Transcript

MAKALAH

KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM

DISUSUN OLEH :

Ketua : Darmawansa / G11114022

Anggota : Fajrul Fikri Zaman / G11114040

Amrah / G11114002

Prodi/Kelas : Agroteknologi / A

Kelompok : 1

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

TAHUN 2014

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam sejarah peradaban Yunani, tercatat bahwa pengkajian dan kontemplasi

tentang eksistensi Tuhan menempati tempat yang khusus dalam bidang pemikiran

filsafat. Contoh yang paling nyata dari usaha kajian filosofis tentang eksistensi Tuhan

dapat dilihat bagaimana filosof Aristoteles menggunakan gerak-gerak yang nampak

di alam dalam membuktikan adanya penggerak  yang tak terlihat (baca: wujud

Tuhan).

Tradisi argumentasi filosofis tentang eksistensi Tuhan, sifat dan perbuatan-

Nya ini kemudian secara berangsur-angsur masuk dan berpengaruh ke dalam dunia

keimanan Islam. Tapi tradisi ini, mewujudkan semangat baru di bawah pengaruh

doktrin-doktrin suci Islam dan kemudian secara spektakuler melahirkan filosof-

filosof seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina, dan secara riil, tradisi ini juga mempengaruhi

warna pemikiran teologi dan tasawuf (irfan) dalam penafsiran Islam.

Perkara tentang Tuhan secara mendasar merupakan subyek permasalahan

filsafat. Ketika kita membahas tentang hakikat alam maka sesungguhnya kita pun

membahas tentang eksistensi Tuhan. Secara hakiki, wujud Tuhan tak terpisahkan dari

eksistensi alam, begitu pula sebaliknya, wujud alam mustahil terpisah dari

keberadaan Tuhan. Filsafat tidak mengkaji suatu realitas yang dibatasi oleh ruang

dan waktu atau salah satu faktor dari ribuan faktor yang berpengaruh atas alam.

Pencarian kita tentang Tuhan dalam koridor filsafat bukan seperti penelitian terhadap

satu fenomena khusus yang dipengaruhi oleh faktor tertentu.

Tuhan yang hakiki adalah Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi dan Rasul

yakni, Tuhan hakiki itu bukan di langit dan di bumi, bukan di atas langit, bukan di

alam, tetapi Dia meliputi semua tempat dan segala realitas wujud.

B. Rumusan Masalah

1.      Seperti apakah filsafat ketuhanan dalam islam ?

2.      Bagaimana pembuktian wujud tuhan dalam islam ?

3.      Bagaimana sejarah ketuhanan dalam islam?

4.      Ada berapa golongan - golongan dalam Islam ?

B.       Tujuan

1.      Mengetahui filsafat ketuhanan dalam islam.

2.      Mengetahui pembuktian wujud tuhan dalam islam.

3.      Mengetahui sejarah pemikiran manusia tentang tuhan dalam islam dan

4.      Mengetahui golongan - golongan dalam Islam.

5. Mengetahui dalil dalil pembuktian tentang eksistensi Tuhan

BAB II

PEMBAHASAN

EKSISTENSI TUHAN

A.  Siapakah Tuhan itu?

Perkataan ilah, yang diterjemahkan “Tuhan”, dalam Al-Quran dipakai untuk

menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya

dalam QS : 45 (Al-Jatsiiyah) : 23, yaitu:

ذ� �خ� ات م�ن� �ت� �ي أ ف�ر�� اه� أ و� ه� ه� ل�ه� ع�ل�ى إ �م� ت و�خ� � �م ل ع� ع�ل�ى �ه� الل �ه� ض�ل

� و�أ

م�ع�ه� �ف�ال س� أ �ه� الل �ع�د� ب م�ن� �ه�د�يه� ي ف�م�ن� او�ة# غ�ش� �ص�ر�ه� ب ع�ل�ى و�ج�ع�ل� �ه� �ب و�ق�ل

ون� ( �ر� �ذ�ك )٢٣ت

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya

sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah

mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas

penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah

(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?

Dalam QS : 28 (Al-Qashash) : 38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya

sendiri:

�م� �ك ل �م�ت� ع�ل م�ا �م�أل ال 4ه�ا ي� أ �ا ي ع�و�ن� ف�ر� غ�ي�ري و�ق�ال� ل�ه� إ ل�ي من� و�ق�د�

� ف�أ

م�وس�ى �ه� �ل إ �ى �ل إ �ع� ط�ل� أ �ع�ل>ي ل ا ح# ص�ر� ل�ي ف�اج�ع�ل� الط>ين� ع�ل�ى ه�ام�ان� �ا ي

�ين� ( �اذ�ب �ك ال م�ن� 4ه� ألظ�ن >ي �ن )٣٨و�إ

dan berkata Fir'aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui Tuhan

bagimu selain aku. Maka bakarlah Hai Haman untukku tanah liat kemudian

buatkanlah untukku bangunan yang Tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan

Musa, dan Sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa Dia Termasuk orang-orang

pendusta".

Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa

mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi) maupun

benda nyata (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam

Al-Quran juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna:

ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Derifasi makna dari kata ilah tersebut

mengandung makna bahwa ‘bertuhan nol’ atau atheisme adalah tidak mungkin.

Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika

Al-Quran sebagai berikut:

Tuhan (Ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh

manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya.

Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang

dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau

kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya

atau kerugian.

Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-Ilah sebagai berikut:

Al-Ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya,

merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat

berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa, dan bertawakal kepadanya untuk

kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan

ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya (M. Imaduddin, 1989 :

56)

Atas dasar definisi ini, tuhan bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan

manusia. Yang pasti, manusia tidak mungkin atheis, tidak mungkin tidak ber-tuhan.

Berdasarkan logika Al-Quran, setiap manusia pasti ada sesuatu yang

dipertuhankannya. Dengan begitu, orang-orang komunis pada hakikatnya ber-tuhan

juga. Adapun tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.

Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “la ilaaha illa Allah”. Susunan kalimat

tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti

dengan penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus

membersihkan diri dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada

dalam hatinya hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah.

Untuk lebih jelas memahami tentang siapakah Allah, DR. M. Yusuf Musa

menjelaskan dalam makalahnya yang berjudul “Al Ilahiyyat Baina Ibn Sina wa Ibnu

Rusyd” yang telah di edit oleh DR. Ahmad Daudy, MA dalam buku Segi-segi

Pemikiran Falsafi dalam Islam. Beliau mengatakan :

Dalam ajaran Islam, Allah adalah pencipta segala sesuatu ; tidak ada sesuatu

yang terjadi tanpa kehendak-Nya, serta tidak ada sesuatu yang kekal tanpa

pemeliharaan-Nya. Allah mengetahui segala sesuatu yang paling kecil dan paling

halus sekali pun. Ia yang menciptakan alam ini, dari tidak ada kepada ada, tanpa

perantara dari siapa pun. Ia memiliki berbagai sifat yang maha indah dan agung.

B.  Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan

1. Pemikiran Barat

Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah

konsep yang didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah

maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin.

Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yang

menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan

meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max

Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan

Javens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori evolusionisme

adalah sebagai berikut:

a.  Dinamisme

Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya

kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh

tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada

yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada

pada benda disebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah

(Melayu), dan syakti (India).

b. Animisme

Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun

bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu

hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang apabila kebutuhannya dipenuhi.

Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh

tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan

saran dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.

c.  Politeisme

Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan

kepuasan, karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih

dari yang lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan

tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada dewa yang bertanggung jawab terhadap

cahaya, ada yang membidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan lain

sebagainya.

d. Henoteisme

Politeisme tidak memberikan kepuasan, terutama terhadap kaum

cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena

tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan

manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui

satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui tuhan (ilah)

bangsa lain. Kepercayaan satu tuhan untuk satu bangsa disebut dengan Henoteisme

(Tuhan Tingkat Nasional).

e.  Monoteisme

Kepercayaan dalam bentuk Henoteisme melangkah menjadi Monoteisme.

Dalam Monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat

internasional. Bentuk Monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga

paham, yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.

Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan

oleh Max Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang

menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan

bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-

orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang agung dan sifat-

sifat yang khas terhadap tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud

yang lain.

Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan

evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa

Barat mulai menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk

memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak

datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut

diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki

oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan bukti-bukti

bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan

monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan (Zaglul Yusuf, 1993 : 26-27).

2.  Pemikiran Umat Islam

Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, atau

Ilmu Ushuluddin di kalangan umat Islam, timbul beberapa periode setelah wafatnya

Nabi Muhammad SAW. Yakni pada saat terjadinya peristiwa tahkim antara

kelompok Ali bin Abi Thalib dengan kelompok Mu’awiyyah. Secara garis besar, ada

aliran yang bersifat liberal, tradisional, dan ada pula yang bersifat di antara keduanya.

Sebab timbulnya aliran tersebut adalah karena adanya perbedaan metodologi dalam

memahami Al-Quran dan Hadis dengan pendekatan kontekstual sehingga lahir aliran

yang bersifat tradisional. Sedang sebagian umat Islam yang lain memahami dengan

pendekatan antara kontektual dengan tektual sehingga lahir aliran yang bersifat

antara liberal dengan tradisional. Aliran-aliran tersebut yaitu :

a.    Mu’tazilah

Merupakan kaum rasionalis di kalangan muslim, serta menekankan

pemakaian akal pikiran dalam memahami semua ajaran dan keimanan dalam Islam.

