Download docx - Laporan Maes 7 Mei

Transcript

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Dewasa ini, upaya peningkatan produktifitas tanaman budidaya telah banyak berkembang mulai dari rekaysa genetika, pemanfaatan senyawa-senyawa kimia tertentu dsb. Namun teknologi yang sudah sedemikian berkembang tersebut dirasa masih belum mampu membawa pada pertaian yang lebih baik, hal ini dikarenakan teknologi tersebut terkesan pincang, artinya adanya ketidak seimbangan diantara komponen agroekosistemnya selain itu juga teknologi tersebut belum mampu menghasilkan pertanian dengan 5 system properties agroekosistem yakni produktifitas, stabilitas, equitabilitas, sustainabilitas, dan autonomi. sebagai contoh dalam upaya peningkatan produktifitas pertanian dengan penambahan input-input senyawa kimia justru menyebabkan ketidak seimbangan agroekosistem akibat residu kimia yang dihasilkan yang menyebabkan efek berantai antara faktor biotik dan faktor abiotik. Manajemen Agroekosistem dinilai menjadi sistem yang palig tepat, efektif dan bijak yang mampu mencapai 5 system properties Agroekosistem. Setiap lahan memiliki karakteristik masing-masing yang berbeda yang myebabkan perbedaan komponennya sehingga dalam mengelola agroekosistem diperlukan analisa yang tepat terhadap faktor biotik dan abiotik karena setiap lahan yang meimiliki karakteristik yang berbeda juga memiliki teknik pengelolaan agroekosistem yang juga berbeda, atas dasar tersebut pelu dilakukannya studi literatur mengenai teknik-teknik pengelolaan dan teknik penggabungan karakteristik lahan agroekosistem yang dapat mencakup 5 system properties agroekosistem.1.2 Tujuan1. Memahami teknik pengelolaan agroekosistem pada berbagai karakteristik yan berbeda.2. Membandingkan tiap karakteristik lahan.3. Menganalisa kombinasi karakteristik lahan yang cocok bagi 5 system properties Agrokosistem.

BAB IIISI2.1 Analisa Agroekosistem Pada Berbagai Jenis Lahan2.1.1 Sawah1. Produktivitas (Productivity)Lahan sawah yang ditanami padi, tiap musim tanam dapat menghasilkan padi sebesar 4-5 ton per hektar. Keberhasilan upaya peningkatan produksi padi nasional tidak terlepas pula dari implementasi berbagai program intensifikasi yang didukung oleh inovasi teknologi pancausahatani, terutama varietas unggul dan teknologi budi daya, rekayasa kelembagaan, dan dukungan kebijakan pemerintah.2. Stabilitas (Stability)Stabilitas diartikan sebagai tingkat produksi yang dapat dipertahankan dalam kondisi konstan normal, meskipun kondisi lingkungan berubah. Lahan sawah yang ditanami padi, kestabilan produksinya dapat dipertahankan bahkan meningkat setiap tahunnya.

3. Sustainabilitas(Sustainability)Lahan sawah cenderung menerapkan pola tanam monokultur, apalagi untuk komoditas padi. Polikultur padi dengan tanaman lain memang jarang ditemukan, karena petani padi berorientasi pada produktivitas padi yang dihasilkan nantinya. Selain itu petani juga mengaplikasikan pupuk anorganik yang kurang menguntungkan bagi ekosistem, pola tanam monokultur pun juga tidak bersahabat dengan agroekosistem. Apabila petani banyak megaplikasilkan pupuk organik dan mengembalikan lagi seresah ke dalam tanah, pengggunaan pupuk anorganik dapat ditekan bahkan tidak lagi diperlukan.4. Pemerataan (Equitability)Aspek ekuitabilitas digunakan untuk menggambarkan bagaimana hasil-hasil pertanian dinikmati oleh segenap lapisan masyarakat. Diketahui bahwa produktivitas padi sawah Indonesia masih belum cukup memenuhi kebutuhan beras nasional dan tidak semua lapisan masyarakat dapat mengonsumsinya. 5. Otonomi (Autonomy)Produktivitas lahan sawah belum mampu memenuhi kebutuhan pangan nasional. Hal tersebut terlihat dari jumlah impor beras dan bahan pangan lainnya. Pada tahun 2013 Indonesia mengimpor beras sejumlah 472 ribu ton senilai US$ 246 juta yang diimpor dengan Vietnam sebagai negara pengimpor yang mendominasi.

