Download docx - Kritik Seni

Transcript
Page 1: Kritik Seni

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Sejarah Patung Sisingamangaraja

Gbr. 1.1

Disini dapat diambil contoh mengenai patung Raja Sisingamangaraja XII

(Bangkara, Tapanuli, 1849 – Simsim, Tano Batak, 17 Juni 1907); bergelar Ompu Pulo

Batu adalah seorang penguasa di daerah Tapanuli, Sumatra Utara pada akhir abad ke-

19. Dia wafat pada 17 Juni 1907 saat membela diri dari serangan pasukan Belanda.

Makamnya berada di Soposurung, Balige setelah dipindahkan dari Tarutung. Nama

Sisingamangaraja berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti singa dan mangaraja

(maharaja).

Sisingamangaraja, dinasti Sisingamangaraja XII, adalah keturunan seorang

pejabat yang ditunjuk oleh raja Pagaruyung yang sangat berkuasa ketika itu, yang

datang berkeliling Sumatera Utara untuk menempatkan pejabat-pejabatnya. Dalam

sepucuk surat kepada Marsden bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para pemimpin

Batak menjelaskan kepadanya mengenai Sisingamangaraja yang merupakan

keturunan Minangkabau, dah bahwa di Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk

manusia sangat kuno yang diduga dibawa dari Pagaruyung. Sampai awal abad ke-20,

1

Page 2: Kritik Seni

Sisingamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin

Minangkabau melalui perantaraan Tuanku Barus yang bertugas menyampaikannya

kepada pemimpin Pagaruyung.

Sisingamangaraja merupakan nama besar dalam sejarah Batak. Dia tokoh

pemersatu. Dinasti Sisingamangaraja dimulai sejak pertengahan tahun 1500-an, saat

Raja Sisingamangaraja I yang lahir tahun 1515 mulai memerintah. Dia memang

bukan raja pertama di sana. Pemerintahan masa sebelum itu dikenal dengan nama

bius. Satu bius merupakan kumpulan sekitar tujuh horja. Sedangkan satu horja terdiri

dari 20 huta atau desa yang punya pimpinan sendiri. Ada Bius Toba, Patane Bolon,

Silindung dan sebagainya.

Gbr. 1.2

Dari 12 orang yang melanjutkan dinasti Sisingamangaraja, Singamangaraja

XII merupakan raja paling populer dan diangkat sebagai pahlawan nasional sejak 9

November 1961. Lukisan dirinya yang dibuat Augustin Sibarani yang kemudian

tercetak di uang Rp 1.000 yang lama, merupakan satu-satunya “foto” diri

Sisingamangaraja. Dia naik tahta pada tahun 1876 menggantikan ayahnya

Singamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon.

Penobatan Si Singamangaraja XII sebagai Maharaja di negri Toba bersamaan

dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka). Belanda merasa perlu

mengamankan modal asing yang beroperasi di Indonesia yang tidak mau

2

Page 3: Kritik Seni

menandatangani Korte Verkaring ( perjanjian pendek) di Sumatra terutama Aceh dan

Tapanuli. Kedua konsultan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara

Eropa lainya. Belanda sendiri berusaha menanamkan monopilinya di kedua

kesultanan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk

melahirkan peperangan yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.

Gbr. 1.3

Patung Pahlawan Sisingamangaraja XII yang berdiri di tengah Kota Medan

tepatnya di depan Stadion Teladan. Ketika itu tanggal 27 Oktober lalu berlangsung

sebuah upacara adat di Balige. G.M. Panggabean -- ketua panitia 9 windu gugurnya

pahlawan tadi dan dikenal sebagai cukong Harian Sinar Indonesia Baru (SIB) Medan,

dalam upacara itu mendapat restu dari raja-raja adat dan pemuka masyarakat Batak

Tapanuli Utara untuk memimpin Lembaga Sisingamangaraja XII. Lembaga itulah

3

Page 4: Kritik Seni

yang berhasrat mendirikan patung pahlawan tadi. Dalam upacara pula diserahkan

bulang-bulang dan seperangkat pakaian adat Batak, lengkap dengan Piso Halasan dan

