Download doc - Laporan P3 K20

Transcript
Page 1: Laporan P3 K20

Abstrak

Kontrol suhu merupakan sebuah metode dimana kita akan mengatur kerja suatu alat pada besar suhu yang kita kehendaki. Adanya perubahan suhu pada suatu sistem tentunya berpengaruh terhadap kerja suatu alat. Untuk menyelamatkan alat dari suhu yang terlalu tinggi maka dapat digunakan pengatur suhu yang dipasang pada alat tersebut. Kita dapat mengatur sampai pada batas suhu berapa alat dapat beroperasi, selebihnya dari suhu tersebut maka alat akan berhenti beroperasi.

Pengaturan suhu bisa dilakukan dengan metode on-off. Dimana alat akan hidup jika berada di bawah suhu yang ditentukan dan alat akan mati jika melebihi suhu yang telah ditentukan. Selain itu pengaturan suhu juga bisa dilakukan dengan metode proporsional dimana kerja alat akan menyesuaikan dengan range suhu yang telah ditentukan. Sehingga alat bisa bekerja dengan maksimal jika masih berada di sekitar range bawah dan alat akan bekerja minimum jika telah berada di sekitar range atas.

Page 2: Laporan P3 K20

BAB IV

PERCOBAAN III

KONTROL SUHU

4.1 Tujuan Percobaan

Tujuan dari percobaan Kontrol Suhu ialah :

1. Memahami karakteristik sensor J-TC thermocouple, NTC (Negative

Temperature Coefficient), Platinum Pt 100.

2. Memahami dasar-dasar penguat operasional dan aplikasinya.

3. Memahami aplikasi dan pengaturan sederhana kalang tertutup (close

loop) dengan on-off controller

4. Memahami mekanisme dan aplikasi pengaturan sederhana kalang

tertutup (close loop) dengan proporsional kontroler

4.2 Dasar Teori

4.2.1 On-Off Controller

Pada dasarnya, On-off controller merupakan sistem kontrol loop tertutup.

Dalam sistem kontrol dua posisi, elemen penggerak hanya mempunyai dua posisi

tetap, yang dalam beberapa hal, benar- benar merupakan posisi “on” dan “off”.

Kontrol dua posisi atau on-off controller relatif sederhana dan murah, oleh

karenanya banyak digunakan dalam sistem kontrol industri maupun rumah-

rumah.

Sinyal kesalahan penggerak, yang merupakan selisih antara sinyal masukan

dan sinyal umpan balik diumpankan ke kontroller. Keluaran kontroller

diumpankan ke plant untuk memperkecil kesalahan dan membuat agar keluaran

sistem mendekati harga yang diinginkan. Sistem kontrol umpan balik bisa

digambarkan sebagai berikut:

Page 3: Laporan P3 K20

Gambar 4.1 Sistem Kontrol Loop Tertutup

Misal sinyal keluaran kontroller adalah m(t) dan sinyal kesalahan penggerak

adalah e(t). Pada kontrol dua posisi, sinyal m(t) akan tetap pada harga maksimum

atau minimumnya, bergantung pada kesalahan penggerak, positif atau negatif,

sedemikian rupa sehingga :

M(t) = M1untuk e(t)>0 . . . . . disebut error positif

M(t) = M2 untuk e(t)<0 . . . . disebut error negatif

Dimana M1 dan M2 adalah konstanta. Harga minimum, M2, biasanya nol,

atau –M1. Kontroller dua posisi biasanya berupa perangkat listrik, salah satu

contoh yang digunakan secara luas dengan penggerak selenoid listrik.

Gambar 4.2 (a) dan (b) menunjukkan diagram blok kontroller dua posisi.

Daerah harga sinyal penggerak antara posisi on dan off disebut celah diferensial

(differential gap). Suatu celah differensial ditunjukkan pada gambar 4.2 (b). Celah

diferensial ini menyebabkan keluaran kontroller m(t) tetap pada harga sekarang

sampai sinyal kesalahan penggerak bergeser sedikit dari harga nol. Pada beberapa

kasus, celah diferensial ini disebabkan oleh gesekan yang tidak diinginkan adanya

celah diferensial untuk mencegah operasi mekanisme on-off yang terlalu sering.

Gambar 4.2 (a) Diagram Blok Kontroller on-off. (b) Diagram blok on-off dengan celah diferensial

Celah diferensial

me M1 M

2

me M1 M

2

( a ) ( b )

Page 4: Laporan P3 K20

Dari gambar 4.2, dapat dilihat bahwa amplitudo osilasi keluaran dapat

diperkecil dengan memperkecil celah diferensial. Akan tetapi hal ini akan

menyebabkan kenaikan angka switching on-off permenit sehingga akan

memperpendek umur ketahanan komponen. Besar celah diferensial harus

ditentukan berdasarkan beberapa pertimbangan seperti ketelitian yang diperlukan

dan umur komponen.

Gambar 4.3 Respon output pada sistem kontrol on-off

Pada percobaan on-off controller, on-off controller digunakan digunakan

untuk mengatur temperatur air sehingga didapatkan kestabilan di sekitar

temperatur referensi yang digunakan.

4.2.2 Proporsional Kontroler

Pada dasarnya, proporsional kontroler merupakan penguat dengan

penguatan yang dapat diatur. Apabila dibandingkan dengan On-Off controller,

proporsional kontroler relatif lebih cepat mencapai tegangan referensi, sehingga

waktu transient menjadi lebih cepat.

Gambar 4.4 Proporsional Kontroler

Celah diferensial

H(t)

T0

OutputKp

Page 5: Laporan P3 K20

Misal sinyal keluaran kontroller adalah m(t) dan sinyal kesalahan

penggerak adalah e(t). Pada proporsional kontroler, sinyal m(t) bergantung pada

kesalahan penggerak, sedemikian rupa sehingga :

m(t) = Kp. e(t)

Akan tetapi, hasil keluaran dari proporsional kontroler melenceng dari

tegangan referensi yang diharapkan. Dalam penggunaan proporsional kontroler,

semakin besar tegangan referensi yang diinginkan, semakin besar pula penguatan

yang digunakan.

4.2.3 Sensor

Sensor adalah peralatan yang digunakan untuk mengubah suatu besaran fisik

menjadi besaran listrik, sehingga keluarannya dapat dianalisa dengan rangkaian

listrik tertentu. Hampir seluruh peralatan elektronik yang ada memiliki sensor di

dalamnya. Pada saat ini, sensor telah dibuat dengan ukuran sangat kecil hingga

orde nanometer dimana hal ini menjadikan sensor sangat memudahkan pemakaian

dan menghemat energi.

Adapun sensor terklasifikasi ke dalam dua jenis besar sensor, yaitu sensor

fisika dan sensor kimia. Sensor fisika merupakan jenis sensor yang mendeteksi

suatu besaran berdasarkan hukum-hukum fisika, seperti sensor cahaya, suara,

gaya, kecepatan, percepatan, maupun sensor suhu. Sedangkan jenis sensor kimia

merupakan sensor yang mendeteksi jumlah suatu zar kimia dengan jalan

mengubah besaran kimia menjadi besaran listrik dimana di dalamnya dilibatkan

beberapa reaksi kimia, seperti misalnya pada sensor pH, sensor oksigen, sensor

ledakan, serta pada sensor gas.

Sensor merupakan sebuah tipe dari transducer yang mengindikasi secara

langsung dengan atau tanpa penguat dan pengolah sinyal yang terbentuk dalam

satu sistem pengindra, seperti halnya sebuah thermometer air raksa yang dapat

membaca manusia. Sensor lain dapat dipasangkan dengan sebuah indikator

ataupun display, dalam keadaan ini misalnya pada sebuah thermocouple.

