi tiga dengan puncak mengarah ke
kaudal. Atap mastoid adalah fossa kranii media. Dinding medial adalah dinding
lateral fossa kranii posterior. Sinus sigmoid terletak dibawah duramater pada daerah
ini. Pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad antrum. Aditus antrum mastoid
adalah suatu pintu yang besar irregular berasal dari epitimpanum posterior menuju
rongga antrum yang berisi udara, sering disebut sebagai aditus ad antrum. Dinding
medial merupakan penonjolan dari kanalis semisirkularis lateral. Dibawah dan sedikit
ke medial dari promontorium terdapat kanalis bagian tulang dari n. fasialis. Prosesus
brevis inkus sangat berdekatan dengan kedua struktur ini dan jarak rata-rata diantara
organ : n. VII ke kanalis semisirkularis 1,77 mm; n.VII ke prosesus brevis inkus 2,36
mm : dan prosesus brevis inkus ke kanalis semisirkularis 1,25 mm.
Gambar 5. Sel Udara Mastoid 3
Antrum mastoid adalah sinus yang berisi udara didalam pars petrosa tulang
temporal. Berhubungan dengan telinga tengah melalui aditus dan mempunyai sel-sel
15
udara mastoid yang berasal dari dinding-dindingnya. Antrum sudah berkembang baik
pada saat lahir dan pada dewasa mempunyai volume 1 ml, panjang dari depan
kebelakang sekitar 14 mm, dari atas kebawah 9mm dan dari sisi lateral ke medial 7
mm. Dinding medial dari antrum berhubungan dengan kanalis semisirkularis
posterior dan lebih ke dalam dan inferiornya terletak sakkus endolimfatikus dan dura
dari fossa kranii posterior. Atapnya membentuk bagian dari lantai fossa kranii media
dan memisahkan antrum dengan otak lobus temporalis. Dinding posterior terutama
dibentuk oleh tulang yang menutupi sinus. Dinding lateral merupakan bagian dari
pars skumosa tulang temporal dan meningkat ketebalannya selama hidup dari sekitar
2 mm pada saat lahir hingga 12-15 mm pada dewasa. Dinding lateral pada orang
dewasa berhubungan dengan trigonum suprameatal (Macewen’s) pada permukaan
luar tengkorak. Lantai antrum mastoid berhubungan dengan otot digastrik dilateral
dan sinus sigmoid di medial, meskipun pada aerasi tulang mastoid yang jelek, struktur
ini bisa berjarak 1 cm dari dinding antrum inferior. Dinding anterior antrum memiliki
aditus pada bagian atas, sedangkan bagian bawah dilalui n.fasialis dalam perjalanan
menuju ke foramen stilomastoid.
Prosesus mastoid sangat penting untuk sistem pneumatisasi telinga.
Pneumatisasi didefinisikan sebagai suatu proses pembentukan atau perkembangan
rongga-rongga udara didalam tulang temporal, dan sel-sel udara yang terdapat
didalam mastoid adalah sebagian dari sistem pneumatisasi yang meliputi banyak
bagian dari tulang temporal. Sel-sel prosesus mastoid yang mengandung udara
berhubungan dengan udara didalam telinga tengah. Bila prosesus mastoid tetap berisi
tulang-tulang kompakta dikatakan sebagai pneumatisasi jelek dan sel-sel yang
berpneumatisasi terbatas pada daerah sekitar antrum. Prosesus mastoid berkembang
setelah lahir sebagai tuberositas kecil yang berpneumatisasi secara sinkron dengan
pertumbuhan antrum mastoid. Pada tahun pertama kehidupan prosesus ini terdiri dari
tulang-tulang seperti spon sehingga mastoiditis murni tidak dapat terjadi. Diantara
usia 2 dan 5 tahun pada saat terjadi pneumatisasi prosesus terdiri atas campuran
tulang-tulang spon dan pneumatik. Pneumatisasi sempurna terjadi antara usia 6 – 12
tahun. Luasnya pneumatisasi tergantung faktor herediter konstitusional dan faktor
peradangan pada waktu umur muda. Bila ada sifat biologis mukosa tidak baik maka
16
daya pneumatisasi hilang atau kurang. Ini juga terjadi bila ada radang pada telinga
yang tidak menyembuh. Maka nanti dapat dilihat pneumatisasi yang terhenti
(pneumatisationshemung arrested pneumatisation) atau pneumatisasi yang tidak ada
sama sekali (teori dari Wittmack).
