1
KONTROVERSI TERHADAP PENARI GANDRUNG DALAM
NOVEL KERUDUNG SANTET GANDRUNG KARYA HASNAN
SINGODIMAYAN: SEBUAH KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA
Evi Retno Cristiyan Dewi
Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia,
Kampus UI, Depok, 16424, Indonesia
surel: eviretno95@gmail.
Abstrak
Dalam dunia sastra Indonesia, nama Hasnan Singodimayan tidak begitu
dikenal. Dalam sejumlah esai yang ditulis Jassin, nama ini tidak pernah disebut,
juga dalam buku sejarah sastra yang ditulis Ajip Rosidi dan Jakob Sumardjo.
Teeuw pun tidak menyebut nama Singodimayan. Akan tetapi, dalam konteks
Banyuwangi, nama Singodimayan tidak bisa dinafikan. Ia telah menghasilkan
paling tidak tiga novel dan satu buku takwil. Salah satu novelnya yang terpenting
adalah Kerudung Santet Gandrung. Novel ini melukiskan kehidupan penari
gandrung yang sering mendapat stigma negatif dari kalangan masyarakat
nonbudaya (nonbudayawan). Melalui novel ini, Singodimayan menunjukkan
bahwa penari gandrung tidak seburuk yang disangkakan orang. Dalam kaitannya
dengan kajian tentang budaya Banyuwangi, novel ini penting sebab di dalamnya
tidak sekadar dilukiskan mengenai penari gandrung, tetapi juga persoalan lain
yang bertalian dengan identitas masyarakat Banyuwangi. Hingga kini penelitian
terhadap seni gandrung sudah banyak dilakukan, tetapi penelitian terhadap novel
tersebut belum banyak, padahal novel ini sarat dengan masalah sosial-budaya di
Banyuwangi. Penelitian ini bertujuan mengungkapkan kontroversi terhadap penari
gandrung di Banyuwangi. Dalam novel ini tersirat adanya konflik antara kalangan
budayawan dan kalangan nonbudayawan. Dari konflik tersebut mengemukalah
persoalan identitas masyarakat Banyuwangi.
Kata Kunci: Pro-Kontra, Gandrung, Banyuwangi, Konflik
Pendahuluan
Ada fenomena menarik dalam kesusastraan Indonesia, yaitu munculnya
karya sastra Indonesia (novel) yang ditulis oleh sastrawan daerah yang
mengangkat isu daerah. Dalam konteks masyarakat Bali, misalnya, muncul
sejumlah novel atau cerpen, seperti Tarian Bumi (novel) karya Oka Rusmini,
Incest (novel) karya I Wayan Artika, Mandi Api (kumpulan cerpen) karya Gde
Aryantha Soethama, dan Bunga Jepun (kumpulan cerpen) karya Putu Fajar
Arcana yang mengangkat masalah sosial-budaya di Bali. Di Tegal juga muncul
2
novel Ngranggeh Katuranggan, Pengendara Badai, dan Di Balik Panggung karya
Lanang Setiawan yang mengangkat masalah kemasyarakatan di Tegal. Sementara
itu, di Banyuwangi juga terbit tiga buah novel dari Hasnan Singodimayan, yakni
Kerudung Santet Gandrung, Suluk Mu’tazilah, dan Niti Negari Bala Abangan
yang mengangkat persoalan seni-budaya dalam kaitannya dengan masalah agama.
Sayangnya, kajian ilmiah terhadap karya-karya tersebut belum banyak dilakukan.
Justru karena itu, penelitian ini diadakan untuk mengisi kekosongan atau
kelangkaan kajian tersebut. Lebih dari sekadar itu, penelitian ini dimaksudkan
untuk mengkaji aspek sosial-budaya dalam konteks masyarakat Banyuwangi.
Terkait dengan masalah itu, ada salah satu novel yang mengangkat aspek tersebut,
yaitu novel KSG (Kerudung Santet Gandrung). Novel tersebut membicarakan
penari gandrung yang menjadi bagian dari budaya Banyuwangi di Provinsi Jawa
Timur.
Dalam novel KSG yang menjadi sorotan utama adalah penari gandrung.
Gandrung adalah satu jenis tari pergaulan yang bersifat hiburan dan berperan
dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam pelbagai upacara di Banyuwangi
(Sumarno, 2002: 306). Selain itu, Anoegrajekti (2011: 26) mengungkapkan bahwa
identitas diri masyarakat Banyuwangi terletak pada tari gandrung, meskipun di
sisi lain tari gandrung memiliki perpaduan iringan musik dari Jawa dan Bali.
Secara keberadaan, penari gandrung telah menjadi identitas masyarakat
Banyuwangi. Mengingat masyarakat Banyuwangi yang beragam, keberadaan
penari gandrung menjadi pertentangan antara kelompok (kalangan) yang
mendukung (pro) dan menentang (kontra). Hal itu tidak terlepas dari kelompok-
kelompok (kalangan-kalangan) yang mendasarkan diri pada pandangan tertentu,
seperti pandangan sosial-budaya terhadap penari gandrung.
Novel tersebut memiliki kandungan sosial-budaya yang kompleks
mengenai sosial-budaya Banyuwangi. Hal itu berkaitan dengan pelbagai aspek
penari gandrung yang tidak berhenti di balik struktur, tetapi ada sejumlah unsur
yang berkaitan dengan persoalan agama, isu santet, dan Partai Komunis Indonesia
(PKI) di Banyuwangi. Berdasarkan hal tersebut, problem sosial-budaya
3
Banyuwangi tergambarkan dari pertentangan pro-kontra terhadap eksistensi penari
gandrung di dalam novel KSG.