Dalam menganalisis ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu logika Yunani, satu

sistem teologi untuk mempertahankan kedudukan keimanan. Mu’tazilah lahir sebagai

pecahan dari kelompok Qadariah, sedang Qadariah adalah pecahan dari Khawarij.

b.    Qodariah

Berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan

berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia akan kafir atau mukmin dan

hal itu yang menyebabkan manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.

c.    Jabariah

Berteori bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak

dan berbuat. Semua tingkah laku manusia ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan. Aliran

ini merupakan pecahan dari Murji’ah

d.   Asy’ariyah dan Maturidiyah

Hampir semua pendapat dari kedua aliran ini berada di antara aliran Qadariah

dan Jabariah. Semua aliran itu mewarnai kehidupan pemikiran ketuhanan dalam

kalangan umat Islam periode masa lalu. Pada prinsipnya aliran-aliran tersebut di atas

tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Oleh karena itu umat Islam yang

memilih aliran mana saja diantara aliran-aliran tersebut sebagai teologi mana yang

dianutnya, tidak menyebabkan ia keluar dari Islam. Menghadapi situasi dan

perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini, umat Islam perlu mengadakan koreksi

ilmu berlandaskan al-Quran dan Sunnah Rasul, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan

politik tertentu.

C.  Pembuktian Wujud Tuhan

Banyak sekali bukti-bukti yang dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa

Tuhan adalah Wujud (ada). Bukti klasik yang sering digunakan adalah tentang

adanya alam semesta. Setiap sesuatu  yang ada tentu diciptakan dan pencipta pertama

adalah Tuhan. Pembuktian dengan pendekatan seperti diatas sebenarnya bukanlah hal

baru lagi. Jauh sebelum umat Islam menggunakan pembuktian semacam itu Plato

telah mengemukakan teori dalam bukunya Timaeus yang mengatakan bahwa tiap-

tiap benda yang terjadi mesti ada yang menjadikan.

Sebagaimana pun bukti-bukti klasik dapat menunjukkan tentang esensitas

wujud Tuhan, namun mereka yang masih saja menganggap dirinya sebagai atheis

tetap saja tidak menerima kebenaran ilmiah hakiki bahwa Tuhan terbukti ada.

Berdasarkan fakta tersebut kiranya penulis merasa perlu juga menyajikan bukti-bukti

yang lebih kontemporer sebagaimana yang diperbincangkan oleh beberapa ahli pikir

pada zaman sekarang khususnya di universitas-universitas di Scotlandia.

1.  Pembuktian Melalui Pendekatan Klasik

a.  Kemungkinan Ada dan Tiadanya Alam (Contingency)

Adanya alam semesta serta organisasinya yang menakjubkan dan rahasianya

yang pelik, tidak boleh tidak memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan

yang telah menciptakannya. Jika percaya tentang eksistensi alam, maka secara logika

harus percaya tentang adanya Pencipta Alam.

Berdasarkan logika yang sama tentang adanya alam dalam membuktikan

adanya Sang Pencipta, maka ketika alam serta organisasinya yang menakjubkan

tersebut kemudian mejadi tidak ada, ketiadaan tersebut secara logis juga

membuktikan adanya satu Dzat yang meniadakannya.

b.  Rangkaian Sebab Akibat (Cosmological)

Prof. Dr. H. M Rasjidi memberikan perumpamaan dalam bukunya : Kalau

dua batang pohon berdiri berdampingan satu sama lain dalam hutan, bila yang satu

mati dan  yang satu tetap hidup, orang akan beranggapan bahwa ada sebab-sebab dan

faktor-faktor yang menimbulkan adanya keadaan yang berlainan itu.

Jika kita amati dengan seksama apa yang dikemukakan oleh beliau kita akan

menemukan satu bukti besar bahwa Allah itu ada. Pohon yang mati sebab mendapat

penyakit, dan penyakit timbul juga karena sebab dan begitulah seterusnya.

2.  Pembuktian Melalui Pendekatan Kontemporer

a.  Peraturan Thermodynamics yang kedua

Hukum yang dikenal dengan hukum keterbatasan energi atau teori

pembatasan energi membuktikan bahwa adanya alam tidak mungkin bersifat azali.

Bertitik tolak dari kenyataan bahwa proses kerja kimia dan fisika di alam terus

berlangsung serta kehidupan tetap berjalan. Maka hal ini membuktikan secara pasti

bahwa alam bukan bersifat azali.

Jika demikian maka kita dapat mengambil konklusi bahwa dunia ini akan

berakhir dan dunia ini mempunyai permulaan. Satu hal yang kemudian menjadi

menarik bahwa dunia ini tidak dapat terwujud dengan sendirinya, kecuali dengan

pertolongan adanya Dzat yang berada di luar alam. Oleh karena itu pasti ada yang

menciptakan alam yaitu Tuhan.

b.  Purposive Order.

