Transcript

LAPORAN PENELITIAN

PENGGUNAAN KONTRAK DALAM TRANSAKSI BISNIS DI PASAR TANAH ABANGDisusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Kelas Antropologi Hukumoleh:NESITA ANGGRAINI 1306449883JULIO CASTOR ACHMADI1206251194

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIADEPOK, 2015

BAB IPENDAHULUAN1.1. LATAR BELAKANGSektor perdagangan adalah sektor yang berkontribusi besar dalam Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia.Seperti yang sudah diketahui bersama PDB jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan dalam harga pasar dalam kurun waktu tertentu adalah salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat dan mengukur pertumbuhan ekonomi. Menurut data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistika yaitu Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto Triwulanan Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha, 11,80% produk domestik bruto Indonesia berasal dari sektor perdagangan, baik perdagangan besar maupun eceran.[footnoteRef:2] [2: _Badan Pusat Statistika, Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto Triwulanan Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha, 2000-2014 (Persen), http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/excel/id/1207, diakses pada hari Kamis 21 Mei 2015 pukul 12.07.]

Perdagangan sebagai salah satu sektor yang berkontribusi besar dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia merupakan sektor yang begitu beragam, mulai dari skala kecil dan menengah sampai skala besar. Praktek perdagangan di tiap skala ini tentu memiliki karaktistik dan kebiasaannya masing-masing; apa yang menjadi kebiasaan perdagangan kaki lima tentu berbeda dengan perdagangan yang terjadi lintas negara.Resiko dalam kegiatan perdagangan skala kecil tentu tidak sebesar resiko dalam kegiatan perdagangan skala besar; kerugian yang dihadapi oleh pedagang eceran karena tidak dibayarnya barang yang sudah dibeli oleh pembeli tentu tidak perlu dibawa pesoalannya sampai ke pengadilan karena biaya yang dikeluarkan tidak sepadan dengan kerugian yang dituntut.Berbeda dengan perdagangan dalam skala besar yang dilakukan oleh eksportir atau importer misalnya; kerugian yang terjadi akibat wanprestasi bisa sangat besar dan perlu ditempuh jalan-jalan baik untuk mencegah atau menanggulangi terjadinya wanprestasi. Para pihak akan membuat kontrak untuk memastikan para pihak mengetahui apa kewajiban mereka dan apa yang akan terjadi apabila mereka tidak melaksanakan kewajiban itu.Peneliti yang sedang mempelajari ilmu hukum merasa bahwa doktrin hukum mengenai perdagangan seakan menyamakan kegiatan-kegiatan perdagangan ini.Contoh kongkritnya adalah dalam perkuliahan hukum perikatan, khususnya jual beli, kami hanya membedah pasal-pasal yang ada di Buku Ketiga KUH Perdata mengenai perikatan. Begitu juga ketika mempelajari secara khusus hukum perdagangan, walaupun tim pengajar juga meninjau sedikit mengenai hukum asing namun sumber utamanya tetap KUH Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang sebagian besar membahas kegiatan perdagangan yang terjadi dalam skala besar.Peneliti merasa tertarik untuk meneliti kegiatan perdagangan yang terjadi sehari-hari di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat karena peneliti ingin mengetahui bagaimana penerapan hukum yang dipelajari oleh peneliti dalam perkuliahan di dalam prakteknya.Hal-hal yang ingin diteliti penulis adalah antara lain ada atau tidaknya kontrak dalam kegiatan perdagangan dan bagaimana proses penyelesaian sengketa antara penjual dan pembeli.

1.2. RUMUSAN MASALAH

1) Bagaimanakah para penjual aksesoris di Kawasan Tanah Abang memaknai kontrak?2) Bagaimana peraturan return policy diapikasikan dalam proses jual beli?3) Apa tindak lanjut penjual aksesoris Kawasan Tanah Abang bila haknya dilanggar?

1.3. KERANGKA TEORIDalam bagian ini hendak dijelaskan pertama artikel hasil penelitian Stewart Macauley menenai hubungan non-kontraktual dalam bisnis yang berjudul Non-Contractual Relations in Business: A Preliminary Study, kedua tinjauan umum mengenai hukum perikatan dan perjanjian jual beli dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan ketiga tinjauan mengenai sengketa yang merujuk pada tulisan William L.F Felstiner, Richard L. Abel, dan Austin Sarat mengenai proses timbulnya sengketa yang berjudul The Emergence and Transformation of Disputes: Naming, Blaming, Claimingtermasuk tinjauan mengenai beberapa bentuk penyelesaian sengketa.

Non-Contractual Relations in Business: A Preliminary Study oleh Stewart Macauley[footnoteRef:3] [3: _Stewart Macauley, Non-Contractual Relations in Business: Preliminary Study, dalam American Sociological Review, Vol. 28, Februari 1963, (Wisconsin: Law School, University of Wisconsin, 1963).]

