1
PRESENTASI KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. E
Usia : 27 tahun
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Elponyo. Kota/Kab. Tasikmalaya, Jawa Barat.
Tanggal Masuk RS : 23 Juni 2015
No. CM : 15285463
Dokter Anestesi : dr. Andika, Sp. An
Dokter Obgyn : dr. Agus, Sp.Og
B. PERSIAPAN PRE-OPERASI
1. Anamnesa
a. A (Alergy)
Tidak ada alergi terhadap obat-obatan, makanan dan asma;
b. M (Medication)
Tidak sedang menjalani pengobatan
c. P (Past Medical History)
Riwayat DM (-), hipertensi (-), sakit yang sama dan riwayat operasi (-);
d. L (Last Meal)
Pasien Tidak puasa;
e. E (Elicit History)
Pasien datang ke RSUD Kota Tasikmalaya pada tanggal 23 Juni 2015.
Pasien dalam dalam keadaan hamil ke-1 usia 40 minggu. Pasien sudah
2
dijadwalkan akan melakukan kelahiran secara sesar tanggal 24 Juni 2015
dengan spesialis opgin karena letak bayi yang sunsang.
2. Pemeriksaan Fisik
Tanggal Pemeriksaan : 24 Juni 2015
Dirawat di : Ruang 1
A. Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign :
Tekanan darah : 143/71mmHg
HR : 71x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : afebrisoC
Antrpometri
Berat Badan : 77 kg
B. Status Head To Toe
Kepala
a. Mata:
Palpebra : tidak bengkak dan cekung
Konjungtiva : anemis ( - ) / ( - )
Sklera : ikterik ( - ) / ( - )
Pupil : refleks cahaya ( + ) / ( + ), pupil sokor dextra = sinistra
b. Hidung : Pernapasan cuping hidung : ( - )
c. Telinga
Auricula : tidak tampak kelainan
3
Meatus akustikus eksternus : ( + ) / ( + )
d. Mulut :
Bibir : Sianosis( - ),Labioskizis superior( + )
e. Leher : Pembesaran KGB ( - ) / ( - )
f. Thoraks
Inspeksi : Bentuk gerak simetris dextra = sinistra, rektraksi
supraclavicula (-) / (-), retraksi intercostalis ( - ) / ( - ),
Palpasi : iktus kordis teraba,
Perkusi : -
Auskultasi : Vesiculer breathing sound ( + ) / ( + ), Weezhing ( - ) / (
- ), Ronki ( - ) / ( - ), Bunyi Jantung I, II regular, Gallop (-), Mur-Mur (-)
g. Abdomen
Inspeksi : Buncit hamil, striae graviidarum (+)
Auskulasi :Bising usus (+), bunyi jantung janin (+)
h. Ekstremitas :
Edema : Ekstremitas atas (-) dan bawah ( - )
Capilari Refill Time: Kurang dari 2 detik
Akral hangat pada semua ektremitas.
4
1.1 Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan Laboratorium tanggal 22 Juni 2014
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan Metode
Hematologi
Waktu perdarahan 2.00 1-3 menit Duke
Waktu pembekuan 4.00 1-7 menit Slide test
Golongan Darah O Slide test
Rhesus positif Slide test
Hemoglobin 12 P: 12-16; L: 14-18 g/dl Auto Analyzer
Hematokrit 35 P: 35-45; L: 40-50 % Auto Analyzer
Jml Leukosit 10.800 5.000-10.000 /mm3 Auto Analyzer
Jml Trombosit 282.000 150.000-350.000 /mm3 Auto Analyzer
KARBOHIDRAT
Glukosa Sewaktu 102 100-110 mg/dl GOD – POD
FAAL GINJAL
Ureum 28 15-45 mg/dl Urease Klinetik UV
Keratini 0.84 P: 0.5-0.9; L: 0.7-1.12 mg/dl Kinetic Jaffe
ELEKTROLIT
Natrium 143 135-145 mmol/L ISE
Klium 3.7 3.5-5.0 mmol/L ISE
Kalsium 1.26 1.10-1.40 mmol/L ISE
KIMIAWI
- Protein : Positif 1
- Glukosa: Negatif
- Urobilinogen: Positif /
Normal
MAKROSKOPIK
- Warna : Kuning
- Kekeruhan : keruh
5
- Bilirubin : Negatif
- Nitrit : Negatif
- Keton : Negatif
- Leukosit : Negatif
- Darah : Positif 3
- PH : 6,5
- Berat Jenis : 1.015
MIKROSKOPIK/SEDIMEN
- Leukosit : 1-4 /LPB
- Eritrosit : Banyak /LPB
- Sel epitel : 0-3 /LPB
- Silinder : Granula 0-2
1.2 Diagnosa Klinis Pre-Operatif
G1P0A0 (Hamil aterm dengan letsu + PER)
1.3 Kesimpulan Status Fisik ASA
Status ASA (American Society Of Anesthesiologists) merupakan suatu
klasifikasi untuk menilai kebugaran fisik seseorang.
Untuk pasien ini ASA II.
