LAPORAN PENDAHULUAN“PNEUMONIA”
disusun untuk memenuhi tugas profesi ners
Departemen Pediatric di Ruang HCU RS. Dr. Syaiful Anwar
oleh:
Amildya Dwi Arisanti
NIM. 140070300011155
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGIPROGRAM STUDI PROFESI NERS
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG2015
A. DEFINISI- Pneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang mengakibatkan
konsolidasi bagian paru yang terkena (Morgan, 2009).
- Pneumonia adalah proses peradangan dimana konsolidasi terjadi akibat
pengisian rongga alveoli oleh eksudat. Pertukaran gas tidak dapat ber-
langsung pada daerah yang mengalami konsolidasi dan darah dialirkan
ke sekitar alveoli yang tidak berfungsi (Somantri, 2007).
- Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru
yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit).
Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak ter-
masuk. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroor-
ganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan
lain-lain) disebut pneumonitis (PDPI, 2003).
B. KLASIFIKASI1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis:
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia).
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acquired pneumonia).
c. Pneumonia aspirasi.
d. Pneumonia pada penderita immunocompromised.
(Jeremy, dkk, 2007, Hal 76-78)
2. Berdasarkan bakteri penyebab:
a. Pneumonia Bakteri atau Pneumonia Tipikal.
Pneumonia bakterial sering diistilahkan dengan pneumonia akibat
kuman. Bakteri Pneumokokus adalah kuman yang paling umum
sebagai penyebab pneumonia. Beberapa bakteri lain mempunyai
tendensi menyerang seseorang yang peka, misalnya klebsiella pada
penderita alkoholik, staphyllococcus pada penderita pasca infeksi
influenza. Pneumonia Atipikal. Disebabkan mycoplasma, legionella,
dan chalamydia (Soeparman, dkk, 1998, Hal 697). Pada saat
pertahanan tubuh menurun, bakteri pneumonia akan dengan cepat
berkembang biak dan merusak paru. Jika terjadi infeksi, sebagian
jaringan dari lobus paru menjadi terisi cairan. Gejalanya Biasanya
didahului dengan infeksi saluran napas yang ringan satu minggu
sebelumnya (Soeparman, dkk, 1998, Hal 697).
b. Pneumonia Akibat virus.
Penyebab utama pneumonia virus adalah virus influenza.Gejala awal
dari pneumonia akibat virus sama seperti gejala influenza, yaitu
demam, batuk kering, sakit kepala, nyeri otot, dan kelemahan. Dalam
12 hingga 36 jam penderita menjadi sesak, batuk lebih parah, dan
berlendir sedikit. Terdapat panas tinggi disertai membirunya bibir.
Tipe pneumonia ini bisa ditumpangi dengan infeksi pneumonia aki-
bat bakteri. Hal itu yang disebut dengan superinfeksi bakterial. Salah
satu tanda terjadi superinfeksi bakterial adalah keluarnya lendir yang
kental dan berwarna hijau atau merah tua (S. A. Price, 2005, Hal
804-814).
3. Berdasarkan anatomi paru yang terkena
a. Pneumonia lobaris
Radang paru-paru yang mengenai sebagian besar atau seluruh lobus
paru-paru.
b. Pneumonia lobularis
Radang pada paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus
paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate.
c. Pneumonia interstitialis (bronkhiolitis)
Radang pada dinding alveoli (interstitium) dan peribronkhial dan jari-
ngan interlobular.
d. Pneumonia Bronkopneumoni
Pneumonia yang tidandai bercak infeksi pada berbagai tempat di
paru. Bisa kanan maupun kiri. Pada penderita pneumonia, alveoli
paru penuh dengan nanah dan cairan yang lain. sehingga fungsi paru
untuk menyerap oksigen dan mengeluarkan CO2 menjadi terganggu.
C. ETIOLOGI1. Bakteri
Agen penyebab pneumonia bisa dari organisme gram positif atau gram
negatif seperti: Steptococcus pneumoniae (pneumokokus), Streptococcus
piogenes, Staphylococcus aureus, Klebsiela pneumoniae, Legionella sp.
Sebenarnya bakteri penyebab pneumonia yang paling umum adalah
Streptococcus pneumoniae sudah ada di kerongkongan manusia sehat.
