KONTRIBUSI KECERDASAN EMOSI TERHADAP AGRESIVITAS
PADA REMAJA
THERIA MERDA
Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
ABSTRAK
Tujuan yang hendak di capai dalam penelitian ini adalah untuk menguji
seberapa besar kontribusi kecerdasan emosi terhadap agresivitas pada remaja siswa-
siswi SMAN 21 Jakarta. Sampel dalam penelitian ini adalah remaja siswa-siswi SMAN
21 Jakarta sebanyak 124 orang, terdiri dari 58 orang pria dan 66 orang wanita.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan skala kecerdasan emosi untuk
mengukur kecerdasan emosi dan skala agresivitas untuk mengukur agresivitas.
Untuk pengukuran kecerdasan emosi digunakan skala kecerdasan emosi yang
diadopsi dari skala kecerdasan emosi yang disusun oleh Gasya (2007) berdasarkan
komponen-komponen kecerdasan emosi. Pada skala kecerdasan emosi dilakukan uji
validitas dan reliabilitas dengan teknik Alpha Cronbach. Dari 50 item skala kecerdasan
emosi yang telah diuji cobakan, 41 item dinyatakan memiliki validitas yang memadai
yaitu berkisar antara 0, 300 sampai dengan 0, 630 dengan nilai reliabilitas sebesar
0,920. Untuk pengukuran agresivitas digunakan skala agresivitas yang disusun oleh
peneliti, yang berdasarkan pada tipe-tipe agresi. Pada skala kepercayaan diri dilakukan
uji validitas dan reliabilitas dengan teknik Alpha Cronbach. Dari 40 item skala
agresivitas yang telah diuji cobakan, 27 item dinyatakan memiliki validitas yang
memadai yaitu berkisar antara 0,322 sampai dengan 0,647 dengan nilai reliabilitas
sebesar 0,890.
Hasil penelitian ini diperoleh F sebesar 41,980 dengan signifikansi sebesar
0,000 (p < 0,05), dan diperoleh Adjusted R square sebesar 0,250. Hal ini berarti terdapat
kontribusi kecerdasan emosi secara signifikan terhadap agresivitas dan kontribusinya
sebesar 25%. Dengan demikian hipotesis yang berbunyi ada kontribusi kecerdasan emosi
secara signifikan terhadap agresivitas, diterima.
1
Kata Kunci :. Kecerdasan emosi, Agresivitas, Remaja PENDAHULUAN
Latar belakang Masalah
Perkembangan informasi yang pesat
pada era globalisasi saat ini memberikan
peluang bagi remaja untuk terlibat secara
langsung dalam suasana kehidupan global.
Laju perkembangan arus informasi dan
teknologi secara bersamaan memberikan
pengaruh pada perkembangan remaja. Tahap
perkembangan remaja yang masih mencari
identitas diri dan perubahan-perubahan yang
terjadi menjelang masa remaja seperti
perubahan fisik, emosi dan kehidupan sosial
membuat remaja dihadapkan pada berbagai
alternatif pilihan yang tersedia di tengah
lingkungan.
Pergolakan emosi yang terjadi pada
remaja tidak terlepas dari bermacam
pengaruh seperti lingkungan tempat tinggal,
keluarga, sekolah dan teman sebaya serta
aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam
kehidupan sehari-hari. Masa remaja dapat
dikenal sebagai masa strum and drang atau
storm and stress, masa yang penuh dengan
konflik dan ketidakpastian karena pada masa
ini remaja mengalami banyak perubahan
antara lain perubahan pada emosi, perubahan
pada fisik atau tubuh serta perubahan pada
pola perilaku, minat dan nilai yang ada pada
dirinya (Hurlock, 1993).
Adanya perubahan-perubahan yang
terjadi membuat remaja dituntut untuk dapat
menyesuaikan diri secara efektif. Remaja
pada umumnya lebih banyak menghabiskan
waktunya di sekolah sehingga kurang
memadai untuk memenuhi gejolak
energinya, maka remaja seringkali
meluapkan kelebihan energinya ke arah
yang tidak positif misalnya tawuran dan
perilaku agresi lainnya. Hal ini
menunjukkan betapa besar gejolak emosi
yang ada dalam diri remaja ketika
berinteraksi dengan lingkungannya
(Mutadin, 2002).
Gejolak emosi remaja yang
menggebu-gebu membuat emosi dalam diri
tidak terkontrol. Hal itu sering berdampak
dan berujung pada kekerasan atau tawuran.
Amarah atau emosi yang tidak terkontrol
yang timbul secara alami dari dalam diri
remaja itulah faktor terbesar munculnya
agresi atau berontak dari diri masing-masing
remaja. Remaja berpikir masih terlalu dini
untuk bertengkar sendirian, maka remaja
mengajak teman-temannya, sehingga yang
terjadi bukanlah agresi dari diri pribadi
melainkan secara massal (Bagus, 2008).
Saat ini beberapa televisi bahkan
membuat program-program khusus yang
menyiarkan berita-berita tentang aksi
kekerasan. Aksi-aksi kekerasan dapat terjadi
di mana saja, seperti di jalan, di sekolah,
bahkan di kompleks-kompleks perumahan.
Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal
seperti mencaci maki maupun kekerasan
fisik seperti memukul, meninju, dan
sebagainya. Pada kalangan remaja aksi yang
biasa dikenal sebagai tawuran pelajar atau
2
massal merupakan hal yang sudah sering
terjadi, bahkan cenderung dianggap biasa.
Pelaku-pelaku tindakan aksi ini bahkan
sudah mulai dilakukan oleh siswa-siswa di
tingkat SMP. Hal yang terjadi pada saat
tawuran sebenarnya adalah perilaku agresi
dari seorang individu atau kelompok (Bagus,
2008).
Seringkali aksi tawuran di kalangan
remaja disebabkan oleh hal yang sepele.
Seperti tawuran remaja yang terjadi di
Makasar yang disebabkan karena remaja
tersebut saling mengejek ketika bertemu di
jalan. Adapula tawuran petasan yang
dilakukan remaja yang terjadi di Pamulang,
sewaktu bulan puasa kemarin. Padahal pada
bulan yang suci tersebut seharusnya remaja
dapat mengontrol emosinya dengan tidak
melakukan tawuran (Seputar Indonesia,
2008). Hal ini juga terkadang dialami oleh
remaja yang duduk di bangku SMA, seperti
subjek dalam penelitian ini. Di sekolah
tersebut pernah terjadi adanya pertengkaran
antara siswa kelas 2 dan siswa kelas 3. Ini
merupakan perilaku agresi yang kerap
terjadi pada remaja.
Peristiwa lain yang terjadi yang
berkaitan dengan agresivitas remaja yaitu
tiga gadis remaja yang diamankan polisi
lantaran menganiaya seorang pelajar SMP 4
Watampone, Sulawesi Selatan. Ketiga gadis
tersebut masing-masing bernama Pipit (14),
Ningsih (16), dan Dian (18). Korban yang
dianiaya adalah Jusriana (14). Ketiga pelaku
diciduk polisi sesaat setelah menganiaya
korban. Penganiayaan tehadap siswi ini
menyerupai kasus Geng Nero di Pati
beberapa waktu lalu. Jusriana mengaku
mendapat tamparan dan pukulan dari ketiga
pelaku secara bergantian. Penganiayaan
berawal saat korban dan Pipit terlibat
pertengkaran sengit. Saat bertengkar, Pipit
kemudian menghubungi Ningsih dan Dian
agar datang ke sekolah untuk mengeroyok
Jusriana. Saat bertemu di lingkungan
sekolah, ketiganya lalu beramai-ramai
mengeroyok gadis tersebut (Seputar
Indonesia, 2008).
