BAB I
STATUS PASIEN
I.1 Identitas Pasien
Nama : An. R
Umur : 3 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Mustuko kali tengah no 292
Agama : Islam
Tanggal Periksa : 23 Maret 2015
I.2 Anamnesis
Keluhan Utama: Pasien mengeluh lepuh-lepuh dan terasa gatal di kaki dan
tangan sejak 10 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik kulit RSUD Dr. ADHYATMA, MPH dengan
keluhan lepuh-lepuh gatal di kaki dan tangan kurang lebih sejak 10 hari yang
lalu. Keluhan gatal ini dirasakan terus menerus. Awalnya muncul kemerahan dan
bintik-bintik kecil karena gatal dan digaruk kemudian menjadi bertambah lebar
disekitarnya.
Sejak sepuluh hari SMRS, Ibu pasien mengatakan bahwa awalnya muncul
bintik kemerahan seperti di gigit nyamuk pada kaki kanan lalu pasien sering
menggaruk-garuk kulitnya karena gatal terutama pada kaki sebelah kanan lalu
muncul bintik sebesar jarum pentul yang berisi cairan, kemudian menyebar ke
kaki kiri dan tangan. Bula-bula kemerahan berisi cairan tersebut sebagian ada
yang pecah dan membentuk keropeng. Ibu pasien tidak mengeluhkan adanya
demam pada pasien. Semenjak bula-bula ini muncul, pasien menjadi lebih rewel
dari biasanya dan mengeluhkan gatal. Menurut keterangan ibu pasien, anaknya
sering bermain di pasir.
Lima hari SMRS, ibu pasien mengatakan lepuh-lepuh dan bula kemerahan
ini semakin bertambah banyak di sekitar tangan, kemudian Ibu pasien membawa
pasien berobat ke Puskesmas dan diberikan obat minum dan salep (Ibu pasien
tidak tahu nama obat). Namun setelah diberikan obat, keluhan pasien tidak
berkurang.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit serupa : Disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : Disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat sakit serupa : Disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : Disangkal
Riwayat Kebiasaan
Pasien biasa mandi 2x sehari, menggunakan sabun mandi dan mengganti
pakaian luar dan dalam 2x sehari. Pasien menggunakan handuk pribadi. Menurut
keterangan ibu pasien, anaknya sering bermain di pasir bersama teman temannya.
I.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum : baik
Kesadaran : Komposmentis
Tanda-tanda Vital
Suhu: 36,5 0 C
Nadi: 88 x/menit
RR: 26 x/menit
TD: Tidak di lakukan
BB : 15 Kg
TB : 100 Cm
Kepala: normocephal
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : pernafasan cupping hidung (-)
Mulut : bibir sianosis (-)
Leher: tidak ada pembesaran KGB
Thoraks
Inspeksi: normothoraks, gerakan simetris, retraksi (-)
Palpasi: (-)
Perkusi: sonor
Auskultasi: Pulmo: VBS kanan = kiri, rhonki -/-, Wheezing -/-
Cor: BJ I-II Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen
Inspeksi: kontur datar
Auskultasi: bising usus (+)
Perkusi: timpani diseluruh lapang abdomen
Palpasi: (-)
Ekstermitas : akral hangat, edema (-)
Status Dermatologis
Lokasi : Tangan, kaki kanan dan kiri.
UKK : Pustul, vesikel-bula, makula hiperpigmentasi, eritema, tampak
krusta dan ekskoriasi, plakat, erosi.
I.4 Resume
Seorang penderita anak laki – laki berusia 3 tahun, beragama Islam, tinggal
bersama ayah dan ibunya. Pasien datang berobat ke Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUD Dr. ADHYATMA, MPH tanggal 23 Maret 2010 pukul 10.30 WIB dengan
keluhan utama Pasien mengeluh lepuh-lepuh dan terasa sangat gatal di kaki dan
tangan sejak 10 hari SMRS (alloanamnesis dengan Ibu pasien). Pada anamnesis
didapatkan sejak 10 hari SMRS, pada kaki kanan pasien timbul Pustul, vesikel-bula,
makula hiperpigmentasi, eritema, tampak krusta dan ekskoriasi, plakat, erosi,
higiene pasien kurang.
Pada pemeriksaan fisik status generalis didapatkan dalam batas normal. Pada
pemeriksaan dermatologis didapatkan pada tangan, kaki kanan dan kiri berupa:
Pustul, vesikel-bula, makula hiperpigmentasi, eritema, tampak krusta dan
ekskoriasi, plakat, erosi. Tidak tampak tepi yang aktif, sebagian kering dan sebagian
basah.