A. Rencana Anestesi
1. Persiapan Operasi
a. Persetujuan operasi tertulis ( + )
b. Puasa > 6 jam
2. Jenis Anestesi : Regional Anestesi/Spinal
3. Teknik Anestesi : Spinal
4. Posisi : supine
5. Pernafasan : spontan respiration
6. Premedikasi : -
7. Induksi : Bupivacain 15mg
9. Maintenance : O2 = 3L (nasa canul)
6
10. Cairan : voluven 500 cc menyeimbangkan cairan dalam tubuh
pasien agar pasien tidak hipotensi akibat dari efek
perdarahan.
11. Monitoring : Tanda vital selama operasi tiap 5 menit, kedalaman
Anestesi, cairan, perdarahan, dan produksi urin.
12. Perawatan pasca anestesi di ruang pulih sadar/ruang pindah
B. Tindakan Anestesi
1. Di ruang persiapan
a. Cek persetujuan operasi dan identitas penderita
b. Pakaian pasien diganti pakaian operasi
c. Pemeriksaan tanda-tanda vital
d. Lama puasa > 6 jam
e. Cek obat dan alat anestesi
f. Posisi terlentang
2. Di ruang operasi
a. Jam 13:30
Pasien masuk kamar operasi dan pemasangan Infus Hes 500cc, manset
dan monitor dipasang
b. Jam 13:45
dilakukan induksi dengan bupivacain 15mg, lalu mengalirkan O2
2L/mnt ( nasacanul)
c. Jam 13:50
Operasi dimulai dan tanda vital dimonitor tiap 5 menit.
d. Jam 13:55
Bayi lahir hidup. Pemberian Oxytocin 10iu (drip) + methylergometrin
0.2mg (drip)
7
e. Jam 13:58
Plasenta keluar
f. Jam 14:10
Operasi selesai, pasien di bawa keruang RR
C. Laporan Monitor Anestesi
TIME SATURASI HEART RATE TEKANAN
DARAH
13.30 99 71x/menit 143/71 mmHg
13.45 98 72x/menit 109/60 mmHg
14.00 100 100x/menit 109/58 mmHg
14.10 100 97x/menit 108/55 mmHg
Cairan Perioperatif
Maintenance Cairan = 4 : 2 : 1
Kebutuhan Basal 10 x 4 = 40 cc
10 x 2 = 20 cc
57 x 1 = 57 cc +
117cc/jam
Defisit Cairan Puasa = Puasa jam x maintenance cairan
= 6 x 117 cc/jam
= 702 cc
Insensible Water Loss= Jenis Operasi x Berat Badan
= 8 x 77 kg
= 616 cc
8
Kebutuhan cairan 1 jam pertama
= (½ x puasa) + IWL + maintenance
= (½ x 702) + 616 + 117 cc
= 1.084cc
Perdarahan = perdarahan + urin
= 100cc + 100cc
= 200 cc
EBV (Ekstimasi blood volume) = BB x Konstanta wanita dewasa
= 77 x 65
= 5.005 cc
ABL (Acceptable blood loss) = EBV x (hct pasien – nilai hct terendah)
Hct rata – rata
= 5005 x ( 35 – (11 x 3))
(35+33)/2
=10010
34
=295cc
D. Post Operatif
Bromage score <2: pasien pindah ruangan
Analgetik tramadol 100mg + ketorolac 60 mg (drip ) dalam 500cc cairan Futrolit
20tetes x/menit.
Antibiotik : sesuai dr. Sp. Og
Pasien boleh makan dan minum namun tidak boleh duduk atau berdiri.
9
E. Tindakan Anestesi Regional Dengan Spinal Anestesi
Loading cairan dengan Hes 500 cc untuk mengganti cairan puasa 6 jam
pre-operasi, dan perdarahan agar komposisi cairan pasien yang berkurang
saat puasa terpenuhi.
Pasien diposisikan duduk terlebih dahulu untuk dilakukan spinal anestesi.
Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah
teraba. Pada daerah vertebrae lumbal III sampai dengan vertebrae lumbal
V dibersihkan dengan antiseptik povidon iodine + alkohol.
Untuk menentukan ruang subarachnoid di tarik garis dari SIAS (Spina
Iliaca Anterior Superior) ke vertebrae lumbal dan biasanya terdapat di
antara vertebra lumbal III – IV.
Masukkan obat bupivacaine 15 mg. Tusukkan jarum spinal hingga cairan
liquor keluar, obat dapat dimasukkan pelan – pelan diselingi aspirasi
sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Setelah di spinal anestesi pasien diposisikan pada posisi supine untuk
tindakan operasi.
Memasang sensor finger pada tangan kanan pasien untuk monitoring
SpO2 dan SPO2 Rate, dan memasang manset pada lengan kiri pasien untuk
monitoring tekanan darah (tergantung dari pemasangan infus, bila infus di
sebelah kiri maka manset untuk monitoring tekanan darah di sebelah
kanan).
Pemberian (O2 3L/menit) dengan memakai nasal canul.