Begitu pertahanan tubuh menurun, bakteri segera memperbanyak diri dan
menyebabkan kerusakan. Balita yang terinfeksi pneumonia akan panas
tinggi, berkeringat, napas terengah-engah dan denyut jantungnya
meningkat cepat (Misnadiarly, 2008).
2. Virus
Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus.
Influenzae, Parainfluenzae, Respiratory, Syncytial adenovirus, chicken-
pox (cacar air), Rhinovirus, Sitomegalovirus, herpes simpleks, Virus insial
pernapasan, hanta virus dan lain-lain. Virus yang tersering menyebabkan
pneumonia adalah Respiratory Syncial Virus (RSV). Meskipun virus ini
kebanyakan menyerang saluran pernapasan bagian atas, pada balita
gangguan ini bisa memicu pneumonia.Tetapi pada umumnya sebagian
besar pneumonia jenis ini tidak berat dan sembuh dalam waktu singkat.
Namun bila infeksi terjadi bersamaan dengan virus influenza, gangguan
bisa berat dan kadang menyebabkan kematian (Misnadiarly, 2008).
3. Mikoplasma
Mikoplasma adalah agen terkecil di alam bebas yang menyebabkan
penyakit pada manusia. Mikoplasma tidak bisa diklasifikasikan sebagai
virus maupun bakteri, meski memiliki karakteristik keduanya. Pneumonia
yang dihasilkan biasanya berderajat ringan dan tersebar luas. Mikoplas-
ma menyerang segala jenis usia, tetapi paling sering pada anak laki-laki
remaja dan usia muda. Angka kematian sangat rendah, (Misnadiarly,
2008).
4. Protozoa
Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut pneumonia
pneumosistis. Termasuk golongan ini adalah Pneumocystitis Carinii
Pneumonia (PCP). Pneumonia pneumosistis sering ditemukan pada bayi
yang prematur. Perjalanan penyakitnya dapat lambat dalam beberapa
minggu sampai beberapa bulan, tetapi juga dapat cepat dalam hitungan
hari.D iagnosis pasti ditegakkan jika ditemukan P. Carinii pada jaringan
paru atau spesimen yang berasal dari paru (Djojodibroto, 2009).
5. Fungi
Pneumonia fungi yang terjadi sering diakibatkan oleh adanya jamur
Aspergilus, Fikomisetes, Blastomises dermatitidis, histoplasma kapsula-
tum dan lain-lain.
6. Bahan Lain Non Infeksi
Selain disebabkan oleh infeksi, pneumonia juga dapat diakibatkan oleh
adanya agen non infeksi seperti aspirasi lipid, zat-zat kimia, polutan,
allergen dan radiasi. Selain itu juga dapat diakibatkan oleh konsumsi obat
seperti nitofurantoin, busulfan dan metotreksat.
Untuk mempermudah mengidentifikasi etiologi pneumonia sebagai berikut
Grup Penyebab Tipe Pneumonia
Bakteri Streptokokus pneumonia
Streptokokus piogenesis
Stafilokokus aureus
Klebsiela pneumonia
Eserikia koli
Yersinia pestis
Pneumoni bakterial
Aktinomisetes Aktinomisetes Israeli
Nokardia asteroides
Aktinomisetes pulmonal
Nokardia pulmonal
Fungi Kokidioides imitis
Histoplasma kapsulatum
Blastomises dermatitidis
Aspergilus
Fikomisetes
Kokidioidomikosis
Histoplasmosis
Blastomikosis
Aspergilosis
Mukormikosis
Riketsia Koksiela burneti Q fever
Klamidia Chlamydia trachomatis Chlamydial Pneumonia
Mikoplasma Mikoplasma pneumonia Pneumonia mikoplasmal
Virus Influenza virus, adeno
Virus respiratory
Syncytial
Pneumonia virus
Protozoa Pneumositis karini Pneumonia pneumosistis
(pneumonia plasma sel)
D. FAKTOR RISIKOFaktor risiko pada pneumonia dibagi menjadi 2 bagian yaitu: (PDPI, 2003)
1. Faktor yang berhubungan dengan daya tahan tubuh
Penyakit kronik (misalnya penyakit jantung, PPOK, diabetes, alkoholisme,
azotemia), perawatan di rumah sakit yang lama, koma, pemakaian obat
tidur, perokok, intubasi endotrakeal, malnutrisi, umur lanjut, pengobatan
steroid, pengobatan antibiotik, waktu operasi yang lama, sepsis, syok
hemoragik, infeksi berat di luar paru dan cidera paru akut (acute lung
injury) serta bronkiektasis
2. Faktor eksogen
a. Pembedahan
Besar risiko kejadian pneumonia nosokomial tergantung pada jenis
pembedahan, yaitu torakotomi (40%), operasi abdomen atas (17%)
dan operasi abdomen bawah (5%).