I.5 Diagnosis Banding
1. Dermatitis seboroik dengan infeksi sekunder
2. Pemfigus Vulgaris
3. Dermatofitosis
4. Varisela
I.6 Usulan Pemeriksaan
Pemeriksaan mikrobiologis : Kultur dan tes sensitivitas
I.7 Diagnosis Kerja
Impetigo vesikobulosa dan impetigo krustosa
1.8 Penatalaksanaan
1. Umum
a. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit dan cara
pengobatannya.
b. Menerangkan pada Ibu pasien untuk mencegah pasien menggaruk
karena dapat menyebabkan luka.
c. Anjuran kepada Ibu pasien agar menjaga kebersihan pasien, untuk
mencuci tangan dan kaki.
d. Menerangkan kepada Ibu pasien bahwa obat minum yang diberikan 4x
1 sendok teh sehari harus dihabiskan.
e. Menerangkan kepada Ibu pasien untuk datang kembali (kontrol) stelah
5-7 hari.
2. Sistemik
Amoksisilin+ Asam klavulanat Dosis 2x 250-500 mg/hari (25
mg/kgBB) selama 10 hari.
1.9 Prognosis
Quo ad Vitam : Ad Bonam
Quo ad Functionam : Ad Bonam
Quo ad Sanationam : Ad Bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 DEFINISI
Impetigo secara klinis didefinisikan sebagai penyakit infeksi menular pada kulit
yang superfisial yaitu hanya menyerang epidermis kulit, yang menyebabkan
terbentuknya lepuhan-lepuhan kecil berisi nanah (pustula) seperti tersundut rokok/api.
Penyakit ini merupakan salah satu contoh pioderma yang sering dijumpai di bagian
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Terdapat dua jenis impetigo yaitu impetigo bulosa
yang disebabakan oleh Stafilokokus aureus dan non-bulosa yang disebabkan oleh
Streptokokus β hemolitikus. Dasar infeksinya adalah kurangnya hygiene dan
terganggunya fungsi kulit. (Wahid, 2008)
Impetigo menyebar melalui kontak langsung dengan lesi (daerah kulit yang
terinfeksi). Pasien dapat lebih jauh menginfeksi dirinya sendiri atau orang lain
setelah menggaruk lesi. Infeksi seringkali menyebar dengan cepat pada sekolah atau
tempat penitipan anak dan juga pada tempat dengan higiene yang buruk atau tempat
tinggal yang padat penduduk. Faktor predisposisi antara lain kontak langsung
dengan pasien impetigo, kontak tidak langsung melalui handuk, selimut, atau
pakaian pasien impetigo, cuaca panas maupun kondisi lingkungan yang lembab,
kegiatan/olahraga dengan kontak langsung antar kulit, pasien dengan dermatitis.
Istilah impetigo berasal dari bahasa Latin yang berarti serangan, dan telah
digunakan untuk menjelaskan gambaran seperti letusan berkeropeng yang biasa
nampak pada daerah permukaan kulit. Impetigo mengenai kulit bagian atas
( epidermis superfisial).dengan dua macam gambaran klinis, impetigo krustosa
( tnpa gelembung, cairan dengan krusta, keropeng, koreng) dan impetigo bulosa
( dengan gelembung berisi cairan). Impetigo krustosa disebut juga impetigo
kontagiosa, impetigo vulgaris, dan impetigo Tillbury Fox, sedangkan impetigo
bulosa disebut juga impetigo vesiko-bulosa. (Wahid, 2008)
II.2 EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, kurang lebih 9 – 10 % dari anak-anak yang datang ke
klinik kulit menderita impetigo. Perbandingan antara jenis kelamin laki-laki dan
perempuan adalah sama. Impetigo lebih sering menyerang anak-anak, jenis yang
terbanyak (kira-kira 90%) adalah impetigo bullosa yang terjadi pada anak yang
berusia kurang dari 2 tahun.
Terjadinya penyakit impetigo krustosa di seluruh dunia tergolong relatif sering.
Penyakit ini banyak terjadi pada anak - anak kisaran usia 2-5 tahun dengan rasio
yang sama antara laki-laki dan perempuan. Di Inggris kejadian impetigo pada anak
sampai usia 4 tahun sebanyak 2,8% pertahun dan 1,6% pada anak usia 5-15 tahun.
(Wahid, 2008)
Impetigo krustosa banyak terjadi pada musim panas dan daerah lembab, seperti
Amerika Selatan yang merupakan daerah endemik dan predominan, dengan puncak
insiden di akhir musim panas. Anak-anak prasekolah dan sekolah paling sering
terinfeksi. Pada usia dewasa, laki-laki lebih banyak dibanding perempuan.
Disamping itu, ada beberapa faktor yang dapat mendukung terjadinya impetigo
krustosa seperti:
Hunian padat
Higiene buruk
Hewan peliharaan
II.3 ETIOLOGI
Organisme penyebab adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus beta-
hemolyticus grup A (dikenal dengan Streptococcus pyogenes), atau kombinasi
keduanya. Staphylococcus dominan ditemukan pada awal lesi. Jika kedua kuman
ditemukan bersamaan, maka infeksi streptococcus merupakan infeksi penyerta.