Pastikan jalan napas pasien aman
Monitor tanda – tanda vital pasien (nadi), saturasi oksigen, tanda–tanda
komplikasi (perdarahan, alergi obat, obstruksi jalan nafas, nyeri)
10
Setelah operasi selesai nasal canul yang di pasang di pasien dilepas karena
pasien akan di pindahkan ke ruang pemulihan atau recovery room . Pasien masih
sadar dan ada refleks setelah operasi. Pasien diperbolehkan pindah ruang (keluar
dari ruangan operasi) bila Bromage Score < 2.
F. POST-OPERASI
Setelah operasi selesai nasal canul yang di pasang di pasien dilepas karena
pasien akan di pindahkan ke ruang pemulihan atau recovery room . Pasien masih
sadar dan ada refleks setelah operasi. Pasien diperbolehkan pindah ruang (keluar
dari ruangan operasi) bila Bromage Score < 2.
G. Instruksi Pasca Anestesi
Pasien dirawat di ruang pindah dalam posisi supine, oksigen 2 liter/menit,
awasi respirasi, nadi. Setelah sadar pasien di rawat di bangsal sesuai dengan
bagian operator.
Setelah pasien sadar, pasien dipindahkan ke ruangan 1
1. Awasi keadaan umum, perdarahan setiap 15 menit selama 2 jam post
operasi.
2. Infuse : RL 20gtt/menit
3. Analgetik cetorolak 30mg diberikan perinfus.
4. Bila tidak ada mual, tidak ada muntah, bising usus (+), boleh diberi ASI/
makan dan minum secara bertahap
5. Anjuran untuk bed rest 24 jam
6. Bila nyeri bertambah, konsultasi ke bagian anestesi.
11
H. Steward Score
Pasien dapat keluar dari RR apabila sudah mencapai skor steward ≥ 5
(lima).
TANDA KRITERIA SCORE
Kesadaran Bangun
Respon terhadap rangsang
Tidak ada respon
3
2
1
Pernafasan Batuk/ menangis
Pertahankan jalan nafas
Perlu bantuan nafas
3
2
1
Motorik Gerak bertujuan
Gerak tanpa tujuan
Tidak bergerak
3
2
1
Keterangan:Score ≥ 5 boleh keluar dari RR
Sedangkan pada pasien diatas, didapatkan skornya 5. Skor 5 didapatkan dari
1. Pasien berespon terhadap rangsangan (skor 2)
2. jalan nafas terjaga (skor 2)
3. tidak ada gerak (skor 1)
Dengan skor 5 ini, pasien telah dapat dipindahkan dari ruang recovery
ke ruangan ruang 1 yaitu bangsal di RS dr. Soekardjo Tasikmalaya sebelum
dapat pulang ke rumah.
Infuse : Futrolit 20 gtt/menit
Analgetik :Tramadol 100 mg dan ketorolac 60 mg diberikan perdrip
dalam 500 cc Futrolit. Pasien boleh makan dan minum
12
I. FOLLOW UP PASCA OPERASI
1. Hari Pertama Post-Operasi (25 Juli 2015)
1 hari post operasi
Pasien dirawat ruang 1
Keluhan ; nyeri di luka operasi
Tanda vital : TD: 130/90mmhg
N: 78 x/menit
R: 36x/menit
S: 36,60C
Edema ekstremitas : (-)
Pengobatan : RL 1000cc ( jam 01.00)
Keadaan umum : baik
Kesadaran : Composmentis
J. PEMBAHASAN
Pada kasus ini pemilihan teknik anestesi yang dipilih adalah regional anestesi
(spinal anestesi), karena akan dilakukan operasi pada bagian ekstremitas bawah atau
pada bagian tubuh inferior, sehingga cukup dengan memblok bagian tubuh inferior
saja.
Pada regional anestesi, obat anestesi yang dipakai adalah bupivacaine 15 mg.
Bupivacaine dipilih karena durasi kerja yang lama. Bupivacaine merupakan anestesi
lokal golongan amida. Bupivacaine mencegah konduksi rangsang saraf dengan
menghambat aliran ion, meningkatkan ambang eksitasi elekton, memperlambat
perambatan rangsang saraf dan menurunkan potensi aksi. Durasi analgetik pada T10
– T12 selama 2-3 jam, dan bupivacaine menghasilkan relaksasi muskular yang cukup
13
pada ekstremitas bawah selama 2-2,5 jam. Selain itu, bupivacaine juga dapat
ditoleransi dengan baik pada semua jaringan yang terkena.