2.1.2 LadangDalam bidang pertanian secara garis besar kita mengenal 2 macam jenis lahan, yakni lahan basah dan lahan kering. Lahan basah adalah lahan yang hampir seepanjang tahun tergenang atau air nya selalu tersedia sedangkan lahan kering adalah lahan yang hanya mendapatkan air ketika musim hujan tiba sehingga untuk menjadikan lahan kering ini produktif perlu adanya campur tangan manusia dalam menyediakan air untuk kebutuhan tanaman yang ditanam dilahan tersebut.Beberapa jenis lahan kering yang sering dijumpai diantaranya adalah tegalan, kebun, sawah tadah hujan dan ladang. Istilah ladang sering disama artikan dengan sawah dan juga tegalan. Perbedaanya biasanya terletak pada komoditas yang ditanam, pada lahan sawah karena sawah merupakan salah satu jenis lahan basah maka komoditasnya biasanya adalah padi, sedangkan tegalan komoitas yang ditanam biasanya adalah palawija. Untuk ladang atau biasa disebut denga istilah huma adalah lahan kering yang ditanami berbagai macam jenis tanaman mulai dari padi gogo, tanaman hortikultura hingga umbi-umbian, sistem yang digunakan adalah membuka hutan kemudian menanaminya, dan setelah tidak subur lagi akan ditinggalkan dan berpindah untuk membuka ladang lain dengan menebang hutan, setelah beberapa tahun mereka akan kembali dan menanami lahan yang pernah di tinggal tersebut.1. Produktivitas (Productivity)Dari segi produktivitas, ladang memiliki tingkat produktivitas yang tinggi karena tanah yang digunakan merupakan tanah yang masih subur dan banyak mengandung bahan organik, selain itu lingkungan ekosistemnya juga relatif cukup seimbang karena berada disekitar hutan alami, ekosistem yang masih seimbang ini membuat tingkat serangan hama juga tidak terlalu tinggi sehingga tingkat kehilangan hasil panen pun juga relatif cukup rendah . 2. Stabilitas (Stability)Sedangkan dari segi stabilitasnya relatif rendah karena penggunaan ladang tersebut hanya mengandalkan unsur hara yang sudah tersedia dalam tanah, ketika kandungan unsur hara dalam tanah sudah mulai berkurang dapat dipastikan produktifitas di lahan tersebut akan menurun. Itulah sebabnya mengapa orang-orang yang menggarap ladang ini meninggalkan nya dan memilih untuk membuka ladang baru.3. Sustainabilitas (Sustainability)Dalam hal keberlanjutan, dapat dikatakan ladang/huma ini memiliki tingkat keberlanjutan yang tinggi, hal ini karena setelah digunakan selama beberapa musim lahan itu ditinggalkan dan tidak lagi ditanami tanaman pertaniaan, ini memberikan kesempatan bagi lahan tersebut untuk mengembalikan kesuburanya setelah beberapa musim ditanami. Dan setelah beberapa tahun kesuburan tanah akan kembali dan siap untuk ditanami lagi.4. Equitabilitas (Equitability)Dari segi hal pemerataan, ladang cukup tinggi karena dari sistem berpindah ini terjadi pemerataan penggunaan lahan sehingga tidak terjadi degradasi lahan dari segi kualitas lahan itu sendiri. Selain itu dilihat dari produksi pertaniannya maka tingkat pemeratan pendapatan masyarakatnya juga cukup baik, ini karena sistem ladang / huma ini dikerjakan secara berkelompok sehingga tingkat pendapatan / bagian dari masing-masing masyarakat juga hampir sama.

5. Otonomi (Autonomy)Dari segi otonomi atau kemampuan memenuhi kebutuhanya sendiri, ladang memiliki tingkat otonomi yang tinggi karena dari sistem berpindah ini maka tanah yang digunakan memiliki kesuburan yang cukup tinggi sehingga mampu menyediakan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman tanpa harus tergantung dari luar, selain itu karena sistem berpindah ini juga tanah mendapatkan waktu untuk istirahat dan mampu memperbaiki kualitasnya sendiri.

2.1.3 RawaLahan basahatauwetland(Ingg.) adalah wilayah-wilayah di manatanahnyajenuh denganair, baik bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah itu sebagian atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal. Salah satu contoh lahan basah yaitu rawa. Menurut Notohadiprawiro (2006) rawa merupakan suatu lahan yang sepanjang tahun atau selama waktu panjang dalam setahun tumpat air (waterlogged) atau tergenang air. Perbedaannya dengan danau yaitu bahwa rawa tertumbuhi tumbuhan (pohon, glagah, rumput dan tumbuhan akuatik) genangannya secara nisbi dangkal dan ladung (stagnant), dan tanah dasarnya berupa lumpur. Jenis rawa ada beberapa macam, ada rawa yang genangan airnya dipertahankan oleh air tanah yang dangkal. Ada pula rawa yang terjadi karena menampung penyaluran air permukaan (runoff) atau luapan air sungai yang berlangsung secara berkala. \rawa yang hanya berair pada musim hujan dan kering pada musim kemarau disebut bonorowo (istilah jawa). Sedangkan rawa yang genangan dan air tanahnya bergerak naik turun mengikuti gerakan pasang surut air laut dinamakan rawa pasang surut. Selain itu ada juga yang bernama lebak, lebak yaitu sejenis rawa yang air genangannya naik secara berangsur mengikuti pergantian musim dari musim kemarau ke musim penghujan dan kemudian berangsur turun kembali mengikuti pergantian dari musim kemarau ke musim hujan dan kemudian berangsur turun kembali mengikuti pergantian musim dari musim hujan ke musim kemarau. Lahan rawa lebak yang saat ini masih underutilized dengan senjang (gap) produksi aktual dan potensialnya masih besar merupakan salah satu pilihan yang menjanjikan. Menurut Irianto (2009) lahan lebak adalah lahan yang rejim airnya dipengaruhi oleh topografi dan hujan,baik yang turun setempat maupun di daerah sekitarnya dan mempunyai topograpi yang relatif rendah (cekung). Potensi luas lahan lebak berdasarkan studi dari Bank Dunia tahun 1998 adalah sekitar 13,316 juta ha, yang tersebar di Pulau Sumatera seluas 2,786 juta ha, Kalimantan seluas 3,580 juta ha dan Papua seluas 6,305 juta ha (Gambar 1). Berdasarkan data Gambar 1, terlihat bahwa dengan potensi lahan lebak yang sangat luas, maka apabila sekitar 10% saja dapat dikelola dengan baik dengan intensitas tanam meningkat dari 0 kali menjadi 1 kali, maka dapat menghasilkan produksi padi sekitar 2.663.200 ton atau 5.326.400 ton dari 1 kali menjadi 2 kali tanam dengan rata-rata produktivitas 2 ton/ha. Hasilnya akan terjadi lompatan produksi yang sangat signifikan, apabila produktivitasnya bisa direalisasikan mencapai 3 ton/ha atau bahkan 4 ton/ha sehingga produksi pangan nasional dapat ditingkatkan secara meyakinkan.