Peristiwa-peristiwa di atas
merupakan contoh perilaku agresi yang
dilakukan remaja. Menurut Baron (dalam
Koeswara, 1988), agresi adalah tingkah laku
individu yang ditujukan untuk melukai atau
mencelakakan individu yang ditujukan
untuk melukai atau mencelakai individu
yang tidak menginginkan datangnya tingkah
laku tersebut. Definisi agresi dari Baron ini
mencakup empat faktor tingkah laku, tujuan
untuk melukai atau mencelakai, individu
yang menjadi pelaku dan individu yang
menjadi korban, dan ketidakingintahuan
korban menerima tingkah laku tersebut.
Menurut Mutadin (2002), remaja
merupakan masa yang paling banyak
dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-
teman sebaya dan dalam rangka
menghindari hal-hal negatif misalnya
perilaku agresi yang dapat merugikan
dirinya sendiri maupun orang lain. Menurut
Martono (2006), terdapat faktor-faktor
penyebab timbulnya agresi antara lain faktor
pribadi, remaja dituntut menyesuaikan diri
dengan lingkungannya. Di lain pihak, remaja
harus mengembangkan identitas diri secara
3
positif. Terjadinya krisis identitas pada diri
remaja dapat menimbulkan ketegangan
(stress) dan kecemasan pada remaja. Faktor
keluarga juga dapat menyebabkan timbulnya
agresi karena keluarga merupakan
lingkungan pendidikan yang utama dan
pertama bagi anak. Jika suasana keluarga
kurang mendukung, dapat terjadi gangguan
perkembangan kejiwaan anak. Selain faktor
pribadi dan keluarga, lingkungan kelompok
sebaya juga dapat menyebabkan perilaku
agresi karena jika kondisi di rumah kurang
menunjang, anak mencari perhatian dan
identitas diri diluar, pengaruh kelompok
sebaya ini sangat besar.
Menurut Martono (2006), lingkungan
sekolah juga merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan agresi. Kondisi sekolah
yang tidak menguntungkan proses
pendidikan pada anak, keadaan guru dan
sistem pengajaran yang tidak menarik,
menyebabkan anak cepat bosan. Untuk
menyalurkan rasa tidak puasnya, mereka
meninggalkan sekolah atau membolos dan
bergabung dengan kelompok anak-anak
yang tidak sekolah, yang pekerjaannya
hanya berkeliaran tanpa tujuan yang jelas.
Faktor yang lain ialah lingkungan
masyarakat, kondisi sosial ekonomi,
lingkungan fisik perkotaan yang tidak
mendukung perkembangan diri anak dan
remaja, situasi politik yang tidak menentu,
lemahnya penegakan hukum, rendahnya
disiplin masyarakat, dan pengaruh media
massa merupakan penyebab meningkatnya
budaya kekerasan.
Remaja dapat menghindari perilaku
agresi dengan memupuk serta memperkuat
kecerdasan emosi dalam diri remaja tersebut.
Remaja hendaknya memahami dan memiliki
apa yang disebut kecerdasan emosi.
Kecerdasan emosi ini terlihat dalam hal-hal
seperti bagaimana remaja mampu untuk
memberi kesan yang baik tentang dirinya,
mampu mengungkapkan dengan baik
emosinya sendiri, berusaha menyetarakan
diri dengan lingkungan, dapat
mengendalikan perasaan dan mampu
mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan
waktu dan kondisi yang ada sehingga
interaksi dengan orang lain dapat terjalin
dengan lancar dan efektif (Mutadin, 2002).
Salovey dan Mayer (dalam Stein &
Book, 2002) mendefinisikan kecerdasan
emosi sebagai kemampuan untuk mengenali
perasaan, meraih dan membangkitkan
perasaan untuk membantu pikiran,
memahami perasaan dan maknanya serta
mengendalikan perasaan secara mendalam
sehingga membantu perkembangan
emosional dan intelektual.
Studi yang dilakukan Petrides dkk.
(2006) menunjukkan bahwa peran
kecerdasan emosional dalam hubungan
teman sebaya di sekolah. Terhadap 160
siswa (83 anak perempuan; rata-rata umur
10.8 tahun) dilakukan pengukuran dengan
kuesioner daftar sifat kecerdasan emosi dan
sesudah itu diminta untuk menominasikan
teman sekelasnya masing-masing yang
cocok ke dalam tujuh deskripsi perilaku
yang berbeda (‘kooperatif’,’pengganggu’,
‘pemalu’, ‘agresif’, ‘dependen’, ‘pemimpin’,
4
dan ‘pengintimidasi’). Para guru yang
diminta untuk menominasikan seluruh siswa
yang cocok ke dalam tujuh deskripsi. Siswa-
siswa dengan skor sifat kecerdasan emosi
yang tinggi lebih masuk nominasi untuk
‘kooperatif’ dan ‘kepemimpinan’, serta lebih
rendah nominasinya untuk ‘pengganggu’,
‘agresif’, dan ‘dependen’. Analisis faktor
dari nominasi para guru menunjukkan dua
faktor orthogonal meliputi masing-masing
deskripsi prososial dan antisosial. Siswa-
siswa dengan skor sifat kecerdasan emosi
yang tinggi ada dalam faktor prososial dan
yang rendah ke dalam faktor antisosial.
Hasil dari penelitian tersebut
mengungkapkan bahwa kecerdasan emosi
termasuk dalam faktor prososial yaitu
remaja mampu mengenali emosi dirinya
maupun emosi orang lain, remaja juga
mampu membina hubungan yang baik
dengan lingkungan sekitarnya. Sedangkan
agresivitas termasuk dalam faktor antisosial.
Agresivitas terjadi dikarenakan remaja tidak
memiliki kecerdasan emosi yang baik.
Rendahnya kecerdasan emosi dapat
menghambat pertimbangan intelektual dan
menghancurkan karier. Kerugian terbesar
diderita oleh anak-anak maupun remaja,
yang mungkin dapat terjerumus dalam risiko
terserang depresi, gangguan makan,
kehamilan yang tak diinginkan, bahkan
agresivitas serta kejahatan dengan
kekerasan. Sedangkan kecerdasan emosi
yang tinggi ditandai dengan orang-orang
yang menonjol dalam kehidupan nyata
seperti memiliki hubungan dekat yang
hangat, disiplin diri, altruisme, dan mampu
mengelola emosi dengan baik sehingga
remaja tersebut dapat mengendalikan dirinya
dan tidak melakukan agresivitas (Goleman,
2006).
Berdasarkan uraian di atas maka
dapat disimpulkan bahwa remaja yang
memiliki kecerdasan emosi yang tinggi
kemungkinan kecil melakukan agresivitas
karena remaja tersebut mampu mengenali
emosi dan mampu mengelola emosinya
dengan baik. Sebaliknya, remaja yang
memiliki kecerdasan emosi yang rendah
cenderung tidak mempunyai kemampuan
untuk mengelola emosinya dan mengenali
emosi orang lain sehingga melakukan
perilaku yang buruk seperti perilaku agresi.
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk
menguji seberapa besar kontribusi
kecerdasan emosi terhadap agresivitas pada
remaja?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
menguji seberapa besar kontribusi
kecerdasan emosi terhadap agresivitas pada
remaja siswa-siswi SMAN 21 Jakarta.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki
dua manfaat yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Berdasarkan hasil penelitian diketahui
bahwa terdapat kontribusi kecerdasan
emosi secara signifikan terhadap
agresivitas, maka penelitian ini
diharapkan dapat menambah khasanah
ilmu pengetahuan Psikologi pada
5
umumnya serta Psikologi Sosial pada
khususnya dan untuk penelitian
selanjutnya diharapkan lebih
memperhatikan ciri-ciri dari kecerdasan
emosi sehingga dapat mengurangi
agresivitas pada remaja.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian yang menunjukkan
bahwa kecerdasan emosi yang tinggi
dapat menyebabkan agresivitas yang
rendah, ini diharapkan dapat menjadi
masukan bagi orang tua maupun
sekolah tentang pentingnya
pengembangan kecerdasan emosi para
remaja, khususnya remaja siswa-siswi
SMA sehingga remaja tersebut dapat
menghindari perilaku agresi seperti
tawuran yang seringkali terjadi pada
remaja.