Novel KSG terlahir dari tokoh budayawan dan seniman gandrung, yaitu
Hasnan Singodimayan. Ia adalah aktivis Dewan Kesenian Blambangan dan
tempat bertanya mengenai adat istiadat Blambangan (Banyuwangi), termasuk
kesenian. Ia ibarat “ensiklopedia” Banyuwangi.
Selain permasalahan sosial-budaya, pada tahun 1994, novel KSG pernah
menjadi film di TPI (sekarang MNCTV) yang berjudul “Jejak Sinden”.1 Masalah
lain yang menjadi latar belakang munculnya novel KSG pada tahun 2003 adalah
sebagai tanggapan atas terjadinya pembantaian dukun di Banyuwangi (Kompas, 5
Oktober 1998).2 Oleh karena itu, penulis memilih novel KSG sebagai hal yang
penting dan menarik untuk dikaji. Penulis bermaksud mengkaji bagaimana
kontroversi terhadap penari gandrung dilukiskan dalam novel KSG dari segi
sosiologisnya. Oleh sebab itu, penelitian ini menggunakan pendekatan isi karya
sastra dengan cara melihat hubungan karya sastra dengan hal yang diacunya serta
dilengkapi dengan wawancara tokoh seniman, budayawan, dan kalangan santri di
Banyuwangi.3
Metode dan Teknik Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan
pendekatan deskriptif. Metode deskriptif analitik dilakukan dengan cara
mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2013:
53). Melalui hal tersebut, dalam tulisan ini penulis mendeskripsikan fakta-fakta
yang didapatkan dari penelitian serta wawancara dengan tokoh seniman,
budayawan, dan kalangan santri di Banyuwangi. Setelah itu, analisis dilakukan
terhadap fakta-fakta tersebut.
Sebelum masuk pada bagian analisis mengenai pro dan kontra
(kontroversi) terhadap penari gandrung dalam novel KSG, penulis terlebih dahulu
1“Ketika difilmkan, novel KSG masih berbentuk novelet, ceritanya sama seperti itu,” kata Hasnan
Singodimayan dalam wawancara (April 2016). 2 Diambil dan diedit dari laman www.angelfire.com, 28 Juni 2016, pukul 12.40 WIB. Pembantaian
dukun berkaitan dengan masalah santet di Banyuwangi. 3Kalangan santri tersebut bernama Uun Hariyati.
4
menganalisis unsur intrinsik novel tersebut. Yang menjadi fokus penulis dalam
analisis unsur intrinsik adalah penggambaran tokoh serta nada, alur, dan latar. Hal
ini dilakukan untuk memudahkan analisis konsep mengenai pro dan kontra
terhadap penari gandrung serta keberadaan Gandrung dalam konteks masyarakat
Banyuwangi.
Tahapan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Membaca buku, karya ilmiah, dan catatan yang membahas Hasnan
Singodimayan.
2. Membaca novel KSG karya Hasnan Singodimayan.
3. Melacak karya-karya Hasnan Singodimayan di Perpustakaan Universitas
Indonesia, Hasnan Singodimayan Centre (HSC), dan Perpustakaan pribadi
Dr. Sunu Wasono baik yang berupa esai, karya satra, maupun artikel
budaya.
4. Wawancara tokoh seniman, budayawan, dan kalangan santri di
Banyuwangi selama tiga hari, mulai tanggal 21—23 April 2016.
5. Menganalisis teks-teks yang terkumpul, setelah itu mengaitkan
pertentangan pro dan kontra terhadap penari gandrung, baik dalam novel
KSG maupun konteks masyarakat Banyuwangi.
Adapun sebagai landasan dalam menganalisis, penulis menggunakan
buku-buku dan artikel-artikel mengenai unsur intrinsik serta pro-kontra terhadap
penari gandrung di Banyuwangi. Buku-buku yang penulis baca adalah How to
Analyze Fiction (1966) oleh Kenney, Penari Gandrung dan Gerak Sosial
Banyuwangi (2007) oleh Anoegrajekti dkk., Teori Pengkajian Fiksi (2013) oleh
Nurgiyantoro, Memuja Mantra (2007) oleh Saputra, Paradigma Sosiologi Sastra
(2013) oleh Ratna, Anatomi Sastra (1984) oleh Semi, Revitalisasi Kearifan Lokal
sebagai Upaya Penguatan Identitas Budaya Jawa Timur (2014) oleh Sutarto, dan
Enam Mata Banyuwangi (2015) oleh Basri dkk.
Ringkasan Cerita
Novel KSG mengisahkan seorang penari gandrung bernama Merlin
Monro. Merlin Monro adalah anak dari Salehak dan Montro. Merlin adalah
primadona para penari karena ia memiliki paras yang cantik, pandai menari, dan
5
menyanyi. Ia juga seorang gadis desa yang lugu dan hanya berpendidikan tingkat
sekolah dasar.
Saat itu kepala cabang kebudayaan kabupaten, Drs. Budoyo menyukai
Merlin karena Merlin cantik dan pandai menari. Hal itu terlihat bahwa Drs.
Budoyo sering mengantar dan menjemput Merlin ketika latihan maupun pentas di
mana-mana. Di sisi lain, Iqbal, teman Drs. Budoyo juga menyukai Merlin. Hal itu
Iqbal wujudkan melalui lagu-lagu ciptaannya untuk memuji Merlin. Sementara
itu, sebagian orang di sekitar Merlin tidak menyukai keberadaan Merlin,
khususnya kalangan masyarakat nonbudayawan. Merlin dibenci oleh kalangan
masyarakat nonbudayawan karena Merlin dianggap menggunakan santet berupa
mantra sensreng untuk menarik perhatian orang lain.