Segala jenis planet dan bintang yang tersusun dalam tatasurya berjalan sesuai

rotasinya. Matahari dan bulan, siang dan malam bergerak secara teratur dan

mengikuti aturan yang pasti. Semua itu tidak akan mungkin terjadi secara serasi bila

tidak ada yang mengaturnya. Jika dalam pergerakan dan perputarannya mereka

bebas, niscaya malam akan menjadi siang dan siang akan menjadi malam.

Metode pembuktian adanya Tuhan melalui pemahaman dan penghayatan

keserasian alam oleh Ibnu Rusyd diberi istilah “Dalil Ikhtira”. Disamping itu, Ibnu

Rusyd juga menggunakan metode lain yaitu “Dalil Inayah”. Dalil Inayah adalah

metode pembuktian adanya Tuhan melalui pemahaman dan penghayatan manfaat

alam bagi kehidupan manusia.

D. Pemikiran Tentang Eksistensi Tuhan

1.       Pemikiran Imam Al-Ghozali tentang Eksistensi Tuhan

Imam Ghozali berpendapat bahwasannya  barang siapa yang mengetahui

dirinya, maka ia mengetahui Tuhannya. Bukan berarti mengetahui Tuhannya disini

adalah mengetahui bentuk secara harfiah dari sosok Tuhan tersebut, tetapi lebih

kepada kehadiran rasa ihsan dalam kesehariannya, yaitu dimanapun dia berada ia

merasa melihat Tuhannya, atau diamanapun ia berada ia merasa dilihat oleh

Tuhannya.

Imam Al Ghozali tentang Eksistensi Allah Swt atau wujudnya Zat Allah Swt

dengan methodologi filsafat “tidak ada sesuatupun yang ada kecuali ada yang

mengadakan”. Hasyimsyah Nasution berkata dalam bukunya Filsafat Islam, bahwa

Al-Ghozali tidak menyetujui pendapat yang menyebutkan bahwasannya Tuhan itu

wujudnya sederhana, wujud murni, dan tanpa esensi.

Jadi, Al-Ghozali berpikir bahwasannya Tuhan itu wajibul Wujud, yang mana

akan dapat kita rasakan kehadirannya jika kita benar-benar dapat mengetahui

sebenarnya /hakikat dari diri kita. Bukan berarti menjadi satu, tetapi lebih

menghadirkan sifat-sifat Tuhan, atau berusaha  menerapkan sifat-sifat Tuhan

kedalam diri kita. Misalnya, Ar-Rohman, Ar-Rohiim, berarti kita berusaha menjadi

penyayang, sehingga dengan cara seperti ini kita mendekatkan diri kepada Sang

Kholiq, dan merasakan Sifat-Nya ada dalam diri kita.

Mencapai wujud Allah bukan diartikan AL-Ghozali sebagai penyamaan

dengan Allah atau Ittishol atau peleburan diri dengannya (Hulul) atau percampuran

hakikat kemanusiaan (Nasut) dengan Hakikat Ilahiyah (Lahut) semuanya ini adalah

paham yang sesat.

Peleburan diri Tuhan dengan Hambanya adalah suatu yang mustahil terjadi,

karena Tuhan bukanlah manusia itu sendiri, dan jika Tuhan dapat melebur bersama

manusia, maka, berapa banyak Tuhan  yang akan ada di dunia ini?. Jika memang

wujud Tuhan dapat hadir dalam diri manusia, untuk apalagi adanya sholat, haji, jauh-

jauh ke Makkah, sedangkan wujudnya ada di dekat manusia itu sendiri, cukuplah

datang kerumahnya, maka sudah hajilah kita. Juga dapat kita berfikir tentang

penciptaan, jika sesuatu yang diciptakan itu dapat melebur menjadi satu terhadap

ciptaannya, maka apa bedanya dia dengan ciptaannya?. Atau dengan kata lain, jika

kita membuat kursi, tidak mungkin kita melebur menjadi satu dengan kursi tersebut.

Bahkan yang lebih benar adalah Wahdatusy Syuhud (Kesatuan Penyaksian).

Sebab yang manunggal itu adalah penyaksiannya, bukan DzatNya dengan dzat

makhluk. Mencapai Allah itu mampu menumbuhkan sifat-sifat yang mirip dengan

sifat-sifat Allah yang ada didalam dirinya.

Diketahui eksistensinya dengan akal, terlihat zat-Nya dengan matahati

sebagai kenikmatan dari-Nya, kasih sayang bagi orang-orang yang berbuat baik di

negeri keabadian, dan penyempuurnaan dari-Nya bagi kenikmatan yang

memandangNya yang Mulia.