Untuk budidaya pertanian di lahan rawa masih mengandung persoalan-persoalan yang harus ditangani yaitu masalah hidrologi, kementahan fisik tanah(lumpur dan daya tumpu lemah), lingkungan akar bersuasana anaerob (reduktif, kahat oksigen, gleisasi) dan dapat menimbulkan persoalan tambahan karena memungkinkan pelenggokan (accumulation), serta gambut yang tebal dan mentah yang sulit terdekomposisi. Selain itu lahan pasang surut juga mengandung persoalan tambahan yang berupa kegaraman tanah dan air karena penyusupan air laut dan akumulasi bahan sulfidik yang pada perubahan suasana menjadi aerob teroksidasi menghasilkan mineral jarosit (KFe3(SO4)2(OH)6) dan asam sulfat yang sangat beracun bagi tumbuhan.Menurut Notohadiprawiro (2006) hidrologi merupakan factor tahanan (state Factor) yang menetukan kehadiran factor-faktor kemampuan lahan yang lain. Maka dalam pengembangan lahan rawa prioritas pertama harus diberikan kepada pengelolaan hidrologi ( tata air). Pengelolaan yang sesuai diperlukan untuk mematangkan fisik tanah, membuat dan mempertahankan akar bersuasana aerob, melindi bahan sulfidik atau sulfuric ke luar dari lapisan perakaran dan menyekapnya dalam lingkungan anaerob di bawah lapian perakaran, serta mencegah penyusupan air lut yang menggaramkan tanah dan air atau sebaliknya memanfaatkan air laut untuk mentralkan racun adam sulfat dan mendorong pematangan gambut dan amblesannya untuk menjadikannya lingkungan kimiawi da fisik yang lebih baik sebagai habitat akar. Usahan yang semacam ini dinamakan reklamasi. Tahap yang selanjutnya ialah ameliorasi yang bertujuan meningkatkan daya guna lahan mencakup pengolahan tanah, mengatur lengas tanah. Menurut Irianto (2009) kondisi sosial ekonomi masyarakat serta kelembagaan dan prasarana pendukung yangumumnya belum memadai (kurang/belum berjalan) atau bahkan belum ada. Terutamamenyangkut kejelasan kepemilikan lahan, keterbatasan tenaga (petani sambilan) danmodal kerja serta sarana produksi, prasarana dan sarana irigasi dan perhubungan sertapasca panen (post harvesting) dan pemasaran hasil pertanian.Dijumpai adanya kemampuan pemerintah daerah dan petani yang belum sepenuhnyamemahami bagaimana karakteristik dari lahan rawa lebak dan juga teknologi yangtersedia dan cocok dalam pengelolaan lahan dan air untuk pertanian yang mempunyaikearifan lokal (local wisdom). Adanya penanganan yang tidak serius dalam pengelolaan lahan rawa lebak baikmenyangkut dokumentasi, administrasi dan teknologi yang telah dan pernah dilakukanoleh masyarakat lokal maupun pendatang dalam suatu area tertentu, sehingga tidak adanya acuan yang dapat dipedomani dalam pengembangan lahan rawa lebak pada lokasi lain.Masih dijumpai penanganan pengelolaan rawa lebak secara sektoral tanpa melibatkan dari berbagai unsur sehingga tidak terintegrasi atau kurangnya dukungan dari sektorsektoratau pihak-pihak terkait lainnya.Jika didasarkan pada aspek produksi, pada lahan rawa lebak masih dapat ditingkatkan produksinya, dimana peningkatan produksi pertanaman padi bertujuan untuk meningkatkan intensitas penanaman padi dalam periode satu tahun, misalnya dari yang biasanya ditanam hanya satu kali oleh petani, maka dapat ditingkatkan menjadi dua kali dalam satu tahun. Menurut Badan penelitian dan pengembangan pertanian (2010) dengan mempertimbangkan kondisi ketersediaan air di alam, maka penanaman padi di lahan lebak dan pasang surut dapat dilakukan dua kali dalam satu tahun, sedangkan dibeberapa tempat di agroekosistem irigasi yang selama ini sudah ditanami padi tiga kali dalam setahun dengan menggunakan cara tertentu maka dapat ditingkatkan menjadi empat kali. Salah satu lahan rawa pasang surut yaitu ada di Sumatra Utara dengan luas 961.000 ha, 359.250 diantaranya sudah direklamasi. Untuk mengimbangi penciutan lahan produktif, serta mendukung ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis, maka pengembangan lahan pasang surut harus dilakuakn dengan cermat. Berdasarkan data pada Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2010) Produktifitas yang dicapai pada musim kemarau lebih rendah disbanding dengan