TINJAUAN PUSTAKA
Kecerdasan Emosi
Goleman (2006) menyatakan bahwa
kecerdasan emosi adalah kemampuan-
kemampuan yang mencakup pengendalian
diri, semangat, ketekunan serta kemampuan
untuk memotivasi diri sendiri.
Salovey dan Mayer (dalam Stein &
Book, 2002) mendefinisikan kecerdasan
emosi sebagai kemampuan untuk mengenali
perasaan, meraih dan membangkitkan
perasaan untuk membantu pikiran,
memahami perasaan dan maknanya serta
mengendalikan perasaan secara mendalam
sehingga membantu perkembangan
emosional dan intelektual.
Mc Clelland (dalam Goleman, 2006)
mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai
seperangkat kecakapan khusus seperti
empati, disiplin diri dan inisiatif yang akan
menghasilkan orang-orang yang sukses dan
memiliki kinerja yang tinggi.
Menurut Schwartz (1997), kecerdasan
emosi adalah keajaiban dalam pemikiran
yang memperlihatkan bagaimana
keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh
ukuran besar kecil otak seseorang tetapi
lebih kepada gagasan atau pemikiran
seseorang dalam mengamati, memahami
dirinya dan berinteraksi dengan orang lain.
Menurut Patton (2002) kecerdasan
emosi adalah dasar-dasar pembentukan
emosi yang mencakup keterampilan
seseorang untuk mengadakan impuls-impuls
dan menyalurkan emosi yang kuat secara
efektif.
Melalui uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan
yang dimiliki seseorang dalam
mengendalikan dorongan-dorongan emosi
yang ada serta untuk menilai emosi secara
tepat baik pada diri sendiri maupun pada
orang lain.
Komponen-Komponen Kecerdasan Emosi
Menurut Goleman (2006), komponen-
komponen dalam kecerdasan emosi yaitu :
a. Mengenali emosi diri
Kesadaran diri dengan mengenali
perasaan sewaktu perasaan itu terjadi
merupakan dasar kecerdasan emosi.
Kemampuan untuk memantau perasaan
dari waktu ke waktu merupakan hal
6
penting bagi wawasan psikologi dan
pemahaman diri. Ketidakmampuan
untuk mencermati perasaan diri sendiri
yang sesungguhnya membuat seseorang
berada dalam kekuasaan perasaan.
Orang yang memiliki keyakinan yang
lebih tentang perasaannya adalah orang
yang andal bagi kehidupan diri
seseorang itu sendiri, karena
mempunyai kepekaan lebih tinggi akan
perasaan diri yang sesungguhnya atas
pengambilan keputusan mengenai suatu
masalah maka seseorang tersebut akan
dapat memahami keterbatasan-
keterbatasan yang ada pada dirinya.
b. Mengelola emosi
Menangani perasaan agar perasaan
dapat terungkap dengan baik adalah
kecakapan yang bergantung pada
kesadaran diri merupakan kemampuan
untuk menghibur diri sendiri,
melepaskan kecemasan, kemurungan
atau ketersinggungan dan akibat-akibat
yang timbul karena gagalnya
keterampilan emosi ini. Orang-orang
yang buruk kemampuannya dalam
keterampilan ini akan terus menerus
bertarung melawan perasaan-perasaan
buruk yang menguasai dirinya,
sementara orang yang pandai dapat
bangkit kembali dengan jauh lebih baik
seperti yang diharapkan.
c. Memotivasi diri sendiri
Menata emosi sebagai alat untuk
mencapai tujuan adalah hal yang sangat
penting dalam kaitan untuk memberi
perhatian, untuk memotivasi diri sendiri
dan menguasai diri sendiri serta untuk
berkreasi. Kendali diri emosional adalah
menahan diri terhadap kepuasan dan
mengendalikan dorongan hati sehingga
terciptalah suatu keberhasilan dalam
berbagai bidang serta mampu
menyesuaikan diri dalam mewujudkan
kinerja yang tinggi dalam segala bidang.
Orang-orang yang memiliki
keterampilan ini cenderung jauh lebih
produktif dan efektif dalam hal apapun
yang dilakukan dan dikerjakan.
d. Mengenali emosi orang lain atau
berempati
Mengenali emosi orang lain berarti
kemampuan menangkap sinyal-sinyal
sosial yang tersembunyi yang
mengisyaratkan apa yang dibutuhkan
atau dikehendaki orang lain atau lebih
dikenal dengan empati. Empati
merupakan kemampuan yang
bergantung pada kesadaran diri
emosional dan merupakan keterampilan
dasar dalam bergaul.
e. Membina hubungan dengan orang lain
Seni membina hubungan, sebagian
besar merupakan keterampilan
mengelola emosi orang lain. Ini
merupakan keterampilan yang
menunjang popularitas, kepemimpinan
dan keberhasilan antar pribadi. Orang-
orang yang hebat dalam keterampilan
ini akan sukses dalam bidang apapun
yang baik dengan orang lain.
7
Agresivitas
Menurut Baron (dalam Koeswara,
1988), agresi adalah tingkah laku individu
yang ditujukan untuk melukai atau
mencelakakan individu yang tidak
menginginkan datangnya tingkah laku
tersebut. Definisi agresi dari Baron ini
mencakup empat faktor tingkah laku, tujuan
untuk melukai atau mencelakakan (termasuk
mematikan atau membunuh), individu yang
menjadi pelaku dan individu yang menjadi
korban, dan ketidakingintahuan korban
menerima tingkah laku tersebut.
Berkowitz (dalam Koeswara, 1988)
membedakan agresi sebagai tingkah laku
sebagaimana diindikasikan oleh definisi
Baron dengan agresi sebagai emosi yang
bisa mengarah kepada tindakan agresif.
Sama dengan pendapat Berkowitz Aronson
(dalam Koeswara, 1988) mengajukan
definisi agresi sebagai tingkah laku yang
dijalankan oleh individu dengan maksud
melukai atau mencelakakan individu lain
dengan ataupun tanpa tujuan tertentu.
Sedangkan menurut Akbar (2001),
agresi adalah tingkah laku yang meliputi
fisik maupun verbal yang bertujuan
menyakiti orang lain, dan tingkah laku
agresi ini merupakan perilaku yang normal
bagi seseorang karena hal ini sebagai
kesiapsiagaan seseorang untuk melindungi
dirinya agar aman.
Calhoun dan Acocella (dalam Sobur,
2003) menyatakan bahwa, sikap agresif
adalah penggunaan hak sendiri dengan cara
melanggar hak orang lain, sedangkan
menurut Murray (dalam Chaplin, 1989),
agresi adalah kebutuhan untuk menyerang,
memperkosa atau melukai orang lain, untuk
meremehkan, merugikan, menggangu,
membahayakan, merusak, menjahati,
mengejek, mencemoohkan atau menuduh
secara jahat, menghukum berat atau
melakukan tindakan sadistis lainnya.
Menurut Breakwell (1998) agresi
adalah suatu tindakan dimana ada usaha
untuk mencederai secara fisik. Sedangkan
menurut Martono (2006), agresi adalah
perbuatan keras yang ditujukan kepada
orang lain, diri sendiri,atau barang, dengan
menggunakan kekuatan, ancaman, atau
paksaan, baik dengan alat maupun tanpa
alat.
Melalui uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa agresivitas merupakan
bentuk perilaku yang meliputi fisik maupun
verbal yang dimaksudkan untuk menyakiti
atau merugikan seseorang yang bertentangan
dengan kemauan orang itu.
Faktor-Faktor Pemicu Agresi
Menurut Martono (2006) ada faktor-
faktor penyebab timbulnya agresi antara
lain:
a. Faktor pribadi
Remaja dituntut menyesuaikan diri
dengan lingkungannya. Di lain pihak, ia
harus mengembangkan identitas diri
secara positif. Ia harus beralih dari
reaksi kekanak-kanakan ke
pertimbangan yang lebih rasional dan
dewasa. Oleh karena itu, remaja perlu
memiliki pedoman tata nilai yang jelas.
