Download docx - Lapjag Isk 3 Maret

Transcript

Laporan Kasus

ISK

Oleh :

Dita IrmayaNIM. I1A010010

Pembimbing :

Dr. dr. Agus Yuwono, Sp.PD, K-EMD FINASIM

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAMFK UNLAM RSUD ULINBANJARMASIN

Mei, 2014

BAB IPENDAHULUAN

Diabetes mellitus adalah kelainan metabolik kronis yang ditandai oleh hiperglikemia yang disebabkan oleh gangguan pada sekresi insulin, resistensi insulin, atau kombinasi keduanya. Perubahan metabolisme lemak dan protein juga merupakan manifestasi penting dari gangguan pada kerja atau sekresi insulin. Kebanyakan penderita diabetes mellitus memiliki diabetes tipe I (yang diperantarai imun atau idiopatik) atau diabetes tipe 2 (dengan komplek patofisiologi yang menggabungkan resistensi insulin dan kegagalan sel dan dasarnya secara turun-temurun). Diabetes dapat juga berkaitan dengan lingkungan hormonal gestasional, defek genetik, infeksi lainnya, dan obat-obat tertentu.(Jurnal Farmasi)Diabetes mellitus tipe 2 mencakup susunan disfungsi ditandai dengan hiperglikemia dan merupakan akibat dari kombinasi resistensi insulin, inadekuat sekresi insulin, dan sekresi glukagon tidak sesuai atau berlebihan. Diabetes tipe 2 yang tidak terkontrol terkait dengan berbagai komplikasi neuropati, makrovaskular, mikrovaskular. (medscape)Komplikasi mikrovaskular dari diabetes mencakup retina, renal, dan kemungkinan penyakit neuropati. Komplikasi mikrovaskular mencakup arteri koroner dan penyakit vaskular perifer. Neuropati diabetik mempengaruhi saraf otonom dan perifer. (medscape)Tidak seperti diabetes mellitus tipe 1, pasien dengan diabetes tipe 2 tidak sepenuhnya bergantung pada insulin untuk hidup. Perbedaan ini menjadi dasar pada istilah lama untuk tipe 1 dan 2, diabetes tergantung insulin dan diabetes tidak tergantung insulin.(medscape)Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang memerlukan perhatian medis jangka panjang untuk membatasi perkembangan komplikasi dan merawatnya jika terjadi. Ini merupakan penyakit yang membutuhkan biaya mahal, di Amerika Serikat pada tahun 2007, biaya yang langsung berhubungan dengan diabetes adalah 116 milyar dolar, dan total biaya sekitar 174 milyar dolar; orang dengan diabetes mengeluarkan biaya medis rata-rata 2,3 kali lebih besar dibandingkan dengan orang tanpa diabetes. (Medscape) Di Indonesia, 8.426.000 penduduk menderita diabetes pada tahun 2000, dan diperkirakan menjadi 21.257.000 pada tahun 2030. Sedangkan untuk dunia, 171.000.000 penduduk menderita diabetes, dan diperkirakan menjadi 366.000.000 pada 2030. Sepuluh negara dengan penderita diabetes terbanyak adalah India, China, Amerika Serikat, Indonesia, Jepang, Pakistan, Rusia, Brazil, Italia, dan Bangladesh.Predisposisi terjadinya infeksi saluran kemih (ISK) pada penderita diabetes melitus diakibatkan berbagai faktor. Kepekaan meningkat seiring lamanya durasi dan beratnya derajat diabetes. Kandungan glukosa darah yang tinggi menyebabkan gangguan faktor imun penjamu terhadap infeksi. Hiperkalsemia menyebabkan disfungsi neutrofil dengan meningkatkan kadar kalsium intraselular dan mengintervensi dengan aktin, diapedesis dan fagositosis. Kandidiasis vagina dan penyakit vaskular juga berperan penting pada infeksi yang berulang.(medscape)Sepanjang waktu, pasien dengan diabetes dapat berkembang sistopati, nefropati, dan nekrosis papilar renal, mempermudah terjadinya ISK. Efek jangka panjang sistopati diabetik mencakup refluks vesikouretral dan ISK berulang . Sebagai tambahan, sebanyak 30 persen wanita dengan diabetes mempunyai sistokel, sistouretrokel, atau rektokel dalam berbagai derajat. Semua hal ini berperan dalam frekuensi dan beratnya ISK pada wanita dengan diabetes. (medscape).Hipertensi merupakan kondisi komorbid diabetes yang sangat sering terjadi, mempengaruhi 20-60% pasien diabetes, tergantung pada obesitas, etnis, dan usia. Pada diabetes tipe 2, hipertensi sering terjadi sebagai bagian dari sindrom metabolik dari resistensi insulin juga mencakup obesitas sentral dan dislipidemia. Pada diabetes tipe 1, hipertensi dapat menandakan onset nefropati diabetik. Hipertensi meningkatkan risiko dari komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular, meliputi stroke, penyakit arteri koroner, dan penyakit vaskular perifer, retinopati, nefropati, dan kemungkinan neuropati.