Peneliti meninjau artikel Macauley mengenai hubungan non-kontrak dalam bisnis dalam laporan penelitian ini karena artikel inilah yang digunakan sebagai rujukan utama dan kerangka berpikir dasar dalam penelitian yang dilakukan.Macauley menggunakan istilah kontrak untuk merujuk keadaan di mana sebuah perikatan memuat dua elemen, yaitu: a) perencanaan secara rasional mengenai transaksi yaitu kemungkinan-kemungkinan kejadian di masa depan; dan b) adanya sanksi hukum untuk memicu terlaksananya prestasi.Dalam hal ini, ada atau tidaknya sanksi hukum tidak mempengaruhi derajat rasionalitas dari perencanaan bisnis karena bisa saja sengketa diselesaikan tanpa merujuk kontrak padahal dalam kontrak itu sudah diatur dengan baik dan mendetail.Kebalikannya, para pihak yang tidak merencakanan perikatannya dengan baik malah menggugat atau setidaknya mengancam untuk menggugat ketika terjadi sengketa.Hal-hal yang biasanya dinegosiasikan dalam pembuatan kontrak adalah apa yang harus dan terlarang untuk dikerjakan para pihak, apa yang terjadi jika salah satu pihak atau keduanya gagal melaksanakan prestasi, dan kompensasi atas kerugian yang diderita sebagai sanksi hukum. Dalam proses perencanaan ini bisa terjadi beberapa kemungkinan, yaitu: a) kontrak direncanakan dengan hati-hati dan eksplisit; b) para pihak saling paham akan suatu isu namun tidak diucapkan dengan eksplisit; c) para pihak memiliki asumsi yang berbeda tentang suatu isu namun tidak diucapkan; dan d) kedua pihak tidak terpikirkan sama sekali tentang suatu isu.Dalam penelitiannya, Macauley menemukan bahwa ada beberapa kemungkinan penggunaan kontrak dalam bisnis.Pertama, transaksi yang amat penting dan tidak biasa dilakukan dengan menggunakan kontrak yang mendetail.Misalnya transaksi jual beli Empire State Building dilakukan dengan kontrak 400 halaman yang dibuat oleh 100 pengacara.Kedua, transaksi yang rutin dilakukan biasanya menggunakan kontrak yang sudah distandarisasi.Kontrak ini biasanya terdiri dari syarat dan ketentuan yang tertulis di belakang dokumen bisnis.Nilai dan jenis barang bisa berbeda-beda namun syarat dan ketentuan yang digunakan tetap standar.Ketiga, kebanyakan transaksi tidak dilakukan dengan menggunakan kontrak. Para pebisnis hanya mengandalkan apa yang diucapkan secara lisan oleh lawan bisnisnya bahkan ketika transaksi itu beresiko tinggi. Para pengacara berpendapat bahwa pebisnis sering memulai negosiasi tanpa perencanaan yang matang.Dalam negosiasi, mereka hanya membicarakan hal-hal umum tanpa membahas hal penting yang kurang mengenakkan untuk dibahas seperti kemungkinan wanprestasi.Pebisnis lebih memerhatikan prestasi masing-masing pihak dalam transaksi daripada langkah-langkah yang bisa diambil ketika salah satu pihak melakukan pelanggaran kontrak. Mereka tidak sadar bahwa kurangnya sanksi hukum dalam kontrak akan menentukan apakah suatu kontrak itu legally enforceable.Mengenai penyelesaian sengketa, Macauley menjelaskan bahwa beberapa transaksi bisnis biasanya diselesaikan tanpa sengketa. Misalnya dalam hal pembatalan pesanan; pembeli berharap dia dapat membatalkan pesanan dengan bebas walaupun ia harus membayar biaya yang dikeluarkan penjual untuk menyiapkan barang pesanan. Pebisnis tidak merasa pembatalan adalah suatu hal yang salah karena para pihak merasa ia punya hak untuk itu dalam hubungan jual beli. Sengketa biasanya diselesaikan tanpa merujuk pada kontrak atau sanksi hukum tertentu. Bahkan ketika mereka sudah membuat kontrak yang mengatur secara detail mengenai suatu masalah yang mungkin terjadi, ketika suatu masalah timbul, mereka lebih suka menegosiasikan solusinya. Pebisnis menilai bahwa pengacara tidak mengerti konsep give and take dalam bisnis.Pengacara biasanya diminta hadir ketika pebisnis tidak bisa menyelesaikan masalah itu sendiri.Transaksi bisnis lebih sering dilakukan tanpa kontrak karena dalam banyak situasi, peran kontrak dapat digantikan dengan suatu mekanisme lain misalnya dengan adanya sanksi internal; ketika menerima komplain dari pembeli mengenai barang yang ia jual, penjual dapat menegur staf produksinya dan apabila komplain ini terus terjadi penjual bisa memecatnya. Mekanisme lain adalah apa yang disebut dengan langganan; para pihak ini biasanya telah melakukan transaksi yang sama selama bertahun-tahun sehingga tanpa adanya kontrak, para pihak sudah mengerti apa yang menjadi kewajiban masing-masing dan mengerti pula kebiasaan dalam penyelesaian suatu masalah karena sudah terjalin rasa saling percaya di antara mereka.Ada sanksi non-hukum lain yang paling sering dilakukan; penjual saling berbagi info mengenai pembeli yang terlalu banyak menuntut dan pembeli juga saling berbagi info mengenai penjual yang terlalu sering menjual barang dengan kualitas yang tidak memuaskan. Mereka melakukan blacklist terhadap pebisnis tertentu baik secara formal maupun non-formal. Kontrak tidak perlu dibuat dalam bisnis karena reputasi merekalah yang akan menentukan apakah seseorang mau melakukan transaksi bisnis dengannya.Alasan lain mengapa kontrak tidak sering digunakan adalah karena pebisnis merasa kontrak dapat mengganggu berlangsungnya sebuah transaksi bisnis. Misalnya negosiasi kontrak memakan banyak waktu yang malah menunda terjadinya pertukaran barang sebagai inti dari sebuah transaksi.Selain itu, kontrak yang sangat mendetail mengindikasikan kurangnya rasa percaya antara para pelaku bisnis yang dapat menghambat kelestarian hubungan dalam bisnis.Terlebih lagi, penyelesaian sengketa dengan litigasi membutuhkan biaya yang besar.Menggugat pihak lawan di pengadilan memakan jauh lebih banyak biaya daripada mengajak pihak lawan untuk duduk bersama dan berunding mengenai penyelesaian masalah.Tinjauan Umum Mengenai Perikatan dan Perjanjian Jual Beli dalam KUH Perdata[footnoteRef:4] [4: _Prof. Subekti, S.H., Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 2005), Bab III, IX, XI, dan XIII.]