Jika tidak, terjadi kekaburan nilai.
8
Apalagi jika tidak ada tokoh yang dapat
dijadikan panutan atau norma-norma
masyarakat juga kabur dan tidak jelas.
Terjadi krisis identitas pada diri remaja.
Tidak tercapainya identitas diri yang
positif, menimbulkan ketegangan
(stress) dan kecemasan pada remaja.
Kekerasan merupakan sikap agresi
sebagai pelampiasan rasa frustasi.
Mereka mengambil identitas negatif dan
terjerumus pada kenakalan remaja. Bagi
mereka, lebih baik daripada terombang-
ambing dalam ketidaktahuan diri.
b. Faktor lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan
pendidikan yang utama dan pertama
bagi anak. Jika suasana keluarga kurang
mendukung, pasti terjadi gangguan
perkembangan kejiwaan anak.
Sumbernya, antara lain rumah tangga
kacau; orang tua sibuk dan kurang
memerhatikan kebutuhan kasih sayang
bagi anak; orang tua terlalu
memanjakan anak; kurangnya perhatian
terhadap pendidikan anak; perilaku
orang tua yang “tidak dewasa” dan
menyimpang.
c. Faktor lingkungan kelompok sebaya
Jika kondisi di rumah kurang
menunjang, anak mencari perhatian dan
identitas diri diluar. Pengaruh kelompok
sebaya sangat besar. Remaja ingin
diterima kelompok sebayanya sehingga
mau mengikuti peraturan dan norma
yang ditetapkan kelompok. Ada rasa
bangga karena banyak kawan dan
merasa diri popular. Ukuran popularitas
adalah kemewahan, kekuatan fisik,
kelihaian, dan sebagainya.
d. Faktor lingkungan sekolah
Kondisi sekolah yang tidak
menguntungkan proses pendidikan pada
anak, keadaan guru dan system
pengajaran yang tidak menarik,
menyebabkan anak cepat bosan.
Lingkungan sekolah tidak menarik
perhatian anak. Untuk menyalurkan rasa
tidak puasnya, mereka meninggalkan
sekolah atau membolos dan bergabung
dengan kelompok anak-anak yang tidak
sekolah, yang pekerjaannya hanya
berkeliaran tanpa tujuan yang jelas.
Jumlah siswa yang terlalu besar,
kesenjangan sosial-ekonomi, baik antara
para pelajar maupun antara pelajar dan
guru; disiplin dan tata-tertib sekolah
yang rendah; kurangnya sarana dan
prasarana sekolah; memahami
didaktik/metodik mengajar; kurangnya
kegiatan ekstrakurikuler, merupakan
faktor-faktor penyebabnya.
e. Faktor lingkungan masyarakat
Kondisi sosial ekonomi, besarnya jurang
antara kelompok yang ‘punya’ dan yang
‘tidak punya’; kurangnya sarana
transportasi, lingkungan fisik perkotaan
yang tidak mendukung perkembangan
diri anak dan remaja, situasi politik
yang tidak menentu, lemahnya
penegakan hukum,rendahnya disiplin
masyarakat, dan pengaruh media massa
9
merupakan penyebab meningkatnya
budaya kekerasan.
Menurut Breakwell (1998) adapun
faktor pemicu perilaku agresi, antara lain:
a. Intensifikasi rangsangan permusuhan,
misalnya memperburuk penderitaan
dengan menandaskan bahwa pasien
harus menunggu pengobatan selama
jangka waktu yang tidak ditentukan,
atau dipaksakannya otoritas resmi.
b. Awal kehilangan kendali yang
diakibatkan oleh obat-obatan, dan
sebagainya.
c. Kesadaran tiba-tiba bahwa pilihan
alternatif selain penggunaan kekerasan
tidak ada.
d. Kedatangan isyarat-isyarat yang
menunjang kekerasan,misalnya imaji
kekerasan seperti foto-foto yang
mengambarkan seni bela diri atau
hadirnya orang-orang lain, misalnya
anggota-anggota kelompok sebaya,
yang akan dipandang merestui
kekerasan.
e. Meningkatnya kesadaran bahwa tindak
kekerasan dapat diganjar dengan
penghargaan.
f. Penggunaan kata-kata atau frasa-frasa
yang dikenal provokatif bagi orang yang
bersangkutan, atau datangnya pencetus
stress baru.
g. Usaha-usaha untukmenginterprestasikan
perilaku individu sebagai psikosis
padahal yang bersangkutan menganggap
perilakunya sendiri normal.
Remaja
Menurut Rukmini dan Sundari (2004),
istilah remaja berasal dari kata Latin yaitu
pubertas yang berarti kedewasaan yang
dilandasi oleh sifat dan tanda-tanda kelaki-
lakian.
Menurut Hurlock (1993), istilah
adolescence atau remaja berasal dari kata
latin adolescere yang berarti tumbuh
menjadi dewasa. Perkembangan lebih lanjut,
istilah adolescence sesungguhnya memiliki
arti yang luas, mencakup kematangan
mental, emosional, sosial, dan fisik.
Menurut Hamalik (1995), masa remaja
dapat dipandang sebagai suatu masa di mana
individu dalam proses pertumbuhannya
terutama fisik telah rnencapai kematangan.
Menurut Monks, dkk (2004), masa
remaja menunjukkan dengan jelas sifat-sifat
masa transisi atau peralihan dari kanak-
kanak menuju dewasa.
Menurut WHO (dalam Sarwono, 2002),
remaja adalah suatu masa di mana individu:
a. Individu berkembang dari saat pertama
kali individu menunjukkan tanda-tanda
seksual sekundernya sampai saat
individu mencapai kematangan seksual.
b. Individu mengalami perkembangan
psikologis dan pola identifikasi dari
kanak-kanak menjadi dewasa.
c. Terjadi peralihan dan ketergantungan
sosial ekonomi yang penuh kepada
keadaan yang relatif lebih mandiri.
Melalui uraian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa remaja adalah masa
transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa
awal, dalam perkembangan dan
10
pertumbuhannya baik secara psikologis
maupun fisik.
Kontribusi Kecerdasan Emosi
terhadap Agresivitas Pada Remaja
Masyarakat sebagai lingkungan
tersier (ketiga) adalah lingkungan yang
terluas bagi remaja dan sekaligus paling
banyak menawarkan pilihan. Terutama
dengan maju pesatnya teknologi komunikasi
massa maka hampir-hampir tidak ada batas-
batas geografis, etnis, politis maupun sosial
antara satu masyarakat dengan masyarakat
lainnya. Banyak hal yang menyangkut gaya
hidup, nilai dan perilaku juga
dimasyarakatkan. Pada gilirannya remaja
akan dihadapkan kepada berbagai pilihan
yang tidak jarang menimbulkan
pertentangan batin di dalam diri remaja itu
sendiri (Sarwono, 2002).
Masa remaja dapat dikenal sebagai
masa strum and drang atau storm and stress,
masa yang penuh dengan konflik dan
ketidakpastian karena pada masa ini remaja
mengalami banyak perubahan antara lain
perubahan pada emosi, perubahan pada fisik
atau tubuh serta perubahan pada pola
perilaku, minat dan nilai yang ada pada
dirinya (Hurlock, 1993).
Menurut teori perkembangan yang
dikemukakan oleh Erikson (Santrock, 2003),
masa remaja ada pada tahap di mana krisis
identitas versus difusi identitas harus diatasi.
Tidaklah mengejutkan, gagasan Erikson
mengenai kenakalan remaja yang merupakan
bagian dari agresivitas dihubungkan dengan
kemampuan remaja untuk mengatasi krisis
ini secara positif.
Terjadinya krisis identitas pada diri
remaja menyebabkan tidak tercapainya
identitas diri yang positif sehingga dapat
menimbulkan ketegangan (stress) dan
kecemasan pada remaja. Kekerasan
merupakan sikap agresi sebagai pelampiasan
rasa frustasi. Mereka mengambil identitas
negatif dan terjerumus pada kenakalan
remaja. Bagi mereka, lebih baik terjerumus
dalam hal seperti itu daripada terombang-
ambing dalam ketidaktahuan diri (Martono,
2006).