Kuman S. pyogenes menular ke individu yang sehat melalui kulit, lalu kemudian
menyebar ke mukosa saluran napas. Berbeda dengan S. aureus, yang berawal
dengan kolonisasi kuman pada mukosa nasal dan baru dapat ditemukan pada isolasi
kuman di kulit pada sekitar 11 hari kemudian. (Adhi Djuanda, 2006)
Mikroorganisme penyebab impetigo adalah Staphylococcus aureus dan
Streptococcus B hemoliticus. Untuk impetigo bulosa sebabnya lebih sering karena
Staphylococcus aureus. Pada negara maju, impetigo krustosa banyak disebabkan
oleh Staphylococcus aureus dan sedikit oleh Streptococcus group A beta-
hemolitikus (Streptococcus pyogenes). Banyak penelitian yang menemukan 50-60%
kasus impetigo krustosa penyebabnya adalah Staphylococcus aureus dan 20-45%
kasus merupakan kombinasi Staphylococcus aureus dengan Streptococcus
pyogenes. Namun di negara berkembang, yang menjadi penyebab utama impetigo
krustosa adalah Streptococcus pyogenes. Staphylococcus aureus banyak terdapat
pada faring, hidung, aksila dan perineal merupakan tempat berkembangnya penyakit
impetigo krustosa.
Impetigo menyebar melalui kontak langsung dengan lesi (daerah kulit yang
terinfeksi). Pasien dapat lebih jauh menginfeksi dirinya sendiri atau orang lain
setelah menggaruk lesi. Infeksi seringkali menyebar dengan cepat pada sekolah atau
tempat penitipan anak dan juga pada tempat dengan higiene yang buruk atau tempat
tinggal yang padat penduduk. Faktor predisposisi antara lain kontak langsung
dengan pasien impetigo, kontak tidak langsung melalui handuk, selimut, atau
pakaian pasien impetigo, cuaca panas maupun kondisi lingkungan yang lembab,
kegiatan atau olahraga dengan kontak langsung antar kulit, pasien dengan
dermatitis. (Wahid, 2008)
II.4 KLASIFIKASI
Impetigo diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu:
1. Impetigo krustosa
2. Impetigo bulosa
Gambar 1 . impetigo krustosa di ekstremitas superior pada anak-anak
Impetigo krustosa dimulai ketika trauma kecil terjadi pada kulit normal
sebagai portal of entry yang terpapar oleh kuman melalui kontak langsung dengan
pasien atau dengan seseorang yang menjadi carrier. Kuman tersebut berkembang
biak dikulit dan akan menyebabkan terbentuknya lesi dalam satu sampai dua
minggu.
Cara infeksi pada impetigo krustosa ada 2, yaitu infeksi primer dan infeksi
sekunder:
Infeksi Primer
Infeksi primer, biasanya terjadi pada anak-anak. Awalnya, kuman menyebar
dari hidung ke kulit normal (kira-kira 11 hari), kemudian berkembang menjadi
lesi pada kulit. Lesi biasanya timbul di atas kulit wajah (terutama sekitar lubang
hidung) atau ekstremitas setelah trauma.
Infeksi sekunder
Infeksi sekunder terjadi bila telah ada penyakit kulit lain sebelumnya
(impetiginisasi) seperti dermatitis atopik, dermatitis statis, psoariasis vulgaris,
SLE kronik, pioderma gangrenosum, herpes simpleks, varisela, herpes zoster,
pedikulosis, skabies, infeksi jamur dermatofita, gigitan serangga, luka lecet, luka
goresan, dan luka bakar, dapat terjadi pada semua umur
Impetigo krustosa biasanya terjadi akibat trauma superfisialis dan robekan
pada epidermis, akibatnya kulit yang mengalami trauma tersebut menghasilkan
suatu protein yang mengakibatkan bakteri dapat melekat dan membentuk suatu
infeksi impetigo krustosa. Keluhan biasanya gatal dan nyeri. Impetigo krustosa
sangat menular, berkembang dengan cepat melalui kontak langsung dari orang ke
orang. Impetigo banyak terjadi pada musim panas dan cuaca yang lembab. Pada
anak-anak sumber infeksinya yaitu binatang peliharaan, kuku tangan yang kotor,
anak-anak lainnya di sekolah, daerah rumah kumuh, sedangkan pada dewasa
sumbernya yaitu tukang cukur, salon kecantikan, kolam renang, dan dari anak-
anak yang telah terinfeksi. (Adhi Djuanda, 2006)
II.5 Patofisiologi
Pada impetigo krustosa (non bullous), infeksi ditemukan pada bagian minor
dari trauma (misalnya : gigitan serangga, abrasi, cacar ayam, pembakaran). Trauma
membuka protein-protein di kulit sehingga bakteri mudah melekat, menyerang dan
membentuk infeksi di kulit. Pada epidermis muncul neutrofilik vesikopustules. Pada
bagian atas kulit terdapat sebuah infiltrat yang hebat yakni netrofil dan limfosit.
