Download docx - Konflik Lcs (Tgs Pgl)

Transcript
Page 1: Konflik Lcs (Tgs Pgl)

Kurnia Alamsyah

( 0935070010 )

Untuk Mata Kuliah

Politik Global China

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945

JAKARTA

Page 2: Konflik Lcs (Tgs Pgl)

SENGKETA LAUT CHINA SELATAN

Titik sengketa Laut China Selatan adalah Kepulauan Spratly yang dibatasi oleh

wilayah perairan dari beberapa Negara, seperti Filipina, Vietnam, Indonesia dan

Malaysia. Kepulauan ini terletak kurang lebih 1.100 Km dari pelabuhan Yu Lin

(Pulau Hainan, China) dan 500 Km dari pantai Kalimantan bagian Utara.

China terlibat klaim wilayah Kepulauan Spratly, karena berbatasan dengan

Kepulauan Paracel yang terletak di sebelah Utara Kepulauan Spratly, terletak 277,8

Km (Pulau Hainan, China). Dasar Klaim adalah sejarah penguasaan Paracel oleh

Pemerintahan Dinasti Han antara 206 sebelum Masehi hingga 220 sesudah Masehi.

Adapun, Vietnam mendasarkan tuntutannya pada aspek hukum internasional dan

mengkombinasikan hal itu dengan aspek sejarah bahwa penguasaan atas kepulauan

itu dilakukan sejak abad 17 di bawah distrik Binh Son. Namun, pangkal persoalan

Laut China Selatan disebabkan adanya perkiraan cadangan minyak di Kep. Spratly

sebesar 10 miliar ton.

Sengketa di  Laut China Selatan merupakan salah satu bentuk baru ancaman

keamanan pasca perang dingin di wilayah Asia Tenggara. Konflik ini melibatkan

enam negara sebagai pengklaim secara Iangsung dan menyangkut kepentingannya

besar negara lainnya. Hal ini disebabkan lokasi strategis Laut China Selatan dan

potensi yang terkandung didalamnya. Filipina, misalnya,  menuduh China merusak

perdamaian dan stabilitas di Asia dengan mengirim kapal-kapal angkatan laut untuk

menakut-nakuti sejumlah negara yang mengklaim pulau-pulau  yang disengketakan di

Laut China Selatan.  Manila memprotes insiden-insiden Fabruari  -Mei 2011, ketika

angkatan laut China dituduh menembaki para nelayan Filipina, mengintimidasi kapal

yang mengeksplorasi minyak Filipina dan membangun pos-pos dan menempatkan

sebuah pelampung di daerah yang diklaim Filipina.1 Sementara itu, Vietnam

1 http://www.mediaindonesia.com/read/2011/06/06/231361/39/6/Filipina-Tuding-China-Perusak-Perdamaian-Asia

Page 3: Konflik Lcs (Tgs Pgl)

mengeluhkan latihan militer China di dekat di kepulauan Truong Sa yang

diperebutkan kedua Negara. Viet nam menuduh, te tangganya itu telah melanggar

kedaulatannya.[4]2

Sengketa laut Cina Selatan antara Cina dengan beberapa negara di Asia Tenggara

sebenarnya tidak diharapkan oleh para kepala negara ASEAN. Negara-negara

ASEAN berharap sengketa di laut Cina Selatan bisa segera diselesaikan. Memang ada

sejumlah masalah antara beberapa negara ASEAN dengan Cina, terkait isu di Laut

Cina Selatan. Namun permasalahan tersebut sudah teratasi dengan adanya komitmen

di ASEAN untuk menghasilkan sesuatu yang mengikat negara yang saling

mengklaim wilayah di laut Cina Selatan, agar semuanya bisa dikelola dengan baik,

tidak memunculkan konflik yang tidak dikehendaki.[5]3

Pangkal sengketa Laut China Selatan adalah Kepulauan Spratly yang dibatasi oleh

wilayah perairan dari beberapa negara yaitu Filipina, Vietnam, Indonesia dan

Malaysia. China terlibat klaim wilayah Kepulauan Spratly karena berbatasan dengan

Kepulauan Paracel yang terletak di sebelah Utara Kepulauan Spratly, terletak 277,8

Km (Pulau Hainan, China). Dasar Klaim adalah sejarah penguasaan Paracel oleh

Pemerintahan Dinasti Han antara 206 sebelum Masehi hingga 220 sesudah Masehi.