tungkot (tongkat) serta hajut. Bukan Pahlawan Sepakbola Maka 10 Nopember lalu

sebuah upacara berlangsung lagi: peletakan batu pertama patung Sisingamangaraja

XII di depan stadion tadi. Di samping beberapa pejabat, hadir pula dalam upacara itu

dua orang cicit pahlawan tadi. Yaitu Purnama boru Sinambela (84) dan Nagok

Samaria boru Sinambela (70). Hari berikutnya di Medan Club yang mewah

berlangsung semacam resepsi. Pada kesempatan ini G.M. Panggabean mengumumkan

bahwa patung yang akan didirikan itu nanti berada di atas monumen dengan landasan

seluas 11 meter. Sang Pahlawan akan dituliskan sedang menunggang kuda putihnya

yang bernama Si Hapas Hili. Di kaki monumen akan dipahatkan sajak penyair Mansur

Samin tentang pahlawan itu.

Gbr. 1.4

Selain akan dibuat pula Tongkat Panaluan, di belakang patung kelak akan

didirikan juga Sopo Batak, rumah adat Batak. Sementara Harian SIB membuka

dompet untuk biaya mendirikan patung itu (terakhir sudah terkumpul sekiar Rp 6

juta), warga Kota Medan mulai memprotes. Terutama mengenai letak patung itu

nanti. "Sisingamangaraja 'kan Pahlawan Nasional, bukan pahlawan sepakbola," kata

4

Page 5: Kritik Seni

Luckman Sinar, ahli sejarah tamatan Universitas Leiden itu. Stadion itu memang lebih

terkenal sebagai lapangan sepakbola. Kata Kepala Bidang Permuseuman Sejarah &

Purbakala Pemda Sum-Ut, E.K. Siahaan: "Lokasi itu tak ada nilai historisnya." Dia

sendiri tak pernah diajak berunding mengenai soal ini, "tapi karena sudah diputuskan

Pemda, ya kami harus mengamankannya." Pihak Pemda dan DPRD Kotamadya

Medan memang sudah menyetujui tempat patung itu. Mereka yang berkeberatan akan

lokasi patung itu juga karena melihat di situ ada parit dan lapangan kecil tempat orang

parkir mobil.

Lebih-lebih lagi tempat yang dirancang untuk tempat Sopo Batak sampai

sekarang menjadi terminal bis. Ini berarti terminal itu harus digusur. Ketika rencana

penggusuran terminal itu ditanyakan kepada Walikota Medan, Saleh Arifin, ia hanya

menjawab dengan senyum. Sementara Lembaga Sisingamangaraja sibuk

berkampanye akan pentingnya patung itu, awal bulan lalu beberapa koran di Medan

memberitakan tentang hilangnya benda-benda bersejarah di Museum Balige. Tak jelas

kapan benda-benda itu hilang, tapi Harian Sinar. Pembangunan terbitan 9 Desember

lalu melukiskan sebagai "baru diketahui tanggal 3 Desember 1979." Harian ini lebih

lanjut menulis: "Kemungkinan adalah benda-benda pusaka yang diberikan kepada

seorang "bapak" dari Medan pada upacara bulang-bulang 27 Oktober yang lalu."

Warga Kota Medan serta-merta berkesimpulan, bahwa yang dimaksudkan "bapak"

oleh harian itu adalah G.M. Panggabean. Kasus ini sampai sekarang masih terus

dilacak pihak kepolisian.