Bakteri gram-positif juga ada dalam lesi ini. Eksotoksin Streptococcus pyrogenic
diyakini menyebabkan ruam pada daerah berbintik merah, dan diduga berperan pada
saat kritis dari Streptococcal toxic shock syndrome. Kira-kira 30% dari populasi
bakteri ini berkoloni di daerah nares anterior. Bakteri dapat menyebar dari hidung
ke kulit yang normal di dalam 7-14 hari, dengan lesi impetigo yang muncul 7-14
hari kemudian. (Adhi DJuanda, 2006)
Gambar 2. Staphyloccoccal scalded-skin syndrome
Impetigo adalah infeksi yang disebabkan oleh Streptococcus beta hemolyticus
grup A dan/atau Streptococcus aureus. Organisme tersebut masuk melalui kulit yang
terluka melalui transmisi kontak langsung. Setelah infeksi, lesi yang baru mungkin
terlihat pada pasien tanpa adanya kerusakan pada kulit. Seringnya lesi ini
menunjukkan beberapa kerusakan fisik yang tidak terlihat (mikrolesi) pada saat
dilakukan pemeriksaan. Impetigo memiliki lebih dari satu bentuk. Beberapa penulis
menerangkan perbedaan bentuk impetigo dari strain Staphylococcus yang
menyerang dan aktivitas eksotoksin yang dihasilkan. Streptococcus masuk melalui
kulit yang terluka dan melalui transmisi kontak langsung, setelah infeksi, lesi yang
baru mungkin terlihat pada pasien tanpa adanya kerusakan pada kulit. Bentuk lesi
mulai dari makula eritema yang berukuran 2 – 4 mm. Secara cepat berubah menjadi
vesikel atau pustula. Vesikel dapat pecah spontan dalam beberapa jam atau jika
digaruk maka akan meninggalkan krusta yang tebal, karena proses dibawahnya terus
berlangsung sehingga akan menimbulkan kesan seperti bertumpuk-tumpuk,
warnanya kekuning-kuningan. Karena secara klinik lebih sering dilihat krusta maka
disebut impetigo krustosa. Krusta sukar diangkat, tetapi bila berhasil akan tampak
kulit yang erosif. Impetigo bulosa adalah suatu bentuk impetigo dengan gejala
utama berupa lepuh-lepuh berisi cairan kekuningan dengan dinding tegang,
terkadang tampak hipopion. Mula-mula berupa vesikel, lama kelamaan akan
membesar menjadi bula yang sifatnya tidak mudah pecah, karena dindingnya relatif
tebal dari impetigo krustosa. Isinya berupa cairan yang lama kelamaan akan berubah
menjadi keruh karena invasi leukosit dan akan mengendap. Bila pengendapan
terjadi pada bula disebut hipopion yaitu ruangan yang berisi pus yang mengendap,
bila letaknya di punggung, maka akan tampak seperti menggantung. (Wahid, 2008)
II.6 MANIFESTASI KLINIS
Impetigo krustosa dapat terjadi di mana saja pada tubuh, tetapi biasanya pada
bagian tubuh yang sering terpapar dari luar misalnya wajah, leher, dan ekstremitas.
Impetigo Krustosa diawali dengan munculnya eritema berukuran kurang lebih 2 mm
yang dengan cepat membentuk vesikel, bula atau pustul berdinding tipis. Kemudian
vesikel, bula atau pustul tersebut ruptur menjadi erosi kemudian eksudat
seropurulen mengering dan menjadi krusta yang berwarna kuning keemasan (honey-
colored) dan dapat meluas lebih dari 2 cm. Lesi biasanya berkelompok dan sering
konfluen meluas secara irreguler. Pada kulit dengan banyak pigmen, lesi dapat
disertai hipopigmentasi atau hiperpigmentasi. Krusta pada akhirnya mengering dan
lepas dari dasar yang eritema tanpa pembentukan jaringan scar. (Adhi DJuanda,
2006)
Gambar 3. Gambaran khas furunkel atau bisul stafilokkokus
Lesi dapat membesar dan meluas mengenai lokasi baru dalam waktu beberapa
minggu apabila tidak diobati. Pada beberapa orang lesi dapat remisi spontan dalam
2-3 minggu atau lebih lama terutama bila terdapat penyakit akibat parasit atau pada
iklim panas dan lembab, namun lesi juga dapat meluas ke dermis membentuk ulkus
(ektima).
Kelenjar limfe regional dapat mengalami pembesaran pada 90% pasien tanpa
pengobatan (terutama pada infeksi Streptococcus) dan dapat disertai demam.
Membran mukosa jarang terlibat.
Gejala klinis impetigo dimulai dari munculnya kelainan kulit berupa eritema
dan vesikel yang cepat menyebar dan memecah dalam waktu 24 jam. Lesi yang
pecah akan mengeluarkan sekret/cairan berwarna kuning encer. Lesi ini paling
sering ditemukan di daerah kaki, tangan, wajah dan leher. Pada umumnya tidak
dijumpai demam. Pada awalnya, kemungkinan akan dijumpai; ruam merah yang
lembut, kulit mengeras/krusta (Honey-colored crusts), gatal, luka yang sulit
menyembuh. Pada impetigo bullosa, mungkin akan dijumpai gejala; demam, diare,
dan kelemahan umum.