musim huajn. Dimana produktifitas padi pada musim kemarau (2.400kg) hanya 35,12% dari musim hujan (6.834 kg). Perbedaan harga juga menyebabkan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk pemanennan. Pada musim penghujan usaha tani padi lebih efisien dibanding dengan musim kemarau dimana nilai R/C pada musim hujan lebih besar daripada musim kemarau. Hal ini membuktikan bahwa terdapat peluang untuk meningkatkan produksi padi pada lahan rawa pasang surut dengan menanam dua kali dalam 12 bulan. Upaya ini dapat dilakukan tanpa harus mencetak lahan sawah baru dilahan pasang surut.Lahan rawa lebak merupakan gadis pedalaman cantik yang belum terjamahmodernisasi, sehingga kilau dan gemilaunya terkesan jauh dibandingkan lahan sawahyang sudah lama dipoles dengan investasi tenaga, waktu dan dana yang sangat besar.Pengalaman di dalam negeri dalam pengelolaan lahan rawa perlu dijadikan teladanbagaimana mengelola lahan rawa lebak secara benar dan berkelanjutan. Investasi palingmahal yang harus dilakukan pemerintah dalam pengembangan lahan rawa lebak adalahinvestasi sumberdaya manusia yang berkualitas, program yang down to the earth danpendanaan yang proporsional dibandingkan lahan sawah atau lahan kering. Melalui azasproporsionalitas ini, maka akan memunculkan energi dan semangat serta motivasi barubagi semua pemangku kepentingan dalam pengembangan lahan rawa lebak.2.1.4 Perkebunan Agroekosistem perkebunan merupakan ekosistem binaan yang proses pembentukan, peruntukan, dan perkembangannya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan manusia sehingga campur tangan atau tindakan manusia menjadi unsur yang sangat dominan dalam memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Manusia melakukan berbagai upaya untuk peningkatan produktivitas ekosistem kebun. Usaha yang dilakukan manusia untuk mencapai produktivitas tersebut menyebabkan manusia memberikan masukan yang sangat tinggi ke dalam ekosistem. Masukan tersebut antara lain : benih dan bibit unggul hasil pemuliaan, pupuk sintetis dan pestisida sintetis atau bahan kimia lainnya, serta kegiatan pengairan. (Hidayat, 2001)Karakteristik dari agroekosistem terdiri atas empat sifat utama yaitu: produktifitas (productivity), kestabilan (stability), keberlanjutan (suitainability), dan kemerataan (equitability). Kriteria yang digunakan untuk menentukan karakteristik agroekosistem meliputi faktor-faktor: ekosistem, ekonomi, sosial dan teknologi konservasi yang sesuai dengan daerah setempat. (Edwards, 1990)Menurut Hidayat (2001), sifat-sifat dari agroekosistem kebun adalah sebagai berikut :a) Agroekosistem sering mengalami perubahan iklim mikro yang mendadak sebagai akibat tindakan manusia dalam melakukan pengolahan tanah, penggunaan benih/bibit tanaman yang memerlukan input yang tinggi, pengairan, penyiangan, pembakaran, pemangkasan, penggunaan bahan-bahan kimia, dan lain-lain.b) Struktur agroekosistem yang didominasi oleh jenis tanaman tertentu yang dipilih oleh manusia, beberapa di antaranya merupakan tanaman dengan materi genetik yang berasal dari luar (gen asing). Tanaman lain yang tidak mengandung gen asing biasanya diberi perlakuan pemeliharaan untuk perlindungan dari serangan hama sehingga tanaman tersebut sangat menyerupai induknya.c) Hampir semua agroekosistem kebun mempunyai diversitas biotik dan spesies tanaman mempunyai diversitas intraspesifik yang rendah karena manusia lebih menyenangi pembudidayaan tanaman dengan varietas tanaman tertentu saja. Dengan perkataan lain, secara genetik tanaman cenderung seragam. Biasanya ekosistem hanya didominasi oleh satu spesies tunggal dan pembersihan spesies gulma secara kontinu mengakibatkan kondisi lingkungan menjadi lebih sederhana.d) Fenologi tanaman seragam, karena untuk memudahkan pengelolaan manusia menggunakan tanaman yang mempunyai tipe dan umur yang seragam. Contohnya: waktu pembungaan atau pembentukan polong pada semua tanaman terjadi pada waktu yang hampir bersamaan.e) Pemasukan unsur hara yang sangat tinggi mengakibatkan menjadi lebih disukai herbivora karena jaringan tanaman kaya unsur hara dan air.