Kalangan masyarakat nonbudayawan yang membenci Merlin adalah
Rafiqah, keluarga Iqbal dan mantan istri Iqbal bernama Nazirah. Merlin dianggap
menggunakan santet untuk menambah kecantikannya dalam setiap penampilan.
Kebencian Nazirah itu semakin memuncak ketika Iqbal akan menikahi Merlin.
Keluarga Iqbal menentang segala alasan Iqbal untuk menikah dengan Merlin. Hal
itu disebabkan Merlin adalah keturunan PKI dan hanya seorang penari—jauh dari
nilai-nilai agama Islam yang dianut keluarga Iqbal. Namun, Iqbal tetap kukuh
untuk menikahi Merlin. Kabar tersebut terdengar sampai ke telinga Nazirah,
mantan istri Iqbal. Hal itu membuat Nazirah kesal dan cemburu.
Ketika pernikahan Iqbal dan Merlin sudah berjalan beberapa bulan, Iqbal
berencana untuk berhaji bersama Merlin. Hal tersebut membuat kebencian
Nazirah semakin memuncak kepada Merlin. Nazirah berusaha untuk meminta
rujuk kepada Iqbal. Di sisi lain, Iqbal sudah tidak mencintai Nazirah dan akhirnya
menolak permintaan Nazirah. Nazirah semakin geram terhadap Merlin karena ia
menganggap bahwa Merlin menggunakan pelet untuk memikat Iqbal. Padahal,
Merlin hanya mengikuti saran dari orang tuanya untuk menikah dengan Iqbal.
Tidak pernah tebersit sama sekali dalam pikiran Merlin untuk menggunakan
santet. Merlin adalah gadis desa yang lugu (hlm. 49).
Ketika kecemburuan dan kebencian Nazirah memuncak, ia malah datang
ke dukun untuk meruntuhkan mantra sensreng yang terdapat di tubuh Merlin.
6
Dukun yang didatangi Nazirah dan Rafiqah itu bernama Sawang. Nazirah
mengarang cerita mengenai Merlin di hadapan dukun yang didatanginya. Dukun
tersebut memanfaatkan kesempatan tersebut dengan cara memasukkan Nazirah ke
ruang praktiknya. Nazirah diminta melepas kerudung selubungnya, duduk diam,
dan memejamkan mata. Setelah itu, dukun membacakan mantra sensreng sambil
meraba seluruh tubuh Nazirah. Dukun itu juga meremas payudara Nazirah dan
memegang pinggulnya. Nazirah lemas dan gemetaran setelah itu. Ia agak
menyesal datang ke dukun itu, tetapi semua itu sudah terjadi. Sekarang, ia hanya
ingin menunggu hasilnya.
Di sisi lain, Dukun Sawang berada di pihak penari gandrung, oleh karena
itu santet tidak dimasukkan ke dalam tubuh Merlin. Hasilnya, santet itu kembali
ke tubuh Nazirah yang mengalami perut buncit, seperti orang hamil, tetapi
perutnya keras seperti wajan. Setelah itu, Nazirah memuntahkan darah berwarna
hitam. Nazirah juga berhalusinasi menciumi Iqbal. Oleh sebab itu, Rafiqah dan
Tasrif—adiknya membawa Nazirah ke rumah sakit. Pihak medis berusaha
memeriksa Nazirah dengan pelbagai upaya, namun pihak medis tidak menemukan
satu pun penyakit di dalam tubuh Nazirah. Pihak medis angkat tangan dan
menyarankan mereka pergi ke dukun untuk mengobati Nazirah.
Sementara itu, Iqbal dan Merlin mendengar kabar bahwa Nazirah sakit dan
penyakitnya tidak terdeteksi oleh pihak medis. Merlin berinisiatif untuk
menjenguk Nazirah. Di sisi lain, Iqbal tahu bahwa Nazirah sudah jahat dan sering
memfitnah istrinya. Iqbal sempat terenyuh atas inisiatif dan sikap Merlin. Ketika
Iqbal dan Merlin sampai di rumah Nazirah, mata Nazirah berkaca-kaca dan
langsung memeluk Merlin. Nazirah mengakui kesalahannya dan meminta maaf
kepada Merlin. Setelah itu, Merlin dengan rendah hati dan santun memaafkan
Nazirah.
Pada akhir cerita, Iqbal dan Merlin berangkat berhaji. Sebelum mereka
berangkat, Merlin mengaji surat Ad-Dhuha dengan suara yang merdu di hadapan
khalayak. Orang-orang (kalangan masyarakat nonbudayawan) yang
mendengarkan tidak menyangka bahwa Merlin dapat mengaji dengan baik.
Akhirnya, kalangan masyarakat nonbudayawan mengakui bahwa Merlin yang
7
dahulunya penari gandrung serta dikait-kaitkan dengan santet itu tidak benar.
Merlin, penari gandrung memang cantik dan berhati bersih (suci).
Kontroversi Masyarakat terhadap Eksposisi Penari Gandrung
Secara geografis, Banyuwangi terletak di ujung Pulau Jawa. Banyuwangi
menyebut dirinya bukan suku Jawa atau pun Bali, melainkan suku Using. Namun,
jika dilihat dari sudut pandang sejarah, Banyuwangi mengalami budaya hibrida.