Menurut derajatnya, pneumatisasi prosesus mastoideus ini dapat dibagi atas :
1. Proesesus Mastoideus Kompakta ( sklerotik), diomana tidak ditemui sel-sel.
2. Prosesus Mastoideus Spongiosa, dimana terdapat sel-sel kecil saja.
3. Prosesus Mastoideus dengan pneumatisasi yang luas, dimana sel-sel disini besar.
Sellulae mastoideus seluruhnya berhubungan dengan kavum timpani. Dekat
antrum sel-selnya kecil tambah ke perifer sel-selnya bertambah besar. Oleh karena itu
bila ada radang pada sel-sel mastoid, drainase tidak begitu baik hingga mudah terjadi
radang pada mastoid (mastoiditis). Menurut tempatnya sel-sel ini dapat dibedakan :
1. Terminal
2. Zygomatic
3. Perisinus
4. Facial
5. Sudut petrosal
6. Periantral
7. Sub dural
8. Perilabirinter
KLASIFIKASI 2,3,4,5,6,7,8
Klasifikasi intratemporal meliputi :
1. Mastoiditis
a. Berhubungan dengan abses subperiosteal
i. Abses mastoid lateral
ii. Abses tip medial ( Bezold’s)
2. Petrositis
3. Labirinitis
a. Serous
b. Suppuratif
17
i. Otogenik
ii. Meningogenik
4. Paralisis nervus facialis
a. Berhubungan dengan infeksi akut
b. Berhubungan dengan infeksi subakut atau kronik
PATOGENESIS 2,8
Komplikasi otitis media terjadi apabila sawar (barrier) pertahanan telinga tengah
yang normal dilewati, sehingga memungkinkan infeksi menjalar ke struktur di sekitarnya.
Pertahanan pertama ini ialah mukosa kavum timpani yang juga seperti mukosa saluran
napas, mampu melokalisasi infeksi. Bila sawar ini runtuh, maka ada sawar kedua, yaitu
dinding tulang kavum timpani dan sel mastoid. Bila sawar ini runtuh, maka struktur lunak
disekitarnya akan terkena. Runtuhnya periostium akan menyebabkan terjadinya abses
subperiosteal, suatu komplikasi yang relatif tidak berbahaya. Tetapi bila infeksi mengarah
kedalam, ke tulang temporal, maka akan menyebabkan parises n.fasialis atau labirinitis.
Bila ke arah cranial, akan menyebabkan abses ekstradural, tromboflebitis sinus lateralis,
meningitis dan abses otak.
Bila sawar tulang terlampaui, suatu dinding pertahanan ketiga yaitu jaringan
granulasi akan terbentuk. Pada otitis media supuratif akut atau suatu eksaserbasi akut
penyebaran biasanya melalui osteotromboflebitis (hematogen). Sedangkan pada kasus,
yang kronis, penyebaran melalui erosi tulang. Cara penyebaran lainnya ialah melalui
jalan yang sudah ada, misalnya melalui fenestra rotundum, meatus akustikus internus,
duktus perilimfatik dan duktus endolimfatik.
18
Gambar 6. Rute variasi penyebaran infeksi telinga tengah 8
Dari gejala dan tanda yang ditemukan, dapat diperkirakan jalan penyebaran suatu
infeksi telinga tengah ke intrakranial. Cara penyebaran infeksi pada otitis media supuratif
kronik terdiri dari :
1. Penyebaran Hemotogen
Penyebaran melalui osteotromboflebitis dapat diketahui dengan adanya (1)
komplikasi terjadi pada awal suatu infeksi atau eksaserbasi akut, dapat terjadi
pada hari pertama atau kedua sampai hari kesepuluh (2) gejala prodromal tidak
jelas seperti didapatkan pada gejala meningitis lokal. (3) pada operasi, didapatkan
dinding tulang telinga tengah utuh, dan tulang serta lapisan muko periosteal
meradang dan mudah berdarah, sehingga disebut juga mastoiditis hemaragika
2. Penyebaran melalui erosi tulang
Penyebaran melalui erosi tulang dapat diketahui, bila (1) komplikasi
terjadi beberapa minggu atau lebih setelah awal penyakit, (2) gejala prodromal
infeksi lokal biasanya mendahului gejala infeksi yang lebih luas, misalnya paresis
n.fasialis ringan yang hilang timbul mendahului paresis n.fasialis yang total, atau
gejala meningitis lokal mendahului meningitis purulen, (3) pada operasi dapat
19
ditemukan lapisan tulang yang rusak di antara fokus supurasi dengan struktur
sekitarnya. Struktur jaringan lunak yang terbuka biasanya dilapisi oleh jaringan
granulasi.