Seksio sesarea ialah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka
dinding perut dan dinding uterus. Dewasa ini cara ini jauh lebih aman dari pada
dahulu berhubung dengan adanya antibiotika, transfusi darah, teknik operasi yang
lebih sempurna dan anestesi yang lebih baik. Karena itu kini ada kecenderungan
untuk melakukan seksio sesarea tanpa dasar yang cukup kuat. Dalam hubungan ini
perlu diingat bahwa seorang ibu yang telah mengalami pembedahan itu merupakan
seorang yang mempunyai parut uterus, dan tiap kali kehamilan serta persalinan
berikut memerlukan pengawasan yang cermat berhubung dengan bahaya ruptura
uteri.1
Prinsip dilakukan tindakan seksio sesarea diantaranya keadaan yang tidak
memungkinkan janin dilahirkan per vaginam, dan atau keadaan gawat darurat yang
memerlukan pengakhiran kehamilan / persalinan segera, yang tidak mungkin
menunggu kemajuan persalinan per-vaginam secara fisiologis.2 Indikasi dilakukan
tindakan seksio sesarea salah satu diantaranya ialah plasenta previa, yakni plasenta
yang letaknya abnormal yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian
atau seluruh pembukaan jalan lahir (ostium uteri internum). Pada plasenta previa
dilakukan tindakan seksio sesarea pada keadaan plasenta previa totalis, perdarahan
banyak tanpa henti, presentase abnormal, panggul sempit, keadaan serviks tidak
menguntungkan (belum matang) dan gawat janin.3
WHO (World Health Organization) memperkirakan bahwa angka persalinan
dengan seksio sesarea sekitar 10-15% dari semua proses persalinan di negara-negara
berkembang dibandingkan dengan 20% di Britania Raya dan 23% di Amerika
Serikat. Kanada pada 2003 memiliki angka 21%. Data statistik dari 1990-an
menyebutkan bahwa kurang dari 1 kematian dari 2.500 yang menjalani bedah caesar,
dibandingkan dengan 1 dari 10.000 untuk persalinan normal.
14
Pada pasien ini, indikasi dilakukannya persalinan seksio sesarea ialah karena
letak janin yang banormal ( sunsang). Letak sunsang merupakan keadaan dimana
janin terletak memanjang dengan kepala di fundus uteri, sehingga untuk dilakukannya
persalinan normal menimbulkan resiko baik ibu dan juga janin.
Obat-obatan lain yang digunakan:
1. Tramadol 50mg (1mg/kgBB) diberikan secara intravena di encerkan bersama HES
500cc.
Tramadol ialah agonis opioid sintetik yang berfungsi untuk mencegah shivering
(menggigil) dengan menghambat pengambilan kembali serotonin dan norepinefrin.
Tramadol juga meningkatkan fungsi dari spinal descending inhibitory pathway
dengan menghambat re-uptake neural dari norepinefrin dan 5-hydroxylptamin
(serotonin0 dalam efek analgesi.
2. Oxytocin (10 Iu/1ml) diberikan secara intravena di encerkan bersama HES 500cc.
Oxytocin berfungsi untuk kontraksi uterus melalui mekanisme yang bebas dari
konsentrasi kalsium intraseluler. Oxytocin juga menstimulasi produksi PGE
(prostaglandin e) dan PGF (prostaglandin F) sebagai tambahan terhadap aksi
uterotonika dan mungkin pelepasan prostaglandin oleh oxytocin perlu untuk
mengefisienkan kontraksi uterus selama persalinan.
3. Methylergometrin 0,2ml/1ml
Methylergometrin termasuk golongan derivat semisintetik dan alkaloid alami yang
berfunsi untuk stimulant uterus dengan merangsang secara langsung otot uterus untuk
meningkatkan kekuatan dan frekuensi kontraksi.
15
Anestesi pada hipertensi
Definisi
hipertensi yaitu apabila tekanan darah seseorang tekanan sistoliknya 140
mmHg atau lebih atau tekanan diastoliknya 90 mmHg atau lebih atau sedang
memakai obat anti hipertensi.
JNC 8 merupakan klasifikasi hipertensi terbaru dari Joint National
Committee yang berpusat di Amerika Serikat sejak desember 2013. JNC 8 telah
merilis panduan baru pada manajemen hipertensi orang dewasa terkait dengan
penyakit kardiovaskuler :
Para penulis membentuk sembilan rekomendasi yang dibahas secara rinci bersama
dengan bukti pendukung . Bukti diambil dari penelitian terkontrol secara acak dan
diklasifikasikan menjadi :
A. rekomendasi kuat, dari evidence base terdapat banyak bukti penting yang
menguntungkan
B. rekomendasi sedang, dari evidence base terdapat bukti yang menguntungkan
C. rekomendasi lemah, dari evidence base terdapat sedikit bukti yang menguntungkan
D. rekomendasi berlawanan, terbukti tidak menguntungkan dan merusak (harmful).
E. opini ahli
N. tidak direkomendasikan
Beberapa rekomendasi terbaru antara lain :
1 . Pada pasien berusia ≥ 60 tahun , mulai pengobatan farmakologis pada tekanan
darah sistolik ≥ 150mmHg atau diastolik ≥ 90mmHg dengan target terapi untuk
sistolik < 150mmHg dan diastolik < 90mmHg . (Rekomendasi Kuat-grade A)
2 . Pada pasien berusia < 60 tahun , mulai pengobatan farmakologis pada tekanan
darah diastolik ≥ 90mmHg dengan target < 90mmHg . ( Untuk usia 30-59 tahun ,
Rekomendasi kuat -Grade A; Untuk usia 18-29 tahun , Opini Ahli - kelas E )
16
3 . Pada pasien berusia < 60 tahun , mulai pengobatan farmakologis pada tekanan
darah sistolik ≥ 140mmHg dengan target terapi < 140mmHg . ( Opini Ahli -
kelas E )
4 . Pada pasien berusia ≥ 18 tahun dengan penyakit ginjal kronis , mulai pengobatan
farmakologis pada tekanan darah sistolik ≥ 140mmHg atau diastolik ≥ 90mmHg
dengan target terapi sistolik < 140mmHg dan diastolik < 90mmHg . ( Opini Ahli
- kelas E )
5 . Pada pasien berusia ≥ 18 tahun dengan diabetes , mulai pengobatan farmakologis
pada tekanan darah sistolik ≥ 140mmHg atau diastolik BP ≥ 90mmHg dengan
target terapi untuk sistolik gol BP < 140mmHg dan diastolik gol BP < 90mmHg .