Kebanyakan sensor merupakan sensor kelistrikan maupun peralatan

elektroniknya, meskipun tipe-tipe sensor lainnya juga tetap ada dan bertahan.

Page 6: Laporan P3 K20

Sensor digunakan dalam kehidupan sehari-hari, dimana aplikasinya mencakup

automobile, mesin, kedokteran, indistri, robot, maupun aerospace. Dalam

lingkungan sistem pengendali dan robotika, sensor memberikan kesamaan yang

menyerupai mata, pendengaran, hidung, maupun lidah yang kemudian akan diolah

oleh kontroller sebagai otaknya.

Sensor memiliki banyak macam dan bentuk sesuai kegunaan yang

dibutuhkan. Adapun macam – macam sensor diantaranya ialah :

1. Sensor Kedekatan (proximity)

Sensor Kedekatan (proximity) merupakan sensor atau saklar yang

dapat mendeteksi adanya target yang merupakan jenis logam dengan tanpa

adanya kontak fisik.

2. Sensor Magnet

Sensor Magnet atau disebut juga relai buluh, adalah alat yang akan

terpengaruh medan magnet dan akan memberikan perubahan kondisi pada

keluaran.

3. Sensor Sinar

Sensor sinar terdiri dari 3 kategori. Fotovoltaic atau sel solar

adalah alat sensor sinar yang mengubah energi sinar langsung menjadi

energi listrik, dengan adanya penyinaran cahaya akan menyebabkan

pergerakan elektron dan menghasilkan tegangan.

4. Sensor Efek Hall

Sensor Efek-Hall dirancang untuk merasakan adanya objek magnetis

dengan perubahan posisinya. Perubahan medan magnet yang terus

menerus menyebabkan timbulnya pulsa yang kemudian dapat ditentukan

frekuensinya, sensor jenis ini biasa digunakan sebagai pengukur

kecepatan.

Page 7: Laporan P3 K20

5. Sensor Ultrasonik

Sensor ultrasonik bekerja berdasarkan prinsip pantulan gelombang

suara, dimana sensor ini menghasilkan gelombang suara yang kemudian

menangkapnya kembali dengan perbedaan waktu sebagai dasar

penginderaannya.

6. Sensor Tekanan

Sensor tekanan - sensor ini memiliki transduser yang mengukur

ketegangan kawat, dimana mengubah tegangan mekanis menjadi sinyal

listrik. Dasar penginderaannya pada perubahan tahanan pengantar

(transduser) yang berubah akibat perubahan panjang dan luas

penampangnya.

7. Sensor Kecepatan (RPM)

Proses penginderaan sensor kecepatan merupakan proses kebalikan

dari suatu motor, dimana suatu poros/object yang berputar pada suatui

generator akan menghasilkan suatu tegangan yang sebanding dengan

kecepatan putaran object.

8. Sensor Penyandi (Encoder)

Sensor Penyandi (Encoder) digunakan untuk mengubah gerakan linear

atau putaran menjadi sinyal digital, dimana sensor putaran memonitor

gerakan putar dari suatu alat.

9. Sensor Suhu

Pada percobaan ini menggunakan sensor untuk mendeteksi suhu, yaitu

sensor suhu. Terdapat 4 jenis utama sensor suhu yang umum digunakan,

yaitu thermocouple (T/C), resistance temperature detector (RTD),

termistor dan IC sensor. Thermocouple pada intinya terdiri dari sepasang

transduser panas dan dingin yang disambungkan dan dilebur bersama,

dimana terdapat perbedaan yang timbul antara sambungan tersebut dengan

sambungan referensi yang berfungsi sebagai pembanding. Resistance

Page 8: Laporan P3 K20

Temperature Detector (RTD) memiliki prinsip dasar pada tahanan listrik

dari logam yang bervariasi sebanding dengan suhu. Kesebandingan variasi

ini adalah presisi dengan tingkat konsisten/kestabilan yang tinggi pada

pendeteksian tahanan. Platina adalah bahan yang sering digunakan karena

memiliki tahanan suhu, kelinearan, stabilitas dan reproduksibilitas.

Termistor adalah resistor yang peka terhadap panas yang biasanya

mempunyai koefisien suhu negatif, karena saat suhu meningkat maka

tahanan menurun atau sebaliknya. Jenis ini sangat peka dengan perubahan

tahan 5% per C sehingga mampu mendeteksi perubahan suhu yang kecil.

Sedangkan IC Sensor adalah sensor suhu dengan rangkaian terpadu yang

menggunakan chipsilikon untuk kelemahan penginderanya. Mempunyai

konfigurasi output tegangan dan arus yang sangat linear.

Pada plant kontrol suhu digunakan beberapa sensor suhu seperti :

1. J-TC Thermocouple

JTC merupakan sensor yang mengubah besaran suhu menjadi tegangan,

dimana sensor ini dibuat dari sambungan dua bahan metallic yang berlainan

jenis. Sambungan ini dikomposisikan dengan campuran kimia tertentu,

sehingga dihasilkan beda potensial antar sambungan yang akan berubah

terhadap suhu yang dideteksi. Karakteristik serbaguna thermocouple

dikombinasikan dengan sifat mereka yang relatif murah membuat mereka

ideal untuk digunakan dalam aplikasi industri, terutama pada suhu ekstrim di

mana menggunakan peralatan yang lebih sensitif dapat menyebabkan merusak

sensor yang lebih kompleks dan berharga. Sebuah platinum rhodium

thermocouple, misalnya, memiliki kapasitas untuk mengambil pembacaan

jangka pendek dalam suhu -580 farenhait sampai 30920 farenhait membuat ini

bahkan alat praktis untuk mengukur suhu logam cair untuk keperluan analisis

metalurgi. Bahkan thermocouple dibangun dari bahan eksotis kurang memiliki

kemampuan untuk mengambil bacaan akurat dalam lingkungan suhu yang

lebih umum

Page 9: Laporan P3 K20

2. NTC (Negative Temperature Coefficient)

Lain halnya dengan JTC, NTC merupakan sensor yang mengubah besaran

suhu menjadi hambatan. NTC dibuat dari campuran bahan semikonduktor

yang dapat menghasilkan hambatan intrinsik yang akan berubah terhadap

temperatur. NTC adalah termistor yang pertama kali ada dan di temukan pada

tahun 1833 oleh Michael Faraday. Faraday melaporkan perilaku dari

semikonduktor sulfida perak, ia melihat resistansi dari sulfida perak yang

menurun drastis karena suhu meningkat. Namun, karena sulitnya pembuatan

termistor tersebut serta aplikasi-aplikasinya untuk teknologi terbatas,

pembuatan termistor secara komersil tidak pernah di mulai sampai tahun

1930. Pembuatan termistor komersil baru di buat oleh Samuel Ruben pada

tahun 1930. Range untuk sensor NTC bermacam – macam antara lain : -

40o+125o , -55o + 150o dan lain – lain.

3. Platinum Pt 100

PT100 merupakan salah satu jenis sensor suhu yang terkenal dengan

keakurasiannya. PT100 termasuk golongan RTD (Resistive Temperature

Detector) dengan koefisien suhu positif, yang berarti nilai resistansinya naik

seiring dengan naiknya suhu. PT100 terbuat dari logam platinum. Oleh

karenanya namanya diawali dengan ‘PT’. Disebut PT100 karena sensor ini

dikalibrasi pada suhu 0°C pada nilai resistansi 100 ohm. Ada juga PT1000

yang dikalibrasi pada nilai resistansi 1000 ohm pada suhu 0°C.