KUHPer sebagai salah satu perangkat perundang-undangan di Indonesia memuat ketentuan yang dapat dijadikan pedoman dalam perikatan, termasuk perikatan dalam jual beli.Pasal-pasal mengenai hukum perikatan dalam KUHPer ini adalah hukum pelengkap atau dalam bahasa Inggris disebut optional law yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh untuk tidak dipakai apabila memang dikehendaki oleh para pihak yang membuat perjanjian. Mereka diperkenankan membuat klausa sendiri dalam perjanjian mereka yang menyimpang dari pasal-pasal dalam Buku III KUHPer.Inilah yang dimaksud dengan sistem terbuka dalam hukum perjanjian.Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer diatur bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undnag-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan kata lain, kita diperbolehkan membuat aturan-aturan sendiri dalam kontrak selama memenuhi syarat sah perjanjian yang merujuk pada Pasal 1320 KUHPer yaitu: a) adanya kesepakatan; b) adanya kecakapan dari para pihak untuk membuat perjanjian; c) perjanjian harus mengenai hal tertentu; dan d) perjanjian harus mengenai suatu sebab yang halal. Walaupun hanya berperan sebagai hukum pelengkap, ketentuan hukum perikatan khususnya mengenai jual beli dalam KUHPer ini tentu dapat dirujuk sebagai praktek yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, Peneliti akan meninjau beberapa ketentuan hukum perikatan dan perjanjian jual beli yang dimuat dalam KUHPer untuk dibandingkan dengan apa yang ditemukan Peneliti dalam penelitiannya.Sebelum dijelaskan mengenai ketentuan jual beli dalam KUHPer, Peneliti akan meninjau adanya wanprestasi dan akibatnya dalam sebuah perikatan. Wanprestasi merujuk pada sebuah keadaan dimana pihak yang terikat dalam sebuah perikatan tidak melakukan apa yang diperjanjikannya. Wanprestasi dapat berupa empat macam: a) tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukan; b)melaksanakan apa yang telah disanggupi namun tidak seperti apa yang telah diperjanjikan; c) melaksanakan apa yang telah diperjanjikan tetapi terlambat; dan d) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.Atas wanprestasi tersebut, terdapat beberapa pilihan sanksi atau hukuman. Dalam hal ini kreditur dapat memilih antara tuntutan-tuntutan sebagai berikut: a) pemenuhan perjanjian; b) pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi; c) ganti rugi saja; d) pembatalan perjanjian; dan e) pembatalan perjanjian disertai ganti rugi.Ganti kerugian yang diatur oleh KUHPer ini meliputi tiga komponen yaitu biaya, rugi, dan bunga.Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak.Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian debitur.Sedangkan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau diperhitungkan kreditur.KUHPer mengatur 12 bentuk perjanjian namun Peneliti hanya akan meninjau perjanjian jual beli karena jual beli adalah transaksi yang paling umum terjadi dalam bisnis dan terlebih lagi karena penelitian yang dilakukan Peneliti adalah transaksi jual beli. KUHPer mendefinisikan jual beli sebagai suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Pasal 1458 KUHPer menjelaskan bahwa jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak sewaktu mereka telah mencapai kesepakatan tentang barang dan harga meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar. Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa jual beli belum memindahkan hak milik, ia baru memberikan kepada pembeli hak untuk menuntut diserahkannya hak milik atas barang yang dijual. Mengenai risiko dalam jual beli diatur dalam Pasal 1460 KUHPer yaitu jika barang yang dijual berupa suatu barang yang sudah ditentukan maka barang ini sejak saat pembelian adalah tanggungan si pembeli.Risiko dalam hal ini adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak.Ketentuan pasal ini dirasa kurang adil karena apabila merujuk pada pasal ini maka seorang pembeli, yang baru membuat kesepakatan dengan penjual mengenai barang dan harga, sudah dibebani dengan resiko mengenai barang itu.Misalnya barang yang dijualbelikan ternyata dicuri sebelum diserahkan, maka pembeli tetap harus membayar harga barang tersebut kepada penjual karena tanggung jawab resiko telah beralih ke pembeli setelah ada kesepakatan mengenai barang dan harga. Atas ketidakadilan ini timbul yurisprudensi yang membatasi berlakunya Pasal 1460 hanya untuk barang tertentu yaitu barang uang sudah ditunjuk oleh pembeli misalnya kursi di toko perabot yang sudah dilihat bentuk fisiknya dan ditunjuk oleh pembeli. Mengenai tanggung jawab penjual dalam KUHPer diatur bahwa kewajiban penjual terhadap pembeli adalah untuk menjamin dua hal yaitu: menjamin penguasaan barang yang dijual secara aman dan tenteram dan menjamin terhadap adanya cacat-cacat tersembunyi barang. Untuk hal yang pertama, penjual diwajibkan menanggung pembeli dari penghukuman untuk menyerahkan seluruh atau sebagian barang yang telah dijual kepada pihak ketiga.Penjual juga diwajibkan menanggung cacat-cacat yang tersembunyi pada barang yang dijualnya yang membuat barang itu tidak dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksud atau yang mengurangi pemakaian barang itu. Dalam kedua hal itu pembeli dapat memilih apakah ia akan menuntut pengembalian harga barang beserta kerugian termasuk biaya perkara yang dikeluarkan; pengembalian barang sambil menuntut kembali harga barang; atau tetap memiliki barang sambil menuntut pengembalian sebagian harganya.Tinjauan Umum Mengenai SengketaTinjauan umum mengenai sengketa ini dilakukan untuk menjelaskan bagaimana sengketa muncul dalam transaksi bisnis jual beli dan alternatif penyelesaian sengketa yang dipilih. William L.F Felstiner, Richard L. Abel, dan Austin Sarat dalam tulisannya yang berjudul The Emergence and Transformation of Disputes: Naming, Blaming, Claiming menjelaskan bahwa munculnya sebuah sengketa dapat dideskripsikan dalam proses sebagai berikut[footnoteRef:5]: [5: _William L.F Felstiner, et.al., The Emergence and Transformation of Disputes: Naming, Blaming, Claiming, dalam Law and Society Review, Vol. 15, 1980.]