Menurut Baron (dalam Koeswara,
1988), agresi adalah tingkah laku individu
yang ditujukan untuk melukai atau
mencelakakan individu yang ditujukan
untuk melukai atau mencelakai individu
yang tidak menginginkan datangnya tingkah
laku tersebut. Definisi agresi dari Baron ini
mencakup empat faktor tingkah laku, tujuan
untuk melukai atau mencelakai, individu
yang menjadi pelaku dan individu yang
menjadi korban, dan ketidakingintahuan
korban menerima tingkah laku tersebut.
Menurut Mutadin (2002), remaja
merupakan masa yang paling banyak
dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-
teman sebaya dan dalam rangka
menghindari hal-hal negatif misalnya
perilaku agresi yang dapat merugikan
dirinya sendiri maupun orang lain. Menurut
Martono (2006), terdapat faktor-faktor
penyebab timbulnya agresi antara lain faktor
pribadi, remaja dituntut menyesuaikan diri
dengan lingkungannya. Dilain pihak, remaja
11
harus mengembangkan identitas diri secara
positif. Terjadi krisis identitas pada diri
remaja dapat menimbulkan ketegangan
(stress) dan kecemasan pada remaja. Faktor
keluarga juga dapat menyebabkan agresi
karena keluarga merupakan lingkungan
pendidikan yang utama dan pertama bagi
anak. Jika suasana keluarga kurang
mendukung, pasti terjadi gangguan
perkembangan kejiwaan anak. Selain faktor
pribadi dan keluarga, lingkungan kelompok
sebaya juga dapat menyebabkan perilaku
agresi karena jika kondisi di rumah kurang
menunjang, anak mencari perhatian dan
identitas diri diluar, pengaruh kelompok
sebaya ini sangat besar.
Menurut Martono (2006), selain
faktor-faktor di atas, lingkungan sekolah
juga merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan agresi. Kondisi sekolah yang
tidak menguntungkan proses pendidikan
pada anak, keadaan guru dan sistem
pengajaran yang tidak menarik,
menyebabkan anak cepat bosan. Untuk
menyalurkan rasa tidak puasnya, mereka
meninggalkan sekolah atau membolos dan
bergabung dengan kelompok anak-anak
yang tidak sekolah, yang pekerjaannya
hanya berkeliaran tanpa tujuan yang jelas.
Faktor yang lain ialah lingkungan
masyarakat, kondisi sosial ekonomi,
lingkungan fisik perkotaan yang tidak
mendukung perkembangan diri anak dan
remaja, situasi politik yang tidak menentu,
lemahnya penegakan hukum, rendahnya
disiplin masyarakat, dan pengaruh media
massa merupakan penyebab meningkatnya
budaya kekerasan.
Penelitian terhadap anak-anak muda
pelanggar hukum yang dipenjara karena
tindak kejahatan dengan kekerasan dan
terhadap murid-murid sekolah menengah
umum yang agresif menemukan pikiran
yang sama. Bila remaja menghadapi
kesulitan dengan seseorang, remaja akan
segera menunjukkan sikap bemusuhan
dengan orang tersebut, dengan seketika
mengambil kesimpulan bahwa orang lain
tersebut bersikap memusuhi mereka tanpa
mencari informasi lebih lanjut atau berusaha
memikirkan cara damai untuk
menyelesaikan perselisihan. Oleh karena itu,
akibat negatif pemecahan dengan kekerasan
atau perkelahian biasanya tidak terlintas
dalam benak remaja dan ini merupakan
perilaku agresi yang sering terjadi pada
remaja (Goleman, 2006).
Agresivitas pada remaja dapat
dihindari dengan adanya kecerdasan emosi.
Remaja hendaknya memahami dan memiliki
apa yang disebut kecerdasan emosi.
Kecerdasan emosi ini terlihat dalam hal-hal
seperti bagaimana remaja mampu untuk
memberi kesan yang baik tentang dirinya,
mampu mengungkapkan dengan baik
emosinya sendiri, berusaha menyetarakan
diri dengan lingkungan, dapat
mengendalikan perasaan dan mampu
mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan
waktu dan kondisi yang ada sehingga
interaksi dengan orang lain dapat terjalin
dengan lancar dan efektif.
12
Salovey dan Mayer (dalam Stein &
Book, 2002) mendefinisikan kecerdasan
emosi sebagai kemampuan untuk mengenali
perasaan, meraih dan membangkitkan
perasaan untuk membantu pikiran,
memahami perasaan dan maknanya serta
mengendalikan perasaan secara mendalam
sehingga membantu perkembangan
emosional dan intelektual.
Studi yang dilakukan Petrides, dkk
(2006) menunjukkan bahwa peran
kecerdasan emosional dalam hubungan
teman sebaya di sekolah. Sebanyak 160
siswa (83 anak perempuan; rata-rata umur
10.8 tahun) dilakukan pengukuran dengan
kuesioner daftar sifat kecerdasan emosi dan
sesudah itu diminta untuk menominasikan
teman sekelasnya masing-masing yang
cocok ke dalam tujuh deskripsi perilaku
yang berbeda (‘kooperatif’,’pengganggu’,
‘pemalu’, ‘agresif’, ‘dependen’, ‘pemimpin’,
dan ‘pengintimidasi’). Para guru yang
diminta untuk menominasikan seluruh siswa
yang cocok ke dalam tujuh deskripsi. Siswa-
siswa dengan skor sifat kecerdasan emosi
yang tinggi lebih masuk nominasi untuk
‘kooperatif’ dan ‘kepemimpinan’, serta lebih
rendah nominasinya untuk ‘pengganggu’,
‘agresif’, dan ‘dependen’. Analisis faktor
dari nominasi para guru menunjukkan dua
faktor orthogonal meliputi masing-masing
deskripsi prososial dan antisosial. Siswa-
siswa dengan skor sifat kecerdasan emosi
yang tinggi ada dalam faktor prososial dan
yang rendah ke dalam faktor antisosial.
Wewenang kecerdasan emosi adalah
hubungan pribadi yang baik dengan orang
lain, bertanggung jawab untuk penghargaan
diri, kesadaran diri, kepekaan sosial dan
adaptasi sosial. Kecerdasan emosi yang
tinggi membuat remaja dapat mengalami
berbagai perasaan secara penuh. Ketika
perasaan itu muncul dan benar-benar
membuat remaja mengenali dirinya.
Kecerdasan emosi menyediakan manfaat
penting dalam berbagai aspek kehidupan
seperti dalam keluarga, masyarakat,
kehidupan percintaan dan bahkan kehidupan
spiritual. Kecerdasan emosi memungkinkan
remaja untuk memilih apa yang harus
dilakukan, siapa yang akan menjadi
temannya, sekolah yang akan dipilih serta
bagaimana menjaga keseimbangan antara
kebutuhan pribadi dan kebutuhan orang lain
(Segal, 2001).
Rendahnya kecerdasan emosi dapat
menghambat pertimbangan intelektual dan
menghancurkan karier. Kerugian terbesar
diderita oleh anak-anak maupun remaja,
yang mungkin dapat terjerumus dalam risiko
terserang depresi, gangguan makan,
kehamilan yang tak diinginkan, bahkan
agresivitas serta kejahatan dengan
kekerasan. Sedangkan kecerdasan emosi
yang tinggi ditandai dengan orang-orang
yang menonjol dalam kehidupan nyata
seperti memiliki hubungan dekat yang
hangat, disiplin diri, altruisme, dan mampu
mengelola emosi dengan baik sehingga
remaja tersebut dapat mengendalikan dirinya
dan tidak melakukan agresivitas (Goleman,
2006).
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa remaja yang memiliki
13
kecerdasan emosi yang tinggi kemungkinan
kecil melakukan agresivitas karena remaja
tersebut mampu mengenali emosi dan
mampu mengelola emosinya dengan baik.