Menurut keakurasiannya, terdapat dua jenis PT100, yakni Class-A dan Class-

B. PT100 Class-A memiliki akurasi ±0,06 ohm dan PT100 Class-B memiliki

akurasi ±0,12 ohm. Keakurasian ini menurun seiring dengan naiknya suhu.

Akurasi PT100 Class-A bisa menurun hingga ±0,43 ohm (±1,45°C) pada suhu

600°C, dan PT100 Class-B bisa menurun hingga ±1,06 ohm (±3,3°C) pada

suhu 600°C.

PT100 tipe DIN (Standard Eropa) memiliki resolusi 0,385 ohm per 1°C.

Jadi resistansinya akan naik sebesar 0,385 ohm untuk setiap kenaikan suhu

1°C. Untuk mengukur suhu secara elektronik menggunakan sensor suhu

PT100, maka kita harus mengeksitasinya dengan arus yang tidak boleh

Page 10: Laporan P3 K20

melebihi nilai 1mA. Hal ini karena jika dialiri arus melebihi 1 mA, maka akan

timbul efek self-heating. Jadi, seperti layaknya komponen resistor, maka

kelebihan arus akan diubah menjadi panas. Akibatnya hasil pengukuran

menjadi tidak sesuai lagi.

Aplikasi sensor PT100 temperatur untuk RTD temperatur controller filling

machine dan sealbar

Gambar 4.5 Sensor Platinum Pt100

4.2.4 Penguat

Penguat atau amplifier pada dasarnya adalah suatu rangkaian yang

digunakan untuk mengubah suatu besaran. Dalam percobaan ini amplifier

diidentikkan dengan penguatan sinyal listrik. Amplifier dapat dibedakan menjadi

beberapa macam tergantung dari penggolongan masing-masing. Adapun penguat

yang digunakan dalam percobaan ini adalah Operasional Amplifier dan Loop

Amplifier.

4.2.4.1 OP-AMP

Op-Amp merupakan suatu penguat berperolehan tinggi dikopel-langsung,

yang umpan baliknya ditambahkan untuk mengendalikan karakteristik

keseluruhan. Op-Amp digunakan untuk membentuk fungsi-fungsi linier yang

bermacam-macam dan sering disebut sebagai analog .

Nama penguat operasional telah diberikan kepada penguat gain-tinggi yang

dirancang untuk melaksanakan tugas-tugas matematis seperti penjumlahan,

pengurangan, perkalian dan pembagian. Semuanya bekerja dengan tegangan

tinggi sampai setinggi 300V, tetapi sanggup menyelesaikan berbagai perhitungan.

Op-Amp adalah suatu penguat berperolehan tinggi dikopel-langsung, yang umpan

Page 11: Laporan P3 K20

baliknya ditambahkan untuk mengendalikan karakteristik keseluruhan. Op-Amp

digunakan untuk membentuk fungsi-fungsi linier yang bermacam-macam dan

sering disebut sebagai analog .

Terminal- terminal Op-Amp yaitu:

1. Terminal catu daya.

Op-Amp membutuhkan catu daya +V dan –V yang keduanya dihubungkan

ke supply daya.

2. Terminal keluaran

Ujung tegangan keluaran Vo diukur terhadap ground, karena dalam

sebuah Op-Amp hanya ada satu terminal keluaran. Batas keluaran Vo disebut

tegangan kejenuhan positif (+Vsat) dan batas bawahnya disebut tegangan

kejenuhan negatif (-Vsat).

3. Terminal- terminal masukan

Dalam Op-Amp terdapat masukan bertanda (-) yang kemudian disebut

masukan inverting dan yang bertanda (+) disebut masukan non inverting.

Tegangan keluaran Vo tergantung pada perbedaan tegangan kedua terminal

tersebut.

Penguat operasional ini banyak digunakan dalam berbagai aplikasi karena

beberapa keunggulan yang dimiliki, seperti penguatan yang tinggi, impedansi

masukan tinggi, impedansi keluaran yang rendah dan lain sebagainya. Sebuah Op-

Amp yang ideal memiliki beberapa karakteristik khusus, yaitu :

1. Resistansi masukan Ri = tak terhingga

2. Resistansi keluaran Ro = 0.

3. Perolehan tegangan Av = - tak terhingga.

4. Lebar pita = tak terhingga.

5. Vo = 0 kalau V1 = V2 tidak tergantung pada besarnya V1.

6. Karakteristiknya tidak tergantung pada temperatur.

Page 12: Laporan P3 K20

Bentuk dasar penguat operasi adalah suatu blok dengan dua masukan, satu

keluaran dan dicatu secara simetris, seperti diperlihatkan gambar 4.6.

VCC

VEE

(a) (b)

Gambar 4.6 (a) Simbol penguat operasi, (b)IC LM741

Catu daya pada Op-Amp diberikan lewat jalur VCC dan VEE, catu positif

melalui VCC dan catu negatif melalui VEE. Adanya catu simetris ini memungkinkan

tegangan keluaran Vout berayun positif maupun negatif terhadap jalur ground

(netral, nol volt) Pencatuan asimetris masih dimungkinkan dengan konsekuensi

timbulnya beberapa keterbatasan.

Tegangan keluaran bersifat kebalikan dari tegangan masukan inverting

(membalik). Bila tegangan masukan inverting positif (+), tegangan akan

cenderung negatif (-), begitu pula sebaliknya. Masukan non inverting (tak

membalik) berlawanan sifat dari masukan inverting. Polaritas tegangan keluaran

cenderung mengikuti polaritas masukan noninverting ini. Untuk alasan ini,

masukan (-) nya disebut masukan pembalik dan masukan (+)nya disebut tak

membalik.

Op-amp yang lazin mempunyai rin yang tinggi, A yang tinggi, dan rout yang

rendah. Untuk op-amp yang ideal maka impedansi masuk tak terhingga, bati

tegangan tak terhingga, dan impedansi keluar nol. Rangkaian Op-Amp terdiri dari

dua macam, yaitu rangkaian inverting amplifier dan non-inverting amplifier.

Rangkaian inverting amplifier merupakan salah satu dari rangkaian op-amp

yang paling luas digunakan. Rangkaian ini terdiri dari sebuah penguat yang gain

rangkaian tertutupnya dari Ei ke Vo yang ditentukan oleh Rf dan Ri dan dapat

memperkuat isyarat AC dan DC.

masukannoninverting

-

+

masukaninverting keluaran

Page 13: Laporan P3 K20

Gambar 4.7 Inverting Amplifier

Rangkaian inverting amplifier adalah salah satu dari rangkaian op-amp yang

paling luas digunakan. Rangkaian itu merupakan sebuah penguat yang gain

rangkaian tertutupnya dari Ei ke Vo ditentukan oleh Rf dan Ri yang dapat

memperkuat isyarat AC dan DC. Untuk memahami kerja rangkaian diperlihatkan

pada gambar :

Pada inverting amplifier, bila tegangan masukan lebih rendah dari tegangan

acuan Vref, tegangan keluaran akan mendekati tegangan catu positif. Sebaliknya

bila tegangan masukan lebih tinggi dari tegangan acuan Vref, tegangan keluaran

akan mendekati tegangan catu negatif. Secara grafis, koinsidensi masukan –

keluaran diperlihatkan pada gambar 4.8.