i. transformasi dari unPIE (unperceived injurious experience/pengalaman merugikan yang tidak dirasakan) menjadi PIE (perceived injurious experience/ pengalaman merugikan yang dirasakan. Persepsi mengenai pengalaman merugikan ini tidak bisa digeneralisasi, kemampuan seseorang untuk merasakan bahwa dirinya sedang mengalami sesuatu yang merugikan dipengaruhi oleh perbedaan kelas, pendidikan, situasi kerja, jaringan sosial, dan lain. Transformasi pertama ini, yaitu dengan mengatakan pada diri sendiri bahwa ia sedang mengalami pengalaman yang merugikan, disebut naming.ii. transformasi dari saat sadarnya seseorang bahwa ia sedang mengalami pengalaman merugikan (PIE) hingga orang itu mengatribusikan kerugian yang ia alami kepada kesalahan orang lain. Adanya orang lain yang dipersalahkan merupakan unsur penting dalam hal ini. Ketika tidak ada orang tertentu yang dianggap merugikan maka transformasi kedua ini belum terjadi. Transformasi ini disebut blaming.iii. transformasi dari saat ketika seseorang mengatribusikan kerugiannya pada orang lain hingga orang tersebut menyampaikan keluhannya kepada orang yang dipersalahkan dan meminta pertanggungjawaban atau ganti rugi. Komunikasi yang berlangsung ini disebut claiming.Kemudian, sengketa muncul ketika claim dari pihak yang merasakan pengalaman merugikan ini ditolak sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang dimintai ganti rugi atau pertanggungjawaban.Penolakan ini tidak harus dalam bentuk kata-kata.Karakteristik dari transformasi di atas adalah: (i) subyektif, yaitu tahap-tahap perubahannya tidak bisa diobservasi dari luar karena pengalaman transformasi itu akan berbedadari satu orang ke yang lain; (ii) tidak stabil, yaitu perasaan seseorang bisa berubah-ubah; (iii) reaktif, yaitu sengketa timbul ketika ada penolakan atas klaim dari yang merasa dirugikan; (iv) rumit, yaitu sengketa adalah proses yang mengandung perilaku ambigu, ingatan yang salah, norma yang tidak pasti, tujuan yang saling bertentangan, nilai yang tidak konsisten, dan institusi yang kompleks; (v) tidak selesai, yaitu pihak-pihak yang bersengketa tidak akan sepenuhnya memaafkan atau melupakan sengketa tersebut, akan selalu ada bagian tersisa dari konflik itu yang secara sadar atau tidak sadar memengaruhi konflik di masa depan.Mengenai penyelesaian sengketa, Proyek Berkeley yang dipimpin oleh Laura Nader dan Harry Todd mengidentifikasi cara-cara penyelesaian sengketa yang ada dalam masyarakat, yaitu: penyelesaian yang dilakukan secara sepihak (monody) yaitu lumping it (membiarkan), avoidance (mengelak), dan coercion (paksaan); penyelesaian yang dilakukan sendiri oleh kedua belah pihak yang bersengketa tanpa perantara (dyadic) seperti negotiation (perundingan); dan penyelesaian melalui perantara pihak ketiga (tryadic) seperti mediation (mediasi), arbitration (arbitrasi), dan adjudication (peradilan).[footnoteRef:6] [6: _Laura Nader dan Harry Todd, Introduction in The Disputing Process: Law in Ten Societies, dalam Perempuan di Antara Berbagai Pilihan Hukum oleh Sulistyowati Irianto dalam Disertasi Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Antropologi pada Universitas Indonesia, hlm.34.]