Budaya hibrida yang Banyuwangi alami adalah percampuran antara budaya Jawa
dan Bali (Sutarto, 2014: 14). Selain itu, suku Using tidak mau disamakan dengan
suku Jawa, Madura, dan Bali. Suku Using memiliki karakteristik sendiri dalam
konteks sosial-budaya, khususnya gandrung.4
Menurut Scholte, penari gandrung pertama di Banyuwangi adalah laki-laki
atau disebut gandrung lanang (Anoegrajekti, 2007: 12). Namun, ketika penetrasi
Islam masuk di Banyuwangi, gandrung lanang tidak diperbolehkan menyerupai
perempuan.5 Sejalan dengan hal itu, lahirlah penari gandrung perempuan bernama
Semi ketika Belanda membuka sebagian wilayah Banyuwangi untuk area
perkebunan (Anoegrajekti, 2007: 14). Oleh karena itu, masyarakat Banyuwangi
mengadakan perlawanan melalui tari gandrung dan lagu yang dinyanyikan. Tari
gandrung berfungsi untuk membuat kompeni Belanda tidak berdaya karena
mabuk dengan penampilan tari, sedangkan lagu yang dinyanyikan adalah bentuk
perlawanan masyarakat Using (Hariyati, 2007: 62).
Namun, saat ini tari gandrung menjadi tari pergaulan (hiburan). Sejalan
dengan itu, di awal tahun 2003, patung gandrung bertebaran di setiap gerbang
desa dan pintu masuk kota Banyuwangi (Anoegrajekti, 2007: 10). Mengingat
masyarakat Banyuwangi yang beragam, hal tersebut menimbulkan pertentangan
antara kalangan masyarakat yang mendukung dan menolak keberadaan gandrung.
Tidak dapat dinafikan juga bahwa mayoritas masyarakat Banyuwangi adalah
Islam, patung gandrung disebut sebagai hal yang musyrik. Hal itu membuat citra
gandrung dipersoalkan (dipertentangkan) oleh kalangan nonbudayawan.
4Hasnan Singodimayan menyatakan bahwa Using adalah tidak Jawa dan tidak Bali. 5Novi Anoegrajekti. 2007. Penari gandrung dan Gerak Sosial Banyuwangi. Dalam agama Islam,
laki-laki dilarang menyerupai perempuan. Hal itu berdasarkan hadis Nabi Muhammad Saw yang
berbunyi man tasyabaha bi quamin, fahuwa minhum.
8
Selain permasalahan patung gandrung, penolakan terhadap keberadaan
penari gandrung juga terjadi. Uun Hariyati sebagai kalangan santri Banyuwangi,
ketika wawancara April 2016, menyatakan bahwa pertunjukan Gandrung dikenal
sebagai tempat maksiat.6 Penolakan tersebut terjadi karena masyarakat atau
penikmat Gandrung merusak tatanan Gandrung, seperti penonton (penikmat)
Gandrung membawa minuman keras dan pemaju (penari laki-laki) berbuat jahil
kepada penari gandrung. Selain itu, penari gandrung juga dipandang negatif oleh
kalangan santri (Islam) karena penari gandrung tidak memenuhi syariat agama
Islam. Hal itu juga berhubungan dengan kutipan dalam KSG berikut.
“Apa mungkin seorang penari yang masih giat menyanyi
dan berlagu di muka umum melaksanakan haji?”
“Mengapa?”
“Sedang syariat lain belum dikerjakan”
“Apakah engkau tahu ?”, tanya Istaqamah tandas.
“Dan untuk apa engkau mengurusnya”, sambungnya.
(hlm. 106)
Kutipan tersebut disampaikan oleh Nazirah, tokoh yang menolak keberadaan
Merlin sebagai penari gandrung. Namun, Nazirah juga memiliki motif asmara
ketika ia menolak (membenci) keberadaan Merlin.
Sebab di dalam relung dadanya telah tersimpan semacam
kebencian pada Merlin, yang telah mampu menundukkan
Iqbal di bawah sekakang pahanya lewat cara yang diduga
mengandung unsur santet atau guna-guna.
(hlm. 118)
Kutipan tersebut menyatakan bahwa Nazirah tidak menyukai Merlin karena
Merlin telah menikah dengan Iqbal. Selain itu, Nazirah juga berpikir bahwa
Merlin menggunakan santet untuk “menaklukkan” Iqbal.
Isu santet tersiar ketika tahun 1960-an. Hal mengenai santet juga
disampaikan oleh Uun Hariyati ketika tahun 1990-an, penari gandrung kembali
6Sewaktu Uun masih kecil, ia dilarang menonton Gandrung oleh keluarganya karena keluarganya
adalah kalangan santri. “Dengan Bapak dan keluarga saya dibilang jangan keluar. Gandrung itu
tempat maksiat,” tutur Uun.
9
dianggap tidak baik dan tidak sesuai syariat Islam. Peristiwa tahun 1990-an
tersebut terjadi dari mulut ke mulut, dari orang per orangan beragama Islam ke
kelompoknya. Demikian pula dengan penuturan Supinah sebagai penari gandrung
bahwa saat ini gandrung masih dipersoalkan oleh kalangan Islam (santri) karena
pakaian gandrung tidak tertutup atau membuka aurat dan memakai mantra (santet)
srenseng dalam setiap penampilan (pertunjukan).7
Dalam konteks masyarakat Banyuwangi, gandrung dikaitkan dengan
santet (mantra). Hal itu berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Banyuwangi
mengenai santet. Menurut Hasnan Singodimayan, Hasan Basri, dan dukun
bernama Timbul, santet di Banyuwangi hanyalah untuk mempertahankan
(membentengi) diri.
Jenis santet yang diyakini masyarakat Banyuwangi ada lima, yaitu hitam,
merah, kuning, putih, dan biru atau banyak warna atau transparan atau bening
(tanpa warna).8 Santet hitam atau disebut juga aluamah adalah refleksi dari tanah
atau bumi sebagai makna kepemilikan. Santet merah atau amarah dimaknai
sebagai penguasaan. Santet kuning atau supiyah adalah makna dari angin sebagai
keindahan atau seni. Santet putih disebut juga mutmainah adalah makna air
sebagai pikiran atau pengetahuan. Santet bening atau banyak warna atau santet
gelap atau santet biru juga disebut percampuran dari santet hitam, merah, kuning,
dan hitam adalah makna dari diri sendiri “ saya atau aku (diri)”.