Gbr. 1.5

5

Page 6: Kritik Seni

Ternyata rencana mendirikan patung di depan Stadion Teladan tidak diketahui

oleh pihak Yayasan Keluarga Sisingamangaraja. Paling tidak Raja Napatar Sinambela

yang mewakili Yayasan Keluarga tidak pernah diajak berkonsultasi. Dia juga menolak

kalau patung kakeknya berdiri di Bakkara, kampung tempat Sisingamangaraja

berkuasa. "Sejak Raja Sisingamangaraja I memerintah, di Bakkara tidak pernah ada

patung," ujar Raja Napatar, cucu langsung Sisingamangaraja XII. Beberapa waktu

yang lalu, Yayasan Keluarga Sisingamangaraja telah membuat blueprint museum

alam di Bakkara, yang letaknya 25 km dari Balige. Museum itu akan menggambarkan

keadaan Bakkara semasa perjuangan Sisingamangaraja. Perkiraan kasar, museum

alam itu akan menelan biaya Rp 600 juta. Yaitu untuk membangun Sopo Batak

dengan 6 bangunan induk dan 4 bangunan turutan dan 5 rumah ibadat. Sebab yang

ada kini tinggal batu-batu besar yang dulunya merupakan pagar dan bekas-bekas Balai

Panoit, tempat ibadat penganut kepercayaan Permalim agama asli orang Batak.

Bakkara hancur lebur oleh meriam Belanda dan menurut catatan, tidak kurang dari

4.100 peluru meriam membumihanguskan kampung tersebut.

Hal ini terjadi Agustus 1883. Tampaknya pihak yayasan keluarga ini lebih

tertarik pada museum daripada mendirikan patung. Areal bekas "istana"

Sisingamangaraja ada sekitar 2 ha. Selain peninggalan-peninggalan pustaka, cerita

tentang kompleks Sisingamangaraja di Bakkara ini telah dicatat oleh pihak yayasan

keluarga dengan mendapat ceritera langsung dari Sunting Mariam, puteri sang

pahlawan yang baru tahun lalu meninggal. Juga dari bekas panglima perangnya Ompu

Babiat Situmorang, ayah penyair Sitor Situmorang. Nama Sisingamangaraja begitu

legendaris bagi orang Batak. Konon, almarhum adalah datu yang sakti yang bisa

menolak hujan atau topan badai. Tokoh ini dipercaya kebal terhadap senjata. Tapi apa

lacur, kesaktiannya luntur ketika ditubuhnya terpercik darah anak kesayangannya

yang tertembak Belanda. Dalam pertempuran di Sionom Hudon dekat Kota

Sidikalang, dua putranya yang bernama Raja Patuan Nagari dan Raja Yatuan Anggi

tewas.

Demikian juga putranya, Loplan, gugur. Tragedi Ini -- saat ketika

Sisingamangaraja merangkul anaknya yang gugur -- menyudahi pula nyawa sang

Pahlawan. Sekaligus juga mengakhiri perlawanannya terhadap penjajah Belanda.

Pengikut Sisingamangaraja yang masih hidup ditawan. Termasuk Ompu boru

Situmorang, ibu sang pahlawan yang kemudian meninggal dalam pembuangan pada

6

Page 7: Kritik Seni

1908. Dua orang putranya meninggal di penjara Bogor. Baru pada 1934, keluarga

Sisingamangaraja yang memberontak terhadap Belanda dibebaskan.

Tetapi keadaan sudah berantakan. Tahun-tahun berikutnya ada usaha untuk

mengadakan registrasi kembali keluarga tersebut sekaligus membuat tarombo (silsilah

keturunan) keluarga Raja Bakkara. Karena semasa hidupnya Sisingamangaraja

mempunyai istri 5 orang dari boru Sagala, Nadeak, Simanjuntak, Situmorang dan

Siregar, bisa dibayangkan betapa sulitnya menyusun kembali tarombo ini. Tetapi

untunglah, pustala (pustaka) dan orang-orang yang menjadi saksi waktu itu masih

hidup. Kini telah terhimpun 56 kepala keluarga di Medan, 7 kepala keluarga di

Bakkara, berikut cucu-cicitnya. Yayasan Keluarga Sisingamangaraja sudah mencetak

buku berwarna biru tentang hal ini.

