Transcript
Page 1: Laporan Kasus Brocnhopneumonia Bacterial

Laporan Kasus

Riwayat Penyakit Sekarang

Seorang anak laki-laki dengan sindrom down usia 1 tahun 3 bulan, berat

badan 7,8 kg. Dirujuk dari RS. Swasta daerah Bogor dengan diagnosa kejang

demam kompleks dan Bronchopneumonia dengan alasan domisili keluarga

(permintaan keluarga). Pasien sudah mendapatkan O2 nasal 1 liter permenit,

stesolid 5 mg supp, propiretik 160 mg supp. Inhalasi ventolin 1 respul + NaCl

0.9% 2 cc 3 jam sebelum ke RSIA Bunda Jakarta

Di rumah,sebelum ke RS Swasta bogor, pasien kejang disertai demam, lebih

dari 10 menit, diawali dengan pasien seperti menggigit saat digendong dan saat

diletakan, mata mendelik keatas. tidak sadar penuh setelah kejang. Kejang ini

merupakan kejang pertama kali. Riwayat kejang demam di keluarga disangkal.

Pasien sudah batuk pilek sejak satu minggu sebelum masuk rumah sakit,

sudah berobat ke SpA dan mendapat obat. Obat yang diberikan lupa

Demam sejak empat hari sebelum ke RSIA respon dengan obat demam

yang diberikan

Sesak sejak 2 hari sebelum ke RSIA disertai suara menciut. Ibu memiliki

riwayat alergi dingin dan nenek dari pihak ibu memiliki riwayat Asma

Makan dan minum berkurang sejak empat hari sebelum masuk RSIA

BAB encer sejak hari ini 3 kali dengan masih ada ampas dan bewarna

kuning.

BAK berkurang sejak hari ini

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien sudah dikenal dengan sindrom down, dan sedang dalam terapi

motorik

Riwayat Asupan Makan

Makan yang biasa diberikan tiga kali makan besar, satu kali makan buah dan

susu tiga kali, makanan yang biasa diberikan bubur, daging dan sayur

Riwayat Imunisasi

Pasien sudah mendapatkan vaksin BCG, Hep B usia (0,2 dan 12 bulan).

Page 2: Laporan Kasus Brocnhopneumonia Bacterial

Polio (usia 3 hari). DPT/HiB/IPV(usia 5,6, 12 bulan)

Riwayat tumbuh kembang

Pasien sudah bisa memanggil pa-pa, sudah bisa duduk sendiri,

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Berat

Kesadaran : Somnolen (pengaruh stesolid?)

Nadi : 150 x/i lemah

Nafas : 60 x/i, nafas cuping hidung (+)

Suhu : 36.0 C

Sa O2 : 88-90%

BB : 7,8 Kg

TB : 74 cm

Kepala : normocephal, dengan mongoloid face

THT : Nafas cuping hidung (+)

Mulut/Gigi : mukosa bibir kering.

Leher : kaku kuduk (-)

Thorax :

Pulmo : inspeksi : retraksi intercostal minimal (+) simetris kiri-kanan

Palpasi : fremitus meningkat pada kedua paru

Auskultasi : ronkhi pada kedua paru +/+

Cor : S1/S2 tunggal, bising jantung sukar dinilai

Abdomen : Inspeksi : tidak tampak distensi

Auskultasi : Bising usus +

Perkusi : timpani

Palpasi : hepar dua jari pemeriksa dibawah arcus costarum

pinggir tajam

Ekstremitas: akral kaki dingin dengan CRT > 3 detik, akral tangan hangat, CRT ±

3 dtk. Burdzinki sign (-), Babinski group (-)

Page 3: Laporan Kasus Brocnhopneumonia Bacterial

Diagnosa

- Kejang demam komplek

- Bronchopneumonia dupleks

- syok

- gizi kurang

- development delayed

Diagnosa Banding

- Encephalitis

Terapi yang diberikan di IGD

- O2 2 ltr permenit binasal kanul

- NGT terbuka

- IVFD RL 100 cc/ 30 menit

Konsul Dr. SpA

- Betrix 1 x 750 mg IV

- Farmadol 80 mg/4 jam

- Stesolid 5 mg supp bila kejang

- Combivent 1 ampul + NaCl 2 cc : 3x1

- Periksa DPL, AGD

- Ro thorax AP-lateral

- Rawat PICU

Page 4: Laporan Kasus Brocnhopneumonia Bacterial

Hasil pemeriksaan Laboratorium tanggal 22 April 2014

AGD

PH 7,328

PCO2 27,4

HCO3- 14.2

PO2 78.5

BEb -10.0

BEecf -11.7

Hb 10.5 (L)

Ht 30.7 (L)

MCHC 34.2(H)

Leukosit 13.690

Netrofil 55(N)

Limfosit 30.5(N)

Monosit 15.3(H)

Trombosit 237.000 (N)

Na/K/Cl/Ca 130(L)/3.1(N)/92(L)/

8.1(L)