1. Impetigo Krustosa
Keluhan utama adalah rasa gatal. Lesi awal berupa makula eritematosa
berukuran 1 – 2 mm, segera berubah menjadi vesikel dan bula. Karena
dinding vesikel tipis, mudah pecah dan mengeluarkan sekret seropurulen
kuning kecoklatan, selanjutnya mengering membentuk krusta yang berlapis-
lapis. Krusta mudah dilepaskan, dibawah krusta terdapat daerah erosif yang
mengeluarkan sekret, sehingga krusta kembali menebal.
Pemeriksaan Kulit:
Lokalisasi: daerah yang terpapar, terutama wajah (sekitar hidung dan
mulut), tangan, leher dan ekstremitas.
Efloresensi: makula eritematosa miliar sampai lentikular, difus, anular,
sirsinar, vesikel dan bula lentikular difus, pustula miliar sampai
lentikular; krusta kuning kecoklatan, berlapis-lapis, mudah diangkat.
Gambar 4. Impetigo: lesi eritematosa anular dengan krusta kuning-madu;
sebelumnya mungkin terdapat lepuh
2. Impetigo Bulosa
Lepuh tiba-tiba muncul pada kulit sehat, bervariasi mulai dari miliar hingga
lentikular, biasanya dapat bertahan 2 – 3 hari. Berdinding tebal dan terdapat
hipopion. Bila pecah menimbulkan krusta yang berwarna coklat datar dan
tipis.
Pemeriksaan kulit:
Lokalisasi: ketiak, dada, punggung, dan ekstremitas atas atau bawah.
Efloresensi: tampak bula dengan dinding tepal dan tipis, miliar hingga
lentikular, kulit sekitarnya tidak menunjukkan peradangan, terkadang-
kadang tampak hipopion.
Gambar 5. Impetigo bula superfisial
Keadaan umum tidak dipengaruhi. Tempat predileksi di ketiak, dada,
punggung. Sering bersama-sama miliaria. Terdapat pada anak dan orang dewasa.
Kelainan kulit berupa eritema, bula, dan bula hipopion. Impetigo dapat timbul
sendiri (primer) atau komplikasi dari kelainan (sekunder) baik penyakit
kulit( gigitan serangga, varicella, infeksi herpes simpleks, dermatitis atopi) atau
penyakit sistemik yang menurunkan kekebalan tubuh. (Wahid Djuanda, 2006)
Gambaran khas dari impetigo bulosa seperti:
Vesikel ( gelembung berisi cairan dengan diameter < 0,5 cm) yang timbul
sampai bulla (gelembung berisi cairan dengan diameter >0,5 cm) kurang dari
1 cm pada kulit yang utuh, dengan kulit sekitar normal atau kemerahan. Pada
awlnya vesikel berisi cairan yang jernih yang berubah menjadi vesikel berisi
cairan yang jernih yang berubah menjadi warna keruh.
Bulla yang utuh jarang ditemukan karena sangat rapuh
Bila impetigo menyertai kelainan kulit lainnya, maka kelainan itu dapat
menyertai dermatitis atopi, varisela, gigitan binatang dan lain-lain.
Lesi dapat lokal atau tersebar, sering kali di wajah atau tempat lain, seperti
tempat yag lembab, lipatan kulit, ketiak atau lipatan leher.
Atap dari bula pecah dan meninggalkan gambaran “collarette” pada
pinggirnya. Krusta “varnishlike” terbentuk pada bagian tengah yang jika
disingkirkan memperlihatkan dasar yang merah dan basah.
Tidak ada pembengkakan kelenjar getah bening di dekat lesi.
Pada bayi, lesi yang luas dapat disertai dengan gejala demam, lemah, diare.
Jarang sekali disertai dengan radang paru, infeksi sendi atau tulang
Gambaran khas pada Impetigo krustosa:
Awalnya berupa warna kemerahan pada kulit (makula) atau papul (penonjolan
padat dengan diameter <0,5cm) yang berukuran 2-5 mm.
Lesi papul segera menjadi vesikel atau pustul (papula yang berwarna
keruh/mengandung nanah/pus) yang mudah pecah dan menjadi papul dengan
keropeng/koreng berwarna kuning madu dan lengket yang berukuran <2cm
dengan kemerahan minimal atau tidak ada kemerahan disekelilingnya.
Lesi muncul pada kulit normal atau kulit yang kena trauma sebelumnya atau
mengikuti kelainan kulit sebelumnya (skabies, vasisela, dermatitis atopi) dan
dapat menyebar dengan cepat.
Lesi berada sekitar hidung, mulut dan daerah tubuh yang sering terbuka
( tangan dan kaki).
Kelenjar getah bening dapat menbesar dan dapat nyeri
Lesi juga menyebar ke daerah sekitar dengan sendirinya (autoinokulasi)
Jika dibiarkan tidak diobati maka lesi dapat menyebar terus karena tindakan
diri sendiri (digaruk lalu tangan memegang tempat lain sehingga mengenai
tempat lain). Lalu dapat sembuh dengan sendirinya dalam beberapa minggu
tanpa jaringan parut.
Walaupun jarang, bengkak pada kaki dan tekanan darah tinggi dapat
ditemukan pada orang dengan impetigo krustosa sebagai tanda
glomerulonefritis (radang pada ginjal) akibat reaksi tubuh terhadap infeksi
oleh kuman Streptokokus penyebab impetigo
Tidak ada tanda gejala radang tenggorokan.