1.4. METODE PENELITIANBagian ini hendak menjelaskan pengalaman penelitian yang di dalamnya terintegrasi juga metode penelitian yang terdiri dari: teknik pengumpulan data, subjek penelitian, dan lokasi penelitian.Untuk menjawab pertanyaan metode penelitian, kami menggunakan metode pengumpulan data wawancara. Wawancara kami lakukan dengan lima pedagang aksesoris di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Tidak ada alasan khusus mengapa kami memilih pedagang aksesoris. Pemilihan objek penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa tim peneliti lain dalam kelas Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia semester genap tahun ajaran 2015 juga harus melakukan penelitian yang sama terhadap objek yang berbeda. Sehingga, tim peneliti Julio dan Nesita memilih untuk melakukan wawancara dengan pedagang aksesoris yang belum dipilih oleh tim peneliti lain. Penelitian dilaksanakan pada hari Senin, 27 April 2015 di Lantai 3 Blok B Pasar Tanah Abang, Jakarta.Peneliti pergi ke Tanah Abang bersama peneliti-peneliti lain menggunakan kereta rel listrik dari Stasiun Universitas Indonesia dan turun di Stasiun Tanah Abang.dari Stasiun Tanah Abang kami berjalan kaki menuju lokasi penelitian. Setelah sampai di Tanah Abang, para peneliti naik ke lantai 8 untuk merencanakan teknis penelitian.Perjalanan dari Stasiun Tanah Abang menuju lantai 8 untuk bertemu dengan pembimbing penelitian kami yaitu Mbak Tirta memakan cukup banyak waktu karena hanya sedikit dari kami yang familiar dengan lokasi penelitian.Setelah merencanakan teknisnya, kami menuju lantai 3 untuk melakukan penelitian.Narasumber pertama yang kami wawancarai adalah Ibu Diah, seorang penjual di toko ANGEL Accessories yang sudah berjualan di Pasar Tanah Abang selama lima tahun. Sebelum berbicara dengan Ibu Diah ini, kami meminta izin untuk melakukan wawancara kepada seseorang yang terlihat seperti pemilik toko.Namun karena pemilik toko ini sibuk, kami dilemparkan kepada seorang Ibu yang sedang duduk di kursi penjual yang kami duga adalah Ibu si pemilik toko.Ibu Diah awalnya terlihat sangat gugup dan ragu-ragu dalam menjawab pertanyaan kami sehingga kami hanya mendapatkan sedikit informasi mengenai pertanyaan-pertanyaan yang kami kemukakan lebih dulu. Namun semakin lama, pembicaraan kita menjadi semakin hangat dan Ibu Diah terlihat lebih rileks dalam menjawab pertanyaan sehingga ia memberikan lebih banyak informasi terhadap pertanyaan-pertanyaan akhir kami. Narasumber kedua yang kami wawancarai adalah dua orang penjaga toko bernama Mbak Nisa dan Mbak Irma yang sudah bekerja di toko bernama HAVEN Accessories sejak tahun 2011.Seperti sebelumnya, kedua orang penjaga toko ini terlihat ragu-ragu untuk mengizinkan kami menanyakan beberapa hal namun setelah dibujuk oleh peneliti, mereka bersedia.Selama wawancara, narasumber tidak terlalu elaboratif dalam menjawab pertanyaan.Mereka menjawab pernyataan dengan singkat.Selain itu, jawaban dari Mbak Nisa dan Mbak Irma terkadang tidak memuaskan peneliti.Peneliti menduga hal ini terjadi karena mereka bukan pemilik toko namun hanya penjaga toko sehingga mereka tidak paham betul seluk beluk tokonya.Di beberapa pertanyaan, Peneliti juga menduga narasumber kurang jujur dalam memberikan informasi.Namun, narasumber kedua telah memberi perspektif tambahan kepada Peneliti mengenai kontrak dalam transaksi jual beli.Narasumber ketiga kami adalah Mbak Ayu yang sudah berjualan di toko Trend Accessories selama empat tahun. Pada awalnya Mbak Ayu tidak ingin diwawancarai dan menunjuk seorang penjual lain yang sedang duduk di depan tokonya dimana Mbak Ayu mengklaim bahwa ia ada pemilik toko yang lebih mengerti masalah tokonya. Namun penjual lain yang ditunjuk Mbak Ayu itu juga tidak bersedia diwawancara dengan berdalih bahwa iabukanlah pemilik toko tapi penjaga di toko lain. Setelah diyakinkan oleh peneliti, Mbak Ayu bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan kami.Mbak Ayu cukup menambah perspektif kami mengenai kontrak dalam transaksi jual beli. Namun, di beberapa pertanyaan, dia tidak bisa memberikan jawaban karena berdasarkan pengakuan Mbak Ayu sendiri ia hanya karyawan toko sehingga kurang mengetahui seluk beluk toko secara mendalam.Narasumber keempat kami adalah Mas Hendri yang sudah berjualan di tokonya bernama MARTIN Accessories selama empat tahun. Di awal kedatangan kami, Mas Hendri sedang sibuk mengambil foto barang yang hendak ia jual secara online. Mas Hendri adalah narasumber yang sangat informatif, dia paham betul mengenai seluk beluk tokonya.Dia juga cukup elaboratif dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan kami.Hal ini bisa terjadi karena Mas Hendri adalah pemilik dan pengelola toko, bukan hanya karyawan penjaga toko.Peneliti merasa bahwa tidak ada kesulitan dalam menggali informasi dari Mas Hendri.Narasumber kelima dan terakhir kami adalah Mbak Riska yang berjualan di toko bernama IR Accessories. Saat pertama kali datang di toko, kami meminta izin kepada seorang Ibu yang sedang sibuk menerima telepon sehingga ia minta diwakilkan oleh anaknya. Anaknya inilah yang kemudian menjadi narasumber kami.Sebagai anak seorang pemilik toko, Mbak Riska mampu memaparkan informasi yang diminta oleh peneliti dengan baik.Mbak Riska mengaku tokonya sudah beroperasi di Pasar Tanah Abang selama empat tahun.Mbak Riska adalah orang yang supel dan suka bercanda sehingga suasana wawancara amat cair.Setelah narasumber kelima, kami mendatangi dua toko aksesoris terakhir di lantai yang sama namun sayangnya keduanya tidak bersedia untuk melakukan wawancara sehingga kami mengakhiri penelitian kami.