VEE

Gambar 4.8 Koisidensi input-output

Vcc

Vreff

Input

Output

Page 14: Laporan P3 K20

Dimana pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa :

1. Tegangan Ed antara masukan (+) dan masukan (-) pada dasarnya nol.

2. Arus yang dialirkan antara terminal (+) dan (-) dapat diabaikan.

Dalam gambar tegangan positif Ei diterapkan melalui tahanan masukan Ri

kemasukan (-) op-amp. Umpan balik negatif dibust oleh tahanan umpan balik Rf.

Tegangan antara masukan (+) dan (-)nya pada dasarnya sama dengan 0V.

karenanya, terminal masukan (-)juga 0V,juga potensial ground yang berada pada

masukan (-)nya. Karena ujung Ri yang satu ada di Ei dan yang lain ada di 0V,

penurunan tegangan melalui Ri adalah Ei. Arus I yang melalui Ri didapat dari

hukum Ohm:

I = Vi/Ri ................................................(4.1)

Seluruh arus masukan I mengalir melalui Rf, karena jumlah yang dialirkan

oleh terminal masukan (-)nya dapat diabaikan,maka penurunan tegangan yang

melalui Rf:

VRf = (Vi/Ri).Rf……………………….(4.2)

Dari gambar ujung Rf dan RL beban terhubung, tegangan dari hubungan ini

ke ground adalah Vo. Ujung Rf dan RL yang lain ke ground, karenanya Vo

menyamai VRf. Untuk memperoleh polaritas Vo,diingatkan bahwa ujung kiri dari

Rf memaksa ujung kanan Rf menjadi negatif. Karenanya, Vo negatif bila Ei

positif, sehingga persamaan Vo:

Vo = 0- (Vi/Ri)Rf...................................(4.3)

Sehingga gain tegangannya:

A = -Rf...................................................(4.4)

Tanda minus dalam persamaan diatas menandakan bahwa polaritas keluaran

Vo terbalik terhadap Ei. Sehingga rangkaian tersebut dinamakan pengaut

pembalik.

Pada rangkaian inverting amplifier ini sinyal keluaran yang dihasilkan akan

mempunyai beda fasa sebesar 180 dari sinyal masukannya.

Untuk memahami kerja rangkaian ini diajukan dua pemisalan sebagai berikut:

Page 15: Laporan P3 K20

1. Tegangan Positif yang diterapkan ke masukan pembalik

Dari gambar tegangan positif diterapkan melalui tahanan masukan

kemasukan (-) penguat operasional. Umpan-balik negatif dibuat oleh tahanan

umpan balik . Tegangan masukan (+) dan (-) pada dasarnya sama dengan 0V.

Oleh karena itu, terminal masukan (-) juga 0V juga potensial ground yang ada

pada masukan negatifnya. Untuk alasan ini masukan negatifnya dikatakan ada

pada ground semu.

Karena ujung yang satu ada di dan yang ada di 0V, penurunan

tegangan melalui adalah Arus I yang melalui didapat dari hukum ohm.

…………………………(4.5)

meliputi resistansi dari pembangkit isyaratnya. Seluruh arus yang

masukan I mengalir melalui , karena jumlah yang dialirkan oleh terminal

masukan (-) dapat diabaikan. Yang perlu diperhatikan disini adalah arus yang

melalui ditentukan oleh dan bukan oleh , atau penguat

operasional-nya .Tegangan yang melaui adalah:

…………………(4.6)

Tegangan keluaran sama dengan tegangan yang melalui , dan akan

menjadi negatif apabila menjadi positif diperoleh persamaan untuk :

…………………………..(4.7)

Akhirnya dengan melihat ulang definisi penguatan (gain) untai/ikal tertutup

dari penguat tersebut adalah , persamaan (4.7) dapat dituliskan kembali

menjadi persamaan (4.8) sebagai berikut :

……………………………...(4.8)

dengan satu catatan, bahwa tanda minus menunjukkan polaritas terbalik

terhadap dengan alasan inilah penguat ini dikatakan penguat pembalik.

2. Arus Beban dan Arus Keluaran

Arus beban IL yang mengalir melaui hanya ditentukan oleh dan

Page 16: Laporan P3 K20

saja . Persamaan arus beban dan arus keluarannya adalah:

Io = I + IL………………………………(4.9)

Sedangkan penguat tak membalik atau non-inverting amplifier merupakan

sebuah penguat yang tidak dapat membalik, yaitu tegangan keluaran Vo

mempunyai polaritas yang sama dengan tegangan masukan Ei, tahanan masukan

dari penguat pembalik adalah Ri, tahanan masukan dari penguat tak-pembalik luar

biasa besarnya, biasanya melebihi 100 Mohm.

Gambar 4.9 Non inverting Amplifier

Pada noninverting amplifier, berlaku kebalikan dengan kondisi pada

inverting amplifier, yaitu apabila tegangan masukan lebih rendah dari tegangan

acuan Vref, tegangan keluaran akan mendekati tegangan catu negatif. Sebaliknya

bila tegangan masukan lebih tinggi dari tegangan acuan Vref, tegangan keluaran

akan mendekati tegangan catu positif.

Input

Vreff

Page 17: Laporan P3 K20

V

EE

Gambar 4.10 Koinsidensi input-outputKarena tegangan Ed antara masukan (+) dan (-) dari Op-Amp adalah nol

kedua masukan tersebut berada pada potensial X yang sama. Karenanya Ei

tampak melintasi Ri, Ei menyebabkan arus I mengalir seperti diberikan oleh I =

Ei/Ri. Arah I tergantung pada polaritas Ei.

Karenanya I mengalir melalui Rf dan penurunan tegangan melintasi Rf

dinyatakan oleh Vri dan dinyatakan sebagai:

VRf = I (Rf) ................................................(4.10)

Tegangan Vo didapat dengan menambah penurunan tegangan yang melintas

Ri yaitu Ei ketegangan yang melintasi Rf yaitu VRf :

Vo = ( 1 + Rf/Ri) Vi...................................(4.11)

Sehingga gain tegangannya adalah :

A = 1 + Rf/Ri............................................(4.12)

Persamaan tersebut memperlihatkan bahwa gain tegangan dari sebuah

penguat tak pembalik menyamai besarnya gain sebuah penguat pembalik (Rf/Ri)

Operational Amplifier atau penguat operasional memiliki setidaknya dua ragam

kerja dasar, yaitu ragam kerja saturasi dan ragam kerja linear. Ragam kerja

saturasi atau ragam kerja umpan balik positif, hanya mengenal dua keadaan, yaitu

tegangan keluaran mendekati catu positif dan tegangan keluaran mendekati catu

negatif. Ekpresi matematis yang sesuai untuk keadaan ini adalah:

Ragam kerja saturasi merupakan dasar dari pembanding tegangan atau

komparator. Pada aplikasi ini penguat operasional digunakan untuk

membandingkan tegangan yang berubah terhadap waktu dengan suatu level

tegangan yang besarnya tetap sebagai acuan (refference), sehingga tegangan

keluaran hanya akan berubah jika tegangan input telah melewati level refference.

Output

Vcc

Page 18: Laporan P3 K20

Oleh karena itu pada ragam kerja saturasi penguat operasional dapat digunakan

sebagai elemen pengingat (multivibrator). Salah satu rangkaian yang termasuk

dalam ragam kerja saturasi adalah pembanding dengan hysterisis (Schmitt

trigger).

(a) (b)Gambar 4.11 (a)Komparator dengan hysterisis; (b)Koinsidensi input outputnya

Rangkaian pembanding dengan hysterisis diatas mengambil ground sebagai

titik acuan (reference). Besarnya hysterisis dapat bergantung pada nilai R1 dan

R2, secara matematis untuk rangkaian gambar 4.6 berlaku persamaan – persamaan

berikut :

VHYST = VUT - VLT ..........................................(4.13)

Sedangkan pada ragam kerja linier tidak hanya dikenal dua keadaan

keluaran sebagaimana ragam kerja saturasi, tegangan keluaran dapat bernilai

berapapun dalam range VCC dan VEE. Konfigurasi ragam kerja linier meliputi

penguat proporsional, derivator dan integrator.