Kelima jenis santet tersebut berhubungan dengan filosofi manusia pada
masyarakat Jawa, yaitu sedulur papat dan lima badan. Sedulur papat berkenaan
dengan santet merah, kuning, hitam, dan putih. Lima badan berkaitan dengan
santet bening atau santet biru (banyak warna). Menurut Suryadipura, landasan
tersebut berhubungan dengan aspek nafsu, yakni godlob atau nafsu memelihara
diri dan syahwat (Saputra, 2007: 116).
7Persoalan (pertentangan) tersebut juga terjadi dari mulut ke mulut oleh kalangan masyarakat
Islam yang tidak menyukai Gandrung. Penari gandrung tidak tahu-menahu mengenai mantra
sensreng karena yang memasukkan mantra tersebut adalah perias. 8Heru S.P. Saputra. 2007. Memuja Mantra, hlm. 113—121. Yogyakarta: LKiS. Saputra hanya
menyebutkan empat jenis santet di Banyuwangi, tetapi di sisi lain ada satu jenis santet yang ia
sebutkan lagi di bukunya.
10
Dalam KSG terdapat penggunaan santet merah. Hal itu tergambar dari
Dukun Sawang yang memutarbalikkan santet kirimannya terhadap Merlin. Ia
mengembalikan santet tersebut kepada kalangan masyarakat nonbudayawan,
Nazirah yang membenci Merlin.
“Santetnya saya perlakukan dengan terbalik untuk
dirinya, perutnya buncit sekeras wajan penggorengan.”
“Duh Gusti, jahat betul kamu.”
“Orang yang mau berbuat jahat, harus dibalas dengan
kejahatan.”
(hlm. 185)
Hal itu membuat Nazirah jatuh sakit. Nazirah juga memuntahkan darah hitam
sebanyak dua ember.
“Nazirah muntah darah ?”, tanya Iqbal.
“Darah hitam dua ember penuh”, jawab Nazirah.9
(hlm. 197)
Hal itu menjelaskan bahwa santet seperti itu tergolong santet jahat (santet merah)
atau membahayakan orang lain. Selain itu, terdapat kutipan bahwa santet tersebut
ada di Banyuwangi. Namun, masyarakat Banyuwangi menyebut santet hanyalah
untuk diri sendiri (membentengi diri). Hal itu bertentangan dengan penjelasan di
dalam novel bahwa di Banyuwangi terdapat santet yang berbahaya.
Terdapat juga penjelasan lain bahwa ada cara menyembuhkan santet,
seperti “Menurut penjelasan ibu mertuanya, dalam tempo dua puluh hari, perut
busung Nazirah akan pulih seperti semula” (hlm. 195). Santet merah yang diminta
Nazirah kepada Dukun Sawang bertujuan untuk menghilangkan kecantikan
Merlin. Nazirah menginginkan Merlin agar keriput, jelek, dan tidak cantik lagi.
Saputra (2007: 121) menyatakan bahwa santet merah pemakaiannya berdasarkan
keinginan atau memenuhi hawa nafsu agar korban tersiksa secara fisik dan
9Dalam novel KSG tercantum seperti itu. Seharusnya, “Darah hitam dua ember penuh,” jawab
Azizah.
11
batinnya. Santet merah digunakan tanpa berlandaskan kasihan, tanpa hati nurani.
Santet seperti itulah yang menjadi santet jahat atau membahayakan orang lain.
Selain itu, penggunaan santet lain juga terdapat dalam KSG, yaitu santet
kuning. Santet kuning digunakan sebagai sarana pribadi, salah satunya untuk
pengasihan. Santet kuning tersebut hanya untuk antarindividu, bukan untuk
mencelakakan atau membahayakan orang lain.
Pikiran Salehak terbayang jauh ke masa silam, di saat Merlin
masih menjadi penari. Sawang telah membantu dengan
kebaikan-kebaikan, sehingga Merlin terlihat sangat cantik
dengan mantra “srenseng-nya”. Sebagai pawang hujan, dia
mampu menggiring awan mendung dari daerah pementasan,
menangkal kelompok-kelompok kesenian lain yang akan
“merapuh” alat-alat gamelan, sehingga terdengar budeg. Tak
pernah Salehak mendengar Sawang berbuat jahat, sebab
mantranya diperoleh dari Putra Agung Gunung Raung.
(hlm. 185)
Saputra (2007: 121—122) menyatakan bahwa santet kuning digunakan untuk
maksud baik. Landasan penggunaannya didasarkan pada ketulusan hati. Tujuan
lain dari penggunaan santet tersebut agar disenangi atau dicintai sesama maupun
tidak diganggu binatang ketika di hutan. Salehak menggunakan santet kuning
untuk melindungi Merlin agar Merlin terlihat lebih cantik dan disayangi oleh
siapa pun yang memandangnya.
Selain itu, terdapat guna-guna yang berkaitan dengan jenis santet dalam
KSG, yaitu jaran goyang atau kopi batokan dan sabuk mangir. Kedua guna-guna
tersebut memiliki sejarah yang berkaitan dengan Sayu Wiwit (Srikandi
Banyuwangi). Kedua guna-guna tersebut, sebenarnya adalah jenis kode dalam
melawan kompeni Belanda.