3. Penyebaran melalui jalan yang sudah ada.
Penyebaran cara ini sudah diketahui bila (1) komplikasi terjadi pada awal
penyakit, (2) ada serangan labirinitis atau meningitis berulang, mungkin dapat
ditemukan fraktur tengkorak, riwayat operasi tulang atau riwayat otitis media
yang sudah sembuh. Komplikasi intrakranial mengikuti komplikasi labirinitis
supuratif, (3) pada operasi dapat ditemukan jalan penjalaran melalui sawar tulang
yang bukan oleh karena erosi.
DIAGNOSIS 2
Pengenalan yang baik terhadap perkembangan suatu penyakit telinga merupakan
prasyarat untuk mengetahui timbulnya komplikasi. Bila dengan pengobatan
medikamentosa tidak berhasil mengurangi gejala klinik dengan tidak berhentinya otorea
dan pada pemeriksaan otoskopik tidak menunjukkan berkurangnya reaksi inflamasi dan
pengumpulan cairan maka harus diwaspadai kemungkinan terjadinya komplikasi. Pada
stadium akut, naiknya suhu tubuh, nyeri kepala atau adanya tanda toksisitas seperti
malaise, perasaan mengantuk (drowsiness), somnolen atau gelisah yang menetap dapat
merupakan tanda bahaya. Timbulnya nyeri kepala di daerah parietal atau oksipital dan
adanya keluhan mual, muntah yang proyektil serta kenaikan suhu badan yang menetap
selama terapi diberikan merupakan tanda komplikasi intrakranial.
Pada OMSK, tanda-tanda penyebaran penyakit dapat terjadi setelah sekret berhenti
keluar hal ini menandakan adanya sekret purulen yang terbendung.
Pemeriksaan radiologik dapat membantu memperlihatkan kemungkinan rusaknya
dinding mastoid, tetapi untuk yang lebih akurat diperlukan pemeriksaan CT Scan.
Terdapatnya erosi tulang merupakan tanda nyata komplikasi dan memerlukan tindakan
operasi segera. CT scan berfaedah untuk menentukan letak anatomi lesi. Walaupun
mahal, pemeriksaan ini bermanfaat untuk menegakkan diagnosis sehingga terapi dapat
diberikan lebih cepat dan efektif.
1. Mastoiditis 9
20
Mastoiditis akut (MA) merupakan perluasan infeksi telinga tengah ke dalam
pneumatic system selulae mastoid melalui antrum mastoid. Walau dalam praktek
kejadian komplikasi ini rendah, pengobatan harus secepat dan seefektif mungkin
untuk menghindari komplikasi.
Gejala klinis OMSK yang dicurigai MA antara lain otore purulen kental
dalam jumlah banyak dan bau, tak menunjukkan perbaikan setelah pengobatan
antibiotika selama dua minggu, nyeri belakang telinga. Pada pemeriksaan fisik
mungkin akan ditemukan granulasi di dinding superoposterior kanalis auditorius
eksterna, perforasi membran timpani, abses / fistel retroaurikula. Pada beberapa kasus
dapat dijumpai perluasan abses ke ruang / rongga dalam leher sekitar mastoid seperti
m.digastrikus, m.sternokleidomastoideus (Bezold’s mastoiditis) dan paralisis nervus
fasialis.
Diagnosis mastoiditis ditegakkan melalui gejala klinis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang radiologi yang menunjukkan mastoiditis baik foto polos
mastoid Schuller maupun CT scan mastoid.