BAB IISETTINGPasar Tanah Abang terkenal sebagai pusat perdagangan tekstil terbesar di kawasan Asia Tenggara.Pasar Tanah Abang saat ini terdiri dari tiga wilayah gedung yang biasa disebut Tanah Lama, Tanah Metro, dan Tanah Auri. Tanah Lama terdiri dari Blok A, B, C, D, E, F, AA, BB, dan CC. Blok-blok yang ada di Tanah Auri adalah kumpulan ruko yang menjual tekstil, kecuali untuk Blok E yang berupa kios-kios yang menjual pakaian dalam bentuk grosir atau eceran.Pasar Tanah Abang didirikan pada tanggal 30 Agustus 1973 oleh Justinus Vinck, orang Belanda kaya raya yang mendapatkan ijin dari Gubernur Jenderal Abraham Patram untuk membangun sebuah pasar. Pasar inilah yang sekarang dikenal sebagai Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen. Pada saat itu, Pasar Tanah Abang merupakan tempat berjualan tekstil serta barang kelontong dan hanya buka setiap Sabtu sedangkan Pasar Senen adalah tempat berjualan sayur mayor dan hanya buka setiap hari Senin.Pada tahun 1740 terjadi gejolak dalam masyarakat yang merasa cemburu dengan kesuksesan warga Cina yang berakibat pada terbakarnya Pasar Tanah Abang.Pada tahun 1881, Pasar Tanah Abang kembali dibangun dan terus mengalami perbaikan hingga akhir abad ke-19. Pada tahun 1926, Pemerintah Kota Batavia melakukan pembangunan Pasar Tanah Abang secara permanen dan di tahun 1972, Gubernur Ali Sadikin membangun Pasar Tanah Abang menjadi 3 lantai yang terdiri dari empat blok dan sudah dilengkapi dengan pendingin ruangan. Saat ini, Pasar Tanah Abang merupakan gedung 10 lantai yang modern dengan lebih dari 10.000 kios yang menyediakan pakaian pria, wanita anak-anak, baju muslim, dan produk fashion lainnya.[footnoteRef:7] [7: _Luthfie Sulistiawan, Pemberantasan Aksi Premanisme di Kawasan Pasar Tanah Abang oleh Polsek Metro Tanah Abang, Tesis Fakultas Pascasarjana Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian di Universitas Indonesia, Jakarta, 2011, hlm. 53-55.]

Setelah bertanya kepada satpam yang sedang bertugas, kami diberitahu bahwa toko aksesoris bisa ditemukan di beberapa lantai yaitu lantai 3 dan lantai 3A blok B Pasar Tanah Abang. Kami menemukan setidaknya ada 8 toko aksesoris di lantai 3 namun kami hanya berhasil mewawancari 5 orang.BAB IIIPEMBAHASAN2.1. Pemaknaan Kontrak oleh Penjual Aksesoris di Pasar Tanah AbangBerdasarkan hasil wawancara kami dengan beberapa pedagang di Kawasan Tanah Abang, kita menanyakan hal-hal terkait kontrak. Kontrak sebagaimana dimaknai oleh Subekti adalah peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu,[footnoteRef:8] selain itu, dalam J. Satrio, perjanjian dapat dimaknai menjadi dua macam yaitu dalam arti luas yaitu perjanjian menimbulkan akibat hukum sebagai dikehendaki oleh para pihak, sedangkan dalam arti sempit perjanjian hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja.[footnoteRef:9] [8: _Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1986), hlm. 36.] [9: _J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Lahir dari Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 146.]

Sudikno Mertokusumo pernah menyatakan bahwa perjanjian hendaknya dibedakan dari janji.[footnoteRef:10] Meskipun sebuah janji antara satu pihak atau lebih didasarkan kata sepakat, namun dari kata sepakat tersebut, tidak menimbulkan akibat hukum, artinya adalah apabila janji itu dilanggar, maka tidak akan ada akibat hukumnya. Berbeda dengan definisi kontrak yang berisi serangkaian janji, akan tetapi dalam janji ini ditentukan secara tegas bahwa terdapat sanksi bagi mereka yang melanggar dan pemenuhan sanksi tersebut dapat dituntut ke Pengadilan.[footnoteRef:11] [10: _Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Jakarta: Liberty, 1999), hlm. 110.] [11: _A. G. Guest, Ansons Law of Contract, (Oxford: Clarendon Press, 1979), hlm. 2.]

Stewart Macauley juga menjelaskan tentang Non-Contractual Relations in Business: A Preliminary Study, menyatakan bahwa kontrak merujuk keadaan di mana sebuah perikatan memuat dua elemen, yaitu: a) perencanaan secara rasional mengenai transaksi yaitu kemungkinan-kemungkinan kejadian di masa depan; dan b) adanya sanksi hukum untuk memicu terlaksananya prestasi. Secara teori, maka jual beli yang dilakukan oleh para penjual aksesoris di Kawasan Tanah Abang telah memenuhi unsur-unsur kontrak sesuai dengan yang dikatakan oleh Macauley.Ngak, jual beli ga masuk kontrak.Kontrak yang saya tau itu sewa nyewa ruko, gitu. Jadi jual beli ga masuk kontrak., kata salah satu pedagang yang kami wawancara. Ketika membicarakan perjanjian, tentu menurut Pasal 1320 KUHPerdata, para penjual dan pembeli aksesoris di Kawasan Tanah Abang tentu sudah memenuhi unsur-unsurnya.Unsur sepakat telah dipenuhi dengan disetujuinya harga dan jumlah yang ditawarkan dan diterima oleh penjual dan pembeli.Unsur cakap hukum sudah terpenuhi bila mereka yang membeli tidaklah mengalami gangguan jiwa ataupun dibawah pengampuan.Unsur hal tertentu sudah terpenuhi yakni membeli dan menjual aksesoris.Kita ngambil barang sih dari suplier, jadi udah langganan gitu sama dia, ga bisa nipu-nipu sih jadinya.Dalam hal ini, unsur sebab yang halal sudah dipenuhi karena barang-barang yang dijual oleh penjual adalah barang yang betul-betul didapatkan dengan halal.Para penjual dan pembeli aksesoris di Kawasan Tanah Abang sebetulnya telah melakukan kontrak ketika mereka melakuka jual beli karena telah memenuhi unsur-unsur perjanjian sebagaimana tertera dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Akan tetapi, para penjual aksesoris di Tanah Abang tidak mengenal pengertian kontrak, Maksudnya kontrak apa nih? Aduh saya gatau kontrak apa bukan., kata seorang pedagang ketika ditanyakan terkait makna kontrak, biasanya mereka bersikap panik dan terbata-bata dalam menjawab serta mengelak dari pertanyaan tersebut.