b. Penggunaan antibiotik
Antibiotik dapat memfasilitasi kejadian kolonisasi, terutama antibiotik
yang aktif terhadap Streptococcus di orofaring dan bakteri anaerob di
saluran pencernaan. Sebagai contoh, pemberian antibiotik golongan
penisilin mempengaruhi flora normal di orofaring dan saluran pencer-
naan. Sebagaimana diketahui Streptococcus merupakan flora normal
di orofaring melepaskan bacterocins yang menghambat pertumbuhan
bakteri gram negatif. Pemberian penisilin dosis tinggi akan menurun-
kan sejumlah bakteri gram positif dan meningkatkan kolonisasi bak-
teri gram negatif di orofaring.
c. Peralatan terapi pernapasan
Kontaminasi pada peralatan ini, terutama oleh bakteri Pseudomonas
aeruginosa dan bakteri gram negatif lainnya sering terjadi.
d. Lingkungan rumah sakit
Petugas rumah sakit yang mencuci tangan tidak sesuai dengan
prosedur
Penatalaksanaan dan pemakaiaan alat-alat yang tidak sesuai
prosedur, seperti alat bantu napas, selang makanan, selang infus,
kateter dll
Pasien dengan kuman MDR tidak dirawat di ruang isolasi
Faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia pada balita
(Depkes, 2004), diantaranya :
1. Faktor risiko yang terjadi pada balita
Salah satu faktor yang berpengaruh pada timbulnya pneumonia dan
berat ringannya penyakit adalah daya tahan tubuh balita. Daya tahan
tubuh tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya :
a. Status gizi
Keadaan gizi adalah faktor yang sangat penting bagi timbulya
pneumonia.Tingkat pertumbuhan fisik dan kemampuan imunologik
seseorang sangat dipengaruhi adanya persediaan gizi dalam tubuh
dan kekurangan zat gizi akan meningkatkan kerentanan dan berat-
nya infeksi suatu penyakit seperti pneumonia
b. Status imunisasi
Kekebalan dapat dibawa secara bawaan, keadaan ini dapat
dijumpai pada balita umur 5-9 bulan, dengan adanya kekebalan ini
balita terhindar dari penyakit. Dikarenakan kekebalan bawaan
hanya bersifat sementara, maka diperlukan imunisasi untuk tetap
mempertahankan kekebalan yang ada pada balita (Depkes RI,
2004).
c. Pemberian ASI (Air Susu Ibu)
Asi yang diberikan pada bayi hingga usia 4 bulan selain sebagai
bahan makanan bayi juga berfungsi sebagai pelindung dari penyakit
dan infeksi, karena dapat mencegah pneumonia oleh bakteri dan
virus. Riwayat pemberian ASI yang buruk menjadi salah satu faktor
risiko yang dapat meningkatkan kejadian pneumonia pada balita
d. Umur Anak
Umur merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian
pneumonia. Risiko untuk terkena pneumonia lebih besar pada anak
umur dibawah 2 tahun dibandingkan yang lebih tua, hal ini dikarena-
kan status kerentanan anak di bawah 2 tahun belum sempurna dan
lumen saluran napas yang masih sempit.
2. Faktor Lingkungan
Lingkungan khususnya perumahan sangat berpengaruh pada pening-
katan resiko terjadinya pneumonia. Perumahan yang padat dan sempit,
kotor dan tidak mempunyai sarana air bersih menyebabkan balita sering
berhubungan dengan berbagai kuman penyakit menular dan terinfeksi
oleh berbagai kuman yang berasal dari tempat yang kotor tersebut
(Depkes RI, 2004), yang berpengaruh diantaranya :
a. Ventilasi
Ventilasi berguna untuk penyediaan udara ke dalam dan
pengeluaran udara kotor dari ruangan yang tertutup.Termasuk
ventilasi adalah jendela dan penghawaan dengan persyaratan
minimal 10% dari luas lantai. Kurangnya ventilasi akan menyebab-
kan naiknya kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupa-
kan media untuk berkembangnya bakteri terutama bakteri patogen
b. Polusi Udara
Pencemaran udara yang terjadi di dalam rumah umumnya
disebabkan oleh polusi di dalam dapur. Asap dari bahan bakar kayu
merupakan faktor risiko terhadap kejadian pneumonia pada balita.