4.2.4.2 Penguat Differensial

Page 19: Laporan P3 K20

Rangkaian dasar penguat differensial ditunjukkan pada gambar. Hubungan

antara input dan output ditunjukkan pada persamaan berikut ini.

Gambar 4.12 Penguat differensial

4.2.4.3 Loop Amplifier

Penguat ini digunakan untuk memberikan penguatan dalam proses kontrol.

Penguatan dapat dirubah dengan memutar P6. Namun penguat ini hanya

berfungsi untuk mode proporsional kontrol.

4.2.4.4 Summing Amplifier

Untuk menjumlah dua atau lebih masukan makan menggunakan summing

amplifier, dengan membalik beberapa masukan, masing-masing mempunyai bati

tegangan satu. Karena semua tahanannya berharga sama, makin setiap masukan

mempunyai bati tegangan satu.

Page 20: Laporan P3 K20

Gambar 4.13 Impedansi masuk dan rangkaian keluar Thevenin

Dari gambar, VTH = A (V1 – V2)

Op-amp yang lazinm mempunyai rin yang tinggi, A yang tinggi, dan rout yang

rendah. Untuk op-amp yang ideal maka impedansi masuk tak terhingga, bati

tegangan tak terhingga, dan impedansi keluar nol.

4.2.5 PWM (Pulse Width Modulation)

PWM (Pulsa width modulation) adalah suatu cara modulasi, dimana

gelombang pembawa yang digunakan terdiri dari pulsa-pulsa segi empat yang

berulang-ulang, dengan lebar pulsa yang dapat diubah-ubah oleh amplitudo dari

sinyal informasi.

PWM dipergunakan dalam pengaturan tegangan, tegangan beban diatur

dengan cara mengatur duty cycle dari gelombang kotak yang disupplykan ke basis

dari switching transistor.

Untuk mengukur duty cycle dapat digunakan rumus :

………………………..(4.14)

Adapun prinsip dasar PWM ditunjukkan pada Gambar 4.10 di bawah ini.

Gambar 4.14 Blok Sederhana PWM

Masukan pada PWM adalah sinyal-sinyal segi empat, dimana hal ini dapat

diamati dari tampilan osiloskop sebagai berikut:

Siklus total

Siklus Aktif

Page 21: Laporan P3 K20

Gambar 4.15 Duty Cycle

Gambar 4.16 Output PWM

PWM diperoleh dengan mengumpankan sinyal segitiga e(t) dan sinyal

modulasi em(t) ke sebuah komparator. Lebar pulsa dari sinyal menggambarkan

informasi atau besar sinyal dari modulasi.

Bila sinyal segitiga e(t) lebih besar dari em(t) maka keluaran komparator

e0=Vo yang merupakan nilai dari saturasi komparator. Bula e(t) kurang dari em(t)

maka keluarannya e0=-Vo.

Bila em(t)=0, lebar pulsa sama dengan siklus kerja yang berubah secara

linear terhadap em(t) dan besarnya akan mencapai 50%. Besarnya siklus kerja

dirumuskan :

.........................…………………(4.15)

4.2.6 Transistor Sebagai Saklar

Suatu relay dalam rangkaian on-off kontroler biasanya tidak dikendalikan

langsung melalui rangkaian on-off kontroler melainkan melalui suatu rangkaian

transistor seperti pada Gambar. Fungsi dari relay adalah untuk menghubungkan

dua rangkaian yang tidak terhubung langsung.

Page 22: Laporan P3 K20

Gambar 4.17 Diagram Pengatur Suhu

Pada rangkaian tersebut digunakan transistor NPN. Rangkaian on-off

kontroler disambungkan pada basis transistor melaui sebuah resistor dan dioda.

Bila rangkaian on-off kontroler level tegangannya tinggi maka akan

menggerakkan basis transistor. Akibatnya antara kolektor dan emiter seakan-akan

terhubung singkat sehingga tegangan pada kolektor menuju ground. Relay yang

dihubung seri dengan emiter tegangan Vcc +12V dan kolektor akan ikut teraliri

arus sehingga relay on mengakibatkan PWM driver tidak dicatu oleh sumber AC.

Bila rangkaian on-off kontroler level tegangannya menuju ground maka

basis dioda tidak ditrigger. Akibatnya antara kolektor dengan emiter seakan-akan

terhubung buka, sehingga tegangan pada kolektor tidak dapat menuju ground.

Dengan kata lain tak ada arus yang lewat koil relay sehingga relay off dan PWM

driver tercatu daya dari sumber AC.

Bisa juga disebut Driver Transistor yaitu penggunaan transistor sebagai

saklar, yang ketika basis transistor ini dibias, maka akan mengalir arus dari

kolektor ke emitor, dan arus ini digunakan untuk memicu relai yang

mengubungkan tegangan jala-jala dengan PWM yang mensuplay mesin pemanas.

Rangkaian driver transistor ini adalah sebagai berikut :

Gambar 4.18 Rangkaian driver transistor

Ketika ada arus yang masuk dari kontroller ke basis transistor, maka

transistor akan On, sehingga akan memicu relay, yang tadinya berada pada

Page 23: Laporan P3 K20

normally close setelah terpicu menjadi open. Ketika tidak ada arus memicu

transistor ini (arus basis = 0),maka transistor akan Off sehingga posisi rellay akan

kembali pada posisi NC.

Berikut plant pengatur suhu :

Gambar 4.19 Plant sensor suhu

Percobaan ini memakai blok pengatur suhu yang bagian-bagiannya meliputi:

1. Oven atau pemanas

Terdiri dari lempengan alumunium yang sudah dilengkapi dengan elemen

pemanas dan sensor. Elemen pemanas ( 25W/12 ohm) ini dapat disuplai oleh

rangkaian driver power supply dengan mode AC maupun DC.

2. Sensor

Sensor adalah suatu alat yang berfungsi merubah suatu besaran fisis (suhu,

tekanan, dan lain-lain) menjadi besaran listrik (tegangan, arus, dan hambatan).

Sensor pada plant yang digunakan, terdiri dari JTC thermocouple, NTC (Negative

Temperature Coefficient), dan Platinum Pt 100. JTC adalah sensor yang

Page 24: Laporan P3 K20

mengubah suatu besaran suhu menjadi tegangan. JTC dibuat dari dua sambungan

bahan metallic yang yang berlainan jenis. Sambungan tersebut dikomposisikan

dengan campuran kimia tertentu sehingga menghasilkan beda potensial antar

sambungan yang berubah terhadap suhu. NTC adalah sensor yang dibuat dari

campuran bahan semikonduktor yang dapat menghasilkan hambatan intrinsik

yang berubah terhadap temperatur. Sensor suhu jenis NTC merubah besaran suhu

menjadi hambatan. Platinum Pt 100 adalah sensor ini dibuat dari bahan platinum

dengan resistansi nominal 100Ω pada suhu 00 C. Sensor jenis ini merubah besaran

suhu menjadi hambatan.

3. Pengkondisian Sinyal

Blok ini berfungsi menguatkan sinyal dari sensor yang masih lemah. Disamping

itu, pengkondisi sinyal juga berfungsi merubah besaran keluaran sensor menjadi

tegangan dengan ratio 10 mV/0C.