2.2. Kebijakan Pengembalian Barang (Return Policy) dalam Kegiatan Jual Beli di Pasar Tanah AbangSalah satu pertanyaan yang kami selalu tanyakan adalah pertanyaan terkait prinsip return policy. Return policy adalah suatu prinsip yang diberlakukan untuk melindungi konsumen dari penjual yang memiliki itikad buruk dalam menjual barangnya. Pada umumnya, Oh iya, tentang barang rusak pasti kami jelasin di awal., kata salah satu pedagang di Kawasan Tanah Abang. Return policy ini merupakan salah satu pemenuhan unsur sebuah kontrak. Dapat kita lihat dalam pasal 1320 KUHPerdata bahwa unsur-unsur perjanjian adalah konsensus, kecakapan hukum, hal tertentu, sebab yang halal.Umumnya, apabila seseorang membeli suatu barang, akan diberikan kepadanya garansi atas kerusakan suatu barang. Garansi ini dinamakan sebagai return policy dalam proses jual beli aksesoris di Kawasan Tanah Abang atau dikenal juga dengan nuker barang cacat. Pada umumnya, narasumber kami menjual barang secara grosir dan tidak menjual secara satuan, oleh karena itu, banyak reseller yang datang untuk membeli aksesoris dan kemudian menjual lagi dengan harga yang lebih tinggi daripada harga belinya.Karena mereka bertransaksi dalam jumlah banyak, maka biasanya antara penjual dengan pembeli sudah menjadi langganan.Biasanya udah langganan sih, jadi lebih santai kalau barang-barang rusak gitu.Kan kita juga ga ada niat buruk mau jual barang cacat atau jelek gitu ke dia, nah dianya sendiri juga ngerti sih untungnya. Berkat telah menjadi langganan dengan penjual, maka pembeli juga menjadi lebih toleran apabila mendapati barangnya ada yang sedikit rusak atau cacat, karena akan lebih mudah juga untuk memberlakukan return policy tersebut.Kami juga menanyakan hubungan antara penjual dengan supplier barang.Biasanya antara supplier barang dengan penjual juga merupakan langganan. Ada pula penjual yang ketika mendapati bahwa barang yang ia beli dari supplier merupakan defect atau barang cacat, mereka tidak merasa dirugikan karena dari sejumlah barang yang rusak, mereka anggap bahwa kerusakan bagi beberapa barang memang mutlak ada setiap pengantaran. Oleh karena itu, mereka telah mensiasati peristiwa-peristiwa seperti itu.Kalau rusak beberapa ya, caranya paling kita naikkin sih harga barang-barang yang ada lebih maha dari yang biasanya, supaya barang yang rusak itu juga ketutup jadinya.Oh pasti kita jelasin kalo barangnya rusak bisa dibalikin, tapi kalo bukan karena salah kita, misalnya dia kebanting gitu nah kita ga bisa ganti. Ketika akan terjadi proses jual beli antara penjual aksesoris di Kawasan Tanah Abang dengan pembeli, seperti layaknya proses jual beli, pembeli pasti menanyakan apabila suatu barang ternyata cacat, bisa atau tidak dikembalikan. Return policy menurut penulis, merupakan salah satu bentuk dalam unsur hal tertentu menurut Pasal 1320 KUHPerdata. Oleh karena itu, sebenarnya para pedagang aksesoris di Kawasan Tanah Abang secara tidak sadar sudah mengerti terkait kontrak dan bahkan mereka menjalankan usaha dengan menggunakan kontrak, bukti nyatanya adalah dengan pemberlakuan prinsip return policy.Namun mereka tidak mengerti makna asli dari kontrak.

2.3. Tindakan Penjual atas Pelanggaran Hak (Mekanisme Penyelesaian Sengketa)Ketika sebuah perjanjian atau kontrak sudah terbentuk secara sah, maka kita mengenal asas Pacta Sunt Servanda.Asas tersebut berbunyi bahwa setiap pihak yang berada dalam perjanjian harus mematuhi peraturan-peraturan dalam perjanjian tersebut seperti layaknya Undang-Undang.Secara garis besar, penyelesaian sengketa di perkara keperdataan dapat dibagi menjadi dua macam yaitu litigasi dan non-litigasi. Menurut Dr. Frans Hendra Winarta dalam buku Hukum Penyelesaian Sengketa,[footnoteRef:12]penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan model penyelesaian sengketa dengan membawa perkara ke Pengadilan, sedangkan dalam non-litigasi, merupakan model penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar lembaga Pengadilan yang dapat dibagi lagi menjadi 4 macam, diantaranya adalah lewat lembaga arbitrase sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa Pasal 1 ayat (1). Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar Pengadilan di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Rachmadi Usman dalam bukunya Mediasi di Pengadilan[footnoteRef:13]menyatakan bahwa selain proses litigasi, penyelesaian sengketa juga dapat ditempuh melalui lembaga mediasi yang merupakan penyelesaian secara damai dan ada keterlibatan pihak ketiga yang netral dan membantu para pihak untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima setiap pihak. Lembaga lainnya adalah negosiasi yang menggunakan komunikasi dua arah untuk membuat kesepakatan bersama.Lembaga terakhir lainnya adalah konsiliasi dimana merupakan upaya mempertemukan kepentingan para pihak untuk mencapai persetujuan bersama. [12: _Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 1-12.] [13: _Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 8.]