Adapun corak tasawwuf yang dihadirkan oleh Al-Ghazali adalah Tasawwuf

sunni, yaitu pemikiran dan ajaran Tasawuf yang lebih mengedepankan dhohir dari al-

Qur’an dan Hadist dengan membatasi dan memberikan aturan-aturan yang ketat

terhadap pengunaan ma’na-ma’na alegoris, serta menyatukan antara ajaran Islam

yang bersifat eksternal dengan ajaran internal.

2.       Pemikiran Al-Hallaj tentang eksistensi Tuhan

Paham Kesatuan Wujud

Paham ini berisi keyakinan bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan.

Penganut paham kesatuan wujud ini mengambil dalil Al Quran yang dianggap

mendukung penyatuan antara ruh manusia dengan Ruh Allah dalam penciptaan

manusia pertama, Nabi Adam AS: “…Maka apabila telah Kusempurnakan

kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur

dengan bersujud kepadanya”.

Sehingga ruh manusia dan Ruh Allah dapat dikatakan bersatu dalam sholat

karena sholat adalah me-mi’rajkan ruh manusia kepada Ruh Allah Azza wa Jalla .

Atas dasar pengaruh ‘penyatuan’ inilah maka kezuhudan dalam sufi dianggap bukan

sebagai kewajiban tetapi lebih kepada tuntutan bathin karena hanya dengan

meninggalkan/ tidak mementingkan dunia lah kecintaan kepada Allah semakin

meningkat yang akan bepengaruh kepada ‘penyatuan’ yang lebih mendalam.

Wahdatul Wujud mempunyai pengertian secara awam yaitu; bersatunya

Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci.

Pengertian sebenarnya adalah merupakan penggambaran bahwa Tuhan-lah yang

menciptakan alam semesta beserta isinya. Allah adalah sang Khalik, Dia-lah yang

telah menciptakan manusia, Dia-lah Tuhan dan kita adalah bayangannya.

Perseteruan pendapat konsep wahdatul wujud terjadi pada kaum Syi’ah

Isma’iliyah pada masa Al Hallaj.  Al Hallaj yang hidup di masa itu, dia mengucapkan

kata yang sangat menggemparkan: Ana Al-Haqq berarti Akulah kebenaran.

Dia kemudian dianggap mendukung kaum syi’ah. Hal ini juga berarti

permasalahan yang timbul dari perselisihan antara ilmu syariat, ilmu ma’rifat, dan

kekuasaan atau politik. Semua yang terjadi adalah karena kesalahan pemahaman.

Terbunuhnya Al Hallaj bukan karena ucapannya tetapi karena politik. Tetapi

merupakan kesalahan Al Hallaj yang mengucapkan dan mengajarkan konsep

Wahdatul Wujud (Ana Al-Haqq) kepada murid-muridnya. Bahwa hal tersebut adalah

ilmu yang sangat pribadi dan hanya dimengerti oleh orang yang menerimanya. Selain

itu, Al Haqq merupakan sifat-sifat Allah.

Wahdatul Wujud mempunyai pengertian secara awam yaitu; bersatunya

Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci.

Pengertian sebenarnya adalah merupakan penggambaran bahwa Tuhan-lah yang

menciptakan alam semesta beserta isinya. Allah adalah sang Khalik, Dia-lah yang

telah menciptakan manusia, Dia-lah Tuhan dan kita adalah bayangannya.

Ia  berkeyakinan bahwa Allah ‘azza wa jalla bisa bertempat/menitis dalam

diri manusia -Maha Suci Allah ‘azza wa jalla dari sifat ini, yang karenanya para

Ulama memfatwakan kafirnya orang ini dan dia harus dihukum mati, yang kemudian

dia dibunuh dan disalib pada tahun 309 H.

Dan di dalam Sya’ir yang dinisbatkan kepadanya dia berkata: “Maha suci

(Allah ‘azza wa jalla) yang Nasut (unsur/sifat kemanusiaan)-Nya telah

menampakkan rahasia cahaya Lahut (unsur/sifat ketuhanan)-Nya yang menembus.

Lalu Tampaklah Dia dengan jelas pada (diri) makhluk-Nya dalam bentuk seorang

yang sedang makan dan sedang minum Hingga (sangat jelas) Dia terlihat oleh

makhluk-Nya seperti (jelasnya) pandangan alis mata dengan alis mata”

Dapat kita tarik suatu pengertian bahwa Tampaknya Tuhan ialah secara

dzohir jasady. Terlihatnya, benar-benar terlihat nyata dengan panca Indera. Secara

jelas, kita tangkap bahwa menurutnya, Tuhan itu terlihat dalam mata kita, terdengar

dengan telinga kita. Tuhan dapat makan, minum, berbuat sesuatu dengan jasad orang

yang di masukinya.  Dalam pandangan Hallaj hidup kebatinan insan yang suci akan

naik tingkat hidupnya dari satu maqam ke maqam lain. Misalnya: muslim, mu’min,

salihin, muqarrabin. Karena manusia adalah tiupan ruh lahut sebagaimana firman

allah:

م�ا # �يال ق�ل �د�ة� و�األف�ئ �ص�ار� و�األب م�ع� الس� �م� �ك ل و�ج�ع�ل� وح�ه� ر� م�ن� ف�يه� �ف�خ� و�ن و�اه� س� �م� ث

ون� �ر� ك �ش� ت

Kemudian ia menyempurnakannyaa (penciptaan manusia) dan meniupkan

ruhNya, serta menjadikan pendengaran, penglihatan, dan perasaan atas kalian,

tetapi hanya sedikit yang kalian syukuri

Sehingga ketika mencapai tingkat muqarrabin, menurut dia, sampailah di

puncak sehingga bersatu dengan Tuhan. Sifat persatuan itu antara lain diibaratkan

bagai persatuan khamar dengan air. Konsep ini bermuara pada Ana al-Haqq, karena

kebenaran itu salah satu asma Allah SWT. Al-Haqq sendiri dalam ilmu tasawuf

berarti Tuhan. Inilah penggalan syairnya:

‘Telah bercampur roh-Mu dan rohku Laksana bercampurnya khamar dengan

air yang jernih

Bila menyentuh akan-Mu sesuatu, tersentuhlah Aku Sebab itu, Engkau adalah

Aku, dalam segala hal’.

Memang Al Hallaj meyakini dualisme hakikat ketuhanan dan beranggapan

bahwa Al Ilah (Allah ‘azza wa jalla) memiliki dua tabiat yaitu: Al Lahut (unsur/sifat

ketuhanan) dan An Nasut (unsur/sifat kemanusiaan/kemakhlukan).

E. Dalil-dalil Tentang Adanya Wujud Tuhan

Berikut adalah dalil-dalil tentang adanya wujud Tuhan yang diterangkan oleh

Al-Qur'an secara logika, Allah taala berfirman:

ه�دOى �م� �ق�هPث ش�ى�ء�خ�ل �ل� �ع�طOـىك ا �ذ�ى� �اال 4ن ى�ى�ى�ى�ى�ى�ى�ى�ى�ى�ى�ى�ى�ر�ب ى�

Yakni, Tuhan adalah Dia Yang telah menganugerahkan kepada tiap sesuatu

penciptaan/kelahiran yang sesuai dengan keadaannya, kemudian menunjukinya jalan

untuk mencapai kesempurnaannya yang diinginkan (20:50).

Kini jika memperhatikan makna ayat tersebut kita menelaah bentuk ciptaan -- mulai

dari manusia hingga binatang-binatang daratan dan lautan serta burung-burung --

maka timbul ingatan akan kekuasaan Ilahi. Yakni, bentuk ciptaan setiap benda

tampak sesuai dengan keadaannya. Para pembaca dipersilahkan memikirkannya

sendiri, sebab masalah ini sangat luas.

Dalil kedua mengenai adanya Tuhan ialah, Alquran Suci telah menyatakan

Allah Ta’ala sebagai sebab dasar dari segala sebab, sebagaimana Alquran Suci

menyatakan:

�هOى �ت �م�ن >ك�ال ب ر� �لOى ا �ن� ىىىىىىىىىىىىىىو�ا

Yakni seluruh rangkaian sebab dan akibat berakhir pada Tuhan engkau (53:42).

Rincian dalil ini ialah, berdasarkan penelaahan cermat akan diketahui bahwa seluruh

alam semesta ini terjalin dalam rangkaian sebab dan akibat. Dan oleh karena itu, di

dunia ini timbul berbagai macam ilmu. Sebab, karena tiada bagian ciptaan yang

terlepas dari tatanan itu. Sebagian merupakan landasan bagi yang lain, dan sebagian

lagi merupakan pengembangan-pengembangannya. Adalah jelas bahwa suatu sebab

timbul karena zat-Nya sendiri, atau berlandaskan pada sebab yang lain. Kemudian

sebab yang lain itu pun berlandaskan pada sebab yang lain lagi. Dan demikianlah

seterusnya. Tidak benar bahwa di dalam dunia yang terbatas ini rangkaian sebab dan

akibat tidak mempunyai kesudahan dan tiada berhingga, Maka terpaksa diakui bahwa

rangkaian ini pasti berakhir pada suatu sebab terakhir.

Jadi, puncak terakhir semuanya itu ialah Tuhan. Perhatikanlah dengan seksama

betapa ayat: “Wa anna ilaa rabbikal-muntahaa” itu dengan kata-katanya yang

ringkas telah menjelaskan dalil tersebut di atas, yang artinya, puncak terakhir segala

rangkaian ialah Tuhan engkau.