Sementara Vietnam, selain mendasarkan tuntutannya pada aspek hukum Internasional

juga mengkombinasikan dengan aspek sejarah bahwa penguasaan atas kepulauan itu

dilakukan sejak abad 17 di bawah distrik Binh Son.

Dalam wilayah perairan Laut China Selatan terdapat gugusan kepulauan seperti

Paracel, Spratly serta Hainan yang menjadi objek saling klaim teritorial dan

jurisdiksional dari negara-negara yang terletak di sekitar Perairan Laut China Selatan.

2  http://internasional.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=20084

3 http://www.detiknews.com/read/2011/05/08/230249/1635043/10/asean-ingin-laut-cina-selatan-menjadi-kawasan-damai

Page 4: Konflik Lcs (Tgs Pgl)

Perairan Laut China Selatan juga merupakan salah satu rute pelayaran yang paling

strategis di dunia serta wilayahnya mengandung bahan-bahan energi dan kaya akan

sumber daya alam. Karena itu tidak heran jika dinamika hubungan internasional

diwilayah Laut China Selatan banyak diwarnai potensi konflik. Sekitar 85 % sumber-

sumber energi dari negara-negara di Asia Timur harus melewati laut Cina Selatan.

Adanya gangguan maritim di Laut Cina Selatan akan mempengaruhi tidak saja pada

persoalan investasi, perdagangan, dan pariwisata, tetapi juga kepada masalah

kepercayaan atau ketahanan regional kawasan.

Menteri Pertahanan Amerika Serikat Robert Gates pernah  memperingatkan,bahwa

bentrokan mungkin akan terjadi di Laut China Selatan kecuali negara-negara yang

terlibat pertikaian wilayah itu menerapkan satu mekanisme untuk menyelesaikan

sengketa tersebut secara damai.4 Amerika Serikat menyarankan agar  negara-negara

yang terlibat sengketa menerapkan satu perjanjian tahun 2002 antara ASEAN dan

China yang menetapkan satu “peraturan” yang bertujuan menyelesaikan sengketa-

sengketa itu secara damai.

Ketegangan diplomatik meningkat di tahun 2011  ini menyusul tuduhan-tuduhan

bahwa China meningkatkan kegiatan di daerah itu.  Pada bulan Mei  2011, misalnya,

kapal-kapal maritim China bentrok dengan satu kapal eksplorasi minyak Vietnam

antara Paracel dan Spratly.5

Paling tidak ada 4 forum pertemuan penting yang membahas masalah  sengketa di

Laut Cina Selatan, dimana Indonesia peran yang signifikan mengingat posisi

Indonesia adalah sebagai ketua ASEAN 2011. Keempat  Forum tersebut adalah : 1)

Lokakarya Laut Cina Selatan;  2) Pertemuan Menlu Cina dan Menlu ASEAN di

Kunming; 3) Pertemuan di  Medan; dan 4) KTT Asean ke 18 di Jakarta.

4 http://www.mediaindonesia.com/read/2011/06/04/231307/39/6/AS-Khawatir-Terjadi-Bentrok-di-Laut-China-Selatan5 Ibid

Page 5: Konflik Lcs (Tgs Pgl)

Dalam perkembangan terakhir, sengketa Laut Cina Selatan telah mempengaruhi

perubahan kebijakan pertahanan Amerika Serikat secara global. Mengacu

pada Sustaining US Global Leadership: Priorities for 21stCentury Defense yang

diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat Barack Obama pada 5 Januari 2012,

prioritas utama pertahanan Amerika Serikat saat ini dan ke depan adalah di kawasan

Pasifik. Sebagai implementasi kebijakan tersebut, Amerika Serikat mulai

memusatkan kembali sumberdaya nasionalnya ke kawasan ini, misalnya dalam

bentuk tidak adanya pemotongan anggaran pertahanan yang berkaitan dengan

kawasan Pasifik dan peningkatan kehadiran militer Amerika Serikat di Australia.