( Opini Ahli - kelas E )
6 . Pada populasi umum bukan kulit hitam, termasuk orang-orang dengan diabetes ,
pengobatan antihipertensi awal harus mencakup diuretik tipe thiazide, CCB ,
ACE inhibitor atauARB ( Rekomendasi sedang-Grade B ) Rekomendasi ini
berbeda dengan JNC 7 yang mana panel merekomendasikan diuretik tipe thiazide
sebagai terapi awal untuk sebagian besar pasien .
7 . Pada populasi umum kulit hitam , termasuk orang-orang dengan diabetes ,
pengobatan antihipertensi awal harus mencakup diuretic tipe thiazide atau CCB .
( Untuk penduduk kulit hitam umum : Rekomendasi Sedang - Grade B , untuk
pasien hitam dengan diabetes : Rekomendasi lemah-Grade C)
8 . Pada penduduk usia ≥ 18 tahun dengan penyakit ginjal kronis , pengobatan awal
atau tambahan antihipertensi harus mencakup ACE inhibitor atau ARB untuk
meningkatkan outcome ginjal . (Rekomendasi sedang -Grade B )
9 . Jika target tekanan darah tidak tercapai dalam waktu satu bulan pengobatan,
tingkatkan dosis obat awal atau menambahkan obat kedua dari salah satu kelas
dalam Rekomendasi 6 . Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai dengan dua
obat , tambahkan dan titrasi obat ketiga dari daftar yang tersedia. Jangan gunakan
ACEI dan ARB bersama-sama pada pasien yang sama . Jika target tekanan darah
tidak dapat dicapai hanya dengan menggunakan obat-obatan dalam Rekomendasi
6 karena kontraindikasi atau kebutuhan untuk menggunakan lebih dari 3 obat
17
untuk mencapai target tekanan darah, maka obat antihipertensi dari kelas lain
dapat digunakan . (Opini Ahli - kelas E )
Krisis Hipertensi
Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan perioritas
pengobatan, sebagai berikut :
1. Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg,
disertai kerusakan berat dari organ sasaran yag disebabkan oleh satu atau lebih
penyakit/kondisi akut (tabel I). Keterlambatan pengobatan akanmenyebebabkan
timbulnya sequele atau kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam
satu sampai beberapa jam. Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau
(ICU).
2. Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa
kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24
jam sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral. (tabel II). Dikenal
beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain : 1. Hipertensi
refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD > 200/110 mmHg, walaupun
telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada penderita dan kepatuhan
pasien.
3. Hipetensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg disertai
dengan kelainan funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase
maligna.
4. Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD Diastolik >
120 – 130 mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema, peniggian
tekanan intrakranial kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun
kematian bila penderita tidak mendapat pengobatan. Hipertensi maligna, biasanya
18
pada penderita dengan riwayat hipertensi essensial ataupun sekunder dan jarang
terjadi pada penderita yang sebelumnya mempunyai TD normal.
5. Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai dengan
keluhan sakit kepala yang sangat, perubahan kesadaran dan keadaan ini dapat
menjadi reversible bila TD diturunkan.
Tabel I : Hipertensi emergensi ( darurat )
TD Diastolik > 120 mmHg disertai dengan satu atau lebih kondisi akut.
- Pendarahan intra pranial
- ombotik CVA atau pendarahan subarachnoid
- Hipertensi ensefalopati
- Aorta diseksi akut
- Oedema paru akut
- Eklampsi
- Feokhromositoma
- Funduskopi KW III atau IV
- Insufisiensi ginjal akut
- Infark miokard akut, angina unstable
- Sindroma kelebihan Katekholamin yang lain :
Sindrome withdrawal obat anti hipertensi
Cedera kepala
Luka bakar
Interaksi obat.
2 Tabel II : Hipertensi urgensi ( mendesak )
19
- Hipertensi berat dengan TD Diastolik > 120 mmHg, tetapi dengan minimal
atau tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan pada tabel I
- KW I atau II pada funduskopi
- Hipertensi post operasi
- Hipertensi tak terkontrol / tanpa diobati pada perioperatif.