Sebaliknya, remaja yang memiliki
kecerdasan emosi yang rendah cenderung
tidak mempunyai kemampuan untuk
mengelola emosinya dan mengenali emosi
orang lain sehingga melakukan perilaku
yang buruk seperti perilaku agresi.
Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka diatas
maka dapat ditarik hipotesis, yaitu ada
kontribusi kecerdasan emosi secara
signifikan terhadap agresivitas pada remaja.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif yang bersifat kontribusi, yaitu
mengetahui kontribusi antara variabel satu
dengan yang lain.
Jumlah subjek dalam penelitian ini
adalah 124 subjek. Karakteristik subjek yang
dibutuhkan dalam penelitian ini adalah siswa SMA 21 Jakarta yang masih aktif,
kelas XI dan berusia 15-18 tahun.
Pengembilan sampel menggunakan teknik
Purposive Sampling.
Pada penelitian ini teknik pengumpulan
data dilakukan dengan menggunakan teknik
pengumpul data yaitu dengan angket atau
kuesioner. Untuk variabel kecerdasan emosi
menggunakan skala kecerdasan emosi
diadopsi dari skala kecerdasan emosi yang
disusun oleh Gasya (2007) dengan koefisien
validitas antara 0,304 - 0,603 dan kofisien
reliabilitas sebesar 0,863 yaitu berdasarkan
komponen-komponen kecerdasan emosi
yaitu mengenali emosi diri, mengelola
emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali
emosi orang lain dan membina hubungan
dengan orang lain, yang berbentuk skala
Likert, sedangkan untuk variabel agresivitas menggunakan skala agresivitas disusun
berdasarkan tipe-tipe agresi yaitu agresi fisik
langsung, agresi fisik tidak langsung, agresi
verbal langsung, dan agresi verbal tidak
langsung yang berbentuk skala likert.
Uji validitas dalam penelitian ini adalah
dengan cara mengkorelasikan skor tiap-tiap
item dengan skor total dalam skala dan
menggunakan analisis product moment dari
pearson (Azwar, 1996) sedangkan Uji
reliabilitas dalam penelitian ini adalah
Internal Consistensi dengan menggunkan
Teknik Alpha Cronbach (Azwar, 1996).
Teknik analisis data yang akan
digunakan adalah analisis regresi sederhana
yaitu untuk mengetahui kontribusi
kecerdasan emosi sebagai variabel bebas (x)
terhadap agresivitas sebagai variabel terikat
(y).
14
HASIL PENELITIAN Penelitian ini menggunakan try out
terpakai karena keterbatasan biaya dan
waktu. Penelitian ini dilaksanakan dengan
pengambilan data yang disebar mulai
tanggal 10-16 Maret 2009. Pengambilan
data dilakukan di SMAN 21 Jakarta yang
terletak di daerah Kayu Putih Jakarta Timur
dan mengambil sampel sebanyak 124 siswa,
yang terdiri dari 2 kelas XI IPA dan 2 Kelas
XI IPS. Pengambilan data ini dilakukan
selama tiga hari, mulai dari hari Kamis,
tanggal 10 Maret hingga hari Senin, tanggal
16 Maret 2008.
Skala kecerdasan emosi dan agresivitas
diberikan kepada setiap siswa. Skala yang
telah diisi oleh para siswa kelas XI
langsung dikembalikan kepada penulis. Pada
saat penyebaran skala, penulis dibantu oleh
guru bimbingan konseling karena pada saat
menyebarkan skala penulis menggunakan
jam pelajaran bimbingan konseling.
Walaupun di sekolah tersebut sedang
berlangsung try out UN untuk kelas XII,
namun pengambilan data dapat berlangsung
dengan lancar.
Uji Validitas dan Reliabilitas Skala
Hasil uji validitas pada skala kecerdasan
emosi, dari 50 item yang digunakan
diperoleh 41 item yang valid, sementara 9
item yang lainnya dinyatakan gugur.
Korelasi skor total item yang valid bergerak
antara 0, 300 sampai 0, 630, sedangkan pada
uji reliabilitas dilakukan dengan teknik
Alpha Cronbach diperoleh dengan nilai
alpha sebesar 0,920, pengujian validitas dan
reliabilitas ini dilakukan dengan bantuan
program SPSS for Windows versi. 17.0.
Hasil uji validitas pada skala
agresivitas, dari 40 item yang digunakan
diperoleh 27 item yang valid, sementara 13
item yang lainnya dinyatakan gugur.
Korelasi skor total item yang valid bergerak
antara 0, 322 sampai 0,647, sedangkan pada
uji reliabilitas dilakukan dengan teknik
Alpha Cronbach diperoleh dengan nilai
alpha sebesar 0,890, pengujian validitas dan
reliabilitas ini dilakukan dengan bantuan
program SPSS for Windows versi. 17.0.
Uji Normalitas
Berdasarkan pengujian normalitas pada
variabel kecerdasan emosi diperoleh hasil
signifikansi sebesar 0,200 pada Kolmogorov
Smirnov (p > 0,05) dan Shapiro Wilk dengan
signifikansi sebesar 0,100 (p > 0,05).
Pengujian menunjukkan bahwa distribusi
skor kecerdasan emosi subjek penelitian
dianggap normal.
Pada skala agresivitas diperoleh
signifikansi sebesar 0,014 pada Kolmogorov
Smirnov (p < 0,05) dan Shapiro Wilk dengan
signifikansi sebesar 0,122 (p > 0,05).
Pengujian juga menunjukkan bahwa
distribusi skor agresivitas subjek penelitian
dianggap normal.
Uji Linearitas
Berdasarkan hasil pengujian regresi
sederhana diperoleh nilai F sebesar 41,980
dengan signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05).
Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa
hubungan variabel-variabel di atas adalah
15
linear dan scatterplot pada grafik cenderung
membentuk garis lurus.
Analisis Data
a. Uji Korelasi
Berdasarkan hasil pengujian korelasi
terhadap variabel kecerdasan emosi dan
agresivitas dengan menggunakan korelasi
Product Moment Pearson (1 tailed)
diketahui bahwa koefisien Pearson (r) yang
diperoleh sebesar -0,506 dengan nilai sig.(1-
tailed) sebesar 0,000. Dengan demikian
terdapat hubungan antara kecerdasan emosi
dengan agresivitas pada remaja dengan arah
hubungan yang negatif yaitu apabila
kecerdasan emosi semakin tinggi maka
semakin rendah agresivitas dari remaja.
b. Analisis Regresi
Berdasarkan analisa data yang
dilakukan dengan menggunakan teknik
regresi sederhana diperoleh F sebesar 41,980
dengan signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05),
dan diperoleh Adjusted R square sebesar
0,250. Hal ini berarti terdapat kontribusi
kecerdasan emosi secara signifikan terhadap
agresivitas dan kontribusinya sebesar 25%.
Dengan demikian hipotesis yang berbunyi
ada kontribusi kecerdasan emosi secara
signifikan terhadap agresivitas, diterima
Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk menguji
kontribusi kecerdasan emosi terhadap
agresivitas pada remaja. Berdasarkan hasil
uji korelasi diketahui bahwa terdapat
hubungan yang negatif signifikan antara
kecerdasan emosi dengan agresivitas pada
remaja. Koefisien korelasi yang diperoleh
menunjukkan angka negatif yaitu sebesar -
0.506, hal ini berarti semakin tinggi
kecerdasan emosi maka semakin rendah
agresivitas yang dimiliki remaja.
Sebaliknya, semakin rendah kecerdasan
emosi maka semakin tinggi agresivitas yang
dimiliki remaja.
Berdasarkan hasil uji regresi sederhana
yang telah dilakukan, diketahui bahwa
terdapat kontribusi kecerdasan emosi secara
signifikan terhadap agresivitas, dan
kontribusi tersebut sebesar 25% sedangkan
75% kemungkinan dipengaruhi oleh faktor
lainnya seperti faktor pribadi, lingkungan
keluarga, lingkungan kelompok sebaya,
lingkungan sekolah, dan lingkungan
masyarakat.