Polusi udara di dalam rumah juga dapat disebabkan oleh karena
asap rokok, kompor gas, alat pemanas ruangan dan juga akibat
pembakaran yang tidak sempurna dari kendaraan bermotor.
E. MANIFESTASI KLINISTemuan klinis yang bisa di dapatkan pada penderita pneumonia adalah
sebagai berikut:
Temuan Subjektif Temuan Objektif
a. Dispnea
b. Takipnea (laju pernafasan >60
kali/menit).
c. Nyeri dada pleuritik
d. Demam tinggi (suhu 39-40’C)
e. Menggigil
f. Hemoptisis
g. Batuk produktif dengan sputum
berbusa atau purulen
a. Demam
b. Membebat hemotoraks yang
sakit
c. Hipoksemia
d. Bunyi pekak saat perkusi
e. Krakles
f. Tidak ada bunyi napas pada
bidang paru yang dakit
g. Rongent dada mungkin
menunjukkan infiltrat,
konsolidasi, atau opasifikasi
Sumber: (Asih, Niluh., 2003)
Manifestasi klinis yang dapat ditemukan berdasarkan kelompok usia
penderita pada balita bisa dlihat pada tabel berikut:
Kelompok umur Criteria pneumonia Gejala klinis
2 bulan - < 5 tahun
Batuk bukan
pneumonia
Tidak ada napas cepat dan
tidak ada tarikan dinding
dada bagian bawah
pneumonia Adanya napas cepat dan
tidak ada tarikan dinding
dada bagian bawah
kedalam
Pneumonia berat Adanya tarikan dinding
dada bagian bawah ke
dalam
< 2 bulan
Bukan pneumonia Tidak ada napas cepat dan
tidak ada tarikan dinding
dada bagian bawah
kedalam yang kuat
Pneumonia berat Adanya napas cepat dan
adanya tarikan dinding
bawah kedalam yang kuat
Sumber: Ditjen P2PL Depkes RI 2007.
Sedangkan manifestasi klinis berdasarkan jenis pneumonia bisa dilihat pada
tabel berikut ini:
JENIS PNEUMONIA FAKTOR RESIKO TANDA & GEJALA
Sindroma Tipikal Sickle cell disease
Hipogammaglobulinemia
Multiple myeloma
Onset mendadak dingin,
menggigil, demam (39-400C)
Nyeri dada pleuritis
Batuk produktif, sputum hijau,
purulen, dan mungkin
mengandung bercak darah,
serta hidung kemerahan
Retraksi interkostal,
penggunaan otot aksesorius,
dan bisa timbul sianosis
JENIS PNEUMONIA FAKTOR RESIKO TANDA & GEJALA
Sindrom Atipikal Usia tua
COPD
Flu
Anak-anak
Dewasa muda
Onset bertahap dalam 3-5 hari
Malaise, nyeri kepala, nyeri
tenggorokan
Nyeri dada karena batuk
Aspirasi Kondisi lemah karena
konsumsi alkohol
Perawatan (misalnya
infeksi nosokomial)
Gangguan kesadaran
Anaerobic campuran, mulanya
onset perlahan
Demam rendah dan batuk
Produksi sputum; bau busuk
Foto dada jaringan interstitial
yang terkena tergantung
bagian yang terkena di paru-
parunya
Infeksi gram negative atau
positif
Gambaran klinik mungkin
sama dengan pneumonia
klasik
Distress respirasi mendadak,
dispnea berat, sianosis, batuk,
dan diikuti tanda infeksi
sekunder
Hematogen Kateter IV yang
terinfeksi
Endokarditis
Drug abuse
Abses intra abdomen
Pyelonefritis
Empiema kandung
kemih
Gejala pulmonal timbul
minimal disbanding gejala
sepilkemia
Batuk non produktif dan nyeri
pleuritik sama dengan yang
terjadi pada emboli paru-paru
Sumber: (Somantri, 2007)
Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):
1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari
sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-
mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel
mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama
dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vasku-
ler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibat-
kan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga
terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbun-
an cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini
dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan
saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna
paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini
udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan
bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama
48 jam.