Gbr. 1.6

Sayangnya pula, begitu banyak panitia, yayasan atau apa saja namanya yang

mengatasnamakan Sisingamangaraja. Dengan berbagai macam dalih. Ada yang

bertujuan untuk memugar kuburannya. Makam Sisingamangaraja yang terletak di

Soposurung, dekat Balige, memang kurang terawat. Juru kunci makam yang bernama

Icang Kurnia (28 tahun) menerangkan, makam sang pahlawan bertanda pilar tegak

setinggi 10 meter, sementara makam yang lain bertanda salib. Jadi hingga kini, tidak

jelas agama apa yang dianut sang pahlawan.

7

Page 8: Kritik Seni

Tetapi kemungkinan beliau penganut Permalim. Pasti Kualat "Dan karena

banyaknya yayasan itulah," ujar Raja Napatar Sinambela, cucu sang Pahlawan, "kami

jadi sering susah." Karena, begitu satu yayasan mendapat uang, yayasan itu pun

hilang. Tambah Sinambela: "Tapi karena beliau ini Pahlawan Nasional, siapa saja ya

boleh memakai namanya." Tetapi keturunan Sisingamangaraja XII percaya, kalau ada

orang berniat tak baik dengan memakai namanya, dia pasti kualat. Entah jatuh sakit,

meninggal atau bangkrut. Usaha untuk memugar Bakkara itu kabarnya sudah sampai

ke Departemen P & K Jakarta. Hal ini diperkuat oleh E.K. Siahaan. "Tapi kami malu,"

ujar Raja Napatar Sinambela, "sebab rasanya seperti mengemis.

Yayasan keluarga juga pernah memprotes lukisan Sisingamangaraja XII yang

dibuat kartunis S. Sibarani. "Banyak yang tidak cocok dengan dokumen asli yang

kami miliki," ujar Tigor Lumbantobing kepada Amran Nasution dari TEMPO. Tigor

adalah sekretaris Yayasan Keluarga Sisingamangaraja. Katanya lagi: "Mulai dari

postur tubuh, tumtum atau ikat kepala, tak sesuai." Tahun 1962, almarhum Bung

Karno menyuruh Sibarani melukis pahlawan Sumatera Utara ini (lihat box).

Kabarnya, Sibarani melukis berdasarkan ilham dan mimpi, ditambah lagi dengan

sedikit khayalan. "Akibatnya, menimbulkan tafsiran salah kalau melihat lukisannya

itu," tambah Tigor. Di Leiden juga ada Pustaha Harajaon, arsip lengkap mengenai

Kerajaan. Sisingamangaraja yang tebalnya 24 jilid, ditulis dalam aksara Batak. Dalam

buku itu lengkap diterangkan kedudukan kerajaan. Bahkan satu jilid ada berisi

tewasnya dua pendeta Kristen Belanda Lijman dan Muson. Pustaha ini ditemukan

pendeta Pilgrams di reruntuhan Bakkara pada 1884.

8

Page 9: Kritik Seni

BAB II

PEMBAHASAN

1. Struktur Karya Seni

Struktur atau susunan dari suatu karya seni adalah aspek yang menyangkut

keseluruhan dari karya itu dan meliputi juga peranan masing-masing bagian dalam

keseluruhan itu. Kata struktur mengandung arti bahwa di dalam karya seni itu terdapat

suatu pengorganisasian, penataan, ada hubungan tertentu antara bagian-bagian yang

tersusun. Akan tetapi dengan adanya suatu penyusunan atau hubungan yang teratur

antara bagian-bagian, belumlah terjamin bahwa apa yang terwujud sebagai

keseluruhan itu merupakan seseatu yang indah (seni).