PENGARUH KEAMANAN REGIONAL BAGI KEAMANAN NASIONAL

INDONESIA

Laut Cina Selatan kini telah menjadi salah satu flash point di kawasan Asia Pasifik.

Sengketa wilayah di perairan itu bukan saja melibatkan enam negara yaitu Cina,

Taiwan, Vietnam, Filipina, Brunei dan Malaysia, tetapi juga menyangkut kepentingan

kekuatan besar di kawasan seperti Amerika Serikat. Akibatnya, sengketa wilayah di

Laut Cina Selatan kini tidak lagi sebatas saling klaim wilayah dan perebutan

sumberdaya alam, tetapi sudahmerambah pula pada isu kebebasan bernavigasi.

Dalam perkembangan terakhir, sengketa Laut Cina Selatan telah mempengaruhi

perubahan kebijakan pertahanan Amerika Serikat secara global. Mengacu

pada Sustaining US Global Leadership: Priorities for 21stCentury Defense yang

diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat Barack Obama pada 5 Januari 2012,

prioritas utama pertahanan Amerika Serikat saat ini dan ke depan adalah di kawasan

Pasifik. Sebagai implementasi kebijakan tersebut, Amerika Serikat mulai

memusatkan kembali sumberdaya nasionalnya ke kawasan ini, misalnya dalam

Page 6: Konflik Lcs (Tgs Pgl)

bentuk tidak adanya pemotongan anggaran pertahanan yang berkaitan dengan

kawasan Pasifik dan peningkatan kehadiran militer Amerika Serikat di Australia.

Perubahan kebijakan pertahanan Amerika Serikat pada dasarnya merupakan respon

terhadap pembangunan kekuatan pertahanan Cina yang dipandang tidak transparan.

Sebagai salah satu negara pengklaim utama kawasan Laut Cina Selatan, dalam

beberapa tahun terakhir negara itu semakin menunjukkan asertivitasnya yang ditandai

oleh sejumlah insiden yang berpotensi merusak stabilitas kawasan. Asertivitas Cina

pada dasarnya didasarkan pada kepentingan nasional negara tersebut, di mana selain

mengandung sumberdaya alam yang cukup melimpah, kawasan Laut Cina Selatan

juga merupakan bagian dari zona penyangga pertahanan Cina bersama dengan Laut

Cina Timur dan Laut Kuning.

Berdasarkan uraian singkat sebelumnya, nampak jelas bahwa dinamika politik dan

keamanan yang berkembang di Laut Cina Selatan menghadap kekuatan-kekuatan

besar kawasan dengan kepentingan yang berbeda. Pertemuan kepentingan yang

berbeda tersebut lebih dominan pada bentuk kompetisi daripada kerjasama, di mana

kompetisi tersebut khususnya menyangkut aspek pertahanan berpotensi mengancam

stabilitas keamanan kawasan apabila tidak dikelola dengan baik. Munculnya

instabilitas kawasan Asia Pasifik sebagai dampak dari persaingan Amerika Serikat

dan Cina di Laut Cina Selatan akan merugikan pula negara-negara lain di kawasan

yang secara langsung maupun tidak langsung berkepentingan pula terhadap stabilitas

keamanan di sana.

Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara memiliki kewajiban

internasional untuk menjaga stabilitas kawasan. Kewajiban tersebut bukan saja

merupakan konsekuensi sebagai warga dunia, tetapi pula karena Pembukaan Undang-

undang Dasar 1945 di antaranya mengamanatkan kepada bangsa Indonesia untuk

turut menjaga perdamaian dunia. Dalam konteks kekinian, pengejawantahan dari

Page 7: Konflik Lcs (Tgs Pgl)

amanat konstitusi tersebut tidak sebatas berpartisipasi dalam pengiriman pasukan

perdamaian untuk mendukung misi PBB, tetapi mencakup pula upaya secara

unilateral, bilateral dan multilateral guna menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan

di mana Indonesia berada.

