KONSEP AKTUALISASI DIRI ABRAHAM. H. MASLOW DAN KORELASINYA DALAM MEMBENTUK KEPRIBADIAN
(ANALISIS BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM)
Skripsi
Disusun Guna Memperoleh Gelar Kesarjanaan Strata 1 (S1) dalam Ilmu Dakwah
Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI)
Oleh: Oktaful Ghofur
1100046
FAKULTAS DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG 2006
KONSEP AKTUALISASI DIRI ABRAHAM. H. MASLOW DAN KORELASINYA DALAM MEMBENTUK KEPRIBADIAN
(ANALISIS BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM)
Disusun Oleh: Oktaful Ghofur
1100046
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
pada tanggal 30 Januari 2006
dan dinyatakan telah lulus memenuhi syarat
Susunan Dewan Penguji
Ketua Dewan Penguji/ Dekan/
Pembantu Dekan
Drs Sugiarso. NIP. 150223795
Sekretaris Dewan Penguji/
Abdul Satar, M. Ag. NIP. 150290160
Penguji I
Drs. Ali Murtadho, M. Pd. NIP. 150274618
Penguji II
Drs. H. Nurbini. NIP. 150261768
Pembimbing I
Dr. Hj. Ismawati, M. Ag. NIP. 150094093
Pembimbing II
Abdul Satar, M. Ag. NIP. 150290160
ABSTRAKSI
Manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan yang sebaik-baiknya dibandingkan dengan makhluk lain ciptaan Allah dan tercipta dalam keadaan suci, apabila pada akhirnya manusia itu menjadi yahudi, nasrani atau majusi maka itu adalah tanggung jawab dari orang tuanya. Manusia diciptakan oleh Allah terbagi menjadi dua unsur yaitu jasmani dan rohani serta membawa sifat-sifat yang spesifik yang membedakan antara dirinya dengan manusia yang lain yang pada akhirnya ketika dia tumbuh dan berkembang hal ini menjadi identitas bagi dirinya sekaligus untuk melakukan proses aktuialisasi diri. Maslow berpendapat bahwa kebutuhan manusia terbagi atas lima hal yang tersusun secara piramidal yang berguna untuk membentuk kepribadian. Kebutuhan-kebutuhan tersebut diantaranya adalah, kebutuhan faali, kebutuhan rasa aman, kebutuhan cinta dan memiliki, kebutuhan akan harga diri, dan kebutuhan akan aktualisasi diri.
Hampir semua manusia menurut Maslow mampu memenuhi kebutuhan faali, kebutuhan rasa aman, kebutuhan cinta dan memiliki, kebutuhan akan harga diri, tetapi tidak semua manusia dapat memenuhi kebutuhan akan akatualisasi diri. Hal ini tentu saja akan menghambat pembentukan kepribadian individu tersebut, apabila kebutuhan ini terhambat dapat mengakibatkan adanya metapatologi, dimana seseorang dapat mengalami penyimpangan-penyimpangan kepribadian.
Aktualisasi diri tidak dapat tercapai oleh semua orang dikarenakan biasanya individu tersebut mengalami ketakutan, keraguan yang berasal dari dalam dirinya, bisa juga akibat dari kebutuhan rasa aman yang kuat dari dalam individu itu sendiri dan masyarakat yang ada di sekitarnya.
Kemudian permasalahan yang ada adalah bagaimana konsep aktualisasi diri Abraham Maslow dalam membentuk kepribadian, serta bagaimana jika dianalisis melalui Bimbingan dan Konseling Islam?
Tujuan yang hendak dicapai penulis adalah mendiskripsikan pembentukan kepribadian Abraham Maslow dalam perspektif Bimbingan dan Konseling Islam
Metode yang penulis gunakan adalah mendeskripsikan pemecahan masalah dengan menggambarkan objek penelitian saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak.
Berdasarkan paparan di atas maka bimbingan dan konseling islam diharapkan mampu mendorong atau menciptakan klien untuk menuju pada taraf pemenuhan kebutuhan akan aktualisasi diri, sehingga segala potensi yang ada pada individu atau klien dapat terungkap dan tersusun secara sempurna sehingga tercipta suatu kondisi kepribadian yang efektif dan sempurna (kaffah).
Berdasarkan pada hasil paparan data-data yang telah dianalisis melalui Bimbingan dan Konseling Islam terlihat bahwa konsep aktualisasi diri Abraham Maslow dapat digunakan dalam membentuk kepribadian secara islami, sehingga terbentuk kepribadian yang sempurna yang efektif dalam memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat sesuai tuntunan ajaran agama islam.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang yang
senantiasa telah menganugerahkan rahmat dan hidayah-Nya, kepada penulis
dalam rangka menyelesaikan karya skripsi dengan judul Konsep Aktualisasi Diri
Abraham. H. Maslow dan Korelasinya dalam Membentuk Kepribadian (Analisis
Bimbingan dan Konseling Islam). Karya skripsi ini disusun untuk memenuhi
tugas sebagai persyaratan mencapai derajat kesarjanaan jurusan Bimbingan dan
Penyuluhan Islam di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Walisongo
Semarang. Sholawat serta salam semoga selalu terlimpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarganya para sahabatnya dan orang-orang yang
mengikuti jejak perjuangannya.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis merasa bersyukur atas bantuan
dan dorongan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak yang telah
membantu terselesaikannya skripsi penulis dengan baik, dan karena itu penulis
menyampaikan banyak terimakasih kepada yang terhormat :
1. Bapak Rektor IAIN Walisongo Semarang, yang telah memimpin lembaga
tersebut dengan baik.
2. Bapak Drs. H. Aminuddin Sanwar, MM., selaku Dekan Fakultas Dakwah
IAIN Walisongo Semarang.
3. Ibu Dr. Hj. Ismawati M.Ag dan Bapak Abdus Satar M.Ag selaku
pembimbing skripsi yang dengan segala kebaikannya, kesabarannya telah
membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini.
4. Seluruh dosen, staf dan karyawan di lingkungan civitas akademika
Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang yang telah memberi ilmu,
pelayanan dan pengalaman selama dalam kuliah.
5. Ayah, Ibunda tercinta serta adik-adikku yang telah memberi dorongan baik
materiil maupun moral dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
6. Semua pihak, terutama sahabat-sahabatku mahasiswa IAIN Walisongo
Semarang, khususnya kepada mahasiswa Fakultas Dakwah Jurusan
Bimbingan dan Penyuluhan Islam.
Semoga kebaikan dan keikhlasan mereka yang telah diberikan kepada
penulis mendapatkan balasan yang setimpal dan berlipat ganda dari Allah SWT,
jazakumullah khairan katsira.
Meskipun penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam
penyusunan skripsi ini, akan tetapi sudah barang tentu dalam penulisannya masih
banyak kekurangan mengingat kemampuan dan keterbatasan penulis.
Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, penulis senantiasa
mengharap kritik kontruktif dan saran inovatif demi kesempurnaan skripsi ini dan
semoga apa yang tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat bagi penulis sendiri
maupun para pembaca. Amin ya Rabbal 'ALamin.
Semarang, 30 Januari 2006
Penulis
Motto
Persembahan
Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
1. Abahe
2. Bapak dan Ibu yang selalu mendidik dan memberi dorongan
sehibngga selesainya skripsi ini
3. Kepada adik-adik penulis yang selalu membantu sehingga
terselesainya skripsi ini.
4. Den I U
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN .......................................................................... iv
HALAMAN ABSTRAKSI ............................................................................... v
HALAMAN KATA PENGANTAR ................................................................. vi
MOTTO ..................................................................................................... viii
PERSEMBAHAN .............................................................................................. ix
HALAMAN DAFTAR ISI ............................................................................... x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Permasalahan ....................................................................... 6
C. Tujuan Dan Signifikansi Penelitian ........................................ 6
D. Tinjauan Pustaka ................................................................... 7
E. Kerangka Teori ....................................................................... 9
F. Metodologi Penelitian.. ........................................................... 14
G. Sistematika Penulisan ............................................................. 17
BAB II : AKTUALISASI DIRI, PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN,
SERTA , DAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM
A. Pengertian Aktualisasi Diri................................................... 18
B. Pengertian Pembentukan Kepribadian ................................ 19
B.1 Pembentukan dan Perkembangan Kepribadian .............. 22
B.2 Kepribadian Muslim ....................................................... 24
B.3 Proses Pembentukan Kepribadian Muslim..................... 28
C. Bimbingan dan Konseling Islam............................................. 30
a. Asas-Asas Bimbingan dan Konseling Islam .................... 31
b. Fungsi dan Tujuan Konseling Islam................................. 34
D. Dakwah .................................................................................. 35
a. Unsur-unsur Dakwah ....................................................... 36
BAB III : KONSEP AKTUALISASI DIRI DAN PEMBENTUKAN
KEPRIBADIAN ABRAHAM MASLOW
A. Biogarafi Abraham Maslow ................................................. 40
B. Hambatan-Hambatan dalam Aktualisasi Diri
Abraham Maslow ................................................................. 44
C. Pembentukan Kepribadian Menurut Abraham Maslow ......... 46 BAB IV : ANALISIS
Aktualisasi Diri Maslow dan Pembentukan Kepribadian
Perspektif Bimbingan dan Konseling Islam................................... 54
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 60
B. Saran-saran ............................................................................. 61
DAFTAR PUSTAKA BIODATA PENULIS
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia diciptakan dalam keadaan sempurna dibandingkan dengan
makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain. (Depag, 1989 : 1076). Manusia
dilahirkan dalam keadaan ”fitrah” (suci) seperti kertas kosong. Siapapun yang
mau membentuk atau menggambar dalam kertas kosong itu, maka dia akan
membuat manusia itu seperti yang diinginkannya.
Hal tersebut sejalan dengan sabda Rasulullah SAW dari Abu Hurairah
yang berbunyi:
ما من : قال نبي صلئ اهللا عليه وسلم : عن ابي هر يرة كا ن حيد ث ا نه او او ينصر د ا نه يو لد على الفطر ة فا بوا ه يهو اال مو لو د
هل تحسنون فيها من جد , جمعا ءيمجسا نه كما تنتج البهيمة بهيمة ) ر و ا ه مسلم (عا ء
Artinya: “Tiada manusia dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah(
suci ), maka kedua orang tuanyalah yang memepengaruhi anak itu untuk menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi, sebagaimana hewan yang melahirkan anaknya, tentu dalam keadaan utuh, maka apakah kamu merasa adanya cacat pada tubuhnya? HR.Muslim" (Hamid, Zainudin, 1966:102).
Manusia itu diciptakan oleh Allah dalam struktur jasmani dan rohani.
Dia pada saat diciptakan telah membawa sifat-sifat yang sangat spesifik yang
membedakan dirinya dengan orang lain, yang nantinya dia akan tumbuh dan
berkembang menjadi identitas bagi dirinya. Sekaligus berguna untuk
melakukan proses aktualisasi pada dirinya di masyarakat. Untuk memenuhi
kebutuhan jasmaninya manusia memerlukan makan, minum dan lainnya
agar jasmani tumbuh dan berkembang. Pada bagian rohani, manusia sering
mengisinya dengan sifat-sifat yang berguna baik kehidupannya baik saat ini
atau kelak.
Para intelektual muslim sepakat bahwa manusia adalah makhluk yang
memiliki dimensi ganda (double dimension) yakni rohani dan jasmani yang
lahir dalam keadaan fitrah. Yang dimaksud fitrah disini bukan sekedar bersih
dari noda namun dilengkapi dengan seperangkat potensi kodrati yang bersifat
spiritual. Dengan potensi ini manusia diberi kepercayaan untuk menjadi
“kholifah fil ardl”, yang menekankan fungsi-fungsi ke-Tuhanan dimuka bumi
(Hasyim, 2002 : vii ).
Dalam memerankan fungsi ke-Tuhanan-Nya dibumi, manusia tidak
mungkin bekerja dan memenuhi kebutuhannya sendiri. Ia memerlukan
bantuan orang lain. Oleh karenanya selain dia sebagai makhluk individu dia
juga hidup sebagai makhluk sosial sehingga kehidupannya berjalan selaras
dan serasi sesuai dengan norma yang ada.
Manusia yang mampu menjalin hubungan dengan manusia lain adalah
manusia yang memiliki kepribadian yang baik, sebab dalam diri manusia itu
terdapat sifat-sifat keluhuran, kebaikan yang berguna didalam kehidupannya.
Pribadi yang baik lebih mudah diterima di masyarakat daripada
pribadi yang kurang baik. Hal ini terjadi karena masyarakat lebih cenderung
berhati-hati terhadap kedatangan anggota masyarakat lain sebab masyarakat
khawatir bila anggota masyarakat itu datang dengan kepribadian yang kurang
baik dan orang itu dapat membawa dampak yang ditanggung oleh seluruh
anggota masyarakat lainnya. ( Kartono 2001 ; 229 ).
Pada hakikatnya manusia memiliki nilai intrinsik yaitu potensi
kebaikan yang membuat keberadaanya dihargai ditengah-tengah masyarakat.
Menurut Maslow manusia didalam kehidupannya memiliki kebutuhan-
kebutuhan yang bertingkat-tingkat dari mulai kebutuhan fa’ali, kebutuhan
akan rasa aman, rasa cinta dan memiliki, harga diri dan aktualisasi diri
sebagai kebutuhan paling puncak yang dimiliki manusia. (Hasyim, 2002 : 70,
71). Kebutuhan yang pertama yaitu kebutuhan fa’ali (fisiologis) dalam
memenuhi kebutuhan ini sering manusia membutuhkan makan, minum,
berkembang dan lain sebagainya. (Craps, 1993 : 160).
Kebutuhan yang kedua adalah kebutuhan akan rasa aman dari rasa
cemas, takut, teror, kekalutan mental dan lain-lain. Dalam memenuhi
kebutuhan ini biasanya manusia sering memenuhinya dengan menyewa
securities atau untuk menghindari kekalutan mental terkadang manusia sering
berwisata dan sebagainya. (Poduska, 1997 : 132).
Kebutuhan selanjutnya, kebutuhan ketiga adalah kebutuhan akan
adanya rasa cinta dan memiliki. Setelah kebutuhan ketiga tersebut terpenuhi,
kebutuhan yang keempat adalah kebutuhan akan harga diri, dimana manusia
cenderung ingin nama baik, ketenaran dan kemuliaan. Kebutuhan-kebutuhan
tersebut didasari atas motivasi yang ada pada dirinya. (Najati, 1982 : 10).
Selain kebutuhan diatas, menurut Maslow manusia belum merasa puas
bila kebutuhan akan adanya dirinya belum diakui oleh masyarakat. Oleh
karena itu manusia memerlukan kebutuhan yang terakhir atau yang kelima
yaitu kebutuhan akan aktualisasi diri, diakui oleh masyarakat dimana dia
tumbuh.