Tiga unsur estetik yang mendasar dalam stuktur setiap karya seni adalah :

1. keutuhan atau kebersatuan (unity)

2. penonjolan atau penekanan (dominance)

3. keseimbangan (balance)

2. Keutuhan

Dengan keutuhan dimaksudkan bahwa karya yang indah menunjukkan dalam

keseluruhannya sifat yang utuh, yang tidak ada cacatnya, berarti tidak ada yang

kurang dan tidak ada yang berlebihan. Keutuhan mempunyai tiga segi masing -

masing diantaranya yakni :

a. Keutuhan dalam Keanekaragaman (unity in diversity)

Dalam hal ini akan di bahas keutuhan yang terdapat pada patung

Sisingamangaraja yakni, seorang Raja yang bernama Sisingamangaraja sedang

menunggangi seekor kuda dan di bagian bawah sang Raja menduduki seutas kain/ulos

batak, dan sang Raja dengan posisi sedang memegang perisai di tangan kanannya, dan

seolah-olah seperti akan ingin berperang.

9

Page 10: Kritik Seni

Dalam karya seni keanekaragaman atau variasi dari bagian-bagiannya

biasanya membuat karya sangat menarik. Akan tetapi keanekaragaman yang sangat

berlebihan akan mengurangi kesan indahnya, karena melebihhi kemampuan persepsi

(penangkapan)oleh manusia. Mutu estetik akan dirasa berkurang karena rasa keutuhan

karya seni itu diganggu oleh banyaknya variasi.

Mengenai keutuhan dalam keanekaragaman yang menyangkut keindahan

karya seni, banyak faktor yang dirasakan mempengaruhi keutuhan itu,baik yang

positif (memperkuat) maupun yng negative (memperlemah).

Tiga macam kondisi (keadaan yang di buat khusus) yang berpotensi atau yang

bersifat memperkuat keutuhannya , adalah :

- Simetri (symetry)

- Ritme (rhytm)

- Keselarasan (harmony)

Jadi kaitannya yang erat antara yang satu dengan yang lain menciptakan

kesatuan keutuhan. Seperti halnya patung Sisingamangaraja di dalam patung tersebut

terdapat kaitan tertentu antara seekor kuda yang sedang di tunggangi oleh seorang raja

Sisingamangaraja dan pada tangan kanannya juga sedang memegang sebuah perisai.

Jadi dalam posisi seperti itu Sang Raja seolah-olah akan melakukan peperangan untuk

melawan musuh. Di dalam unsur keutuhan terdapat kesatuan, apa jadinya dengan

seekor kuda yang ditunggangi tersebut tidak ada sseorang raja yang menungganginya

maka dari situlah mata kita langsung tertuju pada keanehan. Dan seperti itulah yang

yang terjadi pada keutuhan yang dapat memberikan rasa tenang atau indah terhadap si

pengamat.

- Simetri (symetry)

Simetri atau kesetakupan adalah cirri atau kondisi dari satu kesatuan, dimana

kessatuan itu bila dibagi-bagi dengan suatu tengah garisyang vertical (tegak lurus),

menjadi dua bagian yang sama besarnya, bentuk dan wujudnya. Belahan satu

merupakan pencerminan dari yang lain. Contohnya seperti pada tubuh binatang, tubuh

manusia, semua menunjukkan keadaan simetri. Oleh karena itu, simeri member rasa

tenang dan aman, dank arena itu bersifat memperkuat rasa keutuhan sesuatu karya

seni.

10

Page 11: Kritik Seni

Seperti halnya dengan patung Sisingamangaraja, dalam patung tersebut

terdapat unsur manusia dan unsur binatang. Jadi apabila terdapat suatu garis tengah

yang vertical, membelah patung tersebut maka hasilnya akan sama dengan belahan

satu sebagai pencerminan dari yang lain. Tetapi lain halnya, ketika Raja

Ssisingamangaraja saat memegang sebuah perisai di tangan kanannya, maka hasilnya

tidak akan sama. Oleh karena itu di dalam unsur simetri terdapat juga variasi yang

mendukung dari bentuk patung tersebut sebagai penambah mutu seninya.