Terkait dengan sengketa Laut Cina Selatan, Indonesia sejak awal 1990-an telah

memprediksi bahwa perairan itu akan muncul menjadi flash point di kawasan. Hal itu

mendorong Indonesia untuk aktif mencari solusi dalam sengketa di Laut Cina

Selatan. Salah satu bentuknya adalah prakarsa menggelar Workshop for Managing

Potential Conflict in the South China Sea yang pertama kali berlangsung di Bali pada

1990. Di antara tujuan dari lokakarya adalah membangun confidence building

measure (CBM) antar semua negara yang berkepentingan dengan perairan tersebut.

Workshop for Managing Potential Conflict in the South China Sea yang digelar

selama 1990-2002, kecuali tahun 2000, diikuti oleh semua negara pengklaim.

Kegiatan itu menghasilkan sejumlah kesepakatan yang di antaranya adalah

pembentukan Technical Working Groups on marine scientific research, marine

environmental protection, resource assessment, safety of navigation, shipping and

communication dan legal matters.

Inisiatif lainnya yang digagas oleh Indonesia untuk mengendalikan eskalasi sengketa

Laut Cina Selatan adalahThe Declaration on the South China Sea oleh para Menteri

Luar Negeri ASEAN pada Juli 1992. Deklarasi itu menekankan pada solidaritas

ASEAN pada pendekatan damai dan konstruktif untuk masalah-masalah Laut Cina

Selatan. Deklarasi juga menghimbau resolusi damai pada isu kedaulatan dan

yurisdiksi tanpa penggunaan kekuatan, menahan diri, kerjasama yang mungkin pada

keselamatan maritim, perlindungan lingkungan, pencarian dan penyelamatan (SAR)

dan aksi terhadap pembajakan, perompakan di laut dan penyelundupan obat-obatan

Page 8: Konflik Lcs (Tgs Pgl)

dan penerapan prinsip-prinsip Treaty of Amity and Cooperation (TAC) sebagai basis

untuk code of conduct di Laut Cina Selatan.

Kepentingan Indonesia

Walaupun Indonesia tidak termasuk dalam negara pengklaim, Indonesia memiliki

kepentingan terhadap dinamika di Laut Cina Selatan. Kepentingan Indonesia terhadap

perairan strategis itu meliputi tiga aspek sebagai berikut:

Pertama, Politik. Sengketa Laut Cina Selatan apabila bereskalasi akan berdampak

pada terancamnya perdamaian dan stabilitas kawasan. Kondisi tersebut sangat jelas

bertentangan dengan kepentingan politik Indonesia tentang menjaga perdamaian dan

stabilitas kawasan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Eskalasi sengketa Laut Cina Selatan akan

memberikan implikasi politik yang signifikan terhadap Indonesia. Implikasi tersebut

pada satu sisi adalah Indonesia akan terjepit dalam pertarungan kepentingan kekuatan

besar di kawasan, yaitu Amerika Serikat versus Cina.

Pada sisi lain, kepentingan nasional Indonesia di Laut Cina Selatan juga terancam

sebab wilayah ZEE Indonesia di perairan itu dipastikan akan terkena spill over akibat

yang ditimbulkan. Fakta bahwa Cina pada tahun 1993 telah menerbitkan peta

berbentuk huruf U atau nine dash line yang mengklaim pula zona ekonomi eksklusif

(ZEE) Indonesia, merupakan faktor lainnya yang mendorong Indonesia untuk

berperan aktif dalam mencari solusi sengketa di Laut Cina Selatan.            Selain itu,

Indonesia wajib pula mengamankan kepentingan nasionalnya di Laut Cina Selatan

dari spill over sengketa yang berkembang, sebab hal itu merupakan amanat konstitusi.

Kepentingan nasional yang dimaksud terkait dengan aspek ekonomi. Untuk bisa

menangani spill over tersebut, Indonesia membutuhkan modalitas politik yang besar,

selain tentunya kekuatan pertahanan yang memadai. 