Gadis-gadis cantik yang berikat selendang warna kuning di
pinggangnya, merupakan pasukan penyusup dan bertugas
menggoda laskar kompeni. Kemudian dikatakan perlakuan itu
dengan gadis-gadis “bersabuk mangir” sedang gadis-gadis
yang berdagang kopi di tepi jalan di depan rumahnya dengan
menggunakan tempurung kelapa untuk tempat minumnya,
adalah pos-pos informasi bagi para pejuang untuk mengetahui
12
kedudukan kompeni, sedang jarang goyang merupakan nama
pasukan berkuda yang dipimpin oleh seorang pahlawan
terkenal yang benrama Sayu Wiwit. Yang mampu
menggoyang pertahanan kompeni.
(hlm.119)
Jika dikaitkan dengan jenis santet, jaran goyang atau kopi batokan termasuk
santet merah yang gunanya untuk menyiksa korban secara lahir dan batinnya,
sedangkan sabuk mangir termasuk golongan santet kuning yang bertujuan untuk
kecantikan dan menarik perhatian lawan jenis.
Dari penjelasan sebelumnya, jenis santet yang terlukis dalam novel KSG
adalah santet yang membahayakan dan ada yang tidak membahayakan orang lain.
Santet yang membahayakan orang lain adalah santet merah. Sementara santet
yang tidak membahayakan orang lain adalah santet kuning.
Adapun hal lain yang disampaikan Hasan Basri, Wakil Ketua Dewan
Kesenian Blambangan (DKB) sekaligus kalangan santri, mengungkapkan bahwa
tahun 2011 pada Khotbah Jumat, profesi penari gandrung dinyatakan haram.
Pernyataan tersebut disampaikan pengkhotbah secara terang-terangan di depan
jemaah. Hal itu membuat sebagian jemaah salat Jumat menjadi tercengang dan
sebagian lagi “mengiyakan” pernyataan pengkhotbah.
Selain itu, Mitro, koreografer gandrung, menjelaskan bahwa gandrung
dipersoalkan oleh kalangan masyarakat Islam. Kalangan masyarakat Islam atau
santri menganggap gandrung sebagai tempat maksiat karena pemaju membawa
minuman keras. Hal itu terjadi ketika tahun 1990-an. Mitro juga menegaskan
bahwa saat ini masih ada kalangan nonbudayawan yang menentang keberadaan
gandrung, tetapi kalangan budayawan gandrung akan membiarkan hal itu karena
gandrung sudah memiliki tempat sendiri untuk bereskpresi, seperti Festival
Gandrung Sewu.
Tidak kalah penting adalah pernyataan Bupati Banyuwangi periode tahun
2010—2015 bernama Anas. Anas ingin menggempur semua patung gandrung di
13
Banyuwangi karena ia mengganggap patung itu sebagai hal yang musyrik.10
Namun, penggempuran tersebut tidak jadi dilakukan oleh Anas karena Hasnan
Singodimayan sebagai sesepuh dan kalangan budayawan Banyuwangi telah
menasihatinya secara perlahan. Akhirnya, Anas menyetujui nasihat Hasnan
Singodimayan.
Jauh sebelum masalah itu terjadi, menurut Hasnan Singodimayan bahwa
gandrung bersifat netral, namun menjelang tahun 1965 dieksploitasi oleh Partai
Komunis Indonesia (PKI). Setelah ada Gerakan 30 September (G 30-S) PKI,
gandrung menjadi terisolir karena dianggap PKI. Oleh karena itu, setelah tahun
1965, komunitas Using terutama gandrung harus dibubarkan karena berkaitan
dengan PKI. Akhirnya, komunitas seni di Banyuwangi vakum selama tahun
1965—1970 sebagai akibat kebijakan politik bersih lingkungan rezim Orde Baru
untuk menghabiskan seluruh organisasi yang berkaitan dengan PKI (Anoegrajekti:
2007: 22). Berikut adalah kutipan dari KSG.
“Dia anak saya satu-satunya, yang lahir di saat ramai-ramainya
PKI. Bapaknya sudah cerai dengan saya, dia terlibat,
menghilang entah ke mana, namanya Montro.”
(hlm. 39)
Kutipan tersebut disampaikan oleh Salehak, Ibu Merlin. Akan tetapi jika dikaitkan
dengan konteks Banyuwangi, Bupati Djoko Supaat menghidupkan kembali
komunitas Using yang vakum selama lima tahun, termasuk gandrung. Hal itu
menyebabkan komunitas Using, khususnya gandrung menempati bentuk konkret
dalam berkebudayaan (Anoegrajekti, 2007: 22).
Di balik itu semua, Hasnan Singodimayan, dalam wawancara April 2016,
menjelaskan bahwa gandrung tidak serendah yang disangkakan kalangan
nonbudayawan. Sekarang pakaian gandrung lebih sopan, seperti memakai omprog
(hiasan di kepala), selendang menutupi pundak, pakaian yang melekat tidak
menerawang, dan memakai kaus kaki. Selain itu, gerakan gandrung tidak erotis,
10Anas adalah kalangan santri yang berpikiran sama dengan kalangan masyarakat Islam—
menyebut Gandrung sebagai hal yang tidak baik.
14
sesuai syariat agama.11 Berikut kutipan dari KSG yang juga sesuai dengan
pernyataan Hasnan Singodimayan.