- Ritme (irama)

Ritme atau irama merupakan kondisi yang menunjukan kehadiran sesuatu

yang terjadi berulan-ulang secara teratur. Keteraturan ini bias mengenai jaraknya yang

sama. Sesuatu secara teratur member kesan keterkaitan peristiwa itu oleh suatu

hukum, sesuatu yang ditaati, sesuatu yang berdisiplin. Seperti halnya dengan patung

Sisingamangaraja dimana beliau sedang menunggangi seekor kuda. irama yang

terdapat pada kuda tersebut pada langkah kaki kanannya, seolah kuda itu seperti

berlari dan Sang Raja juga memegang tali yang terdapat pada leher kuda tersebut

seolah Raja tidak ingin jatuh dan dapat mengontrol arah jalannya kuda itu dengan

baik.

Bila perubahan dan penggantian ritme itu dilakukan secara teratur maka rasa

keutuhan karyanya tidak akan hilang. Tetapi bila perubahan ritme itu dilakukan secara

tidak teratur, atau berlebihan maka besar kemungkinan akan hilanh rasa utuhnya

karya, sehingga kesannya menjadi ngawur, kacau, hingga nilai estetiknya akan hilang

dan sangat berkurang.

- Harmoni atau Keselarasan

Dengan harmoni dimaksudkan adanya keselarasan antara bagian-bagian atau

komponen yang disusun untuk menjadi kesatuan bagian-bagian itu tidak ada yang

saling bertentangan, semua cocok untuk terpadu. Tidak ada yang bertentangan dalam

segi bentuknya, ukurannya, jaraknya, warna-warnanya dan tujuannya.

Harmoni memperkuat keutuhan karena member rasa tenang, nyaman dan

sedap, tidak mengganggu penangkapan oleh panca indra kita penangkapan itu terjadi

dengan proses fisik dalam alat panca indra kita telinga menangkap getaran udara,

11

Page 12: Kritik Seni

mata menangkap getaran elektromagnetik. Keharmonisan bukan hanya dirasakan

secara subyektif, tetapi juga dapat diukur secara obyektif dengan instrumen pengukur

getaran yang khusus. Harmoni mempunyai sifat yang memperkuat keutuhan karya

seni.

Seperti halnya dengan patung Sisingamangaraja terdapat pula harmoni, seperti

Raja yang sedang menunggangi seekor kuda, kita ketahui bahwa ekspresi seorang

tang ingin berperang gayanya seperti seorang prajurit. Seorang Raja Sisingamangaraja

sambil menunggangi kuda seraya memegang senjatanya yakni sebuah perisai di

tangan kanannya. Jadi dalam unsur keharmonisan dalam patung tersebut jelas terlihat

adanya keselarasan dan kecocokan.

b. Keutuhan dalam Tujuan (unity of purpose)

Tujuan karya seni, sudah menginjak pada kawasan “bobot”, isi dan makna dari

karya seni itu. Keutuhan dalam tujuan diperlukan agar perhatian dari yang

menyaksikan betul-betul dipusatkan pada maksud yang sama dari karya itu dan tidak

terpencar kebeberapa arah yang tidak karuan. Dalam kata tujuan sudah terkandung

pengertian bahwa penampilan karya seni itu sang pencipta ingin mengarahkan pikiran

dan perasaan kita kejurusan tertentu.

Dalam seni patung Sisingamangaraja terdapat tujuan yakni dimana letak

patung tersebut sengaja di buat untuk sebagai monumen atau kembali untuk

mengingatkan kita kepada pada masa lalu yakni sejarahnya.

c. Keutuhan dalam Perpaduan

Keutuhan dalam perpaduan yang merupakan suatu prinsip dalam estetika, bila

ditinjau dari sudut filsafati ini, pada hakekatnya memandang sesuatu utuh kalau ada

keseimbangan antara unsur-unsur yang berlawanan. Dalam estetika perlawanan antara

unsur-unsur disebut kontras.

Kehadiran kontras dalam karya seni, disamping member penjelasan, juga

membuat karya seni lebih menarik, karena kontras seolah-olah membuat “kejutan”.

Kontras mempunyai sifat menambah mutu estetik dari karya seni karena membuat

karya seni itu lebih kompleks, rumit, berarti menambah complexity dari karya

tersebut.