4. Generator Frekuensi

Generator frekuensi berfungsi memberikan referensi suhu yang diinginkan dengan

memutar potensiometer. Generator frekuensi menghasilkan tegangan yang

berubah yang berubah terhadap perubahan hambatan potensiometer. Untuk

merubah menjadi suhu, digunakan ratio 10 mV/0C.

5. Summing Node

Blok ini berfungsi membandingkan suhu yang diinginkan dengan suhu pemanas

atau dalam hal ini tegangan ini tegangan referensi dengan tegngan output

pengkondisi sinyal yang merupakan hasil pengukuran sensor.

6. Loop Amplifier.

Blok ini berfungsi memberikan penguatan dalam proses kontrol. Penguatan ini

dapat dirubah dengan memutar potensiometer. Penguatan ini hanya berfungsi

untuk mode proporsional kontrol.

7. Burst Controller

Blok ini berfungsi mengatur disipasi daya yang akan disalurkan ke pemanas. Pada

plant ini digunakan PWM (Pulse Width Modullation).

8. DC dan AC Power driver

Blok ini berfungsi mengalirkan arus DC/AC dari sumber tegangan ke elemen

pemanas.

Page 25: Laporan P3 K20

4.3 Pengujian alat

4.3.1 Alat dan bahan

1. Modul praktikum B3510-A

2. Power supply.

3. Jumper

4. Multimeter digital

5. Stopwatch

4.3.2 Cara kerja

Gambar 4.20 Rangkaian Percobaan Kontrol Suhu

Sebelum memulai praktikum, pastikan dulu power supply sudah pada range

yang dibutuhkan, kalibrasi terlebih dahulu alat ukur yang akan digunakan, serta

pastikan kondisi jumper terhubung dengan baik. Setelah selesai menyusun

rangkaian, sebelum menghubungkan dengan catu daya, cek kembali dan minta

asisten untuk memastikan bahwa rangkaian telah benar.

Page 26: Laporan P3 K20

4.3.2.1 Karakteristik Sensor

1. Menyusun rangkaian sesuai petunjuk.

2. Mengatur potensiometer P5 pada posisi minimal, ukur tegangan

referensinya. Catat tegangan keluaran pada sensor JTC dengan

menghubungkan terminal out1 dengan multimeter.

3. Memutar P5 dengan kenaikan konstan (ukur V reff dengan multimeter),

lalu catat tegangan sensor. Lakukan langkah ini sebanyak 5 kali.

4.Melakukan langkah 2 sampai dengan langkah 3 untuk kondisi P5 turun

secara konstan.

5.Melakukan langkah 2 sampai dengan langkah 4 untuk NTC dan Pt 100.

4.3.2.2 On-Off Kontroler

1. Menyusun rangkaian seperti gambar 4.17.

2. Memposisikan SW1 pada mode on-off.

3. Memutar P5 hingga LED menyala dan mencatat tegangan

referensinya.

4. Menunggu hingga LED padam, kemudian mencatat nilai

tegangan transisi ON→OFF.

5. Mencatat tegangan OFF→ON saat LED menyala kembali.

6. Mengulangi langkah 1 s/d 6 untuk tegangan referensi yang

berbeda.

4.3.2.3 Proporsional Kontroler

1. Menyusun rangkaian seperti gambar 4.17.

2. Memastikan SW1 pada posisi proporsional dan

gain P6 pada posisi minimal.

3. Mengukur dan mencatat tegangan referensi yang

ditentukan (sampai lampu indikator menyala).

4. Matikan Powersupply

5. Siapkan Stopwatch untuk menghitung waktu.

6. Nyalakan Powersupply bersamaan dengan

menyalakan waktu Stopwatch

Page 27: Laporan P3 K20

7. Tunggu hingga lampu indikator mati, bersamaan

dengan memberhentikan waktu hitungan pada Stopwatch

8. Mengukur dan mencatat tegangan keluaran

pengkondisi sinyal dengan menghubungkan terminal out pada

pengkondisi sinyal dengan multimeter.

9. Melakukan langkah 3 sampai dengan langkah 8

untuk gain pada posisi medium dan maksimal.

4.3.2 Data Percobaan

a. Karakteristik Sensor

Tabel 4.1 Karakteristik Sensor pada saat Kenaikan Konstan

V ref

(V)

V Sensor (V)

J-TC NTC Pt 100

1.64 3.85 3.39 3.28

2.25 3.81 3.35 3.25

3.16 3.8 3.36 3.28

Tabel 4.2 Karakteristik Sensor pada saat Penurunan Konstan

V ref

(V)

V Sensor (V)

J-TC NTC Pt 100

2.5 3.87 3.47 3.4

2.18 3.92 2.5 3.41

1.97 3.93 3.49 3.39

b. On-Off Kontroler

Tabel 4.3 On-Off Kontroler

Vref (V)

4.25

4.25 4.25

4.25 4.25

4.25 4.25

4.5 4.8 4.2

Transisi ON OFF Transisi OFF ON

Page 28: Laporan P3 K20

4.8 4.2

4.8 4.2

c. Plant Proporsional Kontroler

Tabel 4.4 Plant Proporsional Kontroler

V ref (V) Gain (P6) Voutput (V) Waktu (s) V overshoot

5,3

Maksimal 4,2 1 1,1

Medium 4,9 65 0,4

Minimal 5,3 8 6

Page 29: Laporan P3 K20

4.4 Analisa dan pembahasan

4.4.1 Karakteristik sensor

4.4.1.1 Sensor J-TC

Dari data percobaan tentang sensor J-TC didapatkan selisih antara

tegangan referensi dengan tegangan sensor.Tabel 4.5 Selisih antara tegangan referensi dengan tegangan sensor pada J-TC untuk

tegangan maju

V referensi (V) V Sensor (V) Selisih (V)

1.64 3.85 2,21

2.25 3.81 1,56

3.16 3.8 0,64

Rata-rata selisih dari sensor J-TC sebesar :

Adapun grafik perbandingan antara tegangan keluaran dan tegangan referansi sensor JTC untuk tegangan maju :

Gambar 4.21 Grafik perbandingan tegangan sensor J-TC dan tegangan reference untuk tegangan

mundur

Page 30: Laporan P3 K20

Gambar 4.22 Grafik hubungan selisih tegangan Sensor J-TC dengan tegangan reference untuk

tegangan maju

Tabel 4.6 Selisih antara tegangan referensi dengan tegangan sensor pada J-TC untuk

tegangan mundur

V referensi (V) V sensor (V) Selisih (V)

2,5 3,87 1,372,18 3,92 1,741,97 3,93 1,96

Rata-rata selisih dari sensor J-TC sebesar :

Adapun grafik perbandingan antara tegangan keluaran dan tegangan

referansi sensor JTC untuk tegangan mundur :

Gambar 4.23 Grafik perbandingan tegangan sensor J-TC dan tegangan reference untuk tegangan

Page 31: Laporan P3 K20

Mundur

Gambar 4.24 Grafik hubungan selisih tegangan Sensor J-TC dengan tegangan reference untuk

tegangan mundur

4.4.1.2 Sensor NTCTabel 4.7 Selisih antara tegangan referensi dengan tegangan sensor NTC untuk

tegangan maju

V referensi (V) V Sensor (V) Selisih (V)

1,64 3,39 1,75

2,25 3,35 1,1

3,16 3,36 0,2

Rata-rata selisih dari sensor NTC sebesar :