II.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium.
Pada keadaan khusus, dimana diagnosis impetigo masih diragukan, atau
pada suatu daerah dimana impetigo sedang mewabah, atau pada kasus yang
kurang berespons terhadap pengobatan, maka diperlukan pemeriksaan-
pemeriksaan sebagai berikut:
Pewarnaan gram
Pada pemeriksaan ini akan mengungkapkan adanya neutropil dengan
kuman coccus gram positif berbentuk rantai atau kelompok.
Kultur cairan
Pada pemeriksaan ini umumnya akan mengungkapkan adanya
Streptococcus aureus, atau kombinasi antara Streptococcus pyogenes dengan
Streptococcus beta hemolyticus grup A (GABHS), atau kadang-kadang dapat
berdiri sendiri.
Biopsi dapat juga dilakukan jika ada indikasi :
Pemeriksaan Lain:
Titer anti-streptolysin-O ( ASO), mungkin akan menunjukkan hasil positif
lemah untuk streptococcus, tetapi pemeriksaan ini jarang dilakukan.
Streptozyme. Adalah positif untuk streptococcus, tetapi pemeriksaan ini
jarang dilakukan.
Laboratorium rutin
Pada pemeriksaan darah rutin, lekositosis ringan hanya ditemukan pada
50% kasus pasien dengan impetigo.
Pemeriksaan imunologis
Pada impetigo yang disebabkan oleh streptococcus dapat ditemukan
peningkatan kadar anti deoksiribonuklease (anti DNAse) B antibody.
Pemeriksaan mikrobiologis
Eksudat yang diambil di bagian bawah krusta dan cairan yang berasal dari
bulla dapat dikultur dan dilakukan tes sensititas. Hasil kultur bisa
memperlihatkan S. pyogenes, S. aureus atau keduanya. Tes sensitivitas
antibiotic dilakukan untuk mengisolasi metisilin resistar. S. aureus (MRSA)
serta membantu dalam pemberian antibiotic yang sesuai. Pewarnaan gram
pada eksudat memberikan hasil gram positif.
Pada blood agar koloni kuman mengalami hemolisis dan memperlihatkan
daerah yang hemolisis di sekitarnya meskipun dengan blood agar telah cukup
untuk isolasi kuman, manitol salt agar atau medium Baierd-Parker egg Yolk-
tellurite direkomendasikan jika lesi juga terkontaminasi oleh organism lain.
Kemampuan untuk mengkoagulasi plasma adalah tes paling penting dalam
mengidentifikasi S. aureus. Pada sheep blood agar, S. pyogenes membentuk
koloni kecil dengan daerah hemolisis disekelilingnya. Streptococcus dapat
dibedakan dari Staphylokokkus dengan tes katalase. Streptococcus
memberikan hasil yang negative. (Wahid Djuanda, 2006)
II.8 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding Impetigo krustosa terdiri dari:
a. Dermatitis Atopik
Terdapat riwayat atopik seperti asma, rhinitis alergika. Lesi pruritus kronik
dan kulit kering abnormal dapat disertai likenifikasi.
b. Dermatitis Kontak
Gatal pada daerah sensitif yang kontak dengan bahan iritan.
c. Herpes Simpleks
Vesikel dengan dasar eritema yang ruptur menjadi erosi ditutupi krusta.
Umumnya terdapat demam, malaise, disertai limfadenopati.
d. Varisela
Terdapat gejala prodomal seperti demam, malaise, anoreksia. Vesikel dinding
tipis dengan dasar eritema (bermula di trunkus dan menyebar ke wajah dan
ekstremitas) yang kemudian ruptur membentuk krusta (lesi berbagai stadium).
e. Kandidiasis
Kandidiasis (infeksi jamur candida): papul eritem, basah, umumnya di daerah
selaput lendir atau daerah lipatan.
f. Diskoid lupus eritematous
Ditemukan (plak), batas tegas yang mengenai sampai folikel rambut.
g. Ektima
Lesi berkrusta yang menutupi daerah ulkus yang menetap selama beberapa
minggu dan sembuh dengan jaringan parut bila menginfeksi dermis.
h. Gigitan serangga
Terdapat papul pada daerah gigitan, dapat nyeri.
i. Skabies
Papul yang kecil dan menyebar, terdapat terowongan pada sela-sela jari, gatal
pada malam hari.