Ekosistem perkebunan merupakan salah satu contoh agroekosistem yang banyak dimanipulasi untuk mendapatkan produk pertanian sesuai permintaan manusia, yang menerima masukan energi bahan pupuk dan biosida dari para petani untuk memperoleh hasil yang tinggi dari tanaman yang dibudidayakan. Perkebunan tersebut menggantikan ekosistem alami dengan ekosistem buatan yang lebih sederhana sehingga lebih mudah terguncang oleh serangan hama.

2.1.5 KolamKolam merupakan suatu perairan didaratanyang lebih kecil ukurannya daripadadanau. Kolam terbentuk secara alami atau dapat dibuat manusia (wikipedia,2014). Jika dalam suatu lahan sebesar 1 ha akan dibangun menjadi sebuah kolam menurut prinsip agroekosistem hal tersebut akan menambah biodiversitas dalam suatu lahan. Namun jika dalam suatu lahan seluruhnya diisi dengan kolam maka hal ini akan menimbulkan pengurangan biodiversitas serta output dari agroekosistem tersebut. Jika dalam suatu lahan yang terintegrasi dengan lahan pertanian maka secara tidak langsung akan membentuk suatu ekosistem yang didalamnya terdapat beberapa komponen dan interaksi yang sekiranya mampu membentuk struktur dari agroekosistem sebagai suatu aset produksi yang dimanfaatkan oleh manusia. Dengan terbentuknya struktur agroekosistem dari suatu pengelolaan yang baik maka akan dihasilkan suatu output yang sesuai dengan harapan. 1. Produktifitas (Productivity)Secara aspek productivity, kolam mampu menghasilkan produksi berupa hasil perikanan air berupa ikan, udang, dan hasil lainya. Output berupa produk di atas juga tergantung terhadap kondisi ekosistem pada jenis lahan kolam tersebut. Secara langsung maupun tidak langsung kualitas serta kuantitas dari produksi kolam tersebut ditentukan dengan tingkat keterpaduan dari komponen ekosistem tersebut, oleh sebab itu diperlukan suatu upaya pengelolaan yang berbasis revitalisasai fungsi agroekosistem pada suatu lahan (kolam).2. Stabilitas (Stability)Secara aspek stability, dalam kisaran luas lahan 1 ha dapat dibangun sebuat bentang agoekosistem yang terintegrasi dengan kolam perikanan yang disini dapat berfungsi sebagai cadangan air irigasi bagi lahan dan merupakan pendapatan sampingan berupa hasil perairan. Stabilitas produksi dari kolam ini juga tergantung dari kondisi biofisik khusunya iklim karena suplai air dari kolam selain berasal dari sumber air juga dapat diupayakan dari air hujan. Jika pasokan air dalam agroekosistem dapat tersedia untuk sepanjang musim tanam dengan adanya integrasi kolam makan dapat dipastikan tidak adanya permasalahan irigasi sehingga produk dari agroekosistem akan bersifat stabil. Ditinjau pula dari segi hama dan penyakit tanaman, keberadaan kolam dalam suatu lahan dapat berfungsi sebagai habitat sementara atau permanen bagi musuh alami, suatu contoh larva capung hidup di perairan sebelum memasuki fase imao dewasa, sedangkan disini status capung adalah sebagai predator hama.3. Sustainabilitas (Sustainability)Secara aspek sustainability, integrasi dengan kolam memberikan kontribusi yang relatif. Artinya tergantung pengelolaan dari lahan tersebut. Garis merah yang di dapat yaitu bahwa kolam dapat menjadi suatu sarana menuju produksi yang berkelanjutan karena dapat menjadi suatu lingkungan yang membuat biodiversitas yang semakin beraga pada lahan. Dan juga dapat dijadikan reservoir air hujan untuk keperluan irigasi lahan budidaya. Pada suatu sistem irigasi, keberadaan sumber menjadi suatu faktor pembatas bagi efisiensi irigasi, sehingga dengan tersedianya sumber berupa kolam maka dapat dipastikan irigasi akan berjalan lancar. Hal ini tentunya akan menunjang produksi yang berkelanjutan secara penyediaan sarana produksi dan perbaikan interaksi pada lingkungan (agroekosistem).4. Equitabilitas (Equitability)Secara equitabilty atau dengan kata lain dimana agroekosistem tersebut memberikan suatu kesejahteraan atau timbal balik bagi si pengelola, integrasi lahan dengan kolam dapat memberikan keberagaman hasil panen yaitu berupa hasil perikanan dan dengan semakin meningkatya diversitas output pada agroekosistem maka akan menciptakan ketahanan pangan serta ketersediaan pangan dan juga kemandirian pangan. Hal ini secara otomatis akan memberikan kontribusi berupa penghasilan tambahan bagi si pengelola sehingga berdampak pada meningkatnya kesejahteraan bagi masyarakat. Jika semua agroekosistem diupayakan dengan integrasi dengan kolam makan semunya akan membentuk suatu sistem yang bekerja secara otomatis untuk lebih memaksimalkan fungsi agroekosistem seuai harapan dari berbagai aspek usahatani. Dari semua hubungan tersebuat tentunya akan lebuh memberikan kontribusi berupa kesejahteraan bagi si pengelola.