12

Page 13: Kritik Seni

Seperti halnya ada patung Sisingamnagraja terdapat unsur berlawanan

(kontras) yakni terdapat pada keris ada perisai, dimana Sang Raja memegang perisa di

sebelah kanan tangannya denagn hal itu sudah menunjukkan adanya unsur yang

kontras pada patung terebut. Begitu juga denag bentuk kain yang diduduki oleh Sang

Raja sehingga sebahagian dari kain tersebut menutupi bagian dari tubuh kuda itu.

Dengan hal seperti itu sudah menunjukkan adanya unsur kontrs yang terkandung

disana.

3. Penonjolan

Penonjolan mempunyai maksud mengarahkan perhatian orang yang

menikmati suatu karya seni sesuatu hal tertentu, yang dipandang lebih penting dari

pada hal-hal yang lain. Adanya unsur perlawanan yakni perlawanan dalam arti adu

kuat yang “terarah”, yang berdisiplin menghasilkan daya tarik atau kekuatan karya

seni yang membuat orang terpaku. Kekuatan ini disebut intensitas dari karya itu.

Disamping memberi intensitas, penonjolan dalam suatu karya seni bias

memuat cirri yang khas pada karya seni itu, yang disebut “karakter”. Jelas terlihat bila

suatu cara penonjolan yang khas selalu terdapat pada karya-karya dibuat oleh suatu

seniman tertentu.

Sering terjadi bahwa penonjolan dengan cara tertentu, setelah sangat menarik

perhatian, cepat ditiru oleh banyak seniman lain. Walaupun tidak meniru persis seperti

yang asli, dan masing-masing seniman sempat membuat penonjolan tersebut sesuai

denagn kepribadiannya sendiri, dank arena itu bias membeikan identitas tersendiri.

Seperti halnya dengan patung Sisingamangaraja, penonjolan yang terdapat

pada patung tersebut teletak pada seorang raja sedang memegang sebuah keris atau

perisai di tangan kanannya dan seutas kain yang panjang yang diduduki oleh raja yang

sebahagian dari kain itu telah menutupi punggung kuda, hal itu amenandakan adanya

penonjolan yang kuat dan terarah serta dapat menarik perhatian orang.

13

Page 14: Kritik Seni

4. Keseimbangan (Balance)

Rasa keseimbangan dalam karya seni paling mudah tercapai dengan simetri,

yang misalnya dijumpai pada candi. Keseimbangan dengan simetri yang member

ketenangan itu disebut symmethic balance.keseimbangan dapat juga di capai tanpa

simetri, yang di sebut a-symmethic balance. Dalam dunia keseimbangan a-symmetric

balance itu dapat dibuat dengan berbagai cara. Dalam pembahasan tentang kekuatan

asli dari warna-warni telah dikemukakan bahwa kekuatan asli itu menentukan besar

luasnya wilayah masing-masing warna untuk mencapai keseimbangan dalam suatu

susunan kombinasi.

Seperti halnya dengan patung raja Sisingamangaraja terdapat unsur yang

dinamakan a-symmethic balance, yakni tanpa simetri. Mengapa demikian, karena

seorang raja sedang memegang sebuah keris di tangan kanannya, sementara di tangan

kirinya tidak menggunakan keris. Maka disebut tidak simetri karena tidak sama

dengan suatu belahan dengan pencerminan yang lain.

14

Page 15: Kritik Seni

BAB III

KESIMPULAN

A. Simpulan

Kita tahu bahwa negara ini dibangun dan didirikan dengan darah pahlawan

yang menjadi kakek bahkan buyut kita sendiri. Kita tahu bahwa semua itu telah

berlalu dan giliran penerus membangun dengan modrenisasi. Mengingat mereka tak

butuh waktu seumur hidup, beberapa menit atau bahkan seharian jika Anda suka.

Monumen, disetiap kota memiliki ciri khas monumen itu sendiri tergantung

pahlawan yang dikenang. Upacara, membuat monumen, tugu dan patung,

mengenalkan kepada siswa tentang perjuangan mereka, lukisan teranyar, dan terakhir

doa (yang jarang dilakukan).