Pikiran Azizah jauh menerawang pada wajah Merlin, istri
pamannya yang tilas penari gandrung itu, pantas keluarganya
enggan mengundang, sebab sesudah menjadi istrinya, cara
busananya tetap mengenakan cara berbusana tradisi adat
daerah. Berkain panjang tanpa wiron, berkebaya dengan
warna mencolok tanpa kerudung, jikapun menggunakan
slayer semacam kerudung, maka slayernya itu hanya
dikenakan pada perutnya, sehingga membuat pinggulnya yang
padat itu terlihat dinakdiplang membulat dan memaksa setiap
mata lelaki untuk menatapnya terus-menerus. Rambutnya
bersanggul begitu rapi model paglak ular melingkar, sedikit
ujung rambutnya terjurai lepas, sehingga jenjang lehernya
membulat batang pinang muda, maka terlihatlah segala
perhiasan yang dipakainya. Kalung mas beruntai berlian,
anting-anting kriol yang bergantung di telinganya bergiyang
gemerlap, ditambah dengan bulu matanya yang alami
melengkung keluar dihias dengan lengkung alisnya yang
menghitam pekat.
(hlm. 88—89)
Kutipan tersebut adalah pikiran Azizah, kemenakan Iqbal. Azizah sebagai pelajar
mendukung keberadaan Merlin, penari gandrung.
Selain itu, keberadaan penari gandrung dalam masyarakat Banyuwangi
juga didukung oleh Djoko Supaat, Bupati Banyuwangi periode tahun 1966—
1978. Gandrung yang semula dianggap tidak baik dan berkaitan dengan santet,
tetapi pada tahun 1990-an ditarikan di hadapan umum oleh anak Djoko Supaat.
Masyarakat (kalangan) santri atau Islam yang awalnya menolak keberadaan penari
gandrung menjadi tidak dapat menyatakan apa pun. Menurut penuturan Mitro,
koreografer gandrung pada wawancara April 2016, “Mau ngomong apa yang lain.
Yang nari anak bupati. Akhirnya, berkelanjutan menjadi tarian yang dibanggakan
di Banyuwangi, apalagi Gandrung Sewu.”
11Hasnan Singodimayan menjelaskan bahwa ada hadis Nabi Muhammad yang memperbolehkan
siapa pun menari, tetapi tidak boleh mengundang syahwat (nafsu). Jika dalam bahasa Arab, hadis
itu hanya diartikan sebagai makna berenang. Namun, Hasnan menerangkan bahwa bahasa Arab
tidak sesempit itu maknanya.
15
Setelah itu, tahun 2012, tari gandrung dijadikan festival, yaitu Gandrung
Sewu (Gandrung Seribu). Festival tersebut terselenggara di hadapan masyarakat
Banyuwangi dan tidak terkecuali kalangan santri juga ikut menonton di Pantai
Boom. Pada saat itulah gandrung mulai menjadi egaliter kedudukannya. Berikut
adalah tabel penggolongan tokoh kontroversi terhadap penari gandrung.
Tabel 1. PENGGOLONGAN TOKOH KONTROVERSI TERHADAP
PENARI GANDRUNG
Tokoh Kalangan Alasan
Pro Hasan Basri (Wakil
Ketua DKB)
Hasnan Singodimayan
(sesepuh dan
budayawan)
Mitro (koreografer
Gandrung)
Supinah (penari
gandrung)
Timbul (dukun)
Uun Hariyati (kalangan
santri dan pemerhati
Gandrung)
Gandrung adalah salah satu
identitas Banyuwangi.
Gandrung sudah menjadi ikon
atau maskot di Banyuwangi.
Saat ini, gandrung sudah
memiliki tempat untuk
berekspresi, sedangkan tempat
untuk beribadah juga sudah
memiliki tempat tersendiri.
Gandrung adalah milik
masyarakat Banyuwangi
(Using).
Kontra Pengkhotbah Jumat dan
kalangan Islam atau
santri pada tahun 2011
di Banyuwangi
Keluarga Uun Hariyati
di Banyuwangi
FPI (Front Pembela
Islam) Banyuwangi
Gandrung mempraktikkan
santet, yaitu sensreng.
Gandrung disebut sebagai
tempat maksiat karena pemaju
membawa minuman keras.
Gandrung belum sesuai dengan
konteks mayoritas masyarakat
Banyuwangi yang beragama
Islam.
Jika dikaitkan dengan relevansi pada masyarakat Banyuwangi saat ini, keberadaan
penari gandrung telah diakui sebagai maskot (ikon) Banyuwangi—sesuai Surat
Keputusan Bupati Banyuwangi Nomor 173 tanggal 31 Desember 2002, patung
gandrung menjadi maskot pariwisata di Banyuwangi. Hal itu sejalan dengan
16
bertebarannya patung gandrung di setiap pintu desa dan pintu masuk Banyuwangi
pada tahun 2003 (Anoegrajekti, 2007: 10). Dengan demikian, antara novel KSG
dan realita di masyarakat Banyuwangi hampir sama, penari gandrung
memenangkan pertentangan di dalam novel dan dalam konteks masyarakat
Banyuwangi, gandrung menjadi maskot (ikon).
Maskot (ikon) tersebut terlihat di jalan raya Banyuwangi, Desa Kemiren,
dan jalan utama di Pantai Watu Dodol. Di jalan raya Banyuwangi terdapat patung
gandrung yang berdiri pertama kali, di Desa Kemiren sebagai desa wisata terdapat
beberapa patung gandrung, dan di Pantai Watu Dodol terdapat patung Gandrung
terbesar di Banyuwangi. Selain itu, sekarang Festival Gandrung Sewu diadakan
setiap tahun oleh pemerintah Banyuwangi yang sudah menjadi massal dan tidak
berkaitan dengan santet. Dengan demikian, kemenangan penari gandrung dalam
KSG dan realita masyarakat Banyuwangi membuat citra penari gandrung semakin
diakui eksistensinya di masyarmeakat Banyuwangi. Hal itu menunjukkan bahwa
gandrung menjadi egaliter.
Kesimpulan
Salah satu hal yang penting dari suku Using adalah penari gandrung.