Patogenesis terjadinya hipertensi
Peningkatan resistensi pembuluh darah perifer (SVR) merupakan penyebab
hipertensi pada mayoritas penderita hipertensi. terjadi peningkatan baseline dari curah
jantung (CO). Pola perkembangan terjadinya hipertensi, awalnya CO meningkat,
tetapi SVR dalam batas-batas normal. Ketika hipertensi semakin progresif, CO
kembali normal tetapi SVR meningkat menjadi tidak normal.
Afterload jantung yang meningkat secara kronis menghasilkan LVH (Left Ventricle
Hypertrophy ) dan merubah fungsi diastolik. Hipertensi juga mengubah autoregulasi
serebral sehingga Cerebral Blood Flow (CBF) normal untuk penderita hipertensi
dipertahankan pada tekanan yang tinggi.
Manajemen Perioperatif Penderita Hipertensi
I. Penilaian Preoperatif dan Persiapan Preoperatif Penderita Hipertensi 4 hal dasar
yang harus dicari apa bila akan dilakukan pembedahan,yaitu:
1. Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya.
2. Penilaian ada tidaknya kerusakan/ komplikasi target organ yang telah terjadi.
3. Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita.
4. Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi,untuk
prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.
20
II. Pertimbangan Anestesia Penderita Hipertensi
The American Heart Association / American College of Cardiology
(AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS 180 mmHg dan/atau TDD 110 mmHg
sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi.
III. Perlengkapan Monitor
EKG: minimal lead V5 dan II atau analisis multipel lead ST, karena pasien
hipertensi punya risiko tinggi untuk mengalami iskemia miokard.
TD: monitoring secara continuous TD adalah esensial kateter Swan-Ganz:
hanya digunakan untuk penderita hipertensi dengan riwayat CHF atau MCI
berulang.
Pulse oxymeter: digunakan untuk menilai perfusi dan oksigenasi jaringan
perifer.
Analizer end-tidal CO2: Monitor ini berguna untuk membantu kita
mempertahankan kadar CO2.
Suhu atau temperature.
IV. Premedikasi
Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa
menggunakan ansiolitik seperti golongan benzodiazepin atau midazolam.
V. Induksi Anestesi
Beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-
intubasi untuk menghindari terjadinya hipertensi :
• Dalamkan anestesia menggunakan gas volatile yang poten selama 5-10 menit
•Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25mikrogram/kgbb,
sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-1mikrogram/ kgbb).
• Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.
21
• Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgBB,
propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).
• Menggunakan anestesia topikal pada airway.
Pertimbangan anestesia pada penderita hipertensi, sampai saat ini belum ada
protokol untuk penentuan tekanan darah berapa sebaiknya yang paling tinggi yang
sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan anestesi dan operasi.
Namun banyak literatur yang menulis bahwa tekanan darah diastol 110 atau 115
adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia atau operasi
kecuali operasi emergensi. Tekanan diastolik yang menjadi tolak ukur karena
peningkatan tekanan darah sistolik akan meningkat seiring dengan pertambahan
umur, dimana perubahan ini, lebih dianggap sebagai perubahan fisiologik
dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli menganggap bahwa hipertensi sistolik
lebih besar resikonya untuk terjadi morbiditas kardiovaskuler dibandingkan hipertensi
diastolik. Pendapat ini muncul karena dari hasil studi menunjukkan bahwa terapi
yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat menurunkan resiko terjadinya stroke
pada populasi yang berumur tua. Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada
penderita hipertensi akan menurunkan angka kejadian stroke sampai 35-40 %, infark
jantung sampai 20-25% dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50
%. Menunda operasi hanya untuk tujuan mengontrol tekanan darah mungkin tidak
diperlukan lagi khususnya pada pasien dengan kasus hipertensi yang ringan sampai
sedang. Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan
hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang lebih
besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya itu
sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya
kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum
operasi. The American Heart Association/ American College of Cardiology
(AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa tekanan darah sistolik 180 mmHg dan/atau
22
tekanan darah diastolik 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi,
terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi,
tekanan darah dapat dikontrol dalam beberapa menit sampai beberapa jam dengan
pemberian obat antihipertensi yang bersifat rapid acting. Penderita hipertensi
cenderung mempunyai respon tekanan darah yang berlebihan pada periode
perioperatif. Ada 2 fase yang menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan
postoperasi. Pasien hipertensi yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik
akan mempunyai hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol
dengan baik. Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita
hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa
menggunakan ansiolitik seperti golongan benzodiazepin atau midazolam. Obat
antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai jadwal minum
obat dengan sedikit air non partikel. Beberapa klinisi menghentikan penggunaan ACE
inhibitor dengan alasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif.
Disfungsi diastolic mengakibatkan peningkatan yang relative besar pada
Tekanan end-diastolic ventrikel dengan sedikit perubahan volume ventrikel kiri;
kontribusi atrium terhadap pengisian ventrikel menjadi hal yang penting
dibandingkan pada pasien yang masih muda. Pembesaran atrium merupakan
predisposisi terjadinya Artrial Fibrilasi dan atrial flutter. Pasien ini mempunyai resiko
yang meningkat akan terjadinya Congestive Heart Failure.