Gambar 7. Radiologi konvensional os temporalis dengan M = mastoid air cell (sel udara
mastoid) ; LS = Lateral venous sinus (sinus venosus lateralis) ; DP = dural plate
(duramater) ; SA = Sinodural angle (sudut sinus dan duramater) ; eac = ear acusticus
canal (meatus akustikus eksternus) ; iac = internal acusticus canal (meatus akustikus
internus) ; tmj = temporomandibular joint ( sendi temporomandibularis) 11
21
Gambar 8. CT-Scan potongan axial dari mastoiditis akut. Tampak sel udara mastoid
berisi cairan dan mukosa hiperemis 11
2. Petrositis 2,4,5
Kira-kira sepertiga dari populasi manusia, tulang temporalnya mempunyai sel-
sel udara sampai ke apeks os petrosum. Terdapat beberapa cara penyebaran infeksi
dari telinga tengah ke os petrosum. Yang sering ialah penyebaran langsung ke sel-sel
udara tersebut.
Adanya petrositis sudah harus dicurigai, apabila ada pasien otitis media
terdapat keluhan diplopia, karena kelemahan n.VI seringkali disertai dengan rasa
nyeri di daerah parietal, temporal atau oksipital, oleh karena terkenanya n.V.,
ditambah dengan terdapatnya otore yang persisten, terbentuklah suatu sindrom yang
disebut Gradenigo.
Kecurigaan terhadap petrositis terutama bila terdapat nanah yang keluar terus
menerus dan rasa nyeri yang menetap pasca mastoidektomi.
3. Labirinitis 2,4,5
Labirinitis yang mengenai seluruh bagian labirin, disebut labirinitis umum
(general), dengan gejala vertigo berat dan tuli saraf berat, sedangkan labirinitis yang
22
terbatas (labirinitis sirkumskripta) menyebabkan terjadinya vertigo saja atau tuli saraf
saja.
Labirinitis terjadi oleh karena penyebaran infeksi di ruang perilimfa. Terdapat
dua bentuk labirinitis, yaitu labirinitis serosa dan labirinitis supuratif. Labirinitis
serosa dapat berbentuk labirinitis serosa difus dan labirinitis serosa sirkumskripta.
Labirinitis supuratif dibagi dalam bentuk labirinitis supuratif akut difus dan labirinitis
supuratif kronik difus.
Pada labirinitis serosa toksin menyebabkan disfungsi labirin tanpa invasi sel
radang, sedangkan pada labirinitis supuratif, sel radang menginvasi labirin, sehingga
terjadi kerusakan yang ireversibel, seperti fibrosis dan osifikasi.
Labirinitis Serosa Difus 2,4,5
Labirinitis serosa difus seringkali terjadi sekunder dari labirinitis
sirkumskripta atau dapat terjadi primer pada otitis media akut. Masuknya toksin atau
bakteri melalui tingkap bulat, tingkap lonjong, atau melalui erosi tulang labirin.
Infeksi tersebut mencapai end osteum melalui saluran darah. Diperkirakan penyebab
labirinitis serosa yang paling sering adalah absorpsi produk bakteri di telinga dan
mastoid ke dalam labirin.
Bentuk ringan labirinitis serosa selalu terjadi pada operasi telinga dalam,
misalnya pada operasi fenestrasi, terjadi singkat, dan biasanya tidak menyebabkan
gangguan pendengaran.
Kelainan patologiknya seperti inflamasi non purulen labirin. Pemeriksaan
histologik pada potongan labirin menunjukkan infiltrasi seluler awal dengan eksudat
serosa atau serofibrin.
Gejala dan tanda serangan akut labirinitis serosa difus adalah vertigo spontan
dan nistagmus rotatoar, biasanya ke arah telinga yang sakit. Kadang-kadang disertai
mual dan muntah, ataksia, dan tuli saraf.
Labirinitis serosa difusa yang terjadi sekunder dari labirinitis sirkumskripta
mempunyai gejala yang serupa tetapi lebih ringan, akibat telah terjadi kompensasi.
Tes fistula akan positif kecuali bila fistulanya tertutup jaringan. Ada riwayat gejala
labirinitis sebelumnya, suhu badan normal atau mendekati normal.
23
Pada labirinitis serosa ketulian bersifat temporer, biasanya tidak berat,
sedangkan pada labirinitis supuratif terjadi tuli saraf total yang permanen. Bila pada
labirinitis serosa ketulian menjadi berat atau total, maka mungkin telah terjadi
perubahan menjadi labirinitis supuratif. Bila pendengaran masih tersisa sedikit di sisi
yang sakit, berarti tidak terjadi labirinitis serosa difus. Ketulian pada labirinitis serosa
difus harus dibedakan dengan ketulian pada penyakit noninflamasi labirin dan saraf
ke VIII.