GDS 100 mg/dl

Hs-CRP 50.8

Page 5: Laporan Kasus Brocnhopneumonia Bacterial

Interpretasi ro thorax :

- tampak peningkatan gambaran infiltrat pada kedua lapangan paru

terutama paru kiri

Page 6: Laporan Kasus Brocnhopneumonia Bacterial

Perjalanan Penyakit

Selama perawatan pasien tidak pernah mengalami kejang dan sudah

dikonsulkan ke bagian saraf anak dengan kesan kejang demam lama,

pneumonia, susp sindrom down gizi kurang dan delayed development, dengan

anjuran sanmol 3x0.8 mg, diazepam 3 x 0,5 mg (bila suhu > 38 C), diazepam 5

mg supp bila suhu >39 C, kontrol di RSCM kencana, terapi lain lanjut.

Saturasi oksigen stabil diatas 92%, nadi dan nafas menunjukan perbaikan

dengan nadi < 120 kali permenit dan nafas 50 kali permenit pada hari ke 3

rawatan. Retraksi dinding dada sudah tidak terlihat pada hari 5 rawatan, namun

ronkhi masih terdengar dengan intensitas yang berkurang hingga pada hari 5

rawatan

Selama perawatan pasien mendapat terapi Injeksi Betrix 1 x 750 mg selama

7 hari, Kalmethason 3 x 1,5 mg IV selama 3 hari, Inhalasi combivent 1 ampul +

NaCL 0,9 % 3 x 1. Tambahan terapi berupa IVFD Kaen 1B + Nacl 3% 10 cc

sebanyak 600 cc/24 jam untuk koreksi hiponatremia ringan (130 mmol/L) dan

mendapat Aminophilin 4 x 16 mg dalam D5% selama 30 menit, dan MC 8 x 75

cc.

Pada hari rawatan ke II inhalasi combivent diganti dengan flixotide 2 ampul +

NaCl 0.9% 1 cc sebanyak 4 kali sehari. Pada hari III pasien pindah rawat dari

ruang PICU ke ruang rawatan balita dengan O2 1-2 ltr/i dan diberikan tambahan

terapi orezinc 1 x 5 cth dan nutrilon soya 8 x 75 cc /NGT. O2 di hentikan pada

hari 5 rawatan

Pasien dipulangkan pada hari ke 7 rawatan dengan tidak didapatkan sesak

ataupun demam, dan dianjurkan kontrol kembali bila ada keluhan

Fisioterapi dilakukan sejak 22 April 2014

Page 7: Laporan Kasus Brocnhopneumonia Bacterial

Diskusi Kasus

Pneumonia merupakan inflamasi paru yang lebih sering disebabkan oleh

mikroorganisme, walaupun penyebab noninfeksius seperti aspirasi makanan,

asam lambung dan bahan kimia lain (1). Pada pasien yang telah dilaporkan,

didapatkan pada pasien terdapat batuk pilek disertai demam dan sesak, disertai

retraksi pada dinding dada dan kejang mengarah kepada pneumonia berat

sesuai kriteria WHO (2). Usia pasien 1 tahun tiga bulan merupakan usia tersering

terkena pneumonia, yaitu dibawah usia 5 tahun (2). Di RSIA sendiri terdapat 34

anak di rawat di ruang rawat balita selama periode April 2013 hingga

pertengahan April 2014 dengan 32 diantaranya dibawah lima tahun.

Pada pasien didapatkan tanda syok berupa tachycardi dengan nadi lemah

disertai akral dingin pada kaki disertai capillary refilling time > 3 detik, dan Buang

air Kecil yang sudah berkurang, mengarah kepada syok akibat input cairan yang

kurang disertai output yang bertambah melalui respirasi, dan demam. Sehingga

diberikan loading dose RL 100 cc selama setengah jam. Loading cairan tidak

diteruskan karena masih memikirkan kemungkinan syok disebabkan oleh

hipoksia, karena saat datang, saturasi pasien dibawah 92% dan dari Bogor

pasien tidak diberikan supplemen oksigen, sehingga di IGD juga diberikan terapi

O2 2 liter/menit, disertai OGT terbuka sebagai preventif distensi lambung akibat

terapi oksigen yang diberikan

Pada pemeriksaan Laboratorium didapatkan Ph asam, PCO2 alkali, BE

asam, dan Peningkatan Anion gap (24,2 dengan perhitungan Na-(Cl+HCO3-).