Bila keempat kebutuhan-kebutuhan diatas didasari akan motivasi
kebutuhan-kebutuhan dasar, maka kebutuhan yang ke-lima ini yaitu
kebutuhan akan aktualisasi diri dimotivasi oleh kebutuhan yang bernilai tinggi
yang dikenal dengan istilah metamotivasi1 atau b-values (being values).
(Hasyim, 2002 : 169 ).
Orang yang telah tumbuh dewasa dan masak secara penuh adalah
orang yang telah mencapai aktualisasi diri, yaitu dengan konsentrasi penuh
dan mencapai apa yang disebut sebagai manusia yang sempurna (insan
kamil)2. (Hidayanti, 2004 : 81 ).
Kebutuhan akan aktualisasi diri ini didorong motif perkembangan
yang tidak bersifat hierarkis sebagaimana kebutuhan dasar manusia, meskipun
1 Terdiri dari dua kata yaitu meta dan motive. Menurut Sudarsono kata meta bisa berarti
kajian tentang karakteristik-karakteristik yang dimiliki oleh obyek yang dikaji. Sedang motive menurut Caplin memiliki empat pengertian yaitu; a.suatu variabel penyelang yang ikut campur tangan yang digunakan untuk menimbulkan factor-faktor tertentu didalam organisme, yang membangkitkan, mengelola, mempertahankan dan menyalurkan menuju kepada suatu sasaran. b.suatu keadaan ketegangan didalam individu yang membangkitkan, memelihara dan mengarahkan tingkah laku menuju pada sasaran atau yang dituju. c.alasan yang disadari atau yang tidak disadari yang diberikan individu bagi tingkah lakunya. d.dorongan( drive ) perangsang, rangsangan.
2 Menurut Amin Syukur insan kamil diartikan sebagai manusia yang sempurna, bukan saja memiliki ketaatan pada Allah tetapi juga mengenal dirinya sendiri dan membuat relasi yang baik antar sesamanya dan lingkungannya, dia mengerti antara yang hak dan yang batil, sehingga perbuatannya selalu terarah untuk mencapai keridhan Allah meski dalam kondisi kehidupan seperti apapun.
demikian bila kebutuhan ini terhambat atau tidak terpenuhi akan
mengakibatkan metaphatologi3. (Hasyim, 2002 : 80 ).
Meskipun manusia memiliki kapasitas untuk tumbuh dan berkembang
secara sehat namun tidak semua dapat mencapai aktualisasi diri. Mengapa
demikian? Karena sebagian manusia ketika dihadapkan pada kenyataan yang
ada mereka terlihat takut terhadap persaingan, mereka khawatir kalau
persaingan itu dapat merugikan diri mereka sendiri. Adapula yang takut
melangkah untuk mengaktualisasikan segala yang ada pada diri mereka
karena adanya pengalaman masa lampau yang mungkin membuat mereka
trauma disinilah Bimbingan dan Konseling Islam berperan sebagai mana
fungsi dari bimbingan konseling yaitu fungsi preventif, kuratif, dan
development. Dengan ketiga fungsi ini konselor mampu membina klien
sehingga klien mampu sembuh dari rasa trauma yang pernah terjadi pada
mereka sehingga klien mampu mengaktualisasikan dirinya dan
mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya sesuai dengan Al -
Quran dan sunah Rasul serta mencegah klien dari prasangka buruk pada
sesana manusia dan Tuhannya.
Untuk kajian tentang tahapan kebutuhan manusia Abraham Maslow
adalah tokoh filsafat yang sangat populer. Bahkan secara tegas, dia
menyatakan bahwa manusia dianggap sempurna bila telah mencapai tahapan
kelima, aktualisasi diri.
3 Menurut Sudarsono,pathologi adalah istilah dari cabang-cabanhg ilmu biologi yang
mengangkut penyimpangan-penyimpangan dari suatu penyakit yang bersifat anatomis, fisiologis, psikologis, menyangkut studi yang bersifat tidak normal.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis akan membahas lebih lanjut
tentang konsep aktualisasi diri Abraham Maslow dan korelasinya dalam
membentuk kepribadian. Penulis mencoba melakukan penelitian
menggunakan tema tersebut dengan berupaya melakukannya dalam perpektif
Bimbingan Konseling Islam .
B. PERMASALAHAN
Pokok permasalahan yang akan penulis angkat dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana konsep aktualisasi diri Abraham Maslow dan korelasinya
dalam membentuk kepribadian?
2. Bagaimana pula artikulasinya bila dianalisis dengan perpektif Bimbingan
dan Konseling Islam?
C. TUJUAN DAN SIGNIFIKASI PENELITIAN
1. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
b. Untuk mendeskripsikan konsep aktualisasi diri Abraham Maslow
dalam membentuk kepribadian.
c. Untuk mendeskripsikan pembentukan kepribadian ala Abraham
Malow dalam perpektif Bimbingan dan Konseling Islam.
2. Signifikansi yang akan dicapai adalah:
a. Secara teoritis mampu menambah hasanah ilmu yang berkaitan
dengan Bimbingan dan Konseliung Islam dan untuk memperluas
cakrawala pengetahuan tentang konseling bagi peneliti dan
mahasiswa Fakultas Dakwah pada umumnya.
b. Secara praktis penelitian ini bertujuan untuk menambah wawasan
peneliti dan mahasiswa di dalam memahami pembentukan
kepribadian manusia berdasarkan Bimbingan dan Konseling
Islam.
D. TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarkan eksplorasi yang penulis lakukan, ada beberapa penelitian
yang berkaitan dengan penelitian yang akan penulis lakukan antara lain
kesehatan mental dan urgensinya bagi integritas kepribadian (kajian
pemikiran prof. Dr. Abdul Aziz Al - Qudsi) yang dilakukan oleh Barokah.
(Arbaiati, 2000 : 65). Penelitian ini berisi tentang ilmu kesehatan mental. Di
dalamnya dijelaskan bahwa kepribadian akan dianggap kuat apabila unsur-
unsurnya mengarah pada satu tujuan dalam hidup yang muaranya adalah
integritas kepribadian.
Karya lain mengenai pembentukan kepribadian muslim seperti yang
dikemukakan oleh Handayani. (2004 : 66) yang berjudul: Konsep fitrah Al-
Ghazali dan implikasinya dalam pembentukan kepribadian muslim. Tulisan
ini membahas tentang sifat fitrah manusia yang dianggap sebagai sifat bawaan
atau potensi dasar yang melekat pada diri manusia tersebut, kadang disebut
juga fitrah Ke-Tuhanan. Konsep fitrah tersebut memiliki beberapa susunan
sifat manusia antara lain sifat-sifat binatang liar (sabu’iyahi), sifat binatang
(bahimiyah), sifat-sifat syaithoniyah dan sifat-sifat rabaniyah. Implikasi
konsep fitrah menurut Al-Ghazali terhadap pembentukan kepribadian muslim
adalah fitrah tentang Ke-Tuhanan (Rabbaniyah) yang mampu mendominasi
dibanding dengan konsep fitrah-fitrah lainnya. Sehingga terbentuk
kepribadian yang selaras dengan enam potensi keimanan dan lima potensi
keIslaman.
Ajijah (2002 : 25) dalam penelitiannya yang berjudul: konsep
humanisme dalam da’wah dalam kaitannya dengan penyelesaian konflik
antar umat beragama menyatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki
kepribadian yang sangat komplek. Manusia dianggap sebagai mahluk
tertinggi, independen, sadar dan mampu menyadari dirinya, bermoral serta
kreatif. Hanya cara humanislah yang dapat merubah manusia menjadi lebih
baik.
Sementara itu Munandziroh (2002 : 68-71) dalam skripsi yang
berjudul: prinsip pendidikan akhlak dan aktualisasinya dalam pembinaan
kepribadian: kajian surah Al-hujurah ayat 1 – 13 menyatakan bahwa
aktualisasi ini dapat ditunjukkan dengan perwujudan taqwa pada Allah, taat
pada rasulnya, membina ukhuwah Islamiyah dan melakukan perbuatan yang
mengandung akhlak terpuji.
Demikian pula Muhammad (2002 : 13) dalam: dialog antara tasawuf
dan psikologi menyatakan bahwa manusia dalam pandangan tasawuf dan
konsep aktualisasi diri Abraham Maslow adalah sama. Artinya ketika manusia
sudah mendekati atau memenuhi kebutuhan akan aktualisasi diri
(selfactualization), manusia mencapai pengalaman puncak (peak-
eksperience) yang merupakan puncak teori Abraham Maslow. Ini hanya
dapat terjadi ketika manusia sedang mengalami ekstase, perasaan bersatunya
diri seseorang selaku mikro kosmos dengan alam raya(makro kosmos). Dalam
terminology tasawuf ini merupakan tujuan akhir dari pencarian kebenaran,
yaitu penyatuan antara tiga realitas kosmos (mikro kosmos, makrokosmos dan
metakosmos) yang diistilahkan dengan tauhid
Sedang Heraty (2004) dalam psikologi sains dalam memahami
individu seseorang akan terasa lebih mudah apabila semua itu dilihat dari
pandangan sains, Sebab sains, tambahnya adalah dasar segalanya dalam
memahami segala sesuatu termasuk tentang kepribadian.
Menurut Iman dalam bukunya yang berjudul: Motivasi Dan
Kepribadian. Buku ini terdiri dari dua seri. Pada seri satu ia menjelasakan
bahwa motivasi yang dibentuk berdasarkan teori Abraham Maslow bisa
terjadi bila menggunakan pendekatan-pendekatan tentang teori herarkis
kebutuhan secara bertingkat. Sedang pada buku seri kedua ia menyatakan
motivasi dan kepribadian bisa terbentuk bila orang itu mampu mewujudkan
diri.
Sedangkan yang membedakan antara penelitian yang akan penulis
lakukan dengan penelitian yang sudah penulis cantumkan diatas adalah bahwa
penelitian yang penulis lakukan mencoba melihat konsep aktualisasi diri
Abraham Maslow dalam perspektif Bimbingan dan Konseling Islam. Sejauh
ini penelitian serupa belum pernah dilakukan.
E. KERANGKA TEORI
Menurut asal katanya aktualisasi diri terdiri dari kata aktualisasi dan
kata diri. Menurut Purwodarminto (1976 : 253), aktualisasi adalah munculnya
atau terungkapnya suatu keadaan terselubung, sedangkan menurut Sudarsono
(1993 : 81) yang disebut diri adalah seseorang atau orang (terasing dari yang
lain).
Menurut Abraham Maslow aktualisasi diri merupakan puncak dari
perwujudan segenap potensi manusia di mana hidupnya penuh gairah dinamis
dan tanpa pamrih,konsentrasi penuh dan terserap secara total dalam
mewujudkan manusia yang utuh dan penuh. Orang yang tidak tertekan oleh
perasaan cemas, perasaan risau, tidak aman, tidak terlindngi, sendirian, tidak
dicintai adalah orang yang terbebas dari meta motivasi. (Robert, 1993 : 161).
Menurut Zuhairini (2000:188) yang dimaksud dengan aktualisasi diri
adalah bila manusia itu mampu berkembang secara sempurna dengan cara
yang semaksimal mungkin, sebab aktualisasi merupakan bentuk kepribadian
yang memiliki karakteristik yang unik.
Sigmund freud menyatakan bahwa kepribadian manusia terdiri atas
dua bagian yang pertama, yaitu internalisasi yang terdiri atas tiga bagian
yaitu, id,ego dan super ego. Bagian kedua adalah yang disebut sebagai
identifikasi dimana melalui proses identifikasi ini manusia dapat melakukan
perbuatan yang baik atau yang buruk. (Nugroho, 2002 ; 33).
Secara historis etimologi perkataan persona berarti topeng yang
dipakai dalam sandiwara yunani yang digunakan oleh pemain-pemain drama
bangsa romawi 100 tahun sebelum masehi. Secara teologis kepribadian itu
menjelaskan tentang sesuatu yang lahiriah menjadi sesuatu yang ruhaniyyah,
substansial, essensial dan inner nature. Kepribadian itu menerangkan masing-
masing aspek dari pada kepribadian, dimana Tuhan (a deity) 4 sebagai causa
prima dan causa finalis (sebab utama dan sebab terakrir) dari pribadi manusia.
(Patty et.al, 1982 143, 146).
Menurut Allport kepribadian adalah organisasi dinamis dari pada
sistem-sistem rohani dan jasmani (psycophysical )yang menentukan
penyesuaiannya yang unik terhadap lingkungannya. (Purwanto, 1993 : 140).
Adler menyatakan dalam kepribadian yang sehat terdapat tiga fokus
kegiatan yang utama yaitu; masyarakat, kerja dan seksualitas dengan dua
tantangan hidup lainnya yaitu spiritualitas dan bagaimana menangani ego.
(Nugroho, 2002 ; 33).
Menurut aliran psikologi kognitif yang dimaksud kepribadian adalah
interaksi silih berganti antara determinan kognitif, prilaku, dan lingkungan.
(Wilcox, 2003:206).
Menurut Darojat (1982 : 16) kepribadian bersifat abstrak, yang dapat
diketahui adalah penampilannya atau bekasnya dalam kehidupan misalnya
dalam tindakan, ucapan, cara bergaul, berpakaian dan dalam menghadapi
setiap persoalan baik ringan maupun berat. Karena pada dasarnya kepribadian
adalah perhelatan antara fisik dan psikis dalam diri individu yang membentuk
karakter yang unik dalam penyesuaian dengan lingkungannnya. (Najati, 1985
: 240 ). Manusia dalam meraih keluhuran pribadinya sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor eksternal yang melingkupinya termasuk agama. (Purwanto, 1993
: 156 ).
4 Menurut Jhon Echol dalam kamus bahasa inggris - indonesia, 1996, p – 172 berarti
dewata, dewa.
Menurut Arifin (1987 : 173 ) kepribadian samawi atau Islami adalah
suatu prilaku lahiriah dan batiniah manusia yang berbeda dalam nilai ke-
Tuhanan yang positif yang berorientasi pada kesejahteraan dan kebahagiaan
hidup didunia dan akherat. Sedang menurut Anshari (1993 : 88) kepribadian
muslim adalah manusia yang memiliki keimanan yang kuat kepada Allah,
beramal sholeh dan berakhlakul karimah.
Dengan demikian seseorang bisa dikatakan memiliki kepribadian
muslim, apabila seseorang tersebut dalam kehidupannya selalu mengerjakan
perbuatan–perbuatan yang terpuji yang didasari dengan nilai-nilai iman pada
Allah dan dalam kehidupannya selalu berorientasi kepada kebahagiaaan dunia
dan akhirat.