2.1.6Pekarangan Pekarangan merupakan sebuah petak yang berada tidak jauh dari tempat tinggal dan biasanya berukuran tidak terlalu luas. Pekarangan merupakan sebuah ekosistem bentukan manusia dikarenakan di atas lahan pekaranganan ini ditanami berbagai macam jenis tanaman yang merupakan suatu komunitas. Tidak jarang pada lahan itu juga di pelihara ikan dalam kolam ataupun binatang peliharaan. Tanah pekarangan beserta isinya merupakan suatu sistem kehidupan yang dapat di anggap berdiri sendiri sebagai sebuah unit. Unit inilah yang di sebut ekosistem.Pekarangan jika dimanfaatkan secara konseptual dan dipelihara secara benar dan baik akan memberikan hasil tidak ternilai. Artinya kita manfaatkan dengan pendekatan ekosistem dan memperhatikan semua kepentingan yang ada di rumah kita. Selain ditanami dengan tanaman, pekarangan dapat pula dimanfaatktan untuk memelihara ternak. Kotoran ternak itu dapat pupuk, begitu pula sampah atau daun-daunan bisa dijadikan kompos. Di pekarangan dapat ditanami beraneka jenis tanaman yang menghasilkan yang dibutuhkan sehari-hari seperti tanaman buah-buahan, sayur-sayuran, bunga-bungaan, tanaman obat-obatan, bumbu-bumbuan, rempah-rempah, kelapa dll. Hasil pekarangan banyak variasinya yang dapat menghasilkan sepanjang tahun, dengan hasil yang segar.Sehingga, dari segi ekonomi, pekarangan dapat memberikan sumbangan yang cukup tinggi bagi perekonomian keluarga. Dengan adanya tumbuhan rempah-rempah, sayuran, tanaman obat-obatan dan lain-lain tentunya akan memperkecil pengeluaran untuk membeli rempah-rempah ataupun sayuran yang notabene dibutuhkan setiap harinya.Dari segi ekologi, pekarangan memiliki stabilitas ekosistem yang cukup baik. Terjaganya dan terawatnya tanaman membuat tanaman selalu sehat dan berproduksi efektif. Iklim mikro yang terjaga serta saling berkaitannya antar berbagai komponen ekosistem membuat ekologinya selalu terjaga dan akan terus berkelanjutan.2.1.7TambakTambakdalamperikananadalahkolambuatan, biasanya di daerah pantai, yang diisi air dan dimanfaatkan sebagai saranabudidaya perairan(akuakultur). Hewan yang dibudidayakan adalah hewan air, terutamaikan,udang, sertakerang. Penyebutan "tambak" ini biasanya dihubungkan denganair payauatauair laut. Kolam yang berisiair tawarbiasanya disebut kolam saja atauempangBiggs et al. (2005) menyebutkan salah satu fungsi tambak bagi ekosistem perairan adalah terjadinya pengkayaan jenis biota air. Bertambahnya jenis biota tersebut berasal dari pengenalan biota-biota yang dibudidayakan. Jenis-jenis tambak yang ada di Indonesia meliputi: tambak intensif, tambak semi intensif, tambak tradisional dan tambak organik. Perbedaan dari ketiga jenis tambak tersebut terdapat pada teknik pengelolaan mulai dari padat penebaran, pola pemberiaan pakan, serta sistem pengelolaan air dan lingkungan (Widigdo, 2000). Perkembangan tambak di Indonesia secara intensif meningkat sejak tahun 1990. Peningkatan luas lahan tambak diiringi dengan berkurangnya luas mangrove di wilayah pesisir tersebut memicu terjadinya kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari polusi kegiatan pertambakan.Pada jaman sekarang ini masyarakat telah banyak yang mulai peduli dengan lingkugan sehingga tambak yang dahulu berubah nama menjadi wanamina (silvofishery). Silvofishery atau sering disebut sebagai wanamina adalah suatu bentuk kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya tambak air payau dengan pengembangan mangrove pada lokasi yang sama. Konsep wanamina ini dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan kawasan mangrove ini memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan mangrove yang secara ekologi memiliki produktivitas relatif tinggi dengan keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan (Bengen, 1998).Mwaluma (2002) menyatakan bahwa pembudidayaan kultivan dengan sistem wanamina dapat dilakukan dengan kombinasi berbagai jenis kultivan seperti kepiting bakau, ikan Bandeng dan udang. Kepadatan vegetasi yang rendah cocok diterapkan untuk tambak ikan bandeng, sedangkan kepadatan vegetasi yang lebih tinggi sesuai untuk diterapkan pada budidaya udang dan kepiting bakau. Jenis mangrove yang ditanam umumnya adalah bakau (Rhizophora mucronata) atau dapat juga menggunakan jenis api-api (Avicennia marina).Dengan dilakukannya pengelolaan kawasan mangrove melalui wanamina maka didapat beberapa manfaat secara ekologi dan ekonomi (Nuryanto, 2003), yaitu:a) Menjamin keberadaan ekosistem hutan mangrove dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional.b) Mengoptimalkan aneka fungsi kawasan tersebut, termasuk fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, social dan ekonomi yang seimbang secara berkelanjutan.c) Meningkatan daya dukung kawasan.d) Mendukung pengembangan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga menciptakan ketahanan sosial ekonomi.Dari aspek ekonomis, hasil aplikasi kegiatan silvofishery berdasarkan penelitian Mardiyati (2004) antara lain pendapatan maksimum tahunan untuk optimasi dengan faktor risiko untuk musim hujan sebesar Rp 26.544.900,00 dan musim kemarau sebesar Rp. 43.603.720,00. Pada optimasi tanpa faktor risiko maka pendapatan maksimum lebih rendah, yaitu untuk musim hujan adalah Rp23.458.790,00 dan musim kemarau Rp 22.115.780,00. Nilai tersebut diperoleh dari uji coba dengan lahan seluas 1.599,90 ha pada RPH Cikiperan BKPH Rawa Timur KPH Banyumas Barat. Dari penelitian Harahap dkk (2009), Fungsi dan manfaat hutan mangrove di Kecamatan Gending: a) Fungsi dan manfaat ekonomi, yaitu: sebagai penghasil kayu, sebagai tempat bersarangnya burung yang menghasilkan telur; b) Fungsi dan manfaat ekologi, yaitu: sebagai kawasan penyangga proses terjadinya intrusi atau penahan laju intrusi air laut, sebagai kawasan untuk berlindung, bersarang dan berkembang biak bagi berbagai biota air, sebagai penahan gelombang, pencegah abrasi dan sebagai perangkap sedimen maupun penahan angin badai, sebagai daerah asuhan (nursery ground), mencari makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bagi berbagai macam biota perairan khususnya ikan. Berdasarkan identifikasi manfaat dan fungsi tersebut, maka nilai ekonomi ekologi hutan mangrove tersebut adalah Rp 13.941.885.354 per tahun.Pada tambak tradisional, pendapatan usaha budidaya tambak di Desa Sepatin Kabupaten Kutai Kartanegara adalah Rp. 5.798.235.667,00/masa panen atau rata-rata Rp. 193.274.522,00/ responden (Susilo, 2007). Keuntungan yang didapat pada produksi bandeng/udang windu sebesar Rp.9.378.556/hektar/satu kali tanam (Hamdani, 2007). Dari hasil diatas dapat dikatakan bahwa pola wanamina sangat banyak keuntungaannya. Jika dibandingkan dengan tambak tradisional, biasanya hasil dari tambak tradisional memang hasilnya lebih tinggi apabila menilik dari satu jenis hewan (missal budidaya udang) namun jika wanamina dikelola dengan baik produktivitasnya pasti sangat tinggi. Pada wanamina sering diterapkan sistem polikultur (lebih dari satu jenis ikan), sistem ini berguna untuk efisiensi penggunaan pakan alami. Wanamina juga lebih berkelanjutan dibandingkan dengan tambak tradisional sebab sistem ini sangat memperhatikan aspek ekologi selain dari aspek ekonomis.2.1.8TegalanTegalan adalah areal lahan kering yang biasanya ditanami palawija dan hortikultura. Sama seperti agroekosistem lainnya. Agroekosistem tegalan juga dianalisis berdasarkan 5 komponen yaitu :1. Produktivitas (Productivity)