Kemudian satu dalil lagi mengenai adanya Tuhan ialah, sebagaimana firman-Nya:

�ح�و�ن� ب �س� ي ف�ل�ك� ف�ى� Wل� و�ك X‌ه�ار�� الن �ق� اب س� �ل� �ي ال و�ال� �ق�م�ر� ال �د�ر�ك� ت �ن� ا �ه�ا ل �غ�ى� �ب �ن �ي م�س الش� ا�ال� �� ن

Yakni, matahari tidak dapat mengejar bulan dan juga malam yang merupakan

penampakkan bulan tidak dapat mendahului siang yang merupakan penampakkan

matahari. Yakni, tidak ada satu pun di antara mereka yang keluar dari batas-batas

yang ditetapkan bagi mereka (36:41).

Jika di balik semua itu tidak ada Wujud Sang Perencana, niscaya segala

rangkaian tersebut akan hancur. Dalil ini sangat bermanfaat bagi orang-orang yang

gemar menelaah benda-benda langit, sebab benda-benda langit tersebut merupakan

bola-bola raksasa yang tiada terhitung banyaknya, sehingga dengan sedikit saja

terganggu maka seluruh dunia dapat hancur. Betapa ini merupakan suatu kekuasaan

yang hakiki sehingga benda-benda langit itu tidak saling bertabrakkan dan

kecepatannya tidak berubah seujung rambut pun, serta tidak aus walau telah sekian

lama bekerja dan tidak terjadi perubahan sedikit pun. Sekiranya tidak ada Sang

Penjaga, bagaimana mungkin jalinan kerja yang demikian besar ini dapat berjalan

dengan sendirinya sepanjang masa. Dengan mengisyaratkan kepada hikmah-hikmah

itulah, di tempat lain Allah Ta’ala berfirman:

ض� �ر� و�اال� مOوOت� الس� ف�اط�ر� Wك ش� Oaه� الل �ف�ى� ا

 Yakni, dapatkah Wujud Tuhan Yang telah menciptakan langit dan bumi demikian

itu diragukan? (14:10)

Lalu sebuah dalil lagi tentang keberadaan-Nya, difirmankan:

ف�ان�‌‌‌ �ه�ا �ي ع�ل م�ن� �ل4 �  ‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌ك م�‌ �ر �� م �� ر�� م� ل� ر� �� � �� ذ� ر� ب� ر� ذ� �� ر� ل�ى �� ر �! رYakni, tiap sesuatu akan mengalami kepunahan dan yang kekal itu hanyalah

Tuhan Yang memiliki kebesaran dan kemuliaan (55:27,28).

Kini perhatikanlah! Jika kita bayangkan dunia ini menjadi hancur-lebur dan

benda-benda langit pun pecah berkeping-keping, serta bertiup angin yang

melenyapkan seluruh jejak benda-benda itu, namun demikian akal mengakui serta

menerima -- bahkan hati nurani menganggapnya mutlak -- bahwa sesudah segala

kebinasaan itu terjadi, pasti ada sesuatu yang bertahan yang tidak mengalami

kepunahan serta perubahan-perubahan dan tetap utuh seperti keadaannya semula.

Jadi, itulah Tuhan yang telah menciptakan semua wujud fana (tidak kekal),

sedangkan Dia sendiri terpelihara dari kepunahan

Kemudian satu dalil lagi berkenaan dengan keberadaan-Nya yang Dia kemukakan di

dalam Alquran Suci adalah :

ل�ى ر� �"� ذ� ر$ا �‌ &� ذ' ب� ر م� ذ) )� ر� ر� Yakni, Aku berkata kepada setiap ruh: “Bukankah Aku Tuhan kamu?”

Mereka berkata, “Ya, sungguh benar!” (7:172).

Di dalam ayat ini Allah Ta’ala menerangkan dalam bentuk kisah, suatu ciri khas ruh

yang telah ditanamkan-Nya di dalam fitrat mereka. Ciri khas itu ialah, pada fitratnya

tiada satu ruh pun yang dapat mengingkari hanyalah karena mereka tidak

menemukan apa pun di dalam pikiran mereka. Kendati mereka ingkar, mereka

mengakui bahwa tiap-tiap kejadian pasti ada penyebabnya. Di dunia ini tidak ada

orang yang begitu bodohnya, misalnya jika pada tubuhnya timbul suatu penyakit, dia

tetap bersikeras menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada suatu sebab yang

menimbulkan penyakit itu. Seandainya rangkaian dunia ini tidak terjalin oleh sebab

dan akibat, maka tidaklah mungkin dapat membuat prakiraan bahwa pada tanggal

sekian akan datang taufan atau badai; akan terjadi gerhana matahari atau gerhana

bulan; atau seseorang yang sakit akan wafat pada waktu tertentu; atau sampai pada

waktu tertentu suatu penyakit akan muncul bersamaan dengan penyakit lain. Jadi,

seorang peneliti, walaupun tidak mengakui Wujud Tuhan, namun dari satu segi dia

telah mengakuinya. Yakni ia pun, seperti halnya kita, mencari-cari penyebab dari

sebab akibat. Jadi, itu pun merupakan suatu bentuk pengakuan, walaupun bukan

pengakuan yang sempurna.