Page 9: Konflik Lcs (Tgs Pgl)

Kedua, Ekonomi. Implikasi ekonomi secara langsung terhadap Indonesia dalam

sengketa Laut Cina Selatan adalah terancamnya pendapatan negara dari ladang gas

bumi di ZEE Indonesia di perairan tersebut. Indonesia sangat berkepentingan dengan

Laut China Selatan disebabkan China memasukkan Kepulauan Natuna dalam peta

1947 hingga 1995 dalam territorial ZEE. Laut Natuna sangat vital baik bagi China

maupun bagi Indonesia karena merupakan jalur utama menuju kota-kota utama di

Asia Timur. Gangguan terhadap komunikasi,pelayaran dan navigasi di kawasan ini

dan berbagai ketegangan yang diakibatkannya akan memberi dampak yang

merugikan bagi kepentingan Indonesia dan kestabilan regional. Selama ini ladang gas

bumi di wilayah ZEE Indonesia memberikan kontribusi yang sangat signifikan

terhadap pendapatan negara dan menjadikan Kabupaten Natuna sebagai salah satu

daerah otonom dengan APBD terbesar di Indonesia. Adapun implikasi ekonomi

secara tidak langsung adalah meningkatnya biaya pengapalan komoditas ekspor

Indonesia ke kawasan Asia Timur. Apabila eskalasi sengketa di Laut Cina Selatan

meningkat, dipastikan biaya asuransi kapal niaga yang melintasi perairan itu juga

akan meroket. Terbuka pula kemungkinan kapal niaga yang berlayar ke Asia Timur

harus mengubah rutenya melalui Selat Makasar dan terus ke pantai timur Filipina

untuk kemudian mengarah ke Asia Timur. Padahal nilai perdagangan Indonesia

dengan negara-negara di kawasan Asia Timur cukup signifikan pula dalam

menunjang roda ekonomi nasional seiring disepakatinya ASEAN-China Free Trade

Zone (ACFTA) dan Japan-Indonesia Economic Partnership Agreement (JIEPA).

Ketiga, Militer. Secara teoritis, kekuatan pertahanan Indonesia yaitu TNI harus

mampu mengamankan kepentingan nasional Indonesia apabila pecah konflik di Laut

Cina Selatan, baik meminimalisasi spill over yang muncul maupun mengamankan

berbagai ladang gas yang terletak di ZEE Indonesia. Untuk bisa mewujudkan hal

tersebut, dibutuhkan suatu postur kekuatan yang mampu beroperasi (secara

gabungan) di Laut Natuna dan sekitarnya. Perkembangan lingkungan strategis

menunjukkan bahwa sejumlah negara yang berstatus sebagai negara pengklaim terus

Page 10: Konflik Lcs (Tgs Pgl)

berupaya memodernisasi kekuatan pertahannya di sekitar Laut Cina Selatan. Sebagai

contoh adalah modernisasi Angkatan Laut Vietnam dengan pengadaan enam kapal

selam kelas Kilo dari Rusia, sedangkan Angkatan Laut Filipina telah menerima dua

fregat eks cutter US Coast Guard kelas Hamilton dari Amerika Serikat. Modernisasi

kekuatan pertahanan khususnya kekuatan maritim di sekitar Laut Cina Selatan

merupakan upaya negara-negara yang berkepentingan untuk mengamankan

kepentingannya masing-masing di perairan tersebut.

Keamanan Regional

Keamanan regional di Laut Cina Selatan merupakan salah satu barometer stabilitas

keamanan kawasan Asia Pasifik. Untuk itu, dibutuhkan keteguhan sikap semua

negara yang berkepentingan dengan Laut Cina Selatan untuk senantiasa menjaga

stabilitas keamanan di perairan sengketa tersebut. Sangat disadari bahwa upaya untuk

menjaga stabilitas keamanan di wilayah itu tidak mudah, akan tetapi hal itu adalah

kewajiban semua negara yang terkait, sebab instabilitas di kawasan Laut Cina Selatan

akan berimplikasi negatif terhadap semua negara di sekitarnya, termasuk implikasi

ekonomi di tengah upaya negara-negara Asia Pasifik menjaga perekonomiannya dari

rambatan krisis ekonomi yang melanda Eropa dan Amerika Serikat.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kekuatan – kekuatan ekstra kawasan memiliki

kepentingan geopolitik terhadap Laut Cina Selatan. Setidaknya terdapat tiga kekuatan

ekstra kawasan yang saat ini “bermain” di Laut Cina Selatan, yaitu Amerika Serikat,