3. Stadium III (3-8 hari berikutnya)Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-
sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih
tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat
kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi
oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIKa. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan ciri-ciri sebagai berikut :
Inspeksi
Retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan pernapasan
cuping hidung.
Distres pernapasan
retraksi dinding dada, penggunaan otot tam-bahan yang
terlihat; orthopnea; dan pergerakan pernafasan yang berlawanan. Hal
ini disebabkan oleh tekanan intrapleura yang ber-tambah negatif
selama inspirasi melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan
retraksi bagian-bagian yang mudah terpengaruh pada dinding dada,
yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal, dan fossae supraklavikula dan
suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal yang melenting dapat
terlihat apabila tekanan intrapleura yang semakin positif. Retraksi
lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir dimana jaringan ikat
interkostal lebih tipis dan lebih lemah.
Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan
pergerakan fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda
yang paling dapat dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas.
Pada infant, kontraksi otot ini terjadi akibat “head bobbing”, yang
dapat diamati dengan jelas ketika anak beristirahat dengan kepala
disangga tegal lurus dengan area suboksipital. Apabila tidak ada
tanda distres pernapasan yang lain pada “head bobbing”, adanya
kerusakan sistem saraf pusat dapat dicurigai.
Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan
adanya distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi
memendek secara abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada).
Pengembangan hidung memperbesar pasase hidung anterior dan
menurunkan resistensi jalan napas atas dan keseluruhan.Selain itu
dapat juga menstabilkan jalan napas atas dengan mencegah tekanan
negatif faring selama inspirasi.
Palpasi Taktil fremitus masih ada
Perkusi biasanya ditemukan bunyi pekak pada lapang paru
Auskultasi Ditemukan crackles sedang nyaring. Crackles adalah bunyi
non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang dengan
spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun
rendah, keras atau lemah, jarang atau banyak, halus atau kasar. Crackles
dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan
napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.
b. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkandiagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan "air broncogram", penyebab bronkogenik dan
interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas
menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah
diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering
disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa
sering memperlihatkan infiltrat bilateralatau gambaran bronkopneumonia
sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang
terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
Pemeriksaan radiologi dapat memberikan gambaran yang bervariasi, di
antaranya :
Bercak konsolidasi merata pada bronkopneumonia
Bercak konsolidasi satu lobus pada pneumonia lobaris
Gambaran bronkopneumonia difua atau infiltrate interstitial pada
pneumonia staphylococcus
Bercak infiltrate alveolar menunjukkan pneumonia yang disebabkan
oleh bakteri, virus maupun mycoplasma
Bercak infiltrate sirkular menunjukkan gambaran pneumonia pneumo-
coccal pada tahap awal
Bercak infiltrasi difus menunjukkan adanya infeksi M. pneumonia
Bercak konsolidasi lobus, plate like atelectasis,m nodular infiltration
dan hilar adenopathy juga menunjukkan adanya infeksi M. pneumonia
Bercak reticulonodular infiltrate yang mengarah ke infiltrate alveolar
menunjukkan pneumonia P. carinii
Hilar adenopathy menunjukkan adanya kecenderungan tuberculosis.
(Jadavji, dkk.1997)
c. Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan
pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi
peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan
pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif
pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah
menunjukkan hipoksemia dan hikarbia,pada stadium lanjut dapat terjadi
asidosis respiratorik.
Pemeriksaan gram/kultur, sputum dan darah: untuk dapat
mengidentifikasi semua organisme yang ada.
Pemeriksaan serologi: membantu dalam membedakan diagnosis
organisme khusus.
Pemeriksaan fungsi paru: untuk mengetahui paru-paru, menetapkan
luas berat penyakit dan membantu diagnosis keadaan.
Biopsi paru: untuk menetapkan diagnosis
Spirometrik static: untuk mengkaji jumlah udara yang diaspirasi
Bronkostopi: untuk menetapkan diagnosis dan mengangkat benda
asing.
d. Penegakkan diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut (Bradley et.al.,
2011):
Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan
dinding dada
Panas badan
Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)
Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus
Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan
limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang
predominan).