Bimbingan dan konseling merupakan perubahan bahasa dari inggris
guidance and counseling. Pertama-tama di indonesia counseling dianggap
sebagai penyuluhan sehingga sering terdengar adanya bimbingan dan
penyuluhan. Beberapa tahun kemudian pengertian ini sering menimbulkan
kerancuan dan tidak bisa dibedakan antar penyuluhan yang berbentuk
konseling dengan penyuluhan pertanian, kesehatan, keluarga berencana dan
lain-lain, Sehingga untuk menghindari kerancuan tersebut counseling
kemudian dikenal dengan istilah konseling. (Musnamar, 1992 : 3).
Kegiatan bimbingan pada dasarnya adalah merupakan pemberian
bantuan yang diberikan seseorang ahli kepada individu atau beberapa individu
(klien) degan memanfaatkan kekuatan dan sarana yang ada dan dapat
dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku. (Erman Amti, 1999 :
99).
Sedang yang disebut sebagai konseling adalah proses pemberian
bantuan yang dilakukan melalui proses wawancara konseling oleh seorang
ahli (Konselor) kepada individu yang sedang mengalami suatu masalah (klien)
yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien. Tujuannya
agar klien dapat mengembangkan diri yang mengacu pada perubahan kearah
yang lebih positif. (Prayitno dan Erman Amti , 1999 : 105,113). Prinsip
sebenarnya dari konseling adalah pengentasan masalah yang diderita klien
dengan cara cepat, cermat dan tepat. (Prayitno dan Erman Amti, 1999 : 214).
Menurut Adz-Dzaki (2002:180) konseling adalah aktifitas pemberian
nasehat yang berupa anjuran–anjuran dan saran-saran dalam bentuk
pembicaraan yang komunikatif antar konselor dan klien (konseli). Jadi
konseling sifatnya hanyalah pemberian nasehat-nasehat kepada klien yang
diberikan oleh konselor yang data-data dari pemberian nasehat tersebut
berasal dari masalah klien yang diperoleh melalui proses wawancara
konseling.
Yang dimaksud dengan Bimbingan Konseling Islam adalah proses
pemberian bantuan kepada klien agar mampu hidup selaras dengan ketentuan
Allah sehiungga mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Fungsi dari
Bimbingan dan Konseling Islam yaitu kuratif, preventif, preventif dan
development. Secara kuratif Bimbingan dan Konseling Islam diharapkan
mampu memecahkan masalah yang dihadapi klien sesuai dengan Al - Quran
dan sunah Rasul. Secara preventif diharapkan Bimbingan dan Konseling Islam
mampu mencegah timbulnya masalah pada klien sesuai dengan Al - Quran
dan sunah Rasul, sedangkan secara preventif dan development diharapkan
Bimbingan dan Konseling Islam mampu memelihara supaya keadaaan yang
sudah baik yang ada pada diri kien tidak kembali pada keadaan yang kurang
baik seperti sebelumnya. (Rakhim, 2001 : 3, 4).
Dengan demikian dapat dikatakan yang dimaksud dengan Bimbingan
dan Konseling Islam adalah proses pemberian bantuan pada klien dengan
mengembangkan potensi yang ada pada dirinya sehingga ia mampu hidup
selaras dengan petunjuk Allah, sehingga pada tahapan selanjutnya klien
tersebut dapat mandiri dan mampu memecahkan masalah pada dirinya sesuai
dengan Al - Quran dan sunah rasul untuk mencapai kebahagiaan hidup dunia
dan akhirat.
F. METODOLOGI PENELITIAN
1. Jenis dan metode penelitian
Ada beberapa jenis pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian
ini antara lain: filosofis, sosiologis dan psikologis.
Pendekatan Filosofis, digunakan dalam konteks filsafat yang mengacu
pada hakikat manusia dengan landasan bahwa manusia diciptakan dalam
keadaan fitroh, memiliki kebutuhan naluri keagamaan. Sehingga manusia
dipandang sebagai makhluk yang biopsikososioreligius. Selain itu Abraham
Maslow juga seorang tokoh filsafat. Jadi, untuk memahami konsep-konsepnya
pendekatan ini diperlukan.
Pendekatan Sosiologis pada dasarnya digunakan dengan pertimbanagn
bahwa manusia adalah makhluk hidup yang hidup pada masyarakat tertentu.
Untuk memahami dan memenuhi kebutuhannya maka pendekatan ini
diperlukan untuk mengetahui permasalahan yang ada dan mencari solusinya.
Sementara pendekatan Psikologis digunkan karena kepribadian
pastilah dimiliki setiap manusia segala potensinya. Dengan pendekatan ini
dapat diketahui keadaan psikologi manusia sehingga diharapkan dia dapat
hidup sebagaimana mestinya. Selain itu pendekatan ini digunakan untuk
menggambarkan suatu keadan psikologis manusia yang tidak dapat
mengaktualisasikan dirinya dan juga dampak yang harus ia terima serta untuk
mengetahui yang menjadi penyebab mengapa dirinya tidak mampu
mengaktualisasikan dirinya.
2. Sumber dan jenis data
Sumber dan jenis data yang penulis dapatkan dalam penelitian ini
sepenuhnya berasal dari data-data tertulis yang secara klasifikatif ada dua
jenis yaitu sumber primer dan sekunder yaitu:
Sumber dan jenis data primer didapat dari pendapat Abraham Maslow
tentang aktualisasi diri yang ada dalam buku-bukunya dan karya-karya ilmiah
lainnya. Buku-buku yang pernah dibuatnya diantaranya adalah Toward a
Psychology of Being (1962), Religius and Peack Experiences (1964),
Eupsychian management; a jurnal (1965), The Psychology of Science; a
reconnaissance (1966), Motivasion Personality (1970), The Father reaches of
human nature. Karena kurangnya penguasaan penulis terhadap bahasa
Inggris maka penulis hanya dapat menggunakan sumber buku yang sudah
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia untuk mengungkap pemikiran tentang
aktualisasi diri Abraham Maslow sebagai sumber data primer.
Sementara sumber dan jnis sekunder diperoleh dari berbagai tulisan
seseorang mengenai Maslow dan pemikiran-pemikirannya.
3. Tekhnik pengumpulan data
Dalam mengumpulkan data-data yang diperlukan penulis
menggunakan teknik kepustakaan yaitu penelusuran data-data yang berkaitan
dengan masalah yang dibahas dengan melakukan penelitian terhadap sumber-
sumber tertulis. (Hadi, 1983 : 9).
4. Analisis data
Dalam penelitian ini teknik analis data yang di gunakan oleh penulis
adalah metode deskriptif. Metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan
sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan
dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu (Consuelo dan Sevilla :
1993 : 71).
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Nawawi (1996 : 73) bahwa
"metodologi deskriptif "merupakan prosedur pemecahan masalah yang
diselidiki dengan menggambarkan keadaan obyek penelitian pada saat
sekarang berdasarkan fakta yang tampak. dalam hal ini tidak hanya penyajian
data secara diskriptif tetapi data tersebut dikumpulkan, diolah, dan ditafsirkan.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam melakukan penelitian penulis memerlukan tahapan-tahapan
tertentu untuk mencapai hasil yang diinginkan. Oleh karena itu penulis
menyertakan sistematika dalam penyusunan penelitian, sehingga lebih
memudahkan penulis dalam mencapai hasil yang hendak dicapai. Sistematika
yang dimaksud penulis adalah sebagai berikut;
BAB. I. Pendahuluan terdiri atas latar belakang, masalah, tujuan dan
signifikansi yang penelitian, telaah pustaka terhadap penelitian yang
sebelumnya pernah dilakukan sehingga diketahui perbedaan dengan penelitian
yang akan dilakukan, metode yang digunakan penulis dalam melakukan
penelitian, dan sistematika penulisan laporan.
BAB. II. Landasan teori, berisi diskursus tentang obyek penelitian
yakni, tentang aktualisasi diri dan kepribadian. Bab ini membahas tentang
pengertian aktualisasi diri dan kepribadian serta pengertian tentang Bimbingan
dan Konseling Islam dari berbagi ahli dalam membentuk kepribadian.
BAB. III. Berisi paparan data dan hasil-hasil eksplorasi kepustakaan
yang terdiri atas riwayat hidup Abraham Maslow dan konsep aktualisasi diri
menurut Maslow.
BAB. IV. Berisi obyek yang menjadi kajian pokok penelitian. Bab ini
berisi analisis Bimbingan dan Konseling Islam tentang konsep aktualisasi diri
Abaraham Maslow dan korelasinya dalam membentuk kepribadian.
BAB. V. Berisi kesimpulan dari hasil-hasil penelitian, saran-saran
dari penulis dan kata penutup.
BAB II
AKTUALISASI DIRI, KEPRIBADIAN SERTA
BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
A. PENGERTIAN AKTUALISASI DIRI
Menurut Goldstein, salah satu pengembang teori organismik
menyatakan bahwa aktualisasi diri adalah motivasi utama (dorongan utama
individu) yang berarti bahwa manusia terus menerus berusaha merealisasikan
potensi-potensi yang ada pada dirinya, dalam setiap kesempatan yang terbuka
bagi dirinya. Berdasarkan pada tujuan utama inilah yang nantinya mampu
memberikan arah dan kesatuan pada kehidupan seseorang. (Hall: 1993, 74).
Menurut Rogers, organisme mempunyai suatu kecenderungan untuk
mengaktualisasikan diri, mempertahankan dan mengembangkan organisme
yang ada disekitarnya. Kecenderungan untuk mengaktualisassikan dirinya ini
sangat bersifat selektif, hanya menaruh pada aspek pemenuhan kebutuhan
pada lingkungan yang memungkinkan organisme bergerak secara konstruktif.
Disuatu fihak terdapat kekuatan yang mengikat dan memotivasikan yakni
dorongan untuk mengaktualisasikan diri, sementara di pihak lain hanya ada
satu tujuan hidup yakni menjadi pribadi yang utuh atau teraktualisasikan
dirinya secara penuh. (Hall:2001, 136).
Yang menjadi tendensi dasar ini tampak jelas bila individu diamati
dalam jangka panjang. Seseorang tidak mungkin dapat mengaktualisasiskan
dirinya kalau dia tidak dapat membedakan antara cara-cara progressif dan
cara-cara regresif.
Dengan kata lain yang disebut sebagai aktualisasi diri adalah
terungkapnya suatu keadan seseorang yang selama ini terselubung atau
tersembunyi yang mana suatu saat pasti terungkap dengan sendirinya sebagai
tanda atau ciri khas yang membedakan dirinya dengan orang lain.
B. PENGERTIAN KEPRIBADIAN
Istilah yang dikenal dalam kepribadian diantaranya:
1. Mentality yaitu situasi mental yang dihubungkan dengan kegiatan mental
atau intelektual.
2. Individuality yaitu khas seseorang yang menyebabkan seseorang itu
berbeda dengan orang lain.
3. Idendity yaitu sifat kedirian sebagai suatu kesatuan dari sifat-sifat yang
mempertahankan dirinya terhadap sesuatu dari luar. (Purwanto: 1993,
150).
Berikut akan dikemukakan beberapa anasir kepribadian antara lain:
1. Menurut Mark Away yang dimaksud dengan kepribadian adalah menilai
perangsang sosial seseorang.
2. Menurut Gustav Jung kepribadian manusia dibentuk dan dicetak oleh
pengalaman-pengalaman komulatif dari generasi sebelumnya.
3. Menurut psikologi transpersonal yang dimaksud dengan kepribadian
adalah keadaan terhipnotis.
4. Menurut psikosintesis kepribadian terdiri dari sub-sub kepribadian yang
berkembang sejak usia dini. (Willcox: 2003, 112).
5. Wetheington menyatakan ciri-ciri kepribadian sebagai berikut:
a. Kepribadian seseorang berubah karena faktor pengaruh lingkungan
sosial dan cara belajarnya.
b. Kepribadian adalah istilah untuk menyebut tingkah laku seseorang
secara terintegrasi dan bukan hanya beberapa aspek dari
keseluruhan itu.
c. Kepribadian tidak berkembang secara pasif. Setiap orang
menggunakan kapasitasnya secara aktif untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan.
d. Kepribadian tidak menyatakan sesuatu yang statis, contohnya
bentuk badan, ras, tetapi menyatakan keseluruhan kegiatan dari
tingkah laku seseorang.
e. Kepribadian menyatakan pengertian tertentu saja yang ada pikiran
orang lain dan fungsi pikiran tersebut ditentukan oleh nilai
perangsang seseorang. (Willcox: 2003, 120).
6. Menurut Hall dan Lindzey tidak ada definisi yang pasti tentang kepribadian
yang bisa digunakan secara umum. Sebab semua teoritikus melihat
kepribadian secara berbeda-beda. Berdasarkan pada nilai-nilai dan
gagasan-gagasan mereka sendiri. (Hall: 1993, 202).
Menurut Maslow Kepribadian berkembang melalui kematangan dalam
lingkungan yang ditunjang oleh usaha-usaha yang aktif pada pihak pribadi
yang merealisasikan kodratnya, maka daya-daya kreatif dalam manusia secara
lebih jelas. Apabila manusia menderita atau neorotik maka hal itu disebabkan
oleh lingkungan melalui ketidaktahuan dan patologi sosial atau karena
mereka telah mendistorsikan pikiran mereka. (Willcox: 2003, 109).
Maslow melihat pribadi yang sepenuhnya manusiawi adalah orang
yang memiliki apa yang ia namakan nilai-nilai ”B atau being (wujud)”;
didalamnya termasuk berisi nilai-nilai kebenaran, kebaikan, keindahan,
keutuhan, transedensi polaritas, kegairahan, keunikan, kesempurnaan,
kebutuhan, perampungan, keadilan, keteraturan, kesederhanaan,
kesemerataan, keagungan, suka bercanda, dan kecukupan diri.
Konsep being sangat bertentangan dengan konsep defisiensi yang
dialami oleh sebagian besar orang. Dalam konsep defisiensi, organisme
bertindak untuk memenuhi kekurangannya agar dapat tehindar dari rasa sakit,
sedangkan dalam being sebagian besar kebutuhan organisme dipenuhi dan
organisme bertindak untuk menghasilkan kesehatan yang positif.
Perspektif defisiensi diwarnai dengan keinginan atau hasrat, sedang
being jernih, tak terlibat dan tanpa hasrat. Sebagai contoh kebutuhan akan
cinta menjadi kebutuhan defisiensi yang melibatkan cinta yang tamak pada
mereka yang tidak memperoleh cinta semasa kanak-kanak. Kekurangan ini
merupakan kekosongan yang harus diisi. Bagi orang yang sehat cinta tidak
bersifat tidak membutuhkan, tidak egois dan tidak mengekang. (Wilcox: 2003,
219).