Jepang dan India. Ketiga negara tersebut bersama dengan Australia tergabung

dalam Quadrilateral Initiative. Kehadiran kekuatan ekstra kawasan tersebut, tidak

terlepas dari kekhawatiran bangkitnya kekuatan Cina, khususnya dalam aspek

pembangunan kekuatan militernya.

Dinamika kontemporer di kawasan Asia Pasfik selama tahun 2011 ditandai oleh

semakin menguatnya upaya multilateralisasi penyelesaian sengketa Laut Cina

Page 11: Konflik Lcs (Tgs Pgl)

Selatan. Multilateralisasi sengketa Laut Cina Selatan merupakan kondisi yang tidak

bisa dihindari mengingat penyelesaian sengketa secara damai hanya dapat ditempuh

melalui proses diplomasi yang melibatkan banyak negara. Hal ini bertolak belakang

dengan kepentingan Cina yang menginginkan penyelesaian sengketa Laut Cina

Selatan secara bilateral. Kecenderungan yang muncul, dinamika kontemporer

sengketa Laut Cina Selatan semakin menunjukkan ke arah mengerasnya sikap – sikap

negara yang berkepentingan, baik negara pengklaim maupun bukan pengklaim.

Dibandingkan tahun – tahun sebelumnya, dinamika pada tahun 2011 cenderung

mengarah pada kondisi yang lebih mengkhawatirkan karena kian rumitnya peta

konflik.

Guna menjaga stabilitas keamanan regional di Laut Cina Selatan, negara-negara yang

berkepentingan, baik yang berstatus negara pengklaim maupun bukan negara

pengklaim, hendaknya menempuh pendekatan-pendekatan sebagai berikut:

Pertama, menahan diri dari tindakan provokatif. Memperhatikan dengan seksama

perkembangan sengketa Laut Cina Selatan selama 2011, menunjukkan

kecenderungan menguatnya upaya-upaya dari pihak tertentu untuk mengakhiri status

quo yang sejak awal 1990-an berlaku. Sebagai contoh adalah upaya penegasan klaim,

baik lewat menghadirkan kapal perang dan kapal pemerintah maupun eksplorasi dan

eksploitasi minyak dan gas bumi oleh beberapa negara pengklaim. Upaya tersebut

dapat dikategorikan sebagai tindakan provokatif karena memunculkan tindakan

balasan dari negara-negara lain yang juga mempunyai klaim di perairan itu, sehingga

berkontribusi pada meningkatnya ketegangan di sana. 

Menyikapi perkembangan yang memprihatinkan demikian, semua pihak harus

mampu menahan diri dari tindakan provokatif. Hanya dengan cara demikian maka

stabilitas keamanan kawasan di Laut Cina Selatan dapat dipertahankan. Semua negara

yang berkepentingan dengan perairan strategis itu hendaknya menyadari bersama

Page 12: Konflik Lcs (Tgs Pgl)

bahwa satu-satunya solusi yang dapat diterima terhadap sengketa tersebut adalah

penyelesaian damai melalui dialog yang melibatkan semua pihak terkait. Upaya

ASEAN untuk menyelesaikan sengketa secara patut sudah seharusnya didukung,

terlebih lagi negara-negara besar yang mempunyai kepentingan dengan Laut Cina

Selatan seperti Amerika Serikat dan Cina terikat pada Treaty of Amity and

Cooperation(TAC) ASEAN yang mengamanatkan penyelesaian damai terhadap

segala sengketa yang muncul.