G. PENATALAKSANAANa. Tindakan suportif (Setyoningrum,2006)
Oksigenasi yang adekuat
Pemberian oksigen yang adekuat untuk mempertahankan PaO2 lebih
dari 8kPa (SaO2 > 90%). Jika penyakitnya berat dan sarana tersedia,
alat bantu nafas mungkin diperlukan terutama bila terdapat tanda
gagal nafas.
Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat
Resusitasi cairan intravena untuk memastikan stabilitas hemodina-
mik. Cairan rumatan yang diberikan mengandung gula dan elektrolit
yang cukup. Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikan suhu dan
status hidrasi. Pasien yang mengalami sesak yang berat dapat
dipuasakan, tetapi bila sesak sudah berkurang asupan oral dapat
segera diberikan. Pemberian asupan oral dapat diberikan bertahap
melalui NGT drip susu atau makanan cair. Dapat dibenarkan
pemberian retriksi cairan 2/3 dari kebutuhan rumatan, untuk mence-
gah edema paru dan edema otak akibat SIADH (Syndrome of
Inappropriate Anti Diuretic Hormone)
Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan terapi nebul dengan NS
untuk memperbaiki transpor mukosiliar.
Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi misalnya
hipoglikemia dan asidosis metabolik.
Mengatasi penyakit penyerta seperti kejang, demam, diare dan
lainnya serta komplikasi bila ada.
Bantuan ventilasi: ventilasi non invasif (misalnya tekanan jalan napas
positif kontinu (continous positive airway pressure), atau ventilasi
mekanis mungkin diperlukan pada gagal napas.
Fisioterapi dada dengan drainage postural, bronkoskopi & suction
dapat diberikan untuk membantu pasien mengeluarkan sekret di
saluran pernafasan. Dan hidrasi untuk mengencerkan sekresi sekret.
Terapi antibiotika (Setyoningrum,2006)
Sesuai dengan kebijakan Program Pemberantasan Penyakit Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (P2ISPA), antibiotika yang dipakai untuk
pengobatan pneumonia adalah kotrimoksasol (480 mg dan 120 mg)
dengan pemberian selama 5 hari. Antibiotika yang dapat dipakai
sebagai pengganti kotrimoksasol ialah ampisilin, amoksisilin, dan
prokain penisilin. Kotrimoksasol adalah antibiotika yang diprioritaskan
oleh WHO dengan pertimbangan sebagai berikut :
Resistensinya belum pernah dilaporkan.
Harganya murah dan mudah didapat.
Sangat mudah cara pemberiannya yaitu cukup dua kali sehari
selama 5 hari (bila dibandingkan dengan antibiotika lain pemberi-
annya harus empat kali sehari).
Pemberian antibiotik biasanya diberikan sesuai jenis infeksius
pneumonia, jika pada pneumonia selain bekteri maka pemberian
antibiotik bertujuan untuk mengurangi resiko infeksi bakteri sekunder.