Sedangkan menurut Murray sangat setuju dengan Freud yang
memandang struktur kepribadian tersusun atas tiga hal yaitu: Id, Ego, dan
Super ego. Selain itu Muray menambahkan bahwa Id berisi tentang impuls
yang diterima oleh diri maupun masyarakat, semua tergantung pada individu
dalam mengontrol Id yang mereka miliki.
Super ego menurut Murray bukan hanya faktor penghambat atau
penindas tetapi bertujuan untuk memudahkan atau meningkatkan penyaluran
impuls tertentu dari Id. Kekuatan dan keberhatian ego merupakan faktor
penentu bagi penyesuaian diri sub sistem yang diinternalisasiakan dalam
individu yang berlaku sebagai pengatur tingkah laku seperti yang dilakukan
oleh pelaku-pelaku yang berada di luar individu. (Hall: 1993, 29).
1. Perkembangan Kepribadian
Pembentukan kepribadian merupakan susunan faktor biologis,
psikologis dan sosial. Keseimbangan kepribadian sangat ditentukan oleh
kemampuan mengintegrasikan ketiga faktor tersebut menjadi bagian integral
dari kehidupan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan dan
pembentukan kepribadian adalah heredity atau pembawaan, pengalaman-
pengalaman yang aktual bagi individu dan kebudayaan.
Secara heredity dapat dilihat pada anak kembar yang identik dimana
faktor hereditas memiliki pengaruh yang signifikan bagi pertumbuhan dan
pembentukan kepribadian. Dengan kata lain lingkungan yang berbeda tidak
akan mempengaruhi pada perkembangan kepribadian anak kembar tersebut.
Selanjutnya faktor yang berpengaruh pada kepribadian adalah
pengalaman dan lingkungan keluarga. Kepribadian pada masa anak-anak
sangat dipengaruhi oleh keluarga terutama pada masa bayi (antara usia 0-2
tahun) bahkan pada usia 2-6 tahun inilah disebut-sebut sebagai masa paling
baik untuk membentuk kepribadian. Meski nantinya pada akhir ketika anak
sudah tumbuh menjadi remaja kepribadian selalu bereaksi terhadap
pengalaman-pengalaman baru menurut pihak kematangan atau kecerdasan
tempramennya, tetapi meski demikian reaksi tersebut akan berubah oleh
interaksinya dengan orang tua dan lingkungan keluarganya.
Faktor ketiga yang sangat mempengaruhi pada pembentukan dan
perkembangan kepribadian adalah faktor kebudayaan. Pada umumnya anak
memiliki kecenderungan untuk meniru orang tuanya. Melalui peniruan ini
anak menyerap sifat-sifat kepribadian dan tidak sedikit menjadi model yang
ditiru secara utuh. Inilah awal dari kebudayaan mempengaruhi kepribadian.
Kebudayaan dipandang sebagai hal yang dapat mempengaruhi kepribadian
selama kebudayaan itu berlangsung secara terus-menerus dalam waktu lama.
(Azhari: 2000, 167,169). Sementara itu kepribadian yang sehat menurut
Maslow dalam Kartono et al. (1989, 8-10) menyatakan bahwa:
a. Memiliki rasa aman yang tepat: mampu berkontak dengan orang lain
dalam bidang kerja, di tengah pergaulan dan dalam lingkungan keluarga.
b. Memiliki penilaian diri dan wawasan yang rasional, dengan
rasa harga diri yang cukup dan tidak berlebihan.
c. Memiliki spontanitas dan emosionalitas yang tepat.
d. Mempuinyai kontak degngan realitas secara efsien, tanpa ada
fantasi dan angan-angan yang berlebihan.
e. Memiliki dorongan dan nafsu-nafsu jasmaniah yang sehat, dan
mampu memuaskan dengan cara yang sehat, teapi dia tidak
bisa diperbudak oleh nafsunya.
f. Mempnyai pengetahuan diri yang cukup, dengan motif-motif
hidup yang sehat dan kesadaraan yang tinggi.
g. Memiliki tujuan hidup yang tepat, yang bisa dicapai dengan
kemampuan sendiri.
h. Memiliki kemampuan belajar dari pengalaman hidupnya.
i. Ada kesanggupan untukl memuaskan tuntutan-tuntutan dan
kebutuhan-kebutuhan kelompoknya.
j. Ada sikap emansipasi yang sehat terhadap kelompoknya, tetapi
dia memiliki individualitas yang khas.
k. Ada integrasi dalam kepribadiannya, yaitu kebulatan, unsur
jasmani dan rohaninya.
2. Kepribadian Muslim
Dalam Al-Qur’an manusia secara akidah terbagi menjadi tiga
golongan yaitu mu’min (beriman), kafir, dan munafik. Antara ketiga golongan
ini manusia memiliki sifat utama yang membedakan antara golongan satu
dengan golongan yang lainnya. Pembagian ini sangat mempengaruhi
pembentukan kepribadian manusia, membentuk sifat-sifat yang khas dengan
mengarahkan tingkah laku kepada suatu arah tertentu. Dalam Al-Qur’an
diuraikan faktor utama dalam menilai kepribadian adalah dengan melihat
akidahnya. Dalam hal ini penulis membatasi penjelasan hanya pada orang-
orang yang beriman.
Orang-orang yang beriman (muslim) banyak disebut Allah dalam
banyak ayat dalam sebagian besar Al-Qur’an sebagai orang yang senang
beribadah baik hubungan dengan keluarga, masyarakat, cinta pada ilmu
pengetahuan, dalam mencari rizki. Sifat orang beriman menurut Najati (1985,
255-260) menyatakan bahwa kepribadian orang-orang yang berkepribadian
muslim dapat diklasifikasikan dalam bidang perilaku yang pokok:
a. Sifat yang berkenaan dengan akidah yaitu beriman pada Allah, para Rasul,
Kitab, Malaikat, hari akhir, kebangkitan dan perhitungan, surga dan
neraka, hal yang gaib, dan qadar. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah
dalam surat Al-Baqarah ayat 285:
Artinya: ” Rasul telah beriman pada Al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman, semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya(mereka mengatakan) ”kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun(dengan yang lain) dari Rasul-rasul-nya” ampunilah kami ya Tuhan dan kepada engkau kami kembali”. (Depag: 1989, 72).
b. Sifat yang berkenaan dengan ibadah yaitu menyembah Allah,
melaksanakan kewajiban-kewajiban sholat, berpuasa, zakat, haji, berjihad
di jalan Allah, memohon ampun kepada-Nya, berserah diri, dan membaca
al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan Al-Qur’an surat Al-Bayyinah ayat 5:
Artinya: ”Padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dengan lurus dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat dan demikian itulah agama yang lurus”. (Depag: 1989, 1084).
c. Sifat yang berkenaan dengan hubungan sosial yaitu: bergaul dengan orang
lain, dermawan dan suka berbuat kebajikan, suka bekerja sama dan lain-
lain.
d. Sifat yang berkenaan dengan hubungan kekeluargaan yaitu: berbuat baik
kepada orang tua dan kerabat, pergaulan yang baik antara suami dan
isteri. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Bani isra’il ayat 23:
Artinya: ”Dan Tuhamu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia. Dan Tuhanmu memerintahkan hendaklah kau berbuat baik kepada Ibu Bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah satu dari keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ”ah”. Dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka ucapan yang baik”. (Depag:1989, 427).
e. Orang-orang yang memiliki kepribadian muslim dalam hidupnya mereka
memiliki sifat sabar, lapang dada, lurus, adil melaksanakan, menepati
janji, merendahkan diri, menjauhi dosa, teguh dalam melaksanakan
kebenaran, dan mengendalikan hawa nafsu.
f. Orang-orang yang memiliki kepribadian muslim mereka memiliki rasa
cinta pada Allah, takut akan azab, tidak putus asa, serta berbuat kebajikan
kepada sesama.
g. Orang-orang yang memiliki kepribadian muslim mereka selalu segala
sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Diantaranya mereka memikirkan alam
semesta, memikirkan ciptaan Allah, selalu menuntut ilmu, tidak
mengikuti sesuatu yang masih ragu, teliti dalam meneliti suatu realitas,
bebas dalam berfikir dan berakidah.
h. Orang-orang yang memiliki kepribadian muslim dalam hidupnya mereka
sangat profesional diantaranya: mereka tulus dalam bekerja dan
menyempurnakan pekerjaan tersebut, serta bekerja dengan giat dalam
upaya memperoleh rizki.
i. Orang-orang yang memiliki kepribadian muslim mereka memiliki fisik
kuat, sehat, bersih, dan suci dari najis.
Kepribadian muslim tidak terlepas dari sifat-sifat tersebut. Tetapi,
sifat-sifat tersebut saling berinteraksi dan saling menyempurnakan. Oleh
karena itu tingkah laku seorang muslim selalu tampak bersih, serasi baik
dalam hubungan dengan Tuhannya ataupun dengan orang lain. Sifat-sifat
yang berkenaan dengan akidah mempunyai peran utama dalam mengarahkan
tingkah laku seseorang dalam kehidupannya. Seorang mu’min yang kuat,
bertaqwa kepada Tuhannya, maka hubungan antara dirinya sendiri dan orang
lain ia selalu akan mencari ridho Allah dan mengharapkan pahalanya, takut
akan amarah dan azabnya. Sehingga pengendalian dirinya sikapnya yang baik
pada orang lain dan kecintaannya, berbuat kebajikan kepada mereka semua
dan ketulusannya dalam bekerja semuanya merupakan ibadah bagi-Nya.
(Najati: 1985, 260).
3. Proses Pembentukan Kepribadian Muslim
Menurut Marimba (1989, 77-80) bahwa proses terbentuknya
kepribadian muslim terdiri atas tiga tahapan tersebut penulis jabarkan sebagai
berikut:
a. Pembiasaan.
Pembiasaan ini sesuai dengan salah satu dasar perkembangan
manusia. Pembinaan yang lebih banyak memerlukan tenaga kepribadian yang
lebih rendah (jasmaniah) akan lebih mudah dan lebih dahulu dapat mulai
dilaksanakan daripada tenaga-tenaga yang lebih tinggi (rohaniah). Tujuannya
terutama membentuk aspek jasmaniah dari kepribadian atau memberi
kecakapan berbuat dan mengucapkan sesuatu dengan mengontrol dan
mempergunakan tenaga-tenaga jasmaniah dan dibantu tenaga-tenaga
kejiwaan.
b. Pembentukan pengertian, sikap dan minat.
Pengetahuan tentang amalan-amalan yang dikerjakan dan diucapkan
dalam taraf ini perlu ditanamkan dasar-dasar kesusilaan yang rapat
hubungannya dengan kepercayaan. Hal ini perlu mempergunakan tenaga-
tenaga kejiwaan: karsa, rasa, dan cipta, dimana dasar-dasar tersebut dalam
pembinaan Islam meliputi:
1). Mencintai Allah.
2). Mencintai dan membenci karena Allah.
3). Mencintai Rasul.
4). Ikhlas dan benar.
5). Taubat dan sabar.
6). Takut akan Allah.
7). Berharap pada Allah.
8). Bersyukur dan menepati janji.
9). Tawakal dan ridho pada qadla.
10). Menjauhi ’ujub dan takabur.
11). Mengharap rahmat dan syafaat.
12). Menjauhkan dendam, dengki, marah, tipuan.
13). Suka memberi maaf.
c. Pembentukan kerohanian yang luhur.
Dalam taraf ketiga ini dengan cara menanamkan kepercayaan yang
tercakup dalam rukun iman. Dalam pembentukan ini tenaga budi dan tenaga
kejiwaan sebagai pencapaiannya bisa terjadi setelah kedewasaan rohaniah
tercapai.
C. Bimbingan Dan Konseling Islam
Bimbingan dan konseling Islam merupakan proses pemberian bantuan
kepada individu agar mampu hidup selaras dengan petunjuk Allah sehingga
dapat mencapai kehidupan dunia dan akhirat (Rakhim: 2001, 4).
Sedangkan menurut Hallen (2002, 23) bimbingan dan konseling Islam
adalah usaha membantu indiividu dalam menanggulangi penyimpangan
perkembangan fitrah beragama yang dimilikinya, sehingga ia kembali
menyadari perannya sebagai khalifah di bumi dan berfungsi untuk mengubah
atau mengabdi kepada Allah yang pada akhirnya tercipta hubungan yang baik
dengan Allah, manusia dan alam semesta.
Menurut Hasanah (2004, 48) bimbingan dan konseling Islam
merupakan proses pemberian bantuan kepada individu baik yang sedang
mengalami masalah dengan cara yang mandiri, individu mampu dan memiliki,
agar supaya senantiasa selaras dengan petunjuk Allah, sehingga dengan cara
yang mandiri individu mampu memecahkan masalahnya serta mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dengan demikian dapat dikatakan yang dimaksud dengan Bimbingan
dan Konseling Islam adalah proses pemberian bantuan pada klien dengan
mengembangkan potensi yang ada pada dirinya sehingga ia mampu hidup
selaras dengan petunjuk Allah, sehingga pada tahapan selanjutnya klien
tersebut dapat mandiri dan mampu memecahkan masalah pada dirinya sesuai
dengan Al - Quran dan sunah rasul untuk mencapai kebahagiaan hidup dunia
dan akhirat.
1. Asas-asas Bimbingan dan Konseling Islam.
Menurut Hallen (2002, 63-74) menyatkan bahwa asas-asas Bimbingan
dan Konseling Islam terdiri atas:
a. Asas kerahasiaan.
Apapun yang terjadi pembicaraan antara konselor dan klien yang terjadi
dalam proses wawancara konseling kerahasiaannya perlu dijaga dan dihargai.
Demikian pula catatan-catatan yang dibuat sewaktu maupun sesudah
wawancara konseling perlu disimpan dengan baik dan dijaga kerahasiaannya.
Hal ini sebagai firman Allah alam surat Al-Mu’minun ayat 8:
Artinya: Dan orang-orang yang memelihara amanat(yang dipikulnya) dan janjinya. (Depag: 1989, 527).
b. Asas kesukarelaan.
Dalam proses konseling tidak pernah ada keterpaksaan baik yang
dialami oleh klien maupun konselor oleh karena itu perlu diadakannya kerja
sama antara konselor dan klien sehingga tercipta suasana yang sukarela bukan
keterpaksaan.
c. Asas keterbukaan.
Antara konselor dan klien harus ada sikap saling membuka diri, tidak
dibuat-buat sehingga apa yang menjadi proses bimbingan dan konseling dapat
tercapai dengan baik.
d. Asas kekinian.