Kedua, mempercepat penyusunan Code of Conduct (CoC) Laut Cina Selatan. Sebagai

tindaklanjut dari The Declaration on Conduct of Parties in The South China Sea pada

4 November 2002 yang ditandatangani para Menteri Luar ASEAN dan Utusan

Khusus Cina merangkap Wakil Menteri Luar Negeri, ASEAN dan Cina perlu

mempercepat pembahasan mengenai CoC Laut Cina Selatan. Pada Juli 2011 yaitu

ketika Indonesia menjadi Ketua ASEAN, ASEAN dan Cina telah mencapai

kesepakatan tentang Guidelines of CoC, sehingga pekerjaan bersama yang ada di

depan mata adalah menyusun CoC tersebut.

Penyusunan CoC bersifat krusial sekaligus strategis karena melalui hal itu akan diatur

dengan bagaimana negara-negara pengklaim bertindak di Laut Cina Selatan.

Diharapkan dengan adanya CoC, tindakan-tindakan yang dikategorikan provokatif

dapat dicegah sedini mungkin, sehingga pada akhirnya memberikan kontribusi positif

terhadap stabilitas keamanan kawasan. Mengingat bahwa penyelesaian sengketa Laut

Cina Selatan secara damai masih memerlukan waktu yang panjang,

eksistensi CoC krusial bagi upaya mempertahankanstatus quo sekaligus menjaga

stabilitas keamanan.

Ketiga, pengaturan peran aktor non negara. Stabilitas keamanan kawasan di Laut

Cina Selatan dipengaruhi pula oleh peran aktor non negara, yaitu perusahaan energi

multinasional. Perusahaan-perusahaan itu seperti Premier Oil, Total, Exxon Mobil

Page 13: Konflik Lcs (Tgs Pgl)

dan ONGV Vides terus aktif melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas

bumi di perairan Laut Cina Selatan yang dipersengketakan bekerjasama dengan

beberapa negara pengklaim, misalnya Vietnam dan Filipina.

Peran perusahaan-perusahaan energi multinasional itu dalam menjaga stabilitas

kawasan juga diperlukan, sebab kehadiran mereka di perairan sengketa telah

mengundang reaksi keras dari negara pengklaim lainnya seperti Cina. Bagi Cina,

kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di Laut Cina Selatan merupakan pelanggaran

terhadap kedaulatan negara itu. Sedangkan bagi negara-negara pengklaim seperti

Vietnam dan Filipina, kegiatan eksplorasi dan eksploitasi tersebut guna memperkuat

klaim mereka secara politik. Terkait dengan hal tersebut, ASEAN nampaknya perlu

dijajaki bagaimana pengaturan peran perusahaan energi multinasional di wilayah

sengketa itu agar tidak memperburuk kondisi yang berkembang.

Keamanan Nasional Indonesia

Keamanan nasional Indonesia memiliki cakupan yang sangat luas, sebab mencakup

aspek ideologi (value), politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan. Oleh karena

itu, keamanan nasional tidak sebangun dan sebanding dengan penegakan hukum,

sebab penegakan hukum hanya satu bagian kecil dari bangunan keamanan nasional

itu sendiri. Eksistensi keamanan nasional Indonesia adalah sebagai upaya untuk

mengamanatkan terjaganya kepentingan nasional bangsa sebagaimana diamanatkan

oleh Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

Keamanan kawasan di Laut Cina Selatan memiliki keterkaitan erat dengan keamanan

nasional Indonesia, baik pada aspek politik, ekonomi maupun pertahanan. Pada aspek

politik, apabila Indonesia bersama negara-negara ASEAN lainnya tidak mampu

menata sengketa di perairan itu secara damai, akan berkontribusi negatif terhadap

keamanan nasional Indonesia. Sengketa Laut Cina Selatan yang bertransformasi

menjadi konflik akan menyerap sumberdaya nasional Indonesia yang tidak sedikit

Page 14: Konflik Lcs (Tgs Pgl)

guna mengamankan kepentingan nasionalnya, termasuk menyangkut stabilitas

kawasan pada ranah diplomatik. Sebab Indonesia berkepentingan untuk

mengendalikan eskalasi konflik agar tidak menjadi lebih buruk lagi.