Labirinitis Supuratif Akut Difus 2,4,5
Labirinitis supuratif akut difus, ditandai dengan tuli total pada telinga yang
sakit diikuti dengan vertigo berat, mual, muntah, ataksia dan nistagmus spontan ke
arah telinga yang sehat.
Labirinitis supuratif akut difus dapat merupakan kelanjutan dari labirinitis
serosa yang infeksinya masuk melalui tingkap lonjong atau tingkap bulat. Pada
banyak kejadian, labirinitis ini terjadi sekunder dari otitis media akut maupun kronik
dan mastoiditis. Pada beberapa kasus abses subdural atau meningitis, infeksi dapat
menyebar ke dalam labirin dengan atau tanpa terkenanya telinga tengah, sehingga
terjadi labirinitis supuratif.
Kelainan patologik terdiri dari infiltrasi labirin oleh sel-sel leukosit
polimorfonuklear dan destruksi struktur jaringan lunak. Sebagian dari tulang labirin
nekrosis, dan terbentuk jaringan granulasi yang dapat menutup bagian tulang yang
nekrotik tersebut. Keadaan ini akan menyebabkan terbentuknya sekuestrum, paresis
fasialis, dan penyebaran infeksi ke intrakranial.
Mual, muntah, ataksia dan vertigo dapat berat sekali bila awal perjalanan
labirinitis supuratif tersebut cepat. Pada bentuk yang perkembangannya lebih lambat,
gejala akan lebih ringan oleh karena kompensasi labirin yang sehat. Terdapat
nistagmus horizontal rotatoar yang komponen cepatnya mengarah ke telinga yang
sehat. Dalam beberapa jam pertama penyakit, sebelum seluruh fungsi labirin rusak,
nistagmus dapat mengarah ke telinga yang sakit. Jika fungsi koklea hancur, akan
mengakibatkan tuli saraf total permanen. Suhu badan normal atau mendekati normal,
bila terdapat kenaikan, mungkin disebabkan oleh otitis media atau mastoiditis. Tidak
24
terdapat rasa nyeri. Bila terdapat, mungkin disebabkan oleh lesi lain, bukan oleh
labirinitis.
Selama fase akut, posisi pasien sangat khas. Pasien akan berbaring pada sisi
yang sehat dan matanya mengarah ke sisi yang sakit, jadi ke arah komponen lambat
nistagmus. Posisi ini akan mengurangi perasaan vertigo.
Tes kalori maupun tes rotasi tidak boleh dilakukan selama fase akut, sebab
vertigo akan diperhebat.
Diagnosis ditegakkan dari riwayat penyakit, tanda dan gejala labirinitis
dengan hilangnya secara total dan permanen fungsi labirin. Pemeriksaan Rontgen
telinga tengah, os mastoid dan os petrosus mungkin menggambarkan sejumlah
kelainan yang tidak berhubungan dengan labirin. Bila dicurigai terdapat iritasi
meningeal, maka harus dilakukan pemeriksaan cairan spinal.
Labirinitis Supuratif Kronik Difus 2,4,5
Labirinitis supuratif stadium kronik atau laten dimulai, segera sesudah gejala
vestibuler akut berkurang. Hal ini mulai dari 2-6 minggu sesudah awal periode akut.
Patologi. Kira-kira akhir minggu ke-10 setelah serangan akut telinga dalam
hampir seluruhnya terisi oleh jaringan granulasi. Beberapa area infeksi tetap ada.
Jaringan granulasi secara bertahap berubah menjadi jaringan ikat dengan permulaan
kalsifikasi. Pembentukan tulang baru dapat mengisi penuh ruangan-ruangan labirin
dalam 6 bulan sampai beberapa tahun pada 50% kasus.
Gejala. Terjadi tuli total di sisi yang sakit. Vertigo ringan dan nistagmus
spontan biasanya kearah telinga yang sehat dapat menetap sampai beberapa bulan
atau sampai sisa labirin yang berfungsi dapat mengkompensasinya. Tes kalori tidak
menimbulkan respons di sisi yang sakit dan tes fistula pun negatif, walaupun terdapat
fistula.