Masalah yang dihadapi oleh klien bisa terjadi pada masa lalu sekarang
dan masa yang akan datang sehingga ia lupa apa yang harus ia kerjakan
dengan hal ini maka konselor diharapkan mampu mmemecahkan masalah
yang dihadapi oleh klien pada saat sekarang.
e. Asas kemandirian.
Pada tahap awal konseling, biasanya klien lebih tampak tergantung
kepada konselor hal ini karena konselor selalu menanggapi dan merespon
apapun yang terjadi pada klien. Oleh karena itu konselor harus menumbuhkan
sikap kemandirian yang ada pada diri klien.
f. Asas kegiatan.
Dalam proses kegiatan ini konselor diharapkan mampu memberikan
tugas-tugas kepada klien yang tugas-tugas tersebut oleh klien harus
diselesaikan demi terciptanya tujuan bimbingan dan konseling yang telah
ditetapkan.
g. Asas kedinamisan.
Keberhasilan usaha pelayanan dan bimbingan konseling ditandai dengan
perubahan sikap dan tingkah laku klien ke arah yang lebih baik, oleh karena
itu perlu adanya kerja sama antara konselor dan klien secara dinamis sehingga
dapat menimbulkan sikap yang lebih baik pada diri klien
h. Asas keterpaduan.
Konselor harus pandai menjalin kerjasama dan saling mengerti serta
saling membantu demi terbentuknya penyelesaian masalah klien.
i. Asas kenormatifan.
Disadari atau tidak bahwa konselor dalam proses bimbingan dan
konseling akan menyertakan norma-norma yang dianutnya dalam hubungan
konseling, baik secara langsung atau tidak. Tetapi harus diingat bahwa
konselor tidak boleh memaksakan nilai-nilai atau norma-norma yang ia anut
pada klien.
j. Asas keahlian.
Untuk menjamin keberhasilan usaha bimbingan dan konseling maka
para konselor harus medapatkan pendidikan dan pelatihan yang memadahi.
Pengetahuan, keterampilan, sikap dan kepribadian yang ditampilkan oleh
konselor akan menunjang hasil konseling.
k. Asas alih tangan.
Berhubung masalah yang dihadapi klien adalah unik disamping
pengetahuan dan keterampilan yang dimilki oleh konselor juga terbatas ada
kemungkinan bahwa masalah yang dihadapi oleh konselor belum dapat diatasi
oleh konselor tersebut oleh karena itu dalam hal ini konselor perlu mengalih
tangankan klien kepada konselor yang lain yang lebih ahli sehingga masalah
klien bisa terpecahkan. Bahkan menurut Prayitno seperti yang dikutip oleh
Hallen (2002) menyatakan bahwa pengalihtanganan seperti ini adalah wajib
artinya masalah klien tidak boleh terkatung-katung oleh konselor yang
terdahulu.
l. Asas tut wuri handayani.
Sebagai mana diketahui bahwa proses bimbingan dan konseling
merupakan kegiatan yang harus dilakukan secara sistematika dan berencana,
sengaja, terus-menerus dan terarah kepada satu tujuan. Oleh karena itu
pelayanan dan bimbingan konseling tidak hanya dirasakan adanya pada saat
klien mengalami masalah dan dihadapkan pada konselor saja. Kegiatan
bimbingan dan konseling harus senantiasa diikuti terus-menerus dan aktif
sampai sejauh mana klien telah mencapai tujuan yang ditetapkan.
2. Fungsi dan Tujuan Bimbingan dan Konseling Islam
Secara umum bimbingan dan konseling memiliki tiga fungsi yaitu
fungsi preventif, kuratif, dan developmental. Fungsi preventif bimbingan dan
konseling dapat menghasilkan atau terhindarnya klien dari berbagai macam
permasalahan yang mungkin timbul yang dapat mengganggu, menghambat
atau menimbulkan kesulitan, kerugian-kerugian tertentu dalam proses
perkembangan yang sedang atau sudah dialami oleh klien. (Hallen: 2002, 60).
Fungsi kuratif atau teraputik, maksudnya melalui pelayanan secara
kuratif ini bimbingan dan konseling diharapkan akan menghasilkan
teratasinya masalah yang dialami oleh klien, dalam usahanya membantu
memecahkan berbagai masalah klien. Baik secara sifat atau bentuknya
(Rakhim: 2001, 6).
Fungsi developmental atau pengembangan atau pemeliharaan, dengan
fungsi ini diharapkan akan menghasilkan terpilihnya dan terbentuknya
berbagai macam potensi dan kondisi ke arah yang lebih baik. Klien dalam
rangka perkembangannya secara terarah, mantap, dan berkelanjutan. Dalam
hal ini yang sudah dianggap baik agar dijaga tetap baik dan dimantapkan
sehingga diharapkan klien dapat mencapai perkembangan secara optimal
(Hallen: 2001, 63).
Sedangkan tujuan dari bimbingan dan konseling Islam adalah
terwujudnya diri sebagai manusia yang utuh sehingga dapat mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. (Musnamar: 1992, 33).
D. Dakwah
Pengertian, fungsi dan tujuan dakwah
Menurut Sanwar (1984, 3) menyatakan bahwa dakwah adalah suatu
usaha dalam proses islamisasi manusia agar taat dan tetap menaati ajaran
islam guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak.
Fungsi dari dakwah adalah menyampaikan ajaran islam yang telah
diturunkan oleh Allah kepada Rasululah bagi umat manusia, seluruh alam,
memelihara ajaran tersebut dan mempertahankannya.
Sedangkan menurut Tasmara (1997, 38) menyatakan bahwa dakwah
adalah suatu proses penyampaian pesan-pesan berupa ajaran islam secara
persuasif dengan harapan agar komunikan dapat bersikap dan berbuat amal
sholeh sesuai dengan ajaran islam.
Sementara menurut Sulthon (2003, 16) menyatakan bahwa dakwah
adalah usaha aktifitas yang berorientasi pada pengembangan masyarakat
muslim antara lain dalam bentuk peningkatan kesejahteraan sosial.
Berdasar pada pengertian di atas maka dapat dikatakan bahwa dakwah
adalah aktifitas yang berorientasi pada pengembangan masyarakat islam yang
disampaikan melalui pesan-pesan berupa ajaran islam yang secara persuasif
supaya manusia itu taat dan tetap menaati ajaran islam guna memperoleh
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Sedangkan tujuan dakwah menurut Tasmara (1997, 48) adalah terjadi
perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan isi dan harapan dari pesan-
pesan dakwah yang disampaikan serta terwujudnya amal soleh yang selaras
dengan Al-Qur’an dan Sunah.
Unsur-unsur dakwah
a. Dai atau subyek dakwah
Adalah pelaksana dari kegiatan dakwah baik secara perseorangan atau
individu secara bersama-sama terorganisasikan. Dai adalah juru dakwah yang
menjadi dai adalah setiap muslim laki-laki, wanita yang baligh, berakal,
ulama, atau bukan ulama (Sanwar: 1984, 40-44).
Sifat-sifat kesempurnaan dai:
1). Wara’ adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang menimbulkan prasangka.
2). Cinta perdamaian yaitu membalas kejahatan dengan kebaikan dan
memerangi bidh’ah serta kemungkaran dengan hikmah kebijaksanaan serta
nasihat yang baik.
3). Berbudi pekerti dengan sifat-sifat yang terpuji.
4). Mencintai tugas dan kewajibannya serta melaksanakannya dengan penuh
ketaatan pada Allah.
5). Selalu mendekatkan diri pada Allah.
b. Mad’u (penerima dakwah)
Adalah seluruh umat manusia tanpa terkecuali, pria, wanita, beragama
atau belum beragama bail pemimpin maupun rakyat biasa. Sanwar (1987, 66).
Menurut Solahudin Sanusi dalam Sanwar (1987, 72-73) membagi
mad’u menjadi beberapa golongan diantaranya :
1). Secara biologis melihat struktur masyarakat terdiri atas jenis kelamin dan
umur manusia.
2). Secara geografis yaitu melihat masyarakat bedasarkan pada daerah.
3). Secara ekonomi terbagi atas tingkat kekayaan dan pendapatan.
4). Secara agama terdiri atas agama islam, non islam atau yang belum
beragama.
5). Berdasarkan pendidikan yaitu pendidikan tinggi, menengah atau rendah.
6). Berdasarkan pada pekerjaan yaitu buruh, petani, pegawai, seniman dan
militer.
7). Secara kelompok terdiri atas:
a). Secara primer yaitu keluarga, tetangga, dan juga teman
sepermainan.
b). Secara sekunder terjadi karena bersamaan tujuan atau kepentingan
yaitu petani, buruh dan pengusaha.
c). Secara tersier terjadi karena kebetulan dan bersifat sementara
misalnya tim sepakbola.
c. Materi dan metode dakwah
Materi yang digunakan dalam dakwah adlah al-islam yang bersumber
pada Al-Qur’an dan Hadist yang melipuri akidah, sari’ah, akhlak dan berbagai
macam ilmu yang diperoleh darinya. (Bachtiar: 1997, 33-34).
Metode yang digunakan dai dalam menyampaikan dakwah guna
mencapai tujuan dakwah berdasarkan pada Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125
maka dapat dibagi menjadi berikut:
1. Al-Hikmah
Yaitu metode dakwah yang pada intinya merupakan penyeruan atau
ajakan dengan cara bijak, filosofis, argumentatif, dilakukan dengan adil dan
penuh kesadaran serta ketabhana sesuai dengan Al-Qur’an.
2. Mauidzah Al-Hasanah
Metode ini diarahkan terhadap mad’u yang kapasitas intelektualnya
tergolong awam. Dalam hal ini peran dai adalah sebagai pembimbing, teman
dekat yang memberikan segala hal yang bermanfaat serta membahagiakan
mad’u.
3. Wajadilhum bi-al lati hiya ahsan
Metode ini digunakan dalam upaya dakwah melalui bantahan, diskusi
dengan cara terbaik, sopan santun, saling menghargai dan tidak arogan.
Metode ini ditujukan sebagai reaksi alternatif dalam menjawab tantangan dan
respon negatif dari mad’u khususbnya sebagai sasaran yang menolak, tidak
perduli atau bahkan melecehkan seruan (Mukhidin et al.:2002, 80-82).
Berdasarkan pada ketiga metode di atas maka timbul metode-metode
operasionalisasinya, yang menurut Bachtiar (1997, 34-45) yang terdiri atas
beberapa hal diantaranya:
1). Secara lisan yang termasuk dalam hal ini adalah ceramah, seminar,
simposium, diskusi, khutbah dan lain-lain.
2). Secara tulisan yang termasuk dalam hal ini adalah buku-buku,
majalah, surat kabar lukisan dan lain-lain.
3). Bil hal yang termasuk dalam hal ini adalah perilaku dai yang
ditunjukkan dalam perilaku sehari-hari yang sesuai dengan ajaran
islam.
4). Secara seni yang termasuk dalam hal ini meliputi seni lukis, tari,
suara dan lain-lain.
BAB III
KONSEP AKTUALISASI DIRI DAN PEMBENTUKAN
KEPRIBADIAN ABRAHAM MASLOW
A. BIOGRAFI ABRAHAM MASLOW
Abraham Maslow dilahirkan di Brooklyn, New york, pada tanggal 1
april 1908. Orang tuanya adalah imigran Yahudi Rusia yang pindah ke
Amerika Serikat dengan tujuan memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Sebagai anak tertua dari 7 bersaudara, Maslow oleh orang tuanya didorong
agar mencapai keberhasilan dalam pendidikan. Hal ini menjadikan Maslow
kesepian pada masa kanak-kanak dan remaja. Tentang perlakuan orang tuanya
berikut akibatnya Maslow menulis: ” jika mengingat masa kanak-kanak saya,
cukup menggirangkan bahwa saya tidak menjadi psikotik. Saya adalah anak
yahudi ditengah-tengah anak non yahudi. Di sekolah saya diberlakukan sama
dengan perlakuan yang diperoleh anak-anak negro, terisolasi dan tidak
bahagia. Pendek kata saya tumbuh di perpustakaan diantara buku-buku, tanpa
teman”.
Diduga bahwa hasrat Maslow untuk menolong orang lain agar bisa
hidup dalam kehidupan yang lebih kaya (lebih bermakna) berasal dari
hasratnya untuk memperoleh kehidupan yang kaya yang tidak ia peroleh pada
masa mudanya.
Karena desakan ayahnya, Maslow pada mulanya memilih hukum
sebagai bidang studinya di City College, New York. Tetapi baru 2 minggu
kuliah Maslow pindah ke Universitas Cornell, dan tak lama kemudian pindah
ke Universitas Wisconsin, dengan bidang psikologi sebagai pilihannya, disini
ia memperoleh gelar sarjana muda pada tahun 1930, sarjana penuh pada tahun
1931 dan meraih doktor pada tahun 1934. pada waktu masih kuliah Maslow
menikah dengan Bertha Goodman.
Maslow memutuskan untuk belajar psikologi terutama karena
pengaruh behaviorisme Watson. Bagi Maslow saat itu, behaviorisme
merupakan sesuatu yang menarik, dan dengan mengikuti program-program
yang diadakan oleh Watson, Maslow berharap bisa mengubah dunia.
Disamping Watson tokoh yang dikagumi dan diikuti Maslow adalah
Koffka, tokoh psikologi gestalt; Dreisch, tokoh terkemuka dalam bidang
biologi; Moklejohn seorang tokoh ahli filsafat. Tetapi ketiga orang tersebut
tidak ia jumpai, karena mereka hanya guru besar tamu. Untuk mengobati
kekecewaannya Maslow menyusun disertasi dibawah bimbingan Harry F.
Harlow.
Maslow mengawali karier akademis dan profesionalnya dengan
memegang jabatan sebagai asisten instruktur psikologi di Universitas
Wisconsin (1930-1934), sebagai staf pengajar (1934-1935). Kemudian
Maslow menjadi staf peneliti di universitas Columbia sampai tahun 1937
disana ia bekerja sebagai asisten Edward L. Thorndike, salah satu tokoh
behaviorisme, setelah itu Maslow menjadi guru besar pembantu di Brooklyn
College, New York sampai tahun 1951. Maslow menyebut New York pada
akhir 1930 an dan awal tahun 1940an ketika ia mengajar disana sebagai pusat
psikologi. Disini ia bertemu dengan tokoh intelektual eropa yang melarikan
diri ke Amerika serikat karena penindasan Hitler. Tokoh-tokoh tersebut
diantaranya. Erich Fromm, Alfred Adler, Karen Horney, Ruth Benedict, dan
Max Wetheimer. Pada tahun 1951 Maslow menjadi kepala Departemen
Psikologi Universitas Brandeis yang dipegang tahun 1961 dalam periode ini
Maslow menjadi juru bicara utama bagi gerakan psikologi humanistik di
Amerika serikat. Pada tahun 1969 Maslow meninggalkan Brandeis dan
menjadi anggota yayasan W.P. Laughlin di Menko Park California.