Sedangkan pada aspek ekonomi, konflik di Laut Cina Selatan akan mempengaruhi

secara langsung ekonomi Indonesia. Dalam era globalisasi saat ini dengan

interdependensi ekonomi antar negara, ketidakmampuan negara-negara kawasan

menata sengketa di Laut Cina Selatan akan memunculkan gelombang kejut terhadap

ekonomi Indonesia. Paling tidak, selain mendorong naiknya harga minyak mentah

dunia yang pasti akan berpengaruh terhadap APBN Indonesia, hal itu juga akan

mengancam secara serius kelangsungan perdagangan Indonesia dengan raksasa-

raksasa ekonomi di Asia Timur yang berdasarkan statistik, negara-negara itu

merupakan salah satu mitra penting ekonomi Indonesia. Kondisi demikian dipastikan

akan berpengaruh langsung terhadap ekonomi domestik Indonesia nantinya.

Adapun menyangkut aspek pertahanan, kepentingan nasional Indonesia terkait

dengan upaya menjaga keutuhan wilayah Indonesia yang berbatasan langsung dengan

Laut Cina Selatan. Posisi perairan Laut Natuna yang merupakan penghubung antara

kawasan Samudera India dan Laut Cina Selatan menjadi pilihan lintasan terpendek

bagi kapal-kapal perang yang ingin menuju wilayah konflik di Laut Cina Selatan dan

kondisi demikian dapat menimbulkan komplikasi tersendiri terhadap Indonesia.

Di samping itu, kekuatan pertahanan Indonesia dituntut untuk mampu mencegah spill

over konflik Laut Cina Selatan menjalar ke Laut Natuna sekaligus mengamankan

anjungan-anjungan minyak yang berada di ZEE Indonesia di Laut Cina Selatan.

Pengamanan anjungan minyak itu penting sebab anjungan itu merupakan salah satu

aset vital dalam menyumbangkan devisa negara, selain mencegah kemungkinan

negara lain yang berperan mengamankan anjungan tersebut.

Penutup

Page 15: Konflik Lcs (Tgs Pgl)

Terdapat benang merah antara keamanan kawasan di Laut Cina Selatan dengan

keamanan nasional Indonesia. Untuk dapat menciptakan kondisi keamanan nasional

Indonesia yang stabil, harus didukung oleh kondisi keamanan kawasan Laut Cina

Selatan. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi Indonesia sebagai primus inter

pares di Asia Tenggara, yaitu bagaimana mengelola sengketa Laut Cina Selatan agar

dapat diselesaikan secara damai dan menghindarkan eskalasi sengketa menjadi

konflik. Untuk menghadapi hal tersebut, Indonesia harus senantiasa bekerjasama

dengan negara-negara lain yang juga berkepentingan terhadap stabilitas kawasan Laut

Cina Selatan.

REFERENSI

Departemen Pertahanan RI, Buku Putih Pertahanan Negara, Jakarta, 2008

Departemen Pertahanan RI, Kebijakan Umum Pertahanan Negara, Jakarta, 2008

Page 16: Konflik Lcs (Tgs Pgl)

Emmers, Ralf, “Maritime Disputes in the South China Sea: Strategic and Diplomatic

Status Quo”, dalam Guan, Kwa Chong and Skogan, John K (ed), Maritime Security

in Southeast Asia, New York: Routledge, 2000

 http://www.mediaindonesia.com/read/2011/06/06/231361/39/6/Filipina-Tuding-

China-Perusak-Perdamaian-Asia

http://internasional.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=20084

http://www.detiknews.com/read/2011/05/08/230249/1635043/10/asean-ingin-laut-cina-selatan-menjadi-kawasan-damai

http://www.mediaindonesia.com/read/2011/06/04/231307/39/6/AS-Khawatir-Terjadi-Bentrok-di-Laut-China-Selatan

 RI-Filipina Harap Sengketa Laut China Selatan Berakhir Baik, http://www.kaskus.us/showthread.php?p=382367531

Page 17: Konflik Lcs (Tgs Pgl)