BAB IILAPORAN KASUS

3.1. Identitas pasienNama:Ny. SNUmur:55 tahunAgama: IslamSuku: JawaPendidikan:SMAPekerjaan:Ibu Rumah TanggaAlamat: Jl. Tunas Baru BanjarmasinMRS:21 April 2014 pukul 10.20 WITARMK: 70-02-723.2. AnamnesisAnamnesis dilakukan pada tanggal 21 April 2014.3.2.1 Keluhan UtamaDemam.3.2.2Riwayat Penyakit SekarangPasien datang dengan keluhan demam sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Demam terus menerus dan muncul tiba-tiba. Demam disertai menggigil. Pasien sudah minum obat penurun panas tetapi demam cuma turun sebentar kemudian naik lagi. Pasien merasa badan lemas kurang lebih 1 minggu terakhir. Tidak ada mual muntah. Tidak ada keluhan sakit kepala, tidak ada pusing. Pasien mengaku sering kencing dalm 1 bulan terakhir. Kencing jernih, kencing kemerahan tidak ada, tidak ada nyeri kencing, tidak ada ada kencing berpasir, nyeri pinggang tidak ada. Pasien mengaku kurang lebih satu minggu yang lalu diperiksa gula darahnya dan ternyata tinggi, sejak itu pasien rutin mengkonsumsi obat gula darah setiap hari. Pasien juga mengatakan adanya rasa selalu ingin makan dan selalu ingin minum, dan pasien merasakan adanya penurunan berat badan. 3.2.3Riwayat Penyakit Dahulu Pasien tmemiliki riwayat penyakit Diabetes Melitus, hipertensi (sejak 2010), stroke. 3.2.4Riwayat Penyakit KeluargaPasien mengaku di keluarganya memiliki riwayat penyakit hipertensi. Pada keluarga tidak memiliki riwayat penyaki diabetes mellitus, stroke. 3.3. Pemeriksaan fisik21 April 2014Deskripsi UmumKesan sakit:SedangGizi:BaikBerat Badan: 62 kgTinggi Badan: 158 cmTanda vitalKesadaran:Compos mentisGCS: 4-5-6Tekanan darah:130/90 mm HgLaju nadi:95 kali/menitLaju nafas:28 kali/menitSuhu tubuh (aksiler):38,5oCKepala dan leherKepala:Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-), edema periorbita (-/-), konj. palpebra hiperemis (-/-)Leher:Peningkatan JVP (-), pembesaran KGB (-/-)ToraksPulmoI:Tarikan nafas simetris P:Fremitus raba simetrisP:Suara perkusi sonor (+/+)A:Suara nafas vesikuler, rhonkii (-/-), wheezing (-/-)JantungI:Ictus cordis (+)P:Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula, getaran/ thrill (-)P:Suara perkusi pekak, batas kanan ICS III, IV, V linea parasternalis dextra, batas kiri ICS V linea midclavicula sinistraA:S1 dan S2 tunggal, reguler, dan tidak terdengar suara bisingAbdomenInspeksi:Cembung, distensi (-), venektasi (-)Auskultasi:Bising usus (+) normalPalpasi:Turgor cepat kembali, nyeri tekan epigastrik (-), hepar, lien, massa tidak terabaPerkusi:TimpaniEksremitasAtas:Akral hangat (+/+), edema (-/-), parese (-/-)Bawah:Akral hangat (+/+), edema (-/-), parese (-/-)3.4. Pemeriksaan penunjangTabel 1. Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 21 April 2014.PemeriksaanHasilNilai RujukanSatuan