2. Hipertensi dalam kehamilan
Yang dimaksud dengan preeklamsi adalah timbulnya hipertensidisertai
proteinuri akibat kehamilan, setelah umur kehamilan 20 mingguatau segera setelah
persalinan. Sedangkan yang dimaksud dengan eklampsi adalah kelainan akut pada
preeklamsi dalam kehamilan, persalinan, atau nifas yang ditandaidengan timbulnya
kejang dengan atau tanpa penurunan kesadaran(gangguan sistem saraf pusat). Ada
23
pula istilah eklamsia sine eclampsia adalah eklamsi yang ditandai oleh penurunan
kesadaran tanpa kejang.10
Hipertensi kronik adalah hipertensi pada ibu hamil yang sudah ditemukan
sebelum kehamilan atau yang ditemukan pada umur kehamilan< 20 minggu, dan yang
menetap setelah 12 minggu pasca salin. Hipertensi kronis yang diperberat oleh preeklamsi atau
eklamsi adalah preeklamsi atau eklamsi yang timbul pada hipertensi kronis dan
disebut juga Superimposed Preeclampsia.10
Sedangkan hipertensi gestasional adalah timbulnya hipertensidalam kehamilan pada
wanita yang tekanan darah sebelumnya normal dantidak disertai proteinuri. Gejala ini akan
menghilang dalam waktu < 12minggu pascasalin.10
Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan
Hipertensi Gestasional
Hipertensi gestasional didiagnosis pada wanita dengan tekanan darah mencapai
140/90 mmHg atau lebih besar, untuk pertama kalinya selama kehamilan tetapi tidak
terdapat proteinuria.
Kriteria Diagnosis pada hipertensi gestasional yaitu :12
- TD 140/90 mmHg yang timbul pertama kali selama kehamilan.
- Tidak ada proteinuria.
- TD kembali normal < 12 minggu postpartum.
- Diagnosis akhir baru bisa ditegakkan postpartum.
- Mungkin ada gejala preeklampsia lain yang timbul, contohnya nyeri
epigastrium atau trombositopenia.
24
Preeklamsi
Kriteria diagnosis pada preeklamsi terdiri dari :
Kriteria minimal, yaitu :
- TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.
- Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick.
Kemungkinan terjadinya preeklamsi :
- TD 160/110 mmHg.
- Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick.
- Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya diketahui sudah
meningkat.
- Trombosit <100.000/mm3.
- Hemolisis mikroangiopati (peningkatan LDH).
- peningkatan ALT atau AST.
- Nyeri kepala persisten atau gangguan penglihatan atau cerebral lain.
- Nyeri epigastrium persisten.12
Beratnya preeklamsi dinilai dari frekuensi dan intensitas abnormalitas yang
dapat dilihat pada Tabel. Semakin banyak ditemukan penyimpangan tersebut,
semakin besar kemungkinan harus dilakukan terminasi kehamilan. Perbedaan antara
preeklamsi ringan dan berat dapat sulit dibedakan karena preeklamsi yang tampak
ringan dapat berkembang dengan cepat menjadi berat. 12
Abnormalitas < 100 mmHg ≥ 110 mmHg
Tekanan darah diastolik Trace - 1+ Persisten ≥ 2+
Proteinuria Tidak ada Ada
25
Sakit kepala Tidak ada Ada
Nyeri perut bagian atas Tidak ada Ada
Oliguria Tidak ada Ada
Kejang (eklamsi) Tidak ada Ada
Serum Kreatinin Normal Meningkat
Trombositopeni Tidak ada Ada
Peningkatan enzim hati Minimal Nyata
Hambatan pertumbuhan janin Tidak ada Nyata
Oedem paru Tidak ada Ada
Gejala Beratnya Hipertensi Selama Kehamilan
Eklamsi
Eklampsia ialah kejadian akut pada wanita hamil dalam persalinan atau nifas
yang ditandai dengan adanya gejala dan tanda pre-eklampsia disertai dengan kejang
atau koma.
Konvulsi terjadi secara general dan dapat terlihat sebelum, selama, atau setelah
melahirkan. Pada studi terdahulu, sekitar 10% wanita eklamsi, serangan tidak muncul
hingga 48 jam setelah postpartum. Setelah perawatan prenatal bertambah baik,
banyak kasus antepartum dan intrapartum sekarang dapat dicegah, dan studi yang
lebih baru melaporkan bahwa seperempat serangan eklampsia terjadi di luar 48 jam
postpartum.12
Superimposed Preeclampsia
26
Kriteria diagnosis Superimposed Preeclampsia adalah :
- Proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi yang belum ada
sebelum kehamilan 20 minggu.
- Peningkatan tiba-tiba proteinuria atau tekanan darah atau jumlah trombosit
<100.000/mm3 pada wanita dengan hipertensi atau proteinuria sebelum
kehamilan 20 minggu. 13
Hipertensi Kronis
Diagnosis hipertensi kronis yang mendasari dilakukan apabila :
- Hipertensi (≥ 140/90 mmHg) terbukti mendahului kehamilan.
- Hipertensi (≥ 140/90 mmHg) diketahui sebelum 20 minggu, kecuali bila ada
penyakit trofoblastik.