Page 32: Laporan P3 K20

Gambar 4.25 Grafik perbandingan tegangan sensor NTC dan tegangan reference untuk

tegangan maju

Gambar 4.26 Grafik hubungan selisih tegangan Sensor NTC dengan tegangan reference

untuk tegangan maju

Tabel 4.8 Selisih antara tegangan referensi dengan tegangan sensor NTC untuk

tegangan mundur

V referensi (V) V Sensor (V) Selisih (V)

2,5 3,47 0,97

2,18 2,5 0,32

1,97 3,49 1,52

Rata-rata selisih dari sensor NTC sebesar :

Page 33: Laporan P3 K20

Gambar 4.27 Grafik perbandingan tegangan sensor NTC dan tegangan reference untuk tegangan

mundur

Gambar 4.28 Grafik hubungan selisih tegangan Sensor NTC dengan tegangan reference untuk

tegangan mundur

4.4.1.3 Sensor Pt 100Tabel 4.9 Selisih antara tegangan referensi dengan tegangan sensor Pt untuk

tegangan maju

V referensi (V) V Sensor (V) Selisih (V)

1,64 3,28 1,642,25 3,25 13,16 3,28 0,12

Rata-rata selisih dari sensor Pt 100 sebesar :

Page 34: Laporan P3 K20

Gambar 4.29 Grafik perbandingan tegangan sensor Pt-100 dan tegangan reference untuk

tegangan maju

Gambar 4.30 Grafik hubungan selisih tegangan Sensor Pt-100 dengan tegangan

reference untuk tegangan maju

Tabel 4.10 Selisih antara tegangan referensi dengan tegangan sensor Pt untuk

tegangan mundur

V referensi (V) V Sensor (V) Selisih (V)

2,5 3,4 0,92,18 3,41 1,231,97 3,39 1,42

Page 35: Laporan P3 K20

Rata-rata selisih dari sensor Pt 100 sebesar :

Gambar 4.31 Grafik perbandingan tegangan sensor Pt-100 dan tegangan reference untuk tegangan

mundur

Gambar 4.32 Grafik hubungan selisih tegangan Sensor Pt-100 dengan tegangan reference untuk

tegangan mundur

Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa selisih nilai V referensi dan

V sensor paling besar dimiliki oleh sensor J-TC, hal ini karena sensor J-TC

memiliki V keluaran yang paling besar dibanding sensor NTC dan PT-100.

Dari analisis di atas diketahui pula bahwa nilai selisih V referensi dan V

sensor untuk V referensi pada tegangan mundur lebih besar dari nilai selisih V

referensi dan V sensor pada tegangan naik. Namun, nilai selisih V referensi dan V

sensor pada NTC untuk tegangan mundur lebih kecil daripada tegangan maju.

Penyimpangan yang terjadi antara tegangan output sensor dengan

tegangan referensi merupakan suatu toleransi yang pada umumnya dimiliki oleh

setiap komponen elektronik. Toleransi ini akan berbeda-beda pada setiap sensor

Page 36: Laporan P3 K20

sesuai dengan karakteristik yang dimiliki. Berikut adalah grafik karakteristik

sensor-sensor yang digunakan dalam percobaan :

Gambar 4.33 Perbandingan grafik tegangan sensor J-TC, NTC dan Pt-100 dengan V Referensi

maju

Gambar 4.34 Perbandingan grafik tegangan sensor J-TC, NTC dan Pt-100 dengan V Referensi

Mundur

Dari analisis diatas dapat diketahui bahwa sensor NTC memiliki kinerja dan

ketepatan yang lebih baik diantara sensor yang lain saat tegangan referensi maju.

Selain itu, sensor NTC juga memiliki kinerja dan ketepatan yang lebih baik

diantara sensor yang lain saat tegangan referensi mundur.

4.4.2. On-Off Kontroler

Page 37: Laporan P3 K20

Percobaan ini dilakukan dengan mengamati dan mengukur tegangan pada

saat kontroler mengalami masa peralihan tanggapan atau transisi dari on→off dan

dari off→on. Atau dengan kata lain percobaan ini digunakan untuk mengamati

penyimpangan tegangan output dari tegangan referensi.

Secara teori, on-off kontroler mengubah tanggapan suatu sistem tepat pada

saat tegangan output sama dengan tegangan referensi. Misalnya saja dalam

percobaan ini, pertama kontroler dalam posisi on untuk menyalakan pemanas.

Kemudian jika suhu/tegangan pemanas telah sama dengan tegangan referensi,

maka kontroler akan mengubah tanggapan menjadi off sehingga pemanas akan

mati. Saat tegangan mulai turun dan kemudian tepat sama dengan tegangan

referensi, maka kontroler akan mengubah lagi menjadi posisi on dan seterusnya.

Proses tersebut dapat digambarkan dengan tabel dan grafik berikut.

Tabel 4.11 Percobaan On-Off kontroller

Vref (V)

4,25

4,25 4,25

4,25 4,25

4,25 4,25

4,5

4,8 4,2

4,8 4,2

4,8 4,2

Rata – rata nilai tegangan transisi On – Off untuk V Ref 4,25 V :

V

Rata – rata nilai tegangan transisi On-Off untuk V Ref 4,5V :

V

Transisi OFF ONTransisi ON OFF

Page 38: Laporan P3 K20

Vref

Gambar 4.35 Grafik On-Off Kontroler referensi 4,24 V Pertama

Vref

Gambar 4.36 Grafik On-Off Kontroler referensi 4,25 V Kedua

Vref

Gambar 4.37 Grafik On-Off Kontroler referensi 4,25 V Ketiga

4,25

4,25

4,25

Page 39: Laporan P3 K20

Gambar 4.38 Grafik On-Off Kontroler referensi 4,5 V Pertama

Gambar 4.39 Grafik On-Off Kontroler referensi 4,5 V Kedua

Gambar 4.40 Grafik On-Off Kontroler referensi 4,5 V Ketiga

Dari tabel 4.12 dapat dilihat bahwa untuk tegangan referensi 4,24 V

pertama, mula-mula kontroller dalam posisi on untuk menyalakan pemanas

hingga tegangan referensi yang ditentukan. Kemudian pada saat tegangan

4,8

4,2

4,8

4,2

V Ref (V)

4,8

4,2

V Ref (V)

Page 40: Laporan P3 K20

mencapai nilai rata-rata 4,62 V, controller akan mati (Off) karena telah melampaui

batas tegangan referensi sehingga suhunya akan turun. Pada saat suhu/tegangan

pemanas telah jauh di bawah tegangan referensi nilai rata-rata tegangan 3,74 V

maka kontroller akan kembali menyala (On), begitu seterusnya sehingga diperoleh

grafik seperti gambar 4.35. Dari gambar 4.35 juga didapatkan celah antara

tegangan referensi adalah 0,88 V.

Dan pada tegangan referensi 4,24 V kedua, mula-mula kontroller dalam

posisi on untuk menyalakan pemanas hingga tegangan referensi yang ditentukan.

Kemudian pada saat tegangan mencapai nilai rata-rata 4,8 V, controller akan mati

(Off) karena telah melampaui batas tegangan referensi sehingga suhunya akan

turun. Pada saat suhu/tegangan pemanas telah jauh di bawah tegangan referensi

nilai rata-rata tegangan 3,97 V maka kontroller akan kembali menyala (On),

begitu seterusnya sehingga diperoleh grafik seperti gambar 4.35. Dari gambar

4.35 juga didapatkan celah antara tegangan referensi adalah 0,83 V.

Dan pada tegangan referensi 4,24 V ketiga, mula-mula kontroller dalam

posisi on untuk menyalakan pemanas hingga tegangan referensi yang ditentukan.