Hemoglobin15,411.00 16.00g/dL

Lekosit7,24.0 10.5ribu/uL

Eritrosit5,074.0 5.50juta/uL

Hematokrit45,732.00 44.00vol%

Trombosit155150 450ribu/uL

MCV90,380.0 97.0Fl

MCH30,327.0 32.0Pg

MCHC33.632.0 38.0%

GDS92 5 leukosit per lapangan pandang besar. Pemeriksaan kultur urine dimaksudkan untuk menentukan keberadaan kuman, jenis kuman, dan sekaligus menentukan jenis antibiotika yang cocok untuk membunuh kuman itu. Untuk mencegah timbulnya kontaminasi sampel urine oleh kuman yang berada di kulit vagina atau prepusium, perlu diperhatikan cara pengambilan sampel urine. Sampel urine dapat diambil dengan cara: (1) aspirasi suprapubik yang sering dilakukan pada bayi, (2) kateterisasi per-uretram pada wanita untuk menghindari kontaminasi oleh kuman-kuman di sekitar introitus vagina, dan (3) miksi dengan pengambilan urine porsi tengah atau midstream urine. Dikatakan bakteriuria jika didapatkan lebih dari 105 cfu (colony forming unit) per mL, pada pengambilan sampel urine porsi tengah, sedangkan pada pengambilan melalui aspirasi suprapubik dikatakan bakteriruria bermakna jika didapatkan > 103 cfu per mL.Pemeriksaan darahPemeriksaan darah lengkap diperlukan untuk mengungkapkan adanya proses inflamasi atau infeksi. Didapatkannya leukositosis, peningkatan laju endap darah, atau didapatkannya sel-sel muda pada sediaan hapusan darah menandakan adanya proses inflamasi akut.Pada keadaan infeksi berat, perlu diperiksaa faal ginjal, faal hepar, faal hemostasis, elektrolit darah, analisis gas darah, serta kultur kuman untuk penanganan ISK secara intensif.PencitraanPada ISK sederhana tidak diperlukan pemeriksaan pencitraan, tetapi pada ISK rumit perlu dilakukan pemeriksaan pencitraan untuk mencari penyebab/sumber terjadinya infeksi. Foto polos abdomen. Pembuatan foto polos berguna untuk mengetahu adanya batu radio-opak pada saluran kemih atau adanya distribusi gas yang abnormal pada pielonefritis akut. Adanya kekaburan atau hilangnya bayangan garis psoas dan kelainan dari bayangan bentuk ginjal merupakan petunjuk adanya abses perirenal atau abses ginjal. Batu kecil atau batu semiopak kadangkala tidak tampak pada foto ini, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan foto tomografi. PIV adalah pemeriksaan rutin untuk mengevaluasi pasien yang mendertia ISK complicated. Pemeriksaan ini dapat mengungkapkan adanya pielonefritis akut dan adanya obstruksi saluran kemih, tetapi pemeriksaan ini sulit untuk mendeteksi adanya hidronefrosis, pielonefrosis, ataupun abses ginjal yang fungsinya sangat jelek. Voiding sistouretrografi. Pemeriksaan ini diperlukan untuk mengungkapkan adanya refluks vesikoureter, buli-buli neurogenik, atau divertikulum ureta pada wanita yang sering menyebabkan infeksi yang sering kambuh. Ultrasonografi adalah pemeriksaan yang sangat berguna untuk mengungkapkan adanya hidronefrosis, pielonefrosis, ataupun abses pada perirenal/renal terutama pada pasien gagal ginjal. Pada pasien gemuk, adanya luka operasi, terpasangnya pipa drainase, atau pembalut luka pasca operasi dapat menyulitkan pemeriksaan ini. CT scan merupakan pemeriksaan yang lebih sensitif dalam mendeteksi penyebab ISK daripada PIV atau USG, tetapi biaya yang diperlukan untuk pemeriksaan ini relatif mahal.4. TerapiPada ISK yang tidak memberikan gejala klinis (asymptomatic bacteriuria) tidak perlu pemberian terapi, tetapi ISK yang telah memberikan keluhan harus segera mendapatkan antibiotika; bahkan jika infeksi cukup parah diperlukan perawatan di rumah sakit guna tirah baring, pemberian hidrasi, dan pemberian medikamentosa secara intravena berupa analgetik dan antibiotika. Antibiotik yang diberikan berdasarkan atas kultur kuman dan tes kepekaan antibiotik.5. PenyulitInfeksi saluran kemih dapat menimbulkan beberapa penyulit, di antaranya: (1) gagal ginjal akut, (2) urosepsis, dan (3) nekrosis