Skuestrum Labirin 2,4,5
Etiologi. Setiap tahap skuestrasi tulang labirin dapat berhubungan dengan atau
mengikuti : (1) labirinitis supuratif akut atau kronik, (2) trauma pada labirin tulang,
terutama pada operasi tulang temporal, (3) setiap penyakit granulomatosa yang
25
mengenai telinga, seperti tuberkolosis, sifilis, (4) petrositis dengan penyebaran
nekrosis ke labirin tulang dengan skuestrasi labirin, (5) infeksi yang “tidur” di sel
petrosis yang tiba-tiba aktif dan menyebabkan nekrosis tulang labirin.
Skuestrasi lebih sering terjadi pada anak-anak, tetapi dapat terjadi pada setiap
umur. Tuberculosis tulang temporal pada bayi dan anak lebih cenderung untuk
menyebabkan nekrosis dengan skuestra pada labirin. Labirinitis sirkumskrip dengan
fistula akibat kolestestom atau granuloma dapat menimbulkan skuester di labirin
dengan ukuran yang berbeda-beda.
Patologi. Sedikitnya vaskularisasi pada lapisan tengah atau endokondral pada
kapsul tulang labirin menyebabkan sangat berkurangnya tendensi menyembuh setelah
mengalami trauma atau infeksi. Hal ini tidak terjadi pada lapisan endosteum yang
tipis dan kompak pada lapisan luar atau periosteum yang mempunyai lamella
Haversian dengan banyak pembuluh darah. Bila infeksi mencapai lapisan
endokondral melalui erosi atau trauma, baik melalui lapisan periosteum atau pun
andosteum, memungkinkan timbulnya fistula labirin atau terbentuknya skuestrum
endokondral. Sembuhnya kerusakan endosteal atau endokondral berlangsung dari
lapisan periosteal dengan pembentukan tulang lamelar.
Penyebaran kearah pneumatisasi prosesus piramidalis petrosa (petrous
pyramid) yang relatif lebih besar di sebelah atas belakang labirin dan di medial
eminensia arkuata, dibarengi dengan sempitnya lubang keluar dari sel-sel udara di
situ, merupakan predisposisi terjadinya nekrosis, dengan skuestrasi sebagian atau
seluruh bagian labirin. Dengan demikian kemungkinan untuk penyebaran ke
intrakranial meningkat.
Diagnosis. Suatu skuestrum di labirin, walaupun yang sulit didiagnosis pre-
operasi, dapat diduga bila otalgia yang persisten, otore yang deras, granulasi yang
subur, dan hilangnya sebagian besar atau seluruh fungsi labirin, di sisi yang sakit
timbul mengikuti labirinitis atau peri-labirinitis.
Meraba telinga yang nekrotik secara hati-hati sekali dengan sonde, walaupun
tidak selalu dianjurkan, dapat mendeteksi skuestrum.
Pemeriksaan roentgen dapat menduga adanya erosi, bahkan dapat
menunjukkan skuester labirin tulang.
26
4. Paresis N. Facialis 2,4,5,10
Nervus fasialis dapat terkena oleh penyebaran infeksi langsung ke kanalis
fasialis pada otitis media akut. Pada otitis media kronis, kerusakan terjadi oleh erosi
tulang oleh kolesteatom atau oleh jaringan granulasi, disusul oleh infeksi ke dalam
kanalis fasialis itu.
.
PENATALAKSANAAN 2,3,4,5,9
Penatalaksanaan komplikasi intratemporal OMSK meliputi :
1. Pengobatan medikamentosa
Pengobatan ini menggunakan antibiotika dosis optimal maupun maksimal
baik peroral, sistemik ataupun topikal berdasarkan pengalaman empirik dari hasil
kultur mikrobiologi. Pemilihan antibiotika umumnya berdasarkan efektifitas
kemampuan mengeliminasi kuman (mujarab), resistensi, keamanan, risiko toksisitas
dan harga. Pengetahuan dasar tentang pola mikroorganisme pada infeksi telinga dan
uji kepekaan antibiotikanya sangat penting.
Sebagaimana kita ketahui bakteri aerob penyebab terbanyak OMSK adalah
stafilokokus, diikuti Eserikia koli, Proteus , dan Pseudomonas aeruginosa.