Mengarah kepada asidosis metabolik terkompensasi sebagian karena adanya

anion gap. Pada kasus ini, anion gap kemungkinan disebabkan peningkatan

laktat yang disebabkan hipoksia, sehingga diberikan terapi O2. Hiponatremia

(nilai normal 132-145) dikoreksi dengan pemberian Nacl 3% 10 cc dalam kaen

1B 600 cc/24 jam

Pada pemeriksaan darah didapatkan peningkatan Hs-CRP. Peningkatan

kadar CRP dalam darah mengindikasikan adanya infeksi, cedera jaringan,

inflamasi dan/atau keganasan. Pada pneumonia, terjadi kerusakan parenkim

Page 8: Laporan Kasus Brocnhopneumonia Bacterial

paru yang dapat terjadi baik oleh infeksi virus maupun bakteri, kerusakan

jaringan ini dapat mencetuskan pelepasan berbagai sitokin inflamasi ke sirkulasi

perifer. Setelah terjadi stimulus pada fase akut, nilai CRP dapat meningkat

hingga 10.000 kali lipat. Sintetis CRP dimulai segera setelah terjadi stimulus

tunggal dengan meningkat hingga 5 mg/l dalam jangka waktu sekitar 6 jam dan

mencapai konsentrasi puncak dalam 48 jam (3)

Peningkatan CRP mengarah kepada infeksi bakteri dibandingkan dengan

infeksi virus. Pada infeksi bakteri, terjadi peningkatan yang sedang hingga tinggi

sedangkan pada infeksi virus, hanya ada sedikit peningkatan atau bahkan tidak

sama sekali.(4), namun procalcitonin lebih sensitif dan spesifik dibandingkan crp

dalam menilai suatu infeksi disebabkan oleh bakteri atau bukan (5)

Terapi antibiotik yang diberikan adalah ceftriakson 1x750 mg, yang

merupakan lini kedua dalam terapi pneumonia. Sedangkan lini pertama adalah

ampicillin dan gentamisin (2). Dalam perawatan, pasien juga diberikan zinc (1),

karena zinc dapat memperbaiki lama demam, sesak dan laju nafas, namun

pemberian zinc tidak bermanfaat untuk perbaikan batuk dan lama rawat inap (6).

Pemberian vitamin A dosis 400.000 IU untuk anak atau 200.000 IU untuk

balita dapat dipertimbangkan untuk diberikan pada pasien dengan pneumonia.

Pemberian vitamin A dapat memperbaiki fine rales satu hari rata-rata lebih cepat

dibandingkan kontrol yang tidak diberikan vitamin A. Vitamin A bekerja sebagai

antiinflamasi dengan mengurangi produksi superoksida netrofil yang menjadi

penyebab inflamasi saluran pernafasan, dan berperan penting dalam diferensiasi

dan pertumbuhan epitel (6)

Aminophilin merupakan golongan xantin dengan efek merangsan SSP,

merangsang diuretik, relaksasi otot polos seperti otot bronchus, serta

meningkatkan sensitifitas medula oblongata terhadap rangsangan CO2.

Golongan xanthin seperti teofilin juga mengurangi kelelahan otot pernafasan

pada keadaan peningkatan kerja otot pernafasan seperti pada saat sesak pada

kasus pneumonia. Kerja utama dari aminophilin adalah bronkhodilatasi, sehingga

sehingga bermanfaat dalam evakuasi sekret karena pada pneumonia dapat

terjadi penyempitan saluran nafas akibat terbentuknya sekret dan tidak efektifnya

Page 9: Laporan Kasus Brocnhopneumonia Bacterial

klirens mukosilier(1,4).

DAFTAR PUSTAKA

1. Kliegman. Pneumonia. In : Kliegman, Bernan, Jenson, Stanton, editors,

Nelson Textbook of pediatric. 18th Ed. Philadelphia; 2007

2. Pudjiadi, Antonius et al. Pneumonia dalam pedoman pelayanan medis

Ikatan Dokter Anak Indonesia jilid 1.2009; halaman 250-255

3. Dewi W, Purniti S, Naning R. Serum C-reactive protein levels in severe

and very severe pneumonia in Children. 2012. (disitasi 25 Mei 2014).

http:/paediatricaindonesiana.org/pdffile/52-3-7.pdf

4. Sasaki K, Fujita I, Hamasaki Y, Miyazaki S. Differtiating between bacterial

and viral infection by measuring both C-Reactive Protein and 2’-5’-

oligoadenylate synthetase as inflamatory markers.2002.(disitasi 25 Mei

2014). http:/www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11957124

5. Simon L, Gauvin F, Amre Dk, Saint-Louis P, Lacroix J. Serum

Procalcitonin and C-Reactive Protein levels as markers of bacterial

infection : a systemic review and meta-analysis.2005.(disitasi 25 Mei

2014). http:/www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15307030

6. Wahani. I.M. Efektivitas Suplemen Zink Pada Pneumonia Anak. Sari

Pediatri.2012.(disitasi 25 April 2014).http:/saripediatri.idai.or.id/pdfile/13-

5-10

7. Prisca T, J.S Lisal, Aziz Tanra. Dasril Daud. Clinical Benefits of Vitamin A

supplementation in Infants Children With Severe Pneumonia.2007.

(disitasi 25 Mei 2014). http:/paediatricaindonesiana.org/pdffile/47-3-6.pdf

8. Loisa Melva, Dewoto Hedi R. Perangsan Susunan Saraf Pusat dalam

Farmakologi dan Terapi. Ed.5 Jakarta; 2007; hal 252-258

Page 10: Laporan Kasus Brocnhopneumonia Bacterial