II.9 PENCEGAHAN
Kebersihan sederhana dan perhatian terhadap kecil dapat mencegah
timbulnya impetigo. Seseorang yang sudah terkena impetigo atau gejala-gejala
infeksi/peradangan Streptococcus beta hemolyticus grup A (GABHS) perlu
mencari perawatan medik dan jika perlu dimulai dengan pemberian antibiotik
secepat mungkin untuk mencegah menyebarnya infeksi ini ke orang lain. Penderita
impetigo harus diisolasi, dan dicegah agar tidak terjadi kontak dengan orang lain
minimal dalam 24 jam setelah pemberian antibiotik. Pemakaian barang-barang
atau alat pribadi seperti handuk, pakaian, sarung bantal dan seprai harus
dipisahkan dengan orang-orang sehat. Pada umumnya akhir periode penularan
adalah setelah dua hari permulaan pengobatan, jika impetigo tidak menyembuh
dalam satu minggu, maka harus dievaluasi. (Wahid Djuanda, 2006)
II.10 PROGNOSIS
Umumnya baik
Di luar periode neonatal, pasien yang mendapatkan terapi lebih dini dan baik,
akan memiliki kesempatan untuyk sembuh tanpa bekas luka atau komplikasi
Insidens infeksi umum dan meningitis lebih tinggi pada neonates
Dengan terapi yang tepat, lesi dapat sembuh sempurna dalam 7 – 10 hari
Terapi antibiotik tidak dapat mencegah atau menghentikan glomerulonephritis
Pada lesi yang tidak sembuh dalam 7 – 10 hari setelah diterapi, perlu
dilakukan kultur
II.11 KOMPLIKASI
1. Ektima
Impetigo yang tidak diobati dapat meluas lebih dalam dan penetrasi ke
epidermis menjadi ektima. Ektima merupakan pioderma pada jaringan kutan
yang ditandai dengan adanya ulkus dan krusta tebal.
2. Selulitis dan Erisepelas
Impetigo krustosa dapat menjadi infeksi invasif menyebabkan terjadinya
selulitis dan erisepelas, meskipun jarang terjadi. Selulitis merupakan
peradangan akut kulit yang mengenai jaringan subkutan (jaringan ikat
longgar) yang ditandai dengan eritema setempat, ketegangan kulit disertai
malaise, menggigil dan demam. Sedangkan erisepelas merupakan peradangan
kulit yang melibatkan pembuluh limfe superfisial ditandai dengan eritema dan
tepi meninggi, panas, bengkak, dan biasanya disertai gejala prodromal.
3. Glomerulonefritis Post Streptococcal
Komplikasi utama dan serius dari impetigo krustosa yang umumnya
disebabkan oleh Streptococcus group A beta-hemolitikus ini yaitu
glomerulonefritis akut (2%-5%). Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-
anak usia kurang dari 6 tahun. Tidak ada bukti yang menyatakan
glomerulonefritis terjadi pada impetigo yang disebabkan oleh Staphylococcus.
Insiden glomerulonefritis (GNA) berbeda pada setiap individu, tergantung
dari strain potensial yang menginfeksi nefritogenik. Faktor yang berperan
penting atas terjadinya GNAPS yaitu serotipe Streptococcus strain 49, 55,
57,dan 60 serta strain M-tipe 2. Periode laten berkembangnya nefritis setelah
pioderma streptococcal sekitar 18-21 hari. Kriteria diagnosis GNAPS ini
terdiri dari hematuria makroskopik atau mikroskopik, edema yang diawali
dari regio wajah, dan hipertensi.
4. Rheumatic Fever
Sebuah kelainan inflamasi yang dapat terjadi karena komplikasi infeksi
streptokokus yang tidak diobati strep throat atau scarlet fever. Kondisi
tersebut dapat mempengaruhi otak, kulit, jantung,dan sendi tulang.
5. Pneumonia
Pneumonia merupakan penyakit ynag banyak ditemui setiap tahun. Penyakit
ini biasa terjadi pada perokok dan seseorang yang menggunakan obat yang
menekan sistem imunitas.
6. Infeksi Methicilin- resistant staphylococcus aureus (MRSA)
MRSA adalah sebuah strain bakteri stafilokokus yang resisten terhadap
sejumlah antibiotik. MRSA dapat menyebabkan infeksi serius pada kulit yang
sangat sulit diobati. Infeksi kulit dapat dimulai dengan sebuah eritem, papul,
atau abses yang mengeluarkan pus. MRSA juga dapat menyebabkan
pneumonia dan bakterimia.
7. Osteomielitis
Sebuah inflamasi pada tulang disebabkan bakteri. Inflamasi biasanya berasal
dari bagian tubuh yang lain yang berpindah ke tulang melalui darah.
8. Meningitis
Sebuah inflamasi pada membran dan cairan serebrospinal yang melingkupi
otak dan medula spinalis. Meningitis merupakan sebuah penyakit serius yang
dapat mempengaruhi kehidupan dan menghasilkan komplikasi permanen
seperti koma, syok, dan kematian. (Wahid Djuanda, 2006)
II.12 PENATALAKSANAAN
A. Umum
Menjaga kebersihan agar tetap sehat dan terhindar dari infeksi kulit.
Menindaklanjuti luka akibat gigitan serangga dengan mencuci area kulit yang
terkena untuk mencegah infeksi.
Mengurangi kontak dekat dengan penderita
Bila diantara anggota keluarga ada yang mengalami impetigo diharapkan
dapat melakukan beberapa tindakan pencegahan berupa:
Mencuci bersih area lesi (membersihkan krusta) dengan sabun dan air
mengalir serta membalut lesi.
Mencuci pakaian, kain, atau handuk penderita setiap hari dan tidak
menggunakan peralatan harian bersama-sama.