Maslow menggabungkan diri denghan sejumlah perhimpunan
profesional. Ia menjadi anggota dewan studi psikologi bagi masalah-maslah
sosial, menjadi ketua perhimpunan psikologi negara bagian Massachusetts,
sebagai kepala divisi kepribadian dan psikologi sosial pada perhimpunan
psikologi Amerika (APA), kepala divisi etika, dan akhirnya memegang
jabatan sebagai presiden perhimpunan psikologi Amerika pada tahun 1967-
1968. selain jabatan-jabatan tersebut Maslow menjadi editor pada beberapa
jurnalis psikologi diantaranya, psikologi humanistik dan humanistik
transperonal, serta menjadi editor ahli dalam beberapa penerbitan berkala.
Maslow tertarik pada sikologi pertumbuhan, dan sampai akhir hayatnya
(1970) ia mendukung Essalen Institut di California dan keompok-kelompok
lain yang melibatkan diri dalam gerakan daya manusia. (Koeswara: 1991,
109-115).
Sebagian besar buku Maslow ditulis dalam sepuluh tahun terakhir dari
hidupnya yaitu: Toward a Psychology of Being (1962), Religius and Peack
Experiences (1964), Eupsychian management; a jurnal (1965), The
Psychology of Science; a reconnaissance (1966), Motivasion Personality
(1970), The Father reaches of human nature.
B. PENGERTIAN AKTUALISASI DIRI MENURUT MASLOW
Menurut Abraham Maslow aktualisasi diri merupakan puncak dari
perwujudan segenap potensi manusia di mana hidupnya penuh gairah dinamis
dan tanpa pamrih,konsentrasi penuh dan terserap secara total dalam
mewujudkan manusia yang utuh dan penuh. Orang yang tidak tertekan oleh
perasaan cemas, perasaan risau, tidak aman, tidak terlindngi, sendirian, tidak
dicintai adalah orang yang terbebas dari meta motivasi. (Robert, 1993 : 161).
Menurut Maslow, orang yang mengaktualisasikan dirinya terbagi atas
dua hal yakni antara yang sehat tetapi tidak memiliki pengalaman transedensi
dan orang yang berpendapat bahwa transedensi sangat penting bagi orang
yang ingin mengaktualisasikan diri. Dalam hal ini Maslow memberikan
gambaran para transeder diantaranya adalah:
1. Pengalaman puncak maupun pengalaman-pengalaman datar yang
merupkan aspek kehidupan yang paling penting dan berharga.
2. Mereka berbicara dengan bahasa penyair, mistikus dan lebih baik dalam
mencerna seni, musik, paradok, parabel, dan lain-lain.
3. Mereka terlihat kesakralan dalam semua hal pada tataran praktis sehari-
hari.
4. Mereka cepat akrab dan saling memahami serta mengenal satu dengan
yang lain.
5. Mereka lebih tanggap terhadap penampilan diri.
6. Mereka berpandangan holistik, melampaui perbedaan budaya dan
geografis.
7. Mereka sinergis terhadap apa yang mereka berikan, sehingga apa yang
mereka lakukan bermanfaat untuk diri mereka dan orang lain.
8. Mereka berpenampilan memikat, mengundang kekaguman, sholeh dan
sangat mudah dihormati orang lain.
9. Mereka cenderung sebagai penemu.
10. Mereka melihat kesakralan pada benda hidup.
11. Mereka memiliki rasa kagum dan misteri yang sangat kuat.
12. Mereka cenderung berdamai dengan kesehatan, hal tersebut mereka
lakukan karena mereka memahami bahwa hal tersebut tidak dapat
dihindari dan karena terpaksa.
13. Mereka cenderung memandang diri mereka sebagai penghantar.
14. Mereka tidak mementingkan diri sendiri dan lebih mudah melampaui ego.
(Willcox: 2003, 219, 220).
B. HAMBATAN-HAMBATAN DALAM AKUALISASI DIRI ABRAHAM
MASLOW
Dalam teori Maslow kebutuhan akan aktualisasi diri merupakan
kebutuhan manusia yang paling tinggi. Kebutuhan ini muncul dengan
sendirinya apabila kebutuhannya yang lain sudah terpenuhi dengan baik.
Kebutuhan akan aktualisasi diri adalah tanda (hasrat) dari individu untuk
menyempurnakan dirinya dan menjadi seseorang dengan keinginan dan
potensi yang ada pada dirinya.
Maslow menyatakan bahwa aktualisasi diri bukan hanya
pengungkapan kreasi atau karya atau kemampuan khusus, dengan kata lain
setiap orang mampu mengaktualisasikan dirinya dengan cara melakukan hal
yang terbaik, atau bekerja sebaik-baiknya sesuai dengan bidangnya masing-
masing tidak terlepas apakah dia itu orang tua, buruh, mahasiswa ataupun
dosen bahkan sekretaris. Oleh karena itu bentuk dari aktualisasi diri pada tiap-
tiap individu berbeda-beda.
Lebih lanjut Maslow menyatakan bahwa untuk mencapai taraf
aktualisasi diri tidaklah mudah seperti dalam pencapaian kebutuhan
sebelumnya. Hal ini disebabkan karena upaya dalam pencapaian aktualisasi
diri banyak dipenuhi oleh hambatan-hambatan.
Hambatan-hambatan tersebut antara lain:
1. Berasal dari individu itu sendiri yakni berupa ketidak tahuan, keraguan
bahkan bisa karena ketakutan yang dialami oleh individu itu sendiri.
2. Berasal dari luar atau masyarakat, biasanya berupa kecenderungan untuk
mendispersonalisasikan individu, kerepresian sifat-sifat, bakat, potensi.
Dengan kata lain aktualisasi diri hanya mungkin terjadi apabila kondisi
lingkungan amat mendukung. Tetapi kenyataannya tidak ada satu pun
lingkungan yang menunjang anggota masyarakatnya untuk melakukan
aktualisasi diri walaupun ada anggota masyarakat yang mampu melakukan
aktualisasi diri.
3. Berasal dari pengaruh yang dihasilkan dari kebutuhan yang kuat akan rasa
aman. Maslow menyatakan jika masyarakat mengharapkan lebih banyak
orang yang mampu mengaktualisasikan diri maka haruslah ada perubahan
pada dataran dunia sehingga tercipta kesempatan yang luas bagi orang
untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Yang dimaksud
perubahan disini menurut Maslow adalah perubahan struktur politk,
ketentuan-ketentuan sosial. (Koeswara: 1991, 125-126).
C. PEMBENTUKAN KEPRIIBADIAN MENURUT ABRAHAM MASLOW
Maslow menguji teorinya tentang aktualisasi diri pada 49 orang yang
menurut teori psikologi mereka adalah orang-orang yang ideal. Individu-
individu yang dipelajari oleh Maslow diambil dan diseleksi dari orang-orang
yang terkemuka baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, juga
dari mahasiswa. Menurut Maslow mereka adalah orang-orang yang dalam
hidupnya penuh dalam arti merealisasikan seluruh potensi-potensi yang ada
pada dirinya, dan karenanya mereka mampu mencapai kematangan sejati.
Orang-orang yang menjadi subyek penelitian adalah mereka yang tidak
menunjukkan kecenderungan ke arah neurotik, psikotik, dan gangguan jiwa
lainnya. Maslow membagi subyek-subyek yang telah dipelajari ke dalam
ketiga kategori diantaranya:
1. Fairyly sure cases, yang termasuk ke dalam kategori ini adalah orang-
orang yang pasti dan sungguh-sunguh telah mencapai taraf aktualisasi diri
diantaranya adalah Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, Einstein, dan
Eleamor Roosevelt.
2. Partial cases terdiri atas lima orang kontemporer yang oleh Maslow tidak
disebutkan namanya tetapi patut dipelajari.
3. Potential or possible cases, mereka yang termasuk dalam kategori ini
adalah orang-orang yang menunjukkan hasrat aktualisaasi diri yang kuat
tetapi belum sungguh-sungguh mencapainya, mereka adalah Franklin,
Whitment, G.W. Carver, Renoir, Pablo Casals dan Adlai Stevenson.
Setelah mereka diteliti secara klinis dan dicari kepribadian yang
membedakan antara mereka dengan orang-orang biasa, kemudian kepribadian
itu dijadikan sebagai ciri-ciri atau tolak ukur orang-orang yang telah mencapai
taraf aktualisasi diri. (Hall: 1993, 110 - 111). Inilah ciri-ciri khas mereka:
1. Mengamati Realitas Secara Efisien
Dengan sifat ini menurut Maslow orang yang telah
mengaktualisasikan diri mereka lebih mudah bisa menemukan kebahagiaan
sebab pandangan mereka tidak dicampuri oleh keinginan-keinginan atau
harapan-harapan sehingga mereka bisa cermat dan efsien. Kemampuan seperti
ini meliputi pengamatan pada bidang seni, musik, ilmu pengetahuan, politik,
filsafat dan bidang kehidupan lainnya mereka mampu meramalkan kejadian-
kejadian yang akan datang dengan tepat. Mereka juga tidak dipengaruhi oleh
kecenmasan-kecemasan, prasangka-prasangka atau optimisme dan pesimisme
yang keliru. (Hall: 1993, 111).
2. Penerimaan atas diri sendiri, orang lain dan kodrat.
Orang yang mengaktualisasikan dirinya menaruh hormat pada dirinya
sendiri dan orang lain, mampu menerima kodrat dengan segala kekurangan
dan kelemahannya secara tawakal. Mereka bebas dari perasaan berdosa yang
berlebihan, malu yang tidak beralasan dan cemas yang melemahkan. Maslow
menyatakan hal ni seperti anak-anak yang melihat dunia luas, polos, tanpa
kritik dan tanpa tuntutan-tuntutan. Mereka cenderung melihat kodrat manusia
sebagai mana yang mereka temukan dalam dirinya dan dalam diri orang lain
apa adanya. (Koeswara: 1991, 139).
3. Spontan, sederhana dan wajar.
Tingkah laku orang-orang yang mengaktualisasikan diri adalah
spontan, sederhana dan tidak dibuat-buat serta tidak terikat. Spontanitas,
kesederhanaan, dan sangat wajar itu terjadi sebab tindakan mereka dalam
mengaktualisasikan dirinya memiliki kode etik yang relatif otonom dan
individual. Meski demikian, mereka juga berusaha mengikuti upacara-
upacara adat dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat selama
tidak mengganggu tugas-tugas penting mereka. Selain itu mereka juga
mengikuti aturan-aturan yang ada yang menurut mereka dengan aturan itu
mereka merasa terlindungi. (Koeswara: 1991, 140).
4. Terpusat pada masalah.
Orang yang mengaktualisasikan diri mereka berorientasi pada
masalah-masalah yang melampaui kebutuhan-kebutuhan mereka. Dedikasi
terhadap tugas-tugas atau pekerjaan merupakan bagian dari misi hidup
mereka. Mereka hidup untuk bekerja dan bukan bekerja untuk hidup.
Pekerjaan mereka bersifat alami secara subjektif dan bersifat non personal.
(Koeswara: 1991, 141).
5. Pemisahan diri dan privasi.
Kebutuhan privasi orang-orang yang teraktualisasikan dirinya
melebihi kebutuhan privasi orang biasa (kebanyakan orang) dalam pergaulan
sosial mereka dianggap memisahkan diri, hati-hati, sombong dan dingin. Hal
ini disebabkan mereka tidak membutuhkan orang lain dalam pergaulan biasa,
sehingga mereka sepenuhnya percaya pada potensi-potensi yang mereka
miliki. Selain itu, orang-orang yang mengaktualisasikan dirinya mereka
mempunyai kemampuan konsentrasi yang kuat dari kebanyakan orang
(Koeswara: 1991, 139).
6. Kemandirian dari kebudayaan dan lingkungan.
Orang-orang yang mengaktualisasikan diri menjadikan mereka
memiliki kadar arah yang tinggi. Mereka memandang diri mereka sebagai
agen yang merdeka, aktif, bertanggung jawab, dan agen yang mendisiplinkan
diri dalam menentukan nasibnya sendiri. Mereka cenderung menghindarkan
diri dari penghormatan status, prestice, dan popularitas. Kepuasan yang
berasal dari luar diri itu mereka anggap kurang penting ketimbang
pertumbuhan diri. (Hasyim: 2002, 92).
7. Kesegaran dan apresiasi.
Menurut Maslow, mereka yang menghargai hal-hal yang pokok dalam
kehidupanya dengan rasa kagum, gembira bahkan heran, walaupun hal-hal
tersebut bagi orang lain terasa membosankan. Dengan kata lain orang yang
mengaktualisasikan diri dalam kehidupanya rutin akan tetap merasakan
fenomena yang baru dengan penuh keharuan dan kesegaran apresiasi.
(Hasyim: 2002, 93).
Meski demikian, menurut Maslow terdapat perbedaan antara subyek-
subyek yang menjadi penelitian Maslow dalam menyangkut obyek-obyek
yang mereka pandang indah dan mengharukan serta menggembirakan.
Misalnya salah satu obyek tertarik pada anak-anak sedang yang lainnya
memandang alam dan karya seni sebagai penimbul pesona. Walaupun
demikian antara obyek-obyek yang berbeda itu para subyek yang memperoleh
berkah yang sama yakni ilham dan kekuatan. (Hasyim: 2002, 93).
8. Pengalaman puncak atau pengalaman mistis.
Menurut Maslow, orang yang mengalami aktualisasi diri pada
umumnya mengalami apa yang disebut sebagai pengalaman puncak atau
pengalaman mistis. Menurut Maslow pengalaman puncak tidak perlu berupa
pengalaman keagamaan atau spiritual, sebab hal itu bisa saja dialami melalui
buku-buku, musik dan kegiatan-kegiatan aktual. Orang-orang yang
mengalaminya merasakan diriya selaras dengan dunia, lupa akan dirinya dan
bahkan melampauinya, juga merasakan silih berganti rasa kuat dan rasa lemah
dari sebelumnya (Hasyim: 2002, 96).
9. Minat sosial.
Menurut Maslow, orang-orang yang mangaktualisasikan dirinya
mereka selalu simpatik pada orang lain walaupun bagaimana bodohnya
seseorang itu. Walaupun orang-orang yang mengaktualisasikan diri kadang
merasa terganggu, sedih, marah oleh kecacatan sesamanya. Maslow
mencontohkan hal ini seperti hubungan saudara; meski saudaranya lemah,
bodoh atau jahat mereka memiliki hasrat yang tulus untuk membantu
memperbaiki sesamanya. (Iman: 1994, 96).