papilla ginjal, (4) terbentuknya batu saluran kemih, (5) supurasi atau pembentukan abses, dan (6) granuloma. Infeksi saluran kemih pada pasien diabetes mellitus Prevalensi bakteriuria asimtomatik pada pasien diabetes wanita dua kali lebih sering daripada wanita non diabetes. Demikin pula resiko untuk mendapatkan penyakit akibat ISK lebih besar. Hal ini diduga karena pada diabetes sudah terjadi kelainan fungsional pada sistem urinaria maupung fungsi leukosit sebagai pertahanan tubuh. Kelainan fungsional yang sering dijumpai adalah sistopati diabetikum. Oleh karena pada diabetes, terjadi penurunan sensitifitas buli-buli sehingga memudahkan distensi buli-buli serta penurunan kontraktilitas detrusor dan kesemuanya ini menyebabkan terjadinya peningkatan residu urine. Kesemuanya itu menyebabkan mudah terjadi infeksi. Komplikasi yang bisa terjadi pada pasien diabetes yang menderita ISK adalah: sistisitis emfisematosa, pielonefritis emfisematosa, nekrosis papiller ginjal, abses perinefrik, dan bakteriemia. Mudahnya terjadi komplikasi emfisematosa pada organ dimungkinkan karena pada diabetes (1) sering terinfeksi oleh kuman yang membentuk gas, (2) menurunnya perfusi jaringan, dan (3) kadar glukosa yang tinggi memudahkan pertumbuhan uropatogen. Pielonefritis pada pasien diabetes mendapatkan terapi antibiotik parenteral sampai 24 jam bebas deman dan gejalanya mereda, setelah itu diteruskan dengan pemberian obat-obatan per oral sampai 14 hari. Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan kultur dan sensitifitas kuman. Golongan trimetoprim-sulfametoksazol cukup baik untuk ISK, namun harus hati-hati jika bersama dengan obat antidiabetikum.B. Diabetes Mellitus1. DefinisiDiabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang kompleks, yang memerlukan perawatan medis secara terus menerus dengan strategi penurunan risiko multifaktor untuk mengontrol kadar gula darah. Diabetes mellitus adalah kelainan metabolik kronis yang ditandai oleh hiperglikemia yang disebabkan oleh gangguan pada sekresi insulin, resistensi insulin, atau kombinasi keduanya. Perubahan metabolisme lemak dan protein juga merupakan manifestasi penting dari gangguan pada kerja atau sekresi insulin. Kebanyakan penderita diabetes mellitus memiliki diabetes tipe I (yang diperantarai imun atau idiopatik) atau diabetes tipe 2 (dengan komplek patofisiologi yang menggabungkan resistensi insulin dan kegagalan sel dan dasarnya secara turun-temurun). Diabetes dapat juga berkaitan dengan lingkungan hormonal gestasional, defek genetik, infeksi lainnya, dan obat-obat tertentu.(Jurnal Farmasi)2. KlasifikasiDiabetes dapat diklasifikasikan ke delam empat kategori klinis: Diabetes tipe 1 (disebabkan destruksi sel , biasanya menjadi tergantung terhadap insulin secara absolut) Diabetes tipe 2 (disebabkan defek pada sekresi insulin secara progresif yang melatarbelakangi terjadinya resistensi insulin) Diabetes karena penyebab spesifik lainnya, contohnya disebabkan defek genetik pada fungsi sel , defek pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (seperti fibrosis kistik), dan dipicu obat atau zat kimia (seperti pada terapi HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ. Diabetes mellitus gestasional (diabetes didiagnosis selama hamil)Beberapa pasien tidak bisa diklasifikasikan secara jelas termasuk diabetes tipe 1 atau tipe 2. Presentasi klinis dan perjalanan penyakit bervariasi luas pada kedua tipe diabetes. Kadang-kadang, pasien yang didiagnosis dengan diabetes tipe 2 dapat menjadi ketoasidosis. Anak-anak dengan diabetes tipe 1 secara khas menampilkan gejala poliuria/polidipsia dan kadang-kadang dengan ketoasidosis. Bagaimanapun, kesulitan diagnosis dapat terjadi pada anak-anak, dewasa muda, dan dewasa tua, dengan diagnosis sebenarnya semakin jelas seiring waktu. (standar medical care)