Menggunakan sarung tangan ketika mengolesi obat topikal dan setelah
itu mencuci tangan sampai bersih.
Memotong kuku untuk menghindari penggarukan yang memperberat
lesi.
Memotivasi penderita untuk sering mencuci tangan.
B. Khusus
Pada prinsipnya, pengobatan impetigo krustosa bertujuan untuk memberikan
kenyamanan dan perbaikan pada lesi serta mencegah penularan infeksi dan
kekambuhan.
1. Terapi Sistemik
Pemberian antibiotik sistemik pada impetigo diindikasikan bila terdapat
lesi yang luas atau berat, limfadenopati, atau gejala sistemik.
a. Pilihan Pertama (Golongan ß Lactam)
Golongan Penicilin (bakterisid)
Amoksisilin+ Asam klavulanat
Dosis 2x 250-500 mg/hari (25 mg/kgBB) selama 10 hari.
Golongan Sefalosporin generasi-ke1 (bakterisid)
Sefaleksin
Dosis 4x 250-500 mg/hari (40-50 mg/kgBB/hari) selama 10 hari.3
Kloksasilin
Dosis 4x 250-500 mg/hari selama 10 hari.
b. Pilihan Kedua
Golongan Makrolida (bakteriostatik)
Eritromisin
Dosis 30-50mg/kgBB/hari.
Azitromisin
Dosis 500 mg/hari untuk hari ke-1 dan dosis 250 mg/hari untuk
hari ke-2 sampai hari ke-4.
2.Terapi Topikal
Penderita diberikan antibiotik topikal bila lesi terbatas, terutama pada
wajah dan penderita sehat secara fisik. Pemberian obat topikal ini dapat
sebagai profilaksis terhadap penularan infeksi pada saat anak melakukan
aktivitas disekolah atau tempat lainnya. Antibiotik topikal diberikan 2-3
kali sehari selama 7-10 hari.
Mupirocin
Mupirocin (pseudomonic acid) merupakan antibiotik yang berasal dari
Pseudomonas fluorescent .Mekanisme kerja mupirocin yaitu
menghambat sintesis protein (asam amino) dengan mengikat isoleusil-
tRNA sintetase sehingga menghambat aktivitas coccus Gram positif
seperti Staphylococcus dan sebagian besar Streptococcus. Salap
mupirocin 2% diindikasikan untuk pengobatan impetigo yang
disebabkan Staphylococcus dan Streptococcus pyogenes.
Asam Fusidat
Asam Fusidat merupakan antibiotik yang berasal dari Fusidium
coccineum. Mekanisme kerja asam fusidat yaitu menghambat sintesis
protein. Salap atau krim asam fusidat 2% aktif melawan kuman gram
positif dan telah teruji sama efektif dengan mupirocin topikal.
Bacitracin
Baciracin merupakan antibiotik polipeptida siklik yang berasal dari
Strain Bacillus Subtilis. Mekanisme kerja bacitracin yaitu menghambat
sintesis dinding sel bakteri dengan menghambat defosforilasi ikatan
membran lipid pirofosfat sehingga aktif melawan coccus Gram positif
seperti Staphylococcus dan Streptococcus. Bacitracin topikal efektif
untuk pengobatan infeksi bakteri superfisial kulit seperti impetigo.
Retapamulin
Retapamulin bekerja menghambat sintesis protein dengan berikatan
dengan subunit 50S ribosom pada protein L3 dekat dengan peptidil
transferase. Salap Retapamulin 1% telah diterima oleh Food and Drug
Administraion (FDA) pada tahun 2007 sebagai terapi impetigo pada
remaja dan anak-anak diatas 9 bulan dan telah menunjukkan
aktivitasnya melawan kuman yang resisten terhadap beberapa obat
seperti metisilin, eritromisin, asam fusidat, mupirosin, azitromisin.
(Wahid Djuanda, 2006)
DAFTAR PUSTAKA
Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, Siti Aisah. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi ke-4. Jakarta : FKUI. 2006.
Wahid, Dian Ibnu. Impetigo: Terapi dan Penggunaan Antibiotika Topikal
Berdasarkan Evidence Based Medicine, 2008.
Arthur Rook, D.S. Wilkinson, F.J.G Ebling. Impetigo. Textbook of Dermatology.
Edisi ke-3, Vol 2, 1979.
Freedberg , Irwin M. (Editor), Arthur Z. Eisen (Editor), Klauss Wolff (Editor), K.
Frank Austen (Editor), Lowell A. Goldsmith (Editor), Stephen Katz (Editor).
Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine (Two Vol. Set). 6th edition
(May 23, 2003): By McGraw-Hill Professional.
Sander Koning, Lisette W.A. van suijlekom-Smit, Jan L Nouwen, Cees M Verduin,
Roos M.D Bernsen, Arnold P Oranie, Siep Thomas, and Johannes C van der
Wouden. Fusidic acid cream in the treatment of impetigo in general practice:
double blind randomised placebo controlled trial. Available at :
http://www.bmj.com/content/324/7331/203.full
Recommended