Gandrung muncul ketika Belanda masuk ke Banyuwangi dan kekuatan Kerajaan
Blambangan sedang melemah. Oleh karena itu, masyarakat Banyuwangi
mengadakan perlawanan melalui tari gandrung dan lagu yang dinyanyikan. Tari
gandrung berfungsi membuat kompeni Belanda tidak berdaya karena mabuk
dengan penampilan tari, sedangkan lagu yang dinyanyikan sebagai bentuk
semangat perlawanan masyarakat Using. Namun, saat ini tari gandrung menjadi
tari pergaulan. Hal itu menimbulkan pertentangan antara kalangan masyarakat
yang mendukung dan menolak keberadaan gandrung.
Secara tematik, yang menjadi sorotan utama dalam novel KSG adalah
penari gandrung. Di dalamnya menggambarkan pertentangan pro-kontra antara
kalangan yang mendukung (pro) dan yang menentang (kontra) terhadap eksistensi
penari gandrung di Banyuwangi. Stigma negatif dari pandangan Nazirah dan
Rafiqah sebagai kalangan masyarakat nonbudayawan terpatahkan semua karena di
akhir cerita terlihat bahwa penari gandrung lebih islamis dan baik budi pekertinya
17
daripada mereka. Selain itu, “kemenangan” dari pertentangan pro-kontra tersebut
berpihak kepada kalangan yang mendukung (pro) terhadap keberadaan penari
gandrung.
Jika ditempatkan dalam konteks masyarakat Banyuwangi, pertentangan
pro-kontra tersebut hanya tersiar dari mulut ke mulut. Terkait hal itu, gandrung
bersifat netral, namun menjelang tahun 1965 dieksploitasi oleh PKI. Setelah ada
Gerakan 30 September (G 30-S) PKI, gandrung menjadi terisolir karena dianggap
anggota PKI. Oleh karena itu, setelah tahun 1965, Bupati Djoko Supaat
menyatakan secara lisan bahwa komunitas gandrung harus dibubarkan karena
berkaitan dengan PKI.
Selain itu, terdapat pertentangan pro-kontra antara kalangan
nonbudayawan dan kalangan budayawan gandrung pernah terjadi. Kalangan
masyarakat nonbudayawan menolak keberadaan penari gandrung berdasarkan
pandangan agama. Hal itu terjadi karena penonton (penikmat) gandrung
membawa minuman keras dan pemaju (penari laki-laki) berbuat jahil kepada
penari gandrung. Selain itu, kalangan nonbudayawan menganggap bahwa penari
gandrung telah mempraktikkan santet. Sementara itu, kalangan budayawan
gandrung membela (pro) terhadap keberadaan penari gandrung. Pembelaan
tersebut berdasarkan pandangan budaya bahwa gandrung memiliki sejarah dari
awal penciptaannya sebagai tari perlawanan. Kemudian, gandrung adalah salah
satu identitas yang dimiliki oleh suku Using, Banyuwangi. Gandrung menjadi
ikon Banyuwangi dengan adanya Surat Keputusan Bupati Banyuwangi Nomor
173 tanggal 31 Desember 2002 dan terdapat Festival Gandrung Sewu.
Saat ini, kedudukan penari gandrung menjadi egaliter. Penari gandrung
juga tidak lagi disebut suka bermain santet. Hal itu terjadi karena gandrung adalah
milik bersama masyarakat Banyuwangi.
Sementara itu, novel KSG adalah bagian dari pembelaan pengarang
terhadap penari gandrung. Pembelaan tersebut dilakukan pengarang untuk
menjaga muruah penari gandrung. Berkaitan dengan itu, penari gandrung adalah
aset sekaligus bagian dari identitas diri suku Using, Banyuwangi.
18
Pemunculan tokoh Merlin Monro sebagai tokoh utama sekaligus penari
gandrung adalah suatu bentuk pembelaan pengarang. Merlin Monro disamakan
dengan artis luar negeri bernama Marilyn Monroe, yang sama-sama menjadi
primadona dan digandrungi banyak laki-laki. Namun, akhir cerita Merlin Monro
sebagai penari gandrung dan Marilyn Monroe sebagai artis justru tidak sama. Jika
Marilyn Monroe berakhir tragis dengan kematian, Merlin Monro sebagai penari
gandrung berakhir dengan bahagia—dapat mengaji dan berangkat haji. Hal itu
menunjukkan bahwa pengarang ingin membersihkan persepsi atau pandangan
negatif masyarakat mengenai penari gandrung.
Referensi
Anoegrajekti, Novi dkk. (2007). Penari gandrung dan gerak sosial banyuwangi.
Depok: Desantara.
__________. (2011). Makalah “Gandrung banyuwangi: kontestasi dan
representasi identitas using”. Jember: Universitas Jember.
Basri, Hasan dkk. (2015). Enam mata tentang banyuwangi. Bali: Pustaka Larasan.
Hariyati, Uun. (2007). “Saya, sastra using, dan puisi gending” dalam penari
gandrung dan gerak sosial banyuwangi. Depok: Desantara.
Ratna, Nyoman Kutha. (2013). Paradigma sosiologi sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. (2013). Teori, metode, dan teknik penelitian sastra: dari
srukturalisme hingga postrukturalisme perspektif wacana naratif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saputra, Heru S.P. (2007). Memuja mantra. Yogyakarta: PT LKiS.
Sumarno. (2002). Makalah dalam Jurnal “Peran tari gandrung banyuwangi pada
masa kini”. Jakarta: Patra Widya.
Sutarto, Ayu. (2014). Revitalisasi kearifan lokal sebagai upaya penguatan
identitas budaya jawa timur. Malang: Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Sumber Data
Singodimayan, Hasnan. (2003). Kerudung santet gandrung. Jakarta: Desantara
Utama.