William L.F Felstiner, Richard L. Abel, dan Austin Sarat dalam tulisannya yang berjudul The Emergence and Transformation of Disputes: Naming, Blaming, Claiming merupakan salah satu teori yang dapat digunakan dalam pembahasan mengenai masalah sengketa. Apabila kita membahas terkait apakah suatu masalah patut dibawa ke Pengadilan atau tidak, maka kita sudah membicarakan terkait tahap claming karena sudah membutuhkan pihak ketiga untuk menyelesaikan masalah.Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, salah satu bentuk penyelesaian sengketa adalah dengan litigasi yaitu membawa perkara ke Pengadilan. Penulis juga menanyakan kepada para pedagang terkait cara menyelesaikan sengketa yang terjadi ketika jual beli telah terlaksana. Sebagai penjual dan pembeli, masing-masing memiliki hak dan kewajiban.Ketika seorang pihak telah dilanggar haknya oleh pihak lainnya, dan salah satu pihak telah merasa dirugikan, maka muncul beberapa pilihan penyelesaian masalah. Wah, kalau bisa sih mendingan damai aja., kata seorang pedagang. Para penjual aksesoris di Kawasan Tanah Abang sudah mengenal adanya Pengadilan, dan mereka juga mengetahui bahwa sebuah perkara dapat dibawa ke Pengadilan, namun banyak dari mereka yang tidak ingin membawa masalah kerugian dalam jual beli ke Pengadilan, mereka lebih mengutamakan jalan damai. Beberapa pedagang yang juga telah pernah mengalami kerugian dari jual beli tersebut juga lebih toleran terhadap kerugian yang mereka alami, dikarenakan mereka tidak ingin ambil pusing mengurusi masalah kerugian yang tidak seberapa.Wah, bawa lah ke Pengadilan. Ga bisa di diemin., kata seorang pedagang lainnya. Dari beberapa pedagang yang penulis wawancarai, hanya satu pedagang yang menyatakan bahwa ia tidak takut untuk membawa suatu perkara yang berkaitan dengan kerugian yang dialami penjual ke Pengadilan.

BAB IVKESIMPULANPengetahuan mengenai kontrak belum dikenal secara mendalam oleh para pedagang aksesoris di Kawasan Tanah Abang.Kontrak sebagaimana dimaknai oleh para pedagang aksesoris Kawasan Tanah Abang lebih merujuk kepada bentuk kontrak kerja, diantaranya adalah kontrak kerja dan kontrak sewa ruko.Mereka sendiri kurang paham makna dari kata kontrak itu sendiri, namun mereka merasa bahwa transaksi bisnis jual beli antara mereka sebagai penjual kepada pembeli bukan merupakan suatu kontrak.Salah satu sistem umum dalam transaksi jual beli yaitu return policy ternyata telah diberlakukan oleh para pedagang aksesoris Kawasan Tanah Abang. Pemberlakuan return policy ini merupakan bukti bahwa secara tidak sadar, mereka telah memenuhi salah satu unsur kontrak sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata.Hal ini juga membuktikan bahwa mereka secara tidak sadar melakukan kontrak antara penjual dengan pembeli.Transaksi menyebabkan munculnya hak dan kewajiban baru bagi penjual maupun pembeli.Hak dan kewajiban ini harus diseimbangkan sehingga transaksi dapat berjalan dengan lancar.Apabila terjadi tindakan yang melanggar hak salah satu pihak, terdapat mekanisme untuk menyelesaikan sengketa, yaitu membawa perkara tersebut ke Pengadilan.Para pedagang aksesoris Kawasan Tanah Abang sudah mengetahui terkait mekanisme hukum ini, namun mereka enggan untuk membawa suatu masalah bisnis ke Pengadilan.Para pedagang lebih memikirkan untuk mencari jalan damai apabila terjadi masalah karena menurut mereka, merupakan tindakan yang salah untuk membawa suatu perkara yang tidak terlalu besar ke Pengadilan, karena selain membuang banyak waktu, juga membuang banyak uang dan tenaga.

DAFTAR PUSTAKABukuA. G. Guest, Ansons Law of Contract, Oxford: Clarendon Press, 1979.Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan Lahir dari Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT Intermasa, 2005.Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Jakarta: Liberty, 1999.ArtikelStewart Macauley, Non-Contractual Relations in Business: Preliminary Study, dalam American Sociological Review, Vol. 28, Februari 1963.William L.F Felstiner, et.al., The Emergence and Transformation of Disputes: Naming, Blaming, Claiming, dalam Law and Society Review, Vol. 15, 1980.Laura Nader dan Harry Todd, Introduction in The Disputing Process: Law in Ten Societies, New York: Columbia University Press.Tesis dan DisertasiLuthfie Sulistiawan, Pemberantasan Aksi Premanisme di Kawasan Pasar Tanah Abang oleh Polsek Metro Tanah Abang, Tesis Fakultas Pascasarjana Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian di Universitas Indonesia, Jakarta, 2011.Sulistyowati Irianto, Perempuan di Antara Berbagai Pilihan Hukum, Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Antropologi pada Universitas Indonesia, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000.

InternetBadan Pusat Statistika, Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto Triwulanan Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha, 2000-2014 (Persen),http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/excel/id/1207, diakses pada hari Kamis 21 Mei 2015 pukul 12.07.Rujukan LainSubekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Balai Pustaka, 200921


Recommended