B. Saran

Pahlawan nasional itu bukan hanya untuk dikenang, menghargainya dengan

event dan doa adalah salah satu wujud bahwa kita menghargai jasa mereka. Tak

dibayangkan jika Kartini waktu itu tak ikut andil dalam perjuangan kaum wanita, tak

terbayangkan jika kakek dan buyut kita tidak ikut andil dalam membedil musuh di

medan pertempuran. Apa jadinya negara ini? Mungkin kita tak pernah merayakan hari

kemerdekaan, dan wanita tak lebih sebagai seorang istri.

Bukan saling tuding bahwa kita tak pernah mengucapkan rasa syukur dan

mendoakan pahlawan nasional. Tak menuding pemerintahan sekarang yang sibuk

dengan gedung baru dan korupsi merajalela hingga tidak menghidupkan kembali

event di hari pahlawan. Tak hanya militer dan pegawai sipil yang sibuk upacara di

hari tersebut, tapi kita juga pantas mengucapkan doa dimanapun. Sepenggal kalimat

yang tak lebih lama dari membaca pesan di handphone, walaupun sekali seumur

hidup! Mungkin di saat ini kita tak menemukan acara peringatan yang semarak, tapi

tak harus mengubur doa bersama zaman.

Saya yakin ketika lebih dari 200 juta penduduk Indonesia mengucapkan

sepenggal kalimat doa hanya untuk mengenang dan bersyukur, disaat itu negara kita

akan berubah menjadi lebih baik dari saat ini.

15

Page 16: Kritik Seni

DAFTAR PUSTAKA

Brenner, J.F. von. Besuch bei den Kannibalen Sumatras: erste Durchquerung der

unabhangigen Batak-Lande. Wurzburg: Wurl.

Raffles, Stamford. Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford

Raffles. London: John Murray

16

Page 17: Kritik Seni

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan rahmat dan karunia-NYA kepada kami untuk menyelesaikan makalah

kritik seni yang berjudul “PATUNG SISINGAMANGARAJA” ini tepat pada

waktunya.

Makalah ini berisikan tentang informasi sejarah berdirinya “PATUNG

SISINGAMANGARAJA” atau yang lebih khususnya membahas karakteristik serta

perspektif patung sisingamangaraja dalam ruang lingkup karya kesenirupaan.

Diharapkan makalah ini dapat membuka wawasan kita mengenai pengkritikan sebuah

karya patung sisingamangaraja .

Kami menyadari kalau makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu

kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan

demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah

berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan

Yang Maha Esa senantiasa mengkaruniai segala usaha kita.

Medan, 02 April 2013

Penyusun

17i

Page 18: Kritik Seni

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1

A. Sejarah Patung Sisingamangaraja ................................................... 1

Gambar 1.1 ............................................................................... 1

Gambar 1.2 ............................................................................... 2

Gambar 1.3 ............................................................................... 3

Gambar 1.4 ............................................................................... 4

Gambar 1.5 ............................................................................... 5

Gambar 1.6 ............................................................................... 7

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 9

1. Struktur Karya Seni............................................................................. 9

2. Keutuhan............................................................................................. 9

2.1. Keutuhan dalam Keanekaragaman....................................... 9

2.2. Keutuhan dalam Tujuan....................................................... 12

2.3. Keutuhan dalam Perpaduan.................................................. 12

3. Penonjolan........................................................................................... 13

4. Keseimbangan..................................................................................... 14

BAB III PENUTUP............................................................................................. 15

A. Kesimpulan......................................................................................... 15

B. Saran................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 16

18ii

Page 19: Kritik Seni

PATUNG SISINGAMANGARAJA

Mata Kuliah Kritik Seni

Disusun Oleh :

SATHYA PREMA (2101151020)

JURUSAN SENI RUPAFAKULTAS BAHASA DAN SENIUNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2013

19


Recommended