Sedangkan untuk pengobatan simptomatik demam yang muncul
dapat diberikan parasetamol (500 mg), pemberian setiap 6 jam
selama 2 hari, dengandosis :
- 2 bulan - <6 bulan 18 tablet 500mg
- 6 bulan - < 3 tahun 14 tablet 500mg
- 3 tahun - < 5 tahun 12 tablet 500mg
b. Pengobatan berdasarkan jenis penuomonia (Smeltzer, 2002)
JENIS NAMA OBATPNEUMONIA BAKTERIAL
Pneumonia streptokokus Penisilin G IV Penisilin V PO (per oral) Terapi Antibiotik bergantian:- Sefuroksim atau sefalosporin generasi ke-3
(sefotaksim, seftriakson, seftizoksim)- Eritromisin- Klindamisin- Trimetoprim-sulfametoksazol (Bactrim)
Pneumonia stafilokokus Nafcillin Metisilin Oksasilin Vankomisin untuk organism yang resistan
terhadap metisilin, atau pasien yang alergi terhadap penisilin
Pneumonia klebsiella .Gentamisin Tobramisin Sefalosporin generasi ke-3 (Sefotaksim,
seftizoksim, seftriakson)Pneumonia pseudomonas Piperasilin
Tikarsilin dikombinasikan dengan gentamisin atau ortobramisin
Haemophilus influenza Ampisilin Amoksisilin Augmentin Sefaklor atau sefurosim Trimethoprim sulfametoksazol bagi pasien yang
alergi terhadap penisilinPNEUMONIA ATIPIKAL
Penyakit Legionnaires Erotromisin Rifampin
Pneumonia mikoplasma Eritromisin Derivate tetrasiklin (Doxycycline)
Pneumonia virus Amantadine Rimantadine Diobati secara simptomatis Tidak memberikan respon terhadap pngobatan
dengan antimicrobial yang ada saat iniPneumonia pneumosistis carinii (PCP)
Tritoprim-sulfametoksazol Dapsone Pentaimidin
Pneumonia fungi Flusitoasin dengan ampoterisin B pada pasien non-neutropenik
Ketokonazol Lobektomi dari bola fungus
Pneumonia klamidia (Pneumonia TWAR)
Doksisiklin Eritromiin Klaritomisin Azitromisin
Tuberkulosis Rifampin Streptomisin Etambutol Isoniazid (INH) Pirazinamid
H. ASUHAN KEPERAWATAN1. Pengkajian
a. Identitas
b. Riwayat Kesehatan :
1) Keluhan utama : batuk, pilek, demam, sesak napas, gelisah
2) Riwayat kesehatan sekarang (riwayat penyakit yang diderita pasi-
en saat masuk rumah sakit)
3) Riwayat kesehatan yang lalu (riwayat penyakit yang sama atau
penyakit lain yang pernah diderita oleh pasien) : sesak napas,
batuk lama, TBC, alergi
4) Riwayat kesehatan keluarga (riwayat penyakit yang sama atau
penyakit lain yang pernah diderita oleh anggota keluarga yang lain
baik bersifat genetik atau tidak) : sesak napas, batuk lama, TBC,
alergi
5) Riwayat imunisasi : BCG
6) Riwayat tumbuh kembang
c. Pemeriksaan persistem
1) Keadaan umum: kesadaran, vital sign, status gizi (BB, TB)
2) Sistem persepsi sensori :
- Sistem persyarafan : kesadaran, iritabel, kaku kuduk, kejang.
- Sistem pernafasan : kusmaul, sianosis, pernapasan, cuping
hidung, takipneu, ronkhi, produksi secret meningkat
- Sistem kardiovaskuler : takikardi, nyeri dada, nadi lemah dan
cepat, kapilary refill lambat, akral hangat/dingin, sianosis
perifer
- Sistem gastrointestinal : kadang diare
- Sistem integumen : sianosis, bibir kering
- Sistem perkemihan : bak 6 jam terakhir, oliguria/anuria
- Sistem muskuloskeletal : tonus otot menurun, lemah secara
umum
3) Pola Fungsi Kesehatan
- Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan: kebiasaan BAB di
wc atau sungai atau kebun, personal hygiene, sanitasi,
keluarga perokok
- Pola nutrisi dan metabolisme: anoreksia, mual, muntah,
maknan teakhir yang dimakan, alergi, baru saja ganti susu,
salah makan, makan berlebihan efek samping obat.
4) Pola eleminasi : bak terakhir, oliguria/anuri
5) Pola tidur dan istirahat : susah tidur
2. Diagnosa yang mungkin muncul pada klien
a. Ketidakefektifan Jalan Nafas b.d sekresi yang tertahan.