Tingkat produktifitas pada tegalan lebih sedikit dan jenis tanamannya hanya jenis tanaman yang hanya membutuhkan curah hujan. Produktivitas lahan berkesusaian dengan kapasitas lahan untuk menyerap input produksi tanaman. Dalam hal ini produktivitas merupakan rasio dari total output dengan input yang digunakan dalam produksi. Jika dibandingkan dengan usaha tani lahan sawah, dengan luasan lahan sama yaitu 1 ha biaya saprodi usahatani tebu di lahan sawah rata-rata mencapai Rp 2 juta/ha (23.1% dari total biaya), sementara untuk tegalan rata-rata mencapai Rp 1.3 juta/ha (24.4% dari total biaya). Biaya saprodi meliputi pembelian bibit, pupuk, dan pestisida. Pengeluaran biaya tenaga kerja untuk lahan sawah juga relatif lebih tinggi daripada untuk tegalan, yaitu Rp 5.5 juta/ha (63.5% dari total biaya) dibandingkan Rp 3.2 juta/ha (58.5% dari total biaya). Berdasarkan produktivitas lahan, lahan sawah dapat menghasilkan 930 ku tebu/ha, sementara tegalan hanya 650 ku tebu/ha. Hal ini berpengaruh terhadap pendapatan dan keuntungan. Usahatani tebu lahan sawah rata-rata keuntungannya sebesar Rp 6.8 juta per hektar, sementara tegalan rata-rata Rp 5.4 juta/ha. Namun, karena total biaya usahatani tebu di lahan sawah lebih tinggi daripada di tegalan, maka keuntungan di tegalan justru lebih tinggi. Berdasarkan nilai keuntungan tampak bahwa keuntungan usahatani tebu tegalan lebih tinggi (99.5% dari biaya) dibandingkan lahan sawah (79.4% dari biaya). Artinya, usahatani tebu di lahan sawah lebih intensif dan padat modal dibandingkan usahatani tebu di tegalan. Lahan tegalan akan lebih menguntungkan jika lahan yang kelola adalah lahan yang luas, namun kebanyakan tegalan di Indonesia memiliki luasan lahan yang sempit.