10. Hubungan antar pribadi.
Menurut Maslow, orang-orang yang mengaktualisasikan diri
cenderung memiliki hubungan antar pribadi dibanding kebanyakan orang.
Mereka cenderung membangun hubungan yang dekat dengan orang-orang
yang memiliki kesamaan karakter, kesanggupan dan bakat yang biasanya
dianggap persahabatan yang relatif kecil. (Iman: 1994, 96).
Maslow menyatakan, subyeknya tabu untuk minta dikagumi, mencari
pengikat, pengabdi, dan bila dipaksa masuk dalam pergaulan yang
menyulitkan, mereka tetap tenang dan berusaha menghindari sebisanya. Hal
ini tidak berarti bahwa mereka tidak memiliki diskriminasi sosial. Hal ini
terbukti ketika mereka bisa menjadi kasar apabila berhadapan dengan orang-
orang sombong dan munafik. (Iman: 1994, 96).
11. Berkarakter demokratis.
Menurut Maslow, orang-orang yang mengaktualisasikan diri memiliki
karakter demokrasi yang lebih baik. Mereka mampu belajar dari siapa saja
yang bisa mengajar tanpa memandang derajat, pendidikan, usia, ras atau
keyakinan politik, bukan berarti orang yang mengaktualisasikan diri
menyamaratakan semua orang. (Iman: 1994, 98).
Orang yang mengaktualisasikan diri adalah mereka yang elit dan
memilih persahabatan secara elit. Elit disini adalah elit dalam karakter,
kesanggupan, bakat dan bukan elit dalam keturunan ras, darah, nama
keluarga, usia, kemasyuran atau jabatan. Mereka menaruh hormat kepada
semua orang karena condong hormat semata-mata karena mereka adalah
individu yang manusiawi. Mereka tidak pernah berusaha merendahkan,
mengurangi arti atau merusak martabat orang lain meskipun mereka penjahat.
(Iman: 1994, 98).
12. Perbedaan antara cara dan tujuan.
Ciri lain yang terdapat pada orang-orang yang mengaktualisasikan diri
menurut Maslow adalah orang yang mampu membedakan antara cara dan
tujuan. Mereka biasanya terpusat pada tujuan mereka, sehingga dengan
tindakan itu mereka sering dapat menikmati perjalanan ke suatu tujuan
maupun tibanya di tujuan itu. Dengan kata lain orang yang
mengaktualisasikan diri bisa menjadikan kegiatan yang paling kecil menjadi
kegiatan yang menyenangkan. (Iman: 1994, 99).
13. Rasa humor yang filosofis.
Ciri lain orang yang mengaktualisasikan diri menurut Maslow adalah
mereka yang memiliki rasa humor yang filosofis. Kebanyakan orang
menyukai humor yang bertolak dari kelemahan dan penderitaan orang lain
dengan tujuan untuk mengejek atau menertawakan oarang lain. Dengan rasa
humornya yang filosofis orang-orang yang mengaktualisasikan diri menyukai
humor yang mengekspresikan kritik atas kebodohan, kelancangan atau
kecurangan manusia. Rasa humor yang filosofis, memancing senyum daripada
tertawa. (Hall: 2001, 111).
14. Kreatifitas.
Menurut Maslow, kreatifitas yang dimiliki orang yang
mengaktualisasikan diri adalah bentuk tindakan asli, naïf dan spontan seperti
yang dijumpai pada anak-anak yang masih polos dan masih jujur. Bentuk
kreatifitas ini umumnya digunakan dalam bentuk kegitan-kegiatan seni, dan
ilmu pengetahuan. Kreatifitas tidak harus berupa penciptaan karya ilmiah
yang berat dan serius tetapi bisa juga berupa penciptaan sesuatu yang
sederhana. Pada dasarnya, kreatifitas berkisar pada daya temu dan penemuan
hal-hal baru yang menyimpang dari gagasan lama. (Hall: 2001, 112).
15. Penolakan enkulturasi.
Ciri terakhir dari orang yang mengakualisasikan diri menurut Maslow
adalah mereka yang otonomi yang berani membuat keputusan sendiri,
meskipun berbeda dengan pendapat umum. Hal ini bukan berarti mereka
pembangkang tetapi ini adalah usaha untuk mempertahankan sesuatu dan
tidak terlalu terpengaruh oleh keadaan masyarakat. Tetapi merekapun bisa
meninggalkan kepatuhan mereka pada kebiasaan-kebiasaan yang ada pada
lingkungan. Mereka akan dengan mudah meninggalkannya apabila dengan
adanya kepatuhan itu mengganggu atau terlalu mahal untuk dipertahankan.
(Koeswara: 1991, 146).
Dengan demikian, apabila ciri-ciri tersebut dipenuhi oleh orang-orang
yang mencapai taraf aktualisasi diri maka menurut para psikolog mereka
adalah termasuk yang super dan ajaib. Tetapi hal ini oleh Maslow ditolak
dengan keras dengan menyataklan bahwa mereka bukan manusia sempurna,
mereka bisa marah, tersinggung, keliru, dan tidak luput dari kebiasaan-
kebiasaan buruk lainnya. Mereka juga mengalami kebekuan hati bila
dihadapkan pada kesulitan pribadi. (Hall: 2001, 112).
BAB IV
AKTUALISASI DIRI MASLOW DAN PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN:
PERSPEKTIF BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
Analisis yang akan penulis lakukan berikut ini secara sistematis
tersusun berdasarkan urutan pandangan-pandangan Maslow mengenai ciri
aktualisasi diri yang efektif. Kemudian ciri-ciri itu akan penulis lihat dari
perspektif bimbingan dan konseling islam yang tujuan akhirnya adalah
pembentukan kepribadian muslim yang efektif.
Apabila dicermati konsep aktualisasi diri yang diungkapkan oleh
Maslow memiliki kesamaan dengan konsep aktualisasi diri Goldstein.
Menurut Maslow setiap orang dapat mengaktualisasikan dirinya dengan jalan
melakukan hal yang terbaik atau bekerja sebaik-baiknya menurut bidangnya
masing-masing. Dengan kata lain yang disebut aktualisasi diri oleh Maslow
bukan hanya pengungkapan kreasi atau karya-karya seseorang atau
kemampuan khusus dari seseorang.
Hal ini menurut Goldstein dicontohkan bahwa aktualisasi diri dari
orang yang lapar adalah makan, apabila ia haus akan kekuasaan maka ia akan
mengaktualisasikan dirinya dengan memperoleh kekuasaan. Dengan kata lain
bahwa aktualisasi diri adalah kecenderungan kreatif dari kodrat manusia. Hal
ini merupakan prinsip dari kodrat manusia yang menjadi penyebab organisme
dapat memiliki kepribadian berkembang secara sempurna. (Hall, 2001: 82).
Dengan demikian untuk mengetahui apakah seseorang itu telah
mencapai aktualisasi maka harus diketahui apa yang disenangi dan apa yang
mereka kerjakan serta bakat apa yang mereka senangi. Sedangkan hal ini tidak
terlepas dari lingkungan apakah lingkungan itu mendukung atau tidak untuk
proses aktualisasi diri. (Hall, 2001: 84).
Selain Goldstein, Rogerspun sependapat dengan Maslow dimana
seseorang atau organisme dalam mengaktualisasikan dirinya sangat
dipengaruhi oleh garis-garis hereditas. Ketika organisme itu matang maka ia
makin berdeferensiasi. Makin luas, makin otonom dan tersosalisasikan. Hal
ini akan tampak jelas apabila diamati dalam jangka waktu yang lama.
Seseorang menurut Rogers tidak dapat mnegaktualisasikan dirinya jika tidak
dapat membedakan antara cara-cara progresif dan regresif. (Hall, 2001: 25).
Hal ini senada dengan Zuhairini (2000:188) yang dimaksud dengan
aktualisasi diri adalah bila manusia itu mampu berkembang secara sempurna
dengan cara yang semaksimal mungkin, sebab aktualisasi merupakan bentuk
kepribadian yang memiliki karakteristik yang unik.
Ciri-ciri kepribadian yang diungkapkan oleh Maslow merupakan ciri-
ciri kepribadian yang sama seperti yang dikatakan oleh Murray (Hall, 2001:
25) dimana fungsi dari kepribadian tersebut adalah menata atau mengarahkan
individu yaitu dari mengintegrasikan konflik-konflik dan rintangan-rintangan
yang dihadapi individu, memuaskan individu dan menyusun rencana-rencana
untuk mencapai tujuan-tujuan dimasa mendatang.
Hal ini sejalan dengan prinsip developmental dari Bimbingan dan
Konseling Islam dimana fungsi developmental atau pengembangan atau
pemeliharaan, dengan fungsi ini diharapkan akan menghasilkan terpilihnya
dan terbentuknya berbagai macam potensi dan kondisi ke arah yang lebih
baik. Klien dalam rangka perkembangannya secara terarah, mantap, dan
berkelanjutan. Dalam hal ini yang sudah dianggap baik agar dijaga tetap baik
dan dimantapkan sehingga diharapkan klien dapat mencapai perkembangan
secara optimal (Hallen: 2001, 63).
Berdasarkan ciri-ciri kepribadian yang teraktualisasikan diri menurut
Maslow maka jika dilihat dari tipe-tipe kepribadian menurut Spranger dalam
Patty et al. (1981,166-171) maka tipe kepribadian tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Tipe kepribadian sosial dan ekonomi
Orang-orang yang termasuk dalam golongan ini adalah mereka yang
memiliki ciri-ciri mampu mengamati realitas secara efisien, hidup secara
spontan sederhana dan wajar, memiliki kemandirian dari lingkungan, mampu
menerima diri sendiri dan orang lain serta kodratnya, seluruh hidupnya
digunakan untuk membantu sesama dan mampu menjalin hubungan dengan
orang lain.
Hal ini sesuai dengan pendapat dengan Najati (1985, 260) dimana seseorang yang memiliki kepribadian muslim ditandai dengan sifat yang berkenaan dengan hubungan sosial yaitu: bergaul dengan orang lain, dermawan dan suka berbuat kebajikan, suka bekerja sama dan lain-lain. Sifat yang berkenaan dengan hubungan kekeluargaan yaitu: berbuat baik kepada orang tua dan kerabat, pergaulan yang baik antara suami dan isteri.
Orang-orang yang memiliki kepribadian muslim mereka selalu segala
sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Diantaranya mereka memikirkan alam
semesta, memikirkan ciptaan Allah, selalu menuntut ilmu, tidak mengikuti
sesuatu yang masih ragu, teliti dalam meneliti suatu realitas, bebas dalam
berfikir dan berakidah.
Orang-orang yang memiliki kepribadian semacam ini maka dakwah
yang paling cocok digunakan pada tipe kepribadian ini adalah dengan cara bil
hal yaitu dengan ditunjukkan pada perilaku dai yang sopan dan sesuai dengan
ajaran islam dan menolong sesama tanpa membedakan golongan, ras,
kekayaan, sehingga dakwah dalam bentuk tersebut sangat bisa digunakan
dalam kaitannya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dengan upaya
mewujudkan ralitas kehidupan umat islam. Seperti yang diungkapkan Sulhton
(2003, 19) hal ini bisa dilakukan dengan cara jual beli, salam, masaqoh,
muzaroah, zakat, infak dan sodaqoh dan lain-lain sehingga mad’u mampu
terbebas dari rasa angan-angan yang berlebihan.
Hal ini sesuai dengan prinsip dari Bimbingan dan Konseling islam
yang diungkapkan oleh Hallen (2002, 64) dimana dalam melayani klien
konselor tidak boleh membeda-bedakan antara umur, jenis kelamin, suku,
agama dan status sosial dari klien.
Hal ini senada dengan pendapat Rakhim (2001,29)yang menyatakan
bahwa hal ini sesuai dengan salah satu asas dari Bimbingan dan Konselor
Islam yaitu asas sosialitas manusia,yang menyatakan bahwa setiap manusia
sangat dihargai hak-haknya sosialitasnya dengan tetap memperhatikan hak-
haknya sebagai individu.
2. Tipe politik
Yang termasuk dalam golongan ini adlah mereka yang memiliki ciri-
ciri kepribadian mampu melakukan penolakan terhadap enkulturasi, selalu
terpusat pada masalah, memiliki karakter demokrasi, mampu membedakan
cara dan tujuan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Najati (1985: 259) bahwa seseorang
yang memiliki kepribadian muslim dalam hidupnya mereka memiliki sifat
sabar, lapang dada, lurus, adil melaksanakan, menepati janji, merendahkan
diri, menjauhi dosa, teguh dalam melaksanakan kebenaran, dan
mengendalikan hawa nafsu.
Maka dakwah yang cocok untuk dilakukan terhadap orang-orang yang
memiliki kepribnadian semacam ini adalah dengan cara bil lisan yaitu dengan
jalan saresehan, diskusi, secara islami, maksudnya klien ditunjukkan untuk
mencapi tujuan dalam berpolitik dalam islam dilarang menghalalkan
bermacam cara agar tujuannya tercapai.
Ajaran islam didakwahkan menjadi ideologi negara dalam bidang
politik. Hal ini senada yang diungkapkan oleh Sulhton (2003, 19) dakwah
yang sesunguhnya adalah mewujudkan negara, bangsa yang berdasarkan atas
nilai-nilai islam. Para pelaku polotik menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman
serta menegakkan ajaran-ajaran menjadi tanggung jawab negara dan
kekuasaan. Dalam perspektif dakwah politik, negara adalah instrumen paling
penting dalam mewujudkan ajaran islam.
Hal ini sesuai dengan asas dari Bimbingan dan Konseling islam yang
diungkapkan oleh Hallen (2002, 70) dimana perubahan sikap yan terjadi pada
klien bisa terjadi bila ada kerjasama yang dinamis antara konselor dan klien.
Selain itu hal ini menurut Rakhim (2001,34) sejalan dengan asas
musyawarah yang dianut oleh Bimbingan dan Konseling Islam dimana dalam
asas ini antara konselor dan klien terjadi dialog yang baik tanpa saling
mendikte. Sehingga perubahan yang diharapkan oleh klien dan konselor bisa
terjadi dengan baik.
3. Tipe religi
Orang-orang yang memiliki tipe religi semacam ini ditandai dengan
pengalaman puncak dari klien (mad’u). Apabila ada mad’u yang semacam ini
maka dakwah yang paling baik digunakan adalah dengan cara tulisan. Sebab
seperti yang digambarkan oleh Maslow bahwa objeknya bisa mengalami
pengalaman puncak bukan hanya dapat dilakukan dengan pengalaman
keagamaan tetapi juga bisa melalui tulisan. Tetapi harus diingat sebab tulisan
adalah konsumsi umum maka seyogyanya tulisan ini tidak menyinggung
perasaan dari yang membaca bacaan tersebut.