b. Gangguan Pertukaran Gas b.d perubahan membran kapiler alveolar
c. Ketidakseimbangan Nutrisi : Kurang dari Kebutuhan Tubuh b.d Diare
3. Rencana Asuhan Keperawatan
a. Ketidakefektifan Jalan Nafas b.d sekresi yang tertahan
Tujuan: jalan nafas kembali efektif setelah 1x24 jam perawatan
Kriteria Hasil:
Menunjukkan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih,
tidak ada dipsnea dan sianosis
RR dalam batas normal
Intervensi dan Rasional :
1. Kaji ulang kemampuan klien untuk memobilisasi sekresi, jika
tidak mampu: ajarkan metode batuk efektif, gunakan suction (jika
perlu mengeluarkan sekret) dan lakukan fisioterapi dada
(memantau tingkat kepatenan jalan nafas dan meningkatkan
kemampuan klien merawat diri/membersihkan /membebaskan
jalan nafas)
2. Secara rutin tiap 8 jam lakukan auskultasi dada untuk
mengetahui kualitas suara nafas dan kemajuannya (memantau
kemajuan bersihan jalan nafas)
3. Kolaborasi pemberian obat sesuai dengan resep;
mukolitik ,ekspektorans dan section (bila perlu) (untuk
memudahkan mengeluarkan sekret)
4. Edukasi keluarga untuk segera menghubungi perawat apabila
jalan nafas tidak efektif kembali; ditandai dengan sesak nafas,
gerakan dada dalam (mencegah terjadinya konisi yang lebih
buruk)
b. Gangguan Pertukaran Gas b.d perubahan membran kapiler alveolar
Tujuan: klien mampu menunjukkan perbaikan oksigenasi
Kriteria Hasil:
warna kulit perifer membaik (tidak sianosis),
tidak ada nafas panjang,
tidak menggunakan otot banttu pernafasan,
ketidaknyamanan dada (-)
dispnea (-)
Intervensi dan Rasional:
1. Observasi status pernafasan, hasil gas darah arteri, nadi dan
nilai oksikometri (memantau perkembangan kegawatan
pernafasan)
2. Awasi perkembangan membran mukosa/kulit; warna (gangguan
oksigenasi perifer tampak sianosis)
3. Observasi TTV dan status kesadaran (menentukan status
pernafasan dan kesadaran)
4. Berikan oksigenasi yang telah dilembabkan (memnuhi kebutuhan
oksigen)
5. Kolaborasi untuk pemberian obat yang telah diresepkan (obat
mukolitik dan ekspektoran akan mengencerkan produksi mukus
yang mengental)
c. Ketidakseimbangan Nutrisi : Kurang dari Kebutuhan Tubuh b.d diare
Tujuan: kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi
Kriteria Hasil:
berat badan kembali dalam batas normal
klien patuh dengan dietnya.
Intervensi dan Rasional :
1. Kaji status nutrisi klien (untuk mengetahui tentang keadaan dan
kebutuhan nutrisi klien sehingga dapat memberikan tindakan dan
pengaturan diet yang adekuat)
2. Ukur berat badan klien tiap minggu (mengetahui apakah klien
telah mengalami peningkatan; berat badan kembali dalam batas
normal)
3. Kolaborasi dengan pemberian RL serta kolaborasi dengan ahli
gizi tentang pola diet yang harus diterima klien (pemberian RL
akan memperbaiki status gizi dan diet yang terkontrol akan
mempercepat proses kesembuhan klien)
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Muhammad.1989.Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University
Press
Asih, Niluh Gede Yasmin. 2003. Keperawatan Medikal Bedah: Klien dengan
Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
DepKes RI. Direktorat Jenderal PPM & PLP. Pedoman Pemberantasan Penyakit
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Jakarta. 1992.
Ditjen P2PL Depkes RI 2007.Bimbingan penatalaksanaan pneumonia balita.
Jadavji, dkk.1997.A Practical Guide for the Diagnosis and Treatment of Pediatric
Pneumoni
a.http://www.canadianmedicaljournal.ca/content/156/5/703.full.pdf.
Diakses tanggal 28 Februari 2013.Pukul 15.01 WIB.
Kemenkes RI. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi Volume 3. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia
Khairuddin. 2009. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Pada Kasus
Pneumonia yang Dirawat pada Bangsal Penyakit Dalam di RSUP dr.
Kariadi Semarang Tahun 2008. Semarang: FKUNDIP.
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Nafas Pneumonia pada Anak,Orang
Dewasa, Usia Lanjut. Jakarta: Pustaka Obor Populer
Morgan, Geri. 2009. Obstetri & Ginekologi: Panduan Praktik Edisi 2. Jakarta:
EGC
Muscari, M.E. 2005. Panduan Belajar : Keperawatan Pediatrik. Eds : 3. Jakarta :
EGC
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan Pneumonia di Indonesia. Jakarta.
Setyoningrum, R.A. 2006. Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak XXXVI :
Pneumonia. FK Unair RSUD Dr. Soetomo. Surabaya)
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta: EGC
Somantri, Irman. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada
Pasien dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba
Medika