3. Gejala Klinis Diabetes MellitusBerikut gejala klinis pada diabetes mellitusGejala UmumGejala diabetes tipe 1Gejala diabetes tipe 2

PoliuriaNokturiaDeplesi garam & air: rasa haus, pusingKelelahanPerubahan aktivitas visualGejala infeksi : Puritis, infeksi kulit & kukuDiarePenurunan berat badan mendadak diikuti poliurea, noktureea, dan polidipsiaUmumnya muncul pada usia 10-12 tahunKelelahan berlebihana, peningkatan nafsu makanAtrofi muskular pada pahaBau aseton

Biasa menngenai orang dengan kelebihan berat badanSebagian besar mengenai usia 40 tahunKandidiasis genital, tinfeksi trsktus urinarius

3. DiagnosisDiagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini:- Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya- Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanitaDiagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).2. GDPT:Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam< 140 mg/dL.Tabel kriteria diagnostik DM1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L)Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaatpada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhirAtau

2. Gejala klasik DM+Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7.0 mmol/L)Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jamAtau

3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L)TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosayang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

* Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salahsatu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telahterstandardisasi dengan baik.Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994): Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa) Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan Diperiksa kadar glukosa darah puasa Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok5. Pemeriksaan PenyaringPemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko DM, namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT, maupun GDPT, sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular dikemudian hari. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa.Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening) tidak dianjurkan mengingat biaya yang mahal yang pada umumnya tidak diikuti dengan rencana tindak lanjut bagi merekayang diketemukan adanya kelainan. Pemeriksaan penyaring dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk penyakit lain atau general check-upTabel . Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokanpenyaring dan diagnosis DM (mg/dL)Bukan DMBelum pasti DMDM

Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dL)Plasma vena 10 leukosit per mm3 atau terdapat > 5 leukosit per lapangan pandang besar. Hal ini menunjukkan terjadi piuria pada pasien. Namun tidak terdapat bukti telah terjadi bakteriuria pada pasien ini.Pada ISK yang tidak memberikan gejala klinis (asymptomatic bacteriuria) tidak perlu pemberian terapi, tetapi ISK yang telah memberikan keluhan harus segera mendapatkan antibiotika; bahkan jika infeksi cukup parah diperlukan perawatan di rumah sakit guna tirah baring, pemberian hidrasi, dan pemberian medikamentosa secara intravena berupa analgetik dan antibiotika. Antibiotik yang diberikan berdasarkan atas kultur kuman dan tes kepekaan antibiotik.Pada kepustakaan yang lain,pada ISK yang disertai dengan komplikasi seperti abnormalitas struktur urologi, diabetes, imunosupresi, hamil, atau baru saja mengalami manipulasi pada traktus urulogi, maka untuk tatalaksana pertama dapat diberikan antibiotik trimetoprim/sulfa atau golongan fluoroquionolone selama 7-14 hari (fluoroquinolone kontraindikasi pada kehamilan).Pada pasien ini cairan intravena Ringer Laktat (RL) 20 tetes per menit, injeksi ceftriakson 2 x 1 gram, injeksi ranitidin 2 x 1, dan parasetamol 3 x 500 mg per oral. Pemberian RL dimaksudkan sebagai hidrasi pada pasien di atas. Ceftriakson digunakan sebagai antibiotik yang dipilih.Ceftriakson merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi 3 yang memiliki aktivitas spektrum luas pada gram negatif, dan lebih lemah pada gram positif. Ceftirakson memiliki efektivitas yang lebih tinggi pada organisme yang resisten, sangat stabil pada bakteri penghasil beta laktamase. Efek antibakteri ditimbulkan dari hambatan sintesis dinding sel oelh pengikatan 1 atau lebih protein pengikat penisilin, menimbulkan efek antimikrobial dengan mengganggu sintesis dari peptidoglikan (komponen struktur utama dari dinding sel bakteri). Ceftriakson diabsorpsi secara baik melalui intramuskular dan didistribusikan ke seluruh tubuh, mencakup kandung empedu, paru, tulang, cairan serebrospinal, dimetabolisme di hati dan di ekskresi lewat urin (33-65% dalam bentuk awal), feses. Pada infeksi saluran kemih, seftriakson dapat diberikan dengan dosis 1-2 gram/hari secara IV/IM dengan dosis tunggal atau dosis terbagi setiap 12 jam selama 4 sampai 14 hari tergantung tipe dan beratnya infeksi.Pada kepustakaan, antibiotik terpilih pada pengobata ISK pada pasien diabetes melitus bisa diberikan trimetoprim-sulfametoksazol(TMS). TMS bekerja dengan menghambat dua tahapanpada biosintesis anam nukleat dan protein esensial untuk banyak bakter. Trimetoprim bekerja dengan menghambat dihydrofolate reductase, yang menghambat produksi asam tetrahidrofolat dari asam dihidrofolat. Sulfametoksazol bekerja dengan menghambat sintesis asam dihidrofolat dengan berkompetisi terhadap asam paraaminobenzoat. TMS dimetabolisme di hati dan dieksresi di urine dalam bentuk obat awal (tidak berubah). TMS diberikan pada infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh bakteri yang sensitif seperti Escherichia coli, spesies Klebsiella, spesies Enterobacter, Morganella morganii, Proteus mirabilis, dan Proteus vulgaris. Pada pielonefritis dapat diberikan 1 tablet dosis ganda atau 2 tablet dosis normal per oral setiap 12 jam selama 14 hari. Ada sistitis akut dapat berikan selama 3 hari. Pada penelitian Rosenberg JM et al yang membandingkan efektivitas penggunaan seftriakson dengan pengobatan standar yaitu trimetoprim sulfametoksazol. Peneliti membagi menjadi dua kelompok yaitu 20 orang yang mendapatkan pengobatan