- Hipertensi berlangsung lama setelah kelahiran.12
Hipertensi kronis dalam kehamilan sulit didiagnosis apalagi wanita hamil tidak
mengetahui tekanan darahnya sebelum kehamilan. Pada beberapa kasus, hipertensi
kronis didiagnosis sebelum kehamilan usia 20 minggu, tetapi pada beberapa wanita
hamil, tekanan darah yang meningkat sebelum usia kehamilan 20 minggu mungkin
merupakan tanda awal terjadinya preeklamsi.13
Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80
Pre – hipertensi 120 – 139 80 – 89
Hipertensi stadium I 140 – 159 90 – 99
27
Hipertensi stadium II ≥ 160 ≥ 100
Klasifikasi Hipertensi Kronis
Komplikasi Hipertensi
Salah satu komplikasi dari hipertensi adalah Gagal jantung atau ketidak
mampuan jantung dalam memompa darah yang kembalinya kejantung dengan cepat
mengakibatkan cairan terkumpul di paru,kaki dan jaringan lain sering disebut
edma.Cairan didalam paru – paru menyebabkan sesak Universitas Sumatera Utara
napas,timbunan cairan ditungkai menyebabkan kaki bengkak atau sering dikatakan
edema.12
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa
tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan, ciri-ciri yang
penting dari definisi ini adalah pertama, definisi gagal jantung adalah relatif terhadap
kebutuhan metabolik tubuh. Kedua penekanan arti gagal ditunjukkan pada fungsi
pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditunjukkan spesifik
pada fungsi miokardium; gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal jantung,
tetapi mekanisme kompensatorik sirkulasi dapat menunda atau bahkan mencegah
perkembangan penyakit menjadi gagal jantung.12
Klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA), merupakan
pedoman untuk klasifikasi penyakit gagal jantung kongesif berdasarkan aktivitas,
antara lain:
- NYHA class I
Penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan fisik serta tidak
menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung seperti cepat lelah, sesak napas atau
berdebar-debar, apabila melakukan kegiatan biasa.
- NYHA class II
28
Penderita dengan sedikit pembatasan kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa
saat istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang bisa dapat menimbulkan gejala-gejala
insufisiensi jantung seperti kelelahan, jantung berebar, sesak napas atau nyeri dada.
- NYHA class III
Penderita penyakit pembatasan yang lebih banyak dalam kegiatan fisik. Penderita
tidak mengeluh apa-apa saat istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang kurang dari
kegiatan biasa sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti yang
disebut diatas.
- NYHA class IV
Penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa menimbulkan
keluhan, yang bertambah apabila melakukan kegiatan fisik maupun istirahat.
DAFTAR PUSTAKA
29
1. Departemen Kesehatan RI Dirjen POM. Linformatorium Obat Nasional
Indonesia 2000. Sagung Seto, Jakarta. 2001.
2. Arif Mansoer, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi ketiga. Media
Aesculapius FKUI, Jakarta. 2000.
3. The seventh report of Joint National Committee on Prevention, detection,
evaluation, and treatment of high blood pressure, NIH publication No. 03-
5233, December 2003.
4. Stier GR. Preoperative evaluation and testing. In : Hines RL, editor. Adult
perioperative anesthesiathe requisites in anesthesiology. Philadelphia:
Elsevier; 2004. P. 3-82
5. Dix P, Howell S. Survey of cancellation rate of hypertensive patient
undergoing anesthesia and elective surgery. British Journal of Anesthesia
2001; 86 (6): 789 – 93
6. Kaplan NM. Perioperative management of hypertension. In: Aronson MD,
Bakris GL. Editors. Available at : www.uptodate.com
7. Laslett L. Hypertension – preoperative assesment and perioperative
management. West J Med 1995; 162: 215-9
8. Hanada, et al. Anesthesia and medical disease-hypertension and anesthesia.
Current Opinion in Anesthesiology 2006; 19 (3): 315-9
9. Howell SJ, Foex P. Hypertension, hypertensive heart disease and
perioperative cardiac risk. British Journal of Anesthesia 2004; 92 (4): 570-83
10. Krisnadi S, Mose J, Effendi J, Hipertensi Dalam Kehamilan, dalam Pedoman
Diagnosis dan terapi Obstetri dan Ginekologi RS dr.Hasan Sadikin, bagian
pertama, edisi ke-2, Bandung : Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran RS dr.Hasan Sadikin, 2005 : 60-70
30
11. Reynolds C, Mabie W, Sibai B, Hypertensive States of Pregnancy, dalam
Current Obstetrics and Gynecologic Diagnosis and Treatment, edisi ke-9,
New York : McGraw-Hill, 2003: 338-353
12. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K,
Hypertensive Disorders in Pregnancy, dalam William Obstetrics, edisi ke-22,
New York: McGraw-Hill, 2005 : 761-808
13. Kelompok Kerja Penyusunan Hipertensi dalam Kehamilan-Himpunan
Kedokteran Fetomaternal POGI, Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam
Kehamilan di Indonesia, edisi ke-2, Angsar M, penyunting, 2005: 1-27
Recommended