Selain itu, apabila seseorang yang mengingkari Wujud Tuhan, dengan cara tertentu

kesadarannya dihilangkan -- yaitu ia sama sekali dijauhkan dari segala keinginan

rendah ini dan segala hasratnya dihilangkan, lalu diserahkan ke dalam kendali Wujud

Yang Maha Tinggi -- maka dalam keadaan demikian ia akan mengakui Wujud

Tuhan, tidak akan ingkar. Hal serupa itu telah dibuktikan melalui percobaan orang-

orang yang berpengalaman luas.

Jadi, ke arah kondisi demikianlah isyarat yang terdapat di dalam ayat itu. Dan makna

ayat itu adalah, pengingkaran Wujud Tuhan hanya terjadi sebatas kehidupan rendah

saja. Sebab, fitrat yang asli dipenuhi oleh pengakuan itu.

Itulah beberapa dalil-dalil tentang Wujud Tuhan yang kami tuliskan sebagai

contoh.

BAB III

PENUTUP

A.      Kesimpulan

Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh

manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya.

Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “la illaha illa Allah”. Susunan kalimat tersebut

dimulai dengan peniadaan. Yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan

penegasan “melainkan Allah”. Hal ini berarti bahwa seorang muslim harus

membersihkan diri dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada

dalam hatinya hanya ada satu Tuhan yaitu Allah.

Umat Islam yang memilih aliran mana saja (yang ada dalam agama Islam)

sebagai teologi mana yang dianutnya, tidak menyebabkan ia keluar dari Islam.

Manusia tidak mungkin atheis, tidak mungkin tidak ber-tuhan. Berdasarkan

logika Al-Quran, setiap manusia pasti ada sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan

begitu, orang-orang komunis pada hakikatnya ber-tuhan juga. Adapun tuhan mereka

ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.

B.       Kritik dan Saran

Pendidikan modern telah mempengaruhi peserta didik dari berbagai arah dan

pengaruhnya yang telah sedemikian rupa merasuki jiwa generasi penerus. Jika tidak

pandai membina jiwa generasi mendatang, maka mereka tidak akan selamat dari

pengaruh negatif pendidikan modern. Mungkin mereka merasa ada yang kurang

dalam sisi spiritualitasnya dan berusaha menyempurnakan dari sumber-sumber lain.

Bila ini terjadi, maka perlu segera diambil tindakan, agar pintu spiritualitas yang

terbuka tidak diisi oleh ajaran lain yang bukan berasal dari ajaran spiritualitas Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al Karim

Dr. M. Yusuf Musa, 1984, Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam (editor : DR.

Ahmad Daudy, MA) Jakarta : Bulan Bintang.

Prof. Dr. H. M Rasjidi, 1978, Cetakan keempat, Filsafat Agama, Jakarta : Bulan

Bintang.

Sayyid Mujtaba Musawwi Lari, 1989. God and His Attributes: Lessons on Islamic

Doctrine. Cet. 1. (Terj. Ilham Mashuri dan Mufid Ashfahani). Mengenal Tuhan dan

Sifat-SifatNya. Jakarta: PT. Lentera Basritama.

Agung Sukses, Konsep Ketuhanan Dalam Islam,

http://agungsukses.wordpress.com/2008/07/24/konsep-ketuhanan-dalam-islam/

(diakses pada 24 September 2011)

Pringgabaya, Konsep Ketuhanan,

http://pringgabaya.blogspot.com/2011/01/konsep-ketuhanan.html (diakses pada 24

September 2011)

Kamal, Konsep Ketuhanan Dalam Filsafat Shadrian,

http://eurekamal.wordpress.com/2007/06/25/konsep-ketuhanan-dalam-filsafat-

shadrian/ (diakses pada 24 September 2011)

Prof. Dr. H. M Rasjidi, 1978, Filsafat Agama, Cetakan keempat, Jakarta : Bulan

Bintang

http://id.wikipedia.org/wiki/Sufisme

Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, hal. 103

http://fendra. com/2005/04/13/imam-al-ghozali-abdul-qodir-al-jaelani/trackback

http://id.wikipedia.org/wiki/Sufisme

Http://politikdanpemikiran.com/2007/10/slam-dalam-pandangan-imam-akbar.html

Filsafat Ilmu, Dr.HasyimsyahNasution,MA hal: 79

Etika Al-Ghozali, Etika Majemuk di Dalam Islam, Kamil, Ph.D, M.Abul Quasem,MA,

Mutiara Ihya` `Ulumuddin, Al-Ghazali, hal. 40

Dikutip dari buku Buku Filsafat Ajaran Islam karya Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, halaman 66-69, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1993)