seftriakson, dan 13 orang yang mendapat trimetoprim sulfametoksazol. Hasil penelitian menunjukkan angka kesembuhan pada kelompok yang mendapat seftriakson (18 dari 20, 90%) tidak didapatkan perbedaan signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol yang mendapatkan trimetoprim sulfametoksazol (13 dari 13). (single dose...)Pada pasien diberikan ranitidin 2 x 1. Ranitidin merupakan antagonis reseptor H2. Ranitidin bekerja dengan menghambat reseptor H2 pada sel parietal lambung untuk menimbulkan hambatan pada sekresi lambung. Ranitidin pada pasien rawat inap diberikan sebagai profilaksis stress ulser atau acid supressive therapy (AST). Pemberian ranitidin sebagai AST mengikuti indikasi yang telah ditetapkan. Faktor risiko pada pasein sebagai indikasi untuk pemberian AST adalah pasien yang menggunakan bantuan ventilasi mekanik selama lebih dari 48 jam, pasien dengan koagulopati (ditandai dengan jumlah trombosit di bawah 50 x 109 /L, atau international normalized ratio INR lebih besar dari 1,5 atau waktu partial thromboplastin meningkan 2x dibandingkan dengan nilai normal), sepsis berat, syok, gagal hati, gagal ginjal, luka bakar dengan luas lebih dari 35% permukaan tubuh, transplantasi organ, trauma kepala, trauma korda spinalis, riwayat penyakit ulkus peptik, riwayat perdarahan saluran cerna. Penggunaan terapi steroid tidak dianggap sebagai faktor risiko terjadinya stress ulkus kecuali digunakan bersamaan dengan adanya faktor risiko lainnya seperti penggunaan aspirin atau obat antiinflamasi non steroid.Pemberian ranitidin sebagai AST merupakan obat tersering yang diresepkan pada pasien rawat inap. Berbagai penelitian menunjukkan pemberian AST sering berlebihan pada pasien rawat inap. Pada penelitian Ruchi Gupta et al, 70% dari pasien rawat inap mendapatkan AST, dan 73% diantaranya tidak perlu.Untuk gejala demamnya, pada pasien ini mendapatkan parasetamol per oral 3 x 500 mg. Parasetamol merupaka golongan analgesik antipiretik yang bekerja di hipotalamus untuk menimbulkan efek antipiretik, dan bekerja di perifer pada pembentukan sensasi nyeri, juga menghambat sisntesis prostaglandin pada sistem saraf pusat. Parasetamol dimetabolisme di hati dan dieksresi lewat urin. Untuk mendapatkan efek antipiretik dan analgetik, diberikan dosis 325-650 mg per oral atau per rektal setiap 4 jam jika perlu, atau 500 mg per oral setiap 8 jam jika perlu. Dosis maksimal per hari adalah 4 gram.Pada tanggal 24 April 2014, pasien tidak lagi mengalami, demam. Pasien juga sudah dapat makan dan minum serta tidak lagi memerlukan pemberian cairan intravena. Dengan demikian, pasien ini diperbolehkan pulang dan menjalani rawat jalan.Pasien di atas juga mengidap diabetes mellitus dan hipertensi terkontrol.Diabtetes mellitus diketahui dari anamnesis bahwa pasien sudah mengkonsumsi obat anti diabetes sejak seminggu terakhir. Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan. Pada pasien ini menerima obat hipoglikemik oral (OHO).Cara Pemberian OHO, terdiri dari: OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal. Sulfonilurea: 15 30 menit sebelum makan. Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan. Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan. Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan. DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.Pasien juga diketahui mengidap hipertensi sejak tahun 2010. Pasien rutin mengkonsumsi obat antihipertensi. Saat datang, tekanan darah pasien 130/90 mmHg. Pada pasien hipertensi dengan DM, maka pilihan untuk obat antihipertensinya adalah thiazid, beta blocker, ACEI, ARB, CCB.