Berdasarkan uji kepekaan yang dilakukan oleh Siti Nursiah di bagian THT FK USU
didapatkan bahwa seluruh kuman penyebab OMSK sensitif terhadap antibiotika
golongan Siprofloksasin, Dibekasin dan Amoksisilin-Klavulanat, serta resisten
terhadap antibiotika Seftriakson dan Kloramfenikol .
Bakteri anaerob yang sering dijumpai pada OMSK antara lain : Bakteroides
fragilis, Peptokokus, Peptostreptokokus, Klosstridium sporogenes, Klostridium
perfringens dan Klostridium novyi. Metronidazol mempunyai efek bakterisid untuk
kuman anaerob. Menurut Browsing dkk metronidazol dapat diberikan dengan dan
tanpa antibiotik ( sefaleksin dan kotrimoksasol) pada OMSK aktif, dosis 400 mg per 8
jam selama 2 minggu atau 200 mg per 8 jam selama 2-4 minggu pertama
2. Pengobatan operatif
Pengobatan operatif pada komplikasi intratemporal OMSK selain berfungsi
untuk drainase telinga (menyedot dan mengeluarkan debris telinga dan sekret) tetapi
27
juga mengekspolarasi sel-sel udara tulang serta mengeluarkan jaringan patogen serta
jaringan nekrotik pada petrositis maupun mastoiditis. Pengobatan operatif ini
bertujuan pula untuk dekompresi yaitu membebaskan jepitan nervus fasialis pada
paralisis nervus fasialis namun bila nervus fasialis tersebut rusak total maka
transplantasi nervus dapat dipertimbangkan. Contoh tindakan operatif ini antara lain
mastoidektomi, petrosektomi, dekompresi dan transplantasi nervus facialis
PROGNOSIS 2,4,5,9
Pada umumnya komplikasi intratemporal OMSK mempunyai prognosis yang baik
bila ditangani dengan dini dan tepat walaupun beberapa diantara komplikasi tersebut
mempunyai gejala sisa
DAFTAR PUSTAKA
1. Helmi , ed. Otitis Media Supuratif Kronis : FKUI ; 2005. p. 64-5
2. Efiaty A. Soepardi, dkk eds . Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok
Kepala dan Leher . FKUI ; 2007 . p . 11-3 ; 78-85
28
3. Sitti Nursiah , Pola Kuman Anaerob penyebab OMSK dan kepekaan terhadap
beberapa antibiotik di bagian THT FK USU. [online] . 2006 . [cited 2008 June 02] ;
[38 screens]. Avaible from : URL : http:/www.usu.ac.id
4. J. Gail N. Intratemporal and Intrakranial Complication of Otitis Media. In: Byron J.
Bailey, Karen H. Calhoun, et al eds. Head and Neck Surgery-Otolaryngology.
Philadelphia : Lippincott - Raven ; 1998 . p. 2011-25
5. J. Gail N. Complication of Temporal Bone infection. In: Charles W. Cummings, John
M, Frederickson , et al eds. Otolaryngology-Head and Neck Surgery. Philadelphia :
Lippincott - Raven ; 1998 . p. 2840-62
6. Askaroellah Aboet. Radang telinga tengah menahun. [online] . 2007 . [cited 2008
June 02] ; [27 screens]. Avaible from : URL : http:/www.usu.ac.id
7. Jose Acuin, Chronic Suppurative otitis media. [online] . 2004 . [cited 2008 June 02] ;
[84 screens]. Avaible from : URL : http:/www.who.org
8. T. Balasubramanian, Intrakranial Complication otitis media. [online] . 2006 . [cited
2008 June 02] ; 12 screens]. Avaible from : URL : http:/www.drtbalu.com
9. Kristiawan AR, Jogjahartono, P. Widodo. Pola Sebaran Kuman dan Uji kepekaan
antibiotik sekret telinga tengah penderita mastoiditis akut di RS dr. Karyadi 2004-
2005. [online]. 2006. [cited 2008 June 02] ; [4 screens]. Avaible from : URL :
http:/www.kalbe.co.id
10. Petrus Adrianto , ed. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. Jakarta : EGC ;
1986 . p. 115-6
11. John H. Juhl, Andrew B. Crummy, Janet E. Kuhlman, eds . 2006 . Essentials of
Radiologic Imaging . New Yorik : Wisconsin Publishing
29
Recommended