Semakin tinggi kecerdasan emosi maka
semakin rendah agresivitas yang dimiliki
remaja. Sebaliknya, semakin rendah
kecerdasan emosi maka semakin tinggi
agresivitas yang dimiliki remaja. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Aini (2004)
yang menyebutkan bahwa ada hubungan
yang negatif signifikan antara kecerdasan
emosi dengan agresivitas pada remaja akhir,
dimana semakin tinggi kecerdasan emosi
pada remaja akhir maka semakin rendah
agresivitasnya.
Semakin tinggi kecerdasan emosi maka
akan semakin rendah agresivitas yang
dimiliki oleh remaja. Hal ini dimungkinkan
karena remaja tersebut pada umumnya
mempunyai kemampuan untuk mengelola
emosi yang ada pada dirinya dengan
menangani perasaan agar perasaan dapat
16
terungkap dengan baik sehingga dapat
menghibur diri sendiri, melepaskan
kecemasan, kemurungan atau
ketersinggungan dan akibat yang timbul
karena gagalnya keterampilan emosi ini.
Remaja juga mempunyai kemampuan untuk
mengenali emosi yang ada pada dirinya
dengan memiliki kesadaran diri yang baik
yaitu mengenali perasaan sewaktu perasaan
itu terjadi. Remaja yang memiliki keyakinan
yang lebih tentang perasaannya adalah
remaja yang andal bagi kehidupan diri
remaja tersebut (Goleman, 2006).
Hal ini sesuai dengan perhitungan mean
berdasarkan komponen kecerdasan emosi
dimana pada komponen mengelola emosi
diri, remaja subjek penelitian memiliki
kemampuan mengelola emosi diri yang
tinggi dengan skor 25.92. Remaja tersebut
juga mampu mengenali emosi diri yang
baik. Memiliki kemampuan dalam
mengenali dan merasakan emosinya sendiri,
memahami penyebab perasaan yang timbul,
mampu menerima sudut pandang orang lain,
mampu mengungkapkan amarah dengan
tepat tanpa berkelahi sehingga berkurangnya
perilaku agresi pada remaja dan lebih baik
dalam menyelesaikan persoalan yang timbul
dalam hubungan teman sebaya. Berdasarkan
uraian tersebut maka subjek penelitian
cenderung merupakan pribadi yang memiliki
kecerdasan emosi yang baik sehingga
mereka dapat menata emosi, memiliki
kemampuan mengenali emosi dan
mengelolanya sehingga dapat membina
hubungan yang baik dengan teman-
temannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
subjek memiliki tingkat kecerdasan emosi
pada kategori tinggi. Berdasarkan hasil
penelitian diperoleh mean empirik yaitu
135,40 dan mean hipotetik yaitu 102,5
dengan standar deviasi untuk variabel
kecerdasan emosi adalah 20,5. Hal ini berarti
dapat dikatakan kecerdasan emosi subjek
penelitian tinggi. Tingginya kecerdasan
emosi yang dimiliki subjek disebabkan
subjek mempunyai banyak pengalaman-
pengalaman sehingga dapat meningkatkan
kecerdasan emosi. Sesuai dengan pendapat
Goleman yang menyatakan bahwa salah satu
faktor yang mempengaruhi kecerdasan
emosi seseorang adalah pengalaman.
Semakin anak bertambah dewasa maka
semakin sedikit waktu yang dihabiskan
dalam keluarga. Pengalaman-pengalaman di
luar rumah ada yang dapat meningkatkan
kecerdasan emosi. Hal serupa dikemukakan
oleh Bandura mengenai belajar sosial yaitu
seseorang akan mempelajari perannya dari
kontak sosial. Demikian juga dengan
kecerdasan emosi yang dapat dipelajari dari
adanya kontak sosial dengan orang lain.
Pada skala agresivitas diperoleh mean
empirik yaitu 98,25 dan mean hipotetik yaitu
67,5 dengan standar deviasi untuk variabel
agresivitas adalah 13,5. Secara umum subjek
memiliki agresivitas yang sangat tinggi. Hal
ini disebabkan karena remaja dituntut
menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Di lain pihak, remaja harus mengembangkan
identitas diri secara positif. Tidak
tercapainya identitas diri yang positif,
menimbulkan ketegangan (stress) dan
17
kecemasan pada remaja. Kekerasan
merupakan sikap agresi sebagai pelampiasan
rasa frustasi. Selain hal tersebut, pengaruh
kelompok sebaya juga sangat besar dalam
mempengaruhi agresivitas. Remaja ingin
diterima kelompok sebayanya sehingga mau
mengikuti peraturan dan norma yang
ditetapkan kelompok. Perilaku sama dengan
orang lain yang didorong oleh keinginan
sendiri ini dinamakan konformitas. Hal ini
sesuai dengan pendapat Rochadi (2004)
yang menyatakan bahwa pada masa remaja
banyak waktu yang digunakan bersama
teman-teman sebayanya, maka pengaruh
kelompok menjadi salah satu faktor
terpenting dalam berperilaku yang kurang
baik misalnya perilaku agresi.
Berdasarkan perhitungan mean skala
agresivitas yang ditinjau dari tipe-tipe agresi
dapat dilihat bahwa subjek penelitian
memiliki agresi yang tinggi dalam bentuk
verbal daripada fisik hal ini dapat
disebabkan oleh faktor lingkungan yang ada
pada remaja tersebut.
Selain itu, berdasarkan mean skala
kecerdasan emosi pada data tersebut dapat
dilihat bahwa kecerdasan emosi pada subjek
penelitian yang berjenis kelamin laki-laki
lebih tinggi daripada perempuan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Furnham (2000)
yang menyatakan bahwa walaupun
perempuan memiliki skor yang lebih tinggi
dari laki-laki pada komponen keterampilan
sosial, namun dalam segi penilaian diri yang
dikombinasikan dalam sebuah skala yang
reliabel dan pengukuran yang dilakukan oleh
partisipan terhadap komponen-komponen
kecerdasan emosi memiliki hasil yang
konstan, hal tersebut menunjukkan bahwa
laki-laki lebih tinggi kecerdasan emosinya
daripada perempuan. Namun, pada mean
skala agresivitas dapat dilihat bahwa
agresivitas subjek yang berjenis kelamin
laki-laki lebih tinggi daripada perempuan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Berkowitz
yang menyebutkan bahwa agresi lebih khas
pada pria dibanding wanita dan kebanyakan
studi tentang agresi terfokus kepada pria.
Hal ini menunjukkan bahwa pria dan anak
laki-laki cenderung menyimpang dari
banyak aturan masayarakat dan norma sosial
memiliki dorongan agresif yang kuat yang
merupakan salah satu komponen dari sifat
dasarnya yaitu antisosial. Agresi pada
wanita, seperti halnya pada pria terkadang
wanita senang menyakiti orang lain.
Sebagian wanita bahkan cenderung
menyerang secara fisik orang yang
membuatnya jengkel (Berkowitz, 2003).
Berdasarkan mean skala agresivitas
pada usia subjek dapat dilihat bahwa pada
usia 17 tahun subjek memiliki agresivitas
yang tinggi dibandingkan usia lainnya. Hal
ini disebabkan karena pada usia tersebut
remaja mengalami adanya perubahan emosi.
Hurlock menyatakan remaja laki-laki dan
perempuan dikatakan sudah mencapai
kematangan emosi bila akhir masa remaja
tidak meledakkan emosinya dihadapan orang
lain melainkan menunggu saat yang tepat
untuk mengungkapkan emosinya dengan
cara-cara yang lebih tepat diterima.