BAB VPENUTUP

Telah dilaporkan kasus seorang wanita berusia 55 tahun yang didiagnosis ISK dengan diabetes mellitus dan hipertensi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pasien telah ditatalaksana dengan terapi suportif, simptomatik dan definitif. Setelah pasien dirawat selama 4 hari dari tanggal 21 s/d 24 April 2014 akhirnya pasien diperbolehkan pulang dan mendapat pengobatan lanjutan secara rawat jalan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. Typhoid fever. N Engl J Med 2002; 347(22): 1770-1782.

2. Simanjuntak CH, Hoffman SL, Punjabi NH, Edman DC, Hasibuan MA, Sumarno W et al. Epidemiologi demam tifoid di duatu daerah pedesaan di Paseh, Jawa Barat. CDK 2007;6: 16-18.

3. FK UI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2. Jakarta: FK UI, 2005.

4. World Health Organization. 2003. Background Document: The Diagnosis, Treatment And Prevention Of Typhoid Fever, Geneva, Switzerland.

5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2011 (online) (http://www.depkes.go.id/downloads/PROFIL_KESEHATAN_INDONESIA_2010.pdf.

6. Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. Typhoid fever. N Engl J Med 2002; 347(22): 1770-1782.

7. Pramitasari, O. P. Faktor Resiko Kejadian Demam Tifoid Pada Penderita Yang Dirawat Di Rumah Sakit Umum Daerah Ungaran. Journal Kesehatan Masyarakat. 2013; Volume 2.

8. James, Chin MD, MPH. 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Edisi 17. Jakarta: Infomedia.

9. Aru W. Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima. Jakarta: Interna Publishing, 2009.

10. Huan J. Chang, MD, MPH. Typhoid Fever. JAMA. 2009;302(8):914.

11. Dan L. Longo, Anthony S. Fauzy. Horrisons Gastroenterology and Hepatology. 2010. China : The McGraw-Hill.

12. Gladwin, M., Trattler, B., 1999, The enteric. In: Clinical Microbiology Made Ridiculously Simple. Med Master Inc.Miami, 54-61.

13. Herawati, M.H., dan L. Ghanie.2009. Hubungan Faktor Determinan Dengan Kejadian Demam Tifoid Di Indonesia Tahun 2007. Media Peneliti Dan Pengembang Kesehatan.Volume XIXNomor 4: hal 165-173.

14. Wardana IMTN, Herawati S, dan Yasa IWPS. 2010. Diagnosis demam thypoid dengan pemeriksaan widal. SMF patologi klinik FK Udayana. 1-13

15. Wardhani P, Prihatini, Probohoesodo MY. Kemampuan uji tabung widal menggunakan antigen import dan antigen lokal. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. 2005; 12 (1): 31-37.

16. Saraswati NA, Junaidi AR, dan Ulfa M. 2012. Karakteristik tersangka demam tifoid pasien rawat inap di rumah sakit muhammadiyah palembang periode tahun 2010. syifa'MEDIKA; 3(1): 1-11.

17. Mulyawan Sylvia, Surjawidjaja Julius. Tinjauan Ulang Peranan Uji Widal Sebagai Alat Diagnostik Penyakit Demam Typhoid Di Rumah Sakit. Jakarta:2004. p. 14-6.

18. Camilo Acusta, Dr et all. Background Document: The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever. WHO. 2007.

19. Anonymous. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. KEMENKES RI. 2006: no. 364.

20. Loho, T., Sutanto, H., Silman, E., 2000, Dalam: Demam tifoid peran mediator, diagnosis dan terapi. (Editor: Zulkarnain). Pusat Informasi dan Penerbitan bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta, 22-42.

21. Suswati I, Juniarti A. Sensitivitas salmonella typhi terhadap kloramfenikol dan seftriakson di RSUD Dr. Soetomo dan di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang tahun 2008-2009. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang: 27-32.

22. Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S. Typhoid fever and paratyphoid fever. Lancet 2005; 366: 749-62.

23. Background document: the diagnosis, treatment, and prevention of typhoid fever [Internet]. 2003 [cited 2010 Nov 25]. Available from: www.who-int/vaccines-documents/

24. Nelwan RHH, Chen K, Nafrialdi, Paramita D. Open study on efficacy and safety of levofloxacin in treatment of uncomplicated typhoid fever. Southeast Asian J Trop Med Public Health 2006; 37(1): 126-30.

25. Thaver D, Zaidi AKM, Critchley J, Azmatullah A, Madni SA, Bhutta ZA. A comparison of fluoroquinolones versus other antibiotics for treating enteric fever: meta-analysis. BMJ 2009; 338: 1-11.

9