Kemudian pada saat tegangan mencapai nilai rata-rata 4,58 V, controller akan

mati (Off) karena telah melampaui batas tegangan referensi sehingga suhunya

akan turun. Pada saat suhu/tegangan pemanas telah jauh di bawah tegangan

referensi nilai rata-rata tegangan 3,95 V maka kontroller akan kembali menyala

(On), begitu seterusnya sehingga diperoleh grafik seperti gambar 4.36. Dari

gambar 4.36 juga didapatkan celah antara tegangan referensi adalah 0,63 V.

Sedangkan untuk tegangan referensi 5,03 V pertama, mula-mula kontroller

dalam posisi on untuk menyalakan pemanas hingga tegangan referensi yang

ditentukan. Kemudian pada saat tegangan mencapai nilai rata-rata 5,4 V,

controller akan mati (Off) karena telah melampaui batas tegangan referensi

sehingga suhunya akan turun. Pada saat suhu/tegangan pemanas telah jauh di

bawah tegangan referensi nilai rata-rata tegangan 4,74 V maka kontroller akan

kembali menyala (On), begitu seterusnya sehingga diperoleh grafik seperti

gambar 4.37. Dari gambar 4.37 juga didapatkan celah antara tegangan referensi

adalah 0,66 V.

Page 41: Laporan P3 K20

Kemudian ketika tegangan referensi 5,03 V kedua, mula-mula kontroller

dalam posisi on untuk menyalakan pemanas hingga tegangan referensi yang

ditentukan. Kemudian pada saat tegangan mencapai nilai rata-rata 5,25 V,

controller akan mati (Off) karena telah melampaui batas tegangan referensi

sehingga suhunya akan turun. Pada saat suhu/tegangan pemanas telah jauh di

bawah tegangan referensi nilai rata-rata tegangan 4,6 V maka kontroller akan

kembali menyala (On), begitu seterusnya sehingga diperoleh grafik seperti

gambar 4.38.

Dan ketika tegangan referensi 5,03 V ketiga, mula-mula kontroller dalam

posisi on untuk menyalakan pemanas hingga tegangan referensi yang ditentukan.

Kemudian pada saat tegangan mencapai nilai rata-rata 5,23 V, controller akan

mati (Off) karena telah melampaui batas tegangan referensi sehingga suhunya

akan turun. Pada saat suhu/tegangan pemanas telah jauh di bawah tegangan

referensi nilai rata-rata tegangan 4,41 V maka kontroller akan kembali menyala

(On), begitu seterusnya sehingga diperoleh grafik seperti gambar 4.39.

Dari analisis di atas, dapat diketahui bahwa perbedaan celah tegangan

referensi untuk keduanya tidak berbeda jauh sehingga sensor dapat dikatakan

dalam keadaan baik.

Pada on-off kontroller, grafik keluaran yang ditunjukkan pada range antara

tegangan minimum dan tegangan maksimum semakin lama semakin mendekati

tegangan referensinya. Namun grafik keluaran tidak dapat stabil pada tegangan

referensinya.

Dan apabila dibandingkan dengan, proporsional kontroler, on-off kontroler

relatif lebih lambat mencapai tegangan referensi sehingga waktu transient menjadi

lebih lama.

Page 42: Laporan P3 K20

5 min 18 dtk

Vref

t0.250

0.4080.400

V

4.4.3. Proporsional Kontroler

Pada dasarmya, kontroler proporsional merupakan penguat dengan

penguatan yang dapat diatur. Jadi percobaan ini dilakukan dengan memberikan

variasi penguatan pada sistem untuk melihat pengaruhnya pada sistem kontrol

suhu. Berikut adalah tabel dan grafik hasil percobaan.

Tabel 4. 12 Data Percobaan Proporsional Kontroler

V ref (V) Gain (P6) Voutput (V) Waktu (s) V overshoot

5,3

Minimum 6,2 1 1,1

Medium 5,9 65 0,4

Maksimum 5,6 8 6

Gambar 4.41 Grafik Proporsional Kontroler Gain Maksimum pada V Ref 5,3 V

Gambar 4. 42 Grafik Proporsional Kontroler Gain Medium pada V Ref 5,3 V

5,3

8 detik

65 dtk

Vref

t

5,3

V

5,6

5,9

Page 43: Laporan P3 K20

Gambar 4. 43 Grafik Proporsional Kontroler Gain Minimum pada V Ref 5,3 V

Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa hasil keluaran dari

proporsional kontroler sebanding dengan gain yang diberikan. Semakin besar

gain, semakin cepat pula kerja dari kontroler. Waktu yang dibutuhkan untuk

membuat LED menyala lebih cepat. Pada penguatan maksimum, diperoleh waktu

yang paling singkat dibandingkan dengan penguatan medium, apalagi penguatan

minimum.

Dan apabila dibandingkan dengan on-off kontroler, proporsional kontroler

relatif lebih cepat mencapai tegangan referensi sehingga waktu transient menjadi

lebih cepat. Dari percobaan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam penggunaan

proporsional kontroler, semakin besar tegangan referensi yang diinginkan

semakin besar pula penguatan yang digunakan.

1 dtk

Vref

t

5,3

V

6,2

Page 44: Laporan P3 K20

4.5 Penutup

4.5.1 Kesimpulan

1. Dari ketiga sensor suhu yang dicobakan, sensor J-TC memberikan

pembacaan suhu yang lebih sensitif dibanding dua sensor lainnya (NTC dan

Pt100) yang dicobakan.

2. Pada on-off kontroller, tegangan keluaran yang ditunjukkan pada range

antara tegangan minimum dan tegangan maksimum semakin lama semakin

mendekati tegangan referensinya. Namun tegangan keluaran tidak dapat

stabil pada tegangan referensinya. Artinya, pada kontrol on-off hanya bisa

menstabilkan suhu disekitar suhu yang diharapkan, tidak bisa tepat pada

suhu yang dimaksud.

3. Proporsional kontroler relatif lebih cepat mencapai tegangan referensi

sehingga waktu transient menjadi lebih cepat.

4. Pengaruh gain dalam pengontrolan suhu dengan kontrol proporsional

adalah mempercepat pencapaian referensi, artinya respon sistem menjadi

sangat reaktif, sehingga suhu yang diharapkan dapat dicapai dengan cepat.

5. Perbandingan antara kontrol suhu dengan on-off kontroler dan

proporsional kontroler terletak pada pencapaian kestabilan. Pada on-off

kontroler keluaran tidak bisa tepat sama dengan referensi, namun sistem

yang digunakan jauh lebih sederhana. Kontroler proporsional mampu

menghasilkan output sama seperti referensi yang diharapkan, bahkan lebih

cepat dengan adanya penguatan. Dalam kontroler proporsional sinyal

keluaran sebanding dengan sinyal masukan, dengan konstanta

kesebandingan Kp. Nilai keluaran selalu dibandingkan dengan masukan

sehingga error menjadi nol dan referensi sama dengan keluaran.

4.5.2 Saran

1. Untuk memperoleh karakteristik on-off yang lebih baik dapat digunakan

rangkaian integrator pada rangkain histerisis, akan tetapi harus difikirkan

kembali cara untuk penalaan range pengaturan.

2. Sebaiknya kontroler on-off hanya digunakan pada plant-plant yang bersifat

lamban dan tidak membutuhkan presisi tinggi.

Page 45: Laporan P3 K20

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Petunjuk Praktikum Dasar Sistem Kontrol, Teknik Elektro

Universitas Diponegoro, Semarang. 1999.

2. Ogata,Katsuhiko. Teknik Kontrol Automatik .Jilid 1. Jakarta :

Erlangga.1994

3. Milman,Jacob.Integrated Electronic.Jakarta : Erlangga.1993