Sedangkan pada mean skala kecerdasan
emosi dapat dilihat bahwa usia 15 tahun
18
subjek memiliki kecerdasan emosi yang
tinggi. Selain itu, berdasarkan jurusan yang
diambil subjek penelitian dapat dilihat
bahwa subjek dengan jurusan IPA memiliki
kecerdasan emosi yang tinggi dibandingkan
IPS hal ini disebabkan karena jurusan IPA
memiliki tugas-tugas sekolah yang banyak,
dengan adanya kecerdasan emosi yang baik
subjek penelitian mampu memotivasi
dirinya untuk mengerjakan tugas tersebut
dengan baik. Sedangkan pada jurusan IPS,
subjek memiliki agresivitas yang tinggi hal
ini dapat dipengaruhi karena pada masa
remaja banyak waktu yang digunakan
bersama teman-teman sebayanya dan
terkadang ingin berperilaku sama dengan
temannya termasuk perilaku agresi.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat
disimpulkan bahwa kecerdasan emosi
memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap agresivitas pada remaja. Kontribusi
yang diberikan sebesar 25% sedangkan 75%
kemungkinan dipengaruhi oleh faktor
lainnya seperti faktor pribadi, lingkungan
keluarga, lingkungan kelompok sebaya,
lingkungan sekolah, dan lingkungan
masyarakat. Dari hasil penelitian juga
diketahui bahwa kategori subjek peneltian
menunjukkan kecerdasan emosi yang tinggi
dan memiliki agresivitas yang tinggi pula.
Kecerdasan emosi subjek penelitian yang
berjenis kelamin laki-laki lebih tinggi
dibandingkan perempuan demikian juga
dengan agresivitasnya, subjek berjenis
kelamin laki lebih tinggi daripada
perempuan.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka
saran yang dapat diberikan adalah sebagai
berikut:
1. Berdasarkan hasil penelitian diketahui
bahwa kecerdasan emosi mempunyai
pengaruh terhadap agresivitas. Oleh
karena itu disarankan kepada subjek
penelitian dalam hal ini siswa SMA 21
untuk berupaya agar kecerdasan emosi
yang tinggi dapat terjaga sehingga
remaja tersebut dapat mengontrol
emosinya agar agresivitas pada diri
remaja dapat dikurangi. Remaja juga
mampu menilai emosi secara tepat, baik
pada diri sendiri maupun terhadap orang
lain sehingga terjalin hubungan yang
baik dengan orang lain.
2. Bagi pihak orang tua, hendaknya harus
memotivasi anak dalam meningkatkan
kecerdasan emosinya karena pendidikan
yang paling awal dan mendasari
kecerdasan emosi adalah berawal dari
sebuah keluarga.
3. Dari hasil penelitian diketahui bahwa
terdapat faktor-faktor lain yang
menentukan agresivitas dengan
demikian dinilai perlu disarankan
kepada peneliti lain untuk meneliti
kemungkinan faktor-faktor lain yang
dapat mempengaruhi agresivitas seperti
konformitas remaja dengan teman
sebayanya.
19
4. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan
untuk menindaklanjuti hasil penelitian
ini dengan penelitian lanjutan serta
dengan subjek yang berbeda, seperti
orang dewasa. Dengan cara ini
diharapkan dapat memperkaya ilmu
pengetahuan khususnya di bidang
psikologi sosial.
Daftar Pustaka Aini, F. Q. (2004). Kecerdasan emosi dan
agresivitas pada remaja akhir. Skripsi (Tidak diterbitkan). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Anastasi, A & Urbina, S. (1997). Tes
psikologi: Psychological testing 7e. Alih bahasa: Robertus, H & Imam. Jakarta: PT Prenhallindo.
Azwar, S. (1996). Tes prestasi: Fungsi dan
pengembangan pengukuran prestasi belajar. Yogyakarta: Pustaka belajar.
Bagus, R.(2008). Gejolak Remaja
www.uny.ac.id/akademik/ sharefile/ 27122007115442_pengaruh_keluarga_terhadap_kenakalan_remaja.html. 09 Agustus 2008.
Berkowitz, L. (1995). Agresi 1: Sebab dan
akibatnya. Jakarta: Lembaga P.P.M. Berkowitz, L. (2003). Emotional behavior:
Mengenali perilaku dan tindak kekerasan di lingkungan sekitar kita & cara penanggulangannya. Jakarta: PPM.
Breakwell, G. M. (1998). Coping aggressive
behavior. Yogyakarta : Kanisius Canggtikapi.
Chaplin, C. P. (1989). Kamus lengkap
psikologi. Alih bahasa: Kartono. Jakarta: Rajawali Pers.
Ciarochi, J., Forgas, J.P., & Mayer, J.D.
(2001). Emotional intelligence in
everyday life: A scientific inquiry. London: Psychology Press.
Furnham, A. (2000). Gender differences in
measured and self estimated trait emotional intelligence. Sex roles: A journal of research. http:www.findarticles.com/ journal-of-emotional-intelligence.htm. 20 Mei 2009.
Goleman, D. (2006). Kecerdasan emosional:
Mengapa EI lebih penting daripada IQ. Alih bahasa: Hermaya, T. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hamalik, O. (1995). Psikologi remaja:
Dimensi-dimensi perkembangan. Bandung: CV Mandar Maju.
Hawadi., & Akbar, R. (2001). Psikologi
perkembangan anak: Mengenal sifat, bakat, dan kemampuan anak. Jakarta : PT. Grasindo.
Hurlock, E. B. (1993). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Alih bahasa: Istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.
Gasya, I. (2007). Hubungan antara kecerdasan emosi dengan derajat stress pada mahasiswa tingkat akhir. Skripsi (Tidak diterbitkan). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.
Koeswara, E. (1988). Agresi manusia. Bandung : PT. Eresco.
Martono, L.H., & Joewana. (2006). Menangkal narkoba & kekerasan. Jakarta : Balai Pustaka.
Monks, F. J., Knoers, A. M. P & Haditono,
S. R. (2004). Psikologi perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
20
Mutadin, Z. (2002). Mengenal kecerdasan emosioanal remaja. http://www.e-psikologi.com/kecerdasan emosi remaja/index.html. 16 Agustus 2008.
Patton, P. (2002). EQ: Pengembangan
sukses lebih bermakna. Jakarta: Mitra Media Publishers.
Petrides, K.V., Sangareau, Y., Furnham, A.,
& Frederickson, N. (2006). Social development: Trait emotional intelligence and children’s peer relations at school.http://www.blackwellsynergy.com/emotional_intelligence/index.htm. 16 Agustus 2008.
Rochadi, R. K. (2004). Hubungan
konformitas dengan perilaku merokok pada remaja sekolah SMU negeri di 5 wilayah DKI Jakarta. Disertasi (Tidak diterbitkan). Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Rukmini, S & Sundari, S. (2004). Psikologi
anak dan remaja. Bandung: Rineka Cipta.
Santrock, J. W. (2003). Adolescence:
Perkembangan remaja. Alih bahasa: Shinto, B & Sherly, S. Jakarta: Erlangga.
Sarwono, S. W. (1996). Psikologi sosial:
Individu dan teori-teori psikologi sosial. Jakarta: Balai Pustaka.
Sarwono, S. W. (2002). Psikologi remaja.
Jakarta: Rajawali Pers. Schwartz, D.J. (1997). Keajaiban berpikir
besar. Jakarta: Pustaka Delaprakasa. Segal, J. (2001). Meningkatkan kecerdasan
emosional. Jakarta: Citra Aksara. Sobur, A. (2003). Psikologi umum. Bandung
: Pustaka Setia. Stein, S. J & Book, H. E. (2002). 15 Prinsip
dasar kecerdasan emosi meraih sukses. Alih bahasa: Januarsari, T. R & Murtanto, Y. Bandung: Kaifa.
Sugiyono. (2008). Metode penelitian pendidikan (Pendekatan kuantitatif, kualitatif dan R&D). Bandung: Alfabeta.
Koran Seputar Indonesia. (2008). Edisi 07
Agustus. Aniaya siswi SMP, 3 gadis ditangkap. Jakarta.
Koran Seputar Indonesia. (2008). Edisi 14
September. Tawuran petasan remaja di Pamulang. Jakarta.
Koran Seputar Indonesia. (2008). Edisi 06
September. Tawuran remaja di Makasar luput dari perhatian aparat. Jakarta.
21
22