Hal ini sejalan dengan pendapat Najati (1985: 259) dimana orang-
orang yang memiliki kepribadian muslim mereka memiliki rasa cinta pada
Allah, takut akan azab, tidak putus asa, serta berbuat kebajikan kepada
sesama.
Orang-orang yang memiliki kepribadian muslim dalam hidupnya
mereka sangat profesional diantaranya: mereka tulus dalam bekerja dan
menyempurnakan pekerjaan tersebut, serta bekerja dengan giat dalam upaya
memperoleh rizki.
Hal ini oleh Rakhim (2001,24) dikatakan sejalan dengan asas fitrah
dari Bimbingan dan Konseling Islam dimana dalam asas ini dikatakan bahwa
manusia dibekali berbagai kemampuan bawaan dan kecenderungan sebagai
muslim dalam hal ini Bimbingan dan Konseling Islam diharapkan dapat
membantu klien untuk mengenal dan memahami fitrah-fitrah tersebut
sehingga mampu mencapai kebahagiaan hidup didunia dan akherat.
4. Tipe estetika
Orang-orang yang memiliki kepribadian semacam ini mereka ditandai
dengan dalam diri individu memiliki kreatifitas, kesegaran dan apresiasi serta
memiliki rasa humor yang filosofis. Apabila ditemui mad’u yang semacam ini
dawah yang paling cocok adalah dalam bidang seni, baik itu tari lukis maupun
suara, sehingga hasil dari seni tersebut tidak terlepas dari nilai-nilai islam. Hal
ni pernah dicontohkan oleh nabi yang diriwayatkan oleh bukhori yang dikutip
oleh Hasyimi (2001, 280) seorang sahabat berkata kepada kami: engkau
bercanda kepada kami nabi berkata namun saya tidak pernah mengatakan
selain kebenaran.
Tujuan dakwah menurut Tasmara (1997, 48) adalah terjadi perubahan
sikap dan tingkah laku sesuai dengan isi dan harapan dari pesan-pesan dakwah
yang disampaikan serta terwujudnya amal soleh yang selaras dengan Al-
Qur’an dan Sunah.
Tujuan dari aktualisasi diri adalah peningkatan atau
pengoptimalisasian segala potensi yang ada pada diri seseorang, tanpa
dipengaruhi oleh keadaan yang ada pada sekelilingnya yang tujuannya untuk
mencapai kebahagiaan. (Robert, 1993: 161).
Hal ini senada dengan tujuan dari Bimbingan dan Konseling Islam
yaitu terwujudnya manusia yang utuh, sehingga dapat mencapai kebahagiaan
di dunia dan kebahagiaan di akhirat. (Tohari: 1992, 33)
Bila dilihat dari ketiga tujuan tersebut yaitu tujuan dakwah tujuan
aktualisasi diri dan tujuan dan Bimbingan dan Konseling Islam adalah sama-
sama membentuk kepribadian yang utuh dan sempurna dalam memperoleh
kebahagiaan di dalam hidupnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
tujuan aktualisasi diri adalah sama dengan tujuan dari dakwah dan konseling
islam yaitu membentuk kepribadian yang utuh dan sempurna sesuai dengan
ajaran islam.
Untuk mencapai tujuan itu bagi orang-orang yang tidak bisa
mengaktualisasiakn diri diberikan semacam terapi, sehingga yang tadinya
tidak bisa mengaktualisasikan diri, mereka dapat dan mampu
mengaktualisaasikan diri seperti orang lain, dengan cara mengetahui sebab
dari tidak bisanya dia mengaktualisasikan diri dan menghilangkan penyebab
dari tidak bisanya dia dalam mengaktualisasikan diri.
Terapi-terapi tersebut menurut Bimbingan Konseling Islam dilakukan
dengan cara teraputik, preventif dan development (Rakhim, 2001: 3-4) terapi-
terapi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Secara teraputik
Dengan terapi ini Bimbingan dan Konseling Islam diharapkan dapat
mengatasi masalah klien yang tidak bisa mengaktualisasikan diri dengan cara
menghilangkan segala keraguan dan ketakutan dengan cara memotivasi klien
agar tercipta rasa aman, sehingga tercipta kondisi lingkungan yang
mendukung klien untuk mencapai taraf aktualisasi diri.
2. Secara preventif
Dengan terapi ini diharapkan bimbingan dan konseling islam mampu
mencegah timbulnya masalah pada klien dalam usahanya untuk mencapai
taraf aktualisasi, sehingga yang tadinya klien takut dalam usahanya untuk
mencapai aktualisasi diri, klien menjadi sadar dan tidak takut dalam usahanya
dalam mengaktualisasikan diri.
3. Secara development
Dengan melalui terapi ini diharapkan Bimbingan dan Konseling Islam
mampu menciptakan bekerja sama antara konselor dengan klien sehingga
suasana dan perkembangan yang selama ini sudah tercipta dengan baik tetap
menjadi baik dan lebih mantap sehingga terwujud seperti apa yang
diharapkan yaitu pencapaian taraf aktualisasi diri.
Berdasarkan pada paparan di atas tentang aktualisasi diri yang
diungkapkan oleh Maslow tercapai dan dipakai untuk membentuk kepribadian
muslim melalui dalam perspektif bimbingan dan konseling islam, maka
penulis berpendapat bahwa aspek-aspek tersebut adalah bagian dari
pembentukan pribadi muslim secara kaffah atau menyeluruh, hal ini seperti
pendapat dari Tasmara (1999, 108) yang menyatakan bahwa orang-orang
yang memiliki kepribadian yang kaffah mereka memiliki akhlak yang baik,
hormat pada sesama, gagah da
lam menghadapi berbagai macam cobaan. Seperti yang diharapkan
dalam ajaran islam dimana seseorang masuk dalam agama islam secara kaffah
(menyeluruh).
Dengan demikian konsep kepribadian yang teraktualisasikan diri atau
konsep aktualisasi diri menurut Maslow adalah konsep pembentukan
kepribadian muslim secara sempurna (Kaffah) dan hal ini dapat tercapai.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat penulis ambil berdasarkan paparan yang
disusun di atas antara lain:
1. Seseorang yang memiliki kepribadian yang teraktualisasi diri menurut
Maslow adalah jika seseorang melakukan hal yang terbaik atau bekerja
sebaik-baiknya menurut bidangnya masing-masing. Hal ini ditandai dengan
seseorang itu memiliki sifat-sifat mengamati realitas secara efisien,
penerimaan atas diri sendiri, orang lain dan kodrat, spontan, sederhana dan
wajar, terpusat pada masalah, pemisahan diri dan privasi, kemandirian dari
kebudayaan dan lingkungan, kesegaran dan apresiasi, pengalaman puncak
atau pengalaman mistis, minat sosial, hubungan antar pribadi, berkarakter
demokratis, perbedaan antara cara dan tujuan, rasa humor yang filosofis,
kreatifitas, dan penolakan enkulturasi.
2. Orang-orang yang mengaktuaklisasikan diri mempunyai ciri-ciri yang sama
dengan ciri-ciri yang ada pada fungsi asas dan tujuan dari bimbingan dan
konseling islam yaitu terciptanya pribadi yang mantap terarah,
berkelanjutan, mampu mengembangkan diri dan mencapai kebahagiaan
secara optimal, sehingga tercipta manusia yang utuh. Ciri-ciri aktualisasi
diri yang diungkapakan oleh Maslow jika diperhatikan dengan seksama jika
dianalisis melalui Bimbingan dan Konseling Islam adalah merupakan
pembentukan kepribadian Islam secara optimal dan mantap untuk mencapai
kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
B. SARAN - SARAN
Penelitian diatas belumlah sempurna karena baru ditinjau dari segi
Bimbingan Konseling Islam hal ini masih sangat terbuka untuk diteliti melalui
pendekatan lainnya.
C. PENUTUP
Demikian skripsi ini penulis susun, penulis sadar bahwa dalam
penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan oleh karena itu penulis
mengharapkan berbagai macam kritik demi sempurnanya skripsi ini.
Semarang, 30 Januari 2006
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Abror, Abdurrahman. Psychology Pendidikan. Nur Cahaya. Yogyakarta. 1989. Adz-Dzaky, Hamdani, Bakran. Konseling dan Psikoterapi Islam. Fajar Pustaka
Baru. Yogyakarta 2002. Ajijah. Konsep Humanisme Dalam Da’wah dalam Kaitannya dengan
Penyelesaian Konflik antar Umat Beragama. Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Wali Songo Semarang (Tidak Diterbitkan) (Tidak Dipublikasikan)
Anshari, Hafi. Pemahaman dan Pengalaman Da’wah. Al-Ikhlas. Surabaya. 1993. Arbaiati, Barokah. Kesehatan Mental dan Urgensinya bagi Integritas
Kepribadian. Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Wali Songo Semarang. 2000 (Tidak Dipublikasikan).
Arifin. Filsafat Pendidikan Islam. Bina Aksara. Jakarta. 1987.
. Azhari. Kepribadian Muslim. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2000. Bachtiar, Wardi. Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah. Logos. Jakarta. 1987. Caplin, James. Kamus Lengkap Psikologi. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002.
. Consuelo dan Sevilla G. Pengantar Metodologi Penelitian. Unuversitas
Indonesia, Press. Jakarta. 1993. Darojat, Zakiyah. Kepribadian Guru. Bulan Bintang. Jakarta. 1982. Departemen Agama. Al Quran dan Terjemah. Mahkota. Surabaya. 1989. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1994. Hadari, Nawawi. Metodologi Penelitian Kwalitatif. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.1996. Hadi, Sutrisno. Metodologi Penelitian Kwalitatif. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
1983. Hall, Liezzey. Teori-Teori Kepribadian. Rhineka Cipta. Jakarta. 1993.
.
Handayani, Umi, . Konsep Fitrah Menurut Al-Ghazali dan Implikasinya dalam Membentuk Kepribadian Muslim. Fakultas Da’wah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang. 2004. (Tidak Dipublikasikan)
Hasanah, Hasyim. Pengaruh Konsep Diri Terhadap Pro Aktifitas Remaja di
Kecamatan Banyumanik pada Tahun 2003-2004. Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Wali Songo Semarang. 2004. (Tidak Dipublikasikan)
Hasyimi, Ali Muhammad. Menjadi Muslim Ideal. Mitra Pustaka. Yogyakarta.
2001. Hallen, A. Bimbingan dan Konseling Dalam Islam.Ciputat Perss. Jakarta. 2002.
. Heraty, Tuty. Psikologi Sains. Mizan. Jakarta. 2004. Hidayanti, Ema . Solusi Tasawuf Amin Syukur atas Problem Manusia Modern.
Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Wali Songo Semarang. 2004. (Tidak Dipublikasikan).
Iman, Nurul. Motivasi dan Kepribadian Jilid 1 . Pustaka Binaman Pressindo.
Jakarta. 1994. Iman, Nurul. Motivasi dan Kepribadian Jilid 2 . Pustaka Binaman Pressindo.
Jakarta. 1994. John, Echols. Kamus Bahasa Inggris-Indonesia. Gramedia. Jakarta. 1996.
Kartono, Kartini. Patologi Sosial III. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2001.
Kartono. Andari. Hyigiene Mental. Mandar Maju. Bandung. 1989.
Mukhidin. Safii. Metodologi Pengembangan Dakwah. Pustaka Setia.Bandung. 2002.
Munandziroh, Umi. Prinsip Pendidikan Akhlak dan Aktualisasinya dalam
Pembentukan Kepribadian Muslim (Kajian Surat Al-Hujurat Ayat 1-13). Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Wali Songo Semarang. 2004. (Tidak Dipublikasikan)
Marinba, D. Pengantar Filsafat Islam. PT. AL – Ma’arif. Bandung. 1989. Muhammad, Hasyim. Dialog antara Tasawuf dan Psikologi. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta. 2002. Muslim. Shahih Buchori. Terj. Hamid, Zainudin. Widjaya. Jakarta. 1966.
Najati, Ustman, . Al Quran dan Ilmu Jiwa. Pustaka. Bandung. 1985. Nugroho, Heri. Konsep Pembentukan Kepribadian Menurut Sigmund Freud
dalam Perspektif Pendidikan Islam. Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang.2004. (Tidak Dipublikasikan)
Patty. Woeryo. Noor Syam. I Wayan Darma. Pengantar Psikologi Umum. Usaha
Nasional. Surabaya. 1982. Poerwodarminto. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. 1976. Poduska, Bernard. Empat Teori Kepribadian. Restu Agung. Jakarta. 1997. Prayitno dan Erman Amti.. Dasar-Dasar Konseling Islam. Rhineka Cipta.
Jakarta. 1999. Purwanto, Ngalim. Psikologi Pendidikan. Remaja Rosda Karya. Bandung. 1993. Rakhim, Aunur Faqih. Bimbingan dan Konseling Islam . Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta. 2001. Robert. W. Crapp. Dialog Psikologi Dan Agama. Kanisius. Yogyakarta.1993.
(Diterjemahkan Oleh Hardjana) Sanwar, Aminudin. Pengantar Studi Ilmu Dakwah. Fakultas Dakwah. Institut
Agama Negeri Walisongo Semarang. 1984. Sudarsono. Kamus Filsafat dan Psikologi. Rhineka Cipta. Jakarta. 1993. Sulthon, Muhammad. Desain Ilmu Dakwah. Pelajar Pustaka. Yogyakarta. 2003. Tasmara, Toto. Dimensi Doa dan Dzikir, Menyelami Samudera Qalbu Mengisi
Makna Hidup. Dana Bhakti Prima Yasa. Yogyakarta. 1999. Tasmara, Toto. Komunikasi Dakwah. Gaya Media Pratama. Jakarta. 1997. Tohari. Zuhad. Tatang. Muzhof. Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan dan
Konseling Islami. Universitas Islam Indonesia, Press. Yogyakarta. 1992. Wilcox, Lynn. Imu Jiwa Berjumpa Tasawuf. Serambi. Jakarta. 2003. Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam. Bumi Aksara. Jakarta 1999.
BIODATA PENULIS
Nama : Oktaful Ghofur
Nim : 1100046
Jurusan / Fakultas : Bimbingan dan Penyuluhan Islam / Dakwah IAIN Walisongo Semarang
Tempat/Tanggal Lahir : Semarang, 30 Oktober 1980
Alamat : Karang Gawang Rt O7 Rw 14, Tandang, Semarang
Jenjang Pendidikan : SDN Sawi 01 Semarang Lulus Tahun 1993
SMPN 33 Semarang Lulus Tahun 1997
SMA Muhammadiyah 01 Semarang Lulus Tahun 2000
Lulus Strata 1 (S1) Fakultas Dakwah Iain Walisongo Semarang Lulus Tahun 2006