2. Sustainabilitas (Sustainability)

Dari segi keberlanjutannya, tanaman pada agroekosistem tegalan sangat sulit untuk bertahan hidup dikarenakan tegalan hanya mengandalkan curah hujan. Sehingga untuk hasilnya sangat minim. Selain itu, tanaman hanya dapat ditanam pada waktu-waktu tertentu. Keberlanjutan dari agroekosistem ini tinggi hal ini dikarenakan tanaman ditegalan tidak membutuhkan perawatan dan daya tahan terhadap iklimnya baik. Pola usaha tani di lahan kering tegalan dengan pola tanam tumpangsari secara intensif dengan menggunakan pupuk kimia dan pestisida. Hal ini menyebabkan turunnya kualitas ekologis lahan kering sehingga keberlanjutan agroekosistem tegalan rendah.3. Stabilitas (Stability)

Stabilitas dari produktifitas pada tegalan dari waktu ke waktu relative stabil di lihat dari sedikitnya penyebab penganggu produktifitas tanaman selain ulat dan belalang karena pada umumnya tegalan ditanam dengan sistem tumpangsari. Pola tanam tumpangsari mempunyai fungsi ekologis karena mengurangi resiko kegagalan karena serangan hama penyakit terhadap satu jenis tanaman tertentu atau lingkungan yang kurang baik. Misalnya, ketika tanaman cabai di lokasi diserang Kutu Kebul dan mati maka petani masih bisa memanen jagung atau sayuran lainnya. Menurut Norman (dalam Bergeret, 1977), pola tanam tumpangsari yang memiliki tujuan rangkap ekonomis dan ekologis karena pertama, dapat digunakan atau dimanfaatkan sebagai komponen lingkungan yang baik seperti air, bahan gizi, cahaya matahari maupun sebagai kombinasi terbaik dalam waktu dan ruangan daun dan akar, persyaratan gizi, penutupan tanah dan sebagainya. Kedua, dapat digunakan dalam mengurangi serangan hama serta resiko akibat keanekaragaman serangan hama penyakit. Terakhir, digunakan pula sebagai penyebaran tenaga kerja agar lebih teratur sepanjang tahun, peningkatan produksi serta peningkatan pendapatan. Namun, dari segi sumberdaya tanah, keberagaman dan kepadatan tanaman dalam satu hamparan lahan pertanian tanpa pengolahan yang intensif akan mengakibatkan eksploitasi terhadap sumber daya tanah. karena setiap tanaman memerlukan pupuk kimia, pestisida untuk pemeliharaan. Keragaman pola tanam dapat meningkat akibat jumlah bidang pemilikan tanah semakin banyak dengan luas kepemilikan yang sempit. Secara keseluruhan Kemudian ditinjau dari segi hasil panennya, produktifitas tegalan rendah karena panen tiap tanamanya berbeda-beda. Sehingga secara keseluruhan hasil produktifitasnya tidak menentu dan tidak stabil.4. Equitabilitas (Equitability)

Penanaman dan agroekosistem tanaman yang ada di tegalan sudah merata hal ini dapat dilihat dengan banyaknya orang yang melakukan penanaman dan agroekosistem tegalan di berbagai daerah.5. Otonomi (Autonomy)

Tegalan dapat dikatakan memenuhi karena pada prinsipnya autonomi adalah kemampuan agroekosistem untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan pola tanaman tumpangsari maka banyak komoditas yang bisa di panen sehingga kebutuhan yang beragam dapat dipenuhi dalam sekali panen pada satu luasan lahan tegalan.

BAB IIIKESIMPULAN

Berdasarkan penjabaran masing-masing karakteristik lahan maka dapat disimpulkan bahwa untuk memperoleh hasil pertanian yang memenuhi 5 system properties agroekosistem maka dapat dilakukan suatu penggabungan sistem antar tiap penggunaan lahan. Lahan sawah, tegalan, pekarangan, dan kolam merupakan lahan dasar yang seluruhnya dapat dikombinasikan dengan sistem lainnya dengan pertimbangan dan manajemen tertentu. Seperti contoh penggabungaan antara budidaya tanaman di lahan sawah dengan peternakan dan tambak ikan, ketiganya dapat saling menguntungkan dan dapat menjadi suatu kombinasi yang harmonis dengan manajemen tertentu, bagi lahan sawah peternakan menyuplai pupuk, sedangkan bagi peternakan pertanian menyumbangkan sisa tanaman hasil panen, sementara tambak ikan menyuplai air irigasi dari tadah hujan sekaligus sebagai pupuk organik cair. Hal yang sama juga dapat dilakukan dengan pengkombinasian lahan dasar lainnya, asalkan manajemen dan analisa yang dilakukan harus setepat mungkin.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Hidayat. 2001. Produksi Tanaman Pangan. BandungIrianto, Gatot. 2009. Kebijakan Dan Pengelolaan Air Dalam Pengembangan Lahan Rawa Lebak. Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen PertanianNotohadiprawiro, Tejoyuwono. 2006. Mengenali Hakekat Lahan Rawa sebagai Dasar Pengembangannya Untuk Budidaya Tanaman Pangan. Jogjakarta. Ilmu Tanah Unoversitas Gadjah Mada.

19